Upload
andry-scj
View
110
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
Doktrin Trinitas
(Hubertus Andry Kurniawan – FT. 3147)
1. Informasi mengenai Trinitas dalam Kitab Suci Perjanjian Lama (Hebrew
Scripture) dan Kitab Suci Perjanjian Baru (Christian Scripture):
Istilah “Trinitas” itu sendiri memang tidak kita temukan di dalam Alkitab. Yang
ada adalah petunjuk kepada ajaran tentang Allah Tritunggal tersebut.
a. Perjanjian Lama
Selaras dengan sifat historis pernyataan Allah tentang diri-Nya, ajaran trinitas
semula hanya dikemukakan dalam bentuk yg bersifat bayangan saja. Doktrin atau
ajaran ini tersirat bukan hanya dalam bagian-bagian tersendiri atau kitab tertentu saja,
tetapi terajut di sepanjang bentangan ‘kain’ PL.
Pada kisah penciptaan Kej 1,3, Allah mencipta melalui Firman dan Roh (bdk.
Yoh 1:1-10). Sejak awal kitab Kejadian ini, sudah dinyatakan suatu pusat kegiatan dari
‘tiga’ yg ‘satu’ seutuhnya. Allah sebagai Pencipta menciptakan segala sesuatu sebagai
karya pikiran-Nya, yaitu Firman/logos (bdk. Mzm 33,6; Mzm 33,9; Mzm 148,5; Mat
8,3; Yoh 11,43), Firman yg ‘berpribadi’ (bdk. Yoh 1,1).
Selanjutnya, Firman dipersonifikasikan sebagai Hikmat (bdk. Ams 8,22; Ayb
28,23-27). Roh sebagai pembagi segala berkat dan sumber kekuatan badani, semangat,
kebudayaan dan pemerintahan (lih. Kel 31,3; Bil 11,25; Hak 3,10). Roh Allah juga
diberi tempat khas dalam sejarah keselamatan. Roh memperlengkapi Mesias untuk
pekerjaan-Nya (lih. Yes 11:2, 42:1, 61:1, dsb), memperlengkapi umat-Nya untuk
menanggapi Mesias dgn iman dan ketaatan (Yl 2:28; Yes 32:15; Yeh 36:26-27, dsb).
b. Perjanjian Baru
Kurang lebih 400 tahun, masa antara pelayanan nabi terakhir, penulis kitab
terakhir dalam PL, Maleakhi, hingga masa kehidupan dan pelayanan Kristus di bumi, di
kenal sebagai masa kegelapan. Masa ini ditandai dengan tidak adanya kuasa kenabian,
sehingga tidak ada nubuat-nubuat nabi dan pewahyuan Allah. Selama masa ini, bangsa
Israel, umat pilihan Allah - yang kepada-Nya DIA menyatakan diri-Nya agar DIA
dikenal oleh seluruh bangsa - semakin kuat dalam pengharapan akan hadirnya Mesias.
Pengharapan yang juga menyangkut hadirnya Roh Kudus yang ‘menguasai’ para nabi
dalam menjalankan fungsi profetiknya. Untuk memiliki gambaran yang lebih jelas
tentang masa ini, kitab-kitab apokrip atau deuterokanonika adalah kitab-kitab yang
ditulis dalam masa kegelapan ini.
Masa Perjanjian Baru sendiri ditandai dengan kehidupan dan pelayanan Kristus.
Masa ini diawali dengan kemunculan Yohanes Pembaptis yang melalui pemberitaannya
menggambarkan adanya dimensi Tritunggal. Gambaran akan Tritunggal ini tersirat
dalam pewartaannya, seperti seruan untuk bertobat kepada Allah, percaya kepada
Mesias yang sedang datang, dan perkataannya tentang baptisan oleh Roh Kudus (lih.
Mat 3,1-11; Luk 1,76; Yoh 1,33; Bdk. Yes 40:3-5).
Keterlibatan Pribadi-pribadi Bapa, Anak (Yesus), dan Roh Kudus sebagai
Pribadi Allah Yang Esa dalam satu tindakan ilahi dapat kita temukan dalam kisah-kisah
seperti kisah penampakan Malaikat kepada Maria, “Jawab malaikat itu kepadanya:
“Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi
engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah”
(Luk 1,35). Atau dalam peristiwa pembaptisan Yesus di Sungai Yordan, “..dan
turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atas-Nya. Dan terdengarlah suara
dari langit: “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan” (Luk
3,22, bdk. Yoh 1,31-34).
