View
73
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
.
Citation preview
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Jl. TAMAN SUROPATI NO. 2. JAKARTA 10310
DISTRIBUSI TANAH NEGARA
D O K U M E N T E K N I S - 1
NASKAH AKADEMIS PERATURAN - PERATURAN TENTANG DISTRIBUSI TANAH
Tenaga Ahli :
1. Sulaefi, Ph.D. 2. Dr. Agus Surono, S.H., M.H. 3. Drs. Herry Yogaswara, M.A.
LAND MANAGEMENT AND POLICY DEVELOPMENT PROJECT ( LMPDP )
IBRD Loan No. 4731 – IND and IDA Credit No. 3884 – IND
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas i
Daftar Isi
Halaman Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………… i Daftar Tabel ……………………………………………………………………………………………. iii Daftar Gambar………………………………………………………………………………………… iv BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ..…………………………………………………………………. I-1
I.2. Permasalahan .…………………………………….................................... I-2 I.3. Maksud dan Tujuan ……………………….………………….….…............. I-3 I.4. Sistematika ................................................................................... I-4
BAB II ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN REDISTRIBUSI TANAH DI
INDONESIA
II.1. Kajian Tentang Redistribusi Tanah ........................................... II-1 II.2. Kebijakan Distribusi Tanah Yang Pernah Dilakukan
Pemerintah Indonesia .................................................................. II-4
BAB III ANALISIS DAN EVALUASI KERANGKA HUKUM DISTRIBUSI
TANAH
III.1. Analisis terhadap pengaturan Distribusi Tanah Dalam
Berbagai Peraturan Perundang-Undangan .............................. III-1
III.2. Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang Distribusi Tanah …..……………………………………………..
III-6
BAB IV ARGUMENTASI FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG DISTRIBUSI TANAH
IV.1. Argumentasi Filosofis Pembentukan Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Distribusi Tanah ................... IV-1
IV.2. Argumentasi Sosiologis Pembentukan Undang-Undang Distribusi Tanah .................................................................................
IV-2
IV.3. Argumentasi Yuridis Pembentukan Undang-Undang Distribusi Tanah ........................................................................
IV-3
BAB V RUANG LINGKUP MATERI PENGATURAN TENTANG
DISTRIBUSI TANAH
V.1. Ketentuan Umum ……………………………………………………..….. V-1 V.2. Obyek Distribusi ……………………………………………………..…… V-1 V.3. Penerima Distribusi ……………………………………….….............. V-8 V.4. Satuan Luas Tanah Distribusi ............................................... V-10
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas ii
V.5. Mekanisme Distribusi ........................................................... V-10 V.6. Hak Atas Tanah Distribusi........................................................ V-12 V.7. Perogram Pemberdayaan........................................................ V-12
BAB VI P E N U T U P
VI.1. Kesimpulan .…………………………………………………………………….. VI-1 VI.2. Rekomendasi .………………………………………………………………….. VI-1
Daftar Pustaka
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas iii
Daftar Tabel
Halaman
Tabel 2.1. Skema Program Akses Masyarakat terhadap Hutan ……... II-8
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas iv
Daftar Gambar
Halaman
Gambar 5.1. Mekanisme distribusi tanah negara dan mengurangi konflik sosial ...................................................................
V-11
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas I-1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Permasalahan yang terdapat dalam distribusi tanah menyangkut
beberapa hal. Pertama, siapa yang harus menerima tanah (semua petani,
hanya petani berlahan sempit, buruh tani atau keluarga miskin yang lain)?
Kedua, di mana tanah yang menjadi obyek program distribusi (di Jawa, di
Jawa dan luar Jawa)? Ketiga, berapa luas tanah yang seharusnya diberikan
kepada penerima (ukuran skala ekonomi, tanah pekarangan, lainnya)?
Keempat, tanah apakah yang seharusnya didistribusikan (tanah HGU yang
sudah habis masa berlakunya, tanah yang melebihi batas maksimal
pemilikan, tanah absentee, tanah hak milik di pedesaan)? Kelima, berapakah
biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk kompensasi tanah yang
disitribusikan beserta biaya administrasinya, serta berapakah rumah tangga
yang memperoleh manfaat dari program distribusi tanah ini dan berapakah
biaya per rumahtangga?
Selain kelima masalah tersebut di atas, hal yang penting untuk
diperhatikan mengenai masalah distribusi tanah antara lain meliputi
beberapa persoalan. Pertama, haruskah pihak penerima tanah membayar
harga tanah yang mereka terima? Kedua, haruskah pihak penerima tanah
dilarang untuk mengalihkan hak atas tanahnya untuk periode tertentu?
Ketiga, siapa yang akan berperan serta di dalam panitia distribusi tanah di
desa (atau struktur pemerintahan yang lain) yang akan memutuskan rumah
tangga mana yang akan menerima tanah di tiap desa? Keempat, pada level
pemerintahan yang mana, yang seharusnya mengurusi administrasi program
distribusi tanah, dan bagaimanakah caranya agar program ini dapat berjalan
secara singkat dan cepat dengan mengurangi adanya penundaan dan
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas I-2
menekan biaya administrasi? Kelima, siapakah yang akan memonitor
program distribusi tanah untuk memastikan bahwa tujuan program tersebut
akan tercapai?
Hingga saat ini pengaturan tentang masalah distribusi tanah masih
mengacu kepada ketentuan yang lama yang semangatnya dan kondisi
empirisnya sudah tidak sesuai dengan keadaan saat ini. Beberapa pengaturan
yang terdapat dalam Pasal 17 ayat (3) UUPA yang kemudian ditindaklanjuti
dengan PP No. 224 Tahun 1961 jo PP No. 41 Tahun 1964 tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, masih belum mengatur
secara komprehensif dan tepat untuk kondisi dan situasi saat ini. Pengaturan
yang demikian, dikuatirkan akan mengakibatkan tidak efektifnya
pendistribusian tanah dalam tataran pelaksanaan atau implementasinya.
Oleh karena itu, pilihan penguatan kerangka hukum distribusi tanah baik
apakah dalam bentuk Undang-Undang ataukah dalam bentuk PP yang
merupakan amanat Pasal 17 ayat (3) UUPA menjadi sesuatu yang sangat
penting dan dirasa mendesak.
Untuk keperluan penyusunan peraturan tentang Distribusi Tanah
yang komprehensif dan integratif, maka sesuai dengan amanat Undang-
Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan setiap pengajuan peraturan perundang-undangan (RUU/RPP)
perlu didukung dengan Naskah Akademik yang menguraikan pemikiran-
pemikiran teoritis dan ilmiah mengenai pentingnya ketentuan peraturan
tentang Distribusi Tanah.
I.2. Permasalahan
Naskah Akademik pengaturan tentang Distribusi Tanah ini
difokuskan pada beberapa permasalahan, yaitu:
Pertama, bagaimana teori-teori dan problematika kebijakan yang berkaitan
dengan distribusi tanah yang selama ini diterapkan di Indonesia?
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas I-3
Kedua, apakah regulasi yang ada sudah cukup memadai untuk menjadi
dasar melaksanakan distribusi tanah di Indonesia.
Ketiga, apa yang menjadi argumentasi, baik secara filosofis, sosiologis dan
yuridis mengenai urgensi atau pentingnya pembentukan Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah tentang Distribusi Tanah?
Keempat, bagaimana arah dan jangkauan pengaturan tentang Distribusi
Tanah tersebut apabila dirasa penting untuk menyusun Rancangan Undang-
Undang/Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Distribusi Tanah?
Kelima, bagaimana ruang lingkup materi pengaturan tentang Distribusi
Tanah sebagai suatu Rancangan Undang-Undang/Rancangan Peraturan
Pemerintah?
I.3. Maksud dan Tujuan
Adapun maksud penyusunan ketentuan peraturan perundang-
undangan tentang Distribusi Tanah ini adalah menyusun atau merumuskan
argumentasi pentingnya peraturan perundang-undangan baik berbentuk
undang-undang, peraturan pemerintah maupun peraturan lainnya yang
mengatur tentang Distribusi Tanah melalui penjelasan dan analisis teoritis,
serta konstataring fakta empiris kebijakan distribusi tanah di Indonesia.
Tujuannya adalah untuk melahirkan suatu rumusan pengaturan tentang
Distribusi Tanah yang komprehensif dan integratif, serta efektif sebagai acuan
bagi setiap pihak yang melaksanakan kegiatan distribusi tanah di Indonesia.
Untuk mencapai tujuan tersebut, maka dalam NA ini termuat:
Pertama, teori-teori dan problematika kebijakan distribusi tanah yang
selama ini diterapkan di Indonesia.
Kedua, hasil analisa dan evaluasi kerangka regulasi yang terkait dengan
distribusi tanah.
Ketiga, Argumentasi filosofis, sosiologis dan yuridis mengenai urgensi atau
pentingnya pembentukan peraturan perundang-undangan tentang Distribusi
Tanah.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas I-4
Keempat, Arah dan jangkauan pengaturan dari peraturan perundang-
undangan tentang Distribusi Tanah.
Kelima, ruang lingkup materi peraturan perundang-undangan yang memuat
tentang norma-norma yang berkaitan dengan siapa penerima distribusi,
lokasi distribusi tanah, luas tanah yang akan disitribusikan, jenis tanah yang
akan disitribusikan, serta mekanisme distribusi tanah.
I.4. Sistematika
Naskah Akademik Distribusi Tanah ini terdiri dari 5 (lima) bab,
yaitu:
Bab I : Pendahuluan, menjelaskan latar belakang pentingnya penyusunan
naskah akademik dan penyusunan draft peraturan tentang
Distribusi Tanah, masalah-masalah yang menjadi fokus
pembahasan dalam naskah akademik, rumusan maksud dan tujuan
penyusunan naskah akademik, dan sistematika Naskah Akademik.
