15
Buletin Jumat EDISI 18 Juli 2021 Dzulqaidah 1442H IKHTISAR: Jika ingin hidup sejahtera di alam dunia ini, maka harus mengenal, mencintai dan bersahabat dengan alam. Untuk mengenal alam dibutuhkan ilmu. Betapa banyak perintah Allah agar kita umat beriman memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada alam semesta. (hal. 2-5) Tujuan dari sebuah sistem politik bukan mengubah manusia menjadi makhluk pemangsa atau alat pemuas nafsu penundukan, tetapi antara lain untuk mencapai keselamatan jiwa atau hak hidup (hifzh al-nafs) dan kehormatan manusia (hifzh al-ʻirdh), serta menjaga akal pikiran (hifzh al-ʻaql) sehingga tidak akan terjadi keterbelakangan. (hal. 6-11)

Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

Buletin Jumat

EDISI 18 Juli 2021Dzulqaidah 1442H

IKHTISAR:

Jika ingin hidup sejahtera di alam dunia ini, maka harus mengenal, mencintai dan bersahabat dengan alam. Untuk mengenal alam dibutuhkan ilmu. Betapa banyak perintah Allah agar kita umat beriman memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada alam semesta. (hal. 2-5)

Tujuan dari sebuah sistem politik bukan mengubah manusia menjadi makhluk pemangsa atau alat pemuas nafsu penundukan, tetapi antara lain untuk mencapai keselamatan jiwa atau hak hidup (hifzh al-nafs) dan kehormatan manusia (hifzh al-ʻirdh), serta menjaga akal pikiran (hifzh al-ʻaql) sehingga tidak akan terjadi keterbelakangan. (hal. 6-11)

Page 2: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

Forum Belajar Jumʼatan Tentang Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Keadilan Sosial

Pesan Islam untuk Menghindari Keterbelakangan

01Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Sejak didirikan pada 2012, Public Virtue selalu berkomitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Terima kasih telah mendukung kami. Mari dukung keberjalanan program ini dengan berdonasi ke:

Anda juga bisa melakukan “donasi tulisan”

Bantu pejuang keadilan sosial! Mari berzakat lewat kitabisa.com/zakatprogresif.

Kirimkan naskah dengan tema demokrasi, hak asasi, dan keadilan sosial sepanjang 300-600 kata ke [email protected] untuk dimuat di Buletin Jumʼat.

Bersama kita tingkatkan mutu demokrasi kita.Salam kebajikan!

Page 3: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

02Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

KONSTITUSI kita UUD NRI 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pasal 31 UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: (1). Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2). Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa tujuan Pendidikan kita adalah

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Pada tataran teknis maka seorang anak didik harus memiliki kecakapan dalam aspek kognisi, afeksi dan psikomotorik. Terlalu luas jika saya menguraikan ketiga aspek tersebut. Saya hanya akan menyoroti aspek kognisi saja dari Pendidikan kita.

Krisis Kualitas Pendidikan KitaOleh: KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

Khutbah Jumʼat, 2 Juli 2021

Page 4: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

03Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Prestasi Belajar

Setiap tiga tahun Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi Negara-negara untuk Kerjasama dalam Pengembangan Ekonomi mengadakan program penilaian terhadap anak-anak sekolah usia 15 tahun negara-negara anggotanya. Program Penilaian itu disebut PISA (Program for International Student Assesment). Assesment terakhir PISA adalah tahun 2018. Tahun 2021 mungkin tidak diadakan karena Pandemi Covid-19.

Tahun 2015 posisi Indonesia adalah nomor 65 dari 73 negara anggota OECD. Berarti di tahun 2018 terjadi penurunan.

PISA mengadakan penilaian untuk membaca, matematika, dan sains. Jika rata-rata nilai pelajar di seluruh dunia adalah 500, rata-rata nilai pelajar Indonesia di bawah 400. Nilai membaca anak-anak kita 371, matematika 379, dan niai sains 396. Niai-nilai tersebut tentu memprihatinkan. Anak-anak kita dinilai underperform.

