9
72 PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH Pangulu Abdul Karim Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Medan e-mail: [email protected] Abstract: Islam is the most perfect religious teachings passed down by Allah SWT, because it regulates and guides the way of human life in all aspects, both aqeedah, muamalat and munakahat. Thus, one of the goals of the decline of Islam is to perfect human behavior and morals. That is why the scholars, among others, Ibn Miskawaih formulated the science of morals intended as a medium that allows the establishment of good relations between humans and Allah SWT. and good relations between humans and fellow beings, therefore the character in human life occupies a very important place, both as individuals and as a society and nation. Keyword: Education, Morals, Ibn Miskawaih. PENDAHULUAN Akal merupakan salah satu anugrah Allah SWT, yang paling istimewa bagi manusia sudah menjadi sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir Karena manusia di- lahirkan belum mengetahui apa-apa. Dua sumber pengetahuan yang diperoleh oleh manusia, yaitu pengetahuan yang diper- oleh melalui wahyu dan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indra. Demikian halnya Ibnu Miskawaih se- orang anak yang tumbuh berkembang seperti manusia lainnya, mencari ke- benaran baik dari melalui penelitian, pelatihan untuk mendapatkan pengalam- an dan dari pengalaman ia terinspirasi untuk mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia, baik menyangkut kehidupan manusia dan alam sekitarnya, sehingga dalam berbagai literatur, ia juga menulis tentang kajian kedokteran, sejarah, ba- hasa, filsafat dan lainnya. Sehingga Ibnu Miskawaih tumbuh menjadi seorang filosof muslim yang termaktub dalam sejarah pemikiran. Ibnu Miskawaih hidup di tengah- tengah situasi masyarakat yang mem- perihatinkan, kehidupan lingkungannya yang diwarnai praktik-praktik amoral seperti perzinahan, perjudian, perkosaan, penganiayaan dan lainnya. Alasan ini agaknya menjadi alasan Ibnu Miskawaih untuk lebih berkonsentrasi mengkaji ilmu yang menyangkut akhlak atau moral manusia karena dengan moral yang baik akan tercipta suasana masyarakat yang damai dan bersahaja. RIWAYAT HIDUP IBNU MISKAWAIH Ibnu Miskawaih adalah salah se- orang filosof muslim yang paling banyak mengkaji dan mengungkapkan persoalan- persoalan akhlak. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 932 M. dan meninggal di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 41 H atau 16 Februari 1030 M. Informasi meninggalnya Ibn Maskawaih tidak banyak diketahui karena kelangkaan berita yang ditulis oleh para sejarawan, di samping Ibn Miskawaih sendiri tidak pernah menuliskan otobiografinya. Se- belum menganut agama Islam, Ibn Miskawaih adalah seorang pemeluk agama majusi. Namun setelah masuk Islam, ia merupakan seorang sarjana yang taat dalam menjalankan agamanya. Perihal

Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

  • Upload
    others

  • View
    14

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

72

PENDIDIKAN AKHLAK IBNU MISKAWAIH

Pangulu Abdul Karim

Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatera Utara Medan

e-mail: [email protected]

Abstract: Islam is the most perfect religious teachings passed down by Allah SWT, because it regulates and guides the way of human life in all aspects, both aqeedah, muamalat and munakahat. Thus, one of the goals of the decline of Islam is to perfect human behavior and morals. That is why the scholars, among others, Ibn Miskawaih formulated the science of morals intended as a medium that allows the establishment of good relations between humans and Allah SWT. and good relations between humans and fellow beings, therefore the character in human life occupies a very important place, both as individuals and as a society and nation.

Keyword: Education, Morals, Ibn Miskawaih.

PENDAHULUAN Akal merupakan salah satu anugrah

Allah SWT, yang paling istimewa bagi manusia sudah menjadi sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir Karena manusia di-lahirkan belum mengetahui apa-apa. Dua sumber pengetahuan yang diperoleh oleh manusia, yaitu pengetahuan yang diper-oleh melalui wahyu dan pengetahuan yang diperoleh melalui panca indra.

Demikian halnya Ibnu Miskawaih se-orang anak yang tumbuh berkembang seperti manusia lainnya, mencari ke-benaran baik dari melalui penelitian, pelatihan untuk mendapatkan pengalam-an dan dari pengalaman ia terinspirasi untuk mengkaji lebih dalam tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan manusia, baik menyangkut kehidupan manusia dan alam sekitarnya, sehingga dalam berbagai literatur, ia juga menulis tentang kajian kedokteran, sejarah, ba-hasa, filsafat dan lainnya. Sehingga Ibnu Miskawaih tumbuh menjadi seorang filosof muslim yang termaktub dalam sejarah pemikiran.