Bab II : Kajian kepustakaan dan analisis terhadap kebijakan distribusi
tanah yang pernah dilaksanakan pemerintah Indonesia. Uraian
dalam Bab ini menggambarkan pemikiran-pemikiran teoritis dan
konseptual mengenai distribusi tanah. Uraian dimulai dari
distribusi tanah dan redistribusi tanah, dan kebijakan distribusi
tanah yang pernah dilaksanakan oleh Indonesia. Materi penting
dalam Bab II ini adalah mengenai konstataring fakta mengenai
kebijakan distribusi tanah yang dilakukan di Indonesia. Manfaat
dari uraian teoritis dan kebijakan distribusi tanah adalah
memberikan gambaran mengenai teori, problematika, serta sistem
apa yang dapat diterapkan di kemudian hari. Bab II sekaligus
merupakan hasil evaluasi terhadap kelemahanan sistem dan
metode distribusi tanah yang pernah dilaksanakan di Indonesia.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas I-5
Bab III : Analisa dan Evaluasi Kerangka Hukum Pengaturan Distribusi
Tanah. Substansi analisis dan evaluasi hukum, serta urgensi
pembentukan hukum distribusi tanah dimaksudkan untuk
memberikan gambaran mengenai peraturan perundang-undangan
yang menjadi kerangka hukum dalam melaksanakan distribusi
tanah pada saat ini. Untuk itu, ada dua bagian penting yang
dikemukakan dalam bab tentang analisis dan evaluasi hukum ini,
yaitu pertama mengenai analisis dan evaluasi subtansi mengenai
distribusi tanah dalam berbagai peraturan perundang-undangan
terkait. Kedua urgensi pengaturan distribusi tanah dalam bentuk
Undang-Undang tentang Distribusi Tanah atau dalam Peraturan
Pemerintah.
Bab IV : Argumentasi Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis. Undang-Undang No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan mesyaratkan bahwa pembentukan setiap peraturan
perundang-undangan (Undang-Undang/Peraturan Pemerintah)
perlu didasarkan pada tiga argumentasi yaitu argumentasi
fiolosofis, sosiologis, dan yuridis. Oleh karena itu, salah satu
substansi yang harus terdapat dalam setiap Naskah Akademis
adalah ketiga argumentasi tersebut. Secara metodologis, rumusan
argumentasi fiolosofis, sosiologis, dan yuridis merupakan abstraksi
dari materi-materi yang telah diuraikan dalam pendahuluan, kajian
teoritis dan konstataring empiris kebijakan distribusi tanah di
Indonesia, serta hasil analisa dan evaluasi serta urgensi
pembentukan peraturan perundang-undangan tentang Distribusi
Tanah.
Bab V : Jangkauan dan ruang lingkup materi muatan peraturan
perundang-undangan (RUU /RPP) tentang Distribusi Tanah.
Setelah melakukan analisis teoritis dan praktek kebijakan distribusi
tanah di Indonesia, termasuk analisis dan evaluasi terhadap
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas I-6
kerangka regulasi yang ada, maka naskah akademik ini sampai
pada perumusan mengenai jangkauan dan materi apa saja yang
perlu diatur dalam peraturan (RUU/RPP) tentang Distribusi
Tanah. Jangkauan pengaturan ini diperlukan agar jelas
hubungannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang
terkait dan tidak terjadi benturan materi muatan. Sedangkan
rumusan materi muatan untuk memberikan gambaran pengaturan
yang komprehensif dalam rangka menciptakan peraturan yang
efektif bagi pelaksanaan distribusi tanah.
Bab VI : Penutup, memuat kesimpulan yang tentunya mempertegas
pentingnya peraturan (RUU/RPP) tentang Distribusi Tanah.
Sedangkan rekomendasi memuat langkah-langkah stategis yang
perlu dilakukan dalam rangka mendorong terbentuknya peraturan
(RUU/RPP) tentang Distribusi Tanah.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-1
BAB II
ANALISIS TERHADAP KEBIJAKAN DISTRIBUSI DAN
REDISTRIBUSI TANAH DI INDONESIA
II.1. Kajian Tentang Redistribusi Tanah
Salah satu kegiatan yang cukup penting dalam program land reform
adalah tentang masalah redistribusi tanah. Redistribusi tanah adalah pengambil
alihan tanah-tanah pertanian yang melebihi batas maksimum oleh pemerintah,
kemudian dibagikan kepada para petani yang tidak memiliki lahan. Landasan
hukum dalam kegiatan redistribusi tanah diatur oleh PP No.224 tahun 1961
tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian (LN 1961
No.28, Penjelasan dalamTLN No.2322).
Obyek distribusi tanah dalam program ini dapat dilihat pada Pasal 1 PP
tersebut yang menyatakan bahwa tanah-tanah dalam rangka pelaksanaan
redistribusi tanah yang akan dibagikan menurut ketentuan-ketentuan dalam
peraturan ini adalah:
1) Tanah-tanah selebihnya dari batas maksimum sebagaimana dimaksud
dalam UU No.56 Prp tahun 1960 dan tanah-tanah yang jatuh pada
negara, karena pemiliknya melanggar ketentuan tersebut.
2) Tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah, karena pemiliknya
bertempat tinggal diluar daerah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat 5.
3) Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah beralih kepada
negara, sebagaimana dimaksud dalam diktum keempat huruf A UUPA.
4) Tanah-tanah lain yang dikuasai langsung oleh negara yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-2
Dalam program ini, pihak yang berhak menerima adalah petani yang
sangat membutuhkan yang meliputi (Pasal 8 PPNo.224/1961):
1) Penggarap yang mengerjakan tanah yang bersangkutan;
2) Buruh tani tetap pada bekas pemilik, yang mengerjakan tanah yang
bersangkutan;
3) Pekerja tetap pada bekas pemilik tanah yang bersangkutan;
4) Penggarap yang belum sampai 3 tahun mengerjakan tanah yang
bersangkutan;
5) Penggarap yang mengerjakan tanah hak pemilik;
6) Penggarap tanah-tanah yang oleh pemerintah diberi peruntukan
lain berdasarkan pasal 4 ayat 2 dan 3;
7) Penggarap yang tanah garapannya kurang dari 0,5 Ha;
8) Pemilik yang luas tanahnya kurang dari 0,5 Ha;
9) Petani atau buruh tani lainnya.
Selanjutnya, bertolak dari ketentuan Pasal 8 ayat 1 tersebut, ketentuan ini
juga memberikan prioritas utama kepada beberapa kelompok masyarakat. Dalam
pasal 8 ayat 2 dinyatakan bahwa: “prioritas dalam ayat 1 pasal ini jika terdapat:
a. Petani yang mempunyai ikatan keluarga sejauh tidak lebih dari dua
derajat dengan bekas pemilik, dengan ketentuan sebanyak-
banyaknya 5 orang;
b. Petani yang terdaftar sebagai veteran;
c. Petani janda pejuang kemerdekaan yang gugur;
d. Petani yangmenjadikorban kekacauan,
Memperhatikan ketentuan pada pasal 8 ini, dalam peraturan ini
ditentukan bahwa sebelum mendapat pembagian tanah-tanah yang telah diambil
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-3
oleh pemerintah tersebut, para petani yang dimaksudkan harus memenuhi
persyaratan seperti yang dinyatakan dalam Pasal 9, yaitu:
a. Syarat-syarat umum: warga negara Indonesia, bertempat tinggal di
kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan dan kuat bekerja
dalam pertanian;
b. Syarat-syarat khusus: bagi petani yang tergolong dalam prioritas a, b, c,
f, dan g, telah mengerjakan tanah yangbersangkutan sekurang-
kurangnya 3 tahun berturut-turut. Bagi petani yang tergolong prioritas,
telah mengerjakan tanahnya 2 musim berturut-turut. Bagi pekerja tetap
yang tergolong prioritas c, telah bekerja pada bekas pemilik selama 3
tahun berturut-turut.
Mengenai luasan obyek yang dibagi dapat ditentukan berdasarkan
ketentuan Pasal 10 yang menyatakan bahwa penetapan luasnya dilakukan
dengan memakai ukuran sebagai berikut:
a. Penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas 1 Ha atau
lebih, tidak mendapatkan pembagian;
b. Penggarap yang sudah memiliki tanah sendiri seluas kurang dari 1
Ha, mendapat pembagian seluas tanah yang dikerjakan, tetapi
jumlah tanah milik dan tanah yangdibagikan kepadanya tidak boleh
melebihi 1 ha;
c. Penggarap yang tidak memiliki tanah sendiri, mendapat pembagian
seluas tanah yang dikerjakan, tetapi tanah yang dibagikan
kepadanya tidak boleh melebihi 1 Ha;
d. Petani yang tergolong dalam prioritas b,d,e, dan f Pasal 8 ayat 1
mendapat pembagian tanah seluas sebagai ditetapkan dalam huruf
a, b, dan c tersebut di atas;
e. Petani yang tergolong dalam prioritas c, g, h, dan f Pasal 8 ayat
1mendapat pembagian tanah untuk mencapai 0,5 Ha.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-4
II.2. Kebijakan Distribusi Tanah Yang Pernah Dilakukan Pemerintah
Indonesia
II.2.1. Transmigrasi
Dasar hukum program transmigrasi di Indonesia adalah UU No. 3
tahun 1972 tentang ketentuan pokok transmigrasi, yang kemudian diikuti
oleh PP No 42/1973. Kemudian UU No 3/1972 ini digantikan oleh UU
15/1997. Dalam UU 3/1972 disebutkan bahwa kepada setiap keluarga
transmigran dibagikan minimal 2 ha lahan pertanian. Kemudian dalam PP
42/1973 disebutkan pula bahwa bantuan pemerintah kepada transmigran
pada hakekatnya merupakan kredit yang harus dikembalikan. Oleh sebab
itu sebetulnya transmigrasi merupakan salah satu sektor pembangunan
nasional yang secara langsung berkaitan dengan pembagian (redistribusi)
tanah pertanian (Puslitbang Ketransmigrasian 2006 : 19). Meskipun dalam
UU tidak terdapat pasal yang menyatakan bahwa program transmigrasi
merupakan pengganti pelaksanaan landreform, namun dengan adanya
pengaturan yang memberikan transmigran 2 ha lahan per KK, yang diikuti
dengan kredit-kredit lainnya merupakan ciri dari program landreform
seperti yang tersurat dalam UU No 56/1960.