Untuk skor PISA tahun 2018, Indonesia menempati posisi ke 66 dari 76 negara. Ini tentu berita besar untuk Mendiknas Nadiem Makarim: skor PISA Indonesia terendah. Dari 76 negara, Indonesia menempati urutan ke 66, berarti sepuluh besar terjeblok. Para pelajar Cina menempati posisi teratas menggeser para pelajar Finlandia yang bertahan di puncak selama beberapa tahun.

Membaca

Membaca adalah sarana menambah wawasan. Ini adalah ketrampilan berbahasa. Para pelajar kita lemah dalam memahami teks. Mereka jarang dilatih membaca untuk memahami teks. Apalagi jika teks yang harus diabaca agak panjang. Anak-anak muda sekarang tidak tahan membaca artikel panjang atau buku tebal.

Penyair Taufik Ismail pernah mengeluhkan kemampuan anak-anak pelajar Indonesia dalam membaca buku. Dalam setahun rata-rata pelajar di Indonesia hanya membaca satu buah buku. Banyak di antara pelajar tidak mengenal novel Siti Nurbaya atau Tenggelamnya Kapal Van der Wick. Ini sangat ironis. Padahal wahyu pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah Iqra! yang berarti “Bacalah!”

Nilai rendah di dalam membaca menunjukkan literasi yang rendah. Jika mendapat informasi maka para pelajar kita tidak mampu memilah mana yang benar mana yang isapan jempol. Tidak heran jika bangsa ini mudah percaya berita hoax dan tidak kritis dalam menerima Informasi.

Underperform dalam pelajaran membaca artinya para pelajar kita tidak mampu menemukan gagasan utama dalam sebuah teks. Underperform dalam matematika artinya pelajar tidak menguasai teori-teori dasar dan tidak mampu menjelaskan hasul kalkulasinya. Underperform di bidang sains artinya pemahaman ilmu pengetahuan yang dimiliki pelajar terbatas sehingga hanya dapat diaplikasikan di situasi yang familiar atau sudah diketahui/diajarkan.

Underperform dalam pelajaran membaca artinya para pelajar kita tidak mampu menemukan gagasan utama dalam sebuah teks.

Page 5: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

04Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Gemar membaca meningkatkan kecerdasan berbahasa. Kemajuan luar biasa dunia barat dalam hal ilmu-ilmu alam dan teknologi mendasarkan dan berpijak pada kultur berabad-abad pendidikan bahasa, yang berakar pada filsafat Yunani yang bertumpu pada retorika. Cita rasa berbahasa merupakan sarana dasar untuk mengkomunikasikan pikiran.

Lemah Bernalar

Nilai rendah di bidang matematika menunjukkan kelemahan anak-anak kita dalam bernalar. Penalaran para pelajar kita underperform. Padahal Matematika adalah sarana berlatih menalar dan menggunakan logika. Barangkali ini menjelaskan mengapa banyak orang bertindak di luar logika. Banyak orang melakukan pilihan tanpa didahului nalar. Bukankah kitab suci memerintahkan kita agar bernalar serta bertindak secara logis dan rasional.

Orang yang tidak telatih dalam bernalar dan miskin literasi tidak mampu membedakan kritik dengan penghinaan. Ada mahasiswa mengeritik penguasa, dianggap menghina sehingga dipanggil rektor. Jika pandangan kritis mahasiswa dibungkam, apa arti program “Kampus Merdeka” yang dicanangkan oleh Mendiknas? Pembungkaman berarti pembunuhan kebebasan berfikir. Bukankah agama ini menganjurkan umatnya untuk selalu berfikir.

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir,” [QS. Al-Hasyr: 21].

Contoh lain dari ditinggalkannya nalar adalah: Tiap kali menjelang Pemilu dan Pilkada banyak caleg dan calon kepala daerah yang menggunakan cara-cara irrasional untuk memenangi pemilihan umum. Ada yang mendatangi dukun, begadang di kuburan, dll. Mereka tidak mempelajari bagaimana strategi berkampanye yang efektif dengan survei dan data statistik melainkan menggunakan hal-hal berbau takhayul dan klenik.

Beberapa tahun lalu banyak orang percaya kepada biro travel umroh yang menawarkan harga murah yang supergila, padahal sungguh di luar nalar. Akibatnya banyak jatuh korban.

