17
DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA- KEMERDEKAAAN PADA MASJID JAMI’ BAITURROHIM MERAPI, SEMARANG Bharoto 1 dan Abdul Malik 2 korespondensi penulis : 1 [email protected] dan 2 [email protected] 12 staf pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang abstrak Bahasan berikut berupaya mengungkap fenomena arsitektur vernakular Jawa pada ruang dan waktu yang dapat memberi disturbasi kesinambungan tradisinya. Semarang merupakan wilayah di luar sebaran arsitektur Jawa. Sementara era pasca-kemerdekaan memperlihatkan diseminasi modernitas dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini membangkitkan keingintahuan akan representasi arsitektur Jawa melalui sebuah bangunan, yaitu Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Gajahmungkur, Semarang. Jenis bangunan, pola tata ruang, serta sistem struktur dan bentuk atap merupakan unsur teraga yang mewujudkan tradisi. Pembahasan akan meninjau keselarasan ketiga unsur tersebut berdasarkan pemahaman atas konsep manjing dari pengetahuan Griya Jawa. Akhir bahasan tidak menilai keabsahan obyek sebagai perwujudan arsitektur Jawa, akan tetapi memaknainya sebagai dinamika yang terbentuk oleh tapis setempat berupa pemahaman agen pembangunnya. kata kunci: dinamika arsitektur Jawa, unsur teraga perwujudan tradisi, tapis setempat Latar belakang Saat ini bahasan arsitektur vernakular tidaklah menyurut, bahkan ikut mewarnai perkembangan teori-tis maupun praksis arsitektur kontemporer. Hal ini ter-cerap pada pengembangan salah satu paradigma arsi-tektur kontemporer yang berupaya menempatkan kem-bali hakikat arsitektur sebagai penyedia ruang hidup manusia di dunia. Wujudnya antara lain: konsiderasi terhadap nilai kesejarahan, berkelanjutan, dan kehi-dupan keseharian. Sumbernya meninjau arsitektur pra modern atau arsitektur vernakular yang hidup di te-ngah-tengah komunitas masyarakat sebelum atau se-telah terimbas modernisasi. Pada bagian inilah arsitek-tur vernakular kembali diungkap, diulas dan dibahas dengan harapan memberi asupan bagi pengembangan arsitektur kontemporer. Seperti ungkapan Vellinga (2006: 83) berikut ini: “…the vernacular as a source of architectural knowledge and that critically examines the way in which this know-how may be integrated with new forms, resources and techno-logies so as to develop culturally and environmentally sus-tainable architecture for the future. Wilayah Indonesia yang sedemikian luas dengan karakteristik alam yang berbeda-beda di setiap tempat-nya memperlihatkan keragaman representasi arsitektur vernakular. Masing-masing masyarakat mengembang- kan arsitekturnya sebagai wujud adaptasi berhuni. Le-bih jauh lagi keragaman manifestasi ini menunjukkan pula kekayaan pengetahuan arsitektur vernakular yang ada. Namun hasil kajian arsitektur vernakular, sebagai arsitektur masa lalu, dikhawatirkan belum dapat sepe-nuhnya mendukung pengembangan arsitektur kontem- porer. Ketidakseksamaan memahami arsitektur verna-kular tertentu merupakan permasalahan utama dalam upaya pengembangan tersebut. 1

DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA-KEMERDEKAAAN PADA MASJID JAMI’ BAITURROHIM MERAPI, SEMARANG

Bharoto1 dan Abdul Malik2

korespondensi penulis : [email protected] dan [email protected] 12staf pengajar Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Diponegoro Semarang

abstrakBahasan berikut berupaya mengungkap fenomena arsitektur vernakular Jawa pada ruang dan waktu yang dapat memberi disturbasi kesinambungan tradisinya. Semarang merupakan wilayah di luar sebaran arsitektur Jawa. Sementara era pasca-kemerdekaan memperlihatkan diseminasi modernitas dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini membangkitkan keingintahuan akan representasi arsitektur Jawa melalui sebuah bangunan, yaitu Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Gajahmungkur, Semarang. Jenis bangunan, pola tata ruang, serta sistem struktur dan bentuk atap merupakan unsur teraga yang mewujudkan tradisi. Pembahasan akan meninjau keselarasan ketiga unsur tersebut berdasarkan pemahaman atas konsep manjing dari pengetahuan Griya Jawa. Akhir bahasan tidak menilai keabsahan obyek sebagai perwujudan arsitektur Jawa, akan tetapi memaknainya sebagai dinamika yang terbentuk oleh tapis setempat berupa pemahaman agen pembangunnya.

kata kunci: dinamika arsitektur Jawa, unsur teraga perwujudan tradisi, tapis setempat

Latar belakangSaat ini bahasan arsitektur vernakular tidaklah

menyurut, bahkan ikut mewarnai perkembangan teori-tis maupun praksis arsitektur kontemporer. Hal ini ter-cerap pada pengembangan salah satu paradigma arsi-tektur kontemporer yang berupaya menempatkan kem-bali hakikat arsitektur sebagai penyedia ruang hidup manusia di dunia. Wujudnya antara lain: konsiderasi terhadap nilai kesejarahan, berkelanjutan, dan kehi-dupan keseharian. Sumbernya meninjau arsitektur pra modern atau arsitektur vernakular yang hidup di te-ngah-tengah komunitas masyarakat sebelum atau se-telah terimbas modernisasi. Pada bagian inilah arsitek-tur vernakular kembali diungkap, diulas dan dibahas dengan harapan memberi asupan bagi pengembangan arsitektur kontemporer. Seperti ungkapan Vellinga (2006: 83) berikut ini: “…the vernacular as a source of architectural knowledge and that critically examines the way in which this know-how may be integrated with new forms, resources and techno-logies so as to develop culturally and environmentally sus-tainable architecture for the future.

Wilayah Indonesia yang sedemikian luas dengan karakteristik alam yang berbeda-beda di setiap tempat-nya memperlihatkan keragaman representasi arsitektur vernakular. Masing-masing masyarakat mengembang-kan arsitekturnya sebagai wujud adaptasi berhuni. Le-bih jauh lagi keragaman manifestasi ini menunjukkan pula kekayaan pengetahuan arsitektur vernakular yang ada. Namun hasil kajian arsitektur vernakular, sebagai arsitektur masa lalu, dikhawatirkan belum dapat sepe-nuhnya mendukung pengembangan arsitektur kontem-porer. Ketidakseksamaan memahami arsitektur verna-kular tertentu merupakan permasalahan utama dalam upaya pengembangan tersebut.

