Upload
others
View
12
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DRAFT KAJIAN
“MENCARI UPAYA PERLINDUNGAN HAM DI
KAPAL ASING”
DISUSUN OLEH :
DIVISI KAJIAN
BIRO GARDAPANA
HIMASISKAL ‘RAMAKARSA’ FTK-ITS 2020
BAB 1
Pendahuluan
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, sudah sepantasnya potensi
wilayah perairan Indonesia dimaksimalkan dalam menunjang kehidupan warga
negaranya. Potensi yang dijanjikan juga tidak main-main besarnya, menurut
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020 potensi maritim kita
diperkirakan mencapai Rp19,6 triliun per tahun. Mulai dari sektor pariwisata, kekayaan
arkeologi, konservasi hingga transportasi perairan menjadi sektor-sektor yang dapat
memberi sumbangsih untuk pertumbuhan ekonomi kita. Selain itu, potensi lapangan
pekerjaan yang tersedia di berbagai sektor yang ada juga tidak kalah melimpahnya.
Menurut Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan 2001-2004 Rokhmin Dahuri, ada
hingga 45 juta lapangan pekerjaan yang tersedia untuk para calon pekerja di Industri
Maritim. Belum lagi bicara soal digitalisasi industri maritim yang kian marak
digaungkan dan sudah berada di depan mata kita. Peluang yang dibawa oleh
digitalisasi sektor maritim antara lain berupa peningkatan tenaga kerja yang diprediksi
hingga mencapai 2,1 juta pekerjaan baru pada tahun 2025.
Sayangnya, berdasarkan hasil publikasi Kementerian Koordinator Maritim dan
Biro Pusat Statistik Publikasi dalam PDB Maritim Indonesia 2010-2016 menunjukkan
jika kontribusi sektor kelautan di Indonesia terhadap ekonomi baru sekitar 6% dari
Produk Domestik Bruto Indonesia per tahun 2018. Meskipun secara perlahan hampir
seluruh provinsi di Indonesia memiliki rencana pengelolaan kawasan laut mereka (tata
ruang laut) atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3) sejak
tahun 2014 yang digadang-gadang kemenko mampu mempercepat pembangunan di
daerah pesisir dan menyelesaikan masalah yang ada, fakta bahwa baru 6% kontribusi
yang disumbang oleh sektor maritim seolah menjadi ironi negara yang bernenek
moyangkan para pelaut. Bagaimana tidak, selain minim kontribusi di kemaritiman
banyak juga warga negara kita yang lebih berminat menjadi pekerja migran di luar
negeri termasuk menjadi ABK khususnya di kapal ikan asing.
Profesi sebagai ABK ahli di kapal asing kerap dianggap gerbang rejeki yang
menggiurkan. Contohnya, negara-negara seperti Cina, Taiwan, dan Korea Selatan
menawarkan upah pada para ABK kita hingga mencapai 300 dolar AS atau setara Rp
4,47 juta per bulan. Padahal Taiwan dan Cina sendiri termasuk negara yang
terklasifikasi sebagai pemberi upah yang lebih sedikit dibanding negara-negara lain.
Belum lagi apabila mendapatkan penempatan di negara-negara seperti Jepang, Korea,
Spanyol dan Selandia Baru yang memiliki standar lebih tinggi.
Sementara itu menurut Destructive Fishing Watch Indonesia, belum ada
regulasi yang mengatur standar upah bagi awak kapal perikanan di negara kita.
Selain standarisasi gaji, kontrak kerja yang menjamin kepastian lama kerja menambah
betah para ABK untuk bekerja di luar. Jika dibandingkan, apabila bekerja pada
pengusaha lokal setidaknya maksimal penghasilan mereka hanya menyentuh angka
Rp 2 juta - Rp 2,5 juta untuk 40 hari kerja. Belum lagi buruh kapal yang hanya digaji
berdasarkan banyaknya tangkapan sehingga tidak memiliki kepastian penghasilan
untuk jangka waktu tertentu. Tentu saja dengan tingkat pendidikan yang umumnya
lulusan SMA, hal-hal tadi bukan lagi menjadi daya tarik untuk penghidupan apabila
disandingkan dengan bekerja di negara lain. Rawannya tindak eksploitasi, kekerasan,
hingga adanya indikasi perdagangan manusia tentu sudah tidak menjadi fokus utama
apabila dihadapkan urusan perut.
Janji Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia tampak terbengkalai jika hal ini
terus-menerus terjadi. Bukan berarti menjadi pekerja migran di sektor maritim adalah
hal yang salah, pasalnya pada 2045 Indonesia diperkirakan membutuhkan setidaknya
22 ribu kapal 100 GT ke atas yang seminimalnya dinaungi 25 tenaga kerja per kapal.
Yang mana apabila dihitung setidaknya ada 550 ribu lapangan pekerjaan yang akan
tersedia kedepannya nampaknya tetap menjadi angan-angan apabila melihat fakta
yang ada.
Sudah sejak lama negara-negara di kawasan Asia menjadi gudang pasok kasus
perbudakan modern. Negara-negara ASEAN seperti Myanmar, Thailand dan Indonesia
turut menyumbang aktif kemunculan kasus macam ini. Perusahaan-perusahaan yang
kian dipermudah ijin pendirian dan permodalannya malah menggunakan keuntungan
yang didapat untuk makin menurunkan standar perekrutan dan penempatan ABK.
Minimnya perlindungan dan tumpang tindihnya birokrasi adalah alasan yang dikalim
menjadi biang kesialan nasib ABK kita yang dieksploitasi habis-habisan di tengah
samudera. Maka dari itu sudah sepantasnya mahasiswa yang memiliki peran sebagai
agent of change peka terhadap ketimpangan dan kemalangan yang saudara se-tanah
air kita alami hingga kelak dapat memahami betul akar masalah yang ada dan
diharapkan mampu mengatasinya di kemudian hari walau dalam skala terkecil
sekalipun.