Dalam kehidupan dan pelayanan-Nya, Yesus mengarahkan perhatian orang
kepada Allah Bapa (Yoh 5,19-20), menjawab ‘perbantahan’ tentang Mesias, tentang
diri-Nya sebagai anak/keturunan Daud (Mat 22,42-46), memberi kesaksian tentang
‘Pribadi’ Ketiga, yaitu Roh Kudus sebagai Roh yang datang dari Allah Bapa yang juga
datang’ dari Dia sendiri (Yoh 15,26). Ajaran Yesus tentang Tritunggal terungkap paling
jelas dan ringkas dalam rumusan baptisan, yaitu: membaptis ke dalam nama Bapa,
Anak, dan Roh Kudus (Mat 28,19).
Frase ‘ke dalam nama’, secara teologis, lebih merupakan bentuk ungkapan
Ibrani dari pada ungkapan Yunani (bdk. ungkapan Allah Abraham, Allah Ishak, dan
Allah Yakub). Ungkapan tersebut mencakup nama yang tunggal, tidak hanya nama
Allah Bapa saja, melainkan juga nama Anak dan nama Roh Kudus. Masih banyak
catatan Alkitab yg menyaksikan ‘keterlibatan ketiga Pribadi’ tersebut dalam satu
tindakan ilahi. Tindakan ilahi yang dimaksudkan ialah tindakan di mana Allah Yang
Mahakudus bekerja dalam kehidupan manusia. Suatu tindakan yg tidak mungkin
dilakukan oleh manusia biasa.
Selanjutnya, setelah peristiwa kenaikan Yesus ke Sorga, Alkitab mencatat
pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta. Peristiwa ini ‘lebih menonjolkan
kedirian’ Roh Kudus. Dalam menerangkan peristiwa Pentakosta, Petrus
menggambarkannya sebagai pekerjaan (tindakan ilahi) Allah Tritunggal (lih. Kis 2,32-
33). Oleh karena itu, sungguh tepat jika dikatakan bahwa gereja zaman para rasul
dibangun beralaskan kepercayaan kepada Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Doktrin Trinitas ini juga bangun atas dasar bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus
adalah tujuan penyembahan dan pemujaan. Alkitab dengan jelas mencatat kebenaran
ini disepanjang pemberitaannya, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah,
dan persekutuan Roh Kudus…” (2 Kor 13:13). Alkitab tidak hanya menyimpulkan
seluruh ajaran para rasul, melainkan juga menerangkan makna yang lebih dalam dan
hakiki dari Allah Tritunggal dalam pengalaman hidup Kristen, yakni: kasih karunia
yang menyelamatkan dari Anak sebagai yang membuka pendekatan pada kasih sayang
Allah Bapa dan persekutuan Roh Kudus.
2. Trinitas dalam Periode Patristik: Origenes (185-250).
Berbeda dengan kebanyakan Teolog yang mendekati misteri Allah dengan
terlebih dahulu berusaha membuktikan ada-nya Allah, Origenes membiarkan hal
tersebut dan memusatkan perhatiannya pada soal hakikat Allah. Hal itu disebabkan oleh
kenyataan bahwa pada zamannya, ateisme merupakan suatu yang jarang dan Celsius,
sang penantangnya yang utama, bukan juga seorang ateis.
Bagi Origenes, Allah adalah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Sehubungan dengan
Trinitas, Origenes dalam pembicaraannya membuat perbedaaan yang jelas antara
pokok-pokok yang secara pasti menjadi pengakuan iman dan ajaran resmi Gereja
dengan hal-hal yang menjadi pokok perdebatan dalam diskusi.
Menurutnya, hal-hal yang merupakan pengakuan iman dan menjadi ajaran
resmi Gereja yakni perbedaan dari tiga pribadi yang disebut ‘hypostasis’ dan keesaan
mereka dalam substansi atau consubstansialitas (homoousios) dan ‘contemporaneitas’.
Allah menjadi nyata dalam tiga pribadi (hypostases): Bapa, Putera dan Roh Kudus.
Ketiganya adalah kekal, bahkan mengatasi dan mejelajahi kekekalan itu sendiri.