Pencapaian secara kuantitatif program transmigrasi terlihat pada
masa administrasi Presiden Soeharto dengan program Pelita
(Pembangunan Lima Tahun)-nya. Dalam Pelita I (1969-1974) sebanyak
46,268 KK; Pelita II (1974-1979) 82.959 KK; Pelita III (1979-1984) 371.668
KK; Pelita IV (1984-1989) 750.150 KK; Pelita V (1989-1994) 265.259 KK
dan Pelita VI (1994-1998) 292.519. Namun selanjutnya ketika orde
reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, yang diikuti pula oleh
pemberlakuan otonomi daerah, program transmigrasi mengalami
penurunan yang signifikan. Misalnya tahun 2000 sekitar 6489 KK; tahun
2001 sebesar 15.868; tahun 2003 sebesar 15.000 KK; tahun 2004 sebesar
9134 KK; tahun 2005 619 KK dan tahun 2006 sebesar 4901 KK.
Pemberlakuan otonomi daerah yang memperkuat identitas lokal dan
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-5
semakin sulitnya memperoleh tanah-tanah yang layak untuk kepentingan
transmigrasi menyebabkan program ini semakin tidak berkembang.
Beberapa daerah secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap
keberadaan transmigrasi dengan isu ”Jawanisasi”, seperti yang terjadi di
Kabupaten Kutai Barat, propinsi Kalimantan Timur.
Pencapaian secara kuantitas yang relatif tinggi untuk program
transmigrasi pada masa orde baru (1968-1998) memperlihatkan bahwa
program ini memang didukung oleh suatu pemerintahan yang kuat dan
bahkan seringkali melakukan berbagai pelanggaran dalam implementasi
programnya, mulai dari mencari calon transmigran di tempat asal, hingga
cara-cara mendapatkan lahan untuk satuan pemukiman yang seringkali
berhadapan dengan hak-hak lokal tertentu dalam penguasaan tanah.
Hasil Penelitian Anharudin, dkk (2006) memperlihatkan adanya
dampak penerapan otonomi daerah dengan proses penyediaan lahan untuk
lokasi transmigrasi. Sejak masa sebelum reformasi hingga saat ini,
pemerintah (Depnakertrans) telah memiliki prosedur dan cara-cara
penyediaan lahan untuk transmigrasi sesuai UU yang berlaku. Misalnya,
Pasal 23 UU No.15 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah
(Pusat) menyediakan tanah bagi penyelenggaraan transmigrasi. Tanah yang
diperoleh Pemerintah untuk penyelenggaraan transmigrasi berstatus hak
pengelolaan (HPl)” Sebagai implikasi otonomi, Pemerintah (Depnakertrans)
saat ini tidak lagi memiliki kewenangan (administratif) untuk menyediakan
lahan guna pembangunan transmigrasi, dan kewenangan tersebut kini
berada pada pemerintah daerah (propinsi dan atau kabupaten-kota),
termasuk persoalan pencadangan tanah (lahan) transmigrasi. Dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Transmigrasi, disebutkan bahwa apabila lahan untuk transmigrasi
merupakan atau berasal dari tanah negara, maka Menterilah yang harus
mengajukan hak pengelolaannya kepada Badan Pertanahan Nasional.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-6
II.2.2. Distribusi Tanah dan Reforma Agraria di Kawasan Hutan
Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 61% dari seluruh
wilayah darat Indonesia. Oleh sebab itu sangat mungkin banyak penduduk
yang sangat tergantung dengan sumber daya hutan, baik itu sumber daya
tanahnya maupun dari hasil hutan kayu maupun non kayu. Berdasarkan
data dari Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 (via Fay dan Sirait 2006 :
10), penunjukan kawasan hutan berdasarkan Paduserasi TGHK dan
RTRWP di Indonesia seluas 120.353.104 ha. Kemudian pada akhir tahun
2003 Departemen Kehutanan telah sepenuhnya menetapkan 12 juta hektar
dari kawasan hutan sebagai kawasan hutan negara. Artinya angak tersebut
mewakili 10% dari keseluruhan kawasan hutan di Indonesia.
Walaupun menggunakan terminologi kawasan hutan, Namun tidak
seluruhnya merupakan suatu kawasan yang berpohon. Menurut
Departemen Kehutanan, sekitar 24 juta hektar kawasan hutan tidak
ditumbuhi pohon sama sekali (ibid : 10). Angka ini memperlihatkan bahwa
kawasan hutan negara memegang peranan yang penting dalam konteks
distribusi tanah negara, yaitu tanah-tanah yang berasal dari kawasan hutan
yang dapat dikonversi berdasarkan peraturan yang berlaku. Berkaitan
dengan peranan yang demikian penting dari kawasan hutan untuk
kepentingan distribusi tanah yang pro-poor, tampaknya ada dua opsi yang
dapat dilakukan. Pertama adalah konversi kawasan hutan menjadi tanah
negara yang dapat didistribusikan berdasarkan peraturan yang berlaku.
Sedangkan opsi kedua adalah kawasan hutan negara dipertahankan, namun
terdapat beberapa program yang memberikan akses kepada masyarakat
untuk memanfaatkan tanah di kawasan hutan dengan mengedepankan
security tenure dan kemudian memperhatikan sistem tenurial local yang
selama ini dilakukan.
Terdapat lima bentuk land reform pada kawasan hutan, yaitu
(Iman Santoso, 2006 : 17), yaitu (1) land reform plus pada tanah kawasan
yang pada masa lalu telah dilemas peruntukan lain, terutama perkebunan,
namun hingga kini belem termanfaatkan (belem terbangun menjadi kebun),
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-7
bahkan Belem bersertifikat (HGU atau sertifikat lainnya), (2) land reform
plus pada tanah kawasan hutan yang masuk dalam kategori hutan produksi
yang dapat dikonversi, yang sampai saat ini belum dibebani hak atas tanah
secara formal/sah; (3) pemberian hak pengelolaan hutan kepada
masyarakat hukum adat pada kawasan hutan tetap, baik yang masuk dalam
kategori Hutan Suaka Marga Satwa (SM), Hutan lindung (HL), maupun
Hutan Produksi (HPT dan HP); (4) pemberian hak penggunaan kawasan
hutan masyarakat lokal/setempat untuk menggunakan sebagian dari lahan
kawasan hutan tetap sebagai tempat tinggal dan lahan usahanya, yang tidak
bertentangan dengan prinsip konservasi hutan dimana mereka berada
(perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan sumber daya hutan); dan (5)
pemberian hak pemanfaatan hasil hutan kepada masyarakat pendatang
untuk tinggal di dalam kawasan hutan tetap dan memungut serta
memanfaatkan hasil hutan secara berkelanjutan sesuai dengan prinsip
konservasi hutan
Lima bentuk opsi land reform yang ditawarkan untuk kawasan
hutan ini pada dasarnya mencakup berbagai struktur kemasyarakatan yang
berbeda, mulai dari masyarakat lokal, masyarakat pendatang hingga
masyarakat adat. Kemudian terdapat tiga alas hak yang dapat digunakan,
mulai dari hak kelola, hak penggunaan dan hak pemanfaatan kawasan
hutan.
Institusi kehutanan, mulai dari Departemen Kehutanan, BUMN
Kehutanan hingga dinas-dinas di tingkat propinsi, kabupaten dan kota
tampaknya telah mempunyai berbagai opsi untuk membuka pengelolaan
hutan yang berbasis partisipasi komunitas. Berdasarkan analisis yang
dibuat oleh Prof.Dr Mustofa Agung Sardjono (2007), Community
Participated Forest Management (CPFM) di Indonesia sebetulnya telah
lama dilakukan di Indonesia. Programnya mulai dari Pembinaan
Masyarakat Desa Hutan (PMDH), Tumpang sari, Pengelolaan Hutan
Berbasis Masyarakat (PHBM), Hutan Kemasyarakatan (HKm), Kawasan
dengan Tujuan Istimewa (KDTI), Hutan Desa, Hutan Adat, Perhutanan
Social, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Rakyat dan lainnya, seperti Hutan
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-8
Kota. Dari berbagai program tersebut, kegiatannya mulai dari hanya model
“pembinaan” masyarakat desa hutan hingga pemberian akses untuk
mengelola tanah di kawasan hutan, seperti HKm dan PHBM.
Dalam Tabel 2.1. akan disajikan skema-skema kegiatan tersebut dan
implikasinya terhadap distribusi tanah negara di kawasan hutan.
Tabel 2.1.
Skema Program Akses Masyarakat terhadap Hutan
Skema Target wilayah dan
luarannya untuk komunitas
Aktor yang berkuasa dan posisi komunitas
lokal Dasar Hukum
PMDH Desa-desa didalam atau sekitar hutan produksi Kontribusi sosial dari perusahaan swasta pemegang HPH
Dephut melalui para pemegang HPH Masyarakat lokal atau desa sebagai target group atau penerima manfaat
SK Menhut N0 691/1991, direvisi No 69/1995, direvisi No 523/1997
Tumpang Sari
Bagian dari hutan produksi negara, khususnya di jawa Akses pemanfaatan lahan pertanian dan hasil hutan non-kayu
Perhutani Kelompok Tani dari penduduk desa setempat
SK Internal
PHBM Hutan Produksi yang berbatasan dengan desa-desa khususnya di Jawa Akses pemanfaatan kawasan hutan, pretallan dn seluruh produk hasil hutan
Perhutani Masyarakat desa sebagai mitra dan penerima manfaat pengelolaan hutan
SK Dewan Penasihat Perhutani No 136/KPTS/DIR/2001
HKm Hutan Produksi, hutan lindung dan area konservasi Kawasan hutan berdasarkan fungsinya (akses lahan, hasil hutan kayu dan non kayu dan jasa lingkungan)
Departemen Kehutanan Komunitas lokal sebagai manajer/operator hutan dengan hak-hak dan kewenangan yang terbatas
SK Menhut No 622/1995, direvisi No 677/1998. direvisi 865/1966, direvisi No 31/2001 dan mngikuti PP No 6/2007
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-9
Lanjutan Tabel 2.1.
