Upload
hahanh
View
244
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
DINAMIKA Total Organic Matter (TOM) PADA KEGIATAN PEMBESARAN
IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI UPBAT PUNTEN
KOTA BATU, JAWA TIMUR
SKRIPSI
Oleh :
DEO RIZKY PRAMUDYO NIM. 145080100111022
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2018
DINAMIKA Total Organic Matter (TOM) PADA KEGIATAN PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) di UPBAT PUNTEN
KOTA BATU, JAWA TIMUR
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Meraih Gelar Sarjana Perikanan di
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
Oleh :
DEO RIZKY PRAMUDYO
NIM. 145080100111022
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG 2018
iii
iv
IDENTITAS TIM PENGUJI
Judul : DINAMIKA TOTAL ORGANIC MATTER (TOM) PADA KEGIATAN
PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI UPBAT PUNTEN,
KOTA BATU, JAWA TIMUR
Nama Mahasiswa : DEO RIZKY PRAMUDYO
NIM : 145080100111022
Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan
PENGUJI PEMBIMBING
Pembimbing 1 : Prof. Dr. Ir. Diana Arfiati, MS
PENGUJI BUKAN PEMBIMBING
Dosen Penguji 1 : Ir. Kusriani, MP
Dosen Penguji 2 : Evellin Dewi Lusiana, S.Si, M.Si
Tanggal Ujian : 17 Mei 2018
v
PERNYATAAN ORISINALITAS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi yang saya tulis ini
benar- benar merupakan hasil karya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya
juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
orang lain kecuali yang tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar
pustaka.
Apabila kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Skripsi ini hasil
jiplakan (plagiasi), maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut
sesuai hukum yang berlaku. Penelitian ini berada dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir.
Diana Arfiati, MS.
Malang, 17 Mei 2018
Mahasiswa,
Deo Rizky Pramudyo NIM. 145080100111022
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Tuhan Yesus Kristus atas segala rahmat serta karunia-Nya yang tiada henti
diberikan.
2. Bapak Sujarwadi dan Ibu Mamik Lelana sebagai orangtua terbaik yang
selalu memberikan dukungan baik berupa materiil dan moril yang tiada henti-
hentinya diberikan kepada saya.
3. Dhavid Sena Nugraha dan Kiki Dewanti yang telah berperan dalam
menggantikan peran ayah dan menjadi sosok seorang kakak yang menjadi
teladan bagi adik-adiknya.
4. Dosen pembimbing skripsi yaitu ibu Prof. Dr. Ir. Diana Arfiati, MS yang selalu
menuntun saya sehingga penelitian dan laporan skripsi saya dapat
terselesaikan dengan baik.
5. Seluruh Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya
yang telah memberikan ilmu nya kepada saya.
6. Seluruh laboran yang telah membantu penelitian saya terutama Ibu Iwin,
sehingga penelitian saya dapat berjalan dengan baik.
7. Klaudia Dea yang merupakan sahabat kecil saya yang kembali hadir dalam
kehidupan saya untuk menjadi pendamping dalam kehidupan saya dan
alasan saya untuk terus bekerja dan bersemangat dalam menempuh skripsi.
8. Keluarga Pak Totok yang selalu mendoakan dan memberi semangat selama
penelitian, pengerjaan laporan, tahap ujian maupun kepengurusan berkas-
berkas sehingga diberi kelancaran.
9. Sahabat satu perjuangan dan satu kontrakan selama tiga tahun terakhir di
kota malang yaitu Wahyu Rianto, Fadhilah Haromain, Muhamad Lutfi,
Syahril Ramadhan dan Chandrica Dwipa.
vii
10. Tim penelitian bimbingan Prof. Diana yang terdiri dari sembilan orang Defina,
Fadhila Septi, Rizal Prabowo, Chandrica Dwipa, Muhammad Lutfi, Alhadi,
Catur, Neni dan Purwanti yang selalu membantu selama berjalannya
penelitian maupun dalam penyusunan laporan dan keperluan surat menyurat
selama penelitian dan setelah penelitian.
11. Teman-teman MSP 14 JAYA yang sama-sama berjuang dalam
menyelesaikan tugas akhir ini dan saling memberikan semangat, dukungan
dan doa agar bisa LULUS bersama.
Malang, 17 Mei 2018
Penulis
viii
RINGKASAN
Deo Rizky Pramudyo. DINAMIKA Total Organic Matter (TOM) PADA KEGIATAN PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI UPBAT PUNTEN KOTA BATU, JAWA TIMUR. dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Diana Arfiati, MS.
Kegiatan budidaya ikan akan menimbulkan limbah organik yang dapat menurunkan kualitas perairan disekitarnya, jika air limbah tersebut tidak diolah terlebih dahulu. Secara umum seluruh kegiatan budidaya ikan berpotensi untuk meningkatkan kadar bahan organik di perairan salah satunya adalah kegiatan pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) yang dilaksanakan di UPBAT Punten,
kota Batu yang berasal dari sisa pakan dan feses ikan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika bahan organik total pada hasil kegiatan pembesaran ikan mas di UPBAT Punten. Penelitian ini dilakukan dalam metode survei, penjelasan deskriptif dan analisa regresi. Pengambilan sampel dilakukan pada 5 titik yaitu stasiun 1 (inlet), stasiun 2 (kolam pengendapan), stasiun 3 (saluran setelah kolam pengendapan), stasiun 4 (kolam pembesaran ikan mas) dan stasiun 5 (outlet). Kadar bahan organik total tiap setiap stasiun sebesar
31,49 ± 10,58 mg/l pada stasiun 1, 48,45 ± 17,06 mg/l pada stasiun 2, 59,09 ± 9,92 mg/l pada stasiun 3, 68,09 ± 4,32 mg/l pada stasiun 4 dan 85,95 ± 5,66 mg/l pada stasiun 5. Kadar bahan organik total meningkat mulai dari stasiun 1 menuju ke stasiun 5. Peningkatan ini disebabkan oleh adanya kegiatan budidaya ikan mas yang menyumbang bahan organik melalui sisa pakan dan feses ikan. Hal ini dibuktikan dengan tingginya nilai regresi pengaruh amoniak dan bahan organik total dengan nilai R-square 0,93 yang dapat diinterpretasikan bahwa pengaruh bahan organik terhadap nilai amoniak sebesar 93%. Peningkatan bahan organik pada outlet meningkat sebesar 172,94% yang mulanya dari inlet sebesar 31,49 ± 10,58 mg/l menjadi 85,95 ± 5,66 mg/l di saluran outlet. Peningkatan bahan
organik disebabkan karena air sisa kegiatan pembesaran ikan mas dialirkan secara langsung ke saluran outlet tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu. Kadar bahan organik pada perairan secara umum sekitar 26-60 mg/l agar tidak mencemari ingkungan. Dengan demikian nilai bahan organik pada penelitian ini telah melebihi ambang batas aman untuk bahan organik di perairan. Hasil pengukuran parameter kualitas air yang lain seperti suhu berkisar antara 25oC–30oC, pH berkisar antara 6,3-7,5, oksigen terlarut (DO) berkisar antara 6,07 mg/l-8,98 mg/l dan amonia berkisar antara 0,04 mg/l – 0,58 mg/l. Parameter kualitas air (suhu, pH, DO dan amonia) mendukung untuk kegiatan budidaya ikan mas. Sedangkan, untuk perairan umum kadar amonia dari air sisa buangan budidaya ikan mas telah melebihi ambang batas yaitu sebesar <0,5 mg/L, yang dapat mempengaruhi nilai bahan organik total di perairan. Terlebih lagi pengaruh tingginya nilai amonia dapat mempengaruhi tingginya nilai bahan organik total di perairan. Dengan bertambahnya kadar bahan organik total (TOM) terutama pada outlet, maka disarankan untuk adanya pengolahan air buangan sisa budidaya ikan mas terlebih dahulu sebelum air sisa tersebut dikeluarkan ke perairan umum.
ix
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan
rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyajikan Proposal Skripsi yang
berjudul DINAMIKA Total Organic Matter (TOM) PADA KEGIATAN
PEMBESARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) DI UPBAT PUNTEN, KOTA
BATU, JAWA TIMUR
Sangat disadari bahwa dengan kekurangan dan keterbatasan yang
dimiliki penulis, walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk lebih teliti,
tetapi masih dirasakan banyak kekurangtepatan dalam pengerjaan laporan, oleh
karena itu penulis mengharap saran yang membangun agar tulisan ini dapat
bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Malang, 17 April 2018
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................... Error! Bookmark not defined.
IDENTITAS TIM PENGUJI.................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................................... v
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................... vi
RINGKASAN ..................................................................................................... viii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiii
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................................xiv
1. PENDAHULUAN............................................ Error! Bookmark not defined. 1.1 Latar Belakang ....................................... Error! Bookmark not defined. 1.2 Rumusan Masalah .................................. Error! Bookmark not defined. 1.3 Tujuan .................................................... Error! Bookmark not defined. 1.4 Manfaat Penelitian .................................. Error! Bookmark not defined. 1.5 Tempat dan Waktu Penelitian ................. Error! Bookmark not defined.
2. TINJAUAN PUSTAKA ................................... Error! Bookmark not defined.
2.1 Klasifikasi Ikan Mas (Cyprinus carpio) .... Error! Bookmark not defined. 2.2 Ekosistem Sungai ................................... Error! Bookmark not defined. 2.3 Bahan Organik ........................................ Error! Bookmark not defined. 2.4 Parameter Kualitas Air ............................ Error! Bookmark not defined.
2.4.1 Parameter Fisika ............................. Error! Bookmark not defined. 2.4.2 Parameter Kimia .............................. Error! Bookmark not defined.
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN ........... Error! Bookmark not defined.
3.1 Materi Penelitian ..................................... Error! Bookmark not defined. 3.2 Alat dan Bahan ....................................... Error! Bookmark not defined. 3.3 Metode Penelitian ................................... Error! Bookmark not defined.
3.3.1 Data Primer ..................................... Error! Bookmark not defined. 3.3.2 Data Sekunder................................. Error! Bookmark not defined.
3.4 Prosedur Penelitian ................................ Error! Bookmark not defined. 3.4.1 Penentuan Stasiun Penelitian .......... Error! Bookmark not defined. 3.4.2 Pengambilan Sampel Air ................. Error! Bookmark not defined.
3.5 Parameter Kualitas Air ............................ Error! Bookmark not defined. 3.5.1 Pramater Fisika ............................... Error! Bookmark not defined. 3.5.2 Parameter Kimia .............................. Error! Bookmark not defined.
xi
3.6 Analisa Data ........................................... Error! Bookmark not defined. 3.7 Analisa Hubungan Bahan Organik Total dengan Amoniak............. Error! Bookmark not defined.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................... Error! Bookmark not defined.
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian........ Error! Bookmark not defined. 4.2 Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel . Error! Bookmark not defined.
4.2.1 Stasiun Pengamatan 1 .................... Error! Bookmark not defined. 4.2.2 Stasiun Pengamatan 2 .................... Error! Bookmark not defined. 4.2.3 Stasiun Pengamatan 3 .................... Error! Bookmark not defined. 4.2.4 Stasiun Pengamatan 4 .................... Error! Bookmark not defined. 4.2.5 Stasiun Pengamatan 5 .................... Error! Bookmark not defined.
4.3 Analisa Bahan Organik Total .................. Error! Bookmark not defined. 4.3.1 Bahan Organik Total di Stasiun 1 .... Error! Bookmark not defined. 4.3.2 Bahan Organik Total di Stasiun 2 .... Error! Bookmark not defined. 4.3.3 Bahan Organik Total di Stasiun 3 .... Error! Bookmark not defined. 4.3.4 Bahan Organik Total di Stasiun 4 .... Error! Bookmark not defined. 4.3.5 Bahan Organik Total di Stasiun 5 .... Error! Bookmark not defined. 4.3.6 Rata-Rata Bahan Organik Total Setiap StasiunError! Bookmark not defined.
4.4 Analisa Kualitas Air ................................. Error! Bookmark not defined. 4.4.1 Suhu ................................................ Error! Bookmark not defined. 4.4.2 pH.................................................... Error! Bookmark not defined. 4.4.3 Oksigen Terlarut .............................. Error! Bookmark not defined. 4.4.4 Ammonia ......................................... Error! Bookmark not defined.
4.5 Hubungan Bahan Organik Total dengan AmoniakError! Bookmark not defined.
5. KESIMPULAN ............................................... Error! Bookmark not defined. 5.1 Kesimpulan ............................................. Error! Bookmark not defined. 5.2 Saran ...................................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA .............................................. Error! Bookmark not defined.
LAMPIRAN ........................................................... Error! Bookmark not defined.
xii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
Tabel 1. Baku Mutu Parameter FIsika, Kimia dan Bahan Organik. ............. Error!
Bookmark not defined.
Tabel 2. Koefisien Korelasi manurut Kurniawan dan Yuniarto (2016) .......... Error!
Bookmark not defined.
Tabel 3. Data Pengukuran Suhu di UPBAT PuntenError! Bookmark not
defined.
Tabel 4. Data Pengukuran pH di UPBAT Punten. . Error! Bookmark not defined.
Tabel 5. Data Pengukuran Oksigen Terlarut di UPBAT PuntenError! Bookmark
not defined.
Tabel 6. Data pengukuran Amoniak di UPBAT Punten.Error! Bookmark not
defined.
Tabel 7. Hasil Analisis Korelasi ............................ Error! Bookmark not defined.
Tabel 8. Hasil analisis regresi total bahan organik terhadap amoniak .......... Error!
Bookmark not defined.
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
Gambar 1. Ikan Mas (Cyprinus carpio) (Supriatna, 2013).Error! Bookmark not
defined.
Gambar 2. Stasiun 1 saluran inlet di UPBAT PuntenError! Bookmark not
defined.
Gambar 3. Stasiun 2 kolam pengendapan di UPBAT PuntenError! Bookmark
not defined.
Gambar 4. Saluran setelah kolam pengendapan di UPBAT Punten ............ Error!
Bookmark not defined.
Gambar 5. Kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) di UPBAT Punten
............................................................................. Error! Bookmark not defined.
Gambar 6. Outlet kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) ............... Error!
Bookmark not defined.
Gambar 7. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 1. ................. Error!
Bookmark not defined.
Gambar 8. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 2. ................. Error!
Bookmark not defined.
xiv
Gambar 9. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 3. ................. Error!
Bookmark not defined.
Gambar 10. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 4. ............... Error!
Bookmark not defined.
Gambar 11. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 5. ............... Error!
Bookmark not defined.
Gambar 12. Hasil Pengamatan Rata-Rata TOM Setiap StasiunError! Bookmark
not defined.
Gambar 13. Grafik Hubungan Bahan Organik Total dan Aminiak ................ Error!
Bookmark not defined.
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Alat dab Bahan Penelitian ................ Error! Bookmark not defined.
Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian di UPBAT PuntenError! Bookmark not
defined.
Lampiran 3. Denah pengambilan stasiun penelitian.Error! Bookmark not
defined.
Lampiran 4. Perhitungan Total Organic Matter (TOM)Error! Bookmark not
defined.
Lampiran 5. Pengolahan Data Hubungan Bahan Oganik Total dan Amoniak
............................................................................. Error! Bookmark not defined.
Lampiran 6. Dokumentasi Penelitian ................... Error! Bookmark not defined.
1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Umumnya kegiatan budidaya perikanan intensif dilakukan dengan
menerapkan padat tebar tinggi dan peningkatan pemberian pakan buatan yang
kaya protein. Menurut Rachmansyah (2004), secara umum, dari jumlah pakan
yang diberikan, sebesar 30% pakan tertinggal sebagai sisa pakan yang tidak
dikonsumsi dan sebanyak 25%-30% dari pakan yang dikonsumsi akan
diekresikan oleh ikan. Adanya sisa pakan akan mengakibatkan terjadinya
peningkatan limbah nitrogen toksik di perairan. Limbah nitrogen toksik dalam
perairan pada umumnya berasal dari sisa pakan yang tidak termakan dan feses
ikan. Didalam perairan limbah nitrogen ini terdapat dalam bentuk ammonia atau
nitrat dan nitrit (Iswandi et al, 2016).
Pada dasarnya setiap kegiatan budidaya dengan jenis ikan apapun dapat
meningkatkan bahan organik total (TOM) di perairan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Triyatmo (2002), bahwa peningkatan bahan organik total (TOM) di
tentukan dengan lama waktu kegiatan budidaya berlangsung dan peningkatan
bahan organik total (TOM) disebabkan oleh adanya kegiatan biologis ikan seperti
feses dan urin.
Dampak dari peningkatan bahan organik total (TOM) di perairan tidak
secara langsung berpengaruh terhadap organisme budidaya. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Pariwono dalam Manengkey (2010), bahwa pencemaran
lingkungan perairan akibat masuknya bahan organik adalah hal yang sering
terjadi dan dampaknya tidak dirasakan secara langsung. Masalah yang
ditimbulkan adalah menurunnya kandungan oksigen terlarut dan timbulnya
proses eutrofikasi. Menurunnya kadar oksigen terlarut di perairan dikarenakan
meningkatnya kebutuhan oksigen untuk melakukan proses dekomposisi bahan
2
organik yang dilakukan oleh dekomposer. Apabila masukan bahan organik ke
perairan semakin meningkat, maka oksigen yang dibutuhkan untuk dekomposisi
semakin banyak pula. Sedangkan proses eutrofikasi terjadi karena meningkatnya
laju bertumbuh-kembangnya organisme perairan karena kesuburan perairan
yang meningkat. Pada umumnya proses eutrofikasi akan berdampak negatif bagi
ekosistem perairan.
Menurut Craigh & Helfrich (2002) dalam Gunadi dan Hafsaridewi (2008),
pemberian pakan pada ikan tetap menghasilkan limbah meskipun dengan
penerapan manajemen yang sangat baik. Hal ini diumpamakan dengan tiap 100
unit pakan yang diberikan kepada ikan, sekitar 10% akan terbuang percuma,
10% akan terbuang dalam bentuk padatan, dan 30% ajan menjadi limbah cair
yang dihasilkan oleh ikan. Sedangkan sisanya sebesar 25% akan digunakan
untuk pertumbuhan ikan dan 25% akan digunakan untuk kegiatan metabolisme
ikan. Angka persentase ini bergantung pada jenis ikan, ukuran ikan, aktivitas,
suhu air dan kondisi lingkungan lainnya.
Sumber amoniak dalam sistem budidaya diawali dengan adanya nitrogen
yang berasal dari sisa pakan yang diberikan pada ikan, feses dan hasil
metabolisme yang masuk ke perairan. Amoniak merupakan senyawa beracun
dan faktor penghambat pertumbuhan ikan apabila kadar konsentrasinya
0,18mg/l. Sedangkan fosfor di perairan sering dijumpai dalam bentuk fosfat. Hasil
metabolisme organisme dan sisa pakan yang mengendap di dasar kolam dapat
meningkatkan kadar fosfat dan mengakibatkan perairan menjadi keruh. Semakin
keruh suatu perairan dapat mengurangi intensitas cahaya matahari yang dapat
masuk ke dalam perairan dan dapat menghambat laju fotosintesis yang
dilakukan oleh fitoplankton. Jika hal ini terjadi terus menerus akan mengurangi
kadar oksigen terlarut di perairan dan menurunkan produktivitas perairan yang
diikuti dengan penurunan kualitas air (Afriansyah et al., 2016)
3
Menurut Febrianto et al, (2016), pembuangan limbah cair ke badan
lingkungan dari kegiatan budidaya secara langsung dan terus menerus dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan. Limbah cair bekas pemeliharaan ikan
mengandung bahan organik yang relatif tinggi dari sisa-sisa pakan dan
metabolisme ikan, seperti urine dan feses. Oleh karena itu diperlukan adanya
kajian lebih lanjut mengenai dinamika bahan organik di perairan sebagai hasil
adanya kegiatan budidaya perikanan di UPBAT Punten. Lokasi penelitian berada
di UPBAT Punten, Kota Batu, Jawa Timur karena UPBAT Punten merupakan
salah satu lokasi yang melakukan kegiatan budidaya ikan dan aktivitas budidaya
berlangsung terus menerus setiap harinya. Selain itu lokasi UPBAT Punten
berada dekat dengan pemukiman warga. Sehingga perlu dilakukan pengawasan
terhadap air sisa kegiatan budidaya perikanan di UPBAT Punten agar air sisa
kegiatan budidaya yang masuk ke perairan umum tidak mengakibatkan
pencemaran lingkungan.
1.2 Rumusan Masalah
Kegiatan budidaya akan menghasilkan limbah buangan yang berasal dari
hasil ekskresi dan sisa pakan. Adanya sisa pakan tersebut dapat terakumulasi
didasar kolam dan merupakan salah satu sumber bahan organik di perairan.
Selain sisa pakan, bahan organik juga dapat berasal dari sisa metabolisme ikan
seperti feses dan urine. Kemudian air limbah hasil budidaya ini biasanya
langsung di buang melalui outlet kolam menuju perairan terbuka (sungai) dan
menyebabkan pencemaran. Kadar bahan organik yang tinggi di perairan juga
dapat menyebabkan eutrofikasi sehingga dapat mengakibatkan pencemaran di
perairan dengan adanya blooming algae. Hal ini dapat membahayakan
kehidupan organisme perairan bahkan dapat mengakibatkan kematian.
4
Berdasarkan uraian diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini
adalah apakah kandungan bahan organik yang berasal dari kegiatan budidaya
ikan di UPBAT Punten mengalami dinamika dari inlet balai sampai outlet balai
sebelum masuk ke perairan umum?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika bahan
organik total pada hasil kegiatan budidaya ikan di UPBAT Punten.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui dinamika bahan
organik total dari aktivitas budidaya ikan agar dapat dilakukan pengelolaan lebih
lanjut sebelum air sisa budidaya masuk ke perairan umum sehingga tidak
mencemari perairan.
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2018.
Pengambilan air sampel di UPBAT Punten, Kota Batu, Jawa timur. Pengukuran
kualitas air dilakukan di Unit Pelaksanaan Teknis Perikanan Air Tawar
Universitas Brawijaya Sumber Pasir, Pakis, Kabupaten Malang.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Ikan Mas (Cyprinus carpio)
Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan salah satu primadona ikan
konsumsi di Indonesia. Terdapat berbagai jenis ikan mas yang saat ini
dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah ikan mas punten (Gambar 1.)
yang dibudidayakan di UPBAT Punten, Batu Jawa Timur. Menurut Supriatna
(2013), ikan mas ras Punten mulai dikembangkan di Desa Punten, Batu, Jawa
Timur pada tahun 1933. Ciri-cirinya bertubuh relatif pendek, tetapi bagian
punggungnya lebar dan tinggi. Untuk menggambarkan ikan mas punten sering
dibilang tubuhnya berbentuk membuntak atau bulat pendek (big belly). Panjang
total dan tinggi badan ikan mas punten memiliki perbandingan 2,3-2,4 : 1. Ikan
mas ini memiliki sisik berwarna hijau gelap dan mempunyai sepasang mata agak
menonjol. Dari perilakunya, ikan mas punten cenderung memiliki gerakan lambat
dan bersifat jinak.
MenurutBachtiar (2002), pada umumnya ikan mas dapat hidup dengan baik
pada tempat dengan ketinggian 150-600 meter di atas permukaan laut. Ikan mas
juga termasuk jenis ikan thermofil karena mampu menyesuaikan diri dengan
perubahan suhu lingkungan yang ditempatinya dengan kisaran suhu 4-30oC dan
suhu optimumnya sekitar 25-30oC. Sedangkan menurut Khairuman (2013),
kondisi lingkungan yang optimum untuk mendukung kehidupan ikan mas antara
lain memiliki kandungan oksigen terlarut lebih dari 2mg/l. Sedangkan nilai pH
sekitar 6,5-8,5 dan kadar ammonia maksimum 0,02 mg/l.
Karena sifatnya yang adaptif, maka ikan mas banyak dibudidayakan
diberbagai daerah di Indonesia. Hal ini pula mengakibatkan ikan mas memiliki
beberapa strain di Indonesia. Berdasarkan pernyataan Khairuman et al, (2008),
penggolongan ikan mas berdasarkan ilmu taksonomi hewan (sistem
6
pengelompokan hewan berdasarkan bentuk tubuh dan sifat-sifatnya) dapat
dipaparkan sebagai berikut :
Phyllum : Chordata Subphyllum : Vertebrate Superclass : Pisces Class : Osteichthyes Subclass : Actinopterygii Ordo : Cypriniformes Subordo : Cyprinoidea Family : Cyprinidae Subfamily : Cyprininae Genus : Cyprinus Species : Cyprinus carpio
Gambar 1. Ikan Mas (Cyprinus carpio) (Supriatna, 2013).
2.2 Ekosistem Sungai
Perairan tawar dapat dibedakan ke dalam dua kelompok yaitu perairan
lentik dan perairan lotik. Perairan lentik merupakan kumpulan masa air yang
relatif diam dan tenang. Contohnya seperti danau, situ, rawa, waduk atau telaga.
Sedangkan perairan lotik merupakan suatu habitat perairan mengalir seperti
sungai dan kanal (Marwoto dan Isnaningsih, 2014). Sungai dapat diartikan
sebagai aliran terbuka dengan ukuran geometrik berubah seiring waktu,
tergantung pada debit, material dasar dan tebing serta jumlah dan jenis sedimen
7
yang terangkut oleh air. Sungai akan selalu menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi. Proses penyesuaian ini terdiri dari pengikisan,
pengangkutan dan pengendapan (Putra, 2014).
Sungai tergolong perairan yang mengalir sehingga kualitas airnya selalu
berubah setiap saat. Sungai memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan
manusia baik untuk kepentingan domestik maupun industri. Selain itu sungai
juga berperan bagi kehidupan beberapa biota dan kehidupan manusia seperti
sarana air minum, pertanian, perikanan dan peternakan (Sutanto dan Purwasih,
2012). Sungai menjadi habitat dari beberapa organisme yang ada di dalamnya
sebagai tempat tinggal, tempat mencari makan dan tempat berkembangbiak.
Dengan adanya kegiatan budidaya ikan kegiatan masyarakat di sekitar sungai
akan dapat menimbulkan dampak yang negatif terhadap kualitas air sungai yang
akan dapat merusak ekosistem sungai (Mushthofa et al., 2014). Menurut Odum
(1971), kecepatan arus pada sungai merupakan salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi kualitas fisika dan kimia perairan sungai. Sungai dengan arus
yang deras memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk berdifusi dengan gas
oksigen di atmosfer dibanding dengan sungai berarus lambat. Selain itu
kandungan oksigen terlarut di perairan sungai juga dipengaruhi oleh proses
fotosintesis dan respirasi oerganisme perairan.
2.3 Bahan Organik
Bahan organik merupakan kumpulan senyawa-senyawa kompleks yang
telah mengalami proses dekomposisi oleh organisme pengurai, baik berupa
humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil mineralisasi.
Bahan organik sendiri berfungsi sebagai indicator kualitas perairan, karena
bahan organic secara alami berasal dari perairan itu sendiri melalui pelapukan,
penguraian dan dekomposisi buangan limbah daratan seperti domestik, industri,
8
pertanian dan limbah peternakan maupun sisa pakan yang dengan adanya
bakteri terurai menjadi zat hara (Supriyantini et al, 2017). Menurut pernyataan
Effendi (2003), penyusun utama bahan organik adalah unsur karbon yang
banyak terdapat pada semua makhluk hidup. Senyawa karbon merupakan
sumber energi bagi seluruh makhluk hidup. Sedangkan sumber utama karbon di
perairan berasal dari aktivitas fotosintesis dan aktivitas fiksasi karbon oleh
bakteri. Berbagai jenis bahan organik dapat di rombak melalui proses oksidasi
yang berlangsung secara aerob maupun anaerob. Hasil akhir perombakan bahan
organik secara aerob adalah senyawa-senyawa yang stabil, sedangkan produk
akhir dari dekomposisi secara anaerob selain berkarbondioksida, senyawa-
senyawa yang tidak stabil dan bersifat toksik, seperti ammonia, metana dan
hidrogen sulfida.
Semua bahan organik mengandung karbon (C) berkombinasi dengan
satu atau lebih elemen lainnya. Menurut Tebbut (1992) dalam Effendi (2003),
biasanya bahan organik tersebut tersusun atas :
1. Karbohidrat (CHO) 25% - 50%. Bahan bahan organik yang mengandung
karbon, hidrogen dan oksigen misalnya glukosa (C6H12O6), kanji (starch),
dan selulosa.
2. Senyawa nitrogen (CHONS) 40% - 60%. Bahan organik yang
mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan kadang-kadang
sulfur misalnya protein, asam amino, dan urea.
3. Lemak (lipids atau fats) (CHO) 10%, yakni bahan organik yang
mengandung karbon, hiodrogen, dan sediikit oksigen. Lemak memiliki
sifat kelarutan yang buruk dalam air, akan tetapi larut dalam pelarut
organik.
