Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DISTRIBUSI DAN KEANEKARAGAMAN PERIFITON PADA
DAUN LAMUN Enhalus acoroides DAN Cymodocea serrulata
DI PULAU PARANG, KARIMUNJAWA
S K R I P S I
Oleh:
PRATIWI MEGAH SUNDARI
260 201 151 401 02
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
ii
DISTRIBUSI DAN KEANEKARAGAMAN PERIFITON PADA
DAUN LAMUN Enhalus acoroides DAN Cymodocea serrulata
DI PULAU PARANG, KARIMUNJAWA
Oleh:
PRATIWI MEGAH SUNDARI
260 201 151 401 02
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Derajat Sarjana S1 pada Departemen Ilmu Kelautan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro
DEPARTEMEN ILMU KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
iii
iv
v
vi
RINGKASAN
Pratiwi Megah Sundari. 260 201 151 401 02. Distribusi dan Keanekaragaman
Perifiton pada Daun Lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata di Pulau
Parang, Karimunjawa. (Pembimbing : Raden Ario dan Ita Riniatsih.)
Padang lamun merupakan ekosistem penunjang bagi biota yang hidup di laut
dangkal dan padang lamun memiliki peranan penting di perairan sehingga
kelestariannya perlu dijaga, jika ekosistem ini rusak maka produktivitas perairan akan
menurun. Keanekaragaman jenis lamun dan struktur morfologi yang cukup besar
memungkinkan ditumbuhi perifiton. Perifiton dapat meningkatkan produktivitas
primer dan membantu proses dekomposisi lamun.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelimpahan perifiton, distribusi
perifiton dan hubungan kerapatan lamun terhadap kelimpahan perifiton di Pulau
Parang, Karimunjawa. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2018 di Stasiun
1 (Batu Hitam), Stasiun 2 (Batu Merah), dan Stasiun 3 (Pelabuhan).
Penelitian ini menggunakan metode survei dan penentuan lokasi dipilih dengan
menggunakan metode purposive sampling, sedangkan metode pengambilan data lamun
melalui metode line transect quadrant dimana metode ini mengacu pada metode
seagrasswatch. Pengambilan daun lamun untuk pengamatan perifiton menggunakan
metode sapuan daun yang selanjutnya diamati dengan menggunakan metode sensus
yaitu pengamatan total dengan alat sedgwick rafter counting chamber.
Nilai kelimpahan perifiton pada daun lamun Enhalus acoroides di Stasiun 1,
Stasiun 2, dan Stasiun 3 berturut – turut sebesar 2654 sel/cm2, 2831 sel/cm2, 1435
sel/cm2. Sedangkan kelimpahan perifiton pada daun lamun Cymodocea serrulata di
Stasiun 1, Stasiun 2, dan Stasiun 3 berturut – turut sebesar 0 sel/cm2, 2376 sel/cm2,
2890 sel/cm2. Kelimpahan tertinggi perifiton terdapat pada jenis lamun Enhalus
acoroides, hal ini diduga karena Enhalus acoroides mempunyai penampang daun yang
lebih lebar dan umur jaringan makrofil yang lebih lama. Perifiton yang mendominasi
di Pulau Parang berasal dari Kelas Bacillariophyceae, hal ini dikarenakan kelas ini
memiliki kemampuan melekat pada substrat yang baik. Berdasarkan perhitungan
Indeks Morisita maka diketahui bahwa sebaran perifiton di Pulau Parang adalah
mengelompok. Kelimpahan perifiton dengan kerapatan lamun di Pulau Parang
memiliki hubungan cukup erat.
Kata Kunci : Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Kelimpahan Perifiton, Pulau
Parang, Sruktur Komunitas.
vii
SUMMARY
Pratiwi Megah Sundari. 260 201 151 401 02. Distribution and Variety of Periphyton
on Seagrass Leaves Enhalus acoroides and Cymodocea serrulata in Parang Island,
Karimunjawa. (Advisors : Raden Ario dan Ita Riniatsih.)
Seagrass fields are a supporting ecosystem for biota that live in shallow seas
and seagrass fields have important roles in the waters, so their sustainability needs to
be maintained, if this ecosystem is damaged then the productivity of the waters will
decrease. The variety of seagrass types and the large morphological structure allows
periphyton to be grown. Periphyton can increase primary productivity and help the
decomposition process of seagrass.
This research aims to determine the periphyton abundance, periphyton
distribution and seagrass density relationship towards periphyton abundance in Parang
Island, Karimunjawa. This research was conducted on October 2018 in Station 1 (Batu
Hitam), Station 2 (Batu Merah), and Station 3 (Port).
Survey method and the determination of location were selected with the
purposive sampling method, while the seagrass data collection method was using the
line transect quadrant method where this method refers to the seagrasswatch method.
The taking of seagrass leaf for periphyton observation used leaf drainage method was
then observed using the census method that is total observation with sedgwick rafter
counting chamber.
Periphyton abundance value on seagrass leaves of Enhalus acoroides in Station
1, Station 2, and Station 3 are respectively 2654 sel / cm2, 2831 sel / cm2, sel / cm2.
While periphyton abundance in seagrass leaves Cymodocea serrulata in Station 1,
Station 2, and Station 3 are 0 sel / cm2, 2376 sel / cm2, 2890 sel / cm2 respectively. The
highest abundance of periphyton is in the type of seagrass Enhalus acoroides, this is
presumably because Enhalus acoroides has a wider leaf section and longer age of
macrophilic system. Perifiton that dominates in Parang Island comes from Class
Bacillariophyceae, this is because this class has the ability to attach to a good substrate.
Based on the calculation of the Morisita Index, it is known that the periphyton
distribution in Parang Island is group and distributed. Periphyton abundance with
seagrass density in Parang Island has a strong relationship.
Keywords : Cymodocea serrulata, Enhalus acoroides, Perifiton Abundance, Parang
Island, Community Structure.
viii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul "Distribusi dan Keanekaragaman Perifiton pada Daun Lamun Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata di Pulau Parang Karimunjawa". Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
a) Ir. Raden Ario, M.Sc dan Ir. Ita Riniatsih, M.Si selaku pembimbing dalam
pelaksanaan dan penulisan skripsi
b) Dr. Ir. Widinianingsih, M. Sc dan Dr. Rudhi Pribadi selaku dosen penguji dalam
pelaksanaan siding akhir.
c) Dra. Nirwani Soenardjo, M.Si selaku dosen wali atas bimbingan selama
perkuliahan
d) Bapak Sigit Joko Susilo dan Ibu Harsih selaku orang tua dan Ririh Megah Safitri
selaku kakak yang sudah memberikan dukungan.
e) Semua pihak yang telah mendukung dan membantu menyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan untuk
perbaikan demi kesempurnaannya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan
Ilmu Kelautan.
Semarang, 26 Maret 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .......................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH .......................................... v
RINGKASAN ...................................................................................................... vi
SUMMARY ........................................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang............................................................................ 1
1.2. Pendekatan Masalah ................................................................... 2
1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.4. Manfaat Penelitian...................................................................... 4
1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi Lamun ....................................................................... 5
2.2. Jenis Lamun Yang Ditemukan di Pulau Parang ....................... 6
2.2.1. Thalassia hemprichii ................................................ 6
2.2.2. Enhalus acoroides .................................................... 7
2.2.3. Cymodocea serrulata ............................................... 8
2.2.4. Halodule uninervis ................................................... 9
2.2.5. Syringodium isoetifolium ......................................... 9
2.3. Fungsi Ekosistem Padang Lamun ............................................. 10
2.4. Ekologi Perifiton ........................................................................ 11
2.4.1. Struktur Komunitas Perifiton ................................... 11
2.4.2. Hubungan Perifiton Dengan Lamun........................ 12
2.4.3. Indeks Ekologi Perifiton .......................................... 14
2.4.4. Distribusi Perifiton ................................................... 15
2.5. Faktor Lingkungan Terhadap Komunitas Perifiton ................. 16
x
2.5.1. Suhu ........................................................................... 16
2.5.2. Kecerahan .................................................................. 16
2.5.3. Kekeruhan ................................................................. 17
2.5.4. Kecepatan Arus ......................................................... 17
2.5.5. Derajat Keasaman ..................................................... 18
2.5.6. Oksigen Terlarut ....................................................... 18
2.5.7. Salinitas ..................................................................... 19
2.5.8. Nutrien dan Fosfat .................................................... 19
2.6. Kondisi Padang Lamun .............................................................. 19
2.6.1. Tutupan Lamun ......................................................... 20
2.6.2. Kerapatan Lamun ..................................................... 20
III. MATERI DAN METODE
3.1. Materi Penelitian ....................................................................... 21
3.1.1. Alat Penelitian .......................................................... 20
3.1.2. Bahan Penelitian ....................................................... 21
3.2. Metode Penelitian ...................................................................... 22
3.3. Pelaksanaan Penelitian .............................................................. 23
3.3.1. Penentuan Stasiun .................................................... 23
3.3.2. Metode Pengambilan Data Lamun .......................... 24
3.3.3. Pengambilan Sampel Lamun ................................... 24
3.3.4. Pengambilan Sampel Perifiton................................. 25
3.3.5. Pengamatan dan Identifikasi Perifiton .................... 25
3.4. Analisa Data .............................................................................. 26
3.4.1. Analisa Data Lamun ................................................ 26
3.4.2. Perhitungan Perifiton ................................................ 29
3.5. Pengolahan Data ........................................................................ 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil ............................................................................................ 33
4.1.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian ................................ 33
4.1.2. Komposisi Lamun ......................................................... 34
4.1.3. Tingkat Kerapatan Lamun ............................................ 36
4.1.4. Presentase Tutupan Lamun ........................................... 37
4.1.5. Indeks Ekologi ............................................................. 38
4.1.6. Komposisi Perifiton ...................................................... 38
4.1.7. Kelimpahan Perifiton .................................................... 42
4.1.8. Struktur Komunitas Perifiton ....................................... 44
4.1.9. Distribusi Perifiton ........................................................ 46
4.1.10. Hubungan Kelimpahan Perifiton dengan Kerapatan
Lamun ............................................................................ 57
4.1.11. Parameter Perairan Pulau Parang ................................. 68
4.2. Pembahasan ................................................................................ 59
4.2.1. Kerapatan Lamun ......................................................... 59
xi
4.2.2. Kelimpahan Perifiton Berdasarkan Jenis Lamun ........ 60
4.2.3. Pola Sebaran Perifiton................................................... 64
4.2.4. Hubungan Kelimpahan Perifiton Terhadap Kerapatan
Lamun ............................................................................ 67
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ................................................................................. 69
5.2. Saran ............................................................................................ 69
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 70
LAMPIRAN .................................................................................................. 75
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Status Padang Lamun .............................................................................. 20
2. Skala Kondisi Padang Lamun Berdasarkan Kerapatan ......................... 27
3. Alat Penelitian .......................................................................................... 21
4. Bahan Penelitian ...................................................................................... 22
5. Kehadiran Jenis Lamun .......................................................................... 34
6. Presentase Penutupan Lamun .................................................................. 37
7. Indeks Ekologi Lamun............................................................................. 38
8. Kehadiran Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides ............................ 39
9. Kehadiran Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata ....................... 40
10. Indeks Ekologi Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides .................... 46
11. Indeks Ekologi Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata ............... 47
12. Sebaran Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides ................................ 48
13. Sebaran Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata ........................... 49
14. Parameter Kondisi Perairan ..................................................................... 60
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Morfologi Lamun ..................................................................................... 5
2. Thalassia hemprichii ............................................................................... 7
3. Enhalus acoroides.................................................................................... 8
4. Cymodocea serrulata ............................................................................... 8
5. Halodule uninervis ................................................................................... 9
6. Syringodium isoetifolium ......................................................................... 9
7. Peta Lokasi Penelitian ............................................................................. 23
8. Line Transek Metode Seagrasswatch ..................................................... 24
9. Komposisi Jenis Lamun ......................................................................... 35
10. Tingkat Kerapatan Lamun ....................................................................... 36
11. Perbandingan Komposisi Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata di Pulau Parang ................................................... 41
12. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides di Stasiun 1 .... 43
13. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides di Stasiun 2 .... 43
14. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 2 44
15. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides di Stasiun 3 .... 44
16. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 3 44
17. Kelimpahan Total Perifiton pada Daun Lamun Enhalus acoroides ..... 45
18. Kelimpahan Total Perifiton pada Daun Lamun Cymodocea serrulata 45
19. Indeks Ekologi Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata ............................................................................... 46
20. Perbandingan Indeks Ekologi Perifiton pada Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata ............................................................................... 47
21. Peta Sebaran Perifiton Kelas Bacillariophyceae, Dinophyceae,
Zooplankton di Daun Lamun Enhalus acoroides Stasiun 1.................. 50
22. Peta Sebaran Perifiton Kelas Bacillariophyceae, Dinophyceae,
xiv
Zooplankton di Daun Lamun Enhalus acoroides Stasiun 2.................. 52
23. Peta Sebaran Perifiton Kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae,
Dinophyceae, Zooplankton di Daun Lamun Enhalus acoroides
Stasiun 3 .................................................................................................. 53
24. Peta Sebaran Perifiton Kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae,
Dinophyceae, Zooplankton di Daun Lamun Cymodocea serrulata
Stasiun 2 .................................................................................................. 55
25. Peta Sebaran Perifiton Kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae,
Dinophyceae, Zooplankton di Daun Lamun Cymodocea serrulata
Stasiun 3 .................................................................................................. 58
26. Hasil Analisa Hubungan Kelimpahan Perifiton dengan
Kerapatan Lamun pada Lamun Enhalus acoroides ............................... 59
27. Hasil Analisa Hubungan Kelimpahan Perifiton dengan
Kerapatan Lamun pada Lamun Cymodocea serrulata .......................... 59
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Data Tingkat Kerapatan Lamun .............................................................. 75
2. Data Kelimpahan Perifiton pada Daun Lamun Enhalus acoroides ...... 76
3. Data Kelimpahan Perifiton pada Daun Lamun Cymodocea serrulata . 77
4. Hasil Indeks Penyebaran Morisita .......................................................... 78
5. Dokumentasi Lapangan ........................................................................... 83
6. Hasil Uji Nitrat Fosfat ............................................................................. 84
7. Hasil Uji Statistika Non Parametrtik Median......................................... 85
8. Hasil Uji Ukuran Butir Sedimen ............................................................. 87
9. Riwayat Hidup ......................................................................................... 89
1
I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup terendam dalam
kolom air dan berkembang dengan baik di perairan laut dangkal. Ekosistem lamun
merupakan salah satu ekosistem bahari yang paling produktif, sehingga dapat
mendukung potensi sumberdaya yang tinggi pula (Agardi, 2003). Fungsi ekologis dari
padang lamun adalah sumber utama produktivitas primer, sumber makanan bagi
organisme dalam bentuk detritus, menstabilkan dasar perairan dengan sistem
perakarannya yang dapat menangkap sedimen (trapping sediment), tempat berlindung
bagi biota laut, tempat perkembangbiakan (spawning ground), pengasuhan (nursery
ground), serta sumber makanan (feeding ground) bagi biota-biota perairan laut,
pelindung pantai dengan cara meredam arus, penghasil oksigen dan mereduksi CO2 di
dasar perairan.
Keanekaragaman jenis lamun yang tinggi serta struktur morfologi daun dari
beberapa jenis lamun yang berukuran cukup besar memungkinkan untuk ditumbuhi
perifiton. Perifiton memberikan banyak manfaat, baik bagi lamun maupun
ekosistemnya sendiri. Selain itu, perifiton yang ditemukan pada permukaan daun
lamun menyebabkan produktivitas primer ekosistem lamun menjadi tinggi. Perifiton
adalah bagian dari trofic level. Biomassa yang terbentuk merupakan sumber makanan
alami bagi biota air yang lebih tinggi yaitu zooplankton, juvenil udang, moluska dan
ikan (Klumpp et al., 1992 dalam Zulkifli, 2000). Sehingga diperlukan penelitian
2
mengenai organisme perifiton ini yang memiliki peranan penting dalam ekosistem
perairan laut dangkal. Berbagai upaya harus dilakukan demi menjaga kelestarian
perifiton yaitu dengan menjaga substratnya yang salah satunya adalah lamun, karena
perkembangan perifiton juga tergantung pada kondisi substratnya.
Pulau Parang merupakan pulau yang berada di wilayah administratif Kecamatan
Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Pulau Parang berada di sebelah barat
Pulau Karimunjawa. Secara geografis Pulau Parang terletak pada 05° 44' 36'' LS dan
110° 14' 34'' BT. Pulau ini dihuni oleh penduduk yang sebagian besar bekerja sebagai
nelayan tangkap. Pulau Parang memiliki tiga ekosistem laut yaitu ekosistem mangrove,
ekosistem padang lamun dan ekosistem terumbu karang. Ketiga ekosistem ini memiliki
peran dalam eksistensi keberadaan ekosistem tersebut maupun kehidupan sekitarnya.