Ayat adalah Fenomena Alam Semesta

Sains adalah ilmu tentang alam semesta. Jika ingin hidup sejahtera di alam dunia ini, maka harus mengenal, mencintai dan bersahabat dengan alam. Untuk mengenal alam dibutuhkan ilmu. Betapa banyak perintah Allah agar kita umat beriman memperhatikan tanda-tanda kekuasaan Allah yang terdapat pada alam semesta.

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,” [QS. Ali Imran: 190].

lelucon, mengolok-olok orang yang salat dengan saf berjarak adalah salat dengan fikih mazhab WHO. Menaati protokol Kesehatan dengan menolak berjabat tangan dituduh tidak melaksanakan sunnah Nabi. Taat kepada prokes dipandang tipis imannya karena takut kepada covid, dengan dalih bahwa satu-satunya yang harus ditakuti hanya Allah.

Menghadapi pelbagai persoalan hidup banyak orang tidak menggunakan nalar, termasuk dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Banyak yang menanggapi pandemi ini dengan

Page 6: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

Menurut ulama Mesir Jamal al-Banna, dari sekian banyak kata ayat dalam al-Qur`an sebagian besar menunjuk kepada fenomena alam. Dan hanya satu yang berarti teks kalimat kitab suci. Hal itu menunjukkan agama Islam memerintahkan manusia meneliti fenomena alam.

Sains telah membukakan mata manusia bahwa segala yang terjadi di alam dunia ini dapat dijelaskan. Sains telah meruntuhkan mitos dan takhayul. Mereka yang akrab dengan sains cenderung memiliki tauhid yang kuat.

Percobaan di dunia sains menanamkan kegembiraan dan gairah untuk selalu melakukan percobaan ilmiah, gemar melakukan trial and error.

Apa jadinya sebuah bangsa yang tak suka membaca, tidak mampu bernalar, dan enggan berksperimentasi secara ilmiah. Di masa pandemi ini kegiatan anak-anak kita dalam belajar menjadi tertinggal. Anak-anak yang belajar di rumah menjadi tak terurus belajarnya, karena orangtua tidak mampu atau tidak mau belajar bersama anak-anak. Pemerintah miskin gagasan untuk melakukan terobosan di bidang Pendidikan ini. Akibatnya akan terjadi ketertinggalan Pendidikan di negeri ini dan kelak lahir the lost generation. Jika demikian bangsa ini tentu akan menjadi bangsa yang jumud dan tertinggal. Naʼuzubillah min dzalik. Semoga Allah menghindarkan kita dari bencana tersebut.

05Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Page 7: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

06Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Politik dalam Khasanah Keislaman

Pendahuluan

Politik makna asalnya (dalam bahasa Yunani) adalah “mengatur kota”. Pengaturan kota di sini bisa melalui partisipasi “warga” dalam jajak pendapat dan pengambilan keputusan. Pada pendapat warga itulah terlahir sebuah legitimasi atau pengakuan atas sebuah kewenangan dari seseorang yang kemudian dikenal dengan konsep pemimpin.

Dalam sejarah peradaban, makna tersebut tidak berbeda dengan makna politik saat ini tentang negara. Makna sebuah negara modern tentu lebih besar daripada sebuah “kota”, lebih kompleks bersamaan dengan fungsi-fungsi yang lebih luas. Tapi, tidak ada salahnya kalau kita meletakkan negara

pada posisi “kota” sebagaimana definisi di atas, dan karenanya kita bisa mengatakan: politik adalah mengatur masalah-masalah negara.

Masalah-masalah negara sangat banyak dan bercabang-cabang, di antaranya mengenai masalah-masalah kenegaraan (menjaga batas-batas, kesatuan tanah air, rakyat), dan masalah-masalah kehidupan kebangsaan (kepentingan-kepentingan ekonomi, independensi politik, tradisi kebudayaan).

Usman Hamid dan Roland Gunawan

Di antara fungsi kenegaraan sebagai institusi yang mewakili umat dalam menjalankan kekuasaan adalah menjaga keamanan, menjamin hak dan kebebasan, mewujudkan

Page 8: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

07Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Apakah sesederhana penjelasan umum yang demikian? Bagaimana sebenarnya?

