Upload
hacong
View
247
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di
Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW,
sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang
menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW. Latar belakang dipilihnya nama
Muhammadiyah yang pada masa itu sangat asing bagi telinga masyarakat
umum adalah untuk memancing rasa ingin tahu dari masyarakat, sehingga
ada celah untuk memberikan penjelasan dan keterangan seluas-luasnya
tentang agama Islam sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H atau 18 November 1912 di Yogyakarta. Organisasi ini
lahir sebagai perwujudan keprihatinan karena melihat kenyataan umat Islam
di Indonesia dalam cara menjalankan perintah-perintah agama Islam banyak
yang tidak bersumber dari ajaran Al Quran dan tuntunan Rasulullah SAW.
Dalam hal itu KH Ahmad Dahlan menghendaki agar dengan
Muhammadiyah, orang-orang Islam mengamalkan dan menggerakkan Islam
dengan berorganisasi.
Pembahasan mengenai sejarah berdirinya Muhammadiyah tidak bisa
terlepas dari situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Latar belakang berdirinya
Muhammadiyah juga tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial-agama di
Indonesia, sosio-pendidikan di Indonesia dan realitas politik Islam hindia
Belanda. Oleh karena itu berdirinya Muhammadiyah berhubungsan erat
dengan empat masalah pokok,yaitu: Pemikiran Islam Ahmad Dahlan, Realitas
sosio-religius di Indonesia,dan Realitas sosio-pendidikan dan Realitas politik
Islam hindia-Belanda.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah hidup KH. Ahmad Dahlan?
2. Bagaimana pendidikan dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan?
3. Bagaimana kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan?
4. Apa pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan?
C. Tujuan
1. Mengetahui sejarah hidup KH. Ahmad Dahlan
2. Mengetahui pendidikan dan perjuangan KH. Ahmad Dahlan
3. Mengetahui kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan
4. Mengetahui pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan
D. Manfaat
1. Mahasiswa dapat mengetahui sejarah hidup KH. Ahmad Dahlan
2. Mahasiswa daapat mengetahui pendidikan dan perjuangan KH. Ahmad
Dahlan
3. Mahasiswa dapat mengetahui kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan
4. Mahasiswa dapat mengetahui pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan
BAB II
PEMBAHASAN
KERANGKA METODELOGIS PEMIKIRAN KH. AHMAD DAHLAN
A. Sejarah Hidup KH. Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama
kecil KH. Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy. Ia merupakan
anak keempat dari tujuh orang
bersaudara yang keseluruhan
saudaranya perempuan, kecuali adik
bungsunya. Ia termasuk keturunan yang
kedua belas dari Maulana Malik
Ibrahim, salah seorang yang terkemuka
di antara Walisongo, yaitu pelopor
penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik
Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana 'Ainul Yaqin, Maulana Muhammad
Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom),
Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai
Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan
Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima
tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-
pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani,
Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya
tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia
bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, ia
sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU,
KH. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di
kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya
sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari
perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam
orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti
Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai
Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai
putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu)
Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin
Pakualaman Yogyakarta.
Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan
masuk Boedi Oetomo - organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh
nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi
keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi
anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini
menyarankan agar Kyai Dahlan membuka sekolah sendiri yang diatur dengan
rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut
dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang
terpaksa tutup bila kyai pemimpinnya meninggal dunia.
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kyai Dahlan dengan mendirikan
sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912
(8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan
pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan
dan membangun masyarakat Islam.
Bagi Kyai Dahlan, Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata
modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara
tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur'an dengan terjemahan dan
tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan
Qur'an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai
dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya,
keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa
mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu
dogma yang mati.
Di bidang pendidikan, Kyai Dahlan lantas mereformasi sistem
pendidikan pesantren zaman itu, yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan
tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak
merespon ilmu pengetahuan umum. Maka Kyai Dahlan mendirikan sekolah-
sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta
bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met
de Qur'an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada
sekolah-sekolah umum. Kyai Dahlan terus mengembangkan dan membangun
sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan
sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin
meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran
utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah
diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW.
Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan
yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda,
dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari
percampuran ajaran agama Hindu, Budha,animisme, dinamisme, dan
kejawen.
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi
Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah,
yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari
pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai
pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan
membentuk Padvinder atau Pandu - sekarang dikenal dengan nama Pramuka -
dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari
baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan
bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam,
mirip Pramuka sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat
pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa.
Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya, sekaligus menunjukkan
bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak
ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan
zaman.
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak
menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah
yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kyai sering diteror seperti diancam
bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang.
Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan
dibunuh dan dituduh sebagai kyai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak
mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama
(mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko. Dengan
penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang
diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya. Segala
tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kyai ini dimaksudkan
untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat
mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini
ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik
dengan metoda yang dipraktekkan Kyai Dahlan ini sehingga mereka banyak
yang menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam perkembangannya,
Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi massa Islam terbesar
di Indonesia.
Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama
Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang
melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan
pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi.
Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok
pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan,
beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama.
Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan
ide-ide pembaruan Kyai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat
perkembangan Islam dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur
maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada Muhammadiyah. Nama
Kyai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia.
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan
dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kyai Dahlan dengan segala ide-ide
pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.
Kyai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kyai yakni
KH. Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH. Muhsin di bidang
ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH. Raden Dahlan di bidang ilmu
falak (astronomi); dari Kyai Mahfud dan Syekh KH. Ayat di bidang ilmu
hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran,
serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.
Pada usia 66 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji
Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di
Karang Kuncen, Yogyakarta. Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka
negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK
Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
B. Pendidikan dan Perjuangan KH. Ahmad Dahlan
1. Pendidikan KH. Ahmad Dahlan
Semenjak kecil Darwis diasuh dan dididik sebagai putera kyai.
Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji
al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari
ayahnya. Menjelang dewasa, seperti umumnya santri pada waktu itu,
setelah memiliki dasar-dasar pendidikan agama Islam, Darwis menjadi
“musafir pencari ilmu” yang mengembara dari pesantren satu ke
pesantren lainnya untuk memperdalam ilmu agama. Beberapa kyai besar
waktu itu yang di mana Darwis pernah memperdalam ilmunya antara lain
adalah; K.H. Muhammad Saleh Darat, seorang ulama terkenal yang
tinggal di kampung Darat, Semarang. Kepada beliau, Darwis menimba
ilmu fiqh. Di pesantren mbah Saleh Darat itu pula K.H. Hasyim Asy’ari,
tokoh pendiri Jam’iyyah Nahdhatul Ulama (NU) pernah belajar.
Selanjutnya Darwis juga belajar kepada K.H. Muhsin (ilmu Nahwu),
K.H.R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh
(ilmu Hadits), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (ilmu qira’at al-Qur’an),
serta beberapa guru lainnya. Karena ketekunan dan kecerdasannya,
dalam usia yang relatif masih muda, Darwis telah mampu menguasai
berbagai disiplin ilmu keislaman, bahkan ia selalu merasa tidak puas
dengan apa yang telah dipelajarinya sehingga terus berupaya untuk lebih
mendalaminya.
Ketika Muhammad Darwis berumur 15 tahun (1883), dengan
dibiayai oleh kakak iparnya, K.H. Soleh, ia berangkat ke tanah suci untuk
menunaikan ibadah haji dan sekaligus melanjutkan studinya dan
bemukim di Mekah selama lima tahun. Dalam studinya tersebut
Muhammad Darwis banyak belajar ilmu agama dari para ulama terkenal.
Diantara gurunya waktu itu adalah Sayyid Bakri Syata’, salah seorang
mufti madzhab Syafi’i yang bermukim di Mekkah. Bahkan Sayyid Bakri
Syata’–lah yang mengganti nama Muhammad Darwis menjadi Ahmad
Dahlan. Sepulang dari ibadah haji Muhammad Darwis yang telah
berganti nama menjadi Ahmad Dahlan menikah dengan Siti Walidah
binti H. Fadhil, dan dikaruniai putra: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Siti Aisyah, Irfan Dahlan, dan Siti Zuharah.
Berbekal kedalaman ilmu agama yang telah dikuasainya, K.H.
Ahmad Dahlan kemudian mulai mengajar mengaji di kampungnya dan
beberapa kali menjadi badal (pengganti) ayahnya menjadi khatib bahkan
karena kemampuannya, K.H. Ahmad Dahlan kemudian diangkat menjadi
salah seorang khatib di masjid Besar Kasultanan Yogyakarta.
Setelah beberapa tahun lamanya bekerja sebagai khatib dan
berdagang batik di beberapa daerah, tepatnya tahun 1902 (34 th), K.H.
Ahmad Dahlan mendapatkan kesempatan untuk menunaikan ibadah haji
yang kedua kalinya. Pada kunjungan yang kedua ini, Dahlan menetap
selama satu setengah tahun dengan tujuan untuk kembali memperdalam
ilmunya. Ketika mukim yang kedua kali ini, memperdalam ilmu fiqh
kepada Kyai Machfudz Termas dan Sayid Babusyel, ilmu Hadits kepada
Mufti Syafi’i, ilmu falaq kepada Kyai Asy’ari Bacean dan ilmu qira’ah
kepada syekh Ali al-Musri Makkah. Selain itu, K.H. Ahmad Dahlan juga
banyak melakukan mudzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang
bermukim di sana, diantaranya adalah; Syeikh Muhammad Khatib al-
Minangkabawi, Kyai Nawawi al-Bantani, Kyai Mas Abdullah dan Kyai
Faqih Kembang. Pada saat itu pula, K.H. Ahmad Dahlan mulai
berkenalan dengan ide-ide pembaharuan melalui penganalisaan kitab-
kitab yang ditulis oleh pembaharu Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn
Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal al-Din al-
Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya.