Penelitian mengenai perifiton yang hidup pada daun lamun Enhalus acoroides
dan Cymodocea serulatta di Pulau Parang masih sedikit dilakukan, sehingga
diperlukan penelitian secara ilmiah mengenai distribusi dan keanekaragaman perifiton
pada daun lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata di Pulau Parang,
Karimunjawa.
1. 2. Pendekatan Masalah
Kondisi padang lamun sangat menentukan kondisi perifiton sehingga pada
kondisi lamun yang baik atau subur merupakan tempat yang layak untuk penempelan
perifiton. Aktivitas yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem lamun berupa
aktivitas antropogenik seperti penangkapan ikan, keberadaan permukiman, kapal
3
nelayan, dan aktivitas lain yang akan menyebabkan gangguan maupun kerusakan pada
lamun sehingga mempengaruhi penempelan perifiton pada lamun (Herlina, 2018).
Terdapat lima jenis lamun yang ditemukan di Pulau Parang antara lain Enhalus
acoroides, Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii, Halodule uninervis, dan
Syringodium isoetifolium. Perifiton yang menempel pada lamun memiliki peluang
dominan jenis yang berbeda-beda tergantung pada jenis lamun yang menjadi media
penempelannya (Alhanif, 1996). Kedua jenis lamun yang akan diteliti adalah Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata. Hal ini dikarenakan Enhalus acoroides memiliki
morfologi berbeda seperti luas penampang daun yang lebih lebar dibandingkan
Cymodocea serrulata, serta jenis ini banyak ditemukan di wilayah ini. Perifiton sebagai
organisme yang berasosiasi terhadap komunitas lamun memiliki fungsi sebagai
indikasi kesuburan lamun. Namun sejauh ini belum dilakukan kajian terkait dengan
komunitas perifiton yang dapat dijadikan sebagai data untuk melihat nilai kesuburan
lamun.
1. 3. Tujuan penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui :
a) Kelimpahan perifiton pada daun lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea
serrulata di Pulau Parang.
b) Pola distribusi perifiton pada daun lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea
serrulata di Pulau Parang.
c) Hubungan kerapatan lamun terhadap kelimpahan perifiton di Pulau Parang.
4
1. 4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai keanekaragaman perifiton
dan distribusi perifiton pada jenis lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata
di Pulau Parang, Karimunjawa. Penelitian ini dapat mengetahui hubungan kelimpahan
perifiton dengan kerapatan lamun yang akan menggambarkan mengenai peranan lamun
sebagai tempat penempelan perifiton.
1. 5. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2018, di perairan Pulau Parang,
Karimunjawa. Penelitian langsung dilakukan di lapangan dengan melihat keadaan
sekitar. Identifikasi sampel perifiton dilakukan di Laboratorium Biologi Fakultas Ilmu
Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP. Sedangkan analisis butir sedimen dilakukan di
Laboratorium Mekanika Tanah Fakultas Teknik, UNDIP.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Morfologi Lamun
Lamun adalah tumbuhan berbunga atau disebut Angiospermae yang tumbuh
mencolok dan sering merupakan komponen utama yang dominan di lingkungan pesisir
(Tomascik et al., 1997). Tumbuhan lamun terdiri dari rhizoma yang mampu menahan
hempasan ombak dan arus. Rhizoma tumbuh terbenam dan menjalar dalam substrat
pasir, lumpur, dan pecahan karang (Azkab, 2006). Akar pada tumbuhan lamun
mempunyai fungsi sebagai jangkar dan penyerapan nutrien dari substrat (Philips dan
Menez, 1988). Akar dan rhizomanya yang melekat kuat pada sedimen dapat
menstabilkan dan mengikat sedimen, daun-daunnya dapat menghambat gerakan arus
dan ombak yang dapat mempengaruhi terjadinya sedimentasi (Ira, 2011).
Gambar 1. Morfologi Lamun. (Seagrasswatch.com)
6
Lamun memiliki beberapa sifat yang memungkinkannya hidup di lingkungan
laut, yaitu mampu hidup di media air asin, mampu hidup dalam keadaan terbenam
dalam air, mempunyai sistem perakaran jangkar yang berkembang, mampu
melaksanakan penyerbukan dalam air dan daur generatif (Den Hartog, 1970).
Terdapat perbedaan morfologi dan anatomi akar yang jelas antar jenis lamun
yang dapat digunakan dalam kajian taksonomi lamun (Tuwo, 2011). Lamun memiliki
sistem perakaran yang nyata, memiliki dedaunan, sistem transportasi internal untuk gas
dan nutrien, serta kutikula yang berfungsi dalam pertukaran gas. Akar pada tumbuhan
lamun tidak berfungsi penting dalam pengambilan air karena daun dapat menyerap
nutrien dan melakukan fiksasi nitrogen melalui tudung akar. Kemudian untuk menjaga
agar tetap mengapung di kolom air, tumbuhan lamun dilengkapi dengan saluran udara
(Dahuri et al., 2003).
2.2. Jenis – jenis lamun yang ditemukan di Pulau Parang
Beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan Pulau Parang sebagai berikut :
2.2.1. Thalassia hemprichii
Thalassia hemprichii (Gambar 2) memiliki bentuk daun seperti selendang (strap-
like) yang muncul dari stem yang tegak lurus dan penutup penuh oleh sarung daun (leaf
sheath). Ujung daun tumpul dan bergerigi tajam. Rhizoma tebal dengan node scar yang
jelas, biasanya berbentuk segitiga dengan Ieaf sheath yang keras (Waycott et al., 2004).
Daun berbentuk pita, terdapat sepuluh sampai tujuh belas tulang-tulang daun yang
membujur, pada helaian daun terdapat ruji-ruji hitam yang pendek, ujung daunnya
7
membulat, tidak terdapat ligula, tumbuh didaerah substrat berpasir dan berlumpur, dan
kadang-kadang di terumbu karang (Den Hartog, 1970).
Gambar 2. Thalassia hemprichii (Seagrasswatch.com)
2.2.2. Enhalus acoroides
Enhalus acoroides (Gambar 3) merupakan tanaman yang kuat, memiliki daun
yang panjang dengan permukaan halus dan memiliki rhizoma tebal. Terdapat bunga
besar dari bawah daun. Lamun ini di temukan sepanjang Indo - Pasifik barat di daerah
tropis (Waycott et al., 2004). Lamun jenis ini memiliki rhizoma (batang) tertanam di
dalam substrat, ujung daun bulat dan terdapat serat-serat kecil menonjol pada waktu
muda, tepi daun seluruhnya jelas, bentuk garis tepi daunnya seperti melilit, dan
mempunyai daun sebanyak 3 atau 4 helai yang berasal langsung dari rhizoma. Enhalus
acoroides tumbuh pada substrat berlumpur dan perairan keruh, dapat membentuk
8
padang lamun spesies tunggal atau mendominansi komunitas padang lamun (Den
Hartog, 1970).
Gambar 3. Enhalus acoroides (Seagrasswatch.com)
2.2.3. Cymodocea serrulata
Cymodocea serrulata (Gambar 4) memiliki daun berbentuk selempang yang
melengkung dengan bagian pangkal menyempit dan ke arah ujung agak melebar.
Ujung daun yang bergerigi memiliki warna hijau atau orange pada rhizoma (Waycott
et al., 2004 dalam Nurzahraeni, 2014). Lamun jenis ini umumnya dijumpai didaerah
intertidal di dekat mangrove (Nirita, 1996 dalam Fitri, 2015).
Gambar 4. Cymodocea serrulata (Seagrasswatch.com)
9
2.2.4. Halodule uninervis
Halodule uninervis (Gambar 5) memiliki ujung daun yang berbentuk trisula dan
runcing, terdiri dari 1-3 urat halus yang jelas kelihatan, memiliki sarung serat dan
rhizoma biasanya berwarna putih dengan serat-serat berwarna hitam kecil pada nodes
nya. Lebar dan panjang daunnya masing-masing 0.2 - 4 mm dan 5 - 25 cm. Lamun di
sepanjang Indo Pasifik barat di daerah tropis dan sangat umum di daerah intertidal
(Waycott et al., 2004).
Gambar 5. Halodule uninervis (Seagrasswatch.com)
2.2.5. Syringodium isoetifolium
Syringodium isoetifolium (Gambar 6) memiliki bentuk daun yang silinder dan
terdapat rongga udara di dalamnya. Daun dapat mengapung di permukaan dengan
mudah. Ditemukan di Indo-Pasifik Barat di seluruh daerah tropis (Waycott et al.,
2004).
Gambar 6. Syringodium isoetifolium (Seagrasswatch.com)
10
2.3. Fungsi Ekosistem Padang Lamun
Padang lamun secara ekologis mempunyai beberapa fungsi penting bagi wilayah
pesisir dan laut, yaitu : (a) Sebagai produsen primer ; (b) Sebagai penangkap sedimen
; (c) Sebagai habitat biota laut ; (d) Sebagai pendaur nutrient.
Lamun berfungsi sebagai produsen primer karena mampu memfiksasi sejumlah
karbon organik dan sebagian besar memasuki rantai makanan, baik melalui
pemangsaan langsung oleh herbivora maupun melalui dekomposisi sebagai serasah.
Lamun juga memberikan sumbangan terhadap produktivitas terumbu karang. Serasah
yang diproduksi oleh lamun dapat membantu meningkatkan kelimpahan fitoplankton
dan zooplankton. Proses dekomposisi menghasilkan materi yang langsung dapat
dikonsumsi oleh fauna bentik, sedangkan partikel-partikel serasah di dalam air
merupakan makanan invertebrata penyaring (filter feeder). Hewan tersebut akan
menjadi mangsa dari karnivora yang terdiri dari berbagi jenis ikan dan invertebrata
(Hutomo dan Azkab, 1987).
Lamun dapat mengikat sedimen dan menstabilkan substrat lunak dengan sistem
perakaran yang padat dan saling menyilang. Daun lamun yang lebat akan
memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan ombak, sehingga perairan di
sekitarnya menjadi tenang (Bengen, 2001).
Padang lamun memiliki suatu peranan penting dalam stabilisasi substrat dan
melindungi dasar perairan dari erosi. Rimpang dan akar lamun dapat menahan dan
mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar perairan.
Dengan demikian ekosistem ini bertindak sebagai pencegah erosi dan penangkap
sedimen (Nybakken, 1992).
11
Lamun berperan sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan
memijah bagi beberapa jenis biota laut. Lamun dapat dimakan langsung oleh
organisme avertebrata seperti bulu babi serta berbagai jenis ikan dari family Scaridae
dan Acanthuridae. Selain itu lamun juga dapat dimakan oleh penyu dan duyung
(Azkab, 2006). Komunitas flora dan fauna di daerah lamun mempunyai komposisi
yang khas. Daunnya mendukung sejumlah besar organisme perifiton dengan suatu
substrat yang cocok untuk penempelan (Azkab, 2000).
Lamun dapat menyerap karbon dari air melalui daun dan dari sedimen melalui
akar (Phillips, 1988). Fosfat yang diserap oleh daun-daun lamun dapat bergerak
sepanjang helai daun. Fosfat diserap oleh akar lamun dari celah-celah sedimen,
kemudian dialirkan ke daun dan selanjutnya dipindahkan ke perairan sekitarnya. Zat
hara tersebut secara potensial dapat dipergunakan oleh perifiton apabila berada dalam
medium yang miskin fosfat (Zulkifli, 2003).
2.4. Perifiton
2.4.1. Strukur Komunitas Perifiton
Perifiton merupakan sekelompok organisme yang hidup menempel pada benda
atau pada permukaan tumbuhan air yang terendam; tidak menembus subtrat; diam atau
bergerak dipermukaan substrat tersebut. Perifiton juga bisa disebut sebagai mikro-
ekosistem yang terdiri dari matriks mucopolysaccharide kompleks dengan
mikroorganisme autotrofik dan heterotrofik, serta memiliki kemampuan alami untuk
merespons dan memulihkan diri dari stres (Sabater et al., 2007),. Keberadaan
fitoperifiton yang menempel pada daun lamun diduga sebagai faktor penunjang
12
produktivitas primer kawasan lamun (Apriliana et al., 2014). Dalam suatu perairan,
perifiton lebih berperan sebagai produsen daripada fitoplankton. Hal ini disebabkan
karena fitoplankton akan selalu terbawa arus, sedangkan perifiton relatif tetap pada
tempat hidupnya (Graham dan Wilcox, 2000).
Menurut Wetzel (1982), perifiton terdiri dari mikroflora yang tumbuh pada
semua substrat di bawah permukaan air. Umumnya perifiton di perairan terdiri dari
diatom (Bacillariophyceae), alga biru berfilamen (Cyanophyceae), alga hijau
berfilamen (Chlorophyceae), Dinophyeae, protozoa, dan rotifera (tidak banyak pada
perairan tidak tercemar), serta beberapa jenis serangga.
Berdasarkan tipe substrat tempat menempelnya perifiton, Allan dan Castillo
(2007) mengkategorikan sebagai berikut:
1) Epifitik, menempel pada permukaan tumbuhan,
2) Epipelik, menempel pada permukaan sedimen,
3) Epilitik, menempel pada permukaan batuan,
4) Epizooik, menempel pada permukaan hewan,
5) Epipsammik, hidup dan bergerak diantara butir-butir pasir.
Indeks keanekaragaman merupakan suatu pernyataan atau penggambaran secara
matematik yang melukiskan struktur kehidupan organisme dan memberikan informasi
mengenai jenis dan jumlah organisme. Semakin banyak organisme yang terdapat dalam
suatu area, maka semakin besar nilai keanekaragaman yang juga sangat tergantung
pada jumlah total individu masing-masing jenis. Perhitungan indeks keanekaragaman
dilakukan menggunakan indeks Shannon-wiener. Dalam menentukan nilai
13
keanekaragaman dibagi menjadi 3 kategori yakni: keanekaragaman kecil,
keanekaragaman sedang, dan keanekaragaman tinggi (Alhanif, 1996).
Keseragaman menunjukkan komposisi individu dari spesies yang terdapat dalam
suatu komunitas, dimana akan terjadi dominasi spesies dalam suatu komunitas bila
keseragaman mendekati minimum dan sebaliknya suatu komunitas akan relatif mantap
apabila keseragaman mendekati maksimum (Brower et al., 1990).
Dominansi menunjukkan ada tidaknya suatu jenis individu yang mendominasi
dalam suatu komunitas, dimana jenis yang mendominasi cenderung mengendalikan
komunitas (Simpson, 1984).
Menurut Alhanif (1996), proses analisis distribusi komunitas perifiton dilakukan
menggunakan rumus indeks sebaran Morisita sehingga dapat ditentukan kedalam tiga
jenis sebaran yaitu acak, mengelompok, dan seragam. Zonasi atau sebaran komunitas
perifiton umumnya hidup pada tiga zona : (a) Zona eulitoral yaitu daerah yang masih
terpengaruh oleh gelombang pasang surut dengan kondisi lingkungan yang berubah-
ubah. ; (b) Zona sublitoral yaitu zona yang masih terpengaruh oleh cahaya matahari
dan memiliki komunitas biota yang paling tinggi keanekaragamannya. ; (c) Zona
sublitoral bawah yaitu zona yang masih mengalami pengaruh cahaya matahari namun
sudah sedikit meredup pada zona ini komunitas perifiton secara kuantitatif mengalami
penurunan.
2.4.2. Hubungan perifiton dengan lamun
Perkembangan perifiton menuju kemantapan komunitasnya sangat ditentukan
oleh kondisi keberadaan substrat. Substrat dari benda hidup sering bersifat sementara
karena adanya proses pertumbuhan dan kematian. Setiap saat pada substrat hidup akan
14
terjadi perubahan lingkungan sebagai akibat dari respirasi dan asimilasi, sehingga
mempengaruhi komunitas perifiton. Biomassa perifiton yang terbentuk merupakan
sumber makanan alami biota air yang lebih tinggi yaitu zooplankton, juvenil udang,
moluska dan ikan (Klumpp et al., 1992 dalam Zulkifli, 2003).
Perkembangan perifiton dapat dipandang sebagai proses akumulasi, yaitu proses
peningkatan biomassa dengan bertambahnya waktu. Akumulasi merupakan hasil
kolonialisasi dengan proses biologi yang menyertainya dan berinteraksi dengan faktor
fisika-kimia perairan (Borowitzka dan Lethbridge, 1989 dalam Zulkifli, 2003).
