110
1 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam bab ini berturutturut disajikan: 1. Gambaran umum pesantren, 2. Gambaran khusus pesantren: Unsurunsur sistem pendidikan pesantren, dan 3. Dinamika sistem pendidikan pesantren: prospek bentuk pendidikan pesantren di masa depan. 1. Gambaran Umum Pesantren Dunia pesantren ternyata tidak seragam. Masingmasing pesantren memiliki keunikankeunikan sendiri sehingga sulit dibuat satu perumusan yang dapat menampung semua pesantren. Namum, berikut ini dicoba disajikan gambaran umum mengenai pesantren sebagai hasil temuan lapangan yang sejauh mungkin dapat menampung semua pesantren. Makin abstrak suatu rumusan makin banyak pesantren yang dapat ditampung, sebaliknya makin konkret suatu rumusan makin sedikit pesantren yang dapat ditampungnya. Pada umumnya gambaran mengenai pesantren sebagaimana diuraikan dalam BAB II TINJAUAN PUSTAKA pada halaman di muka, telah banyak berubah sesuai dengan perubahan zamannya, meskipun beberapa ciricirinya masih dapat dilihat sampai sekarang. Dari hasil temuan lapangan dapat dilaporkan gambaran umum pesantren sebagai berikut: 1.1. Arti Pesantren Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku seharihari. Pengertian "tradisional" dalam batasan ini menunjuk bahwa lembaga ini hidup sejak ratusan tahun (300400 tahun) yang lalu dan telah menjadi bagian yang mendalam dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam Indonesia, yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia, dan. telah mengalami perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat; bukan "tradisional" dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian. 1.2. Tujuan Pesantren Se1ama ini belum pernah ada rumusan tertulis mengenai tujuan pendidikan pesantren. Rumusan berikut merupakan rangkuman hasil wawancara dengan para pengasuh pesantren yang menjadi objek penelitian.

Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

1    BAB IV  HASIL DAN PEMBAHASAN    Dalam  bab  ini  berturut‐turut  disajikan:  1.  Gambaran  umum  pesantren,  2.  Gambaran  khusus  pesantren:  Unsur‐unsur  sistem  pendidikan  pesantren,  dan  3.  Dinamika  sistem  pendidikan  pesantren:  prospek bentuk pendidikan pesantren di masa depan.   1. Gambaran Umum Pesantren  Dunia  pesantren  ternyata  tidak  seragam.  Masing‐masing  pesantren  memiliki  keunikan‐keunikan  sendiri  sehingga  sulit  dibuat  satu  perumusan  yang  dapat  menampung 

Citation preview

Page 1: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

BAB IV 

HASIL DAN PEMBAHASAN 

 

Dalam  bab  ini  berturut‐turut  disajikan:  1.  Gambaran  umum  pesantren,  2.  Gambaran  khusus 

pesantren: Unsur‐unsur  sistem  pendidikan  pesantren,  dan  3. Dinamika  sistem  pendidikan  pesantren: 

prospek bentuk pendidikan pesantren di masa depan.  

1. Gambaran Umum Pesantren 

Dunia  pesantren  ternyata  tidak  seragam.  Masing‐masing  pesantren  memiliki  keunikan‐keunikan 

sendiri  sehingga  sulit  dibuat  satu  perumusan  yang  dapat  menampung  semua  pesantren.  Namum, 

berikut  ini dicoba disajikan gambaran umum mengenai pesantren sebagai hasil temuan  lapangan yang 

sejauh mungkin  dapat menampung  semua  pesantren. Makin  abstrak  suatu  rumusan makin  banyak 

pesantren  yang  dapat  ditampung,  sebaliknya makin  konkret  suatu  rumusan makin  sedikit  pesantren 

yang dapat ditampungnya.  

Pada umumnya gambaran mengenai pesantren sebagaimana diuraikan dalam BAB II TINJAUAN 

PUSTAKA pada halaman di muka, telah banyak berubah sesuai dengan perubahan zamannya, meskipun 

beberapa ciri‐cirinya masih dapat dilihat sampai sekarang. Dari hasil temuan lapangan dapat dilaporkan 

gambaran umum pesantren sebagai berikut:  

1.1. Arti Pesantren  

Pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, 

menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai 

pedoman perilaku sehari‐hari.  

Pengertian  "tradisional"  dalam  batasan  ini menunjuk  bahwa  lembaga  ini  hidup  sejak  ratusan 

tahun  (300‐400  tahun)  yang  lalu  dan  telah  menjadi  bagian  yang mendalam  dari  sistem  kehidupan 

sebagian besar umat Islam Indonesia, yang merupakan golongan mayoritas bangsa Indonesia, dan. telah 

mengalami  perubahan dari masa  ke masa  sesuai dengan perjalanan hidup  umat; bukan  "tradisional" 

dalam arti tetap tanpa mengalami penyesuaian.  

 

1.2. Tujuan Pesantren  

Se1ama  ini belum pernah ada  rumusan  tertulis mengenai  tujuan pendidikan pesantren. Rumusan 

berikut merupakan rangkuman hasil wawancara dengan para pengasuh pesantren yang menjadi objek 

penelitian.  

Page 2: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

                                                           

Tujuan pendidikan pesantren adalah  "Menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, 

yaitu  kepribadian  yang  beriman  dan  bertakwa  kepada  Tuhan,  berakhlak  mulia,  bermanfaat  bagi 

masyarakat  atau berkhidmat  kepada masyarakat dengan  jalan menjadi  kawula  atau  abdi masyarakat 

tetapi  rasul yaitu menjadi pelayan masyarakat  sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad  (mengikuti 

sunah Nabi), mampu  berdiri  sendiri,  bebas  dan  teguh  dalam  kepribadian, menyebarkan  agama  atau 

menegakkan  Islam dan kejayaan umat  Islam di  tengah‐tengah masyarakat  ('izzul  Islam wal Muslimin), 

dan mencintai  ilmu  dalam  rangka mengembangkan  kepribadian  Indonesia.  Idealnya  pengembangan 

kepribadian yang ingin dituju ialah kepribadian muhsin1, bukan sekadar muslim.  

Pimpinan pesantren memandang bahwa kunci  sukses dalam hidup bersama adalah moral agama, 

yang dalam hal ini adalah perilaku keagamaan yang memandang semua kegiatan kehidupan sehari‐hari 

sebagai  ibadah kepada Tuhan. Mengamati dari dekat perilaku santri,  jelas bahwa pendidikan pesantren 

dipusatkan pada pendalaman dan penghayatan agama, lengkap dengan pengamalannya dalam perilaku 

keseharian. Hal‐hal yang berhubungan dengan orientasi kehidupan yang bercorak keduniawian (sekular) 

terasa agak tersisih. Santri cenderung berperilaku sakral dan lebih menekankan perilaku yang idealistis‐

normatif menurut rambu‐rambu hukum agama (fikih) daripada perilaku yang realistis‐materialistis dalam 

relevansinya  dengan  pengalaman  hidup  keduniawian. Misalnya:  "Bencinya"  santri Madura  terhadap 

karapan  sapi,  karena  dalam  karapan  sapi  itu  terdapat  segi‐segi  penyiksaan  binatang,  perjudian  dan 

perilaku menyimpang  lainnya. Ketika proses  aduan berlangsung,  sapi dicambuk dengan  cambuk  yang 

kadang‐kadang  diberi  paku‐paku  kecil  yang  tajam  agar  berlari  kencang.  Pada  setiap  karapan  selalu 

disertai  perjudian.  Sebelum  diadu,  sapi  dipelihara  dan  dimanjakan  melebihi  anak‐anaknya.  Ia 

dimandikan, diberi minum bir dicampuri dengan telur, dan sebagainya agar menjadi kuat. Pemilik sapi 

tidak  segan‐segan  mengeluarkan  biaya  tinggi  untuk  memelihara  sapi  karapan;  sedang  kepentingan 

rumah tangganya, dan pendidikan anak‐anaknya ditelantarkan. Sebaliknya mereka (santri) tidak melihat 

kerapan  sapi  sebagai  salah  satu  seni  budaya  bangsa  yang  dapat  ditampilkan  di  forum  internasional 

melalui promosi pengembangan pariwisata nasional, yang di samping mengenalkan budaya bangsa, juga 

mendatangkan devisa negara.  

Demikian  pula  halnya  dengan  "bencinya  santri‐santri  Gontor  terhadap  kesenian  reog,  yang 

dinilai adanya unsur‐undur perjudian, homoseksusal, dan sebagainya yang diharamkan agama. Padahal 

kesenian  reog  juga merupakan  satu  seni budaya bangsa  yang dapat ditampilkan dalam  forum‐forum 

 

1  Dalam  numenklatur  Islam  dikenal  istilah‐istilah  mukmin,  muslim  dan  muhsin,  yang  berbeda  secara 

gradual. Mukmin:  sekedar  beriman  kepada  Allah  dan Muhammad  sebagai Nabi  dan  Rasul,  tetapi  belum  tentu 

mengamalkannya. Muslim: beriman, mengamalkan secara konsekuen dan selalu merasa dekat dengan Allah dan 

Rasul‐Nya.  Muhsin:  memiliki  perilaku  yang  lebih  mendalam  dari  Muslim.  Pengabdiannya  kepada  Tuhan 

dilakukannya semata‐mata karena rasa cinta kepada‐Nya, tanpa ada rasa kepentingan dan takut, dan rasa cinta itu 

sudah  mendarah  daging  merupakan  bagian  dari  biological  mechanismnya.  Istilah‐istilah  tersebut  sebanding 

dengan istilah‐istilah Iman (mukmin), Islam (muslim), dan ikhsan (muhsin). 

    

Page 3: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

berskala  internasional  dalam  rangka  mengenalkan  budaya  bangsa  dan  menambah  devisa.  Padahal 

pendidikan pesantren  juga bertujuan mengembangkan kepribadian  Indonesia. Hal  itu tampak misalnya 

pada kegiatan‐kegiatan kepramukaan, senam pagi Indonesia, ikut serta dalam peringatan hari‐hari besar 

nasional,  seperti  apel  bendera  di  kecamatan,  kabupaten,  dan  sebagainya;  juga  adanya  nama‐nama 

asrama: "Indonesia satu, dua, tiga, dan empat", dan sebagainya, seperti yang terdapat pada PP Gontor. 

Selanjutnya lihat butir‐butir tujuan pesantren pada lampiran 3.  

Namun, Islam tidak menolak seni. Kedua hal tersebut (karapan sapi dan reog) dibenci oleh warga 

pesantren karena adanya ekses‐ekses yang menympang dari akidah‐syari’ah agama Islam.  

 

1.3. Masyarakat Pesantren  

Pesantren merupakan suatu komunitas tersendiri, di mana kiai, ustaz, santri dan pengurus pesantren 

hidup bersama dalam satu kampus, berlandaskan nilai‐nilai agama Islam lengkap dengan norma‐norma 

dan  kebiasaan‐kebiasaannya  sendiri,  yang  secara  eksklusif  berbeda  dengan masyarakat  umum  yang 

mengitarinya.  Ia merupakan  suatu  keluarga besar di bawah  asuhan  seorang  kiai  atau ulama, dibantu 

oleh beberapa kiai dan ustaz. Dalam dunia pesantren, santri mempunyai dua orang tua, yakni ibu‐bapak 

yang me!ahirkan dan kiai  yang mengasuhnya.  Ia  juga mempunyai dua macam  saudara, yaitu  saudara 

sesusuan dan saudara seperguruan (sesama santri).  

Semua  rambu‐rambu yang mengatur kegiatan dan batas‐batas perbuatan: halal‐haram, wajib‐

sunah, baik‐buruk, dan sebagainya dipulangkan kepada hukum agama, dan semua kegiatan dipandang 

dan dilaksanakan  sebagai bagian dan  ibadah keagamaan, dengan kata  lain  semua kegiatan kehidupan 

selalu dipandang dalam struktur relevansinya dengan hukum agama. Misalnya: (a) Dalam hal waktu. Jika 

kita mengadakan perjanjian kerja dengan mereka, pada umumnya digunakan perjanjian waktu menurut 

pembagian waktu  lima kali salat wajib sehari semalam, seperti: sesudah  isya, sesudah subuh, sebelum 

zuhur, sesudah asar, sesudah magrib, dan sebagainya. Atau  jika kegiatan  tersebut menyangkut  jangka 

waktu  bulanan  atau  jangka  panjang  lainnya,  biasanya  digunakan  perjanjian  menurut  bulan‐bulan 

peribadatan tertentu seperti: sesudah Ramadan, dalam bulan Haji dan sebagainya. Pendek kata semua 

kegiatan diintegrasikan dengan ibadah keagamaan. Oleh karena itu tidak mengherankan jika (misalnya) 

menjelang  maghrib  masih  ada  santri  yang  mencuci  pakaian,  memasak  makanan  di  malam  hari, 

mengadakan perjanjian kerja pada pagi‐pagi buta sesudah subuh, dan sebagainya. Bahkan dalam bulan 

Puasa kontak sering dilakukan pada jam 3‐4 pagi, sekalian membangunkan waktu makan sahur. Hal‐hal 

yang demikian itu kiranya kurang wajar terjadi di masyarakat umum yang menggunakan patokan waktu 

24 jam kerja dan pedoman pada nilai dan norma‐norma yang bukan agama Islam. (b) Dalam hal kebersihan 

atau kesehatan. Banyak hal‐hal yang dianggap bersih dan  suci oleh pesantren, karena dibolehkan oleh 

hukum agama, tetapi tidak bersih atau tidak sehat menurut konsepsi ilmu kesehatan. Misalnya tentang 

"air". Ada air yang bersih dan sehat menurut konsep ilmu kesehatan, tetapi tidak sah untuk mengambil 

wudu  karena dianggap  tidak bersih  atau najis.  Sebaliknya  ada  air  yang  sah  untuk wudu,  tetapi  tidak 

sehat  dan  tidak  bersih  menurut  ilmu  kesehatan.  "Debu"  yang  menurut  konsep  ilmu  kesehatan 

Page 4: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

mengandung banyak bakteri penyakit, tetapi sah hukumnya untuk dipakai wudu, sebagai pengganti air 

jika tidak ada air yang dapat ditemui untuk wudu, demikian dan seterusnya 

1.4. Unsur‐unsur Pesantren  

Unsur‐unsur  pesantren  adalah:  (1)  Pelaku:  kiai,  ustaz,  santri,  dan  pengurus.  (2)  Sarana 

perangkat  keras: Mesjid,  rumah  kiai,  rumah  ustaz,  pondok,  gedung  sekolah,  tanah  untuk  berbagai 

keperluan  kependidikan,  gedung‐gedung  lain  untuk  keperluan‐keperluan  seperti  perpustakaan,  aula, 

kantor pengurus pesantren, kantor organisasi santri, keamanan, koperasi, perbengkelan, jahit‐menjahit, 

dan  keterampilan‐keterampilan  lainnya,  dan  (3)  Sarana  perangkat  lunak:  Tujuan,  kurikulum,  sumber 

belajar yaitu kitab, buku‐ buku dan sumber belajar lainnya, cara belajar‐mengajar (Bandongan, sorogan, 

halaqah, dan menghafal) dan evaluasi belajar‐mengajar.  

Di  antara  unsur‐unsur  tersebut,  kiai  adalah  tokoh  kunci  yang  menentukan  corak 

kehidupan  pesantren.  Semua  warga  pesantren  tunduk  kepada  kiai.  Mereka  berusaha  keras 

melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta menjaga agar jangan 

sampai melakukan hal‐hal yang sekiranya tidak direstui kiai, sebaliknya mereka selalu berusaha 

melakukan hal‐hal yang sekiranya direstui kiai. (Lihat halaman 25).  

1.5. Nilai Pesantren  

Nilai‐nilai yang mendasari pesantren dapat digolongkan menjadi dua kelompok: (1) Nilai‐nilai 

agama  yang  memiliki  kebenaran  mutlak,  yang  dalam  hal  ini  bercorak  fikih‐sufistik,  dan 

berorientasi  kepada  kehidupan  ukhrawi,  dan  (2)  Nilai‐nilai  agama  yang  memiliki  kebenaran 

relatif, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan sehari‐

hari  menurut  hukum  agama.  Kedua  kelompok  nilai  ini  mempunyai  hubungan  vertikal  atau 

hierarchis.  Kelompok  nilai  pertama  superior  di  alas  kelompok  nilai  kedua,  dan  kelompok  nilai 

kedua  tidak  boleh  bertentangan  dengan  kelompok  nilai  pertama.  (Lihat  halaman  16  dan  26). 

Dalam  kaitan  ini,  kiai menjaga  nilai‐nilai  agama  kelompok  pertama,  sedang  ustaz  dan  santri 

menjaga nilai‐nilai agama kelompok kedua. inilah sebabnya mengapa kiai mempunyai kekuasaan 

mutlak  di  pesantrennya.  Ketaatan,  ketundukan  dan  keyakinan  santri  terhadap  kiainya  sangat 

besar. Mereka  yakin bahwa  kiainya  selalu mengajarkan hal‐hal  yang benar, dan mereka  tidak 

percaya kalau kiai dapat berbuat salah atau keliru.  (Lihat Lampiran 5, Butir 13‐17). Tampaknya 

pandangan santri yang demikian  itu dipengaruhi oleh ajaran yang menyatakan bahwa kiai atau 

ulama  adalah  pewaris  nabi. Mereka  (santri) menyamakan  pengertian  kiai  dengan  pengertian 

ulama sebagaimana bunyi ajaran tersebut. Sehingga ajaran‐ajaran yang diberikan oleh kiai atau 

ulama diterima sebagai memiliki kebenaran absolut. Hal ini juga merupakan akibat dipahaminya 

pengertian tarekat yang lepas dari induknya seperti dikatakan di muka (halaman 31).  

 

 

Page 5: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

1.6. Pendekatan Pesantren  

Sistem  pendidikan  pesantren  menggunakan  pendekatan  holistik,  artinya:  para  pengasuh 

pesantren memandang bahwa kegiatan belajar‐mengajar merupakan kesatupaduan atau  lebur 

dalam  totalitas  kegiatan  hidup  sehari‐hari,  Bagi  warga  pesantren,  belajar  di  pesantren  tidak 

mengenal perhitungan waktu, kapan harus mulai dan harus selesai, dan  target apa yang harus 

dicapai. Bagi dunia pesantren, hanya  ilmu  fardu ain yang dipandang  sakral,  sedang  ilmu  fardu 

kifayah dipandang tidak sakral.  

Dalam pandangan mereka,semua  kejadian  yang  terjadi dalam  kehidupan berawal dari Tuhan, 

berproses menurut hukum‐Nya, dan berakhir atau  kembali  kepada‐Nya.  Setiap peristiwa  yang  terjadi 

merupakan bagian dari keseluruhan dan selalu berhubungan satu sama lain dan akhirnya pasti bertemu 

pada kebenaran Tuhan. (Lihat Lampiran 5, Butir 18,19 dan 20). Kiai yakin bahwa apa saja yang dipelajari 

oleh santri adalah baik dan pada suatu saat akan mendatangkan manfaat bagi yang bersangkutan,  jika 

sudah tiba waktunya.  

Misalnya, kalau seorang santri belajar keterampilan: menjadi tukaang kayu, bengkel motor, jahit 

menjahit,  membaca  kitab,  belajar  pencak  silat,  dan  sebagainya.  Mungkin  pada  saat  itu  dan  untuk 

beberapa  saat kemudian keterampilan‐keterampilan  tersebut  tampak  tidak bermanfaat. Tetapi dalam 

totalitas kehidupan, hal‐hal tersebut pada suatu saat akan memberikan kegunaannya, setelah bertemu 

dengan kejadian‐kejadian lain. Menurut kiai, hikmah itu ada di mana‐mana, dan hal itu merupakan milik 

orang  Islam  yang harus dicari. Oleh  karena  itu, bagi orang  yang benar‐benar beriman, bertakwa dan 

pasrah  kepada  Tuhan  Yang Maha  Esa,  akan mampu menerima  setiap  kejadian  yang  amat  tragis  dan 

menyakitkan sekalipun, karena hal itu diyakini sebagai sesuatu yang belum final dan akan berakhir pada 

kebenaran  Tuhan.  Pada waktu menerima  peristiwa  itu  ia  belum mengerti,  tetapi  telah  yakin  bahwa 

dalam  setiap peristiwa pasti ada hikmah Tuhan yang  tersembunyi di dalamnya. Demikian pula halnya 

jika ia menerima sesuatu yang amat menyenangkan; ia tidak akan kehilangan arah atau lupa diri, sebab 

itu juga akan kembali kepada‐Nya (Lihat halaman 13‐14).  

Seiring  dengan  pendekatan  yang  holistich  tersebut, maka  tidak  pernah  dijumpai  perumusan 

tujuan pendidikan pesantren  yang  jelas dan  standar  yang berlaku umum bagi  semua pesantren;  juga 

tidak ditemukan kurikulum, cara‐cara penilaian yang jelas dan kalkulatif, serta syarat‐syarat penerimaan 

santri dan tenaga kependidikan secara jelas pula. Dalam cara penerimaan: santri boleh masuk pesantren 

pada  setiap  saat,  tinggal  di  pesantren  selama  ia mau,  dan meninggalkan  pesantren  sewaktu‐waktu. 

Dalam penerimaan  tenaga  kependidikan,  siapa  saja boleh bekerja dan membantu  asal  ikhlas. Kecuali 

bagi program pendidikan normal, yaitu untuk masuk madrasah dan sekolah umum, serta PP Gontor yang 

seluruh kegiatannya menyelenggarakan pendidikan formal.  

 

 

 

Page 6: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

1.7. Fungsi Pesantren  

Ternyata pesantren tidak hanya berfungsi sebagai lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai 

lembaga sosial dan penyiaran agama.  

Sebagai  lembaga  pendidikan,  pesantren  menyelenggarakan  pendidikan  formal  (madrasah, 

sekolah  umum,  dan  perguruan  tinggi),  dan  pendidikan  non  formal  yang  secara  khusus mengajarkan 

agama yang sangat kuat dipengaruhi oleh pikiran‐pikiran ulama  fikih, hadis, tafsir, tauhid dan tasawuf 

yang hidup  antara  abad  ke‐7‐13 Masehi. Kitab‐kitab  yang dipelajarinya  sebagaimana  terlampir dalam 

Lampiran 2, meliputi: Tauhid, tafsir, hadis, fikih, usul fikih, tasawuf, bahasa Arab (Nahu, saraf, balagah, 

dan tajwid), mantiq, dan akhlak.  

Sebagai  lembaga  sosial,  pesantren menampung  anak  dari  segala  lapisan masyarakat muslim, 

tanpa membeda‐bedakan tingkat sosial‐ekonomi orangtuanya. Biaya hidup di pesantren relative murah 

daripada belajar di  luar pesantren. Mereka dapat hidup dengan biaya  yang  sangat minim,  sekitar Rp 

1O.OOO‐Rp  15.000  sebulan  di.  luar  beras,  dengan  jalan  patungan  atau  masak  bersama.  Bahk.an 

beberapa di antaranya gratis, terutama bagi anak‐anak yatim piatu. dan keluarga miskin  lainnya. Pada 

beberapa pesantren tertentu santri membangun pondoknya sendiri di atas tanah yang telah disediakan 

oleh  pesantren  tanpa  dipungut  biaya.  Beberapa  di  antara  calon  santri  sengaja  datang  ke  pesantren 

untuk. mengabdikan diri kepada kiai dan pesantren. Beberapa orangtua sengaja mengirimkan anaknya 

ke pesantren dan menyerahkan kepada kiai untuk diasuh. Mereka percaya penuh bahwa kiai tidak akan 

menyesatkannya, bahkan sebaliknya dengan berkah kiai anak  tersebut. akan menjadi orang baik.  Juga 

banyak  anak‐anak  yang  nakal  atau  memiliki  tanda‐tanda  tingkah  laku  menyimpang,  dikirimkan  ke 

pesantren oleh orangtuanya dengan harapan sembuh dari kenakalannya.  

Sementara itu, set.iap hari pesantren menerima tamu yang datang dari masyarakat umum, baik 

dari masyarakat  lingkar  pesantren maupun  dari masyrakat  Jauh meliputi  radius  kabupaten,  propinsi, 

bahkan dari propinsi‐propinsi lain 

Kedatangan mereka  adalah untuk bersilaturahmi, bekronsultasi, minta nasihat, nasihat,  "doa‐

doa", berobat, dan minta "ijazah", yaitu semacam 'Jimat:' untuk menangkal gangguan hidup.  

Meraka dating dengan membawa berbagai macam masalah kehidupan,  seperti: menjodohkan 

anak,  kelahiran,  sekolah, mencari  kerja, mengurus  rumah  tangg,  kematian,  warisan,  karier  jabatan, 

maupun  masalah‐masalah  yang  berkaitan  dengan  pembangunan  masyarakat  dan  pelayanan 

kepentingan umum. Sebagi lembaga penyiaran agama, mesjid pesantren juga berfungsi sebagai mesjid 

umum,  yaitu  sebagai  tempat  be1ajar  agama  dan  ibadah  bagi masyarakat  umum. Mesjid  pesantren 

sering  dipakai  untuk  menyelenggarakan  majelis  taklim  (pengajian),  diskusi‐diskusi  keagamaan,  dan 

sebagainya, oleh masyarakat umum.  

  Sementara  itu,  kiai,  ustaz,  dan  santri‐santri  senior  pada  umumnya memiliki  daerah  dakwah 

masing‐masing.  Luas  tidaknya  daerah  dakwah,  tergantung  pada  besar  kecilnya  popularitas  masing‐

masing pelaku dan pesantren yang bersangkutan. Masing‐masing kiai memiliki daerah dak.wah sendiri‐

Page 7: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

sendiri, ada yang berskala nasional, ada yang berskala propinsi, kabupaten, kecamatan, dan bahkan ada 

yang hanya berskala meliputi beberapa desa tertentu saja. Demikian pula halnya dengan para ustaz dan 

santri‐santri senior  lainnya, yang pada umumnya memiliki derah dakwah  lebih sempit daripada daerah 

dakwah kiai.  

  Sehubungan  dengan  ketiga  fungsi  pesantren  tersebut,  maka  pesantren  memiliki  tingkat 

integritas  yang  tinggi  dengan  masyarakat  sekitarnya,  dan  menjadi  rujukan  moral  bagi  kehidupan 

masyarakat  umum. Masyarakat  umum memandang  pesantren  sebagai  komunitas  khusus  yang  ideal 

terutama  dalam  bidang  kehidupan  moral  keagamaan.  Masing‐masing  pesantrren  tampak  memiliki 

semacam daerah pengaruh sendiri, yaitu komunitas‐komunitas dalam masyarakat, sesuai dengan aliran 

yang dibawakannya. Misalnya ada daerah‐daerah pengaruh pesantren Tebu  Ireng yang  terdapat pada 

beberapa komunitas yang ada di dalam masyarakat di Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, Kalimantan, dan 

sebagainya. Demikian pula dengan pesantren‐pesantren  lain. Pembagian daerah pengaruh  ini juga erat 

kaitannya  dengan  pengelompokan  umat  Islam  ke  dalam  organisasi  sosial  keagamaan  seperti  NU 

(Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, dan sebagainya. Ada pesantren‐pesantren yang diasuh oleh kiai‐kiai 

dari  NU,  demikian  pula  halnya  ada  pesantren‐pesantren  yang  diasuh  kiai‐kiai  dari  aliran 

Muhammadiyah; mereka memiliki daerah‐daerah atau komunitas‐komunitas pengaruh  sendiri‐sendiri. 

Meskipun di antara daerah pengaruh yang satu dan yang  lain tidak dapat ditarik garis batas yang jelas, 

tetapi secara sosiologis tampak jelas batas‐batas mereka. Pada umumnya pesantren menerima bantuan 

dari komunitas pendukungnya berupa tanah, uang, atau barang‐barang natural lainnya, bahkan ada juga 

yang berupa tenaga. Sumbangan‐sumbangan itu diberikan sebagai: wakaf, zakat, infaq  sedekah, amal jariah, 

dan sebagainya 

Ketiga fungsi tersebut merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh.  

Meskipun demikian tampak bahwa fungsinya sebagai  lembaga pendidikan menjadi semacam ujung 

tombaknya sedang fungsinya sebagai lembaga sosial dan penyiaran agama menjadi sayap‐sayap sebelah 

kiri dan kanannya.  

Erat  kaitannya dengan  ketiga  fungsi  tersebut, pesantren  tampak  lebih menunjukkan orientasi 

kehidupannya ke masyarakat pedesaan daripada ke masyarakal perkotaan. Hal  itu  terlihat pada  sikap 

dan  perilaku  warga  pesantren  yang  menghargai  tinggi  kebersamaan  dan  keharmonisan.  Manusia 

diperlakukan dalam kebulatan hubungan dengan kodrat alam semesta,  lingkungan masyarakatnya, dan 

dengan dirinya sendiri sebagai makhluk pencari kebenaran ilahiah. 

 

1.8. Metodik‐Didaktik Pengajaran Pesantren  

Metodik‐didaktik pengajarannya diberikan dalam bentuk: sorogan, bandongan, halaqah, dan hafalan.  

sorogan, artinya belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru, 

terjadi  interaksi  saling mengenal di  antara  keduanya.  Bandongan  artinya belajar  secara  kelompok  yang 

Page 8: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

diikuti  oleh  seluruh  santri.  Biasanya  kiai  menggunakan  bahasa  daerah  setempat  dan  langsung 

menerjemahkan  kalimat  demi  kalimat  dari  kitab  yang  dipelajarinya.  Halaqah,  artinya  diskusi  untuk 

memahami  isi  kitab,  bukan  untuk  mempertanyakan  kemungkinan  benar  salahnya  apa‐apa  yang 

diajarkan oleh kitab, tetapi untuk memahami apa maksud yang diajarkan oleh kitab. Santri yakin bahwa 

kiai  tidak akan mengajarkan hal‐hal yang salah, dan mereka  juga yakin bahwa  isi kitab yang dipelajari 

adalah benar. (Lihat Lampiran 5, Butir 13, 14, 16, dan 17).  

Namun, untuk menumbuhkan kemampuan berpikir rasional, sejak permulaan abad ke‐20 telah 

disadari perlunya pelajaran umum diberikan di pesantren, dan  sejak  tahun  1970‐an  telah dikenalkan 

berbagai  kursus  keterampilan  ke  dalam  pesantren.  Sebagai  lembaga  pendidikan  non  formal  dengan 

menggunakan  pendekatan  holistik  seperti  disebut  di  muka,  sebenarnya  kelerampilan‐keterampilan 

seperti: bertani, beternak, dan pekerjaan‐pekerjaan tangan lainnya telah akrab dengan kehidupan santri 

sehari‐hari. Di  samping  itu dengan dikenalkannya  kursus  keterampilan  sejak  tahun 1970‐an  tersebut, 

dimaksudkan  untuk  mengembangkan  wawasan  atau  orientasi  santri  dari  pandangan  hidup  yang 

terlalu berat pada ukhrowi. agar menjadi seimbang dengan orientasi kehidupan duniawi. Seiring 

dengan  ini,  sejak dua dasawarsa  terakhir  ini  telah banyak buku‐buku agama  Islam yang berisi 

pembaruan  pemikiran  dalam  Islam  yang  ditulis  dalam  hahasa  Indonesia  masuk  ke  dalam 

pesantren dan dipelajari oleh  santri dan kiai‐kiai muda dalam bentuk‐bentuk kegiatan belajar 

kelompok  (Iihat Lampiran 9). Hal  ini  semua membawa dampak yang  luas yang menggetarkan 

seluruh jaringan kehidupan pesantren, sehingga lebih terbuka dengan sistem lain di luar dirinya 

 

1.9. Prinsip‐prinsip Sistem Pendidikan Pesantren  

Sesuai dengan  tujuan pendidikan dan pendekatan holistik yang digunakan, serta  fungsinya 

yang komprehensif sebagai  lembaga pendidikan, sosial dan penyiaran agama seperti diuraikan 

di muka, prinsip‐prinsip sistem pendidikan pesantren adalah:  

a. Theocentric  Sistem  pendidikan  pesantren  mendasarkan  filsafat  pendidikannya  pada  filsafat 

theocentric, yaitu pandangan yang menyatakan bahwa semua kejadian berasal, berproses, 

dan  kembali  pada  kebenaran  Tuhan.  (Lihat  halaman  16).  Semua  aktivitas  pendidikan 

dipandang  sebagai  ibadah  kepada  Tuhan.  Semua  aktivitas  pendidikan merupakan  bagian 

integral  dari  totalitas  kehidupan  sebagaimana  disebutkan  di  muka,  sehingga  belajar  di 

pesantren  tidak dipandang  sebagai  alat  tetapi dipandang  sebagai  tujuan. Oleh  karena  itu 

kegiatan  proses  belajar‐mengajar  di  pesantren  tidak  memperhitungkan  waktu.  Dalam 

praktiknya,  filsafat  theocentric  tersebut  cenderung  mengutamakan  sikap  dan  perilaku  yang 

sangat  kuat  berorientasi  kepada  kehidupan  ukhrawi  dan  berperilaku  sakral  dalam 

kehidupan sehari‐hari. Semua perbuatan dilaksanakan dalam struktur relevansinya dengan 

hukum agama dan demi kepentingan hidup ukhrawi.  

 

Page 9: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

 

b. Sukarela dan mengabdi  Seperti  disebutkan  di  muka,  para  pengasuh  pesantren  memandang  semua  kegiatan 

pendidikan  sebagai  ibadah kepada Tuhan. Sehubungan dengan  ini maka penyelenggaraan 

pesantren  dilaksanakan  secara  sukarela  dan  mengabdi  kepada  sesama  dalam  rangka 

mengabdi kepada Tuhan. Santri merasa wajib menghormati kiai dan ustaznya  serta  saling 

menghargai  dengan  sesamanya,  sebagai  bagian  dari  perintah  agama.  Santri  yakin  bahwa 

dirinya  tidak  akan  menjadi  orang  berilmu  tanpa  guru  dan  bantuan  sesamanya.  (lihat 

Lampiran 5 Butir 13, 14, 15, 16, dan 17).  

c. Kearifan  Pesantren  menekankan  pentingnya  kearifan  dalam  menyelenggarakan  pendidikan 

pesantren  dan  dalam  tingkah  laku  sehari‐hari.  Kearifan  yang  dimaksudkan  di  sini  adalah 

bersikap dan berperilaku sabar, rendah hati, patuh pada ketentuan hukum agama, mampu 

mencapai tujuan tanpa merugikan orang lain, dan mendatangkan manfaat bagi kepentingan 

bersama.  

d. Kesederhanaan Pesantren menekankan  pentingnya  penampilan  sederhana  sebagai  salah  satu  nilai  luhur 

pesantren  dan  menjadi  pedoman  perilaku  sehari‐hari  bagi  seluruh  warga  pesantren. 

Kesederhanaan  yang  dimaksudkan  di  sini  tidak  sama  dengan  kemiskinan,  tetapi  sebaliknya 

identik  dengan  kemampuan  bersikap  dan  berpikir wajar,  proporsional  dan  tidak  tinggi  hati. 

Kesederhanaan  bukan monopoli  orang miskin,  bodoh,  dan  "kecil",  tetapi  juga  dapat  dimiliki 

oleh orang kaya, pandai, dan  "besar". Sebaliknya kesombongan dan ketidaksederhanaan,juga 

bukan monopoli  orang  kaya,  pandai,  dan  “besar”.  Dalam  kehidupan  bersama  ada  orang  kaya,  pandai,  dan 

“besar”  tetapi  rendah  hati,  sederhana  tutur  katanya,  dan wajar  dalam  penampilan.  Sebaliknya  juga  terdapat  orang 

miskin, bodoh dan  “kecil”  tetapi  sombong,  tinggi hati dan berlebih‐lebihan.  Jadi sederhana bukan dalam arti 

berlebih‐lebihan atau berkurang‐kurangan, tetapi dalam arti wajar.  

e. Kolektivitas Pesantren  menekankan  pentingnya  kolektivitas  atau  kebersamaan  lebih  tinggi  daripada 

individualisme.  Dalam  dunia  pesantren  berlaku  pendapat  bahwa  "dalam  hal  hak  orang 

mendahulukan kepentingan orang lain, tetapi dalarn hal kewajiban orang harus mendahulukan 

kewajiban.  diri  sendiri  sebelum  orang  lain".  Sedang  dalam  hal  memilih  atau  memutuskan 

sesuatu  "orang  harus memelihara  hal‐hal  baik  yang  telah  ada,  dan mengembangkan  hal‐hal 

baru  yang  baik".  Kedua  nilai  tersebut  masih  tetap  berlaku.  Sementara  itu,  kondisi  fisik 

pesantren  yang  sederhana  seperti  kamar  tidur  yang  sempit  kira‐kira  berukuran  2  x  2  m 

ditempati oleh 2 atau 3 santri. Pada umumnya kamar hanya untuk menyimpan barang‐barang, 

sedang mereka banyak  tidur di mesjid atau di  tempat  lain pada bangunan  yang ada. Adanya 

dapur  umum  tempat  santri  memasak,  ruang  makan  umum,  tempat  mandi  umum,  dan 

sebagainya, mendorong mereka untuk saling  rnenolong untuk mengatasi berbagai kebutuhan 

bersama, terutama untuk rnengatasi kebutuhan belanja jika mengalami keterlambatan kiriman 

bekal  dari  rumah.  Pada  dasarnya  apa  yang  dilukiskan  oleh  Djamil  Suherman  seperti  dikutip 

Page 10: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

10 

 

dalam BAB  II TINJAUAN PUS TAKA halaman 35, masih  tetap berlaku.  (Lihat pula  Lampiran 5; 

Butir 21,22, dan 23).  

f. Mengatur kegiatan bersama  Seperti disebutkan di muka, pelaksanaan kelompok nilai kedua, yaitu nilai‐nilai yang bersifat 

relatif,  dilakukan  oleh  santri  dengan  bimbingan  ustaz  dan  kiai.  Para  santri mengatur  hampir 

semua  kegiatan  proses  belajar‐mengajar  terutama  berkenaan  dengan  kegiatan‐kegiatan 

kokurikuler,  dari  sejak  pembentukan  organisasi  santri,  penyusunan  program‐programnya, 

sampai  pelaksanaan  dan  pengembangannya.  Mereka  juga  mengatur  kegiatan‐kegiatan 

perpustakaan,  keamanan,  pelaksanaan  peribadatan,  koperasi,  olah  raga,  kursus‐kursus 

keterampilan, penataran‐penataran, diskusi atau seminar dan sebagainya. Sepanjang kegiatan 

mereka tidak menyimpang dari akidah syariah agama, dan tata tertib pesantren, mereka tetap 

bebas berpikir dan bertindak.  

g. Kebebasan Terpimpin  Seiring  dengan  prinsip  di  atas,  maka  pesantren  menggunakan  prinsip  kebebasan  terpimpin 

dalam menjalankan  kebijaksanaan  kependidikannya.  Prinsip  tersebut  bertolak  dari  ajaran  bahwa 

semua makhluk pada akhirnya tidak dapat keluar melampaui ketentuan sunatullah,. di samping  itu 

juga  kesadaran  bahwa  masing‐masing  anak  dilahirkan  menurut  fitrahnya  dan  masing‐masing 

individu memiliki kecenderungan sendiri‐sendiri. Dalam kehidupan sosial,  individu  juga mengalami 

keterbatasan‐keterbatasan,  baik  keterbatasan  kultural  maupun  struktural.  Namun  demikian, 

manusia  juga  memiliki  kebebasan  mengatur  dirinya  sendiri.  Atas  dasar  itu  pesantren 

memperlakukan  kebebasan  dan  keterikatan  sebagai  hal  kodrati  yang  harus  diterima  dan 

dimanfaatkan sebagaimana mestinya dalam kegiatan belajar‐mengajar. Hal itu antara lain tercermin 

dari pandangan kiai bahwa sejak pada masa dini, sampai kira‐kira berumur 10 tahun, kepada anak 

wajib  ditanamkan  jiwa  agama,  yang  akan menjadi  dasar  kepribadiannya,  tetapi  kemudian  sejak 

menginjak usia dewasa, anak itu sendirilah yang akan memilih jalan hidupnya, apakah akan menjadi 

ingkar Tuhan atau beriman dan bertakwa kepada Tuhan. Misalnya: salah seorang kiai berkeyakinan 

bahwa kesan pertama yang ditanamkan kepada anak didik akan mempengaruhi secara mendalam 

kepribadian  selanjutnya.  Untuk  itu  sebelum mereka memasuki  tingkat  belajar  yang  lebih  tinggi, 

kepada mereka paling sedikit diajarkan: kitab‐kitab awal tentang fikih, tasawuf, takrib, dan Ta'lim Muta 

'alimt  (adab  sopan  santun bagi penuntut  ilmu), dan  sebelum  itu anak harus dibiasakan mengikuti 

salat,  puasa,  dan  sebagainya, meskipun mereka  belum mengerti.  Contoh  lain  dapat  diteliti  dari 

kebijaksanaan  salah  seorang  kiai  yang menyatakan  bahwa  "santri  yang  belajar  di  pesantren  itu 

bagaikan orang yang sedang berbelanja di pasar. Di pasar dijual berbagai sayuran. Tergantung pada 

orang  yang  berbelanja  apa  yang  mereka  mau  beli,  berapa  banyak  mereka  mau  beli,  dan  mau 

memasak apa, dan seterusnya. Hal ini tergantung pada berapa banyak uang yang dibawanya".  

Sehubungan  dengan  itu  maka  sikap  pesantren  dalam  melaksanakan  pendidikan  adalah 

membantu dan mengiring  anak didiknya,  tetapi pesantren  juga  keras berpegang pada  tata  tertib 

pesantren, terutama pada hukum agama.  

Page 11: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

11 

 

h. Mandiri  Sejak awal santri sudah dilatih mandiri. Ia mengatur dan bertanggung jawab atas keperluannya 

sendiri,  seperti: mengatur  uang  belanja, memasak, mencuci  pakaian, merencanakan  belajar,  dan 

sebagainya.  Bahkan  banyak  di  antara  mereka  yang  membiayai  diri  sendiri  selama  belajar  di 

pesantren. Prinsip ini tidak akan bertentangan dengan prinsip kolektivitas tersebut di muka, bahkan 

sebaliknya  justru menjadi sebagian dari padanya, karena mereka menghadapi nasib dan kesukaran 

yang sama, maka jalan yang baik setiap individu mengatasi masalahnya ialah tolong‐menolong. Pada 

umumnya  terdapat  semacam  "acara penyambutan" bagi  santri baru oleh  santri‐santri  lama, yaitu 

semacam "perpeloncoan' untuk menghilangkan jiwa egoismenya dan melebur menjadi jiwa kolektif  

Misalnya  dengan  cara memanjakan  pendatang  baru  secara  berlebih‐Iebihan,  atau  sebaliknya 

sengaja  milik  pribadi  pendatang  baru  tersebut  dilanggar  dan  dipergunakan  untuk  kepentingan 

bersama  tanpa  seizinnya, mengejek  kesombongannya, menguji  kemampuannya,  dan  sebagainya. 

Semuanya dilaksanakan secara tidak resmi di kalangan santri sendiri, dan diakhiri dengan keakraban.  

i. Pesantren adalah tempat mencari ilmu dan mengabdi  Para  pengasuh  pesantren  menganggap  bahwa  pesantren  adalah  tempat  mencari  ilmu  dan 

mengabdi. Tetapi pengertian ilmu menurut mereka tampak berbeda dengan pengertian ilmu dalam 

arti science.  lImu bagi pesantren dipandang suci dan merupakan bagian yang  tak  terpisahkan dari 

ajaran agama. Mereka selalu berpikir dalam kerangka keagamaan, artinya semua peristiwa empiris 

dipandang dalam struktur re1evansinya dengan ajaran agama. Model pemikiran mereka berangkat 

dari  keyakinan  dan  berakhir  pada  kepastian. Mereka  percaya  semua  kejadian  berawal  dan  akan 

bertemu, serta berakhir pada kebenaran Tuhan. (Lihat Lampiran 5, BUlir 18,19, dan 20).  

Tata keyakinan dan tata pikir yang demikian  itu berbeda dengan pola keyakinan dan pemikiran 

scientist yang memandang setiap gejala dalam struktur relevansinya dengan kebenaran relatif dan 

bersyarat.  Scientist  memandang  ilmu  sebagai  instrumen  untuk  memecahkan  masalah  dan 

memajukan kehidupan. Mereka berangkat dari keraguan dan berakhir pada pertanyaan. Kebenaran 

yang  ditemukan  setiap  saat  dapat  berubah  sesuai  dengan  fakta  baru  yang  dijumpai  kemudian. 

Scientist berpikir positif dan cenderung menolak apa saja yang tidak masuk akal dan tidak terdukung 

oleh  data‐data  empiris.  Sebaliknya,  pihak  pesantren  sering  kali  memandang  ilmu  sebagai  tidak 

identik  dengan  kemampuan  berpikir metodologis,  tetapi  dipandang  sebagai  "berkah"  yang  dapat 

datang  dengan  sendirinya melalui  pengabdian  kepada  kiai;  terutama  pengetahuan  agama  secara 

keseluruhan dianggap sudah mapan kebenarannya sehingga tidak perlu dipertanyakan lagi. Mereka 

(santri) percaya bahwa apa‐apa yang diajarkan kiai adalah benar, tidak perlu diperdebatkan, tetapi 

perlu diamalkan.  

j. Mengamalkan ajaran agama  Seperti  disebutkan  di  muka  pesantren  sangat  mementingkan  pengamalan  agama  dalam 

kehidupan sehari‐hari. Setiap gerak kehidupannya selalu berada dalam batas rambu‐rambu hukum 

agama (fihih).  

 

Page 12: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

12 

 

                                                           

k. Tanpa ijazah  Seiring dengan prinsip‐prinsip sebelumnya, prinsip  lain dari pesantren adalah bahwa pesantren 

tidak memberikan ijazah sebagai tanda keberhasilan belajar. Keberhasilan bukan ditandai oleh ijazah 

yang berisikan angka‐angka sebagaimana madrasah dan sekolah umum, tetapi ditandai oleh prestasi 

kerja yang diakui oleh khalayak (masyarakat), kemudian direstui oleh kiai. 

l. Restu kiai2 Semua  perbuatan  yang  dilakukan  oleh  setiap warga  pesantren  sangat  tergantung  pada 

restu kiai. Baik ustaz maupun  santri  selalu berusaha  jangan  sampai melakukan hal‐hal yang 

tidak berkenan di hadapan kiai.  

Prinsip‐prinsip  pendidikan  pesantren  tersebut  sebenarnya  merupakan  nilai‐nilai 

kebenaran universal, dan pada dasarnya sama dengan nilai‐nilai luhur kehidupan masyarakat 

Jawa. (Lihat buku Neils Mulder, Pribadi clan Masyarakat diJawa, dan buku Clifford Geertz, Santri, 

Abangan, dan Priyayi,).  

 

1.10. Tantangan pesantren masa depan  

Tantangan  yang  dihadapi  oleh  pesantren  semakin  hari  semakin  besar,  kompleks,  dan 

mendesak  sebagai  akibat  semakin meningkatnya  kebutuhan pembangunan dan  kemajuan  ilmu 

pengetahuan dan teknologi. Tantangan  ini menyebabkan terjadinya pergeseran‐pergeseran nilai 

di  pesantren,  baik  nilai  yang  menyangkut  sumber  belajar  maupun  nilai  yang  menyangkut 

pengelolaan pendidikan.  

Sementara  itu,  semakin  hari  pesantren  semakin  dalam  memasuki  budaya  masyarakat 

industri. Sifat‐sifat dari masyarakat  industri antara  lain adalah  tata hubungan  semakin  rasional, 

dinamis  dan  kompetitif.  Produk  barang‐barang  yang  dihasilkan  bersifat massive  dan  standard, 

tetapi juga terspesialisasi. Di bidang pendidikan, lulusan dari lembaga pendidikan yang sejenis dan 

setingkat memiliki corak kualitas yang  sama; misalnya  lulusan SD, SMTP, dan  sebagainya. Kerja 

kependidikan akan semakin didominasi oleh kegiatan pengembangan sains dan teknologi.  

Hal‐hal  tersebut  akan  "memaksa"  pesantren  untuk  mencari  bentuk  baru  yang  sesuai 

dengan  kebutuhan  pembangunan  dan  kemajuan  ilmu  dan  teknologi,  tetapi  tetap  dalam 

kandungan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.  

 

2 Pemakaian kata “restu” bagi kiai atau ulama mengacu kepada pemberian do’a dan kekuatan karismatik, 

sedang pemakaiannya bagi pejabat atau  “orang awam”  lainnya, mengacu kepada pemberian  izin atau  legalistik 

berdasarkan  aturan‐aturan  atau  kewenangan  administratif‐birokratik  sebagaimana  berlaku  dalam  hidup 

keseharian.  