Dahlan semakin memahami ide pembaharuan Islam setelah
melakukan dialog dengan Syeikh Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir,
selain juga membaca majalah al-Manar dan al-Urwat al-Wutsqa.
Adapun kitab-kitab yang menjadi bahan kajian K.H. Ahmad Dahlan
selanjutnya adalah;
At-Tauhid (Muhammad Abduh)
Tafsir Juz Amma (Muhammad Abduh)
Al- Islam wal Nasriyyah (Muhammad Abduh)
Fi’il Bid’ah (Ibn Taimiyah)
Izhar al-Haqq (Rahmat Allah al-Hindi)
Kanz al-‘Ulum
Da’irah al-Ma’arif (Farid Wajdi)
Tafshil al-Nasyatin Tahshil al-Sa’adatain
Matan al-Hikam (‘Atha’ Allah)
Al-Tawassul wa’l Wasilah (Ibn Taimiyah)
Al-Qashaid al-Aththasiyyah (‘Abd al-Aththas)
Ide pembaharuan yang berkembang di Timur Tengah sangat
menarik hati K.H. Ahmad Dahlan, terutama bila melihat realita dinamika
umat Islam Indonesia yang cukup stagnan. Sehingga, sepulangnya ke
tanah air, ia sangat aktif menyebarkan gagasan pembaharuan ke berbagai
daerah. Sambil berdagang batik K.H. Ahmad Dahlan melakukan tabligh
dan diskusi keagamaan. Kemudian, atas desakan para muridnya dan
beberapa anggota Boedi Oetomo, maka K.H. Ahmad Dahlan merasa
perlu untuk merealisasikan ide pembaharuannya melalui sebuah
organisasi keagamaan yang permanen. Maka didirikanlah organisasi
Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912 di Yogyakarta. Tujuan
organisasi ini adalah “menyebarkan pengajaran Rasulullah kepada
penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-
anggotanya”.
Untuk mencapai maksud ini, Muhammadiyah mendirikan
lembaga pendidikan (tingkat dasar sampai perguruan tinggi),
mengadakan rapat-rapat, dan tabligh, mendirikan badan wakaf dan
masjid serta menerbitkan buku-buku, brosur, surat kabar dan majalah.
Sementara untuk menumbuhkan semangat patriotisme para anggotanya,
organisasi ini membentuk suatu wadah bagi para pemudanya melalui
Hizbul Wathan, untuk kaum perempuan dibentuk ‘Aisyiyah. Untuk
meminimalisir pertikaian antar umat Islam dalam persoalan khilafiyah,
Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih.
2. Perjuangan KH. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat berani. Bagi dia,
kebenaran harus tetap dilaksanakan dan ditegakkan, sekalipun harus
berhadapan dengan kekuasaan. Hal ini, menurut Abdul Mu’ti, dibuktikan
dalam dua hal. Pertama, kiblat masjid Besar Kasultanan yang menurut
Dahlan tidak sama persis dengan perhitungan falaq, maka Dahlan
kemudian mengundang para khatib dan penghulu untuk melakukan
diskusi tentang kiblat masjid Besar tersebut, yang sekalipun tidak
dihadiri oleh para khatib, tetapi kemudian banyak diikuti oleh kalangan
muda Kauman yang kemudian membuat garis-garis shaf menurut
perhitungan falaq yang Dahlan lakukan. Kedua, adalah kasus perbedaan
penentuan tanggal 1 Syawwal antara perhitungan falaq dengan aboge.
K.H. Ahmad Dahlan dengan diantar oleh Kanjeng Penghulu
memberanikan diri menghadap Kanjeng Sultan dan menyampaikan
perhitungan falaqnya. Gagasan K.H. Ahmad Dahlan diterima oleh
Sultan. Shalat ‘Id dilaksanakan sesuai dengan perhitungan Dahlan
sedangkan grebeg dilaksanakan sesuai dengan kalender aboge.
Setting Sosial Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
Situasi dan kondisi nyata di mana seorang tokoh hidup serta
dengan siapa tokoh tersebut melakukan interaksi, tentu sangat
berpengaruh terhadap konsep dan pemikirannya, termasuk juga yang
terjadi pada Ahmad Dahlan. Dijelaskan oleh Deliar Noer, bahwa hampir
seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap
situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam
kejumudan (stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini
diperparah dengan politik kolonial Belanda yang sangat merugikan
bangsa Indonesia. Melihat kondisi yang menimpa umat saat itu,
memunculkan ide dan gagasan para pejuang dan guru bangsa kita.
Kegelisahan membuat Dahlan dan para tokoh pendidikan lainnya semisal
K.H. Hasyim ‘Asy’ari, Abdullah Ahmad, Ki Hajar Dewantara, dan
lainnya merupakan bentuk jawaban dari ketidak puasan mereka terhadap
kondisi bangsa yang terjajah.
Bagi Dahlan, Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungan
pertamanya ke Mekah. Kemudian ide tersebut lebih dimantapkan setelah
kunjungannya yang kedua. Terutama setelah Dahlan melakukan diskusi
dengan Muhammad Rasyid Ridha. Hal ini berarti, sebagaimana
disimpulkan oleh Noer, bahwa kedua kunjungannya tersebut merupakan
proses terjadinya kontak intelektualnya –baik secara langsung maupun
tak langsung– dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah
pada awal abad ke-20.
Secara umum, menurut Nizar, ide-ide pembaharuan Dahlan dapat
diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya
memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah
yang selama ini telah bercampur dalam aqidah dan ibadah umat Islam.
Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran
tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan
dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Tahun 1656, dapat dipandang sebagai titik awal bangsa Belanda
mulai menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Awal keberadaannya di
Indonesia, Belanda sama sekali tidak menaruh perhatian pada bidang
pendidikan. Tiga abad kemudian, barulah mereka mulai merasakan
perlunya mendirikan sekolah, tepatnya pada tahun 1854 dan hanya
dikhususkan pada anak-anak Belanda. Kemudian baru disusul dengan
didirikannya sekolah-sekolah desa, yang lulusannya dapat dimanfaatkan
sebagai buruh pada perkebunan Belanda. Adapun yang pandai membaca
dan menulis, dapat diangkat sebagai juru tulis di kantor-kantor
pemerintahan Hindia-Belanda. Mengutip tulisan Siregeg, Khozin
menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Belanda, pendidikan di
Indonesia terbagi menjadi empat sistem persekolahan.
“Pertama, sekolah Eropa yaitu sekolah yang menampung anak-
anak Hindia Belanda. Kurikulum di sekolah ini identik dengan kurikulum
sekolah yang sama di negeri Belanda. Kedua, sekolah Barat adalah
sekolah yang menampung anak-anak yang berwarga negara Belanda.
Tujuan pendidikan di sekolah ini adalah untuk memenuhi kebutuhan
pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Bahasa pengantar di sekolah ini
adalah bahasa Belanda. Ketiga, sekolah vernakuler. Kurikulum di
sekolah ini disusun oleh Belanda. Tujuan pendidika di sekolah ini hampir
sama dengan sekolah Barat, bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah.
Keempat, sekolah pribumi. Yaitu sistem persekolahan yang ada di luar
kontrol pemerintah Hindia Belanda. Sekolah-sekolah yang
diselenggarakan oleh lembaga-lembaga agama termasuk dalam golongan
persekolahan yang terakhir ini”.
Sistem persekolahan sebagaimana di atas, tentu akan mempertajam
jurang pemisah antara penduduk pribumi dengan orang-orang Belanda
sebagai penjajah. Dilihat dari perspektif Islam, maka sistem pendidikan
yang demikian disamping membawa pengaruh positif, unsur-unsur
negatifnya bagi umat Islam sudah barang tentu akan lebih dominan,
terutama dampak sekularisme. Jika sistem pendidikan ini tetap
dipertahankan, maka tidak menutup kemungkinan umat Islam akan
semakin jauh terseret dalam proses sekularisasi. Karena budaya Barat, di
samping berbeda dengan kepribadian penduduk pribumiyang religius
khususnya umat Islam, juga sangat mungkin membawa misi kristenisasi.
Lebih lanjut tentang ciri-ciri sistem pendidikan yang dikembangkan
oleh pemerintah kolonial Belanda, Selo Sumarjan, sebagaimana dikutip
oleh Khozin, menyatakan sebagai berikut:
“Belanda membawa ke Indonesia suatu jenis pendidikan baru yang
dalam banyak hal berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan pribumi.
Perbedaan-perbedaan yang pokok adalah:
1. Pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-sekolah umum
netral terhadap agama,
2. Tidak terlalu memikirkan bagaimana caranya hidup secara harmonis
dalam dunia, tetapi terutama menekankan tentang bagaimana
memperoleh penghidupan,
3. Diselenggarakan berdasarkan perbedaan kelompok etnis di dalam
masyarakat,
4. Juga diselenggarakan untuk mempertahankan perbedaan kelas dalam
masyarakat Indonesia, terutama di kalangan orang Jawa,
5. Sebagian besar diarahkan pada pembentukan kelompok elit,
masyarakat yang bisa dipergunakan untuk mempertahankan supremasi
politik dan ekonomi Belanda di negeri jajahannya, dan dengan
demikian benar-benar mencerminkan kebijaksanaan pemerintah
Hindia Belanda”.