Menurut Osborn (1983), proses kolonialisasi merupakan pembentukan koloni
perifiton pada substrat yang berlangsung segera setelah pengkoloni menempel pada
substrat. Tipe substrat sangat menentukan proses kolonialisasi dan komposisi perifiton,
hal ini berkaitan erat dengan kemampuan dan alat penempelnya. Kemampuan perifiton
menempel pada substrat menentukan eksistensinya terhadap pencucian oleh arus atau
gelombang yang dapat memusnahkannya.
Untuk menempel pada substrat, perifiton mempunyai berbagai alat penempel,
yaitu : (a) Rhizoid, seperti pada Oedogonium dan Ulothrix ; (b) Tangkai bergelatin
panjang atau pendek, seperti pada Cymbella, Gomphonema dan Achnanthes ; (c)
Bantalan gelatin berbentuk setengah bulatan (sphaerical) yang diperkuat dengan kapur
atau tidak, seperti pada Rivularia, Chaetophora dan Ophyrydium.
Komposisi perifiton pada daun lamun sangat dipengaruhi oleh morfologi, umur
dan letak atau tempat hidup lamunnya. Lamun dengan tipe daun yang besar akan lebih
disukai daripada lamun yang mempunyai daun lebih kecil, karena lamun dengan
morfologi yang lebih besar (kuat) akan mempunyai kondisi substrat yang lebih stabil.
15
Begitu pula dengan umur lamun, pada lamun yang lebih tua komposisi dan kepadatan
perifiton akan berbeda dengan lamun yang lebih muda karena proses penempelan dan
pembentukan koloni perifiton memerlukan waktu yang cukup lama (Russel, 1990).
Novianti et al. (2013), mengatakan bahwa salah satu organisme yang erat
kaitannya dengan tumbuhan lamun ialah perifiton. Organisme perifiton mempunyai
peranan penting dalam produktivitas perairan, karena dapat melakukan proses
fotosintesis yang dapat membentuk zat organik dari zat anorganik. Organisme ini juga
memanfaatkan nutrien yang ada di ekosistem lamun.
Perifiton berfungsi sebagai organisme yang turut membantu lamun dalam fiksasi
bahan organik berupa nitrogen di air. Namun jika kondisinya terlalu banyak (blooming)
dapat mengakibatkan tekanan pada komunitas lamun. Lamun dapat tertekan oleh
perifiton sebagai akibat dari pengkayaan nutrien, mengakibatkan kemunduran
ekosistem padang lamun. Perifiton mengurangi tingkat fotosintesis makrofita dengan
menghalangi cahaya yang ada dan tingkat difusi karbon anorganik (Wibowo et al.,
2014).
2.5. Faktor lingkungan terhadap komunitas perifiton
2.5.1. Suhu
Kenaikan suhu akan memengaruhi kecepatan metabolisme dan respirasi
organisme air yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Suhu
optimum bervariasi pada masing-masing jenis fitoplankton. Perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh adanya intensitas cahaya dan konsentrasi nutrient. Bagi lamun, suhu
memengaruhi proses-proses fisiologi seperti fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan,
16
dan reproduksi. Suhu akan memengaruhi keberadaan fitoplankton di suatu tempat.
Adanya fluktuasi suhu akan menyebabkan turunnya kelimpahan kelompok
fitoplankton. Alga dari filum Chlorophyta dan diatom akan tumbuh baik pada kisaran
suhu berturut-turut 30°C - 35°C dan 20°C - 30°C, dan filum Cyanophyta dapat
bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi (di atas 30°C) (Effendi 2003).
2.5.2. Kecerahan
Kecerahan adalah kondisi perairan yang menggambarkan sifat optik air yang
ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan -
bahan yang terdapat didalam air. Kecerahan disebabkan oleh adanya bahan organik dan
bahan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus) atau
yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (Davis dan Cornwell, 1991 dalam
Effendi, 2003).
Intensitas cahaya matahari sangat memengaruhi biomassa dan pertumbuhan
perifiton. Pada perairan yang memiliki tingkat kecerahan yang tinggi sangat
mendukung proses fotosintesis perifiton untuk menghasilkan senyawa pertumbuhan
(Mardiyana et al., 2014).
2.5.3. Kekeruhan
Kekeruhan dapat disebabkan oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, zat-zat
koloid, bahan-bahan organik, jasad renik yang melayang dalam kolom air. Lamun
dapat menurunkan kekeruhan air karena mampu meredam atau mengurangi kecepatan
arus yang melalui padang lamun, akibatnya partikel tersuspensi di kolom air akan jatuh
ke dasar perairan (Hamid, 1996).
17
2.5.4. Kecepatan Arus
Pertumbuhan dan kehidupan padang lamun juga dipengaruhi oleh kecepatan arus
perairan. Pada ekosistem padang lamun, arus menentukan tingginya produksi primer
melalui penyebaran unsur hara dan gas. Namun, kecepatan arus yang tinggi dapat
menyebabkan naiknya padatan tersuspensi, yang berlanjut pada reduksi penetrasi
cahaya kedalam air atau turunnya kecerahan air. Kondisi ini menyebabkan rendahnya
laju produksi tanaman (Koch, 1994 dalam Kordi, 2011).
Arus merupakan faktor yang mempengaruhi kelimpahan perifiton, paada arus
yang cukup kuat akan menghambat penempelan perifiton pada daun lamun sehingga
perifiton terbawa oleh arus. Jika kondisi arus tidak terlalu kuat akan mendukung
penempelan perfiton pada daun lamun sehingga keanekaragamannya meningkat
(Susetiono, 1994).
2.5.5. Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH di lingkungan perairan laut relatif stabil dan berada pada kisaran yang
sempit, biasanya berkisar antara 7,5 - 8,4 (Nybakken, 1992). Batas toleransi organisme
perairan terhadap pH bervariasi, tergantung kepada suhu, DO, dan tingkat stadium dari
biota bersangkutan. Nilai pH dapat juga mengidentifikasi tingkat kesuburan perairan
(Widianingsih, 1991). Derajat keasaman yang baik untuk organisme atau komunitas
perifiton pada area lamun 7,5-8,4 (Nybakken, 1992).
2.5.6. Oksigen Terlarut (DO)
Menurut Kepmelh No. 51 (2004), kondisi oksigen terlarut yang layak untuk
kehidupan organisme akuatik adalah > 5 mg/L. Rendahnya nilai oksigen terlarut di
perairan diperkirakan karena kondisi panas yang cukup terik sehingga suhu perairan
18
meningkat yang berpengaruh terhadap kelarutan gas oksigen di perairan. Namun masih
layak untuk kehidupan lamun karena umumnya jenis lamun yang ditemukan masih
banyak. Menurut Prakoso et al. (2015), kisaran oksigen terlarut yang baik untuk
organisme atau komunitas perifiton pada area lamun 3,5-4,4 mg/L.
2.5.7. Salinitas
Salinitas adalah jumlah semua garam dalam air setelah semua karbonat diubah
menjadi oksida-oksidanya, semua bromida dan iodida digantikan oleh klorida dan
dinyatakan dalam satuan perseribu (Effendi, 2003). Fitoplankton laut dapat
berkembang secara optimum pada salinitas 35o/oo (Millero dan Sohn, 1992 dalam
Nitajohan, 2008). Penurunan salinitas menyebabkan penurunan laju fotosintesis dan
pertumbuhan. Lamun akan hidup secara optimal pada salinitas kurang lebih 33-34 o/oo
(Nybakken, 1992). Spesies lamun mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda-
beda terhadap salinitas, namun sebagian besar memiliki kisaran yang lebar terhadap
salinitas yaitu antara 10 – 40 ‰ (Dahuri, 2003).
2.5.8. Nutrien (Nitrat dan Fosfat)
Zat hara merupakan zat-zat yang diperlukan dan mempunyai pengaruh terhadap
proses dan perkembangan hidup organisme seperti fitoplankton, terutama zat hara
nitrat dan fosfat. Kedua zat hara ini berperan penting terhadap sel jaringan jasad hidup
organisme serta dalam proses fotosintesis (Mustofa, 2015). Nitrat merupakan faktor
penentu dari kelimpahan organisme yang melakukan fotosintesis serta berpengaruh
terhadap kondisi atau tingkat optimal bagi produktivitas perairan (Handoko et al.,
2013). Pernyataan Girsang et al., (2013), fosfat merupakan bahan makanan utama
yang digunakan semua organisme untuk pertumbuhan dan sumber energi. Fosfat
19
didalam air laut, berada dalam bentuk senyawa organik dan anorganik. Nitrat
merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Nitrat
digunakan sebagai salah satu bahan pembentukan protein dan metabolisme seluler.
Ketersediaan nitrat juga menentukan perkembangan lamun di komunitasnya.
2.6. Kondisi Padang Lamun
Kondisi padang lamun dinyatakan dalam berbagai parameter ekologis, antara lain
persentase tutupan dan kerapatan lamun. Status lamun adalah tingkat kondisi pada
lamun pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu berdasarkan kriteria baku
kerusakan padang lamun menggunakan persentase luas tutupan (KEPMEN-LH, 2004).
2.6.1. Tutupan lamun
Pengamatan akan penutupan lamun, merupakan estimasi persentase luasan dalam
plot transek yang tertutupi lamun. Persentase tutupan lamun adalah proporsi luas
substrat yang ditutupi vegetasi lamun dalam satu satuan luas yang diamati tegak lurus
dari atas (Brower et al, 1990). Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui
kondisi padang lamun yaitu metode transek dan petak contoh (transek plot), kriteria
penilaian metode ini berdasarkan pada KEPMEN-LH (2004). Padang lamun yang
memiliki penutupan lamun ≥ 60 maka memiliki kondisi sehat, sedangkan jika memiliki
penutupan lamun sebsar 30 – 55,9 maka memiliki kondisi kurang sehat ( Tabel 1 ).
Tabel 1. Status Padang Lamun
Kondisi Penutupan(%)
Baik Sehat ≥ 60
Rusak Kurang Sehat 30 – 55,9
20
2.6.2. Kerapatan Lamun
Pengukuran kerapatan lamun dilakukan dengan menghitung jumlah individu
lamun dalam plot transek. Kerapatan lamun adalah jumlah individu lamun per satuan
luas (Brower et al, 1990). Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan ≥ 625
maka memiliki kondisi sangat rapat, sedangkan jika memiliki kerapatan < 25 maka
memiliki kondisi tidak rapat ( Tabel 2 ).
Tabel 2. Skala kondisi padang lamun berdasarkan kerapatan
Skala Kerapatan
(ind/m2)
Kondisi
5 ≥ 625 Sangat rapat
4 425 - 624 Rapat
3 225 - 424 Agak Rapat
2 25 - 224 Jarang
1 < 25 Tidak Rapat
21
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi Penelitian
Materi yang digunakan adalah sampel perifiton pada tumbuhan lamun yang
ditemukan di perairan Pulau Parang, Karimunjawa berdasarkan 3 stasiun yang telah
ditentukan yaitu Stasiun 1 (Batu Hitam), Stasiun 2 (Batu Merah), dan Stasiun 3
(Pelabuhan). Penelitian ini mengambil data parameter perairan yang diukur secara
langsung (in situ) yaitu : Suhu, kecerahan, nitrat, fosfat, salinitas, oksigen terlarut,
kecepatan arus,dan substrat di dalam suatu perairan.
3.1.1. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi refraktometer, GPS, roll
meter, transek kuadran, dll ( Tabel 3 ) :
Tabel 3. Alat yang digunakan dalam penelitian.
No Alat Spesifikasi Kegunaan
1 Transek kuadran 50 x 50 cm Pengambilan data lamun
2 Roll meter 100 m Pengukuran line transek
3 Skin dive - Pengambilan data lamun
4 Kamera - Dokumentasi lapangan
5 Alat tulis - Pencatat data
6 Termometer oC Suhu perairan
7 Refraktometer Ppt Salinitas perairan
8 Kertas pH - Pengukuran derajat keasaman
9 DO meter mg/l Oksigen terlarut perairan
10 Secchi disk Cm Kecerahan perairan
11 Kuas - Pengerikan perifiton
12 GPS - Koordinat lokasi
13 Mikroskop - Identifikasi perifiton
14 Sedgwick rafter - Penghitungan perifiton
15 Bola duga m/det Kecepatan arus
16 Buku Identifikasi - Identifikasi perifiton
22
3.1.2. Bahan Penelitian Lapangan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi daun lamun, aquades,
formalin 4%, dll ( Tabel 4 ) :
Tabel 4. Bahan yang digunakan dalam penelitian.
No. Nama bahan Kegunaan
1 Daun lamun Obyek penempelan perifiton
2 Aquades Media penetrasi lamun
3 Formalin 4% Pengawetan sampel perifiton
4 Tissue Pengering alat
5 Ice Penyimpan sampel perifiton
3.2. Metode Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode survei yaitu
pengamatan langsung di lokasi penelitian. Sesuai dengan metode penelitian maka
terdapat data primer dan data sekunder. Data primer yang didapat dari penelitian ini
adalah data hasil identifikasi perifiton dan data ekosistem lamun. Sedangkan data
sekunder adalah pengukuran parameter fisika dan kimia perairan. Lokasi penelitian
ditentukan dengan menggunakan metode Purposive random sampling, dimana metode
ini menggunakan berbagai pertimbangan, dan keputusan diambil apabila peneliti telah
memperoleh unsur-unsur yang diperlukan (Sarbini, 2015). Unsur utama yang
diperlukan dalam penelitian ini adalah keberadaan ekosistem lamun di perairan Pulau
Parang, Karimunjawa. Terdapat beberapa jenis lamun, diantaranya yaitu Enhalus
acoroides, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Cymodocea serrulata dan
Haludule uninervis.
23
3.3. Pelaksanaan Penelitian
3.3.1. Penentuan Stasiun
Lokasi penelitian ini berada di Pulau Parang yang termasuk dalam wilayah
administratif Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Penelitian ini
dilakukan pada 3 lokasi yang terdapat di Pulau Parang yaitu Stasiun 1 (Batu Hitam),
Stasiun 2 (Batu Merah), dan Stasiun 3 (Pelabuhan). Secara geografis Batu Hitam
terletak pada 5043’59,1’’ LS dan 110014’24,9’’ BT, Batu Merah terletak pada
5044’49,0’’ LS dan 110014’58,8’’ BT sedangkan Pelabuhan terletak pada 5045’22,8’’
LS dan 110014’29,0’’ BT.
Gambar 7. Peta lokasi penelitian
24
3.3.2. Metode Pengambilan Data Lamun
Metode yang digunakan mengacu pada metode Seagrasswatch yaitu panduan
monitoring kondisi lamun pada suatu area tertentu. Penelitian ini terbagi di 3 Stasiun
yaitu Stasiun 1 (Batu Hitam), Stasiun 2 (Batu Merah), dan Stasiun 3 (Pelabuhan).
Setiap Stasiun akan terbagi menjadi 3 substasiun. Jarak antar substasiun adalah 25
meter dan 50 meter ke arah laut seperti pada Gambar 8. Metode yang digunakan untuk
pengambilan data lamun menggunakan transek kuadran 50 cm x 50 cm. Pada masing-
masing substasiun, line transek ditarik garis sepanjang 50 m tegak lurus garis pantai
dengan setiap 5 m ditetapkan masing-masing satu transek kuadran. Pengamatan
dilakukan langsung dilapangan terhadap identifikasi spesies lamun, tegakan lamun,
persentase penutupan lamun, dan kondisi perairan yang diukur secara insitu meliputi
suhu, DO, salinitas, pH, salinitas, kecerahan, kedalaman dan substrat pada setiap
stasiun (McKenzie, 2003).
Gambar 8 . Line Transek Metode Seagrasswatch (Seagrasswatch.com)
3.3.3. Pengambilan Sampel Lamun
Pengambilan sampel lamun dilapangan dilakukan dengan menggunakan transek
yang berukuran 50 cm x 50 cm. Transek diletakkan pada titik-titik sampling lalu
25
ditentukan titik koordinatnya. Sebanyak 3 helai daun lamun dari masing-masing jenis
pada setiap substasiun pengamatan di potong bagian pangkal menggunakan gunting
sepanjang 2 x 5 cm. Kemudian dilakukan perhitungan percent cover, jenis lamun,
asosiasi makroalga dan asosiasi biota di hamparan padang lamun ( Sarbini, 2015).
3.3.4. Pengambilan Sampel Perifiton
Pengambilan sampel perifiton dilakukan dengan metode sapuan (perifiton
dipisahkan dari permukaan daun lamun dengan cara sapuan menggunakan kuas).
Sampel daun lamun berukuran 2 x 5 cm yang telah digunting selanjutnya diletakkan
diatas petridisk yang berisi aquades. Kemudian dilakukan sapuan menggunakan kuas.