Ibnu Miskawaih hidup di tengah-tengah situasi masyarakat yang mem-

perihatinkan, kehidupan lingkungannya yang diwarnai praktik-praktik amoral seperti perzinahan, perjudian, perkosaan, penganiayaan dan lainnya. Alasan ini agaknya menjadi alasan Ibnu Miskawaih untuk lebih berkonsentrasi mengkaji ilmu yang menyangkut akhlak atau moral manusia karena dengan moral yang baik akan tercipta suasana masyarakat yang damai dan bersahaja.

RIWAYAT HIDUP IBNU MISKAWAIH

Ibnu Miskawaih adalah salah se-orang filosof muslim yang paling banyak mengkaji dan mengungkapkan persoalan-persoalan akhlak. Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Khazin Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibn Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 932 M. dan meninggal di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 41 H atau 16 Februari 1030 M. Informasi meninggalnya Ibn Maskawaih tidak banyak diketahui karena kelangkaan berita yang ditulis oleh para sejarawan, di samping Ibn Miskawaih sendiri tidak pernah menuliskan otobiografinya. Se-belum menganut agama Islam, Ibn Miskawaih adalah seorang pemeluk agama majusi. Namun setelah masuk Islam, ia merupakan seorang sarjana yang taat dalam menjalankan agamanya. Perihal

Page 2: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Pangulu Abdul Karim |73

kemajusiaanya banyak dipersoalkan oleh para sejarawan, Jurji Zaidan berpendapat bahwa Ibn Maskawaih beragama majusi lalu beragama Islam. Sedangkan Yaqut berpendapat neneknyalah yang majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya sejak lahir Ibnu Maskawaih sudah beragama Islam terbukti dengan nama Ayahnya yang dimulai dengan nama Muhammad.1 Banyak penulis berpendapat bahwa Ibnu Miskawaih, seperti tersebut di atas di-dasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk meng-abdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi (salah satu kerajaan Syi’ah yang meng-gantikan posisi Daulah Abbasiyah di Irak sekitar 932-1055 M2. Dari segi latar bela-kang pendidikannya tidak diketahui pasti.

Namun demikian, dapat diprediksi-kan bahwa ia memperoleh pendidikan seperti anak-anak seusianya. Ahmad Amin mendeskripsikan bahwa pendidikan anak pada masa Abbasiyah saat itu pada umum-nya anak-anak mulai belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu), dan Arud (ilmu membaca dan membuat syai’ir). Pelajaran-pelajaran ter-sebut diselenggarakan di surau-surau dan di rumah-rumah bagi keluarga yang mampu mendatangkan guru private bagi anak mereka. Setelah ilmu dasar itu di-berikan, dilanjutkan dengan mata pela-jaran ilmu fikih, hadis, sejarah Arab Persi khususnya dan India, dan matematika. Selain itu, diberikan pula pelajaran-pelajaran ilmu praktis seperti musik, main catur, dan furusiah (ilmu militer)3.

Aktivitas intelektual Ibn Miskawaih dimulai dengan belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad Ibn Kamil al-Qadhi. Selanjutnya ia belajar filsafat kepada Ibn al

1Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam,

(Jakarta: Gaya Media Pratama, hal. 56. 2002), h. 56. 2 Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R.

Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta : Serambi, 2010), h. 599.

3Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, (Cairo: Mak-tabah al-Nahdhah al-Misriyyah, 1974), h. 66-69.

Khammar, seorang komentator atas karya-karya Ariestoteles. Disamping itu, ia juga belajar kimia dari Abi al-Tayyibah al-Razi, seorang ahli kimia terkenal di zamannya. Karena keahliannya dalam berbagai ilmu, Iqbal mengelompokkannya sebagai seorang pemikir, moralis, dan sejarawan Parsi yang paling terkenal4. Ibnu Miskawih hidup pada masa pemerin-tahan Abbasiyah yang berada dibawah kekuasaan Bani Buwaihi yang beraliran Syi’ah dan berasal dari keturunan Persi.