BAB 2
Landasan
2.1 Kronologi Kasus ( Kapal Long Xing 629 dan Lu Qing Yuan Yu 623 )
Gambar 2.1. Pelarungan ABK Kapal yang telah meninggal di atas kapal Long Xing 629. Sumber:
media.suara.com/pictures/970x544/2020/05/05/82400-jasad-salah-satu-abk-wni-di-kapal-
longxing.jpg\
2.1.1 Kasus Kapal Ikan China Long Xing 629 (2019-2020) Total terdapat 22 ABK yang diberangkatkan untuk bekerja di Kapal Long Xing 629. Selain dua orang yang masih dicari, sebanyak 14 kru kapal telah kembali ke Indonesia, empat orang meninggal, dan dua orang lainnya masih berlayar. Kronologi 13 Februari 2019 : Ke-22 ABK diterbangka ke Busan, Korea Selatan 15 Februari 2019 : ABK WNI mulai berlayar di Kapal Long Xing 629 15 Maret 2019 : Dua ABK atas nama Edo dan Idris dipindahkan ke Kapal Long Xing
630 karena Kapal Long Xing 630 membutuhkan penambahan ABK
22 Desember 2019 : Satu ABK bernama Sepri meninggal dunia karena sakit danlangsung dilarung di laut dari kapal
23 Desember 2019 : 3 ABK lainnya juga sakit dan dipindahkan ke Kapal Long Xing 802
27 Desember 2019 : Salah satu dari ketiga pasien ABK bernama Alfatah meninggal
dan jenazahnya dilarung ke laut 28 Desember 2019 : 2 ABK lain yang sakit dipulangkan ke Tanah Air 8 Maret 2020 : 16 ABK tersisa dipindahkan ke Kapal Tian Yu 8 karena 16 ABK
meminta pulang namun Kapal Long Xing 629 tidak memiliki izin Kembali
2 April 2020 : Satu ABK bernama Ari meninggal saat di perjalanan dan jenazah
dilarung 14 April 2020 : 15 ABK yang tersisa tiba di Busan, Korea Selatan dan menjalani
karantina di Busan 26 April 2020 : Satu ABK atas nama Efendi meninggal saat karntina Fakta Hukum
A. JK dari PT SMG, WG dari PT APJ, dan KMF dari PT LPB ditetapka sebagai tersangka oleh penyidik POLRI atas modus memberi iming-iming gaji sebesar 4.200 dollar AS untuk 14 bulan bekerja di kapal berbendera Korea Selatan namun korban yang diberangkatkan PT APJ tidak menerima gaji sama sekali sementara korban yang diberangkatkan PT SMG hanya menerima upah 1.350 dollar AS selama 14 bulan bekerja, dan korban yang diberangkatkan PT LPB malah dipotong dan hanya menerima 650 dollar AS
B. Ketiga tersangka dijerat UU No. 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara serta denda paling banyak Rp600.000.000,00
C. Barang bukti yang disita polisi pada kasus ini berupa 14 buku paspor, 14 seaman book, 14 tiket keberangkatan, 10 kontrak kerja, dan 14 slip gaji.
2.1.2 Kasus Kapal Ikan China Lu Qing Yuan Yu 623 (2020) Korban berinisial H meninggal di atas kapal dan dilarung di perairan Somalia Kronologi
16 Januari : Almarhum berinisial H meninggal dunia
23 Januari : PT MTB mengaku sudah mengirim Surat Keterangan Kematian dan
Pemakaman, Tembusan Kemlu, Kemenaker dan BP2MI
8 Mei : Kemlu menerima informasi dari pengaduan
9 Mei : Indonesia melalui KBRI di Beijing telah mengirim nota diplomatic
kepada China untuk melakukan penyelidikan kasus lebih lanjut
10 Mei : KBRI meminta Konsul Kehormatan RI di Somalia meminta informasi
dari pihak setempat, namun nihil
13 Mei : Kemenhub menyatakan PT MTB tidak terdaftar sebagai perusahaan
yang mendapat izin untuk merekrut dan menempatkan pekerja migran
Indonesia luar negeri
14 Mei : Kemenaker menginformasi bahwa PT MTB tidak memiliki izin resmi
sebagai perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia
16 Mei : Kemlu RI mengadakan pertemuan dengan PT MTB Bersama kuasa
hukum dan keluarga korban untuk menindaklanjuti kasus.
Fakta Hukum
A. Berdasar PT MTB hak gaji sudah dibayar, santunan sudah dibayar, asuransi
dalam proses administrasi.
B. 2 Agen PT MTB tersangka kasus eksploitasi dan perbudakan WNI ABK
ditetapkan
C. Akta pendirian PT Mandiri Bahari serta Nomor Induk Berusaha ditahan
D. Nota Kesepakatan tentang Pendidikan dan Latihan keterampilan kepelautan PT.
Seaman Jaya Raya dan PT. MTB ditahan
2.2 Perbudakan Modern: Kerja Paksa dan Perdagangan Manusia
Didasarkan oleh pola pikir bahwasannya hak asasi manusia harus dipahami
secara manusiawi sebagai hak yang melekat dengan harkat dan hakikat kemanusiaan,
serta mengesampingkan latar belakang ras, etnik, agama, warna kulit, jenis kelamin,
usia maupun pekerjaan pada hakikatnya tidak ada alasan untuk masih membiarkan
perbudakan terus bernafas dan hidup. Momentum dihapuskannya perbudakan adalah
dengan disahkannya Konvensi untuk Melenyapkan Perbudakan dan Perdagangan
Budak 1926 oleh United Nation yang mencerminkan komitmen untuk melawan dan
menghapus perbudakan dalam tatanan kehidupan sosial. Namun sayangnya, fakta
yang ada tidak mendukung apa yang diharapkan dan malah berbanding terbalik
dengan harapan dideklarasikannya konvensi tersebut.
Meskipun telah berlangsung ribuan tahun lalu, menurut Lizzy van Leeuwen,
praktik perbudakan di Indonesia sendiri dipercaya dimulai pada era kolonialisme
dimana saat itu Jan Pieterzoon Coen menguasai perkebunan pala di Pulau Banda.
Praktik perbudakan yang dilakukan pada kala itu adalah berupa pembelian budak di
pulau tersebut.
2.2.1 Kerja paksa
Menurut Konvensi ILO mengenai Kerja Paksa No. 29 (1930). Menurut Pasal 2,
kerja paksa didefinisikan sebagai: “semua pekerjaan atau jasa yang diminta dari
siapapun dibawah ancaman denda dan untuk mana orang tersebut tidak pernah
menawarkannya secara sukarela.”. Kerja Paksa di Asia Tenggara, khususnya di
Indonesia sepertinya sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Berdasarkan
laporan berjudul “Was Your Seafood Caught By Slaves?” pada 25 Maret 2015,
Anak Buah Kapal (ABK) asal Myanmar, Laos dan Kamboja menjadi bahan
eksploitasi kapal penangkap ikan yang dioperasikan oleh PT. Pusaka Benjina
Resources dimana kegiatan penangkapan ikan terjadi di Benjina, Maluku.
Gambar 2.2. Peta
persebaran resiko perbudakan di kawasan Asia. Sumber: www.just-style.com/analysis/modern-
slavery-risks-rise-in-asia-manufacturing-hubs_id139510.aspx
Menurut Konvensi ILO No 105, kerja paksa TIDAK TERMASUK :
• Setiap pekerjaan atau jasa yang harus dilakukan berdasarkan undang-undang
wajib dinas militer untuk pekerjaan yang khusus bersifat militer
• Setiap pekerjaan atau jasa yang merupakan sebagian dari kewajiban biasa
warga negara dari penduduk suatu negara yang merdeka sepenuhnya
• Setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan pada setiap orang sebagai akibat
keputusan pengadilan dengan ketentuan bahwa pekerjaan atau jasa tersebut
dilaksanakan dibawah perintah dan pengawasan pejabat pemerintah dan orang
tersebut tidak disewa atau ditempatkan untuk digunakan oleh perorangan secara
pribadi, perusahaan atau perkumpulan.