Page 13: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

13 

 

                                                           

Beberapa indikator pergeseran yang dialami oleh pesantren antara lain terlihat pada hal‐

hal berikut:  

a. Kiai  bukan  lagi merupakan  satu‐satunya  sumber  belajar.  Dengan  semakin  beraneka  ragam sumber‐sumber  belajar  baru,  dan  semakin  tingginya  dinamika  komunikasi  antara  sistem pendidikan pesantren dan  sistem  yang  lain, maka  santri dapat belajar dari banyak  sumber. Sejak  tahun‐tahun  terakhir  ini,  kira‐kira  10  tahun  yang  lalu,  banyak  buku‐buku  pembaruan pemikiran  dalam  Islam  yang  ditulis,  dalam  bahasa  Indonesia,  baik  oleh  para  cendekiawan muslim  Indonesia maupun merupakan  terjemahan dan buku‐buku yang ditulis oleh sarjana‐sarjana Islam luar negeri, memasuki dunia pesantren dan dibaca oleh santri‐santri dan ustaz. Hal ini merupakan sumber belajar baru bagi mereka. (Lihat Lampiran 9). Meskipun demikian, kedudukan  kiai  di  pesantren  masih  tetap  merupakan  tokoh  kunci  dan  menentukan  corak pesantren,  dan  kiai menyadari  hal  yang  demikian  itu. Oleh  karena  itu,  ia merestui  santrinya belajar  apa  saja  asal  tetap  pada  akidah‐syari’ah  agama,  dan  berpegang  pada moral  agama dalam hidup sehari‐hari. 

b. Dewasa  ini  hampir  seluruh  pesantren  menyelenggarakan  jenis  pendidikan  formal,  yaitu madrasah,  sekolah  umum  dan  perguruan  tinggi.  Jenis  pendidikan  pesantren  sendiri  sebagai jenis pendidikan non formal tradisional yang hanya mempelajari kitab‐kitab Islam klasik seperti disebut  di muka, merupakan  bagian  yang  sangat  kecil,  sekitar  1‐2%3  dari  seluruh  kegiatan pendidikan  pesantren.  Hampir  seluruh  santri  belajar  di  madrasah,  sekolah  umum,  dan perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh pesantren yang bersangkutan. Menyadari hal yang demikian  ini  kiai mewajibkan  semua  santri  harus mengikuti  pengajian  kitab  yang  diseleng‐garakan  oleh  pesantren  dan  program‐program  ubudiah  (keagamaan)  yang  dibuat  oleh pesantren. Kiai tetap berprinsip bahwa identitas belajar di pesantren adalah agama. Oleh karen itu  santri  harus  pandai  mengaji  dan  mempelajari  kitab‐kitab  yang  diajarkan  di  pesantren. Mereka  yang  hanya  mengikuti  program  ubudiah  tidak  diwajibkan  merangkap  belajar  di madrasah,  sekolah  umum  atau  Perguruan  Tinggi,  tetapi  sebaliknya  mereka  yang  belajar  di pendidikan  formal  tersebut  "wajib" mengikuti  program  ubudiah  atau  program  pendidikan  non formal. 

c. Seiring dengan pergeseran‐pergeseran  tersebut,  santri membutuhkan  izasah dan penguasaan bidang keahlian, atau keterampilan yang  jelas, yang dapat mengantarkannya untuk menguasai lapangan  kehidupan  tertentu. Dalam  era modern  tidak  cukup  hanya  berbekal  dengan moral yang baik saja, tetapi perlu dilengkapi dengan keahlian atau keterampilan yang relevan dengan kebutuhan kerja.  

d. Sehubungan  dengan  hal  tersebut,  maka  di  kalangan  santri  terdapat  kecenderungan  yang semakin kuat untuk mempelajari sain dan teknologi pada lembaga‐lembaga pendidikan formal, baik di madrasah maupun  sekolah umum, untuk memperoleh keahlian dan atau ketrampilan yang dimaksud,  tetapi mereka  juga  ingin  tetap belajar di pesantren untuk mendalami agama dalam rangka memperoleh moral agama.  

 

3 Misalnya,  di  PP Guluk‐Guluk  terdapat  sekitar  50  orang  santri  yang  hanya mempelajari  agama  dalam 

pengertian dimaksud. Di PP Sukorejo, sekitar 100 orang santri, di PP Blok Agung sekitar 60 orang santri, di PP Tebu 

Ireng sekitar 35 orang santri, di PP Paciran tidak ada, di PP Gontor juga tidak ada. 

Page 14: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

14 

 

e. Belajar  dengan  uang  sudah  memasuki  dunia  pesantren.  Saat  ini  rata‐rata  biaya  belajar  di pesantren Rp 20.000,‐ perbulan per santri. Hampir  semua  santri menerima kiriman uang dari orangtuanya. Anggaran penyelenggaraan pesantren rata‐rata Rp 10‐15 juta per tahun. 

f. Sejak awal tahun 1920‐an, dengan telah dikenalnya model madrasah dengan sistem kelas dan diajarkan  ilmu pengetahuan umum ke dalam pesantren, maka sejak  itu sebenamya pesantren telah memasuki sistem pendidikan umum, dan akhirnya secara resmi telah menjadi subsistem pendidikan nasional dalam pemerintahan sendiri  (dalam alam kemerdekaan). Adapun posisi dan  peran  pesantren  sebagai  subsistem  pendidikan  nasional,  terletak  pada  sumbangannya sebagai pendidikan moral yang merupakan "sisi  sebelah mata uang" dan  sistem pendidikan nasional yang menekankan pentingnya pendidikan akal atau ilmu pengetahuan. Adalah suatu kenyataan  bahwa  dominasi  pendidikan  pesantren  terletak  pada moral  agama  di  atas  akal, sebaliknya dominasi pendidikan nasional terletak pada akal di atas moral agama. Kecuali  itu, dengan  semakin  berkembangnya  jenis‐jenis  pendidikan  formal  dan  berbagai  buku  ilmu pengetahuan dan kitab kontemporer agama Islam yang masuk ke dunia pesantren, maka hal itu mempengaruhi kualitas santri sebagai calon murid untuk belajar lebih lanjut di perguruan tinggi  (agama  dan  umum)  dalam  jalur  Sistem  Pendidikan  Nasional.  Jadi  ada  saling ketergantungan antara keduanya (pesantren dan pendidikan nasional).   

 

2. Gambaran Khusus Pesantren Unsur‐unsur Sistem Pendidikan Pesantren 

Unsur‐unsur  sistem  pendidikan  pesantren  dapat  dikelompokkan menjadi  11  unsur,  sebagai 

berikut:  

2.1. Tujuan 

Rumusan tujuan pendidikan pesantren sebagaimana disebutkan pada halaman 55‐56 di muka, 

merupakan  rangkuman  dari  pendapat  para  kiai  pengasuh  pesantren  objek  penelitian, 

sebagaimana disebutkan dalam Lampiran 3.  

Dari  rumusan  tersebut  tampak  jelas  bahwa  pendidikan  pesantren  sangat menekankan 

pentingnya tegaknya Islam di tengah‐tengah kehidupan sebagai sumber utama moral atau akhlak 

mulia, dan akhlak mulia  ini merupakan kunci rahasia keberhasilan hidup bermasyarakat. Dengan 

kata  lain orientasi  tujuan pendidikan pesantren sesungguhnya masih  lebih banyak bersifat  inward 

looking  daripada  outward  looking,  atau  masih  lebih  banyak  melihat  ke  dalam  daripada  ke  luar. 

"Pandangan  ke  dalam"  berpendapat  bahwa  dengan  tegak  dan  tersebarnya  agama  Islam  di  tengah‐

tengah kehidupan, maka kehidupan bersama dengan sendirinya akan menjadi baik,  jadi semacam ada 

trickling  down  effect,  yaitu  efek moral  baik  yang  diturunkan  sebagai  akibat  tegaknya  Islam  di  tengah‐

tengah  kehidupan.  Dengan  demikian,  sebenarnya  "pandangan  ke  dalam"  itu  berpikir  alternatif  dan 

otomatis,  yang  dalam  hal  ini  Islam  sebagai  alternatif  atau  pilihan  untuk  menggantikan  tata  nilai 

kehidupan bersama,jika kita menginginkan kehidupan bersama yang lebih baik atau lebih maju.  

Page 15: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

15 

 

Sebaliknya  "pandangan  ke  luar"  tidak  berpikir  alternatif  dan  otomatis,  tetapi  berpikir 

melengkapi kekurangan, meluruskan yang bengkok atau memperbaiki yang salah atau rusak, dan 

memberikan  sesuatu  yang  baru  yang  belum  ada  dan  diperlukan.  Dengan  demikian,  prioritas 

pertama dari "pandangan ke luar" ialah tegak dan majunya kehidupan bersama berdasarkan pada 

nilai‐nilai  kebudayaannya  sendiri;  kemudian,  agama  membantu,  melengkapinya,  dan 

mengarahkannya  agar  nilai‐nilai  dan  tata  nilai  yang mengatur  kehidupan masyarakat  tersebut 

tidak bertentangan dengan akidah dan syariah agama Islam. 

Dalam  praktik  hidup  sehari‐hari  dapat  diamati  bahwa  pesantren  telah  berhasil  mendidik 

santrinya menjadi  orang  beragama  dalam  arti  taat menjalankan  ibadah  agamanya  (salat,  puasa,  dan 

sebagainya),  dan  mendalami  ajaran  agamanya  sesuai  dengan  kitab‐kitab  yang  dipelajarinya,  tetapi 

kurang berhasil dalam pendidikan  ilmu pengetahuan umum dan  teknologi, dan kebudayaan nasional. 

Tegaknya agama tanpa dilengkapi dengan  ilmu dan teknologi untuk mengembangkan atau memajukan 

masyarakat, tidak akan menghasilkan kehidupan yang baik dan sejahtera; dan kehidupan yang demikian 

itu  tidak mungkin  terjadi  tanpa berdiri di atas nilai‐nilai budaya  sendiri. Santri  cenderung berperilaku 

ibadah atau memandang  sakral berbagai peristiwa yang  terjadi dalam kehidupan  sehari‐hari menurut 

hukum  agama. Misalnya  "bencinya"  santri  kepada  karapan  sapi  di Madura,  reog  di  Ponorogo,  dan 

sebagainya,  karena hal‐hal  tersebut biasanya diiringi dengan perbuatan‐perbuatan  yang  tidak  terpuji, 

seperti:  perjudian,  penyiksaan  pada  binatang,  pelacuran,  minum‐minuman  yang  memabukkan,  dan 

sebagainya;  tanpa melihatnya  dari  sisi  lain,  yaitu  sisi  seni  dalam  kaitannya  dengan  pembinaan  dan 

pengembangan budaya bangsa. Sesungguhnya Islam tidak menolak seni jika sekiranya hal tersebut tidak 

bertentangan  dengan  akidah  agama. Di  satu  segi  santri menggeneralisasikan  penglihatan  yang  berat 

sebelah tersebut untuk menolak seni budaya daerah secara keseluruhan, sehingga sering terasa bahwa 

dunia  pesantren  terlalu  suci  dan  tidak menyentuh  realitas  kehidupan  seperti  kesenian  atau  budaya 

daerah  dalam  struktur  relevansinya  dengan  kebudayaan  nasional,  yang  belum  tentu  secara mutlak 

bertentangan  dengan  akidah  syariah  agama,  di  pihak  lain  juga  sering  salah  paham  bahwa  agama 

menolak seni, padahal yang ditolak eksesnya yang tidak sesuai dengan akidah syariah agamanya, bukan 

seni dalam tolalitasnya.  

Meskipun demikian, kiranya dapat disimpulkan bahwa pengalaman pesantren dalam pendidikan 

moral keagamaan perlu dikaji  lebih mendalam dan dikembangkan  lebih  lanjut dalam perspektif sistem 

pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional pada hakikatnya adalah untuk mengembangkan moral 

bangsa, yaitu Moral Pancasila, dan ciri khas Moral Pancasila  itu  ialah adanya dimensi: Ke‐Indonesia‐an 

(Budaya Nasional), ke‐Inlelektual‐an (ilmu dan Teknologi) dan ke‐Iman‐an atau ke‐Beragama‐an. Dalam 

hal  ini  sistem pendidikan pesantren  telah menunjukkan keberhasilan dalam mendidik  santri‐santrinya 

untuk menjadi orang yang taat menjalankan agamanya.  

Dengan  demikian,  menurut  para  kiai,  aspek  kepribadian  yang  sangat  penting  untuk 

dikembangkan  ialah  sikap dan perilaku  yang berdasarkan moral  keagamaan.  Sehubungan dengan  ini, 

maka corak kegiatan belajar‐mengajar di pesantren tampak lebih didominasi oleh model pemikiran yang 

deduktif‐dogmatis agama dari pada pemikiran yang induktif‐rasional dan faktual.  

Page 16: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

16 

 

                                                           

Kehidupan dalam era modern, tidak cukup hanya berbekal dengan moral yang baik saja, tetapi 

juga memerlukan bekal  kemampuan  teknokratik  khusus  sesuai dengan  semakin  tajamnya pembagian 

kerja dan profesi yang dibutuhkan. Hal  ini berarti bahwa pesantren di tuntut menyempurnakan tujuan 

pendidikannya  kembali,  dengan  kebutuhan  pembangunan  dan  kemajuan  ilmu  pengetahuan  dan 

teknologi khususnya dengan kebutuhan kerja.  

2.2. Filsafat dan Tata Nilai  

Sebagai  suatu  lembaga  pendidikan  Islam,  pesantren  mendasarkan  filsafat  dan  tata  nilai 

pendidikannya  pada  ajaran  Islam.  Seperti  disebutkan  dalam  "Gambaran  Umum  Pesantren"  di 

muka, ajaran  Islam yang mendasarkan pendidikan pesantren bercorak  fikih‐sufzstik dan didominasi 

oleh pikiran ahli fikih dan para sufi dari abad ke‐7‐13 Masehi. Dalam hal teologi, seluruh pengasuh 

pesantren  mengikuti  teologi  Asy'ariah,  dalam  hal  fikih,  hampir  seluruh  pengasuh  pesantren 

mengikuti mazhab  Syafi'i,  dan  dalam  hal  tasawuf,  pada  umumnya  mengikuti  ajaran  Imam  al‐

Ghazali. Corak ajaran yang  fikih‐sufistik  tersebut bertemu dengan mistik  Jawa dari mana para kiai 

dibesarkan  dan  diasuh.  (Lihat  uraian  selanjutnya:  Butir  2.5.  tentang  kiai).  Selama  paham mistik 

Jawa tersebut tidak bertentangan dengan akidah ia dijadikan alat pendekatan untuk mengajarkan 

Islam kepada santrinya dan masyarakat umum4.  

Seperti  juga  telah disebutkan dalam  "Gambaran Umum Pesantren" di muka,  filsafat dan 

tata nilai yang mendasari pendidikan pesantren pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi dua 

golongan yang mempunyai hubungan vertikal otoriter, yaitu nilai agama yang memiliki kebenaran 

mutlak yang diasuh oleh kiai, dan nilai agama yang memiliki kebenaran  relatif yang diasuh oleh 

ustaz dan santrinya.  

Kedua  daerah  asuhan  tersebut  sejak  awal  abad  ke‐20  menghadapi  tantangan  nilai  yang 

semakin  hari  semakin  gencar,  sehingga  menimbulkan  pergeseran‐pergeseran  penting  (lihat 

halaman  66‐68  di  muka)  dan  mempengaruhi  perubahan  tata  nilai  dan  tata  laksana 

penyelenggaraan  pesantren,  seperti  tampak  pada  laporan  selanjutnya  (Iihat  Butir  3:  Dinarnika 

Sistem Pendidikan Pesantren: Perspektif Bentuk Pendidikan Pesantren di Masa Depan).  

Seperti disebutkan di muka (halaman 61‐62), sejak awal abad ke‐20 pelajaran umum telah 

diajarkan  di  pesantren,  pada  tahun  1970‐an  kursus‐kursus  keterampilan  kerja  tangan  dan  akal 

mengenai berbagai bidang kehidupan diberikan di pesantren, dan sejak beberapa  tahun  terakhir 

ini  telah banyak buku‐buku yang berisi pembaruan pemikiran dalam  Islam yang ditulis oleh para 

cendekiawan  Islam,  baik  dalam  negeri  maupun  luar  negeri,  yang  diterbitkan  dalam  bahasa 

Indonesia, memasuki dunia pesantren.  Selain buku‐buku  tersebut,  juga majalah‐majalah,  jurnal‐

jurnal penelitian mengenai  Islam, pendidikan,  sosial, ekonomi,  seni, dan budaya,  juga masuk  ke 

 

4  Lihat  hasil  penelitan Wolfgang  Karcher,  dalam  Dinamika  Pesantren, Manfred  Oepen  dan Wolfgang 

Karcher (Editor), P3M, Jakarta, 1987, hlm. 257. 

Page 17: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

17 

 

dalam pesantren. Buku‐buku tersebut tampak digemari dan dibaca oleh santri, ustaz, dan bahkan 

kiai. (Lihat Lampiran 9).  

Masih dalam hal tantangan nilai yang dihadapi oleh pesantren; sebagai akibat kemajuan di 

bidang  komunikasi  informasi  yang  terjadi pada  sistem di  luar pesantren,  "memaksa" pesantren, 

mau  tidak  mau  harus  berhubungan  atau  berkomunikasi  dengan  berbagai  sistem  lain  di  luar 

dirinya, dan mengadakan  kerja  sama dengan mereka, baik dengan pihak dalam negeri maupun 

luar negeri. Dengan pihak dalam negeri, misalnya dengan Departemen Penerangan, Dalam Negeri, 

Transmigrasi,  Koperasi,  dan  sebagainya.  Banyak  bidang‐bidang  pembangunan  yang  "dititipkan" 

kepada pesantren untuk berpartisipasi dalam pelaksanaannya. Pada keenam pesantren yang menjadi 

objek penelitian terdapat Pusat  Informasi Pesantren yang merupakan rintisan hasil kerja sama dengan 

Departemen  Penerangan  Republik  Indonesia.  Selain  dengan  pihak  Departemen,  pesantren  juga 

mengadakan  kerja  sama  dengan  perguruan‐perguruan  tinggi  negeri  dan  lembaga‐lembaga  swasta 

lainnya  yang  bergerak  di  bidang‐bidang  pengembangan  sumber  daya  manusia,  sosial,  pendidikan, 

penelitian, dan keilmuan  lainnya, seperti:  ITB  (Institut Teknologi Bandung), LP3ES  (Lembaga Penelitian 

Pendidikan  dan  Penerangan  Ekonomi  dan  Sosial),  P3M  (Perhimpunan  Pengembangan  Pesantren  dan 

Masyarakat), dan sebagainya.  

Sedang  lembaga  luar negeri yang banyak bekerja  sama dengan pesantren, antara  lain adalah: 

CIDA  (Canadian  Intemational  Development  Agency),  IDEX  (International  Development  Exchange), 

UNICEF  (United  Nation  for  International  Children  and  Education  Fund),  JIEC  (japan  International 

Exchange of Culture). Kerja sama dengan luar negeri tersebut berwujud bantuan tenaga pengajar bahasa 

Inggris, seperti yang diterima oleh pesantren Guluk‐Guluk dan Tebu Ireng, dan kerja sama pada berbagai 

proyek  pengembangan  masyarakat.  Sedang  kerja  sama  dengan  negara‐negara  Timur  Tengah,  pada 

umumnya mengenai bantuan pengajaran: bahasa Arab, agama, penerimaan  santri dari negara‐negara 

tersebut untuk belajar di pesantren, pengiriman santri untuk belajar di  luar negeri pada negara‐negara 

tersebut,  kitab‐kitab  agama  dan  bahasa  Arab,  gedung‐gedung,  alat‐alal  pengajaran,  dan  sebagainya, 

sebagaimana terjadi di pesantren‐pesantren Gontor, Tebu Ireng dan Sukorejo. 

Masih dalam hal tantangan yang dihadapi dunia pesantren sebagai akibat kemajuan komunikasi 

informasi;  melalui  organisasi  intern  santri:  Santri‐santri  sering  mengadakan  seminar,  diskusi,  atau 

penataran‐penataran  bersama  antar  santri  dari  berbagai  pesantren  mengenai  berbagai  kegiatan, 

seperti: penataran kepemimpinan, penelilian, koperasi, dan sebagainya. Sebagai salah satu contoh yang 

menggambarkan betapa pesantren telah membuka diri dan bekerja sama dengan sistem‐sistem  lain di 

luar  dirinya,  baik  dengan  pihak  dalam  negeri  maupun  laur  negeri,  dapat  dilihat  dari  Lampiran  8, 

mengenai  kegiatan  biro  pengabdian  masyarakal  pesantren  Guluk‐Guluk.  Memang  tidak  semua 

pesantren mempunyai derajat kebutuhan dan keluasan  jaringan kerja sama dengan pihak  luar, hal  itu 

sangat  tergantung  kepada  besar  kecilnya  pesantren,  dan  luas‐tidaknya  wawasan  kiai  pengasuhnya. 

Tetapi  yang  jelas  dunia  pesantren  berada  dalam  kehidupan  berjuang  antara  mempertahankan 

identitasnya  dan  menghadapi  nilai‐nilai  yang  datang  dari  luar  dirinya.  Dalam  kaitan  ini,  cenderung 

diperoleh kesan bahwa perubahan nilai pesantren menuju ke orientasi pemikiran yang lebih mendunia, 

induktif,  empiris,  dan  rasional,  mengimbangi  corak  pemikiran  yang  deduktif‐dogmatis  sebagaimana 

Page 18: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

18 

 

                                                           

selama  ini mendominasi  pola  pemikiran  pesantren.  Tanda‐tanda  tersebut  antara  lain  tampak  bahwa 

santri memerlukan  ijazah  untuk melanjutkan  ke  sekolah  formal  yang  lebih  tinggi.  Suatu  kasus  yang 

terjadi  pada  salah  satu  santri  dan  pesantren  Paciran:  Pada  suatu  ketika  seorang  santri  "tertangkap 

basah" oleh kiai, karena  ia melanggar  tata tertib pesantren yaitu pulang malam melampaui ketentuan 

waktu  tata  tertib  pesantren, melebihi  jam  21.00.  Ketika  kiai  akan menjatuhkan  sanksi  dengan  cukur 

kepala  sesuai  dengan  ketetapan  tata  tertib  pesantren,  santri  tersebut  protes  dan  tidak mau  dicukur 

gundul.  Menghadapi  protes  santri  tersebut,  kiai  mengatakan,  'jika  kamu  tidak  mau  dicukur, 

baiklah, tetapi saya (kiai) tidak akan mendaftarkan namamu untuk ikut ujian persamaan negeri5. 

Menghadapi  ancaman  kiai  tersebut,  akhirnya  santri  yang  bersangkutan mau  dicukur.  Baginya 

lebih baik dicukur daripada kehilangan kesempatan ikut ujian negeri. Dalam tradisi pesantren jika 

ada santri berani menatap mata kiai, apalagi protes, merupakan suatu kejadian (pergeseran nilai) 

yang  luar  biasa.  Tanda‐tanda  lain  yang  dapat  diamati  adanya  pergeseran  nilai  yang  terjadi  di 

pesantren  ialah  semakin membesarnya  jenis  pendidikan  formal,  yang  dalam  hal  ini  berbentuk 

madrasah  dan  sekolah  umum,  serta  perguruan  tinggi  yang  diselenggarakan  oleh  pesantren, 

sehingga  porsi  pesantren  sebagai  lembaga  pendidikan  non  formal  yang  khusus  mengajarkan 

agama  menjadi  amat  kecil,  sekitar  1‐2%  dari  seluruh  porsi  kegiatan  pendidikan  yang 

diselenggarakan oleh pesantren. Menghadapi hal yang demikian ini, kiai As'ad Syamsul Arifin dari 

pesantren  Sukorejo,  secara  tegas  mewajibkan  seluruh  santri  yang  belajar  di  madrasah  dan 

sekolah  umum,  serta  perguruan  tinggi,  merangkap  belajar  pada  jenis  pendidikan  pesantren 

tersebut  dan  mengikuti  semua  kegiatan  ubudiah,  karena  kiai  berpendapat  bahwa  ciri  khas 

pesantren  adalah mempelajari  agama, maka  santri  harus  pandai mengaji, mengetahui  agama, 

dan  beragama.  Sebaliknya  kiai mewajibkan  santri  yang  belajar  khusus  agama  pada  pendidikan 

non  formal  pesantren merangkap  belajar  di madrasah,  sekolah  umum  atau  perguruan  tinggi. 

Meskipun kiai dari pesantren‐pesantren lain tidak secara tegas mewajibkan santri‐santrinya yang 

belajar  di  madrasah  dan  sekolah  umum,  agar  merangkap  belajar  agama  di  pesantren 

sebagaimana kiai As'ad Syamsul Arifin tersebut, namun dalam kenyataannya hampir semua santri 

yang  belajar  di madrasah,  sekolah  umum,  atau  perguruan  tinggi  di  pesantren‐pesantren  lain, 

merangkap belajar agama, yaitu mempelajari kitab‐kitab kuning yang diajarkan oleh pesantren, 

dan mengikuti semua program kegiatan ubudiah 

Pergeseran‐pergeseran  nilai  tersebut  menuntut  kepada  pesantren  untuk  melakukan 

reorientasi  tata  nilai  dan  tata  laksana  penyelenggaraan  pesantren  untuk mencari  bentuk  baru 

yang  relevan  dengan  tantangan  zamannya,  tanpa  kehilangan  identitasnya  sebagai  lembaga 

pendidikan  Islam. Tampaknya pola pikir yang  ideal bagi pesantren di masa depan akan mondar‐

mandir di antara: deduktif‐dogmatis yang bersumber kepada kebenaran mutlak  (wahyu Tuhan) 

dan  induktif‐rasional berdasarkan data‐data empiris atau bersifat  faktual, yang memiliki derajat 

kebenaran relatif, tetapi akrab dengan kehidupan sehari‐hari.  

 

5 Santri yang bersangkutan belajar di SMA pada PP Paciran.  

Page 19: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

19 

 

Gambaran  mengenai  filsafat  atau  tata  nilai  pesantren  dapat  diikuti  pada  laporan 

selanjutnya mengenai lingkungan kehidupan pesantren dalam pembahasan unsur ketiga.  

 

2.3. Struktur Organisasi Pesantren  

Pembahasan mengenai struktur organisasi dan  Iingkungan kehidupan pesantren  ini meliputi: 

(1)  Status  Kelembagaan,  (2)  Struktur  Organisasi,  (3)  Gaya  Kepemimpinan,  dan  (4)  Suksesi 

Kepemimpinan.  

 

1. Status Kelembagaan Status kelembagaan pesantren dapat dikelompokkan menjadi dua golongan: sebagai milik 

pribadi dan milik institusi. Dari enam pesantren yang menjadi objek penelitian ini, 4 pesantren 

tergolong  milik  pribadi,  yaitu  Pondok  Pesantren  Guluk‐Guluk,  Pondok  Pesantren  Sukorejo, 

Pondok Pesantren Blok Agung, dan Pondok Pesantren Tebu  Ireng. Sedang 2 pesantren  lainnya 

tergolong milik  institusi, yaitu Pondok Pesantren Paciran yang sejak tahun 1980 menjadi milik 

yayasan  yang  diatur  oleh  Majelis  Pusat  Pendidikan  dan  Pengajaran  Muhammadiyah,  dan 

Pondok Pesantren Gontor yang sejak tahun 1958 telah menjadi milik Badan Wakaf.  

Perbedaan  status  kelembagaan  tersebut  sangat  penting  artinya  jika  dikaitkan  dengan 

perspektif  pembinaan  dan  pengembangan  pesantren  dalam  struktur  relevansinya  dengan 

pengembangan  Sistem  Pendidikan  Nasional.  Masing‐masing  status  memiliki  kelebihan  dan 

kekurangan.  Kelebihan  pesantren  dengan  status  pribadi,  antara  lain  ialah: mereka memiliki 

kebebasan  menentukan  jalan  hidupnya  sendiri  dan  bebas  merencanakan  pola 

pengembangannya.  Tetapi  mereka  juga  memiliki  kelemahan,  antara  lain  ialah  sangat 

tergantung pada kemauan dan kemampuan perorangan yang sering kali kurang berbobot dan 

kurang  konsisten  dalam melaksanakan  kebijakan,  karena  tidak  terstruktur  dalam  suatu  pola 

yang dapat memberikan masukan‐masukan yang kaya dan beragam dalam suatu tatanan yang 

sistematis dengan ukuran yang objektif, sehingga dapat dikontrol dan dievaluasi kemajuan dan 

kemundurannya; di samping  itu, umur pesantren dengan status milik pribadi tergantung pada 

umur  pemiliknya,  yang  biasanya  lebih  pendek  daripada  umur  institusi.  Sebaliknya,  kelebihan 

pesantren dengan status milik  institusi antara  lain  ialah: tidak tergantung kepada perorangan, 

tetapi  tergantung  pada  institusi  lengkap  dengan  mekanisme‐sistemnya,  sehingga  dapat 

dikontrol dan dievaluasi kemajuan dan kemundurannya dengan menggunakan tolok ukur yang 

objektif. Sedangkan kelemahannya antara lain ialah: adanya kemungkinan terbelenggu dengan 

aturan‐aturan  birokrasi  sehingga  tidak  lincah  dalam  mengambil  keputusan  yang  dapat 

menghambat kemajuan. Namun, secara keseluruhan, baik bagi pesantren dengan status milik 

pribadi maupun milik  institusi, kiai  tetap merupakan  tokoh kunci, dan keturunannya memiliki 

peluang terbesar untuk menjadi penggantinya 

Page 20: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

20 

 

                                                           

2. Struktur Organisasi Setiap  pesantren  memiliki  struktur  organisasi  sendiri‐sendiri  yang  berbeda‐beda  satu 

terhadap  yang  lain,  sesuai  dengan  kebutuhan  masing‐masing6.  Meskipun  demikian, 

daripadanya  dapat  disimpulkan  adanya  kesamaan‐kesamaan  yang  menjadi  ciri‐ciri  umum 

struktur organisasi pesantren, dan  tampak adanya kecenderungan perubahan yang  sarna di 

dalam menatap masa depannya, sebagai berikut:  

a. Pada dasarnya struktur organisasi pesantren dapat digolongkan menjadi dua sayap sesuai dengan  pembagian  jenis  nilai  yang mendasarinya,  yaitu  nilai  agama  dengan  kebenaran absolut  dan  nilai  agama  dengan  kebenaran  relatif.  Sayap‐1  penjaga  nilai  kebenaran absolut,  dan  Sayap‐2  penjaga  nilai  kebenaran  relatif,  jadi  bertanggung  jawab  pada pengamalan nilai kebenaran absolut, baik di dalam pesantren maupun di  luar pesantren; sedang Sayap‐1 bertanggung jawab pada kebenaran atau kemurnian ajaran agama.  

b. Sesuai  dengan  hierarkis  pembagian  jenis  nilai  sebagaimana  tersebut  pada  halaman  16, maka Sayap‐1 mempunyai supremasi terhadap Sayap‐2, dan oleh karena itu Sayap‐2 tidak boleh  bertentangan  dengan  Sayap‐1,  apalagi  kalau  sampai  melakukan  perbuatan‐perbuatan yang melanggar akidah‐syariah agama dan sunah pondok. Sayap‐1 rnerupakan sumber  informasi  dan  konfirmasi  bagi  Sayap‐2  dalam melakukan  tugasnya  sehari‐hari. Ajaran  kiai,  ustaz  dan  kitab‐kitab  agarna  yang  diajarkan  di  pesantren  diyakini  sebagai memiliki kebenaran absolut oleh santri, dan oleh karena itu tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya, hanya perlu dipahami maksudnya. 

c. Sayap‐1 dijaga oleh kiai utama dengan dibantu oleh kiai‐kiai dan ustaz yang  telah dinilai kemampuan  ilmu agamanya oleh kiai utama. Para pembantu kiai utama  ini adalah  juga santri‐santri dari kiai utama. Sayap‐2 dijaga oleh kiai‐kiai muda, ustaz dan santri. Semua kerja  Sayap‐2,  bahkan  semua  perilaku  warga  pesantren,  harus memperoleh  restu  kiai utama,  atau  setidak‐tidaknya  diperbolehkan  atau  tidak  dilarang  oleh  kiai  utama.  (Lihat halaman 34). Mengenai penjagaan nilai pada Sayap‐1  ini  terdapat variasi kepengasuhan dari pesantren yang satu ke pesantren yang lain:  

1).  PP  Guluk‐Guluk.  Penjagaan  nilai  agama  dilakukan  oleh  generasi  ke‐3‐4  sesudah 

pendiri, dan dilakukan secara kolektif. Mereka terdiri atas 14 kiai dan 17 nyai, dipimpin oleh 

saudara  tertua  di  antara  mereka,  yaitu  K.H.  Amir  Ilyas.  PP  Guluk‐Guluk  sebenarnya 

merupakan bentuk pesantren  federal, di dalamnya  terdapat 4 pesantren daerah, yaitu PP 

Lubangsa  Raya,  PP  Lubangsa  Selatan,  PP  Latee  dan  PP Nirmala,  (Iihat  Lampiran  10  pada 

bagan  struktur organisasi PP Guluk‐Guluk). Masing‐masing pesantren daerah  tersebut,  ke 

dalam memiliki kedaulatan penuh,  lengkap dengan kiai, ustaz, santri, pondok, musala atau 

mesjid dan tata tertib sendiri‐sendiri. Tetapi ke luar mereka menggunakan satu bendera atas 

nama PP Guluk‐Guluk atau PP An‐Nuqoyah. Terdapat 4 faktor yang mengikat mereka 

untuk  bergabung menjadi  satu  di  bawah  nama  PP  Guluk‐Guluk  tersebut  yaitu:  (a) 

Masing‐masing pesantren daerah dipimpin oleh saudara seketurunan dari pendiri PP 

Guluk‐Guluk, (b) Hampir seluruh santri dari masing‐masing pesantren daerah tersebut 

 

6  Antara  lain  sebagaimana  tercermin  dalam masing‐masing  bagan  struktur  organisasi  seperti  terdapat 

dalam lampiran 10. 

Page 21: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

21 

 

belajar pada madrasah dan sekolah tinggi yang diseienggarakan oleh PP Guluk‐Guluk, 

(c) Semua santri dari pesantren daerah manapun mengikuti program pengembangan dan 

pengabdian pada masyarakat yang dikoordinasi oleh Biro Pengabdian Masyarakat (BPM) PP 

Guluk‐Guluk,  dan  (d)  Seluruh  pesantren  daerah  berada  dalam  satu  yayasan,  yaitu  badan 

usaha  yang  bertugas  mencari  dana  bagi  PP  Guluk‐Guluk.  Keberadaan  empat  pesantren 

daerah  tersebut  bukan  karena  satu  pesantren  induk  (PP  Guluk‐Guluk)  dipecah  menjadi 

empat bagian menurut pembagian warisan di antara  sesama  saudara  seketurunan,  tetapi 

hal  itu merupakan perluasan dari PP GulukGuluk; yaitu setelah  lahir keturunan yang dinilai 

mampu mendirikan  pesantren  baru, maka mereka  diizinkan mendirikan  pesantren  baru 

sehingga  merupakan  perluasan  bagi  PP  Guluk‐Guluk.  Dengan  demikian  PP  Guluk‐Guluk 

adalah pesantren milik keluarga atau pribadi.  

 

2).  PP  Sukorejo.  Berbeda  dengan  PP Guluk‐Guluk,  penjagaan  nilai  agama  pada  Sayap‐1 

dilakukan  oleh  kiai  dari  generasi  kedua  dan  dilakukan  secara  tunggal,  yaitu  K.H.R.  As'ad 

Syamsul Arifin. Dalam menjalankan tugasnya  ia dibantu oleh tiga sekretaris pribadi, dan di 

dalam  memberikan  tugas  kepada  Sayap‐2  ia  mengangkat  mansya,  semacam  perdana 

menteri  dan  lurah  pondok  sebagai  pendampingnya.  Se1anjutnya,  seperti  PP Guluk‐Guluk, 

pesantren  Sukorejo  juga  milik  pribadi  kiai  dan  semuanya  tergantung  kepadanya  (lihat 

Lampiran 10, bagan struktur PP Sukorejo).  

3).  PP Blok Agung. Hampir sama dengan PP Sukorejo, penjagaan nilai agama pada Sayap‐1 

PP  Blok Agung  dilakukan  secara  tunggal  oleh  pendiri,  yaitu  K.H. Muchtar  Syafaat. Dalam 

melaksanakan tugasnya ia dibantu oleh beberapa kiai yang diangkat olehnya sebagai majelis 

pertimbangan, dan dalam membagi kerja pada Sayap‐2, sayap ini dibagi‐bagi menjadi tujuh 

bagian  kekuatan,  yang  dua  dari  tujuh  ketua  bagian  adalah  putranya,  yaitu  sebagai  Ketua 

Pembangunan Pesantren dan Ketua Pengajian Kitab (lihat Lampiran 10 pada bagan PP Blok 

Agung). Kedua bagian keketuaan tersebut merupakan inti struktur organisasi PP Blok Agung. 

Keketuaan  pengajian  kitab  merupakan  esensi  ajaran  PP  Blok  Agung,  sedang  keketuaan 

bagian umum merupakan pusat manajemen yang mengatur seluruh kehidupan pesantren.  

Dengan demikian, seperti pada pesantren‐pesantren terdahulu, PP Blok Agung juga milik 

pribadi  kiai  dan  oleh  karena  itu  kehidupan  dan  pengembangan  pesantren  ini  sangat 

tergantung kepadanya.  

4).  PP.  Tebu  Ireng.  Agak  berbeda  dengan  ketiga  pesantren  terdahulu,  penjagaan  nilai 

agama pada Sayap‐1 dilakukan oleh  suatu dewan kiai,  terdiri atas  tiga orang kiai. Mereka 

adalah  para  alumni  senior  dari  PP  Tebu  Ireng,  santri  dari  K.H. Hasyim Asy'ari,  pendiri  PP 

Tebu  Ireng.  Tetapi  pimpinan  tertinggi  dari  PP  Tebu  Ireng  adalah  K.H.  Yusuf  Hasyim  yang 

merupakan  generasi  kedua  dari  pendiri.  Pimpinan  tertinggi  ini  memimpin  baik  Sayap‐1 

maupun Sayap‐2, dan pimpinan tertinggi  ini mirip dengan direktur yang memimpin sebuah 

Page 22: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

22 

 

direktorat.  Jadi  dilihat  dari  segi  ajaran, mekanisme  penyelenggaraan  pesantren  tunduk 

pada  dewan  kiai,  tetapi  jika  dilihat  dari  segi  organisasi  penyelenggaraan  pesantren 

tunduk pada direktur pesantren. 

Dalam  kenyataannya,  dewan  kiai  merupakan  bagian  dari  se1uruh  organisasi 

pesantren, oleh karena  itu dewan kiai  juga berada di bawah kepemimpinan direktur 

pesantren.  (lihat Lampiran 10, pada bagian struktur organisasi PP Tebu  Ireng). Hal  ini 

menarik  perhatian,  karena  dengan  demikian  ada  semacam  isyarat  pergeseran 

kewenangan,  di  mana  supremasi  organisasi  Sayap‐1  larut  ke  dalam  kewenangan 

Sayap‐2 (lihat uraian tentang Gaya Kepemimpinan, halaman 79).  

Erat kaitannya dengan semakin berkembangnya manajerial kerja Sayap‐2 tersebut, 

PP  Tebu  Ireng  mengarahkan  orientasi  kerjanya  dari  semata‐mata  mementingkan 

kepuasan hubungan kemanusiaan dalam kerja (human oriented), berkembang ke arah 

pentingnya penyelesaian target kerja (target oriented), dengan menggunakan alat‐alat 

teknologi modern,  seperti  komputer, memiliki  percetakan  fotokopi,  jasa  bank,  dan 

sebagainya. Di tengah‐tengah PP Tebu  Ireng telah berdiri Bank Rakyat  Indonesia  (BRI) 

yang mengatur  lalu  lintas  pembayaran  biaya  belajar  di  pesantren  dan mendorong 

santri  untuk menjadi  nasabah  bank.  Beroperasinya  sebuah  bank  di  tengah‐tengah 

pesantren  salaf  seperti  PP  Tebu  Ireng merupakan  suatu  kejutan,  karena masalah  ini 

dapat menimbulkan  polemik  pro‐kontra mengenai  bunga  bank  yang  sebagian  umat 

menganggap sebagai riba yang diharamkan dalam Islam. 

5). PP. Paciran. Berbeda dengan struktur organisasi pesantren terdahulu, penjagaan nilai 

agama pada Sayap‐l dilakukan oleh pimpinan pesantren yang  langsung dipimpin oleh K.H. 

Abdurachman  Syamsoeri,  pendiri  PP  Paciran,  dan  penjagaan  nilai  agama  pada  Sayap‐2 

dipimpin oleh pengurus pondok pesantren yang dipimpin oleh seorang ketua yang menjadi 

ketua perguruan dari jenis‐jenis pendidikan yang diasuh oleh PP Paciran.  

Sebenarnya  PP  Paciran  ini  lebih merupakan  perguruan Muhammadiyah  lengkap 

dengan  sekolah‐sekolah  formal  sebagaimana  perguruan  Muhammadiyah  pada 

umumnya, daripada bercorak pesantren sebagaimana keempat pesantren terdahulu. 

Namun  ia tetap diperlakukan sebagai pesantren karena di dalamnya  terdapat unsur‐

unsur yang memenuhi ciri‐ciri umum pesantren, seperti adanya mesjid, pondok, kiai, 

ustaz,  santri,  dan  pengurus  yang  hidup  dalam  satu  kampus,  dan  di  dalamnya  juga 

diselenggarakan pengajian kitab‐kitab keagamaan  Islam klasik  (kitab kuning), sebagai 

kegiatan  ekstra  kurikuler  guna  melengkapi  pendidikan  agama  pada  sekolah  yang 

diasuhnya. (lihat Lampiran 10, path bagan struktur organisasi PP Paciran).  

6).  PP  Gontor.  Berbeda  dengan  struktur  organisasi  dari  kelima  pesantren  terdahulu, 

penjagaan nilai agama pada Sayap‐l dari PP Contor berada pada badan tertinggi pesantren, 

yaitu Badan Wakaf Pondok,  terdiri atas  lima belas orang cendekiawan muslim  (kiai, 

Page 23: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

23 

 

                                                           

sarjana,  militer,  dan  cendekiawan  lainnya)7.  Dalam  praktiknya  penjagaan  Sayap‐1 

dilakukan oleh Balai Pendidikan Pondok yang dipimpin oleh 3 orang dengan sebutan 

trimurti,  yaitu K.H.  Syukri Abdullah  Zarkasji MA, K.H. Drs. Hasan A.  Sahal, dan K.H. 

Shoiman  Lukman  Hakim.  Sebutan  ini  berasal  dari  pendiri  di  mana  pada  periode 

awalnya PP Gontor  ini didirikan dan dipimpin oleh 3 orang bersaudara, yaitu K.R.H. 

Ahmad  Sahal,  K.H.  Zainuddin  Fanani,  dan  K.R.H.  Imam  Zarkasyi,  dengan  sebutan 

trimurti. Kepemimpinan PP Gontor pada saat ini merupakan generasi kedua sesudah 

pendiri,  tetapi  sebelum  pergantiannya,  pimpinan  generasi  pertama  telah 

menyerahkan  PP  Gontor  kepada  lima  belas  orang  cendekiawan  dimaksud  sebagai 

wakaf pada tanggal 12 Oktober 1958, jadi dengan demikian sejak tanggal tersebut PP 

Gontor secara  resmi  telah berpindah status dari milik pribadi menjadi milik  institusi 

yang  dalam  hal  ini  berbentuk  badan  wakaf,  dengan  salah  satu  ketentuan  bahwa 

selama  para  pendiri  masih  hidup  mereka  tetap  memegang  pimpinan  pondok. 

Ternyata  setelah  tiba  saatnya  pergantian  pimpinan,  Badan  Wakaf  Pondok 

mengangkat pimpinan baru tetap dalam bentuk trimurti, dan dua dari pemimpin yang 

baru itu adalah putra dari pendiri, sedang yang satu lagi adalah alumni dari PP Gontor 

sendiri. Balai Pendidikan Pondok itulah yang menjadi badan eksekutif, sedang Badan 

Wakaf  sebagai  lembaga  legislatifnya.  (Lihat  Lampiran  10,  pada  bagan  struktur 

organisasi PP Gontor). Dalam melaksanakan tugasnya, Balai Pendidikan Pondok telah 

mengembangkan  kerja  inter‐acting  antarunit‐unit  kerja  dan  memakai  teknologi 

modern, memiliki percetakan dan penerbitan sendiri. Seperti  juga PP Tebu  Ireng, PP 

Gontor  juga mengembangkan orientasi kerjanya tidak semata‐mata human oriented 

tetapi  juga  target  oriented.  Dengan  demikian  penjagaan  nilai  agama  pada  Sayap‐l 

dilakukan secara kolektif sebagaimana pada PP Guluk‐Guluk. Tetapi keduanya  tetap 

berbeda.  Kalau  pada  PP  Guluk‐Guluk  hal  itu  berada  pada  kepemimpinan 

kekeluargaan,  sedang  pada  PP  Gontor  hal  itu  berada  pada  kepemimpinan 

institusional.  

 

d. Kiai  utama  merupakan  pimpinan  spiritual  dan  tokoh  kunci  pesantren.  Kedudukan, kewenangan dan kekuasaannya amat kuat. Hubungan antar santri, dan atara santri dan pimpinan  (kiai,  ustaz,  dan  pengurus)  bersifat  kekeluargaan  dan  penuh  hormat. Ketundukan dan kepatuhan santri terhadap pimpinan, terutama terhadap kiai, luar biasa. Bagi segenap warga pesantren, terutama santri, menghargai kiai adalah kewajiban moral. Ada 3 kata kunci yang melandasi hubungan mereka, yaitu (1) Berkah, (2) Ikhlas, dan (3) Ibadah. 

 

7 Kelima belas cendekiawan muslim dimaksud adalah: (1) K.H. Idham Chalid, (2) Ali Murtadho, (3) Shoiman 

BHM.,  (4) Ghazali Anwar,  (5) Let.Kol H. Hasan Basri,  (6) H. Mahfudz,  (7) Kapten  Irchammi,  (8) Aly Syaefullah,  (9) 

Abdullah Syukri,  (10) Hayidin Rifa’i,  (11) Amsin,  (12) Muhammad Tha’if,  (13) Maroka Rauf,  (14) Ali Muhammady 

dan (15) Abdullah Mahmud.  