Ketidakseksamaan tersebut paling tidak berawal dari tendensi pengkajian arsitektur vernakular yang se-kadar mencari orisinalitas artefak atau budaya manu-sia pembangunnya. Sebagaimana pendapat Paul Oli-ver (2006) maupun Marcus Vellinga (2006), maka se-yogyanya kajian arsitektur vernakular berupaya men-

cari dinamika yang terdapat di dalamnya. Pengertian inti arsitektur vernakular tidak semata terletak pada ar-tefak. Akan tetapi terpumpun pada keberlanjutan tra-disi yang tercerap dalam perubahan perwujudannya sebagai hasil adaptasi melintasi waktu dan ruang. Oli-ver (1997: 117) menjelaskan implikasi waktu dalam tradisi terletak pada kesinambungan ‘pengetahuan ten-tang bangunan’ selama tiga generasi. Namun penger-tian tersebut tidak menandakan kebekuan pengem-bangan arsitektur vernakular. Oliver menambahkan, bahwa pada kenyataannya pengembangan arsitektur vernakular oleh komunitas tertentu lebih merujuk pe-ngetahuan asli yang berasal dari nenek moyang dan belum tentu melibatkan faktor genealogis dalam pro-ses penyebarluasannya.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka arsitektur Jawa tentu memiliki pula ‘pengetahuan bangunan’. Setidaknya saat kini, Griya Jawa hasil penelitian Josef Prijotomo (2006) merupakan penanda kehadiran pe-ngetahuan tersebut, di mana kandungannya lebih me-ngetengahkan pemahaman tektonika arsitektur Jawa. Terkait ruang, waktu, dalam penyebarluasan Griya Jawa, Prijotomo memberikan catatan penting yang pa-tut diperhatikan. Diungkapkan, bahwa cakupan penye-baran Griya Jawa berada di sebagian Provinsi Jawa Tengah (terutama wilayah sebelah selatan) dan sebagi-an Provinsi Jawa Timur (wilayah sebelah barat) (Prijo-tomo, 2006: 381-382). Sedangkan lingkup waktu pe-nyebarannya, Prijotomo (2006: 271-272) menjelaskan melalui periode penulisan naskah-naskah yang menja-di landasan penelitiannya, yaitu peralihan abad ke-19 ke 20. Ditengarai naskah tersebut merupakan rekaman pengetahuan arsitektur Jawa dari masa sebelumnya. Prijotomo (2002 dan 2006) menduga penulisan terse-but merupakan bentuk resistansi terhadap infiltrasi bu-daya asing. Infiltrasi itu salah satunya terungkap da-lam Layang Balewerna yang secara eksplisit menggu-gat tradisi rumah masyarakat Jawa.

1

Page 2: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

Lingkup ruang dan waktu penyebaran Griya Jawa ini mengundang keingintahuan terhadap representasi arsitektur Jawa yang tidak tercakup di dalamnya. Pada sisi ruang, Semarang yang terletak di Provinsi Jawa Tengah bagian utara merupakan salah satu wilayah yang tidak termasuk di dalamnya. Selain tidak terca-kup dalam wilayah sebaran Griya Jawa, kondisi Se-marang pun tidak mendukung keberlangsungan tradisi arsitektur Jawa. Secara geografis posisi Semarang te-pat berada di tengah Pulau Jawa dan berhadapan lang-sung dengan Laut Jawa. Kondisi ini menjadikan Se-marang sebagai kota pelabuhan besar pada abad ke-17 yang ramai didatangi pedagang manca negara (Lom-bard, 1990a: 54). Kondisi kesejarahan menunjukkan sejak 1743 Belanda mutlak mengokupasi Semarang (Lombard, 1990b: 63, 65 dan Soeratman, 2000: 25). Kedua hal tersebut tentu memberi dampak derasnya infiltrasi budaya asing dalam kehidupan masyarakat Semarang. Namun sebaliknya kesaksian Stamford Ra-ffles, historiografi Jawa dari Dennys Lombard, mau-pun pemikiran sosial budaya dari Franz Magnis-Soe-seno memastikan bila Semarang termasuk wilayah se-baran budaya Jawa di Pulau Jawa yang berbeda de-ngan Tanah Pasundan.

Terkait waktu, pengembangan arsitektur Jawa melalui kesinambungan Griya Jawa tergugat eksisten-sinya ketika modernisasi berlangsung. Sulit menentu-kan mula awal modernisasi di Indonesia, terlebih Se-marang. Namun apabila memahami modernitas dari sudut pandang lebih luas, maka perubahan ranah poli-tik, budaya, ekonomi, dan sosial yang menghinggapi segenap masyarakat tanpa ada perkecualian merupa-kan penanda signifikan kehadirannya (Abercrombie dkk, 2010: 356). Tidak dapat memungkiri, bila keada-an tersebut hanya dapat terjadi sejak Indonesia merde-ka. Setidaknya tercerap dalam beberapa perubahan be-rikut ini: a). peralihan sistem kelembagaan negara dari monarki ke republik; b). ketaatan terhadap hukum ne-gara (sekuler) yang bersifat mutlak bagi seluruh warga negara; c). bersemainya sistem ekonomi barat; serta d). runtuhnya otoritas tradisional. Demikian pula mo-dernisasi di ranah arsitektur yang tertengarai dengan berdirinya pendidikan berbasis modernisme, metoda kerja baru, perubahan agen pembangunan, penerapan teknologi serta material pabrikan, dan lain sebagainya. Keadaan ini tentu mengubah arsitektur vernakular di semua wilayah Indonesia, tidak terkecuali Semarang.