Di sini kita perlu membahas masalah khilafah. Masalah ini akan mengalihkan perhatian kita pada masalah-masalah tentang akar kekuasaan dan sistematisasi negara Islam. Problem khilafah sudah memantik suatu upaya yang boleh dibilang berani dari seorang pemikir Mesir Syaikh Ali Abdur Raziq tahun 1925, yaitu sekularisasi pemikiran Islam.

Untuk memulainya, akan dipaparkan beberapa penjelasan awal. Jika kita bicara tentang kekuasaan mengatur (rule) dan otoritas (authority), maka setidaknya terdapat empat istilah yang perlu diselidiki. Istilah pertama adalah “al-imâm”, yang secara definitif seringkali berarti seseorang yang memimpin umat Muslim dalam shalat dengan menghadap Kaʼbah atau bisa dikatakan bahwa “al-imâm” adalah pemimpin rohani. Istilah kedua adalah “al-khalîfah”, yang berarti pemimpin umat Muslim yang menggantikan posisi kepemimpinan Nabi Muhammad Saw. setelah wafat. Adapun istilah ketiga yaitu “al-amîr” yang bisa diartikan sebagai pemegang komando dan biasanya dikenal dalam keadaan tertentu, misalnya perang. Sedangkan istilah yang keempat adalah “al-sulthân”, yang mempunyai arti seseorang yang menjalankan dan menangani kekuasaan dalam artian politik yang bersifat duniawi.

Keempat istilah ini tak bisa disamaratakan sebagai konsep yang lahir dari sejarah Islam, apalagi jika dikatakan berasal dari al-Qur`an. Itu adalah dua konteks yang harus dibedakan agar kita memahaminya secara adil. Keempat istilah di atas juga berbeda antara satu sama lain, meski seringkali dipahami secara saling tumpang-tindih. Dua istilah pertama biasanya diartikan mengandung

Melihat fungsi politik yang sedemikian banyak, maka politik jelas mempunyai peranan sangat signifikan dalam kehidupan orang banyak. Politik, atau pengaturan masalah-masalah negara, merupakan aktivitas yang akan dapat terlaksana dengan baik melalui pemberian kebebasan kepada seluruh warga negara, baik dari rasa takut maupun dari segala kekurangan.

Kebebasan dari rasa takut (freedom from fear) yang dimaksud di sini adalah kebebasan dalam hal berbicara, menyatakan pikiran dan pendapat dan kebebasan berserikat maupun berkumpul secara damai yang tentu saja perlu dijamin dalam aturan bernegara itu sendiri. Sementara dari sisi lain, kebebasan dari segala kekurangan (freedom from want) dimaksudkan agar menjamin kesetaraan dan kesejahteraan warga yang tentu saja merupakan kepentingan serta tujuan dari mengapa manusia membentuk negara.

Empat Konsep Politik

Di masa klasik Islam, makna dari otoritas politik kerap dimanifestasikan dalam bentuk negara “khilafah”. Sebuah bentuk negara teokrasi yang dipimpin oleh seorang khalifah yang memegang otoritas penuh, baik dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan dunia atau agama.

keadilan, dan mencanangkan kemajuan bagi para warganya. Fungsi lainnya adalah menjalin hubungan dengan negara-negara lain guna menjaga kepentingan-kepentingan eksternalnya, termasuk juga ekonomi, strategi dan lain sebagainya, hingga menjaga keamanan dan perdamaian dunia.

Page 9: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

08Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

di bawah Umar ibn al-Khatthab lalu berakhir dengan pembunuhannya, 12 tahun di bawah Utsman ibn Affan yang juga dibunuh, dan sekitar 3-5 tahun di bawah Ali ibn Abi Thalib yang juga berakhir dibunuh. Keseluruhan dinamika kekhalifahan mereka memperlihatkan adanya tarik menarik kekuasaan yang keras sehingga diwarnai dengan pembunuhan politik (political assassination).