Zaman keemasan Bani Buwaihi adalah pada masa “Azud al-Daulah” yang berkuasa pada tahun 367-372 H (949-983 M)5. Pada masa inilah Ibnu Miskawaih mendapat kepercayaan untuk menjadi bendaharawan Azud Al-Daulah, dan pada masa ini pula Ibnu Miskawaih terkenal sebagai seorang filosof, dokter, penyair, dan ahli bahasa6. Selain itu Ibnu Miska-waih juga banyak bergaul dengan para ilmuan semasanya seperti Abu Hayyan al-Tauhidi, Yahya Ibnu A’di dan Ibnu Sina. Ibnu Miskawaih juga dikenal sebagai sejawaran besar yang kemasyurannya melebihi pendahulunya, Al-Thabari, w. 3190 H/932M7. Dari berbagai disiplin ilmu yang dikuasainya, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian besar kepada masalah akhlak sehingga ia dikenal sebagai seorang pemikir muslim dalam bidang ini.

KARYA-KARYA IBNU MISKAWAIH

Ibnu Miskawaih ialah seorang pujangga yang memiliki keahlian dalam bermacam-macam ilmu, terutama ilmu sejarah, ilmu kedokteran dan ilmu dalam kebudayaan Islam pada zamannya. Dan oleh karena itu beberapa diantaranya

4 M. Syarief, Para Filosof Muslim, (Bandung:

Mizan, 1998), h. 84. 5 Hasan Ibrahin, Tarikh al-Islam, (Cairo: tp.

1955), Juz. 1 h. 579 6 Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam,

(Jakarta: Raja Grafindo, 1998), h. 71. 7 B.H. Shiddiqui, Miskawaih on The Purpose

of Historiography dalam The Muslim World, (USA, The Hartford Seminary Foundation, 1972), h. 21.

Page 3: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

74 | Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih

sampai sekarang masih menjadi bahan penyelidikan dan sudah banyak diter-jemahkan orang dalam bahasa Eropa dan Asia. Keseluruhan karyanya berjumlah 18 buah yang sebagian besar mengkaji masalah jiwa dan akhlak. Keahlian Ibnu Miskawaih dibuktikan dengan karya tulis-nya berupa buku dan artikel. Semua karya-karyanya tidak luput dari kepen-tingan pendidikan akhlak (tahzib al-Akhlak), diantara karyanya adalah : 1. Al-Fauz al-Akbar 2. Al-Fauz al-Asghar 3. Tajarib al-Umam (sebuah sejarah ten-

tang banjir besar yang ditulis pada tahun 369 H/979 M)

4. Usn al-Farid (kumpulan anekdot, syair, pribahasa dan kata-kata mutiara).

5. Tartib al-Sa’adah (tentang akhlak dan politik)

6. Al-Musthafa (syair-syair pilihan) 7. Jawi dan Khirad (kumpulan ungkapan

bijak) 8. Al-Jami’ 9. Al-Syiar (tentang aturan hidup) 10. Tentang Pengobatan Sederhana (ke-

dokteran) 11. Tentang komposisi Bajat (seni me-

masak) 12. Kitab Al-Asyribah (minuman) 13. Tahzib al-Akhlak (mengenai akhlak) 14. Risalah fi al-Ladzdzat wa-Alam fi

Jauhar al-Nafs (naskah di Istanbul, Raghib majmu’ah di Istanbul)

15. Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wal-Aql (dalam majmu’ah tersebut di atas dalam raghib majmu’ah di Istanbul)

16. Al-Jawab fi al-Masa ‘il al-Tsalats (nas-kah di Taheran, Fihrist Maktabat al-Majlis, II no. 634 (31)).

17. Risalah fi Jawab fi su’al Ali bin Muham-mad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqat al-Aql (Perpustakaan Mashhad di Iran, I No. 43 (137).

18. Thaharat al-Nafs (Naskah di Koprulu Istanbul No. 7667).

Mengenai urutan karya-karyanya kita hanya mengetahui dari Miskawaih sendiri bahwa al-Faruz al-Akbar ditulis al-

Farus al-Asghar dan Tahzib al-akhlak ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.

PANDANGAN IBNU MISKAWAIH TENTANG AKHLAK

Ditinjau dari segi etimologi, kata akhlak (dari bahasa Arab) merupakan bentuk jamak dari kata khulq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabi’at.8 Sementara di dalam al-Mu’jam al-Wasit Ibrahimm Anis menyebutkan pengertian akhlak sebagai berikut: ”Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengan sifat itu lahirlah macam-macam perbuatan baik dan buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertim-bangan.9 Senada dengan pengertian ini, al-Ghazali juga menyatakan bahwa Akhlak itu adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam per-buatan dengan mudah, tanpa melakukan pemikiran dan pertimbangan10.