• Setiap pekerjaan atau jasa yang dipaksakan dalam keadaan darurat, ialah
dalam keadaan perang atau bencana atau bencana yang mengancam dan dapat
membahayakan keadaan kehidupan atau keselamatan dari seluruh atau
sebagian penduduk.
• Tugas kemasyarakatan dalam bentuk kecil semacam yang dilakukan oleh
anggota masyarakat tersebut secara langsung dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai kewajiban yang biasa dari warga negara yang dibebankan
pada anggota masyarakat, dengan ketentuan bahwa anggota masyarakat atau
wakil mereka mempunyai hak untuk dimintakan pendapat tentang keperluan
pekerjaan itu.
Indonesia sendiri sudah menjadi anggota ILO sejak tahun 1950. Yang mana hal
ini berarti secara hukum Indonesia sudah menghapuskan apa yang dinamakan
kerja paksa. International Labour Organisation (ILO) telah mengeluarkan
Konvensi no 105 mengenai Penghapusan kerja paksa pada tahun 1957 untuk
lima situasi khusus yaitu:
• Sebagai sarana paksaan politik atau pendidikan atau sebagai hukuman karena
mempunyai atau mengutarakan pendapat politik atau pendapat yang secara
ideology berlawanan dengan sistem politik, sosial atau ekonomi yang sudah
terbentuk
• Sebagai metode untuk memobilisasi dan menggunakan tenaga kerja untuk
tujuantujuan pembangunan ekonomi
• Sebagai sarana disiplin kerja
• Sebagai hukuman karena telah ikut serta dalam pemogokan
• Sebagai sarana diskriminasi rasial, sosial, warga negara atau agama.
Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dalam Undang – Undang no 19
tahun 1999 mengenai pengesahan konvensi ILO tentang penghapusan kerja
paksa.
2.2.2 Perdagangan Orang
Didefinisikan berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, adalah tindakan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan
seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk
tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Berdasarkan pasal tersebut, unsur tindak pidana perdagangan orang ada tiga
yaitu: unsur proses, cara dan eksploitasi. Jika ketiganya terpenuhi maka bisa
dikategorikan sebagai perdagangan orang.
1. Proses : tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan,
pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman
kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,
penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau
memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang
yang memegang kendali atas orang lain tersebut.
2. Cara : ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan,
penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi
rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut.
3. Eksploitasi : tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau
memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
Sanksi yang diberikan pada pelaku tindak pidana
Kurungan Penjara dan atau Denda. Sanksi kurungan penjara, minimal 3 tahun
maksimal 15 tahun. Sanksi denda bagi pelaku perorangan Rp 150-600 juta,
sementara untuk perusahaan sanksi penjara minimal 9 tahun dan maksimal 45
tahun, atau denda minimal sebesar Rp 360 juta, dan maksimal Rp 1,8 miliar.
Korban
Merujuk pada Pasal 1 ayat 3 UU No 21 Tahun 2007, korban adalah seseorang
yang mengalami penderitaan psikis, mental. fisik, seksual, dan atau sosial yang
diakibatkan tindak pidana perdagangan orang
Indikasi perdagangan manusia dalam lingkup pekerja migran
• Perekrutan tanpa Perjanjian Penempatan
• Ditempatkan tanpa perjanjian kerja
• Perekrutan dibawah umur (-18 thn, dokumen dipalsukan)
• Perekrutan tanpa izin suami/orang tua/wali
• Ditempatkan tanpa sertifikat kompetensi (tidak dilatih)
• Hanya menggunakan paspor dengan visa kunjungan
• Ditempatkan oleh perorangan, bukan Perusahaan yang memiliki izin dari
Menteri Tenaga Kerja.
• Dipindahkan ke majikan lain tanpa perjanjian Kerja.
• Dipindahkan ke negara lain yang peraturannya terbuka walaupun tidak sesuai
dengan peraturan Indonesia.
• Beban biaya diatas ketentuan yang ditetapkan pemerintah (over charging).
Hak Korban dan/ atau Saksi
Hak Korban dan/ atau Saksi juga diberikan kepada keluarganya dengan rincian
sebagai berikut:
• Memperoleh kerahasiaan identitas (Pasal 44) Hak ini diberikan juga kepada
keluarga korban dan/ atau saksi sampai derajat kedua.
• Hak mendapat jaminan perlindungan dari ancaman yang membahayakan diri,
jiwa dan/atau hartanya (Pasal 47).
• Restitusi (Pasal 48). (Adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
atas kerugian materiil dan/ atau immateriil yang diderita korban atau ahli
warisnya (Pasal 1 angka 13 Undang – Undang Nomor 21 Tahun 2007).
Pengaturan restitusi berupa ganti kerugian atas garis besarnya adalah sebagai
berikut:
1. kehilangan kekayaan atau penghasilan,
2. penderitaan,
3. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/ atau psikologis, dan/atau
4. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
Restitusi diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan
tentang perkara tindak pidana perdagangan orang. Pemberian restitusi
dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Restitusi
tersebut dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya
putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal pelaku
diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim
memerintahkan dalam putusannya agar uang restitusi yang dititipkan
dikembalikan kepada yang bersangkutan. Pelaksanaan pemberian restitusi
dilaporkan kepada ketua pengadilan yang memutus perkara dan ditandai tanda
bukti pelaksanaannya.
• Rehabilitasi (Pasal 51). Dengan Penjelasan sebagai berikut:
1. Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial,
pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan
mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana
perdagangan orang.
2. Rehabilitasi diajukan oleh korban atau keluarga korban, teman korban,
kepolisian, relawan pendamping, atau pekerja sosial, setelah korban melaporkan
kasus yang dialaminya atau pihak lain melaporkannya kepada Polri.
3. Permohonan diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi
yang menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di daerah. Dalam
penjelasan Pasal 53 ayat (3) menegaskan yang dimaksud dengan pemerintah
adalah “instansi” yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan/ atau
penanggulangan masalah – masalah sosial serta dapat dilaksanakan secara
bersama – sama antara penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota khususnya dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.
4. Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi wajib memberikan
rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan dan integrasi sosial paling
lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak diajukan permohonan.
5. Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi
sosial, ppemulangan dan reintegrasi sosial pemerintah serta pemerintah daerah
wajib membentuk rumah perlindungan sosial atau pusat trauma.