9
2.4 Parameter Kualitas Air
Pengukuran kualitas air terdiri dari parameter fisika (suhu) dan parameter
kimia (pH, oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO), Total Organic Matter
(TOM), dan amoniak). Parameter yang paling penting untuk diamati adalah TOM
dan amonia sedangkan parameter yang lain adalah parameter pendukung untuk
membuktikan keberadaan kedua parameter tersebut dalam pendugaan
kandungan bahan organik di perairan
2.4.1 Parameter Fisika
a. Suhu
Suhu adalah derajat panas dan dingin suatu benda atau ruang yang
dinyatakan dalam satuan derajat chelsius (oC). Suhu sangat mempengaruhi laju
metabolisme yang dilakukan oleh organisme perairan. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Ghufran dan Kordi (2010), suhu merupakan salah satu faktor
pembatas dalam persebaran organisme baik di perairan tawar maupun laut. Hal
ini dikarenakan suhu sangat mempengaruhi aktivitas metabolisme organisme
dan kehidupan serta pertumbuhan biota air. Secara umum laju pertumbuhan
akan meningkat sejalan dengan kenaikan suhu, dapat menekan kehidupan
hewan budi daya, bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kenaikan suhu
terlalu ekstrim.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rend ahnya suhu menurut
Haslam (1995) dalam Wahikum (2016), yaitu musim, letak garis lintang,
ketinggian dari permukaan laut,sirkulasi udara, penutupan awan, aliran air (arus)
dan kedalaman air. Temperatur yang terlalu tinggi maupun terlalu rendah dapat
menyebabkan ikan tidak dapat tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Suhu
perairan yang baik untuk pertumbuhan ikan adalah berkisar antara 15 oC - 30oC
dengan perbedaan suhu antara siang dan malam kurang dari 5oC. Perubahan
10
suhu yang mendadak dapat berpengaruh buruk terhadap kehidupan ikan
(Cahyono, 2000).
2.4.2 Parameter Kimia
a. pH
Derajat keasaman atau lebih sering disebut pH sangat mempengaruhi
tingkat kesuburan dari suatu perairan karena mempengaruhi kehidupan jasad
renik. Pada pH yang rendah kandungan oksigen terlarut akan berkurang,
sehingga mengakibatkan konsumsi oksigen menurun, aktivitas pernapasan akan
meningkat dan akan mempengaruhi proses metabolisme organimse air. Selain
itu nilai pH juga mempengaruhi proses biokimiawi perairan, seperti proses
nitrifikasi akan berhenti pada pH yang rendah dan tingkat toksisitas logam berat
akan mengalami kenaikan pada pH yang rendah. Oleh sebab itu biasanya
perairan dengan pH yang lebih tinggi (alkali) lebih produktif dibanding dengan
perairan yang memiliki pH rendah (asam). Pada umumnya nilai pH di perairan
berkisar antara 4 sampai 9 (Ghufran dan Kordi, 2010).
Nilai pH yang ideal bagi kehidupan biota air tawar berkisar antara 6,8 –
8,5. pH yang terlalu rendah dapat menyebabkan kelarutan logam-logam dalam
perairan semakin besar dan bersifat racun bagi organimse perairan. Sedangkan
pada pH yang tinggi dapat meningkatkan kandungan amoniak di dalam perairan
yang juga bersifat racun bagi organisme perairan (Tatangindaty et al., 2013).
Rendahnya nilai pH mengindikasikan menurunnya kualitas perairan yang pada
akhirnya akan berdampak pada kehidupan biota di dalamnya. Terjadinya
perubahan nilai pH akan membunuh biota yang paling peka sekalipun. Hal ini
dikarenakan jaringan makanan dalam perairan akan terganggu. Selain itu nilai
pH yang kurang dari 4 juga akan membunuh sebagian besar tumbuhan air
karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH yang rendah (Susana, 2009).
11
b. Oksigen Terlarut
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan oleh
tanaman dan hewan di dalam air. Kehidupan setiap makhluk hidup di dalam air
bergantung pada kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen
minimum didalam air yang diperlukan untuk kehidupan organisme air.
Berdasarkan kebutuhan oksigen terlarut, organisme ikan merupakan organisme
air yang memerlukan oksigen tertinggi, kemudian invertebrata dan yang terkecil
adalah bakteri. Biota air hangat memerlukan oksigen terlarut minimal 5 ppm.
Sedangkan konsentrasi yang baik untuk kehidupan organisme air tidak boleh
kurang dari 6 ppm (Fardiaz, 1992). Menurut pernyataan Sumeru dan Anna
(1992), berdasarkan jumlah kandungan di perairan oksigen terlarut merupakan
gas terlarut kedua setelah nitrogen. Namun jika dilihat kepentingan bagi
organisme perairan, oksigen menempati urutan pertama. Sumber utama oksigen
dalam perairan adalah hasil difusi dari udara, terbawa melalui parsipitasi air
hujan dan melalui proses fotosintesis oleh fitoplankton. Kandungan oksigen
terlarut dalam air dapat berkurang karena digunakan untuk aktivitas respirasi dan
perombakan bahan organik.
Selain itu penurunan kadar oksigen terlarut di perairan juga dapat
disebabkan oleh adanya penemaran bahan organik yang berasal dari kegiatan
manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Salmin (2005), bahwa
pencemaran dapat menurunkan kualitas perairan karena adanya muatan zat-zat
beracun atau muatan bahan organik. Kondisi ini dapat menyebabkan kondisi
oksigen terlarut diperairan menjadi kritis dan merusak kadar kimia air. Selain itu
kekurangan oksigen terlarut juga dapat menyebabkan kelumpuhan pada ikan
karena otak tidak mendapat suplai oksigen bahkan dapat menyebabkan kematin
bagi ikan akibat jaringan tubuh ikan tidak dapat mengikat oksigen yang terlarut
dalam darah. Sedangkan menurut pernyataan dari Ali et. al, (2013), parameter
12
oksigen dapat digunakan dalam menentukan kualitas suatu perairan. Hal ini
dikarenakan oksigen memegang peranan dalam oksidasi dan reduksi bahan
organik dan anorganik. Akibat proses inilah maka peranan oksigen terlarut
sangat penting untuk membantu mengurangi beban penemaran pada perairan
seara alami.
c. Kadar Bahan Organik
Total Organi Matter (TOM) atau biasa disebut dengan bahan organik total
merupakan gambaran kandungan bahan organik yang terdapat pada suatu
perairan. Bahan organik yang terdapat di perairan dapat berupa bahan organik
terlarut, tersuspensi dan koloid. Kandungan bahan organik merupakan salah satu
indikator kesuburan dari suatu perairan. Bahan organik dalam jumlah tertentu
akan berguna bagi perairan, tetapi apabila jumlah yang masuk melebihi daya
dukung perairan maka akan akan menggangu perairan itu sendiri. Gangguan
yang diakibatkan dapat berupa pendangkalan dan penurunan mutu air (Sari et
al., 2014).
Menurut pernyataan Maulana et al, (2014), pengertian dari bahan organik
adalah kumpulan dari berbagai jenis senyawa-senyawa organik kompleks yang
sedang maupun telah mengalami proses dekomposisi, baik berupa humus hasil
humifikasi maupun senyawa dari proses mineralisasi, termasuk mikroba
heterotrofik dan ototrofik yang terlibat. Komponen penyusun bahan organik pada
umumnya terdiri dari unsur karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O) bersama-
sama dengan nitrogen (N) serta tak jarang ditemukan unsur fosfor (P), belerang
(S) dan besi (Fe). Menurut Effendi (2003), proses oksidasi bahan organik di
perairan dipengaruhi oleh suhu, derajat keasaman, oksigen terlarut, jenis bahan
organik dan nitrogen. Selain itu keberadaan oksigen terlarut di perairan sangat
diperlukan untuk dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik.
13
d. Amoniak
Kegiatan budidaya perikanan secara umum tidak terlepas dari limbah
organik yang dihasilkan. Menurut Norjanna et al, (2015), kegiatan budidaya ikan
dapat menghasilkan limbah dari sisa pakan dan sisa metabolisme yang banyak
mengandung amoniak. Jumlah amoniak yang dikeluarkan ikan sebesar 80%-
90% melalui proses osmoregulasi, feses dan urin. Peningkatan nilai amoniak
pada kegiatan budidaya dipengaruhi oleh jumlah padat tebar dan lama waktu
pemeliharaan ikan. Amoniak yang tidak teroksidasi oleh bakteri dalam kurun
waktu yang lama akan bersifat racun. Tingginya konsentrasi amoniak di perairan
dapat merusak insang sehingga biota air mudah terserang penyakit serta
menghambat laju pertumbuhan. Secara biologis, perombakan amoniak dapat
terjadi secara alami menjadi bentuk nitrat (NO3) yang tidak berbahaya di
perairan. Proses perombakan amoniak menjadi nitrat disebut nitrifikasi dengan
bantuan bakteri nitrifikasi yaitu Nitrosomonas dan Nitrobater. Selain itu dalam
proses perombakan diperlukan sumber karbon dan oksigen terlarut yang cukup
sebagai sumber energi (Ghufran dan Kordi, 2010).
Tinggi rendahnya kadar amoniak juga bergantung kepada beberapa
parameter kualitas perairan lainnya, seperti suhu, pH dan oksigen terlarut.
Semakin tinggi nilai pH dan suhu dari suatu perairan, maka konsentrasi amoniak
juga akan meningkat. Sedangkan pada oksigen yang tinggi kadar amoniak
hampir tidak ada, namun pada kadar oksigen rendah kadar amoniak relatif
meningkat (Rangka dan Paena, 2012). Kadar amoniak yang baik di perairan
pada umumnya sebesar 0,1 ppm. ikan akan mulai terganggu pertumbuhannya
pada perairan dengan kandungan amoniak menapai 1,2 ppm. Sedangkan
konsentrasi amoniak sebesar 2 ppm dapat membunuh sebagian besar jenis ikan.
Sedangkan kadar amoniak bebas yang tidak terionisasi menjadi nitrat (NH3) di
perairan tawar sebaiknya tidak melebihi nilai 0,02 mg/l (Kordi dan Tamsil, 2010).
14
3. MATERI DAN METODE PENELITIAN
3.1 Materi Penelitian
Materi dari penelitian ini adalah pengamatan dinamika Total Organic Metter
(TOM) yang berasal dari air yang sebelum, sedang dan telah digunakan dalam
kegiatan budidaya ikan mas (Cyprinus carpio). Pengambilan air sampel
dilaksanakan pada 5 stasiun pengamatanyaitu saluran sebelum memasuki kolam
pengendapan (inlet), kolam pengendapan, aliran air setelah melalui kolam
pengendapan, kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) dan saluran
pembuangan air kolam (outlet).Kelima sampel air tersebut akan diukur
kandungan Total Organic Matter (TOM) di laboratorium. Untuk mendukung data
dari parameter Total Organic Matter (TOM) maka dilakukan pengukuran
parameter kualitas perairan lainnya yang terdiri dari parameter fisika (suhu) dan
parameter kimia (pH, oksigen terlarut dan amonia). Pengukuran kualitas air dari 5
titik stasiun pengamatan tersebut dilakukan 6 kali ulangan dengan durasi waktu 3
minggu, dengan pengukuran seminggu dua kalipada pukul 09.00 WIB.
Pengukuran dan pengambilan sampel air dilakukan setelah ikan mas (Cyprinus
carpio) diberi makan.
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan sangat dibutuhkan dalam suatu penelitian bertujuan agar
dapat mempermudah dan memperlancar dalam melakukan suatu penelitian. Alat
dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini cukup mudah didapatkan,
sehingga dalam pencarian alat bahan dapat dikatakan berjalan lancar. Daftar
alat-alat dan bahan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan dalam
Lampiran 1.
15
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survei
dengan penjelasan secara deskriptif dengan menggambarkan keadaan lokasi
penelitian secara nyata sesuai dengan keadaan di lapang dan dibuktikan melalui
analisa data. Menurut Mubyarto dan Suratno (1981), metode survei adalah
kegiatan penelitian semacam pengamatan atau observasi secara pasif dalam
pengumpulan data. Survei merupakan satu cara utama dalam pengumpulan data
apabila data sekunder dianggap belum cukup lengkap untuk menjawab suatu
pertanyaan. Dalam metode ini pengambilan data dilakukan tidak hanya terbatas
pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi meliputi analisis dan
pembahasan tentang data tersebut. Metode ini bertujuan untuk memberikan
gambaran secara umum, sistematis, aktual dan valid mengenai fakta dan sifat-
sifat populasi daerah tersebut.
Menurut Sasmaya (2011), metode survei deskriptif adalah metode yang
digunakan untuk memperoleh data yang ada saat penelitian dilakukan dan
bertujuan untuk menjelaskan pembahasan dari permasalahan dalam penelitian.
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: data primer dan
data sekunder.
3.3.1 Data Primer
Data primer merupakan data yang biasanya didapatkan dari sumber
pertama yaitu perseorangan atau individu yang sedang membutuhkan
pengelolaan yang lebih banyak yang dapat berbentuk beberapa aspek yaitu
wawancara atau hasil pengisian kuisioner. Data primer adalah data yang
diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara langsung dari sumber datanya.
Data primer disebut juga data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk
memperoleh data primer, seorang peneliti harus mengumpulkan data secara
16
langsung. Teknik yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data primer antara
lain antara lain observasi, wawancara, dan partisipasi aktif (Siyoto dan Sodik,
2015). Data primer yang diambil dalam memperoleh data untuk menentukan
kadar bahan organik dan kualitas air pada setiap titik sampling yaitu pada jalan
masuk air (inlet), kolam budidaya dan jalan keluar air (outlet).
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder merupakan suatu data yang diperoleh lebih lanjut dan
biasanya telah disajikan dan dikemas sangat rapi oleh pihak pengumpul data
primer. Data sekunder dikumpulkan dari beberapa tokoh yang berhubungan
langsung dengan penelitian tersebut yaitu pihak internal, karyawan tetap, struktur
organisasi dan sejarah dari perusahaan tersebut (Wandasari, 2013). Data
sekunder adalah data yang terlebih dahulu dikumpulkan dan dilaporkan oleh
orang diluar peneliti sendiri. Pengumpulan data sekunder dapat diperoleh dari
pustaka-pustaka, laporan-laporan, lembaga pemerintah dan masyarakat
(Surakhmad, 1985 dalam Qomariyati, 2010). Data sekunder dalam penelitian
skripsi didapatkan dari pihak lembaga berupa informasi yang terkait dengan
informasi lokasi UPBAT Punten dan juga tentang kegiatan budidaya ikan mas
(Cyprinus carpio). Selain data yang didapat dilapang, untuk mempertegas
kebenaran hasil tersebut juga didukung dari laporan, jurnal, majalah, skripsi,
tesis, disertasi dan dari situs internet serta kepustakaan yang dapat dijadikan
sebagai pustaka untuk menunjang hasil pengamatan.