Skema Target wilayah dan
luarannya untuk komunitas
Aktor yang berkuasa dan posisi komunitas
lokal Dasar Hukum
KDTI Hutan Produksi terbatas dan Hutan Lindung Kawasan hutan dan produk atau jasa-jasa dalam kelembagaan lokal
Departemen Kehutanan tetapi didelegasikan kepada comunitas/kelembagaan lokal Komunitas lokal sebagai manajer
SK Menhut No 47 1998
HD Hutan negara (Belum terlalu jelas)
Belum jelas, tetapi kemungkinan institusi tradisional atau masyarakat desa sebagai manajer dan penerima manfaat
UU Kehutanan 41/1999 PP No 6/2007
HA Hutan negara (Belum terlalu jelas)
Belum jelas tetapi mungkin institusi tradisional sebagai manajer dan penerima manfaat
UU 41/1999 Masih berupa RPP Hutan Adat
PS Hutan Negara dan lahan pribadi (?) Produk hasil hutan dan hutan berbasis produk industri
Pemerintah pusat Komunitas lokal sebagai manajer dan penerima manfaat
SK Menhut No P 01/2004 SK Ditjen RLPS No 146/2003
HTR Hutan Negara/hutan produksi Kayu, tetapi mungkin hasil hutan non-kyu
Pemerintah Pusat Komunitas lokal sebagai implementor
PP 6/2007
HR Tanah milik individu yang legal (di luar hutan negara) Bergantung dari pemilik
Pemerintah Kota/kabupaten Komunitas lokal sebagai pemilik dan manajer
UU Kehutanan 5.1967 revisi UU 41/1999 PP 62/1998
HK Tanah milik p privat atau non hutan Jasa Lingkungan
Pemerintah pusat mendelegasikan kepada pemerintah kota/kabupaten Publik sebagai penerima manfaat
PP 63/2002 Peraturan Lokal
Sumber : Sarjono, 2007 : 9-10
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-10
Dalam program-program akses kehutanan ini, terdapat 3 bentuk
akses yang mempunyai kemiripan nama, namun sesungguhnya berkaitan
dengan kawasan hutan yang berbeda, yaitu Hutan Tanaman Rakyat (HTR) ,
Hutan Rakyat (HR) dan Hutan Kemasyarakatan (HKm). Berdasarkan PP
No 6/2007 HTR hanya akan dikembangkan pada areal kawasan hutan
produksi yang tidak dibebani hak. Sedangkan hutan rakyat jelas-jelas
dibangun di luar kawasan hutan negara atau berada pada hutan hak (hutan
yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah). Sedangkan Hutan
Kemasyarakatan memungkinkan dikembangkan di hutan konservasi
(kecuali cagar alam dan zona inti Taman Nasional, hutan produksi dan
hutan lindung (Emila dan Suwito, 2007 : 14).
Demikian halnya dengan inisiatif dari Perhutani melalui tumpang
sari dan kemudian PHBM. Walaupun dalam kenyataan di lapangan terdapat
inisiatif lainnya dari masyarakat seperti PSDHBM Wonosobo yang telah
diundangkan dalam bentuk Perda (Perda Kabpaten Wonosobo No
22/2001), namun pada akhirnya dicabut oleh Mendagri. Inisiatif lokal
inipun kemudian bernegosiasi dengan inisiatif dari Perhutani, sehingga
muncul konsep Pengelolaan Sumberdaya Hutan Lestari (PSDHL) (Suwito,
2007 : 16-17)
Masyarakat adat sebetulnya mempunyai peluang dalam hal akses
terhadap pengelolaan kawasan hutan, seperti dengan dikeluarkannya SK
Menteri Kehutanan No 47/1998 tentang KDTI untuk Repong Damar di Krui
Lampung. Kemudian, melalui UU No 41/1999 telah dibuka peluang untuk
konsep Hutan Adat, namun Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) hingga
kini belum selesai dibahas, terutama menyangkut keberatan Aliansi
Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap konsep ”hutan negara” yang
ada dalam UU 41/1999.
II.2.3. Program PIR
Salah satu program distribusi tanah yang pernah dilakukan di
Indonesia adalah program PIR. Sebagai salah satu contoh adalah yang
pernah dilakukan di Riau, Sumatera Utara dan daerah lainnya di luar Jawa.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-11
Program PIR yang pernah berlangsung di Indonesia dengan
mendasarkan pada Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1986
tentang Pengembangan Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat
Yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi. Program PIR ini merupakan
proyek pengembangan perkebunan dengan pola PIR yang terdiri dari
kegiatan pembangunan perkebunan inti dan wilayah plasma yang
dilaksanakan oleh perusahaan intinya dalam jangka waktu tertentu. Inti
dari konsep PIR ini adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan
dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan
membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu
system kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan
berkesinambungan.
Proyek PIR-TRANS ini merupakan suatu paket pengembangan
wilayah yang utuh yang terdiri dari komponen utama dan komponen
penunjang. Komp[onen utama merupakan komponen yang terdiri dari:
pembangunan perkebunan inti, pembangunan kebun plasma,
pembangunan pemukiman yang terdiri dari lahan pekarangan dan
perumahan. Sedangkan komponen penunjang merupakan komponen yang
meliputi pembangunan prasarana umum.
Lahan yang disediakan dalam program PIR-TRANS ini terdiri dari
tiga jenis lahan. Pertama, lahan untuk perkebunan inti dan kebun plasma
yang perimbangan luasnya ditetapkan oleh Menteri Pertanian. Kedua, lahan
untuk pekarangan termasuk untuk rumah sesuai dengan keperluan. Ketiga,
lahan untuk komponen penunjang. Adapun luasan lahan yang disediakan
untuk masing-masing petani peserta adalah: lahan kebun plasma seluas
2,00 ha dan lahan pekarangan, termasuk tapak perumahan seluas 0,50 ha.
Program PIR-TRANS ini selain melibatkan petani, maka
keterlibatan Perusahaan baik BUMN maupun swasta menjadi suatu yang
sangat penting. Perusahaan inti tersebut dalam program ini mempunyai
kewajiban sebagai berikut:
a. Membangun perkebunan inti lengkap dengan fasilitas pengelolaan
yang dapat menampung hasil perkebunan inti dan kebun plasma
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas II-12
b. Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan
petunjuk operasional dan standar fisik yang ditetapkan oleh
Departemen Pertanian
c. Bertindak sebagai pelaksana penyiapan lahan pekarangan dan
pembangunan perumahan petani peserta, dengan petunjuk teknis
dari Departemen Transmigrasi
d. Membina secara teknis para petani peserta agar mampu
mengusahakan kebunnya dengan baik
e. Menampung (membeli) hasil kebun plasma dengan harga yang
layak sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah
f. Membantu proses pelaksanaan pengembalian kredit petani peserta
Hal yang sangat penting dalam keberhasilan program ini adalah
petani inti plasma. Petani inti ini terdiri dari beberapa kelompok:
a. Transmigran yang ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi
b. Penduduk setempat termasuk para petani yang tanahnya
terkena proyek yang bersangkutan, yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah
c. Petani (peladang) berpindah yang ditetapkan oleh
Pemerintah Daerah dari kawasan hutan terdekat yang
dikenakan untuk proyek.
Tanaman-tanaman yang ditanam oleh petani biasanya berupa
tanaman perkebunan seperti kelapa sawit, karet, tebu dan jenis tanaman
perkebunan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas III-1
BAB III
ANALISIS DAN EVALUASI KERANGKA HUKUM
DISTRIBUSI TANAH
Substansi analisis dan evaluasi hukum, serta urgensi pembentukan
hukum distribusi tanah dimaksudkan untuk memberikan gambaran mengenai
peraturan perundang-undangan yang menjadi kerangka hukum yang menjadi
landasan upaya pendistribusian tanah pada saat ini. Untuk itu, ada dua bagian
penting yang dikemukakan dalam bab tentang analisis dan evaluasi hukum ini,
yaitu pertama mengenai analisis dan evaluasi susbtansi mengenai distribusi
tanah dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait. Kedua adalah
mengenai urgensi dan pilihan pengaturan distribusi tanah di Indonesia melalui
pembentukan peraturan perundang-undangan tentang Distribusi Tanah.
III.1. Analisis terhadap pengaturan Distribusi Tanah Dalam Berbagai
Peraturan Perundang-Undangan
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan
Pokok Agraria
Undang-Undang No. 5/1960 merupakan landasan hukum utama bagi
pendistribusian tanah, disamping UU No. 56/1961 dan beberapa
peraturan pemerintah yang berkaitan dengan Distribusi Tanah pada
saat ini. Pasal 17 ayat (3) UUPA menyatakan bahwa: (3) Tanah-tanah
yang merupakan kelebihan maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal
ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.
Beberapa persoalan atau kelemahan yang terdapat dalam Undang-
Undang ini adalah:
1) Undang-undang 5/1960 memberikan kondisi pengaturan distribusi
tanah yang bersifat umum, kurang tegas batasanya. Di samping itu,
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas III-2
Undang-Undang ini belum merumuskan dengan jelas dan tegas
mengenai subyek, obyek distribusi tanah tersebut tidak dijelaskan.
2) Undang-undang tersebut tidak mengatur secara detail tentang
pemilikan luas tanah baik oleh individu maupun badan hukum.
3) Ketentuan mengenai batas maksimum atas kepemilikan tanah
masih memberikan peluang adanya kepemilikan oleh pihak
tertentu secara maksimal sehingga tujuan untuk membagi kepada
mereka yang tidak memiliki tanah (landless-farmers) tidak
terwujud.
2. Undang-Undang No. 56/Prp/ Tahun 1960 tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian.
Undang-undang ini mengandung beberapa kelemahan: pertama, nilai
luas maksimum sudah tidak sejalan dengan kondisi obyektif saat ini;
kedua, mengenai kualifikasi tanah sebagaimana yang disebutkan
dalam undang-undang ini sudah tidak relevan, belum menjangkau
bagaimana dengan tanah yang berasal dari bekas HGU/Eks Hutan;
ketiga, faktor yang berkaitan dengan subyek yang akan menerima
program distribusi tanah.
Kajian ini memperkuat argumentasi pentingnya Undang-Undang
tentang Distribusi Tanah yang menjadi lex specialis dari Undang-
Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria.
3. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan
Undang-Undang ini mengandung kelemahan karena sebagian besar
ketentuan yang mengatur tentang perkebunan dalam undang-undang
ini lebih banyak mengatur tentang pengusaha perkebunan. Memang di
dalam Pasal 22 telah mencantumkan kemitraan usaha perkebunan,
namun dalam ketentuan tersebut mengandung beberapa kelamahan
sebagai berikut: pertama, pola kemitraan antara perusahaan
perkebunan dengan masyarakat masih sebatas kepada anjuran belum
mengarah kepada adanya lewajiban bagi perusahaan perkebunan
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas III-3
untuk bermitra kepada masyarakat. Kedua, dalam undang-undang ini
belum mengatur secara detail tentang bagaimana bentuk
kerjasamanya, kerjasama produksi, pengolahan dan pemasaran,
transportasi, kerjasama operasional dan lainnya, dimana dalam
undang-undang mengamantkan untuk diatur dengan Peraturan
Pemerintah yang hingga saat ini belum diterbitkan.
4. Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang
Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian.
Peraturan Pemerintah tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang
tanah–tanah yang akan dibagikan, istilahnya yang lazim : “di-
redistribusikan”. Ternyata yang di-redistribusikan itu tidak terbatas
pada tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum yang diambil
oleh Pemerintah karena pemiliknya “absentee”, tanah-tanah Swapraja
dan bekas-swapraja. Demikian juga tanah-tanah lain yang dikuasai
langsung oleh Negara yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria, misalnya tanah-tanah bekas perkebunan besar, tanah-tanah
bekas tanah-partikelir. Diatur juga hal- hal tentang pemberian ganti-
kerugian kepada bekas pemilik, pembagian tanah dan syarat-
syaratnya, tentang pembentukan Yayasan Dana Landreform dan
Koperasi Pertanian. Akhirnya diatur juga suatu soal yang sebenarnya
bukan pelaksanaan dari ketentuan pasal 7 dan 17 UUPA, melainkan
pelaksananya pada tahap pertama asas yang dicantumkan di dalam
pasal 10 UUPA, yaitu larangan pemilikan tanah pertanian secara
“absentee”.
Penguasaan tanah – tanah kelebihan maksimum oleh Negara dimulai
pada tanggal 24 September 1961 secara berangsur-angsur, setelah
ditetapkan bagian atau bagian-bagian mana yang tetap menjadi tanah
hak pemilik dan mana yang akan dikuasai oeh Pemerintah. Oleh
karena pembagian tanah-tanah tersebut memerlukan persiapan
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas III-4
administrasi yang tidak sedikit, sebelum diberikan secara definitif
dengan hak milik kepada para petani yang memenuhi syarat, tanah-
tanah yang bersangkutan diizinkan untuk dikerjakan oleh para petani
penggarapannya untuk paling lama 2 tahun, dengan kewajiban
membayar “sewa” kepada Pemerintah sebesar sepertiga dari hasil
panen atau uang yang senilai dengan itu. ( Pasal 14 ayat 1 ). Pemakaian
istilah “sewa” sebenarnya tidak sesuai dengan sifat penguasaan tanah
kelebihan tersebut oleh Pemerintah. Adalah lebih tepat dipergunakan
istilah “uang wajib”, karena dalam kedudukannya sebagai Penguasa,
Pemerintah/Negara menurut hukum, tidak lagi menyewakan tanah,
melainkan memberikan tanah yang dikuasainya dengan sesuatu hak
kepada yang memerlukan.
Dalam pasal 8 dan 9 ditetapkan syarat- syarat yang harus dipenuhi
oleh mereka yang akan menerima redistribusi tanah, yaitu petani
penggarap atau buruh tani tetap yang berkewarganegaraan Indonesia,
bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanah yang bersangkutan
dan kuat kerja dalam pertanian. Mengingat rationya syarat tentang
tempat tinggal itu kiranya masih dapat diperlunak sesuai dengan
ketentuan tentang “absentee”, yaitu tidak ada keberatan jika petani
penggarap bertempat tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan
tempat letak tanahnya, asal jarak antar tempat tinggal penggarap dan
tanah yang bersangkutan masih memungkinkan mengerjakan tanah
itu secara effisien, (pasal 3 ayat 2 ). Oleh karena luas tanah yang akan
diredistribusikan sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
petani yang membutuhkan, maka diadakan prioritas dalam
pembagiannya. Para penggarap tanah yang bersangkutan mendapat
prioritas pertama, karena dipandang yang paling membutuhkan dan
paling perlu untuk didahulukan. Mereka adalah yang telah mempunyai
hubungan yang paling erat dengan tanah yang digarapnya, sehingga
atas dasar prinsip “tanah untuk tani yang menggarap” hubungan
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas III-5
tersebut tidak boleh dilepaskan, bahkan harus dijamin
kelangsungannya. Demikian Penjelasan pasal 8.
5. Peraturan pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang
Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar ini sangat erat kaitannya dengan
pengaturan tentang distribusi tanah khususnya yang berkaitan dengan
obnyek tanah yang akan dijadikan sebagai obyek distribusi. Adapun
yang dimaksud dengan tanah terlantar adalah tanah yang
ditelantarkan oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak
pengelolaan atau pihak lain yang telah memperoleh dasar penguasaan
atas tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) dinyatakan bahwa tanah yang sudah
dinyatakan sebagai tanah terlantar menjadi tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara. Kemudian kepada bekas pemegang hak atau
pihak yang sudah memperoleh dasar penguasaan atas tanah yang
kemudian dinyatakan sebagai tanah terlantar diberikan ganti kerugian
sebesar harga perolehan yang berdasarkan bukti-bukti tertulis. Namun
demikian ketentuan yang terdapat dalam PP ini belum mengatur ruang
lingkup tentang tanah tersebut berada di kawasan hutan atau non
hutan, yang sampai saat ini domain kewenangannya untuk tanah
kehutanan ada pada Departemen Kehutanan yang sangat sekali sulit
untuk dilepaskan.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas III-6
6. Instruksi Presiden Republik Indonesia Tahun 1986 tentang
Pedoman Pengembangan Perkebunan Dengan Pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Yang Dikaitkan Dengan
Program Transmigrasi
Dalam Instruksi Presiden tersebut memang telah mencantumkan
pengaturan yang komprehensif tentang bagaimana program tersebut
dilaksanakan, siapa saja yang terlibat dalam program PIR tersebut,
luas tanah yang dibagikan termasuk peruntukannya. Namun demikian
di dalam ketentuan Instruksi Presiden tersebut belum menyangkut
obyek-obyek tanah lainnya , terutama yang menyangkut kawaasan
hutan. Fokus dalam program ini adalah tanah untuk pengembangan
perkebunan.
III.2. Urgensi Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tentang
Pembaruan Agraria di Bidang Struktur Penguasaan Tanah
Menyadari bahwa Indonesia masih sangat memerlukan tanah
khususnya bagi masyarakat petani atau yang berprofesi menggunakan
tanah sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, sementara
pada sisi lain kerangka regulasi distribusi tanah di Indonesia masih tidak
memadai, masyarakat yang peduli terhadap pembangunan merasakan
perlunya peraturan perundang-undangan tentang Pembaruan Agraria di
Bidang Struktur Penguasaan Tanah di Indonesia.
Urgensi tentang pengaturan Pembaruan Agraria di Bidang
Struktur Penguasaan Tanah ini disebabkan oleh beberapa alasan.
Pertama, ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada
saat ini belum mengatur secara komprehensif tentang masalah distribusi
tanah.
Kedua, pengaturan yang ada saat ini masih tersebar dan
menonjolkan ego sektoral.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas III-7
Ketiga, belum adanya suatu harmonisasi tentang pengaturan
yang terkait dengan masalah distribusi tanah.
Berdasarkan beberapa alasan singkat tersebut maka dalam
rangka memberikan jaminan pengaturan yang dapat memberikan
perlindungan kepada masyarakat dan dapat meningkatkan taraf ekonomi
masyarakat yang kurang mampu maka sangat dirasakan perlunya dibuat
peraturan perundang-undangan tentang Distribusi Tanah.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas IV-1
BAB IV ARGUMENTASI FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG DISTRIBUSI TANAH
Pembuatan peraturan perundang-undangan, terutama Undang-undang
dan Peraturan Daerah harus didasarkan pada tiga argumentasi penting, yaitu
argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis. Secara metodologis penyusunan
Naskah Akademik, rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis
merupakan abstraksi dari hasil kajian teoritis, konstataring fakta empiris, dan
analisis dan evaluasi kerangka hukum sampai pada urgensi pembentukan suatu
Undang-Undang. Oleh karena itu, rumusan argumentasi filosofis, sosiologis, dan
yuridis pembentukan RUU Distribusi Tanah ini merupakan abstraksi dari
uraian-uraian dalam bab sebelumnya, terutama mengenai kajian teoritis dan
konstataring kebijakan distribusi tanah, hasil analisa dan evaluasi peraturan
perundang-undangan di bidang distribusi tanah atau yang relevan ada kaitannya
dengan masalah distribusi tanah dalam berbagai bentuk program kegiatan,
sampai pada pemikiran urgensi pembentukan Undang-Undang Distribusi Tanah.
IV.1. Argumentasi Filosofis Pembentukan Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah tentang Distribusi Tanah
Pembentukan Undang- Undang Distribusi Tanah didasarkan pada
beberapa argumentasi filosofis, yaitu:
Pertama, memberikan jaminan tetap eksisnya cita-cita pembentukan
negara Indonesia yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia, terus berupaya
mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa, meskipun secara obyektif masih
terdapat warga masyarakat yang tidak memiliki tanah dan akses terhadap tanah
sebagai sumber pendapatan masyarakat.
Kedua, tujuan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa,
agama dan budaya dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam rangka
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas IV-2
terwujudnya kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Ketiga, kekayaan nasional termasuk juga di dalamnya tanah harus
dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi
mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Keempat, pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka
tercapainya kepastian hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat.
IV.2. Argumentasi Sosiologis Pembentukan Undang-Undang Distribusi
Tanah
Argumentasi Sosiologis dari Pembentukan Undang-Undang Distribusi Tanah
adalah:
Pertama, bahwa sejak Indonesia menyatakan kemerdekaannya yang
kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan konstitusi, maka salah satu tujuan
bernegara adalah untuk melindungi bangsa Indonesia dan mewujudkan
kesejahteraan umum yang perwujudannya salah satunya melalui pengelolaan sumber
daya agraria termasuk di dalamnya adalah tanah untuk kepentingan rakyat.
