Upload
nguyendiep
View
251
Download
13
Embed Size (px)
Citation preview
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 91
DINAMISASI PENDIDIKAN PESANTREN
(Studi Pemikiran Modernisasi Pondok Pesantren KH.
Abdurrahman Wahid)
Rohani
Ketua Bidang Pendidikan dan Pelatihan KKG PAI Kabupaten Wonosobo,
dan penulis buku-buku tentang pendidikan, ke-Islam-an dan ke-NU-an
Abstrak
Kemajuan dan dinamisasi Islam dapat dimulai dari pesantren yang memiliki
kekuatan, kematangan dan watak progresif untuk selalu bergerak maju sekaligus
selektif dalam mempertahankan nilai-nilai luhur moralitas di dalamnya. Kondisi
tesebut merupakan bentuk dari sikap hati-hati kalangan pesantren dalam merespon
perkembangan dan dinamika perubahan zaman. Pesantren sebagai subkultur dalam
pandangan Gus Dur, berawal ketika Islam telah melembaga dalam institusi
pendidikan yang dapat mengakulturasi budaya lokal dan kemudian melahirkan ekses
budaya yang berorientasi pada transformasi kultural. Pesantren tidak hanya berkutat
pada persoalan ajaran moral (morality volue’s), namun juga berkaitan dengan
penjagaan keseimbangan transformasi sosial budaya kemasyarakatan.
KH. Abdurrahman Wahid dikenal sebagai tokoh multitalenta. Ia lihai berbicara
tentang kebudayaan, politik, pendidikan bahkan “klenik.” Gagasan-gagasannya
tentang pembaharuan pesantren telah menjadi daya dobrak tersendiri bagi
peningkatan kualitas lembaga pendidikan asli nusantara ini ditengah dinamika
perkembangan zaman dan arus globalisasi. Tantangan yang dihadapi pesantren tidak
hanya datang dari internal umat Islam, akan tetapi yang terberat adalah menghadapi
tantangan eksternal, berupa arus dunia yang semakin menglobal. Untuk menghadapi
beberapa tantangan tersebut, pesantren harus melakukan pembenahan dan menjadi
filter bagi arus negatif globalisasi dengan tetap berpegang teguh pada jati dirinya
sebagai lembaga tafaqquh fi al-din.
Pemikiran Gus Dur tentang dinamisasi (modernisasi) dan visinya bagi Pesantren
adalah konsekuensi logis dari pendidikan yang ia terima, yaitu pendidikan pesantren
dan pendidikan Barat. Konstruksi gagasan Gus Dur berdasar pada pandangan dan
visinya terhadap khasanah klasik (the legacy of the past) pendidikan pesantren yang
diramu dengan metodologi dan ilmu-ilmu modern.
Kata kunci: Modernisasi, Pendidikan Pesantren, Abdurrahman Wahid
A. Pendahuluan
Pendidikan Islam dewasa ini oleh beberapa kalangan dinilai masih berada dalam
posisi problematik antara “determinisme historis” dan “realisme praktis”, yakni
ketidakmampuannya keluar dari idealisasi kejayaan masa keemasan Islam dan keharusan
menerima tuntutan-tuntutan modernisme yang berasal dari peradaban Barat.42 Karenanya
untuk menuju citra ideal pendidikan Islam sebagai sebuah proses transformasi sosial
masyarakat haruslah dimulai dengan melakukan re-definisi dan re-konstruksi gagasan,
tehnik belajar mengajar, tujuan serta kurikulum pendidikan Islam di semua tingkatan.43
42 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, cet. I, (Yogyakarta, LKiS, 2008), hal. 3-5.
43 Abdul Munir Mulkhan SU, Nalar Spiritual Pendidikan; Solusi Problem Filosofis Pendidikan Islam, cet.
I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hal.49.
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
92 | ISSN: 2356-2447-XIII
Dalam hal ini, pesantren memegang peranan penting untuk melakukan terobosan-
terobosan metodologi agar gambaran pilu mengenai ketertinggalan, kemunduran, dan
kondisi serba tidak jelas yang melekat segera terselesaikan dengan baik. Dengan
ungkapan lain, pesantren diharapkan dapat mencari solusi yang tepat, sistematis, dan
berjangkauan luas ke depan untuk mencapai “keseimbangan antara kecenderungan
normatif kaum muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat”.44 Beberapa
terobosan ini mendesak untuk segera dilakukan agar pendidikan Islam (Pesantren) dapat
berperan dalam proses dinamisasi dan transformasi masyarakat dengan tetap mendasarkan
pada aspek-aspek budaya setempat yang telah menjadi warisan dan tradisi pemikiran masa
lampau (turâtś qadîm) dan tidak serampangan menerapkan konsep-konsep budaya Barat.
Prasyarat demikian niscaya untuk dilakukan agar umat Islam tidak tercerabut dari akar
kesejarahannya atau tidak kehilangan konsep budaya masa lampaunya dan tetap memiliki
kearifan dalam melihat proses modernisasi pendidikan sebagai proses historis yang utuh,
bukan sepotong-sepotong.45 Dalam konteks ini, KH. Abdurrahman Wahid mengatakan
bahwa “masa depan bangsa ini terletak pada sektor pendidikan”.46 Artinya maju
mundurnya bangsa dan umat Islam Indonesia sangat bergantung pada kualitas pendidikan
yang dijalankan.
Sebagai seorang ulama’ dan cendekiawan, Gus Dur dikenal luas memiliki perhatian
dan kegelisahan yang mendalam perihal nasib pendidikan sebagai upaya pencerdasan
bangsa. Ia sangat berkomitmen untuk membina dan mendidik tenaga-tenaga muda yang
mumpuni, berpengalaman dan berkarakter.47 Perhatian Gus Dur terhadap pendidikan
dapat dilihat dari dobrakannya terhadap pola pikir di lingkungan Nahdlatul Ulama,
pesantren, kampus dan LSM. Demikian juga, pencerahan dan paparannya dalam berbagai
forum seminar maupun ceramah yang diselenggarakan di berbagai tempat dengan
beragam tema pembahasan. Untuk memajukan bangsa melalui jalur pendidikan, menurut
Gus Dur, harus dimulai dengan merubah sistem pendidikan formal yang selama ini
berjalan di Indonesia dengan pendidikan berbasis masyarakat (community-based
education). Perubahan orientasi ini dimungkinkan karena dalam penilaiannya pola
pendidikan formal yang selama ini berjalan kurang (untuk tidak mengatakan tidak)
memiliki etika dan memberikan penekanan pada aspek moralitas. Penilaian ini dapat
dibuktikan dengan maraknya kecurangan dan fenomena jual-beli ijazah di tengah-tengah
masyarakat.48 Menurut Gus Dur pola pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana yang
dilakukan oleh pesantren merupakan pola yang tepat, hanya saja ia menyayangkan sikap
pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus terhadap lulusan pesantren.
44 Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan: Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan, cet. I,
(Jakarta: The Wahid Institute, 2007), hal. 11.
45 Abdurrahman Wahid, Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser, cet. I,
(Yogyakarta: LKiS, 2002), hal. 45-46.
46 M. Badi’ Zamanil Masnur, dkk., Pendidikan Kritis Transformatif; Panduan Pendidikan dan
Kaderisasi, (Jakarta: PB PMII, 2001), hal. 35.
47 Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, cet. I,
(Yogyakarta: LKiS: 1998), hal. 52..
48 Catatan pribadi penulis dalam acara pengajian di Pesantren al-Fadhil, Solotiyang, Loano, Purworejo,
Sabtu, 26 Oktober 2008. Lihat pula, Abdurrahman Wahid, “Pendidikan Berbasis Masyarakat Harus Dihargai”,
Harian Kedaulatan Rakyat, (28 Oktober 2008).
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 93
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari uraian diatas, maka fokus penelitian ini diarahkan pada rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep dan pemikiran KH. Abdurrahman Wahid tentang dinamisasi
pendidikan Pesantren?
2. Bagaimana kontribusi pemikiran KH. Abdurrahman Wahid dalam rangka
pengembangan pondok pesantren di Indonesia?
C. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian
yang data-datanya diperoleh dari studi pustaka atau literatur terkait yang memerlukan
olahan filosofis dan teoritis, kemudian disimpulkan dan diangkat relevansi serta
kontekstualitasnya. Selain itu, penelitian ini dapat dikategorikan sebagai intelectual
biography research yang menekankan pada sejarah pemikiran seseorang.49
Dalam meng-
olah data, Penulis menggunakan dua pendekatan, pendekatan historis dan hermeneutik.50
Pendekatan historis dimaksudkan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara
sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi dan mensintetis bukti-
bukti untuk menegakkan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat.51
Adapun dalam pengumpulan data, penulis berupaya untuk mengamati, mempelajari,
dan menelaah buku-buku atau naskah yang disusun oleh Gus Dur.52
Data-data tersebut
kemudian penulis jadikan sebagai sumber data primer untuk menemukan hal-hal yang
relevan dengan problem penelitian. Sedangkan berbagai tulisan tentang Gus Dur,
pemikiran-pemikiran, dan perjuangannya dijadikan sebagai sumber data sekunder untuk
memahami Gus Dur dan pandangannya tentang pendidikan. Namun demikian, penulis
49 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 136. Penelitian ini dapat
pula digategorikan dalam penelitian model historis faktual (MHF), yaitu penelitian yang dilakukan untuk
meneliti substansi teks (berupa pemikiran maupun gagasan tokoh) sebagai karya filsafat atau memiliki muatan
kefilsafatan. Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama, (Bandung: Rosdakarya, 2001), hal. 109-110.
50 Hermeneutika berasal dari kata hermeneuien yang berarti pembicaraan, penerjemahan dan interpretasi
atau penafsiran. Berasal dari akar kata hermes yang berarti dewa yang bertugas membawa pesan-pesan kepada manusia secara umum. E. Sumaryono, Hermeneutic Sebagai Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius:
1995), hal. 23-24. Dalam tradisi keilmuan Islam, pendekatan hermeneutik ini dapat disejajarkan dengan ta’wil,
bukan tafsir. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian Hermeneutik, (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 215.
51 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 16.
52 Karya-karya Gus Dur tersebut yaitu: (a) Bunga Rampai Pesantren; (b) Muslim di Tengah Pergumulan; (c) Mengurai Hubungan Agama dan Negara; (d) Kiai Menggugat, Gus Dur Menjawab: Sebuah Pergumulan
Wacana dan Transformasi; (e) Tabayun Gus Dur Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural; (f)
Tuhan tidak Perlu Dibela; (g) Melawan Melalui Lelucon; (h) Islam Kosmopolitan Nilai-nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan; (i) Islamku Islam Anda Islam Kita Agama Masyarakat Negara Demokrasi; (j) Misteri
Kata-Kata; (k) Kolom-Kolom Abdurrahman Wahid era Lengser; (l) Islam Tanpa Kekerasan; (m) Menggerakkan
Tradisi; (n) Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman, (o) Prisma Pemikiran Gus Dur; (p) Membaca Sejarah Nusantara: 25 Kolom Sejarah Gus Dur, dan; (q) Sekedar Mendahului: Bunga Rampai Kata Pengantar. Dalam
studi pustaka ini, penulis tidak hanya menggunakan pustaka dalam arti umum, yaitu buku-buku teks/artikel”
saja, namun juga kepustakaan cyber atau kepustakaan global yang terdapat dalam internet untuk menemukan data-data yang belum ditemukan dalam buku-buku teks. Syahrin Harahap, Metodologi Studi dan Penelitian
Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 90.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
94 | ISSN: 2356-2447-XIII
berusaha untuk merujuk pada data-data primer, hal ini penulis lakukan agar informasi
yang terkumpul lebih otentik dan untuk menghindari ”bias”.
D. Kerangka Teori
Sesuai permasalahan di atas, studi ini dilakukan berdasarkan asumsi teoritik bahwa
gairah intelektualisme kaum pesantren (baca: NU) mempunyai latar belakang yang cukup
panjang dan dipengaruhi banyak hal. Reformasi pendidikan Islam dilakukan kalangan
pesantren dengan mengadopsi sistem pendidikan sekuler, tanpa meninggalkan sistem
pesantren yang telah dikenal sebelumnya menunjukkan gejala sangat dinamis dan maju.
Menurut Qonita Alya, dinamis berarti penuh semangat dan tenaga sehingga cepat
bergerak dan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan.53
Sedangkan Poerwadarminta
memberi arti dinamis sebagai sifat (tabiat) yang bertenaga dan berkekuatan (sehingga
selalu bergerak dan selalu sanggup menyesuaikan diri dengan keadaan).54
Pergerakan
yang kontinyu dan berkesinambungan selalu menimbulkan dinamika, yaitu tenaga atau
kekuatan yang menggerakkan dan dapat menyesuaikan diri secara memadai terhadap
keadaan. Dinamika juga berarti adanya interaksi dan interdependensi berkesinambungan
dan terus-menerus yang bersifat dinamis. Dengan demikian, dinamisasi adalah upaya
untuk selalu bergerak dan menyesuaikan diri (beradaptasi) dengan keadaan baru dan
merespon secara kreatif keadaan yang sulit.55
Dalam konteks ini, Greg Barton memaknai dinamisasi sebagai “energik dan totalitas
hidup; penuh semangat dan tenaga, sehingga cepat bergerak dan mudah menyesuaikan diri
dengan keadaan dan sebagainya.”56
Menurut Nur Khalik Ridwan, dinamisasi merupakan
pengembangan sebuah tradisi yang diorientasikan pada kebutuhan-kebutahan yang
dianggap jauh lebih baik dan sempurna, baik dari sisi pertimbangan ekonomi, politik, dan
agama.57
Dalam terminologi Gus Dur, dinamisasi merupakan “perubahan ke arah
penyempurnaan keadaan’ yang mencakup dua hal, yakni menggalakkan nilai-nilai positif
yang telah ada dibarengi dengan menambahkan nilai-nilai baru yang lebih sempurna.