Page 24: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

24 

 

Artinya:  santri  dan  bahkan  seluruh  anggota  pesantren  memandang  seluruh  perbuatannya sebagai  ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena  itu hal tersebut harus dilakukannya dengan penuh keikhlasan, dan dalam rangka memperoleh berkah kiai.  

e. Pembagian kerja antar unit‐unit kerja sering kali kurang tajam dan banyak terdapat kesamaan. Misalnya antara unit yang mengurusi pendidikan dan pengajaran dengan unit yang mengurusi pengajian,  kehumasan,  kemasyarakatan,  kesejahteraan  santri,  dan  sebagainya  sering  kali mempunyai tugas yang sama. Seperti sama‐sama mempunyai program mengadakan pengajian, mengerahkan  santri untuk  kerja bakti membersihkan pesantren, memperbaiki  jalanan‐jalanan dalam kampus pesantren, membersihkan kamar mandi, dan sebagainya. Namun  tidak  tampak adanya  pertentangan  atau  konflik  di  antara  unit‐unit  kerja  dimaksud,  karena  semuanya berlandaskan  pada  tiga  kata  kunci  tersebut,  sehingga  corak  kerja  dalam  pesantren  bersifat kekeluargaan dan lebih menekankan pada pentingnya human oriented daripada target oriented. Inisiatif  kerja  pada  umumnya  datang  dari  dan  tergantung  langsung  pada  pimpinan masing‐masing  unit,  untuk  selanjutnya  secara  langsung  tergantung  pada  restu  kiai.  Pada  dasarnya masing‐masing  unit  bebas  berinisiatif  dan  berbuat,  sepanjang  yang  dilakukannya  itu  untuk kebaikan  dan  kamajuan  santri,  pesantren,  tidak  bertentangan  dengan  akidah‐syariah  agama, tidak bertentangan dengan sunnah pondok dan dibolehkan oleh kiai. Dalam keadaan seperti itu, di mana  kedudukan  dan  kekuasaan  pemimpin  sangat  kuat,  hubungan  dengan  anggota  baik, pembagian  kerja  antarunit  kurang  tajam  dan  sangat  tergantung  pada  pemimpin, maka  gaya kepemimpinan  otoriter‐kebapakan  berjalan  sangat  efektif  (lihat  laporan  selanjutnya  tentang gaya kepemimpinan).  

f. Gaya kerja dalam struktur organisasi pesantren pada umumnya masih merupakan garis lurus ke atas,  artinya  setiap  unit  kerja  bergantung  pada  atasan  langsung.  Keberhasilan  kerja  dalam struktur  organisasi  pesantren  secara  keseluruhan merupakan  penjumlahan  dari  hasil masing‐masing  unit  kerja. Hubungan  kerja  antarunit  kerja  bersifat  co‐acting  bukan  inter‐acting  (lihat Lampiran 10, bagan struktur organisasi dari enam pesantren objek studi). Hubungan kerja yang bersifat co‐acting  itu sarna dengan keberhasilan kerja suatu tim bulu tangkis, di mana masing‐masing partai bekerja sendiri‐sendiri.  Jika dalam satu  tim  terdiri atas  lima partai, dan  jika  tiga dari  lima  partai  telah menang,  maka  keseluruhan  tim  bulu  tangkis  tersebut  telah  menang; keberhasilan  tiap  partai  tidak  tergantung  pada  partai  yang  lain,  tetapi  jumlah  kemenangan partai  menentukan  kemenangan  tim  secara  keseluruhan.  Sebaliknya  hubungan  kerja  yang bersifat  inter‐acting  itu  sama  dengan  keberhasilan  kerja  di  bidang  sepak  bola,  dimana keberhasilan  setiap  pemain  sangat  tergantung  pada  pemain  yang  lain,  dan  secara keseluruhan menentukan kemenangan kesebelasan sepak bola yang bersangkutan. Namun pada beberapa unit  kerja dalam  struktur organisasi beberapa pesantren,  seperti pada PP Gontor dan PP Tebu Ireng, serta PP Paciran sudah mulai tampak ada hubungan kerja yang bersifat  inter‐acting.  Pada  perkembangan  mendatang,  tampaknya  akan  terjadi perkembangan hubungan  kerja dari  co‐acting menjadi  inter‐acting  sesuai dengan  tantangan kerja yang semakin kompleks dan karenanya semakin dibutuhkan hubungan kerja antarunit yang  semakin  saling  ketergantungan  satu  terhadap  yang  lain  (inter‐acting).  Dan  laporan mengena struktur organisasi tersebut, tampak adanya perubahan‐perubahan penting yang menggambarkan  dinamika  sistem  pendidikan  pesantren  dalam  menghadapi  tantangan zamannya, antara lain sebagai berikut:  

 

1. Mengiringi  adanya  perubahan  status  kelembagaan  dari  status milik  pribadi menjadi status milik institusi sebagaimana dilaporkan pada butir (1) di muka (halaman 73), maka 

Page 25: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

25 

 

juga  terdapat  perubahan  dari  penjagaan  nilai  agama  dengan  kebenaran  absolut:  dan penjagaan  secara  individual  ke  penjagaan  secara  kolektif.  Bahkan  dalam  kasus  PP Gontor, penjagaan nilai agama absolut pada Sayap‐I,  tidak  lagi oleh kiai  (salaf)  secara individu, tetapi oleh sekelompok cendekiawan muslim. Hal ini berarti banyak pemikiran‐pemikiran rasional dalam memahami dan mengembangkan ajaran agama sesuai dengan tantangan zamannya.  

2. Perubahan hubungan kerja antarunit‐unit kerja dalam struktur organisasi pesantren dari hubungan yang bersifat co‐acting menjadi inter‐acting. 

3. Terdapat  kecenderungan  semakin menunggalnya  kerja  Sayap‐l  dan  Sayap‐2,  bahkan pada kasus PP Tebu Ireng bidang kerja Sayap‐l masuk menjadi bagan atau bidang kerja Sayap‐2 tanpa mengurangi esensial nilai ajaran agama yang harus dijaga kebenaran dan kemurniannya.  

4. Semakin disadari pentingnya orientasi target, perencanaan, dan penggunaan teknologi canggih dalam mencapai  tujuan,  seperti pemakaian  komputer,  jasa bank, percetakan, penerbitan, dan sebagainya dalam penyelenggaraan pesantren.  

 

(3)  Gaya Kepemimpinan  

Yang  dimaksud  dengan  kepemimpinan  dalam  pembahasan  berikut  ini  adalah  “seni” 

memanfaatkan  seluruh  daya  (dana,  sarana,  dan  tenaga)  pesantren  untuk  mencapai  tujuan 

pesantren. Manifestasi yang paling menonjol di dalam "seni" memanfaatkan daya tersebut adalah 

cara  menggerakkan  dan  mengarahkan  unsur  pelaku  pesantren  untuk  berbuat  sesuatu  sesuai 

dengan kehendak pemimpin dalam rangka mencapai tujuan pesantren tersebut.  

Menurut  ajaran  Islam,  setiap  orang  adalah  pemimpin.  Setiap  insan  harus 

mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada sesamanya, semasa ia hidup, dan kelak kepada 

Tuhan setelah ia mati. Namun demikian, yang dimaksud dengan pemimpin dalam pembahasan ini 

bukan setiap individu warga pesantren, dan bukan pula pemimpin unit‐unit kerja dalam struktur 

organisai  pesantren,  tetapi  kiai‐pengasuh  pesantren  yang menjadi  tokoh  kunci  atau  pimpinan 

spiritual  pesantren,  sebagaimana  dimaksudkan  dalam  uraian  mengenai  struktur  organisasi  di 

muka.  Pembahasan  masalah  kepemimpinan  ini  meliputi:  Gaya  kepemimpinan,  dan  suksesi 

kepemimpinan.  

Seperti  uraian mengenai  struktur  organisasi  di muka,  gaya  kepemimpinan  pesantren  juga 

berbeda‐beda satu dari yang lain, sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya:  

a. PP Guluk‐Guluk  

Kedudukan dan kekuasaan pimpinan sangat kuat dan mantap. Hal ini disebabkan adanya tata 

nilai dalam kehidupan mereka, bahwa: yang muda menghormati yang  tua, murid menghormati 

guru, dan seorang murid tidak akan menjadi orang baik dan pandai tanpa guru. Nilai kehidupan 

yang demikian  ini tidak hanya berlaku dalam masyarakat pesantren, tetapi telah membudaya di 

kalangan masyarakat Madura,  khususnya  dalam  komunitas  muslim. Masyarakat Madura  sangat 

hormat  kepada  kiai  dan menghargai  lembaga  pendidikan  pesantren.  Gambaran  sikap  hormat 

Page 26: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

26 

 

                                                           

masyarakat  Madura  terhadap  kiai  dan  pesantren  ini  dapat  dilihat  pada  laporan  selanjutnya 

tentang lingkungan masyarakat yang mengelilingi PP Guluk‐Guluk. Hubungan antara anggota dan 

pemimpinnya, yaitu antara  santri, ustaz, pengurus dan kiai  sebagai  satu keluarga dalam  rumah 

tangga,  di  mana  kiai  dan  nyai  sebagai  guru,  bapak,  ibu  dan  pemimpin  mereka.  Seperti 

dikemukakan di muka, hubungan kerja kepemimpinan dalam pesantren dilandasi oleh  tiga kata 

kunci:  "ikhlas",  "berkah",  dan  "ibadah".  Tatanan  kerja  organisasinya  kurang  jelas,  pembagian 

tugas  antarunit‐unit  kerja  tidak  terpisahkan  secara  tajam. Masing‐masing  pimpinan  unit  bebas 

berinisiatif  dan  bekerja  untuk  kemajuan  dan  kebaikan  pesantren.  Selama  apa  yang  mereka 

lakukan  tidak  bertentangan  dengan  sunnah  pondok,  dan memperoleh  restu  kiai  atau  setidak‐

tidaknya diperbolehkan oleh  kiai  atau  tidak dilarang oleh  kiai, maka  selama  itu pula pekerjaan 

boleh diteruskan.  

Sehubungan  dengan  itu,  maka  gaya  kepemimpinan  di  PP  Guluk‐Guluk  memiliki  ciri‐ciri 

paternalistik,  dan  free  rein  leadership  (laisser  faire),  di mana  pemimpin  pasif,  sebagai  seorang 

bapak yang memberikan kesempatan kepada anak‐anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, 

yaitu memberikan kata‐kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan 

dapat  diteruskan  atau  harus  dihentikan.  Sementara  itu,  dari  gambaran  tentang  sikap  hormat 

warga  pesantren  dan  masyarakat  terhadap  kiai,  juga  dapat  disimpulkan  bahwa  sumber 

kewibawaan kepemimpinan PP Guluk‐Guluk adalah karismatik‐keagamaan, di mana kiai sebagai 

pemimpin  spiritual.  Rata‐rata  sekitar  15‐20  orang  berkunjung  kepada  kiai  untuk  berbagai 

keperluan,  seperti berobat, minta do a,  "ijazah", urusan menjodohkan anak, mencari  kerja, dan 

sebagainya.  

b. PP Sukorejo  

Jika kepemimpinan PP Guluk‐Guluk dilakukan  secara kolektif, maka kepemimpinan dalam PP 

Sukorejo  dilakukan  secara  pribadi  oleh  K.H.R.  As'ad  Syamsoel  Arifin  sebagai  pimpinan  tunggal 

pesantren.  

K.H.R. As'ad  Syamsoel Arifin  selain  sebagai  pimpinan  tertinggi,  ia  adalah Mustasyar  Am  NU8 

(Nahdatul  Ulama)  seluruh  Indonesia.  Di  kalangan  warga  NU  pada  umumnya,  dan  warga  PP 

Sukorejo pada  khususnya, K.H.R. As'ad  Syamsoel Arifin dianggap memiliki  karamah,  yaitu  suatu 

 

8 NU adalah organisasi ulama. Strutktur organisasinya dibagi dua besaran: Syuriah (penjaga nilai agama) 

dan Tanfiziah (penjaga nilai non agama atau badan pelaksana Syuriah), yang mempunyai supremasi atas Tanfiziah. 

Lembaga  syuriah  dibentuk  dari  tingkat  pusat  sampai  ke  ranting.  Siapa  pun  yang menjadi  anggota  NU  harus 

bersedia mendukung ulama, tidak boleh tidak setuju apalagi berusaha mendongkelnya.  (K.H. Ahmad Siddiq Rais‐

am NU atau ketua umum syuriah NU, dalam Khittah Nahdiyah, Balai Buku Surabaya, 1979: 45‐48) 

Page 27: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

27 

 

                                                           

kekuatan gaib yang diberikan oleh Tuhan hanya kepada siapa yang dikehendaki‐Nya; dan kekuatan 

ini selapis lebih rendah daripada mukjizat yang hanya diberikan kepada nabi9. 

Rata‐rata setiap harinya terdapat 25‐30 orang tamu yang berkunjung kepadanya, baik individu 

maupun kolektif, baik pejabat maupun masyarakat biasa terutama warga NU dari berbagai daerah 

cabang atau wilayah NU; untuk berbagai macam keperluan, dari yang hanya untuk kepentingan 

silaturahmi sampai untuk kepentingan organisasi. Tidak  jarang pimpinan teras pemerintahan dari 

presiden, menteri, gubernur, dan  seterusnya pernah berkunjung ke Pondok Pesantren Sukorejo. 

Begitu  besarnya  karisma  kepemimpinan  kiai,  sampai‐sampai  mengenai  masalah  yang  paling 

mustahil dalam agama pun tidak ada orang yang berani mempersoalkannya. Misalnya: setiap hari 

Jumat kiai  tidak  tampak  salat  Jumat di mesjid, padahal  salat  Jumat hukumnya wajib. Sebaliknya 

terdapat pendapat di kalangan sebagian warga pesantren dan masyarakat, bahwa kiai salat Jumat 

di Mekah.  Adalah  sudah menjadi  adat  kebiasaan  bahwa  tamu  hanya menunggu  kesempatan, 

sampai  kiai  sendiri  berkenan  menanyakan  keperluannya,  para  petugas  tamu  tidak  berani 

memberitahukan kepada kiai bahwa ia sedang ditunggu tamu, kecuali untuk tamu‐tamu tertentu, 

seperti pejabat  teras pemerintahan yang diatur melalui protokoler atau yang  telah mengadakan 

perjanjian lebih dahulu. Demikianlah, masih banyak cerita‐cerita mistis lainnya mengenai ke‐karamah‐

an  kiai  yang  tersebar  di  kalangan  warga  pesantren  dan  masyarakat  sekitarnya  yang  sangat 

mencekam kehidupan mereka. Dalam riwayat hidupnya, disebutkan bahwa kiai adalah keturunan 

langsung Nabi Muhammad, dari garis keturunan putri Nabi: Fatimah, dan merupakan generasi ke‐

28  dan  sudah  disiapkan  penggantinya  yaitu  putranya  bernama  Raden  Fawaid,  yang  akan merupakan 

generasi ke‐29. Dari gambaran tersebut dapat dimengerti bahwa ketundukan dan kepercayaan anggota 

terhadap  pemimpinnya  sangat  luar  biasa.  Dalam  keadaan  seperli  itu,  dapat  diamali  bahwa  jenis 

kepemimpinan PP Sukorejo berciri:  

Karismatik  (Spiritual  leader),  dan  otoriter‐paternalistik.  Berbeda  dengan  gaya  kepemimpinan  PP 

Guluk‐Guluk dengan derajat kepemimpinan laisser faire‐nya yang besar, maka derajat kebebasan dalam 

kepemimpinan PP Sukorejo terasa lebih kecil jika dibandingkan dengan kebebasan dalam kepemimpinan 

PP  Guluk‐Guluk  tersebut.  Pada  umumnya  pembagian  kerja  pada  unit‐unit  kerja  dalam  struktur 

organisasi  PP  Sukorejo  lebih  jelas  dan  resmi  daripada  pembagian  kerja  pada  unit‐unit  kerja  dalam 

struktur organisasi PP Guluk‐Guluk. Wibawa kepemimpinan PP Sukorejo terasa menyentuh kegiatan unit 

kerja. Misalnya pada suatu ketika, setelah hari ketiga peneliti berada di PP Sukorejo, peneliti berbincang‐

bincang  dengan  dekan  Fakultas  Tarbiyah  Universitas  Ibrahimiyah,  untuk minta  petunjuk  kepadanya 

bagaimana  caranya  agar  peneliti  dapat  berjumpa  dengan  Kiai  As'ad  Syamsoel  Arifin;  dekan  tersebut 

menyarankan  kepada  peneliti  agar  peneliti mengaji  (baca  AI  quran)  dimakam  orangtua  kiai.  Dekan 

 

9  Dalam  ajaran  Islam,  ada  4  kekuatan  gaib  yang  diberikan  oleh  Tuhan  kepada  manusia:  (a).  Istidraj 

diberikan  kepada  non  muslim,  sifatnya  memanjakan,  (b).  Ma’unah  diberikan  kepada  muslim,  sifatnya  untuk 

kebaikan,  (c).  Karamah  diberikan  kepada  muslim,  sifatnya  untuk  kebaikan  dan  kekuatan,  (d). Mu’jizat  hanya 

kepada diberikan kepada Nabi. 

Page 28: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

28 

 

tersebut  percaya  bahwa  kiai  sudah  tahu  keinginan  peneliti  untuk  bertemu  kepadanya,  sekalipun  kiai 

belum memberitahukan kepadanya. Dengan demikian setiap unit kerja merasa diawasi oleh kiai setiap 

saat, sehingga proses kegiatan terasa berjalan lebih ketat daripada apa yang terjadi di PP Guluk‐Guluk.  

c. PP Blok Agung  

Seperti kepemimpinan PP Sukurejo, kepemimpinan PP Blok Agung juga dilakukan secara pribadi 

oleh KH. Muchtar Syafaat sebagai pimpinan tunggal pesantren. KH. Muchtar Syafaat adalah Mustasyar 

NU untuk seluruh daerah Blambangan dan sekitarnya. Setiap hari rata‐rata tercatat 15‐20 orang tamu 

yang  datang  dari  berbagai  lapisan  masyarakat,  berkunjung  kepadanya  untuk  bersilaturahmi  minta: 

nasihat,  do'a‐do'a  dan  "izasah"  (semacam  'Jimat’)  kepada  kiai.  Mereka  datang  dengan  membawa 

berbagai masalah kehidupan atau "kemelut hati", dari sejak masalah kelahiran, perjodohan, sampai ke 

masalah warisan. Berbeda dengan KH.R. As'ad  Syamsoel Arifin  tersebut  di  atas, K.H. Muchtar  Syafaat 

tampak  salat di mesjid, dan para petugas  tamu berani memberi  tahu  kiai bahwa  ia  sedang ditunggu 

tamu  dan  sebagainya.  Namun,  kepemimpinannya  yang  karismatik  terasa  sangat  mencekam  dalam 

kehidupan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Berkat ajaran  tasawuf yang diberikan secara  intensip, 

sehingga menjadi ciri khas Pondok Pesantren Blok Agung sebagai pesantren tasawuf dan tarekat, maka 

banyak  santri  Pondok  Pesantren  Blok  Agung  yang  menjalankan  puasa  sunah,  dan  kebiasaan  yang 

demikian  itu  bertentangan  dengan  kebiasaan  yang  ada  di  Pondok  Pesantren  Sukorejo  yang 

menganjurkan santrinya untuk tidak berpuasa sunah selama belajar, tetapi harus makan makanan yang 

banyak dan bergizi.  

Dengan demikian kedudukan dan kewenangan atau kekuasaan kiai  sebagai pimpinan  spiritual 

sangat kukuh. Hubungan antara anggota dan pemimpin sangat baik; anggota menghargai dan percaya 

penuh kepada kiai, tidak hanya sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai bapak dan guru.  

Sementara  itu, seperti diuraikan dalam struktur organisasi Blok Agung di muka, deskripsi tugas 

untuk masing‐masing  unit  kerja  kurang  jelas  dan  saling  bersamaan. Masing‐masing  unit  kerja  sangat 

tergantung pada atasan langsung. Namun, Kiai Muchtar Syafaat memberikan kebebasan yang luas pada 

pimpinan unit kerja dari Sayap‐2 untuk berkreasi dan berbuat apa saja yang dianggap baik bagi dirinya 

dan bagi kemajuan pesantren, asal perbuatan‐perbuatan tersebut tidak menyimpang dari ajaran agama 

dan tata tertib pesantren.  

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan PP Blok Agung,  sebagaimana 

gaya  kepemimpinan  pesantren‐pesantren  terdahulu,  adalah:  paternalistik,  otoriter,  dan  juga  laisser  fair 

atau bebas; semuanya berada dalam struktur relevansi ajaran agama. 

d. PP Tebu Ireng  

Seperti disebutkan di muka, saat  ini pimpinan PP Tebu  Ireng dijabat oleh K.H. Yoesoef Hasyim, 

salah seorang putra pendiri PP Tebu Ireng: K.H. Hasyim Asy'ari yang terkenal dengan sebutan "Kiai Tebu 

Ireng".  

Page 29: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

29 

 

Dari uraian mengenai struktur organisasi PP Tebu Ireng di muka, tampak adanya kecenderungan 

kedudukan dewan kiai sebagai penjaga kemurnian nilai agama menjadi bagian atau salah satu unit kerja 

dari  kesatuan  administrasi pengelolaan penyelenggaraan pesantren.  Sementara  itu, hubungan  antara 

anggota dan pimpinan baik dan hormat; artinya anggota menghormati pimpinan, sebagaimana layaknya 

murid menghargai  gurunya,  atau  santri menghargai  kiainya. Namun  juga  tampak  adanya  perubahan 

hubungan  antara  anggota  dan  pemimpin  sekarang,  jika  dibandingkan  dengan  20‐30  tahun  yang  lalu. 

Pada masa dulu, terutama pada periode awal usia pesantren, ketundukan dan hormat anggota terhadap 

pimpinan  atau  kiai  digambarkan  sebagai  "luar  biasa".  Santri  tidak  berani  berbicara  dengan menatap 

mata kiai. Tetapi sekarang hubungan seperti itu telah berubah; santri tampak sering terlibat diskusi atau 

dialog  dengan  pimpinan  pesantren mengenai  berbagai masalah.  Perubahan  tersebut,  sangat  terasa 

sejak  diselenggarakannya  sekolah‐sekolah  formal,  baik  madrasah  maupun  sekolah  umum  yang 

diselenggarakan oleh PP Tebu  Ireng, serta adanya perguruan tinggi, yaitu Universilas Hasyim Asy'ari di 

kampus  PP  Tebu  Ireng. Dengan  semakin banyaknya  santri  yang menjadi  siswa‐siswa dan mahasiswa, 

mereka menampakkan perilaku yang berbeda dengan perilaku santri pada masa dulu. Misalnya dari segi 

cara berpakaian: dewasa ini mereka memakai celana, hem, sepatu, lepas peci, dan seragam sekolah atau 

pramuka  sebagaimana  layaknya murid  sekolah  umum;  demikian  pula  halnya  ketika  salat  di mesjid 

banyak di antara mereka yang memakai celana panjang, hem dan tanpa peci. Gambaran yang demikian 

ini sangat berbeda dengan gambaran masa  lalu, bahkan menurut sejarah pada awal usia pesantren  ini, 

belajar  dengan memakai  celana,  sepatu,  dan  duduk  di  atas  bangku  dan menggunakan  papan  tulis, 

diharamkan, karena hal itu merupakan kebiasaan kafir (Belanda) atau penjajah.  

Di  sisi  lain,job  description  atau  pembagian  tugas  di  kalangan  unit‐unit  kerja  juga  cenderung 

berubah menuju pembagian kerja yang  lebih  rinci dan  spesifik, dengan menggunakan  teknologi baru, 

yaitu bank dan komputer yang sudah mulai dipergunakan sebagai sarana kerja. Dengan kata  lain, sejak 

dibukanya sekolah‐sekolah umum di kampus pesantren, sejak itu sangat terasa bahwa “pendidikan 

dengan uang"  sudah memasuki dunia pesantren. Gaji atau honor guru,  sumbangan uang belajar, 

gaji pegawai, biaya pendidikan dan pembangunan gedung‐gedung, harga alat‐alat pendidikan, dan 

biaya kependidikan  lainnya, sudah diperhitungkan secara rinci, teliti dan hemat; target pendidikan 

yang harus dicapai  juga harus dihitung dengan  cermat, dan  sebagainya. Semuanya  ini membawa 

dampak yang  luas dan menggetarkan  jaringan mekanisme kerja penyelenggaraan pesantren, yang 

pada ujungnya menuntut penyesuaian gaya kepemimpinan yang sesuai dengannya 

Dalam kondisi kehidupan pesantren seperti  itu, pimpinan tertinggi PP Tebu  Ireng sekarang 

lebih dikenal  sebagai  "pemimpin" Pesantren  Tebu  Ireng, daripada  sebagai  "Kiai" Pesantren Tebu 

Ireng.  Kiai  Yoesoef  Hasyim memiliki  latar  belakang  pengalaman  lebih  banyak  di  bidang militer 

(tokoh gerilyawan di Jawa Timur) dan politik (anggota DPR RI dari tahun 1955‐1982), daripada latar 

belakang pengalaman di bidang perkiaian. Hal  ini dapat menyebabkan munculnya kecenderungan 

gaya kepemimpinan diplomatis yang berbeda dengan gaya kepemimpinan pesantren sebagaimana 

disebutkan  di  muka,  gaya  kepemimpinan  diplomatik  tersebut  kadang‐kadang  dikombinasikan 

dengan  gaya  kepemimpinan  partisipatif.  Gaya  kepemimpinan  diplomatis  mencoba  mendekati 

anggotanya  secara persuasif dengan  jalan menjual  ide‐ide  (a  sell  type  leader),  tetapi  jika  terdesak  ia 

Page 30: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

30 

 

menggunakan  gaya  autokratis;  sedang  gaya  kepemimpinan  partisipatif  mencoba  mendekati 

anggotanya  untuk  berbuat  secara  terbuka. Namun  tidak  perlu  ada  kekhawatiran  akan  hilangnya 

kewenangan dan kewibawaan dengan munculnya gaya kepemimpinan diplomatis dan partisipatif 

tersebut,  sebab  bagaimanapun  juga  "modal  pokok"  yang  menjamin  kelestarian  kepemimpinan 

Pesantren  Tebu  Ireng  tetap dimiliki oleh K.H.  Yoesoef Hasyim  sebagai  ahli waris Pesantren Tebu 

Ireng, sehingga hak prerogatif memimpin tetap berada pada keturunan pendiri. 

e. PP Paciran  

PP  Paciran  dipimpin  oleh  K.H.  Abdurachman  Syamsoeri,  pendiri  pesantren.  Dari  uraian 

mengenai  struktur  organisasi  PP  Paciran  tersebut  di  muka  diperoleh  kesan  bahwa  PP  Paciran 

banyak menunjuk  corak  "keperguruan"  di  samping  corak  "kepesantrenan". Meskipun  demikian, 

seperti  disampaikan  di  muka,  corak  "kepesantrenannya"  masih  lebih  menonjol  daripada  corak 

"keperguruannya". Corak "keperguruan"‐nya yang cukup besar, dan cukup mewarnai kehidupan PP 

Paciran,  karena  hampir  semua  kegiatan  pendidikan  yang  diselenggarakannya  adalah  sekolah‐

sekolah formal sebagaimana layaknya perguruan Muhammadiyah, dan jumlah mereka yang tinggal 

di kampus pesantren (santri mukim) sekitar 35 % dari seluruh santri yang belajar di PP Paciran, 65% 

pulang  ke  rumah masing‐masing  (santri  kalong). Hal  ini  berbeda  dengan  keadaan  di  pesantren‐

pesantren lain, yang hampir seluruh santri tinggal di pesantren.  

Meskipun  demikian,  hubungan  antara  anggota  baik,  dalam  arti  para  santri  atau  pelajar 

merasa membutuhkan atau tergantung pada  lembaga pendidikan yang diselenggarakannya, untuk 

meraih kesempatan belajar secara  resmi ke  jenjang pendidikan yang  lebih  tinggi. Kedudukan dan 

kewenangan  kiai  sebagai  pimpinan  inti  pesantren  kuat. Meskipun  status  PP  Paciran merupakan 

salah satu bagian dari Maje1is Pendidikan Pusat Muhammadiyah, jadi berstatus milik instansi, sehingga 

secara  resmi  status  kepemimpinannya  sangat  tergantung  pada  keputusan  instansi  induknya,  namun 

kedudukan K.H. Abdurachman Syamsoeri kuat karena dalam  sejarah PP Paciran  ia adalah pendiri dan 

pemilik  pesantren,  sehingga  tidak  mudah  untuk  diganti  sewaktu‐waktu  oleh  instansi  induknya.  Di 

samping  itu,  kiai  sendiri memiliki  karisma  kepemimpinan  yang  kuat  di  kalangan warga  pesantren.  Ia 

sangat  disegani  dan  dihormati  anak  buah  dan  santrinya,  sebagaimana  layaknya  pemimpin  spiritual 

keagamaan pada umumnya. Sementara  itu, pembagian kerja atau  job description dari masing‐masing unit 

tampak lebih jelas dan resmi, sebagaimana layaknya pembagian kerja menurut unit sekolah formal pada 

umumnya.  Jadwal pengajian kitab‐kitab sebagai pengajian ekstra kurikuler  juga tampak berlaku secara 

teratur. Namun, sebagaimana dilaporkan dalam uraian mengenai struktur organisasi PP Paciran di atas, 

masing‐masing unit kerja secara langsung tergantung pada atasan langsung.  

Dalam  kondisi  seperti  itu  gaya  kepemimpinan  yang  tampak  berlaku  pada  PP  Paciran  adalah: 

Kombinasi antara gaya otoriter, paternalistik, dan birokratik  (sesuai dengan aturan‐aturan formal yang 

ada).  

 

 

Page 31: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

31 

 

f. PP Gontor 

Seperti disebutkan dalam uraian mengenai struktur organisasi PP Gontor di muka, pimpinan harian 

PP  Gontor  berbentuk  trimurti  atau  tiga  serangkai.  Kedudukan  dan  kewenangan  pimpinan  kuat, 

hubungan antara anggota dan pemimpin baik, dan pembagian  tugas antarunit‐unit kerja  jelas. Disiplin 

dan solidaritas juga terasa amat kuat mewarnai kehidupan PP Gontor. Jaringan solidaritas mereka tidak 

hanya terbatas pada kalangan keluarga dalam pesantren saja, tetapi juga menjangkau warga pesantren 

yang ada di daerah‐daerah, dan luar negeri.  

Kekompakan  tersebut  antara  lain  tampak  pada  diumumkannya  berita‐berita  organisasi  pada 

setiap salat Jumat di mesjid raya pesantren, menyangkut berita‐berita: gembira, sedih dan sebagainya. 

Misalnya berita tentang keberhasilan belajar dari santri Gontor yang sedang belajar di Mesir, Pakistan, 

Saudi  Arabia  dan  sebagainya,  atau  berita  duka,  seperti  sakit,  meninggal  dan  sebagainya.  Hal  yang 

demikian  itu, di  samping melalui pengumuman‐pengumuman di  saat  salat  Jumat,  juga dimuat dalam 

majalah  dinding, majalah  pesantren  dan media‐media  cetak  lain. Mengenai  gambaran  disiplin  dalam 

tata pergaulan di PP Gontor dapat disaksikan antara lain: ketatnya program pelajaran bahasa Arab dan 

Inggris,  di  mana  santri  setiap  hari  wajib  berbicara  dengan  menggunakan  bahasa‐bahasa  tersebut, 

dilarang menggunakan bahasa daerah. Bahasa Indonesia biasanya digunakan jika melayani tamu‐tamu. 

Kedisiplinan juga tampak pada acara‐acara antri: mandi, makan, berpakaian dan sebagainya (lihat uraian 

selanjutnya  mengenai  lingkungan  dalam  kehidupan  PP  Gontor,  halaman  120‐126).  Begitu  ketatnya 

disiplin yang berlaku di PP Gontor, sehingga cenderung diperoleh kesan bahwa santri serba diatur dan 

sangat sedikit kesempatan bagi santri untuk berlaku bebas di  luar waktu‐waktu yang ditentukan dalam 

tata tertib pondok. 

Selain  itu, pimpinan pondok  saat  ini adalah generasi kedua  sete1ah pendiri, dua dari  trimurti 

berumur  muda,  sekitar  45‐50  tahun,  berpendidikan  universitas,  salah  satunya  menyelesaikan 

masternya di luar negeri, dan yang seorang lagi berumur sekitar 60‐70 tahun, alumni PP Gontor.  

Dalam situasi seperti  itu maka gaya kepemimpinan di PP Gontor adalah kombinasi antara 

gaya‐gaya  kepemimpinan:  birokratik,  diplomatik,  paternalistik.  Sebagai  pimpinan  dalam  kubu 

keagamaan, maka juga terkesan adanya jenis kepemimpinan yang bergaya karismatik keagamaan.  

Gaya  yang  terakhir  ini  terasa  dipengaruhi  oleh  jenis  karismatik  pendiri  yang  amat  besar, 

terutama  karisma K.H.  Imam  Zarkhasyi dan K.H. Ahmad  Sahal. Ajaran dan  kata‐kata nasihat dari 

kedua  tokoh  ini  selalu  dicetak  ulang  dan merupakan  bacaan  yang wajib  dibaca  dan  ditaati  oleh 

setiap santri.  

Dari uraian mengenai  keenam  gaya  kepemimpinan pesantren  tersebut, dapat diturunkan 

beberapa butir pengertian sebagai berikut:  

1. Jenis  kepemimpinan  pesantren  adalah  karismatik  keagmnaan,  yang  untuk  selanjutnya disebut  karismatik,  yang  berbeda  dengan  kar'ismatik  keilmuan,  yang  untuk  selanjutnya disebut jenis kepemimpinan rasional.  

Page 32: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

32 

 

2. Pada  dasarnya  gaya  kepemimpinan  pesantren  adalah  kombinasi  dari  gaya‐gaya kepemimpinan pesantren: karismatik, otoriter‐kebapakan, dan Laisser‐Faire.  

3. Terdapat  perbedaan  gradual  antara  gaya  kepemimpinan  pesantren  yang  satu  terhadap yang lain, dan adanya kecenderungan perubahan sebagai berikut:  a. Dari jenis Karismatik menuju ke Rasional.  b. Dari Otoriter‐Kebapakan menuju ke Diplomatik‐Partisipatif.  c. Dari Laisser‐Faire menuju ke Birokratik.  Tetapi perjalanan perubahan tersebut belum sampai memasuki daerah gaya kepemimpinan 

yang baru, kecuali perubahan gaya kepemimpinan dari Laisser Faire ke Birokratik, pada beberapa 

pesantren  tampak  ketat  dengan  peraturan  tertulis  yang  telah  ditetapkan,  jadi  jika  digambarkan 

dalam satu garis  lurus yang kontinum, maka gambaran  itu  lebih kurang sebagai berikut. Misalnya 

perubahan dari Karismatik ke Rasional, model perubahan tersebut belum sampai memasuki daerah 

jenis  kepemimpinan  Rasional,  masih  berada  dalam  daerah  gaya  kepemimpinan  Karismatik, 

demikian pula halnya dengan perubahan gaya kepemimpinan Otoriter‐Paternalistik ke Diplomatik 

Partisi patif.  

Jika  dituangkan  dalam  bentuk  diagram  perubahan,  maka  diagramnya  lebih  kurang  sebagai 

berikut:  

 

(a) Diagram posisi keenam pesantren dalam perubahan jenis kepemimpinan Karismatik ke Rasional.

Keterangan :

1. Makin ke kanan posisi pesantren, makin kecil jenis kepemimpinan Karismatik, dan makin besar jenis kepemimpinan Rasionalistik.

2. Rata-rata gaya kepemimpinan adalah: - Karismatik > 50

- Rasionalistik < 50

Page 33: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

33 

 

3. Nomor urut nama-nama Pondok Pesantren:

(1) Sukorejo, (2) Blok Agung, (3) Guluk-Guluk, (4) Paciran, (5) Tebu Ireng, (6) Gontor.

(b) Diagram posisi keenam pesantren dalam perubahan gaya kepemimpinan dari Otoriter - Paternalistik ke Diplornatik - Partisipatif

1. Makin ke kanan posisi pesantren makin kecil gaya kepemimpinan

Otoriter - Paternalistik, makin besar gaya kepemimpinan

Diplomatik - Partisipatif.

 

 

Rata‐rata gaya kepernimpinan:  

‐ Otoriter ‐ Patemalistik > 50  

‐ Diplomatik ‐ Partisipatif < 50  

Nomor urut nama‐nama pondok pesantren:  

Page 34: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

34 

 

(1) Sukorejo, (2) Blok Agung, (3) Guluk‐Guluk, (4) Paciran, (5) Tebu Ireng, (6) Gontor.  

 

 

 

 

(c) Diagram posisi keenam pesantren dalam perubahan gaya kepemimpinan dari Laisser Faire 

ke Birokratik.  

 (0)  50  100 

 

BIROKRATIK 

                6  

              5   

            4      

          3        

        2         1    

 

 

 

Keterangan :  

 

1. Makin ke kanan posisi pesantren, makin kecill Laisser Faire, dan makin besar Birokratik.  

2. Rata‐rata gaya kepemimpinan:  

‐ Birokratik < 50  

‐ Laisser Faire > 50  

3. Nama‐nama gaya kepemimpinan mereka adalah:  

(1) Guluk‐Guluk, (2) Blok Agung, (3) Sukorejo, (4) Tebu Ireng, (5) Paciran, (6) Gontor.  

 

Page 35: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

35 

 

(4) Suksesi Kepemimpinan  

Estafet pergantian kepemimpinan pesantren,  terutama pada pesantren milik pribadi adalah 

dari‐ke: pendiri‐anak‐menantu‐cucu‐santri  senior. Artinya: Ahli waris pertama  adalah  anak  laki‐

Iaki, yang senior dan dianggap cocok oleh kiai dan oleh masyarakat untuk menjadi kiai, baik dari 

segi  kealimannya  maupun  dari  segi  kedalaman  ilmu  agamanya.  Jika  hal  ini  tidak  mungkin, 

misalnya karena pendiri tidak punya anak laki‐laki yang cocok untuk menggantikannya, maka ahli 

waris kedua adalah menantu, kemudian sebagai ahli waris ketiga adalah cucu. Jika semuanya itu 

tidak mungkin, maka  ada  kemungkinan  dilanjutkan  oleh  bekas  santri  senior.  Tetapi  biasanya 

santri lebih suka mendirikan pesantren sendiri, dan bila hal ini terjadi maka berakhirlah pesantren 

yang bersangkutan karena tidak ada yang meneruskannya. Misalnya riwayat pergantian PP Tebu 

Ireng:  Diawali  dari  PP  Nggedang,  yang  didirikan  oleh  kiai  Usman  pada  pertengahan  abad  ke‐19. 

Kemudian  dilanjutkan  oleh menantunya  kiai Asy'ari,  dengan mendirikan  pondok  baru  di Desa  Keras, 

pada  tahun  1876‐an,  dan  popularitas  pondok  Nggedang  menjadi  menurun  yang  akhirnya  mati. 

Kemudian  diganti  oleh  putranya  Muhammad  Hasyim,  dengan  mendirikan  pesantren  baru,  yang 

kemudian  terkenal dengan nama Pondok pesantren Tebu  Ireng pada  tahun 1899. Dengan munculnya 

Pondok Pesantren  Tebu  Ireng di bawah pimpinan  K.H. Hasyim Asy'ari, popularitas Pondok Pesantren 

Keras menurun dan akhirnya mati. K.H. Hasyim Asy'ari kemudian digantikan oleh K.H.A. Wahid Hasyim 

(1947‐1950). Kemudian, karena K.H A. Wahid Hasyim pindah ke Jakarta sehubungan dengan kesibukan 

di Jakarta, maka diganti oleh saudaranya, yaitu K.H.A. Karim Hasyim (1950‐1951). K.H.A. Karim Hasyim 

hanya sempat menduduki kepemimpinan selama 1 tahun, karena meninggal, maka diganti oleh saudara 

iparnya. yaitu K.H.A. Baidhawi  (1951‐1952). K.H.A. Baidhawi diganti  lagi oleh keturunan pendiri, yaitu 

K.H.A.  Khaliq Hasyim  (1952‐1965).  K.H.A.  Khaliq Hasyim meninggal, digantikan oleh  saudaranya H.M. 

Yusuf Hasyim dari tahun 1965 sampai sekarang.  

Riwayat  pergantian  pimpinan  Pondok  Pesantren  Sukorejo:  dari  pendiri  pertama  K.H.  Raden 

Syamsoel Arifin  (1914‐1951)  kemudian diganti oleh putranya K.H Raden As'ad  Syamsoel Arifin  (1951‐

sekarang), dan sekarang sudah disiapkan calon penggantinya, yaitu putranya yang saat ini baru berumur 

sekitar 15 tahun.  

Riwayat pergantian pemimpin Pondok Pesantren Guluk‐Guluk dari generasi pertama (K.H. Syarkawi, 

1887)  sampai  pimpinan  sekarang, merupakan  generasi  ketiga  dan  keempat  dipimpin  oleh  K.H.  Amir 

Ilyas.  

Pondok Pesantren Blok Agung dan Paciran  sampai  saat  ini masih dipimpin oleh generasi pertama, 

tetapi mereka juga sudah menyiapkan penggantinya, yaitu putra mereka sendiri.  

Demikian dalam kenyataannya, pengganti kepemimpinan pesantren adalah keturunan dari pendiri, 

paling  tidak mengikuti  garis  estafet  seperti  digambarkan  di  atas.  Hal  yang  demikian  itu  tidak  hanya 

berlaku bagi pesantren milik pribadi tetapi  juga masih berlaku bagi pesantren milik  institusi. Meskipun 

sceara resmi sudah ada ketentuan bahwa ahli waris pendiri tidak dengan sendirinya menjadi pengganti. 

Misalnya  suksesi  kepemimpinan  Pondok  Pesantren  Gontor:  saat  ini  dua  dari  tiga  trimurti  pimpinan 

Page 36: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

36 

 

Pondok  Pesantren  Gontor  adalah  keturunan  langsung  dari  pendiri.  Hal  ini  terjadi:  (a)  Karena masih 

dekatnya periode dari generasi pertama (pendiri) ke generasi kedua (pimpinan sekarang), jadi pengaruh 

dari pendiri masih terasa sangat berpengaruh dan sekaligus sebagai pernyataan terima kasih dan hormat 

kepada pendiri, dan (b) Karena dua dari tiga trimurti sekarang adalah memiliki tingkat pendidikan tinggi, 

satu daripadanya adalah "Master of Arts" dari luar negeri. Jadi dengan kata lain, suksesi itu karena faktor 

pendidikan dan keturunan. Tampaknya untuk masa‐masa selanjutnya, keturunan dari pendiri akan tetap 

kuat menduduki jabatan kepemimpinan pesantren, karena pendidikan mereka memang tinggi, yang saat 

ini sedang menyelesaikan pelajarannya di berbagai universitas di Timur Tengah: Mesir, Pakistan, Saudi 

Arabia,  dan  sebagainya.  Meskipun  demikian,  faktor  pendidikan  makin  lama  makin  kuat  dan  akan 

menggeser  faktor  keturunan. Demikian pula dengan  status pemilikan pesantren;  tampaknya  status 

milik institusi akan semakin kuat dan merupakan kebutuhan dibanding dengan status milik pribadi.  

2.4. Lingkungan Kehidupan Pesantren  

Konsep  lingkungan  kehidupan  di  sini  meliputi  lingkungan  kehidupan  masyarakat  dalam 

pesantren, baik  lingkungan fisik maupun  lingkungan non fisik, yang secara  langsung maupun tidak 

langsung  mempengaruhi  pembentukan  dan  perkembangan  kepribadian  anak  didik  atau  santri. 

Kepribadian individu dan kelompok dibentuk oleh lingkungan kehidupan yang mengasuhnya. Dalam 

lingkungan  kehidupan,  perilaku  individu  dan  kelompok  diseleksi,  dispesialisasi,  dan  distratifikasi: 

apa yang boleh dilakukan dan apa yang  tidak boleh dilakukan, apa yang wajib dilakukan dan apa 

yang  harus  ditinggalkan,  serta  apa  yang  seyogianya  dilakukan  dan  apa  yang  seyogianya 

ditinggalkan.  Suatu  kebiasaan  yang  secara  terus‐menerus  dialami  oleh  seseorang  dari  tahun  ke 

tahun  selama  24  jam  setiap  harinya,  akhirnya membentuk  kepribadian,  dan  jika  hal  itu  te1ah 

diterima menjadi nilai kehidupan bersama, maka sejak  itu  terbentuklah kepribadian kolektif yang 

sukar sekali diubah.  

Pembahasan  mengenai  lingkungan  kehidupan  dalam  bab  ini  bertolak  dari  teori  pengaruh 

lingkungan terhadap pembentukan dan pengembangan kepribadian tersebut.  

Jawa Timur merupakan daerah konsentrasi pesantren kedua sesudah Jawa Barat. Menurut hasil 

pendataan Departemen Agama  tahun 1984/1985.  jumlah pesantren di enam kabupaten di mana 

keenam pesantren objek penelitian  ini berada adalah: Di Kabupaten Sumenep,  tempat PP Guluk‐

Guluk,  ada  129  buah  pesantren,  dengan  jumlah  santri:  29.781  orang,  dan  kiai  atau  ustaz  yang 

mengajar  sebanyak  900  orang.  Di  Kabupaten  Situbondo,  asal  daerah  PP  Sukorejo,  ada  75 

pesantren, dengan  jumlah  santri: 14.781 orang, dan kiai atau ustaz yang mengajar 293 orang. Di 

Kabupaten Banyuwangi. daerah asal PP Blok Agung ada 99 pesantren, dengan  jumlah santri: 15.922 

orang,  dan  kiai  atau  ustaz  yang mengajar  174  orang. Di  Kabupaten  Jombang  ada  37  pesantren, 

dengan  jumlah  santri  9.463  orang,  dan  kiai  atau  ustaz  yang mengajar  174  orang. Di  Kabupaten 

Lamongan daerah  asal PP Paciran,  ada  46 pesantren dengan  jumlah  santri: 18.132 orang dan  kiai 

atau ustaz yang mengajar 681 orang, dan di Kabupaten Ponorogo daerah asal PP Gontor, ada 17 

pesantren, dengan jumlah santri: 7.256 orang, dan kiai atau ustaz yang mengajar 76 orang.  

Page 37: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

37 

 

                                                           

Menurut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jawa Timur dapat digolongkan menjadi 3 

wilayah  budaya  Islam:  (a)  Pesisir;  meliputi:  Bojonegoro,  Tuban,  Pasuruan.  Sifatnya  terbuka  dan 

"bergerak" atau mobile  (b) Madura., meliputi: Madura, Gresik, Surabaya, dan Banyuwangi bagian Utara 

dan Timur.  Sifatnya:  sama dengan daerah pesisir.  (c) Pedalaman, meliputi: Banyuwangi  Selatan dan 

Barat,  Jember  Selatan,  Lumajang, Malang  Selatan.  Blitar,  Pacitan,  Trengga1ek,  Jombang,  Tulung 

Agung,  Kediri,  Nganjuk,  Madiun,  Ponorogo,  sampai  daerah  perbatasan  Jawa  Tengah.  Sifatnya: 

agraris dan "diam" atau unmobile, serta bercampur dengan mistik Jawa10. 

Dengan demikian, PP Guluk‐Guluk termasuk dalam wilayah budaya Pesisir dan Madura, PP Blok 

Agung  dalam  wilayah  budaya  pedalaman,  PP  Tebu  Ireng  dalam  wilayah  budaya  pedalaman,  tetapi 

karena cepatnya pertumbuhan kota‐kota Surabaya,  jombang, Kediri dan kota‐kota di sekitarnya, maka 

PP  Tebu  Ireng masuk  dalam wilayah  budaya  Pedalaman‐Perkotaan,  sedang  PP  Blok  Agung  tersebut 

berada dalam wilayah budaya pedalaman‐Pedesaan. PP Paciran berada dalam wilayah budaya Pesisir, 

dan PP Gontor berada dalam wilayah budaya Pedalaman‐Pedesaan.  

 

a. PP Guluk‐Guluk  

 

a.I. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren  

Masyarakat Madura dikenal sebagai pemeluk agama Islam yang taat, menghormati kiai atau ulama 

dan  pesantren.  Pulau Madura merupakan  daerah  konsentrasi  pondok  pesantren  dan madrasah  yang 

besar11.  

Pondok  pesantren Guluk‐Guluk  terletak  di  desa Guluk‐Guluk,  kecamatan Guluk‐Culuk,  Kabupaten 

Sumenep. jarak antara pesantren dan kota Sumenep sekitar 25 km. Letak pesantren dari jalan raya yang 

menghubungkan  antarkota  kabupaten  (masuk  ke  dalam  desa Guluk‐Guluk)  sekitar  10  km. Hampir  di 

setiap pelosok desa terdapat kelompok‐kelompok pengajian, seperti: Tahlilan, Ya.sinan, dan majelis‐majelis 

taklim  lainnya. Di desa GulukGuluk sendiri terdapat 11 buah mesjid, 9 di antaranya dipergunakan salat 

Jumat, dan 30 musala. Rata‐rata setiap kelompok pengajian beranggotakan  30‐10 orang dan bergerak di 

bidang ubudiah yang bersifat akhirat, artinya berorientasi pada kehidupan akhirat.  

 

10 LIPI, Nadhar (Jurnal laporan penelitian), seri 7, Juli 1987, hlm. 3. 

11 Menurut data pemetaan wilayah sosial keagamaan di Madura tahun 1974 : jumlah pesantren di Madura 

ada 2281 buah, sekolah umum 731 buah; 60% penduduk melek huruf Arab, 50% melek huruf Latin. Dalam tahun 

1984  terdapat 6 SD negeri, dan 1 SMP, 7  Ibtidaiyah, 1 Tsanawiyah, dan 2 Aliyah.  (dalam buku‐buku M. Dewan 

Rahardjo, ED, Pesantren dan Pengembangan Masyarakat, LP3ES, Jakarta, 1974, hlm 27). 

Page 38: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

38 

 

                                                           

Lingkungan  fisik masyarakat  sekitar  pesantren  pada  umumnya:  tanahnya  gersang,  berbukit‐bukit, 

dan bertanah kapur yang sulit diresapi air. Sebagian besar (75%) merupakan tanah tegalan yang kurang 

subur  ditanami  tembakau  dan  silih  berganti waktu  dengan  tanaman  jagung  yang  sangat  bergantung 

pada musim.  

Sisanya  (25%)  berupa  tanah  pekarangan  dan  sawah  tadah  hujan.  Mata  pencaharian  penduduk: 

sebagian besar bertani  (65%) dengan  tanah garapan  rata‐rata 0,13 ha,  sebagian kecil  (3%) pedagang, 

pegawai negeri, guru dan ABRl, sedang sebagian besar (32%) adalah penganggur, dalam arti tidak memiliki 

pekerjaan  tetap,  termasuk di dalamnya buruh  tani. Melengkapi keadaan  tanah yang gersang dan sulit 

air,  serta  kondisi  sosial  ekonomi dan  tingkat pendidikan  yang  rata‐rata  rendah12,  keadaan  kehidupan 

menjadi semakin risau karena di dalam masyarakat banyak penduduk yang terllibat dengan sistem gadai 

tanah dan utang dari para pelepas uang, terutama pada saat‐saat menjelang tanam tembakau. 