3.4 Prosedur Penelitian
3.4.1 Penentuan Stasiun Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di UP BAT Punten, Kota Batu, Jawa Timur.
Lokasi titik pengambilan sampel berdasarkan dari tujuan penelitian ini yaitu untuk
mengetahui dinamika Total Organic Matter (TOM) akibat adanya kegiatan
17
pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio). Stasiun pengambilan sampel berjumlah
5 titik yaitu saluran sebelum memasuki kolam pengendapan (inlet), kolam
pengendapan, aliran air setelah melalui kolam pengendapan, kolam pembesaran
ikan mas (Cyprinus carpio) dan saluran pembuangan air kolam (outlet). Stasiun
pertama terletak di saluran inlet yang bersumber dari aliran sungai Brantas
sebelum memasuki kolam pengendapan di UP BAT Punten. Stasiun 2
merupakan stasiun yang terletak pada kolam pengendapan yang berfungsi untuk
menyaring kotoran dari saluran inlet sebelum digunakan untuk kegiatan budidaya
ikan. stasiun 3 terletak pada aliran air yang terletak setelah kolam pengendapan.
Stasiun 4 terletak pada kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio). Jumlah
kolam yang akan diamati dan diambil sampel airnya yaitu berjumlah 2 kolam (4a,
4b). Hal ini bertujuan untuk memperkuat adanya dugaan penambahan bahan
organik akibat adanya kegiatan budidaya ikan. Stasiun 5 terletak di saluran
pengeluaran (outlet) yang digunakan untuk membuang air yang telah digunakan
dalam kegiatan pembesaran ikan mas. Untuk lebih jelas, stasiun pengambilan
sampeldapat dilihat pada lampiran 2.
3.4.2 Pengambilan Sampel Air
Pengambilan sampel air pada lokasi penelitian dilakukan pada 5 stasiun
yang berbeda yaitu saluran sebelum memasuki kolam pengendapan (inlet),
kolam pengendapan, aliran air setelah melalui kolam pengendapan, kolam
pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) dan saluran pembuangan air kolam
(outlet). Semua stasiun tersebut dilakukan pengujian kualitas air dengan
pengulangan 6 kali dalam 3 minggu. Dalam setiap pengambilan sampel air juga
dilakukan pengukuran kualitas air baik secara fisika (suhu) dan kimia (pH,
oksigen terlarut) pada setiap titik stasiun. Pengambilan sampel air dan
pengukuran kualitas air dilaksanakan setiap dua kali dalam seminggu.
18
Pengambilan sampel air pada stasiun 1 (inlet), stasiun 3 (aliran setelah
kolam pengendapan) dan stasiun 5 (outlet) dilakukan pada bagian permukaan
perairan. Hal ini dikarenakan dangkalnya saluran pada ketiga stasiun tersebut.
Kedalaman saluran inlet sekitar 40cm. Sedangakan saluran aliran setelah kolam
pengendapan maupun outlet memiliki kedalaman 10-30 cm. Selain itu pada
ketigastasiun ini memiliki aliran air yang relatif cepat sehingga terjadinya
pengadukan yang rata antara permukaan perairan dan dasar perairan. Kemudian
sampel air yang telah didapat dimasukkan kedalam botol air berukuran 1,5 liter
untuk diukur kadar total organic matter (TOM) dan amoniak. Sampel tersebut lalu
diletakan pada coolbox yang berisikan es batu agar bahan organik tidak terurai
oleh aktivitas bakteri pengurai selama perjalanan kurang lebih 40 menit menuju
Unit Pelaksanaan Teknis Perikanan Air Tawar Uniersitas Brawijaya Sumber
Pasir, Pakis, Kabupaten Malang. Sedangkan pengukuran kualitas air pada
stasiun 1, stasiun 3 dan stasiun 5 yang meliputi parameter fisika (suhu) dan
parameter kimia (pH dan oksigen terlarut) dilakukan secara langsung di lokasi (in
situ).
Pengambilan sampel air pada stasiun 2 (kolam pengendapan) dan
stasiun 4 (kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio)) dilakukan secara
komposit. Kolam pengendapan dan kolam pembesaran ikan mas memiliki
kedalaman 80 cm – 100 cm. Selain itu kecepatan arus pada bagian inlet kolam,
tengah kolam dan outlet kolam memiliki perbedaan arus sehingga
memungkinkan terjadinya stratifikasi kualitas air antara bagian permukaan
perairan, tengah perairan maupun dasar perairan. Pengambilan sampel air
secara komposit yaitumengambil sampel air pada setiap kedalaman kolam yang
diinginkan dengan alat bantu kemerer water sampler. Pengambilan sampel air
dilakukan pada 3 kedalaman (permukaan, tengah, dasar) perairan pada 3 titik
(inlet kolam, tengah kolam dan outlet kolam). Air yang telah didapatkan pada
19
setiap 3 titik tersebut kemudian dicampurkan menjadi satu dalam bak plastik
untuk mendapatkan sampel air. Kemudian mengambil air sampel yang telah
tercampur sebanyak 1,5 liter ke dalam botol plastik dan disimpan kedalam cool
box yang telah berisi es batu. Pada stasiun 2 (kolam pengendapan) pengambilan
sampel air dilakukan dengan metode komposit dengan mencampurkan air pada
bagian dasar perairan, tengah perairan dan permukaan pada 3 titik yaitu pada
bagian dekat inlet kolam pengendapan, bagian tengah kolam pengendapan dan
pada bagian outlet kolam pengendapan. Kemudian air yang telah didapat diukur
kualitas air fisika (suhu) dan kimia (pH dan oksigen terlarut) ketika air sampel
masih berada pada kemerer water sampler. Sedangkan air sampel untuk
pengukuran total organic matter (TOM) dan amoniak didapatkan dengan
mencampurkan air yang telah diambil dengan menggunakan kemerer water
samplerpada 3 titik pengambilan (inlet kolam, tengah kolam dan outlet kolam)
dengan pengambilan setiap titiknya pada 3 kedalaman (permukaan, tengah dan
dasar) perairan. Air yang telah didapat dicampurkan pada bak plastik dan diambil
sebanyak 1,5 liter air sampel yang dimasukkan kedalam botol plastik. Air sampel
tersebut disimpan pada cool bo yang telah berisi es batu.
Sedangkan pada stasiun ke 4 (kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus
carpio)), pengambilan sampel air dilakukan pada 2 kolam pembesaran ikan mas
dengan 3 titik berbeda pada masing-masing kolam, yaitu titik pertama berada
agak jauh dari inlet kolam, titik kedua pada bagian tengah kolam dan pada titik
ketiga berada agak jauh dari saluran outlet kolam. Pada masing-masing titik
pengambilan sampel dilakukan pengambilan sampel air setiap kedalaman yaitu
pada permukaan perairan, tengah perairan dan dasar perairan sesuai dengan
tiap titik kedalaman yang telah ditentukan. Kemudian sampel yang sudah didapat
dilakukan pengukuran kualitas air yang meliputi parameter fisika (suhu) dan
parameter kimia (pH dan oksigen terlarut) ketika berada di dalam kemerer water
20
sampler. Sedangkan air sampel untuk pengukuran total organic matter (TOM)
dan amoniak didapatkan dengan mencampurkan air yang telah diambil dengan
menggunakan kemerer water samplerpada 3 titik pengambilan (inlet kolam,
tengah kolam dan outlet kolam) dengan pengambilan setiap titiknya pada 3
kedalaman (permukaan, tengah dan dasar) perairan. Air yang telah didapat
dicampurkan pada bak plastik dan diambil sebanyak 1,5 liter air sampel yang
dimasukkan kedalam botol plastik. Air sampel tersebut disimpan pada cool bo
yang telah berisi es batu. Sampel air diletakan pada coolbox yang berisikan es
batu agar meminimalisir aktivitas bakteri pengurai dalam memanfaatkan bahan
organik selama perjalanan (40 menit) menuju Unit Pelaksanaan Teknis
Perikanan Air Tawar Uniersitas Brawijaya Sumber Pasir, Pakis, Kabupaten
Malang.
3.5 Parameter Kualitas Air
3.5.1 Pramater Fisika
a. Suhu
Prosedur pengukuran suhu menggunakan Thermometer Hg. Menurut
Kiwol (2008), pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan Thermometer
Hg. Adapun prosedur pengukurannya adalah :
1. Memasukkan Thermometer Hg ke dalam perairan.
2. Menunggu 3 sampai 5 menit.
3. Saat pengukuran Thermometer bagian atas ditutup saat pengukuran
untuk menghindari pengaruh sinar matahari secara langsung.
4. Tubuh diusahakan tidak menyentuh Thermometer karena suhu tubuh
dapat mempengaruhi suhu pada Thermometer.
21
5. Diusahakan dalam membaca skala suhu di thermometer, posisi
sebagian thermometer masih berada di perairan agar suhu udara
tidak mempengaruhi skala pada thermometer.
6. Mencatat angka yang tertera pada skala tersebut dalam satuan
derajat Celcius (0C).
3.5.2 Parameter Kimia
a. pH (Potential of Hydrogen)
Menurut Hariyadi et al. (1992), prosedur pengukuran pH menggunakan
pH meter tipe pH pen hanna hi 98107 pada perairan adalah sebagai berikut:
1. Melepaskan tutup pelindung pH meter .
2. Membersihkan elektroda dengan air suling dan metiriskan dengan
kertas saring.
3. Menghidupkan pH dengan tombol ON-OFF yang terletak di bagian
atas kotak baterai.
4. Merendam elektroda pH meter dalam air sampel yang akan diuji
sampai terlihat tampilan angka di tampilan atas pH meter.
5. Setelah digunakan, mematikan pH meter dengan tombol off.
6. Menggunakan air suling untuk membersihkan elektroda dan
mengganti tutup pelindungnya
b. Oksigen Terlarut (DO)
Metode yang digunakan untuk mengukur kadar oksigen terlarut di suatu
perairan berbeda-beda. Pada penelitian ini menggunakan DO meter YSI 52,
sesuai dengan manual prosedur penggunaan, cara kerja DO meter ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengkalibrasi DO meter tipe YSI 52 dengan larutan penyangga.
22
2. Elektroda dikeringkan dengan kertas tisu selanjutnya dibilas dengan
air suling.
3. Elektroda dibilas dengan air sampel yang akan diuji.
4. Elektroda dicelupkan ke dalam air sampel yang diuji sampai DO
meter menunjukkan pembacaan yang tetap.
5. Dicatat hasil pembacaan skala atau angka pada tampilan dari DO
c. Total Organic Matter (TOM)
Menurut Hariadi et al, (1992), Kadar bahan organik diukur dengan metode
titrasi, adapun langkahnya sebagai berikut:
1. Memasukkan 25 ml air sampel ke dalam Erlenmeyer.
2. Menambahkan 4,75 ml KMnO4 dari buret dan menambahkan 5 ml
H2SO4.
3. Memanaskan di atas water bath sampai suhu mencapai 70-80ºC
kemudian diangkat.
4. Bila suhu turun menjadi 60-70 ºC kemudian ditambahkan Na-
oxalate 0,01 N perlahan sampai tidak berwarna.
5. Dititrasi dengan KMnO4 0,01 N sampai terbentuk warna (merah
jambu/pink) dan volume KMnO4dicatat sebagi ml titran (x ml).
6. Melakukan prosedur (1-5) dengan menggunakan sampel berupa
aquadest dan dicatat titran yang digunakan sebagai (y ml). Kadar
TOM dalam peraian tersebut dihitung dengan menggunakan rumus:
𝑇𝑂𝑀 =(x − y) x 31,6 x 0,01 x 1000
ml sampel
Keterangan : x : ml titran untuk air sampel y : ml titran untuk aquadest 3,16 : dari BM KMnO4 (1 mol KMnO4 melepas 5 oksigen dalam reaksi) 0,01 : N KMnO4
23
d. Amoniak
Menurut SNI (1990), Prosedur pengukuran amoniak di perairan sebagai
berikut :
1 Melakukan penyaringan air sampel sebanyak 25 ml dengan
menggunakan kertas saring dengan cara.
2 Memasukan air sampel tersebut ke dalam erlenmeyer, menambahkan 0,5
ml larutan Nessler.
3 Mengocok dan dibiarkan proses reaksi berlangsung selama 30 menit.
4 Memasukan larutan yang telah tercampur ke dalam cuvet pada alat
spektrofotometer dengan Panjang gelombang 425nm, lalu membaca dan
mencatat hasilnya.
3.6 Analisa Data
Kandungan bahan organik yang telah diukur kemudian dianalisa secara
deskriptif, yaitu dengan cara membandingkan bahan organik yang didapatkan
saat penelitian dengan baku mutu kualitas air menurut Peraturan Pemerintah RI
NO. 82 Tahun 2001 kelas III. Baku mutu air Kelas III disini dimaksudkan adalah
air yang dapat dipergunakan untuk kegiatan budidaya perikanan. Data yang
diperoleh dari penelitian dapat ditampilkan dalam bentuk tabel, gambar dan
grafik dari beberapa tahap penelitian, sehingga menghasilkan suatu informasi
untuk mengetahui tingkat bahan organik pada UP BAT Punten.
Analisa parameter fisika dan kimia yang berpengaruh terhadap
kandungan bahan organik dibandingkan dengan PP RI No. 82 Tahun 2001, yang
selanjutnya dapat digambarkan dalam bentuk grafik. Nilai baku mutu dari tiap
parameter fisika dan kimia dapat dilihat pada tabel 1.
24
Tabel 1. Baku Mutu Parameter FIsika, Kimia dan Bahan Organik.
Parameter Nilai Baku Mutu Sumber
Suhu 27 ± 3 OC Hariyadiet. al, (1992)
pH 6-9 PP RI No. 82 Tahun 2001
Oksigen Terlarut (DO) ≥ 3 mg/l PP RI No. 82 Tahun 2001
Amoniak (NH3) ≤0,5 mg/l PP RI No. 82 Tahun 2001
TOM 26-60 mg/l Tarunamulia et al, (2016)
Hasil data bahan organik dan kualitas air dapat dianalisis secara
deskriptif. Setelah hasil kandungan bahan organik didapat, data dapat dilakukan
perbandingan dengan kandungan batas optimal yang telah ditentukan oleh
literatur dan PP RI No. 82 Tahun 2001 digunakan sebagai pembanding dari hasil
analisis kadar bahan organik. Perbandingan bahan organik dapat dilakukan pada
proses sebelum masuknya air , pada kolam kegiatan budidaya ikan dan saluran
pembuangan kegiatan budidaya (outlet).
3.7 Analisa Hubungan Bahan Organik Total dengan Amoniak
Untuk melakukan analisa hubungan antara nilai bahan organik total
dengan amoniak diperlukan uji korelasi dan uji regresi antara nilai bahan organik
total dengan nilai amoniak selama penelitan berlangsung. Menurut Kurniawan
dan Yuniarto (2016), uji korelasi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya
hubungan antar variabel dan keeratan hubungannya. Uji korelasi menunjukkan
arah dan kuatnya hubungan antar variabel yang diteliti. Arah hubungan dapat
bernilai positif, negatif dan juga tidak berhubungan. Sedangkan kuatnya
25
hubungan antar variabel dapat diukur dengan koefisien korelasi dimana nilai
koefisien korelasi berada pada rentang -1 hingga 1. Apabila nilai koefisien
korelasi mendekati angka -1 atau 1 maka hubungan antar variabel semakin kuat.