Sampel perifiton yang didalam petridisk dipindahkan ke botol 25 mL, ditambahkan
aquades hingga volume mencapai 25 mL dan diberi formalin 4%. Setiap sampel diberi
label sesuai substasiun selanjutnya sampel perifiton diamati dibawah mikroskop
(Sarbini, 2015).
3.3.5. Pengamatan dan Identifikasi Perifiton
Pengamatan dan identifikasi perifiton dilakukan di Laboratorium Biologi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Diponegoro. Prosedur perhitungan
sampel perifiiton dilakukan dengan metode sensus yaitu pengamatan dilakukan secara
total pada alat sedgwick rafter counting chamber (Sarbini, 2015).
Cara perhitungan dan identifikasi perifiton dapat dilakukan sebagai berikut
(Wibowo et al., 2014):
a) Sebelum pengamatan, sampel perifiton digoncangkan dengan tujuan untuk
menghomogenkan sampel perifiton sehingga sampel yang mengendap dapat
teramati.
26
b) Perifiton yang sudah terlarut di ambil menggunakan pipet tetes dan
meneteskannya pada alat sedgwick rafter counting chamber
c) Sedgwick rafter counting chamber ditutup dengan cover glass.
d) Pengamatan dan perhitungan perifiton dilakukan dengan menggunakan
Sedgewick-Rafter Counting Chamber dengan menggunakan miskroskop optik
dengan pembesaran 10-40x.
e) Identifikasi perifiton menggunakan buku Illustrations of The Marine Plankton
Of Japan (Isamu Yamaji, 1979)
3.4. Analisis Data
3.4.1 Analisis Data Lamun
1. Kerapatan jenis
Kerapatan jenis adalah jumlah individu (tegakan) persatuan luas. Kerapatan
masing-masing jenis pada setiap stasiun dihitung berdasarkan rumus menurut
Brower et al., (1990) sebagai berikut:
𝐾 = ∑𝑛𝑖
𝐴
Keterangan :
K : Kerapatan jenis (tegakan/m2)
ni : Jumlah tegakan spesies i (tegakan)
A : Luas transek kuadrat (m2)
27
2. Indeks Keanekaragaman jenis Shannon-Wiener (𝐻′)
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengukur kelimpahan komunitas
berdasarkan jumlah jenis spesies dan jumlah individu dari setiap spesies pada
suatu lokasi. Semakin banyak jumlah spesies, maka semakin beragam
komunitasnya. Rumus Indeks keanekaragaman jenis Shannon-Wiener menurut
Brower et al., (1990) sebagai berikut:
𝐻′ = − ∑ (𝑛𝑖
𝑁) 𝑙𝑜𝑔2 (
𝑛𝑖
𝑁)
Keterangan :
H’ : Indeks keanekaragaman
ni : Jumlah individu jenis ke- i
N : Jumlah total individu
Kriteria dari indeks keanekaragaman ditentukan berdasarkan nilai yang didapat :
H < 1 : Keanekaragaman rendah
1 < H < 3 : Keanekaragaman sedang
H > 3 : Keanekaragaman tinggi
3. Indeks keseragaman (𝐸)
Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui seberapa besar kesamaan
penyebaran jumlah individu setiap jenis, yaitu dengan cara membandingkan
indeks keanekaragaman dengan nilai maksimumnya. Semakin seragam
penyebaran individu antara spesies maka keseimbangan ekosistem akan semakin
meningkat. Rumus indeks keseragaman menurut Brower et al., (1990) sebagai
berikut:
28
𝐸 = 𝐻′
𝐻𝑚𝑎𝑥
Keterangan :
E : Indeks Keseragaman
H’ : Indeks Keanekaragaman
H’ maks : Indeks Keanekaragaman Maksimum : Log2 (S)
Nilai Indeks keseragaman berkisar antara 0-1, dengan kategori sebagai berikut :
E < 0,4 : Keseragaman rendah
0,4 < E < 0,6 : Keseragaman sedang
E > 0,6 : Keseragaman tinggi
4. Indeks Dominan Simpson (D)
Dominansi dinyatakan dalam indeks dominansi Simpson (Brower et al.,
1990):
𝐷 = ∑(𝑛𝑖
𝑁)2
Keterangan :
D : Indeks dominansi
ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Jumlah total individu
Kriteria dari indeks dominansi ditentukan berdasarkan nilai yang didapat :
0 < C < 0,5 : Tidak ada jenis yang mendominansi
0,5 < C ≤ 1,0 : Terdapat jenis yang mendominansi
29
3.4.2 Perhitungan Perifiton
a. Kelimpahan jenis perifiton
Menurut Harahap et al., (2015), kelimpahan sel perifiton diperoleh melalui
perhitungan terhadap jumlah sel yang ditemukan pada daun lamun (sel/cm2).
Perhitungan jumlah perifiton dilakukan dengan menggunakan rumus yaitu:
𝑁 = 𝑛 𝑥 𝑉𝑝
𝑉𝑐𝑔𝑥
1
𝐴
Dimana:
N : Kelimpahan perifiton (sel/cm2)
n : Jumlah perifiton yang tercacah (sel)
Vp : Volume pengencer ( 25 mL)
Vcg : Volume sampel dibawah cover glass SRC (1 mL)
A : Luas sapuan (5x2 cm2)
b. Indeks Penyebaran Morisita
Untuk mengetahui pola penyebaran perifiton pada daun lamun digunakan
rumus morosita (Odum, 1993 dalam Hardiyanti, 2012) dengan persamaan
sebagai berikut:
𝐼𝑑 = 𝑛 ∑(𝑋2 − 𝑁)
𝑁 (𝑁 − 1)
Keterangan:
Id : Indeks penyebaran morisita
n : Jumlah plot
N : Jumlah individu dalam n plot
30
∑ 𝑋2 : Kuadrat jumlah individu dalam plot
Dengan kriteria Indeks:
Id = 1,0 : Penyebaran acak
Id < 1,0 : Penyebaran merata
Id > 1,0 : Penyebaran mengelompok
c. Keanekaragaman Perifiton
Indeks keanekaragaman jenis dihitung dengan rumus Shannon-Wiener
sebagai berikut (Ameilda, 2016):
𝐻′ = − ∑(𝑛𝑖 𝑁 ) 𝑙𝑛 (𝑛𝑖 𝑁)⁄⁄
Keterangan:
H’ : Indeks keanekaragaman shannon
Pi : ni/N : jumlah spesies ke-i
ni : Jumlah individu jenis i
N : Jumlah total individu seluruh jenis
Berdasarkan formulasi di atas, indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
dikategorikan atas nilai-nilai sebagai berikut :
H’ <1 : Keanekaragaman kecil
H’ 1 < H’ < 3 : Keanekaragaman sedang
H’ > 3 : Keanekaragaman tinggi
31
d. Keseragaman Perifiton
Keseragaman dapat dikatakan sebagai komposisi individu tiap jenis yang
terdapat dalam suatu komunitas. Keseragaman jenis dihitung dengan rumus
sebagai berikut (Ameilda, 2016):
𝐸 = 𝐻′ 𝐻′𝑚𝑎𝑘𝑠⁄ (𝐻′𝑚𝑎𝑘𝑠 = 𝐿𝑛 𝑠)
Keterangan:
E : Indeks keseragaman
H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-wiener
H’ maks : Keanekaragaman maksimum
Kisaran indeks keseragaman sebagai berikut (Deget (1976), dalam Sugianti
& Mujiyanto, (2014)) :
E < 0,3 : Keseragaman populasi kecil
0,3< E < 0,6 : Keseragaman populasi sedang
E > 0,6 : Keseragaman populasi tinggi
e. Dominansi Perifiton
Untuk mengetahui dominansi jenis tertentu digunakan indeks dominansi
Simpson sebagai berikut (Ameilda, 2015):
𝐷 = ∑ (𝑛𝑖 𝑁)2⁄
Keterangan:
D : Indeks dominasi simpson
ni : Jumlah individu jenis ke-i
N : Jumlah total individu
32
3.5. Pengolahan Data
Perbandingkan hubungan kondisi padang lamun dengan kelimpahan perifiton
diketahui dengan uji korelasi menggunakan bantuan Microsoft Excel dan melakukan
uji non parametrik median. Kemudian data sebaran jenis perifiton disajikan dalam
bentuk peta menggunakan citra satelit (ArcGis) dengan suffer atau ocean data view dan
Indeks Morisita.
Data kualitas air ditabulasikan dalam bentuk tabel, gambar dan grafik dan
dibahas secara deskriptif menggunakan literatur berupa buku, jurnal, publikasi ilmiah,
serta sumber lain terkait penelitian. Hasil pengukuran kualitas air dibahas dengan
mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004.
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil
4.1.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Pulau Parang secara administratif termasuk kedalam wilayah Balai Taman
Nasional Karimunjawa. Pulau Parang terletak di Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten
Jepara, Jawa Tengah. Pulau ini dihuni oleh penduduk yang sebagian mata
pencahariannya sebagai nelayan. Luas Pulau Parang hanya berkisar 691 Ha.
Transportasi di Pulau Parang hanya memiliki sebuah kapal cepat sebagai sarana
transportasi umum untuk keluar masuk pulau. Pulau Parang merupakan pulau tertua di
Kecamatan Karimunjawa. Secara geografis, wilayah Pulau Parang berbatasan pada
sebelah utara dengan Laut Jawa, sebelah selatan dengan Pulau Kumbang, sebelah barat
dengan Pulau Kembar, dan di sebelah timur dengan Pulau Cemara Besar.
Aktivitas yang ada disekitar Pulau Parang diantaranya aktivitas perikanan seperti
penangkapan ikan. Aktivitas lain yaitu adanya tambat labuh kapal nelayan dan jalur
transportasi kapal penumpang menuju pulau - pulau terdekat.
4.1.2. Komposisi Lamun
Lamun yang ditemukan di Pulau Parang terdiri dari 5 jenis yaitu Enhalus
acoroides, Thalasia hemprichii, , Cymodocea serrulata, Syringodium isoetifolium, dan
Halodule uninervis. Penelitian ini berada di 3 stasiun yaitu Stasiun 1 (Batu Hitam),
Stasiun 2 (Batu Merah) dan Stasiun 3 (Pelabuhan). Jenis lamun yang ditemukan di
Stasiun 1 hanya Enhalus acoroides, sedangkan di Stasiun 2 dan Stasiun 3 ditemukan
34
jenis lamun yang bervariatif. Jenis lamun yang ditemukan di setiap lokasi yang berada
di Pulau Parang secara lengkap terdapat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kehadiran Jenis Lamun di Lokasi Penelitian
Keterangan :
+ : Ditemukan - : Tidak Ditemukan
Cs :Cymodocea serrulata Ea : Enhalus Acoroides
Si :Syringodium isoetifolium Hu : Halodule uninervis
Th :Thalassia hemprichii
Stasiun Jenis Lamun
Ea Cs Th Hu Si
Stasiun 1 1 + - - - -
Batu Hitam 2 + - - - -
3 + - - - -
Stasiun 2 1 + + + + -
Batu Merah 2 + + + + -
3 + + + + -
Stasiun 3 1 + + - - +
Pelabuhan 2 + + - - +
3 + + - - +
35
Komposisi jenis lamun dapat dilihat berdasarkan jumlah tegakan per jenis yang
dihitung dibandingkan dengan jumlah secara keseluruhan. Hasil perhitungan
komposisi jenis lamun disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9. Komposisi Jenis Lamun di Lokasi Penelitian
Diketahui dari Gambar 9 bahwa nilai presentase komposisi lamun jenis Enhalus
acoroides mempunyai komposisi paling tinggi yaitu 38%. Sedangkan jenis Cymodocea
serrulata 35%, Syringodium isoetifolium memiliki nilai komposisi sebesar 15%,
Thalassia hemprichii sebesar 7%, dan Halodule uninervis sebesar 5%. Komposisi jenis
lamun yang tertinggi yaitu E. acoroides sedangkan komposisi jenis lamun terendah
yakni H. ovalis.
4.1.3. Tingkat Kerapatan Lamun
Kerapatan lamun menggambarkan jumlah tegakan lamun yang terdapat pada
luasan tertentu. Nilai kerapatan lamun di Pulau Parang terbagi di 3 stasiun yaitu Stasiun
38%
35%
7%
5%15%
Enhalus acoroides Cymodocea serrulata
Thalassia hemprichii Halodule uninervis
Syringodium isoetifolium
36
1 (Batu Hitam), Stasiun 2 (Batu Merah), dan Stasiun 3 (Pelabuhan) seperti pada
Gambar 10.
Gambar 10. Tingkat Kerapatan Lamun di Lokasi Penelitian
Kerapatan lamun pada Stasiun 1 ( Batu Hitam ) menunjukkan bahwa pada
substasiun 1 memiliki kerapatan yaitu 276 tegakan/m2. Substasiun 2 memiliki
kerapatan lamun sebesar 280 tegakan/m2. Substasiun 3 memiliki kerapatan lamun
sebesar 332 tegakan/m2. Sehingga kerapatan tertinggi terdapat pada substasiun 3 yaitu
332 tegakan/m2 . Jenis lamun yang terdapat pada Stasiun 1 (Batu Hitam) hanya lamun
jenis Enhalus acoroides.
Kerapatan lamun pada Stasiun 2 ( Batu Merah ) menunjukkan bahwa substasiun
1 memiliki kerapatan sebesar 424 tegakan/m2. Substasiun 2 memiliki kerapatan lamun
sebesar 272 tegakan/m2. Substasiun 3 memiliki kerapatan lamun sebesar 260
tegakan/m2. Sehingga kerapatan tertinggi terdapat pada substasiun 1.
Kerapatan lamun pada Stasiun 3 ( Pelabuhan ) menunjukkan bahwa substasiun 1
memiliki kerapatan sebesar 764 tegakan/m2. Substasiun 2 memiliki kerapatan lamun
276
424
764
280 272
740
332260
800
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Tega
kan
/m2
Keterangan Substasiun : 1 2 3
37
sebesar 740 tegakan/m2. Substasiun 3 memiliki kerapatan lamun sebesar 800
tegakan/m2. Sehingga kerapatan tertinggi terdapat pada substasiun 3.
4.1.4. Presentase Tutupan Lamun
Presentase tutupan lamun merupakan proporsi luas subsrat yang ditutupi vegetasi
lamun dalam suatu satuan luas yang diamati tegak lurus dari atas. Berdasarkan Tabel 6
maka diketahui nilai presentase tutupan lamun pada setiap stasiun. Stasiun 1 memiliki
presentase penutupan lamun sebesar 32%, Stasiun 2 19,2 %, dan Stasiun 3 29,1 %.
Tabel 6. Presentase Penutupan Lamun di Lokasi Penelitian
Substasiun
Lokasi
Substasiun 1
(%)
Substasiun 2
(%)
Substasiun 3
(%)
Persen
Penutupan
(%)
Stasiun 1 39 26,1 30,9 32
Stasiun 2 31 19,9 6,6 19,2
Stasiun 3 33,3 27,3 26,5 29,1
4.1.5. Indeks Ekologi
Berdasarkan indeks ekologi Shannon dan Weiner, keanekaragaman lamun di
Stasiun 1 dikategorikan rendah, untuk Stasiun 2 dan Stasiun 3 dikategorikan sedang.
Indeks keseragaman berdasarkan Krebs (1985), Stasiun 1 dikategorikan rendah ,
Stasiun 2 dan Stasiun 3 dikategorikan Tinggi. Sedangkan indeks dominansi untuk
Stasiun 1 dikategorikan mendominansi sedangkan Stasiun 2 dan Stasiun 3 tergolong
tidak mendominansi.
38
Tabel 7. Indeks Ekologi Lamun di Lokasi Penelitian
4.1.6. Komposisi Perifiton
Perifiton yang ditemukan pada jenis lamun Enhalus acoroides di Pulau Parang
terdiri dari 4 kelas dan 23 genus. Kelas Bacilariophyceae terdiri dari 18 genus yaitu
Melosira, Pleurosigma, Coscinodiscus, Rhizosolenia, Diploneis, Hemiaulus,
Fragilaria, Navicula, Biddulphia, Nitczhia, Stephanodiscus, Grammatophora,
Licmophora, Thalassiosira, Tropidoneis, Cylindrotheca. Kelas Dinophyceae
ditemukan 2 genus yaitu Alexandrium dan Cochlodinium. Kelas Cyanophyceae hanya
ditemukan 1 genus yaitu Nodularia. Sedangkan untuk Zooplankton ditemukan Calanus
dan larva bivalvia. Hasil perifiton yang ditemukan pada lamun Enhalus acoroides
disajikan pada Tabel 8. Sedangkan untuk perifiton di daun lamun Cymodocea serrulata
disajikan di Tabel 9.