Berpijak pada permasalahan yang diungkap, maka bahasan ini berupaya menyelisik representasi arsitek-tur vernakular di Semarang era pasca-kemerdekaan. Pumpunan bahasan akan menggunakan sebuah ba-ngunan peribadatan umat muslim, yaitu Masjid Jami’ Baiturrohim, Merapi. Pilihan terhadap obyek ini dirasa cukup tepat, karena memiliki karakter yang mendu-kung topik bahasan. Visualisasi bentuk atap bangunan analog dengan tajug tumpang tiga. Bentuk ini populer sebagai bentuk masjid dalam arsitektur Jawa (gambar. 1). Sistem konstruksi bangunan pun diduga analog de-ngan tradisi arsitektur Jawa (gambar. 2). Masjid ini berdiri pada masa pasca-kemerdekaan. Lokasi ba-

ngunan yang berada di Kecamatan Gajahmungkur, Se-marang memperlihatkan tidak eksisnya arsitektur Jawa dari masa lalu. Apabila menduga masjid ini sebagai karya arsitektur vernakular yang dapat hadir di tengah laju modernitas dengan lingkungan yang non-tradisio-nal, maka setidaknya muncul tanda tanya yang berke-naan dengan representasi dan kondisi yang mendorong perwujudan tradisi arsitektur Jawa pada masjid ini. Kedua hal itu menggugah pula pemaknaan represen-tasinya dalam trayektori arsitektur Jawa.

Tinjauan Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi Masjid Jami’ Baiturrohim berlokasi di Jalan Me-

rapi no. 25, Kecamatan Gajahmungkur, Semarang. Te-patnya pada ujung jalan Jalan Merapi yang berbatasan dengan Jalan Slamet, Cikurai, dan Raung (gambar 3a). Walaupun posisinya sedemikian rupa, kehadiran mas-jid ini cukup terlihat karena berada di permukaan ta-nah yang lebih tinggi dari jalan sekitarnya. Tepat di seberang masjid terdapat taman yang berfungsi seba-gai area hijau sekaligus fasilitas bersama bagi warga sekitar (gambar 3d).

2

gambar 1. Bentuk atap Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi sumber: Malik dan Bharoto, 2011

gambar 2. Sistem Konstruksi dalam Masjid Jami’ Baiturrohim, Merapi

sumber: Malik dan Bharoto, 2011

Page 3: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

Masjid ini berdiri di atas tanah seluas ±1898 m2

dan terdiri dari satu massa bangunan tidak bertingkat. Terdapat tiga ruang, yaitu ruang sembahyang, mihrab, dan tempat wudlu. Ruang sembahyang seluas ± 636 m2, ruang wudhu seluas ± 66 m2, dan mihrab, sebagai tempat sembahyang bagi iman dan khotbah bagi kha-tib, seluas ± 4 m2. Terdapat pula beberapa ruang tam-bahan lain, seperti gudang (± 20 m2) dan teras (± 44 m2). Luas lantai keseluruhan Masjid Jami’ Baiturro-him ± 770 m2.

Terlihat jelas ruang sembahyang Masjid Baiturro-him terdiri dari dua bagian yang dibangun pada waktu berbeda (gambar 3c). Akhir dekade ‘90-an pengelola masjid memperluas ruang sembahyang pada sisi sela-tan dan timur, sehingga bagian masjid lama tidak lagi terlihat dari jalan di sekelilingnya. Perbedaan bagian baru dan lama dapat ditengarai melalui bentuk atap dan material (gambar 3b, c, & e). Bentuk atap limas (pyramidal roof) tiga lapis atau tingkatan menandai bagian lama. Sedangkan bentuk atap limas (pyramidal roof) yang terbagi secara modular menandai bagian baru. Material kolom bagian lama menggunakan kayu, namun sebaliknya bagian baru menggunakan beton. Hal serupa juga terjadi pada material struktur atap bangunan. Sedangkan dinding bangunan masjid selu-ruhnya menggunakan material batu bata.

Kondisi bagian lama Masjid Jami’ Baiturrohim masing cukup baik, walaupun dinding-dinding sisi se-latan dan timur telah dibongkar. Elemen-elemen kons-truksi yang terbuat dari kayu masih memperlihatkan

keutuhan dan tidak terganggu oleh elemen konstruksi bagian baru. Secara keseluruhan bentuk bagian lama masjid ini dari sisi arsitektural masih dapat ditelusuri lebih jauh perwujudan tradisi arsitektur Jawanya.

Unsur-unsur perwujudan tradisi dan Griya JawaIdentifikasi perwujudan tradisi merupakan sarana

untuk memahami arsitektur vernakular di suatu tem-pat. Menurut Oliver (1997: 117), perwujudan tradisi setidaknya tercerap dalam delapan unsur, yaitu: (1) or-ganisasi dan orientasi pemukiman (settlement organi-zation and orientation); (2) upacara penghormatan (ri-tes of dedication); (3) jenis bangunan (building types); (4) sistem struktur dan bentuk atap (structural system and roof forms); (5) teknologi dan teknik konstruksi (technologies and technique of construction); (6) ke-ahlian dan peran gender dalam pembangunan (specia-lized and gender roles of builders); (7) pola tata ruang (spatial relationship); (8) ornamen (element that de-corated or have symbolic value).

Apabila meninjau unsur-unsur perwujudan tradisi tersebut, maka terdapat keterhubungan diantaranya. Berawal dari unsur perwujudan tradisi tak teraga (intangible) yang melandasi hadirnya unsur teraga (tangible). ‘Keahlian dan peran gender dalam pemba-ngunan’ merupakan pedoman atau norma perilaku laki-laki dan wanita dalam berhuni, baik pada tahap pra maupun pasca pembangunan (Prussin dalam Oli-ver, 1997: 82). Norma yang juga terdapat pada tahap pra pembangunan adalah kepercayaan menjaga hubu-

3

gambar 3. kondisi Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Semarangsumber: (a, c, d, & e) Malik & Bharoto, 2011; (b) disalin dari http://www.google earth.com

(a). Lokasi

(d) Tampak Masjid

(b) Foto udara yang memperlihatkan atap masjid bagian lama dan baru

(e) Elemen konstruksi pada bagian baru

(c) denah bagian masjid lama dan baru

Page 4: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

ngan harmonis antara manusia dengan alam melalui ‘upacara penghormatan’ (Frick dalam Oliver, 1997: 550). Sedangkan unsur yang berkaitan erat dengan pendirian bangunan adalah ‘teknologi dan teknik konstruksi’, yang di dalamnya mengandung pema-haman pemilihan material, proses pembangunan, dan keahlian pertukangan (Aubry dan Supic dalam Oliver, 1997: 787). Ketiga unsur ini merupakan perwujudan tradisi yang tidak langsung tercerap ketika suatu karya arsitektur vernakular telah terbangun (post factum), se-hingga ketiganya dapat dikelompokkan dalam unsur tak teraga.