Menurut Steenbrink, pada dasawarsa terakhir abad ke-19, di
Indonesia telah dimulai sistem pendidikan liberal yang dikembangkan
oleh pemerintah Belanda. Pada masa itu pendidikan tersebut juga
diperuntukkan bagi sekelompok kecil orang Indonesia (terutama
kelompok elit), sehingga sejak tahun 1870 mulai tersebar jenis
pendidikan rakyat, yang berarti juga bagi umat Islam. Perluasan
pendidikan ke pedesaan yang diperuntukkan bagi seluruh lapisan
masyarakat, baru dilaksanakan pada awal abad ke-20. Pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah kolonial sangat berbeda dengan sistem
pendidikan Islam tardisional, bukan saja dari segi metode, tetapi juga dari
segi substansi dan tujuannya. Pendidikan yang dikelola oleh pemerintah
kolonial menekankan pada aspek pengetahuan umum dan ketrampilan
duniawi, sedangkan lembaga-lembaga pendidikan Islam lebih
menekankan pada aspek pengetahuan dan ketrampilan agama.
Menghadapi kenyataan demikian, Ahmad Dahlan mencoba
mengantisipasi persoalan-persoalan kemasyarakatan di sekelilingnya.
Identifikasi masalah yang dihadapi umat Islam pada waktu itu, dan
dipandang perlu segera mendapat jawaban adalah persoalan-persoalan
sebagai berikut: Kemunduran umat Islam yang berpusat di pondok
pesantren karena terisolasi dari perkembangan ilmu dan masyarakat
modern. Timbulnya sekolah-sekolah kolonial yang sekular, dan a-
nasional yang mengancam kehidupan batin para pemuda, dari agama dan
kebudayaan bangsanya. Sistem pemerintah kolonial yang sedang kuat-
kuatnya mencengkeram kuku-kukunya yang beracun ke dalam tubuh
masyarakat Indonesia.
Untuk mensosialisasikan gagasan-gagasan pembaharuannya
terutama dalam bidang pendidikan, Ahmad Dahlan mencoba memulainya
dengan membimbing beberapa orang keluarga dekatnya serta beberapa
temannya. Tampat yang semula digunakan untuk menyampaikan
gagasan-gagasannya adalah pengajian-pengajian dan tempat-tempat lain
di mana ia memberikan pelajaran. Setelah upayanya dalam
menyampaikan benih-benih pembaharuan membuahkan hasil, maka ia
merasa perlu membuat wadah untuk menampung ajaran-ajarannya yang
semakin berkembang itu dalam sebuah wadah; yaitu Muhammadiyah.
Langkah ini merupakan upaya merintis gerakannya dalam bentuk yang
lebih kongkrit.
H.M. Mulyadi dalam “Dunia Baru Islam” tulisan L. Stoddard,
mengatakan bahwa karena :
“...didorong oleh sebab-sebab dan suasana yang ada di sekelilingnya
ketika itu. Ia mulai menginsafkan beberapa keluarganya sendiri dan
teman sejawatnya yang terdekat di Yogjakarta, dengan mengajak berfikir
secara baru dalam pengajian-pengajian agama dan cjeramah-cjeramah. Ia
dirikan juga sekolah-sekolah yang dalamnja diajarkan jiwa Islam murni
ke dalam jiwa-nya angkatan muda yang bersekolah di sekolah-sekolah
umum ditekankanja untuk perlu menanamkan jiwa tauhid dalam rangka
memperhebat kepribadianja.”
Dari peristiwa sejarah ini, Khozin menyimpulkan beberapa hal:
1. Pendidikan Muhammadiyah –dikelola oleh K.H. Ahmad Dahlan–
lahir pertama kali dalam suasana pendidikan umat yang
memprihatinkan, terutama pendangkalan nilai-nilai Islam dalam suatu
proses penjajahan yang mengarah ke sekularisasi,
2. Sebagai cikal bakal pendidikan Muhammadiyah adalah pengajian-
pengajian dengan suasana kesederhanaan yang langsung dibimbing
oleh Ahmad Dahlan,
Untuk mewujudkan cita-cita pembaharuan dalam pendidikan ini,
Ahmad Dahlan dengan kesungguhannya dan secara terus menerus
menanamkan benih-benih pembaharuannya, baik melalui sekolah di
mana ia mengajar maupun melalui ceramah-ceramahnya.
Untuk mewujudkan ide pembaharuan di dalam bidang pendidikan,
Dahlan merasa perlu mendirikan lembaga pendidikan yang berorientasi
pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal.
Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka
dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia
menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan
tradisional secara integral.
Komitmen Dahlan terhadap pendidikan agama sedemikian kuat.
Oleh karena itu, di antara faktor utama yang mendorongnya masuk
organisasi Boedi Oetomo pada tahun 1909 adalah untuk mendapatkan
peluang memberikan pengajaran agama kepada para anggotanya, selain
juga agar bisa membuka kesempatan memberikan pelajaran agama di
sekolah-sekolah pemerintah. Pendekatan ini dilakukan karena para
anggota organisasi Boedi Oetomo umumnya bekerja di sekolah dan
kantor pemerintah waktu itu.
Pada perkembangan berikutnya, Ahmad Dahlan mencoba
mendirikan sebuah madrasah dengan memakai bahasa Arab sebagai
pengantar dalam lingkungan kraton Yogyakarta, namun usaha ini gagal.
Selanjutnya atas dorongan para pengurus Boedi Oetomo, pada tanggal 1
Desember 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah dasar di
lingkungan kraton Yogyakarta. Di sekolah ini pelajaran umum diberikan
oleh beberapa guru pribumi berdasarkan sistem pendidikan gubernemen.
Sekolah ini barangkali merupakan sekolah Islam swasta pertama yang
memenuhi persyaratan untuk mendapatkan subsidi pemerintah dan
kemudian mendapatkan subsidi tersebut. Tidak berpuas diri mendirikan
satu sekolah, Dahlan juga mendirikan sekolah yang sama di kampung
Yogya yang lain.
Setelah membentuk perkumpulan Muhammadiyah, pada tanggal 18
Nopember 1912, pendidikan yang dirintis oleh Dahlan berkembang
dengan pesatnya. Untuk memenuhi tenaga pengajar pada sekolah-sekolah
tersebut, di samping guru yang berasal dari sekolah pemerintah, juga dari
sekolah calon guru yang didirikan oleh Dahlan sendiri pada 8 Desember
1921, yaitu Kweek School Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimin) dan
Kweek Istri Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimat).
Sepuluh tahun setelah berdirinya Muhammadiyah, perkembangan
pendidikan yang dipelopori oleh Ahmad Dahlan berkembang cukup
pesat. Di Yogyakarta sendiri, pada tahun 1923 telah berdiri empat
sekolah dasar Muhammadiyah, dan sudah mulai mempersiapkan
mendirikan sekolah HIS. Tidak hanya itu, Dahlan juga memperluas ide
pembaharuan pendidikannya melalui sekolah-sekolah yang didirikan di
berbagai daerah di luar Yogyakarta. Dalam catatan Sucipto, pada tahun
1922, Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru
dan 1019 siswa. Sekolah-sekolah tersebut diantaranya adalah opelding
school di Magelang, Kweeck School (Purworejo), Normal School
(Blitar), NBS (Bandung), Algemeene School (Surabaya), Hoogers
Kweeck School (Purworejo).
Dalam menyebarkan ide-ide pembaharuannya, melalui pendirian
berbagai lembaga pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan bukan tanpa kendala,
pada saat mendirikan sekolah rakyat Muhammadiyah di Suronatan
Yogyakarta yang kemudian terkenal dengan nama Standar School atau
sekolah standar, ia mengalami kekurangan biaya, sehingga harus
mengikhlaskan barang-barang rumah tangganya dilelang guna
meneruskan pendirian sekolah tersebut.
Demikian sebagian tentang perjalanan K.H. Ahmad Dahlan dalam
usaha mendirikan dan mengembangkan lembaga pendidikannya. Karena
menurut Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari
pola berfikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah
melalui pendidikan. Pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala
prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya
dididik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam
memeta dinamika kehidupannya pada masa depan. Adapun kunci bagi
meningkatkan kemajuan umat Islam adalah dengan kembali pada al-
Qur’an dan hadits, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam
yang komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pelaksanaan pendidikan –menurut Dahlan– hendaknya didasarkan
pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan kerangka filosofis
bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara
vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam,
paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai ‘abd
Allah dan khalifah fi al-ardh.
Tujuan Pendidikan
Ahmad Dahlan tidak secara khusus menyebutkan tujuan
pendidikan. Tetapi dari pernyataan yang disampaikannya dalam berbagai
kesempatan, tujuan pendidikanAhmad Dahlan adalah : “ Dadijo Kijahi
sing kemadjoean, adja kesel anggonmoenjamboet gawe kanggo
Moehammadijah”. Dalam pernyataan sederhana tersebut, terdapat
beberapa hal penting, yaitu “kijahi”, “kemadjoean” dan “njamboet gawe
kanggo Moehammadijah”.
Istilah Kiai merupakan sosok yang sangat menguasai ilmu agama.