Stasiun Keanekaragaman Keseragaman Dominansi
Stasiun 1 0 Rendah 0 Rendah 1 Mendominansi
Stasiun 2 1,95 Sedang 0,97 Tinggi 0,26 Tidak Mendoninansi
Stasiun 3 1,47 Sedang 0,92 Tinggi 0,38 Tidak Mendoninansi
39
Tabel 8. Kehadiran Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides
No Perifiton
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Substasiun Substasiun Substasiun
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bacillariophyceae
1 Melosira + + + + + + + + +
2 Pleurosigma + - + + + - + - -
3 Coscinodiscus + + + + + + + + +
4 Rhizosolenia + + + + + + + + +
5 Diploneis - + + + - + - + +
6 Hemiaulus - + + + - - + -
7 Fragilaria - + - + - - - + +
8 Navicula - + + + + + + + +
9 Biddulphia - + + + + - + +
10 Nitchzia - - - + + - - - +
11 Striatella - - + - - - + - -
12 Rhabdonema - - + - - - - - -
13 Stephanodiscus - + + - - - - + -
14 Grammatophora + + + + + + - - -
15 Licmophora + + + + - + - - -
16 Thalassiosira + - + - - - - - -
17 Tropidoneis - + + - - - - - -
18 Cylindrotheca - - - - - - + + + Dinophyceae
19 Alexandrium - + + - + + + + -
20 Cochlodinium + - + + - + - - +
Cyanophyceae
21 Nodularia - - - - - - + + +
Zooplankton
22 Calanus + + + + + + - - +
23 Larva bivalvia - + + + + - - + +
Keterangan :
+ : Ditemukan - : Tidak Ditemukan
40
Tabel 9. Kehadiran Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata
No Perifiton
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Substasiun Substasiun Substasiun
1 2 3 1 2 3 1 2 3
Bacillariophyceae
1 Melosira - - - + + + + + +
2 Pleurosigma - - - + + + + + -
3 Coscinodiscus - - - + + - + + +
4 Rhizosolenia - - - + + + + - +
5 Diploneis - - - + + + + + +
6 Hemiaulus - - - + + + + - -
7 Fragilaria - - - + + - + + -
8 Navicula - - - + + + + - +
9 Biddulphia - - - - + + + + +
10 Striatella - - - - + - - + -
11 Rhabdonema - - - - - + - - -
12 Nitchzia - - - - - - + - -
13 Stephanodiscus - - - - - - + - -
14 Grammatophora - - - + + + - - -
15 Thalassiosira - - - - - - + - -
16 Cylindrotheca - - - + + + + - +
17 Skeletonema - - - + - + - - +
18 Leptocylindrus - - - - - - + - -
Dinophyceae
19 Alexandrium - - - + - + + - +
20 Cochlodinium - - - - - - - + +
Cyanophyceae
21 Oscilatoria - - - + + + + + +
22 Nodularia - - - - - - + + +
23 Trichodesmium - - - - - - + + +
Zooplankton
24 Calanus - - - - + + + - -
25 Larva bivalvia - - - + - + - + -
Keterangan :
+ : Ditemukan - : Tidak Ditemukan
41
Komposisi perifiton pada daun lamun Cymodocea serrulata ditemukan 4 kelas
dan 25 genus. Kelas Bacillariophyceae yang tediri diri Melosira, Pleurosigma,
Coscinodiscus, Rhizosolenia, Diploneis, Hemiaulus, Fragilaria, Navicula,
Biddulphia,Striatella, Rhabdonema, Nictzhia, Stephanodiscus, Grammatophora,
Licmophora, Thalassiosira, Cylindrotheca, Skeletonema, dan Leptocylindrus. Kelas
Dinophyceae terdiri dari 2 genus yaitu Alexandrium dan Cochlodinium. Kelas
Cyanophyceae terdiri dari 3 genus yaitu Oscilatoria, Nodularia dan Trichodesmium.
Sedangkan Zooplankton terdiri dari Calanus dan larva bivalv ia.
(a) (b)
Gambar 11. Perbandingan komposisi perifiton pada (a) Lamun Enhalus
acoroides dan (b) Cymodocea serrulata di Pulau Parang
87%
10%
1% 2%
Bacillariophyceae Dinophyceae
Cyanophyceae Zooplankton
78%
4%
17%
1%
Bacillariophyceae Dinophyceae
Cyanophyceae Zooplankton
42
4.1.7. Kelimpahan Perifiton
Kelimpahan perifiton pada setiap stasiun sangat bervariasi berdasarkan
klasifikasi genus. Data kelimpahan yang diperoleh pada daun lamun Enhalus acoroides
dan Cymodocea serrulata secara lengkap disajikan dalam bentuk grafik sebagai
berikut.
Gambar 12. Kelimpahan perifiton pada Lamun Enhalus acoroides di Stasiun 1
Gambar 13. Kelimpahan perifiton pada Lamun Enhalus acoroides di Stasiun 2
0200400600800
1000120014001600
Mel
osi
ra
Ple
uro
sigm
a
Co
scin
od
iscu
s
Rh
izo
sole
nia
Dip
lon
eis
Hem
iau
lus
Frag
ilari
a
Nav
icu
la
Bid
du
lph
ia
Stri
atel
la
Rh
abd
on
ema
Step
han
od
iscu
s
Gra
mm
ato
ph
ora
Licm
op
ho
ra
Thal
assi
osi
ra
Tro
pid
on
eis
Ale
xan
dri
um
Co
chlo
din
ium
Cal
anu
s
Larv
a b
ival
via
Kel
imp
ahan
(In
d/c
m2
)
Genus perifiton
0
50
100
150
200
250
300
350
400
Mel
osi
ra
Ple
uro
sigm
a
Co
scin
od
iscu
s
Rh
izo
sole
nia
Dip
lon
eis
Hem
iau
lus
Frag
ilari
a
Nav
icu
la
Bid
du
lph
ia
Nit
chzi
a
Gra
mm
ato
ph
ora
Licm
op
ho
ra
Ale
xan
dri
um
Co
chlo
din
ium
Cal
anu
s
Larv
a b
ival
via
Kel
imp
ahan
(In
d/c
m2
)
Genus perifiton
43
Gambar 14. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 2
Gambar 15. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides di Stasiun 3
Gambar 16. Kelimpahan Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 3
0
100
200
300
400
500
600
Kel
imp
ahan
(In
d/c
m2
)
Genus perifiton
050
100150200250300350400
Kel
imp
ahan
(In
d/c
m2
)
Genus perifiton
050
100150200250300350400
Mel
osi
ra
Ple
uro
sigm
a
Co
scin
od
iscu
s
Rh
izo
sole
nia
Dip
lon
eis
Hem
iau
lus
Frag
ilari
a
Nav
icu
la
Bid
du
lph
ia
Nit
chzi
a
Step
han
od
iscu
s
Gra
mm
ato
ph
ora
Thal
assi
osi
ra
Cyl
ind
roth
eca
Skel
eto
nem
a
Lep
tocy
lind
rus
Din
op
hyc
eae
Ale
xan
dri
um
Co
chlo
din
ium
Cya
no
ph
yce
ae
Osc
ilato
ria
No
du
lari
a
Tric
ho
des
miu
m
Zoo
pla
nkt
on
Cal
anu
s
Larv
a b
ival
via
Kel
imp
ahan
(In
d/c
m2
)
Genus perifiton
44
Gambar 17. Kelimpahan Total Perifiton pada Daun Lamun Enhalus acoroides.
Gambar 18. Kelimpahan Total Perifiton pada Daun Lamun Cymodocea serrulata
4.1.8. Struktur Komunitas Perifiton
Berdasarkan Indeks Ekologi Shannon dan Weiner, keanekaragaman perifiton
pada daun lamun Enhalus acoroides di Stasiun 1, Stasiun 2 dan Stasiun 3 dikategorikan
sedang. Keseragaman perifiton dikategorikan tinggi pada ke 3 stasiun , dikarenakan
didapatkan Indeks Keseragaman yang > 0,6. Sedangkan pada Indeks Dominansi pada
3 stasiun juga dikatakan tidak mendominansi dikarenakan didapatkan Indeks
Dominansi < 0,5.
2362,5
227,563,75
2401,25
392,5
37,5
1235
105 77,516,25
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Bacillariophyceae Dinophyceae Cyanophyceae Zooplankton
Jum
lah
ind
ivid
u (
ind
/cm
2)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
1718,75
136,25
507,5
13,75
2395
96,25381,25
16,25
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
Bacillariophyceae Dinophyceae Cyanophyceae ZooplanktonJum
lah
ind
ivid
u (
ind
/cm
2)
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
45
Tabel 10. Indeks Ekologi Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides
Lokasi Keanekaragaman Keseragaman Dominansi
Stasiun 1 2,13 Sedang 0,71417 Tinggi 0,23 Tidak Mendoninansi
Stasiun 2 2,43 Sedang 1,13713 Tinggi 0,09 Tidak Mendoninansi
Stasiun 3 2,20 Sedang 0,76309 Tinggi 0,14 Tidak Mendoninansi
Indeks Keanekaragaman perifiton pada daun lamun Cymodocea serrulata di
Stasiun 1 dikategorikan rendah, Stasiun 2 dikategorikan sedang, dan Stasiun 3
dikategorikan sedang. Indeks Keseragaman di Stasiun 1 dikategorikan rendah, Stasiun
2 dikategorikan tinggi, dan Stasiun 3 dikategorikan Tinggi. Sedangkan untuk Indeks
Dominansi pada 3 stasiun dikategorikan tidak mendominansi.
Tabel 11. Indeks Ekologi Perifiton pada Lamun Cymodocea serrulata
Stasiun Keanekaragaman Keseragaman Dominansi
Stasiun 1 0 Rendah 0 Rendah 0 Tidak Mendoninansi
Stasiun 2 2,36019 Sedang 0,80158 Tinggi 0,11657 Tidak Mendoninansi
Stasiun 3 2,78973 Sedang 0,88973 Tinggi 0,07236 Tidak Mendoninansi
Gambar 19. Indeks Ekologi Perifiton pada Lamun Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata.
2,13
0,71
0,23
2,43
1,13
0,09
2,2
0,76
0,14
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Keanekaragaman Keseragaman Dominansi
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
2,36
0,81
0,11
2,78
0,88
0,078
0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
Keanekaragaman Keseragaman Dominansi
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
46
Gambar 20. Perbandingan Indeks Ekologi Perifiton pada Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata
4.1.9. Distribusi Perifiton
Sebaran jenis perifiton pada daun lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea
serrulata di Pulau Parang berdasarkan perhitungan Indeks Morisita diperoleh sebaran
mengelompok. Seluruh genus yang didapatkan menunjukkan hasil Id yang > 1
sehingga mempunyai kesimpulan bahwa pola penyebaran perifiton pada daun lamun
di lokasi penelitian adalah mengelompok atau berkoloni.
0
0,5
1
1,5
2
2,5
Keanekaragaman Keseragaman Dominansi
Enhalus acoroides Cymodocea serullata
47
Tabel 12. Sebaran perifiton pada lamun Enhalus acoroides.
Kelas Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Bacillariophyceae
Melosira Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Pleurosigma Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Coscinodiscus Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Rhizosolenia Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Diploneis Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Hemiaulus Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Fragilaria Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Navicula Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Biddulphia Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Nitchzia - Mengelompok -
Striatella Mengelompok - Mengelompok
Rhabdonema Mengelompok - -
Stephanodiscus Mengelompok - -
Grammatophora Mengelompok Mengelompok -
Licmophora Mengelompok Mengelompok -
Cylindrotheca - - Mengelompok
Stephanodiscus - - Mengelompok
Thalassiosira Mengelompok - -
Tropidoneis Mengelompok - -
Cyanophyceae Nodularia - - Mengelompok
Dinophyceae Alexandrium Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Cochlodinium Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Zooplankton Calanus Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Larva bivalvia Mengelompok Mengelompok Mengelompok
48
Tabel 13. Sebaran jenis perifiton pada lamun Cymodocea serrulata di Pulau Parang
Kelas Genus Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
Bacillariophyceae
Melosira - Mengelompok Mengelompok
Pleurosigma - Mengelompok Mengelompok
Coscinodiscus - Mengelompok Mengelompok
Rhizosolenia - Mengelompok Mengelompok
Diplo - Mengelompok Mengelompok
Hemiaulus - Mengelompok Mengelompok
Fragilaria - Mengelompok Mengelompok
Navicula - Mengelompok Mengelompok
Biddulphia - Mengelompok Mengelompok
Nitchzia - - Mengelompok
Stephanodiscus - - Mengelompok
Striatella - Mengelompok -
Rhabdonema - Mengelompok -
Grammatophora - Mengelompok Mengelompok
Thalassiosira - - Mengelompok
Cylindrotheca - Mengelompok Mengelompok
Skeletonema - Mengelompok Mengelompok
Leptocylindrus - - Mengelompok
Dinophyceae Alexandrium - Mengelompok Mengelompok
Cochlodinium - - Mengelompok
Cyanophyceae
Oscilatoria - Mengelompok Mengelompok
Nodularia - - Mengelompok
Trichodesmium - - Mengelompok
Zooplankton Calanus - Mengelompok Mengelompok
Larva bivalvia - Mengelompok Mengelompok
Distribusi perifiton berdasarkan Kelas yang ditemukan di Pulau Parang yaitu
Bacillariophyceae, Dinophyceae, Cyanophyceae, dan Zooplankton di interpolasikan
dengan peta seperti pada Gambar sebagai berikut :
49
(a)
(b)
(c)
Gambar 21. Peta Sebaran Perifiton Kelas (a) Bacillariophyceae, (b) Dinophyceae,
dan (c) Zooplankton di Daun Lamun Enhalus acoroides Stasiun 1
50
(a)
(b)
(c)
Gambar 22. Peta Sebaran Perifiton Kelas (a) Bacillariophyceae, (b) Dinophyceae,
dan (c) Zooplankton di Daun Lamun Enhalus acoroides Stasiun 2.
51
(a)
(b)
Gambar 23. Peta Sebaran Perifiton Kelas (a) Bacillariophyceae, (b) Cyanophyceae di
Daun Lamun Enhalus acoroides Stasiun 3.
52
(c)
(d)
Gambar 23. (Lanjutan) Peta Sebaran Perifiton Kelas (c) Dinophyceae, dan (d)
Zooplankton di Daun Lamun Enhalus acoroides Stasiun 3.
53
(a)
(b)
Gambar 24. Peta Sebaran Perifiton Kelas (a) Bacillariophyceae, (b) Cyanophyceae di
Daun Lamun Cymodocea serrulata Stasiun 2.
54
(c)
(d)
Gambar 24. (Lanjutan) Peta Sebaran Perifiton Kelas (c) Dinophyceae, dan (d)
Zooplankton di Daun Lamun Cymodocea serrulata Stasiun 2.
55
(a)
(b)
Gambar 25. Peta Sebaran Perifiton Kelas (a) Bacillariophyceae, (b) Cyanophyceae di
Daun Lamun Cymodocea serrulata Stasiun 3.
56
(c)
(d)
Gambar 25. (Lanjutan) Peta Sebaran Perifiton Kelas (c) Dinophyceae, dan (d)
Zooplankton di Daun Lamun Cymodocea serrulata Stasiun 3.
57
4.1.10. Hubungan Kelimpahan Perifiton dengan Kerapatan Lamun
Hubungan antara kerapatan lamun dengan kelimpahan perifiton di Pulau
Parang, Karimunjawa dibedakan antara jenis lamun Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata. Pada jenis lamun E. acoroides didapatkan r sebesar 0,68
sedangkan pada lamun C. serrulata didapatkan r sebesar 0,65.
Gambar 26. Hasil Analisa Hubungan Kelimpahan Perifiton dengan Kerapatan Lamun
pada Lamun Enhalus acoroides
Gambar 27. Hasil Analisa Hubungan kelimpahan perifiton dengan kerapatan lamun
pada lamun Cymodocea serrulata.
y = -0,8995x + 1183,5R² = 0,4638
r = 0,68
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
0 200 400 600 800 1000
Ke
limp
ahan
pe
rifi
ton
(se
l/cm
2)
Kerapatan Lamun (ind/m2)
y = 1,2369x + 15,059R² = 0,43r = 0,65
0
200
400
600
800
1000
1200
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
Ke
limp
ahan
pe
rifi
ton
(se
l/cm
2)
Kerapatan Lamun ( ind/m2)
58
4.1.11. Parameter Perairan Pulau Parang
Pengamatan terhadap parameter lingkungan di Stasiun 1, Stasiun 2, Stasiun 3
di Pulau Parang meneliti kedalaman, kecerahan, suhu, kecepatan arus, pH, salinitas,
DO, nitrat, fosfat dan substrat. Parameter kualitas perairan yang telah diukur terdapat
pada Tabel 14.