Kondisi  kehidupan  yang  miskin  tetapi  taat  menjalankan  agama  dan  menghargai  kiai  dan 

pesantren,  merupakan  suatu  kesempatan  tersendiri  bagi  pondok  pesantren  Guluk‐Guluk  untuk 

melakukan  pendekatan  kepada  masyarakat  guna  melaksanakan  misinya  menyebarkan  agama  dan 

memperoleh dukungan masyarakat. 

Gambaran  hormat masyarakat Madura  kepada  kiai  dan  pesantren  tersebut  dapat  dilukiskan 

sebagai berikut: Jika mereka (penduduk desa) bertemu dengan kiai di tengah jalan, dan mereka sedang 

tidak memakai peci, maka jika mereka bersalaman dengan kiai, tangan kanannya menjabat tangan kiai, 

sedang  tangan  kirinya memegang  kepalanya  sendiri  sebagai  ganti  peci  Apabila mereka  sedang  naik 

sepeda atau mengendarai sepeda motor dan bertemu atau melewati di muka kiai, maka mereka turun 

dan memberikan hormat kepada kiai. Sebaliknya, jika kiai sedang berjalan melewati mereka, yang secara 

kebetulan sedang duduk‐duduk dan berbincang‐bincang di pinggir‐pinggir jalan, misalnya pada sore hari 

sekitar  jam 17.30, maka mereka  spontan berdiri dan memberi  jalan  serta hormat kepada kiai dengan 

sikap menunduk dan tangan dilipat ke bawah atau ngapu rancang. Bagi para perantau yang merantau di 

kota‐kota besar di Jawa, bila mereka sedang berkunjung pulang ke rumah (kampung halaman), mereka 

mempunyai  kebiasaan bersilaturahmi  (berkunjung) ke kiai dan pesantren. Kecuali  itu, banyak pejabat 

dan  rakyat  biasa,  yang  datang menghadap  kiai  untuk minta  doa,  obat‐obatan, minta  "ijazah",  fatwa 

keagamaan,  dan  berkonsultasl  mengenai  berbagai  masalah  kehidupan  dari  mengerjakan  hal‐hal 

kedinasan, sampai ke soal‐soal mencari jodoh atau mengawinkan anak, mencari sekolah sampai mencari 

pekerjaan dan membahas kematian.  

 

12 Menurut data pemetaan wilayah sosial keagamaan dari sumber yang sama: Drs. Dawam Rahardjo, Ibid; 

dalam  tahun 1980: desa Guluk‐Guluk yang  luasnya 1.668.955 ha dihuni oleh 16.240  jiwa yang  tergabung dalam 

2320  KK.  Dari  jumlah  tersebut  tercatat  usia  sekolah  8.507  jiwa  dengan  perincian;  4.730  jiwa  (  55%)  tidak 

bersekolah, 712 jiwa (8,36%) tidak tamat SD, 3008 jiwa (35%) tamat SD, dan hanya sekitar 1% lebih sedikit tamat 

sekolah lanjutan dan perguruan tinggi.  

Page 39: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

39 

 

Memanfaatkan  kondisi  lingkungan  seperti  itu,  Pondok  Pesantren  GulukGuluk  mengembangkan 

pengabdian masyarakatnya dengan membentuk Biro Pengabdian Masyarakat  (BPM) sejak tahun 1979. 

Dengan menggunakan  pendekatan  bahasa  agama,  Pondok  Pesantren Guluk‐Guluk mengajak masya‐

rakat bangkit kembali dari "tidur akhiratnya" untuk memikirkan dan menanggulangi berbagai masalah 

kehidupan yang mereka hadapi  sehari‐hari  secara bersama‐sama. Yang dimaksud dengan pendekatan 

bahasa agama  ialah pendekatan melalui kelompok‐kelompok pengajian tersebut di atas. Seusai penga‐

jian  (tahlilan,  membaca  Yasin,  zikir,  dan  sebagainya),  diisi  dengan  penjelasan‐penjelasan  mengenai 

berbagai  ajaran  agama  yang  berkenaan  dengan  tugas  dan  tanggung  jawab  manusia  dalam  hidup 

keseharian. Misalnya: Nasib manusia  tidak akan berubah menjadi baik dan maju,  jika manusia  sendiri 

tidak  berusaha  mengubahnya.  Agama  menyuruh  kerja  sama  dan  tolong‐menolong  (taawun)  dalam 

hidup bermasyarakat; antara lain dengan melakukan kewajiban membayar zakat, menyisihkan sebagian 

rezeki  yang  diperolehnya  untuk  diberikan  kepada  fakir  miskin,  karena  di  dalam  setiap  rezeki  yang 

diperolehnya  itu  ada  bagian  (milik)  orang  lain,  yaitu  si miskin,  yang  harus  dibayarkan  kepada  yang 

berhak.  Penjelasan‐penjelasan  semacam  ini  kemudian  diikuti  dengan  perluasan  kerja  kelompok,  dari 

hanya mengurusi hal‐hal yangberkenaan dengan kepentingan ukhrawi,  juga  rnengenai hal‐hal konkret 

yang menjadi kebutuhan setiap hari dalam kehidupan duniawi.  

Mula‐mula  Pondok  Pesantren  Guluk‐Guluk  mengarahkan  perhatiannya  untuk  mengatasi 

kesulitan  air,  baik  untuk  kepentingan  rumah  tangga  maupun  untuk  mengairi  ladang‐pekarangan. 

Kegiatan  ini  langsung dipimpin oleh  salah  seorang kiai dengan didampingi oleh  santri  seniornya, yang 

juga menjadi salah seorang ustaz. Mereka melacak sumber mata air sampai sejauh 4 km yang terletak di 

desa  Rembang,  suatu  desa miskin  yang  terlelak  di  lereng  pegunungan. Melalui  kerja  sama  dengan 

berbagai pihak, baik pemerintah maupun lembaga‐lembaga swasta, baik tingkat lokal, nasional, maupun 

internasional,  akhirnya  mereka  berhasil  menemukan  sumber  mata  air  yang  dicari,  sehingga  dapat 

mengairi  ladang  penduduk  setempat.  Keberhasilan  ini  menggema  ke  desa‐desa  sekitarnya  sampai 

menjangkau  radius  sejauh  11  km  ke  desa  Pekamban  Dayah,  dan  mengundang  tokoh‐tokoh  desa 

tersebut untuk datang berkonsultasi dan mengajak Pondok Pesantren Guluk‐Guluk bekerja sama untuk 

melakukan hal yang sama.  

Sampai saat ini tidak kurang dari tujuh pompa air yang telah didirikan oleh Pondok Pesantren Guluk‐

Guluk bekerja sama dengan berbagai pihak, dan tersebar di tiga daerah kecamatan. Banyak desa‐desa 

yang  sudah memiliki  penerangan  listrik,  kamar mandi,  kakus,  dan  sebagainya.  Karena  hal  itu  sernua 

maka  pada  tahun  1981  Pondok  Pesantren Guluk‐Guluk memperoleh  hadiah  Kalpatmu  dari  pemerintah 

pusat.  

Kecuali  pengairan,  PP  Guluk‐Guluk  juga  bergerak  di  bidang  pengembangan  masyarakat  lainnya 

melalui  usaha  pembebasan  tanah  rakyat  kecil  yang  tergadaikan  kepada  pelepas  uang,  dengan  jalan 

membentuk  koperasi  simpan  pinjam,  pengadaan  pupuk  dan  sebagainya,  yang  antara  lain  seperti 

tersebut  dalam  Lampiran  8  tentang  daftar  kegiatan  BPK  PP  Guluk‐Guluk  lengkap  dengan  lembaga‐

lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah yang mendukungnya.  

Page 40: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

40 

 

Keberhasilan PP Guluk‐Guluk di bidang pengabdian masyarakat  tersebut menyebabkan  PP Guluk‐

Guluk  dikenal  sebagai  pusat  pengembangan  mayarakat  sekitarnya  melalui  dakwah  bil  hal,  yang 

kemudian menjadi ciri khasnya di kalangan dunia pesantren. 

Tetapi karena BPM tersebut langsung dipimpin oleh kiai dan ustaz, maka secara edukatif santri 

kurang ikut serta terlibat di dalamnya, karena mereka merasa segan sebagai akibat rasa terlalu tawaduk 

mereka terhadap kiai dan ustaz. Dengan demikian, sesungguhnya keberhasilan PP Guluk‐Guluk tersebut 

adalah dalam arti: yang berhasil pesantrennya sebagai  lembaga, bukan proses belajar  ‐ mengajar yang 

dialami  oleh  santrinya. Menyadari  hal  ini maka  sejak  tahun  1987/1988  ini  kegiatan  tersebut mulai 

dialihkan untuk ditangani secara langsung oleh santri melalui kegiatan intern organisasi mereka sendiri 

 

a.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren  

Situasi  kehidupan  dalam  PP  Guluk‐Guluk  antara  lain  dapat  digambarkan  sebagai  berikut:  Luas 

kampus pesantren sekitar 5 ha, di atasnya berdiri sejumlah bangunan antara lain: 2 rnesjid, 6 rnusala, 42 

ruang kelas, 485 pondok (kamar) santri (berupa rumah‐rumah kecil dibuat dari kayu dan bambu, terdiri 

atas satu ruangan atau satu kamar dengan teras, dan dibuat sendiri oleh santri), 1 aula, 1 toko koperasi 

santri, 1 ruang perpustakaan, 1 kantor, 1 ruang tamu, 1 taman kanak‐kanak, dan 1 ruang pusat informasi 

pesantren.  

Jenis pendidikan yang diselenggarakan adalah "Pesantren"  (pendidikan non  formal) dan Madrasah 

(pendidikan  formal) yang  terdiri atas: Taman Kanak‐kanak,  Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan Sekolah 

Tinggi  I1mu  Syariah  (Hukum  Islam)  dan  Tarbiyah  (Pendidikan  Islam).  Sejak  Ibtidaiyah,  penyelenggaraan 

madrasah dilaksanakan secara terpisah antara kelas putra dan putri. Madrasah dikelompokkan menjadi 

2  ke1ompok: madrasah  I  diselenggarakan  dalam  kampus  pesantren  dan  siswanya  tinggal  di  dalam 

pesantren  (santri mukim),  dan madrasah  II  diselenggarakan  di  luar  kampus  pesantren  dan  santrinya 

tidak  tinggal di pesantren,  tetapi di  rumah masing‐masing  (santri kalong). Kurikulum Madrasah  I: 70% 

agama  dan  30%  umum,  sedang  kurikulum Madrasah  II:  70%  umum  dan  30%  agama;  di  samping  itu 

murid dari Madrasah  I, karena mereka tinggal di dalam kampus pesantren, mengikuti  jenis pendidikan 

"pesantren",  yaitu mengikuti  pengajian  kitab  kuning,  dan  kegiatan‐kegiatan  ubudiah  lainnya,  seperti 

salat jemaah, membaca Alquran, dan sebagainya selama 24 jam dalam kehidupan pesantren.  

Seperti disebutkan di muka, PP Guluk‐Guluk merupakan pesantren federal terdiri atas 4 pesantren; 

masing‐masing  pesantren  daerah  ini  memiliki  program  pengajian  kitab‐kitab  kuning,  dan  kegiatan‐

kegiatan  ubudiah  lainnya,  masing‐masing  pesantren  memiliki  programnya  sendiri‐sendiri.  Meskipun 

demikian,  santri dari pesantren yang  satu bebas mengikuti pengajian‐pengajian yang diselenggarakan 

oleh pesantren yang lain sesuai dengan waktu dan tingkat pengajian kitab yang dimiliki oleh santri yang 

bersangkutan. Jumlah santri dari ke‐4 "pesantren daerah" tersebut adalah: (a) Pesantren Lubangsa Raya: 

798 putra dan 299 putri, dengan 226 kamar, (b) Pesantren Latee: 615 putra dan 334 putri, dengan 169 

kamar,  (c)  Pesantren Nirmala:  74 putra dan  57 putri, dengan  33  kamar dan,  (d)  Pesantren  Lubangsa 

Selatan: 100 putra dan 0 putri, dengan 30  kamar. Dengan demikian, maka  jumlah  santri  yang ada di 

Page 41: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

41 

 

dalam  pesantren  2387  orang,  terdiri  atas  1597  putra  dan  690  putri,  dengan  jumlah  kamar  458;  jadi 

kepadatan  kamar  rata‐rata  4‐5  orang  per  kamar,  sedangkan  ukuran  kamar  rata‐rata  2x3  m,  jadi 

kondisinya padat  sekali. Dalam  kepadatan  kamar  seperti  itu, maka  fungsi  kamar praktis hanya untuk 

menyimpan  barang‐barang  seperti  koper,  pakaian  dan  sebagainya,  dan  untuk  istirahat  dalam waktu‐

waktu tertentu secara bergantian. Pada umumnya sanin belajar dan tidur di luar kamar, seperti serambi 

mesjid, musala, dan sebagainya. Keadaan udara yang agak panas, menjadikan mereka nyaman tidur di 

luar kamar dengan berlantaikan ubin.  

Pada umumnya, santri (75%) datang dari daerah Kabupaten Sumenep dan selebihnya (25%) dari 

berbagai  daerah  lain,  seperti:  Bangkalan,  Sampang,  Pamekasan,  Surabaya,  Lamongan,  Situbondo, 

Jember, Bali, Jawa Barat, dan Kalimantan. Jumlah santri yang tinggal di pesantren ada sekitar 80% atau 1 

orang yang biasanya disebut santri mukim, 20% atau 457 orang tinggal rumah masing‐masing, disebut 

santri kalong. Adapun  jumlah perbandingan santri  jika dilihat dari  jenis pendidikan yang diikuti adalah: 

hanya  sekitar  50  santri  dari  seluruh  santri  (tidak  termasuk  murid  TK)  yang  mengikuti  pendidikan 

"pesantren" tanpa merangkap belajar di madrasah, jadi hanya  

Sekitar 1,6%, sedang selebihnya 98,04% di samping belajar di madrasah mereka mengikuti pengajian 

kitab dan program‐program ubudiah yang diselenggarakan oleh pesantren, terutama bagi mereka yang 

tinggal di dalam pondok. Dengan kata  lain:  seluruh  santri mengikuti kegiatan  "pendidikan pesantren" 

(mengaji  kitab  kuning)  yang  bersifat  non  formal,  tetapi  tidak  semua  santri  mengikuti  program 

pendidikan  formal  (madrasah), dan dengan demikian dalam kegiatan proses belajar‐mengajar, tampak 

adanya  integrasi  antara  pendidikan  non  formal  (pesantren)  dan  formal  (madrasah):  mereka  saling 

melengkapi satu sama lain.  

Mengenai  kehidupan  santri  sehari‐hari dalam pesantren, dapat digambarkan  sebagai berikut: 

para  santri mengurus  dirinya  sendiri,  dari  sejak mendirikan  pondok  (kamar)  sampai  pada memenuhi 

kebutuhan  hidup  seharihari,  seperti:  memasak,  cuci  pakaian,  bahkan  ada  yang  sambil  kerja.  Pada 

umumnya  kedatangan  santri  ke pesantren diantar oleh  keluarganya dengan dibantu oleh  sejawatnya 

dari  kampung  membawa  sarana  pembangunan  dan  mendirikan  pondok  di  atas  lokasi  yang  telah 

disediakan  oleh  pesantren. Ada  juga  yang  datang  karena  dibawa  teman  atau  saudaranya  yang  telah 

lebih dulu menjadi santri sehingga mereka  langsung dapat bergabung tempat (kamar) yang sudah ada. 

Tidak  ada  pembatasan waktu  kapan  santri  harus  datang,  pergi,  dan  berapa  lama  ia  harus  tinggal  di 

pesantren;  tetapi  ada  batasan  waktu  pendaftaran  dan  lama  belajar  di madrasah.  Dengan  demikian 

terdapat  pertemuan  antara  cara  pendidikan  tradisional  (pesantren)  dan  cara  pendidikan  modern 

(madrasah),  atau dengan  kata  lain:  telah  terjadi  jenis pendidikan  formal diselenggarakan dalam  iklim 

kehidupan pendidikan non formal.  

Para kiai menyadari bahwa santrinya memerlukan  ijazah negeri sebagai syarat untuk meniti karier 

selanjutnya,  baik  untuk melanjutkan  belajar maupun  untuk  bekerja.  Tetapi mereka  juga  tetap  pada 

pendirian  bahwa  pesantren  adalah  lembaga  pendidikan  untuk  mendalami  ilmu‐ilmu  agama  dan 

mengamalkannya  dalam  perilaku  sehari‐hari,  dengan  demikian  kiai  menghadapi  masalah‐masalah: 

antara  mempertahankan  identitas  dan  membuka  diri  untuk  menerima  kenyataan.  Jalur  Madrasah 

Page 42: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

42 

 

(sekolah  formal) merupakan  jembatan yang menghubungkan dunia pesantren dengan Sistem Pendidikan 

nasional,  karena melalui  jalur  sekolah  formal  tersebut  para  santri  dapat melanjutkan  belajarnya  ke 

sekolah‐sekolah lain yang jenjangnya lebih tinggi, baik ke lAIN (Institut Agama Islam Negeri) yang sangat 

menjadi dambaan mereka (karena lAIN memang merupakan jalur yang paling memungkinkan menerima 

mereka dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri lainnya), maupun ke universitas. 

 

Jadwal kegiatan santri sehari‐hari adalah:  

 

 

 

 

Jadwal hidup keseharian santri selama 24 jam, 

Pondok Pesantren Guluk‐Guluk 

 

No. J a m Kegiatan

1.

2.

3.

4.

5.

03.30-04.30

04.30-04.50

04.50-05.30

05.30-06.15

06.15-07.00

Bangun pagi, siap diri, membaca Alquran, wirid, puji-pujian, menunggu salat berjemaah subuh di mesjid

Salat subuh berjamaah.

Mengaji Alquran di bawah bimbingan ustaz menurut tingkat masing-masing, mengaji kitab kuning dengan bimbingan kiai.

Bergotong royong membersihkan lingkaungan sekitar pondok pesantren atau pekerjaan-pekerjaan lain. Sebagaian melanjutkan mengaji kitab.

Siap diri (mandi-mandi, dan sebagainya) sekolah (madrasah)

Page 43: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

43 

 

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

13.

14.

15.

16.

17.

18.

07.00-12.00

12.00-13.00

13.00-13.30

13.30-15.00

15.00-16.00

16.00-17.30

17.30-18.00

18.00-18.45

18.45-19.00

19.00-19.15

19.15-21.30

21.30-22.30

22.30-03.30

Masa belajar di Madrasah

Memasak, bersih diri, makan.

Mengaji Alquran, dilanjutkan dengan salat Zuhur berjemaah.

Istirahat, melakukan perkerjaan lain yang bermanfaat.

Bersiap diri salat Asar berjemaah.

Masuk sekolah diniyah.

Bersiap diri ke mesjid, musala, salat Magrib berjemaah.

Masuk sekolah diniyah (lanjutan).

Bersiap diri salat Isya berjemaah.

Waktu salat Isya berjemaah.

Mengaji kitab menurut tingkat masing-masing, belajar kelompok kegiatan organisasi daerah masing-masing.

Memasak, makan, belajar sendiri, siap-siap masuk tidur dan sebagainya.

Istirahat, tidur.

Page 44: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

44 

 

19.

03.30-04.30

Kembali seperti kegiatan hari kemarin.

 

Setiap  salat  wajib  berjemaah  diimami  oleh  kiai  sendiri.  Para  kiai  memimpin  langsung 

pengajian‐pengajian  kitab  kuning  di  daerah  pesantren masing‐masing,  dan masing‐masing  kiai 

membawakan kitab‐kitab tertentu sesuai dengan bidangnya masing‐masing. Pengajian diadakan di 

luar jam‐jam belajar resmi di madrasah, biasanya pada waktu sesudah salat wajib, di sore hari atau 

malam hari. Masing‐masing kiai sudah punya jadwal sendiri‐sendiri.  

Sebelum dan sesudah salat berjemaah mereka  (santri) melakukan salat  sunnah, membaca puji‐

pujian,  membaca  Alquran,  wirid  atau  doa‐doa  lainnya.  Tentu  saja  tidak  semua  salat  wajib 

didahului dan diakhiri dengan salat sunnah.  

Hari  Jumat  adalah  hari  libur,  sehingga  sangat  terasa  kegembiraan mereka  pada  hari  Kamis 

sore, malam, danJumat pagi sampai menjelang siap‐siap diri salat Jumat, dan sore sampai malam 

harinya siap‐siap menyongsong hari belajar di minggu kedua. Biasanya hari Jumat itu diisi dengan 

kegiatan‐kegiatan mencuci pakaian, membersihkan kamar dan  lingkungan, berbelanja, olah raga, 

atau  kerja  bakti  secara  umum  untuk  memperbaiki  kampus  pesantren,  halaman  mesjid  dan 

sebagainya,  sesuai  dengan  keperluan.  Para  santri  pergi  ke  perbukitan  sekitar  pondok mereka 

untuk mengambil  batu  kapur  guna mengeraskan  jalan  kampus  atau  halaman mesjid  tersebut. 

Sangat menarik perhatian karena ribuan santri mengambil batu dengan cara membawanya yang 

bermacam‐macam pula: dibungkus sarung, sajadah, handuk, dibawa dengan tangan telanjang dan 

sebagainya. Dengan diambilnya batu‐batu kapur keras tersebut sekaligus berarti membuka  lahan 

untuk tanaman lain yang lebih bermanfaat, karena dengan demikian tanah menjadi lebih gembur 

sehingga dapat ditanami jagung, atau pepohonan lain (akasia) dan sebagainya.  

"Gugur gunung'  seperti  itu  tanpa diiringi kiai atau ustaz. Mereka mengatur diri mereka sendiri. 

Pimpinan  atau  lurah  pondok  hanya  mengatakan  pentingnya  mereka  mengambil  batu  untuk 

mengeraskan  jalanan  atau  halaman  mesjid.  Tetapi  pada  saat  batu‐batu  telah  bertumpuk  kiai 

secara  langsung  ikut bekerja bersama mereka mengeraskan  jalan atau halaman mesjid  tersebut. 

Dengan suasana kerja yang seperti itu santri merasa ikut serta memiliki kampus mereka.  

Di  samping  jadwal  kegiatan  selama  24  jam,  santri  harus  menaati  tata  tertib  pesantren. 

Keempat  daerah  pesantren  di Guluk‐Guluk memiliki  tata  tertib  sendiri‐sendiri,  namun  terdapat 

kesamaan di antara mereka, seperti:  

 

Page 45: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

45 

 

1. Santri  diharuskan  mengikuti  salat  wajib  berjemaah  di  mesjid  atau  musala  dan  tidak meninggalkannya sebelum doa bersama. 

2. Santri  diharuskan  bersekolah  dan mengaji  kitab,  sekurang‐kurangnya  dua  kali  dalam  sehari semalam. 

3. Santri harus mendapat  izin bila hendak meninggalkan pesantren dalam waktu  lebih dari satu malam dan melapor kembali bila pulang ke pesantren. 

4. Santri tidak boleh membeli makanan dan minuman atau  jajan dan dimakan di warung di  luar pesantren, kecuali dalam jarak lebih dari 6 km. 

5. Santri tidak boleh menonton atau hiburan di luar pesantren.  6. Santri tidak boleh nongkrong atau duduk‐duduk sambil ngobrol dijalan atau di pinggir jalan.  7. Santri tidak boleh berambut gondrong dan bila ke luar pesantren harus berpakaian rapi.  8. Santri tidak boleh menyetel radio, kecuali waktu berita.  9. Kalau santri mandi di tempat umum harus memakai telasan, yaitu kain sarung.  10. Santri tidak boleh memasak nasi di kamar, mereka harus memasak di dapur umum, dan tidak boleh 

memasak pada waktu menjelang Magrib dan sesudah jam 23.30.  11. Santri harus membayar iuran pesantren.  12. Santri harus menjaga kebersihan dan membuang sampah di tempat yang sudah disediakan.  

 

Dari  jadwal  kegiatan  dan  tata  tertib  tersebut  tampak  bahwa  santri  ditempa  oleh  hidup 

keberagamaan dalam arti belajar dan beribadah secara ketat dari hari ke hari. Kegiatan atau kebiasaan 

mereka  sangat  berbeda  dengan  kebiasaan  hidup  masyarakat  umum  di  sekitar  mereka,  sehingga 

pesantren  disebut  sebagai  subkultur  dari  masyarakat  lingkungannya.  Kegiatan  kehidupan  mereka 

terpaku  dalam  struktur  waktu  ibadah,  yaitu  lima  kali  sehari  semalam,  Suasana  yang  seperti  itu 

membawa mereka pada suatu kesepakatan bahwa hidup kolektif dan menjauhkan sifat mementingkan 

diri  sendiri  adalah  jalan  terbaik  untuk  mengatasi  masalah  mereka,  dengan  kata  lain:  memupuk 

kebersamaan dan menjauhi persaingan atau konflik merupakan sikap dan perilaku yang terpuji.  

Dengan demikian, dari analisis mengenai  lingkungan  luar dan dalam dari Pondok Pesantren Guluk‐

Guluk  tersebut  dapat  diperoleh  tiga  butir  sistem  pendidikan  pesantren  yang  penting  untuk 

dikembangkan dalam perspektif sistem pendidikan pesantren, yaitu:  

(1)  Pendekatan melalui  bahasa  agama  untuk mengajak  rakyat menanggulangi  atau memperbaiki 

nasib mereka sendiri.  

(2) Penciptaan "budaya" kependidikan yang mampu meng‐exposed anak didik kepada budaya yang 

dianggap  baik  secara  terus‐menerus  dan  kuat  atau  to  inculcate menuju  terciptanya  perilaku  tawakal 

sebagaimana  tercermin dalam  skor pandangan mereka  terhadap belajar di pesantren. Hal  itu mereka 

lakukan melalui  proses  kegiatan  belajar‐mengajar  yang  bersifat  self  govemment,  yaitu mengatur  diri 

sendiri dalam belajar. Tampaknya hal itu disebabkan mereka hidup dalam asrama di mana pendidik dan 

terdidik hidup dalam kampus atau community di bawah keteladanan pendidik.  

(3) Kesatupaduan (integrasi) antara pendidikan non formal dan formal.  

 

Page 46: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

46 

 

b. PP Sukorejo  

b.l. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren  

Pondok  Pesantren  Sukorejo  terletak  di  desa  Sukorejo,  Kecamatan  Banyuputih,  Kewedanaan 

Asembagus, Kabupaten Situbondo.  Jarak pesantren dari  jalan raya Surabaya‐Banyuwangi sekitar 2 km. 

Seperti masyarakat Madura, masyarakat  Situbondo  juga  tergolong  taat menjalankan  ibadah  agama, 

menghormati  kiai  dan  pesantren.  Tetapi,  Pondok  Pesantren  Sukorejo  dikelilingi  oleh  tempat‐tempat 

yang  merujuk  pada  kegiatan  budaya  yang  berskala  nasional,  yang  secara  langsung  maupun  tidak 

langsung dapat mempengaruhi pesantren  sehingga pandangan dan perilaku  santri  Pondok  Pesantren 

Sukorejo berbeda dengan pandangan dan perilaku santri Pondok Pesantren Guluk‐Guluk sebagaimana 

tercermin dalam pandangan mereka terhadap belajar di pesantren  (Lampiran 4). Tempat‐tempat yang 

dimaksud adalah: (a) Pusat Pelelangan  Ikan di pelabuhan Nimba, berjarak sekitar 3 km dari pesantren, 

(b) Taman Wisata Nasional Baluran, berjarak sekitar 5 km, (c) Landasan tempur pusat latihan terbang di 

Sedung,  berjarak  sekitar  5  km,  (d) Dam  Liwung  sumber mata  air  di  Kecamatan Banyuputih,  berjarak 

sekitar 3 km, dan (e) Pabrik gula dan pengupasan kapas di Asembagus, berjarak sekitar 4 km.  

Budaya Madura  terasa sangat mewarnai kehidupan Pondok Pesantren Sukorejo,  terutama  tampak 

dari segi bahasa yang dipergunakan sehari‐hari. Pimpinan Pondok Pesantren Sukorejo (KH. Raden As'ad 

Syamsoel Arifin)  adalah  keturunan  bangsawan Madura  dan  berasal  dari  Pondok  Pesantren  Kembang 

Kuning Larangan Pamekasan, suatu pesantren terkenal di Madura pada abad ke‐17‐an, dan menjadi cikal 

bakal  pesantren‐pesantren  di Madura  sampai menyeberang  ke  daerah  Jawa  Timur  sepanjang  pesisir 

utara  bagian  timur.  Status  kebangsawanan,  kekayaan,  dan  keutamaan  pendiri  dan  pengurus  Pondok 

Pesantren  Sukorejo  tersebut,  menyebabkan  ia  mempunyai  kedudukan  dan  pengaruh  yang  kuat  di 

masyarakat sekitar pondok pesantren.  

Sejarah pendirian Pondok Pesantren Sukorejo diawali dengan pembukaan hutan di sekitar desa di 

kawasan Banyuputih oleh K.H. Raden  Ibrahim Syamsoel Arifin pada tahun 1908, dan pada  tahun 1914 

memperoleh pengesahan dari Bupati  Situbondo. Keadaan penduduk masa  itu  sangat  Jarang, dan  kiai 

melalui  kekayaan dan  status  sosialnya  yang  tinggi berhasil menguasai  tanah  sampai mencapai  radius 

sekitar  7  km2. Dengan  semakin  berkembangnya  pesantren,  semakin menarik minat  penduduk  untuk 

membangun  rumah  atau  bertempat  tinggal  di  sekitar  pesantren.  Kiai  "mengundang"  dan memberi 

kesempatan kepada mereka yang berminat untuk mendirikan rumah di sekitar pesantren, di atas tanah 

miliknya, dengan jalan membeli dengan harga murah melalui pembayaran secara mengangsur menurut 

kemampuan mereka.  Sampai  penelitian  ini  dilakukan masih  dapat  ditemui  beberapa  penduduk  yang 

belum melunasi angsurannya, padahal pimpinan pesantren saat  ini sudah menginjak ke periode kedua 

dan siap‐siap memasuki periode ketiga (pimpinan pesantren sekarang sudah berumur sekitar 90 tahun). 

Menurut mereka angsuran  itu  (sekarang)  rata‐rata Rp 25  ‐ Rp50 setiap bulan,jadi praktis sama dengan 

gratis.  

Informasi kesejarahan tersebut menggambarkan kedudukan kiai dalam pesantren yang sangat kuat 

di tengah‐tengah kehidupan masyarakat sekitarnya. Hal tersebut lebih diperkuat lagi dengan kedudukan 

Page 47: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

47 

 

K.H.  Raden  As'ad  Syamsoel  Arifin  (pimpinan  pesantren  sekarang)  sebagai  Rais‐Am  NU,  dan  pusat 

kepemimpinan  NU  saat  ini  telah  beralih  dari  Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng  ke  Pondok  Pesantren 

Sukorejo.  

Kukuhnya kehadiran pesantren di tengah‐tengah masyarakat tersebut memudahkan baginya untuk 

memperoleh dukungan masyarakat, dan santri bangga belajar di pesantrennya.  

Lingkungan fisik masyarakat sekitar pesantren pada umumnya: berupa lahan sawah untuk tanaman 

padi, sebagian untuk menanam anggur, dan sebagian  lagi merupakan daerah nelayan. Oleh brena  itu, 

sebagian  besar  penduduknya  (60%)  bertani  padi,  anggur,  dan  nelayan,  sebagian  kecil  (5%):  pegawai 

negeri, guru, ABRI dan sebagainya. Sebagian besar kedua  (35%) tidak menentu: bekerja apa saja, seperti 

jual jasa, buruh tani, tukang sado, jual buah, buka warung nasi atau makanan untuk melayani kebutuhan 

santri, dan sebagainya. Santri‐santri Pondok Pesantren Sukorejo pada umumnya tidak memasak sendiri 

dan  pesantren  tidak  menyediakan  makan  bersama,  Oleh  karena  itu,  mereka  membeli  makanan  di 

warung‐warung nasi atau warung makanan yang ada di sekitar pesantren tetapi tidak boleh dimakan di 

warung. harus dimakan di dalam pesantren. Dengan demikian, keadaan sekitar pesantren ramai orang 

berdagang, dan dengan  itu pula berarti pesantren  lelah meramaikan  kehidupan ekonomi masyarakat 

desa sekitar.  

Hubungan baik pesantren dengan masyarakat  sekitar memudahkan  santri bergerak di masyarakat 

untuk  melakukan  kegiatan  dakwah  dan  kegiatan‐kegiatan  kemasyarakatan  lainnya,  seperti  usaha 

pertanian,  pengairan,  dan  sebagainya.  Namun,  pimpinan  pesantren  membatasi  dan  mengontrol 

hubungan santri dengan masyarakat sekitarnya, agar santri tidak terpengaruh oleh beberapa adat jelek 

yang  ada  di masyarakat,  seperti:  judi, mabuk, main  perempuan,  atau  bergadang malam  yang  tidak 

bermanfaat, dan sebagainya  

 

b.2. Lingkungan kehidupan dalam masyarakat Pesantren Sukorejo  

Situasi  kehidupan  dalam  Pondok  Pesantren  Sukorejo,  antara  lain  dapat  digambarkan 

sebagai berikut: Luas kampus pesantren sekitar 8 ha, di atasnya berdiri sejumlah bangunan 

antara  lain: 1 mesjid,  6 musala,  9  gedung  sekolah dengan  kapasitas 76  ruang,  3 Kantor 

dengan kapasitas 10 ruang, 3 aula, 3 gudang, 8 perumahan guru, 3 lokal wisma tamu, 3 wisma dosen, 

9 lobi kamar mandi dengan kapasitas 101 kamar, 4 dapur, 3 sumur bor, 7 rumah disel, 3 balai kesehatan, 

2 keamanan, 6 pertokoan, 29 lokal asrama dengan kapasitas 260 kamar, 2 garasi, 1 ruang keterampilan, 

1 asrama takmir mesjid, 1 gedung perpustakaan, 1 pusat informasi pesantren, 1 Kantor organisasi santri, 

2 kantor pendidikan dan pengajaran, dan 1 kandang ternak.  

Jenis  pendidikan  yang  diselenggarakan  adalah  "Pesantren",  madrasah  (dari  TK‐Aliyah),  sekolah 

umum (dari SD‐SMA) dan Fakultas Syariah dan Tarbiyah Jumlah seluruh santri 6.186 orang, terdiri atas 

4.204  putra  dan  1.982  putri.  Jumlah  pengasuh  (kiai):  1  orang,  sebagai  pemilik  dan  pimpinan  tunggal, 

dibantu oleh 9 ustaz, dan 300 guru: terdiri atas 251 putra dan 49 putri. Seperti Pondok Pesantren Guluk‐

Page 48: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

48 

 

Guluk, penyelenggaraan pendidikan di Pondok Pesantren Sukorejo dilaksanakan secara terpisah antara 

anak putra dan putri.  

Sebagian besar santri (98%) bertempat tinggal di dalam pesantren, sekitar 2% tinggal di luar atau 

pulang ke  rumahnya.  Jumlah mereka yang hanya belajar di pesantren dan  tidak merangkap belajar di 

madrasah atau sekolah umum tersebut sangat sedikit, sekitar 1,5‐2% (sekitar 100 orang). Mereka tidak 

diwajibkan merangkap belajar di madrasah atau sekolah umum, dan mereka  itu pada umumnya sudah 

bekerja,  membantu  di  rumah‐rumah  atau  pesantren;  sedang  hampir  seluruhnya  (98%)  memasuki 

sekolah  formal  (madrasah atau sekolah umum) dan mereka  ini diwajibkan mengikuti belajar agama di 

"Pesantren". Ukuran  kamar  rata‐rata  4x6 m,  dihuni  sekitar  10‐15  orang  sehingga  keadaannya  cukup 

padat,  dan  banyak  santri  yang  tidur  di  luar.  Kiai  selalu mengingatkan  santrinya  agar  selama  belajar 

mereka  banyak makan makanan  yang  bersih  dan  bergizi,  serta melarang mereka  berpuasa  selama 

sedang belajar, baik puasa sunnah, maupun mengganti puasa wajib. Sebagai pesantren salaf, peringatan 

kiai  tersebut merupakan  "hal  baru"  di  kalangan  dunia  pesantren. Meskipun  kiai  sendiri  adalah  ahli 

tasawuf dan tarekat, tetapi  ia melarang santrinya untuk mempraktikkannya dalam hidup sehari‐hari di 

pesantren. Kiai menjelaskan kepada mereka bahwa  tujuan mereka datang ke pesantren adalah untuk 

belajar, mencari  ilmu  dan  beribadah,  oleh  karena  itu mereka  sendirilah  yang  harus  belajar,  sedang 

kewajiban dan  tanggung  jawab kiai adalah berdoa dan mengusahakan segala sesuatunya agar mereka 

dapat belajar dengan baik. Bagi kiai, santri boleh belajar apa saja sesuai dengan kecenderungannya, asal 

mereka  tetap menekuni  ilmu‐ilmu wajib, yang dalam hal  ini adalah  ilmu agama, dan bermoral agama 

dalam  hidup  keseharian,  sebab  moral  agama  adalah  kunci  keselamatan  dan  keberhasilan  hidup 

bermasyarakat.  Dalam  pengalaman,  banyak  orang  pandai  yang  gagal  dan  tidak  memperoleh 

penghormatan  atau  penghargaan  dari  masyarakat  karena  mereka  tidak  bermoral.  Inilah  sebabnya 

mengapa  kiai  mewajibkan  santrinya  untuk  mengikuti  semua  kegiatan  ubudiah  (keagamaan)  dan 

mengabdi  pada  kiai  dan  ustaz.  Kiai  sendiri  tidak  pernah  mengajar  ngaji,  semua  kegiatan  belajar‐

mengajar agama diserahkan kepada para ustaz, guru‐guru, dan santri senior. Kiai merupakan pimpinan 

spiritual dan memberikan keputusan akhir mengenai apa yang harus dan  tidak harus, yang boleh dan 

tidak boleh, dan yang sebaiknya dilakukan oleh pesantren.  

Mengenai  gambaran  kehidupan  santri  sehari‐hari  selama  24  jam  dalam  kampus  adalah  sebagai 

berikut: 

 

 

 

 

 

 

Page 49: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

49 

 

Jadwal hidup keseharian santri selama 24 jam, 

Pondok Pesantren Sukorejo 

 

No. J a m Kegiatan Keterangan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

04.00-05.15

05.15-06.40

06.40-07.30

07.30-11.30

11.30-13.15

13.15-15.00

15.00-15.15

15.15-17.15

Bangun pagi, siap salat subuh berjemaah di mesjid atau musala, membaca puji-pujian, Alquran dan kitab tertentu

Mandi, makan pagi

Siap masuk sekolah, absensi, membaca nazam (hafalan)

Belajar di sekolah (agama)

Istirahat, siap salat Zuhur berjemaah di masjid/musala, membaca puji-pujian, Alquran, Kitab-kitab tertentu, makan siang

Belajar di kelas (umum)

Siap-siap salat Asar berjemaah di mesjid atau musala, membca puji-pujian, Alquran dan kitab-kitab tertentu.

Belajar di kelas (umum) dan kuliah bagi mahasiswa.

Semua salat jemaah diimami oleh ustaz atau santri senior, dan selalu didahului dengan puji-pujian dan salat sunah (sebelum dan sesudah salat wajib) sesuai dengan ketentuan peribadatan salat wajib yang bersangkutan.

Pengajian-pengajian dilakukan ada waktu-waktu di luar jam belajar di madrasah atau sekolah formal. Pada umumnya sesudah salat 5 waktu diselenggarakan di mesjid atau musala

Page 50: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

50 

 

9.

10.

11.

12.

13.

17.15-17.45

17.45-18.45

18.45-19.15

19.15-21.30

21.30-04.00

Istirahat, makan sore

Siap salat magrib berjamaah di mesjid atau musala, membaca puji-pujian, Alquran, dan kitab-kitab tertentu.

Siap salat Isya berjemaah di mesjid atau musala, membaca puji-pujian, al Quran dan kitab-kitab tertentu.

Belajar sendiri, perkamar, membaca al Quran, kitab-kitab tertentu dan kuliah bagi mahasiswa.

Istirahat malam.

 

 

       Di samping  jadwal kegiatan harian,  juga terdapat  jadwal kegiatan mingguan dan bulanan, serta 

tata tertib pesantren sebagai berikut: 

 

 

 

 

 

 

 

Page 51: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

51 

 

Jadwal kegiatan mingguan 

 

No Hari Kegiatan

1.

2.

3.

Malam Selasa

Malam Jum’at

Jum’at pagi

Membaca kitab wajib

Tahsinu qira’atil qur’an

Membaca wasiat dan barzanji

Tahsinu qira’atil qur’an

Mencuci pakaian, membersihkan kamar mandi, dan kegiatan-kegiatan lain yang sifat rekreatif.

 

Jadwal bulanan: 

 

1. Setiap minggu pertama dan ketiga diadakan diskusi (pelajaran) 2. Tiap  minggu  kedua  dan  keempat  diadakan  bahSul  masa'il,  yaitu  mengupamengupas  berbagai 

masalah kehidupan dari sudutfihih (hukum agama). Selain  jadwal  kegiatan  tersebut,  santri  hams menaati  tata  tertib  pesantren;  beberapa  di  antara 

ketentuannya adalah sebagai berikut: 

1. Santri wajib melaksanakan shalat berjamaah, terutama salat jum’at. 2. Santri wajib menjaga kesopanan, kebersihan dan kerapihan 3. Santri wajib belajar dan atu mengajar di madrasah. 4. Santri wajib  ber‐mu.tala'ah  (mendalami materi)  tarhhim  (bacaan  doa  sebelum  subuh)  dan  hhat‐

haligrafi, yang waktu dan pelaksanaannya diatur oleh pengasuh. 5. Santri harus membaca Alquran sebelum salat subuh dan magrib di mesjid, di surau atau di tempat 

lain yang telah diatur oleh pengasuh. 6. Santri wajib mengisi air kamar mandi 7. Santri dilarang memasak 8. Santri dilarang jajan dan dimakan atau diminum di warung di luar kompleks pesantren.  9. santri dilarang berkata‐kata kotor, keji, memaki, dan menghina orang  lain, serta berseteru dengan 

orang lain. 10. Santri dilarang memiliki, menyimpan dan membunyikan radio, tape recorder, atau sejenisnya tanpa 

seizin pengasuh.  11. Santri dilarang keluar kompleks pesantren sesudah jam 21.00. 12. Santri dilarang bergaul secara berlebih‐lebihan dengan tetangga atau orang kampung 

Page 52: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

52 

 

Adapun sanksi atau hukuman atas penyimpangan‐penyimpangan atau pelanggaran‐pelanggaran dari 

kebiasaan‐kebiasaan  dan  tata  tertib  pesantren  dari  yang  ringan  ke  yang  berat  adalah:  kerja,  denda, 

dicukur  rambut  kepalanya,  disita  barang‐barang  bukti,  dan  dicabut  haknya  sebagai  santri  atau 

dipulangkan ke orangtuanya.  

Dari  jadwal  kegiatan  dan  tata  tertib  tersebut  tampak  bahwa mesjid  dan musala menjadi  pusat 

kegiatan belajar dan peribadatan. Dari waktu ke waktu santri dikondisikan dalam kehidupan agama yang 

fikih‐sufistik. Hal‐hal  yang  bersifat  keduniawian  terasa  agak  tergeser dan  lebih  terpusat pada  agama, 

misalnya dilarang membunyikan radio, dan sebagainya. Kecuali  itu, dari jadwal kegiatan dan tata tertib 

tersebut,  juga  tampak bahwa cara belajar dengan hafalan dan menguasai materi sebanyak‐banyaknya 

mendominasi kegiatan belajar‐mengajar di pesantren. Cerminan dari pandangan dan perilaku mereka 

(santri) sebagai hasil dari pendidikan pesantren dapat dilihat dari Lampiran 5 mengenai skor pandangan 

santri terhadap belajar di pesantren. 

 

c. PP Blok Agung 

 

c.l. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren  

Pondok Pesantren Blok Agung terletak di desa Blok Agung, Kecamatan Jajak, Kabupaten Banyuwangi. 

Jarak pesantren dengan kota kecamatan, sekilar 17 km, dan kendaraan yang menghubungkan pesantren 

dengan kota adalah angkutan pedesaan, dokar, atau ojek (sepeda motor). Desa Blok Agung merupakan 

desa pertanian yang subur terletak di daerah kaki pegunungan dan dilingkari dengan sungai pegunungan 

(Sungai  Baru)  yang  besar  dan  curam  berfungsi  sebagai  sumber  air  bagi  masyarakat  desa.  Dengan 

demikian PP Blok Agung berada di wilayah budaya agama "Pedalaman‐Pedesaan".  

Budaya Jawa terasa sangat mempengaruhi kehidupan Pondok Pesantren Blok Agung dan masyarakat 

desa sekitarnya. Hal  ilu tampak dari dipergunakannya bahasa Jawa di dalam pergaulan sehari‐hari dan 

dijadikan sebagai bahasa pengantar dalam mengajarkan kitab‐kilab agama (kitab‐kitab kunng oleh kiai. 

Cara kiai mengajarkan kitah kuning, dalam hal  ini kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al‐Ghazali, selalu 

menggunakan  bahasa  Jawa  dan  tamsil‐tamsil  kejawaan  yang  menggambarkan  konsep  manusia 

menurut  pandangan  Jawa  sebagai  insan  yang mendambakan manunggaling  kawulo  Gusti  yaitu 

bersatunya  diri  dengan  Penciptanya  dalam  rangka  mencari  kebenaran  mutlak.  Misalnya,  kiai 

memandang  kedudukan  dan  peran  manusia  dalam  tata  kehidupan  ini  bagaikan  wayang  yang 

sepenuhnya  sangat  terganlung  pada  Dalangnya,  dan  kiai  melukiskan  bahwa  tujuan  pendidikan 

pesantren  ialah menjadikan  anak  yang  berkepribadian  sebagai  kawula  tetapi  rasul,  artinya menjadi 

pelayan  kehidupan  (mengabdi  kepentingan  bersama)  sebagai  rasul  (Nabi Muhammad)  dengan  jalan 

menyampaikan  risalah  ajaran  agama,  atau  menjadi  dai  kepada  manusia.  Seperti  diketahui,  Nabi 

Muhammad diutus oleh Tuhan untuk menegakkan moral  agama dalam  kehidupan. Dengan  kata  lain, 

Page 53: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

53 

 

                                                           

pesantren  memusatkan  tujuan  pendidikannya  pada  pembinaan  dan  pengembangan  moral  agama 

sebagai kunci keberhasilan dalam hidup bersama. 

Menurut  kiai,  kehidupan  ini merupakan  satu  sistem  atau  tatanan  kosmologi  yang  sempurna  dan 

pasti  terjadi.  Setiap makhluk memiliki  tempat  dan  kegunaannya masing‐masing. Mereka  akan  saling 

bertemu dan  satu  sama  lain akan  saling membutuhkan. Misalnya, kiai mengajarkan kepada  santrinya 

bahwa  jika  ada  dua  orang  yang  bertamu  ke  rumah  seseorang  yang  mempunyai  seekor  kambing 

kesayangan,  tamu yang  satu datang dengan mambawa kulit pisang,  sedang  tamu yang  satu  lagi  tidak 

membawa  apa‐apa, maka  dengan  sendirinya  senyuman  yang  lebih  ramah  tertuju  kepada  tamu  yang 

membawa kulit pisang daripada  lamu yang tidak membawa apa‐apa, karena hal  itu dengan sendirinya 

terkait pada  kebutuhan  kambingnya  yang menyukai  kulit pisang. Demikian pula  tamsil  kiai mengenai 

kedudukan  santri  yang  belajar  di  pesantren,  diibaratkan  sebagai  orang  yang  berbelanja  di  pasar 

(halaman  129).  Semua  tamsil‐tamsil  tersebut  menggambarkan  paradigma  budaya  Jawa  dalam 

memandang kehidupan13. 

