39
KHAZANAH PANTUN LUTUNG KASARUNG JACOB SUMARDJO Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sastra Oleh Firmansyah NPM: 180210110003 Sastra Sunda FAKULTAS SASTRA

file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

  • Upload
    dodung

  • View
    258

  • Download
    8

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

KHAZANAH PANTUN LUTUNG KASARUNG

JACOB SUMARDJO

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Pengantar Ilmu Sastra

Oleh

Firmansyah

NPM: 180210110003

Sastra Sunda

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2011

Page 2: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

KATA PENGANTAR

Laporan dengan judul Khazanah Pantun Sunda Jacob Sumardjo sengaja

dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Sastra, banyak kendala yang

penyusun jumpai dalam pembuatan laporan ini, diantaranya minimnya waktu.

Sedangkan untuk buku sumber atau sumber materi sebagai referensi penyusunan

laporan ini tidak ada hambatan yang berarti sehingga penyusunan laporan ini

dapat terlaksana walaupun amat sederhana.

Puji syukur penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT karena atas karunia-

Nya penyusun dapat menyelesaikan laporan ini. Ucapan terimakasih penyusun

ucapkan pada yang tertera di bawah ini

1. Asep Yusup Hudayat, M.A. dosen mata kuliah pengantar ilmu sastra

2. Waway Tiswaya M.Hum. dosen mata kuliah bahasa Indonesia

3. Prof.Dr.Hj. T. Fatimah Djajasudarma dosen wali

Dan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah

memotivasi pembuatan laporan ini.

Sesungguhnya kesempurnaan hanya milik-Nya begitu pula dengan laporan

ini. Sebuah harapan yang mungkin tak berlebihan, semoga laporan ini bermanfaat.

Jatinangor, November 2011

Penyusun,

i

Page 3: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR .............................................................................................i

DAFTAR ISI ...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

1.1 Parafrase ................................................................................................1

1.2 Sosok Jacob Sumardjo ..........................................................................2

1.3 Cerita Pantun Lutung Kasarung ...........................................................6

BAB II DESKRIPSI .............................................................................................11

2.1 Pengantar .............................................................................................11

2.2 Rajah ..................................................................................................11

2.3 Makna Pantun Lutung Kasarung.........................................................12

2.4 Kajian Sosio Budaya...........................................................................16

BAB III PENUTUP...............................................................................................20

3.1 Simpulan..............................................................................................20

3.2 Kritik dan Saran...................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................22

DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................iii

ii

Page 4: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Parafrase

Cerita rakyat atau legenda adalah cerita pada masa lampau yang menjadi ciri

khas setiap bangsa dengan kultur budaya dan sejarah yang dimiliki masing-

masing bangsa. Cerita rakyat pada umumnya diwariskan secara turun-menurun

dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam masyarakat tertentu. Cerita rakyat

bukanlah sekedar cerita biasa yang hanya ditujukan untuk menghibur, tetapi juga

mengandung nilai-nilai kehidupan, moral, emosional, bahasa, religi, sosial budaya

dan lain-lain. Setiap bangsa memiliki cerita rakyat masing-masing, lewat cerita-

cerita rakyat ini banyak sekali yang dapat diketahui sebuah tradisi adat, serta

kebudayaan yang berkembang diberbagai tempat. Dalam masyarakat Sunda

dikenal cerita pantun dan babad. Cerita pantun adalah cerita-cerita yang terdapat

dalam tradisi lisan masyarakat Sunda.

Semua gambaran yang terdapat dalam cerita didengar secara turun-temurun.

Cerita pantun diceritakan oleh juru pantun hanya pada waktu-waktu tertentu saja

yang dianggap penting dan suci, misalnya pada waktu ngaruat, ngagusar, nadar

dan lain-lain. Sebelum bercerita juru pantun terlebih dahulu ngarajah, atau

mengucap mantra untuk meminta ijin kepada para Hyang atau karuhun (nenek

moyang). Diantara cerita-cerita pantun ada yang dianggap keramat oleh juru

pantun sehingga hanya beberapa juru pantun yang berani menceritakannya. Cerita

pantun Lutung Kasarung, Mundinglaya di Kusumah, Ciung Wanara dan Nyai

Pohaci Sang Hyang Sri adalah beberapa cerita-cerita pantun yang dianggap

keramat. Di antara keempat cerita tersebut, Lutung Kasarung adalah cerita yang

dianggap paling keramat, sehingga jarang sekali ada juru pantun yang berani

menceritakannya. Cerita Lutung Kasarung sendiri dicatat oleh seorang mantri

gudang kopi Kawunglarang bernama Argasasmita di wilayah Majalengka.

1

Page 5: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

2

1.2 Sosok Jacob Sumardjo

Jacob Sumardjo Lahir di Jombor, Danguran, Klaten, 26 Agustus 1939, bagi

ayah tiga anak dari perkawinannya dengan Jovita Siti Rochma pada tahun 1969

itu, dunia pantun merupakan dunia “baru”. Setelah belajar di IKIP Sanata

Dharma, Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan ke IKIP Bandung, ia mengajar

di SMA St Angela, Bandung, sebagai guru sejarah dan menggambar.

Ia juga mengajar di STSI, selain di Institut Kesenian Jakarta (IKJ), Fakultas

Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas

Pasundan (Unpas) untuk mata kuliah Filsafat Seni, Antropologi Seni, Sejarah

Teater, dan Sosiologi Seni. Tetapi segudang kegiatannya itu tidak mengurangi

minat yang sudah lama digeluti sebagai pengarang cerita pendek, kritikus sastra

dan penulis esai di berbagai media, baik di Bandung maupun Jakarta. Dari

tangannya sudah lahir lebih dari 20 buku.