‘Organisasi dan orientasi permukiman’ adalah un-sur teraga perwujudan tradisi dalam skala makro yang menunjukkan hubungan antara dinamika pandangan hidup manusia dengan pola permukiman permanen (Fedick dalam Oliver, 1997: 170). Pada satu sisi per-wujudan tradisi dapat langsung tertengarai pada pola permukiman eksisting. Akan tetapi dinamika pandang-an hidup penghuninya merupakan unsur tak teraga yang hanya dapat dipahami dan dicerap melalui nilai kehidupan keseharian yang terjadi. Dengan demikian titik berat pemahaman unsur tradisi ini adalah kepa-duan antara pandangan yang termanifestasi dalam pe-rilaku manusia yang berhuni (unsur tak teraga) dengan pola permukiman sebagai dampak akhirnya (unsur tak teraga).

‘Jenis bangunan’ merupakan fenomena arsitektu-ral yang tercipta dan tercerap lewat keragaman bentuk dan fungsinya (Boehm dalam Oliver, 1997: 611). Ben-tuk bangunan serta sistem struktur memunculkan or-ganisasi, sifat ketertembusan, hirarki, dan hubungan antar ruang yang terliput dalam ‘pola tata ruang’ (Da-vis dalam Oliver, 1997: 629). Hubungan antar elemen konstruksi yang mengaplikasikan prinsip perakitan tertentu merupakan ejawantah hakikat bangunan seba-gai tempat berteduh dan mendudukkan atap sebagai elemen utamanya. Pemahaman ini tercakup dalam ‘sistem struktur dan bentuk atap’ (Oliver, 1997: 347). Budaya manusia yang menghuni tercerap pula dalam bubuhan ‘ornamen’ pada elemen-elemen pengkons-truksi bangunannya (Oliver, 1997: 499). Keempat un-sur ini dapat langsung tercerap pada bangunan eksis-ting. Dengan demikian keempatnya merupakan unsur teraga perwujudan tradisi arsitektur vernakular.

Pengetahuan arsitektur Jawa atau Griya Jawa menitikberatkan pada konsep manjing, yaitu keterpa-duan sejumlah entitas tanpa harus meniadakan keman-dirian masing-masing entitas pembentuk kesatupaduan (Prijotomo, 2006: 263). Keterpaduan tersebut akan tertengarai pada keselarasan antara cita (angsar/wa-tak), fungsi (guna griya), rupa (dhapur griya). Menu-rut Prijotomo (2006: 284), ketiga komponen utama tersebut merupakan pengada Arsitektur Jawa, di mana cita menjadi idealisasi kehidupan, fungsi menjadi pe-nyedia manfaat atau penaung, dan rupa sebagai daya atau kekuatan struktural, serta pengindikasi tampilan bangunan. Kaidah ini mengejawantah dalam pengen-dalian dimensi, posisi, dan arah perletakkan elemen pengkonstruksi bangunan (Prijotomo, 2006: 282-284).

Perwujudan tradisi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Semarang

Jenis bangunan, pola tata ruang, sistem struktur dan bentuk atap, serta ornamen merupakan sarana i-dentifikasi perwujudan tradisi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Semarang (bagian lama). Namun amatan terhadap bagian lama tersebut tidak menemukan adanya gubahan ornamen. Satu-sa-tunya gubahan ornamen hanya terdapat pada gapura masjid yang terletak di sisi utara. Dengan demikian bahasan perwujudan tradisi arsitektur Jawa pada ba-ngunan ini tidak akan meninjau ornamen.

Tradisi arsitektur Jawa belum sepenuhnya terpe-nuhi apabila tidak mengkaitkan dengan pengetahuan Griya Jawa, terutama konsep manjing. Oleh karena itu bahasan akan memeriksa keselarasan unsur-unsur per-wujudan tradisi pada masjid ini dengan konsep man-jing untuk mengetahui representasi arsitektur Jawa. Alur pembahasan terlihat pada diagram berikut:

a. Jenis bangunan Arsitektur Jawa mengenal jenis bangunan berda-

sarkan kesesuaian bentuk (dhapur) dengan gunanya. Terdapat empat jenis dhapur, antara lain: joglo, tajug, limasan, dan kampung (Prijotomo, 1995; 2006). Ke-empat bentuk tersebut berkaitan erat dengan gunanya (Prijotomo, 2006: 162). Serat Centhini maupun Kaw-ruh Kalang Serat Tjarijos R. Sasrawiryatma meng-ungkapkan, bahwa bangunan dengan fungsi masjid menggunakan dhapur tajug (Prijotomo, 1995: 5-6 dan 2006: 158). Hal senada terungkap pula dalam peneliti-an empiris tentang masjid di Jawa oleh W. F. Stutter-heim (1935), G. H. Pijper (1947), Sujipto Wirjosupar-to (1962 dan 1963), H. J. de Graaf (1947, 1948, dan 1963), serta Claude Guillot (1985) (lihat Budi, 2004).

Karakteristik dhapur tajug terletak pada bentuk atap dan wujud denah. Empat bidang yang bertemu pada satu titik (pyramidal) merupakan bentuk atap dhapur tajug. Kondisi ini diikuti dengan wujud denah-nya yang bujursangkar. Prijotomo (2006: 220) menje-laskan, bahwa Griya Jawa menyebut ciri bentuk atap suatu dhapur berdasarkan satu lapisan atap teratas.

4

gambar 4. diagram alur pembahasan perwujudan tradisi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi

tahap 2pemeriksaan

tahap1identifikasi

Konsep m

anjing

Fenomena arsitektur

Masjid Jami’ Baiturrohim,

Merapi, Semarang

Jenis bangunan

Sistem struktur dan bentuk atap

Pola tata ruang

temuan: representasi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Semarang

Page 5: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan arsitektur Jawa hanya memaparkan dhapur dalam bentuk dasar atau pokok. Sementara penelitian Bambang Setia Budi (2005: 231) tentang masjid di Jawa mengungkap ben-tuk atap dhapur tajug yang lebih variatif, terutama bila ditinjau dari jumlah lapisan atap.