Dinamisasi, pada asasnya mencakup dua proses yaitu penggalakan kembali nilai-nilai
hidup positif yang telah ada, disamping mencakup pada pergantian nilai-nilai lama itu
dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna. Proses penggantian nilai itu
dinamai modernisasi. Jelaslah dari keterangan ini, bahwa pengertian modernisasi
sebenarnya telah terkandung dalam kata dinamisasi. … Sedangkan kata dinamisasi itu
sendiri, dalam penggunaannya di sini akan memiliki konotasi/mafhum “perubahan ke arah
penyempurnaan keadaan”, dengan menggunakan sikap hidup dan peralatan yang telah ada
53 Qonita Alya, Kamus Bahasa Indonesia, (Bandung: PT. Indah Jaya Adipratama, 2009), hal. 160.
54 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. VII, (Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984), hal. 251.
55 Meity Taqdir Qadratillah (Ketua Tim), Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), hal. 355. 56 Greg Barton, “Liberalisme: Dasar-Dasar Progresivitas Pemikiran Abdurrahman Wahid”, dalam Greg
Fealy dan Greg Barton (Ed.), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara, cet. I,
(Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. 177. 57 Nur Kholik Ridwan, “Gus Dur Tentang Tradisi dan Modernitas”, bahan diskusi di Griya GUS
DURian, (Yogyakarta, 27 April 2012), hal. 3.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 95
sebagai dasar. Dikemukakan prinsip itu di sini, karena ada keyakinan, konsep-konsep
yang dirasa asing oleh pesantren, akan menghadapi hambatan luar biasa nantinya. Kita
percaya pendekatan untuk memperoleh penerimaan dari pesantren sendiri, dalam jangka
panjang akan memberikan hasil yang lebih baik dari pada konsep manapun juga.58
Dengan demikian, konsep dinamisasi yang ditekankan oleh Gus Dur merupakan
upaya dekonstruktif dengan memadukan pola modern dan tradisi lokal (local wisdom).
Dalam konteks pendidikan Islam, dinamisasi dilakukan sebagai usaha rekonstruktif atas
beberapa kelemahan sistem pendidikan Islam ( termasuk pesantren di dalamnya) yang
mengalami kegagapan dalam menghadapi modernisasi. Dinamisasi tersebut dilakukan
dengan cara membuka cakrawala berfikir yang lebih luas dan menghilangkan dikotomi
antara ilmu agama (al-‘ulûm al-dîniyah) vis a vis ilmu umum (al-‘ulûm al-‘aqliyah).
Pendidikan yang inklusif dan non dikotomik ditujukan untuk menggali dan
mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dengan dimensi pembebasan
(taharûr, liberation) dan mengembangkan tradisi (turâtś) keilmuan profetik yang
mempunyai komitmen pada humanisasi, liberasi, dan transendensi.
E. Pembahasan
1. Rekam Jejak K.H. Abdurrahman Wahid
KH. Abdurrahman Wahid (w. 2009) terlahir dari pasangan KH. Wahid Hasyim (w.
1953) bin KH. Hasyim Asy’ari (w. 1947) dan Ny. Salichah (w. 1994) binti KH. Bisyri
Sansuri (w. 1980). Dalam dirinya mengalir dua trah sekaligus, yakni aristokrat
(bangsawan Jawa) dan elit agama (Islam).59 Ia tumbuh dan bergerak dari pesantren
Tebuireng sebagai seorang pendidik, pemikir dan penulis handal. Ide-idenya tentang
pesantren, Kyai, serta peran Islam kemudian berkembang menjadi gagasan yang
melampaui batas-batas komunal ke arah demokrasi, hak-hak asasi, problem mayoritas-
minoritas, pentingnya pluralisme, pemerintahan sipil dan kedudukan serta peran agama
dalam kehidupan dunia.60 Dalam menggambarkan “jati dirinya”, Gus Dur menulis,
“Ia dilahirkan di lingkungan pondok pesantren. Juga dididik di pesantren selama bertahun-
tahun. Tidak hanya melalui sekolah atau madrasah, tetapi juga melalui pengajian puasa yang
berpindah-pindah. Tahun ini ikut pengajian puasa di pondok Sarang, mengaji kepada kyai
Zubair Umar, si ‘jago fiqih’. Tahun berikutnya mengaji puasa di pondok lain, dengan
spesialisasi Ihya Ulumuddin. Tahun lain lagi mengambil tafsir dari kyai lain lagi. Kemudian ia
58 Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, cet, II, (Jakarta: Leppenas: 1983), hal. 41-51.
59 Terdapat berbagai informasi mengenai mata rantai silsilah (geneologi) Gus Dur, antara lain
menyebutkan bahwa ia: i) keturunan Cina; ii) keturunan Sunan Giri; iii) keturunan Brawijaya VI, iv) keturunan Sunan Gunung Jati, dan; v) keturunan Nabi dari jalur Basyaiban. Perbedaan (kerancuan) ini disebabkan oleh
tidak ditemukannya data yang valid mengenai latar belakang ayah dari Kiai Asy’ari, (kakek Kiai Hasyim
Asy’ari: Kiai Abdul Wahid). Data yang ditemukan hanya menyebut bahwa Abdul Wahid adalah salah satu komandan pasukan dalam perang Diponegoro (1925-1930). Ia lari dari kejaran Belanda dan menyamar dengan
bergonta-ganti nama sehingga sulit terlacak asal-usul pastinya. Ishomudin Hadziq, KH Hasyim Asy’ari: Figur
Ulama dan Pejuang Sejati, (Jombang: Pustaka Warisan Islam, 1999), hal. 9.
60 Ignas Kleden, “Pluralisme dan Nasionalisme: Gus Dur dan Frans Seda”, Kolom Tempo, (11-17 Januari
2010). Abdullah Faishol, Gus Dur: Jejak Sang Humanis dan Humoris, (Surakarta: Aswaja Institute Surakarta –
AIS, 2010); Maia Rosyida, Gus Dur: Asyik Gitu Loh!, cet. I, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007).
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
96 | ISSN: 2356-2447-XIII
belajar di Timur Tengah, lebih enam tahun lamanya. Kembali digelutinya kitab-kitab lama
yang dahulu diperolehnya di pesantren. Di samping kitab-kitab baru tentunya.61
Kutipan tersebut menggambarkan jati diri Gus Dur sebagai “orang dalam” pesantren.
Artinya ia lahir, tumbuh dan berkembang dari komunitas pesantren yang plural dan
homogen. Tahun 1954-1957, Gus Dur dikirim ibunya untuk belajar di pesantren Krapyak,
asuhan Kyai Ali Ma’sum (w. 1989) yang dikenal sebagai seorang ulama yang sangat
visioner dan egaliter. Di Yogyakarta selain mendalami agama dan belajar di SMEP
(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) Yogyakarta, ia telah terbiasa membaca buku-buku
berbahasa asing dan mulai berkenalan dengan pertunjukan wayang kulit yang menjadi
daya tarik sendiri baginya.
Tahun 1957, melanjutkan studinya di pesantren Tegalrejo Magelang yang diasuh
Kyai Chudlori Ichsan (w. 1977), seorang pemuka NU yang sangat disegani, humanis,
saleh, penuh kasih dan apresiatif terhadap kebudayaan lokal. Kyai Chudlori menanamkan
kekayaan batin yang mendalam pada diri Gus Dur sehingga ia mulai mengenal ritus dan
praktik mistik dalam tradisi Islam Jawa, melakukan ziârah qubûr, żikir, mujâhadah, dan
membaca hizib untuk meneguhkan kekuatan diri dalam menghadapi masalah-masalah
sosial.62 Praktik-praktik ini membentuk keunikan tersendiri baginya dalam bentuk
pertautan antara kesadaran intelegensia dengan kedalaman spiritual dan perkawinan
(sinkretisme) antara Islam dengan tradisi lokal (local knowledge) budaya Jawa yang luhur.
Pada tahun 1958-1964, Gus Dur diminta oleh KH. Abdul Fatah Hasyim (w. 1977)
untuk mengajar tata bahasa Arab (qawâid al-lughah al-‘arâbiyah) dan bahasa Inggris di
Madrasah Mu’allimat Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang,63 sekaligus ia juga
diserahi tugas sebagai sekretaris pesantren untuk mengelola managemen dan melakukan
diplomasi dengan pihak luar pesantren. Di sela-sela kesibukan mengajar dan mengurus
managemen pesantren, sebagian waktunya ia pergunakan untuk membaca buku-buku
asing dan memperdalam berbagai macam kitab kepada KH. Abdul Fatah Hasyim, KH.
Masduqi dan KH. Bisyri Syansuri.
Dan selama masa studinya di Kairo, Baghdad dan beberapa universitas negara Eropa,
ketertarikan Gus Dur pada Islam fundamental semakin menipis, ia justeru semakin
mendalami pemikiran-pemikiran sosial-liberal yang bertitik tolak pada dimensi
humanisme dan pembebasan. Sepulang dari studinya di Timur Tengah dan Barat, pada
tahun 1971, Gus Dur merasa prihatin dengan kondisi dan perkembangan pesantren yang
saat itu sedang mengalami berbagai krisis. Jiwa humanis dan liberalnya merasa terpanggil
untuk membantu dan melakukan perubahan di pesantren. Ia bercerita;
Sepulang dari Timur tengah, di Cairo dan Baghdad, Ia berusaha memperoleh jatah program
doktor di Canada atau Amerika Serikat. Seperti kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu
berangkat. Namun, semua rencana itu buyar begitu melihat keadaan pondok pesantren di awal
61 Abdurrahman Wahid, “Perjuangan”, Warta NU, No. 3/Tahun IV, Mei 1988, Ramadhan 1408 H. hal, 1.
Dikutip dalam Ahmad Baso, “Gus Dur dan Dasar-Dasar Manhaji Pesantren Studies”, sumber internet:
[email protected], Tuesday, 9 November 2010 10:40:18.
62 Al-Zastrouw Ng, Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus
Dur, cet. I, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999), hal. 15.
63 Gus Dur mulai mengajar dalam usia 18 tahun. Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi
Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, cet. I, (Yogyakarta: LKiS: 1998), hal. 162.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 97
tahun-tahun tujuhpuluhan. Mengapa? Karena ia melihat ada krisis di pondok pesantren. Ada
krisis identitas.
Pesantren mulai mementingkan ijazah tertulis, melalui ujian sekolah formal. Asal lulus, sudah
cukup. Penguasaan ilmu-ilmu agama menjadi perhatian kedua, yang terpenting lulus ujian
tertulis. Ijazah lisan dari kyai, berisi perkenan untuk membaca dan mengatakan kitab,
digantikan oleh ijazah negara yang tidak menjamin kemampuan pemiliknya untuk
mengajarkan kitab agama sekecil apapun. Krisis sistem pendidikan. Juga ada krisis lain. Krisis
pada basis ekonomi pesantren di desa-desa. Hilangnya para orang kaya muslim. Semakin
menurunnya tingkat hidup di pedesaan. Pendukung pesantren semakin menipis kemampauan
keuangannya. Dukungan mereka dengan sendirinya akan lebih dititikberatkan pada dukungan
moral, karena tidak mampu menyediakan dukungan keuangan seperti dahulu.
Belum lagi krisis budaya, karena derasnya arus budaya asing masuk ke pesantren, sebagai
limbah dari banjir di luar pesantren. Tambah pula krisis politik. Karena cukup banyak
pesantren yang ingin tetap dekat dengan pemerintah, cukup juga jumlah pesantren yang lalu
masuk Golkar. Terjadi kemelut hubungan antara mereka yang di Golkar, dan pesantren yang
mendukung PPP. Keutuhan pesantren lalu terancam. Menghadapi rangkaian krisis pesantren,
ia membulatkan tekad untuk memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi pesantren.64
Kutipan di atas menggambarkan kegelisahan Gus Dur yang sebenarnya masih
tertarik untuk melanjutkan studi, namun niatan itu harus ditepiskannya saat ia melihat
adanya krisis pendidikan, identitas dan budaya yang telah menjalar di berbagai pondok
pesantren dan membutuhkan penanganan secepatnya. Kenyataan ini menjadikannya
bertekat untuk melakukan “pembaharuan dari dalam” agar jati diri pesantren tidak terkikis
di tengah arus globalisasi dan modernitas.
Gus Dur kemudian mulai melakukan kunjungan ke berbagai pesantren di Jawa
Tengah dan Jawa Timur yang dilakukan dengan tertib dan rajin. Kunjungan-kunjungan ini
dimaksudkan guna mengetahui problem nyata yang dihadapi oleh pesantren. Saat itu, ia
mendapati pesantren sedang menghadapi berbagai tekanan dan serangan dari luar terkait
dengan sistem nilai tradisionalnya. Beberapa pesantren tanpa dibarengi pemikiran
mendalam, telah merubah kurikulumnya dengan kurikulum negeri yang semata-mata
dilakukan hanya untuk mendapatkan kucuran dana dan ijazah formal dari pemerintah.
Sebenarnya Gus Dur tidak berkeberatan dengan perubahan ini, hanya saja menurutnya,
untuk dapat menjaga keberadaan dan kelangsungan hidupnya, pesantren harus tetap
menjalankan fungsi dan tugas pokoknya sebagai lembaga tafaqquh fi al-dîn.65
Di luar itu, Ia masih mendapati kenyataan banyaknya kemiskinan yang tersebar di
lingkungan pesantren. Karena keprihatinan ini, Gus Dur semakin konsentrasi pada
bagaimana membina dan memberdayakan masyarakat melalui pesantren. Keputusan ini
didorong pula dengan seruan Menteri Agama, Mukti Ali (w. 2004), agar melakukan
peremajaan sistem nilai pesantren dan menjadikannya sebagai agen perubahan (agent of
change) untuk pengembangan dan transformasi masyarakat Indonesia.
64 Abdurrahman Wahid, “Perjuangan”, dalam Warta NU, (No. 3/Tahun IV, Mei 1988), hal. 2.
65 Laporan Tim Kompas, “Pesantren: Dari Pendidikan Hingga Politik”, 14 Oktober 1996, hal. 20; Lihat
pula, Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, cet. III, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal.