Sejak “tergila-gila” dengan pantun Sunda, ia berusaha memburu transkrip

naskah-naskah pantun Sunda. Ia sudah menghasilkan dua buku kumpulan

tulisannya: Hermeneutika Sunda, Simbol-simbol Babad Pakuan/Guru Gantangan

dan Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda, Tafsir-tafsir Pantun Sunda.

Kedua kumpulan karya-karyanya itu menempatkannya sebagai “orang Sunda”

yang lebih nyunda karena kemampuannya menafsirkan karya-karya sastra

masyarakat Sunda. Namun, kelebihan ini tidak mengubah dirinya sebagai

budayawan yang rendah hati dan hidup sederhana.

Perkenalan Jakob Sumardjo dengan pantun Sunda sebenarnya belumlah lama.

Itu berawal ketika diminta Saini K.M. untuk mengulas karyanya berupa naskah

drama Pangeran Sunten Jaya yang akan dipentaskan Kelompok Actors Unlimited

di Bandung pada 31 Agustus 2000 di teater terbuka Selasar Sunarjo. Ia bersedia

mengulasnya kalau bisa membaca cerita pantunnya yang asli, yang ternyata karya

Saini K.M. sendiri, Mundinglaya di Kusumah.

Page 6: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

3

Perkenalan pertama itu menumbuhkan rasa penasarannya terhadap naskah-

naskah pantun lainnya. Ia menyadari, untuk memahami naskah-naskah itu

dibutuhkan ilmu tentang kebudayaan dan sejarah Sunda, pemahaman religi asli

Sunda, religi Hindu Buddha-Tantra, dan antropologi budaya suku-suku Indonesia.

Hanya karena ketekunannya, satu per satu naskah-naskah pantun tersebut bisa

ditafsirkan. Namun, karena cukup banyaknya naskah-naskah tersebut, ia

mengakui baru sebagian kecil yang sudah berhasil diteliti.

Dari naskah-naskah yang sudah diteliti, ia menyimpulkan, cerita pantun

bukan hanya merupakan karya sastra lisan yang luhur dari masyarakat Sunda.

Naskah-naskah tersebut mengandung bagian-bagian yang menyangkut peristiwa

sejarah Sunda, maka pantun memiliki nilai sejarah. Karena itu, cerita pantun

dianggapnya sebagai artefak budaya masyarakat Sunda sekaligus bentuk

kebudayaan Sunda yang paling besar.

“Jika di Jawa terkenal dengan wayang kulit, maka di Sunda sebenarnya seni

pantun. Bukan wayang golek“, ujar pengamat film yang tergabung dalam Forum

Film Bandung (FFB) itu.

Sebagai bentuk kesenian rakyat, seni pantun tersebar di berbagai daerah di

Jawa Barat dan Banten. Nasibnya tak berbeda dengan kesenian tradisional lainnya

yang terdesak. Bahkan, juru pantun sudah makin langka.

Jacob Sumardjo menggunakan pendekatan hermeneutik dalam mengkaji

pantun Lutung Kasarung. Sementara melepaskan diri dari nilai-nilai kini dan

memasuki dunia pantun dengan tata nilai masyarakat yang menghasilkannya.

Jacob Sumardjo mengaku belum pernah menonton pertunjukan pantun. Beliau

hanya membaca cerita pantun dan transkripsi pantun terutama yang telah

dikerjakan oleh Ajip Rosidi (1970). Diakuinya vokal juru pantun dan petikan

kecapi pengiringnya akan membantu memperoleh makna pantun. Meskipun telaah

hanya pada struktur pantun.

Page 7: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

4

Pantun Sunda merupakan seni pertunjukan teater tutur. Teater tutur di

Indonesia tersebar seperti kentrung di Jawa Timur, jemblung di Banyumas,

warahan di Lampung, dingdong di Gayo, sinrili di Sulawasi Selatan, bakaba di

Minangkabau dan lain-lain. Pantun dipertunjukan oleh seorang pencerita dan

diiringi oleh instrumen musik tradisional suku.

Di Jawa Barat dan Banten juru pantun melantunkan sebuah kisah dengan

diiringi instrumen musik kecapi. Umumnya pertunjukan pantun pada malam hari

“di luar waktu” manusia (kegiatan manusia sehari-hari), yaitu “waktu suci”.

Pertunjukan pantun terutama ditujukan untuk ruatan (upacara keselamatan).

Hingga tahun 1950-an pantun masih sering dipertunjukan. Tetapi menjelang tahun

1970-an sudah jarang dipentaskan, sehingga banyak budayawan yang berusaha

merekam  dan mentranskripsi pantun-pantun. Juru pantun sudah sangat langka,

karena generasi berikutnya sudah tidak tertarik.

Jacob Sumardjo menarik maksud-maksud dari siloka pantun dengan piawai,

dalam pantun ditemukan pola tetap yang merupakan asas primordial Sunda yaitu 

tritangtu. Segala sesuatu terdiri dari dua kutub yang berlawanan dan berpotensi

konflik, tetapi juga komplementer, saling melengkapi dan saling membutuhkan.

Yang ketiga merupakan hasil perkawinan kedua kutub. Contoh “lelaki” dan

“perempuan” perkawinannya menghasilkan “anak”. Perkawinan Dunia Atas

(Buana Nyungcung) dan Dunia Bawah (Buana Larang) menghasilkan Dunia

Tengah (Buana Panca Tengah).