Pustaka bangunan tradisional (terutama Jawa Te-ngah dan DIY) yang disusun oleh Wibowo dkk. (1983), Reksodihardjo, dkk. (1985), dan Ismunandar (1986) menyebut pula beberapa varian pengemba-ngan tersebut. Atap varian pengembangan dhapur ta-jug beragam dan terentang dari satu hingga empat la-pis. Terdapat pula varian pengembangan dengan mem-perpanjang teritisan lapis atas teratas yang berbeda su-dut kemiringannya atau disebut cukit. Sebagian besar denah varian pengembangan dhapur tajug adalah bu-jursangkar, kecuali persegi panjang untuk tajug ce-blokan.

tabel 1. bentuk atap varian pengembangan dhapur tajug

no nama varian lapis atap cukit1 2 3 41 tajug tawon boni ■ - - - -2 tajug lawakan - ■ - - -3 tajug lambang sari - ■ - - -4 tajug semar sinongsong - ■ - - ■5 tajug lambang gantung - ■ - - -

6 tajug semar sinongsong lambang gantung - ■ - - -

7 tajug lawakan lambang teplok - ■ - - -

8 tajug saka tunggal lambang teplok - ■ - - ■

9 tajug semar tinandu - ■ - -10 tajug mangkurat - - ■ - -11 tajug lambang teplok - - ■ - -12 tajug ceblokan - - - ■ -

keterangan: (■) ada; (-) tidak ada sumber : Wibowo, dkk. (1983: 61-71); Reksodihardjo, dkk. (1985: 48-54); dan Ismunandar (1986: 152-166)

Varian pengembangan dhapur tajug ternyata ti-

dak hanya mengaitkan jumlah lapis atap saja. Hubung-an antar lapis atap juga ikut menentukan. Sebagai con-

toh tajug lawakan dengan tajug lawakan lambang teplok yang sama-sama memiliki dua lapis atap, akan tetapi hubungan atap teratas dan di bawahnya berbeda. Selain itu keberadaan elemen konstruksi juga dapat mempengaruhi kehadiran dhapur varian pengembang-an yang ada.

Berdasarkan pengamatan visual terhadap Masjid Baiturrohim, maka tercerap bangunan ini mengguna-kan bentuk tajug (gambar 1, 5a dan b). Bentuk terse-but terdiri dari tiga lapis atap dengan sudut kemi-ringan yang berbeda, yaitu sudut 450 pada atap teratas, sudut 330 pada atap lapis kedua, dan sudut 34,10 pada lapis atap ketiga atau terbawah. Masing-masing lapis atap tersebut dalam arsitektur Jawa dikenal dengan sebutan brunjung untuk lapis atap teratas, pananggap untuk atap lapis kedua, dan panitih untuk lapis atap ketiga.

Salah satu keunikan atap masjid ini adalah hubu-ngan antara atap brunjung dan pananggap. Pada hubu-ngan itu terdapat jendela dan kolom penyangga brun-jung (gambar 5a dan b). Demikian pula hubungan atap pananggap dan panitih yang tidak menerus, sehingga memiliki celah di antaranya. Keunikan lain juga dite-mukan pada bagian atap panitih. Pada bagian tengah empat bidang atapnya terdapat gabled dormer.

Wujud denah masjid ini - tanpa memperhatikan bagian baru - memperlihatkan kesesuaian dengan da-sar bentuk atapnya, yaitu bujursangkar. Modifikasi terdapat pada mihrab yang berupa penonjolan ruang. Adanya penambahan ini tidak mengakibatkan peru-bahan pada bentuk atap, karena ruang tersebut berada di bawah lapis atap panitih. Sedangkan bidang dinding yang menyelubungi bangunan hanya terdapat pada ba-gian barat dan utara.

Unsur jenis bangunan pada Masjid Jami’ Baitur-rohim menunjukkan keselarasan dengan tradisi arsi-tektur Jawa. Tercerap bentuk masjid ini analog dengan dhapur tajug lambang teplok, yang bercirikan tiga la-pis atap, hubungan atap brunjung-pananggap-panitih yang tidak menerus, serta kolom penyangga brunjung

yang menerus dari bawah ke atas. Denahnya bujur-sangkar dengan penonjolan pada mihrab. Pengecuali-

5

gambar 5. tampak potongan dan denah bagian lama Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, SemarangSumber: Malik & Bharoto, 2011

(a) tampak timur (b) tampak selatan (c) denah

Page 6: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

an hanya bentuk gabled dormer pada atap panitih yang tidak terdapat dalam tradisi arsitektur Jawa. b. Pola tata ruang

Bahasan perwujudan tradisi pola tata ruang pada masjid ini akan meninjau pola organisasi, sifat keter-tembusan, dan hubungan ruang. Budi (2006: 229) me-ngungkapkan, bahwa karakteristik utama ruang masjid di Jawa adalah dominasi ruang sembahyang yang cukup besar untuk menampung jamaah. Umumnya ru-ang sembahyang masjid Jawa tidak terbagi-terbagi la-gi, akan tetapi terdapat dinding yang membatasi ruang sembahyang dengan ruang di luarnya. Serambi meru-pakan ruang tambahan di luar ruang sembahyang. Se-dangkan mihrab merupakan tempat imam memimpin sholat jamaah. Posisinya berada di depan ruang sem-bahyang dan mengarah ke kiblat. Ruang ini tidak mengganggu keutuhan bentuk ruang sembahyang, ka-rena keberadaannya menonjol ke arah luar .

Pola organisasi ruang masjid di Jawa setidaknya sama dengan masjid di daerah lainnya. Mihrab, ruang sembahyang, dan serambi tersusun berdasarkan sumbu linier. Mihrab merupakan ruang masjid yang memiliki ketertembusan paling kecil. Ruang sembahyang dan serambi menyusul dengan tingkat ketertembusan se-makin besar. Mihrab dan ruang sembahyang memiliki hubungan yang cukup erat, karena jamaah pada ruang sembahyang harus dapat melihat secara jelas kebera-daan imam di mihrab. Sedangkan serambi dan kedua ruang lainnya memiliki hubungan yang tidak erat, karena terdapat dinding pembatas.

Organisasi ruang pada masjid di Jawa terbentuk secara linier, namun keberadaan kolom penyangga atap ternyata mempengaruhi pula pembentukkannya. Budi (2006: 231) menunjukkan, bahwa sebagian besar masjid di Jawa dari abad ke-15 hingga 19 memiliki empat kolom penyangga atap pada bagian tengah ru-ang sembahyang. Dengan demikian ruang sembah-yang tersusun dari dua jenis ruang, yaitu ruang bagian tengah dan tepi. Apabila mengaitkannya dengan ben-

tuk tajug, maka organisasi ruang yang terbentuk cen-derung bersifat sentrifugal.