Pondok  Pesantren  Blok  Agung  dikenal  sebagai  pesantren  yang  memusatkan  perhatiannya  pada 

tasawuf  dari  Imam  al‐Ghazali.  Kitab  Ihya'  'Ulumiddin  diajarkan  dua  kali  sehari  yang  diikuti  oleh  seluruh 

santri. Dua kali sebulan untuk masyarakat lingkar pesantren tingkat kecamatan, dan satu kali setiap selapan 

hari atau 38 hari  (perhitungan Jawa) untuk masyarakat  lingkar pesantren tingkat kabupaten. Pengajian 

kitab Ihya' 'Ulumiddin tersebut tamat setiap 3 tahun, meskipun demikian, banyak santri yang mengulang 

sampai dua atau  tiga periode berikutnya dengan alasan untuk memantapkannya; pengajian diberikan 

dalam  bentuk  bandongan,  jadi  secara  masal.  Meskipun  madrasah  dan  sekolah  umum  yang 

diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Blok Agung memiliki  jam resmi kapan pelajaran harus dimulai, 

tetapi hal  ini dapat digeser, atau diundurkan mulainya,  jika  jam pengajian  kitab  Ihya'  'Ulumiddin  yang 

diberikan oleh kiai belum selesai. Setiap pagi pengajian kitab  ini diberikan dari sesudah subuh sampai 

jam 07.00, kemudian dilanjutkan dengan siap‐siap masuk  jam sekolah umum pada  jam 07.30. Namun 

jika pada suatu ketika  jam pengajian kitab  Ihya'  'Ulumiddin selesai  jam 08.00, maka  jam pelajaran bagi 

sekolah umum tersebut harus diundurkan.  

Berkat kuatnya pengajian kitab lhya' 'Ulumiddin tersebut yang diikuti oleh tidak hanya santri Pondok 

Pesantren Blok Agung, tetapi  juga oleh masyarakat  lingkar pesantren sampai tingkat kabupaten, maka 

kedudukan  Pondok  Pesantren  Blok  Agung  di  tengah‐tengah  masyarakat  sangat  kuat.  Tampaknya 

tasawuf  yang  disampaikan melalui  penjelasan‐penjelasan  atau  tamsil‐tamsil  kejawaan  cocok  dengan 

pandangan hidup masyarakat sekitarnya. Masyarakat Banyuwangi tergolong pemeluk agama yang taat 

dan menghargai  tinggi kiai serta pesantren. Di seluruh daerah Banyuwangi  terdapat 99 pesantren dan 

tiga ulama  terkenal,  satu di antaranya K.H. Muchtar Syafaat pimpinan Pondok Pesantren Blok Agung, 

yang  juga  menjadi  Mustasyar‐NU  untuk  daerah  Blambangan  dan  sekitarnya  (Jawa  ujung  timur). 

 

13 Lihat: Neils Mulder, Pribadi dan Masyarakat Di Jawa, Seri Budaya No.3, Sinar Harapan Jakarta, 1985, Bab 

II, halaman 34‐71. 

Page 54: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

54 

 

Kedudukan  tersebul menambah kuatnya kehadiran kiai dan Pondok Pesantren Blok Agung di  tengah‐

tengah masyarakat. 

Peri  kehidupan masyarakat  lingkar  pesantren  adalah  petani  (80%),  sebagian  kecil  (3%)  menjadi 

pegawai,  guru, ABRI dan  sebagainya,  sebagian besar  kedua  (17%)  adalah pedagang,  kerajinan  rumah 

tangga  (membuat  batu  bata,  perabot  rumah  tangga,  dan  sebagainya),  dan  tidak menentu.  Pondok 

Pesantren Blok Agung dikelilingi oleh keluarga‐keluarga bekas santri atau alumni Pondok Pesantren Blok 

Agung,  dan  di  antara mereka  (antara  pesantren  dan masyarakat  pesantren  tersebut)  terdapat  pasar 

santri,  tempat berbelanja  antara  santri dan masyarakat  sekitarnya, dan  pasar  inilah  tampaknya  yang 

mengilhami  kiai,  bahwa  belajar  di  pesantren  ibaratnya  orang  yang  sedang  belanja  di  pasar;  dengan 

demikian kontak kultur antara pesantren dan masyarakat sekitarnya sangat akrab; banyak santri yang 

mandi dan  cuci pakaian di kali yang melingkari desa Blok Agung  tersebut, dan dengan demikian  juga 

terjadi  kontak  budaya  antara  santri  dan  masyarakatnya.  Dengan  semakin  mantapnya  kehadiran 

pesantren  di  tengah‐tengah  masyarakat,  maka  masyarakat  menjadi  bertambah  ramai  dan 

perekonomian masyarakat semakin berkembang. Harga  tanah di sekitar pesantren menjadi mahal  (Rp 

5000 per m2), sedang harga tanah jauh dari pesantren Rp 2000 per m2.  

Salah satu ciri Pondok Pesantren Blok Agung dalam kaitannya dengan masyarakat sekitarnya  ialah 

banyak santri, sekitar 40% dari jumlah seluruh santri (2487 orang) belajar sambil bekerja mencari nafkah. 

Pekerjaan  mereka  bermacam‐macam,  di  antaranya  adalah:  ikut  mengerjakan  sawah  penduduk, 

membantu  bekerja  di  rumah‐rumah  penduduk,  seperti  membantu  membersihkan  pekarangan,  dan 

sebagainya dengan upah ala kadarnya atau ikut menumpang makan, dan sebagainya. Istilahnya "santri" 

memiliki mbok∙mbokan yaitu induk semang atau semacam orangtua asuh. Pada saat penelitian ini diadakan, 

ada sekitar 300 santri yang mempunyai mbok‐mbokan.  

Masih mengenai soal mencari makan tersebut, penduduk desa sudah maklum dan cepat menangkap 

gejala, jika mereka melihat santri sedang keluar pondok dan masuk desa untuk mencari dedaunan untuk 

sayuran  yang  dapat  dimasak.  Hal  itu  merupakan  pertanda  bahwa  mereka  membutuhkan  bantuan 

makanan;  sehingga banyak penduduk  yang memberi:  singkong,  jantung pisang, dan  sebagainya;  atau 

meminta  tenaga  santri  untuk  mengerjakan  keperluan  rumah  tangga  untuk  sekadar  mencari  jalan 

membayar upah santri. Pimpinan pesantren sendiri menyadari hal tersebut, sehingga meliburkan santri 

dari  kegiatan belajar‐mengajar,  terutama mereka  yang hanya  belajar di  jalur pendidikan  "pesantren" 

dan  tidak  terikat oleh belajar di madrasah alau sekolah umum, pada musim panen padi, agar mereka 

dapat ikut kegiatan panen padi dan memperoleh ongkos. Bahkan kiai sering memberi surat keterangan 

jalan  bagi  santri  yang  ingin  boro,  yaitu mencari  pekerjaan  atau  nafkah  sampai  ke  daerah  yang  jauh 

seperti: Jember, Sidoarjo, Surabaya, dan sebagainya.  

Gambaran  tersebut  menunjukkan  betapa  akrabnya  kontak  budaya  antara  pesantren  dan 

masyarakat  sekitarnya,  yang  dipatri  dengan  ajaran  tasawuf  yang  cocok  dengan  mistik  Jawa,  dan 

sekaligus membuka  kontak budaya masyarakat desa dengan berbagai budaya daerah  atau  suku‐suku 

yang ada di Indonesia melalui santri.  

Page 55: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

55 

 

Meskipun demikian, di balik  keakraban  tersebut,  Pondok  Pesantren Blok Agung mangandung 

potensi  yang  dapat mengancam  hubungan  baik  tersebut.  Secara  endogeen:  dengan  semakin  pesatnya 

perkembangan  jenis  pendidikan  formal  yang  diasuh  oleh  pesantren  (madrasah  dan  sekolah  umum) 

berarti semakin mendesak  jenis pendidikan "pesantren", dan semakin sedikit santri yang hanya belajar 

di  "pesantren",  yang  berarti  semakin  sedikit  pula  santri  yang mampu  balajar  sambil mancari  nafkah, 

karena  waktu  mereka  semakin  tidak  longgar  sebab  secara  struktur  formal  terikat  dengan  rencana 

pelajaran di sekolah atau madrasah dan semakin banyak santri yang tergantung pada kiriman uang dari 

rumahnya.  Hal  tersebut  berarti  semakin  mengurangi  frekuensi  waktu  dan  kedalaman  berintegrasi 

dengan  masyarakat  sekitarnya;  dan  secara  exogeen  masyarakat  desa  sendiri  juga  semakin  dituntut 

menghadapi persaingan hidup  yang  semakin  tajam dan  komersial,  serta  semakin memerlukan  tempo 

yang semakin tinggi atau cepat.  

Kedua  hal  tersebut  terasa  semakin menggeser  kedudukan  dan  peran  pesantren  dari  pro  aktif, 

yaitu  aktif membimbing  dan membina masyarakat, menjadi  reaktif,  yaitu mereaksi  apa  yang  terjadi  di 

masyarakat dalam  rangka menjaga  identitasnya, antara  lain dengan  jalan menyeleksi pergaulan  santri 

dengan masyarakat  sekitarnya,  lebih berhati‐hati dan  lebih  ketat  agar  tidak  terpengaruh oleh hal‐hal 

negatif  yang  datang  dari  masyarakat  sekitarnya.  Sebenarnya  hal  seperti  ini  dihadapi  oleh  semua 

pesantren  dalam  menghadapi  tantangan  kehidupan  yang  semakin  tajam,  kompleks,  dan  komersial 

akibat dampak global dari modernisasi, dan  tampaknya dunia pesantren belum  siap dengan konsepsi 

integrasi baru.  

 

 

c.2. Lingkungan kehidupam masyarakat dalam pesantren  

Situasi  kehidupan  dalam  Pondok  Pesantren  Blok  Agung  antara  lain  dapat  digambarkan  sebagai 

berikut:  luas kampus pesantren ada  sekitar 4,5 ha, di atasnya berdiri sejumlah bangunan: 1 mesjid, 4 

musala, 5 dapur umum, 5 kantor, 19 asrama, 3 toko kelontong dan buku‐buku, 4 warung makanan, 39 

wc,  1  kantor  pengembangan masyarakat,  12  kamar mandi,  6  gedung madrasah,  2  gedung  diesel,  1 

makam, 1 perbengkelan, dan 1 ruang perpustakaan (menempati sebagian ruang dalam kantor).  

Pengasuh: pimpinan tunggal: 1 orang kiai, dibantu oleh 2 orang kiai dan sejumlah ketua‐ketua 

bagian: (1) pendidikan dan pengajaran, (2) kesejahteraan santri, (3) badan pengembangan amil zakat, (4) 

humas, (5) keamanan dan ketertiban, (6) protokoler dan tamu, (7) pesantren putri, (8) pesantren putra, 

(9) keterampilan, dan (10) pengembangan sosial dan teknologi; dan sejumlah kepala sekolah serta guru‐

guru atau ustaz, baik yang mengajar di Sekolah Umum, Madrasah atau Diniyah.Jenis‐jenis pendidikan 

yang diselenggarakan di Pondok Pesantren Blok Agung adalah: (a) Diniyah: khusus belajar agama, terdiri 

Page 56: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

56 

 

                                                           

atas:  Awaliyah  (dasar), Wusta  (menengah)  dan  'Ulya  (atas).  (b)  Sekolah  kurikulum14.  Taman  kanak‐

kanak, Sekolah Menengah Ekonomi tingkat Atas, Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah, dan  (c) Takhassus: 

yaitu  khusus  mengaji  Alquran,  Hadis,  dan  Kitab‐kitab  kuning.  Pada  jalur  pendidikan  diniyah  masih 

diberikan pelajaran umum, sekitar 5%, sedang jalur takhassus, 100% pelajaran agama.  

Jumlah seluruh santri ada 2487 orang,  terdiri atas 1584 putra dan 903 putri, 150 guru,  terdiri 

atas 108 putra dan 42 putri.  

Penyelenggaraan sekolah dilaksanakan secara terpisah antara kelas putra dan kelas putri.  

Hampir semua santri tinggal di pesantren, kecuali murid TK atau shifir dan beberapa santri yang 

rumahnya  sangat  berdekatan  dengan  pesantren Ukuran  kamarnya  sedang,  sekitar  3x4 m  dihuni  oleh 

sekitar 7‐8 orang, sehingga keadaan sangat padat. Keunikan dari sejarah pembangunan gedung‐gedung 

Pondok Pesantren Blok Agung ini ialah semua gedung‐gedung dan sejak menggali tanah, membuat batu 

bata, dan seterusnya sampai bangunan berdiri  (selesai) dikerjakan oleh santri, kecuali hal‐hal  tertentu 

yang memang membutuhkan  tukang ahli. Pesantren sudah mempunyai  langganan  tukang.  tukang ahli 

dari  desa  setempat.  Para  penduduk  sekitar  bergiliran  membantu  tenaga;  yang  tidak  sempat 

menyumbangkan  tenaga,  membantu  bahan  bangunan,  sedang  bagi  yang  merasa  kurang  mampu, 

membantu  makanan  untuk  orang‐orang  yang  sedang  bekerja.  Masyarakat  berpandangan  bahwa 

membantu santri dan pesantren, berarti amal  ibadah, karena membantu orang yang sedang berjuang 

menuntut ilmu.  

Dengan  ikut sertanya santri dan masyarakat membangun pesantren maka mereka merasa  ikut 

memiliki  pesantren. Mengenai  situasi  kehidupan  santri  sehari‐hari  dalam  pesantren  adalah  sebagai 

berikut:  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

14 Mereka memakai  istilah  “sekolah  kurikulum”   untuk menyatakan  jenis pendidikan  formal, baik  yang 

berbentuk madrasah maupun sekolah umum, karena sekolah‐sekolah ini memakai kurikulum resmi. 

Page 57: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

57 

 

Jadwal hidup keseharian santri selama 24jam 

Pondok Pesantren Blok Agung 

 

No J a m Kegiatan

1.

2.

03.30-04.30

05.00-06.00

Bangun tidur, siap menuju mesjid, salat Sunah, membaca Alquran, puji-pujian kepada Tuhan, selawat Nabi, dan sebagainya. Salat berjemaah dengan diimami oleh kiai.

Belajar secara Bandongan: Alquran, Fikih dasar, Ta'lim muta 'allim, Fathul Mu’in, Durratun nasihin, Tijan Daruri (tauhid), dan sebagainya. Dilakukan di serambi mesjid pondok masing-masing dengan bimbingan ustaz sesuai dengan program masing-masing.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

07.00-08.00

08.00-13.00

13.00-14.00

14.00-16.00

16.00-16.30

16.30-17.30

17.30-18.30

18.30-19.00

19.00-20.00

Mengaji kitab lhya' 'Ulumiddin (al-Ghazali) langsung oleh kiai, dan diikuti oleh seluruh santri. Pengajian ini tamat setiap 3 tahun sekali.

Jam belajar di madrasah dan sekolah umum, kecuali yang tidak mengikuti sekolah formal, terus mengaji sampai jama 10.00 (membaca Alquran atau kitab latin).

Siap salat Zuhur berjemaah dengan didahului dan diakhiri puji-pujian, salat

sunat dan doa-doa.

Masuk Sekolah Diniyah Ula, Wustho dan Ulya. Shifir masuk pagi. Dilanjutkan siap-siap salat Asar berjemaah di mesjid.

Salat Asar berjemaah di mesjid diimami oleh kiai.

Pengajian kitab Ihya' 'Ulumiddin (al-Ghazali) lanjutan pagi hari, oleh kiai. Bagi

anak-anak sekolah diniyah tingkat Ula, mengadakan taqrar (mengulang dan menghafal pelajaran).

Istirahat, siap-siap salat Magrib berjemaah di mesjid. Dengan membaca puji-pujian dan selawat Nabi.

Salat Magrib berjemaah, diimami oleh kiai; diakhiri wirid, doa-doa dan salat sunat.

Mengaji tafsir Alquran, dipimpin oleh anak kiai, calon pengganti kiai di masa mendatang. Bagi mereka yang tidak mengikuti (karena programnya berbeda), melakukan sorogan, mempelajari kitab tertentu sesuai dengan program masing-masing di bawah bimbingan masing-masing ustaz.

Page 58: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

58 

 

12.

13.

20.00-20.30

20.30-22.30

Salat isya berjemaah. Didahului dan diakhiri salat sunah, puji-pujian, salawat nabi, wirid dan do’a.

Mengadakan taqrar pelajaran masing-maasing di bawah bimbingan santri senior di serambi mesjid dan pondok pesantren masing-masing; kemudian dilanjutkan dengan sorogan atau bandongan. Bagi mereka yang sudah belajar di tingkat Ulya (dewasa) pengajian dilanjutkan sampai pukul 24.00.

  Mengiringi  jadwal kegiatan  tersebut, berikut  ini adalah  tata  tertib pesantren, yang antara  lain 

berisi butir‐butir sebagai berikut:  

1. Sebelum  jam  22.00  santri  tidak  boleh  masuk  kamar.  Mereka  harus  belajar  atau  mengikuti program‐program kegiatan seperti tersebut di atas. 

2. Setiap Senin dan Kamis malam tidak ada kegiatan seperti tersebut di atas. Tetapi diagnti dengan kegiatan  blajar  sendiri.  Melakukan  taqrar  atau  lalaran  (mengulang  dan  menghafal):  Imriti, alfiyah, sarf, balagah, berzanji, selawat Nabi, dan belajar praktik peribadatan lain sesuai dengan keperluan.  

3. Jumat:  hari  libur;  diisi  dengan  kegiatan‐kegiatan  lain  selain  belajar.  Dari  jam  06.30‐08.00 melakukan  kerja  bakti  yang  disebut  ro'an, misalnya melakukan  kebersihan  umum, melakukan perbaikan‐perbaikan, dan  sebagainya  yang  semuanya ditujukan  untuk  kepentingan  pesantren (bukan masing‐masing) kamar.  

4. Di samping kelompok kerja ro  'an tersebut, di Pondok Pesantren Blok Agung dibentuk kelompok kerja  negaran,  yaitu  kelompok  kerja  khusus  dan  tetap  untuk  memelihara  kebersihan  dan perbaikan gedung‐gedung, dan sarana‐sarana pesantren. Mereka  ini hanya belajar agama saja (program  takhasus) dan hidup mereka dijamin oleh pesantren. Tujuan mereka untuk mengaji, mengabdi kepada kiai, atau ngalap berkah kiai.  

5. Setiap hari Jumat dari jam 08.00‐10.00 (sesudah kerja ro'an) diadakan kursus bahasa Arab, Inggris, dan  PKK  bagi  santri  putri.  Sesudah  salat  Jumat mereka  belajar  seni  baca  Alquran,  dan  pada malam harinya belajar pidato.  

6. Santri Blok Agung memasak sendiri. Bagi yang kebetulan tidak ikut program‐program pengajian tertentu, memasak untuk teman‐teman yang tidak sempat, karena mengikuti pengajian. Hal ini mereka lakukan secara bergantian.  

7. Terdapat  3  larangan  yang  dengan  keras  ditekankan  dalam  tata  tertib  pesantren  (a)  dilarang mencuri,  (b)  dilarang  berkelahi,  (e)  dilarang  menghina,  menertawakan  atau  mengolok‐olok teman yang kurang pandai,  

8. Santri harus minta  izin dan melapor bila meninggalkan dan kembali ke pesantren, membayar iuran dan sebagainya.  

 

Laporan lingkungan hidup pesantren tersebut menggambarkan suasana kehidupan di pesantren 

yang  sangat mencekam oleh disiplin  kehidupan  fikih  sufistik  yang  tinggi. Pada waktu penelitian  ini 

diadakan, terdapat sekitar 250 orang sedang melakukan puasa dala’il, yaitu puasa terus‐menerus selama 

tahun  tamat.  Banyak  di  antara  mereka  yang  meneruskan  sampai  ke  periode  kedua,  ketiga  dan 

Page 59: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

59 

 

seterusnya,  sehingga  ada  di  antara  mereka  yang  sudah  menginjak  tahun  keempat,  kelima  dan 

seterusnya.  

Kecuali itu juga terdapat sekitar 20‐30 orang melakukan puasa 40 harian tamat, sekitar 25‐30 orang 

melakukan puasa ngrowot, yaitu puasa tanpa batas. tetapi boleh makan makanan tertentu saja seperti 

nasi putih atau buah‐buahan saja, dan hanya dua orang yang diketemukan (dalam waktu penelilian ini) 

berpuasa mbisu, yaitu tidak mau berbicara pada saat berpuasa.  

Bacaan yang dibaca selama puasa dala’il, dan puasa‐puasa seperti tersebut di atas adalah berisi 

puji‐pujian kepada Tuhan, mohon ampunan‐Nya, dan do’a serta selawat Nabi Muhammad. Mereka yang 

melakukan puasa‐puasa sunnah   seperti tersebut di atas, mempunyai "guru‐guru" mistis sendiri‐sendiri 

yang berada di luar kampus pesantren, yang dulu juga belajar di Pondok Pesantren Blok Agung. Dengan 

demikian, suasana fikih‐sufistik tidak hanya terdapat dalam kampus pesantren, tetapi juga di masyarakat 

lingkar pesantren. Program‐program nonagama  seperti: olah  raga,  seni, dan  keterampilan  tampaknya 

kurang berjalan lancar, kecuali pramuka dan pelajaran PKK bagi santri putri.  

Suasana fikih‐sufistik di Pondok Pesantren Blok Agung tersebut di atas sangat berbeda dengan 

apa yang berjalan di 2 pesantren sebelumnya (Pondok Pesantren Guluk‐Guluk dan Sukorejo), bahkan di 

Pondok Pesantren Sukorejo santri dilarang puasa selama belajar, padahal pimpinan mereka datang dari 

kelompok yang sama, yaitu sama‐sama pimpinan NU, mengikuti paham teologi dan mazhab yang sama, 

tetapi mereka berbeda dalam pendidikan, pengalaman dan tipe budaya agama.  

Dari gambaran mengenai situasi hidup keseharian selama 24  jam dari tahun ke tahun dan tata 

tertib yang harus dipatuhi  seperti  tersebut di atas,  jelas  sekali bahwa cara belajar dengan menghafal, 

menguasai materi belajar  secara  kognitif, dan  sifat belajar  yang mekanistis,  tampak mendominasi  cara 

belajar  di  pesantren.  Sebaliknya  juga  tampak  bahwa  santri  secara  intensif  telah  dikenalkan  dengan 

kehidupan masyarakat  sekitarnya melalui cara hidup yang  fikih‐sufistik, dilatih mandiri, dan  ikut  serta 

dalam membangun pesantrennya. Meskipun demikian, seperti di dua pesantren terdahulu, hal‐hal yang 

bersifat  duniawi  juga  terasa  tersisih  dibandingkan  dengan  hal‐hal  yang  ukhrawi.  Semuanya  ini  akan 

melahirkan sikap hidup yang tawakal, berserah dan menyesuaikan diri dengan keadaan. 

  

d. PP Tebu Ireng  

 

d.l. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren  

Pondok Pesantren Tebu  Ireng  terletak di desa Tebu  Ireng, Kecamatan Diwek, Kabupaten  jombang. 

jarak pesantren dengan  kota  kabupaten  sekitar 8  km.  Lokasi pesantren  terletak di pinggir  jalan  raya: 

Surabaya:  Jombang‐Pare‐Kediri.  Dengan  semakin  berkembangnya  daerah  perkotaan  jombang  dan 

semakin ramainya kendaraan yang menghubungkan kota‐kota tersebut, maka Pondok Pesantren Tebu 

Ireng praktis berada dalam lingkungan perkotaan. Setiap saat santri dapat bergerak ke pusat‐pusat kota. 

Page 60: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

60 

 

Dalam waktu 10 menit mereka dapat mencapai  jombang, dan dalam waktu kurang dari 2  jam mereka 

dapat mencapai Surabaya atau Kediri, dan sebagainya.  

Meskipun demikian mata pencaharian penduduk desa Tebu Ireng: sebagian besar (70%) petani 

padi,  dalam waktu‐waktu  tertentu  sawahnya  disewakan  untuk  tanaman  tebu,  karena  di  desa  Cukir, 

tetangga  sebelah desa Tebu  Ireng,  terdapat pabrik gula. Dengan demikian  selama musim  tanam  tebu 

penduduk mengalihkan perekonomian dari  tani padi  ke berbagai macam  kegiatan perekonomiannya: 

dagang, mengolah pekarangan, dan kegiatan‐kegiatan  lainnya yang tidak menentu. Sebagian kecil (5%) 

menjadi pegawai negeri, guru, ABRI, dan sebagainya, dan sebagian besar kedua (25%): tidak menentu, 

pedagang kecil,  jual tenaga, menganggur, dan sebagainya. Dengan demikian PP Tebu Ireng sebenarnya 

berada  dalam  wilayah  budaya  agama  "Pedalaman‐Perkotaan",  bukan  "Pedalaman‐Pedesaan" 

sebagaimana PP Blok Agung.  

Sampai saat ini daerah Kabupaten Jombang masih tekenal sebagai pusat konsentrasi pesatnren. 

Keempat pintu masuk kota Jombang dijaga oleh 4 pesantren terkenal berskala nasional, sebelah utara: 

Pondok Pesantren Tambak beras, berjarak sekitar 3 km dari pusat kota Jombang; sebelah timur: Pondok 

Pesantren Darul Ulum, berjarak sekitar 7 km; sebelah selatan: Pondok Pesantren Tebu  Ireng, berjarak 

sekitar 7 km; sebelah barat:   Pondok Pesantren Denanyar, berjarak sekitar 1,5 km. keempat pesantren 

ini merupakan satu aliran, tergabung dalam kelompok NU.  

Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng  sendiri  juga  dikelilingi  pesantren‐pesantren  lain  yang  cukup 

dikenal dalam  skala nasional, antara  lain: Pondok Pesantren Cukir, Pondok Pesantren Seblak, Pondok 

Pesantren  Tahfiz  Alquran,  khusus  untuk  mendalami  dan  menghafal  Alquran,  Pondok  Pesantren 

Masruriyah dan Pondok Pesantren Kwaron. Kelima pondok pesantren  ini  sebenarnya merupakan  satu 

keluarga  dengan  Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng,  dan  pimpinan mereka mempunyai  hubungan  darah 

(keluarga)  satu  dari  yang  lain  (saudara  sepupu,  saudara  ipar,  dan  sebagainya),  tetapi mereka  berdiri 

sendiri‐sendiri  secara  otonom,  baik  dalam  hal  bertindak  ke  luar  maupun  ke  dalam,  jadi  Pondok 

Pesantren  Tebu  Ireng  bukan merupakan  "Pesantren  Federal"  sebagaimana  Pondok  Pesantren Guluk‐

Guluk.  

Sejak  beberapa  tahun  terakhir  ini,  sekitar  10‐15  tahun  yang  lalu,  popularitas  Kabupaten 

Jombang  sebagai  daerah  konsentrasi  pesantren  mulai  berkurang.  Hal  ini  disebabkan  dinamika 

masyarakat  luar  pesantren  yang  semakin menuju  ke  watak masyarakat  industri  dengan  kebutuhan 

model  pendidikan  yang  semakin massive,  formal,  dan  standard.  Pertumbuhan  jenis‐jenis  pendidikan 

formal,  baik  dalam  bentuk  madrasah  maupun  sekolah  umum,  berjalan  lebih  cepat  daripada  jenis 

pendidikan model  "pesantren", Di dalam pesantren  sendiri: kedudukan madrasah dan  sekolah umum 

mendominasi  pendidikan  pesantren.  Hal  yang  seperti  ini  sesungguhnya  tidak  hanya  dihadapi  oleh 

Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng  sendiri,  tetapi  oleh  hampir  seluruh  pesantren,  sehingga  seperti 

dikemukakan  di  muka,  dunia  pesantren  dewasa  ini  sedang  dalam  dinamika  antara  memantapkan 

identitas dan berkomunikasi secara terbuka.  

 

Page 61: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

61 

 

                                                           

d.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren  

Situasi  kehidupan Pondok Pesantren Tebu  Ireng dapat digambarkan  sebagai berikut:  luas  kampus 

pesantren  7  ha,  letaknya  agak  terpencar  sehubungan  dengan  perluasannya melalui  beberapa  tahap, 

dengan jalan membeli tanah penduduk sekitar pesantren. Di atas tanah ini berdiri bangunan‐bangunan: 

1 mesjid,  l rumah kiai (pimpinan), 14 pondok atau asrama santri dengan  jumlah kamar 140, berukuran 

rata‐rata  4x5 m.  Jumlah  santri menetap di pesantren  1555 orang15,  jadi  kepadatannya  sangat  tinggi, 

rata‐rata per  kamar dihuni 11‐12 orang; 6  gedung madrasah dan  sekolah, 1  gedung perpustakaan, 1 

keamanan, 2  toko barang kebutuhan  santri, 1 bank  (BRI), dan  1  kompleks bangunan universitas yang 

terdiri atas Fakultas: Syari’ah, Dakwah, dan Tarbiyah, dan sejumlah ruangan‐ruangan lainnya. 

Adapun  rumah‐rumah  pengasuh  para  kiai  dan  ustaz,  serta  beberapa musala  terletak  di  luar 

pagar  kampus,  jadi  berada  di masyarakat  sekitar. Meskipun  demikian  suasana masyarakat  di  sekitar 

kampus  terasa  seperti  uasana  dalam  satu  kampus  pesantren,  di  samping  karena  dekat  dengan 

pesantren,  juga karena adanya pesantren‐pesantren kecil  lainnya yang mengelilingi Pondok Pesantren 

Tebu Ireng seperti tersebut di muka, dan banyak santri yang mondok atau kontrak rumah, serta adanya 

rumah‐rumah kiai, ustaz dan karyawan, di tengah‐tengah mereka (masyarakat).  

Berbeda  dengan  kampus‐kampus  pesantren  lainnya,  seperti  Pondok  Pesantren  Guluk‐Guluk, 

Sukorejo  dan Gontor,  pada  kampus  Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng  perumahan  kiai,  santri,  dan  ustaz 

berada di  luar pagar pesantren. Dengan  letak perumahan yang demikian  itu, ditambah dengan adanya 

jalan  raya  yang menghubungkan  pesantren  dengan  pusat‐pusat  keramaian  kota  seperti  diuraikan  di 

muka, di mana kondisi geografis Pondok Pesantren Tebu Ireng sangat terbuka dan mobilitas fisik sangat 

tinggi, kampus pesantren membaur dalam dinamika kehidupan yang bercorak pinggiran kota.  

Jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Tebu  lreng adalah "Pesantren", 

Madrasah, dan  Sekolah Umum. Pelaksanaan pendidikan diselenggarakan  secara  terpisah  antara  kelas 

putra dan putri.  

Pergaulan antara anak putra dan putri lebih longgar bila dibandingkan dengan pergaulan santri 

putra dan putri di Pondok Pesantren Guluk‐Guluk, di mana di Pondok Pesantren Guluk‐Guluk sampai‐

sampai ada 'Jalan wanita" dalam kampus pesantren, artinya hanya boleh dilalui oleh santri putri, sedang 

santri  putra  dilarang.  Sebaliknya  di  dalam  kampus  Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng,  anak  laki‐laki  lebih 

mudah  bertemu  dengan  anak  perempuan  dalam  pergaulan  hidup  keseharian,  sebagaimana  layaknya 

dalam kehidupan masyarakat kota. Tentu saja semuanya ini dalam batas‐batas tata tertib pesantren.  

Santri  menyiapkan  kebutuhannya  sendiri,  seperti  mengurus  makan,  tetapi  pada  umumnya 

mereka  tidak  memasak  sendiri,  melainkan  langganan  di  warung  atau  indekos  di  rumah  penduduk 

 

15  Jumlah  santri pada  saat penelitian  ini ada 2522 orang, yang  tinggal dalam pesantren  (santri mukim): 1552  orang,  yang  970  orang mondok  atau menyewa  kamar  pada  penduduk  kampung,  beberapa  diantaranya pulang kerumah sendiri (santri kalong). 

Page 62: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

62 

 

sekitar;  hanya  sebagian  kecil  yang  memasak  sendiri.  Mereka  tidak  membuat  pondok  sendiri 

sebagaimana  santri  dari  Pondok  Pesantren  Guluk‐Guluk,  atau  tidak  ikut  membangun  pesatrennya 

sebagaimana  santri  dari  Pondok  Pesantren  Blok  Agung,  santri  Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng  datang 

mondok  ke  pesantren,  dan  jika  ternyata  kamar‐kamar  sudah  penuh  mereka mencari  pondokan  ke 

rumah‐rumah penduduk sekitar pesantren.  

Pondok Pesantren Tebu  Ireng diasuh oleh pimpinan pesantren yang bertindak sebagai direktur 

pesantren yang sekaligus pemilik pesantren, dan didampingi oleh suatu dewan kiai  (lihat halaman 75‐

76). Dewan kiai inilah yang menjadi penjaga nilai agama dan mengajar kitab‐kitab kuning pada santri.  

Adapun jadwal kehidupan santri dalam keseharian adalah: 

Jadwal hidup keseharian santri selama 24 jam 

Pondok Pesntren Tebu Ireng 

 

No. J a m Kegiatan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

04.30-05.00

05.00-06.30

06.30-07.00

07.00-12.30

12.30-13.00

13.00-14.00

14.00-16.00

16.00-16.30

16.30-17.30

17.30-18.00

18.00-19.00

19.00-19.30

Salat Subuh didahului dengan salat sunah, atau membaca puji-pujian kepada Tuhan dan selawat Nabi.

Mengaji kitab kuning sesuai dengan kebutuhan dan tingkat, dibimbing oleh kiai, ustaz atau santri senior, diselenggarakan di mesjid, menurut jadwal.

Siap-siap masuk sekolah formal (madrasah atau sekolah umum).

Jam belajar di sekolah formal.

Salat Zuhur berjemaah di mesjid.

Istirahat siang

Mengaji kitab kuning di mesjid, dilanjutkan dengan salat Asar (sesuai dengan jadwal)

Salat Asar

Mengjai kitab kuning sesuai dengan jadwal

Istirahat, persiapan salat Magrib

Sorogan Alquran, dibimbing oleh kiai, atau ustaz atau santri senior

Salat Isya berjemaah di mesjid

Semua santri diwajibkan mengikuti jam Mutala’ah ( menghafal

Page 63: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

63 

 

13.

14.

19.30-21.00

21.00

atau mengulang pelajaran)

Semua santri sudah harus berada dalam kampus. Pintu masuk pesantren ditutup dan dibuka lagi jam 04.00 untuk memberi kesempatan masyarakat luar salat subuh.

 

 

Melengkapi  jadwal  kegiatan  tersebut,  santri  berkewajiban  melaksanakan  tata  tertib 

pesantrcn. antara lain:  

(1). Setiap santri diwajibkan mengaji paling sedikit empat kitab.  

(2).  Setiap Kamis dan  Senin malam:  libur. Pada waktu‐waktu  tertentu diadakan  acara 

khusus untuk mengaji kitab  tertentu yang dibacakan oleh santri senior dengan bimbingan 

kiai.  

(3) Mengikuti  kerja  bakti  (ra’an)  setiap  hari  Jum’at  pagi.  Sanksi  terberat  atas  suatu 

pelanggaran  akan  dipulangkan  (dikeluarkan  dari  pesantren)  yang  paling  ringan 

diperingatkan. 

Kecuali  itu  santri membentuk  organisasi‐organisasi  daerah menurut  daerahnya masing‐

masing, misalnya  Ikatan Santri Madura, Organisasi Pelajar  Islam Malang, Banyuwangi, Surabaya, 

Kediri, Madiun,  Jember, Cirebon, dan sebagainya. Kegiatan‐kegiatan mereka antara  lain: belajar 

pidato,  memperingati  hari‐hari  besar  Islam,  menyelenggarakan  berbagai  kursus,  Musabaqah 

Tilawatil Quran, Dakwah, dan sebagainya. 

Selain organisasi daerah,  santri  juga  tergabung dalam organisasi OSIS  (Organisasi  Siswa 

Intra  Sekolah),  dan  Organisasi  Kompleks,  yaitu  organisasi  menurut  kompleks  kamar‐kamar 

pondokan  mereka.  Di  samping  organisasi  yang  bersifat  studi,  santri  juga  membentuk 

perkumpulan‐perkumpulan  olah  raga  seperti  sepak  bola,  bola  voli,  bulu  tangkis,  catur,  dan 

sebagainya.  

Suasana dalam kehidupan Pesantren Tebu  Ireng  terasa  lebih  longgar dan mobile, sesuai 

dengan  corak  kehidupan  urban.  Pakaian  santri  sehari‐hari  tampak  tidak  jauh  berbeda  dengan 

pakaian  pelajar‐pelajar  umum:  pakai  celana,  baju  lengan  pendek  atau  panjang,  sepatu,  tidak 

selalu pakai peci, dan  sebagainya.  Santri putri memakai  jilbab,  seperti  juga  jilbab  yang dipakai 

oleh siswi sekolah umum. Banyaknya santri yang tinggal atau mondok di luar pagar pesantren dan 

banyaknya ustaz  serta  kiai  yang  juga  tinggal di  luar pagar pesantren, dan mudahnya mencapai 

pusat‐pusat  kota, menyebabkan  santri‐santri  pesantren  lebih  terbuka  untuk  bergerak  (mobile) 

dan  menjalin  hubungan  dengan  pihak  lain  di  luar  pesantren,  sehingga  perilaku  santri  dalam 

Page 64: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

64 

 

keseharian  juga  tidak banyak berbeda dengan perilaku pelajar umum. Gambaran bahwa  santri 

tunduk secara penuh di hadapan guru sebagaimana digambarkan dalam kitab Ta'lim Muta  'allim 

dan  laporan‐laporan dari pesantren  lain sebagaimana dilukiskan oleh  Jamil Suherman  (halaman 

35) di muka,  tidak dijumpai  lagi di pesantren Tebu  Ireng. Suatu hal yang menarik untuk dicatat 

dalam  kaitannya  dengan  tata  kehidupan modern  ialah  di  dalam  Pondok  Pesantren  Tebu  Ireng 

terdapat  Bank  Rakyat  Indonesia  (BRI).  Kelahiran  lembaga  perbankan  di  tengah‐tengah  dunia 

pesantren,  apalagi  kelompok  pesantren  salaf  seperti  Tebu  Ireng  ini merupakan  hal  baru  yang 

cukup menarik perhatian,  sebab  saat  ini dipertanyakan di  kalangan umat  Islam:  apakah bunga 

bank  identik  dengan  riba  atau  tidak,  sedang  riba  dalam  Islam  hukumnya  jelas  haram.  (Lihat 

laporan mengenai struktur Organisasi Tebu Ireng di muka).  

Apa yang dapat diperoleh dari analisis mengenai  lingkungan pesantren Tebu  Ireng untuk 

dikembangkan dalam perspektif  sistem pendidikan nasional  adalah  (I)  adanya dewan  kiai  yang 

berusaha  mempertahankan  identitas  pesantren  di  dalam  menangkis  dampak  negatif  dari 

modernisasi. Tetapi tampaknya hal ini akan mengalami kesulitan karena mereka mempergunakan 

metode  tradisional,  yaitu hafalan dan pengajian  yang diberikan  secara masal.  (2)  "Keberanian" 

Pondok Pesantren Tebu Ireng melakukan kontak terbuka dengan sistem lain di luar dirinya, yaitu 

dengan memasukkan  lembaga perbankan merupakan salah satu  indikator tata ekonomi modern 

ke  dalam  dunia  pesantren. Hal  ini  perlu memperoleh  elaborasi  lebih mendalam  karena  dapat 

berdampak  jauh dalam rangka meletakkan sendi‐sendi pembaruan pemikiran dalam  Islam, yang 

pada akhirnya akan mempengaruhi pemikiran dalam merencanakan pendidikan Islam.  

 

e. PP Paciran 

e.1. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren 

Pesantren  ini  terletak  di  desa  Paciran,  Kecamatan  Paciran,  Kabupaten  Lamongan.  Karena 

nama  Paciran  selain  sebagai  nama  desa  juga  menjadi  nama  kecamatan,  maka  desa  Paciran 

sesungguhnya  merupakan  daerah  pinggiran  perkotaan.  Daerah  pesisir  umumnya  merupakan 

daerah  konsentrasi  keagamaan  yang  1ebih  kuat  dibandingkan  dengan  daerah  pedalaman.  Di 

dalam  desa  Paciran  sendiri  terdapat  banyak  perguruan.  Empat  di  antaranya  adalah  berupa 

pesantren:  (1)  Pondok  Pesantren Muhammadiyah  Karang  Asem,  yang  dikenal  sebagai  Pondok 

Pesantren Paciran (yang menjadi objek penelitian), (2) Pondok Pesantren Maza'aratul, (3) Pondok 

Pesantren modern   Muhammadiyah Paciran, dan (4) Pondok Pesantren Al‐Alamin. Letak mereka 

saling berdekatan satu sama  lain (terletak dalam satu gang kecil, sepanjang sekitar 1,5 km).  jadi 

dalam satu gang tersebut terdapat 2 pesantren Muhammadiyah. Selain  itu, di desa Paciran  juga 

terdapat: 1 SMP Negeri, 5 SMP Swasta, 1 SMA Negeri, 4 SMA Swasta, dan 2 SD Negeri: SD Negen I 

dan SD Negeri II.  

Komposisi  lapangan  kerja penduduk  adalah:  45%  tani dan buruh  tani  40% nelayan dan 

buruh nelayan, 5% pegawai negeri, ABRI, dan sebagainya, 3% kerajinan, dan 22%  lain‐lain, tidak 

Page 65: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

65 

 

menentu.  Perekonomian masyarakat  sekitar  pesantren  (dalam  radius  kurang  lebih  2  km  dari 

pesantren) miskin, pekerjaan mereka pada mumnya nelayan kecil, penambang batu Kapur bahan 

membuat  kaca  (dhalmite),  penggaduh  sapi  dan  kambing,  rata‐rata  3∙4  ekor  di  setiap  rumah 

tangga, pengangkut batu‐batu kapur, pedagang eceran dan sebagainya 

Hubungan  pesantren  dengan  masyarakat  sekitar  baik;  antara  kampus  pesantren  dan 

masyarakat  sekitar  tidak dibatasi oleh  suatu pagar atau  tembok pembatas.  jadi  tidak ada garis 

batas antara pesantren dan masyarakat  sekitarnya.  juga hubungan keempat pesantren  terletak 

dalam satu gang Jalan yang hanya sepanjang 1,5 km, tampak saling menghargai satu sama lain.  

Berbeda  dengan  kelima  pesantren  terdahulu,  status  kelembagaan  Pondok  Pesantren 

Paciran  berada  langsung  dalam  organisasi  Muhammadiyah.  dan  secara  resmi  garis 

kepengurusannya  berada  langsung  di  bawah  kebijakan  Majelis  Pendidikan  dan  Pengajaran 

Muhammadiyah  Pusat.  Pondok  Pesantren  Paciran  ini merupakan  salah  satu  tempat  kelahiran 

kader‐kader Muhammadiyah.  

 

e.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren  

Suasana kehidupan dalam Pondok Pesantren Paciran antara  lain dapat digambarkan sebagai 

belikut:  luas  kampus  pesantren  3,5  ha,  di  atasnya  terletak  sejumlah  bangunan‐bangunan:  1 

mesjid  , 5  rumah pengasuh, 5  lokal asrama putra, 5  lokal asrama putri, 1 musala putri, 7  lokal 

gedung sekolah atau ruang belajar, 1 kantor dan perpustakaan, 1 aula, 1 gedung Fakultas Syari’ah 

(Hukum), cabang dari Universitas Muhammadiyah Malang, dan sejumlah bangunan  lain seperti: 

kamar mandi, kamar kecil, sumur, dan sebagainya  

Jumlah  santri  saat  ini  ada  2442  orang,  terdiri  atas  1166  putra  dan    putri,  35%  (854) 

menetap  di  pesantren  (santri mukim),  65%  (1158)  pulang  ke  rumah  (santri  kalong);  231  guru, 

terdiri  atas  197  laki‐laki  dan  34 wanita.  Jenis  dan  jenjang  pendidikan  yang  diasuh  adalah:  (a) 

madrasah  dari  tingkat  Bustanul  Atfal  (TK)  sampai  Aliyah,  dan  Fakultas  Syariah  yang  langsung 

diurus oleh Universitas Muhammadiyah Malang dan  (b) Sekolah Umum meliputi SMP dan SMA. 

Sehubungan  dengan  statusnya  sebagai  pesantren Muhammadiyah, maka  corak  pendidikannya 

mengikuti pola yang ditetapkan oleh Muhammadiyah yang berlaku menyeluruh secara nasional 

dari pusat sampai ke cabang‐cabang dan ranting‐ranting Muhammadiyah.  

Suasana  kehidupan  belajar‐mengajar  di  dalam  kampus  lebih  menunjukkan  corak 

keperguruan  (pendidikan  formal)  daripada  kepesantrenan  (pendidikan  nonformal).  Corak 

keperguruan  itu  antara  lain  tampak  pada  cara‐cara  berpakaian  seperti  seragam  sekolah,  dan 

hubungan antara santri dan ustaz seperti hubungan antara murid dan guru pada sekolah‐sekolah 

formal yang antara lain ditandai dengan situasi tanya jawab atau dialog di antara mereka, hahkan 

pergaulan  antara  santri dan ustaz‐ustaz muda  sering  akab  sebagai  teman  sepergaulan, bahkan 

santri sering tampak mengajukan usul‐usul dan protes  jika  ia merasa tidak di perlakukan secara 

Page 66: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

66 

 

adil.  (Lihat kasus protes  seorang  santri pada halaman 71‐72).  "Protes"  seorang  santri  terhadap 

kiai  dalam  dunia  pesantren  merupakan  hal  yang  sangat  menarik  perhatian,  dan  sekaligus 

merupakan tanda adanya gejala pergeseran nilai, yang dalam hal ini "berani" melawan kiai. Tetapi 

peristiwa semacam itu terasa "tabu" di kalangan pesantren salaf (lama) dan pesantren‐pesantren 

lain pada umumnya.  Selain  itu, peristiwa  tersebut  juga menunjukkan adanya  suatu pergeseran 

nilai  kependidikan:  dari  nilai  semata‐mata  belajar,  juga mebcari  ijazah  negeri  untuk mengejar 

karier  selanjutnya.  Suasana  kegiatan  belajar‐mengajar  di  Pondok  Pesantren  Paciran  sehari‐hari 

tercermin dalam jadwal kehidupan mereka sehari‐hari sebagai bcrikut:  

 

Jadwal hidup keseharian santri selama 24jam 

Pondok Pesantren Paciran 

 

No   Kegiatan   Waktu   Peserta didik   Pembina  

I.   Pendidikan Sekolah   07.00‐12.40   SMTP‐SMTA   Kepala Sekolah  

    13.30‐17.20   Ibtidaiyah   Kepala Sekolah  

      Fak. Syariah   Fakultas  

2.   Bimbingan membaca   05.00‐06.00   Santri putra   Ustaz muda  

 Alquran     dari SD ‐ SMP   (Iaki‐laki)  

  15.00‐17.30   Santri putra   Ustaz muda  

    Tsanawiyah   (laki‐Iaki)  

  18.00‐19.30   Santri putri   Ustaz muda  

    Ibtidaiyah,   (putri)  

    Tsanawiyah, SMP    

 

 

Page 67: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

67 

 

No Kegiatan Waktu Peserta didik Pembina

3. Tahfidzul 06.00-08.00 Santri SMTP, Kiai (penga-

Quran Fak. Syariah suh utama)

4. Tafsir Alquran 05.00-06.00 Santri putra Kiai (wakil

SMTP-SMTA pengasuh)

15.00-17.00 Santri putri Ustaz

5. Kursus Bahasa Arab 18.30-19.30 Semua santri Ustaz

(putra-putri)

6. Mengaji kitab 14.30-18.00 Santri dari Guru kelas

( Riyadussalihin/ SMTP-SMTA

Bulugul Maram) (putri)

7. Mengaji Alfiyah 12.00-13.00 SMTA (putra) Wakil pengasuh

(Nahu)

8. Bidayatu.l Mujtahid 19.30-21.30 Fak. Syariah Wakil pengasuh

9. Olah raga 15.00-17.00 Semua santri Klub masing-

masing

10. Muhadarah 18.00-20.00 Semua santri Kelompok studi

(setiap ma-

lam senin

dan Selasa)

11. Madrasah 18.00-21.00 Semua santri Kelompok

belajar

12. Pramuka Setiap Jumat Semua santri Pramuka

13. Mengaji Hadis 15.00-16.30 Santri SMTA, Kiai kil

putri Pengasuh

14. Mengaji Alfiyah 18.00-10.30 Santri putri, Kiai W kil

SMTA pengasuh

15. Kursus, PKK, Jahit 07.00- 11.00 Kelompok Kelompok

dan sebagainya peserta belajar

16. Pencak Silat I9.00-22.00 Kelompok Kelompok

peserta belajar

Page 68: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

68 

 

 

Dari  jadwal  kegiatan  tersebut  jelas  tergambar  bawha  Pondok  Pesantren  Paciran  lebih 

menekankan  kegiatan  belajar‐mengajar  ilmu  pengetahuan  agama  di  ruang‐ruang  kelas  dan 

melalui  kegiatan  kursus‐kursus.  Hal  ini  berbeda  dengan  kegiatan‐kegiatan  kelima  pesantren 

terdahulu yang banyak memusatkan kegiatan peribadatan di mesjid. 