Artefak berupa peninggalan arkeologi secara fisik di Jawa bagian barat sangat

minim sekali. Maka pantun Sunda dapat menjadi artefak budaya Sunda. Melalui

dekonstruksi pantun kita berusaha menggali dan memahami akar budaya. Nilai-

nilai mana yang harus ditinggalkan dan nilai-nilai mana yang patut dipertahankan

kemudian ditransformasikan. Masyarakat di Nusantara mempunyai akar budaya

yang berbeda di wilayahnya masing-masing dan semua ini harus bersatu. Dan

persatuan itu adalah perkawinan nilai-nilai. Sama saja seperti pada Kebudayaan

Barat apabila sudah berbicara falsafah hidup mereka akan meghadirkan kembali

Page 8: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

5

pemikiran-pemikiran Aristoteles, Socrates, Plato, dll. yang hidup Sebelum

Masehi. “Kita tidak dapat membangun masa depan tanpa mempertimbangkan

akar. Karena akar itulah kekuatan kita. Hidup tanpa akar akan tumbang”.

Demikian tutur Jacob Sumardjo dalam bukunya Simbol-simbol Artefak Budaya

Sunda.

Jacob Sumardjo mencoba menggali kembali akar budaya Sunda melalui

struktur pantun dan memberitahukan kepada generasi masa kini nilai-nilai apa

yang terkandung di dalamnya.

Apa yang dilakukan oleh Jakob Surnardjo adalah bukan saja wajar tetapi

terpuji. Pengkajian yang bersemangat terhadap seni pantun Sunda

rnernbuktikannya sebagai ilrnuwan sejati, yang bekerja tanpa pamrih eksternal,

rnelainkan sernata-rnata keinginan tahu ilmiah terhadap sasaran yang dikaji.

Disarnping itu, pengkajian yang dilakukannya rnernperkuat pula sifat universal

dari ilmu pengetahuan, dalarn arti bahwa apapun yang ditemukan dari suatu

bidang dari kebudayaan apa pun, akan punya hubungan dengan hasil penelitian di

bidang yang sama dari kebudayaan lain. bahwa apa yang ditemukannya dalam

seni pantun Sunda akan ikut menjelaskan berbagai segi di bidang yang sarna di

dalarn kebudayaan-kebudayaan suku lain, bahkan bangsa lain. (Saini K.M.)

Penafsiran pantun selama ini dilakukan secara signifikan. Pemaknaan

berdasarkan pengetahuan manusia zaman sekarang dan untuk kepentingan

manusia sekarang. Kadang pemaknaan demikian itu berdasarkan pengetahuan

filsafat Barat.

Uniknya, Jakob tidak fasih berbahasa Sunda. Untuk menolong

kekurangannya, ia harus membolak-balik Kamus Bahasa Sunda karangan

Satjadibrata. Tetapi tidak semua kata-kata yang dicari padanannya dalam bahasa

Indonesia bisa ditemukan dalam kamus tersebut. Pantun banyak menggunakan

lambang-lambang sehingga tidak mudah dimengerti, apalagi jika sebelumnya

tidak mendalami kebudayaan masyarakat Sunda.

Page 9: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

6

“Untuk mengetahui arti kata-kata tersebut, saya bertanya ke sana-ke mari“,

tuturnya.

Di kalangan masyarakat Sunda, seni pantun merupakan jenis pertunjukan

teater tutur yang memperlihatkan kemampuan bercerita dari “sang juru pantun”

dengan diiringi kacapi pantun. Pagelarannya diselenggarakan sejak pukul 20.00

sampai menjelang subuh sekitar pukul 04.30. Ceritanya pada umumnya berkisar

tentang lakon makhluk-makhluk suci atau keramat atau mempunyai hubungan

dengan Raja dan putra-putra Raja Kerajaan Pajajaran. Beberapa cerita pantun,

seperti Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglaya, dan Nyi Sumur Bandung,

dianggap sebagai keramat.

Untuk memainkannya, banyak persyaratan yang harus dipenuhi, baik pada

saat akan dimulai maupun menjelang akhir pagelaran dengan menyampaikan

rajah. Rajah artinya sama dengan jampi-jampi atau permohonan pagelaran

berlangsung lancar, baik pada saat diselenggarakan maupun sesudahnya.

Guru Besar STSI Bandung itu mengemukakan, gejala pantun sudah ada

sebelum tahun 1518, sebagaimana ditunjukkan oleh naskah lama, Siksa Kandang

Karesian. Boleh jadi masyarakat Sunda sudah mengenalnya sekitar tahun 1400-an,

pada saat berkembangnya budaya Hindu-Buddha di Jawa Barat, sehingga cara

berpikir agama-agama tersebut telah masuk ke dalam pantun. Cara berpikir

tersebut kemudian berkembang dan menyesuaikan diri dengan masuknya Islam di

Tatar Sunda. Selain itu, pantun juga mengandung unsur-unsur budaya lokal.

1.3 Cerita Pantun Lutung Kasarung

Pantun Lutung Kasarung menceritakan perkawinan Guru Minda putra Sunan

Ambu, keturunan Guru Hyang Tunggal, dengan seorang putri bungsu di negara

Pasir Batang. Perkawinan makhluk-makhluk dunia atas dengan dunia tengah ini

menyebabkan bersatunya dunia atas dengan dunia manusia. Yang transenden

menyatu dengan dunia imanen, sehingga keselamatan, kesuburan, kemakmuran,

kesejahteraan, dan kedamaian akan dialami manusia, di dunia ini.

Page 10: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

7

Cerita bermula saat Raja negara Pasir Batang (anu girang), Prabu Tapa

Ageung dan isterinya, Niti Suari, menyerahkan pemerintahan kepada putri

sulungnya, Purba Rarang, karena mengundurkan diri ingin bertapa. Prabu Tapa

Ageung mempunyai tujuh orang putri, tak punya anak lelaki, yang berturut-turut

bernama Purba Rarang, Purba Endah, Purba Dewata, Purba Kancana, Purba

Manik, Purba Leuwih, dan Purba Sari.