Ragam ruang pada bangunan lama Masjid Jami’ Baiturrohim eksisting hanya terdiri dari ruang sem-bahyang dan mihrab (gambar 5c). Keduanya terorga-nisasi dalam sebuah sumbu linier. Saat ini serambi ti-dak dapat lagi ditemukan, karena berubah menjadi ru-ang sembahyang baru hasil renovasi. Sesuai dengan tradisi arsitektur Jawa khususnya masjid, maka mihrab yang ada memiliki ketertembusan paling kecil dan ruang sembahyang memiliki ketertembusan besar.

Berdasarkan keberadaan kolom penyangga atap, maka ruang sembahyang Masjid Baiturrohim terbagi dalam dua jenis, yaitu ruang tengah dan ruang tepi (gambar 5c). Ruang tengah terbentuk dari empat ko-lom penyangga brunjung. Ruang tepi berada menge-lilingi ruang tengah. Kolom penyangga brunjung dan dinding batu bata membentuk ruang tepi bagian barat dan utara. Sedangkan kolom penyangga brunjung dan panitih membentuk ruang tepi bagian timur dan sela-tan. Walaupun ruang sembahyang terdiri dari dua je-nis, akan tetapi keduanya tetap memiliki fungsi yang sama.

Identifikasi terhadap organisasi, ketertembusan dan hubungan ruang mencerap keselarasan tradisi pola tata ruang arsitektur Jawa pada masjid ini. Demikian pula dengan keberadaan kolom penyangga atap yang mengakbatkan ruang sembahyang terbagi dalam dua bagian. Secara garis besar terlihat dengan jelas pem-bentukkan ruang masjid ini bermula dari bagian te-ngah sesuai dengan tradisi pola tata ruang masjid di Jawa. c. Sistem struktur dan bentuk atap

Sebagaimana arsitektur vernakular pada umum-nya yang memandang atap sebagai elemen utama ba-ngunan, maka sistem struktur arsitektur Jawa pun ber-mula dari bagian tersebut. Konstruksi atap bagian te-ngah mengawali pembangunan. Sesuai gerakan sentri-fugal, maka pengkonstruksian selanjutnya mengarah

6

(a) kode angka pada elemen konstruksi atap (b) kode angka pada elemen konstruksi badan bangunangambar 6. kodifikasi elemen-elemen konstruksi Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Semarang

sumber: (a) dan (b) disadur dari Malik & Bharoto, 2011

Page 7: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

ke bawah (badan bangunan) dan ke arah luar (area pa-nanggap, panitih, dan seterusnya) (Prijotomo, 2006).

Pembahasan unsur tradisi ini akan memulai dari bagian atap dan berlanjut ke badan bangunan. Berawal dari bagian tengah, kemudian membahas ke bagian te-pi. Langkah pertama adalah mengidentifikasi elemen-elemen konstruksi atap Masjid Jami’ Baiturrohim yang analog dengan elemen konstruksi atap arsitektur Jawa. Langkah kedua mengidentifikasi elemen-elemen konstruksi badan bangunan, yang terdiri dari kolom (saka). Sebelum kedua langkah tersebut dilakukan, maka terlebih dahulu memberikan kode pada elemen-elemen konstruksi yang ada (gambar 6).

Temuan langkah pertama tercakup dalam tiga ba-gian di bawah naung tiga lapis atap yang ada, yaitu brunjung (bagian tengah), pananggap (bagian tepi da-lam), dan panitih (bagian tepi luar) (tabel 2). Elemen-elemen konstruksi bagian brunjung cenderung menun-jukkan sifat analog dengan elemen konstruksi arsitek-tur Jawa. Sifat analog ini tidak hanya terbangun mela-lui bentuk saja, akan tetapi juga posisi dan perannya terhadap batang lain sesuai dengan tradisi arsitektur Jawa. Seperti halnya posisi batang no.5 atau blandar di atas saka guru (gambar 7a), peran batang no.3 atau usuk sebagai kuda-kuda brunjung (gambar 7b), serta posisi batang no.1 atau ander di atas batang no.4 atau dhadha peksi dan berperan sebagai penyangga usuk dan dhudhur (gambar 7b). Khusus usuk, perannya s-ebagai kerangka bidang atap sesuai tradisi arsitektur Jawa. Namun perletakkannya tidak mengikuti tradisi pola megar payung. Batang usuk pada tiap bidang atap brunjung berjumlah 10. Jumlah ini bila dibagi 5 akan bersisa 0 (pokah atau bakah) sesuai perhitungan (pe-tungan) usuk untuk masjid dalam Kawruh Kalang Se-rat Tjarijos R. Sasrawiryatma Terdapat dua jenis ba-tang yang tidak analog (batang no.6 dan 7). Posisi ba-tang no.6 menyilang dan seakan berfungsi sebagai pe-nguat blandar. Peran batang seperti ini tidak ditemu-kan dalam tradisi arsitektur Jawa. Demikian pula ba-tang no.7 pada posisi sundhuk, akan tetapi tidak ber-peran mengunci saka guru (gambar 7c).

tabel 2. identifikasi elemen konstruksi atap Masjid Jami’ Baiturrohim

no kode jenis batang

posisi pada bangunan

elemen konstruksi Jawa yang analog

1 batang no. 1

bagian tengah/ atap brunjung

ander2 batang no. 2 dhudhur3 batang no. 3 usuk4 batang no. 4 dhadha peksi 5 batang no. 5 blandar6 batang no. 6 (?)7 batang no. 7 (?)8 batang no. 8

bagian tepi / atap pananggap

(?)9 batang no. 9 dhudhur

10 batang no. 10 blandar pananggap11 batang no. 11 (?)12 batang no. 12 sundhuk pananggap13 batang no. 13 (?)14 batang no. 14 bagian tepi /

atap panitih(?)

15 batang no. 15 (?)

16 batang no. 16 (?)Elemen-elemen konstruksi bagian pananggap me-

nunjukkan tingkat analog yang lebih rendah bila di-bandingkan bagian brunjung. Hanya tiga jenis batang yang analog dengan tradisi elemen konstruksi Jawa. Ketiganya sama-sama berada pada posisi horisontal dan berperan sebagai kerangka (balungan) bidang atap (gambar 7c). Sebaliknya elemen-elemen konstruksi bagian panitih sama sekali tidak ada yang analog. Bahkan bentuk konstruksinya pun cenderung menye-rupai kuda-kuda (lihat gambar 6).