6. Di samping perlindungan seperti yang telah diutarakan, sesuai Pasal 53
dan Pasal 54 bagi korban juga mendapat hak perlindungan antara lain;
• apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya
akibat tindak pidana perdagangan orang, maka menteri atau instansi yang
menangani masalah – masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan
pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari setelah permohonan diajukan;
• apabila korban di luar negeri memerlukan perlindungan, maka pemerintah RI
melalui perwakilannya di luar negeri wajib melindungi pribadi dan kepentingan
korban dan mengusahakan memulangkan ke Indonesia atas biaya negara;
• apabila korban warga negara asing, berada di Indonesia, maka pemerintah RI
mengupayakan perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui
koordinasi dengan perwakilannya di Indonesia
Sementara Definisi human trafficking menurut Persatuan Bangsa – Bangsa
adalah perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan, atau penerimaan
seseorang, dengan ancaman, atau penggunaan kekerasan, atau bentuk-bentuk
pemaksaan lain, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan
atau posisi rentan, memberi atau menerima bayaran atau manfaat untuk
memperoleh ijin dari orang yang mempunyai wewenang atas orang lain, untuk
tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi setidak-tidaknya; pelacuran (eksploitasi
prostitusi) orang lain atau lainnya seperti kerja atau layanan paksa, perbudakan
atau praktek-praktek serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ
tubuh.
Perbudakan kerja terkait dengan banyak aspek kehidupan sehari-hari
bahkan sesederhana persoalan binatang peliharaan di rumah, konsumsi
makanan seperti coklat dan makanan laut, kopi atau teh, merek pakaian atau
elektronik tertentu. Ekonomi global mengharuskan perpindahan modal ke
tempat-tempat di mana biaya produksi dapat dikurangi ke titik yang sangat
rendah. Rantai produksi yang canggih berarti banyak perusahaan tidak sadar
atau tidak mau mengakui bahwa, misalnya, timah yang digunakan sebagian
besar produk elektronik dikirim dari pulau Bangka, Indonesia, dimana masif
eksploitasi anak terjadi. Kita tidak pernah tahu bahwa udang dan makanan laut
lainnya atau kaleng makanan hewan di supermarket terdekat adalah produk
perbudakan dan keji manusia penderitaan di Asia Tenggara.
2.3 Naungan Payung Hukum
1. UU No. 39 Tahun 2004
Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri
2. Permen KKP No. 42 Tahun 2016
Tentang Perjanjian Kerja Laut Bagi Awak Kapal Perikanan
3. Permen KKP No. 2 Tahun 2017
Tentang persyaratan dan Mekanisme Sertifikat Hak Asasi Manusia
4. UU No. 45 Tahun 2009, Pasal 35 A
“kapal perikanan yang berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di
wilayah Indonesia diwajibkan untuk menggunakan nahkoda atau anak buah kapal
yang berkewarganegaraan Indonesia.3Kapal perikanan berbendera asing yang
menangkap ikan di wilayah Zona Ekonomi Eklusif Indonesiajugawajib mempekerjakan
anak buah kapal yang berkewarganegaraan Indonesia minimal 70 % dari jumlah anak
buah kapal.”
5. Permen KKP No. 5 Tahun 2008 Pasal 75
“setiap orang atau badan hukum Indonesia yang akan mempekerjakan tenaga kerja
asing di atas kapal perikanan dan/ atau kapal pengangkut ikan, wajib terlebih dahulu
mendapatkan surat rekomendasi penggunaan tenaga kerja asingdari Direktur
Jenderal.”
6. UU No. 18 Tahun 2017
Tentang Hak-hak ABK yang bekerja di Kapal Asing dimana berstatus buruh migran
Hak-hak sebagai berikut :
A. Mendapatkan pekerjaan di luar negeri dan memilih pekerjaan sesuai dengan
kompetensinya
B. Memperoleh akses peningkatan kapasitas diri melalui Pendidikan dan pelatihan
kerja
C. Memperoleh informasi yang benar mengenai pasar kerja, tata cara
penempatan, dan kondisi kerja di luar negeri
D. Memperoleh pelayanan yang professional dan manusiawi serta perlakuan tanpa
diskriminasi pada saat sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja
E. Menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianut
F. Memperoleh upah sesuai dengan standard upah yang berlaku di negara tujuan
penempatan dan/atau kesepakatan kedua negara dan atau Perjanjian Kerja
G. Memperoleh perlindungan dan bantuan hukum atas Tindakan yang dapat
merendahkan harkat dan martabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di Indonesia dan di negara tujuan penempatan
H. Memperoleh penjelasan mengenai hak dan kewajiban sebagaimana tertuang
dalam Perjanjian Kerja
I. Memperoleh akses berkomunikasi
J. Menguasai dokumen perjalanan selama bekerja
K. Berserikat dan berkumpul di negara tujuan penempatan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara tujuan penempatan
L. Memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan
Pekerja Migran Indonesia ke daerah asal
M. Memperoleh dokumen dan Perjanjian kerja Calon Pekerja Migran Indonesia
dan/atau Pekerja Migran Indonesia
7. UU No. 17 Tahun 2008 (Pasal 151)
Tentang Kesejahteraan Para Anak Buah Kapal
“Setiap AwakKapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang meliputi: gaji, jam kerja
dan jam istirahat,jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke
tempat asal, kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami
kecelakaan,kesempatan mengembangkan karier, pemberian akomodasi, fasilitas
rekreasi, makanan/minuman, dan pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta
pemberian asuransi kecelakaan kerja.”
8. PP No. 7 Tahun 2000 Pasal 21
“seorang anak buahkapal bekerja selama 8 jam setiap hari dengan 1 hari libur setiap
minggu dan hari libur resmi, waktu istirahat paling sedikit 10 jam dari waktu 24 jam.
Anak buah kapal yang masih berusia 16 sampai 18 tahun tidak diperbolehkan bekerja
melebihi 8 jam seharidan waktu istirahat.”
9. Konvensi ILO No. 188 Tahun 2007
Tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan merupakan sebuah konvensi yang
bertujuan untuk memberikan kelayakan kerja di atas kapal bagi para anak buah kapal.
Konvensi ini mengikat bagi kapal dengan panjang 24 meter atau lebih; kapal yang
berlayar di laut selama lebih dari tujuh hari; kapal dengan rute melaut berjarak lebih
dari 200 mil laut garis pantai; kapal dengan rute melaut lebih dari garis terluar landas
kontinen; dan pekerja yang berada di kapal penangkap ikan.Dalam konvensi ini juga
mengatur tentang kesehatan dan keselamatan anak buah kapal yang harus dihormati
oleh kapten kapal (Pasal 8 ayat 2 b). Karena dalam prakteknya banyak terjadi
kekerasan yang dilakukan oleh kapten kapal.
PELARUNGAN
Aturan pelarungan jenazah abk:
- ILO Seafarer’s Service Regulations pasal 30:
Disebutkan, jika ada pelaut yang meninggal saat berlayar, maka kapten kapal harus
segera melaporkannya ke pemilik kapal dan keluarga korban. Dalam aturan itu,
pelarungan di laut boleh dilakukan setelah memenuhi beberapa syarat, yaitu:
1. Kapal berlayar di perairan internasional
2. ABK telah meninggal lebih dari 24 jam atau kematiannya disebabkan penyakit
menular dan jasad telah disterilkan.