Dari beberapa definisi di atas, dapat dipahami bahwa akhlak itu adalah suatu kondisi atau sifat yang meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian sehingga dari kepribadian ini menjadi timbul ber-bagai macam perbuatan dengan cara spontan tanpa dibuat-buat dan tanpa melakukan pemikiran terlebih dahulu. Bila dari kondisi tersebut timbul kelakuan baik dan terpuji menurut pandangan syari’at dan akal pikiran, maka ia dinamakan akhlak mulia dan sebaliknya bila yang lahir adalah perbuatan yang tidak baik, maka disebut akhlak tercela.11

Para ulama dewasa ini sering mengemukakan masalah berkenaan dengan kriteria perbuatan akhlak. Artinya, apakah krteria yang harus dimiliki suatu perbuatan, sehingga perbuatan tersebut mendapat status perbuatan akhlaki?.

8 Luwis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-

A’lam, (Beirut: Dar al-syuruq, 1960), h. 87. 9 Ibrahim Anis, Al-Mu’jam al-Wasit, (Mesir:

Dar al-Ma’arif, 1972), h.202. 10 Asmaran, AS. Pengantar Studi Akhlak.

(Jakarta: CV. Rajawali, 1992), h. 3. 11 Asmaran, AS. Pengantar Studi…, h. 3

Page 4: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Pangulu Abdul Karim |75

Keistimewaan apakah yang harus dimiliki oleh suatu perbuatan sehingga dapat dikatakan sebagai perbuatan akhlaki atau sebagai perbuatan alami.

Berkenaan dengan masalah diatas, Murtadha Muthahhari menyatakan bahwa Perbuatan alami tidak akan menjadikan pelakunya layak dipuji. Ia memberikan contoh perbuatan alami ini, ketika sese-orang merasa lapar, maka ia akan makan, dan tatkala ia haus maka ia akan mencari air untuk mengobati rasa haus, dan di saat dirinya dihina orang, maka ia akan ber-usaha untuk membela diri dan meme-lihara hak-haknya, dan seterusnya. Semua jenis perbuatan diatas dinamakan per-buatan alami. Selain itu ada sejumlah per-buatan yang tingkatnya lebih tinggii dan lebih bernilai daripada perbuatan alami di atas. Misalnya ‘berterima kasih” bila men-dapat perbuatan baik dari seseorang. Rasa terimah kasih itu dapat diwujudkan dalam bentuk ucapan atau perbuatan. Dalam bentuk perbuatan, mungkin seseorang akan memberikan hadiah kepada orang yang telah berbuat baik kepadanya. Ia tidak mengahapus balasan apaun dengan hadiah itu. Jenis perbuatan inilah dinama-kan perbuatan akhlaki.12

Sebagian orang mendefinisikan per-buatan akhlaki sebagai perbuatan yang di-lakukan untuk orang lain atau bertolak dari perasaan mencintai orang lain dengan syarat bahwa perbuatan itu diperoleh dari hasil usahanya sendiri, bukan alami13. Mereka menyatakan demikian karena semua orang memahami bahwa akhlaki identik dengan usaha. Suatu perbuatann dapat disebut perbuatan akhlaki jika manusia melakukannya dengan penuh kesungguhan14. Dengan demikian per-buatan akhlaki itu merupakan lawan dari perbuatan alami. Perbuatan alami adalah perbuatan yang dilakukan tanpa adanya

12 Murtadha Murhahhari, Falsafah Akhlak,

(ttp: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, tt), h. 230 13 Murtadha Murhahhari, Falsafah..., h. 233 14 Taufiq al-Thawil, Falsafah al-Akhlaq, (ttp:

dar al-Nahdhah al-’Arabiyah, tt). h. 230.

upaya, atau dengan kata lain perbuatan yang karenanya adalah perasaan alami. Selain itu perbuatan yang diperuntukkan untuk diri sang pelaku juga termasuk jenis perbuatan alami.

Di samping itu, keputusan akal manusia juga merupakan tolokukur yang harus diperperangi. Oleh karena itu pen-didikan intelektual tidak dapat dipisahkan dari upaya pendidikan akhlak. Ajaran agama harus dihayati dan dicerna dengan sebaik-baiknya oleh akal manusia, sehing-ga akal dapat memberikan keputusan yang tepat dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan. Daya akal merupa-kan kekuatan yang dapat mengatasi dorong-dorongan nafsu yang banyak di-pengaruhi kebutuhan-kebutuhan fisik.