Nilai koefisien korelasi dan tipe hubungan korelasi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Koefisien Korelasi manurut Kurniawan dan Yuniarto (2016)
Interval Koefisien Tingkat Hubungan
0,00 - 0,199 Sangat Rendah
0,20 - 0,399 Rendah
0,40 - 0,599 Cukup Kuat
0,60 - 0,799 Kuat
0,80 - 1,000 Sangat Kuat
Sedangkan analisis regresi linier menurut Syilfi et al. (2012) merupakan
metode statistika yang digunakan untuk membentuk model atau hubungan
antara satu atau lebih variabel bebas (X) dengan variabel tak bebas (Y). Analisis
regresi dengan satu variabel bebas (X) disebut dengan regresi linier sederhana.
Jadi analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara
dua variabel atau lebih tanpa memperhatikan ada tidaknya hubungan kausal
atau timbal balik diantara variabel-variabel tersebut. Kemudian analisis regresi
digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan dua variabel.
26
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Secara geografis, Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Punten,
Kota Batu terletak di lereng Gunung Arjuna, tepatnya di Jalan Mawar Putih No.
86, Desa Sidomulyo, Punten, Kota Batu, Jawa Timur. Dibangun pada tahun
1918, tempat ini merupakan balai benih pertama yang didirikan di Jawa Timur.
Bahkan merupakan balai pertama di Indonesia yang bertujuan mengembangkan
penyuluhan perikanan dan penelitian ikan air tawar.
Berada di ketinggian sekitar 1.100 meter diatas permukaan laut,
pengairan Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Punten, Kota Batu
diambil dari Sungai Prambatan yang merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS)
Brantas dengan suhu udara antara 19oC-27,5oC dan suhu air antara 17oC-25oC
dan kemiringan lokasi 35 derajat. Di sini, para pengunjung balai dapat
menyaksikan berbagai jenis ikan air tawar dan jenis unggulan. Di antaranya ikan-
ikan konsumsi seperti ikan mas dan ikan nila. Sementara jenis ikan yang
termasuk ikan hias yakni ikan koi, ikan komet dan ikan koki. Adapun batas-batas
Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Punten, Kota Batu yaitu :
Sebelah utara : Desa Punten
Sebelah selatan : Kota Batu
Sebelah barat : Gunung Sari
Sebelah timur : Desa Bumiaji
Unit Pengelola Budidaya Air Tawar (UPBAT) Punten, Kota Batu juga
dijadikan pasar ikan tawar yang menyediakan berbagai jenis ikan air tawar, dari
ukuran benih hingga ukuran siap konsumsi. Unit Pengelola Budidaya Air Tawar
(UPBAT) Punten, Kota Batu ini juga melayani pembibitan sampai penjualan
produksi. Jenis ikan yang ada bervariasi, mulai dari ikan mas Punten yang
27
merupakan jenis ikan unggulan, ikan nila (merah, putih dan hitam), ikan koi, ikan
komet hingga ikan Red Devil.
4.2 Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel
Pengambilan air sampel dilakukan pada 5 titik stasiun yang terletak di
UPBAT Punten, Kota Batu. Kelima titik pengambilan sampel tersebut yaitu
stasiun pertama pada saluran inlet air sumber yang digunakan dalam kegiatan
budidaya di UPBAT Punten. Stasiun kedua terletak pada kolam pengendapan
setelah saluran inlet. Stasiun ketiga terletak pada sebuah saluran setelah kolam
pengendapan. Stasiun keempat berada pada kolam pembesarn ikan mas
(Cyprinus carpio). Sedangkan stasiun kelima berada pada saluran outlet setelah
kolam pembesaran ikan mas.
4.2.1 Stasiun Pengamatan 1
Pada stasiun pengamatan 1 di UPBAT Punten, Kota Batu terletak pada
sumber air yang dipergunakan untuk segala kegiatan perikanan di UPBAT
Punten. Sumber air ini berasal dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas yang
masuk menuju UPBAT Punten melalui saluran inlet seperti ditunjukkan pada
Gambar 2.
Gambar 1. Stasiun 1 saluran inlet di UPBAT Punten
(Dokumentasi Pribadi, 2018).
28
Saluran inlet ini memiliki kedalaman 40-60 cm dan memiliki panjang 5
meter sebelum masuk ke kolam pengendapan. Sedangkan ketinggian air pada
saluran inlet bergantung pada kondisi lingkungan disekitar. Pada umumnya
setelah terjadi hujan maka volume air pada saluran inlet akan meningkat akibat
adanya tambahan air hujan yang masuk ke DAS Brantas. Sumber air pada
saluran inlet mengalir terus menerus setiap harinya sehingga memiliki arus yang
relatif cepat dan mengakibatkan pengadukan yang merata dari permukaan
perairan hingga dasar perairan di saluran inlet.
4.2.2 Stasiun Pengamatan 2
Stasiun pengamatan 2 terletak pada kolam pengendapan yang berada di
UPBAT Punten, Kota Batu (Gambar 3). Kolam pengendapan di UPBAT Punten
berfungsi untuk menyaring air yang masuk melalui saluran inlet supaya sampah-
sampah plastik tidak dapat masuk ke kolam dan mengendapkan lumpur atau
pasir yang mungkin terbawa oleh arus agar tidak menyebabkan pendangkalan
pada kolam budidaya.
Gambar 2. Stasiun 2 kolam pengendapan di UPBAT Punten
(Dokumentasi Pribadi, 2018).
29
Kolam pengendapan berukuran 3 m x 5 m dengan kedalaman 1 m. Kolam
pengendapan terbuat dari beton pada dinding dan dasar kolam. Pada bagian
inlet dan outlet kolam pengendapan terdapat besi-besi penghalang sampah
plastik. Setiap satu bulan sekali endapan lumpur pada bagian dasar kolam
diangkat agar tidak terjadi pendangkalan dan menyebabkan keracunan bagi ikan
di UPBAT Punten. Pada kolam pengendapan juga digunakan sebagai kolam
penampungan indukan ikan mas.
4.2.3 Stasiun Pengamatan 3
Stasiun pengamatan 3 terletak pada saluran setelah kolam pengendapan.
Saluran ini berbentuk persegi berukuran 1 m x 1 m dengan kedalaman 30 cm.
Stasiun pengamatan yang ke 3 dapat dilihat pada Gambar 4. Pada saluran ini
juga terjadi pengendapan lumpur maupun kotoran yang mungkin lolos dari kolam
pengendapan. Arus air pada saluran ini relatif cepat dan memiliki ketinggian air
yang cukup dangkal. Pada saluran ini air mengalir dari kolam pengendapan
menuju ke kolam pembesaran ikan mas. Pada bagian atas dilindungi dengan
ram yang terbuat dari besi.
Gambar 3. Saluran setelah kolam pengendapan di UPBAT Punten
(Dokumentasi Pribadi, 2018).
30
4.2.4 Stasiun Pengamatan 4
Stasiun pengamatan 4 terbagi menjadi 2 yaitu kolam pembesaran ikan
mas (Cyprinus carpio) 4A dan kolam 4B (Gambar 5). Pada kedua kolam ini
memiliki ukuran yang sama yaitu 5 m x 8 m dengan konstruksi dinding terbuat
dari beton dan dasar kolam dari tanah. Kedua kolam ini dipilih karena memiliki
saluran outletyang menjadi satu sebelum keluar dari UPBAT Punten. Pada kedua
kolam ini berisi ikan mas dengan ukuran antara 15 cm – 30 cm dengan jumlah
kurang lebih 500 ekor. Ikan mas yang berada di kolam ini merupakan ikan mas
yang akan dibesarkan menjadi alon indukan ikan mas.
Gambar 4. Kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) di UPBAT Punten
(Dokumentasi Pribadi, 2018).
Pengambilan pada kedua kolam dilakukan dengam metode komposit yaitu
dengan mencampurkan air sampel pada 3 titik di kolam yaitu dekat inlet kolam,
tengah kolam dan dekat outlet kolam. Pengambilan air sampel pada tiap titik
dikolam dilakukan dengan alat bantu kemerrer water sampler untuk mengambil
sampel air setiap kedalaman di tiap titik. Kemudian air yang telah didapat
diampurkan pada ember plastik dan diambil 1,5 liter air sampel.
31
4.2.5 Stasiun Pengamatan 5
Stasiun pengamatan ke 5 terletak pada pertemuan 2 outlet kolam antara
kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) 4A dan kolam 4B. Ukuran dari
outlet ini tidak terlalu besar hanya berukuran 1,5 m x 50 cm dengan kedalaman 1
meter. Namun ketinggian air hanya berkisar 5-15cm setiap harinya. Gambar
outlet pada stasiun 5 dapat dilihat pada Gambar 6. Dikarenakan kolam
pembesaran ikan mas yang terus mengalir setiap harinya, maka selalu terdapat
buangan air. Tetapi air yang terbuang setiap harinya hanya berupa air
permukaan yang berasal dari kolam 4A dan 4B. Sedangkan pembuangan air dan
endapan di dasar kolam dilakukan setiap 1 kali sebulan.
Gambar 5. Outlet kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio)
(Dokumentasi Pribadi, 2018). 4.3 Analisa Bahan Organik Total
Pada penelitian ini parameter kualitas air yang menjadi pokok bahasan
adalah Total Organic Matter (TOM) pada kegiatan pembesaran ikan mas
(Cyprinus carpio) di UPBAT Punten, kota Batu. Pengambilan air sampel
dilaksanakan di UPBAT Punten dan selanjutnya pengukuran Total Organic
32
Matter di lakukan di Unit Pelaksanaan Teknis Perikanan Air Tawar Universitas
Brawijaya Sumber Pasir, Pakis, Kabupaten Malang.
4.3.1 Bahan Organik Total di Stasiun 1
Pengukuran dan analisa nilai bahan organik total di stasiun 1 dilakukan
pada saluran inlet yang menuju ke UPBAT Punten. Berdasarkan hasil
pengamatan kadar bahan organik total di stasiun 1 menunjukan hasil yang
berbeda-beda selama 6 kali pengamatan. Grafik pengamatan TOM pada stasiun
1 dapat dilihat pada Gambar 7. Kisaran nilai kadar bahan organik total pada
stasiun 1 yaitu antara 21,49 mg/l – 45,50 mg/l. Berdasarkan 6 kali pengukuran
bahan organik total pada stasiun 1, nilai TOM tertinggi berada pada pengukuran
ke 3 dan nilai bahan organik total terendah berada pada pengukuran ke 4.
Gambar 6. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 1.
Perbedaan nilai bahan organik total pada stasiun 1 disebabkan karena
berbedaan kondisi lingkungan dan aktivitas daratan yang berlangsung sebelum
memasuki wilayah UPBAT Punten. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mushthofa
et al. (2014), tingginya bahan organik yang masuk ke perairan berasal dari
43.61
30.34
45.50
21.4925.28 22.75
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
1 2 3 4 5 6
Kad
ar
TO
M(m
g/l
)
Ulangan
Bahan Organik Total Stasiun 1
33
peningkatan aktivitas di daratan seperti pemupukan di sawah dan tambak,
budidaya baik tumbuhan dan ikan, industri dan aktivitas rumah tangga yang
masuk ke dalam badan air dan mengendap di dasar perairan. Sedangkan faktor
kondisi lingkungan yang mempengaruhi masukan bahan organik menurut Faizal
et al. (2011), yaitu besaran limpasan (debit) sungai, curah hujan, luas daerah
aliran sungai serta musim. Pada musim penghujan jumlah suplai nutrien lebih
besar daripada saat musim kemarau. Sehingga meningkatkan masukan bahan
organik ke badan perairan.
4.3.2 Bahan Organik Total di Stasiun 2
Pengukuran dan analisa nilai bahan organk total di stasiun 2 dilakukan
pada kolam pengendapan setelah saluran inlet yang berada di UPBAT Punten.
Berdasarkan hasil pengamatan kadar bahan organik total TOM di stasiun 2
menunjukan hasil yang berbeda-beda selama 6 kali pengamatan. Kisaran nilai
kadar bahan organik total pada stasiun 1 yaitu antara 27,81 mg/l – 79,63 mg/l.
Grafik pengamatan TOM pada stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 7. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 2.
46.7741.71
79.63
27.81
49.30 45.50
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
1 2 3 4 5 6
Kad
ar
TO
M(m
g/l
)
Ulangan
BAHAN ORGANIK TOTAL STASIUN 2
34
Berdasarkan 6 kali pengukuran bahan organik total pada stasiun 2, nilai
TOM tertinggi berada pada pengukuran ke 3 sebesar 79,63 mg/l dan nilai bahan
organik total terendah berada pada pengukuran ke 4 dengan nilai 27,81 mg/l.
Berdasarkan hasil pengamatan, nilai bahan organik total pada stasiun 2
mengalami peningkatan dibanding dengan nilai bahan organik total di stasiun 1.
Hal ini dikarenakan pada stasiun 2 yang terletak di kolam pengendapan terjadi
sedimentasi lumpur di dasar kolam yang terbawa oleh aliran air. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari Wulansari (2011), yang menyatakan bahwa kolam
pengendapan dibutuhkan untuk mengendapkan materi tidak terlarut dan
mengeluarkannya dari dasar kolam sebagai suspensi yang disebut lumpur.
Sedangkan menurut pernyataan Maslukah (2013), tinggi rendahnya kandungan
bahan organik erat kaitannya dengan dengan ukuran butir sedimen. Pada
umumnya sedimen dengan ukuran partike yang lebih halus (lumpur) akan diikuti
dengan kenaikan bahan organik. Semakin halus sedimen kemampuan dalam
mengakumulasi bahan organik semakin besar.
4.3.3 Bahan Organik Total di Stasiun 3
Pengukuran dan analisa nilai bahan organik total di stasiun 3 dilakukan
pada saluran setelah kolam pengendapan yang berada di UPBAT Punten.
Berdasarkan hasil pengamatan kadar bahan organik total TOM di stasiun 3
menunjukan hasil yang berbeda-beda selama 6 kali pengamatan. Kisaran nilai
kadar bahan organik total pada stasiun 3 yaitu antara 50,56 mg/l – 78,37 mg/l.
Grafik pengamatan TOM pada stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 9.
Berdasarkan 6 kali pengukuran bahan organik total pada stasiun 3, nilai TOM
tertinggi berada pada pengukuran ke 3 sebesar 78,37 mg/l dan nilai bahan
organik total terendah berada pada pengukuran ke 2 dengan nilai 50,56 mg/l.
35
Secara keseluruhan nilai bahan organik total pada stasiun 3 mengalami
peningkatan dibandingkan stasiun 2.
Gambar 8. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 3.