3. Kapal tak mampu menyimpan jenazah karena alasan higienitas atau pelabuhan
melarang kapal menyimpan jenazah, atau alasan sah lainnya.
4. Sertifikat kematian telah dikeluarkan oleh dokter kapal (jika ada).
Pelarungan juga tak bisa begitu saja. Berdasarkan pasal 30 tersebut, ketika melakukan
pelarungan, kapten harus memperlakukan jenazah dengan hormat, salah satunya
dengan melakukan upacara kematian.
Pelarungan juga dilakukan dengan cara seksama sehingga jenazah tidak
mengambang di atas air. Salah satu cara yang banyak digunakan adalah
menggunakan peti atau pemberat agar jenazah tenggelam.
Upacara dan pelarungan juga harus didokumentasikan baik dengan rekaman video
atau foto sedetail mungkin. ILO juga mengatur soal barang peninggalan jenazah.
“Peninggalan jenazah seperti sisa rambut atau barang-barang pribadi akan
dipercayakan kepada personel, untuk diberikan ke anggota keluarga almarhum” bunyi
peraturan tersebut.
OVERWORK
Aturan persyaratan layanan dan masa istirahat ABK:
- K-188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pasal 13:
Setiap Negara Anggota perlu menerapkan undang-undang, peraturan atau tindakan-
tindakan lain yang mengharuskan pemilik kapal penangkap ikan yang
mengikbarkan benderanya memastikan bahwa:
(a) kapal mereka dioperasikan dengan cara yang aman dan memadai untuk
memastikan navigasi dan pengoperasian kapal yang aman dan di bawah kendali
seorang nakhoda yang berkompeten; dan
(b) awak kapal diberi masa istirahat yang teratur dan cukup untuk menjaga
keselamatan dan kesehatan mereka.
- K-188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pasal 14:
1. Di samping persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 13, pihak berwenang yang
berkompeten perlu:
(a) untuk kapal dengan panjang 24 m atau lebih, menetapkan level pengoperasian
minimal yang aman untuk navigasi kapal, yang mencantumkan jumlah dan kualifi
kasi awak kapal yang dibutuhkan;
(b) untuk kapal penangkap ikan tanpa memandang ukuran kapal yang tetap di laut
selama lebih dari tiga hari, setelah berkonsultasi dan untuk membatasi keletihan,
menetapkan masa istirahat minimal yang akan diberikan kepada awak kapal. Masa
istirahat minimal ini tidak boleh kurang dari:
(i) sepuluh jam untuk jangka waktu 24-jam; dan
(ii) 77 jam untuk jangka waktu 7 hari.
2. Pihak berwenang yang berkompeten dapat memberikan, atas alasan terbatas dan
khusus, pengecualian sementara atas batasan yang ditetapkan dalam ayat 1(b)
Pasal ini. Namun, dalam hal ini, ia perlu mewajibkan bahwa awak kapal harus
menerima kompensasi masa istirahat sesegera mungkin.
3. Pihak berwenang yang berkompeten, setelah berkonsultasi, dapat menetapkan
persyaratan lain dari apa yang disebutkan dalam ayat 1 dan 2 Pasal ini. Namun,
persyaratan alternatif ini harus setara dan tidak boleh mengganggu keselamatan
dan kesehatan awak kapal terkait.
4. Tidak ada ketentuan dalam Pasal ini yang dianggap mengganggu hak nakhoda
kapal untuk meminta awak kapal melaksanakan jam kerja yang dibutuhkan demi
keselamatan kapal, orang-orang yang ada di kapal atau hasil tangkapan, atau
untuk memberi bantuan kepada perahu atau kapal atau orang lain yang
menghadapi keadaan berbahaya di laut. Di samping itu, nakhoda juga dapat
menunda jadwal istirahat dan meminta awak kapal melaksanakan pekerjaan yang
dibutuhkan hingga situasi kembali normal. Segera setelah situasi kembali normal,
nakhoda tersebut harus memastikan bahwa awak kapal yang telah melaksanakan
tugas dalam masa istirahat tadi diberikan masa istirahat yang cukup.
Tanggungjawab pemilik kapal penangkap ikan,nahkoda dan awak kapal:
- K-188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pasal 8:
1. Pemilik kapal penangkap ikan bertanggungjawab penuh untuk memastikan bahwa
nakhoda diberikan sumberdaya dan fasilitas yang diperlukan untuk memenuhi
kewajiban Konvensi ini.
2. Nakhoda bertanggungjawab atas keselamatan awak kapal yang ada di kapal serta
pengoperasian kapal secara aman, termasuk namun tidak terbatas pada bidang-
bidang berikut ini:
(a) menyediakan pengawasan untuk memastikan bahwa, sejauh mungkin, awak kapal
melaksanakan tugas mereka dalam kondisi keselamatan dan kesehatan yang
terbaik;
(b) mengelola awak kapal dengan cara yang menghormati keselamatan dan
kesehatan, termasuk mencegah rasa letih;
(c) memfasilitasi pelatihan pengetahuan tentang kesehatan dan keselamatan kerja di
kapal; dan
(d) memastikan kepatuhan terhadap keselamatan navigasi, penjagaan dan standar
pelayaran yang baik.
3. Nakhoda tidak boleh dihambat oleh pemilik kapal penangkap ikan untuk mengambil
keputusan apapun yang, menurut penilaian profesional nakhoda tersebut,
diperlukan untuk keselamatan kapal dan navigasi dan pengoperasian yang aman,
atau keselamatan awak kapal yang ada di kapal.
4. Awak kapal harus mematuhi perintah sah nakhoda dan tindakan keselamatan dan
kesehatan yang berlaku.
UPAH
Aturan tentang upah awak kapal:
- K-188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pasal 23:
Setiap Negara Anggota, setelah berkonsultasi, perlu menerapkan undang-undang,
peraturan atau tindakan-tindakan lain selama awak kapal yang diberi upah
dipastikan memperoleh upah bulanan atau upah tetap lainnya.
- K-188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pasal 24:
Setiap Negara Anggota perlu mewajibkan bahwa semua awak kapal yang bekerja
di kapal penangkap ikan diberi sarana untuk mengirim semua atau sebagian upah
yang mereka terima, termasuk uang muka, kepada keluarga mereka tanpa
dipungut biaya.
- K-188 tahun 2007 Mengenai Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan pasal 16
perjanjian awak kapal:
BAB 3
Pembahasan
Menurut analisis pengaduan kasus, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
mencatat sejak 2015 sampai saat ini ada sedikitnya ada 11 ABK kita yang menjadi
korban kerja paksa hingga meninggal dunia di atas kapal ikan berbendera asing.