169-178.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
98 | ISSN: 2356-2447-XIII
2. Pemikiran Modernisasi Pondok Pesantren KH. Abdurrahman Wahid
Pesantren sebagai lembaga pendidikan asli nusantara (indegeneus), terbukti
keberadaannya telah mampu melakukan akomodasi dan transformasi sosio-kultural di
tengah-tengah masyarakat.66 Pesantren telah mampu berada di garda depan dalam
melakukan perubahan sosial dalam rangka memajukan tatanan masyarakat sekitar. Dalam
hal ini, menjadi tugas pesantren untuk melakukan pencerahan masyarakat lewat
serangkaian pendidikan, dari metodologi, kurikulum sampai kebebasan memberikan kritik
dan pendapat. Pendobrakan kultur pesantren niscaya dilakukan untuk merangkum
berbagai ekspresi dan kebebasan berpendapat, terutama ketika berhadapan dengan
pemikiran-pemikiran baru. Hal ini dilakukan mengingat keberadaan pesantren memiliki
pengaruh dan nilai penting dalam mendidik dan mencerdaskan rakyat.
Figur Kyai di dalamnya telah menjadi seorang panutan dan tumpuan harapan
masyarakat sekitarnya. Secara akademis, Kyai selalu dapat menjawab persoalan yang
dikemukakan santri dan umatnya berdasar pegangan kitab kuning dan tidak jarang disertai
dengan humornya.67 Hampir semua karya-karya Gus Dur dapat dikatakan sebagai sebuah
karya yang transformatif. Sebab karya-karyanya telah mendorong perubahan dan
pergulatan yang dinamis, tidak kaku, dan inspiratif. Bahkan, ia mampu meletakkan Islam
dalam bingkai universal-humanis, yang mampu berdialog dan beradaptasi dengan realitas
sosial sesuai dengan perputaran dan dinamika zaman yang melingkupinya.
Dinamika pesantren memiliki identitas sendiri, yang dalam istilah Gus Dur disebut
sebagai subkultur yang mendasarkan pada unsur pokoknya, yakni pola kepemimpinan,
literatur kitab kuning yang dipelihara berabad-abad dan sistem nilai di dalamnya.68
Demikian juga semua mata pelajaran yang dipelajari di pesantren bersifat aplikatif
(diamalkan sehari-hari). Keberhasilan pendidikan pesantren dalam melahirkan para
pemimpin dan ulama yang berkualitas tinggi disebabkan karena sistem pendidikan yang
dikembangkan di dalamnya merupakan bimbingan pribadi yang menerapkan penguasaan
kualitatif, bukan kuantitatif an sich. Zamakhsyari Dhofier (l. 1941) mengatakan,
Tujuan pendidikan (pesantren) tidak semata-mata untuk memperkaya pikiran murid
dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meningkatkan moral, melatih dan
mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan
sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, serta menyiapkan para murid diajar
mengenai etika agama di atas etika-etika yang lain. Tujuan pendidikan pesantren bukan
66 Secara historis, pesantren dinilai tidak hanya mengemban misi dan mengandung nuasa keislaman, tetapi
juga menjaga keaslian (indegeneus) Indonesia karena lembaga sejenis pesantren telah berdiri sejak masa Hindu-
Budha, sedangkan pesantren tinggal meneruskan dan mengislamkan saja. Nurcholis Madjid, “Merumuskan
Kembali Tujuan Pendidikan Pesantren”, dalam M. Dawam Rahardjo (Ed.), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hal. 3. Banyak ahli sejarah mengatakan bahwa pesantren pada
dasarnya adalah lembaga pendidikan keagamaan bangsa Indonesia pada masa Hindu-Budha yang bernama
“mandala”. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., hal. 41.
67 Humor merupakan ekspresi seorang kyai untuk ‘menghibur diri’ dari berbagai problem yang
dihadapinya. Selain itu, humor merupakan produk dari orang yang berakal dan menginspirasi orang untuk
tafakkur dan produktif. Salah satu wujud ekspresi selera humor yang hilang, kini menjelma dalam bom dan
kekerasan lainnya. Abdurrahman Wahid, “Pengantar”, dalam Mas Zaenal Muhyadin, Hoki: Humor Kyai Bareng
Kang Maman, cet. I, (Bandung: Nuansa, 2007), hal. 21 – 22.
68 Abdurahman Wahid, Bunga Rampai., hal. 9-25.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 99
untuk mengejar kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi
menanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan
pengabdian kepada Tuhan.69
Keunikan sistem pendidikan pesantren yang berbasis pada kearifan budaya
masyarakat menjadikan pesantren tetap mampu survive di tengah-tengah sistem
pendidikan modern. Dalam konteks community based education, pesantren merupakan
model archaic dari sistem pendidikan tradisional yang dikelola oleh masyarakat secara
otonom. Kondisi ini telah menarik perhatian berbagai kalangan untuk melakukan kajian
mendalam terhadap sistem pendidikan pesantren.70 Bahkan, beberapa praktisi pendidikan
di Indonesia menyintensakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan
modern untuk menghadirkan wacana pendidikan alternatif. Hal itu dilakukan, karena
mereka memandang adanya beberapa kelebihan-kelebihan pesantren dibanding dengan
sistem pendidikan modern. Pertama, sistem pengasramaan (pemondokan) yang
memungkinkan Kyai (pendidik) melakukan tuntunan dan pengawasan kepada santri
secara langsung; kedua, hubungan personal (keakraban) yang terbangun antara santri dan
Kyai memungkinkan proses pendidikan yang kondusif bagi pemerolehan pendidikan;
ketiga, kemampuan pesantren mencetak lulusan yang mandiri, keempat, kesederhanaan
pola hidup di pesantren, dan; kelima, biaya pendidikan yang murah dan terjangkau.71
Selain itu, pesantren telah berhasil mengembangkan tradisi baru dengan tidak tercerabut
dari akar-akar kesejarahannya di masa lampau.72
Proses modernisasi pendidikan menuntut pesantren untuk bersedia melakukan
dinamisasi dan menerima perubahan dan perkembangan dengan tetap mempertahankan
sistem nilai-nilai luhur dan moralitas di dalamnya. Paham ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah
yang menjadi pegangan pesantren, keteladanan (modeling), kelenturan atau kekenyalan
budaya (cultural resistance) dan budaya keilmuan yang tinggi harus tetap dipertahankan.73
Menurut Gus Dur, pesantren sudah tidak saatnya lagi hanya mempertahankan kajian rutin
atas kitab kuning, namun harus mampu menggunakannya sebagai sumber inspiratif untuk
modernisasi, transformasi dan menjadikannya sebagai pangkalan untuk mendirikan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Lembaga Pengembangan Swadaya
Masyarakat (LPSM). Hal ini dilakukan untuk mewujudkan integrasi organik antara nilai-
nilai lama dan visi budaya yang baru dengan mengedepankan rasionalitas untuk
69 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren., hal. 45.
70 Abdurrahman Mas’ud, “Dunia Pesantren Merespon Globalisasi”, Kata Pengantar dalam Ronald Alan Lukens-Bull, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika,cet. I, (Yogyakarta: Gama Media, 2004), hal. v.
71 Mahmud Arif, Pendidikan., hal. 168. Zamakhsyari Dhofier mengatakan banyak pengamat pendidikan
memberikan kritikan terhadap pesantren yang lebih menekankan pembangunan moral dan akhlak peserta didik
dengan melupakan aspek pencerdasan, sementara sekolah-sekolah modern menekankan pada pengembangan intelektual dengan mengabaikan pembinaan moral. Zamakhsyari Dhofier, “Pendidikan dan Sistem Politik:
Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional”, Jurnal Manarul Qur’an, (Edisi, No. II Desember 2002),
hal. 8; Abdurrahman Wahid, “Sumbangan Visi Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional”, dalam Sindhunata (Ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi, cet. I,
(Yogyakarta: Kanisius, 2000), hal. 225.
72 Abdurrahman Wahid, “Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”, dalam Komaruddin Hidayat dan
Ahmad Gaus AF (Ed.), Passing Over., hal. 163.
73 Abdurrahman Mas’ud, “Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam Ismail SM, dkk (Ed.)¸ Dinamika
Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. 26-33.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
100 | ISSN: 2356-2447-XIII
memunculkan kreativitas dari tradisi.74 Keberadaan LSM atau LPSM yang berangkat dari
pesantren akan bermuara pada terwujudnya pemberdayaan masyarakat yang berlandaskan
pada nilai-nilai religius yang humanis.
Melalui pola yang dijalankan demikian, pesantren dapat melakukan dinamisasi, yaitu
menggalakkan kembali nilai-nilai hidup positif yang telah ada dan pergantian nilai-nilai
lama itu dengan nilai-nilai baru yang dianggap lebih sempurna.75 Dengan demikian,
jelaslah bahwa pesantren bukan hanya mampu bertahan dari gempuran pendidikan Barat,
melainkan mampu mengembangkan diri dan melakukan dinamisasi, baik dari segi isi
maupun bentuk. Pesantren senantiasa mengalami penyesuaian diri dengan kondisi dan
situasi dimana pesantren berada. Pesantren mampu melakukan pribumisasi (nativisasi)
ajaran Islam dalam beragam bentuknya, baik melalui kegiatan keterampilan maupun
pembukaan sekolah umum di lingkungan pesantren tanpa kehilangan jati dirinya sebgai
lembaga tafaqquh fi al-dîn.76
Nilai-nilai progresif dan inovatif diadopsi oleh pesantren sebagai suatu strategi
antisipatif dari ketertinggalan dengan model pendidikan lain. Karenanya, pesantren
mampu bertahan sekaligus bersanding dan bersaing dengan pendidikan modern.
Perubahan-perubahan ke arah dinamisasi pendidikan pesantren dilakukan dengan
pembinaan beberapa hal, antara lain meningkatkan mutu pelajaran.
...pembinaan mutu pengajaran di pesantren, yang meliputi proyek-proyek berikut:
penyusunan kurikulum yang lebih relevan bagi kebutuhan masyarakat, penyusunan silabus
pengajaran yang dapat mengembangkan rasa kesejarahan (historicy) pada ahli-ahli agama
kita di masa depan, penataran periodik bagi tenaga-tenaga pengajar, penyediaan alat-alat
pengajaran yang lebih memadai bagi kebutuhan dan sebagainya.77
Penyataan Gus Dur ini merupakan sebuah pemikiran untuk melakukan dinamisasi
pendidikan pesantren. Di mana pesantren dituntut untuk melakukan perubahan dengan
menyusun ulang kurikulum yang dipakai, silabus pengajaran yang berbasis pada sejarah,
melakukan penataran (halaqah) untuk para tenaga pengajar dan melengkapi diri dengan
peralatan atau tekhnologi mutakhir agar dapat menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat.
Demikian halnya, usaha-usaha sosial, lembaga penilai mutu pendidikan, penerbitan buku-
buku pelajaran, pendirian lembaga penelitian, penciptaan forum diskusi dengan lembaga
pengetahuan lain dan pendirian perpustakaan harus segera dilakukan oleh pesantren.
Menurut Gus Dur, prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi dalam arti luas
adalah dengan melakukan rekonstruksi bahan-bahan pengajaran agama (kitab kuning)
dalam skala besar. Ia menulis,
Prasyarat utama bagi suatu proses dinamisasi berluas lingkup penuh dan dalam adalah
rekonstruksi bahan-bahan pengajaran ilmu-ilmu agama dalam skala besar-besaran, baik kitab-
kitab kuno maupun buku-buku pengajaran “modern” ala Mahmud Junus dan Hasbi ash-
74 Abdurrahman Wahid, Melawan., hal. 300.
75 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 53. Berdasar pada kemampuan menyerap itu, maka
pesantren dapat menerima sistem sekolah yang memang memberi manfaat bagi dirinya. Dalam artian, pesantren
di Indonesia dapat menerima dari luar yang baik, tanpa harus kehilangan esensi dasarnya. Abdurrahman Wahid,
Mengurai., hal. 79 – 80.
76 Abdurrahman Wahid, Kumpulan., hal. 163.
77 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 60.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 101
Shidieqi, yang telah kehabisan daya pendorong untuk membangkitkan rasa kesejahteraan
(sense of belonging) dalam beragama. Dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, para santri
disuapi dengan kaidah-kaidah yang sudah tidak mampu mereka cernakan lagi. Penguasaan atas
kaidah-kaidah itu lalu menjadi masinal, tidak memperlihatkan watak berkembang lagi. Inilah
yang justeru harus dibuat rekonstruksinya, dengan tetap tidak meninggalkan pokok-pokok
ajaran keagamaan yang kita warisi selama ini. Tradisionalisme yang masak adalah jauh lebih
baik daripada sikap pseudo-modernisme yang dangkal.78
Dalam penilaian Gus Dur beberapa buku-buku (kitab) materi pendukung pembelajar-
an di pesantren sudah kurang relevan dan peka terhadap proses untuk menyejahterakan
masyarakat. Beberapa buku tersebut telah kehilangan watak berkembangnya, disebabkan
karena buku-buku yang diajarkan hanya berupa pengulangan materi dari tingkat dasar
sampai perguruan tinggi, karenanya buku-buku itu harus direkonstruksi. Hanya saja, yang
diperlukan dalam rekonstruksi bahan ajar di pesantren harus menekankan pada aspek-
aspek tradisional yang selama ini berjalan, agar tradisionalisme yang telah mengakar di
kalangan pesantren dapat menunjukkan elan vitalnya yang matang dan transformatif.