Karena Purba Rarang merasa Purba Sari bakal ngalandih ka saing, maka

ia memerintahkan agar adik bungsunya ini diborehan. Maka Purba Sari dilumuri

warna hitam dan dibuang ke Gunung Cupu Mandala Ayu di bagian hulu dayeuh.

Meskipun diperlakukan demikian, Purba Sari menerima dengan baik kemauan

teteh ini.

Purba Sari dan Purba Rarang memang pasangan oposisi antagonistik.

Purba Rarang Sulung, Purba Sari bungsu, Purba Rarang aktif Purba Sari nrimo,

Purba Rarang kelaki-lakian, Purba Sari keperempuanan, Purba Rarang pilihan

ayah-dunia, Purba Sari pilihan Sunan Ambu, Purba Rarang licik, Purba Sari lugu

dan tulus, Purba Rarang di istana, Purba Sari di hutan, Purba Rarang banyak

pengikutnya, Purba Sari sendirian di leuweung, Purba Rarang di lebak, Purba Sari

di hulu. Permainan antagonistik ini akan terus dimainkan sepanjang pantun. Jadi,

pantun dimulai dengan munculnya oposisi biner. Dan pasangan oposisi ini kelak

akan kita lihat menggambarkan oposisi antara kemauan manusia (Purba Rarang)

dan kemauan dewa-dewa (Purba Sari). Moral pantun adalah, ikutilah Purba Sari

kalau mau selamat di dunia ini.

Cerita langsung berpindah ke Sawarga Loka. Sunan Ambu dihadap oleh

putranya Guru Minda yang malamnya bermimpi mengawini putri yang amat mirip

ibundanya itu. Inilah sebabnya dalam pertemuan anak dan ibu itu, Guru Minda

ngalingling ngadeuleu (melirik=lirik mencuri pandang) pada ibundanya. Kata

Sunan Ambu:

Ulah goreng tingkah ka pangasuh

Page 11: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

8

Pamali batan maling

Haram batan jinah

Geura boro pijodoeun

Aya nu sarupa jeung ambu

Di buana panca tengah

Lalu Guru Minda diberi pakaian lutung yang dibuat dari mega mendung.

Dinamakanlah Kandegan Lutung Kasarung, yang dibuang dari keluarga.

Dalam pantun ini seorang dewa tidak menjelma menjadi manusia, tetapi

tetap seorang dewa yang berpakaian lutung. Tidak dikenal faham dewa-raja di

Sunda. Guru Minda tetap Guru Minda, hanya berpakain lutung.

Lutung Kasarung diturunkan ke dunia, di hutan dekat Pasir Batang.

Lutung ini ditangkap Aki Panyumpit, yang kemudian dibawa kepada Ua Lengser,

dan menyerahkannya kepada Purba Rarang yang memesan lutung kepadanya.

Karena lutung ini bisa berbicara seperti manusia, maka Lutung Kasarung

dipelihara oleh adik-adknya yang lima. Ternyata Lutung Kasarung bukan menjadi

teman bermain para putri, tetapi justru kerap kali mengibrak-abrik barang-barang

milik mereka. Lutung Kasarung akhirnya dibawa ke Purba Sari untuk menjadi

temannya di hutan. “ bawalah ke tepi gunung, karena hitamnya sama dengan

Purba Sari, jeleknya sama dengan Purba Sari, kalau menjadi air sama satu leuwi,

kalau menjadi tanah sama selebak,” kata Purba Rarang.

Lutung Kasarung kecewa melihat Purba Sari yang hitam legam. Pada saat

Purba Sari tidur, Lutung Kasarung membuka pakaiannya dan sekejap tiba di

Sawarga Loka Manggung menghadap Sunan Ambu. Dikatakan oleh pantun:

Awak sarua nu lembut

Saraga jeung dewana

Page 12: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

9

Guru Minda mengeluh kepada ibundanya bahwa hidupnya penuh sengsara. Sunan

Ambu menghibur putranya, bahwa semua itu hanya sementara. Kecantikan Purba

Sari sama dengan dirinya, kejelekannya hanya pulasan. Lalu diperintahkannya

putranya itu kembali ke dunia semampang Purba Sari masih tidur malam hari itu.

Sunan Ambu segera memerintahkan Bujangga Seda dan Bujangga Sakti,

yakni dua dari empat Batara di kahiyangan, agar turun ke dunia membereskan

persoalan Lutung Kasarung. Maka diciptakanlah istana lengkap ditempat

pembuangan Purba Sari. Ketika Purba Sari bangun keesokan harinya, ia terkejut

melihat perubahan itu. Ia bertanya kepada Lutung Kasarung:

Utun, pamisalin ti mana

Sok sieun dipamalingkeun

Jawab Lutung Kasarung:

Suhunan pamajikan

Tadi peuting beunang ngimpi buruh naek

Kemudian mandilah Purba Sari di jamban imah. Dan bergantilah rupanya

menjadi aslinya, seorang putri yang cantik, semampu juru pantun menggambarkan

kecantikan gadis Sunda.

Sejak bagian cerita ini, pantun menggambarkan persaingan Purba Rarang

terhadap Purba Sari. Purba Rarang digambarkan oleh pantun demikian:

Nu goreng budi ti leutik

Goreng tuah ti bubudak

Pangaruh jalma nu bedang

Taya batan purba rarang

Pantun Lutung Kasarung selanjutnya menceritakan persaingan itu dalam bentuk

tantangan perlombaan yang setiap kali diajukan Purba Rarang. Inilah bagian

Page 13: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

10

terkenal pantun ini. Purba Rarang yang bersifat amarah semakin dengki kepada

Purba Sari yang tiba-tiba berubah segalanya menjadi saingannya. Namun sikap

Purba Sari tetap aluamah, tunduk dan menjalankan tantangan apa yang diajukan

oleh kakanya itu.