Adapun perbuatan manusia yang dimasukkan perbuatan akhlak yaitu: Per-buatan yang timbul dari seseorang yang melakukannya dengan sengaja, dan dia sadar diwaktu dia melakukannya. Inilah yang disebut perbuatan-perbuatan yang dikehendaki atau perbuatan yang disadari. Adapun perbuatan-perbuatan yang timbul dari seseorang yang tidak dengan kehen-dak dan tidak sadar di waktu dia berbuat. Inilah yang disebut perbuatan samar yang tidak dengan ikhtiari.15

Dalam menempatkan suatu per-buatan bahwa ia lahir dengan kehendak dan disengaja sehingga dapat dinilai baik atau buruk ada beberapa syarat yang perlu diperhatikan: Situasi yang memung-kinkan adanya pilihan (bukan karena adanya paksaan), adanya kemauan, bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja. Tahu apa yang dilakukan, yaitu mengenai nilai-nilai baik-buruknya.16

Suatu perbuatan dapat dikatakan baik atau buruk manakala memenuhi syarat-syarat di atas. Kesengajaan me-rupakan penentu dalam menetapkan nilai tingkah laku atau tindakan seseorang.

15 Rahmat Djatnika, Sistem Ethika Islam

(Akhlak Mulia), (Surabaya: Pustaka, 1987), h. 46. 16 Rahmat Djatnika, Sistem Ethika…, h. 47

Page 5: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

76 | Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih

Ibnu Miskawaih dikenal sebagai Bapak Akhlak Islam. Ia telah merumuskan dasar-sadar akhlak di dalam kitabnya Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-Araq (pen-didikan budi dan pembersih akhlak). Nilai-nilai pendidikan sebagaimana yang dimak-sudkan Miskawaih di isyaratkannya dalam awal kalimat kitab Tahzib al-Akhlak ialah terwujudnya pribadi yang berakhlak, ber-watak, dan berperilaku luhur, atau ber-budi pekerti mulia. Untuk mencapai nilai-nilai ini haruslah melalui pendidikan dan untuk melaksanakan pendidikan perlu mengetahui watak manusia atau budi pekerti manusia.

Ibnu Miskawaih seorang moralis yang terkenal, hampir setiap pembahasan akhlak dalam Islam, filsafat ini selalu dapat perhatian utama, keistimewaan yang menarik dan tulisannya ialah pem-bahasan yang didasarkan pada ajaran Islam dan kombinasikan dengan pemi-kiran yang lain sebagai pelengkap, seperti filsafat Yunani dan Persia, yang dimaksud sumber pelengkap adalah sumber lain baru diambil jika sejalan dengan ajaran Islam dan sebaliknya ia tolak, jika tidak demikian.17

Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan bentuk jamak dari khuluq yang berarti keadaan jiwa yang mengajak seseorang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diper-hitungkan sebelumnya. Sehingga dapat dijadikan fitrah manusia maupun hasil dari latihan-latihan yang telah dilakukan, hingga menjadai sifat diri yang dapat melahirkan khuluk yang baik.

Menurut Ibnu Miskawaih al-Khuluq (watak) itu ialah suatu kondisi jiwa yang mendorong untuk melahirkan tingkah laku tanpa pikir dan pertimbangan (tingkah laku spontan) yang mendalam. Kondisi ini terbagi dua, pertama, ada yang alami seperti sifat pada seseorang yang mudah terpengaruh/bereaksi oleh suatu

17 Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlak, Terj.

Helmi Hidayat. (Bandung:Mizan, 1997), h. 56.

hal yang sederhana. Umpama marah di-sebabkan suatu faktor yang kecil, atau takut sebab yang sederhana dan lain-lain seperti mudah kaget karena dengan suara gemerisik, mudah sedih, mudah senang, mudah tertawa disebabkan hal yang sederhana18. Kedua, tercipta melalui ke-biasaan dan latihan. Pada mulanya keada-an ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian karena terus menerus dilakukan menjadi sebuah karak-ter atau akhlak. Jadi, akhlak menurut konsep Ibnu Maskawaih , ialah suatu sikap mental atau keadaan yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan per-timbangan.19

Berdasarkan ide di atas, secara tidak langsung Ibnu Maskawaih menolak pan-dangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Miskawaih akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendi-dikan-pendidikan dan latihan-latihan, pemikiran seperti ini sejalan dengan pemikiran dan ajaran Islam karena secara eksplisit telah mengisyaratkan kearah ini dan pada hakikatnya syariat agama ber-tujuan untuk mengokohkan dan memper-baiki akhlak manusia, karena kebenaran ini tidak dapat dibantah sedangkann sifat binatang saja bisa berubah dari liar men-jadi jinak, apalagi akhlak manusia.20