Tabel 14. Parameter kondisi perairan
Parameter
Lingkungan
Batu
Hitam
Batu
Merah Pelabuhan
Kisaran
Optimum Acuan Literatur
Fisika
Kedalaman (cm) 80-90 60-80 102-115 < 5 (m) Welch dan Lindell (1980)
Kecerahan (cm) 80-90 60-80 102-115 < 3 (m) Boyd (1990)
Suhu ( °C ) 30,4 - 31 30-31 29,6-30,5 28-30 KepMen LH No 51/MENLH/2014
Kecepatan arus ( m/det) 0,009-0,010 0,024-0,026 0,023-0,024 <0,10 KepMen LH No 51/MENLH/2014
Kimia
pH 7 7 7 7-8,5 KepMen LH No 51/MENLH/2014
Salinitas (ppt) 25-26 25-26 25-26 <34 KepMen LH No 51/MENLH/2014
DO ( mg/l) 2,7-3,9 4,21-4,34 3,1-3,9 >5 KepMen LH No 51/MENLH/2014
Nitrat ( mg/l) 0,8938 0,5088 0,531 0,015 KepMen LH No 51/MENLH/2014
Fosfat (mg/l) 0,1536 0,1434 0,0758 0,008 KepMen LH No 51/MENLH/2014
Substrat Lumpur Pasir Pasir - -
59
4.2. Pembahasan
4.2.1. Kerapatan Lamun
Komposisi jenis lamun yang berada di Pulau Parang, Karimunjawa mempunyai
5 jenis lamun yang ditemukan yaitu Enhalus acoroides, Cymodocea serrulata,
Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Halodule ovalis. Lamun jenis Enhalus
acoroides dan Cymodocea serrulata mempunyai kerapatan yang besar dibanding jenis
lamun yang lain. Kedua jenis tersebut juga mempunyai struktur tumbuhan yang
berbeda. Sehingga jenis lamun tersebut digunakan sebagai obyek untuk perbandingan
perifiton dalam penelitian ini. Den Hartog (1977) menerangkan bahwa Enhalus
acoroides mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap jenis substratnya dan juga dapat
tumbuh baik pada substrat berpasir maupun berlumpur. Enhalus acoroides mempunyai
struktur akar yang kuat dan menancap kokoh pada substrat sehingga pertumbuhannya
lebih cepat. Struktur akar yang kokoh dan berserabut maka lebih banyak mengabsrobsi
atau menyerap nutrien yang terkandung dalam sedimen.
Stasiun 1 menunjukkan tingkat kerapatan lamun yang rendah dibanding stasiun
lain dan hanya didominasi oleh satu jenis spesies lamun yaitu Enhalus acoroides.
Stasiun 1 mempunyai kerapatan lamun sebesar 888 ind/m2. Hal ini diduga berkaitan
dengan tipe substrat di lokasi ini. Lokasi ini mempunyai tipe substrat berlumpur
sehingga jenis lamun lain tidak bisa hidup pada tipe substrat berlumpur.
Stasiun 2 memiliki tingkat kerapatan yang tinggi dan merupakan lokasi yang
paling banyak ditemukan jenis lamun sebanyak 5 jenis lamun yaitu Enhalus acoroides,
Cymodocea serrulata, Thalassia hemprichii, Syringodium isoetifolium, Halodule
60
uninervis. Stasiun 2 memiliki kerapatan lamun sebesar 956 ind/m2. Kondisi tersebut
dikarenakan stasiun ini memiliki keadaan arus yang tenang yaitu sebesar 0,024 – 0,026
m/det. Philips (1998) menyatakan bahwa lamun umumnya dapat tumbuh baik pada
perairan tenang. Arus yang tenang memungkinkan untuk lamun dapat tumbuh dan
berkembang karena mudah dalam menancapkan akar ke dalam substrat serta
memungkinkan lamun untuk menyerap unsur – unsur hara yang ada dalam substrat
sebagai sumber makanan lamun. Hal ini juga dikarenakan lokasi ini merupakan
perairan dangkal yang mempunyai kedalaman 60-80 cm. Menurut Hartog (1977)
lamun yang memiliki bentuk daun yang panjang dan menyerupai pita dengan daun
yang tidak terlalu lebar sering ditemukan di daerah dangkal hingga daerah yang
terekspos ketika air laut surut.
Pada Stasiun 3 memiliki tingkat kerapatan yang sedang. Lokasi ini ditemukan
3 jenis spesies lamun yaitu Enhalus acoroides, Syringodium isoetifolium dan
didominasi oleh Cymodocea serrulata. Hal ini dikarenakan Stasiun 3 memiliki kisaran
kedalaman 102 – 115 cm dan sudah tidak dipengaruhi pasang surut.
4.2.2. Kelimpahan Perifiton Berdasarkan Jenis Lamun
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa di Pulau Parang ditemukan
perifiton yang terbagi dalam beberapa kelas yaitu Bacillariophyceae, Dinophyceae,
Cyanophyceae dan Zooplankton. Jumlah genus perifiton yang ditemukan pada setiap
stasiun memiliki kelimpahan yang berbeda - beda dikarenakan pergerakan arus yang
berbeda dan kandungan kadar nitrat fosfat yang berfungsi sebagai nutrient untuk proses
fotosintesis. Diantara jenis yang dijumpai di seluruh stasiun terlihat jelas bahwa jenis
yang dominan terdapat pada kelas Bacillariophyceae. Bramburger et al., (2017),
61
mengatakan bahwa Bacillariophyceae memiliki kemampuan hidup pada perubahan
kondisi lingkungan yang tidak stabil. Kelimpahan Bacillariophyceae di Pulau Parang
juga dipengaruhi oleh musim kemarau karena Bacillariophyceae akan meningkat relatif
tinggi pada saat musim kemarau dengan sebaran yang cukup luas dari ekosistem lautan.
Kelas Bacillariophyceae memiliki kemampuan beradaptasi terhadap arus yang
kuat hingga lambat karena memiliki alat penempel pada substrat berupa tangkai
bergelatin (Andriansya.et.al, 2014). Pada saat penelitian berlangsung lokasi penelitian
tidak memiliki arus yang kuat yaitu berkisar 0,009 – 0,023 m/det.
Menurut Suwartimah et al. (2011), kelas Bacillariophyceae memegang peranan
penting suatu perairan sehingga lebih mendominasi dalam segi jumlah dan jenisnya.
Bacillariophyceae menjadi produsen primer dalam jaring makanan baik di ekosistem
air tawar maupun di air laut. Bacillariophyceae atau lebih dikenal dengan diatom
merupakan perifiton jenis mikroalga yang paling banyak dijumpai bersel satu
walaupun beberapa diantaranya ada yang berbentuk koloni. Frustule Bacillariophyceae
berupa silika yang sukar dihancurkan, sehingga perifiton kelas Bacillariophyceae dapat
digunakan sebagai bioindikator untuk mengetahui tingkat pecemaran suatu perairan.
Bacillariophyceae memiliki alat menempel pada substrat yang kuat karena diatom
melalui raphe mengeluarkan mucopolysaccharide yang dapat menempel pada substrat
(Widianingsih et al., 2009). Kemampuan melekat pada permukaan substrat yang lebih
baik dibandingkan perifiton jenis lainnya menyebabkan keberadaan Bacillariophyceae
lebih mendominasi suatu ekosistem.
Menurut Tait (1981), Bacillariophyceae dapat bertahan dari sapuan arus dan
grazing serta mampu bersaing dalam ruang menempel. Jefrries (1996), mengatakan
62
bahwa Bacillariophyceae dapat bertahan dari kekurangan sinar matahari dan grazing.
Kemampuan bertahan terhadap grazing dikarenakan diatom mampu mengeluarkan
sekret yang berupa EPS (Extracelluler Polymeric Substance) dari karbohidrat yang
menutupi dinding individunya. Bacillariphyceae yang mengeluarkan sekret mampu
menempel satu dengan yang lainnya sehingga dapat membentuk koloni. Pada jenis
yang lain membentuk batang – batang dari gelatin atau bantalan yang dipergunakan
untuk menempel pada substrat.
Perifiton yang paling sedikit ditemukan di Pulau Parang adalah dari kelas
Dinophyceae. Jenis Dinophyceae yang ditemukan hanya terdiri dari 2 genus yaitu
Alexandrium dan Cochlodinium. Dinophyceae atau Dinoflagellata memiliki 2 flagel
transversal dan transversal. Vibrasi oleh flagella longitudinal menggerakkan air ke
belakang sedangkan flagella transverse akan menggerakan rotasi dan maju ke depan.
Alexandrium merupakan organisme yang bersifat toksin karena menghasilkan PST dan
dapat berasosiasi dengan lingkungan nitrogen yang tinggi ( Widianingsih et al., 2009).
Kelas ini berbeda dengan Bacillariophyceae yang memiliki struktur sel yang baik
seperti rantai sehingga akan membantu dalam penyerapan bahan organik dan
fotosintesis maka dari itu kelas Dinophyceae mempunyai kelimpahan paling rendah.
Hasil kelimpahan perifiton untuk daun lamun jenis Enhalus acoroides dan
Cymodocea serrulata menunjukkan bahwa kelimpahan perifton jenis daun lamun
Enhalus acoroides lebih tinggi. Hal ini dikarenakan umur jaringan makrofil pada daun
lamun Enhalus acoroides lebih lama bila dibandingkan dengan jenis - jenis lamun lain,
selain itu luas penampang daun E. acoroides lebih besar. Enhalus acoroides juga
mempunyai kemampuan untuk memproduksi tannin. Jenis perifiton jenis Cymodocea
63
serrulata lebih beragam karena ditemukan 25 genus sedangkan pada Enhalus
acoroides hanya 23 genus. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh keanekaragaman
spesies lamun pada setiap lokasi, pergerakan arus, dan pengaruh pasang surut.
Jenis lamun juga mempengaruhi melimpahnya perifiton di lamun (Nababan et
al.,2012). Kelimpahan perifiton pada Enhalus acoroides lebih tinggi dibanding
Cymodocea serrulata. Hal ini dikarenakan C. serrulata hidup di perairan dangkal yang
mempunyai panjang daun hanya 5 - 13 cm, dan lebar daun 1 - 3 cm serta mempunyai
ujung sedikit bergerigi. Daun lamun yang lebih tinggi akan lebih mudah untuk
mendapatkan asupan sinar matahari yang lebih banyak dibandingkan daun yang lebih
pendek sehingga akan berpengaruh terhadap jumlah perifiton dan memudahkan untuk
melakukan fotosintesis (Hartati et al., 2017).
Berdasarkan hasil, ditemukan beberapa zooplankton yang berada di Pulau
Parang. Zooplankton yang ditemukan ada 2 jenis yaitu Calanus dan Larva bivalvia.
Keberadaan zooplankton diduga sedang mencari makan karena makanan zooplankton
adalah mikroalga. Diduga keberadaan zooplankton juga dipengaruhi oleh arus yang
mambawa zooplankton ke lamun.
Total jenis perifiton yang ditemukan di ekosistem lamun Pulau Parang,
frekuensi jenis perifiton tertinggi yang ditemukan adalah di Stasiun 3 sebanyak 23
genus dan paling rendah di Stasiun 2 sebanyak 17 genus sedangkan di Stasiun 1
sebanyak 19 genus. Hal ini dikarenakan Stasiun 3 mempunyai keanekaragaman lamun
yang beragam dan daun lamun Cymodocea serrulata yang berada di Stasiun 3 tinggi
kanopi daun lamunnya berkisar 5 - 15 cm atau mempunyai umur jaringan yang tua
sehingga perifiton yang menempel cukup banyak. Keberadaan perifiton akan
64
dipengaruhi oleh kondisi atau umur makrofit yang ditempati, sehingga jumlah perifiton
yang paling banyak dijumpai pada jaringan yang lebih tua kemudian jumlahnya akan
menurun perlahan pada jaringan yang lebih muda sampai tanaman tersebut mati.
Sedangkan kondisi perairan di Stasiun 2 masih dipengaruhi pasang surut dan
mempunyai kedalaman yang dangkal yaitu 60 - 80 cm sehingga perifiton yang
ditemukan sedikit.
Kelimpahan jenis perifiton yang ditemukan di Pulau Parang, tidak ditemukan
perifiton yang bersifat toksik, hal ini diindikasikan bahwa pada lokasi ini masih dapat
dikatakan kondisinya baik dan hal tersebut dapat dibuktikan dengan parameter kualitas
perairan yang masih cenderung stabil. Perifiton sebagian besar dapat dijadikan sebagai
indikator kualitas perairan dikarenakan secara alami perifiton bersifat tetap dan
menempel pada substrat sehingga memiliki kecenderungan lebih banyak menerima
polutan dari area tersebut dibandingkan hidrobiota yang lain. Organisme yang terdapat
pada air yang telah tercemar berbeda dengan yang terdapat pada air yang belum
tercemar (Indrawati et al., 2010).
Berdasarkan uji statistik non parametrik median didapatkan x2 sebesar 0,89
(lampiran 7). Hasil ini menunjukkan bahwa kelimpahan perifiton pada daun Enhalus
acoroides tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kelimpahan perifiton
pada daun Cymodocea serrulata di Pulau Parang.
4.2.3. Pola Sebaran Perifiton
Berdasarkan perhitungan distribusi dengan menggunakan Indeks Penyebaran
Morisita maka dapat diketahui bahwa sebaran perifiton pada lamun Enhalus acoroides
dan Cymodocea serrulata lebih dominan pada sebaran yang mengelompok. Pola
65
sebaran mengelompok menunjukkan bahwa perifiton hidup saling berkoloni
(berkelompok) dan tidak dijumpai pola sebaran yang acak atau pola sebaran yang
mencirikan bahwa perifiton hidup secara sendiri (soliter). Pola sebaran ini
menunjukkan bahwa perifiton berkemungkinan hidup berkoloni.
Pola sebaran yang berkoloni berkaitan erat dengan adanya nutrient di perairan
yaitu konsentrasi fosfat dan nitrat. Hal ini seperti yang disebutkan Mandal et al.,(2016)
bahwa adanya pengaruh kandungan nutrient terhadap pola sebaran jenis organisme
planktonik. Pola sebaran jenis biota disuatu perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya seperti pola arus yang dapat menyebabkan terakumulasinya nutrient. Pola
sebaran yang mengelompok berkaitan dengan organisme memilih daerah yang akan
ditempati serta faktor kimia yang berpengaruh pada kehidupan organisme (Nybakken,
1992). Proes kolonialisasi merupakan pembentukan koloni perifiton pada substrat yang
berlangsung segera setelah pengkoloni menempel pada substrat. Tipe substrat sangat
menentukan proses kolonialisasi dan komposisi perifiton, hal ini berkaitan dengan
kemampuan alat menempelnya. Kemampuan perifiton menempel pada substrat
menentukan ketahanannya terhadap pencucian arus atau gelombang yang dapat
memusnahkannya.
Persebaran perifiton dipengaruhi oleh arah arus dan gelombang laut, gelombang
laut yang dihasilkan berasal dari angin dan musim. Faktor lain gelombang datang yaitu
dari kapal – kapal nelayan yang melintas di wilayah Pulau Parang. Bila dilihat dari sifat
perifiton dan hasil peta pola persebaran maka gelombang dan arus dapat membawa
perifiton kepada jenis lamun lain sehingga keanekaragaman jenis perifiton pada lamun
Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata berbeda. Sehingga setiap kelas perifiton
66
mempunyai persebaran seperti pada Gambar 21, Gambar 22, Gambar 23, Gambar 24,
Gambar 25.
Pola distribusi perifiton pada daun Enhalus acoroides di Stasiun 1 memiliki
pola yang sama pda kelas Bacillariophyceae, Dinophyceae dan Zooplankton yaitu
kelimpahannya mengarah ke daratan , hal ini dipengaruhi oleh arah arus yang
mengarah ke Timur Laut.
Pola disribusi perifiton pada daun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata
di Stasiun 2 memiliki pola penyebaran perifiton yang sama yaitu menuju ke laut atau
mengarah ke Timur. Pasang surut pada stasiun 2 lebih berpengaruh daripada arah arus,
hal ini ditunjukkan dengan pola persebaran yang menuju ke Timur sedangkan arah
arusnya menuju ke Barat. Ketika surut berlangsung maka perifiton akan berpindah ke
substrat yang terbenam air dan tidak terpapar langsung sinar matahari.