Dalam masyarakat Jawa, seorang Kiai, adalah figur yang shalih,
berakhlaq mulia dan menguasai ilmu agama secara mendalam. Istilah
kemajuan secara khusus menunjuk kepada kemoderenan sebagai lawan
dari kekolotan dan konservatisme. Pada masa Ahmad Dahlan kemajuan
sering diidentikkan dengan penguasaan ilmu-ilmu umum atau
intelektualitas dan kemajuan secara material. Sedangkan kata “njamboet
gawe kanggo Moehammadijah” merupakan manifestasi dari keteguhan
dan komitmen untuk membantu dan mencurahkan pikiran dan tenaga
untuk kemajuan umat Islam, pada khususnya, dan kemajuan masyarakat
pada umumnya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, Amir Hamzah menyimpulkan
tujuan pendidikan menurut Ahmad Dahlan adalah untuk membentuk
manusia yang :
‘Alim dalam ilmu agama; Berpandangan luas, dengan memiliki
pengetahuan umum; Siap berjuang, mengabdi untuk Muhammadiyah
dalam menyantuni nilai- nilai keutamaan pada masyarakat.
Rumusan tujuan pendidikan tersebut merupakan “pembaharuan”
dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu
pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. Di satu sisi
pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang
salih dan mendalami ilmu agama. Di dalam sistem pendidikan pesantren
tidak diajarkan sama sekali pelajaran dan pengetahuan umum serta
penggunaan huruf latin. Semua kitab dan tulisan yang diajarkan
menggunakan bahasa dan huruf Arab. Sebaliknya, pendidikan sekolah
model Belanda merupakan pendidikan “sekuler” yang di dalamnya tidak
diajarkan agama sama sekali. Pelajaran di sekolah ini menggunakan
huruf latin. Akibat dualisme pendidikan tersebut lahirlah dua kutub
intelegensia: lulusan pesantren yang menguasai agama tetapi tidak
menguasai ilmu umum dan lulusan sekolah Belanda yang menguasai
ilmu umum tetapi tidak menguasai ilmu agama.
Melihat ketimpangan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa
tujuan pendidikan yang “sempurna” adalah melahirkan individu yang
“utuh” : menguasai ilmu agama dan ilmu umum, material dan spiritual
serta dunia dan akhirat. Bagi Ahmad Dahlan kedua hal tersebut (agama-
umum, material-spiritual dan dunia-akhirat) merupakan hal yang tidak
bisa dipisahkan satu sama lain. Inilah yang menjadi alasan mengapa
Ahmad Dahlan mengajarkan pelajaran agama ekstra kurikuler
diKweekschool Jetis dan Osvia Magelang serta mendirikan madrasah
Muhammadiyah yang didalamnya mengajarkan ilmu agama dan ilmu
umum sekaligus.
Materi Pendidikan
Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan
berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya
meliputi:
1. Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter
manusia yang baik berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah.
2. Pendidikan individu, yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesadaran individu yangutuh yang berkeseimbangan antara
perkembangan mental dan jasmani, antara keyakinandan intelek,
antara perasaan dengan akal pikiran serta antara dunia dan akhirat.
3. Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan
kesediaan dankeinginan hidup bermasyarakat.
Meskipun demikian, Ahmad Dahlan belum memiliki konsep
kurikulum dan materi pelajaran yang baku. Muatan kurikulum pelajaran
agama menurut Ahmad Dahlan bisa dilihat dari materi pelajaran agama
yang diajarkannya dalam pengajian- pengajian di madrasah dan pondok
Muhammadiyah. K.R.H Hadjid, salah seorang murid Ahmad Dahlan,
mengumpulkan ajaran gurunya ke dalam sebuah buku berjudul “Ajaran
Ahmad Dahlan dan 17 Kelompok Ayat-Ayat Al-Quran” yang merupakan
catatan pribadinya selama mengikuti pelajaran agama. Kelompok ayat al-
Qur’an yang sering dan berulang-ulang diajarkan Dahlan antara lain
adalah:
1. Membersihkan diri sendiri
2. Menggempur hawa nafsu mencintai harta benda
3. Orang yang mendustakan agama
4. Apakah artinya agama itu?
5. Islam dan sosialisme
6. Suratul ‘ashri
7. Iman/kepercayaan
8. Amal sholeh
9. Watawa shau bil haqqi
10. Watawa shau bis shobri
11. Al-djihad
12. Wa ana minal muslimin
13. Al-birru
14. Al-Qori’ah ayat 6
15. As-Shaf ayat 3
16. Menjaga diri
17. Al-Hadid ayat 16
Dari pelajaran tersebut dapat dikelompokkan bahwa Ahmad
Dahlan banyak menyampaikan materi yang berkaitan dengan keimanan,
akhlak dan semangat untuk berjuang membela agama dan membantu
sesama.
Metode Mengajar
Di dalam menyampaikan ilmu agama, K.H. Ahmad Dahlan tidak
menggunakan pendekatan yang tekstual, melainkan kontekstual.
Bagaimana cara ia mengajarkan agama antara lain dijelaskan oleh K.H.
Mas Mansur, yang merupakan salah seorang murid dan teman
seperjuangannya. Dalam hal ini, K.H. Mas Mansur, sebagaimana
dijelaskan oleh Abdul Mu’ti, menyebutkan:
“KHA. Dahlan gemar sekali mengupas tafsir dan pandai pula
tentang hal itu. Kalau menafsirkan sebuah ayat, beliau selidiki lebih
dahulu dalam tiap-tiap perkataan dalam ayat itu satu demi satu. Beliau
lihat kekuatan atau perasaan yang terkandung oleh perkataan itu di
dalam ayat yang lain-lain, barulah beliau sesuaikan dengan keadaan
hingga keterangan beliau itu hebat dan dalam serta tepat.”
Di samping menggunakan penafsiran yang kontekstual, Ahmad
Dahlan berpendapat, bahwa pelajaran agama tidak cukup hanya
dihafalkan saja atau difahami secara kognitif, tetapi harus diamalkan
sesuai situasi dan kondisi. Gagasan Dahlan tentang “pembumian” ajaran
al-Qur’an tersebut antara lain tercermin dalam pengajaran surat al-Ma’un
–yang dalam perkembangannya melahirkan majlis pembinaan
kesejahteraan umat (MPKU).
Dalam hal metode mengajar ini, Ahmad Dahlan memilih
menggunakan metode ceramah. Sebagai guru, ia masih merupakan
sumber utama dari proses pembelajaran. Hal ini tentu dapat dipahami,
mengingat kondisi saat itu, selain juga masih terbawa metode pendidikan
ala pesantren. Seperti kita ketahui, dalam pesantren saat itu,
pembelajaran yang menggunakan metode bandongan dan sorogan, sistem
pengajarannya berjalan satu arah. Dari kyai kepada santri, di sini kyai
merupakan satu-satunya sumber belajar, selain kitab-kitab yang
dipelajarai tentunya. Dalam sistem dan metode semacam ini, hampir
pasti tidak ada unsur dialogis (baca: tanya jawab dan diskusi).
Namun demikian, sekalipun metode pembelajarannya nir-diskusi,
namun Dahlan menerapkan pola “learning by doing” (belajar sambil
melakukan). Ilmu yang telah diajarkan harus diamalkan, karena ilmu dan
amal adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Selanjutnya, dilihat dari sistem penyelenggaraannya, sekolah yang
diselenggarakan oleh Ahmad Dahlan meniru sistem persekolahan model
Belanda. Dalam mengajar, Dahlan menggunakan kapur, papan tulis,
meja, kursi dan peralatan lain sebagaimana lazimnya sekolah Belanda.
Berkaitan dengan langkah tersebut, Dahlan berpendapat bahwa untuk
memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang
digunakan dalam sekolah yang maju. Meniru model penyelenggaraan
sekolah tidak berarti mengabaikan ajaran agama sebab penyelenggaraan
sistem pendidikan merupakan wilayah muamalah yang harus ditentukan
dan dikembangkan sendiri.
Catatan Kritis Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan
Sekalipun tidak dalam formulasi dan rumusan filsafat pendidikan
yang eksplisit, K.H. Ahmad Dahlan telah meletakkan landasan bagi
lahirnya pendidikan Islam modern di nusantara. Sumbangan Ahmad
Dahlan tersebut setidaknya dapat dilihat dari tiga aspek.
Pertama, dari aspek filosofis, Dahlan telah meletakkan rumusan
tujuan pendidikan yang “utuh”, non-dokotomik, yang menciptakan ulama
yang intelek dan intelek yang ulama, yakni individu yang menguasai
ilmu agama dan ilmu umum sekaligus. Dalam konsep ini, Dahlan
mencoba melakukan islamisasi terhadap pendidikan kolonial Belanda
yang sekuler. Desain pendidikan Dahlan ini merupakan terobosan
terhadap permasalahan pendidikan pada masa itu yang hanya melahirkan
dua kutub inteligensia yang saling bertentangan: kelompok ulama yang
hanya menguasai ilmu agama sebagai produk pendidikan pesantren dan
kelompok intelektual sebagai produk pendidikan sekolah Belanda.
Kedua, secara kelembagaan K.H. Ahmad Dahlan telah berhasil
meletakkan landasan lahirnya lembaga pendidikan Islam modern di
Indonesia. Sistem sekolah Islam dan madrasah yang sekarang ini
merupakan model lembaga pendidikan Islam yang paling dominan
merupakan pengembangan lebih lanjut dari sistem sekolah dan madrasah
yang dikembangkan oleh Dahlan.
Ketiga, pada aspek kurikulum, Dahlan telah mewariskan desain
kurikulum bagi sekolah Islam dan madrasah, yang merupakan perpaduan
apik antara kurikulum di pesantren dan kurikulum pada sekolah umum.