Menurut Miskawaih, ada kalanya manusia mangalami perubahan akhlak sehingga dibutuhkan aturan-aturan sya-riat, nasihat, dan ajaran-ajaran tradisi ter-kait sopan santun. Ibnu Maskawaih mem-perhatikan pula proses pendidikan akhlak pada anak. Dalam pandangannya, kejiwa-an anak-anak seperti mata rantai dari jiwa kebinatangan dengan jiwa yang berakal. Menurut dia, pada jiwa anak berakhirlah batas ufuk hewani dan ufuk manusiawi

18 Hasyimsyah Nasution, Filsafat..., h. 61. 19 Hasyimsyah Nasution, Filsafat..., h. 61. 20 Hasyimsyah Nasution, Filsafat..., h. 62.

Page 6: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Pangulu Abdul Karim |77

dimulai. Oleh karena itu, anak-anak harus dididik dengan akhlak mulia.21

Menurut Ibnu Miskawaih akhlak itu adalah al-Khair (kebaikan), as-Sa’adah (kebahagiaan), dan al- Fadhilah (keutama-an). Menurut Miskawaih kebaikan adalah keadaan dimana kita sampai pada batas akhir kesempatan wujud. Menurutnya ke-bahagiaan tertinggi adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek; aspek teoritis yang selalu berfikir pada hakekat wujud dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang melahirkan per-buatan baik dalam menempuh perjalanan-nya meraih kebahagian tertinggi tersebut manusia selalu berpegang pada nilai-nilai syariat, sebagai petunjuk jalan mereka.

Menurut Plato kebahagian yang sebenarnya adalah kebagahagian rohani. Hal ini dapat diperoleh manusia apabila rohaniyah telah terpisah dengan jasadnya. maka selama rohaniyah masih terikat pada jasadnya yang selalu menghalangi-nya mencari hikmah, kebahagian dimak-sud tidak akan tercapai, sebaliknya Aristo-teles berpendapat bahwa kebahagian dapat dicapai dalam kehidupan di dunia ini, namun kebahagian tersebut berbeda diantara manusia, seperti orang miskin kebahagiannya adalah kekayaan, yang sakit kebahagiannya adalah pada kese-hatan dan lainnya.22

Ibnu Miskawaih mengkompromikan dua pendapat di atas, menurutnya kebaha-giaan itu bisa diperoleh oleh jasmani dan rohani. Kebahagian itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terikat pada hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagian dengannya, namun ia tetap berkeinginan akan kebahagian rohani, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manu-sia yang melepaskan diri dari keter-tarikannya kepada benda dan memper-oleh kebahagiannya lewat rohani. Ke-bahagiaan yang bersifat benda tidak dapat diingkari, tetapi di pandangnya sebagai

21 Hasyimsyah Nasution, Filsafat..., h. 66. 22 Hasyimsyah Nasution, Filsafat..., h. 64.

ayat-ayat Allah. Kebahagian bersifat materi menurut pandangan Ibnu Miska-waih akan melahirkan penyesalan dan kesengsaraan, serta menjadi penghambat bagi rohani untuk menuju Allah23.

Menurut Ibnu Miskawaih jika jiwa manusia ada tiga, jiwa al-Nafs al Bahi-miyyah (keinginan), jiwa al-Nafs as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah (berani), dan jiwa al-Nafs al-Natiqah (berfikir/rasional). Posisi tengah jiwa al-Bahimiyyah adalah menjaga kesucian diri, posisi tengah jiwa as-Sabu’iyyah/al-Ghadabiyyah adalah ke-beranian, dan terakhir adalah jiwa al-Natiqah adalah kebijaksanaan. Adapun gabungan dari posisi tengah/keutamaan semua jiwa tersebut adalah keadilan/ keseimbangan. Dan alat yang dijadikan ukuran untuk memperoleh sikap per-tengahan adalah akal dan syariat.24 Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebajikan, yaitu hikmah, keberanian dan kesederhanaan.25 Setiap manusia memiliki potensi asal yang baik dan tidak akan berubah menjadi jahat, begitu pula manusia yang memiliki potensi asal jahat sama sekali tidak akan cenderung kepada kebajikan, adapun mereka yang bukan berasal dari keduanya maka golongan ini dapat beralih pada kebajikan atau kejahatan, tergantung pada pola pendidikan, pengajaran dan per-gaulan.

Sementara nilai-nilai keutamaan yang harus menjadi perhatian ialah pada aspek jasmani dan rohani. Ia pun meng-haruskan keutamaan pergaulan anak-anak pada sesamanya mestilah ditanamkan sifat kejujuran, qona’ah, pemurah, suka mengalah, mengutamakan kepentingan orang lain, rasa wajib ta’at, menghormati kedua orang tua, serta sikap positif lain-nya.