Sunan Ambu yang ada di Sawarga Loka Manggung tidak berdiam diri.

juru pantun selalu menyebutkan Sunan Ambu sebagai berikut:

Sunan Ambu terus panon batan kaca

Katingal salawasna

Sunan Ambu selalu memanggil para Batara untuk menolong Purba Sari

yang sedang disangsara ku nagara. Bahkan kadang Sunan Ambu sendiri “turun”

ke dunia ini untuk menolong Purba Sari yakni dalam bentuk “mimpi”. Inilah

sebabnya pantun ini dinilai amat sakral oleh masyarakat Sunda zaman itu. (Jacob

Sumardjo, 2009)

Page 14: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

BAB II

DESKRIPSI

2.1 Pengantar

Pemupu Data : Firmansyah

NPM : 180210110003

Tanggal Pupuan : 17 s.d 29 November 2011

Jenis data : Cerita Pantun

Bentuk Pupuan : Penyalinan

2.2 Rajah

Pantun Lutung Kasarung dibuka dengan sebuah rajah yang hanya terdiri

dari dua halaman saja, mirip dengan pantun Sunda bagian barat. Dalam pantun

Priangan biasanya rajah tidak panjang, namun terdapat sebuah frase yang akan

diulang-ulang diseluruh pantun. Frase rajah itu berbunyi demikian:

Bul kukus mendung kamanggung

kamanggung neda papayung

ka dewata neda maaf

ka pohaci neda suci

kuring rek diajar ngidung

nya ngidung carita pantun

ngahudang carita wayang

nyilokakeun nyukcruk laku

nyukcruk laku nu bahayu

mapay langkah nu baheula.

11

Page 15: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

12

Lutung tujuh nu ngabandung

kadalapan keur di sorang

bisina terus narutus

bisini narajang alas

palias terus narutus

palias narajang alas

da puguh ngaluring catur

ngembat papatah carita

ti mendi papasinieun?

Ti mana picaritaeun?

Tetep mah ti kahiyangan

Ditandean cupu manik

Cupu manik astagina

Diwadahan sarattangan

Dituruban ku mandepun

Diteundeun dijalan gede

Dibuka kunu ngaliwat

Ku nu weruh disemuna

Ku nu terang dijaksana

Ku nu rancage di hate

Dibuka patinghaleuang

Nu menta dilalakonkeun

2.3 Makna Pantun Lutung Kasarung

Cerita pantung Lutung Kasarung terbagi menjadi tiga bagian yaitu bagian

awal, tengah dan akhir. Bagian awal menceritakan Purba Sari yang dibuang ke

hutan setelah wajahnya dirusak oleh kakaknya yaitu Purba Rarang, yang ingin

merebut mahkota. Bagian tengah menggambarkan pengembaraan Purba Sari

selama menjalani kehidupan di hutan. Pada bagian akhir berisi kisah perkawinan

Page 16: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

13

Purba Sari dengan seekor lutung (kera), yang sebenarnya merupakan penjelmaan

pangeran Guruminda putra Sunan Ambu.

Pembagian awal, tengah dan akhir dari pantun Lutung Kasarung

mengandung makna sebagai dadasar (mendasar), yaitu sebagai yang awal dan

yang akhir. Kedalaman makna tersebut juga terungkap dalam tata urutan upacara

tanam dan panen padi, yaitu tatanen, ngalaksa dan rasulan. Kedudukan cerita

dalam pantun Lutung Kasarung dalam tata urutan upacara tanam dan panen padi,

merupakan pencerminan hakikat hidup masyarakat Sunda yang telah disampaikan

oleh leluhur mereka.

Dalam pantun Lutung Kasarung tergambar perihal orang Sunda yang

sangat memuliakan perempuan. Buktinya, antara lain, dapat kita baca melalui

pantun Lutung Kasarung, sebagaimana dikutip Jakob Sumardjo: "Leut dewata

opat puluh, pohaci opat puluh, bujangga nu opat purah pulang anting." Dalam

Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun Sunda (2003: 239-

243), guru besar dari STSI Bandung ini membahas tentang pohaci. Apa pohaci

itu? Dalam Kamus Bahasa Sunda Kuno-Indonesia susunan Elis Suryani NS dan

Undang Ahmad Darsa (2003: 95), arti pohaci atau pwahaci adalah sebutan untuk

para dewi; makhluk halus yang berwujud wanita dalam alam gaib, kahiyangan

dan bertalian erat dengan pertanian serta kegiatan wanita pada umumnya.

Adapun dari segi etimologinya, kata pohaci atau puhaci merupakan

gabungan dua kata bahasa Sunda kuno: pwah dan aci. Pwah berarti sebutan untuk

wanita dewasa, sedangkan aci merujuk pada arti inti. Pwahaci berarti esensi

perempuan, atau barangkali perempuan inti.

Menurut Jakob Sumardjo sendiri, pohaci adalah pelaksana perintah Sunan

Ambu untuk menolong kebutuhan hidup manusia di bumi (Pancatengah),

terutama yang menyangkut kebutuhan primer, yakni makanan (padi), pakaian, dan

tempat tinggal.

Page 17: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

14

Jadi, setiap sisi yang berhubungan dengan hajat tersebut ada pohaci yang

khusus menjaganya. Misalnya, setiap perkembangan dari tumbuhan padi,

penumbukan padi, proses menanak nasi, menenun kain, semuanya memiliki

pohaci masing-masing. Contohnya, pohaci yang menjaga lisung adalah Sorowong

Jati. Pohaci yang menjaga kapas adalah Ulesan Jati. Namun, yang menjadi

pemimpin para pohaci adalah Girang Candoli.