Berdasarkan Gambar 9 menunjukkan bahwa kurang maksimalnya atau
tidak berfungsinya kolam pengendapan pada stasiun 2, dimana menurut Syah et
al. (2017), kolam sedimentasi atau kolam pengendapan merupakan suatu sistem
pengolahan air yang menyaring air secara fisik untuk mengurangi kandungan
padatan tersuspensi melalui proses pengendapan dengan bentuk kolam
bersekat untuk memperlambat arus aliran air sehingga memacu pengendapan
partikel padat. Selain itu terjadinya peningkatan bahan organik di stasiun 3 juga
disebabkan masukan limbah padatan yang berasal dari ikan mas (Cyprinus
carpio) dalam bentuk berupa feses dan sisa pakan yang tidak dikonsumsi oleh
ikan yang berada di kolam pengendapan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Jamal et al. (2013), yang menyatakan bahwa sisa pakan yang tidak dikonsumsi
oleh ikan dan feses hasil metabolisme ikan pada kegiatan budidaya dapat
menjadi sumber masukan bahan organik di perairan.
54.3550.56
78.37
57.51 54.3559.41
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
1 2 3 4 5 6
Kad
ar
TO
M(m
g/l
)
Pengamatn
BAHAN ORGANIK TOTAL STASIUN 3
36
4.3.4 Bahan Organik Total di Stasiun 4
Pengukuran kadar bahan organik total pada stasiun 4 dilakukan pada 2
kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) di UPBAT Punten, kota Batu.
Kolam pertama yaitu kolam 4A sedangkan kolam kedua yaitu 4B. Kemudaian
nilai bahan organik total pada kedua kolam tersebut dirata-rata. Pada kedua
kolam menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Kadar nilai bahan organik
total di stasiun 4 terendah terdapat pada ulangan ke 4 dengan nilai 63,2 mg/l.
Sedangkan nilai bahan organik total tertinggi terdapat pada penguuran ke 3
dengan nilai 75,84 mg/l. Grafik pengamatan TOM pada stasiun 4 dapat dilihat
pada Gambar 10.
Gambar 9. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 4.
Berdasarkan hasil pengukuran TOM pada Stasiun 4 dapat dilihat bahwa
terjadi peningkatan kadar TOM di stasiun 4 dibandingkan dengan stasiun 3. Hal
ini dapat disebabkan karena adanya masukan bahan organik dari pemberian
pakan yang tidak dikonsumsi oleh ikan dan juga fesses ikan. Hal ini sesuai
dengan pendapat dari Liang et al. (2013), bahwa peningkatan limbah padatan
66.12469.52
75.84
63.266.36 67.52
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
1 2 3 4 5 6
Kad
ar
TO
M(m
g/l
)
Ulangan
BAHAN ORGANIK TOTAL STASIUN 4
37
atau lebih dikenal sebagai partikel bahan organik yang berada dalam kegiatan
budidaya berasal dari fesses atau pakan yang dikonsumsi. Lebih jauh lagi
dijelaskan bahwa peningkatan bahan organik dalam sistem budidaya sebaiknya
dicegah karena hal ini dapat menurunkan kadar oksigen terlarut dan dapat
meningkatkan tingkat toksisitas amoniak ketika terurai. Berdasarkan data di
lapang jumlah ikan mas (Cyprinus carpio) yang ditebar di kolam pembesaran
stasiun 4A dan 4B masing-masing kolam berjumlah 500 ekor dengan panjang
ikan antara 15-30 cm. Sedangkan berat ikan rata-rata tiap individu sekitar 120
gram. Berdasarkan pernyataan Daelami (2001), takaran pemberian pakan harian
sebesar 5% per hari dari bobot total populasi yang dibagikan menjadi tiga
bagian, yaitu pagi, siang dan sore. Lebih lanjut lagi dijelaskan oleh Rahayu et al.
(2007), yang menyatakan bahwa besarnya pakan ikan yang tidak termakan oleh
ikan sebesar 27%-31%. Kemudian dari pakan yang dikonsumsi oleh ikan,
sebesar 20% akan dikeluarkan dalam bentuk feses, dapat dihitung bahwa
besaran pemberian pakan tiap hari sebesar 3 kg. Dari pemberian pakan tersebut,
sisa pakan yang tidak termakan sebesar 0,86 kg. Sedangkan bahan organik
yang berasal dari sisa metabolisme berupa fesses sebesar 0,42 kg. Dari
perhitungan tersebut maka jumlah bahan organik yang berasal dari sisa pakan
yang tidak termakan dan fesses berjumlah 1,29 kg tiap harinya.
4.3.5 Bahan Organik Total di Stasiun 5
Pengukuran nilai bahan organik total pada stasiun 5 dilakukan pada
saluran outlet setelah kolam pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio).
Berdasarkan hasil pengukuran bahan organik total di stasiun 5 didapatkan nilai
yang berbeda-beda namun dengan rentang selisih yang tidak terlalu jauh. Nilai
bahan organik total tertinggi pada pengukuran ke 3 dengan nilai 94,80 mg/l.
Sedangkan nilai bahan organik total terendah terletak pada pengukuran ke 4
38
dengan nilai 78,37 mg/l. Grafik pengamatan TOM pada stasiun 5 dapat dilihat
pada Gambar 11. Secara keseluruhan nilai bahan organik total pada stasiun 5
telah melebihi batas maksimum bahan organik total yang dapat ditolerir di
perairan.
Gambar 10. Hasil pengukuran Bahan Organik Total di Stasiun 5.
Berdasarkan pendapat dari Tarunamulia et al. (2016), kandungan bahan
organik total yang masih dapat diterima oleh perairan berkisar antara 26mg/l – 60
mg/l. Selain itu perairan yang memiiki kandungan bahan organik total lebih dari
26 mg/l tergolong subur. Tingginya nilai bahan organik di perairan ini disebabkan
karena adanya masukan yang berasal dari sisa pakan dan feses ikan dari kolam
pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio). Tingginya nilai bahan organik di
perairan dapat memicu terjadinya proses eutrofikasi, yaitu suatu kondisi di
perairan dimana perairan mengalami peningkatan kadar bahan organik dengan
ditandai adanya peningkatan jumlah fitoplankton dan tumbuhan air (bloomig
algae) (Simbolon, 2016).
87.22 88.4894.80
78.3782.16 84.69
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
1 2 3 4 5 6
Kad
ar
TO
M(m
g/l
)
Ulangan
BAHAN ORGANIK TOTAL STASIUN 5
39
4.3.6 Rata-Rata Bahan Organik Total Setiap Stasiun
Pada perhitungan nilai rata-rata bahan organik total selama 6 kali
pengukuran setiap stasiun didapatkan hasil rata-rata TOM pada stasiun 1
sebesar 31,49 ± 10,58 mg/l. Pada stasiun 2 nilai rata-rata TOM sebesar 48,45 ±
17,06 mg/l. Di stasiun 3 memiliki nilai rata-rata TOM sebesar 59,09 ± 9,92 mg/l.
Nilai rata-rata TOM pada stasiun 4 sebesar 68,09 ± 4,32 mg/l. Sedangkan pada
stasiun 5 memiliki nilai rata-rata TOM sebesar 85,95 ± 5,66 mg/l. Grafik
pengamatan rata-rata TOM pada setiap stasiun dapat dilihat pada Gambar 12.
Gambar 11. Hasil Pengamatan Rata-Rata TOM Setiap Stasiun
Berdasarkan nilai rata-rata bahan organik total tiap stasiun, presentase
kenaikan bahan organik dari stasiun 1 ke stasiun selanjutnya sebesar 53,85%
pada stasiun 2. Pada stasiun 3 mengalami kenaikan bahan organik sebesar
87,64%. Sedangkan pada stasiun 4 mengalami kenaikan bahan organik total
sebesar 116,22%. pada stasiun 5 kenaikan bahan organik total sebesar
172,94%. Hasil pengamatan rata-rata bahan organik total tiap setasiun terlihat
31.49 48.45 59.09 68.09 85.950.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
90.00
100.00
1 2 3 4 5
Kad
ar
TO
M (m
g/l
)
Stasiun
Rata-rata Bahan Organik Total
40
bahwa terjadi kenaikan nilai bahan organik total dari saluran inlet di stasiun 1
hingga saluran outlet pada stasiun 5. Namun nilai bahan organik total pada
stasiun 1, 2 dan 3 masih berada pada dalam batas normal nilai bahan organik
total yang dapat diterima oleh perairan dimana menurut Tarunamulia et al. Batas
normal nilai bahan organik total antara 26mg/l-60mg/l. Sedangkan pada stasiun 4
dan 5 nilai bahan organik total pada kedua stasiun telah melampaui kadar batas
normal bahan organik total di perairan. Kenaikan nilai bahan organik total di
perairan disebabkan adanya masukan bahan organik yang berasal dari kegiatan
pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) di UPBAT Punten. Bahan Organik yang
berasal dari sisa pakan dan fesses ikan dapat meningkatkan nilai bahan organik
total. Apabila kenaikan nilai bahan organik total ini dibiarkan saja dapat memacu
eutrofikasi. Meskipun secara alami bahan organik dapat dimanfaatkan oleh
mikroorganisme melalui proses dekomposisi, namun apabila jumlah bahan
organik yang terlalu banyak maka proses dekomposisi juga memerlukan oksigen
terlarut di perairan cukup besar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ling et al.
(2007), yang menyatakan bahwa konsekuensi dari tingginya bahan organik di
perairan adalah menurunnya kadar osigen terlarut akibat proses dekomposisi
bahan organik oleh mikroorganisme. Selain itu juga beresiko timbulnya ledakan
alga diperairan. Apabila hal ini dibiarkan akan berakibat matinya organisme
perairan.
4.4 Analisa Kualitas Air
Pada pengukuran kualitas air terdiri dari faktor fisika (suhu) dan faktor
kima (pH, oksigen terlarut dan ammonia). Pengukuran kualitas air ini dilakukan
secara in situ dan ex situ. Pengukuran kualitas air suhu, pH dan oksigen terlarut
di lakukan secara in situ yang dilaksanakan di UPBAT Punten, kota Batu.
41
Sedangkan pengukuran ammonia dilakukan secara ex situ yang dilaksanakan di
Unit Pelaksana Teknis Sumber Pasir, kabupaten Malang.
4.4.1 Suhu
Pengukuran suhu dilakukan setiap pengambilan sampel air di UPBAT
Punten di setiap stasiun pengamatan. Berdasarkan hasil pengamatan kualitas
air, suhu perairan di UPBAT Punten berkisar antara 21,5oC–27,6oC. Hasil
pengukuran suhu dapat dilihat pada Tabel 3. Suhu di UPBAT Punten sudah
tergolong baik untuk kegiatan pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio). Hal ini
sesuai dengan pernyataan Bachtiar (2002), bahwa ikan mas masih dapat hidup
pada perairan dengan suhu 4oC–30oC.
Tabel 1. Data Pengukuran Suhu di UPBAT Punten
PENGUKURAN SUHU DI UPBAT PUNTEN (oC)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4A
Stasiun 4B
Stasiun 5
Pengukuran 1 22,7 22,4 23,6 26,3 25,8 27,4
Pengukuran 2 22 23,1 21,5 24,9 27 25,5
Pengukuran 3 23,7 25,3 24 26,3 26,8 27,6
Pengukuran 4 23,1 24,2 25,3 27,3 27,6 27,4
Pengukuran 5 22,4 21,5 22,3 25,5 26,9 26,1
Pengukuran 6 22,9 22,5 24,8 26,9 27,5 27,5
Hal ini dikarenakan ikan mas merupakan jenis ikan yang bersifat
thermofil, yaitu mampu menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan
suhu lingkungan yang ditempatinya. Sedangkan suhu optimum untuk
pemeliharaan ikan mas sekitar 25oC–30 oC. Suhu air sangat mempunyai peran
penting dalam menentukan pertumbuhan dan kehidupan organisme perairan
yang dibudidayakan. Suhu juga mempengaruhi laju metabolisme. Hal ini sesuai
42
dengan penyataan Jaja dan Sumantadinata (2013), yang menyatakan bahwa
suhu rendah dibawah normal dapat menghilangkan nafsu makan pada ikan
sehingga ikan lebih rentang terserang penyakit. Sebaliknya pada suhu yang
melebihi batas normal akan mengakibatkan ikan stress pernafasan dan bahkan
keruskan insang.
Suhu juga mempengaruhi kandungan oksigen terlarut di perairan yang
sangat dibutuhkan organisme budidaya maupun diperlukan dalam proses
dekomposisi bahan organik. Menurut pernyataan dari Kelabora (2010), pada
suhu yang tinggi dapat mengurangi kandungan oksigen sehingga mempengaruhi
nafsu makan ikan. Kenaikan suhu akan berbanding lurus dengan derajat
metabolisme dan kebutuhan oksigen. Hal ini sesuai dengan hukum Van’t Hoff
yang menyatakan bahwa untuk setiap perubahan kimiawi, kecepatan reaksinya
naik 2-3 kali lipat setiap kenaikan 10 oC. Sedangkan perubahan suhu secara
derastis sebesar 5 oC dapat mengakibatkan stress pada ikan atau
membunuhnya. Berdasarkan pernyataan tersebut, apabila pada suhu yg terlalu
rendah dapat menurunkan nafsu makan maka akan memungkinkan
meningkatnya akumulai pakan yang tidak termakan pada saat pemberian pakan
pada ikan budidaya. Sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi, dapat
meningkatkan kerja metabolisme tubuh ikan dan meningkatnya nafsu makan
ikan. Sehingga masukan bahan organik akan meningkat dengan bertambahnya
jumlah fesses ikan yang dikeluarkan.
4.4.2 pH
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air, nilai pH di UPBAT Punten
berkisar antara 6,3-7,5. Hasil Pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai pH
di UPBAT Punten sudah tergolong baik untuk kehidupan organisme budidaya
terutama bagi ikan mas (Cyprinus carpio). Seperti pendapat dari Cahyono
43
(2001), Kisaran derajat keasaman (pH) perairan yang cocok untuk budidaya ikan
secara umum berkisar antara 5-8,7. Pada kisaran pH tersebut cukup memenuhi
syarat untuk kehidupan ikan. Sedangkan secara khusus pH optimum untuk
kegiatan budidaya ikan mas berkisar antara 7,5-8,5. Tinggi atau rendahnya nilai
pH berhubungan erat dengan kadar CO2 terlarut di perairan. Kadar CO2 terlarut
yang tinggi dapat meningkatkan keasaman air (pH air rendah). Kadar CO2 tinggi
pada umumnya berlangsung pada pagi hari, sehingga nilai pH akan rendah.
Namun pH akan kembali normal pada siang hari saat pemanfaatan CO2 untuk
proses fotosintesis.
Tabel 2. Data Pengukuran pH di UPBAT Punten.