Identifikasi elemen konstruksi badan bangunan pada bagian tengah menunjukkan adanya empat ko-lom (saka) (lihat gambar 6b). Keempat kolom (batang no.1) ini dalam arsitektur Jawa dikenal dengan istilah saka guru. Empat saka guru ini berperan menyangga blandar atap brunjung. Namun terdapat pula peran la-innya, yaitu sebagai penyangga elemen konstruksi atap panitih. Peran ini terjadi dengan cara memasuk-kan konstruksi atap panitih ke dalam saka guru.

Terdapat pula kolom-kolom (batang no.2) lain di luar saka guru (lihat gambar 6b). Kolom-kolom terse-but mengelilingi ruang sembahyang bagian lama, di mana tiap sisinya terdiri dari empat buah kolom. Dua kolom di tengah pada masing-masing sisi sejajar de-ngan saka guru. Kolom-kolom ini berperan menumpu balok beton atau ring balk. Balok beton ini selain menjadi kerangka dinding, juga berperan menumpu usuk-usuk atap panitih.

Identifikasi langkah kedua dapat mengetahui ko-lom-kolom bagian tengah atau saka guru selaras de-ngan tradisi arsitektur Jawa. Baik posisi maupun pe-rannya, saka guru ini benar-benar menjadi satu kesa-tuan konstruksi dengan bagian atap. Sedangkan peran

7

gambar 7. elemen konstruksi Masjid Jami’ Baiturrohim sumber: Malik & Bharoto, 2011

(a) hubungan saka guru dengan blandar

(b) usuk, ander, dan dhadha peksi pada atap brunjung

(c) konstruksi atap terlihat dari interior

Page 8: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

tabel 3. Identifikasi perwujudan tradisi berdasarkan lapis atap Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Semarang

gambar 8. pemeriksaan keselarasan unsur teraga pewujud tradisi dengan konsep manjing

saka guru sebagai penyangga elemen konstruksi atap panitih tidak dikenal dalam tradisi arsitektur Jawa. Sedangkan kolom-kolom tepi yang mengelilingi ruang sembahyang, baik posisi maupun perannya, sesuai de-ngan tradisi arsitektur Jawa. Namun tradisi arsitektur Jawa sendiri tidak mengenal material beton untuk ko-lom (saka) dan blandar panitih. Hal ini semata-mata terjadi karena adanya perubahan baru yang dilakukan pengelola masjid. d. Pemeriksaan keselarasann unsur teraga pewu-

jud tradisi berdasarkan konsep manjing Identifikasi terhadap unsur-unsur teraga Masjid

Jami’ Baiturrohim Merapi menemukan dua kondisi yang berbeda, yaitu keselarsan dan ketidakselarasan dengan tradisi arsitektur Jawa. Walaupun masing-ma-sing unsur teraga telah teridentifikasi dan memperoleh penilaian, akan tetapi representasi arsitektur Jawa pada Masji Jami’ Baiturrohim ini belum sepenuhnya ter-ungkap. Pemahaman bahasan terhadap representasi ar-sitektur Jawa merujuk konsep manjing dari pengetahu-an Griya Jawa, yang intinya menekankan keterpaduan antar entitas. Dengan demikian pengungkapan repre-sentasi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi perlu menindaklanjuti keselarasan yang terjadi pada tiga unsur teraganya (lihat diagram alur pada gambar 4).

Apabila tinjauan terhadap perwujudan tradisi ini menekankan bagian-bagian bangunan Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi yang paling dominan, maka lapis ataplah yang dapat menjadi pijakan temuan. Berdasar-

kan identifikasi unsur-unsur teraga melalui eksistensi tiga lapis atap yang ada, maka dapat diketahui bagian tengah Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi merupakan bagian bangunan yang paling selaras dengan tradisi ar-sitektur Jawa (lihat tabel 3). Bagian tengah ini meli-puti bentuk atap, elemen pendefinisi ruang, serta ele-men konstruksi. Sedangkan untuk bagian tepi, dari sisi bentuk sesuai dengan tradisi akan tetapi dari sisi pen-definisian ruang melalui elemen konstruksi maupun eksistensi elemen konstruksi itu sendiri tidak sesuai. Terjadi peralihan, dari selaras menuju ketidakselaras-an, pada bagian tengah ke bagian panitih.

Pemeriksaan konsep manjing menunjukkan pula ketidaksinkronan antar unsur teraga pewujud tradisi. Jenis bangunan Masjid Jami’ Baiturrohim yang ber-dhapur tajug lambang teplok seharusnya memiliki tiga jenis ruang di dalamnya dan tersedianya saka panang-gap. Namun pola tata ruang maupun sistem struktur-nya tidak memperhatikan konsekuensi tersebut (lihat gambar 8). Dengan demikian ke-manjing-an antar un-sur teraga pewujud tradisi tidak tercapai dalam bangu-nan ini. Pengertian dhapur tajug lambang teplok tidak hanya tercermin dari bentuk luar semata, tetapi pola tata ruang dan sistem struktur turut mewujudkannya.

Kondisi pada bagian tepilah yang sebenarnya mendorong ketidaksinkronan antara jenis bangunan, pola tata ruang, dan sistem struktur. Namun yang patut diperhatikan adalah kesesuaian antara gubahan bagian tengah dengan pengetahuan Griya Jawa. Sebagaimana penjelasan Prijotomo, bahwa kaidah bangunan Jawa

8

Page 9: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

yang terdapat dalam pustaka yang menjadi landasan penelitiannya tidak mengungkap secara baku tektonika pada bagian tepi, seperti pananggap dan panitih. Se-perti diungkapkannya berikut ini (Prijotomo, 2006: 220):“… Dhapur griya Jawa ini adalah bentukan yang hanya melibatkan satu lapisan penutup atap saja, yakni penutup atap yang paling menjulang di satu sisi, dan paling tengah pada posisi tempatnya. Ini berarti bahwa dalam dhapur gri-ya ini, lapisan kedua maupun ketiga (pananggap dan em-per) dari penutup atap adalah penambahan, pengkayaan atau bubuhan terhadap dhapur griya, bukan bagian integral dari griya Jawa yang memperoleh sebutan dhapur tajug, joglo, limasan atau dhapur kampung.”