Pada  saat  salat  Jumat  di mesjid  (Pondok  Pesantren  Paciran),  banyak  penduduk  sekitar 

yang mengikuti salat  jemaah. Seperti disebutkan di muka, dengan tidak adanya pagar pembatas 

geografis yang membatasi kampus pesantren dengan masyarakat sekeliling, sangat memudahkan 

penduduk  setempat  menuju  mesjid,  karena  dengan  tidak  adanya  batasan  tersebut  praktis 

perkampungan mereka masuk ke dalam kampus pesantren. Sesungguhnya, banyaknya orang dari 

masyarakat  yang  ikut  salat  di mesjid  pesantren,  terjadi  pada  semua  pesantren,  karena mesjid 

pesantren adalah juga mesjid untuk masyarakat sekitarnya. Yang menjadi imam sering kali orang 

kampung, bukan santri, kiai atau ustaz. Pada umumnya sebelum dan sesudah salat jemaah, tidak 

diawali atau diakhiri dengan puji‐pujian atau mengaji Alquran, salat‐salat sunnah dan sebagainya. 

Situasi  yang demikian  itu berbeda dengan  apa  yang berjalan di pesantren‐pesantren di Guluk‐

Guluk,  Sukorejo,  Blok  Agung, Gontor,  dan  Tebu  Ireng.  Itulah  antara  lain  hal‐hal  yang menjadi 

sebab  mengapa  suasana  kehidupan  dalam  Pondok  Pesantren  Paciran  lebih  banyak 

menggambarkan  suasana  keperguruan  daripada  kepesantrenan;  di  samping  sebab  lain,  yaitu 

karena yang tinggal dalam pesantren lebih sedikit daripada yang tinggal di luar pesantren.  

Jadwal  kegiatan  tersebut  sekaligus  merupakan  tata  tertib  pesantren  yang  wajib 

dilaksanakan  oleh  santri.  Kecuali  itu  dalam  Pondok  Pesantren  Paciran  terdapat  seperangkat 

larangan yang harus ditaati oleh santri. Santri dilarang:  

I)  mencuri,  (2)  memakai  milik  orang  lain  tanpa  izin  dari  pemiliknya,  (3)  bertengkar  atau 

berkelahi,  (4) merokok,  (5)  tidur  di  kamar  orang  lain,  (6)  bergurau  atau  berteriak melampaui 

batas, (7) berambut gondrong, (8) keluar malam melebihi  jam 22.00, (9) mengadakan hubungan 

santri putra‐putri, (10) menyimpan benda tajam yang bukan pada tempatnya.  

Pelanggaran atas  larangan‐larangan dan kewajiban‐kewajiban dalam  tata  tertib  tersebut 

dikenakan  hukuman  yang  sesuai  dengannya,  dari  paling  ringan,  yaitu  berupa  penugasan‐

penugasan, baik dalam bentuk pemberian pekerjaan sekolah maupun kerja fisik, sampai ke paling 

berat, yaitu dikeluarkan dari pesantren.  

Butir  yang  dapat  dipetik  dari  suasana  kehidupan  belajar‐mengajar  dalam  Pondok 

Pesantren  Paciran  tersebut,  untuk  dikembangkan  dalam  sistem  pcndidikan  nasional  adalah 

penyelenggaraan kursus‐kursus keagamaan yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Paciran 

untuk mengimbangi pendidikan  keilmuan  yang diberikan melalui  sekolah umum dan madrasah 

dengan  kurikulum  pemerintah  (Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  dan  Departemen 

Agama). Pondok Pesantrcn Paciran tidak hanya menyelenggarakan kursus‐kursus keagamaan dan 

Page 69: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

69 

 

sa Gontor.  

                                                           

keterampilan‐keterampilan  lain,  seperti  Pendidikan Kesejahteraan Keluarga  (PKK),  Pencak  Silat, 

dan sebagainya, tetapi juga belajar menghafal Alquran. Ternyata hal yang terakhir ini merupakan 

salah satu daya pikat Pondok Pesantren Paciran.  

 

f. Lingkungan kehidupan masyarakat PP Gontor 

 

f.1. Lingkungan kehidupan masyarakat luar pesantren  

Pesantren ini terletak di desa Gontor, Kecamatan Mlarak, Kabupaten Ponorogo, Propinsi Jawa 

Timur. Daerah Madiun pada umumnya dan daerah Kabupaten Ponorogo pada khususnya bukan 

daerah  konsentrasi  pesantren  sebagaimana  daerah‐daerah  sebelumnya,  PP  Guluk‐Guluk, 

Sukorejo, Blok Agung, dan Paciran. Bahkan sebaliknya dalam sejarah  Indonesia, daerah Madiun 

dan Ponorogo pernah menjadi daerah basis PKI (Partai Komunis  Indonesia). Pemberontakan PKI 

Madiun  tahun 1946  sempat menyerbu dan membuat  kacau balaunya PP Gontor. Konon nama 

"desa Gontor" berasal dari  kata panggonan  kotor,  artinya  tempat  yang  kotor, dalam  arti  tidak 

bermoral. Sampai sekarang di daerah Ponorogo dan sekitarnya, sampai ke pelosok‐pelosok desa, 

terkenal kesenian reog16 dengan warok sebagai pemimpinnya, dan gemblak sebagai "istri" warok. 

Warok  adalah  seorang  jagoan  yang  memiliki  kesaktian  kanuragan  atau  ilmu  kebal  badan, 

tergolong  kekuatan  black magic. Memperistri  anak  laki‐laki  tersebut,  berarti  terjadi  hubungan 

homoseksual antara warok dan gemblak‐nya.  

Dalam  kepercayaan  dunia  hitam warok,  jika  seseorang  ingin memiliki  kesaktian  tubuh 

(kebal), maka orang  tersebut harus pantang wanita. Oleh  karena  itu untuk menyalurkan nafsu 

seksualnya, warok memelihara gemblak sebagai istrinya. Homoseksual sebenarnya sudah dikenal 

lama di masyarakat Jawa, setidak‐tidaknya menurut serat Centini hal ini sudah dikenal sejak awal 

abad  ke‐18, dan  sampai  saat  ini  tradisi  gemblak  ternyata masih dapat ditemui di desa‐desa di 

dalam  Kabupaten  Ponorogo,  antara  lain  di  desa  BalKan,  17  km  sebelah  Tenggara  kota 

Ponorogo17, dan sekitar 10 km dari de

 

16  Reog  adalah  kesenian  tradisional  dari  daerah  Ponorogo.  Pemain  utamanya memakai  topeng  besar 

menyerupai kepala harimau yang dihiasi bulu‐bulu ekor burung merak berwarna‐warni dan indah. Pemain utama 

tersebut menari‐nari dengan berselubungkan topeng harimau tersebut, dan diatasnya duduk duduk seorang anak 

laki‐laki remaja menjelang dewasa berusia 6‐17 tahun bertampang bagus. Anak inilah yang disebut gemblak yang 

menjadi istri warok, yaitu pemain utama tersebut. 

17 Hasil penelitian dr. Ismet Yusuf, dalam Tempo, No. 32, tahun XVII, 10‐10‐1987, hlm.30. 

Page 70: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

70 

 

Kesenian  reog  lengkap  dengan  gemblak‐nya  biasanya  disertai  dengan  kebiasaan‐

kebiasaan jelek lainnya, seperti perjudian, minum‐minuman atau mabuk‐mabukan, dan perilaku‐

perilaku tidak terpuji lainnya.  

Tetapi  kini  keadaan  telah berubah, PP Gontor  telah hadir di  tengah‐tengah masyarakat 

dengan  kuat,  banyak  perguruan‐perguruan  agama  yang  didirikan  oleh  alumni  pesantren  dan 

bahkan beberapa pesantren  juga telah didirikan oleh mereka. Meskipun demikian, dalam radius 

sekitar  10  km,  PP  Gontor  masih  menghadapi  budaya  komunis,  yaitu  sisa‐sisa  pengaruh  PKI 

Madiun dan budaya perdukunan, yaitu sisi negatif dari budaya reog tersebut.  

Pondok Pesantren Gontor mempunyai program pembinaan masyarakat lingkar pesantren 

beradius 5  km, meliputi  kegiatan‐kegiatan:  (1) Pembentukan pesantren‐pesantren  cabang oleh 

para  alumni  untuk  menampung  santri‐santri  yang  tidak  dapat  ditampung  oleh  PP  Gontor. 

Pesantren‐pesantren  itu antara  lain: (a) PP Ngabar, khusus untuk pesantren putri. Jumlah santri 

yang diasuh saat ini ada 200 orang, (b) PP Arrisalah, khusus untuk pesantren putra. Jumlah santri 

yang diasuh saat ini ada 200 orang. Kedua pesantren tersebut ada di Kecamatan Slahun, tetangga 

Kecamatan Mlarak di mana desa Gontor  terletak di dalamnya.  (2) Sekolah‐sekolah agama, baik 

yang  bernaung  di  bawah  organisasi  NU  maupun  Muhammadiyah.  Suatu  hal  yang  menarik 

perhatian  ialah:  terdapat  guru‐guru  Muhammadiyah  mengajar  di  sekolah‐sekolah  NU  dan 

sebaliknya, mereka merasa dapat bertemu karena mereka adalah satu alumni dari PP Gontor. 

Selain pembinaan masyarakat melalui pembentukan pesantren dan sekolah‐sekolah,juga 

dilakukan pembinaan melalui bidang perekonomian:  (a) PP Gontor menjadi konsultan Koperasi 

Unit Desa (KUD) dan pembeli terbesar beras KUD; setiap bulan pesantren membutuhkan sekitar 

1.000  ton  gabah.  (b)  Pesantren  sendiri  juga  mengusahakan  penggilingan  padi  bekerja  sama 

dengan  KUD  setempat.  (c)  Pesantren menyediakan  tanah  sawahnya  sekitar  15  ha,  disediakan 

kepada buruh  tani yang  ingin mengolahnya. Di kalangan masyarakat  lingkar pesantren  tersebar 

paham  bahwa  jika mengerjakan  sawah  pesantren  terkandung  berkah, misalnya  padinya  tidak 

terserang hama wereng, dan sebagainya. Secara keseluruhan PP Gontor memiliki tanah pertanian 

seluas 250 ha yang dapat dijadikan sumber dukungan biaya. Selain itu, pesantren ini juga memiliki 

usaha percetakan dan  restoran  yang  juga dijadikan  sumber dana.  (d)  Pesantren  juga memberi 

kesempatan  kepada  penduduk  setempat  untuk membuka  berbagai  usaha melayani  kebutuhan 

santri,  misalnya:  menjadi  binatu  (tukang  cuci),  tukang  cukur,  dan  sebagainya.  Mereka  juga 

diberikan kesempatan untuk menitipkan makanan kecil atau kue‐kue di kantin pesantren. Setiap 

bulan  omzet  penjualan meliputi  sekitar  Rp  90  juta. Mata  pencaharian masyarakat  sekitarnya 

sebagian besar pertanian  (70%), sebagian kecil  (5%) pegawai negeri, ABRI, dan sebagainya, dan 

sebagian  besar  kedua  (25%)  adalah  tidak menentu:  buruh  tani,  jual  tenaga,  berdagang  kecil‐

kecilan seperti jual rokok, makanan, dan sebagainya termasuk pengangguran.  

Usaha‐usaha  pembinaan  masyarakat  lingkar  pesantren  seperti  tersebut,  akhirnya 

menciptakan  hubungan  baik  antara  pesantren  dan masyarakat  sekitarnya.  Saat  ini  PP  Gontor 

Page 71: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

71 

 

tidak  hanya  menjadi  kebanggaan  masyarakat  sekitar,  tetapi  juga  merupakan  salah  satu  aset 

nasional di bidang pendidikan.  

 

f.2. Lingkungan kehidupan masyarakat dalam pesantren  

Suasana  kehidupan  dalam  PP  Gontor  antara  lain  dapat  digambarkan  sebagai  berikut:  luas 

kampus pesantren  sekitar  8,5 ha, di  atasnya  terletak  sejumlah bangunan  antara  lain:  3  rumah 

para  pengasuh  (trimurti),  2 mesjid  (mesjid  raya  dan mesjid  lama),  9  asrama,  dengan  jumlah 

sekitar 450 kamar. Jumlah santri 2.599 orang, semuanya laki‐laki, dan jumlah guru 277 orang. Jadi 

rata‐rata setiap kamar dihuni antara 4‐6 orang, ukuran kamar cukup besar 4x6 m sehingga cukup 

memadai dan bersih, semua santri tidur di atas kasur. Terdapat 6 kompleks perumahan guru dan 

dosen,  3  ruang  tamu  (wisma  tamu  cukup  besar,  bersih,  dengan  kamar  mandi  di  dalam),  1 

perpustakaan, 1 kantor,  l balai pertemuan, 1 balai kesehatan, 2  toko koperasi  santri, 2 warung 

santri, 2 ruang makan dan dapur umum, 3  lokal kompleks kamar mandi, 1 kantor santri (OPPM: 

Organisasi Pelajar Pondok Modern), 4 gedung sekolah, masing‐masing berlantai 4 (sebagian lantai 

bawah  ditempati:  asrama,  dan  guru‐guru muda).  Bangunan‐bangunan  lain:  gedung  disel  listrik, 

percetakan, penggilingan padi, dan lain‐lain. Lapangan‐lapangan olah raga: seperti sepak bola, bola 

basket, bola voli, dan badminton.  

Secara keseluruhan keadaan lingkungan fisik: teratur, dan memadai. Para ustaz atau guru-guru yang masih bujangan menempati kamar-kamar sebagaimana santri pada umumnya dan berlokasi di tengah-tengah kamar para santri. Dengan demikian mereka (para guru) dapat bergaul dan membimbing santri setiap saat.

Jenis pendidikan yang diasuh PP Gontor hanya satu, yaitu sekolah KMI (Kuliyatul Mu 'alimin Islamiyah) selama 6 tahun, setingkat Tsanawiyah ditambah Aliyah, dan IPD (Institut Pendidikan Darussalam, hampir sama dengan IKIP).

Cara hidup keseharian santri dan guru PP Gontor dapat dilihat dari jadwal kehidupan mereka, yang sekaligus merupakan pedoman adat sopan santun atau etiket dan tata tertib yang harus mereka taati. Terdapat 3 jadwal kegiatan: (l) Jadwal harian, (2) Jadwal mingguan, (3) Jadwal bulanan/tengah tahunan.

Page 72: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

72 

 

Jadwal hidup keseharian santri dalam 24 jam PP Gontor

No. J a m Kegiatan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10

04.00

05.30-06.30

06.30-06.45

07.00-12.30

12.30

12.30-14.00

14.00-15.00

15.30-17.15

17.15-17.45

17.45-18.30

Bangun pagi, mandi, salat subuh, membaca Alquran, mengulangi pelajaran, makan pagi, siap masuk sekolah

Senam pagi atau berolah raga, bagi mereka yang menginginkan

Makan pagi, diteruskan menuju ke sekolah

Bersekolah

Salah Zuhur, dilanjutkan dengan makan siang

Istirahat siang diisi dengan membaca bacaan ringan, surat kabar, dan sebagainya. Mereka dilarang tidur siang

Belajar lanjutan di sekolah, atau mengikuti kursus-kursus atau pelajaran tambahan: dan dilanjutkan dengan salat Asar

Kesempatan bagi mereka berolah raga sore hari, atau mandi, jalan-jalan sore, membaca bacaan ringan, dan kegiatan santri lainnya

Semua santri sudah harus siap di mesjid untuk melakukan salat magrib berjamaah

Melakukan salat magrib, dilanjutkan membaca Alquran selama sekitar 30 menit, dan dilanjutkan dengan makan malam bersama.

Page 73: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

73 

 

11. 

12. 

 

13. 

18.30‐19.00 

19.10‐22.00 

 

22.00‐04.00 

 

Siap‐siap menuju mesjid untuk salat Isya berjemaah Belajar 

malam:  mengulang  pelajaran  yang  baru  diperoleh 

danmenyiapkan pelajaran esok harinya  

 

Istirahat  atau  tidur  malam.  Jumlah  tidur  santri  sehari 

semalamtidak boleh kurang dari 6  jam dan tidak boleh  lebih dari 

8 jam 

 

Setiap salat lima waktu berjemaah di mesjid selalu diawali dan diakhiri dengan salat sunat, 

menurut  hukumnya,  karena  tidak  semua  salat  wajib  selalu  diawali  dan  diakhiri  dengan  salat 

sunat, membaca Alquran, puji‐pujian  kepada Tuhan  atau membaca  Selawat Nabi; dan diimami 

oleh santri sendiri. Demikian pula halnya dengan salat Jumat, semuanya dilaksanakan oleh santri 

(imam dan khatib oleh  santri). Khotbah‐khotbah salat  Jumat diberikan dalam bahasa Arab atau 

bahasa  Inggris.  Di  dalam  salat  Jumat  itu  diberikan  pengumuman‐pengumuman  baik  yang 

mengenai  organisasi  santri,  maupun  mengenai  berita‐berita  duka  dan  gembira  tentang  para 

alumni  pesantren  di  mana  pun  mereka  berada  atau  tentang  keluarga  santri  yang  berada  di 

kampung halamannya, yang perlu diberitakan. Semua pengumumanpengumuman juga diberikan 

dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris.  

Dengan  demikian,  maka  kekompakan  keluarga  santri  dapat  dijaga  dan  berita‐berita 

mereka terus dapat dimonitor.  

 

Jadwal Mingguan 

 

Selain jadwal harian, mereka juga mempunyai jadwal mingguan:  

1. Setiap Selasa dan Jumat pagi, dari jam 05.30‐06.00 lari pagi. 2. Minggu malam dari jam 19.20‐21.00 Muhadarah bahasa Inggris. 3. Kamis siang 11.00‐12.30 Muhadarah bahasa Arab.  4. Kamis malam 19.20‐21.00 Muhadarah bahasa Indonesia. 5. Kamis sore pramuka.   

Ciri khas dari Pesantren Gontor ialah disiplinnya yang tinggi dan sehari‐harinya menggunakan 

bahasa  Arab  atau  Inggris.  Bahkan  dalam memberikan  komentar  pada  siaran  sepak  bola  juga 

dilakukan dalam bahasa Arab atau bahasa  Inggris. Untuk menghafal kata‐kata bahasa Arab atau 

Page 74: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

74 

 

Inggris, di pohon‐pohon atau di  tempat‐tempat  tertentu ditempel daftar  kata‐kata atau  idiom‐

idiom  yang  perlu  dikuasai  oleh mereka.  Pemakaian  bahasa  Arab  dan  Inggris  sehari‐hari  selalu 

diawasi dan dibimbing oleh santri‐santri senior dan para ustaz. Untuk itu, para ustaz semaksimal 

mungkin harus selalu bersama mereka.  

Santri PP Gontor tidak memasak sendiri, mereka makan bersama dalam suatu ruang makan 

umum  yang  sudah  disiapkan  oleh  pesantren.  Mengenai  mencuci  pakaian,  sebagian  mencuci 

sendiri, sebagian yang  lain mengirimkan ketukang cuci dan binatu di sekitar pesantren. Mereka 

diwjibkan  berpakaian  rapi  dan  dianjurkan membeli  jas  dan  dasi,  sehingga  sebagian  besar  dari 

mereka  terutama pada waktu salat berjemaah dan salat  jum’at hampir semuanya memakai  jas. 

Dalam hidup keseharian terdapat 4 ragam berpakaian menurut kegunaannya: 

(a)  Pada waktu ke sekolah (celana, hem, sepatu).  

(b) Pada waktu salat (sarung, ikat pinggang, kemeja, jas dan kopiah). Mereka tidak dipaksakan 

membeli jas, tetapi jika ingin menambah pakaian, baju dan jas harus didahulukan.  

(e) Pada waktu olah raga atau senam ( pakaian olah raga).  

(d) Pada waktu istirahat (pakaian santai dengan tetap menjaga kesopanan).  

 

Jadwal bulanan/tengah tahunan  

Sewaktu‐waktu  diadakan  kebersihan  umum  untuk  memperbarui  semangat.  Tiap‐tiap 

setengah  tahun  diadakan  perpindahan  umum  dari  satu  pondok  ke  pondok  yang  lain  (tukar 

asrama). Selain untuk memperbarui semangat,juga dimaksudkan agar semua merasakannya.  

Melengkapi etiket pergaulan tersebut, santri dilarang berhubungan terlalu akrab dengan 

orang kampung atau desa sekitarnya, maksudnya untuk menyaring pengaruh buruk yang datang 

dari  orang  kampung.  Untuk  berhubungan  dengan  orang‐orang  desa,  sudah  ada  santri  khusus 

yang  ditugaskan  untuk  berdakwah  ke  kampung‐kampung;  santri  tidak  boleh  melakukan 

(berhubungan dengan orang kampung) sendiri‐sendiri.  

Semua santri bergabung dalam 0PPM, yaitu Organisasi Pelajar Pondok Modern. Organisasi 

ini merupakan  kelompok  terbesar  dalam  tubuh  organisasi  PP Gontor  secara  keseluruhan,  dan 

organisasi  ini  mengambil  bagian  terbesar  dari  seluruh  kegiatan  operasional  belajar‐mengajar 

dalam  pesantren,  sejak  dan mengorganisasi masalah  pengajaran,  penerangan,  kesenian,  olah 

raga,  perpustakaan,  penerimaan  tamu,  keamanan,  koperasi,  kesehatan,  rayonisasi  (organisasi 

santri menurut kelompok asrama), konsulat (organisasi menurut asal), dan mcngatur kepulangan 

santri  ke  rumah masing‐masing pada  saat  libur panjang;  sedang mengenai  alumni diurusi oleh 

badan tcrsendiri, yaitu IKPM (Ikatan Keluarga Pondok Modern).  

Page 75: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

75 

 

Sementara itu, ada 3 hal pelanggaran dan sanksi yang amat kuat ditekankan dalam disiplin 

kehidupan  santri  sehari‐hari,  yaitu  (1)  Pencurian,(2)  Wanita  (mengadakan  hubungan  dengan 

wanita yang bukan muhrimnya), dan  (3) Menghina anak yang  taat dan rutin; seperti mengolok‐

olok dan sebagainya; termasuk berkelahi. Ketiga hal ini merupakan pelanggaran berat yang dapat 

diancam dengan hukuman dikeluarkannya santri dari pesantren.  

Selain etiket pergaulan santri seperti  tersebut di atas, di PP Gontor  juga  terdapat etiket 

guru, yailu tata tertib mengajar yang harus dipenuhi oleh guru:  

1. Sebelum mengajar guru harus dapat membuat persiapan  lahir dan batin. Persiapan  lahir megenai  materi  pelajaran  yang  harus  dibuat  dengan  tertulis,  sedang  persiapan  batin mengenai  kesiapan  hati  dan  niat  bahwa mengajar  karena Allah  semata  dan  karena  itu harus dimulai dengan memanjatkan doa kepada‐Nya.  

2. Guru  tidak  hanya  mengajar  dalam  arti  kata  menyampaikan  ilmu  semata,  tetapi  ia berkewajiban mendorong berkembangnya iman, girah diniyah dan amal saleh.  

3. Guru harus berdisiplin dengan waktu  (jangan terlambat, dan sebagainya) dan berdisiplin mengajar  (mengajar  secara  efektif  dan  efisien,  serta  selalu  siap mengisi  jam  pelajaran kosong).  

4. Guru  harus  disiplin  dalam  bahasa  (selalu menggunakan  bahasa  Arab  atau  Inggris)  dan disiplin dalam pakaian, rambut (berpakaian sopan dan tidak gondrong).  

5. Guru harus disiplin dalam salat berjemaah.  6. Guru  harus  disiplin  dalam  peningkatan  diri  (meningkatkan  ilmu,  bahasa,  metode 

mengajar, mengunjungi perpustakaan, dan sebagainya).  Etiket  tersebut  sesuai dengan pendidikan mereka,  yaitu Kuliyatul Mualimin  Islamiyah,  yang 

artinya sekolah guru.  

Dari  uraian mengenai  kegiatan  hidup  keseharian  santri  dan  guru  seperti  tersebut  di  atas, 

tampak  adanya  proses  kegiatan  belajar‐mengajar  secara  self  government  dengan  seperangkat 

rambu‐rambu  disiplin  yang  tinggi  dan  ketat. Dari  jadwal  kegiatan  belajar‐mengajar  tersebut  di 

atas  juga  tampak  bahwa  kegiatan  pengajian  Kitab  Kuning  di  PP  Gontor,  kalah  kuat  dengan 

pengajian Kitab‐kitab Kuning di PP Sukorejo, Blok Agung, Guluk‐Guluk, dan Tebu lreng.  

Kesimpulan  yang  patut  dipetik  dari  lingkungan  daerah  kerja  Pondok  Pesantren  Gontor 

tersebut  yang  perlu  dikembangkan  dalam  perspektif  Sistem  Pendidikan  Nasional  antara  lain 

adalah:  

(I) Disiplin yang tinggi dalam proses kegiatan belajar‐mengajar.  

(2) Satunya kehidupan santri dan guru dalam proses belajar‐mengajar.  

(3)  Usaha  dari  pesantren  untuk  memberikan  kesempatan  dan  fasilitas  kepada  guru  dan 

keluarga  guru,  sehingga mereka  dapat melaksanakan  tugasnya  sebagai  bagian  ibadah  kepada 

Tuhan, dan bukan karena uang atau pamrih materi.  

Page 76: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

76 

 

(4) Usaha pesantren untuk mengintegrasikan diri dengan masyarakat  lingkungannya melalui 

program pembinaan masyarakat sekitar.  

Dari  gambaran  lingkungan  kehidupan  keenam  pesantren  tersebut  dapat  dirangkum  ke 

dalam  suatu  perumusan  singkat  bahwa:  pada  dasarnya  filsafat  pendidikan  pesantren  adalah 

theocentric yang cenderung lebih menekankan pentingnya orientasi kehidupan ukhrawi daripada 

duniawi.  Selama  24  jam,  dari  tahun  ke  tahun  anak  didik  di‐exposed  secara  intensif  untuk 

mendalami ajaran agama lengkap dengan pengamalannya. Mereka selalu berbuat dalam rambu‐

rambu hukum agama yang membedakan yang halal dan yang haram, menjalankan perintah‐Nya 

serta menjauhi  larangan‐Nya. Hormat  kepada  kiai dan Ustaz,  serta  saling menolong dan  saling 

menyayangi dengan  sesama  santri dalam  tata pergaulan pesantren yang dipandangnya  sebagai 

kewajiban moral. Berkah kiai dipandang sebagai kunci sukses elalam belajar, dan dalam kehidupan 

bermasyarakat. Kiai dan  juga ustaz adalah orang‐orang saleh yang alim yang  jauh dari ketidak  jujuran 

dan  keliru.  Kitab‐kitab  agama  yang  diajarkan  oleh mereka  diterima  sebagai  suatu  kebenaran.  (lihat 

jadwal kegiatan hidup santri di masing‐masing pesantern pada halaman 90‐126, dan gamabaran hidup di 

asrama pada halaman 153) 

Semuanya  itu  membentuk  pribadi  muslim  yang  cenderung  berperilaku  sakral  dalam  hidup 

keseharian. Namun, di balik itu semua, tampak adanya gejala kehidupan yang semakin mendunia untuk 

mengimbangi kehidupan ukhrawi  

 

2.5. Kiai dan Ustaz 

Yang dimaksud dengan  kiai dalam  laporan  ini  adalah  kiai pengasuh pesantren  yang menjaga nilai 

agama  sebagaimana  dibhaas  dalam  unsur‐unsur  sebelumnya.  Sedang  yang  dikamsud  dengan  ustaz 

adalah santri kiai yang dipercayai untuk mengajar agama kepada para santri dan disupervisi oleh kiai. 

Seperti diuraikan pada pembahasan‐pembahasan di muka, banyak pandangan dan  tantangan 

kehidupan  yang  berbeda‐beda  yang  dihadapi  oleh  kiai  dan  ustaz,  dan  inilah  salah  satu  faktor  yang 

menentukan keragaman pesantren.  

 

a. PP Guluk‐Guluk  

Seperti dikatakan di muka bahwa kiai atau ulama  yang memimpin kelompok pengasuh PP Guluk‐

Guluk  adalah  K.H.  Amir  Ilyas.  Keadaan  dia  pada  saat  ini  sudah  uzur  dan menderita  sakit mata  yang 

mengancam  kebutaan  total. Menurutnya,  penyakitnya  sudah  ditangani  oleh  dokter  ahli,  dan  dokter 

mengatakan bahwa penyembuhannya memakan waktu  lama. Tetapi pada waktu  itu  (1986‐an)  ia  ingin 

pergi  haji,  dan  untuk  itu  ia  menghentikan  sementara  pengobatannya  dari  dokter  ahli  tersebut. 

Sementara  itu  ia  pindah  ke  tabib  mata  yang  menyanggupi  penyembuhannya  dan  tidak  perlu 

membatalkan niatnya untuk pergi haji. Sepulang dari haji  ternyata penyakitnya bertambah berat, dan 

Page 77: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

77 

 

untuk  itu  ia  kembali  ke dokter  ahli  semula. Dokter  tetap berusaha menyembuhkan matanya dengan 

memberikan  obat‐obatan  dengan  dosis  tinggi.  Keadaan matanya pada waktu penelitian  ini dilakukan 

ternyata bertambah buruk dan praktis menjadi buta. Tampaknya  ia menerima perjalanan nasib seperti 

itu dengan baik. bagi Kiai Amir, pergi haji adalah amat penting dan mengalahkan semua acara kehidupan 

yang penting sekalipun. Pandangan hidup yang demikian ini tampak diterima dan didukung oleh anggota 

pengasuh yang  lain. Kepergian ke Mekah adalah "segalanya" selama masih mungkin dilaksanakan, dan 

tampaknya pendapat  ini  juga menjadi  idaman bagi masyarakat muslim Madura. Nasib seseorang telah 

tertulis dan berjalan menurut ketentuan‐Nya.  

Dalam  keadaan  seperti  itu maka  pendapat‐pendapat  yang  berkapasitas mewakili  pandangan 

atau pendapat pesantren Guluk‐Guluk diwakili oleh K.H. Ashiem  llyas, salah seorang yang paling senior 

sesudah K.H. Amir Ilyas.  

Menurut pimpinan PP Guluk‐Guluk, manusia pada dasarnya mencintai yang ma’ruf  (kebaikan) 

dan membenci  yang munkar  (kejahatan),  tetapi  dalam  praktiknya manusia  senang melakukan  yang 

munkar  daripada  yang ma’ruf.  Hal  Ini  disebabkan manusia mempunyai  kecenderungan mencitai 

dunia. Oleh karena itu, untuk memperbaiki sikakp dan perilakunya, anak didik (santri) tidak perlu 

lagi  didorong‐dorong  untuk  mencintai  dunia,  karena  merka  tidak  akan  melupakan  dunia. 

Sebaliknya, merek  perlu  didorong  dengan  sekuat  tenaga  untuk mencintai  kehidupan  ukhrawi, 

karena  kehidupan ukhrawi adalah  kehidupan  yang  kekal dan  sesungguhnya,  sedang  kehidupan 

duniawi adalah kehidupan sementara dan bukan kehidupan sesungguhnya. Selain  itu, mendidik 

mereka untuk mencintai kehidupan ukhrawi adalah  lebih sulit daripada mendidik mereka untuk 

mencintai kehidupan duniawi, karena kehidupan ukhrawi itu sifatnya abstrak dan tidak langsung 

berhubungan dengan kebutuhan dan kesenangan hidup sehari‐hari. Oleh karena  itu metodologi 

pendidikan dan pengajaran di pesantren  tidak  cukup hanya dengan penalaran  saja,  tetapi  juga 

memerlukan metode doktrin, hafalan, keteladanan, dan kepemimpinan yang karismatik sebagai 

sumber wibawa. Bagi PP Guluk‐Guluk, dalam hidup ini yang ada hanya kewajiban, bukan hak. Hak 

adalah  akibat  yang  diperoleh  karena melaksanakan  kewajiban.  Sehubungan  dengan  itu, maka 

dalam hal kewajiban orang harus mendahulukan  tugasnya sebelum orang  lain, tetapi dalam hal 

hak orang harus mendahulukan kepentingan orang lain sebelum kepentingan diri sendiri. 

Dari uraian  tersebut  tampak adanya orientasi hidup yang kuat pada kehidupan ukhrawi 

melebihi duniawi. Sementara  itu, seperti berulang kali disebutkan di muka, nilai yang mendasari 

kerja  sama  di  kalangan  mereka  adalah:  ikhlas  dan  ibadah.  Tetapi  dengan  semakin  majunya 

pembangunan, kemajuan  ilmu dan teknologi, dan  interaksi yang semakin  intensif dengan sistem 

lain  di  luar  pesantren, maka  para  pengasuh menghadapi  tantangan‐tantangan  yang  serius  di 

dalam menyelenggarakan kerja kependidikan.  

Setidak‐tidaknya,  kiai menghadapi 3  (tiga)  krisis besar,  yaitu:  (l)  kiai bukan  lagi menjadi 

satu‐satunya  sumber mencari  ilmu, dan moral. Namun, dalam hal moral  tampaknya  kiai masih 

tetap  menjadi  benteng  pertahanan  pesantren  yang  sangat  kukuh,  sebagaimana  dilukiskan  di 

muka,  betapa  hormatnya  santri  dan  masyarakat  Madura  terhadap  kiai.  (2)  Kiai  menghadapi 

Page 78: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

78 

 

kebutuhan  ekonomi  yang  semakin  besar.  Ia  dalam  keadaan  berjuang  antara  berkorban  dan 

bekerja  untuk  pendidikan,  atau menjadi  korban  kebutuhan  ekonomi  rumah  tangganya.  Tetapi 

tampaknya  para  kiai memiliki  lapangan  usaha  yang  baik  di bidang  pertanian  dan perdagangan 

tembakau, dan perdagangan‐perdagangan lain. Beberapa di antaranya berusaha di bidang politik 

(menjadi anggota DPRD Kabupaten  Sumenep), menjadi dai, dan  sebagainya,  sehingga  rata‐rata 

kehidupan mereka  tampak berkecukupan. Melihat usaha‐usaha mereka di bidang  keduniawian 

tersebut  tampaknya  hal  ini  bertentangan  dengan  orientasi  mereka  yang  kuat  pada  ukhrawi 

sebagaimana disebutkan di muka, tetapi sebenarnya tidak demikian, mereka memandang semua 

kerja  duniawi  tersebut  dalam  struktur  relevansinya  dengan  orientasi  ukhrawi.  Tetapi 

bagaimanapun, seperti dikatakan di muka, sistem pendidikan dengan uang sudah memasuki PP 

Guluk‐Guluk. Saat ini biaya rata‐rata belajar di PP Guluk‐Guluk: Rp. 11.000 per bulan.  

Analog dengan gambaran kiai tersebut, gambaran mengenai ustaznya juga mengikuti jejak 

gambaran kiai. Ustaz  sepenuhnya percaya dan  tunduk pada kiai. Sampai  saat  ini masih banyak 

ustaz yang bekerja  tanpa menerima honor, mereka hidup mengikuti gerak kehidupan bersama‐

sama:  jika  ada  rezeki  dimakan  bersama,  dan  beberapa  di  antaranya masih menerima  kiriman 

uang dari orangtuanya. Ada semacam anggapan yang menyatakan bahwa membantu orang yang 

sedang belajar dan mengajar merupakan amal jariah. Oleh karena itu mengirim uang kepada anak 

yang belajar dan mengajar agama di pesantren, berarti beramal jariah. 

Tetapi seperti halnya dengan kiai, para ustaz  juga mengalami krisis yang menguji keikhlasan 

mereka sebagai pengajar di pesantren. Tantangan mereka berkisar pada 3 hal pula, yaitu antara 

(1) mengabdi, (2) mencari nafkah dan (3) mengembangkan karier dengan cara mencari ilmu yang 

lebih tinggi. Banyak di antara mereka yang melakukan pengajian atau mengajar di luar agar dapat 

melanjutkan  ke  sekolah  tinggi  yang  diselenggarakan  oleh  PP  Guluk‐Guluk.  Pada  awalnya  para 

ustaz bekerja  tanpa honor, pada  saat  ini honorarium  sudah mulai eksis di pesantren meskipun 

kecil. Honor mereka rata‐rata Rp. 30.000 per tahun (diberikan pada waktu tutup tahun ajaran). 

Dari  uraian  tersebut,  tampak  adanya  perubahan  yang  sedang  terjadi,  yaitu  semakin 

meningkatnya  kebutuhan  ilmu  dan  ekonomi,  jelas  akan  membawa  dampak,besar,  dan  oleh 

karena itu pendidikan pesantren perlu ditata kembali.  

 

b. PP Sukorejo 

Seperti  diuraikan  di  muka,  pimpinan  PP  Sukorejo  (K.H.R.  As'ad  Syamsoel  Arifn)  memiliki 

karamah yang paling besar di antara kiai pengasuh kelima pesantren objek penelitian lainnya. Kiai 

menekankan  pentingnya  sikap  berani, mandiri,  teguh  dalam  pendirian, mempunyai  ide murni, 

dan  akhlak  yang  mulia  dalam  hidup  bermasyarakat. Menurut  pimpinan  PP  Sukorejo,  banyak 

orang pandai yang gagal dan tidak dihargai orang dalam hidup bersama ini, karena mereka tidak 

memiliki  sikap‐sikap  tersebut,  terutama  karena mereka  tidak memiliki  akhlak  yang mulia;  dan 

akhlak mulia yang dimaksud hanya dapat ditemukan dalam agama (Islam). Oleh karena itu maka 

Page 79: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

79 

 

PP Sukorejo mewajibkan santrinya yang belajar di sekolah umum, merangkap belajar agama pada 

sekolah  diniyah  dan mengikuti  semua  program  ubudiah  yang  diselenggarakan  oleh  pesantren, 

dan  tidak  mewajibkan  yang  sebaliknya,  yaitu  santri  yang  belajar  agama  tidak  diwajibkan 

merangkap  belajar  ilmu  pengetahuan  umum  di  sekolah  umum.  Hal  ini  disebabkan  hakikat 

pesantren menurut PP Sukerejo adalah untuk belajar agama. 

Dari  uraian  tersebut  jelas  tampak  adanya  kesamaan  orientasi  dalam  memandang 

kehidupan  dengan  pengasuh  PP  Guluk‐Guluk  tersebut;  hanya  di  sini  lebih  ditekankan  pada 

pentingnya moral sebagai kunci sukses dalam kehidupan. 

Seperti  kiai  PP  Guluk‐Guluk,  ia  menghadapi  tantangan  yang  sama.  Dalam  dunia  yang 

semakin modern semakin banyak dibutuhkan kepemimpinan rasional, dan profesional di samping 

moral.  

Mengenai  kedudukan  ustaz  di  hadapan  kiai  tidak  berbeda  dengan  sikap  hormat  ustaz‐

ustaz PP Guluk‐Guluk di hadapan kiainya. Namun di sini agak berbeda dengan ustaz di PP Guluk‐

Guluk.  Penampilan mereka  tampak  lebih  formal  dan  profesional  sebagai  guru  sekolah  umum, 

karena  di  PP  Sukorejo  memang  banyak  sekolah‐sekolah  umum.  Rata‐rata  mereka  menerima 

honor Rp. 400.000 per tahun. Mengenai tantangan dan kebutuhan mereka pada umumnya sama 

dengan  apa  yang  dihadapi  oleh  rekan‐rekan  mereka  di  PP  Guluk‐Guluk,  yaitu  di  seputar: 

pengabdian, ekonomi, dan studi lebih tinggi. 

 

 

c. PP Blok Agung  

Pimpinan PP BJok Agung: K.H. Muchtar Syafaat memiliki tingkat karisma kedua sesudah K.H.R. 

As'ad  Syamsoel  Arifin.  Kiai  memandang  dunia  kehidupan  manusia  ini  sebagai  panggung 

pertunjukan  di  mana  manusia  sebagai  wayang  yang  semuanya  tergantung  pada  dalangnya 

(Tuhan). Masing‐masing  individu  telah ditentukan  tempat dan peran atau kegunaannya sendiri‐

sendiri dalam  tata  kehidupan, dan  tata  kehidupan  ini merupakan  suatu  sistem  yang  sempurna 

yang telah diciptakan oleh Tuhan. Masing‐masing anak dilahirkan dengan bakatnya sendiri‐sendiri 

yang  akan  berkembang  menjadi  keahlian  atau  keterampilan  masing‐masing.  Masing‐masing 

keahlian itu sifatnya saling membutuhkan satu dari yang lain, dan mereka pasti akan bertemu dan 

saling melengkapi satu sama  lain. Misalnya: "orang pandai" dan "orang bodoh". Kedua orang  ini 

sesungguhnya  saling membutuhkan  satu  sarna  lain. "Orang bodoh" memerlukan orang pandai" 

untuk belajar daripadanya, dan "orang pandai" memerlukan "orang bodoh" untuk mengajarkan 

ilmunya, agar ia sendiri menjadi lebih pandai lagi. "Ilmu" itu sebagai api yang akan menyala. Oleh 

karena itu ia membutuhkan rerumputan kering yang mudah terbakar, bukan air. "Orang pandai" 

harus  mendatangi  "orang  bodoh",  jangan  mengharapkan  "orang  bodoh"  mendatangi  "orang 

pandai", karena  ia tidak tahu bagaimana mendatangi "orang pandai", sebaliknya "orang pandai" 

Page 80: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

80 

 

tahu bagaimana cara mendatangi "orang bodoh". Demikian dan seterusnya, setiap sesuatu dalam 

tata kehidupan ini selalu ada pasangannya masing‐masing, mereka saling mencari dan pada suatu 

saat pasti bertemu. Oleh karena itu masing‐masing individu harus menyelesaikan tugasnya.  

Bagi  PP  Blok  Agung,  anak  belajar  di  pesantren  itu  bagaikan  orang  belanja  di  pasar; 

terserah orang mau belanja apa saja sesuai dengan uang yang mereka miliki dan selera masakan 

yang akan mereka buat. Dalam pesantren anak akan belajar sesuai dengan kecenderungan dan 

kemampuannya.  Kiai  dan  ustaz  hanya membantu  dan melayaninya. Meskipun  demikian,  ada 

syarat‐syarat minimal yang harus dipenuhi, yaitu anak harus memiliki landasan moral agama yang 

kukuh  sebelum  anak mengikuti  arus  kehidupan  selanjutnya.  Untuk  itu,  anak  sedikitnya  harus 

diajarkan beberapa kitab awal keagamaan sebagaimana disebutkan dalam halaman 64 di muka.  

Tantangan yang dihadapi oleh kiai pada dasarnya sama dengan tantangan yang dihadapi 

kiai‐kiai  terdahulu. Dalam  kehidupan modern orang  semakin memerlukan pemikiran‐pemikiran 

positif  di  samping  kepuasan  tasawuf.  Dapat  dipastikan,  bahwa  kebutuhan  tasawuf  dalam 

kehidupan modern  tidak  akan hilang,  tetapi  kehidupan dalam masyarakat modern  tidak  cukup 

hanya  dengan  tasawuf  saja.  Laporan  mengenai  keadaan  ustaz,  pada  dasarnya  sama  dengan 

keadaan ustaz terdahulu, dalam arti mereka tetap tunduk dan hormat pada kiainya. Namun ada 

perbedaan yang perlu dicatat, ialah predikat utaz untuk guru yang mengajar agama dengan kitab, 

yaitu buku‐buku agama berbahasa Arab atau bertulisan Arab, dan predikat "guru" untuk mereka 

yang  mengajar  sekolah  umum,  dengan  menggunakan  "buku"  yang  ditulis  dengan  bahasa 

Indonesia (huruf Latin). Jadi sekalipun orangnya sama, ia mungkin mendapatkan gelar ustaz atau 

guru,  tergantung  pada  saat  itu  ia mengajar  ilmu  apa  dan menggunakan  kitab  atau  buku  yang 

ditulis  dengan  bahasa  Arab  atau  bahasa  Indonesia.  Pada  umumnya  “ustaz” memakia  sarung, 

sedang “guru” memakai celana panjang, mengenai  tantangan yang dihadapi mereka  juga  sama 

dengan  tantangan yang dihadapi ustaz‐ustaz di pesantren  lain, yaitu antara mengabdi, mencari 

nafkah  dan  mencari  ilmu.  Honor  mereka  rata‐rata  Rp.  48.000  per  tahun  untuk  ustaz  yang 

mengajar diniyah  (agama) yaitu pendidikan non  formal‐pesantren, dan Rp. 120.000 untuk guru 

yang mengajar di sekolah umum. 

 

d. PP Tebu Ireng  

Seperti  disebutkan  di  muka,  dewan  kiai  yang  mendampingi  pimpinan  pesantren  saat  ini 

adalah para alumni Pesantren Tebu Ireng, sehubungan dengan itu pandangan dasar pengasuh PP 

Tebu  Ireng mengenai  hal‐hal  yang  bersifat  filosofis,  berpedoman  pada  ajaran  atau  pandangan 

para pendahulunya, yaitu bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk beragama, oleh karena 

itu,  mereka  selalu,  mendambakan  petunjuk  agama  dalam  kehidupannya.  Mengenai  akal, 

pengasuh  PP  Tebu  Ireng  menyatakan  bahwa  akal  berperan  besar  sekali  dalam  memajukan 

kehidupan manusia. Oleh karena itu ia harus selalu dilatih agar kemampuannya terus meningkat 

Page 81: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

81 

 

untuk  memecahkan  berbagai  masalah  kehidupan,  yang  semakin  hari  semakin  besar  dan 

kompleks.  

Meskipun  demikian,  kemampuan  akal  itu  terbatas,  dan manakala  akal menemui  jalan 

buntu  dan  kebingungan  sehingga  tidak mampu memecahkan masalah  yang  sedang  dihadapi, 

manusia  menjadi  frustrasi  dan  "gelap".  Dalam  keadaan  seperti  itu  manusia  memerlukan 

pertolongan  agama  untuk  memperoleh  petunjuk  dari  Tuhan.  Agama  dapat  memberikan 

konfirmasi,  informasi,  kepastian,  dan  harapan,  sehingga  hati manusia menjadi  bersih  kembali, 

dan akal pun akan dapat bekerja kembali. Demikian seterusnya, dengan pertolongan agama akal 

selalu mampu bekerja kembali.  

Dengan demikian, PP. Tebu  Ireng telah meletakkan dasar teknologi pendidikannya, yaitu 

pendidikan agama sebagai dasar dan petunjuk bagi pendidikan akal. 

Gambaran mengenai ustaz di PP Tebu  Ireng: seperti pada pesantren terdahulu, predikat 

"ustaz" untuk mereka yang mengajar agama dan "guru" untuk mereka yang mengajar di sekolah‐

sekolah  umum. Hubungan  ustaz  dengan  kiainya:  baik  sebagaimana  layaknya  hubungan  antara 

santri  dengan  kiainya,  yaitu  penuh  tawaduk.  Sedang  hubungan  antara  guru  dan  pimpinan 

sekolah,  antara  guru  dan  guru,  dan  antara  guru  dan  kepala  sekolah,  tampak  berbeda  dengan 

hubungan antara ustaz dan kiai, atau hubungan antar ustaz. Seperti dilaporkan pada gambaran 

ustaz dari PP Paciran di muka, hubungan  kerja pada  kelompok  guru,  tampak  adanya  sifat‐sifat 

egalitarian,  resmi,  dan  fungsional,  sedang  pada  kelompok  "ustaz"  lebih  bersifat  tidak  resmi, 

hierarkis,  dan  kekeluargaan,  dengan  didasari  sikap  tawaduk.  Selalnjutnya  seperti  berlaku  juga 

pada  ustaz‐ustaz  dari  pesantren‐pesantren  terdahulu,  ustaz  dan  guru‐guru  di  Pesantren  Tebu 

Ireng juga menghadapi tantangan yang sama, yaitu "dialog' antara: pengabdian, mencari nafkah, 

dan  mencari  ilmu.  Dalam  hal  ini  tampaknya  posisi  ustaz  dan  guru  dari  PP  Tebu  Ireng  tidak 

berbeda  jauh  berbeda  dengan  ustaz  atau  guru‐guru  di  PP  Paciran,  di mana  perihal  "mencari 

nafkah" tampak penting. Rata‐rata honor mereka Rp. 480.000 per tahun; di samping mengajar di 

lingkungan  perguruan  dalam  PP  Tebu  Ireng, mereka  juga menjadi  guru  di  tempat‐tempat  lain, 

sedang  ustaz  di  samping  mengajar  agama  di  pesantren,  pada  umumnya  menjadi  mubalig  di 

masyarakat.  