Ketiganya melampaui kekekalan. Tirinitas yang unik ini melampaui setiap ide, baik
yang bercorak historis maupun yang abadi. Sementara, semua yang berada di luar
Trinitas perlu dibicarakan atau ditempatkan dalam batas atau dalam waktu.
Sebagaimana Ireneus dan Tirtullianus, Origenes sangat menekankan keesaan
Allah. Bahkan dalam arti ketat. Menurut Origenes, hanya Bapalah yang boleh disebut
Allah. Putera dan Roh Kudus boleh disebut “Allah”. Akan tetapi, keilahian mereka
bersifat sekunder karena diturunkan dari keilahian Bapa. Origenes menyebut Bapa,
Putera dan Roh Kudus itu sebagai tiga hypostases, yang diartikan sebagai keberdikarian
individual. Bagi Origenes, adanya ketiga hypostases itu sejak dalam diri Allah sendiri,
dan bukan hanya dalam rangka sejarah keselamatan.
Mengenai kekhasan setiap pribadi, Origenes merinci bahwa Bapa yang tak
terlahirkan, hanya Dia yang tak dilahirkan (agennetos). Kita mengimani bahwa tak
seorangpun yang tak dilahirkan kecuali Bapa. Semua kualitas, kepenuhan, dan kuasa
pertama-tama adalah kepunyaan Bapa dan kemudian juga dari dua pribadi yang lain.
Dalam hal ‘mengenal’, Bapa lebih dari Putera, sehingga Bapa mengenal diri-Nya
sendiri atas cara yang lebih murni dan sempurna dari yang dikenal oleh Putera. Baik
Putera maupun Roh Kudus berasal dari Bapa namun atas cara yang berbeda.
Untuk melukiskan tampilnya Putera keluar dari haribaan Bapa Origenes
menggunakan istilah “kelahiran”, (gennao; generatio), Kelahiran Putera dari Bapa
lepas dari setiap bayang-bayang kejasmanian (corporeitas). Dalam hal ini, Origenes
berbicara tentang suatu kelahiran yang sepenuhnya rohani, sama seperti kegiatan
intelegensi adalah sepenuhnya rohani ketika ia menggerakkan atau melahirkan
kehendak. Dalam kelahiran Putera, essensi dari Bapa tidak berubah atau berkurang, dan
dalam waktu yang sama terdapat keesaan hakikat sepenuhnya antara Bapa dan Putera.
Selanjutnya Origenes menjelaskan bahwa Roh Kudus berasal dari Bapa. Ia juga
menghubungkan asal Roh Kudus dari Putera: Ia (Roh Kudus) adalah yang pertama dari
segala sesuatu yang berasal dari Bapa dengan Perantaraan Putera. Namun Origenes
tidak memberi penjelasan bagaimana hal itu terjadi. Menyangkut tampilnya Roh Kudus
yang keluar dari Bapa dan Putra, Origenes kurang sistematis dan agak kabur. Hal itu
terjadi karena pada masa itu belum terdapat penegasan resmi dari Gereja sehubungan
dengan identitas Roh Kudus sendiri. Yang pasti menurut Origenes, Roh Kudus itu
tidak diciptakan. Roh Kudus itu sehakikat dengan Bapa dan Putera; nyatanya setiap
orang yang ambil bagian dalam Roh Kudus berarti bersatu dengan Bapa dan Putera;
sebab dalam kenyataannya Sang Trinitas adalah satu saja dan tanpa jasad.
Berkaitan dengan hypostases ini, Origenes menggunakan kata ousia untuk
menggambarkan kesamaan ketiga pribadi Allah. Origenes menyebut kesamaan Putera
dan Bapa disebut homousios (sehakikat), meskipun dalam filsafat sebelumnya, kata
hypostases dan ousia sering kali dipakai secara sinonim.
Selain itu, Origenes sangat menekankan kesatuan Putera dengan Bapa. Namun
demikian, Origenes pun ada dalam ketegangan karena kadangkala ia mengartikan
Putera sebagai diciptakan dari Bapa (berpangkal dari teks Ams 8,22-28 dan Kol 1,15).
Dengan mengingat kembali pandangannya mengenai kelahiran kekal Putera dari Bapa,
nampaklah bahwa Origenes tidak menempatkan Firman sebagai bagian dari ciptaan.