Menurut Ibnu Miskawaih Tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong me-

23 Hasyimsyah Nasution, Filsafat..., h. 65. 24 Ibnu Miskawaih, Tahzib…, h. 68 25 Hasyimsyah Nasution, Filsafat..., h. 68

Page 7: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

78 | Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih

lakukan perbuatan yang bernilai baik atau pribadi susila, sehingga akan memperoleh kebahagian di sisi Allah di akhirat kelak dan hidup dengan perilaku yang baik di dunia. Dengan begitu diharapkan akan memperoleh kebahagian (al-Sa’adah)26.

Dalam mewujudkan sikap batin yang mampu mendorong perbuatan yang ber-nilai baik, menurut Ibnu Miskawaih dapat dilakukan dengan keharusann meluruskan perangai berlandaskan penalaran dan pemikiran yang benar, sehingga perbuatan akan terwujud dengan mulus. Ibnu Miska-waih menganalisis kebahagian manusia. Kebahagian dimaksudkan harus menjadi tujuan tertinggi dengan akal suatu yang paling mulia pada diri manusia.27

Menurutnya, manusai memiliki dua kebajikan pertama, adalah kebajikan rohani yang dengannya ia dapat mencapai kebahagian menyamai ruh-ruh yang baik (ruh malaikat) dan kedua, adalah keba-jikan jasmani, yang dengannya ia dapat mencapai kebahagian menyamai binatang. Dengan berbekal fisik dengannya ia menyamai binatang, manusia tinggal di dalam dan akan mendapat kebahagian yang relatif singkat untuk memakmurkan bumi ini. Apabila ia telah mencapai derajat kesempurnaan dalam mengemban tugas kemanusiaannya, dia akan berpindah ke alam tinggi dan tinggal disana penuh ke-abadian dan kesentosaan bersama para malaikat atau ruh-ruh yang baik.28 Dengan demikian kebahagian yang paling tinggi adalah kebajikan yang bersifat ilahi, yaitu perbuatan yang seluruhnya sudah menjadi perbuatan illahi dan keluar dari diri sejati yang merupakan akal yang bersifat ilahi, dan essensi realnya berarti essensi-Nya juga. Kalau manusia sudah mencapai ting-

26 Busyairi Majidi, Konsep Pendidikan Islam

Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: Al-Amin Press, 1997), h. 70.

27 Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Instusionalis Islam, (Jakarta:Serambi, 2001), h. 310.

28 Ibnu Miskawaih, Tahzib…, h. 94-96

katan ini, maka jiwa hewaninya akan hilang dan digantikan dengan jiwa akal.

Untuk itu manusia harus berusaha mencapai kebajikan terakhir akan tetapi karena kebajikan bukanlah sesuatu yang bersifat alami dalam diri manusia, maka harus diusahakan. Karenanya menjadi suatu kebajikan untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan pergaulan. Pengetahuan yang paling penting bagi anak kecil adalah pengetahuan syari’at, sebab itu adalah kewajiban guna mene-rima kebijaksanaan dan mencari keutama-an dan kebahagian.

Demikian arah dan orientasi tujuan pendidikan akhlak Ibnu Miskawaih yang berusaha mewujudkan peserta didik yang berakhlak mulia dan mempunyai ilmu pengetahuan yang memadai, sehing-ga akan memperoleh kebahagian dunia dan di akhirat secara sempurna. Disamping itu yang patut di banggakan dalam pendi-dikan akhlak Ibnu Miskawaih adalah ber-orientasi untuk membentuk manusia yang berkepribadian utama atau manusia yang berkepribadian muslim atau insani kamil, sehingga orientasi pendidikan akhlak ber-sesuaian dengan formulasi rumusan tujuan pendidikan Islam.

Di era modren ini arus informasi yang begitu banyak dan beragam telah ter-sebar di berbagai media. Arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. Apakah nilai-nilai tersebut bersifat positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah berlaku di dalam masyrakat dan yang lebih penting lagi pengaruh globalisasi adalah pengaruh nilai-nilai materialisme, konsumerisme, hedonisme, dan kekerasan yang dapat masuk merusak moral masyarakat.29

Dalam menghadapi globalisasi ter-sebut sebaiknya kita tidak boleh bersikap

29 Shindunata, Menggagas Pendidikan Baru

Pendidikan Demokrasi, Otonomi, Civil Society Globalisasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), h. 106-107.