PENGUKURAN pH DI UPBAT PUNTEN
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4A
Stasiun 4B
Stasiun 5
Pengukuran 1 6,7 6,6 6,7 7,1 7 7,1
Pengukuran 2 6,7 6,7 6,3 6,7 6,7 6,8
Pengukuran 3 6,5 6,5 6,4 7,1 7,5 7,4
Pengukuran 4 6,6 6,4 6,7 6,9 6,6 7,2
Pengukuran 5 6,7 6,5 6,5 6,9 7,2 7,2
Pengukuran 6 6,8 6,5 6,6 7,3 7,2 6,9
Menurut pernyataan dari Supriyantini et al. (2017), Tinggi rendahnya nilai
pH juga dapat dipengaruhi tinggi rendahnya nilai total organic matter di perairan.
Tingginya nilai total organic matter diikuti dengan menurunnya nilai pH. Hal ini
dikarenakan hasil rekasi oksidasi bahan organik menghasilkan sejumlah ion H+
yang dapat menurunkan pH. Sedangkan pernyataan Supriyantini et al. (2017),
menambahkan bahwa pH air yang sedikit basa dapat mendorong proses
perombakan bahan organik dalam air menjadi mineral-mineral (garam amoniak
dan nitrat) yang dapat diasimilasikan oleh tumbuhan. Hal ini sesuai dengan
44
pendapat Rosmarkam dan Yuwono (2002), yang menyatakan bahwa
perombakan bahan organik terjadi cukup lancar pada pH yang sedikit tinggi. Hal
ini disebabkan pH berpengaruh terhadap kegiatan dan kehidupan jasad renik.
4.4.3 Oksigen Terlarut
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air, oksigen terlarit (DO) di
UPBAT Punten berkisar antara 6,07 mg/l-8,98 mg/l. Data hasil pengukuran
oksigen terlarut dapat dilihat pada Tabel 5. Dilihat dari datatersebut, nilai rata-
rata selama 6 kali pengukuran tiap stasiun yaitu pada stasiun 1 sebesar 8,17
mg/l, stasiun 2 sebesar 7,94 mg/l, stasiun 3 sebesar 7,81 mg/l, stasiun 4 sebesar
7,70 mg/l dan stasiun 5 sebesar 7,30 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kadar
oksigen terlarut di UPBAT Punten sudah tergolong baik untuk kegiatan budidaya
ikan mas, sesuai dengan pernyataan dari Cahyono (2000), kandungan oksigen
terlarut yang ideal untuk kehidupan ikan secara umum adalah > 4 mg/l.
Tabel 3. Data Pengukuran Oksigen Terlarut di UPBAT Punten
PENGUKURAN OKSIGEN TERLARUT DI UPBAT PUNTEN (mg/l)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4A
Stasiun 4B
Stasiun 5
Pengukuran 1 7,34 8,74 8,86 7,53 8,32 7,98
Pengukuran 2 8,30 7,63 8,34 7,79 8,23 7,76
Pengukuran 3 7,48 6,07 7,21 6,31 6,33 6,43
Pengukuran 4 8,98 8,73 7,56 8,47 7,74 7,39
Pengukuran 5 8,46 8,52 7,62 8,05 7,93 7,55
Pengukuran 6 8,46 7,93 7,29 8,53 7,64 6,68
Sedangkan nilai oksigen terlarut yang optimal untuk kehidupan ikan mas
berkisar antara 5 mg/l-7mg/l. Menurut Solichin et al. (2013), Kebutuhan ikan
terhadap oksigen tergentung pada jenis, ukuran, aktivitas, suhu dan kualitas
45
pakan. Pada ikan yang berukuran kecil masih dapat bertahan pada DO 1,0 mg/l-
3,0 mg/l. Pada DO 0,0 mg/l-0,3mg/l ikan akan mati, sedangkan pada DO 1,0
mg/l-5,0mg/l ikan akan mengalami pertumbuhan yang lambat. Pendapat ini di
perjelas lagi oleh pernyataan Susanto (2000), bahwa kadar oksigen yang rendah
akan mempengaruhi nafsu makan ikan. Apabila kadar oksigen terlarut 1,5 mg/l,
nafsu makan ikan akan berkurang dan jika kandungan oksigen terlarut kurang
dari 1,5 mg/l maka ikan akan berhenti makan. Apabila oksigen dalam jumlah
yang banyak ikan-ikan akan jarang mati. Tetapi dalam keadaan tertentu dapat
mematikan ikan, sebab dalam pembuluh-pembuluh darah terjadi emboli gas yang
mengakibatkan tertutupnya pembuluh-pembuluh rambut dalam daun-daun
insang.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa terjadinya penurunan nilai
oksigen terlarut dari stasiun 1 (inlet) hingga stasiun 5 (outlet). Hal ini disebabkan
karena adanya peningkatan nilai bahan organik dari setiap stasiun, dimana nilai
rata-rata total organic matter tertinggi berada di stasiun 5 dengan nilai 85,95 mg/l.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Mushthofa et al. (2014), berkurangnya nilai
oksigen terlarut dapat berakibat cukup serius bagi organisme perairan.
Berkurangnya nilai oksigen terlarut erat kaitannya dengan kandungan bahan
organik di perairan. Semakin tinggi nilai bahan organik akan menurunkan nilai
oksigen terlarut. Apabila penurunan oksigen terlarut terjadi terus menerus akan
mengakibatkan kondisi perairan menjadi anaerob dan mengakibatkan kematian
organsme perairan.
4.4.4 Ammonia
Berdasarkan hasil pengamatan kualitas air, amoniak pada UPBAT Punten
berkisar antara 0,04 mg/l – 0,58 mg/l. Data hasil pengukuran amoniak dapat
dilihat pada Taabel 6. Dari nilai tersebut menunjukkan bahwa kadar amoniak di
46
UPBAT Punten tergolong cukup baik untuk kehidupan ikan mas. Hal ini sesuai
dengan pernyataan dari Ghufran dan Kordi (2004), bahwa kadar amoniak yang
masih dapat di tolerir oleh ikan mas sebesar < 1,2 mg/l. Sedangkan menurut
Putri et al. (2014), tingginya akumulasi amoniak berasal dari penumpukan sisa
pakan yang tidak termakan oleh ikan dan kotoran ikan yang terdapat di dasar
kolam. Selain itu peningkatan kadar amoniak juga disebabkan oleh aktivitas
jasad renik dalam melakukan proses dekomposisi bahan organik. Tinggi
rendahnya nilai amoniak juga dipengaruhi oleh suhu, pH dan kandungan oksigen
terlarut d perairan. Hal ini didukung oleh pernyataan Masitoh et al. (2015),
semakin tinggi konsentrasi oksigen, suhu dan pH maka makin tinggi pula
konsentrasi amoniak di perairan. Amoniak dapat mempengaruhi pertumbuhan
ikan, serta amonia yang tinggi dapat menyebabkan racun pada kondisi perairan
yang memiliki kadar oksigen terlarut rendah dan berbahaya bagi kehidupan
organisme.
Tabel 4. Data pengukuran Amoniak di UPBAT Punten.
PENGUKURAN AMMONIAK DI UPBAT PUNTEN
Stasiun
1 Stasiun
2 Stasiun
3 Stasiun
4A Stasiun
4B Stasiun
5
Pengukuran 1
0,11 0,16 0,21 0,32 0,23 0,49
Pengukuran 2
0,08 0,10 0,17 0,27 0,29 0,54
Pengukuran 3
0,15 0,44 0,42 0,35 0,40 0,58
Pengukuran 4
0,04 0,06 0,20 0,25 0,24 0,45
Pengukuran 5
0,05 0,18 0,20 0,27 0,26 0,48
Pengukuran 6
0,04 0,16 0,21 0,24 0,37 0,48
47
Berdasarkan data diatas terlihat bahwa adanya peningkatan nilai rata-rata
amoniak dari setiap stasiun. Nilai rata-rata amoniak pada setiap stasiun berada
diambang batas aman yang dapat diterima oleh perairan umum, dimana menurut
PP RI No. 82 Tahun 2001 yang menyatakan bahwa ambang batas nilai amoniak
yang baik untuk perairan sebesar < 0,5 mg/l. Menurut Effendi et al. (2015),
amoniak bebas (NH3) bersifat toksik bagi biota perairan, sedangkan NH4+ dapat
dimanfaatkan langsung oleh tumbuhan. Daya racun amonia akan meningkat
sebanding dengan adanya penurunan nilai oksigen terlarut dan peningkatan nilai
pH di peraian. Pada pH > 8,75 sebesar 30% amoniak akan berubah menjadi
amoniak bebas yang lebih toksik. Secara alami amoniak dapat tereduksi melalui
proses nitrifikasi dengan bantuan bakteri Nitrosomonas dan Nitrobacter.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Wicaksana et al. (2015), bahwa salah
satu upaya penurunan nilai amoniak adalah dengan penerapan biofilter seperti
akuaponik. Sistem biofilter akan merombak amonia menjadi senyawa yang tidak
membahayakan kelangsungan hidup organisme perairan. Amoniak akan
dioksidasi oleh bakteri Nitrosomonas menjadi nitrit. Selanjutnya dalam kondisi
aerob, nitrit akan dioksidasi oleh bakteri Nitrobacter menjadi nitrat. Nitrat yang
dihasilkan merupakan salah satu sumber utama tanaman untuk tumbuh dan
berkembang. Proses nitrifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti oksigen
terlarut, bahan organik, suhu dan pH. Nitrifikasi akan berjalan dengan baik pada
oksigen terlarut > 1 mg/l, suhu 25-35oC dan pH 7,5-8,6. Selama pengamatan
berlangsung nilai oksigen terlarut sebesar 6,07 mg/l-8,98 mg/l., pH 6,3-7,5 dan
suhu 21,5oC–27,6oC sehingga proses nitrifikasi dapat berjalan cukup baik.
4.5 Hubungan Bahan Organik Total dengan Amoniak
Hubungan bahan organik total dan amoniak dapat dicari melalui analisis
korelasi dan analisis regresi linier sederhana. Analisis korelasi dan analisis
48
regresi linier sederhana dibantu dengan aplikasi SPSS 16 dalam pengolahan
data. Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui keeratan hubungan antara
dua variabel atau lebih tanpa memperhatikan ada tidaknya hubungan kausal
atau timbal balik diantara variabel-variabel tersebut. Kemudian analisis regresi
digunakan untuk mengetahui bentuk hubungan dua variabel. Berdasarkan
pengelolaan data dengan aplikasi SPSS 16 didapatkan hasil nilai koefisien
korelasi yang ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 5. Hasil Analisis Korelasi
Hubungan
Parameter Koefisen Korelasi (r)
Tingkat Hubungan
P-Value
Bahan Organik Total dan Amoniak
0,964 Sangat Kuat 0,000
Hasil analisis korelasi antara bahan organik total dan amoniak ditunjukkan
oleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar +0,964. Nilai ini menyatakan bahwa
hubungan bahan organik total dan amoniak berkorelasi positif dan sangat kuat.
Menurut Arikunto (2006), jika nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,80-1,000
artinya antar variabel memiliki hubungan yang sangat kuat. Berdasarkan output
P-Value yang diperoleh sebesar 0,000 yang mana lebih kecil dari α= 0,05 dapat
di interpretasikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara bahan
organik total dengan amoniak. Sedangkan hasil analisis regresi bahan organik
total dan amoniak dengan aplikasi SPSS 16 ditunjukkan pada Tabel 8.
Berdasarkan Tabel 7. diperoleh nilai koefisien determinasi R2 sebesar 0,930. Hal
ini memberikan informasi bahwa sebesar 93% nilai amoniak di UPBAT Punten
dipengaruhi oleh konsentrasi bahan organik total di perairan. Sedangkan 7%
lainnya dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti parameter fisika kimia perairan
seperti suhu, pH dan oksigen terlarut
49
Tabel 6. Hasil analisis regresi total bahan organik terhadap amoniak
Variabel Entered/Removed
Variabel Independent Bahan Organik Total
Variabel Dependent Amoniak
Coefficients
Parameter Koefisien Std. Error T-
Hitung P-
Value
Intersep/Konstanta -0,179 0.022 -8,195 0
In (X) 0,007 0,000 21,267 0
Summary
R 0,964
R Square 0,930
Adjusted R Square 0,928
Model Regresi Y = - 0,179 + 0,007 X
Berdasarkan analisis regresi menggunakan SPSS 16, persamaan model
linier yang diperoleh yaitu Y = - 0,179 + 0,007 X. Y merupakan niali amoniak dan
X adalah niali bahan organik total. Apabila nilai bahan organik total naik 1%
maka akan meningkatkan nilai amoniak sebesar 0,007%. Disisi lain, intersep
yang bernilai -0,179 menunjukkan bahwa jika nilai bahan organik bersifat konstan
maka estimasi nilai amoniak sebesar e(-0,179) yaitu 0,83 mg/l. Grafik hubungan
bahan organik total dan amoniak dapat dilihat pada Gambar 13.
Gambar 12. Grafik Hubungan Bahan Organik Total dan Aminiak
R = 0,964 R-Square = 0,93
Y = - 0,179 + 0,007 X
50
Berdasarkan Gambar 13. dapat dilihat bahwa setiap kenaikan 1 satuan
bahan organik total akan menaikkan nilai amoniak sebesar 0,007%. Hal tersebut
sesuai dengan hasil uji analisis regresi antara bahan organik total dan amoniak di
UPBAT Punten. Amoniak merupakan salah satu hasil perombakan bahan
organik yang berada di perairan. Amoniak bersifat racun di perairan apabila tidak
teroksidasi oleh bakteri. Tingginya nilai amoniak di perairan dapat merusak
insang dan mengakibatkan kematian. Menurut Wulandari et al. (2015), semakin
meningkatnya kadar bahan organik maka akan meningkatkan kadar amoniak di
perairan. Hal ini disebabkan karena bahan organik yang mengendap dan
terdekomposisi menjadi senyawa beracun seperti amoniak (NH3) dan nitrit (NO2).
Berdasarkan perhitungan persamaan regresi pada Gambar 13 maka kadar
bahan organik sebesar 60 mg/l (batas maksimum bahan organik diperairan
umum) dapat menghasilkan amoniak sebesar 0,24 mg/l. Sedangkan bahan
organik 85,95 mg/l (rata-rata bahan organik pada outlet) dapat menghasilkan
amoniak sebesar 0,42 mg/l dimana nilai tersebut merupakan batas maksimum
nilai amoniak di perairan (≤ 0,5 mg/l).
51
5. KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Terjadinya fluktuasi kadar bahan organik total TOM pada kegiatan pembesaran ikan
mas (Cyprinus carpio) yang dilaksanakan di UPBAT Punten, kota Batu. Kadar bahan
organik total terendah dari 5 stasiun terdapat pada stasiun 1 yang terletak pada inlet UPBAT
Punten sebesar 31,49 ± 10,58 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi perairan sebelum
kegiatan budidaya masih tergolong baik. Rata-rata bahan organik total setiap stasiun
sebesar 31,49 ± 10,58 mg/l pada stasiun 1, 48,45 ± 17,06 mg/l pada stasiun 2, 59,09 ± 9,92
mg/l pada stasiun 3, 68,09 ± 4,32 mg/l pada stasiun 4 dan 85,95 ± 5,66 mg/l pada stasiun 5.