Pada perkembangan sejarah di kemudian hari, setelah satu generasi dari wafatnya Nabi, kepemimpinan oleh seorang khilafah menjadi warisan turun-temurun sejak awal masa pemerintahan Dinasti Umawiyah pada tahun 660 M. Dinamika pertarungan kekuasaan pun tidak jauh berbeda dengan masa kekhalifahan, dan jauh lebih buruk. Istilah kekuasaan berbasis khalifah yang semula demokratis berubah menjadi dinasti dan monarki bercampur aduk dengan model kepemimpinan seorang kaisar di Persia atau Roma yang juga diwarnai konflik-konflik politik dan berdarah. Kisah sejarah para sultan Turki yang mengklaim diri sebagai pewaris khilafah juga turut membuat pengertian atas konsep al-imâm, al-khalîfah, al-sulthân, dan al-amîr menjadi rancu, ambigu, dan semakin dapat disalahartikan.

Kekhilafahan

Dari keempat konsep yang disebutkan di atas, al-khalîfah adalah konsep yang paling sering diperbincangkan, sekaligus disalahartikan. Para khalifah dan para ahli fikih berpijak pada sebuah perspektif—meskipun secara implisit—yang mengatakan bahwa khalifah merupakan pewaris hak-hak Nabi, sehingga fikih Islam tampak hanya tertarik kepada masalah kepemimpinan sang khalifah berikut hak-haknya, dan sedikit sekali menaruh perhatian pada hak-hak rakyat. Kecenderungan ini juga terjadi dalam

tanggungjawab-tanggungjawab spiritual, sedangkan dua istilah yang kedua lebih bersifat non-spiritual atau bisa diartikan menjalankan kekuasaan atau kewenangan yang diperoleh dari pemberian legitimasi dan jalan kekuatan serta berlangsung berkat adanya kekuatan tersebut.

Meski dengan ini kita dapat melihat perbedaan antara “al-imâm” maupun “al-khalîfah” dengan “al-sulthân”, dalam sejarah pun kita menemukan penggunaan seluruh istilah itu kerap bercampur aduk dan bertumpang tindih. Istilah “al-imâm” bisa ditemukan dalam kisah Nabi dan tertuang dalam rujukan fikih. Di masa Nabi, seorang imam bisa memimpin ibadah agama atau kegiatan spiritual sekaligus memimpin komunitasnya. Setelah Nabi wafat istilah “al-khalîfah” lebih disoroti guna merujuk kepemimpinan Abu Bakar dan para sahabat yang menggantikan peran kepemimpinan Nabi (successors).

Masing-masing kekhalifahan berlangsung selama periode yang bervariasi. Dari periode yang tersingkat hanya 2 tahun di bawah Abu Bakar al-Shiddiq, lalu 10 tahun

Demikian pula istilah “al-amîr” yang terkenal di masa Umar ibn al-Khatthab. Al-Qur`an menyebutkan tentang otoritas politik dalam makna seperti yang populer saat ini dengan kata “al-amr”. Dari kata ini kemudian muncul “al-amîr”, yaitu orang yang memegang kendali kekuasaan dan pemerintahan. Itulah sebabnya Umar ibn al-Khatthab menyebut dirinya Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman) yang juga dijadikan sebutan untuk dua khalifah setelahnya (Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib).

Page 10: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

09Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

sejarah kekuasaan yang berbasis non-kekhilafahan.

Selama sejarah kekhilafahan Islam penerapan konsep politik yang ideal selalu saja bisa bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pragmatis manusia. Kecenderungan ini terlihat pada sepanjang sejarah kekuasaan maupun kepemimpinan di bawah kekhilafahan, kesultanan dan kekaisaran di masa lalu di era kekuasaan politik modern di bawah konsep republik maupun demokrasi. Keadilan, harta, dan kekayaan negeri, hingga otoritas keagamaan seringkali menjadi milik pribadi seorang pemimpin, serta ditafsirkan secara sepihak oleh sang pemimpin, atau menjadi hak anak-anaknya dan para menterinya. Di titik inilah kita perlu secara adil menempatkan idealitas konsep kekuasaan dan membedakannya dengan ambiguitas konsep kepemimpinan apapun, dari istilah al-imâm, al-khalîfah, al-sulthân, dan al-amîr.