Kedua, dalam mengatasi dan menangani berbagai masalah kepemilikan
tanah yang dijadikan modal untuk meningkatkan taraf hidup tersebut,
Pemerintah Indonesia belum menemukan suatu format kebijakan masalah
distribusi tanah yang menyeluruh (comprehensive), integratif, efektif, efisien,
akuntabel dan transparan serta tepat sasaran.
Ketiga, secara teoritis terdapat pemikiran-pemikiran dan konsep-konsep
distribusi tanah yang komprehensif integratif, efektif, efisien, akuntabel dan
transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan pada pendekatan yang
komprehensif yang dapat diterapkan di Indonesia dalam distribusi tanah.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas IV-3
IV.3. Argumentasi Yuridis Pembentukan Undang-Undang Distribusi
Tanah
Argumentasi yuridis pembentukan Undang-Undang Distribusi Tanah
adalah menggambarkan faktor-faktor kelemahan kerangka hukum yang
mengakibatkan kurang efektifnya kebijakan distribusi tanah di Indonesia selama
ini. Beberapa faktor kelemahan kerangka hukum distribusi tanah tersebut,
adalah:
Pertama, beberapa undang-undang yang terkait dengan distribusi tanah
mengedepankan ego sektoral, sehingga dalam implementasinya masing-masing
departemen, dan pemerintah daerah berjalan sendiri-sendiri. Sehingga tidak
menggambarkan suatu manajemen distribusi tanah yang terkoordinasi dan
integratif dalam satu sistem pendistribusian tanah. Pendekatan pendistribusian
tanah yang bersifat sektoral, menyebabkan peraturan menteri sangat populer
atau banyak ditemukan. Walaupun, sering menimbulkan masalah karena
peraturan menteri yang satu dengan menteri yang lainnya tidak sejalan, bahkan
bertentangan.
Kedua, undang-undang yang ada di samping bersifat sektoral, belum
menetapkan secara jelas dan komprehensif mengenai tindakan-tindakan serta
tahap-tahap dalam pendistribusian tanah, baik yang pernah dilakukan oleh
sektor tertentu maupun yang pernah dilakukan secara bersama. Karakter yang
muncul dalam setiap peraturan tersebut adalah tindakan yang bersifat reaktif,
sehingga belum merupakan suatu kebijakan yang tersistematis dan terukur.
Ketiga, sebagian besar peraturan yang ada bersifat operasional, tanpa
satu payung hukum yang kuat. Langkah-langkah yang diambil hanya didasarkan
pada kebijakan lembaga eksekutif (pemerintah), baik Pemerintah Pusat maupun
Daerah. Namun, dalam pelaksanaannya ada keraguan masing-masing institusi
karena setiap institusi mengacu kepada undang-undang yang berbeda. Kondisi
ini menggambarkan suatu kerangka hukum yang saling bertentangan, tidak
konsisten/harmonis/sinkron, baik secara vertikal maupun horisontal.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-1
BAB V
RUANG LINGKUP MATERI PENGATURAN TENTANG
DISTRIBUSI TANAH
V.1. Ketentuan Umum
Secara umum di samping ketentuan seperti ketentuan umum, asas,
maksud dan tujuan dan pengaturannya lainnya sebagaimana mengacu dalam UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
maka paling tidak dalam pengaturan tentang distribusi tanah ini memuat tentang
hal-hal yang berkaitan dengan:
1. Ketentuan Umum
2. Obyek Distribusi
3. Penerima distribusi
4. Satuan Luas Tanah Distribusi
5. Mekanisme Distribusi
6. Hak Atas Tanah Distribusi
7. Program Pemberdayaan
V.2. Obyek Distribusi
Berdasarkan survey di beberapa lokasi studi, terdapat pendapat yang
beragam tentang pengertian tanah Negara. Pendapat yang mengatakan bahwa...’
bukan tanah ulayat, bukan tanah kaum, bukan tanah hak pengelolaan dan bukan
pula tanah kawasan hutan’, sebagai ”bukan tanah negara” merupakan poin
penting untuk dicatat, khususnya ketika kita membicarakan hak-hak masyarakat
hukum adat ataupun hak serupa itu yang banyak terdapat di berbagai daerah di
Indonesia, termasuk di lokasi survey lapangan propinsi Kalimantan Timur, Riau
dan Lampung.
Sedangkan pendapat dari para pelaksana di bidang pertanahanpun
beragam, diantaranya :
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-2
a. Tanah yang telah habis masa berlaku hak atas tanah di atasnya yaitu
areal tanah yang masa berlaku hak atas tanahnya telah habis, walaupun
tanah tersebut masih dipergunakan oleh pemeganghak atas tanah yang
lama. Tanah-tanah demikian umumnya dikuasai oleh Badan Hukum,
Instansi,perorangan dengan hak menurut UUPA (terutama HGB dan
HGU)
b. Didasarkan pada PP tentang penguasaan benda-benda yang tidak
bergerak (termasuk tanah negara), gedung-gedung dan lain-lain
bangunan milik negara, yang berada di bawah penguasaan Departemen
yang menurut anggaran belanjanya membiayai pemeliharaannya.
c. Didasarkan pada terjadinya ”vrij landsdomein”, yaitu:
1) Karena pembebasan hak-hak milik Indonesia oleh Departemen,
dianggap di bawah penguasaan Departemen itu, walaupun
kenyataannya pada tanah yangbersangkutan tidak selalu terlihat
tanda-tanda atau bekas pelaksanaan suasana ”beheersdaad”.
2) Yang penguasaannya tidak nyata-nyata diserahkan kepada sesuatu
Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan Departemen van
Binnerlands Bestur (BB).
Sedangkan menurut masyarakat sebagai pemegang hak maupun sebagai
penggarap/ penyewa/penghuni:
a. Tanah yang belum pernah dilekati hak atas tanah (tanah bentukan baru
dan tanah yang belum terdaftar/teregistrasi, seperi tanah timbul, tanah
GG, pulau-pulau kecil, pulau-pulau terpencil, tanah pantai, tanah
reklamasi)
b. Tanah yang berupa hutan alam serta cagar alam dan cagar budaya.
Pengertian ini didasari oleh pandangan masyarakat berkait
perlindungan alam, satwa, peninggalan sejarah, konservasi dsb. Dari
pandangan ini berkembang nilai komunal yang menjadi ikatan dan
kepentingan bersama (misalnya sebagai sumber penghidupan: hasil
hutan, tambang rakyat; atau sesuatu yang dianggap sakral seperti
sumber air).
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-3
c. Tanah yang dikuasai atau dipergunakan instansi pemerintah.
Pengertian ini berpangkal bahwa areal yang telah digunakan atau
dikuasai pemerintah (sipil, militer maupun pemda) merupakan tanah
negara.
Beberapa temuan di lapangan memberikan indikasi yang relatif sama.
Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung di wilayah studi maupun dalam,
regional workshop, mengemuka bukan hanya masalah yang bersifat teknis
tentang penentuan obyek tanah negara yang dapat didistribusikan. Melainkan
pandangan-pandangan yang lebih bersifat filosofis/ideologis tentang Hak
Menguasai Negara (HMN). Misalnya pandangan tentang negara yang terdiri dari
rakyat, tanah dan undang-undang; dan posisi negara adalah sebagai yang
menguasai dan mengatur tanah, dan bukan yang memiliki tanah. Oleh sebab itu,
suatu pegertian yang clear tentang tanah negara bebas dan tidak bebas
diperlukan dalam kaitannya dengan hak-hak lainnya, seperti hak ulayat, hak
milik dan hak pengelolaan. Dalam diskusi di Riau, terdapat kesan kuat untuk
tidak memasukan tanah hak ulayat sebagai tanah negara. Karena pada dasarnya
pengertian tanah negara: sebidang tanah yang belum dilekati oleh sesuatu hak
menurut UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok Agraria.
Karena pendefinisian tanah negara seringkali berbeda cara
merumuskannya, maka cara lain untuk melihat suatu bidang tanah negara
ataupun bukan adalah melalui unsur-unsur, yaitu :
a. Belum dilekati sesuatu hak.
b. Tanah yang boleh didistribusikan adalah tanah yang berada di luar
kawasan hutan tetap
c. Hak atas tanahnya telah berakhir dan tidak dapat diperpanjang
d. Ditambah obyek tanah dari 13 kriteria/jenis obyek yang pernah
didefinisikan oleh BPN 1
1 Ketigabelas jenis itu adalah (1) tanah bekas HGU, HGB atau HP, (2) tanah yang terkena ketentuan konversi, (3) tanah yang diserahkan oleh pemiliknya, (4) tanah hak yang pemegangnya melanggar, (5) tanah obyek land reform, (6) tanah bekas obyek land reform, (7) tanah timbul, (8) tanah bekas kawasan pertambangan, (9) tanah tanah yang dihibahkan oleh pemerintah, (10)
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-4
Dalam hal tanah-tanah negara yang eligible untuk didistribusikan,
sedikitnya ada delapan kriteria yang penting untuk dilihat, yaitu :
a. Tanah Negara Yang Belum dibebani Hak
Kriteria ini dianggap penting, karena walaupun dalam PP 8/1953
mengacu kepada tanah-tanah yang ”dikuasai secara penuh oleh negara”,
namun dengan adanya UUPA 1960 yang menyebutkan adanya hak milik,
hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan, dan hak-hak lainnya
maka sangat penting untuk menyebutkan tanah yang belum dibebani
hak, atau hak yang telah dicabut karena berbagai pertimbangan hukum
yang ada
b. Sesuai dengan rencana tata ruang daerah tersebut
Tidak semua Tanah Negara dapat didistribusi, karena terkait dengan
masalah tata-ruang yang berjenjang dari mulai rencana tata ruang
kabupaten dan propinsi, termasuk tata-ruang khusus (misalnya RTR
Delta Mahakam, Kaltim). Setiap daerah dalam tata ruangnya
mempunyai maksud dan tujuan tersedniri, misalnya di Kendari yang
telah mengalokasikan tanah negara untuk kepentingan lainnya. Harus
melihat kepentingan daerah itu sendiri yang mempunyai kepentingan
tertentu, seperti untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah. Kesulitan
lainnya belum semua propinsi mempunyai rencana tata-ruang yang
mutakhir.