Praktik pelanggaran HAM ini setidaknya berkolerasi erat dengan kasus ilegal fishing
yang terjadi di berbagai negara. Mengingat apabila kapal mampun melakukan
kegiatan illegal fishing tanpa diketahui oleh negara yang memiliki kekuasaan
yurisdiksi, pelaggaran HAM sangat mudah terjadi di tengah lautan yang asing tanpa
pengawasan siapa pun. Sebagian besar kapal ikan yang terkait praktik kerja paksa di
atas kapal juga kerap kali melakukan alih muat ikan di tengah laut (transhipment at
sea) secara ilegal, mematikan sistem pemantauan kapal dan juga menargetkan hiu
untuk diambil siripnya (shark finning). Beberapa kapal malah ada yang berganti-ganti
nama dan bendera tanpa pemberitahuan kepada otoritas terkait.
Ini menyebabkan ABK ikan Indonesia termasuk ke dalam kelompok pekerja
yang paling rentan menjadi korban perbudakan modern atau perdagangan orang,
karena kondisi kerja yang buruk, ruang gerak, akses komunikasi, dan pengawasan
pihak berwenang yang sangat terbatas. Berdasarkan pada laporan investigasi SBMI
terdapat sebelas (11) jenis pelanggaran Konvensi ILO terkait kerja paksa yang
mungkin terjadi pada ABK kita. Menurut catatan, ada 1.126 kasus pada 2017 yang
diterima Kemenlu maupun dari perwakilan di luar negeri. Angka ini terus bertambah.
Pada 2018, ada 1.256. Pada 2019, mencapai seribu lebih kasus.
Macam Perlakuan Tidak Manusiawi
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan pihak LBH Jakarta pada
para mantan ABK yang pernah mengarungi samudera negara asing, setidaknya ada
beberapa irisan permasalahan yang kerap menimpa ABK kita entah di Negara
manapun mereka dipekerjakan. Antara lain adalah fasilitas kesehatan, dimana
persediaan obat-obatan untuk segala macam penyakit dan kecelakaan di atas kapal
hanya disuplai dengan satu jenis obat saja seperti aspirin. Belum lagi overwork dan
diskriminasi hingga job desc yang tidak sesuai dengan kesepakatan kontrak. Peralatan
keamanan seperti wearpack, sepau boots, dan sarung tangan juga tidak diberikan
sesuai jatah waktu yang ditetapkan di awal sehingga apabila mengalami kerusakan
sebelum barang yang baru datang, para ABK mengganti sendiri atribut tersebut
dengan uang mereka. Ketersediaan air bersih yang sangat terbatas dan makanan juga
jadi masalah yang tak kalah bikin pusing para ABK di tengah ombang-ambing ombak
lautan. Bahkan salah satu ABKI yang meninggal tahun 2015 bernama Supriyanto, asal
Pemalang, Jawa Tengah, sempat diiris kulit lututnya kapten kapal tetap menyuruh
almarhum bekerja.
Tidak hanya ABK kita saja, dalam laporan yang berjudul “Was Your Seafood
Caught By Slaves?” pada 25 Maret 2015, Associated Press memaparkan bagaimana
perlakuan biadab diterima oleh para ABK Benjina, Maluku yang mayoritas berasal dari
Myanmar. Mulai dari dipaksa minum air kotor dan bekerja selama 20-22 jam setiap
giliran, tanpa hari liburhingga upah sangat kecil atau bahkan tidak dibayar, untuk
pekerjaan menarik jala. Dicambuk dengan ekor ikan pari, dipukul, dan ditendang
kerap jadi santapan apabila mengeluh atau mencoba beristirahat. Cacat hingga mati
di atas kapal jadi hal yang tak dapat dihindari. Mereka dipaksa bekerja dengan upah
yang tidak diberikan selama berbulan-bulan atau bertahuntahun, atau tidak dibayar
sama sekali. Pekerja ilegal itu diberi dokumen palsu. Dengan dokumen palsu itu pula
mereka bisa masuk wilayah Indonesia.
Lemahnya Naungan Hukum
Undang Undang Nomor 18 tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran
Indonesia (UU PPMI) sebagai pengganti Undang Undang Nomor 39 tahun 2004
tentang Penempatan dan Pelindungan TKI di Luar Negeri belum mampu menjadi
pelindung saudara setanah air kita di luar sana. UU PPMI 18/2017 Pasal 4 huruf (c)
menyebutkan bahwa Pekerja Migran Indonesia juga meliputi pelaut awak kapal dan
pelaut perikanan. Kemudian Pasal 64 juga memandatkan penerbitan peraturan
pelaksana dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang seharusnya sudah diterbitkan
selambat-lambatnya tanggal 22 November 2019 lalu, atau 2 tahun sejak
diterbitkannya UU PPMI (mandat pasal 90 UU PPMI). Tapi hingga saat ini pengesahan
rancangan PP tersebut tidak jelas nasibnya.
Kontrak-kontrak yang diberikan kepada para ABK juga masih mengacu pada
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Kebanyakan hanya mengatur soal apa
itu jati diri pelaut, kewajiban para ABK, tempat dan waktu perjanjian di depan
syahbandar. Positioning yang diberikan pada para ABK bukanlah sebagai mitra sejajar,
malah lebih mengarah pada subordinasi.
Disebutkan, pada Konvensi ILO Nomor C-097 Tahun 1949 organisasi buruh internasional ini tidak mengakui profesi pelaut sebagai pekerja migran. Tak hanya itu, Konvensi ILO Nomor K-143 Tahun 1999 juga kembali menegaskan bahwa profesi pelaut bukan sebagai pekerja migran. Padahal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 menyatakan pelaut sebagai pekerja migran Indonesia. Sehingga berbagai Undang-Undang kita tidak selaras dengan konvensi ILO jelasnya. Pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran menyatakan bahwa kewenangan atas tata kelola pekerjaan pelaut diserahkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan. Ironisnya, dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak terdapat satu pasal pun yang membahas profesi pelaut. Untuk itu dorongan untuk segera dilakukannya revisi atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan demi memaksimalkan perlindungan pemerintah terhadap ABK harus diupayakan.
Upaya Yang Dilakukan Negara Terlibat
Istilah locus delicti atau tempat terjadinya tindak pidana akan mempengaruhi
tindakan yang diambil negara. Perlu diakui apabila kita membahas tentang
kejahatan/tindak pidana yang dilakukan di atas sebuah kapal, hal tersebut cukuplah
rumit. Bendera negara dari kapal tersebut bakal menentukan hukum negara mana
yang berlaku di atas kapal tersebut. Ibarat, bendera adalah akta kelahiran si kapal
ketika akan dioperasikan. Di rezim mana kapal tersebut beroperasi juga tak kalah
penting karena dimana kapal tersebut beroperasi menentukan hukum negara mana
yang berlaku. Apakah beroperasi di Laut Kedaulatan (sovereignty) atau Laut Hak
Berdaulat (sovereign right).