Pola distribusi perifiton pada daun Enhalus acoroides pada Stasiun 3 memiliki
pola persebaran yang sama pada kelas Bacillariophyceae, Cyanophyceae, dan
Zooplankton yaitu mengarah ke Pelabuhan , hal ini dikarenakan arah arus yang
mengarah ke Tenggara. Namun berbeda dengan kelas Dinophyceae yang memiliki pola
persebaran mengarah ke Barat laut, hal ini dikarenakan Dinophyceae memiliki flagell
yang berfungsi secara aktif sehingga kelas ini dapat bergerak tidak sesuai dengan arah
arus. Sedangkan pada daun Cymodocea serrulata didapatkan pola persebaran perifiton
yang berbeda pada kelas Bacillariophyceae yang mengarah ke Utara, hal ini
dimungkinkan karena terdapat beberapa genus seperti Nitzchia dan Navicula memiliki
flagel serta semua gamet jantan dari kelas Bacillariophyceae memiliki satu flagella
( Widianingsih et al., 2009 ).
67
4.2.4. Hubungan Kelimpahan Perifiton Terhadap Kerapatan Lamun
Berdasarkan nilai hubungan korelasi antara kerapatan lamun dengan
kelimpahan perifiton pada daun lamun Enhalus acoroides di Pulau Parang didapatkan
r sebesar 0,68 sedangkan pada lamun Cymodocea serrulata didapatkan nilai r sebesar
0,65. Hal ini menunjukkan hubungan kerapatan lamun Enhalus acoroides dengan
kelimpahan perifiton lebih kuat dibandingkan dengan Cymodocea serrulata.
Perifiton yang menempel pada substrat lamun dinamakan epifitik yang
hidupnya menempel pada tumbuhan. Peran penting lamun di ekosistem perairan adalah
mendukung produktivitas primer dan perifiton sebagai makanan alami biota lain seperti
moluska, insekta, dan berbagai ikan yang hidup di padang lamun (Irawan, 2011). Peran
perifiton pada lamun membantu proses dekomposisi yaitu mempercepat proses
pemutusan daun akibat padatnya penempelan perifiton sehingga daun yang jatuh akan
didekomposisi oleh bakteri dan menghasilkan serasah dan endapan dasar yang akan
dikonsumsi fauna dasar sedangkan partikel serasah yang tersuspensi dalam air
merupakan makanan bagi filter feeder yang selanjutnya hewan – hewan tersebut akan
menjadi mangsa hewan karnivora. Jika lamun sudah mati maka perifiton akan
membantu pemutusan daun lamun sehingga lamun dapat bergenerasi dengan baik.
Organisme perifiton mempunyai peran dalam penyedia produktivitas perairan
karena dapat melakukan proses fotosintesis yang dapat membentuk zat organik dari zat
non organik dan memanfaatkan nutrient yang ada di ekosistem lamun (Novianti et al.,
2013). Prakoso et al., (2015), menyebutkan bahwa epifitik yang hidup di lamun
memanfaatkan lamun sebagai habitat dan juga memanfaatkan nutrien dari serasah
lamun sebagai makanannya dengan demikian epifitik pada lamun memiliki hubungan
68
atau asosisasi dengan lamun sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan
bertumbuh kembang. Perifiton yang berasosiasi dengan suatu ekosistem memiliki
peranan yang sangat penting, yaitu sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam
aliran energi dan siklus materi dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi,
seperti kepiting, ikan dan udang.
69
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Nilai kelimpahan perifiton pada daun lamun Enhalus acoroides di Stasiun
1, Stasiun 2, dan Stasiun 3 berturut - turut adalah : 2654 (ind/cm2), 2831
(ind/cm2), 1435 (ind/cm2). Sedangkan kelimpahan perifiton pada daun
lamun Cymodocea serrulata di Stasiun 1, Stasiun 2, dan Stasiun 3 berturut
- turut adalah : 0 (ind/cm2), 2376 (ind/cm2), 2890 (ind/cm2). Kelimpahan
tertinggi perifiton terdapat pada jenis lamun Enhalus acoroides.
2. Pola sebaran perifiton pada daun Enhalus acoroides dan Cymodocea
serrulata di perairan Pulau Parang adalah mengelompok yang artinya
komunitas perifiton hidup berkoloni.
3. Hubungan dari kelimpahan perifiton dan kerapatan lamun di Pulau Parang
mempunyai korelasi rendah.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian perifiton yang dilakukan di Pulau Parang,
Karimunjawa maka diperlukan penelitian dalam satu lokasi sehingga data yang
didapatkan lebih representative pada satu lokasi.
70
DAFTAR PUSTAKA
Agardi, G. 2003. Struktur Komunitas Lamun di Perairan Pangerungan, Jawa Timur.
Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hlmn.
Alhanif. R. 1996. Struktur Komunitas Lamun dan Kepadatan Perifiton pada Padang
Lamun di Perairan Pesisir Nusa Lembongan. Institut Pertanian Bogor.
Ameilda, C.,Irma, D. 2016. Struktur Komunitas Perifiton pada Makroalga Ulva lactuca
di Perairan Pantai Ulee Lheue Banda Aceh. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Kelautan dan Perikanan Unsyiah. Vol 1 No 3: 337-347.
Apriliana. A, Prijadi.S., Pujiono, W., 2014. Hubungan Kelimpahan Fitoperifiton
dengan Konsentrasi Nitrat dan Ortofosfat pada Daun Enhalus acoroides di
Perairan Pantai Jepara. Diponegoro Journal Of Maquares Management
Aquatic Resources. 3(3):19-27.
Azkab, M.H. 2000. Struktur dan Fungsi Pada Komunitas Lamun. Balitbang Biologi
Laut, Puslitbang Oseanologi – LIPI. Jakarta. Volume XXV Nomor 3.
Azkab. 2006. Ada Apa Dengan Lamun. Bidang Sumberdaya Laut. Pusat Peneliian
Osenografi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta
Bengen, D. G. 2001. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Sinopsis.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
62 hlmn
Bramburger. A.J., Reavie1E.D., Sgro G.V., Estepp L.R.., Shaw C V.L., Pillsbury R.W.
2017. Decreases in diatom cell size during the 20th century in the Laurentian
Great Lakes: a response to warming waters.Jurnal. Plankton Research. 39 (2):
199–210.
Brower, J. E., J. H. Zar and C. Von Ende. 1990. General Ecology. Field and Laboratory
Methods. Wm. C. Brown Company Publisher, Dubuque, Iowa.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Asset Pembangunan Berkelanjutan
Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412 hlm
Dahuri, Rokhmin., J. Rais, S. Putra Ginting dan M.J Sitepu. 2013. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Balai Pustaka. Jakarta.
Den, Hartog. 1970. The Seagrass of the World. North Holland Publ. Co. Amster-dam.
112p.
71
Den, Hartog. 1977. Structure, function and classification in seagrass communities.
Marcel Dekker, Inc. New York. 89-1217.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius. Yogyakarta
Fitri. 2015. Pengaruh Jenis Substrat terhadap Kelimpahan Tanaman Lamun di Pantai
Karapyak Kabupaten Pangandaran Jawa Barat. Skripsi Program Studi
Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas
Pasundan Bandung: Tidak diterbitkan.
Girsang, P., Muslim., Satriadi, A., 2013. Sebaran Nitrat Dan Fosfat Secara Horizontal
Di Perairan Pantai Kecamatan Tugu, Semarang Tahun 2012 Dan 2013. Jurnal
Oseanografi. 2 ( 4): 406 415.
Hamid, A. 1996. Peranan Faktor Lingkungan Perairan Terhadap Pertumbuhan Enhalus
acoroides (L.f) Royle di Teluk Grenyang, Bojonegoro, Kabupaten Serang,
Jawa Barat. Tesis Pascasarjana, IPB. Bogor.
Handoko., Yusuf, M., Wulandari, S. Y., 2013. Sebaran Nitrat Dan Fosfat Dalam
Kaitannya Dengan Kelimpahan Fitoplankton Di Kepulauan Karimun Jawa.
Jurnal Oceanografi. 2 (3): 198-206.
Hartati, R. Ali, D. Haryadi. Mujiyanto. 2012. Struktur Komunitas Padang Lamun di
Perairan Pulau Kumbang, Kepulauan Karimunjawa. Jurnal Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro.XVII (4) : 217 – 225.
Hartati, R., Widianingsih., Santoso, A., Endrawati1, H., Zainuri, M., Riniatsih, I.,
Saputra, W.L., Mahendrajaya, R.T. 2017. Variasi Komposisi dan Kerapatan
Jenis Lamun di Perairan Ujung Piring, Kabupaten Jepara. Jurnal Kelautan
Tropis. 20 (2): 96–105.
Herlina, Nora. I., Ikha. S.2018. Diversitas Mikroalga Epifit Berasosiasi pada Daun
Lamun Thalassia hemprichii di Pulau Lemukutan Kalimantan Barat. Jurnal
Laut Khatulistiwa. Pontianak. Vol 2 : 37-44.
Herlina. Nora, I. Ikha, S. 2018. Diversitas Mikroalga Epifit Berasosiasi pada Daun
Lamun Thalassia hemprichii di Pulau Lemukutan, Kalimantan Barat. Jurnal
Laut Khatulistiwa. 1 (2) : 37-44
Hutomo M. 1999. Proses Peningkatan Nutrient Mempengaruhi Kelangsungan Hidup
Lamun. LIPI
Hutomo, M. 2009. Prisiding Lokakarya Nasional I Pengelolaan Ekosistem Lamun.
Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor,
224 hal.
72
Hutomo, M. dan M.H. Azkab. 1987. Peranan Lamun di Perairan Laut Dangkal, Oseana,
Volume XII, Nomor 1: 13-23, 1987. Balitbang Biologi Laut, Pustlibang
Biologi Laut-LIPI, Jakarta
Ira. 2011. Keterkaitan Padang Lamun Sebagai Pemerangkap Dan Penghasil Bahan
Organik Dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos di Perairan Pulau
Barrang Lompo. Institut Pertanian Bogor, Bogor. 58 hlm.
Irawan, A. Sari, L.I. 2011. Estimasi Potensi Luasan Daun Lamun Dalam Mendukung
Produktivitas di Perairan Pesisir Kutai Timur. Jurnal Ilmu Perikanan Tropis
Vol 19.
Ismail, J. 2016. Perifiton pada Daun Lamun Thalassia hemprichii dan Cymodocea
rotundata di Perairan Kampung Kampe Desa Malang Rapat. FIKP UMRAH.
Kementrian Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004. Kriteria Baku Kerusakan dan
Pedoman Penentuan Status Padang Lamun. Sekretariat Negara. Jakarta
Kementrian Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk
Biota Laut. Sekretariat Negara. Jakarta.
Kordi K. M. G.H. 2011. Ekosistem Lamun (seagrass): Fungsi, Potensi, dan
Pengelolaan. Rineka Cipta. Jakarta.
Louw, D. C., Gregory, J., Doucette., Elizabeth V., 2016. Annual patterns, distribution
and long-term trends of Pseudo-nitzschia species in the northern Benguela
upwelling system. Jurnal. Plankton Research. 39 (1): 35–47.
Mandal. S., Hikaru, H., Anupam, P., Hans, B., Smith, S. L., Kaiw, Wirtz., Hidekatsu.
Y., 2016. A 1D physical–biological model of the impact of highly intermittent
phytoplankton distributions. Jurnal. Plankton Research. 38 (4): 964–976.
McKenzie, L.J, Campbell, S.J. 2003. Manual for Community Monitoring of Seagrass
Habitat. Wester Pasific Edition. Seagrasswatch. Departemen of Primary
Industries. Australia.
Mustofa, A., 2015. Kandungan Nitrat Dan Fosfat Sebagai Faktor Tingkat Kesuburan
Perairan Pantai. Jurnal Disprotek. 6 (1): 13-19.
Nababan, B., Hartoko, A., Koropitan, A., Syahailatuna, A., Prihadi, B., Yulianto, B.,
Setyono, D.D., Subroto, E.A., Pandoe, W. 2012. Asosiasi Makroalga Epifit
pada Berbagai Jenis Lamun di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan.
Prosiding Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VIII ISOI 2011. 283 hal.
73
Novianti,M ., Widyorini,N., Suprapto., 2013. Analisis Kelimpahan Perifiton Pada
Kerapatan Lamun Yang Berbeda Di Perairan Pulau Panjang,Jepara. Journal
of Managemen Of Aquatiq Resources 2(3):219-225.
Nurfadillah. 2013. Uji Bioaktifitas Antibakteri Ekstrak Dan Fraksi Lamun Dari
Kepulauan Spermonde, Kota Makassar. Skripsi. Universitas Hasanudin;
Makassar.
Nurzahraeni. 2014. Keragaman Jenis dan Kondisi Padang Lamun di Perairan Pulau
Panjang Kepulauan Derawan Kalimantan Timur. Skripsi Jurusan Ilmu
Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perik Universitas Hasanuddin Makasar:
Tidak diterbitakan.
Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut, Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta. 459 hlm.
Padang, A. 2011. Struktur Komunitas Diatom Bentik yang Epifit pada Daun Lamun.
Bimafika. Ambon. Vol 3 : 225-229.
Phillips, R. C., and E. G. Menez. 1988. Seagrasses. Smithsonian Contribution to The
Marine Science. No. 34. Smithsonian Institution Press, Washington, D. C. 104
p.
Prakoso, K., Supriharyono, Ruswahyuni. 2015. Kelimpahan epifauna di subtrat dasar
dan daun lamun dengan karapatan yang berbeda di Pulau Pahawang Provinsi
Lampung. Management Of Aquatic. 4 (3) : 177-122.
Risamasu, F. J. L., Prayitno, H. B., 2011. Kajian Zat Hara Fosfat, Nitrit, Nitrat dan
Slikat di Perairan Kepulauan Matahari, Kalimantan Selatan. Ilmu Kelautan.16
(3): 135-142.
Sarbini, R., Yusup. N. 2015. Teknik Sampling dan Pengamatan Kelimpahan Perifiton
di Ekosistem Lamun Kepulauan Karimun Jawa. Teknisi Litkayasa Balai
Penelitian dan Pemulihan dan Konservasi Sumberdaya Ikan.
Sari, D. M., 2017. Perifiton Epipit Sebagai bioindikator Perairan Padang Lamun
(Enhalus Acoroides) Di Desa Pengudang Kabupaten Bintan.[Skripsi].
Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Sugianti, Y., Mujianto., 2014. Komunitas Perifiton Pada Ekosistem Padang Lamun Di
Kawasan Pulau Parang, Karimunjawa Tengah. Balai Penelitian Pemulihan
dan Konservasi Sumberdaya Ikan. [Jurnal]: 299-308.
Susetiono. 1994. Struktur dan Kelimpahan Meiofauna diantara Enhalus acoroides di
Pantai Kuta Lombok Tengah.
74
Suwartimah, K., Hartati, dan Wulandari. 2011. Komposisi Jenis dan Kelimpahan
Diatom Bentik di Muara Sungai Comal Baru Pemalang. Semarang. Program
Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, UNDIP. 16(1):
16-23.
Tait. 1981. Element of Marine Ecology. An Inroduction. Cambridge.
Tiselius, P. Andrea B. Lars, A. Odd L. 2016. Primary productivity in a coastal
ecosystem: a trophic perspective on a long-term time series Jurnal. 38 (4):
Tomascik. 1997. The Ecology of The Indonesian Sea Part 2. Singapore: Peripilus
Edition.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut - Suatu Pendekatan Ekologi,
Sosial-Ekonomi, Kelembangaan, dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional.
Surabaya
Waycott, M., K. McMahon, J. Mellors, A. Calladine, and D. Kleine. 2004. A Guide to
Tropical Seagrasses of the Indo-West Pacific. James Cook University,
Townsville-Queensland Australia
Wetzel, R. R. 1982. Limnology (2nd edition). Saunders College Publication Oxford.
Philadelphia. 734 p.
Wibowo, A., Umroh, dan Rosalina, D., 2014. Keanekaragaman Perifiton Pada Daun
Lamun Di Pantai Tukak Kabupaten Bangka Selatan. Akuatik-Jurnal
Sumberdaya Perairan. 8 (2) : 7–16.
Widianingsih., Retno, H., Hadi, E., Ria, A. 2009. Buku Ajar Mikroalga Laut. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
Wood, E. J. F. 1967. Microbiology of Oceans and Estuaries. Elsevier Publishing
Company. New York. 319p.
Zulkifli, E. 2003. Kandungan Zat Hara dalam Air Poros dan Air Permukaan Padang
lamun Bintan Timur. Jurnal Natur Indonesia 5(2.):139-144.