Kurikulum yang integralistik ini, bahkan tidak banyak mengalami
perubahan dari produk pemikiran Dahlan saat itu, kecuali penyesuaian
terhadap kurikulum pemerintah. Dalam hal kurikulum ini juga, Dahlan
telah berhasil memasukkan pendidikan agama ke dalam lembaga
pendidikan umum, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
swasta non-agama. Walaupun dewasa ini banyak kajian dan diskusi
tentang minimnya pendidikan agama pada sekolah umum, yang dituduh
sebagai sumber rendahnya akhlak peserta didik, namun “jihad” yang
dilakukan oleh Dahlan ketika berusaha untuk mengajarkan agama di
sekolah umum pada lebih kurang seratus tahun lalu itu pantas mendapat
pujian. Usaha Dahlan waktu itu paling tidak telah memberikan porsi –
walau dirasa sangat kurang– pendidikan agama untuk diajarkan pada
sekolah umum non agama.
Gagasan K.H. Ahmad Dahlan dalam pendidikan Islam ini, oleh
Abdul Mu’ti, dianggap telah memberikan kontribusi dalam memecahkan
masalah umat dan bangsa.
Meskipun demikian, gagasan Ahmad Dahlan memadukan dua
kutub Barat-Islam atau sistem pendidikan sekolah-pesantren ke dalam
satu lembaga pendidikan sekolah atau madrasah tidak luput dari
kelemahan. Perpaduan yang kemudian diwujudkan dalam bentuk
kurikulum, dalam perkembangannya masing-masing tetap berdiri sendiri-
sendiri. Materi agama dan ilmu pengetahuan umum belum bisa (untuk
tidak mengatakan tidak bisa) padu (integral/menyatu). Apalagi sekarang,
ketika kelulusan peserta didik hanya ditentukan oleh hasil ujian nasional
yang hanya terdiri dari mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Matematika
untuk tingkat Dasar, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris dan
IPA untuk tingkat SMP/MTs, Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa
Inggris, Fisika, Biologi, dan Kimia untuk tingka SMA/MA jurusan IPA
dan Bahasa Indonesia, Matematika, Bahasa Inggris, Ekonomi, Geografi
dan Sosiologi untuk SMA/MA jurusan IPS, serta hampir sama untuk
jurusan Bahasa dan SMK. Pada kondisi ini, maka pendidikan Agama
tidak ubahnya hanya pelengkap saja.
Merespon model pendidikan Islam semacam ini, di mana masih
ada jurang pemisah antara ilmu agama dengan ilmu umum, Prof.
Abdurrahman Mas’ud menawarkan model pendidikan non-dikotomik.
Menurut Rahman, pendidikan Islam yang masih membedakan antara
ulumuddin dan ulumuddunya, belum layak disebut sebagai pendidikan
Islam yang kaffah atau komprehensif.
C. Kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan
Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh
Muhammadiyah terbatas di karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta,
Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah Pekalongan sekarang. Selain
Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota tersebut pada
tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa
Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai
Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang
Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah
inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi,
dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh
Indonesia. Terdapat pula organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi
munkar, berasa Islam dan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan
Muhammadiyah bermaksud untuk berta’faul (berpengharapan baik) dapat
mencontoh dan meneladani jejak perjuangan nabi Muhammad SAW, dalam
rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi
terwujudnya izzul Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan
kemuliaan hidup sebagai realita.
Faktor utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah
hasil pendalaman K.H. Ahmad Dahlan terhadap Al Qur’an dalam menelaah,
membahas, meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Dalam surat Ali Imran
ayat 104 dikatakan bahwa: “ Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”.
Memahami seruan diatas, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk
membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau perserikatan yang teratur
dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah Islam
amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat.
Periode ini merupakan masa perintisan pembentukan organisasi dan
jiwa serta amal usaha. Selain itu masa pengenalan ide-ide pembaharuan
dalam metode gerakan amaliah Islamiyah. Ahmad dahlan mengenalkan
Muhammadiyah melalui beberapa cara, antara lain silaturahmi, mujadalah
(diskusi), Tausiyah-ma’idhoh hasanah, dan memberikan keteladanan dalam
praktek pengamalan ajaran Islam.
Pada periode ini dibentuk perangkat awal seperti : Majelis Tabligh,
Majelis Sekolahan , Majelis Taman Pustaka, Majelis Penolong Kesengsaraan
Oemoem (PKO), ‘Aisyiyah, Kepanduan Hizbul Wathon (HW), menerbitkan
majalah “SWORO MOEHAMMADIJAH”. Selain itu mempelopori
berdirinya rumah sakit umat Islam, Rumah Miskin, dan Panti Asuhan
Yatim/Piatu, serta menganjurkan dan mempelopori hidup sederhana, terutama
dalam menyelenggarakan Walimatul’Urusy (pesta perkawinan).
Dalam mengadakan perubahan untuk meluruskan kembali ajaran Islam,
Ahmad dahlan menggunakan pendekatan pesuasif (memberikan penjelasan),
sehingga para para penentangnya simpati, bahkan ada yang mengikuti
gerakannya.
Musyawarah Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah telah usai
digelar, diharapkan Pebruari 2011 seluruh Pimpinan Daerah Muhammadiyah
se Jawa Tengah sudah menggelar Musyda, dan bulan Mei 2011 seluruh
Pimpinan Cabang Muhammadiyah se-Jawa Tengah direncanakan telah
selesai menyelenggarakan Musycab. Salah satu agenda yang paling penting
dalam musyawarah diantaranya adalah pemilihan pimpinan melalui system
formatur. Model kepemimpinan untuk kurun waktu 5 tahun ke depan
biasanya lepas dari pembahasan. Padahal model kepemimpinan sangat
menentukan terhadap roda gerakan Muhammadiyah ke depan.
Secara historis model kepemimpinan Muhammadiyah tidak jauh
berkisar dari profil KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan (1868 -1923)
seorang muslim yang mendambakan keutuhan dan kemajuan bangsa melalui
kerja keras, kerja cerdas, kerja ikhlas dan bersikap lugas, tegas, jelas serta
berwawasan luas. Komitmen KH. Ahmad Dahlan untuk mewujudkan
keutuhan dan kemajuan bangsa dapat dilihat dari keterlibatan beliau untuk
aktif pada organisasi Jami’ah al khairiyah, Boedi Oetomo, sebagai penasehat
Syarekat Islam, dan tentunya ketika memimpin persyarikatan
Muhammadiyah. Di sinilah tampak model kepemimpinan KH. Ahmad
Dahlan sangat kooperatif dan akomodatif.
Model yang dikembangkan KH. Ahmad Dahlan berbeda dengan
Persis dan Al-Irsyad. Persis dan Al-Irsyad dalam mensosialisasikan wawasan
keagamaannya menempuh jalur polemik atau debat terbuka sekalipun. KH.
Ahmad Dahlan cenderung menitikberatkan pada transformasi nilai-nilai
melalui prasarana kultural yang tidak menimbulkan guncangan. Oleh karena
itu Muhammadiyah terkesan sebagai organisasi yang berlanggam “Jowo
penuh unggah-ungguh. Itulah kelemahan sekaligus keunggulan
Muhammadiyah.
Model kepemimpinan itu sangat penting, karena mati dan majunya
sebuah organisasi tidak terlepas dengan model kepemimpinan yang
diterapkan. Hal ini senada dengan hasil penelitian Andersen Consulting
Institute for Strategic Change, yang dikutip oleh Warren Bennis dalam On
Mission and Leadership (Frances Hesselbein, 2005:8), bahwa nilai saham di
suatu perusahaan yang memiliki kepemimpinan yang baik tumbuh sebanyak
900% dalam kurun waktu 10 tahun, dibandingkan dengan perusahaan dengan
kepemimpinan yang buruk yang hanya mengalami pertumbuhan 74% dalam
kurun waktu yang sama.
Majalah Fortune dalam usaha mengumpulkan perusahaan-perusahaan
yang disukai pada tahun 1998 mengidentifikasi adanya suatu persamaan dari
perusahaan-perusahaan yang baik. “sebenarnya tidak ada satu faktor pun yang
dapat membuat suatu perusahaan menjadi perusahaan yang baik, tetapi jika
anda dipaksa untuk memilih salah satu faktor yang dapat membuat
perusahaan besar, pilihlah faktor kepemimpinan”. Dalam istilah Warren
Buffer, ‘orang memilih pelukisnya, bukan lukisannya.
Mengingat pentingnya model kepemimpinan tersebut, maka sejak
awal pelantikan pimpinan Muhammadiyah hendaknya sudah menata diri dan
menentukan strategi dalam meraih visi, misi organisasi. Apabila masih
konsisten menerapkan model kepemimpinan kolegial hendaknya kelemahan-
kelemahan dalam model kepemimpinan kolegial segera diantisipasi dan
dicarikan alternatif solusi.
1. Model Kepemimpinan Kolegial
Idealnya model kepemimpinan kolegial didukung oleh kolektivitas
pimpinan yang memiliki latar belakang keilmuan yang variatif,
mengingat amal usaha Muhammadiyah juga bervariasi. Sehingga job
description akan tepat dan sesuai dengan profesi yang digelutinya. Hal
ini senada dengan pendapat E. Durkheim, seorang sosiolog terkemuka, ia
berpendapat dalam masyarakat modern bangunan komunikasinya
didasarkan pada ikatan fungsional. Maka sebuah organisasi akan bisa
eksis dan berkembang bila mengedepankan ikatan fungsional. Sungguh
sangat naif apabila sekolah dan rumah sakit Muhammadiyah dipimpin
oleh orang yang tidak memiliki latar belakang profesional yang sesuai.