Jadi, tidak mengherankan, orang Kanekes sangat menghormati pohaci. Hal

itu tecermin dalam sebuah ungkapan orang Kanekes: "Hirup turun ti Nu Rahayu,

hurip lalaran Pohaci" (Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda, Kehidupan

Masyarakat Kanekes, 1986: 75-83). Oleh karena itu, berbakti kepada pohaci,

khususnya Nyi Pohaci Sang Hyang Asri, menjadi salah satu kewajiban

masyarakat Kanekes. Untuk itu, ada pemujaan masyarakat Kanekes yang

diperuntukkan bagi pohaci, yakni upacara kawalu.

Menurut Jakob Sumardjo, sebagaimana yang ia temukan dalam pantun

Lutung Kasarung, ada 40 pohaci dalam kosmologi Sunda lama. Jumlah itu

sebanyak jumlah para dewata. Temuan yang dimaksud adalah kutipan di awal

tulisan: "Leut dewata opat puluh, pohaci opat puluh, bujangga nu opat purah

pulang anting."

Namun, selain dari pantun Sunda, kita juga dapat menelusuri pohaci dari

naskah Sunda kuno. Bagaimana dan siapa saja pohaci dalam naskah Sunda kuno

itu?

Menurut Naskah Sunda kuno, kebanyakan pohaci yang terdapat dalam

naskah Sunda kuno berhubungan dengan kalepasan atau moksa. Mereka biasanya

bersemayam di surga atau kahiyangan. Di antara naskah Sunda kuno pun ada juga

yang menyebutkan posisi pohaci di bumi, terutama yang berkaitan dengan

reinkarnasi.

Dalam naskah Sewaka Darma yang ditransliterasi, direkonstruksi,

disunting, dan diterjemahkan oleh Saleh Danasasmita dan kawan-kawan (1987),

Page 18: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

15

disebutkan bahwa di atas kahiangan dewa Hindu (Isora, Brahma, Mahadewa,

Wisnu, Siwa) ada kahiangan Sari Dewata yang berpenghuni Ni Dang Larang

Nuwati, Wirumananggay, Pwah Langkawang Tidar, Pwah Sekar Dewata.

Setingkat di atasnya, ada kahiyangan Bungawari. Di sinilah bersemayam Pwah

Sanghiyang Sri, Pwah Naga Nagini.

Adapun dalam Carita Ratu Pakuan (suntingan dan terjemahan Undang A

Darsa, 2007), khususnya di bagian awal naskah baris 1-135, disebutkan, gunung-

gunung merupakan tempat bertapanya para pohaci yang bereinkarnasi kepada para

calon istri Ratu Pakuan. Dalam naskah ini disebutkan paling tidak lima pohaci:

Mambang Siyang, Niwarti, Manireka, Hinten Mananggay, dan Raga Pwah

Herang Manik. Kawih Paningkes atau Kawih Panikis, yang ditransliterasi dan

diterjemahkan Ayatrohaedi dan Munawar Holil (1995), menyebut beberapa nama

pohaci, yaitu Pwah Sang Hyang Sri, Batari Sri Kala, Pwah Wirumananggay, dan

Dayang Tresnawati.

Dalam Gambaran Kosmologis Sunda (transliterasi, rekonstruksi,

suntingan, dan terjemahan Edi S Ekadjati dkk, 2004), ada Pwah Batari Sri sebagai

penguasa tertinggi di kayangan; Pwah Lekawati; Pwah Wiru Mananggay dan

Danghyang Trusnawati, pemelihara Bungawari di Pasekulan bukit Tri Jantra si

Jatri Palasari di Gunung Jati.

Naskah Darmajati (Undang A Darsa, dkk, 2004) paling tidak

menampilkan dua nama pohaci yang menghuni kahiyangan. Keduanya adalah

Nagawati yang bertanggung jawab atas seluruh apsari (Nagawati nu nangkes

aksari kalih) dan Nyi Tulaat yang diciptakan lebih awal oleh Sanghyang Maha

(hal 85 dan 100).

Kemudian dalam naskah Sri Ajnyana (J Noorduyn dan A Teeuw, 2006),

diceritakan bahwa dalam perjalanannya ke surga, Sri Ajyana, yang dibuang ke

bumi bersama adiknya pohaci Pwah Aci Kembang, menemui beberapa pohaci,

yaitu Puah Aci Kuning, Sanghiang Sri, Wirumananggay, dan Puah Lakawati.

Page 19: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

16

Namun, naskah Jatiraga atau Jatiniskala (transliterasi, rekonstruksi,

suntingan, dan terjemahan Edi S Ekadjati, dkk, 2004) kiranya banyak memberi

informasi seputar pohaci. Dalam naskah itu disebutkan ada tujuh pohaci: Pwah Sri

Tunjungherang, Pwah Sri Tunjunglenggang, Pwah Sri Tunjunghung, Pwah Sri

Tunjungmanik, Pwah Sri Tunjungputih, Pwah Sri Tunjungbumi, dan Pwah Sri

Tunjungbuwana. Selain itu, tentu saja ada juga pohaci Pwah Wirumananggay.

Ketujuh pohaci itu masing-masing mempunyai apsari, yakni apsari

Tunjungmaba, Tunjungmabra, Tunjungsiang, Tunjungkuning, Nagawali, dan

Naganagini. Ada juga Pwah Sri Sari Banawati, Pwah Aksari Manikmaya,

Mayalara, Atastista, Madongkap, Aksari Nilasi, Mayati, Wadingin, Kumbakeling,

Maya Yuwana, Jana Loka, Manon Hireng, Madwada, Kunti, Titisari, Kindya

Manik, Madipwak, Maya, Jabung, Galetwar, Werawati, Rumawangi, Kinasihan,

Kamwawati, Kemang, Kujati dan Pwah Bintang Kukus, Jatilawang,

Ratnakusumah, Hening Hinisjati, Nongton Manik, Gendang, Kalasan, Kamadipi,

Endah Patala, Sedajati, Imitjati, Jlag Sabumi, Pada Ni Wangi, Keling, Goda

Bancana, dan Saresehkane.