Peningkatan rata-rata kada bahan organik pada kegiatan pembesaran ikan mas pada outlet
sebesar 172,94%. Bila dibandingkan dengan rata-rata bahan organik total di inlet mulanya
31,49 ± 10,58 mg/ menjadi 85,95 ± 5,66 mg/l.
5.2 Saran
Air sisa kegiatan pembesaran ikan mas (Cyprinus carpio) di UPBAT Punten, kota
Batu disarankan agar melalui proses pengolahan terlebih dahulu sebelum dikeluarkan ke
perairan umum. Hal ini bertujuan untuk mengurangi konsentrasi bahan organik total TOM
yang mencapai 85,95 ± 5,66 mg/l agar dapat diturunkan sesuai baku mutu yang ada yaitu
antara 26-60 mg/l. maupun amonia yang ada pada air buangan kegatan budidaya tersebut.
Hal ini bertujuan agar air sisa kegiatan pembesaran ikan mas di UPBAT Punten tidak
menambah bahan organik di sungai.
52
DAFTAR PUSTAKA
Afriansyah, I. Dewiyanti dan I. Hasri. 2016. Keragaan Nitrogen dan T-Phosfat pada Pemanfaatan Limbah Budidaya Ikan Lele (Clarias gariepinus) oleh Ikan Peres (Osteochilus kappeni) dengan Sistem Resirkulasi. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsiyah. 1(2): 252-261.
Ali, A., Soemarno dan M. Purnomo. 2013. Kajian Kualitas Air dan Status Mutu Air
Sungai Metro di Keamatan Sukun Kota Malang. Jurnal Bumi Lestari.
13(2): 265-274. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta.
Jakarta. Bachtiar, Y. 2002. Pembesaran Ikan Mas di Kolam Pekarangan. AgroMedia :
Jakarta Selatan. Hlm 3-4. Basmi, J. 1991. Pola Distribusi dan Peran Bahan Organik terhadap Kualitas Air
pada Zona Eutrofik di Sekitar Perikanan Net Apung di Danau Lido Jawa Barat. Tesis Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor
Cahyono, B. 2000. Budi Daya Ikan Air Tawar. Kanisius: Yogyakarta. Hlm 38. Daelami, A.S., Deden. 2001. Usaha Pembenihan Ikan Hias Air Tawar. Jakarta:
Penebar Swadaya. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 117. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta. Hlm 117-118. Faizal, A., J. Jompa. dan C. Rani. 2011. Dinamika Spasio-Temporal Tingkat
Kesuburan Perairan di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan
Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius: Yogyakarta. Hlm 32. Febrianto,J., M. Y. J. Purwanto dan R. Santoso. 2016. Pengolahan Air Limbah
Perikanan Melalui Proses Anaerob Menggunakan Bantuan Material Bambu. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan. 1(2): 83-90.
Ghufran, M dan Kordi K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan.
Penerbit Bina Adiaksa dan Rineka Cipta. Jakarta. Hal 190. Ghufran, M. dan H. Kordi. 2010. Budi Daya Perairan Buku Kedua. Itra Aditya
Bakti: Bandung. Hlm 488. Gunadi, Bambang dan Hafsaridewi, Rani. 2008. Pengendalian limbah ammonia
budidaya ikan lele dengan system heterotrofik menuju system akuakultur nir-limbah. J. Ris. Akuakultur. Vol. 3 (3) : 437-448.
53
Hariyadi, S., I. N. N Supriyadiputra., B Widigdo. 1992. Limnologi. Institut
Pertanian Bogor: Bogor. Iswandi, F., S. A. El-Rahimi dan I. Hasri. 2016. Pemanfaatan Limbah Budidaya
IkanLele (Clarias gariepinus) Sebagai Pakan Alami Ikan Peres (Osteochillus sp.) Pada Sistem Resirkulasi. Jurnal Ilmiah Mahasiswa Kelautan dan Perikanan Unsyiah. Vol 1(3) : 307-317.
Jaja, A. S. dan K. Sumantadinata. 2013. Usaha Pembesaran dan Pemasaran
Ikan Lele Serta Strategi Pengembangan di UD Sumber Rezeki Parung, Jawa Barat. Manajemen IKM. 8(1): 45-56.
Jamal, E., N. Pieris, F. Piris, R. Sudharma dan E. Septiningsih. 2013.
Konsentrasi Amonia, Nitrit dan Fosfat pada Lingkungan Budidaya Ikan di Perairan Poka Teluk Ambon Dalam. Jurnal TIRTON. 9(2): 87-93.
Kelabora. D. M. 2010. Pengaruh Suhu Terhadap Kelangsungan Hidup dan
Pertumbuhan Larva Ikan Mas (Cyprinus carpio). 38(1): 71-81.
Khairuman, H. 2013. Budi Daya Ikan Mas. AgroMedia Pustaka : Jakarta Selatan.
Hlm 14. Khairuman, H., D. Sudenda dan B. Gunadi. 2008. Budi Daya Ikan Mas Secara
Intensif. AgroMedia Pustaka : Jakarta Selatan. Hlm 7. Kiwol, C. B. D. J. 2008. Analisis Logam Berat Merkuri (Hg) pada Gastropoda
Lumpur dan Air Di teluk Amurang Kabupaten Minahasa Selatan. Chem
Prog. I(2): 71-77. Kordi, H. dan A. Tamsil. 2010. Pembenihan Ikan Laut Ekonomis Secara Buatan.
Lily Publisher: Yogyakarta. Hlm 45. Kurniawan, R. dan B. Yuniarto. 2016. Analisis Regresi: Dasar dan Penerapannya
dengan R. Kencana: Jakarta. Hlm 19-22. Ling C., Weimin W., Yi Y., Chengtai Y., Zonghui Y., Shanbo X. dan James D.
2013. Environmental Impact of Aquaculture and Countermeasures to Aquaculture Pollution in China. Environmental Science and Pollution Research. 14 (7): 452-462.
Manengkey, Hermanto W.K. 2010. Kandungan Bahan Organik pada Sedimen Di
Perairan Teluk Buyat dan Sekitarnya. Jurnal Perikanan dan Kelautan Tropis. Vol. VI(3).
Marwoto, R. M. dan N. R. Isnaningsih. 2014. Tinjauan Keanekaragaman Moluska
Air Tawar di Beberapa Situ di DAS Ciliwung-Cisadane. Berita Biologi. 13(2): 181-189.
Maulana, M. H., L. Maslukah dan S. Y. Wulandari. 2014. Studi Kandungan Fosfat
Bioavailabel dan Karbon Organik Total pada Sedimen Dasar di Muara Sungai Manyar Kabupaten Gresik. Buletin Oseanografi Marina Januari. 3(1): 32-36.
54
Maslukah, L. 2013. Hubungan Antara Konsentrasi Logam Berat Pb, Cd, Cu, Zn dengan Bahan Organik dan Ukuran Butir dalam Sedimen di Estuari Banjir Kanal Barat, Semarang. Buletin Oseanografi Marina. 2 : 55-62
Mubyarto dan Suratno. 1981. Metode Penelitian Ekonomi. Yayasan Agro
Ekonomika Mushthofa, A., M.R. Muskananfola dan S. Rudiyanti. 2014. Analisis struktur
komunitas makrozoobenthos sebagai bioindikator kualitas perairan Sungai Wedung Kebupaten Demak. Diponegoro Journal of Marques. 3(1): 81-88.
Nangin, S. R., M. L. Langoya dan D. Y. Katili. 2015. Makrozoobentos Sebagai
Indikator Biologis dalam Menentukan Kualitas Air Sungai Suhuyon Sulawesi Utara. Jurnal MIPA UNSRAT Online. 4(2): 165-168.
Norjanna, F., E. Efendi dan Q. Hasani. 2015. Reduksi Amonia pada Sistem
Resirkulasi dengan Penggunaan Filter yang Berbeda. Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan. 4(1): 427-432.
Odum, E.P. 1971. Dasar-dasar ekologi of Ecology. Ed.2. W. B. Saunders
Company. Philadelphia and London. 574 hlm. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Pembudidayaan Ikan. No 28
Tahun 2017 pasal 65 ayat 1 Peraturan pemerintah RI Nomor 82 Tahun 2001. Tentang Pengelolaan Kualitas
Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Putra, A. D. 2014. Analisis Distribusi Kecepatan Aliran Sungai Musi (Ruas Sungai
: Pulau Kenaro Sampai dengan Muara Sungai Komering). Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan. 2(3): 603-608.
Putri, T. D., D. P. Priadi dan Sariati. 2014. Dampak Usaha Perikanan Budidaya
Terhadap Kondisi Lingkungan dan Sosial Ekonomi Masyarakat pada Lahan Pasang Surut Kabupaten Banyuasin Propinsi Sumatra Selatan. Jurnal Akuakultur Rawa Inonesia. 2(1): 43-54.
Rachmansyah. 2004. Analisis Daya Dukung Lingkungan Perairan Teluk
Awarange Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan Bagi Pengembangan Budidaya Bandeng dalam Keramba Jaring Apung. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Hlm 4.
Rahayu S. Y. S., Widiyati A. dan Hotimah L. 2007. Kelimpahan dan
Keanekaragaman Jenis Plankton Secara Stratifikasi di Perairan Karamba Jaring Apung, Waduk Cirata. Ekologia. 7 (2): 9-18
Rangka, N. dan M. Paena. 2012. Potensi dan Kesesuaian Lahan Budidaya
Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) di Sekitar Perairan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmiah Perikanan dan Kelautan. 4(2): 151-159.
55
Rosmarkan, A dan N.W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta.
Salmin. 2005. Oksigen Terlarut (DO) dan Kebutuhan Oksigen Biologi (BOD)
Sebagai Salah Satu Indikator Untuk Menentukan Kualitas Perairan. Oseana. 30(3) : 21-26.
Sari, T. A., W. Atmodjo dan R. Zuraida. 2014. Studi Bahan Organik Total (BOT)
Sedimen Dasar Laut di Perairan Nabire, Teluk Cendrawasih, Papua. Jurnal Oseanografi. 3(1): 81-86.
Sasmaya. 2011. Metodologi Penelitian. Universitas Pendidikan Indonesia.
Jakarta. Simbolon, A. R. 2016. Pencemaran Bahan Organik dan Eutrofikasi di Perairan
Cituis, Pesisir Tangerang. Jurnal Pro-Life. 3 (2): 109-118. Siyoto, S. dan A. Sodik. 2015. Dasar Metodologi Penelitian. Literasi Media
Publishing: Yogyakarta. Hlm 67-68. Solichin, A., N. Widyorini dan D. S. M. Wijayanto. 2013. Pengaruh Ekstrak
Bawang Putih (Allium stivum) dengan Dosis yang Berbeda terhadap Lepasan Suckers Kutu Ikan (Argulus sp.) pada Ikan Koi (Cyprinus carpio). Journal of Management of Aqutic Resources. 2(2): 46-53.
Sudaryono. 2002. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu, Konsep
Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Teknologi Lingkungan. 3(2): 153-158.
Sujianto, A. E. 2009. Aplikasi Statistik dengan SPSS 16.0. PT. Prestasi Pustaka
Karya. Jakarta Sukadi, M. F. 2002. Peningkatan Teknologi Budidaya Perikanan. Jurnal Iktiologi
Indonesia. 2 (2) : 61-66 Sumeru, S. U. dan S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu (Penaeus monodon).
Kanisius: Yogyakarta. Hlm 82. Supriatna, Y. 2013. Budi Daya Ikan Mas di Kolam Hemat Air. AgroMedia
Pustaka: Jakarta Selatan. Hlm 5. Supriyantini, E., N. Soenardjo dan S. A. Nurtania. 2017. Konsentrasi Bahan
Organik pada Perairan Mangrove di Pusat Informasi Mangrove (PIM), Kecamatan Pekalongan Utara, Kota Pekalongan. Buletin Oseanografi Marina. 6(1): 1-8.
Supriyantini, E., R. A. T. Nuraini dan A. P. Fadmawati. 2017. Studi Kandungan
Bahan Organik pada Beberapa Muara Sungai di Kawasan Ekosistem Mangrove, di Wilayah Pesisir Pantai Utara Kota Semarang, Jawa Tengah. Buletin Oseanografi Marina. 6(1): 29-38.
56
Susana, T. 2009. Tingkat Keasaman (pH) dan Oksigen Terlarut Sebagai Indikator Kualitas Perairan Sekitar Muara Sungai Cisadane. Jurnal Teknologi Lingkungan. 5(2): 33-39.
Susanto,Heru.2000. Budidaya ikan di pekarangan. Penebar Swadaya.Jakarta. Sutanto, A. dan Purwasih. 2012. Analisis Kualitas Perairan Sungai Raman Desa
Pujodadi Trimurjo Sebagai Sumber Belajar Biologi SMA Pada Materi Ekosistem. Bioedukasi. 3(2): 1-9.
Syah, R., M. Fahrur, H. S. Suwoyo dan Makmur. 2017. Performansi Instalasi
Pengolahan Air Limbah Tambak Superintensif. Media Akuakultur. 12 (2):
95-103. Syilfi, D. Ispriyanti dan D. Safitri. 2012. Analisis Regresi Linier Piecewise Dua
Segmen. Jurnal Gaussian. 1(1): 219-228. Tatangindatu, F., O. Kalesaran dan R. Rompas. 2013. Studi Parameter Fisika
Kimia Air pada Areal Budidaya Ikan di Danau Tondano, Desa Paleloan, Kabupaten Minahasa. Budidaya Perairan. 1(2): 8-19.
Tarunamulia, Kamariah dan A. Mustafa. 2016. Keterkaitan Spasial Kualitas
Lingkungan dan Keberadaan Fitoplankton Berpotensi HABs pada Tambak Ekstensif di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jurnal Riset Akuakultur. 11(2): 181-195.
Triyatmo, B. 2002. Kualitas dan Kesuburan Air Budidaya Lele Dumbo (Clarias
gariepinus) dengan Volume Pergantian Air Berbeda. Jurnal Perikanan UGM. 4(2): 15-21.
Wahikun. 2016. Radioaktivitas pada Perairan Pesisir Cilacap. Deepublish:
Seleman. Hlm 37. Wicaksana, S. N., S. Hastuti dan E. Arini. 2015. Performa Produksi Ikan Lele
Dumbo (Clarias gariepinus) yang Dipelihara dengan Sistem Biofilter Akuaponik dan Konvensional. Journal of Aquaculture Management and Technology. 4(4): 109-116.
Wulandari, T., N. Widyorini dan P. Wahyu. 2015. Hubungan Pengelolaan Kualitas
Air dengan Kandungan Bahan Organik NO2 dan NH3 pada Budidaya Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) di Desa Keburuhan Purworejo. Journal of Maquares. 4(3): 42-48.