Dengan demikian, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk dinamisasi pendidik-
an Islam (pesantren) adalah pembaharuan substansi atau isi kurikulum pendidikan Islam,
pembaharuan managemen dan metodologi, pengaturan kelembagaan (kepemimpinan dan
diverifikasi lembaga), pembaharuan dan pengembangan fungsi pesantren dari sekedar
lembaga untuk tafaqquh fi al-dîn menjadi lembaga untuk transformasi masyarakat.
a. Arah Pengembangan Pendidikan Islam
Dinamisasi pendidikan Islam menuntut adanya berbagai perubahan mendasar
terhadap berbagai piranti pendidikan yang selama ini berjalan, salah satu hal yang tidak
kalah pentingnya adalah kesediaan Islam untuk melakukan dialog kritis dengan tradisi
Barat. Dialog ini dilakukan untuk mencari konsepsi-konsepsi yang tepat bagi proses
dinamisasi pendidikan Islam dengan tetap berpegang teguh pada tradisi dan budaya
sendiri, karena kalau budaya Barat ditelan mentah-mentah, akan berakibat pada
tercerabutnya umat Islam dari akar kesejarahannya yang dapat berakibat pada penguasaan
ilmu dan pemerolehan gelar akademik, namun kering dalam etika dan moralitas.
Akibat lebih lanjut dari kesalahan konseptual itu adalah apa yang terjadi di Indonesia,
yakni orientasi pendidikan hanya diperuntukkan bagi pendidikan formal untuk mencapai
gelar akademik belaka, sementara pendidikan non formal dan informal, seperti pesantren
dan konggregasi gereja luput dari bidikan pendidikan nasional dan secara formal tidak
diakui keilmuannya,79 meskipun alumni pendidikan non formal itu lebih menguasai ilmu
dari pada alumni pendidikan formal. Dalam hal ini, diperlukan arah pengembangan
pendidikan Islam di Indonesia dengan merumuskan idealisme pendidikan Islam,
pendekatan multi-disipliner dan pendidikan kritis-transformatif.
78 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 64.
79 Abdurrahman Wahid, Kumpulan., hal. 45-46; Abdurrahman Wahid, Membaca., hal. 49-51. Pendidikan
pesantren baru mendapat ‘angin segar’ dari Pemerintah setelah dikeluarkannya Peraturan pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Kebijakan ini pun, belum sepenuhnya berimbas pada
dataran praktis.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
102 | ISSN: 2356-2447-XIII
b. Idealisme Pendidikan Islam
Usaha-usaha dinamisasi pendidikan Islam dilakukan untuk membangun sistem
pendidikan Islam yang benar-benar dapat memberdayakan masyarakat, dimulai dari
merubah dan memberdayakan pendidik (guru, Kyai), santri (siswa) dan lulusan,
selanjutnya akan berpengaruh terhadap pemberdayaan masyarakat dan negara dalam arti
luas. Pemberdayaan yang berkesinambungan dan komprehensif inilah yang mengantarkan
peradaban Islam pada era kejayaannya.
Menurut Mujamil Qomar, dengan pemberdayaan tersebut masing-masing individu
memiliki kemampuan dan kemandirian yang kuat, kemampuan yang bisa diandalkan,
kemauan kuat untuk maju, dan kepedulian sosial yang tinggi.80 Akumulasi dari semua
elemen ini menjadi kekuatan besar yang dapat mengubah tatanan lama menjadi tatanan
baru yang lebih baik, yaitu suatu tatanan yang menjadi prasyarat lahirnya peradaban Islam
yang unggul dan kosmopolit. Pengembangan pendidikan Islam menuntut adanya
perencanaan secara terpadu dan menyeluruh. Idealisme pendidikan Islam bukan sekedar
modifikasi atau tambal sulam, namun memerlukan rekonstruksi, rekonseptualisasi dan
reorientasi semua elemen atau unsur yang ada.
c. Rekonseptualisasi Kurikulum
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia merupakan lembaga
pendidikan yang dinamis dan transformatif. Hanya saja transformasi yang dilakukan
pesantren tidak bersifat radikal dengan merubah dan meghapus sistematika dan struktur
pendidikannya, akan tetapi melalui proses yang lentur dengan tetap menjaga nilai-nilai
positif di dalamnya dengan diimbangi dengan mengambil visi baru yang memiliki nilai
manfaat baginya, sehingga lambat laun pesantren tidak hanya berorientasi pada
penguasaan pengetahuan agama secara tuntas dan mendalam, melainkan lebih luas lagi
cakupannya pada bidang pengetahuan umum.81
Pola dinamisasi pesantren terlihat dalam struktur kurikulumnya, yang dalam
pandangan Gus Dur masih memperlihatkan sebuah pola tetap yang dapat diringkas dalam:
(a) kurikulum ditujukan untuk “mencetak” ulama; (b) struktur dasar kurikulum merupakan
pengajaran pengetahuan agama dan bentuk bimbingan pribadi seorang Kyai kepada
santrinya; (c) secara keseluruhan, kurikulum berwatak lentur atau fleksibel, dalam artian
kurikulum belum terstruktur dengan baik karena santri berkesempatan untuk mempelajari
suatu ilmu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.82
Kurikulum demikian kurang terstruktur dan kurang jelas untuk pencapaian tujuan
yang hendak dicapai pesantren, selain tekanan pada pembinaan pribadi dengan sikap
hidup tertentu yang pada gilirannya para santri kurang mempersiapkan lapangan pekerjaan
yang akan digelutinya setamat dari pesantren. Padahal setiap kurikulum yang terstruktur
dalam suatu satuan pendidikan harus bersifat fleksibel dan elastis, dalam artian terbuka
peluang untuk memberikan bahan pelajaran yang penting dan perlu bagi peserta didik.
80 Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, cet. I,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), hal. 235.
81 MA. Sahal Mahfudh, Pesantren Mencari Makna, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hal. 40.
82 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 145.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 103
Fleksibelitas dan elastisitas kurikulum ini tentu saja harus disesuaikan dengan
perubahan sosial yang terjadi. Tujuan dari struktur kurikulum di pesantren (lembaga
pendidikan Islam) semestinya diarahkan pada upaya mendekatkan diri kepada Tuhan
(taqarrub ila Allâh), menumbuhkan rasa toleransi (tasâmûh), menjunjung tinggi keadilan
(‘adalah), kesanggupan berfikir sederhana dan seimbang (tawâzûn), menanamkan
kesadaran untuk menyeru kebajikan dan meninggalkan kemunkaran (amar ma’rûf-nahy
munkar), mengedepankan nilai-nilai luhur yang telah mentradisi dan membantu mencapai
kematangan pribadi santri (peserta didik) agar dapat beradaptasi dengan lingkungan.
Menurut Gus Dur, kini saatnya pesantren melakukan rekonseptualisasi kurikulum
dengan menambahkan materi-materi umum sesuai pembidangan. Hal ini dilakukan agar
pesantren dapat menghasilkan alumni yang handal dalam agama sekaligus dapat
memasuki atau menciptakan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan tuntutan modernitas.
...(meskipun pesantren memiliki watak mandiri), namun ketidakmampuan pesantren untuk
menyediakan tenaga terlatih untuk lapangan kerja yang membutuhkan spesialisasi
tampaknya harus disayangkan. Ketiadaan arah jelas bagi kurikulumya dalam hubungannya
dengan penyediaan angkatan kerja yang membutuhkan spesialisasi tampaknya harus
dicemaskan... Konsekuensi lagis dari anggapan ini adalah kehendak dan harapan agar
pesantren bersedia membuka diri bagi pendidikan yang lebih menjurus dalam hubungannya
dengan penyediaan angkatan kerja.
Untuk memeriksa kebenaran harapan di atas, kita haruslah melakukan tinjauan atas garis-
garis besar berbagai jenis kurikulum pesantren yang berkembang dewasa ini. Akan tetapi,
untuk melakukan tinjauan seperti itu terlebih dahulu haruslah diketahui nilai-nilai yang
menopang kurikulum pesantren secara keseluruhan, karena tanpa mengenal nilai-nilai itu,
kita tidak akan mampu memahami mengapa kurikulum pesantren justeru berkembang
seperti yang kita kenal sekarang, setelah itu, barulah dapat dilakukan tinjauan atas
beberapa gagasan dan percobaan untuk mengembangkan suatu kurikulum baru di
pesantren. Terakhir, dapatlah nantinya dibuat suatu proyeksi tentang arah perkembangan
kurikulum pesantren dalam hubungannya dengan penyediaan angkatan kerja di masa yang
akan datang.83
Gagasan Gus Dur tentang rekonseptualisasi kurikulum pesantren itu diutarakan pada
acara Lokakarya Output Pesantren dan Penyediaan Angkatan Kerja yang diselenggarakan
oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Pendidikan Agama, Badan
Penelitian dan Pengembangan Agama di Jakarta, 9-11 Januari 1978. Pada waktu artikel ini
ditulis memang pesantren belum mampu menyediakan lapangan pekerjaan dan tenaga
tehnis yang bekerja dalam spesialisasi tertentu di masyarakat. Nampaknya, pembukaan
sekolah-sekolah umum di lingkungan pesantren terpengaruh dengan gagasan ini, yakni
sebagai upaya pesantren untuk menjawab tantangan kebutuhan zaman.
Perkembangan berikutnya, pola dan sistem pendidikan pesantren mengalami proses
konvergensi, di mana beberapa pesantren membuka dan menyelenggarakan pendidikan
formal dengan menetapkan kurikulum nasional terintegrasi dalam sistem pendidikannya,
seperti Pesantren Al-Asya’ariyyah di Wonosobo, Pesantren Al-Iman di Purworejo,
Pesantren API Tegalrejo dan beberapa pesantren besar lainnya. Akan tetapi, secara umum,
dinamika perubahan dan dinamisasi yang terjadi di pesantren, tampaknya masih tergolong
83 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan, hal. 147.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
104 | ISSN: 2356-2447-XIII
lambat, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini disebabkan karena pandangan
“konservatif” Kyai menghasilkan sistem perubahan yang pelan dan melalui tahapan-
tahapan yang tidak mudah untuk diamati, terlebih dengan adanya hambatan utama yang
menyangkut masalah kepemimpinan, metodologi, disorientasi dan masalah pembiayaan.84
Beberapa problem yang dihadapi tersebut harus segera dicari jalan keluar (solusi)nya,
agar proses dinamisasi pendidikan pesantren dapat berjalan lancar dan cepat untuk
menyesuaikan dengan tuntutan dan dinamika zaman. Demikian pula rekonseptualisasi
kurikulum pesantren dilakukan dengan tetap melihat jati diri pesantren sebagai lembaga
tafaqquh fi al-dîn dan nilai-nilai yang menopang kurikulumnya secara keseluruhan,
setelah itu baru dilakukan terobosan-terobosan baru dan proyeksi pengembangan
kurikulum. Dengan demikian, maka pesantren (pendidikan Islam) mampu menjembatani
problem keontetikan dan kemodernan (musykîlât al-ashâlat wa al-hadâtsah) secara
harmonis dan berkesinambungan.
d. Rekonseptualisasi Metode Pengajaran
Unsur kedua yang perlu dilakukan untuk mencapai idealisme pendidikan Islam
adalah rekonseptualisasi dan rekonstruksi metode (al-tarîqah) pengajaran. Metode
pendidikan memang masih terpakau pada model konvensional yang menekankan
penggunaan metode bandongan, sorogan, serta ceramah yang cenderung monolog dan
doktrinatif; mementingkan memori dibandingkan analisis dan dialog serta lebih
mementingkan materi dari pada metodologi dan menghalangi kebebasan peserta didik
untuk mengutarakan pendapatnya.85
Selama ini para pendidik biasanya masih terbatas pada usaha penyampaian materi
saja (doktriner) dan tidak pernah berfikir bagaimana menemukan metode yang tepat dan
sesuai dengan tingkat penguasaan kompetensi peserta didik, padahal, dalam pesantren
dikenal sebuah adagium yang menyatakan bahwa metode lebih penting dari pada materi
(al-tharîqah ahammu min al-mâdah). Oleh sebab itu, dalam beberapa materi pelajaran,
metode-metode hafalan dan doktriner harus segera ditinggalkan. Karena selain sudah
tidak menarik, metode ini kurang memberdayakan akal (logika) sebagai basis mencari
pengetahuan. Peserta didik hanya didekte dan “membeo” menirukan apa yang
disampaikan pendidik dan tidak mampu menggunakan nalarnya untuk memecahkan suatu
persoalan yang dihadapi.
Di sisi lain, rekonseptualisasi metode pengajaran dilakukan dengan menyampaikan
materi yang berbasis pada kenyataan (kontekstual) dan lebih menekankan pada pemberian
contoh yang baik (uswatun hasanah) dari pendidik serta penekanan pada “kultur kritik”.86
84 Abdurrahman Wahid, Prisma., hal. 112-116. Gambaran lebih detail mengenai hal ini, lihat
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Memadu Modernitas untuk Kemajuan Bangsa, cet. I, (Yogyakarta: 2009, Nawesea Press).
85 Mahmud Arif, Pendidikan., hal. 210. Padahal minimalisasi pentingnya arti kebebasan bagi seseorang,
merupakan hal yang sangat tidak edukatif. Abdurrahman Wahid, “Kepentingan Umum: Siapa Penentunya?”, Detik, 22-28 Juni 1994. Tulisan ini dimuat pula dalam majalah Aula dengan modivikasi judul. Lihat,
Abdurrahman Wahid, “Sam Bambungan”, Aula, (No. 07/Tahun XVI/ Juli 1994), hal. 68.
86 Menurut Gus Dur, metode yang jauh dari realitas hanya akan memberikan gambaran hayali yang
kurang bersentuhan dengan kenyataan-kenyataan hidup yang ada di masyarakat, dan pengetahuan yang didapat sebatas pada pengetahuan teoritis yang tidak aplikatif. Sementara metode uswatun hasanah, lebih aplikatif dan
kontekstual. Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 95-96.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 105
Metode ini sudah sejak awal diperkenalkan oleh peradaban Islam, sebagaimana kritik
konstruktif al-Ghazâli (w. 1111) terhadap Ibn Sina (w. 1037) dalam Tahâfut al-Falâsifah
(Kerancauan Filsafat). Kemudian Ibn Rusyd (w. 1198) mengkritik al-Ghazali dalam
Tahâfut al-Tahâfut (Kerancuan [buku] Kerancuan Filsafat).87 Di sisi lain, pendidik
seharusnya bersifat penuh cinta, penyabar, penyayang, komunikatif dan demokratis
dengan memberikan perdebatan-perdebatan ilmiah.