Bila membaca banyaknya nama dan peranan pohaci di kahiyangan dan

pertapaan dari naskah-naskah Sunda kuno di atas, diyakini bahwa orang Sunda

sangat memuliakan perempuan. Apalagi, dalam Jatiraga tertulis, "Aci pwah ma

Sang Hyiang Sri Wisesa" (Hakikat kewanitaan itu ialah kekuasaan Sang Hyiang

Sri).

2.4 Kajian Sosio Budaya

Tentang mithos bermacam pendapat telah disajikan para pakar. Pada

intisarinya Mithos atau Kepercayaan Tradisional adalah “Ekspresi relasional

antara manusia dengan alamnya di mana dia tinggal”. Relasi Urang Sunda dengan

alam fauna di lingkungan hidupnya, terekam dalam kandungan folkloriknya, bisa

ditelusuri dari Cerita Pantun, Babad, Upacara Adat, Ornamen Kriya, Toponimi,

penamaan diri. Untuk bisa menelusuri makna yang terkandung dalam aspek

folklorik tersebut, para seniman atau budayawan Sunda akan menggunakan “Ilmu

Page 20: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

17

Panca Curiga (lima senjata)” yaitu kemampuan untuk mengartikan atau memaknai

secara SILIB (allude), SINDIR (allusion), SIMBUL (symbol, icon), SILOKA

(aphorism) dan SASMITA (depth aphorism), dalam kajian sastra modern disebut

dengan Heurmanuetica dan Semiotica, seperti dalam Cerita Pantun Lutung

Kasarung yang dianggap sakral dan bersifat Kosmogini, dimaknai sebagai

penjelmaan manusia di alam dunia. Gambaran perjuangan manusia yang terus

menerus, gambaran kesetiaan dan kesadaran religius.

Sebagai kajian Sosio Budaya Jawa Barat ada tiga nama fauna yang

diajukan oleh BPLHD untuk dijadikan Ikon Jawa Barat, yaitu:

SURILI (Latin: Presbytis comata), bisa dimaknai sebagai “Suara atau

Pendapat Rakyat”. Hal ini tergambar dalam cerita pantun Lutung Kasarung ketika

Guru Minda dari Kahiyangan diturunkan di tengah hutan wilayah negara Pasir

Batang anu Girang, maka kehadirannya disambut oleh:

“Surili anu sareuri, tingguntayang bararungah,

mapag putra Sunan Ambu, nu lungsur ka marcapada,

Pasir Batang Anu Girang, sagirangeun birit leuwi,

birit leuwi peupeuntasan, peupeuntasan Pajajaran.”

Tetapi ketika Aki Panyumpit mencari binatang buruan, surili-surili itu

menyembunyikan diri dan tidak memperdengarkan suaranya karena ketakutan.

Maka dalam semiotica Sunda gambaran kedua situasi para surili ini bisa dimaknai

bahwa bila rakyat kecil bersuara, hal itu menandakan masyarakat yang sehat dan

bahagia. Sebaliknya bila rakyat kecil tidak terdengar suaranya, menandakan ada

rasa takut yang menghimpit batiniahnya.

Menurut informasi dari ahli satwa (Dalam Seminar BPLH, 22 September

2003 di Bandung), bahwa kebiasaan “surili” bila di hutan selalu ramai bersahut-

sahutan, tetapi bila ada sesuatu yang mencurigakan, mereka akan berdiam

sehingga di hutan pun sunyi senyap.

Page 21: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

18

OWA (Latin: Hylobates moloch), dimaknai sebagai kewaspadaan

kelompok atau keluarga serta mampu mengamati situasi. Tergambarkan dalam

lantunan juru pantun bahwa:

“Di leuweung Sumenem Jati,

owa-owa ngaraririung,

sakumbuhan-sakumbuhan,

ngawaskeun nu karek datang.”

Di hutan Sumenem Jati, owa-owa berkelomp memperhatikan dengan

cermat kepada yang baru datang. Menurut informasi dari ahli satwa (Dalam

Seminar BPLH, 22 September 2003 di Bandung), bahwa kebiasaan “owa” adalah

“monogami” membentuk keluarga khusus.

HEULANG atau ELANG (Latin: Spizaetus bartelsi), dimaknai sebagai

pembawa berita dari alam Kahiyangan, pembawa berita dari alam transcendental

hal ini terkisahkan ketika Guru Minda dari Kahiyangan turun ke marcapada

diiringi para “Guriang” yang menampakkan diri menjadi tujuh ekor elang.

Diartikan pula sebagai gambaran kemampuan untuk mengatualisasikan

diri secara optimal. Dimaknai pula sebagai kemampuan untuk menjaga atau

mengawasi wilayah kekuasaannya (searti dengan kesadaran geo-politis atau geo-

strategi pada masa sekarang). Sering dimaknai pula sebagai gambaran manusia

yang EGALITER dan EQUALITER (salah satu karakter bawaan masyarakat

Sunda - yang berkonsep peladang - berfaham bahwa semua manusia adalah

sederajat dan sama dimata hukum hal ini tersiratkan dalam proses bermasyarakat

Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh. Karakter “ke-egaliter-an” urang Sunda

terkadang cenderung “soliter”, mungkin karena didasari “kepercayaan diri” yang

terlampau tinggi, walau dalam batiniahnya terasa kesendirian yang memilukan.

Seperti inilah rasa kesendirian, ibarat burung elang melayang di angkasa,

tiada berteman, hidup sebatangkara, hati terasa pedih perih, menyesakkan dada.