Barangkali inilah titik lemah pemilihan pimpinan melalui formatur,
sehingga tatkala akan menempatkan orang yang sesuai dengan
kapabilitasnya kadang mengalami kendala, apalagi tidak boleh rangkap
jabatan dengan organisasi yang sepadan maupun partai politik. Padahal
dalam masyarakat modern orang bisa saja memiliki multi fungsi atau
banyak profesi.
Di satu sisi model kepemimpinan kolegial, tidak akan berjalan
efektif apabila tidak di dukung oleh komitmen dan rasa tanggung jawab
pimpinan yang lain. Orang jawa mengatakan jagakke, karena program
kerja atau tanggung jawabnya sudah ada yang melaksanakan. Apalagi
model struktur organisasi Muhammadiyah, posisi wakil ketua adalah
sebagai koordinator majlis atau lembaga. Sehingga yang memiliki
gagasan untuk menjalankan dan mengembangkan program adalah majlis
atau lembaga tersebut. Fungsi koordinator sebagai pengarah, koordinator
bahkan mempertemukan unsur majlis kadang tidak berjalan secara
maksimal.
2. Tawaran Alternatif Model Kepemimpinan
Apabila mengacu model kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan,
model kepemimpinan KH.Ahmad Dahlan dalam penerapannya lebih
cenderung mendekati model kepemimpinan transformasional. Karena
ada banyak kesamaan teknik memimpin KH. Ahmad Dahlan dengan
model kepemimpinan transformasional.
Sebagai gambaran Daft (1999:427) memberi pengertian bahwa:
Transformational leaders have the ability to lead changes in the
organization’s vision, strategy, and cultureas well as promote innovation
in products and technologies. Hughes, Ginnet, Curphy (2002:416)
mendefinisikan, Transformation leaders possess good visioning,
rhetorical (heighten followers emotional levels and inspire them to
embrace the vision), impression management skills, and they use these
skills to develop strong emotional bonds with followers.
KH. Ahmad Dahlan adalah sosok yang mampu membangun
kepercayaan, kekaguman, kesetiaan, dan penghormatan terhadap orang
yang dipimpin, dan mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada
yang awalnya diharapkan dari mereka. Pemimpin transformasional
mengubah dan memotivasi para pengikut dengan: membuat mereka lebih
menyadari pentingnya hasil tugas,, membujuk mereka untuk
mementingkan kepentingan tim atau organisasi mereka dibandingkan
dengan kepentingan pribadi, mengaktifkan kebutuhan mereka pada
tingkat yang lebih tinggi. Bass & Riggio (2006:6) mengemukakan 4
dimensi gaya kepemimpinan transformasional:
a. Pengaruh Idealis (Idelaized Influence)
Pemimpin berperilaku dan bertindak sebagai contoh atau suri
tauladan. Pemimpin dapat menciptakan rasa kagum (admire), rasa
hormat (respect), dan rasa percaya diri (trust) dari orang yang
dipimpinnya. Pemimpin mempengaruhi anggota atau pimpinan yang
lain melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya
nilai-nilai moral, komitmen, dan keyakinan dalam mencapai tujuan
serta mempertimbangkan akibat-akibat moral dan etik dari setiap
keputusan yang diambil.
b. Motivasi Inspirasional (Inspirational Motivation)
Pemimpin memotivasi dan menginspirasi para anggota dan pimpinan
yang lain dengan menyediakan tantangan kepada mereka. Pemimpin
dapat mengkomunikasikan visinya dengan penuh keyakinan diri,
mereka mendemonstrasikan keteguhan dan komitmen untuk
mencapai tujuan dan memiliki pandangan yang jauh ke depan. Gaya
kepemimpinan ini dapat memperbesar optimisme dan
membangkitkan gairah anggota dan pimpinan yang lain dalam
menggerakkan roda organisasi.
c. Rangsangan Intelektual (Intellectual Stimulation)
Pemimpin merangsang usaha para anggota dan pimpinan yang lain
untuk bertindak secara inovatif dan kreatif dengan mempertanyakan
asumsi, meninjau ulang masalah, dan menangani permasalahan
dalam cara-cara yang baru. Pemimpin mengajak para anggota dan
pimpinan yang lain untuk berpikir secara rasional serta
menggunakan data dan fakta dalam memecahkan berbagai persoalan
yang dihadapi dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka.
d. Pertimbangan Pribadi (Individualized Consideration)
Pemimpin memperlakukan setiap anggota dan pimpinan yang lain
sebagai pribadi yang unik, yang memiliki kecakapan, kebutuhan dan
keinginan yang berbeda satu sama lain. Pemimpin memberikan
perhatian yang khusus kepada mereka untuk meningkatkan prestasi
dan mengembangkan kemampuan mereka. Pemimpin tidak hanya
mengenali kebutuhan mereka dan meningkatkan perspektif mereka,
tetapi juga menyampaikan gagasan atau solusi untuk mencapai
tujuan yang lebih efektif.
Kepemimpinan transformasional menjawab tantangan zaman yang
penuh dengan perubahan. Zaman yang dihadapi saat ini bukan zaman
ketika manusia menerima segala apa yang menimpanya, tetapi zaman di
mana manusia dapat mengkritik dan meminta yang layak dari apa yang
diberikannya secara kemanusiaan. Dalam terminologi motivasi Maslow,
manusia di era ini adalah manusia yang memiliki keinginan
mengaktualisasikan dirinya, yang berimplikasi pada bentuk pelayanan dan
penghargaan terhadap manusia itu sendiri. Kepemimpinan
transformasional tidak saja didasarkan pada kebutuhan akan penghargaan
diri, tetapi menumbuhkan kesadaran para pimpinan untuk berbuat yang
terbaik dan memandang manusia, kinerja, dan pertumbuhan organisasi
adalah sisi yang saling berpengaruh.
Kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses yang pada
dasarnya para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat
moralitas dan motivasi yang lebih tinggi. Pemimpin adalah seorang yang
sadar akan prinsip perkembangan oganisasi dan kinerja manusia sehingga
ia berupaya mengembangkan segi kepemimpinannya secara utuh melalui
pemotivasian terhadap anggota dan pimpinan yang lain dan menyerukan
cita-cita yang lebih tinggi dan nilai-nilai moral seperti kemerdekaan,
keadilan, dan kemanusiaan, bukan didasarkan atas emosi, seperti misalnya
keserakahan, kecemburuan, kebencian apalagi kebohongan.
Indonesia adalah sebuah negara yang lahir setelah sekian lama
terjajah. Belanda sebagai sebuah negara telah menanamkan kekuasaannya
di Indonesia cukup lama. Cukup lama hingga membuat Belanda menjadi
negara yang makmur dan rakyat Indonesia menderita. Belanda melakukan
penindasan dan penjajahan terhadap bangsa Indonesia yang makin lama
makin kuat kekuasaannya. Perbuatan Belanda sangat bertentangan dengan
nilai agama Islam dan nilai prikemanusiaan serta keadilan. Setelah sekian
lama menghadapi situasi yang merugikan masyarakat Indonesia, rakyat
pun bangkit. Perlawanan-perlawanan terhadap kekuasaan Belanda
dilancarkan, baik melalui jalur perlawanan bersenjata maupun tidak.
Zaman terakhir kekuasaan Belanda ditandai dengan pertumbuhan
cepat kesadaran diri secara politik yang merupakan hasil dari perubahan
sosial dan ekonomi, pendidikan Barat, dan gagasan pembaharuan Islam.
Pada masa ini mulai masuk dan diterimanya gagasan-gagasan baru. Zaman
ini kemudian disebut sebagai masa kebangkitan nasional. Upaya
penguasaan seluruh wilayah Indonesia yang dilakukan Belanda, oleh
ulama dimanfaatkan untuk menumbuhkan kesadaran pada diri tentang
adanya musuh bersama. Gerakan ulama membangkitkan kesadaran akan
rasa cinta tanah air, bangsa dan agama.
Kondisi penjajahan dan penindasan yang dialami oleh rakyat
Indonesia telah melahirkan pemahaman pada diri bahwa Islam identik
dengan kebangsaan atau nasionalisme. Realitas sejarah tentang telah
adanya eksistensi kekuasaan politik Islam sejak abad ke-9 M hingga abad
ke-20 M dan tumbuh meluas di seluruh Nusantara Indonesia dijadikan
modal yang sangat berharga oleh Ulama dan Santri, untuk membangkitkan
kembali kesadaran politik umat Islam Indonesia.
D. Pokok-pokok Pikiran KH. Ahmad Dahlan1. Pembaharuan Lewat Politik
Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kyai Ahmad Dahlan telah
melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kyai
diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Ketib
Amin oleh Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat dalam usianya yang
relatif muda sekitar 28 tahun, ketika ayahanda Kyai mulai uzur dari
jabatan serupa. Satu tahun kemudian (1907) Kyai memelopori
Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan
arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kyai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan
badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan
merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan
Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini
diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun
pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang
mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis
Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kyai Mas Mansur dengan tujuan
dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui
pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kyai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi
Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga
untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang
dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang
pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan
Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres
Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kyai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga banyak
terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat
(Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26
(Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong
lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.
Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya
Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Untuk mengetahui informasi perkembangan pemikiran di Timur
Tengah Ahmad Dahlan menjalin hubungan intensif melalui Jami’at Khair
dan masuk menjadi anggotanya pada tahun 1910. Ketika Syarikat Islam
berdiri, Ahmad Dahlan pun ikut serta menjadi anggota.