...Kita sebaiknya (membiasakan) berdebat secara tulus dan jujur dengan cara mengedepankan
akal sehat dan hati yang jernih. Perbedaan adalah hal yang wajar dan manusiawi dalam
kehidupan ini. Jangan sikapi perbedaan dengan kekerasan... Mari kita wujudkan peradaban di
mana manusia saling menyintai, saling mengerti, dan saling menghidupi.88
Kutipan di atas memberikan penjelasan tentang arti pentingnya membangun metode
pendidikan yang humanis, yakni pendidikan yang menekankan pada perdebatan-
perdebatan ilmiah, penuh kesabaran, saling mencintai, memahani dan menyayangi antar
sesama manusia. Dalam konteks pendidikan, hubungan (metode) ini harus dibangun
antara pendidik dengan peserta didik; antar pendidik dan antar peserta didik. Hal ini
diperlukan karena tugas pendidik tidak hanya sebatas mentransfer ilmu, tetapi lebih dari
itu, yaitu mendidik yang sifatnya mengikuti suatu nilai di luar ilmu pengetahuan yang
bersifat bebas itu.89
Terkait metode pendidikan agama (Islam), Gus Dur mengingatkan agar metode yang
dipakai adalah metode komprehensif dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan
yang humanis. Kaitannya dengan hal ini, Gus Dur menyayangkan penggunaan metode
yang selama ini masih terjebak dalam klaim kebenaran tunggal dan hitam-putih.
Tak dapat diingkari lagi, pendekatan seperti itu terhadap agama tentu akan dipenuhi oleh
keruwetan hubungan antar manusia, yang sebenarnya justeru jauh dari hakekat agama. Salah
satu ciri utama agama adalah universalitas ajarannya, sehingga melampaui batas-batas antar
manusia. Jika ini tidak terjangkau oleh pemahaman agama yang disebutkan di atas, dengan
sendirinya peranan agama lalu diciutkan, yaitu hanya untuk membebaskan sekelompok
manusia saja, bukannya membebaskan keseluruhan umat manusia dari kungkungan
kemanusiaan yang penuh keterbatasan.90
Penyampaian materi pelajaran kepada peserta didik dengan pendekatan (metode)
hitam-putih, justeru akan menghilangkan dan menciutkan peran agama sebagai ‘alat
pembebasan’ seluruh manusia, dan hanya akan menghasilkan peserta didik yang terkotak
dalam agama atau idiologi sendiri. Padahal inti dari ajaran agama adalah universalitas
ajarannya sebagai rahmat dan pembebas yang mencakup seluruh umat manusia dan alam,
87 Zuhairi Misrawi, Madinah: Kota Suci, Piagam Madinah dan Teladan Muhammad SAW, cet. I, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009), hal. 50.
88 Dinukil dalam Maman Imanulhaq Faqieh, Fatwa dan Canda Gus Dur, cet. I, (Jakarta: Penerbit Buku
Kompas, 2010), hal. 115.
89 Penanaman nilai harus dibentuk oleh pendidik (guru) karena aktivitas mendidik pendidikan, bukan
sekedar mengalihkan informasi atau pengetahuan, melainkan memberikan pengetahuan sekaligus mengimplikasikan nilai-nilai (baik-buruk) sekaligus menggunakan cara/jalan yang normatif baik. Noeng
Muhadjir, Ilmu Pendidikan Islam dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial Kretatif, (Yogyakarta:
Rake Sarasin, 2000), hal. 20.
90 Abdurrahman Wahid, Sekedar Mendahului: Bunga Rampai Kata Pengantar, cet. I, (Bandung: Nuansa,
2011), hal. 77; Abdurrahman Wahid, “Kata Pengantar”, dalam Y.B. Mangun Wijaya, Menumbuhkan Sikap
Religius Anak-Anak, (Jakarta: Gramedia, 1986), hal. vi.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
106 | ISSN: 2356-2447-XIII
sebagaimana termaktub dalam QS. al-Anbiyâ’ [21]: 107, “wa mâ arsalnâka illa rahmatan
lil ‘âlamîn, Dan kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam”.
Dalam pandangan Gus Dur, perpaduan berbagai varian metode pendidikan akan
menjadikannya semakin inklusif, emansipatif dan eksploratif (baik yang bernuansa
agama, maupun kebudayaan) terhadap proses akulturasi dan asimilasi berbagai tradisi
budaya yang telah menjadi ‘ruh’ dakwah Islam. Perpaduan-perpaduan tersebut diperlukan
dalam rangka untuk mewujudkan peradaban Islam yang dinamis, maju dan inklusif.
e. Rekonstruksi Orientasi atau Tujuan Belajar
Pendidikan diarahkan sebagai proses penanaman nilai-nilai dan perluasan wawasan
serta kemampuan manusia untuk benar-benar tercerahkan. Dengan demikian, pendidikan
Islam harus dapat mengembangkan fitrah manusia sebagai makhluk yang memiliki
moralitas terhadap Allah, terhadap dirinya, dan alam keseluruhan.91 Pesantren, sebagai
salah satu lembaga pendidikan Islam, telah memerankan peran tersebut dengan baik.
Dengan kata lain, semua proses kegiatan yang dilakukan pesantren merupakan
implementasi dari ajaran luhur agama untuk mewujudkan keseimbangan hubungan
manusia dengan Tuhan (habl min Allâh) dan hubungan sesama manusia (habl min al-nâs).
Hanya saja, dalam amatan Gus Dur, pesantren masih belum semuanya berada dalam
keseimbangan antara penguatan skill dan pematangan moralitas. Beberapa pesantren
masih terjebak pada orientasi ‘agama’ an sich sehingga belum dapat memerankan diri
untuk menjawab tantangan-tantangan modernitas dan kebutuhan globalisasi yang terus
berkembang dan berubah. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian melakukan kritik ke
dalam pesantren sebagai konsekuensi logis bagi proses modernisasi. Dalam amatan
Syaiful Arif, Gus Dur mengkritik sikap tertutup pesantren terhadap dinamika
perkembangan masyarakat dan arus modernitas. Pesantren harus berbenah diri dengan
melakukan perumusan ulang tujuan pendidikannya menjadi tidak sebatas menyiapkan
manusia yang bermoral dan berilmu tinggi, namun lebih dari itu, peserta didik (santri)
juga harus ditekankan untuk mewujudkan keseimbangan antara kesejahteraan individu
dengan kesejahteraan kolektif serta sebagai agen perubahan untuk mengusahakan
terwujudnya transformasi masyarakat.92 Tujuan demikian, menurut Gus Dur masih langka
dan terbatas di sementara pesantren.
Pendidikan (pesantren; Islam –pen) masih ditujukan pada pengembangan pengetahuan dan
kecakapan klasik yang umumnya bersifat teoretis belaka, sedangkan orientasi pada
pendayagunaan anak didik bagi perbaikan taraf hidup di pedesaan kebanyakan masih berupa
percobaan dalam ukuran terbatas belaka.93
Menjadikan pesantren sebagai lembaga pemberdayaan masyarakat saat ini memang
kurang mendapat perhatian mendalam dari dalam kalangan pesantren sendiri. Hal ini,
disebabkan karena pendidikan pesantren masih berorientasi pada pengembangan ilmu
agama secara teoretis, sehingga orientasi pada penyiapan santri (peserta didik) yang dapat
91 Abd A’la, Pembaharuan Pesantren, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hal. 11.
92 Wawancara Syaiful Arif, 8 April 2012. Lihat pula Abdurrahman Wahid, “Paradigma Pengembangan
Masyarakat Melalui Pesantren”, Jurnal Pesantren, (No. 3/vol.V/1988), hal. 3-7.
93 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 100.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 107
menjadi pelopor dalam upaya pemberdayaan masyarakat masih minim (untuk tidak
mengatakan belum ada sama sekali).
Langkah yang perlu diambil antara lain, menurut Gus Dur, dengan mengadakan
pelatihan-pelatihan keterampilan dan membuat lembaga ‘sekolah umum’ di lingkungan
pesantren. Hanya saja, menurut Gus Dur, diperlukan adanya pencegahan terhadap
kemungkinan munculnya intelektualisme yang dangkal yang disebabkan oleh elitisasi
watak pendidikan. Dengan demikian, diharapkan dapat dicegah arus semakin deras untuk
menciptakan intelektualisme dangkal yang bersifat verbalistis di pesantren, yang
merupakan akibat utama elitisasi watak pendidikan itu.94
Penjelasan ini memberikan merupakan upaya preventif terhadap beberapa pesantren
yang melakukan pembaharuan namun terhenti dalam tataran teknis, yang terkesan hanya
menempatkan santri sebagai objek ‘peradaban teknis’ dari pembangunan, dalam artian
kesadaran nilai dan sistem keagamaan dan transformasi sosialnya belum bisa menjiwai
pola pendidikan non-keagamaan. Hal ini penting sekali disadari bersama, karena secara
sistematik, pendidikan tidak dapat dipahami secara parsial yang dapat mengakibatkan
permasalahan baru bagi umat Islam. Demikian kemungkinan-kemungkinan yang akan
terjadi, jika pendidikan Islam dan umum dipahami secara parsial. Karenanya pendidikan
Islam harus dipahami secara komprehensif dan integratif.
f. Pendekatan Multidisipliner Pendidikan Islam
Pendidikan Islam sebagai proses pemberdayaan dan transformasi masyarakat muslim
memiliki peran yang sangat penting dalam membanguan sebuah peradaban. Oleh
karenanya, pendidikan Islam tidak boleh terjebak dalam eksklusifisme yang sempit.
Pendidikan Islam harus bisa membuka diri (inklusif) dan melakukan terobosan-terobosan
bagi problematika umat manusia dengan pendekatan multidisipliner. Dengan kata lain,
untuk memajukan pendidikan Islam tidak harus hanya berlandas pada ajaran agama
semata, namun pendidikan Islam harus berdialog dengan disiplin keilmuan lain untuk
kepentingan pengembangan pendidikan Islam dan juga kemajuan peradaban manusia.
Para ulama dan cendekiawan Muslim abad ke-V Masehi, telah mengakses dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dengan varian disiplin dan lintas sains. Hal itu
merupakan buah dari utuhnya memahami paradigma keilmuan. Mereka mampu menyerap
dan menggali hikmah dari setiap penciptaan dan kejadian sekecil apapun.95 Artinya, untuk
menjadi maju, pendidikan Islam harus dikembangkan secara dinamis dan
berkesinambungan dengan melakukan dialog dengan peradaban lain secara kritis,
proporsional dan kontekstual.
Dalam hubungan ini, terdapat dua pendekatan yang dapat dikemukakan, yaitu
tertutup (eksklusif) dan terbuka (inklusif).96 Pendekatan pertama mengasumsikan
pendidikan didekati dan dipandang sebagai ‘rumah tangga’ sendiri. Sedang pendekatan
94 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan., hal. 109
95 Abdurrahmansyah, “Integrasi Paradigma Rusydian dan Ghazalian dalam Pengembangan Pendidikan
Islam, dalam M. Sirozi, dkk, Arah Baru Studi Islam di Indonesia: Teori dan Metodologi, cet. I, (Yogyakarta:
Arruz Media, 2008), hal. 148.
96 Imam Barnadib, Beberapa Aspek Substansial Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Andi Offset, 1996), hal.
7.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
108 | ISSN: 2356-2447-XIII
kedua melihat pendidikan dan segala problemnya sebagai hal-ihwal yang tidak semata
merupakan urusan rumah tangga sendiri, melainkan dipandang sebagai hal-hal yang
kontekstual dan terbuka terhadap beberapa bidang atau lingkungan yang relevan,
mendukung dan sesuai dengan perkembangan tuntutan zaman. Jika pendekatan ini yang
dijadikan pedoman, maka pendidikan Islam akan tetap eksis dan selalu up to date.
Selain itu, pendidikan Islam harus melakukan pengembangan dengan melakukan
pendekatan multidisipliner, dalam artian untuk mengembangkan dan memajukan
pendidikan Islam diperlukan memanfaatkan bantuan ilmu-ilmu lain, seperti sejarah,
psikologi, biologi, kimia, sosiologi, antropologi, filsafat, tasawuf, teologi dan lain
sebagainya. Melalui pendekatan multidisiplener ini, beberapa ahli dari berbagai disiplin
ilmu bekerjasama mengadakan suatu penelitian dan pengembangan keilmuan yang
hasilnya dapat diintegrasikan sebagai suatu proyek besar untuk kemajuan Islam.
Bersatunya berbagai ahli tersebut, menurut Noeng Muhajir,97 akan lebih mengembangkan
kesatuan fungsional unit-unit disiplin ilmu. Pendekatan multidisipliner berbeda dengan
pendekatan interdisipliner. Titik tolak pendekatan yang pertama adalah disiplin ilmu
tertentu, dalam hal ini pendidikan Islam. Hasil studi disiplin lain dimanfaatkan oleh
disiplin tertentu tersebut.
Produk studi pendekatan multidisipliner merupakan usaha bersama dari berbagai
disiplin ilmu, sehingga hasilnya merupakan produk interdisipliner. Dalam bahasa lain,
dapatlah disimpulkan bahwa khasanah pemikiran pendidikan Islam tidaklah monolitik
dan uniform, melainkan variatif dan pulral karena dihasilkan oleh pendekatan
multidisipliner.98 Produk kerja seorang guru agama, misalnya, merupakan produk
multisipliner beberapa kalangan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan bila
memenuhi kriteria: validitas, relevansi, integritas dan operasionalisasi. Jika tidak
memenuhi kriteria tersebut, maka harus ditinggalkan.