Kewajiban Negara bendera asal adalah memastikan terpenuhinya syarat
keamanan dan kelayakan operasi kapal, salah satunya pengawakan dan pelatihan
ABK. Dengan kontroling yang kontinu, kemungkinan adanya perbudakan bisa
diperkecil. Negara bendera juga wajib memproses hukum kejahatan-kejahatan yang
ada di atas kapal yang mengibarkan benderanya termasuk tidak dipatuhinya aturan-
aturan untuk memenuhi hak para ABK. Pihak kedua adalah negara pelabuhan dimana
kapal tersebut sandar. Kapal negara lain yang memasuki pelabuhan negara lainya
wajib tunduk patuh pada hukum negara pelabuhan tersebut, maka kejahatan yang
dilakukan di atas kapal yang sandar bisa diproses oleh aparat penegak hukum dalam
kasus Kapal Long Xing adalah oleh Otoritas Busan, Korea Selatan. Tetapi sebelum
memulai proses, perlu diperhatikan bahwa pasal 27 UNCLOS 1982 menyebutkan
bahwa apabila diminta oleh nahkoda, maka otoritas pelabuhan tersebut harus
menghubungi agen diplomatik negara bendera tersebut sebelum mengambil langkah.
Sesuai pasal 27 UNCLOS 1982, maka tidak serta merta Otoritas Pelabuhan Busan pada
kasus kapal Long Xing bisa menangkap dan menahan kapal maupun nahkoda dan kru
lainnya. Apabila hal tersebut terjadi, maka akan ada konsekuensi diplomatik dengan
negara bendera, dalam hal ini China. Kewenangan Pemerintah RI sendiri hanyalah
untuk melakukan upaya-upaya diplomatik dengan meminta Pemerintah China untuk
menidaklanjutinya. Dan itu sudah dilakukan oleh Pemerintah.
Berkaitan dengan penegakkan hukum atas pelaku dugaan tindak
kejahatan/pidana di atas kapal, hal tersebut banyak tergantung pada negara bendera
dalam hal ini China. Pemerintah Indonesia sendiri sejauh ini secara resmi melaporkan
dugaan eksploitasi Anak Buah Kapal (ABK) asal Indonesia di Kapal China Long Xing
629 kepada Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 8 Mei 2020
lalu di Jenewa. Indonesia meminta Dewan HAM PBB turun tangan untuk memberikan
perlinungan kepada kelompok rentan yang luput dilihat publik, salah satunya ABK
kapal. Mengingat, ABK kapal merupakan pekerja industri yang penting karena menjadi
kunci rantai pangan di tengah pandemi Covid-19.
Pemerintah Indonesia harus bisa lebih jeli dalam melaksanakan pengkajian
tentang awak kapal perikanan (AKP) Indonesia yang selama ini berangkat untuk
bekerja pada kapal perikanan luar negeri dengan cara yang mandiri. Pemeriksaan
yang teliti diperlukan, karena bisa jadi ada AKP yang berangkat melalui agen
penempatan yang bekerja sama dengan agen perekrut di luar negeri.
Setidaknya, sudah ada enam perusahaan yang berperan sebagai perekrut dan penempatan untuk seluruh AKP yang mendaftar. Enam perusahaan yang dimaksud antara lain: PT Puncak Jaya Samudra (PJS), PT Bima Samudera Bahari (BSB), PT Setya Jaya Samudera (SJS), PT Bintang Benuajaya Mandiri (BBM), PT Duta Samudera Bahari (DSB), dan PT Righi Marine Internasional (RMI). Empat dari enam perusahaan tersebut diketahui ada di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah. Perusahaan-perusahaan yang diduga kuat masih memiliki kaitan yang erat dengan salah satu atau lebih dari 13 kapal perikanan asing dari berbagai negara di dunia yang melakukan praktik eksploitasi seperti kerja paksa dan perdagangan manusia kepada AKP yang berasal dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Koordinasi Kementerian
Sejak Mei, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi telah melakukan penguatan
diplomatik terkait bantuan hukum timbal balik dengan pemerintah China untuk
melakukan penyelidikan. Dalam pelaksanaannya diperlukan kesaksian dari para saksi
Tiongkok untuk menyelidiki dugaan perdagangan manusia di kapal Long Xing 629.
Diharapkan ada bantuan hukum timbal balik dengan negara lain seperti Korea Selatan
dan Taiwan. Kemenlu sempat mengakui kesulitan menangani masalah ABK di kapal
perikanan asing dengan dalih “tidak ada data” karena para ABK tidak pernah
melaporkan ke perwakilan Kemenlu. Ditambah ada aturan tumpah tindih antar-
kementerian atau antar-lembaga. Misalnya, Kementerian Perdagangan atau Dinas
Perdagangan dapat mengeluarkan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) penempatan
ABK oleh manning agency atau agen awak kapal. Kemudian, Kementerian
Perhubungan juga mengeluarkan Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak
Kapal (SIUPPAK). Demikian juga Kementerian Tenaga Kerja mengeluarkan Surat Izin
Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (SIP3MI) kepada Perusahaan
Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI).
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo bertitah pihaknya memiliki dua opsi pengajuan ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) untuk menyelesaikan masalah ABK. Opsi pertama ialah melakukan moratorium ABK Indonesia di kapal perikanan asing. Opsi kedua, memberikan masukan teknis untuk perizinan ABK yang akan bekerja di kapal asing. Jika nantinya opsi moratorium yang diambil, KKP mengaku siap memberikan akses lapangan kerja agar para ABK Indonesia bekerja di kapal perikanan lokal. Padahal masalah yang dipaparkan sbeelumnya pada BAB Pendahuluan tidak bisa terjawab dengan cara seperti ini. Moratorium tidak menjawab pengganti potensi penghasilan yang akan didapat sebagai ABK kapal asing.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) sendiri menyediakan layanan aduan online terkait permasalahan Anak Buah Kapal (ABK). Ini merupakan bagian dari perlindungan terhadap para ABK yang bekerja di kapal berbendera asing di luar negeri, setelah sebelumnya juga sudah ada Crisis
Center BP2MI dan portal perlindungan WNI yang dikelola oleh Kementerian Luar Negeri.
BAB 4
KESIMPULAN
Perlakuan tidak manusiawi selama menjadi ABK, baik yang terekspos maupun tidak terekspos sudah sangat sering terjadi; mulai dari ketersedian air bersih untuk konsumsi yang sangat terbatas, upah yang kecil dan seringkali tidak dibayar, dicambuk dengan ekor ikan pari, dll. Yang bahkan seringkali perilaku ini menimbulkan kecacatan dan kematian bagi para ABK. Sudah selayaknya sebagai sesama manusia, dan sebagai sesama WNI jika kita memperjuangkan Hak para ABK yang selama ini diperlakukan tidak manusiawi.