Page 22: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

19

Berdasarkan wacana mithos di atas, maka tak heran bila ada orang yang

mengidentikkan “karakter manusia” dengan pemaknaan fauna-fauna di atas.

Sesuatu yang biasa terjadi, walaupun sebenarnya MANUSIA-lah makhluk Allah

SWT yang paling mulia.

Page 23: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Lutung Kasarung adalah cerita pantun yang dianggap paling sakral

diantara pantun Sunda yang lain, sehingga jarang sekali ada juru pantun yang

berani menceritakannya.

Cerita pantun Lutung Kasarung bukan hanya merupakan karya sastra lisan

yang luhur dari masyarakat Sunda. Pantun tersebut mengandung bagian-bagian

yang menyangkut peristiwa sejarah Sunda, maka pantun Lutung Kasarung

memiliki nilai sejarah. Karena itu, cerita pantun Lutung Kasarung dianggap

sebagai artefak budaya masyarakat Sunda sekaligus bentuk kebudayaan Sunda

yang paling besar.

Lutung Kasarung (artinya Lutung yang Tersesat) adalah cerita pantun yang

mengisahkan legenda masyarakat Sunda tentang perjalanan Sanghyang

Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke Buana Panca Tengah (Bumi)

dalam wujud seekor lutung (sejenis monyet). Dalam perjalanannya di Bumi, sang

lutung bertemu dengan putri Purba Sari Ayuwangi yang diusir oleh saudaranya

yang pendengki, Purba Rarang. Lutung Kasarung adalah seekor mahkluk yang

buruk rupa. Pada akhirnya ia berubah menjadi pangeran dan mengawini Purba

Sari, dan mereka memerintah Kerajaan Pasir Batang dan Kerajaan Cupu Mandala

Ayu bersama-sama.

3.2 Kritik dan Saran

Cerita rakyat pantun Lutung Kasarung ini mengandung banyak nilai

positif yang diharapkan dapat diserap oleh masyarakat Sunda, khususnya bagi

generasi mudanya untuk memupuk mental dan moral mereka sebagai generasi

penerus bangsa. Sifat-sifat Purba Sari yang selalu sabar dan ikhlas namun selalu

20

Page 24: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

21

berjuang dalam menghadapi cobaan yang terus menerus datang padanya patut

ditiru.

Pada tahun 1926 Lutung Kasarung menjadi film pertama di Indonesia

yang dibuat di Bandung oleh Heuveldrop orang Belanda dan Kruger orang Jerman

dengan judul ”Loetoeng Kasaroeng”. Lutung Kasarung juga pernah ditampilkan

dalam bentuk drama oleh R.T.A. Sunarya seorang bupati Ciamis pada tahun 1947.

Saat ini kurangnya media yang mengangkat cerita Lutung Kasarung menyebabkan

cerita Lutung Kasarung kurang dikenal oleh masyarakat. Hanya peserta didik saja

yang lebih mengenal cerita Lutung Kasarung itupun hanya melalui buku pelajaran

sekolah dengan cerita yang sangat singkat, sehingga inti dari cerita Lutung

Kasarung yang sarat dengan nilai positif ini terlewatkan dan terlupakan begitu saja

oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan sebuah media kreatif yang mendidik

namun menarik agar masyarakat tidak hanya mengenal cerita Lutung Kasarung

tapi juga memahami nilai yang terkandung dalam cerita ini.

Page 25: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

DAFTAR PUSTAKA

Sumardjo, Jacob. 2009. Simbo-Simbol Artefak Budaya Sunda.Tafsir-Tafsir Pantun

Sunda. Bandung:Kelir

Ekajati, S.Edi. 2009. Kabudayaan Sunda Zaman Pajajaran. Jakarta: Pustaka jaya

Rosidi, Ajip. 2000. Ensiklopedi Sunda Alam, Manusia, dan Budaya. Termasuk

Budaya Cirebon dan Betawi. Jakarta: Pustaka Jaya

Abdulwahid, idat, dkk. 2003. Pranata Sosial Dalam Masyarakat Sunda. Jakarta :

Pusat Bahasa departemen Pendidikan Nasional

Hudayat, Asep Yusup. 2007. Metode Penelitian Sastra (Modul). Bandung:

Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.

Darsa, Undang A. & Edi S. Ekadjati. 1995. Fragmen Carita Parahyangan dan

Carita Parahyangan (Kropak 406): Pengantar dan Transliterasi. Seni

penerbitan Naskah Sunda Nomor 1. Jakarta: Yayasan Kebudayaan

Nusantara.

1983 Naskah sunda. Inventarisasi dan pencatatan. Bandung: Kerjasama Lembaga

Kebudayaan Universitas Padjadjaran dengan The Toyota Foundation

(Laporan Penilitian)

Suryani N.S., Elis. 2007.Mengenal Aksara, Naskah, dan Prasasti Sunda.

Tasikmalaya: Dinas Pendidikan Tasik Malaya

1998 Khazanah Penaskahan Sunda. Bandung: Fakultas Sastra Unpad

Rizal, Syamsul. 2007. Antropologi. Jakarta: Widya Utama.

Luxemburg dkk. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

1995. Kebudayaan Sunda. (Suatu Pendekatan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya

Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru

Lubis, Nina H. 2003. Sejarah Tatar Sunda Jilid I & II. Bandung: Satya Historika

Rosidi, Ajip.1966. Kesusastraan Sunda Dewasa Ini. Bandung: Binacipta.

22

Page 26: file · Web viewDan ucapan terimakasih untuk rekan-rekan Sastra Sunda 2011 yang telah memotivasi pembuatan laporan ini. Sesungguhnya kesempurnaan hanya

LAMPIRAN

iii