75
Lampiran 1. Kerapatan Lamun di Pulau Parang
Lokasi Enhalus
acoroides
Cymodocea
serrulata
Thalassia
hemprichii
Halodule
uninervis
Syringodium
isoetifolium
Stasiun
1
Substasiun 1 276 0 0 0 0
Substasiun 2 280 0 0 0 0
Substasiun 3 332 0 0 0 0
Total 888 0 0 0 0
Stasiun
2
Substasiun 1 60 140 168 56 0
Substasiun 2 44 80 64 84 0
Substasiun 3 40 0 60 60 0
Total 144 220 292 200 0
Stasiun
3
Substasiun 1 212 368 0 0 184
Substasiun 2 160 352 0 0 228
Substasiun 3 140 488 0 0 172
Total 512 1208 0 0 584
76
Lampiran 2. Data Kelimpahan Perifiton pada Daun Lamun Enhalus acoroides.
No Genus
Stasiun 1 (Ind/cm2) Stasiun 2 (Ind/cm2) Stasiun 3 (Ind/cm2) Total
Substasiun
1
Substasiun
2
Substasiun
3
Substasiun
1
Substasiun
2
Substasiun
3
Substasiun
1
Substasiun
2
Substasiun
3
1 Melosira 78,75 262,5 318,75 101,25 168,75 108,75 40 45 110 1233,75
2 Pleurosigma 7,5 0 45 63,75 48,75 0 3,75 0 0 168,75
3 Coscinodiscus 116,25 82,5 138,75 85 101,25 60 21,25 197,5 151,25 953,75
4 Rhizosolenia 11,25 3,75 75 47,5 120 201,25 22,5 6,25 10 497,5
5 Diploneis 0 52,5 22,5 12,5 0 7,5 0 10 63,75 168,75
6 Hemiaulus 0 26,25 7,5 10 0 0 2,5 0 0 46,25
7 Fragilaria 0 7,5 0 25 0 0 0 3,75 2,5 38,75
8 Navicula 0 288,75 187,5 181,25 120 78,75 27,5 87,5 35 1006,25
9 Biddulphia 0 112,5 45 115 0 3,75 0 45 46,25 367,5
10 Nitchzia 0 0 0 20 192,5 0 0 0 20 232,5
11 Striatella 0 0 45 0 0 0 2,5 0 0 47,5
12 Rhabdonema 0 0 7,5 0 0 0 0 0 0 7,5
13 Stephanodiscus 0 11,25 7,5 0 0 0 0 10 0 28,75
14 Grammatophora 53,75 40 0 60 82,5 127,5 0 0 0 363,75
15 Licmophora 72,5 25 33,75 82,5 0 176,25 0 0 0 390
16 Cylindrotheca 0 0 0 0 0 0 85 98,75 65 248,75
17 Thalassiosira 26,25 40 0 0 0 0 0 0 66,25
18 Tropidoneis 0 107,5 36,25 0 0 0 0 0 0 143,75
19 Nodularia 0 0 0 0 0 0 3,75 35 42,5 81,25
20 Alexandrium 0 0 28,75 0 178,75 86,25 78,75 26,25 0 398,75
21 Cochlodinium 42,5 0 70 30 0 97,5 0 0 22,5 262,5
22 Calanus 15 26,25 3,75 3,75 15 7,5 0 0 2,5 73,75
23 Larva bivalvia 0 11,25 7,5 7,5 3,75 0 0 3,75 7,5 41,25
Total 423,75 1057,5 1120 845 1031,25 955 287,5 568,75 578,75 6867,5
77
Lampiran 3. Data Kelimpahan Perifiton pada Daun Lamun Cymodocea serrulata.
No Genus
Stasiun 1 (Ind/cm2) Stasiun 2 (Ind/cm2) Stasiun 3 (Ind/cm2) Total
Substasiun
1
Substasiun
2
Substasiun
3
Substasiun
1
Substasiun
2
Substasiun
3
Substasiun
1
Substasiun
2
Substasiun
3
1 Melosira 40 38,75 56,25 40 48,75 157,5 381,25
2 Pleurosigma 15 72,5 12,5 15 26,25 141,25
3 Coscinodiscus 36,25 65 36,25 140 157,5 435
4 Rhizosolenia 65 67,5 18,75 65 67,5 283,75
5 Diploneis 1,25 18,75 1,25 2,5 15 7,5 46,25
6 Hemiaulus 5 12,5 6,25 5 28,75
7 Fragilaria 2,5 3,75 2,5 8,75
8 Navicula 53,75 86,25 121,25 53,75 80 67,5 462,5
9 Biddulphia 83,75 20 206,25 310
10 Nitchzia 128,75 57,5 186,25
11 Stephanodiscus 107,5 107,5
12 Striatella 1,25 1,25
13 Rhabdonema 5 5
14 Grammatophora 128,75 83,75 178,75 73,75 465
15 Thalassiosira 107,5 107,5
16 Cylindrotheca 107,5 51,25 70 163,75 12,5 405
17 Skeletonema 73,75 113,75 80 267,5
18 Leptocylindrus 7,5 58,75 66,25
19 Alexandrium 107,5 28,75 21,25 60 217,5
20 Cochlodinium 23,75 15 38,75
21 Oscilatoria 163,75 182,5 161,25 80 28,75 97,5 713,75
22 Nodularia 15 57,5 26,25 98,75
23 Trichodesmium 26,25 3,75 6,25 36,25
24 Calanus 1,25 7,5 3,75 6,25 18,75
25 Larva bivalvia 3,75 1,25 2,5 Total 803,75 768,75 802,5 955 542,5 967,5 4832,5
78
Lampiran 4. Hasil Indeks Penyebaran Morisita
Indeks Penyebaran Morisita di Stasiun 1 pada Daun Enhalus acoroides.
Genus Substasiun 1 Substasiun 2 Substasiun 3 TOTAL Id KESIMPULAN
Bacillariophyceae
Melosira 169 178 132 479 3,03 Mengelompok
Pleurosigma 6 0 36 42 6,74 Mengelompok
Coscinodiscus 93 66 111 270 3,10 Mengelompok
Rhizosolenia 9 3 60 72 6,37 Mengelompok
Diplo 0 42 18 60 5,16 Mengelompok
Hemiaulus 0 21 6 27 5,77 Mengelompok
Fragilaria 0 6 0 6 9,00 Mengelompok
Navicula 0 160 150 310 4,49 Mengelompok
Biddulphia 0 90 36 126 5,30 Mengelompok
Striatella 0 0 6 6 9,00 Mengelompok
Rhabdonema 0 0 9 9 9,00 Mengelompok
Stephanodiscus 0 9 6 15 4,37 Mengelompok
Grammatophora 43 32 3 78 4,20 Mengelompok
Licmophora 58 20 27 105 3,62 Mengelompok
Thalassiosira 21 32 53 4,61 Mengelompok
Tropidoneis 86 29 115 5,58 Mengelompok
Dinophyceae
Alexandrium 69 23 92 5,59 Mengelompok
Cochlodinium 34 56 90 4,72 Mengelompok
Zooplankton
Calanus 12 21 3 36 3,99 Mengelompok
Larva bivalvia 0 9 6 15 4,37 Mengelompok
79
Lampiran 4. (Lanjutan) Hasil Indeks Penyebaran Morisita
Indeks Penyebaran Morisita di Stasiun 2 pada Daun Enhalus acoroides.
Genus Substasiun 1 Substasiun 2 Substasiun 3 TOTAL Id KESIMPULAN
Bacillariophyceae
Melosira 81 135 87 303 3,15 Mengelompok
Pleurosigma 51 39 0 90 4,53 Mengelompok
Coscinodiscus 68 81 48 197 3,10 Mengelompok
Rhizosolenia 38 96 161 295 3,77 Mengelompok
Diplo 10 0 6 16 4,50 Mengelompok
Hemiaulus 8 0 0 8 9,00 Mengelompok
Fragilaria 20 0 0 20 9,00 Mengelompok
Navicula 145 96 63 304 3,31 Mengelompok
Biddulphia 92 0 3 95 8,44 Mengelompok
Nitchzia 16 154 0 170 7,46 Mengelompok
Grammatophora 48 66 102 216 3,27 Mengelompok
Licmophora 66 0 141 207 5,07 Mengelompok
Dinophyceae
Alexandrium 0 143 69 212 5,03 Mengelompok
Cochlodinium 24 0 78 102 5,73 Mengelompok
Zooplankton
Calanus 3 12 6 21 3,60 Mengelompok
Larva bivalvia 6 3 0 9 4,50 Mengelompok
80
Lampiran 4. (Lanjutan) Hasil Indeks Penyebaran Morisita
Indeks Penyebaran Morisita di Stasiun 2 pada Daun Cymodocea serrulata.
Genus Substasiun 1 Substasiun 2 Substasiun 3 TOTAL Id KESIMPULAN
Bacillariophyceae
Melosira 32 31 45 108 3,04 Mengelompok
Pleurosigma 12 58 10 80 5,02 Mengelompok
Coscinodiscus 29 52 0 81 4,81 Mengelompok
Rhizosolenia 52 54 15 121 3,55 Mengelompok
Diploneis 1 15 1 17 6,95 Mengelompok
Hemiaulus 4 10 5 19 3,21 Mengelompok
Fragilaria 2 3 0 5 3,60 Mengelompok
Navicula 43 69 97 209 3,27 Mengelompok
Biddulphia 0 67 16 83 6,16 Mengelompok
Striatella 0 2 0 2 9,00 Mengelompok
Rhabdonema 0 0 4 4 9,00 Mengelompok
Grammatophora 103 67 143 313 3,25 Mengelompok
Cylindrotheca 86 41 56 183 3,25 Mengelompok
Skeletonema 59 0 91 150 4,68 Mengelompok
Dinophyceae
Alexandrium 86 0 23 109 5,98 Mengelompok
Cyanophyceae
Oscilatoria 131 146 129 406 2,99 Mengelompok
Zooplankton
Calanus 0 1 6 7 6,43 Mengelompok
Larva bivalvia 3 0 1 4 4,50 Mengelompok
81
Lampiran 4. (Lanjutan) Hasil Indeks Penyebaran Morisita
Indeks Penyebaran Morisita di Stasiun 3 pada Daun Enhalus acoroides.
Genus Substasiun 1 Substasiun 2 Substasiun 3 TOTAL Id KESIMPULAN
Bacillariophyceae
Melosira 32 36 88 156 3,69 Mengelompok
Pleurosigma 3 0 0 3 9,00 Mengelompok
Coscinodiscus 17 158 121 296 4,08 Mengelompok
Rhizosolenia 18 5 8 31 3,70 Mengelompok
Diplo 0 8 51 59 6,85 Mengelompok
Hemiaulus 2 0 0 2 9,00 Mengelompok
Fragilaria 0 3 2 5 3,60 Mengelompok
Navicula 22 70 28 120 3,81 Mengelompok
Biddulphia 0 36 37 73 4,44 Mengelompok
Striatella 2 0 0 2 9,00 Mengelompok
Nitchzia 0 0 16 16 9,00 Mengelompok
Stephanodiscus 0 8 0 8 9,00 Mengelompok
Cylindrotheca 68 79 52 199 3,05 Mengelompok
Dinophyceae
Alexandrium 63 21 0 84 5,58 Mengelompok
Cochlodinium 0 0 18 18 9,00 Mengelompok
Cyanophyceae
Nodularia 3 28 34 65 4,08 Mengelompok
Zooplankton
Calanus 0 0 2 2 9,00 Mengelompok
Larva bivalvia 3 6 9 4,50 Mengelompok
82
Lampiran 4. (Lanjutan) Hasil Indeks Penyebaran Morisita
Indeks Penyebaran Morisita di Stasiun 3 pada Daun Cymodocea serrulata.
Genus Substasiun 1 Substasiun 2 Substasiun 3 TOTAL Id KESIMPULAN
Bacillariophyceae
Melosira 32 39 126 197 4,25 Mengelompok
Pleurosigma 12 21 0 33 4,70 Mengelompok
Coscinodiscus 29 112 126 267 3,67 Mengelompok
Rhizosolenia 52 0 54 106 4,46 Mengelompok
Diplo 1 12 6 19 4,26 Mengelompok
Hemiaulus 4 0 0 4 9,00 Mengelompok
Fragilaria 2 6 0 8 5,14 Mengelompok
Navicula 43 64 54 161 3,04 Mengelompok
Biddulphia 0 0 165 165 9,00 Mengelompok
Nitchzia 103 46 0 149 5,13 Mengelompok
Stephanodiscus 86 0 0 86 9,00 Mengelompok
Grammatophora 59 0 0 59 9,00 Mengelompok
Thalassiosira 86 0 0 86 9,00 Mengelompok
Cylindrotheca 131 0 10 141 7,81 Mengelompok
Skeletonema 0 0 64 64 9,00 Mengelompok
Leptocylindrus 6 47 0 53 7,16 Mengelompok
Dinophyceae
Alexandrium 17 0 48 65 5,47 Mengelompok
Cochlodinium 0 19 12 31 4,59 Mengelompok
Cyanophyceae 0
Oscilatoria 64 23 78 165 3,51 Mengelompok
Nodularia 12 46 21 79 3,83 Mengelompok
Trichodesmium 21 3 5 29 4,94 Mengelompok
Zooplankton 0
Calanus 3 0 5 8 4,18 Mengelompok
Larva bivalvia 0 2 0 2 9,00 Mengelompok
83
Lampiran 5. Dokumentasi Lapangan
Line Transek Transek 50x50 cm
Pengambilan sampel daun Kondisi padang lamun Stasiun 1
Kondisi padang lamun Stasiun 2 Kondisi padang lamun Stasiun 3
84
Lampiran 6. Hasil Uji Nitrat Fosfat
85
Lampiran 7. Hasil Uji Non Parametrik Median
Tabel Kelimpahan Perifiton
Enhalus acoroides Cymodocea serrulata
287,5 0
424 0
568,75 0
578,75 542,5
845 768,75
955 803,75
1031,25 803,75
1086 955
1144 967,5
𝑥2 = 𝑛 [(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐) −
𝑛2]2
(𝑎 + 𝑏)(𝑐 + 𝑑)(𝑎 + 𝑐)(𝑏 + 𝑑)
Ket :
Mempunyai derajat bebas 1 ; 𝛼 = 0,05
Ho = diterima apabila 𝑥2 ≤ 𝑥2 𝛼 ( Tidak mempunyai perbedaan signifikan)
Ho = ditolak apabila 𝑥2 > 𝑥2 𝛼 (Mempunyai perbedaan signifikan)
Perhitungan :
𝑥2 = 18 [(5. 5 − 4. 4 ) −
182
]2
(5 + 4)(4 + 5)(5 + 4)(4 + 5)
𝑥2 = 0,89
Kesimpulan :
Median (786,25) Enhalus acoroides Cymodocea serrulata Jumlah
Diatas median 5 (a) 4 (b) 9
Dibawah median 4 (c) 5 (d) 9
Jumlah 9 9 18 (n)
86
Nilai 𝑥2 pada 𝛼 = 0,05 dengan derajat bebas 1 adalah 3,841. Oleh karena 𝑥2 =
0,89 maka Ho diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa kelimpahan perifiton pada
daun lamun Enhalus acoroides dan Cymodocea serrulata tidak mempunyai perbedaan
yang signifikan.
87
Lampiran 8. Hasil uji analisis ukuran butir sedimen
Stasiun 1
Stasiun 2
88
Lampiran 8. (Lanjutan) Hasil uji analisis ukuran butir sedimen
Stasiun 3
89
RIWAYAT HIDUP
Pratiwi Megah Sundari, dilahirkan di Klaten pada tanggal 21
November 1997, merupakan anak kedua dari dua bersaudara
pasangan Bapak Sigit Joko Susilo dan Ibu Harsih. Penulis
menempuh pendidikan awal di TK Pertiwi 2 Majegan, dilanjutkan
dengan pendidikan dasar di SDN 2 Majegan. Selanjutnya penulis lulus dari SMP
Negeri 1 Karanganom pada tahun 2012. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Karanganom
pada tahun 2015 dan sekaligus diterima sebagai mahasiswa di Departemen Ilmu
Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, Semarang
melalui jalur Mandiri.
Selama perkuliahan penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan yaitu HMIK
sebagai staff PSDM periode 2016 dan Staff Ahli PSDM periode 2017. Penulis juga
aktif dalam organisasi SeaCrest sebagai Anggota Bidang Litbang periode 2016 dan
Kepala Bidang Litbang periode 2017. Penulis telah menyelesaikan Praktek Kerja
Lapangan yang berjudul “Teknik Penggantungan Kerang Mutiara (Pinctada maxima)
menggunakan metode Long Line Di PT. Autore Pearl Culture Lombok” dan telah
melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di Desa Sendang Kecamatan Kalinyamatan
Kabupaten Jepara. Saat menyusun Skripsi ini penulis masih terdaftar sebagai
mahasiswa di Departemen Ilmu Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Diponegoro, Semarang.