Dalam upaya memajukan pendidikan dan peradaban Islam, para cendekiawan
muslim telah mengkonstruk pemikirannya dengan memanfaatkan pendekatan
multidisipliner. Demikian pula Gus Dur, dalam beberapa tulisannya mengenai pendidikan
Islam, sering menggunakan pendekatan (memakai analisis) ekonomi, sosiologi,
antropologi, sejarah dan politik. Buku Kyai Nyentrik Membela Pemerintah,misalnya,
berisikan tentang tradisi pesantren dan pendidikan Islam dalam menjawab tantangan
modernitas yang didekati dari sudut pandang antropologi-sosiologi. Sementara dalam
buku Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Gus Dur lebih banyak menyoroti
pendidikan pesantren dari pendekatan sosiologi, sastra, geografi, ekonomi, leadership,
sosial-budaya dan sebagainya. Sementara tulisan-tulisan tentang pendidikan Islam yang
terdapat dalam buku Islamku Islam Anda Islam Kita dan Islam Kosmopolitan sangat
nampak pendekatan sejarah, kritis dan humanis berbasis ilmu-ilmu sosial. Demikian pula,
beberapa tulisan lainnya.
97 Noeng Muhajir, Kepemimpinan Adopsi: Inovasi untuk Pembangunan Masyarakat, (Yogyakarta: Rake
Press, 1987), hal. 13.
98 Mahmud Arif, “Kata Pengantar Penerjemah”, dalam Muhammad Jawwad Ridlo, Tiga Aliran Utama
Teori Pendidikan Islam: Perspektif Sosiologis-Filosofis, terj. Mahmud Arif, cet. I, (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2002), hal. x.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 109
Dengan menggunakan telaah multidisipliner, Gus Dur mencoba mendialogkan antara
pesantren (pendidikan Islam) dengan piranti berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehingga
dinamisasi dan pengembangan pendidikan Islam dapat terwujud dan tampil dalam
percaturan keilmuan dalam skala yang lebih luas. Melalui pendekatan multidisipliner yang
digunakan, maka pada gilirannya akan menjadikan pendidikan Islam semakin eksis dan
relevan dengan konteks perkembangan zaman. Dialog dan persentuhan langsung
pesantren (pendidikan Islam) dengan disiplin-disiplin lainnya, akan melahirkan peradaban
dan kemajuan bagi umat Islam secara keseluruhan.
g. Pendidikan Islam Kritis – Transformatif
Karakter utama yang melekat dalam kehidupan pesantren adalah cita-cita sosialnya
untuk melakukan transformasi dan mengubah kondisi masyarakat menuju tatanan yang
lebih baik. Cita-cita yang dibungkus lewat pendidikan (tarbiyah) dan sosialisasi nilai-nilai
Islam (dakwâh) itu terinspirasi dari dakwah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw., dan
para Walisongo. Para pemimpin Islam di masa lalu telah menunjukkan watak Islam yang
transformatif yang ditunjukkan dalam landasan etis gerakan dan elan pembebasannya.
Islam merupakan agama pembebas (a liberating religion) dari struktur yang tidak adil dan
menindas. Nabi Muhammad Saw., telah memulai gerakan pembebasnya di Makah dan
diteruskan oleh para Walisongo di Nusantara. Pandangan hidup demikian, juga dipegang
erat oleh para Kyai yang dengan sengaja melakukan “babat alas” untuk mendirikan
pesantren di daerah “hitam” dan “rawan” di pinggiran kota.
Kondisi demikian, menurut Gus Dur, merupakan bukti nyata dari kecenderungan
pesantren untuk melakukan perlawanan kultural dan menggunakannya sebagai alat
transformasi kultural yang berlangsung secara perlahan tetapi menyeluruh.99 Term
transformasi masyarakat yang digerakkan Gus Dur merupakan wujud dari ekses kultural
pesantren yang berfungsi sebagai korektor moral keagamaan yang berorientasi pada upaya
pembebasan masyarakat. Lembaga pesantren (pendidikan Islam) sejatinya merupakan
lembaga yang fleksibel dan dinamis yang berkembang sesuai kehendak waktu dan tempat.
Dalam konteks kehidupan modern, pendidikan Islam ditantang untuk pro-aktif tidak saja
dalam melakukan penggalian nilai-nilai ajaran agama Islam, mentransfer dan
menginternalisasikannya, akan tetapi ditantang pula untuk menjadikan dirinya sebagai
center of exellent (pusat keunggulan) dalam melakukan kajian-kajian keislaman dan
kemasyarakatan serta transformasi masyarakat.
Selain itu, sebagai agent of social change (agen perubahan masyarakat), pendidikan
Islam dituntut untuk dapat melakukan pembaharuan (reformasi), rekonstruksi dan
perubahan ke arah perbaikan (dinamisasi). Hanya saja, sistem dan pola pendidikan Islam
yang berjalan di Indonesia saat ini telah kehilangan ruh transformatifnya, setidaknya, hal
ini bisa ditunjukkan lewat pola pendidikan tradisional yang masih dipraktekkan hingga
99 Dikutip dalam A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam., hal. 33-34. Untuk menjadikan pesantren
(pendidikan Islam) selalu dinamis dan kontekstual dapat dikembangkan dengan meminjam paradigma Peter
Senge, yaitu: i) keahlian pribadi (personal mastery); ii) model mental (mental model); iii) visi bersama (shared
vision); iv) pembelajaran tim (team lerning), dan; v) berpikir untuk sebuah sistem (system thinking). Selengkapnya, Muhaimin, dkk, Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Pengembangan
Sekolah/Madrasah, cet. III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hal. 90.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
110 | ISSN: 2356-2447-XIII
saat ini. Mahmud Arif mengutip pendapat Parvez Hoodbhoy membandingkan pola
pendidikan tradisional dan pendidikan modern dalam tabel berikut:100
Pendidikan Tradisional Pendidikan Modern
1. Orientasi akhirat; orientasi ke masa silam
2. Tujuan untuk sosialisasi ke dalam Islam
3. Kurikulum tidak berubah sejak abad
pertengahan
4. Pengetahuan diwahyukan dan tidak dapat
diubah
5. Pengetahuan diperoleh karena perintah
Tuhan
6. Mempertanyakan persepsi dan asumsi
tidak dibenarkan
7. Cara mengajar otoriter-indoktrinatif (tidak
melibatkan partisipasi murid)
8. Menghafal (memorazing) di luar kepala
sangat dipentingkan
9. Pola pikir murid adalah pasif; selalu
menerima, dan
10. Pendidikan tidak terdiferensiasi
1. Orientasi modern; orientasi ke
masa depan
2. Tujuan untuk perkembangan
individualitas
3. Kurikulum mengikuti perubahan
mata pelajaran
4. Pengetahuan diperoleh melalui
proses empiris dan deduktif
5. Pengetahuan diperlukan sebagai
alat pemecahan masalah
6. Mempertanyakan persepsi dan
asumsi dibenarkan
7. Cara mengajar melibatkan
partisipasi murid
8. Internalisasi konsep kunci sangat
dipentingkan
9. Pola pikir murid adalah aktif-
positivistik (kritis), dan
10. Pendidikan dapat menjadi sangat
terspesialisasi
Di bagian lain, semestinya pendidikan Islam sekaligus dapat memerankan tiga
fungsi, yaitu (i) fungsi preservasi dinamik. Pendidikan Islam diharapkan tidak berorientasi
pada usaha mempertahankan warisan budaya (konservatif) dalam artian statis, namun
berorientasi pada usaha melestarikan unsur-unsur esensial dari budaya (konservatif; al-
muhâfazah ‘ala al-qadîm al-shâlih) dengan membuka diri terhadap unsur-unsur positif
dari luar (progresif; al-akhdz bi al-jadîd al-ashlâh) dengan menyadari kebudayaan sebagai
sebuah proses yang dinamis, bukan produk yang statis; (ii) fungsi partisipatoris, dalam
artian pendidikan Islam memiliki tanggungjawab terhadap masa kini (al-hadâtsah). Proses
pendidikan meramu nilai-nilai budaya lama dengan nilai-nilai kontemporer dalam rangka
pembentukan kepribadian dan karakter peserta didik untuk menghadapi masa kini dan
yang akan datang, dan; (iii) fungsi preparatoris-antisipatoris.101 Pendidikan Islam dituntut
tanggung jawab untuk mempersiapkan generasi muda agar dapat menyelesaikan tugasnya
dalam masyarakat masa depan (syubbân al-yaum rijâl al-ghad).
Pendidikan Islam terkait erat dengan dimensi praktis-sosial yang dituntut untuk dapat
melakukan transformasi masyarakat dan selalu responsif terhadap segala problem yang
100 Mahmud Arif, Pendidikan Islam Transformatif, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2008), hal. 229
101 Mahmud Arif, Pendidikan., hal. 229-230.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 111
dihadapinya. Dalam pandangan Gus Dur, untuk melakukan transformasi masyarakat –baik
yang dilakukan secara gradual maupun secara radikal-revolusioner– setidaknya diperlukan
tiga dimensi. Yaitu, pertama, memfungsikan dan meneguhkan peran manusia sebagai
makhluk termulia yang diciptakan-Nya baik secara individu maupun sosial; kedua,
melakukan perombakan struktur yang timpang, menghisap, menindas dan tidak adil, yang
menjadi sumber kemiskinan dan kebodohan, dan; ketiga, penegakan demokrasi yang
murni, menegakkan keadilan di segala bidang dan menolak ketidakadilan dalam segala
bentuknya.102 Secara idiologis, kerangka ini meniscayakan pendidikan Islam untuk dapat
mengemban suatu misi transformatif dan pemberdayaan.
Transformasi masyarakat bertujuan untuk membentuk masyarakat terbuka yang
bebas, jujur dan adil yang kesemuanya diletakkan dalam kerangka untuk memecahkan
masalah kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan. Pada titik ini, Gus Dur memberikan
uraian mengenai komponen yang menopang fungsi transformatif dari pesantren, yaitu tata
nilai (value system), sistem keilmuan dan pendampingan Kyai.103 Ketiga komponen ini
kemudian diimplementasikan ke dalam model kesalehan sosial, yakni penekanan amal
shalih untuk menolong orang-orang yang lemah dan membebaskan mereka dari
ketidakadilan.Tulisnya,
(Islam) tidak lagi cukup menjadi ekspresi keimanan sebagai Muslim untuk menegakkan ajaran
formal Islam belaka, tetapi harus menjadi bagian dari upaya kemanusiaan umum untuk
membebaskan rakyat-rakyat yang tertindas dari belenggu kenistaan, kehinaan dan kepapaan
yang menurunkan derajatnya sebagai mahluk yang mulia. Untuk itu dituntut gerakan-gerakan
perlawanan kultural kaum Muslimin untuk terlebih dahulu mampu hidup bersama dengan
manusia-manusia dari lain agama, idiologi politik dan pandangan budaya, yang memiliki
kesamaan pandangan dasar tentang hakekat tempat manusia dalam kehidupan dan cara-cara
untuk mewujudkannya.104
Pemikiran Gus Dur tentang Islam selalu berorientasi pada pembebasan dan kemajuan
peradaban. Dalam landasan teologis, peran Islam diarahkan guna menciptakan tatanan
sosial yang mampu menyeimbangkan kepentingan individu dan sosial dengan
mengejawantahkan nilai-nilai universal Islam yang merujuk pada persamaan (musâwah),
keadilan (‘adâlah), toleransi (tasâmuh) dan permusyawaratan (syurâ). Perwujudan prinsip
ini merupakan bentuk dari gerakan pembebasan yang telah menyatu dalam sistem
pandangan hidup pesantren yang didukung oleh beberapa faktor, yaitu:
1. pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan Islam secara
komprehensif (kâffah);
2. pesantren mempunyai tradisi mengambil jalan tengah (tawasuth) jika ada
pertentangan sikap dan pemikiran; (iii) pesantren telah menyatu dengan
masyarakat;
3. pesantren adalah lembaga pendidikan yang dekat dengan rakyat dengan watak
egaliterianisme yang kental, dan;
102 Abdurrahman Wahid, Muslim., hal. 80-81.
103 Syaiful Arif, Wawancara 8 April 2012.
104 Abdurrahman Wahid, Muslim., hal. 111.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
112 | ISSN: 2356-2447-XIII
4. pendirian pesantren selalu memiliki misi transformatif,105 yaitu mengubah
struktur dan kultur masyarakat menuju kondisi yang lebih baik. Dengan fungsi
dan kedudukan khasnya, pesantren diharapkan menjadi alternatif pembangunan
yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (people centered development) dan
sekaligus sebagai pusat pemberdayaan yang berorientasi pada nilai-nilai luhur.
Ide tentang “transformasi kultural” ini nampaknya dipengaruhi oleh teori
pembebasan Katolik sebagai implikasi bahwa agama merupakan pelopor transformasi
sosial. Menurut Gus Dur, Islam memiliki watak inklusif sebagai pembebas yang visioner
dan radikal. Agama (baca: relegiusitas) merupakan “keruhanian universal yang bersifat
inklusif, yakni komitmen pada keadilan semesta terutama bagi mereka yang lemah dan
terpinggirkan, siapa pun mereka, dan apa pun agama dan keyakinan mereka”.106
Pemikiran dan sikap demikian, merupakan cerminan dari sifat transformatif ajaran Islam
yang bersikap terbuka terhadap kemanusiaan tanpa memandang asal-usulnya.
Watak pembebas dari agama (Islam) diwujudkan dengan melakukan perombakan
terhadap segala tatanan yang timpang dan tidak adil dengan menempatkan pendidikan
dalam paradigma kritis-transformatif,107 yakni pendidikan yang membuat peserta didik
mampu: (i) membicarakan masalah-masalah lingkungan dan turun tangan langsung; (ii)
memperingatkan manusia dari bahaya-bahaya zaman dan memberikan kekuatan untuk
menghadapinya, bukan pendidikan yang menjadikan akal menyerah patuh pada putusan-
putusan orang lain.108 Sistem pendidikan ini menolong peserta didik untuk meningkatkan
sikap kritis terhadap realitas dan dapat merubahnya ke arah yang lebih baik.