Selain itu tanah negara yang akan didistribusikanpun harus mengikuti
rambu-rambu aturan lainnya, seperti dalam hal tanah-tanah yang ada di
sempadan sungai maupun pantai bukanlah obyek yang dapat
didistribusikan.
tanah tukar-menukar dari dna oleh pemerintah, (11) tanah yang dibeli oleh pemerintah, (12) tanah dari hutan produksi konversi,, dan (13) tanah hutan produksi konversi yang dilepaskan
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-5
c. Tanah hutan yang dapat dikonversi
Pada prinsipnya, institusi kehutanan sepakat dengan pemberian akses
terhadap masyarakat di kawasan hutan, sepanjang berdasarkan aturan-
aturan yang digariskan. Terdapat dua kemungkinan reforma agraria
yang memanfaatkan kawasan hutan. Pertama adalah konversi hutan
menjadi kawasan non hutan, apabila telah dikonversi dan aspek legal
hak atas tanahnya ada di tangan BPN, maka proses distribusi tanah
negara selanjutnya mengikuti prosedur dan mekanisme yang ada di
BPN. Kedua apabila kawasan hutan tersebut tidak dikonversi, maka
program yang dapat dijalankan adalah berbagai program akses
masyarakat terhadap sumber daya hutan, melalui skema Hutan
Kemasyarakatan, Hutan Rakyat, Hutan Tanaman Rakyat, PHBM, Hutan
Desa, Kawasan dengan Tujuan istimewa. Juga opsi-opsi lainnya yang
akan muncul ke depan seperti Hutan Adat untuk Masyarakat Hukum
Adat.
Wacana yang berkembang dalam hal reforma agraria pada kawasan
hutan, sebetulnya terjadi karena dalam distribusi tanah itu apakah
mempunyai konotasi hanya pemberian hak milik, atau memberikan opsi
lainnya seperti hak pakai. Inti dari wacana ini sebetulnya mengenai
security tenure, artinya masalah utamanya bukan pada hak apa yang
akan diberikan, melainkan bagaimana masyarakat miskin dapat
mengakses tanah dengan aman untuk kurun waktu tertentu dan cukup
panjang waktunya
Beberapa pengalaman dari lapangan memperlihatkan bahwa opsi-opsi
untuk reforma agraria di kawasan hutan sebetulnya dilakukan, misalnya
di NTB dalam hal pemberdayaan masyarakat melalui pemberian akses
untuk tanam jambu mede, kakao, nangka. Demikian halnya dengan
pemanfaatan untuk masyarakat sekitar dan ada di dalam kawasan
hutan. Pada kawasan hutan produktif melalui PHBM di Wonosobo,
Jateng. Masyarakat diberi kesempatan melakukan penanaman tanam
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-6
semusim (misalnya sayuran), berdasarkan kesepakatan antara
(kelompok) masyarakat dengan Perhutani. Fungsi pemerintah adalah
memfasilitasi dan terlibat dalam resolusi konflik. Ada transparansi
dimana masyarakat bisa tahu berapa yang dibagikan. Perhutani
mendapat manfaat karena batas-batas bisa diperjelas dengan cara
keterlibatan masyarakat. Kelompok anggotanya jelas.
d. Sesuai dengan tujuan distribusi
Distribusi tanah perlu jelas tujuannya untuk apa, misalnya untuk
pengentasan kemiskinan maka bagaimana distribusi tersebut difokuskan
untuk pemanfaatan tanah dan akses terhadap tanah untuk kepentingan
masyarakat miskin. Misalnya studi dari UNRAM yang berkaitan dengan
pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan, khususnya
terhadap masyarakat yang telah masuk ke kawasan hutan. Artinya
memberikan prioritas pada tanah-tanah yang telah dikuasai oleh
masyarakat, dan tanah yang mempunyai potensi untuk dikembangkan.
2) Tanah yang statusnya tidak dikuasai siapapun/tidak ada
kepentingan di atas tanah itu
Dalam kriteria ini, obyek tanah yang akan didistribusikan harus jelas
statusnya, apabila tanah negara adalah eks hak tertentu, misalnya eks-
HGU atau HPH, maka perlu ditetapkan bahwa telah ada keputusan
hukum yang telah membatalkan hak-hak yang pernah melekat.
Pengertian clear juga terkait dengan batas-batas dan luasan dari tanah-
tanah yang akan didistribusikan. Termasuk ke dalam kriteria clear
adalah telah selesainya klaim-klaim yang berkaitan dengan hak-hak adat
maupun klaim kelompok tertentu yang mempunyai kekuatan hukum
maupun berdasarkan hukum adat. Penyelesaian terhadap masalah ini
hendaknya bersifat persetujuan tanpa paksaan.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-7
Sedangkan bersifat clean, harus dipastikan obyek yang akan dibagikan
tidak menjadi obyek persengketaan dari para pihak, termasuk lembaga-
lembaga negara dengan masyarakat, pengusaha dengan masyarakat,
pengusaha dengan pengusaha dan antar masyarakat.
Pengertian tanah yang clear and clean statusnya ini pada dasarnya
masih membuka kemungkinan terhadap situasi dimana justru program
distribusi tanah dapat menjadi alat untuk menyelesaikan konflik
pertanahan yang berlarut-larut, khususnya okupasi yang terjadi pada
kawasan eks-HGU, eks-HPH dan jenis tanah negara lainnya. Pengertian
clear and clean dalam kasus seperti ini adalah, walaupun terjadi
okupasi, maka ketika hendak terjadi penyelesaian sengketa perlu ada
suatu kejelasan mengenai siapa yang menduduki kawasan tersebut,
untuk jangka berapa lama, pada obyek tanah yang mana dan bagaimana
apakah yang meng-okupasi tanah tersebut dimungkinkan untuk
menguasai tanah tersebut berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan.
3) Lahan Yang Produktif
Lahan yang akan didistribusikan dipastikan merupakan lahan yang
masih mempunyai produktifitas ekonomi yang baik, dan bukan berada
pada kawasan lahan kritis. Produktifitas ekonomi yang dimaksud adalah
berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain, dan disesuikan dengan
jenis aktivitas ekonomi apa yang layak dimanfaatkan pada luasan tanah
tersebut.
4) Pertimbangan “sensivitas sosial”
Kaitan dengan kasus-kasus migran dan “penduduk asli” (etnis dan
pertimbangan sosial lainnya). Sebelum memutuskan distribusi lebih
memperhatikan aspek-aspek sosial yang dianggap mudah sebagai
pemicu konflik. Isu ini menjadi penting untuk daerah-daerah di mana
potensi konflik diantara kalangan yang menganggap dirinya sebagai
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-8
“orang lokal” berhadapan dengan mereka yang dilabel sebagai
“pendatang” atau kaum migran.
V.3. Penerima Distribusi
Kriteria calon penerima manfaat distribusi tanah (subyek hak) dapat
dibedakan dari obyek tanah yang selama ini telah diokupasi dan dimanfaatkan
oleh para calon penerima, dan obyek hak yang sama sekali belum ada yang
memanfaatkannya. Kriteria ini dibedakan, mengingat dalam beberapa kasus,
seperti di Lampung Tengah dimana obyek tanah yang dibagikan adalah Tanah
Obyek Landreform (TOL) yang telah dimanfaatkan oleh para penduduk dalam
waktu yang relatif lama, sehingga instrumen yang digunakan adalah penguatan
hak berupa sertifikat hak milik. Namun pada daerah-daerah lainnya, seperti di
Kalimantan Timur, dimana masih banyak tanah-tanah eks-HPH yang potensial
dididistribusikan dan selama ini belum ada yang secara tegas melakukan klaim,
maka kriteria untuk obyek tanah-tanah yang baru ini perlu diberikan.
Bagi tanah-tanah yang sudah diokupasi, maka masalah yang seringkali
muncul adalah bagaimana menetapkan kriteria lamanya menempati tanah
tersebut, bagaimana penggunaannya dan bagaimana fungsi tanah itu bagi
keluarga. Oleh sebab itu kriterianya antara lain :
1. Subyek sudah menempati selama 20 tahun berturut-turut.
2. Masih mengusahakan tanah itu secara efektif
3. Menjadi mata pencaharian pokok
Kriteria tentang berapa lama suatu subyek hak menempati suatu bidang
tanah memang perlu ditetapkan. Namun aspek fleksibilitas tetap penting.
Misalnya ketika berhadapan dengan subyek hak yang telah menempati lahannya
sekitar 15 hingga 19 tahun, apakah mereka masih eligible untuk mendapatkan
lahan tersebut. Ditetapkannya masa selama 20 tahun karena sesuai dengan
peraturan agrarian yang selama ini berlaku dan juga terkait dengan kebiasaan
yang selama ini terjadi. Kemudian dikaitkan dengan usaha-usaha yang sering
dilakukan, seperti penanaman karet atau kayu-kayu pertukangan, maka masa 20
tahun merupakan jangka waktu yang cukup untuk menilai suatu subyek hak
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-9
telah mengusahakan tanah tersebut secara efektif, menjadi mata pencaharian
pokok dan ada keinginan untuk menetap di daerah tersebut.
Sedangkan bagi obyek-obyek tanah yang relatif baru akan didistribusikan,
maka bagi para calon penerima tanah ini dipagari dengan beberapa rambu, yaitu
:
a. Pada usia kerja dan produktif
b. Tidak mempunyai tanah sama sekali
c. Berkeluarga
d. Bekerja di sektor pertanian
e. Tidak ada pekerjaan lain
f. Mempunyai anak yang belum menghasilkan secara ekonomis
g. Tempat tinggal berdekatan dengan obyek tanah (penduduk yang
bertempat tinggal di desa tersebut)
h. Buruh tani
Selain itu, tentu saja perlu ditambahkan dengan hal-hal lain yang bersifat
umum dan normative, seperti subyek tersebut adalah Warga Negara Indonesia,
tercatat sebagai warga desa tersebut (tanpa harus menimbulkan biaya mahal
untuk administrasi kependudukan) dan mempunyai keinginan kuat untuk
menggarap tanah tersebut.
Prioritas memang sangat situasional tergantung aktivitas ekonomi yang
dilakukan pada daerah tersebut. Pemberian prioritas kepada masyarakat yang
memang telah menggarap tanah sejak lama sangat penting, karena mereka
memang terbukti telah menggarap tanah untuk kebutuhan-kebutuhan
ekonominya. Prioritas kepada buruh tani diharapkan akan mengubah struktur
agraria pada suatu kawasan, termasuk mengurangi buruh tani yang tidak
mempunyai lahan. Sehingga tingkat kemiskinan yang ada pada suatu daerah
dapat diharapkan dapat dikurangi dengan masuknya para buruh tani ke dalam
struktur masyarakat tani yang menguasai dan memiliki lahan pertanian.