Page 8: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

Pangulu Abdul Karim |79

apriori menolak apa saja yang datang ber-sama arus globalisasi itu, misalnya dengan dalih itu semua adalah budaya dan nilai-nilai Barat yang bersifat negatif. Sebalik-nya kita harus bersikap selektif dan ber-usaha menfilter nilai-nilai dan menanam-kan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka hadapi dan alami.

Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat diwujud-kan bila ia hanya mengandalkan pendi-dikan formal, informal maupun nonformal harus difungsikan secara integral. Di-samping itu, pendidikan harus diarahkan secara seimbang antara aspek kognitif (berfikir, memahami), afektif (bersikap, emosi) dan psikomotorik. Pendidikan mempunyai peran penting dalam men-sosialisasi nilai-nilai akhlak kepada peserta didik, maka diperlukan sistem pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan zaman. Untuk itu diperlukan reformulasi terhadap pendi-dikan Islam, dimana pendidikan Islam harus bersifat seimbang antara tujuan yang bersifat duniawi dan ukhrawi serta tidak kalah pentingnya adalah diperlukan penanaman akhlak pada peserta didik. Penanaman akhlak pada peserta didik ini harus seimbang antara akhlak yang berdimensi rasional (akhlak rasional) dan akhlak yang berdimensi murni (akhlak

religius), sehingga hasil akhir pendidikan Islam diharapkan akan mampu mewujud-kan pribadi-pribadi yang mempunyai kecerdasan tinggi dan sikap religius yang mapan.

Mengingat pentingnya pembinaan akhlak, Ibnu Miskawaih memberikan perhatian yang sangat besar terhadap akhlak manusia. Sehingga untuk membentuk akhlak yang sempurna dan sesuai dengan fitrah manusia, ia menempatkan pendidikan akhlak yang harus dimulai dari sejak dini atau masa kanak-kanak. PENUTUP

Ibnu Miskawaih yang dikenal sebagai ahli filosof maka akhlak yang dikembangkan lebih dekat bila dikatakan sebagai etika religius-filosofis, karena pemikiran yang diutarakan selalu didasarkan atas tuntunan ajaran Islam. Sementara itu, ia juga mengambil pemikiran-pemikiran filosof terdahulu sebagai landasan berfikir dalam mengembangkan etikanya. Salah satu keunggulan etika Ibnu Miskawaih adalah dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bukunya Thazib al-Akhlak, Ibnu Miskawaih menyatakan bahwa etika yang dikembangkan bertujuan untuk membina kepribadian murid-murid agar mereka menjdai insani kamil (manusia paripurna) yang bertindak sebagaimana tindakan Nabi Muhammad SAW.

DAFTAR BACAAN

Al-Thawil, Taufiq, Falsafah al-Akhlaq, ttp: dar al-Nahdhah al-’Arabiyah, tt.

Amin, Ahmad, Dhuha al-Islam, Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Misriyayyah, 1974.

Anis, Ibrahim, Al-Mu’jam al-Wasit. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972.

AS. Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: CV. Rajawali, 1992.

Djatnika, Rahmat, Sitem Ethika Islam (Akhlak Mulia), Pustaka, Surabay, 1987

Hitti, Philip K., History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Hakim dan Dedi Slamet Riyadi Jakarta: Serambi, 2010.

Ibnu Miskawaih, Tahzib al-Akhlak, Terj. Helmi Hidayat, Bandung:Mizan, 1997.

Page 9: Dosen Tetap Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN

ITTIHAD, Vol. IV, No. 1, Januari – Juni 2020 • p-ISSN: 2549-9238• e-ISSN: 2580-5541

80 | Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih

Ma’luf, Luwis, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam, Beirut: Dar al-Masyuruq, 1960.

Majidi, Busyairi, Konsep Pendidikan Islam Para Filosof Muslim, Yogyakarta : Al-Amin Press, 1997.

Muthahhari, Murtadha, Falsafah Akhlak, ttp: Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, tt.

Nasution, Hasyimsyah, Filsafa Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

Shiddiqui, B.H., Miskawaih on The Purpose of Historiography dalam The Muslim World, USA, The Hartford Seminary Foundation, 1972.

Shindunata, Menggagas Pendidikan Baru Pendidikan Demokrasi, Otonomi, Civil Society Globalisasi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Shubhi, Ahmad Mahmud, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Instusionalis Islam, Jakarta: Serambi, 2001.

Syarief, M.M., Para Filosof Muslim, Bandung: Mizan, 1998.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo, 1998.