 

e. PP Paciran  

Pandangan  pimpinan  PP  Paciran  mengenai  pendidikan  pada  dasarnya  tidak  jauh  berbeda 

dengan pimpinan pesantren  terdahulu. Pimpinan PP Paciran menekankan pentingnya anak didik 

mencontoh  kepribadian  Rasul  (Nabi  Muhammad)  sebagai  pribadi  yang  sempurna.  Seperti 

pesantren‐pesantren  yang  lain,  Pesantren  Paciran  juga  berpendapat  bahwa  anak  dilahirkan 

dengan fitrahnya masing‐masing. Dengan adanya tenaga‐tenaga guru yang berasal dari alumni PP 

Gontor, maka pandangannya terhadap anak didik dan gaya dalam melaksanakan kegiatan belajar‐

Page 82: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

82 

 

mengajar  banyak  mencontoh  pengalaman  PP  Gontor,  yang  antara  lain  berusaha  menerapkan 

konsep "panca jiwa pondok" PP Gontor.  

Seperti dilaporkan di muka bahwa pesantren ini banyak memiliki corak keperguruan, yang 

dalam hal ini adalah perguruan Muhammadiyah, maka gambaran mengenai ustaznya juga tampak 

berbeda  dengan  penampilan  dari  ustaz‐ustaz  pada  pesantren‐pesantren  terdahulu;  di  sini 

penampilan  ustaz  tidak  jauh  berbeda  dengan  penampilan  guru‐guru  sekolah  umum:  dari  segi 

pakaian  dan  hubungan  antara  mereka  dan  antara  mereka  dengan  pimpinan  pesantren  lebih 

bersifat  egalitarian,  resmi,  dan  fungsional,  tetapi  tampak  "kurang  tawaduk"  jika  dibandingkan 

dengan  hubungan  ustaz  dengan  kiai  pada  pesantren‐pesantren  terdahulu,  terutama  pada 

Pesantren Guluk‐Guluk, Blok Agung, dan  Sukorejo. Rata‐rata gaji atau honorarium  yang mereka 

terima  Rp  480.000  per  tahun;  dan  banyak  di  antara mereka menjadi  guru‐guru  pada  sekolah 

negeri,  mereka  mengajar  di  sekolah‐sekolah  yang  diselenggarakan  pesantren  sebagai  tenaga 

honorer.  

 

f. PP Gontor  

Seperti disebutkan di muka, pengasuh PP Gontor terdiri atas tiga kiai, dalam kesatuan trimurti, 

dan  dengan  sangat  kuatnya  berpedoman  pada  ajaran‐ajaran  atau  pandangan‐pandangan  yang 

telah diletakkan oleh pendahulunya. Pimpinan PP Gontor menekankan pentingnya setiap individu 

melaksanakan  tugasnya  dalam  tata  kehidupan  bersama,  sebagaimana  dikatakan  oleh  PP  Blok 

Agung di atas. Untuk itu PP Gontor memberi petunjuknya kepada segenap warga pesantren yang 

dituangkan  dalam  "panca  jiwa  pondok":  (l)  Ikhlas,  yaitu  mereka  harus  memandang  semua 

perbuatannya  sebagai  ibadah  kepada  Tuhan.  (2)  Sederhana,  yaitu  mereka  harus  memberikan 

penampilan yang  sederhana dan wajar, baik  lahiriah maupun batiniah. Misalnya:  tidak memakai 

pakaian yang berlebih‐lebihan atau berkurang‐kurangan. Tidak boleh memamerkan kekayaan yang 

dapat menimbulkan iri hati dan mengundang kejahatan orang lain, dan sebaliknya juga tidak boleh 

menunjukkan  kemiskinan  yang  dapat  mengundang  belas  kasiahan  orang  lain.  Tidak  boleh 

memakai  gaya  potongan  rambut  gondrong  atau  aneh‐aneh",  dan  sebagainya.  Dalam  hal  sikap 

mental,  mereka  harus  berpikir  dan  berkata  lugas,  positif,  dan  optimistis.  Jadi  pengertian 

“sederhana" di  sini  tidak  identik dengan  kemiskinan dan  kebodohan.  (3) Mandiri,  yaitu minimal 

setiap  individu  harus mampu menolong  dirinya  sendiri,  dan  bahkan  harus  berusaha menolong 

orang  lain yang membutuhkan.  (4) Ukhuwah  Islamiyah, yaitu persaudaraan sesama muslim, baik 

di  dalam maupun  di  luar  pesantren.  (5)  Bebas  berpikir,  yaitu mereka  harus  bebas memikirkan 

masa  depan  dan memilih  jalannya  sendiri,  tetapi  bukan  bebas  berpikir  dalam  arti  tidak  peduli 

terhadap  semua  situasi dan kondisi,  sebaliknya yang dimaksudkan dengan bebas berpikir di  sini 

ialah terikat dalam disiplin yang telah menjadi "sunnah pondok" (tata tertib pondok).  

Melengkapi  filsafat  "pancajiwa pondok"  tersebut, PP Gontor mewajibkan para warganya 

untuk memandang  pesantren  sebagai  tempat  ibadah,  dan mencari  ilmu,  bukan  tempat mencari 

Page 83: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

83 

 

kelas  dan  ijazah  untuk  menjadi  pegawai  negeri.  Menurut  istilah  mereka  pesantren  adalah 

tempat  untuk:  talabul‐'ilmi,  bukan  talabul  Fasli.  Oleh  karena  itu,  maka  orientasi  hasil 

pendidikannya adalah prestasi, bukan gengsi; dan untuk itu PP Gontor tidak memberikan ijazah, 

dan oleh karena itu santrinya tidak ikut ujian negara.  

Gambaran mengenai ustaz dari PP Gontor, dapat dilaporkan sebagai berikut: sehubungan 

dengan  jenis pendidikan yang diselenggarakannya, yaitu Kuliyatul Mualimin  Islamiyah,  semacam 

Pendidikan  Guru  Agama  setingkat  menengah  atas,  6  tahun,  maka  ustaz  atau  guru‐guru  yang 

mengajar di sana adalah murid‐murid yang duduk di kelas V, sekaligus untuk memberikan bekal 

latihan mengajar; murid kelas VI sengaja dibebaskan dari mengajar dan berorganisasi agar dapat 

menyiapkan ujian akhir. Dengan demikian maka hubungan antara guru dan kiai: baik dan tawaduk 

sebagaimana  layaknya hubungan  santri dengan  kiainya. Agak berbeda dengan posisi ustaz  atau 

guru‐guru  dari  pesantren  terdahulu,  ustadz  di  PP  Gontor  tidak  menerima  honorarium  dalam 

bentuk  uang,  tetapi  sebagai  gantinya  mereka  memperoleh  fasilitas‐fasililas  dan  kemudahan‐

kemudahan dalam kehidupan di pesantren.  

Dari pembahasan  terhadap unsur kiai dan ustaz  terhadap keenam pesantren  tersebut, dapat 

diturunkan analisis berikut:  

1. Pada  umumnya  para  kiai  pengasuh  pesantren memiliki  orientasi  kehidupan  yang  sama, yaitu memandang  kehidupan  "nanti"  atau  ukhrawi  lebih  esensial  dan  penting  daripada kehidupan  "sekarang"  atau  duniawi.  Kehidupan  ukhrawi  adalah  kehidupan  final,  sedang kehidupan duniawi adalah kehidupan sementara.  

2. Terdapat perbedaan gradual di antara pengasuh pesantren dalam memandang eksistensi dan  peran manusia  dalam  kehidupan  di  dunia  ini.  Ada  kiai  yang memandang manusia sebagai "wayang yang sepenuhnya tergantung pada dalangnya", artinya nasib setiap orang telah tertulis dalam "kartu nasib" oleh Tuhan, dan manusia tidak perlu merencanakannya, tetapi  menyesuaikan  dan  menjalani  hidup  seperti  wayang  yang  tergantung  dalangnya. Sementara  itu, ada  juga kiai yang memandang bahwa manusia di  samping  sebagai objek kehidupan,  juga  sebagai  subjek  kehidupan;  untuk  itu  manusia  butuh  ilmu  untuk meningkatkan  daya  akalnya,  namun manakala  akalnya menemui  jalan  buntu,  ia  butuh agama  untuk  memperoleh  jalan  keluarnya.  Pada  dasarnya  manusia  adalah  makhluk beragama dan memerlukan agama sebagai pedoman hidup.  

3. Para pengasuh pesantren memusatkan pengarahaan pendidikannya untuk menyongsong kehidupan  “nanti”, melalui  pendalaman  dan  pengamalan  ajaran  agama,  terutama  pada ilmu yang  tergolong  fardu ain dalam kehidupan sehari‐hari: mana yang wajib mana yang bukan  wajib,  mana  yang  halal  mana  yang  haram,  dan  sebagainya. Mereka  cenderung mengarahkan  santrinya  untuk  memiliki  perilaku  yang  zuhud,  yaitu  semua  perbuatan ditempatkan dalam strutktur relevansinya dengan ibadah kepada Tuhan. 

4. Namun, sehubungan dengan kebutuahn pembangunan dan kemajuan  ilmu dan teknologi, baik kiai maupun ustaz menghadapi tantangan yang   serius yang dapat mengancam atau menggetarkan  kedudukan  tiga  kata  kunci  yang  menjadi  landasan  dan  sekaligus  ciri kependidikan pesantren yaitu: berkah, ikhlas, dan ibadah. 

 

Page 84: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

84 

 

Krisis  yang dihadapi oleh kiai 

Pertama:  Krisis  kedudukan  sebagai  sumber  tunggal  mencari  ilmu  dan  moral.  Seperti 

disebutkan  dalam  halaman  66,  kedudukan  kiai  bukan  lagi  merupkan  sumber  tunggal  untuk 

memperoleh ilmu, dan juga bukan sumber tunggal untuk belajar moral. Seiring dengan kemajuan 

zaman,  lembaga‐lembaga  pendidikan  agama,  seperti  persantren,  semakin  ditutuntut  untuk 

membuka  diri  lebar‐lebar mengenai  lektur  keagamaan  yang  diajarkannya,  tidak  cukup  hanya 

dengan  mengajarkan  materi  keagamaan  yang  berdasarkan  aliran  atau  paham  tertentu  saja. 

Sebagai akibat semakin tajamnya ilmu pengetahuan umum dan analisis keagamaan yang semakin 

tajam dari berbagai sudut pandang atau aliran filsafat agama. 

 

Kedua: krisis ekonomi 

Kiai juga menghadapi krisis ekonomi yang dapat mengancam faktor keikhlasan yang selama ini 

merupakan  landasan  kukuh  dan  ciri  khas  pendidikan  pesantren.  Dengan  semakin  tajamnya 

persaingan  ekonomi  dalam  kehidupan, maka  perekonomian  dengan  uang  semakin memasuki 

setiap  aspek  kegiatan  kehidupan  termasuk  dunia  pendidikan,  apalagi  dunia  pesantren  yang 

selama  ini  dianggap  jauh  dari  uang;  kini  pendidikan  dengan  uang  sudah  memasuki  dunia 

pesantren dan semakin  lama semakin mendalam. Saat  ini rata‐rata biaya belajar setiap bulan di 

PP Guluk‐Guluk (Rp. 11.000), PP Sukorejo (Rp. 25.000), PP Blok Agung (Rp. 20.000), PP Tebu Ireng 

(Rp.  25.000),  PP  Paciran  (Rp.  20.000),  dan  PP  Gontor  (Rp.  30.000).  Sedang  di  satu  pihak 

kebutuhan  ekonomi  kiai menghadapi  tantangan  yang  semakin  besar dan  tajam,  tidak  berbeda 

dengan kebutuhan ekonomi rumah tangga orang awam. Dengan demikian kiai haus tetap mampu 

mempertahankan  kehidupan  ekonomi  keluarganya  bebas  dari  kekayaan  pesantren  atau  bebas 

dari  memperoleh  penghasilan,  karena  menyelenggarakan  pesantren  sebagai  bagian  dari 

idealisme  atau  pengabdiannya,  berhadapan  dengan  jumlah  waktu  yang  ia  pergunakan  untuk 

bekerja di pesantren, sedang di sisi  lain  ia harus pememperoleh penghasilan untuk menghidupi 

keluarganya. 

  Sampai  saaat  ini  masalah  ekonomi  tersebut  masih  “tabu”  untuk  dieteliti,  dan  dalam 

kenyataan  lahiriahnya  kehidupan  ekonomi  rumah  tangga  kiai  adalah  terkuat  di  antara  warga 

pesantren. Rezeki kiai tetap lestari dan melimpah. Tampak beberapa kiai melakukan usaha‐usaha 

perdagangan, pertanian, dan usaha‐usaha  lainnya.  Selain  itu,  juga  tampak banyak  sumbangan‐

sumbangan yang diberikan oleh masyarakat pendukungnya kepada pesantren melalui kiai atau 

pengasuh  yang  lain  dalam  rangka  melaksanakan  amal  jariyah,  sedekah,  zakat,  infaq,  dan 

sebagainya.  Beramal  dan menyumbang  orang  yang  sedang  belajar  agama, mengajar  agama  di 

lembaga pendidikan agama seperti pesantren, merupakan perbuatan terpuji dalam ajaran agama. 

Meskipun  demikian  lembaga  perkiaian  tetap  menghadapi  ”batu  sandungan”  dalam 

mempertahankan keikhlasan sebagai salah satu identitas pesantren. Dalam teori, menurut ajaran 

agama, keikhlasan tetap dapat eksis sekalipun tidak harus disertai dengan syarat bebas uang, dan 

Page 85: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

85 

 

                                                           

kehadiran  uang  tidak  harus  ”membunuh”  keikhlasan,  tetapi  (terutama  bagi  orang  awam)  sulit 

sekali menjaga keihklasan dari pengaruh uang atau pengaruh harta kekayaan  lainnya. Salah satu 

ajaran  agama menyatakan  bahwa  iman  seseorang  diuji  dengan  keadaannya:  orang  kaya  diuji 

dengan kekayaannya, orang miskin dengan kemiskinannya, orang pandai dengan kepandaiannya, 

dan sebagainya. 

Ketiga: Krisis Kelembagaan 

Di  satu  pihak  kiai  dituntut mampu memertahankan  idealismenya  bahwa  pesantren  adalah 

lembaga pendidikan untuk belajar mencari  ilmu dan  tempat beramal, bukan mencari kelas dan 

ijazah  untuk  menjadi  pegawai  negeri,  tetapi  di  pihak  lain  santri  menuntut  kelas  dan 

membutuhkan  ijazah  untuk  meniti  belajar  selanjutnya  dan  melamar  opekrjaan,  baik  untuk 

menjadi peggawai negeri maupun untuk memasuki  lapangan kerja yang  lain. Seiring dengan  ini, 

santri juga menuntut bekal ilmu dan teknologi atau bekal keahlian untuk mengarungi kehidupan 

modern, di samping bekal moral sebagaimana selama ini dapat diperoleh dari pesantren. 

 

Keempat: Krisis kepemipinan 

Sumber wibawa kepemimpinan18 kiai salama ini ialah karisma. Tetapi dengan makin majunya 

kehidupan,  khalayak  semakin  menuntut  gaya  kepemimpinan  yang  rasional  karena  gaya 

kepemimpinan yang karismatik makin lama makin menurun kekuatannya. 

 

Krisis yang dihadapi oleh ustaz 

Seperti  kiai,  ustaz  juga mengalami  krisis  perilaku  sesuai  dengan  kedudukan  dan  perannya 

sebagai  guru  di  persantren.  Pada  dasarnya  krisis  ustaz  terletak  pada  tarik‐menarik  antara  3 

kepentingan:  mengabdi,  mencari  nafkah,  dan  mengembangkan  karier.  Pada  awalnya  mereka 

memandang  pekerjaan  mengajar  di  pesantren  sebagai  ibadat  kepada  Tuhan,  dilaksanakan 

dengan ikhlas dan hanya mengharapkan rida Tuhan. Tetapi kemudian, dengan semakin tajamnya 

persaingan dan meningkatnya kebutuhan ekonomi, mereka dituntut oleh keadaan untuk mencari 

nafkah  (uang)  guna   manghidupi  keluarganya  dan mengatasi  kebutuhan‐kebutuhan  yang  lain. 

Mereka harus memperhitungkan atau menghargai waktu yang dipergunakan untuk mengajar di 

pesantren  dengan  uan.  Mereka  tidak  dapat  lagi  bekerja  semata‐mata  untuk  mengabdi  di 

pesantren,  tetapi mereka  harus  bekerja  karena  ”dapur”.  Honorarium mereka  rata‐rata  setiap 

 

18 Menurut French dan Raven, ada 5 sumber wibawa : (1) coersive, (2) reward, (3) legitimate, (4) refernt, 

dan (5) expert. Kemudian Duncant menambahkan satu lagi: (6) Charisma. (Terdapat dalam buku Drs. Adam Ibrahim 

Indrawijaya MPA, ibid, hlm. 129). 

Page 86: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

86 

 

tahun  adalah:  PP  Guluk‐Guluk  (Rp.  30.000),  PP  Sukorejo  (Rp.  400.000),  PP  Blok  Agung  (Rp. 

48.000), untuk sekolah diniyah, dan Rp. 120.000 untuk sekolah kurikulum, yaitu guru‐guru yang 

mengajar  di  sekolah  umum  atau madrasah,  PP  Tebu  Ireng  (Rp.  480.000),  dan  PP  Paciran  (Rp. 

480.000). Sedang untuk ustaz PP Gontor, tetap tidak dihitung dengan uang, tetapi memperoleh 

fasilitas  perumahan  dan  kesempatan  ikut  usaha  dagang:  menjual  makanan  dan  melayani 

kebutuhan santri, bekerja mengerjakan tanah yayasan pesantren, dan fasilitas‐fasilaitas lain yang 

diberikan melalui keluarganya, sehingga para ustaz dapat melaksanakan tugasnya tanpa diganggu 

oleh pikiran tentang uang. 

  Seiring  dengan  angka‐angka  tersebut  tampak  adanya  perbedaan  gradual  pengabdian 

mereka dari pesantren  satu ke pesantren yang  lain. Guru dari PP Guluk‐Guluk paling mengabdi 

dibandingkan dengan guru dari pesantren  lain;  ranking kedua ditempati oleh guru dari PP Blok 

Agung,  sedang guru–guru dari pesantren  lain  lebih dekant ke kriteria ”bekerja mencari nafkah” 

daripada  ”mengabdi”.  Bahkan  di  PP  Guluk‐Guluk  masih  terdapat  beberapa  guru  yang  masih 

menerima  kiriman  uang  dari  orangtuanya,  karena  orangtuanya menganggap  bahwa mengirim 

uang kepada anaknya yang  sedang mengajar agama kepada orang  lain berarti beramal di  jalan 

Tuhan. Sedang untuk guru‐guru dari PP Gontor, upaya tersebut merupakan jalan baru yang patut 

dikaji  secara mendalam dalam  rangka mencari  jalan keluar dari dilema antara  ”mengabdi” dan 

”mencari  nafkah”.  Sebagian  besar  guru‐guru  yang mengajar  di  PP  Gontor  adalah  santri‐santri 

kelas  V  yang  diberi  tugas  untuk  mengajar  kelas‐kelas  di  bawahnya,  sedang  murid  kelas  VI 

dibebaskan mengajar karena menghadapi ujuian akhir studi, dan mereka  (murid kelas VI) diajar 

oleh guru‐guru yang  lebih senior yang pada umumnya adalah alumni dari PP Gontor adalah KMI 

(Kuliatul Mualimin  Islamiyah  selama 6  tahun), yang berarti  sekolah guru.  Jadi dengan demikian 

kewajiban mengajar tersebut merupakan praktik atau kelengkapan pendidikan mereka. 

  Titik  krisis  ketiga  yang  dihadapi  oleh  para  guru  pesantren  adalah  keinginan  untuk 

mengembangkan kariernya. Untuk memenuhi hasrat ini, sebagian dari guru‐guru muda mengikuti 

kuliah di perguruan tinggi yang diselenggarkan oleh pesantren yang bersangkutan, atau mengikuti 

kuliah  pada  perguruan  tinggi  Islam  swasta  lainnya  yang  ada  di  sekitarnya.  Hasrat  untuk 

melanjutka ke perguruan  tinggi  tersebu menunjukkan  suatu bukti bahwa mereka memerklukan 

gelar dan  status  formahjl dalam memasuki  sistem kehidupa yag  semakin menruntut  syart‐syrat  

gormal  mnegenai  kaeahlian  yang  semakin  jelas.  Para  ustaz  amndambakan  dpat  melanjutkan 

pelajran nya ke perguruan‐perguran tinggi, terutama IAIN (Institut Agama Islam Negeri), sebagai 

”tangga” untuk meniti kariernya lebih tinggi. 

 

2.6. Santri  

Pada mulanya,  pesantren  diselenggarakan  untuk mendidik  santri‐santri  agar menjadi  orang  yang 

taat menjalankan agamanya dan berakhlak mulia; dan orangtua mengirimkan anaknya dengan keinginan 

agar anaknya menjadi orang baik, yaitu mengerti dan  taat menjalankan perintah agama dalam hidup 

Page 87: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

87 

 

keseharian. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, santri dituntut memiliki kajelasan profesi. Sedang 

selama belajar di pesantren mereka baru mempelajari ilmu‐ilmu agama yang sifatnya dasar dan umum, 

yang  akan  membekali  mereka  landasan  moral  dalam  kehidupan  bersama.  Pesantren  tidak  pernah 

mengkhususkan  tujuan  pendidikannya,  sebagaimana  sekolah‐sekolah  kejuruan,  atau  merencanakan 

pendidikannya  seperti  sekolah‐sekolah  umum  yang  memberikan  ilmu‐ilmu  dasar  yang  dapat 

dikembangkan  lebih  lanjut  menjadi  berbagai  profesi  atau  spesialisasi  bidang  studi  melalui  jenjang 

pendidikan yang  lebih  tinggi. Sebaliknya pesantren hanya menyiapkan  landasan moral agama,  sedang 

mengenai  bentuk  kahidupan  atau  nasib  selanjutnya  terserah  pada  perjuangan  hidup  di masyarakat 

nanti. Masing‐masing orang akan  'Jatuh" di tempatnya sendiri‐sendiri, yang akan diketahuinya sesudah 

yang  bersangkutan menempatinya; maksudnya masing‐masing  orang  telah mempunyai  nasib  sendiri‐

sendiri dan nasibnya itu baru diketahui setelah yang bersangkutan menjalaninya.  

Tabel  berikut menggambarkan  frekuensi  keinginan  bidang‐bidang  yang  akan  ditekuni  oleh  santri 

seusai belajar di pesantren.  

Tabel:  Frekuensi  pilihan  bidang  kegiatan  yang  ingin  ditekuni  oleh  santri  seusai mereka  belajar  di 

pesantren  

  PESANTREN  BIDANG  No.  

KEGIATAN   Guluk‐ Suko‐  Blok   Tebu    

      Guluk  rejo  Agung  Ireng 

Paciran   Gontor  

1.   Dai     59   55   69   58   45   46   332 

2.   Kiai     13   60   28   19   16   29   165 

3.   Guru     30   40   30   33   50   59   242 

4.   Pegawai  Negeri   9   8   9   I 1   12   10   59  

5.   Pedagang     12   10   10   18   15   13   78  

6.   BeJajar   ke  Pergurua

n  

 Tinggi      

55   30   35   41   47   37   245 

7.   Menjadi  apa  saja                 bermanfaat  bagi  32   20  39  30  26  22   169 

  masyara        JUMLAH    210   223  220  210  211   216   1290  

Jadi, kalau dibandingkan urutan bidang yang  ingin ditekuni oleh santri seusai mereka belajar di 

pesantren: menrurut seluruh santri (1290 orang) dan menurut kelompok‐kelompok santri dari masing‐

masing pesantren, maka dari tabel tersebut dapat diperoleh gambaran sebagai berikut: 

 

 

Page 88: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

88 

 

Urutan  pilihan  menurut  kelompok‐kelompok  santri 

dari masing‐masing pesantren NO 

BIDANG 

KEGIATAN 

Urutan  pi‐

lihan  me‐ 

nurut  sem‐ 

ua santri Guluk‐

Guluk 

Suko‐

rejo 

Blok 

Agung 

Tebu 

Ireng Paciran  Gontor 

1. 

2. 

3. 

4. 

5. 

6. 

 

7. 

 

Dai  

Kiai 

Guru 

Pegawai negeri 

Pedagang 

Belajar  ke 

perguruan Tinggi 

Menjadi  apa  saja 

yang  bermanfaat 

bagi masyarakat 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Dari  urutan  pilihan  bidang  kegiatan  tersebut  di  atas,  ternyata  idealisme  santri  adalah 

menyebarkan agama, mandiri dalam  kehidupan,  terus belajar dan menjadi apa  saja yang bermanfaat 

bagi masyarakat. Meskipun demikian,  kesimpulan  ini perlu diuji  kembali: mengapa  santri meletakkan 

bidang pilihan "Pegawai Negeri" sebagai ranking terakhir? Mengapa bidang "perdagangan" juga kurang 

diminati? Demikian pula halnya dengan "kiai": mengapa santri tidak menempatkan "kiai" sebagai pilihan 

mereka yang pertama, padahal mereka selalu menyaksikan bahwa kiai adalah tokoh kunci yang sangat 

dihormati dan disegani. Tidak ditempatkannya  "kiai"  sebagai pilihan pertama  (kecuali oleh  santri dari 

Pondok  Pesantrcn  Sukorejo),  sama  dengan  pernyataan  Mahmud  Yunus19,  yaitu  bahwa  sistem 

pendidikan pesantren,  jika dilihat dari  jumlah kiai atau ulama yang dihasilkan, mcmpunyai angka drop 

out tertinggi yaitu 99%.  

                                                           

Lampiran  5  menggambarkan  pandangan  santri  terhadap  be1ajar  di  pesantrennya  meliputi 

pandangan  terhadap:  Takdir  Tuhan,  Kiai  dan  Kitab,  ilmu  dan  Akal,  Kepentingan  bersama,  dan 

Kepentingan  pribadi.  Pada  dasarnya  pandangan  mereka  adalah  dependence  dan  inward  loohing. 

 

19 Prof. H.M. Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Mutiara, Jakarta, 1979, hlm. 58. 

Page 89: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

89 

 

Misalnya, mereka percaya bahwa pindah agama dari agama yang satu ke agama yang lain adalah karena 

takdir Tuhan; skor mereka rata‐rata: 3,11, sedang skor maksimal yang dipergunakan dalam pengukuran 

ini adalah 4,  jadi dengan skor 3,44 berarti mereka sangat setuju bahwa peristiwa perpindahan agama 

tersebut adalah  takdir Tuhan. Mereka  juga  sangat  setuju  (skor  rata‐rata 3,45) bahwa hidup yang baik 

adalah hidup yang sesuai denga hukum agama (fikih), bukan kenyataan, sekalipun kenyataan itu secara 

materi menguntungkan. Mereka setuju bahwa dengan menjalankan  ibadah dengan baik  (salat, puasa, 

zakat, dan sebagainya) dengan sendirinya mereka akan terjaga (terpelihara) dari musibah, (skor mereka 

rata‐rata  :  2,79). Mereka  tidak  percaya  kalau  kiai/ulama  adalah  orang‐orang  pandai  dan  alim,  tetapi 

sangat setuju bahwa menghormati kiai atau ustaz sepanjang hidup adalah kewajiban moral bagi seorang 

santri,  jika mereka  tidak  ingin  ilmu yang mereka peroleh hilang dengan percuma..  (skor mereka  rata‐

rata: 3,32), dan mereka percaya bahwa berkah kiai merupakan kunci keberhasilan belajar di pesantren. 

(skor mereka rata‐rata: 2,68). Dengan kata lain, santri percaya bahwa mereka tidak akan menjadi orang 

terpelajar (learned man) atau orang beradab (cultur man) tanpa guru. 

Meskipun  demikian,  mereka  tidak  setuju  kalau  manusia  tidak  perlu  bekerja  keras  untuk 

memperbaiki kehidupannya di dunia  ini meskipun Tuhan  telah “menuliskan kartu nasibnya”  (rata‐rata 

skor:  3,26).  Mereka  sangat  setuju  bahwa  baik  buruknya  nasib  manusisa  di  dunia  ini  sepenuhnya 

tergantung  pada  usaha manusia  itu  sendiri,  (skor  rata‐rata:  3,17).  Tetapi mereka  tidak  setuju  bahwa 

manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai  ilmu dan teknologi, yang selanjutnya dengan 

ilmu dan teknologi, manusia mampu menciptakan dunia dan tujuan hidupnya. 

Ketiga  persetujuan  mereka  yang  terakhir  tersebut  tampaknya  berlawanan  arah  dengan 

persetujuan‐persetujuan mereka sebelumnya,  tetapi sesungguhnys  tidak demikian. Ketiga persetujuan 

mereka yang terakhir  itu terjadi karena teks ajaran agamanya menyatakan hal yang demikian itu, yaitu 

bahwa  Tuhan  tidak  akan  mengubah  nasib  manusia  di  dunia  ini  kalau  manusia  sendiri  tidak 

mengubahnya,  dan  dengan  akalanya  manusia  akan  mampu  memahami  ayat‐ayat  Tuhan  dan 

menggunakannya  untuk  memajukan  kehidupannya. Masalahnya  sekarang  adalah:  mampukah  santri 

menerjemahkan  teks ajaran agamanya  sesuai dengan konteksnya? Kunci  jawaban atas pertanyaan  ini 

terletak  pada  pemberian  pendidikan  ilmu  pengetahuan  dan  teknologi  (secular  education)  kepada 

mereka. Berdasarkan atas uraian mengenai filsafat dan tata nilai yang mendasari pendidikan pesantren 

seperti  tersebut  di  atas,  maka  sistem  pendidikan  pesantren  mempunyai  potensi  terbuka  untuk 

menyelenggarakan  pendidikan  sekular  sepanjang  hal  itu  tidak  melanggar  akidah‐syariah.  Dan 

kenyataannya, madrasah (sekolah agama) dan sekolah umum telah dibuka di hampir semua pesantren, 

bahkan makin hari makin mendominasi kehidupan pendidikan pesantren. Mereka yang khusus   belajar 

agama  tanpa merangkap  belajar  ilmu  pengetahuan  umum  di madrasah  atau  di  sekolah  umum  yang 

diselenggarakan  oleh  pesantrennya,  sedikit  sekali,  sekitar  12‐2%  dari  seluruh  santri  yang  ada  di 

pesantren,  dan  hampir  semua  dari  mereka  itu  adalah  orang‐orang  yanh  sudah  bekerja  dalam 

masyarakat,  seperti:  bertani,  berdagang, menjadi  pembantu  rumah  tangga,  dan  sebagainya. Mereka 

belajar  agama  agar  lebih  mampu  menempatkan  diri  lebih  baik  di  tengah‐tengah  pergaulan  hidup 

bersama dan mencari bekal untuk kehidupan nanti di akhirat. Berkembangnya pendidikan madrasah dan 

sekolah umum tersebut adalah sebagai dampak global dari pembangunan nasional dan tata kehidupan 

Page 90: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

90 

 

internasional terhadap pesantren, dan pesantren tidak dapat mengelakkan diri dan harus mengadakan 

perubahan atau pergaeseran orientasi,  jika mereka  ingin tetap eksis dalam kehidupan. Pada umumnya 

santri berasal dari kalangan keluarga muslim yang baik,  taat menjalankan agamanya, dan dari daerah 

pedesaan (tani, nelayan, pedagang, guru, pegawai, ABRI, dan sebagainya). Adalah suatu gejala baru yang 

sudah umum di kalangan keluarga di Jawa TImur untuk mengirimkan anaknya melanjutkan ke sekolah‐

sekolah lanjutan seperti SMP, SMA, dan seterusnya, tetapi pulang ke pondok agar sempat belajar agama 

atau  merasakan  suasana  hidup  pesantren.  Beberapa  kiai  sengaja  membuka  pesantren  tetapi  tidak 

menyelenggarakan pendidikan  formal baik madrasah atau  sekolah umum, hanya menyediakan  sarana 

dan belajar agama di waktu sore, malam dan pagi hari. 

  Sementara itu, terdapat gejala lain, yaitu adanya kecenderungan dari pimpinan pesantren, para 

guru,  para  cendikiawan  muslim,  dan  para  pemimpin  muslim,  mengirimkan  anak‐anak  mereka  ke 

madrasah atau  sekolah–sekolah umum atau perguruan  tinggi umum negeri yang  lebih baik dan  lebih 

modern. Gambaran B.J. Boland mengenai  kecenderungan orangtua memilih pendidikan bagi anaknya 

pada umumnya banyak menunjukkan kebenaran. 

  Kecenderungan  tersebut  adalah wajar,  selama masih ada  lembaga pendidikan  yang  lebih baik 

dan  murah,  yaitu  yang  dapat  memberikan  “jaminan  moral”  dan  “jaminan  kerja”,  serta  terjangkau 

pembiayaannya, maka orangtua pasti mengirimkan anak mereka ke lembaga pendidikan tersebut. 

  Sementara  itu,  motivasi  pertama  orangtua  mengirimkan  anaknya  ke  pesantren  adalah  agar 

anaknya menjadi orang baik, dihormati, dan disegani dalan hidup bermasyarakat, dan taat menjalankan 

perintah agamanya. Pada dasarnya motivasi yang demikain itu tetap masih ada pada mereka, (dan santri 

masih tetap taat dan hormat, pada kiai, orangtua dan orang lain). Namun demikian, akhir‐akhir ini juga 

terdapt alasan  lain dari orangtua untuk mengirimkan anaknya belajar ke pasantren, yaitu biaya  relatif 

murah  dibandingkan  dengan  pergurun  lain,  dan  dilihat  dari  kepentingan  anak  didik  mereka  juga 

memperoleh kesempatan mendapatkan  ijazah negeri melalui  jalur pendidikan formal yaitu:   madrasah 

atau  sekolah  umum  yang  dieselenggarakan  oleh  pesantren.  Dengan  demikian minimal  ada  3  alasan 

mengapa mereka mengirimkan anaknya ke pesantren, yaitu (a) Belajar agama (b) Kesempatan terebuka 

untuk memeroleh ijazah negeri, dan (c) Biaya relative murah. 

  Santri  semakin merasakan  bahwa  dalam mengarungi  kehidupan  di  zaman  pembangunan  ini 

manusia memerlukan dua kekuatan sekaligus, yaitu kekuatan moral dan mental spiritual sebagai dasar 

dan  pedoman  hidup,  dan  kemampuan  keterampilan  atau  keahlian,  sebagai  bekal memasuki  pasaran 

kerja. Oleh karena itu, mereka harus mempelajari agama sesuai dengan konteksnya. 

 

2.7 Pengurus 

Pengurus pesatren adalah beberapa warga pesantren yang “diutus” sebagai bukan kiai, bukan ustaz, 

dan bukan santri. Tetapi keberadaan dan peran mereka amat diperlukan untuk ikut serta mengurus dan 

memajukan pesantren bersama unsur‐unsur pelaku yang lain. 

Page 91: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

91 

 

Namun,  pada  umumnya mereka  juga  adalah  kiai,  ustaz  dan  santri  senior,  yang  juga  alumni  dari 

pesantren  yang  bersangkutan.  Sehubungan  dengan  ini  maka  keberadaan  dan  peran  mereka  tidak 

hanuya mengurus   pesantren dalam bidang manajerial, pembangunan  fisik pesantren, dan hal‐hal  lain 

yang  sifatnya  non  edukatif  saja,  tetapi  mereka  juga  ikut  memberikan  pelajaran  agama,  memberi 

bimbingan  kepada  santri,  bahkan  memberikan  pertimbangan  kepada  kiai  di  dalam  mengambil 

keputusan. Seperti  juga pengelompokan penjagaan nilai‐niai yang mendasari pesantren, pengurus  juga 

dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu pengurus yang membantu kiai dalam menjaga nilai kebenaran 

absolut,  dan  pengurus  yang membantu  kiai  dalam  pengamalan  nilai‐nilai  agama  dengan  kebenaran 

relatif. 

Keberadaan  dan  peran  masing‐masing  pengurus  berbeda‐beda  dari  pesantren  yang  satu  ke 

pesantren yang lain. Misalanya: (a) PP Guluk‐Guluk: Seluruh kiai dan nyai yang mengasuh pesantren dan 

mendampingi K.H. Amir Ilyas adalah unsur pengurus PP Guluk‐Guluk yang memberi pertimbangan pada 

K.H. Amir Ilyas dalam menetapkan kebijakannya memimpin pesantren. Di samping itu juga ada pengurus 

lain  yang  bertugas mengurus  hal‐hal  lain  yang  sifatnya  teknis  operasional  dan  tidak  secara  langsung 

berkaitan dengan hal‐hal yang bersifat pendidikan dan pengajaran; misalnya pengurus yang mengurus 

gedung‐gedung  bangunan,  pendanaan,  hubungan  dengan  instansi‐instansi  lain,  baik  pemerintah 

maupun  non  pemerintah,  dan  sebagainya.  (b)  PP  Sukorejo:  Sekretaris  pribadi  kiai,  mansya’,  lurah 

pondok, pejabat‐pejabat struktural lainnya, adalah pengurus pesantren. Apa pun kedudukan dan peran 

mereka, dari mengurus kegiatan‐kegiatan yang sangat teknis, fisik, dan operasional, sampai memberikan 

pertimbangan kepada kiai; mereka semua adalah pembantu kiai. Dan hal yang demikain ini berlaku bagi 

semua  pesantren.  (c)  PP  Blok  Agung:  Sebagian  pengurus  menduduki  majelis  pertimbangan  yang 

memberi  masukan‐masukan  bagi  kiai  dalam  mengambil  kebijakan,  dan  sebagian  lagi  mengurus 

organisasi  dan  manajemen  pesantren.  (d)  PP  Tebu  Ireng:  Dewan  kiai  yang  secara  khusus  menjaga 

kemurnian ajaran agama yang di ajarkan di pesantren, mereka yang bertanggung jawab atas kemajuan 

yayasan, sampai kepada mereka yang mengurusi bangunan dan keuangan pesantren, dalah pengurus PP 

Tebu Ireng. (e) PP Paciran: Mereka yang bertugas mengurus masalah‐masalah adminsitratif non edukatif 

adalah pengurus pesantren. Pada  Lampiran 11 bagan  struktur organisasi PP Paciran,  jelas  ada Bagan 

Susunan  Pimpinan  Pesantren  (A)  dan  ada  Bagan  Susunan  Pengurus  Pesantren  (B).  Seperti  juga  pada 

pesantren‐pesantren  yang  lain,  organ  B membantu  A.  (f)  PP  Gontor:  Badan Wakaf  Pondok Modern 

Gontor adalah kelompok pimpinan pesantren dan merupakan lembaga tertinggi dari struktur organisasi 

PP Gontor.  Sementra  itu, Balai Pendidikan Modern Gontor dan organisasi OPPM merupakan pengurs 

yang  bertugas  melaksanakan  amanat  badan  wakaf  tersebut.  (Lihat  Lampiran11,  bagan  strutktur 

organisasi PP Gontor, A dan B). Kepengurusan OPPM     berstatus membantu Balai Pendidikan Modern 

Gontor, dan balai ini merupakan lembaga eksekutif dari badan wakaf.  

Jadi dengan demikian,  semua unsur pelaku  yang  secara organisatoris mengurus dan bertanggung 

jawab  atas  kemajuan  pesantren,  dari  sejak  kiai  utama  yang merupakan  pimpinan  puncak  samapi  ke 

pembantu  yang  mengurus  hal‐hal  yang  sifatnya  teknis  operasional  selama  memiliki  kewenangan 

memutuskan dan melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabnya, adalah pengurus pesantren. Hal 

ini untuk membedakannya dengan tukang, pembantu, dan unsur‐unsur pelaku lainnya. 

Page 92: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

92 

 

                                                           

2.8. Interaksi Pelaku 

Sifat dan  fungsi  suatu organisasi menentukan  tinggi  rendahnya  status  resmi perilaku  anggotanya. 

Misalnya dalam suatu perguruan tinggi status resmi perilaku dosen lebih tinggi daripada karyawan. Pada 

suatu rumah sakit, status dokter  lebih tinggi daripada ahli ekonomi atau ahli pertanian yang bekerja di 

rumah sakit tersebut.. 

Sehubungan dengan  itu, maka di pesantren,  status  resmi perilaku  tertinggi  adalah  kiai, peringkat 

keuda: ustaz, ketiga: santri, keempat: pengurus yang kadang‐kadang menempati peringkat kedua, tatapi 

kadang‐kadang peringkat kelima, dan kelima: orang  lain yang membantunya. Makin tinggi status resmi 

yang dimiliki, makin besar  tanggung  jawab,  kekuasaan, dan  risiko  yang dihadapi. Di  sisi  lain, perilaku 

anggota suatu organisasi dibentuk dan dikembangkan oleh tradisi yang menjadi nilai kehidupan mereka, 

makin  tinggi  tingkat  keeratan mereka  dan  karenanya makin  homogen  kadar  perilaku  para  anggota. 

Sementara  itu,  tingkat  keeratan  hubungan  antara  anggota  yang  sangat  tinggi  dapat  menimbulkan 

perilaku  kelompok  yang  sangat  kuat,  dan  salah  satu  akibat  dari  perilaku  kelompok  seperti  itu  ialah 

menurunnya  tingat  keterbukaan  untuk menerima  informasi  atau  ide‐ide  baru  yang  datang  dari  luar, 

apalagi kalau hal‐hal yang datang dari luar itu dapat menimbulkan konflik dalam kehidupan mereka20. 

Berdasarkan  teori  tersebut,  ternyata  di  dalam  pesantren  terdapat  homogenitas  pandangan  dan 

perilaku  diantara  para  warga  pesantren  yang  cukup  tinggi,  sebagaimana  tercermin  dalam  skor 

pandangan santri terhadap belajar di pesantren (lihat Lampiran 5). 

Seiring dengan kemajuan atau medernisasi di berbagai aspek kehidupan, maka perilaku para pelaku 

pesantren  mengalami  “keguncangan”  sehingga  dalam  menjalankan  tugas  sehari‐hari  mereka  dalam 

keadaan  role  ambiguity  dan  role  conflict.  Peran mendua  dan  konflik  yang  dialami  oleh  para  pelaku 

pesantren  tersebut  tercermin dalam kehidupan yang dialami oleh kiai, ustaz, dan  santri  sebagaimana 

dilaporkan di muka. Hubungan antara mereka  juga bergeser dari gaya hubungan “searah” dari atas ke 

bawah,  cenderung  menjadi  hubungan  “dua  arah”,  atau  dari  semangat  paternalistik  ke  semangat 

egalitarian,  dari  semangat  otoriter  ke  semangat  demokrasi,  dari  semangat  tertutup  ke  semangat 

terbuka, dan seterusnya; sebagaimana tercermin dalam kecenderungan perubahan gaya kepemimpinan 

di muka. 

        

2.9. Kurikulum dan Sumber Belajar 

Seperti  dilaporkan  di  muka,  dewasa  ini  pada  setiap  pesantren  terdapat  tiga  jenis  pendidikan: 

“pesantren”, madrasah, sekolah umum, dan perguruan tinggi Islam, ada yang berbentuk sekolah tinggi, 

institut,  dan  universitas.  Bahkan  tampak  sudah menjadi mode  atau  kecenderungan  di  Jawa  Timur, 

bahwa  pada  beberapa  pondok  pesantren  hanya  disediakan  pendidikan  pesantren  lengkap  dengan 

 

20 Drs. Adam Ibrahim Indrawijaya MPA, Perilaku Organisasi, Sinar Baru, Bandung, 1983, hlm. 117. 

Page 93: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

93 

 

asrama  dan  kiainya,  tatapi  santrinya  belajar  secara  formal  di  madrasah‐madrasah,  sekolah‐sekolah 

umum, dan perguran tinggi di luar pesantren. 

  Jenis  pendidikan  pesantren  bersifat  non  formal,  hanya mempelajari  agama,  bersumber  pada 

kitab‐kitab klasik sebagaimana disebut dalam Lampiran‐2, meliputi bidang‐bidang studi: Tauhid, Tafsir, 

Hadis, Fikih, Usul‐Fikih, Tasawuf, Bahasa Arab (Nahu, Saraf, Balagah dan Tajwid), Mantik, dan Akhlak. 

  Kurikulum  dalam  jenis  pendidikan  “pesantren”  berdasarkan  tingkat  kemudahan  dan 

kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab, jadi ada tingkat awal, tingkat menengah dan 

tingkat  lanjut,  misalnya  Pondok  Pesantren  Blok  Agung  berkeyakinan  bahwa  sebelum  seorang  anak 

belajar lebih lanjut, miminal mereka harus mempelajari kitab‐kitab awal keagamaan fikik‐sufistik. 

  Setiap kitab bidang studi memiliki tingkat kemudahan komplesktias pembahasan masing‐masing. 

Sehubungan  dengan  itu,  maka  evaluasi  kemajuan  belajar  pada  “pesantren”  juga  berbeda  dengan 

evaluasi dari madrsah dan sekolah umum. 

  Jenis  pendidikan madrasah  dan  sekolah  umum  bersifat  formal,  dan  kurikulumnya mengikuti 

ketentuan pemerintah. Madrasah mengikuti ketentuan dari Departemen Agama, dengan menggunakan 

perbandingan 30% berisi mata pelajaran agama, dan 70% berisi mata pelajaran umum, tatapi beberapa 

pesantren menyelenggarakan perbandingan  terbalik, dengan bobot perbandingan yang agak berbeda: 

20% berisi pelajar umum, 80% berisi pelajaran agama; misalnya pada kurikulum madrasah yang diasuh 

PP Tebu Ireng. 

  Pada sekolah‐sekolah umum berlaku ketentuan kurikulum sebagaimana diatur oleh Departemen 

Pendidikan dan Kebudayaan. Sedang di madrasah berlaku kurikulum dari Departemen Agama. 

  Tetapi  pada  umumnya  masing‐masing  pesantren  menyesuaikan  kurikulum‐kurikulum  yang 

datang  dari  Departemen  Agama  dan  Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan  tersebut  menurut 

kepentingan  dan  keyakinan  masing‐masing.  Misalnya  pada  SMEA  di  PP  Blok  Agung,  kurikulumnya 

ditambah dengan mata pelajaran teknik mengajar, karena mereka melihat bahwa banyak lulusan SMEA 

juga  ikut mangajar  (menjadi  guru),  jika mereka  belum mendapat  pekerjaan  sesuai  jenis  sekolahnya 

(SMEA), maka  lebih baik diberi bekal keterampilan mengajar. Demikian pula halnya dengan kurikulum‐

kurikulum  yang  berlaku  pada  perguran‐perguran  yang  diasuh  PP  Paciran,  di  samping  mereka 

menggunakan  kurikulum‐kurikulum  resmi  dari  departemen  tersebut,  mereka  juga  menambahkan 

dengan  pelajaran  ke‐Muhamadiyah‐an.  Kurikulum  di  PP  Gontor  juga  melakukan  perubahan  sesuai 

dengan selera dan keyakinannya. Misalnya sebagai penggati pelajaran matematika diberikan pelajaran 

berhitung, dan sebagainya.  

  Seperti  disebutkan  di  muka,  lahirnya  jenis  pendidikan  formal:  madrasah  dan  sekolah 

umum  tersebut  adalah  untuk  memenuhi  ketentuan  pembangunan  dan  kemajuan  ilmu  dan 

teknologi atau dengan kata lain ntuk memenuhi tantangan zamannya. Kedua jenis pendidikan ini 

ternyata  menjadi  jembatan  bagi  pesantren  yang  menghubungkannya  dengan  sistem  pendidikan 

nasional, dan  sebaliknya kedua  jenis pendidikan  formal  tersebut  juga mendapat penyempurnaan dari 

Page 94: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

94 

 

jenis  pendidikan  non  formal,  yaitu  “pesantren”,  terutama mengenai moral  yang  tidak  dapat  didikan 

secara  formal  di madrasah  dan  sekolah  umum  tersebut. Dengan  demikian  terjadi  simbiosis mutualis 

kurikulum antara ketiga jenis pendidikan tersebut: “pesantren”, madrasah, dan sekolah umum. Dengan 

kata  lain, makna “pesantren” sebagai  jenis pendidikan non formal, berbeda dengan makna pendidikan 

non  formal  dalam  term  pendidikan  umum;  dimana makna  pendidikan  non  formal  dalam  term  yang 

terkahir berarti memberikan komplemen dan suplemen  pada keterampilan atau kemampuan yang telah 

dimiliki anak didik agar lebih mampu melayani kebutuhan yang semakin meningkat sehubungan dengan 

semakin kompleksitasnya tantangan pekerjaan yang dihadapinya, sedang makna pendidikan non formal 

pada pesantren berarti mendasari, menjiwai, dan melengkapi akan nilai‐nilai pendidikan  formal. Tidak 

semua hal dapat diajarkan atau dididikkan melalui program‐program sekolah formal; disni “pesantren” 

mengisi kekeurangan tersebut. 