Penggunaan masa okupasi selama 20 tahun didasarkan pada peraturan
yang berlaku sementara ini, namun demikian dalam praktek di lapangan
indikator waktu ini jangan dipakai sebagai satu-satunya indikator. Perlu ada
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-10
suatu pendekatan yang lebih partisipatif mengenai berapa lama seseorang berhak
atas suatu lahan yang telah dimanfaatkannya. Pendekatan partisipatif ini
penting, mengingat masyarakat pada lokasi yang spesifik itulah yang paling
mengetahui sejarah dan dinamika pemanfaatan tanah di daerah itu. Melalui
pendekatan yang partisipatif itu pula akan dapat dibuktikan bahwa seseorang
masih menggunakan tanah tersebut secara produktif dan menjadi mata
pencaharian yang pokok bagi keluarganya.
Selain itu prioritas kepada masyarakat lokal yang telah menggarap tanah,
harus dipahami bukan dalam konteks untuk menghilangkan hak para migran
yang datang ke tempat tersebut. Masyarakat lokal dapat didefinisikan kepada
siapa saja yang tinggal di daerah dimana ada tanah-tanah yang akan
didistribusikan, termasuk mereka yang lahir di tempat itu, tetapi termasuk para
migran yang memang berkeinginan untuk menetap di daerah tersebut. Selain itu
kepemilikan tanah yang diatas 2 Ha agar dapat dialihkan kepada anaknya yang
telah menikah atau para penggarap yang telah menggarap dengan diberikan
kompensasi.
V.4. Satuan Luas Tanah Distribusi
Mengenai luasan tanah yang dapat diberikan kepada penerima sangatlah
berbeda-beda untuk masing-masing daerah. Hal ini tentunya disesuaikan dengan
obyek distribusi yang tersedia, dibandingkan dengan jumlah calon penerima dan
yang lebih penting juga dengan komoditas yang akan diupayakan untuk
peningkatan ekonomi masyarakat tersebut. Hal ini juga disesuaikan dengan jenis
komiditas yang akan diusahakan oleh masyarakat penerima.
V.5. Mekanisme Distribusi
Dalam proses implementasi distribusi tanah negara mekanisme yang
dibuat pada prinsipnya adalah mendapatkan obyek tanah yang mempunyai
luasan cukup untuk didistribusikan, jelas status hukumnya, menghindari konflik
dan sengketa seminimal mungkin dan memberikan alas hak yang sesuai dengan
status kawasan, serta perlindungan terhadap alas hak yang diberikan. Adapun
urutan-urutan kegiatannya sebagai berikut:
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-11
a. Inventarisasi dan identifikasi obyek, termasuk apakah tanah tersebut
bebas konflik atau tidak, baik horisontal atau vertikal,
b. Apabila jumlahnya sudah pasti, inventarisasi dan identifikasi subyeknya,
siapa yang sangat membutuhkan dengan kriteria-kriteria tertentu yang
telah ditetapkan,
c. Sinkronisasi luas tanah (obyek) dan jumlah subyek, kemudian
ditentukan berapa masing-maisng yang diperoleh oleh subyek,
d. Identifikasi alas hak : Hak Pakai (kawasan hutan dan non hutan) atau
Hak Milik (kawasan non hutan)
Gambar 5.1:
Mekanisme distribusi tanah negara dan mengurangi konflik sosial
Identifikasi dan inventarisasi Obyek
Identifikasi dan Inventarisasi Subyek Calon penerima
Sinkronisasi Obyek Tanah Dengan Subyek Tanah
Alas Hak Yang Digunakan Hak Milik Hak Pakai
Clear and Clean dari konflik vertikal maupun horisontal
Siapa Yang Paling Membutuhkan ?
Berapa Luas yang Diterima oleh Subyek Calon penerima Hak ?
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-12
Dalam mekanisme distribusi tanah, terdapat beberapa instansi yang terkait
dengan program ini antara lain:
a. Perangkat Desa sebagai level pemerintahan yang paling rendah
b. Pemerintah Kecamatan
c. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai daerah yang memiliki wilayah
yang dijadikan sebagai obyek distribusi
d. Badan Pertanahan terkait pada berbagai level
e. Departemen Pertanian/Perkebunan/Kehutanan/Tenaga Kerja dan Instansi
terkait lainnya
f. Masyarakat/NGO
V.6. Hak Atas Tanah Distribusi
Hak atas tanah yang dapat diberikan sebaiknya berupa Hak Pakai atau
Hak Pengelolaan. Tidak disarankan untuk diberikan Hak Milik karena ini akan
mengakibatkan kemungkinan beralihnya tanah yang diterima akan berpindah ke
pihak lain. Sehingga tujuan untuk mensejahterakan bagi masyarakat penerima
tidak akan pernah terwujud.
V.7. Program Pemberdayaan
Untuk menjamin keberlanjutan agar tujuan dari distribusi tanah dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakat maka perlu sistem usaha yang
dikembangkan oleh petani dengan mitra kerja (swasta) maupun pemerintah.
Beberapa hal yang perlu dimuat dalam perjanjian kerjasama antara lain adalah
(sebagai contoh):
1. Kewajiban mitra usaha (swasta)/Pemerintah:
a. Memberikan alternatif penyediaan modal usaha yang akan dilakukan
petani (kredit bank) dengan menyediakan modal usaha kepada petani
dengan perjanjian kepastian penjuakan seluruh hasil usaha pertanian
kepada pengusaha.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas V-13
b. Memberikan bantuan pembinaan budidaya/produksi dan penanganan
hasil;
c. Membantu petani di dalam menyiapkan kebun, pengadaan sarana
produksi (bibit, pupuk dan obat-obatan), penanaman serta pemeliharaan
kebun/usaha;
d. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap tehnik budidsaya dan
cara panen dan pengelolaan pasca panen yang dilakukan petani untuk
mencapai kualitas hasil yang tinggi; dan
e. Melakukan pembelian/pemasaran produksi petani dengan harga yang
telah disepakati dan menguntungkan kedua pihak
2. Kewajiban petani :
a. Menyediakan lahan pertaniannya untuk mengusahakan budidaya yang
telah disepakati dengan mitra usahnya.
b. Menghimpun diri secara berkelompok dengan petani tetangganya yang
lahan usahanya berdekatan dan mengusahakan komoditi yang sama.
c. Melakukan pengawasan terhadap cara panen dan pengelolaan pasca-
panen untuk mencapai mutu hasil yang diharapkan;
d. Menggunakan sarana produksi dengan sepenuhnya seperti yang
disediakan dalam rencana pada waktu mengajukan permintaan kredit;
e. Menyediakan sarana produksi lainnya, sesuai rekomendasi budidaya oleh
pihak Dinas /instansi terkait setempat;
f. Melaksanakan pemungutan hasil (panen) dan mengadakan perawatan
sesuai petunjuk Mitra usaha untuk kemudian seluruh hasil panen dijual
kepada Mitra usaha ; dan
g. Pada saat pernjualan hasil petani akan menerima pembayaran harga
produk sesuai kesepakatan.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) VI-1
BAB VI
PENUTUP
VI.1. Kesimpulan
Uraian-uraian dalam Naskah Akademik ini sampai pada kesimpulan:
1. Pemerintah belum menerapkan kebijakan distribusi tanah yang
komprehensif, efektif agar dapat menciptakan keadilan dan kesejahteraan
rakyat.
2. Kerangka hukum distribusi tanah yang ada pada saat ini belum memadai
untuk menjadi landasan hukum, bahkan terjadi disharmonisasi antara
peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya, serta
terdapat kekosongan hukum.
3. Kelemahan pada kebijakan distribusi tanah serta persoalan yang terdapat
dalam kerangka hukum yang ada menjadi alasan atau argumentasi yang
kuat untuk membentuk satu peraturan perundang-undangan tentang
Distribusi Tanah.
VI.2. Rekomendasi
Berangkat dari urgensi pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
tentang Distribusi Tanah, maka rekomendasi yang perlu diperhatikan adalah:
1. Dari segi substansi, Draft Rancangan peraturan perundang-undangan
tentang Distribusi Tanah harus mengatur tentang masalah yang berkaitan
dengan distribusi tanah secara lebih dipertajam dan disempurnakan
rumusan-rumusannya untuk menghasilkan peraturan yang lebih
komprehensif.
2. Bappenas sebagai salah satu instansi yang mempunyai kewenangan untuk
menggodok kebhijakan di bidang pertanahan dapat menjadi inisiator
utnuk mengajukan Rancangan Peraturan Perundang-Undangan yang
berkaitan dengan Distribusi Tanah.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
DAFTAR PUSTAKA
Anharudin, dkk (2006) : Program transmigrasi Sebagai Kebijakan Land
Reform di Indonesia. Puslitbang Transmigrasi Harsono, Boedi, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2003.
_______, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum
Tanah, Jakarta: Djambatan, 1980. Iman Santoso, 2006. Reforma Agraria di Kawasan Hutan, Working Group Forest
Tenure Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia Dalam
Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama, 2007. Parlindungan, AP, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung:
Alumni, 1982. ________, Beberapa Masalah Dalam UUPA, Bandung: Alumni, 1987.
________, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, Bandung: Mandar Madju,
1989.
Peraturan Perundang-Undangan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah
Pertanian. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda Yang Ada Di Atasnya.
Dokumen Teknis 1 – Kajian Distribusi Tanah Negara
Land Management and Policy Development Project ( LMPDP ) Komponen 1 Bappenas
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tentang Transmigrasi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian
Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan
Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1986 tentang Pedoman Pengembangan
Perkebunan Dengan Pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Yang Dikaitkan Dengan Program Transmigrasi
Keputusan Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Penyesuaian Harga Ganti Rugi Tanah Kelebihan Maksimum dari Tanah Absentee atau Ganti Rugi.
Keputusan Bupati Wonosobo nomor 661/538/2007 tentang Pembentukan
Forum Hutan Wonosobo.