Dengan pemahaman yang salah terhadap sejarah peradaban Islam, agama dan al-Qur`an serta pandangan-pandangan tradisional dan imajinasi yang belum tentu terjadi di kehidupan Nabi berikut para shahabat, praktik atas konsep khilafah seringkali kembali kepada keadaan semula, yaitu kekuasaan kabilah, di mana orang-orang Arab Quraisy (orang-orang Umawiyah dan Abbasiyah) mulai masuk ke dalam konflik perebutan kekuasaan. Akar masalahnya mencakup klaim bahwa khilafah hanya merupakan hak anak-anak dan keturunan-keturunan mereka saja, sebab mereka termasuk dari kabilah Rasulullah Saw. Sehingga

Kendati kondisi-kondisi historis dan sosial mengalami perubahan, pengertian atas konsep dan praktik atas konsep menjadi semakin rumit ketika banyak orang kemudian memahaminya sebagai perintah agama, sunnah Nabi dan syariat Allah. Sebagai contoh, paham kekhilafahan memang membawa klaim ajaran al-Qur`an, salah satunya ajaran “Lâ hukma illâ Allâh”, yang dari sini muncul konsep “hâkimiyyatullâh” dan seringkali diulang-ulang oleh para khalifah—setelah masa-masa al-Khulafâ` al-Râsyidîn. Ini lalu menimbulkan kesan keidentikkan antara konsep politik kekhilafahan dengan perintah al-Qurʼan.

Padahal, pada tataran normatif, kata “al-hukm” di dalam al-Qur`an tidak bermakna otoritas politik (al-sulthah al-siyâsîyyah), atau makna sistem kekuasaan monolitik yang saat ini lagi berkembang. Kata-kata “Lâ hukma illâ Allâh” (tiada hukum kecuali Allah) dengan makna yang politis, sebenarnya bukan dari Islam, dan al-Qur`an juga tidak mengenalnya. Pandangan semacam ini sama seperti pandangan yang muncul pada masa Mesir kuno, kemudian menyebar dalam masyarakat-masyarakat Kristen di abad-abad petengahan. Dan yang terpenting ialah bahwa kata “al-hukm” dalam bahasa al-Qur`an berarti menegakkan keadilan di antara manusia [QS. al-Nisa`: 58]. Di ayat lain berarti menyelesaikan perselisihan [QS. al-Zumar: 3]. Juga berarti nasehat dan hikmah

Sehingga khilafah hanya dikuasai oleh politik dinasti, yaitu kabilah Quraisy selama sembilan abad, terutama di era dinasti Umawiyah, dinasti Abbasiyah dan setelah itu dinasti Fathimiyah. Sebagian dari mereka membawa klaim-klaim sebagai pewaris al-Khulafâ` al-Râsyidîn.

Page 11: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

10Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

[QS. al-Syuʼara`: 21]. Sama sekali tidak ada yang mempunyai arti otoritas politik.

Sementara pada tataran praktis, praktik-praktik penyimpangan kekuasaan di mana pun, termasuk kekhilafahan, memperlihatkan betapa ajaran-ajaran agama justru sering dijadikan topeng yang menutupi tujuan-tujuan pribadi, dan menjustifikasi kezhaliman-kezhaliman atau ketidakadilan-ketidakadilan elite terhadap rakyat.

Benar-benar menjadi semakin rumit ketika di masa itu, praktik kekuasaan politik berbasis dinasti dan kesukuan sangat kuat sehingga pada suatu masa kekuasaan kekhilafahan pada era setelah al-Khulafâ` al-Râsyidîn, orang-orang non-Arab—lebih tepatnya orang-orang non-Quraisy Arab tidak diberi ruang untuk berpartisipasi dalam politik dan mengurus masalah-masalah pemerintahan.

Pandangan fikih klasik sering menegaskan bahwa kekuasaan orang-orang non-Quraisy terhadap umat Muslim tidak dibenarkan. Padahal, paling tidak menurut Sunnah, sebenarnya khilafah bukanlah sebuah sistem keagamaan, bukan pula sistem kekuasaan berbasis dinasti. Perubahannya menjadi sistem keagamaan telah terjadi pada perkembangan berikutnya, yang oleh ahli-ahli fikih dianggap sebagai “penjaga agama dan pengatur masalah-masalah dunia”. Ini telah melahirkan keyakinan di kalangan orang-orang awam bahwa para khalifah adalah maʼshûm (terpelihara dari dosa) dalam ucapan dan perbuatan mereka.