  Seiring  dengan  semakin  berkembangnya  pendidikan  formal  dalam  pesantren  dan  semakin 

intensifnya  pesantren  berinteraksi  dengan  sistem  lain  di  luar  dirinya, maka  sebagaimana  disebutkan 

dalam “Gambaran Umum Pesantren” di muka, banyak buku‐buku  Islam kontemporer yang diterbitkan 

dalam bahsa Indonesia memasuki dunia pesantren. Semuanya ini merupakan sumber belajar baru bagi 

santri melengkapi kitab‐kitab klasik agama yang dipelajari di pesantren. Kesemuanya itu berdampak luas 

dan mempengaruhi wawasan santri dalam memandang masa depannya. (Lihat Lampiran 9). 

 

2.10. Proses Belajar‐Mengajar dan Evaluasi 

Teknik  pengajaran  yang  diberikan  pada  jenis  pendidikan  “pesantren”,  adalah:  sorogan  dan 

bandongan. Kedua teknik mengajar ini sangat populer sehingga menjadi ciri khas pesantren. 

 

Sorogan:  

Pelajaran  diberikan  secara  individual.  Kata  sorogan  bersal  dari  kata  Jawa  Sorog  artinya 

menyodorkan. Seorang santri menyodorkan kitabnya kepada kiai untuk meminta diajari. Dengan 

teknik  ini antara santri dan kiai  terjadi saling mengenal secara mendalam. Karena sifatnya yang 

individual, maka santri harus benar‐benar menyiapkan diri sebelumnya: mengenai hal apa (dari isi 

kitab yang bersangkutan) yang akan diajarkan oleh kiai. 

 

Bandongan: 

Pelajaran  diberikan  secara  kelompok,  seluruh  santri.  Kata  bandongan,  berasal  dari  bahasa 

Jawa Bandong artinya pergi berbondong‐bondong secara kelompok. Baik cara sorogan maupun 

bandongan,  pelajaran  disampaikan  dalam  bahasa  Jawa  atau  bahasa Madura, menurut  bahasa 

daerah  kiai.  Santri  secara  cermat  mengikuti  penjelasan  yang  diberikan  oleh  kiai  dengan 

Page 95: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

95 

 

memberikan catatan‐catatan tertentu pada kitabnya masing‐masing dengan kode‐kode tertentu 

pula,  sehingga  kitabnya  disebut  kitab  jenggot,  karena  banyaknya  catatan‐catatan  yang 

menyerupai  jenggot  seseorang, kiai menerjemahkan kitab  tersebut  secara kata demi kata, atau 

kalimat demi kalimat dari  isi kitab ke dalam bahsa  Jawa,  tidak ada  tanya  jawab. Dengan  teknik 

bandongan,  kiai  tidak mengetahui  secara  individual  siapa‐siapa  santri  yang  datang mengikuti 

pengajiannya. 

  Disamping dua cara tersebut, juga dikenal dua cara lagi, tetapi merupakan kegiatan belajar 

mandiri oleh santri, yaitu halaqah dan lalaran. 

  Halaqah  artinya  belajar  bersama  secara  diskusi  untuk  saling mencocokkan  pemahaman 

mengenai arti terjemahan dari  isi kitab,  jadi bukan mendiskusikan apakah  isi kitab dan terjemah 

yang  diberikan  oleh  kiai  tersebut  benar  atau  salah.  Jadi mendiskusikan  segi  “apanya”,  bukan 

mendiskusikan segi “mengapanya”. 

  Lalaran  adalah  belajar  sendiri  secara  individual  dengan  jalan  menghafal;  biasanya 

dilakukan di mana saja: di dekat makam, serambi mesjid, serambi kamar dan sebagainya. 

  Masih dalam kegiatan proses belajar‐mengajar, santri biasnya seminggu sekali, pada saat 

sesudah  salat  Isya,  mengadakan  belajar  pidato  atau  belajar  memberikan  ceramah‐ceramah 

keagamaan;  ceramahnya  terserah pada masing‐masing  santri,  tetapi  kebanyakan berkisar pada 

kebagusan moral Nabi Muhammad,  kepahlawanan dan  kejujuran para  sahabat Nabi,  arti  ayat‐

ayat dan hadis‐hadis tertentu, dan sebagainya. 

  Teknik‐teknik kegiatan belajar‐mengajar  tersebut bertolak dari keyakinan bahwa  isi kitab 

yang diajarkan adalah benar dan kiai atau ustaz tidak mungkin mengajarkan sesuatu yang keliru 

dan menyesatkan; jadi sifatnya mekanis, dan oleh karena itu, mereka cenderung mempelajari isi 

kitab secara berurutan dan tidak melompat‐lompat. (Lihat Lampiran 5, Butir 13, 14, 15, 16, 17, 18, 

19, 20, 24, dan 26). Bagi santri, belajar  itu sendiri sudah merupakan  ibadah kepada Tuhan, oleh 

karena  itu  diperoleh  tidaknya  ilmu  sebagai  hasil  belajar  sangat  tergantung  pada  rida  Tuhan, 

diperolehnya  melalui  usaha  dengan  segenap  kesucian  jiwa,  tirakatan,  puasa,  salat,  dan 

sebagainya (lihat Lampiran 5 butir 8, 9, 10, dan 11). Sehubungan dengan cara belajar seperti itu, 

maka  tidak  diperlukan  fasilitas  belajar  yang mahal  dan  canggih  seperti,  over  hand  projector, 

papan‐papan panel, laboratorium, dan sebagainya. 

  Teknik  belajar  tersebut  berbeda  dengan  ciri‐ciri  belajar  pada  madrasah  dan  sekolah‐

sekolah umum, walaupun pada kedua jenis pendidikan ini juga cenderung banyak hal yang perlu 

dihafal.  Meskipun  demikian  terdapat  perbedaan  esensial  diantara  keduanya.  Pada  proses 

mempelajari  kitab‐kitab  keagamaan  tersebut:  proses  belajar  dipandang  sebagai  ibadah  dan 

sakral,  sedang  dalam mempelejari  science  dalam  pelajaran‐pelajaran  di madrash  dan  sekolah 

umum dipandang insturmental dan profan.     

 

Page 96: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

96 

 

Evaluasi  

Seperti  dijabarkan  di  muka,  evaluasi  keberhasilan  belajar  di  “pesantren”  ditentukan  oleh 

penampilan  kemampuan mengajarkan  kitab  kepada  orang  lain.  Jika  audiencenya merasa  puas, 

maka hal  itu berarti santri yang bersangkutan telah  lulus. Sebagai  legalisasi kelulusannya adalah 

restu kiai bahwa santri yang bersangkutan boleh pindah mempelajari kitab  lain yang  lebih tinggi 

tingkatnannya  dan  boleh  mengajrka  n  kitab  yang  telah  dikusia  kepada  orang  lain.  Evaluasi 

keberhasilan belajar tersebut berbeda dengan evaluasi keberhasilan belajar pada madrasah dan 

sekolah‐sekolah  umum  yang menggunakan  ujian  resmi  dengan  pemberian  angka‐angka  tanda 

lulus atau naik tingkat. 

 

Enrolment  

Seiring  dengan  keterangan  tersebut,  dan  seperti  dilaporkan  dalam  “Gambaran  Umum 

Pesantren” di muka, di mana belajar di ”pesantren” tidak kenal batas waktu awal dan akhir, maka 

enrolment penerimaan santri baru dan penyelesaian belajar di pesantren  juga  tidak ada syarat‐

syarat  tertentu  dan  batasan  waktu  yang  pasti  kapan  mulai  dan  kapan  berakhir.  Sebaliknya 

enrolment untuk madrasah dan sekolah‐sekolah umum jelas syarat‐syarat dan waktunya. 

 

2.11. Pengelolaan dan Dana 

Seperti  dilaporkan  di muka,  kiai  pengasuh  pesantren  adalah  pimpinan  tertinggi  dan  tokoh 

kunci pesantren. Oleh karena itu, pada dasarnya mengenai masalah pengelolaan dan dana ada di 

tangan kiai; tetapi secara teknis oprasional ditangani oleh unit‐unit kerja dalam kelompok sayap‐

2. 

  Pembagian kerja dari unit‐unit kerja pada umumnya kurang  jelas dan para administrator 

juga  belum  ahli;  sistem  dokumentasi  atau  filling  system  belum  teratur  dan  akurat. Meskipun 

demikin,  dalam  pengelolaan  dana,  sarana,  dan  dokumen‐dokumen  berharga  lainnya,  hampir 

dapat  dipastikan  tidak  ada  kebocoran‐kebocoaran  dalam  arti  korupsi.  Kelemahan  yang  terjadi 

akibat  kurang  profesional mengelola  adalah  tidak  efektif,  tidak  efisien  dan  tidak  akurat,  serta 

sering tumpang tindih. Misalanya sulit memperoleh jumlah santri secara pasti menurut jenis‐jenis 

program  studinya.  Banyak  mesin‐mesin  jahit  dan  alat‐alat  keterampilan  lainnya  tidak  dapat 

dimanfaatkan secara efektif dan efisien, dan sebagainya. Ketiadaan penyelewengan atau korupsi 

tersebut karena adanya   kepercayaan yang benar terhadap karisma kiai, mereka merasa diawasi 

langsung  oleh  Yang  Maha  Mengetahui,  takut  dosa,  dan  sebagainya  jadi  semacam  adanya 

pengawasan  yang  benar  telah  melekat  dalam  diri  sanubarinya.  Dengan  kata  lain  terjadinya 

kelemahan  dalam  mengelola  bukan  karena  faktor  “hal”,  tetapi  semata‐mata  karena  belum 

adanya profesi atau keahlian dan keterampilan mengelolanya. 

Page 97: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

97 

 

  Mengenai sumber dana, pada umumnya diperoleh dari: (1) usaha yayasan yang dibentuk 

oleh pesantren, (2) sumbangan dari santri, (3) sumbangan dari masyarakat, baik pribadi maupun 

kelompok‐kelompok,  yang  biasanya  berupa  barang‐barang  natura,  uang,  tanah,  tenaga,  dan 

sebagainya; berstatus sebagai: amal  jariyah, wakaf,  infak, sedekah, dan sebagainya, atau melaui 

proyek‐proyek kerja sama, dan bantuan pemerintah pusat maupun daerah. 

  Karena  pada  umumnya  tidak  terdapat  perencanaan‐perencanaan  yang  tepat  dan  tidak 

mempunyai  rencana  induk  pengembangan  pesantren  baik  untuk  jangka  pendek  maupun  jangka 

panjang, maka sulit diukur memadai‐tidaknya dana, tetapi secara keseluruhan akan tampak perbedaan 

dari pesantren satu terhadap yang lain. Hal ini tampak dari jumlah gedung yang dimiliki, tanah, sumber‐

sumber  dana,  dan  fasilitas‐fasilitas  lainnya,  serta  banyaknya  santri  yang  diasuhnya.  Hal  terakhir  ini 

merupakan  indikator popularitas atau kebesaran pesantren. Bagi pesantren berlaku  semboyan: “dana 

berapa  pun  cukup  dan  dana  berapa  pun  tidak  cukup”.  Sama  halnya,  dengan  pandangan  pesantren 

terhadap  jumlah  santri:  “berapa pun  jumlah  santri,  sepanjang yang bersangkutan mau menjadi  santri 

dapat ditampung” kecuali PP Gontor karena menyelenggarakan  pendidikan formal: Kuliyatul Mu’alimin 

Islamiyah,  dan  telah memiliki  persyaratan‐persyaratan  tertentu  yang  jelas,  seperti:  rasio murid‐guru, 

jam atau waktu belajar menyelesaikan studi, dan sebagainya. “Pesantren” tidak kenal drop out, tetapi 

madrasah  dan  sekolah  umum mengenalnya.  Pesantren  tidak menilai  “jumlah”  lulusan  tetapi  hanya 

“kualitas” lulusan, yaitu mutu santri yang telah menjadi kiai besar. 

  Tatapi,  pada  waktu‐waktu  ini  telah  tampak  tanda‐tanda  baru  bahwa  pesantren  menyadari 

pentingnya perencanaan‐perencanaan yang akurat untuk mengembangkan dirinya di masa mendatang. 

Seperti: mendaftar jumlah alumni, lahirnya organisasi atau ikatan‐ikatan santri dari pesantren tertentu, 

memikirkan  dan  memporses  pembelian  tanah  untuk  perluasan  pesantren,  pembangunan  gedung‐

gedung  baru  atau  aula  yang  dapat menampung  sejumlah  santri  atau  audience  yang  diinginkan,  dan 

sebagainya. 

 

2.12. Saran dan Alat‐alat Pendidikan 

Sebagaimana  disebutkan  di  muka,  sarana‐saran  esencial,  yang  sekaligurs  merupakan  cirri  khas 

pesantren adalah: (a) Mesjid atau surau, (b) Rumah kiai, (c) Rumah ustaz, (d) Asrama santri, (e) Gedung 

belajar, (f) Perkantoran, (g) Pos keamanan, (h) Ruang tamu, (i) Perpustakaan, (j) Tempat mandi‐WC, (k) 

Dapur,  (l)  Ruang  makan,  (m)  dan  sebagainya,  sesuai  dengan  besar  kecilnya  pesantren  yang 

bersangkutan.  Pesantren yang paling kecil memiliki: a, b, c, dan d; yang lebih besar ditambah dengan e, 

f, g, h, I, j; yang lebih besar lagi memiliki semuanya ditambah dengan sarana‐sarana olahraga, seni, balai 

pertemuan, rumah tamu, dan sebagainya. Dari enam pesantren objek penelitan, dilihat dari segi sarana, 

urutannya dari  yang paling besar  adalah: PP Gontor, PP  Sukorejo, PP  Tebu  Ireng, PP Blok Agung, PP 

Guluk‐Guluk, dan PP Paciran (Lihat Lampiran 1). 

  Alat‐alat pendidikan, dalam arti alat untuk belajar‐mengajar bagi  jenis pendidikan “pesantren” 

seperti disebutkan di atas, amat sederhana karena sifat belajarnya yang memang tidak memerlukannya. 

Page 98: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

98 

 

Tetapi  bagi madrasah  dan  sekolah  umum,  terdapat  alat‐alat  pendidikan  dan  pengajaran  yang  lebih 

lengkap: bangku, papan tulis, alat tulis‐menulis, alat pengeras suara, over hand projector, dan alat‐alat 

kekinian  tampak mulai muncul. Mereka  tampak memiliki  laboratorium‐laboratorium untuk madrasah 

dan sekolah umum yang diselenggarkannya. Dari segi alat‐alat pendidikan yang dimilki tampaknya masih 

jauh memadai  jika dilihat dari kemajuan  ilmu dan teknologi saat  ini. PP Tebu Ireng memiliki komputer, 

yang masih dipergunakan untuk keperluan yang sangat terbatas. Sedang PP Gontor pada saat penelitan 

ini  sedang  dalam  perjalanan memebeli  komputer.  Tetapi  sudah  banyak  pesantren‐  pesantren  yang 

memiliki telefon dan percetakan, serta mobil untuk kepentingan tranportasi komunikasi dengan sistem 

lain di luar dirinya. 

  Bagaimana pun perkembangan selanjutnya akan sangat tergantung pada kemampuan mengelola 

dan dananya. 

 

3. Dinamika Sitem Pendidikan Pesantren: Perspektif Bentuk Pendidikan Pesantren di Masa Depan. 

Berdasarkan  sejarah  kehidupan  pesantren,  dapat  disimpulkan  bahwa  pesantren  telah  mampu 

mempertahankan  kehadirannya  di  tengah‐tengah  kehidupan masyarkat  dari  zaman  ke  zmana.  Pada 

periode  awalnya  ia  berjuang melawan  agama  dan  kepercayaan  yang  percaya  pada  serba  Tuhan  dan 

takhayul;  tampil  dengan  membawakan  misi  agama  tauhid.  Setiap  kehadiran  pesantren  baru  selalu 

diawali dengan “perang nilai” antara “nilai‐putih” yang dibawa oleh pesantren dan “nilai‐hitam” yang 

ada di masyarakat setempat, diakhiri dengan kemenangan pesantren. Bentuk dan sifat pesantren pada 

waktu  itu:  sebagi  lembaga  pndidikan,  sosial,  dan  penyiaran  agama  dengan  sifat  pendidikan  dan 

pengajaran yang didominasi oleh pikiran ahli fikih dan tasawuf dari abad ke‐7‐13 Masehi, dengan kitab‐

kitab keagamaan yang berorientasi pada fikih dan kesufian. (lihat lampiran 2). Hampir semua kiai pendiri 

dan pengasuh pesantren dilaporkan sebagai memiliki cerita‐cerita legendaris lengakp dengan kesaktian‐

kesaktian badaniah dan misteri kekuatan batiniah yang luar biasa di samping memiliki ilmu agama yang 

tinggi  untuk  melawan  kekuatan‐kekuatan  hitam  dan  kebodohan  masyarakat  terhadap  agama. 

Keberhasilan demi keberhasilan diraih oleh pesantren sehinta i memeperoleh tampat di tengah‐tenagh 

kehdiupn masyarakat,  dan menjadi  rujukan  bagi masyarakat  setempat.  Pesantren  dipandang  sebagai 

masyarakat  ideal di bidang moral keagamaan. Kiai  tidak hanya menjadi pemimpin  spiritual dan  tokoh 

kunci di dalam pesantren,  tetapi  juga di masyarakat  sekitarnya.  Pada  skala nasional, pesantren  telah 

memperoleh pengakuan sebagai  lembaga pendidikan yang  ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa 

setidak‐tidaknya di kalangan mayoritas umat Islam Indonesia yang juga merupakan golongan mayoritas 

dari bangsa indonesia. 

  Kemudian dalam periode zaman penjajahan, pesantren tetap eksis dalam kehidupan masyarakat 

muslim  dengan  posisi  uzlah  yaitu  terpisah  dari  tata  kehidupan  pemerintah  kolonial  pada  umumnya 

karena  pemerintah  kolonial  takut  pada  perkembangan  Islam  di  Indonesia,  dan  keadaan  pendidikan 

pesantren jika dilihat dari kacamata pemerintah sangat jelek, sehingga agak sulit dimasukkan ke dalam 

sistem pendidikan pemerintah. Tidak jelas batas‐batas antara  lembaga pendidikan,  lembaga sosial, dan 

Page 99: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

99 

 

                                                           

lembaga penyiaran agama;  tidak  jelas kedudukan antara guru, pimpinan spiritual, penyiar agama, dan 

pekerja  sosial  keagamaan21.  Tulisan  bahasa  Arab  sebagai  bahasa  yang  dipelajari  dan  dipergunakan 

dalam pesantren  sangat  berbeda dan  sulit dipadukan dengan  tulisan  Latin  yang dipergunakan dalam 

system pendidikan pemerintah. Tulisan Arab mulai dari kanan sedang tulisan Latin mulai dari kiri. Tidak 

jelas tujuan kurikulum system evaluasinya, dan sebagainya. Akhirnya, posisi pesantren tetap berada di 

luar  system  pendidikan  pemerintah.  Dalam  keadaan  uzlah  tersebut,  pesantren  tetap  menjalankan 

fungsinya  sebagai  lembaga  untuk memperdalam  ajaran  agama  yang  bercorak  fikih‐sufistik  tersebut. 

Pesantren dilarang mengajarkan hal‐hal yang berkaitan dengan urusan‐urusan keduniawian kecuali yang 

menyangkut  hukum waris  (fara’id).  Hal  tersebut membawa  keuntungan  dan  kerugian  sekaligus  bagi 

pesantren.  Keuntungannya  ialah  pesantren  berhasil  menjadi  lembaga  pendidikan  yang  berhasil 

mengembangkan pertahanan mental  spiritual,  solidaritas, dan kesederhanaan hidup yang kuat,  tetapi 

kelemahannya ialah bahwa pendidikan pesantren bagaikan lepas dari kehidupan nyata, tidak mendarat 

di bumi, karena orientasi kehidupannya telalu berat ke akhirat dan kurang memperhatikan kepentingan 

hidup duniawi. Sampai sekarang warna orientasi yang demikian ini masih dapat dilihat dengan jelas. 

  Kemudian  datang  zaman  pergerakan  dan  persiapan  perang  kemerdekaan.  Seiring  dengan 

semakin “matangnya waktu” pesantren yang pada awalnya merupakan pusat pemurnian ajaran agama 

dan kepercayaan, brubah menjadi salah satu pusat perjuangan nasional, dan pada periode perang fisik 

kemerdekaan  tersebut,  pesantren menjadi  pusat‐pusat  gerilyawan  (tentara Hizbulloh)  yang  berjuang 

melawan penjajah. Awal pembentukan Tentara Nasiona  Indonesia,  terutama pada angkatan daratnya, 

banyak  yang  barasal  dari  santri  dan  diwarnai  dengan  corak  kehidupan  atau  kultur  santri.  Di  tingkat 

pimpinan dan melalui  jalur perjuangan diplomasi,  tidak  sedikit kiai‐kiai dan pengasuh pesantren yang 

menjadi  pemimpin  nasional  dan  ikut  serta  memberikan  andilnya  dalam  menegakkan  kemerdekaan 

bangsa, melalui penyusunan dasar‐dasar konstitusi Negara. Bentuk dan sifat pesantren pada waktu  itu 

masih  tetap  sebagai  lembaga  pendidikan  agama  (tafaquh  fiddin),  social  keagamaan,  dan  penyiaran 

agama, dengan corak ajarannya yang fikih‐sufistik lengkap dengan orientasi ukhrawinya. 

  Tetapi sejak awal abad ke‐20 ilmu‐ilmu pengetahuan umum telah mulai diajarkan di pesantren, 

dan  sejak  tahun  1970‐an  latihan‐latihan  keterampilan  mengenai  berbagai  bidang,  seperti:  jahit‐

menjahit, pertukangan, perbengkelan, peternakan, dan sebagainya, juga diajarkan di pesantren. Seperti 

disebutkan  di muka,  pemberian  keterampilan  tersebut  dimaksudkan  sebagai  salah  satu  cara  untuk 

mengembangkan  wawasan  warga  pesantren  dari  orientasi  kehidupan  yang  amat  berat  ke  akhirat 

menjadi  berimbang  dengan  kehidupan  duniawi.  Sebab  sebenarnya  sejak  awalnya  santri  telah  akrab 

dengan bebagai keterampilan seperti pertanian, dan pekerjaan‐pekerjaan praktisi‐pragmatis lainnya. 

  Corak  ajaran  yang  bersifat  fikih‐sufistik  tersebut,  membawa  santri  berperilaku  sakral  dalam 

kehidupan sehari‐hari dan kepekaan yang luar biasa terhadap kejadian‐kejadian yang berkaitan dengan 

hukum agama (halal‐haram, pahala‐dosa, wajib‐sunah‐makruh dan dilarang, dan sebagainya), sehingga 

 

21  Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi, Dalam Masyarakat  Jawa, Pustaka  Jaya,  Jakarta, 1981, 

halaman 242‐243. 

Page 100: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

100 

 

menimbulkan pribadi yang peka  terhap hal‐hal yang  sifatnya karitas atau charitable, dan kurang peka 

terhadap hal‐hal yang sifatnya sekular, programatis dan kalkulatif. Misalnya santri  lebih peka terhadap 

“seekor anjing yang kehausan” atau “duri yang melintang di  jalanan” daripada sebuah “tanah  longsor” 

atau  “jembatan  yang  putus”  yang menyangkut  langsung  hajat  atau  kebutuhan  hidup  orang  banyak. 

Sikap  karitas  yang  seperti  itu  sebenarnya  memang  tidak  keliru,  Karena  memang  agama  juga 

mengajarkan hal‐hal yang demikian, tetapi masalahnya adalah bagaimana mendudukkan ajaran tersebut 

secara  proporsional  sesuai  dengan  tempat  dan masalahnya.  Ilmu  umum,  dan  keterampilan  tersebut 

dimasukkan  ke  dalam  pesantren,  dimaksudkan  untuk  mengembangkan  wawasan  keduniawian,  dan 

kesadaran bahwa “yang sekular ini” adalah bagian dari akhirat, dan keduanya adalah sama esensialnya 

untuk digumuli. Keduanya merupakan  satu kesatuan kewajiban yang  tidak dapat dipisahkan  satu dari 

yang lain, tetapi mereka hanya dapat dibedakan, dan masing‐masing memiliki nilai tersendiri yang tidak 

dapat saling menggantikan satu terhadap yang lain. Misalnya: orang yang salatnya baik dan benar, tetapi 

jika ia berbuat tidak jujur, ia tetap berdosa. Juga berlaku sebaliknya: sekalipun ia selalu berperilaku jujur 

dan banyak menolong orang dalam hidup keseharian,  tetapi  jika  ia  tidak  salat maka  ia  tetap berdosa 

karena tidak salat dan kejujurannya tersebut tidak dapat menggantikan fungsi salat. 

  Kemudian dalam masa‐masa mutakhir,  sejak 20‐30  tahun  yang  lalu,  sebagai  akibat  tantangan 

yang  semakin gencar dari perkembangan dan kemajuan  ilmu dan  teknologi, maka kini  sudah menjadi 

pemandangan  sehari‐hari  bahwa  di  dalam  pesantren  telah  diselenggarakan  jenis  pendidikan  formal, 

yaitu madrasah  dan  sekolah  umum  yang mempelajari  ilmu‐ilmu  umum.  Sumber‐sumber  belajar  pun 

telah berkembang dengan  luar biasa, tidak hanya terbatas pada kitab‐kitab kuning yang bercorak fikih‐

sufistik tersebut, tetapi telah berkembang pula pada pelajaran‐pelajaran filsafat lengkap dengan cabang 

keilmuannya.  Banyak  buku  tentang  filsafat  dan  pembaruan  pemikiran  dalam  Islam  yang  ditulis  oleh 

cendekiawan  muslim,  baik  dari  dalam  negeri  maupun  luar  negeri,  dan  diterbitkan  dalam  bahasa 

Indonesai, memasuki dunia pesantren (lihat Lampiran 8). 

  Semua  hal  tersebut  menggambarkan  seluruh  jaringan  sistem  pendidikan  pesantren  telah 

berubah tidak hanya menyangkut nilai‐nilai yang sifatnya mendasar, tetapi juga nilia‐nilai instrumental. 

Yang dimaksud dengan nilai‐nilai yang mendasar  ialah ajaran yang bersumber pada kitab‐kitab klasik, 

seperti disebutkan dalam Lampiran 2, sedang yang dimaksud nilai‐nilai  instrumental antara  lain adalah 

munculnya  lembaga‐lembaga  pendidikan  formal,  pergeseran‐pergeseran  gaya  kepemimpinan, 

diselenggarakannya  traning‐traning  kepemimpinan,  seminar‐seminar,  penelitian‐penelitian,  dan 

sebagainya secara  langsung maupun tidak  langsung merupkan pengembangan proses belajar‐mengajar 

di pesantren. 

Pada  masa  kini  pesantren  sedang  berada  dalam  pergumulan  antara:  "identitas  dan keterbukaan"; artinya di satu pihak ia dituntut untuk menemukan identitasnya kembali, di pihak lain ia harus  secara  terbuka  bekerja  sama  dengan  sistem‐sistem  yang  lain  di  luar  dirinya  yang  tidak  selalu sepaham dengan dirinya. Kiai mengalami  tantangan‐tantangan:  (I)  la bukan  lagi  sebagai  satu‐satunya sumber mencari ilmu dan moral, (2) la harus bekerja mengatasi kebutuhan ekonomi rumah tangganya, dan (3) la harus menghadapi krisis kelembagaan pesantren sebagai tempat ideal untuk mengali ilmu dan mengabdi,  telah  berkembang  selain menjadi  tempat  untuk mencari  ilmu  dan mengabdi,  juga sebagai  tempat untuk mencari nafkah dan  kesempatan untuk meniti  karier  resmi  yang  lebih tinggi. Kecuali kiai, ustaz, santri, dan orangtua santri  juga menghadapi tantangan yang serupa, 

Page 101: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

101 

 

yang pada dasarnya adalah selain mereka membutuhkan moral dan pengabdian, mereka  juga butuh kerja, mengembangkan karier, dan mencari nafkah. 

Dengan demikian, sejauh  ini telah terjadi perubahan‐perubahan bentuk, sifat dan fungsi pesantren 

sebagai berikut: 

a. Semakin  jelas  batasan‐batasan:  fungsinya  sebagai  lembaga  pendidikan  sosial  dan  penyiaran 

agama. 

b. Fungsinya  sebagai  lembaga  pendidikan  terasa  semakin menonjol  dibandingkan  kedua  fungsi 

yang lain, yang berarti semakin menuju ke arah profesionalisme di bidang pendidikan. 

c. Dengan  semakin  berkembangnya  sumber‐sumber  belajar  dan  berkembangnya  pendidikan 

formal  dalam  pesantren,  maka  semakin  beragam  (diverifikasi)  jenis‐jenis  pendidikan  yang 

diselenggarakannya,  dan  semakin menyatu  dengan  sistem  pendidikan  nasional.  Kedua  jenis 

pendidikan  formal  tersebut  (madrasah  dan  sekolah  umum) merupakan  jembatan  bagi  santri‐

santri  untuk memasuki  sekolah‐sekolah  formal  yang  lebih    tinggi  tingkatannya  dalam  sistem 

pendidikan nasional. 

Sementara  itu,  kecenderungan  global  perkembangan  dunia  pendidikan  dalam  budaya  industri  ini 

adalah sifatnya yang semakin masif, standar, dan rasional. Pendidikan keilmuan akan semakin menonjol 

di masa‐masa mendatang, termasuk  ilmu‐ilmu agama. Sebagaimana diketahui saat, pembagian bidang 

studi untuk tingkat pendidikan menengah atas: A1 (Matematika dan Fiisika), A2 (Biologi dan Kimia), A3 

(Sosial), A4 (Bahasa dan Budaya), A5 (Agama). Di sini jelas yang dimaksudkan dalam A5 tersebut adalah 

ilmu  agama.  Lembaga‐lembaga  pendidikan  akan  semakin  didominasi  dengan  pekerjaan‐perkerjaan 

untuk mengajarkan dan mengembangkan ilmu daripada mengembangkan nilai‐nilai dan kearifan. Tidak 

semua  hal  dalam  kehidupan  ini  (nilai  dan  kearifan)  dapat  diajarkan  dan  dididikkan melalui  lembaga 

pendidikan  formal atau  sekolah‐sekolah. Guru dapat mengajar  filsafat,  tatapi  ia  tidak dapat mengajar 

kebijakan. Pendidikan nilai dan kearifan akan  lebih efektif bila dilakukan melalui  jenis pendidikan non 

formal  yang  lebur dalam  kehidupan  sehari‐hari,  sebagaimana dilakukan oleh pesantren  selama  ini, di 

mana  sangat  ditekankan  pentingnya pengalaman  ajaran  agaman dan moral dalam  kehidupan  sehari‐

hari. 

Diverifikasi  pengembangan  bentuk  dan  jenis‐jenis  pendidikan  pesantren  tersebut,  dapat  dilihat 

dengan lebih jelas melalui bagan berikut: 

 

 

 

 

 

 

Page 102: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

102 

 

I

II

III

IV A

IV B

:

:

:

:

:

Pendidikan non formal, khusus mempelajari kitab-kitab klasik agama (kitab kuning).

Keterampilan-keterampilan jahit-menjahit, pertanian, peternakan, perbengkelan, dan sebagainya.

Pendidikan formal: madrasah dan sekolah umum, baik untuk tingkat menengah pertama maupun atas.

Perguruan Tinggi, Sekolah tinggi Agama, Institut Agama, dan sebagainya. Jalur ini khusus untuk mempelajari dan mengembangkan ilmu-ilmu agama Islam, seperti: Ushuluddin, Syariah, Tarbiyah, Dakwah, dan sebagainya.

Perguruan Tinggi berbentuk universitas, sampai saat ini fakultas-fakultas yang diasuhnya tidak hanya fakultas-fakultas agama, tetapi sangat potensial dibuka fakultas-fakultas umum, karena sejak dalam kotak III sudah diselenggarakan sekolah-sekolah umum di samping sekolah-sekolah agama.

Sehubungan dengan itu, maka arah perkembangan pendidikan pesantren diperkirakan akan beljalan menempuh bentuk-bentuk sebagai berikut:

3.1. Tetap berbentuk lama, yaitu sebagai pendidikan non formal, khusus mendalami ilmu-ilmu agama, yang menekankan pentingnya pengamalan agama dalam hidup sehari-hari, bersumber dari penilaian para ahli fikih dan sufistik dari abad ke-7-13 Masehi dengan kitab-kitab klasik keagamaan. (Lihat lampiran 2).

Tampaknya bentuk tersebut secara murni dan konsekuen sudah tidak memadai lagi untuk dipertahankan, tetapi beberapa nilai tertentu rnasih amat penting untuk dipertahankan dan bahkan perlu dikembangkan. Misalnya keikhlasan, kesederhanaan, kebersamaan, dan moral keberagamaan sebagai pedoman dalam hidup keseharian.

Page 103: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

103 

 

3.2. Berbentuk tetap sebagai pendidikan non formal di bidang agama tetapi dilengkapi dengan berbagai keterampilan; dengan catatan bahwa bidang studi keagamaan juga terus dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam, jadi tidak hanya terbatas pada sumber-sumber ajaran lama seperti tersebut di atas, yaitu terbatas pada fikih-sufistik saja, tetapi perlu dilengkapi dengan filsafat, dan pemikiran-pemikiran baru dalam Islam sesuai dengan perkembangan zamannya. Tanpanya tentu ini akan dapat bertahan terus, tetapi kelemahannya, ia tidak mampu mengakomodasikan perkembangan ilmu dan teknologi termasuk ilmu-ilmu agama, secara teoritis di masa-masa mendatang. Bentuk kedua ini berarti pesantren lebih menjadi lembaga pemakai ilmu daripada sebagai lembaga pengembagan ilmu.

3.3. Berbentuk seperti alternatif kedua ditambah dengan penyelenggaraan pendidikan formal, baik madrasah maupun sekolah umum, sebagaimana sekarang ini berlaku: “pesantren” madrash, dan sekolah umum, hidup dalam satu kampus pesantren. Bentuk ini diperkirakan akan dapat bertahan di masa-masa depan, karena dengan demikian akan selain mengisi kekurangan masing-masing antara “pesantren” sebagai jenis pendidikan non formal yang menggarap bidang nilai yang dalam hal ini sebagai lembaga tafaqquh fiddin dan pengalaman agama, dengan pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) yang menggarap bidang ilmu. Dengan kata lain bentuk yang ketiga ini adalah: “pendidikan formal diselenggaraka dalam lingkar budaya pesantren”. Tetapi dengan alternatif ketiga ini pesantren akan tetap menjadi pendidikan non formal, yang hidup berdampingan dengan pendidian formal.

3.4. Berubah menjadi bentuk pendidikan formal yang mengasuh khusus ilmu-ilmu agama, dalam pengertian sebagaimana disebut dalam alternatif pertama di muka. Bentuk ini kiranya tidak dapat dipertahankan karena ilmu-ilmu yang diajarkan kurang memadai dengan kebutuhan.

3.5. Berubah menjadi altrenatif keempat ditambah dengan ilmu-ilmu pengetauhan umum, dan ilmu-ilmu agama yang diajarkan juga dikembangkan sesuai dengan perkembangan pemikiran dalam Islam. Jadi dalam alternatif kelima ini: pengajaran ilmu-ilmu agama menjadi mayoritas, sedang ilmu pengetahuan umum menjadi minoritas. Alternatif kelima ini sama dengan sekolah-sekolah percobaan yang diadakan oleh Departemen Agama yang disebut “Madrasah Plus”, yang sejak 2-3 tahun yang lalu diadakan di Padang, Ujung Padang, Jawa Timur. Sekolah percobaan tersebut dimaksudkan untuk mencari masukan calon-calon mahasiswa bagi IAIN, dengan perbandingan kurikulum : 70% ilmu agama, 30% ilmu pengetahuan umum.

3.6. Berubah menjadi bentuk pendidikkan formal, sebagaimana alternatif kelima di atas, tetapi dengan perbandingan terbalik: 70% akal (ilmu pengetauhn umum atau metode berpikir), 30% moral (agama). Betnuk ini sama dengan bentuk yang sekarang berlaku bagi madrsah-madrasah yang diasuh oleh Departemen Agama, sebagai hasil keputusan Menteri Agama, Pendidikan dan Kebudayaan, dan Dalam Negeri, tahun 1975. Pola in sebenarnya satu

Page 104: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

104 

 

model dengan perguruan-perguruan yang diselenggarakan oleh perguruan-perguruan Islam swasta seperti Muhamadiyah, NU, dan sekolah Islam lainnya, seperti UII (Universitas Islam Indonesia) Yogyakarta, dan sebagainya. Hanya pada perguruan-perguruan yang terakhir ini mungkin pengajaran agamanya ada yang lebih kecil dari 30%, dan ada yang lebih besar dari 30% sesuai dengan seleranya masing-masing; tetap 1 yang jelas dalam alternatif keenam ini, kurikulum ilmu agama merupakan kelompok minoritas, sedang ilmu umum merupakan kelompok mayoritas. Alternatif keenam tersebut akan menjadi tipe ideal bagi bentuk pesantren di masa depan, karena dengan komposisi kurikulum 30% agama, 70% umum tersebut memungkinkan diletakkan kerangka dasar pemikairan rasional, dan hal itu diselenggarakan dalam kultur pesantren lengkap dengan sistem asramanya, setelah disesuaikan dengan kebutuhan zamannya. Dikaitkan dengan persepektif kedudukan pesantren sebagai subsistem pendidikan nasional, maka tidak semua aspek kultur (asrama) pesantren perlu dikembangkan dalam sistem pendidikan nasional; ada aspek-aspek tertentu daripadanya yang harus ditinggalkan karena sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan zaman. Dengan diletakkannya landasan dasar metodologi berpikir rasional yang kuat, memungkinkan santri mengembangkan kemampuan daya intelektual dan ilmunya, sedang dengan hanya kekayaan materi tanpa metodologi hanya akan membawa santri berpikir dogmatis. Gambaran asrama pesantren pada saat ini ialah: “Merupakan tempat tinggal bersama: selama 24 jam, mata santri memandang mesjid atau surau sebagai tempat ibadah, telinganya selalu mendengar alunan suara-suara bacaan ayat-ayat suci Alqur’an, mulutnya selalu mengumandangkan suara-suara istigfar, takbir, tahmid, dan pujian-pujian selawat nabi, kaki dan tangannya selalu basah dengan air wudhu dan siap melangkah ke mesjid untuk menunaikan salat, dan seluruh gerak langkahnya selalu berlomba dalam mengamalkan agama dan mengaharapkan berkah kiai”. Keadaan yang seperti itu, selain dapat menimbulkan hal-hal positif seperti berkembangnya moral keagamaan yang baik dan pertahanan mental-spiritual keagamaan yang kuat juga dapat menghambat perkembangan individualitas (jati diri), karena pribadi individu telah larut ke dalam kepribadian kolektif, dan dapat menimbulkan penyimpangan - penyimpangan kejiwaan lainnya yang tidak diharapakan, seperti hubungan seksual dengan sesama jenis kelamin, sikap tertutup, fanatisme agama yang sempit, dan sebagainya. Oleh Karena itu, diperlukan pembauran konsep asrama di masa depan agar pesantren mampu menyatakan kehadirannya sebagai subsitem pendidikan nasional secara mantap di masa-masa depan. Tampaknya kebutuhan asrama di masa dapan ialah bahwa asrama bukan sekadar tempat hidup berasrama selama 24 jam dari tahun ke tahun seperti tersebut di atas, tetapi asrama hendaknya juga berfungsi sebagai forum studi bersama yang secara kreatif dan inovatif mampu mengembangkan Ilmu, teknologi dan agama, sesuai dengan tantangan zamannya dan mengembangkan individualitas atau jati diri masing-masing anggotanya yang seimbang dengan perkembangan kepribadian kolektif.

Oleh karena itu, masalah penting bagi konsep "asrama masa depan" bukan terletak pada hidup bersamanya semua anggota dalam satu tempat secara terus-menerus, tetapi adalah pemikiran selama 24 jam untuk merencanakan atau memprogramkan kegiatan-kegiatan pengembangan ilmu dan teknologi yang dipandu oleh moral agama sebagai satu kesatuan yang diamalkan dalam hidup keseharian; jadi dengan demikian asrama juga berfungsi sebagai forum dialog antara murid dan guru, dan antara murid dan sesamanya.

Page 105: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

105 

 

Dalam kaitan tersebut, pesantren perlu mengadopsi kultur Sistem Pendidikan Nasional. dalam hal wawasan berpikir keilmuan, meliputi metode berpikir: deduktif, induktif, kausalitas, dan kritis untuk memahami ajaran-ajaran agama secara kontekstual dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan umum dan teknologi dalam struktur relevansinya dengan ajaran agama.

Dengan dilaksanakannya sistem madrasah dengan kurikulum 30% agama, 70% umum, dalam kultur dan asrama pesantren menurut konsep asrama baru tersebut, diharapkan pesantren dapat menghasilkan lulusan yang mampu mengembangkan dan mengamalkan bidang keahliannya dengan tetap dipandu dan dipadu oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; dan dengan alternatif keenam ini juga terbuka kesempatan untuk mengembangkan disiplin ilmu agama Islam sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Agama No. 110 tahun 1982 (Iihat Lampiran 9).

4. Rekapitulasi Deskripsi Hasil Temuan Penelitian

Matriks berikut menggambarkan dinamika pesantren dalam mengarungi kehidupannya:

Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren:

Dulu, Sekarang dan Kecenderungannya Mendatang

No. Hal Dulu Sekarangdan Mendatang I

1. Status * Uzlah- * Sub Sistem Pendidikan

Nasional * Milik Pribadi * Milik Institusi

2. Jenis Pendidikan * Pesantren (PNF) * Pesantren (PNF)

* Madrasah (PF) * Sekolah Umum (PF) * Perguruan Tinggi (PF)

3. Fungsi * Lembaga Pendi- * Lembaga Pendidikan

dikan * Lembaga Sosial

* Lembaga Penyi-

aran Agama

4. Sifat * Bebas Waktu * Masih berlaku bagi PNF, Dan Tempat tidak berlaku bagi PF

Page 106: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

106 

 

* Bebas Biaya.

* Bebas Syarat

5. Pendekatan * Holistik * Spesifik

6. Corak Kehidupan * Fikih-Sufistik * F.S. + Ilmu

(tarekat) * Orientasi Ukhrawi * Ukhrawi + Duniawi * Sakral * Sakral + Profan * Manusia sebagai * Manusia Objek + Subjek objek (fatalistik) (vitalistik)

7. Sumber Belajar * Kiai/Ustaz * Kiai/Ustaz

* Kitab Klasik * Kitab Klasik

Agama (Kitab * Kitab-Kitab Kontemporer Kuning) Agama dan Ilmu-ilmu Umum

8. Bahasa Pengantar * Daerah * Indonesia

* Arab * Daerah * Arab * Inggris

9. Metode Belajar * Sorogan * Sorogan

* Bandongan * Bandongan

* Halaqah * Halaqah

* Lalaran * Lalaran * Kaya Materi, * Diskusi-diskusi, Training, Miskin Seminar-seminar menuju (menghafal) pengayaan metodologi

(dialog)

 

No. Hal Dulu Sekarang dan Mendatang

10. lImu * Sakral, mapan dan * Profan, Instrumental,

diperoleh melalui belum mapan, dan dicari

berkah Kiai melalui akal

* Tekstual * Kontekstual

11. Keterampilan * Merupakan bagian * Merupakan sarana pendi.

integral dari kehi- dikan untuk mengem-

dupan santri bangkan wawasan pemi-

kiran keduniawian

12. Perpustakaan,Do- * Tidak ada * Ada

kumentasi dan * Manual * Manual, Elektronikal

Page 107: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

107 

 

Alat Pendidikan

13. Tujuan * Agama (Ukhrawi) * Agama (Duniawi)

* Memahami dan meng- * Memahami amalkannya sesuai de-

mengamalkannya ngan tempat dan zaman-

secara (tekstual) nya (kontekstual)

14. Kurikulum * Menurut penjen- * Menurut penjenjangan

jangan Kitab Kitab (PNF)

* Menurut Dept. Agama (Madrasah)

* Menurut Depdikbud (Sekolah Umum)

* Perguruan Tinggi: Menyesuaikan; Dept.

Agama/Depdikbud

15. Sumber dan Penge- * Pribadi, Masyarakat * Pribadi; Masyarakat dan

lolaan Dana * Pribadi Kiai Pemerintah

* Yayasan

16. Air * "Dua Kulah”22 * Kran/Ledeng

17. Santri * Tidak Membayar * Membayar

* Memasak dan * Bayar Makan dan Penatu mencuci * Menerima Wesel Uang  

No. Hal Dulu Sekarang dan Mendatang

* Menerima bekal * Tidak mencari nafkah

in natura * Celana, Sepatu * Mencari nafkah * Mencari Ilmu dan Ijazah * Sarung &: Peci

* Mengabdi Kiai dan

Cari Ilmu

18. Ustaz * Mengabdi pad a * Mengabdi pad a Kiai,

Kiai dan belajar belajar dan mencari nafkah

19. Orangtua * Menyerahkan anak- * Mengirimkan anaknya ke

nya kepada Kiai Pesantren untuk belajar

untuk dididik dan agama agar menjadi                                                             

22 Lihat catatan kaki hlm. 35. 

Page 108: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

108 

 

memperoleh ber- orang baik dan berkeah- kah Kiai lian

20. Pengurus * Mengabdi Kiai * Bertanggungjawab pada

unit kerjanya * Memberi masukan/per-

timbangan Kiai

21. Kiai * Sumber Belajar/ * Bukan merupakan sum-

Moral Tunggal ber tunggal; namun kiai masih tetap menjadi to- koh kunci

22. Jenis Kepemim- * Karismatik * Rasional

pinan

23. Suksesi * Keturunan * Keahlian

24. Nilai Kunci * Berkah Kiai * Ibadah

* Ikhlas * Ikhlas * Ibadah * Berkah Kiai

25. Asrama * Hidup bersama * Hidup bersama

*Menerima, memiliki * Dialog

ilmu dan meng- * Menjadikan ilmu sebagai

amalkannya sarana pengembangan

diri

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 109: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

109 

 

Analisis  

Meskipun  demikian,  secara  makro  dewasa  ini  masih  terasa  adanya  dua  corak  dalam  Sistem 

Pendidikan Nasional, yaitu pendidikan akal ada pada pendidikan umum (baca pendidikan nasional) dan 

pendidikan  moral  ada  pada  pendidikan  agama  (baca  pesantren).  Padahal  keduanya  seharusnya 

merupakan  satu  kesatuan  bagaikan  sisi‐sisi  satu mata  uang  dalam  satu  Sistem  Pendidikan  Nasional. 

Untuk  ini  Sistem  Pendidikan  Nasional  perlu  mengadopsi  pendidikan  moral  dari  pesantren  dan 

pendidikan, pesantren perlu mengadopsi pendidikan akal dari Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini hanya 

mungkin jika kita mampu memandang bahwa ilmu harus bersumber pada sunnatullah, dan oleh karena 

itu, profesionalisme yang dikembangkan melalui pendidikan formal harus dipadu oleh  iman dan takwa 

kepada Tuhan.  Ilmuwan harus sadar akan kehadiran Tuhan setiap saat, dan  ia harus sadar pula bahwa 

kebenaran yang dimiliki pada satu saat tidak mustahil akan berubah atau dibatalkan oleh pendapat baru 

yang  lebih  benar,  sesuai  dengan  data  dan  fakta  yang  datang  kemudian. Melalui  ilmu  dan  teknologi, 

ilmuwan mampu mengidentifikasi  daya‐daya  positif  dan  negatif  yang  secara  kodrati  ada  pada  objek 

studinya,  sehingga  ia mampu mengembangkan  dan memanfaatkan  daya‐daya  positif  dan meredam 

daya‐daya negatif bagi kepentingan hidup bersama dalam rangka mengabdi kepada‐Nya;  jadi  ilmuwan 

jangan hanya asyik dengan ilmu, teknologi dan hukum alam saja yang lepas dari pencipta‐Nya, sebab hal 

ini dapat membawanya "Iupa Tuhan" atau ateisme. Misalnya teori evolusi Darwin. Sebaliknya,  ia harus 

sadar bahwa dirinya  tidak  akan mampu membuat  hukum baru melampaui  sunnatullah. Dengan  kata 

lain, tanggung jawab pendidikan adalah menjadikan anak didiknya mampu memahami dan menghayati 

makna sujudnya makhluk pada Penciptanya, yaitu Tuhan. 

Matriks berikut menggambarkan analisis perbandingan antara pesantren dan pendidikan umum: 

 

 

Page 110: Dinamika sistem pendidikan pesantren : suatu kajian tentang unsur dan nilai sistem pendidikan pesantren / MastuhuBAB-4

110