Rupannya dengan masuknya Ahmad Dahlan pada semua organisasi
tersebut di atas dakwahnya semakin meluas dan mendapat respon positif
dan di dukung oleh kalangan modernis dan perkotaan. Dari sinilah Ahmad
Dahlan mendapat masukan dari berbagai pihak, yang akhirnya pada
tanggal 18 November 1912 Ahmad Dahlan mendirikan wadah gerakan
bagi pikirannya yaitu “Muhammadiyah”.
2. Pembaharuan Lewat Pendidikan
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan
kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka
Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan
Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Dasar-
dasar penetapan itu ialah sebagai berikut:
KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat Islam
untuk menyadari nasibnya sebagai bangsa terjajah yang masih harus
belajar dan berbuat. Dengan organisasi Muhammadiyah yang
didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada
bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal
bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam. Usahanya
memberi warna pada Budi Utomo yang cenderung kejawen dan sekuler,
tidaklah sia-sia. Terbukti kemudian dengan munculnya usulan dari para
muridnya untuk mendirikan lembaga pendidikan sendiri, lengkap dengan
organisasi pendukung. Hal itu dimaksudkan untuk menghindari kelemahan
pesantren yang biasanya ikut mati jika kyainya meninggal. Maka pada 18
Nopember 1912 berdirilah sekolah Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah
Diniyah. Sekolah tersebut mengambil tempat di ruang tamu rumahnya
sendiri ukuran 2,5 x 6 M di Kauman.
Madrasah tersebut merupakan sekolah pertama yang dibangun dan
dikelola oleh pribumi secara mandiri yang dilengkapi dengan
perlengkapan belajar mengajar modern seperti; bangku, papan tulis, kursi
(dingklik; kursi berkaki empat dari kayu dengan tempat duduk panjang),
dan sistem pengajaran secara klasikal. Cara belajar seperti itu, merupakan
cara pengajaran yang asing di kalangan masyarakat santri, bahkan tidak
jarang dikatakan sebagai sekolah kafir. Di sinilah Ahmad Dahlan
menerapkan Al Qur’an surah 96 ayat 1 yang memberi penekanan arti
pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan. Ahmad Dahlan berfikir dengan pendidikan buta huruf
diberantas. Apabila umat Islam tidak lagi buta huruf, maka mereka akan
mudah menerima informasi lewat tulisan mengenai agamanya.
Pemikiran Pendidikan Islam Ahmad Dahlan
Buya merasa tidak puas dengan system dan praktik pendidikan saat
itu, dibuktikan dengan pandangannya mengenai tujuan pendidikan adalah
untuk menciptakan manusia yang baik budi, luas pandangan, dan bersedia
berjuang untuk kemajuan masyarakat. Karena itu buya merentaskan
beberapa pandangannya mengenai pendidikan dalam bentuk pendidikan
model Muhammadiyah khususnya, antara lain:
Pendidikan Integralistik
K.H Ahmad Dahlan (1868-1923) adalah tipe man of action
sehingga sudah pada tempatnya apabila mewariskan cukup banyak
amal usaha bukan tulisan. Oleh sebab itu untuk menelusuri bagaimana
orientasi filosofis pendidikan Beliau musti lebih banyak merujuk pada
bagaimana beliau membangun sistem pendidikan. Namun naskah
pidato terakhir beliau yang berjudul “Tali Pengikat Hidup” menarik
untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Beliau
terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya
ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Beliau
dalam pencerahan akal, yaitu:
a. Pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup
yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan
mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali
dengan di dasari hati yang suci;
b. Akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia;
c. Ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal
manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah
kepada petunjuk Allah swt.
Pribadi K.H. Ahmad Dahlan adalah pencari kebenaran hakiki yang
menangkap apa yang tersirat dalam tafsir Al-Manaar sehingga
meskipun tidak punya latar belakang pendidikan Barat tapi ia
membuka lebar-lebar gerbang rasionalitas melalui ajaran Islam
sendiri, menyerukan ijtihad dan menolak taqlid. Dia dapat dikatakan
sebagai suatu “model” dari bangkitnya sebuah generasi yang
merupakan “titik pusat” dari suatu pergerakan yang bangkit untuk
menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi golongan Islam yang
berupa ketertinggalan dalam sistem pendidikan dan kejumudan paham
agama Islam.
Sistem pendidikan integralistik inilah sebenarnya warisan yang
musti kita eksplorasi terus sesuai dengan konteks ruang dan waktu,
masalah teknik pendidikan bisa berubah sesui dengan perkembangan
ilmu pendidikan atau psikologi perkembangan. Dalam rangka
menjamin kelangsungan sekolahan yang ia dirikan maka atas saran
murid-muridnya Beliau akhirnya mendirikan persyarikatan
Muhammadiyah tahun 1912.
Metode pembelajaran yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan
bercorak kontekstual melalui proses penyadaran. Contoh klasik adalah
ketika Beliau menjelaskan surat al-Ma’un kepada santri-santrinya
secara berulang-ulang sampai santri itu menyadari bahwa surat itu
menganjurkan supaya kita memperhatikan dan menolong fakir-
miskin, dan harus mengamalkan isinya. Setelah santri-santri itu
mengamalkan perintah itu baru diganti surat berikutnya. Ada
semangat yang musti dikembangkan oleh pendidik Muhammadiyah,
yaitu bagaimana merumuskan sistem pendidikan ala al-Ma’un
sebagaimana dipraktekan K.H. Ahmad Dahlan . Anehnya, yang
diwarisi oleh warga Muhammadiyah adalah teknik pendidikannya,
bukan cita-cita pendidikan, sehingga tidak aneh apabila ada yang tidak
mau menerima inovasi pendidikan. Inovasi pendidikan dianggap
sebagai bid’ah. Sebenarnya, yang harus kita tangkap dari K.H. Ahmad
Dahlan adalah semangat untuk melakukan perombakan atau etos
pembaruan, bukan bentuk atau hasil ijtihadnya.
Dalam konteks pencarian pendidikan integralistik yang mampu
memproduksi ulama-intelek-profesional, gagasan Abdul Mukti Ali
menarik disimak. Menurutnya, sistem pendidikan dan pengajaran
agama Islam di Indonesia ini yang paling baik adalah sistem
pendidikan yang mengikuti sistem pondok pesantren karena di
dalamnya diresapi dengan suasana keagamaan, sedangkan sistem
pengajaran mengikuti sistem madrasah/sekolah, jelasnya
madrasah/sekolah dalam pondok pesantren adalah bentuk sistem
pengajaran dan pendidikan agama Islam yang terbaik. Dalam
semangat yang sama, belakangan ini sekolah-sekolah Islam tengah
berpacu menuju peningkatan mutu pendidikan. Salah satu model
pendidikan terbaru adalah full day school, sekolah sampai sore hari,
tidak terkecuali di lingkungan Muhammadiyah.
Mengadopsi Substansi dan Metodologi Pendidikan Modern Belanda
dalam Madrasah-madrasah Pendidikan Agama
Yaitu mengambil beberapa komponen pendidikan yang dipakai
oleh lembaga pendidikan Belanda. Dari ide ini, K.H. Ahmad Dahlan
dapat menyerap dan kemudian dengan gagasan dan prektek
pendidikannya dapat menerapkan metode pendidikan yang dianggap
baru saat itu ke dalam sekolah yang didirikannya dan madrasah-
madrasah tradisional. Metode yang ditawarkan adalah sintesis antara
metode pendidikan modern Barat dengan tradisional. Dari sini tampak
bahwa lembaga pendidikan yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan
berbeda dengan lembaga pendidikan yang dikelola oleh masyarakat
pribumi saat ini. Sebagai contoh, K.H. Ahmad Dahlan mula-mula
mendirikan SR di Kauman dan daerah lainnya di sekitar Yogyakarta,
lalu sekolah menengah yang diberi nama al-Qism al-Arqa yang kelak
menjadi bibit madrasah Mu’allimin dan Mu’allimat Muhammadiyah
Yogyakarta. Sebagai catatan, tujuan umum lembaga pendidikan di
atas baru disadari sesudah 24 tahun Muhammadiyah berdiri, tapi Amir
Hamzah menyimpulkan bahwa tujuan umum pendidikan
Muhammadiyah menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah:
1) Baik budi, alim dalam agama
2) Luas pandangan, alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
3) Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya
Memberi Muatan Pengajaran Islam pada Sekolah-sekolah Umum
Modern Belanda
Muhammadiyah baru memutuskan meminta kepada pemerintah
agar memberi izin bagi orang Islam untuk mengajarkan agama Islam
di sekolah-sekolah Goebernemen pada bulan April 1922. sebenarnya
sebelum Muhammadiyah didirikan ini sudah diusahakan namun baru
mendapat izin saat itu. Hingga akhirnya Muhammadiyah mendirikan
sekolah-sekolah swasta yang meniru sekolah Gubernemen dengan
pelajaran agama di dalamnya. Tujuan pokok organisasi dan pendirian
lembaga pendidikan menjadi orientasi utama K.H. Ahmad Dahlan
sehingga berusaha untuk menandingi sekolah pemerintahan Belanda
dengan mengikuti contoh misi Kristen dengan menyebarkan fasilitas
dan mendesakkan pengalaman iman.