Dalam diskursus pendidikan dikenal adanya dua aliran besar. Pertama, golongan
yang memandang pendidikan sebagai reproduksi. Golongan ini sangat pesimis untuk
mengandalkan pendidikan memainkan peran perubahan dan transformasi sosial. Mereka
menganggap bahwa pendidikan hanya berperan untuk mentransfer ilmu pengetahuan yang
sudah ada dengan sedikit penyesuaian-penyesuaian. Dalam arti lain, pendidikan hanya
sebagai wahana pewarisan nilai, ilmu pengetahuan dan struktur atau sistem dalam
masyarakat yang dilakukan dengan pengulangan-pengulangan. Kedua, golongan yang
menganut paham produksi. Menurut faham ini, pendidikan dapat menciptakan ruang bagi
tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Artinya, sekecil apapun
105 Muhaimin Iskandar, Melanjutkan Pemikiran dan Perjuangan Gus Dur, cet. I, (Yogyakarta: LKiS,
2010), hal. 36-40.
106 Abdurrahman Wahid, “Kasus Penafsiran Ulang yang Tuntas”, Kata Pengantar dalam Masdar F.
Mas’udi, Pajak Itu Zakat, (Bandung: Mizan, 2005), hal. v.
107 Paradigma digunakan untuk banyak arti, seperti: matriks disipliner, model atau pola pikir dan
pandangan kaum ilmuwan. Thomas Kuhn, Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, (Bandung: Remaja Karya, 1989), hal. 109. Menurut John Arthur, paradigma adalah seperangkat peraturan dan ketentuan (tertulis maupun
tidak) yang berorientasi pada: (i) penciptaan atau penentuan batas-batas, dan (ii) penjelasan tentang cara untuk berprilaku dalam batas-batas tertentu untuk mencapai suatu hasil. Dikutip dalam Nurul Mubin, Poros Baru., hal.
70. Adam Smith mengatakan paradigma sebagai asumsi bersama yang apabila telah berada di dalamnya, maka
akan sulit untuk membayangkan paradigma di luarnya. Andreas Harefa, Menjadi Manusia Pembelajar, cet. V, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2001), hal. 84. Dalam suatu paradigma terdapat asumsi-asumsi metafisis, ontologis
dan epistemologis yang umumnya diterima begitu saja (taken for granted) oleh suatu komunitas sejauh
paradigma itu dianggap dapat memberikan suatu kerangka teori yang menjelaskan fenomena-fenomena
eksperimental. A. F. Chalmers, Apa Itu yang Dinamakan Ilmu?, (Jakarta: Hasta Mitra, 1983), hal. 95-98.
108 Agustinus Mintara, “Sekolah atau Penjara”, Majalah Basis, edisi Paulo Freire, (No. 01-02 Tahun 50,
Januari – Februari, 2001).
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 113
peranannya, bila dilakukan melalui proses pembebasan dan dalam kerangka membangkit-
kan kesadaran, pendidikan selalu berperan terhadap pembebasan dan pemberdayaan.109
Pandangan inilah yang menjadi dasar bagi pendidikan kritis dan menjadi salah satu
garapan Gus Dur, yakni menumbuhkan daya kritis mengkritisi ketimpangan, penindasan
dan dominasi yang dilakukan oleh sebagain kalangan terhadap yang lainnya. Ia menulis,
Daya kritis adalah kemampuan untuk meninjau persoalan dengan lengkap, jernih, dan tajam.
Untuk memisahkan antara mana yang benar dan mana yang tidak, mana kulit mana isi, antara
penampilan dan isi. Mana yang lurus dan mana yang bengkok. Memisahkan mana yang perlu
dan mana yang sepele, membedakan yang bermanfaat dan yang mudarat.
Daya kritis adalah memeriksa, menyelidiki, menguji, mengungkapkan yang terselubung. Dan
tidak pasrah atau terserah. Kritikan bukan berarti cuma membuat tinjauan negatif dan
melontarkan kecaman saja. Itu adalah pandangan yang sempit mengenai daya kritis. Maksud
yang sebenarnya dari daya kritis adalah membuka dan menguraikan masalah, sehingga jelas
beda yang semu dengan yang asli…110
Daya kritis dalam pemikiran Gus Dur tidak hanya melakukan tinjauan terhadap hal-
hal yang dianggap negatif atau salah, melainkan upaya mengurai masalah secara jernih
dan tajam untuk membedakan mana yang salah dan mana yang benar diikuti dengan
penawaran konsep yang jelas dan lebih masuk akal. Daya kritis demikian, dilakukan untuk
merubah dominasi dan struktur yang timpang agar terbangun keadilan dan kebebasan.
Menurut Gus Dur, konsepsi pendidikan di Indonesia merupakan konsepsi pendidikan
yang salah karena masih menekankan pada pemerolehan ijazah formal, bukan pada
substansinya untuk memanusiakan manusia. Akibatnya, pendidikan di Indonesia masih
jauh dari cita-cita pendidikan sebagai pembebas bagi masyarakat dari cengkeraman
kebodohan, keterbelakangan dan penindasan serta menjauhkan masyarakat dari daya
kritisnya.111 Padahal dalam perspektif pendidikan kritis, pendidikan berperan untuk
melakukan refleksi kritis terhadap idiologi dominan (the dominant idiologi) ke arah
transformasi sosial. Tugas pendidikan adalah menciptakan ruang agar terbangun sikap
kritis terhadap struktur dan sistem ketidakadilan, melakukan advokasi dan dekonstruksi
menuju sistem sosial yang adil. Dengan demikian, tugas pendidikan kritis adalah proyeksi
untuk kembali memanusiakan manusia (humanisasi),112 yang berorientasi pada
pembebasan (taharrûr), tanpa terbatasi oleh sekat pemisah apapun.
…(merupakan suatu) keharusan bagi umat Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan
yang progresif, dengan dimensi pembebasan (taharrûr, liberation) di dalamnya. Watak
pembebasan dari wawasan progresif itu bertumpu pada beberapa unsur penopang. Di satu
109 M. Badi’ Zamanil Masnur, dkk, Pendidikan Kritis-Transformatif: Panduan Pendidikan dan
Kaderisasi, cet. I, (Jakarta: PB PMII, 2001), hal. 88-89.
110 Dikutip dalam Arif Mudatsir Mandan, “Iftitah: Gus Dur Sang Intelektual Sejati”, dalam A. Effendy
Choiri (Ed.), Sejuta Gelar untuk Gus Dur, cet. I, (Jakarta: Pensil-324 dan PB IKA-PMII, 2010, hal. 10.
111 Disampaikan Gus Dur dalam acara peringatan tiga tahun berdirinya The Wahid Institute, 8 September
2007. Lihat, Mahfud, MD, Gus Dur: Islam, Politik dan Kebangsaan, cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 205
– 208.
112 Semangat pembebas merupakan teologi pembebas (‘aqîdah taharrûr) yang bertujuan untuk
membebaskan manusia dari cengkeraman istighlâl (esploitasi) tanpa pandang bulu siapa pelakunya.
Abdurrahman Wahid, Mengurai., hal. 310.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
114 | ISSN: 2356-2447-XIII
pihak, gagasan akan keadilan sosial yang harus ditegakkan, kalau manusia ingin benar-benar
berfungsi sebagai pelaksana fungsi ke-Tuhan-an (Khâlîfah Allâh) di muka bumi.113
Pendidikan sebagai alat pembebas harus dapat menampilkan watak pembebasannya
untuk melaksanakan fungsi manusia sebagai khalîfah Allâh di muka bumi yang dapat
dilakukan dengan menjunjung tinggi keadilan dan kesamaan derajad di muka undang-
undang. Sementara pendidikan transformatif merupakan pola pemikiran yang
menempatkan dan berorientasi pada upaya melakukan perubahan sosial. Pendidikan
transformatif mengandaikan terciptanya tatanan sosial yang lebih maju, beradab dan
berkeadilan. Asumsi dasarnya berangkat dari fakta-fakta sosial bahwa keadaan
masyarakat yang mengalami ketertindasan dan pembodohan (baik secara struktural
maupun kultural), harus terbebaskan dan lebih berdaulat.
Kebebasan merupakan fitrah manusia yang memiliki kemauan. Menurut Paulo Freire
(w. 1997), fitrah kebebasan selalu diinjak-injak, namun semakin diinjak, ia justeru
semakin diteguhkan. Kebebasan manusia dikerdilkan lewat ketidakadilan, eksploitasi,
penindasan dan kekerasan yang dilakukan oleh para penindas. Ia diteguhkan kembali
sebagai dambaan kaum tertindas akan kebebasan dan keadilan, serta dikuatkan kembali
lewat perjuangan kaum tertindas itu untuk memulihkan kembali kemanusiaan mereka
yang telah hilang,114 karena, meskipun kebebasan dibatasi oleh kebebasan lainnya, namun
kebebasan merupakan ‘harta’ yang sangat berharga bagi manusia (la syaia atśmanu min
al-hurriyah wa al-hurriyah mahjûb bi al-hurriyah al-ukhrâ). Oleh sebab itu, kebebasan
manusia merupakan hal yang sangat berarti bagi terwujudnya tatanan masyarakat yang
lebih adil dan beradab.
Paradigma pendidikan Islam kritis-transformatif dimaksudkan sebagai cara pandang
untuk menjadikan pendidikan sebagai ‘kawah candra dimuka’ bagi upaya untuk
mengatasi problem-problem kehidupan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Cara yang
paling tepat adalah dengan menjadikan pendidikan tidak hanya sebagai upaya
pencerdasan, namun mengkonstruk tatanan sosial agar lebih baik dengan menanamkan
kesadaran pada diri peserta didik agar dapat memahami ketimpangan dan struktur sosial
yang menindas, sehingga ia dapat melakukan pemihakan terhadap mereka yang tertindas
dan lemah (mustad’afîn).
Paradigma pendidikan Islam kritis-transformatif memandang bahwa keadaan yang
timpang harus dilawan dengan pendidikan dan penyadaran masyarakat. Paradigma ini
memandang bahwa perubahan memiliki beberapa variabel yang terdapat dalam
pendidikan, kesadaran, kesetaraan gender dan gerakan lingkungan yang saling terkait dan
sama-sama pentingnya. Oleh karena itu, paradigma ini berorientasi pada penguatan
masyarakat dengan pola gradual-progresif; bertahap-maju.
Posisi peserta didik dalam konsep pendidikan Islam kritis-transformatif adalah
sebagai subyek aktif yang memiliki kehendak dan kebebasan untuk menentukan
pilihannya, sehingga hubungan pendidik-peserta didik tidak dilihat sebagai hubungan
struktural formal, akan tetapi hubungan tersebut bersifat partnership yang saling
113 Abdurrahman Wahid, Sekedar., hal. 241.
114 Paulo Freire, dkk, Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatis, Liberal dan Anarkis,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 434-435.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 115
melengkapi. Dalam konteks menyemaikan pendidikan kritis-transformatif, maka
diperlukan adanya perubahan metode pendidikan yang monolog diganti dengan dialog
yang bebas dan terbuka untuk mencapai kebenaran akhir yang bisa diikuti dan diterima
oleh orang-orang yang berpikiran sehat dan wajar dalam melakukan transformasi sosial.115
Pendidikan kritis-transformatif menganut pola filsafat pendidikan andragogi, yakni
proses pendidikan yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Pola pendidikan andragogi
meniscayakan keterlibatan setiap individu dalam proses penemuan sesuatu yang baru.
Asumsi dasar dalam pola andragogi ini adalah kesadaran bersama bahwa peserta didik
telah memiliki dasar dalam mempelajari sesuatu. Sehingga dengan demikian, pola ini
berbeda dengan pendidikan pedagogi (seni mendidik anak) yang lebih menekankan pada
peserta didik sebagai objek yang belum memiliki pengetahuan. Secara umum perbedaan
kedua pola ini dapat dlihat pada tabel berikut:116
Aspek Andragogi Pedagogi
Tujuan Pemindahan pengetahuan dari satu
generasi ke generasi
Merangsang peserta agar timbul
keinginan untuk terlibat dalam proses
penemuan yang ingin diketahui
Peserta Diutamakan untuk anak-anak Orang dewasa
Penentu materi Guru /pendidik Peserta didik
Waktu Sebatas waktu pendidikan formal Seumur hidup (long life education)
Pembentukan
konsep diri Guru sangat dominan (monolog)
Timbal balik dalam proses belajar
mengajar (take and give)
Pengalaman Pengetahuan dan pengalaman guru
lebih utama
Pengetahuan dan pengalaman guru dan
peserta didik merupakan sumber yang
kaya untuk bahan pembelajaran
Dengan demikian, pendidikan Islam kritis-transformatif merupakan pemihakan, visi,
analisis dan mandat yang jelas bahwa proses pendidikan merupakan bagian dari proyek
rekayasa sosial. Pendidikan Islam kritis-transformatif ditempatkan sebagai pihak yang
membela kaum marginal dan dirugikan. Hal ini dilakukan karena struktur penguasa yang
hegemonik selalu menggunakan pendidikan untuk melanggengkan struktur yang ia
bangun itu. Selain itu, pendidikan Islam kritis-transformatif diharapkan dapat melakukan
transformasi yang jelas untuk merubah hubungan pendidik-peserta didik agar tidak
didominasi oleh pendidik semata. Oleh karenanya, ada dua agenda penting yang hendak
diperjuangkan dalam pendidikan Islam kritis-transformatif, yakni transformasi ke dalam
untuk melepaskan cengkraman hubungan pendidik-peserta didik dan struktur pengetahu-
an, serta transformasi ke luar untuk merubah struktur sosial yang timpang dan tidak adil.