Lalu lemahnya payung hukum juga menjadi salah satu faktor yang menyebabkan abk kita mudah untuk dieksploitasi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab. UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia terbukti masih belum mampu menjadi pelindung bagi Tenaga Kerja Indonesia yang berada diluar negeri. Hal tersebut dikarenakan :
1. Belum adanya peraturan pelaksana tentang UU PPMI sehingga belumada system pelaksana dan system kontroling pada undang-undang tersebut
2. Kontrak para ABK kapal masih mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang belum mengacu pada UU PPMI
3. Adanya ketidak selarasan antara UU Pemerintah RI dengan ILO sebagai Organisasi Buruh Internasional. Ketidak selarasannya ILO menegaskan bahwa pelaut bukan pekerja migran sehingga tanggung jawab pelaut sepenuhnya wewenang pemerintah negara asal sedangkan UU PPMI menjelaskan bahwa pelaut adalah pekerja migran
4. Adanya lempar tanggung jawab antara KKP dan Kemenaker tentang perlindungan ABK
Dalam upaya penegakan hukum ada istilah locus delicti atau tempat terjadinya tindak pidana. Hal ini dapat menjadi salah satu penghambat proses penegakan hukum. Apakah akan dilihat dari bendera kapal atau dilihat dari wilayah negara kapal beroperasi, tetapi sebagai upaya dasar oleh sebuah negara kewajiban negara bendera asal adalah memastikan terpenuhinya syarat keamanan dan kelayakan operasi kapal, salah satunya pengawakan dan pelatihan ABK.
Dengan kontroling yang kontinu, kemungkinan adanya perbudakan bisa diperkecil. Negara bendera juga wajib memproses hukum kejahatan-kejahatan yang ada di atas kapal yang mengibarkan benderanya termasuk tidak dipatuhinya aturan-aturan pemenuhan hak-hak ABK. Selain pihak negara yang benderanya dikibarkan dikapal. Ada pihak ke-2 yaitu negara pelabuhan. Negara yang dilabuhi wajib di menegakkan hukumnya jika terjadi sebuah pelanggaran hukum dan kapal yang berlabuh wajib juga dalam tunduk kepada hukum negara yang dilabuhinya. Tetapi sebelum memulainya proses hukum, otoritas harus menghubungi dari agen diplomatik negara bendera kapal. Hal ini tertuang pada Pasal 27 UNCLOS 1982.
Banyak usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menangani permasalahan ABK, contohnya dalam kasus ABK kapal long xing, kemenlu melakukan penguatan diplomatik terkait bantuan hukum timbal balik dengan pemerintah China untuk melakukan penyelidikan, akan tetapi dalam pelaksanaan nya banyak menemui
permasalahan karena kemenlu tidak memiliki data ABK, hal ini disebabkan karena ABK tidak pernah melapor ke perwakilan kemenlu, hal ini sangat mungkin terjadi karena banyak nya aturan yang tumpang tindih antar kementrian. Selain kemenlu, KKP juga turut ambil langkah guna menyelesaikan permasalahan para ABK , salah satu upaya nya adalah mengajukan opsi kepada kemenkomarves untuk melakukan moratorium ABK Indonesia di kapal asing, apabila usul diterima Menteri edhy siap memberikan akses lapangan kerja agar para ABK Indonesia bekerja di kapal perikanan lokal, menurut kami hal ini kurang menjawab permasalahan yang ada karena salah satu alasan ABK Indonesia “merantau” adalah upah yang lebih baik dibanding bekerja dengan kapal lokal, tidak adanya standar upah dan juga lama keterikatan kerja bagi yang jelas bagi ABK membuat ABK enggan bekerja di kapal lokal. Apabila moratorium dilakukan perlu adanya standar upah, dan durasi kontrak yang jelas, serta jaminan Kesehatan bagi ABK.
REFERENSI
Ali, M. (2011). Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang Berat. Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, 18 (2), 247-265.
Almi. (2020). 75 tahun merdeka, Indonesia masih punya banyak potensi kembangkan sektor kelautan dan perikanan. Diakses pada 19 Oktober 2020, dari https://almi.or.id
Amali, Z., & Aziz, A. (2020). Perbudakan Modern ABK RI di Kapal Cina: Upah Murah & HAM Dilanggar. Diakses Pada, 2020, dari https://tirto.id
CNN. (2020). Nelangsa ABK Kapal Asing, Tak Tidur 48 Jam dan Suntik Morfin. Diakses Pada 19 Oktober, 2020, dari https://www.cnnindonesia.com
Carina, J. (2020). Begini Kronologi Kasus ABK WNI di Kapal Long Xing 629 Menurut Polisi Halaman all. Diakses Pada 19 Oktober, 2020, dari https://nasional.kompas.com
Developer, M. (2020). Lindungi Pekerja Migran di Lautan. Diakses pada 19 Oktober, 2020, dari https://mediaindonesia.com
ILO.(2006).” Perlindungan dan Pencegahan Untuk Pekerja Migran
Indonesia”.Jakarta : Kantor ILO Jakarta
ILO. (2007). Pekerjaan Dalam Penangkap Ikan. Genewa : Konvensi ILO
ILO. (2013). Seafarere’s Service Regulation. Kovensi ILO
Khadafi, A. (2016). Kejahatan terhadap Perbudakan Abk di Lakukan
Perusahaan Thailand yang Berafiilasi dengan Perusahaan Indonesia Pt. pusaka Bejina
Resources (Pbr). Jurnal Hukum Samudra Keadilan, 11(1), 1-18.
M Akbar, P. (2020). Mencari Kesejahteraan di Perbudakan Dunia: Republika ID. Diakses pada 19 Oktober , 2020, dari https://www.republika.id
Nurita, D. (2020). Migrant Care Terima 205 Aduan Pelanggaran Hak ABK Indonesia. Diakses pada 19 Oktober, 2020, dari https://nasional.tempo.com
Prisnasari, I. (2019). Modern Slavery Pada Anak Buah Kapal (Abk) Perikanan
Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurist-Diction, 2(2), 475-500.
R. (n.d.). (2020). Pertanyaan mengenai Kerja Paksa dan Wajib Kerja. Diakses Pada 19 Oktober , 2020, dari https://gajimu.com
Redaksi. (2019). Banyak Remaja Menjadi Buruh Migran Karena Dorongan Orang Tua. Diakses pada 19 Oktober, 2020, dari https://buruhmigran.or.id
Redaksi. (2020). Dongkrak Pertumbuhan Ekonomi, Digitalisasi di Sektor Kelautan dan Perikanan Perlu Digenjot. Diakses pada 19 Oktober, 2020, dari http://samudranesia.id
Siswanto. (2020). Heran Tiba-tiba Pengaturan Perlindungan Pekerja Migran Masuk RUU Ciptaker. Diakses pada 19 Oktober, 2020, dari https://www.suara.com
Staff, N. (2015). Was Your Seafood Caught By Slaves? AP Uncovers Unsavory Trade. Diakses pada 19 Oktober, 2020, dari https://www.npr.org
Walhi. (2019). RZWP3K Bukan Keranjang Sampah, Kepentingan Investasi Yang Menghancurkan Lingkungan Hidup dan Hak-Hak Masyarakat Adat Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Diakses Pada 19 Oktober, 2020, dari https://www.walhi.or.id