Sekolah Dasar Belada dengan al-Qur’an didirikan dari
keterkesanannya terhadap kerja para misionaris Kristen dan SD
Belanda dengan Alkitabnya. Sekolah Muhammadiyah
mempertahankan dimensi Islam yang kuat, tetapi dilakukan dengan
cara yang berbeda dengan sekolah-sekolah Islam yang lebih awal
dengan gaya pesantrennya yang kental. Dengan contoh metode dan
sistem pendidikan baru yang diberikannya. K.H. Ahmad Dahlan juga
ingin memodernisasi sekolah keagamaan tradisional. Untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Islam, K.H. Ahmad Dahlan
mendirikan sekolah Muallimin dan Muallimat, Muballighin dan
Muballighat. Dengan demikian diharapakan lahirlah kader-kader
Muslim sebagai bagian inti program pembaharuannya yang bisa
menjadi ujung tombak gerakan Muhammadiyah dan membantu
menyampaikan misi-misi dan melanjutkannya di masa depan. K.H.
Ahmad Dahlan juga bekerja keras meningkatkan moral dan posisi
kaum perempuan dalam kerangka Islam sebagai instrument yang
efektif dan bermanfaat di dalam organisasinya karena perempuan
merupakan unsur penting berkat bantuan istri dan koleganya sehingga
terbentuklah Aisyiah. Di tempat-tempat tertentu, dibukalah masjid-
masjid khusus bagi kaum perempuan, sesuatu yang jarang ditemukan
di Negara-negara Islam lain bahkan hingga saat ini. K.H. Ahmad
Dahlan juga membentuk gerakan pramuka Muhammadiyah yang
diberi nama Hizbul Watan.
Menerapkan Sistem Kooperatif dalam Bidang Pendidikan
Kita dapat melihat adanya kerjasama yang harmonis antara
pemerintahan Belanda dengan Muhammadiyah. Keduanya sama-sama
memperoleh keuntungan. Pertama, dari sikap non oposisional. Kedua,
mendukung program pembaharuan keagamaan termasuk di dalam
bidang pendidikan. Sikapnya yang akomodatif dan kooperatif
memberikan ketentuan mutlak untuk bertahan hidup di tengah iklim
yang sangat tidak ramah terhadap gerakan nasionalis pribumi dan
disaat tidak satupun gerakan yang sebanding dengannya dapat
bertahan saat itu. Sehingga K.H. Ahmad Dahlan dapat masuk lebih
dalam pada lingkungan pendidikan kaum misionaris yang diciptakan
oleh pemerintah Belanda, yang saat itu lebih maju kedepan dari pada
sistem penddikan pribumi yang tradisional.
Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa catatan yang direntaskan
oleh buya[24], antara lain:
a. Membawa pembaruan dalam bentuk kelembagaan pendidikan, yang
semula sistem pesantren menjadi sistem sekolah.
b. Memasukkan pelajaran umum kepada sekolah-sekolah keagamaan atau
madrasah.
c. Mengadakan perubahan dalam metode pengajaran, dari yang semula
menggunakan metode weton dan sorogan menjadi lebih bervariasi.
d. Mengajarkan sikap hidup terbuka dan toleran dalam pendidikan.
Dengan Muhammadiyahnya buya berhasil mengembangkan lembaga
pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan
dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum.
Berhasil memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam sistem
pendidikan yang dirancangkannya.
3. Pembaharuan Pemikiran Budaya
Ketika Grebeg Hari Raya dalam tradisi Kraton Yogyakarta jatuh
sehari sesudah hari raya Islam, Kyai meminta menghadap Sri Sultan
Hamengku Buwono VIII. Tengah malam, diantar Kanjeng Kyai Penghulu,
Dahlan diterima Sang Raja dalam sebuah ruang tanpa lampu. Setelah
Dahlan menyampaikan usul agar Grebeg diundur sehari, Raja bersabda
bahwa Grebeg dilaksanakan sesuai dengan tradisi Jawa, Dahlan
dipersilakan menyelenggarakan shalat Hari Raya sehari lebih dahulu. Kyai
begitu terkejut mendapati ruang paseban penuh dengan pangeran dan
pejabat kerajaan mendampingi Raja saat lampu ruang paseban dinyalakan.
Sang Raja kembali bersabda bahwa pemadaman lampu itu sengaja
dilakukan agar Dahlan tidak merasa kikuk saat menyampaikan usulnya
kepada Raja.
Hubungan harmonis Dahlan dan pusat kekuasaan Jawa cukup unik
dan menarik dikaji ketika kerajaan dipandang sebagai pusat tradisi
Kejawen yang penuh mistik. Kelahiran Muhammadiyah sendiri berkait
dengan kebijakan Hamengku Buwono VII dan VIII. Kepergian Dahlan
naik haji dan bermukim di Mekkah adalah perintah langsung Sri Sultan
Hamengko Buwono VII. Raja memandang penting Raden Ngabei Ngabdul
Darwis (nama kecil Ahmad Dahlan) belajar Islam dari asal kelahirannya.
Sepulang haji, Sri Sultan Hamengku Buwono VIII memerintahkan Dahlan
bergabung dalam Boedi Oetomo. Reformasi Islam pun mulai berlangsung
dari sini.
Konflik keras justru muncul dalam komunitas Kauman dari ulama
senior dan Kiai Dahlan. Disharmoni Muhammadiyah dan pusat kekuasaan
Jawa mulai muncul ketika gerakan ini memperkuat ortodoksi Fikih
sesudah pendirinya wafat tahun 1923. Gerakan pembaruan Islam
kemudian berkembang berhadap-hadapan dengan pusat kekuasaan Jawa.
Suasana sosial politik yang melingkupi kehidupan Dahlan di atas
berbeda dengan pembaru Islam Saudi Arabia, Mesir, Iran, Afganistan,
Aljazair, Pakistan, atau India. Jika para pembaru itu banyak berhubungan
dengan pusat kebudayaan Eropa (Perancis dan Inggris), Kiai memperoleh
pendidikan di lingkungan kerajaan. Interaksinya dengan elite kerajaan,
pejabat kolonial, priayi Jawa, pendeta, dan pastor memberi ruang lebih
luas menjelajahi berbagai persoalan dunia global atau nasional dan lokal.
4. Pembaharuan Pemikiran Ekonomi
Jiwa ekonomi terlihat dari profil kehidupan KH. Ahmad Dahlan
yang bekerja sebagai pedagang batik (bussinessman) di samping kegiatan
sehari-harinya sebagai guru mengaji dan khatib. KH. Ahmad Dahlan
sering melakukan perjalan-an ke berbagai kota untuk berdagang. Dalam
perjalanan bisnisnya, KH. Ahmad Dahlan selalu membawa misi dakwah
Islamiyah.
Kepada para aktivis organisasi dan para pendukung gerakannya,
KH. Ahmad Dahlan berwanti-wanti: “Hidup-hidupilah Muhammad-iyah,
dan jangan hidup dari Muhammadiyah”. Himbauan ini menimbul-kan
konsekuensi tertentu. Menurut Dawam Raharjo mengatakan, konsekuensi
yang lain adalah bahwa untuk memperjuangkan kepentingan ekonominya,
mereka harus memajukan usahanya agar bisa membayar zakat, shadaqah,
infaq atau memberi wakaf, warga Muhammadiyah harus menengok ke
organisasi lain. Pada waktu itu, yang bergerak di bidang sosial-ekonomi
adalah Sarekat Dagang Islam (SDI), kemudian bernama Sarekat Islam (SI)
itu. Itulah sebabnya warga Muhammadiyah sering berganda keanggotaan,
Muhammadiyah dan Sarekat Islam.
Pada tahun 1921, Muhammadiyah memprogramkan perbaikan
ekonomi rakyat, salah satunya adalah dengan membentuk komisi
penyaluran tenaga kerja pada tahun 1930. Pada perkembangan selanjutnya,
tahun 1959 mulai dibentuk jama’ah Muhammadiyah di setiap cabang dan
terbentuknya dana dakwah. Program-program ekonomi yang dirancang
ternyata menjadi dorongan untuk terbentuknya Majelis Ekonomi
Muhammadiyah.
Namun, sebagaimana diungkap Mu’arif (2005:223), dalam
persoalan ekonomi ini, Persyarikatan Muhammadiyah mengalami posisi
dilematis. Di satu sisi, visi ekonomi ketika hendak membangun
perekonomian yang tangguh haruslah didasarkan pada profesionalisme.
Adapun untuk mengantarkannya pada profesionalisme itu biasanya
menggunakan cara yang mengarah pada dunia bisnis kapitalis. Hal ini
tentunya bertolak belakang dengan visi kerakyatan yang pada awal
berdirinya persyari-katan menjadi agenda utama.
5. Pembaharuan Bidang Sosial
Praktek amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang
tersebut dalam surah Al Maun yang secara tegas memberi peringatan
kepada kaum muslimin agar mereka menyayangi anak-anak yatim dan
membantu fakir miskin. Aplikasi surah al Ma’un ini adalah terealisirnya
rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin.
Ketika menerapkan Al Qur’an surah 26 ayat 80, yang menyatakan
bahwa Allah menyembuhkan sakit seseorang, maka didirikannya balai
kesehatan masyarakat atau rumah sakit-rumah sakit. Lembaga ini
didirikan, selain untuk memberi perawatan pada masyarakat umum,
bahkan yang miskin digratiskan, juga memberi penyuluhan, betapa
pentingnya arti sehat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
1. Sebagai seorang muslim kita harus mengetahui sejarah agama dan tokoh
pendiri islam.
2. Kita harus memperdalam wawasan kita mengenai ajaran islam
Muhammadiyah.
3. Jangan mencukupkan diri kita dengan membaca tentang sejarah agama
saja tetapi kita harus mengamalkan dan memperkokoh ajaran yang telah
ada.