Kendati tujuan ekspansi-ekspansi yang dilakukan kerap berdalih untuk menyebarkan Islam, tetapi sejarah telah membuktikan bahwa itu tidak sepenuhnya benar. Praktik kekuasaan yang monolitik, ekspansionis dan eksploitatif, telah menunjukkan betapa ajaran-ajaran Islam justru ditinggalkan. Dalam kehidupan keagamaan pun demikian. Orang-orang Mesir, sebagai contoh, tetap memeluk agama lama mereka selama lebih dari tiga abad setelah ekspansi Islam, kemudian di Andalusia banyak dari penduduk yang masih memeluk agama Kristen selama pemerintahan Islam yang berlangsung selama tujuh abad.

Meskipun non-Muslim tidak mendapat tekanan di bawah pemerintahan Islam di negara-negara taklukan, tetapi keadaan mereka tetap dibedakan dengan orang-orang Arab. Benar bahwa mereka bebas melakukan ritual-ritual keagamaan, namun mereka sama sekali tidak bebas melaksanakan hak-hak sipil politik atau hak-hak ekonomi, sosial dan budaya seperti membangun tempat-tempat ibadah atau merayakan hari besar keagamaan secara terang-terangan. Akibatnya, sebagian warga yang tertindas membuat aliran-aliran keagamaan khusus, dan banyak dari mereka—setelah masuk Islam—mengaku-ngaku Nabi dengan tujuan mendapatkan ketenaran dan kekuasaan atau harapan untuk mendapat keselamatan.

Dalam skala ekstrem, banyak dari para khalifah dengan orang-orang kepercayaan,

penguasa negara-negara yang terbentuk ketika itu melakukan suatu ekspansi dan penaklukan, memerangi negara-negara lain guna melindungi hak-hak kekuasaan atau menambah kekuatan dan mengembangkan sumber penghasilan mereka.

Sifat kekuasaan yang pragmatis dalam pemerintahan, dominasi politik militer, ditambah dengan orientasi yang terpusat pada satu ras tertentu yaitu Arab Quraisy, dan pada klaim-klaim sebagai keluarga dan penerus Nabi, turut mendorong para

Page 12: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

11Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

para menteri serta para hakimnya yang anti terhadap pendidikan atau kebudayaan luhur di luar apa yang mereka tafsirkan sebagai Islam. Mereka melarang pendidikan yang dianggap tak sesuai Islam, mereka lebih suka model pendidikan yang terkontrol dan tidak menimbulkan ancaman bagi kepentingan status quo kekuasaan. Akibatnya adalah terjadinya kebodohan dan kemunduran politik yang besar dari peradaban Islam. Kekuasaan yang membatasi hak-hak dan kebebasan warga negara meskipun Muslim, dan sekalipun hanya sekedar menghafal ayat-ayat al-Qur`an dan beberapa hadits Nabi, tentunya memberangus pandangan-pandangan yang bertentangan dengan ahli fikih yang dekat dengan kekuasaan ketika itu.

Penutup

Demikianlah bagaimana konsep-konsep politik dalam Islam sebaiknya dipahami dan bagaimana praktik atas otoritas politik negara yang berbasis sistem politik apa pun sangat dapat menyimpang antara idealitas dan realitas. Secara khusus, konsep politik kekhilafahan pun dapat tidak selaras dengan al-Qur`an ketika mengesampingkan ajaran-ajaran keadilan sosial, hak-hak dan kebebasan asasi manusia, tidak korupsi, hingga ajaran tidak berbuat kerusakan di muka bumi.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya, apapun itu bentuk pemerintahan sebuah negara, tidak terlalu menjadi soal. Tetapi yang menjadi persoalan adalah ketika otoritas politik disalahgunakan, atau dijadikan senjata ampuh untuk memeras, menindas rakyat serta berbuat kerusakan di muka bumi melalui eksploitasi sumber daya alam yang hanya diperuntukkan bagi keuntungan segelintir elite penguasa dan para pebisnis yang mendapat perlindungan mereka.