3. Model Trinitas yang mendesak dikembangkan dalam konteks Indonesia yang
dicirikan kemiskinan, keberagaman agama, dan budaya:
Masyarakat Asia adalah masyarakat yang majemuk dalam segala hal termasuk
dalam hal iman kepercayaan. Kemajemukan agama dan kepercayaan ini membawa
dampak yang cukup besar bagi bangunan teologi yang hendak dikembangkan di Asia.
Teologi apa pun yang hendak digarap dan dikembangkan di Asia harus menyentuh sisi
pluralitas ini. Dalam konteks Indonesia, masih ada banyak orang atau kelompok yang
tidak siap untuk menerima dan menghargai perbedaan, misalkan saja kelompok
fundamental atau garis keras baik dalam agama Kristen maupun Islam. Kelompok-
kelompok ini cenderung bersifat eksklusif dan tertutup terhadap segala perbedaan dan
kekhasan kelompok lain sehingga menimbulkan stigma dan prasangka buruk yang
kemudian berkembang sebagai sumber konflik. Oleh karena itu, diperlukan usaha-
usaha dialogis agar setiap orang mampu menerima perbedaan sebagai kekhasan pribadi
yang justru memperkaya kehidupan manusia. Sebagai orang Kristiani, kita menemukan
dasar yang kuat untuk mengembangkan dialog dalam masyarakat yang pluralis, yaitu
pribadi Allah Tritunggal.
Gereja Katolik di Indonesia adalah Gereja yang hidup dan berkembang di antara
agama-agama dan kepercayaan lain. Gereja sendiri menegaskan bahwa kodrat manusia
adalah hidup sosial. Manusia tidak dapat hidup dan mengembangkan dirinya tanpa
berelasi dengan orang lain (bdk. GS 12). Relasi antar-pribadi ini membentuk suatu
komunitas yang lebih besar yang disebut masyarakat. Dalam masyarakat inilah,
pluralitas maupun keberagaman dihidupi.
Dalam konteks pluralitas ini, kita sebenarnya mempunyai dasar yang kuat untuk
membangun dialog yaitu Teologi Trinitas. Trinitas merupakan dasar kristianitas. Dalam
trintas sendiri, ada komunikasi (dialog) antar-pribadi ilahi. Oleh sebab itu, komunikasi
(perikhoresis) antar-pribadi ilahi ini menjadi landasan yang kuat untuk membangun
suatu dialog yang saling menguntungkan dengan agama-agama lain. Oleh karena itu,
model teologi Trinitas yang dipakai adalah model trinitas yang dikembangkan oleh
Leonardo Boff.
Berangkat dari salah satu pemikirannya tentang Trinitas, saya mencoba
menghubungkannya dengan usaha dialog di Indonesia. Leonardo Boff menegaskan
gambaran dan korelasi pribadi-pribadi ilahi (perikhoresis) yang diartikan sebagai
‘tinggal bersama’, ‘berada bersama’, atau ‘saling meresapi’. Yang dimaksudkan ialah
pribadi-pribadi itu merupakan satu persekutuan yang saling meresapi dari pribadi-
pribadi yang sederajat. Segala yang sama pada masing-masing pribadi menjadi milik
bersama. Sedangkan segala sesuatu yang membedakan, itulah yang dimiliki masing-
masing pribadi. Masing-masing pribadi selalu ada dalam dan bersama pribadi-pribadi
yang lain, “Bapa seluruhnya dalam Putera dan Roh Kudus, Putera selalu ada dalam
Bapa dan Roh Kudus, Roh Kudus selalu ada dalam Bapa dan Putera. Selanjutnya,
masing-masing perbedaan mendapat tempat dalam persekutuan yang sederajat. Dari
sinilah dapat digali inspirasi bagi persekutuan manusia yang sama martabatnya dengan
tetap menghargai perbedaan masing-masing.
Berdasarkan pemikiran Boff ini, dapat dikatakan bahwa dalam dialog terdapat
dua hal yang tidak dapat dipisahkan, yaitu persamaan dan perbedaan. Persamaan harus
dilihat sebagai unsur pemersatu. Maka dalam dialog, persamaan ini perlu dicari dan
diusahakan. Sedangkan perbedaan merupakan hakikat dialog itu sendiri. Dalam hal ini,
dialog dibangun berdasarkan satu tujuan yang jelas. Sebagaimana Allah telah
mengkomunikasikan diri-Nya melalui Putera dan Roh Kudus demi keselamatan
manusia, maka dialog yang kita bangun harus bertujuan untuk melayani dan
memelihara kehidupan, serta kepentingan bersama.