Dengan demikian, pendidikan Islam kritis-transformatif merupakan suatu keniscaya-
an yang akan terwujud jika ada kesadaran bersama bahwa perubahan dalam masyarakat
merupakan suatu proses yang dapat mempengaruhi segala aspek, model, tindakan dan
karakter suatu masyarakat. Di sisi lain, pendidikan Islam kritis-transformatif akan mampu
memberikan dorongan kepada umat Islam untuk berlomba-lomba dalam menguasai ilmu
115 Abdurrahman Wahid, “Menafsirkan Kembali Kebenaran Relatif”, dalam Harian Kedaulatan Rakyat,
Jum’at Wage, 7 Februari 2003. 116 M. Badi’ Zamanil Masnur, dkk, Pendidikan Kritis Transformatif: Panduan Pendidikan dan Kaderisasi,
(Jakarta: PB PMII, 2001), hal. 105
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
116 | ISSN: 2356-2447-XIII
dan peradaban yang berkembang pesat tanpa harus meninggalkan substansi ajaran Islam,
sehingga ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak hanya terbatas bagaimana mengupaya-
kan kesalehan individual maupun memperkaya khasanah intelektual belaka, akan tetapi
lebih dari itu, umat Islam akan terbebas dari sekat-sekat primordialisme untuk dapat
mempelajari segala hal, dari manapun ia asalnya. Dalam ungkapan lain, apa yang hendak
diperjuangkan oleh pola pendidikan ini adalah terbentuknya manusia yang bermoral,
berwawasan inklusif, dan berdaya saing tinggi di tengah arus modernitas dan globalisasi.
F. Kesimpulan
Gus Dur dikenal luas sebagai seorang agamawan, politikus, budayawan dan
pemimpin bangsa. Namun bukan berarti ia tidak menaruh perhati an terhadap pendidikan.
Sebagai seorang tokoh yang “berangkat dari pesantren, kembali ke pesantren dan berjuang
melalui pesantren”, sejatinya ia memiliki perhatian mendalam terhadap pendidikan Islam.
Gagasan-gagasan Gus Dur mengenai pendidikan Islam berangkat dari komintennya untuk
menjadikan Islam sebagai komplementer terhadap semua unsur kehidupan dan
kemasyarakatan. Dalam sejumlah tulisannya, Gus Dur banyak menyebut dan
mengidentifikasi berbagai problem keumatan yang dihadapi umat Islam Indonesia.
Menurutnya, jika umat Islam berpegang pada kesadaran historis sekalikus memiliki
kemampuan untuk merubah pola pikirnya menjadi lebih maju dan dinamis, niscaya umat
Islam akan semakin bergerak dinamis menuju puncak kejayaannya.
Pendidikan dalam pandangan Gus Dur, merupakan piranti utama untuk memajukan
peradaban suatu bangsa. Karena maju mundurnya suatu bangsa sangat bergantung pada
pola pendidikan yang dijalankan. Islam sebagai agama pembebas terakhir, sangat
memperhatikan pendidikan umatnya, sehingga menuntut ilmu merupakan kewajiban
individu (fardhu ‘ain).
Kondisi pendidikan Islam yang masih berada dalam posisi problematik antara
“determinisme historis” dan “realisme praktis” harus segera dicari jalan keluarnya agar
selalu dinamis dan dapat menjawab problematika kehidupan. Beberapa pemikiran
pendidikan yang digagas Gus Dur dengan melakukan rekonstruksi total terhadap sistem
pendidikan yang berakar pada nilai, prinsip dan tujuan Islam sebagai agama rahmatan lil
‘âlamîn harus diwujudkan secara total untuk mewujudkan pendidikan dinamisasi dan
kosmopolitanisme peradaban. Gagasannya mengenai rekonstruksi pendidikan Islam,
fungsi logika, wacana kebebasan intelektual dan demokratisasi pendidikan Islam
merupakan gagasan yang sangat fundamental karena pemikiran Gus Dur selalu
berorientasi kepada kemajuan dan kebebasan.
Ide dan gagasan yang dilontarkan Gus Dur sejak tahun 1970-an yang berakar kuat
pada tradisi (kesadaran sejarah) dan perpaduan ilmu-ilmu sosial modern memiliki
relevansi dan signifikansi terhadap persoalan pendidikan Islam kontemporer, seperti
pendidikan perempuan, integrasi pendidikan Islam dan ilmu pengetahuan umum,
dinamisasi pendidikan pesantren, idealisme pendidikan Islam dengan pendekatan
multidisipliner dan pendidikan Islam kritis-transformatif. Dengan demikian, dapat Penulis
simpulkan bahwa pemikiran, ide dan gagasan Gus Dur tentang pendidikan Islam bersifat
asimilatif, yakni menjaga tradisi yang baik sekaligus mengambil dan mengembangkan
khasanah baru yang lebih baik. Asilimasi ini pada ahirnya akan mengantarkan Islam
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 117
sebagai agama yang selalu relevan dan tidak bertentangan dengan semangat zaman (al-
Islâm shalih li kulli al-zâman wa al-makân). Hal ini semakin meneguhkan bahwa gagasan
dan ide yang dilontarkan Gus Dur selalu bervisi ke arah kemajuan dan kesempurnaan;
sebuah gagasan yang terlahir dari seorang pemikir agung dan brilliant.
Daftar Pustaka
Abdalla, Ulil Abshar. “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”, Majalah Aula (Edisi
No. 1 Tahun XXV/Januari) 2003.
________. “Agama, Akal dan Kebebasan: Tentang Makna ‘Liberal’ dalam Islam
Liberal”, Jurnal Justisia (Edisi 27 Tahun XII). 2007.
al-Bukhâri, Abû Abd Allâh ibn Ismâ’il ibn Ibrâhim. tt. al-Jami’ al-Shahih (Shahih al-
Bukhâri), juz. I. Semarang: Toha Putra.
al-Ghazâli, Abû Hâmid .tt. Ayyuhâ al-Walad. Semarang: Toha Putra.
Ali, Fackhry.. “Seorang Asing di Tengah NU”, dalam Tempo, (25 Nopember). 1989
al-Naisâburî, Abu Husain Muslim Ibn al-Hujaj al-Qusyairî. tt. Sahîh Muslim, juz. I.
Bandung: Syirkah al-Ma’ârif.
al-Sajastâni, Sulaimân ibn al-Ats’ats ibn Ishâq al-Azdy. Sunan Abî Dâwud, dalam
http://hadits_aplikasi_tar_iEz@colection. Diunduh 15 Juli 2012.
al-Suyuthi, Jalal al-Din. tt. Dhâil al-La’âli al-Mashnû’ah fi al-Ahâdîts al-Maudhû’ah,
(versi e-book).
al-Syafi’i, Muhammad ibn Idris. 1997. Dîwân al-Syâfi’î. Bairut: Dar al-Fikr.
Al-Zastrouw Ng. Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan
Pernyataan Gus Dur, cet. I. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1999.
________. “Gus Dur: Nakhkoda Sarat Beban”, dalam Ulil Abshar Abdalla, dkk, NU
Pasca Gus Dur: Beberapa Kritik Terhadap Abdurrahman Wahid, cet. II. Jakarta:
Fatma Press. 1998.
Amin, Samsul Munir. Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi Al-Bantani, cet. I.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2009.
Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 2004.
Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 2008.
Arif, Syaiful. Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual.
Jakarta: Penerbit Koekoesan. 2009.
Assyaukanie, Luthfi. “Mencari Pengganti Gus Dur”, Koran Sindo, Senin, 11 Januari.
2010.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, cet.
IV, Yogyakarta: LKiS. 2004.
Dematra, Damien. Sejuta Hati untuk Gus Dur; Sebuah Novel dan Memorial. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. 2010.
Dhakiri, M. Hanif. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 2011.
Faishol, Abdullah. Gus Dur: Jejak Sang Humanis dan Humoris. Surakarta: Aswaja
Institute Surakarta – AIS. 2010.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Tolong dituliskan Judul Tiap Artikel……
118 | ISSN: 2356-2447-XIII
Farid Mas’udi, Masdar dkk., (Ed.). Dinamika Kaum Santri: Menelusuri Jejak dan
Pergolakan Internal NU. Jakarta: Rajawali. 1983.
Feillard, Andree. NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, cet. I,
Yogyakarta: LKiS. 1999.
Haque, Ziaul. Wahyu dan Revolusi, terj. E. Setiawati al-Khattab, cet. I. Yogyakarta:
LKiS. 2000.
Hikam, Muhammad AS. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES. 1996.
________. “Kenangan Saya bersama Gus Dur”, dalam catatan
http://www.facebook.com/notes.php?id=134542199, diunduh 11 Nopember 2011.
Ida, Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekulerisme Baru. Jakarta: Penerbit
Erlangga. 2004.
Kleden, Ignas. “Pluralisme dan Nasionalisme: Gus Dur dan Frans Seda”, Kolom Tempo,
(11-17 Januari). 2010.
M. N. Ibad. Leadership Secrets of Gus Dur – Gus Miek: Rahasia Mengelola Potensi Diri
untuk Menjadi Pemimpin yang Dicintai, cet. II. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
2010.
________. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek, cet. I.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2011.
Mahfud MD.. Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit.
Jakarta: LP3ES. 2003
________. “Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam”, dalam Jurnal
Manarul Qur’an (No. II, Desember). 2002.
________. Strategi Menghadapi Neo-Imperalisme Menuju Indonesia yang Berdaulat dan
Berkeadilan”, Makalah Seminar Nasional BEM UNSIQ Wonosobo di Gedung
Sasana Adipura Kencana Wonosobo, 10 April 2003.
________. “Membuka Lembaran Baru Dialog Islam-Barat: Telaah Teologis-Historis”,
Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Sejarah dan Kebudayaan
Islam. Semarang: IAIN Walisongo, 20 Maret. 2004.
________. Menuju Paradigma Islam Humanis, cet. I. Yogyakarta: Gama Media. 2003.
Masdar, Umarudin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, cet.
II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999.
Miichi, Ken. “Kiri Islam, Jaringan Intelektual dan Partai Politik: Sebuah Catatan Awal”,
Jurnal Taswirul Afkar (Edisi No. 10). 2001.
Mirza, Muhamad. Gus Dur Sang Penakluk: Sebuah Biografi Singkat. Jombang: Pustaka
Warisan Islam. 2010.
Misrawi, Zuhairi.. Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keutamaan dan
Kebangsaan, cet. I. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2010
Mubin, Nurul. Poros Baru Pendidikan Islam di Indonesia, cet. I. Wonosobo: PC.
Lakpesdam. 2008.
________. Islam Bumi Kahyangan Dieng: Potret Akulturasi Kebudayaan Islam, Hindu
dan Kearifan Lokal Masyarakat Dataran Tinggi Dieng, cet. I, Yogyakarta:
Pustaka Prisma. 2010.
Muhammad, KH. Husein. Pluralisme Gus Dur: Gagasan Para Sufi, e-book dalam
www.pustakaaswaja.web.id, diunduh 1 Agustus 2012.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren
Nama Penulis tiap Artikel
Jurnal Al-Qalam Vol.XIII | 119
Musthafa al-Istanbûlî. Tafsîr Rûh al-Bayân, vol. VIII. Bairut: Dâr al-Fikr. tt.
Pitono, Djoko dan Kun Haryono. 2010. Profil Tokoh Kabupaten Jombang, cet. III.
Jombang: Pemda Jombang.
Qomar, Mujamil. 2005. Epistemologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional Hingga
Metode Kritik. Jakarta: Erlangga.
Rohani. 2013. Dinamisasi Pendidikan Islam di Indonesia: Sketsa Pemikiran Pendidikan
Gus Dur. Malang: Insan Cita.
________. 2014. Gus Dur dan Visi Transformatif Pendidikan Islam. Wonosobo:
Gemamedia [proses terbit].
Rosyida, Maia. 2007. Gus Dur: Asyik Gitu Loh!, cet. I. Jakarta: The Wahid Institute.
Rumadi. 2000. “Menebar Wacana, Menyodok Tradisi: Geliat Mencari Makna
Liberalisme”, dalam Jurnal Taswirul Afkar, (Edisi No. 9).
Salim, Hairus dan Muhamad Ridwan (Ed.). 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di
Jalur Kultural. Yogyakarta: LKiS.
Siradj, Said Agiel. 1996. “Ngaji Ahlussunah Dituduh Syi’ah”, dalam Aula (No. 3-Maret).
Sodik, Mochammad. 2000. Gejolak Santri Kota: Aktivis Muda NU Merambah Jalan
Lain. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sokotunggal, Gus Nuril dan Khoirul Rosyadi. 2010. Ritual Gus Dur dan Rahasia
Kewaliannya, cet. I. Yogyakarta: Galang Press.
Sukardi, Romadlon. 1994. “Bertemu Gus Dur di Makah: Pondok Ciganjur Studi Islam di
Asteng”, dalam Majalah Aula (No. 07/Tahun XVI/ Juli).
Wahid (Ed.). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Transnasional di Indonesia, cet. I.
Jakarta: Gerakan Bhinneka Tunggal Ika, The Wahid Institute & Ma’arif Institute.
2009.
________. Bunga Rampai Pesantren: Kumpulan Karya Tulis Abdurrahman Wahid.
Jakarta: CV. Dharma Bhakti. 1978.
Wahid, Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam, Hak Minoritas, Reformasi Kultural, cet. I.
Yogyakarta: LKiS. 1998.
________. Mengurai Hubungan Agama dan Negara. Jakarta: PT. Grasindo. 1999.
________. “Pengantar” dalam Mas Zaenal Muhyidin, Hoki: Humor Kyai Bareng Kang
Maman, cet. I. Bandung: Nuansa. 2007.
________. Kyai Nyentrik Membela Pemerintah, cet. IV. Yogyakarta: LKiS. 2010.
________. Membaca Sejarah Nusantara; 25 Kolom Sejarah Gus Dur, cet. I. Yogyakarta:
LKiS. 2010.
________. Misteri Kata-Kata, cet. I. Jakarta: Pensil-32. 2010.
________. Prisma Pemikiran Gus Dur, cet. I. Yogyakarta: LKiS. 1999.
________. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, cet. III. Yogyakarta: LKiS. 2010.
Yahya, Lip D. Gus Dur: Berbeda Itu Asyik. Yogyakarta: Kanisius. 2004.
Yusuf, A. Nasir (Ed.). NU dan Gus Dur. Bandung: Humaniora Utama Press. 1994.
Rohani, Dinamisasi Pendidikan Pesantren