Tujuan dari sebuah sistem politik bukan mengubah manusia menjadi makhluk pemangsa atau alat pemuas nafsu penundukan, tetapi antara lain untuk mencapai keselamatan jiwa atau hak hidup (hifzh al-nafs) dan kehormatan manusia (hifzh al-ʻirdh), serta menjaga akal pikiran (hifzh al-ʻaql) sehingga tidak akan terjadi keterbelakangan. Dengan demikian tujuan sistem politik sebenarnya adalah kebebasan dan keadilan, sebagaimana diajarkan di dalam al-Qur`an.

Tujuan utama pendirian sistem politik bukanlah penguasaan, pemaksaan atau penundukan rakyat demi kepentingan para penguasa dan segelintir orang yang kaya-raya, tetapi pembebasan dari rasa takut (liberation from fear) dan pembebasan dari kekurangan (liberation from want), sehingga setiap orang dapat hidup dalam keadaan damai dan dalam kemuliaan martabatnya sebagai manusia (al-karamah al-insaniyyah).

Page 13: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

Shalat Jumʼat Virtual di Masjid Jamiʼ Virtual Hilful Fudhul (Public Virtue) akan diadakan melalui wadah virtual, yaitu Zoom Meeting atau Google Meet.

Shalat Jumʼat akan dimulai dengan pembukaan, pembacaan/penyampaian khutbah oleh khatib dan dilanjutkan dengan pelaksanaan shalat Jumʼat berjamaah yang dipimpin oleh seorang imam secara virtual via Zoom Meeting.

Para jamaah shalat diwajibkan untuk menyimak dan mendengarkan khutbah yang disampaikan oleh khatib, karena khutbah merupakan salah satu syarat wajib sahnya shalat Jumʼat.

Pelaksanaan

1.

2.

3.

Hari dan Waktu Pelaksanaan

Setiap Jum’atPukul 11.30 – 13.30 WIB

Saat pelaksanaan shalat Jumʼat, para jamaah (makmum) wajib menghadap kiblat dan mendengarkan suara imam, serta mengikuti setiap gerakan shalat imam yang tampak di layar monitor laptop/notebook/komputer/ponsel.

12Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Page 14: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

Jadwal Acara

11.30 - 11.45 WIB

11.45 – 12.00 WIB

Pelaksana

Jamaah memasuki ruang virtual Muhammad Haikal dan Ainun Dwiyanti

Muqaddimah/prolog Usman Hamid

12.06 – 12.10 WIB Bilal adzan pertama KH. Rodilansah

Bilal berdiri sambil menghadap jamaah (layar monitor)

KH. Rodilansah

Bilal mengalihkan acara (memberikan tongkat) kepada khotib dan berdoa

KH. Rodilansah

Susunan Acara

12.10 – 12.35 WIB Khotib mengucapkan salam KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

Bilal adzan kedua KH. Rodilansah

Khutbah pertama

Bilal melantunkan sholawat KH. Rodilansah

Khutbah kedua

Iqomat KH. Rodilansah

12.35 – 12.45 WIB Sholat berjamaah

12.45 – 13.15 WIB Ramah tamah dengan jamaah (tanya jawab)

KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag.

Host: Usman Hamid – KH. Rodilansah

13Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Page 15: Ed.18 - Buletin Shalat Jum’at Virtual

Informasi Pelaksanaan Shalat Jumʼat Virtual 21 Dzulqaidah 1442 H / 2 Juli 2021

Imam & Khatib:KH. M. Abduh Hisyam, S.Ag. (Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kebumen)

Tema:“Krisis Kualitas Pendidikan Kita”

Bilal:KH. Rodilansah

Takmir:Usman Hamid

Muhammad Haikal

Ainun Dwiyanti

Miya Irawati

Pradhana Adimukti

Parid Ridwanuddin

Indah Ariani

Hatib Rahmawan

Raafi Ardikoesoema

Abduh Hisyam

Anindya

14

Pengarah

& Tim Pelaksana

KH. Mukti Ali Qusyairi, KH. Rodilansah, Usman Hamid, Andar Nubowo, Syafieq Alilha, Anita Wahid, KH. Wawan Gunawan Abdul Wahid

Buletin Jumʼat #18: Juli 2021 |

Juni 2021