Dengan demikian berdasarkan pemeriksaan kon-sep manjing ini dapat ditarik benang merah, bahwa Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi merepresentasikan tradisi arsitektur Jawa, khususnya pembentukkan dha-pur griya tajug pada bagian tengah. Namun represen-tasi tersebut meninggalkan catatan penting pada guba-han bagian tepi yang tidak selaras dengan tradisi arsi-tektur Jawa. Dapat pula dikatakan bahwa bangunan ini belum sepenuhnya melanjutkan tradisi arsitektur Jawa yang bersumber dari wilayah selatan. Latar kesejarahan Masjid Jami’ Baiturrohim Me-rapi, Semarang

Representasi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi menimbulkan tanda tanya akan disturbasi kesinambungan tradisi. Berpijak pada fakta itulah maka perlu kiranya meninjau latar kesejarahan pendirian masjid ini.

Tidak mudah mengungkap latar kesejarahan mas-jid ini. Narasumber yang ada (takmir atau pengelola masjid) tidak dapat memberikan keterangan pasti me-ngenai waktu pendirian masjid ini. Ada yang menduga masjid ini berdiri tahun 1955. Masyarakat sekitar pun tidak ada yang mampu membenarkan keterangan ter-sebut, karena sebagian besar merupakan penduduk ba-ru atau generasi yang lebih muda.

Penelusuran arsip kesejarahan Kantor Perwakilan Agama Jawa Tengah pada periode kepemimpinan K.H. Ali Masjhar (1962-1969) menemukan informasi yang berkenaan dengan masjid ini. Pada periode ter-sebut Kantor Perwakilan Agama Jawa Tengah (saat ini Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah) tengah gencar menjalankan program pena-nggulangan berkembangnya paham komunisme, Mar-xisme, dan Leninisme. Hal ini terjadi sebagai dampak pergolakan politik di Indonesia, terutama munculnya gerakan 30 September 1965. Kantor Perwakilan Aga-ma Jawa Tengah pada tahun 1966-1969 menjalankan beberapa program kerja, salah satu di antaranya adalah pendirian tempat ibadah. Khusus bangunan masjid terjadi penambahan jumlah tiap tahunnya sebesar 750 unit, langgar sejumlah 3500 unit, dan mushola sejum-lah 400 unit.

Waktu tersebut seakan berkaitan dengan inskripsi pada kayu penyangga bedug Masjid Jami’ Baiturro-him Merapi. Inskripsi tersebut bertuliskan “13 Desem-ber 1967’ dan ‘N.V. Pembangun” dan diduga merupa-

kan waktu pendirian serta perusahaan pelaksana pem-bangunan masjid (gambar 9). Keterangan takmir mas-jid mendukung dugaan tersebut. Diungkapkan, bahwa keberadaan bedug tersebut bersamaan dengan peres-mian masjid. Namun narasumber tetap berpendapat pendirian masjid tidak sesuai dengan inskripsi yang tercantum dalam kayu penyangga.

Pada tahun 1967, Kantor Perwakilan Agama Ja-wa Tengah sedang merintis pembangunan masjid be-sar Kota Semarang, yaitu Masjid Jami’ Baiturrahman Jawa Al Wustho (saat ini berada di Kawasan Simpang Lima). Demi keberhasilan proses pembangunan, maka Kantor Perwakilan Agama Jawa Tengah dan pemerin-tah kota Semarang membentuk Yayasan Baiturrah-man. Yayasan ini bukanlah organisasi yang sama se-kali baru, karena beranggotakan pengurus Yayasan Masjid Candi yang telah aktif bergerak dalam bidang keagamaan sejak tahun 1955. Penyerahan tugas ini di-landasi keberhasilan Yayasan Masjid Candi memba-ngun masjid secara swadaya pada tahun 1958. Masjid tersebut tidak lain adalah Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi. Dengan demikian dapat dipastikan Masjid Ja-mi’ Baiturrohim Merapi berdiri pada tahun 1958. Se-dangkan tahun 1967 menunjukkan waktu penyelesaian pengembangan masjid ini lewat program pemerintah.

Menilik kesamaan pengurus antara Yayasan Masjid Candi dengan Yayasan Baiturrahman, maka setidaknya dapat diperoleh kesaksian pemahaman pe-ngurus terhadap masjid di Jawa. Kesaksian ini ber-sumber pada apresiasi H.M. Sulchan, salah seorang pendiri sekaligus pengurus yayasan, terhadap tampilan Masjid Baiturrahman Jawa Al-Wustho. Seperti diung-kapkan dalam otobiografinya berikut ini (Sulchan, 1979:128):“… menampak mesjid bertingkat dengan corak arsitektur Jawa. Kubahnya tidak runcing atau setengah bola melain-kan berbentuk segi lima. Kusen-kusen pintu serta jendelanya juga tidak melengkung seperti mesjid-mesjid umumnya, me-lainkan lurus-siku. Begitu pula mihrab tempat imam atau khatib berkhotbah. Atapnya mirip atap Joglo dari lempeng-an-lempengan logam berwarna keemasan. Dengan demikian mesjid ini benar-benar mencerminkan ciri khas Jawa Te-ngah”

Apresiasi tersebut setidaknya menggambarkan pemahaman umum terhadap tradisi arsitektur masjid di Jawa. Banyak pihak yang memahami karakteristik

9

gambar 9. inskripsi pada kayu penyangga bedug Masjid Jami’ Baiturrohim

sumber: Malik dan Bharoto, 2011

Page 10: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

utama masjid di Jawa terletak pada bentuk atap. Tajug dengan puncak atap yang runcing merupakan penanda utama bagi bentuk tersebut. Susunan atap bertingkat juga menjadi indikator lain. Namun pemahaman terse-but kerap kali tidak menyoal jumlah lapis atap. Ada dugaan masyarakat saat itu menganggap jumlah lapis atap masjid adalah tiga sebagai tradisi yang baku. Pendapat ini tentunya berpijak pada kelaziman tam-pilan arsitektur masjid-masjid agung di Semarang maupun kota-kota lain di sepanjang pantai utara Jawa Tengah.

Dengan demikian dapat diperoleh kejelasan bah-wa representasi Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi ti-dak lepas dari pemahaman tradisi masjid di Jawa dari agen pembangunnya. Perhatian utama selalu bertumpu pada bentuk luar atau tampilan. Sementara konse-kuensi bentuk luar dengan pola tata ruang dan sistem struktur maupun sebaliknya sebagai sifat ke-manjing-an tidak menjadi perhatian yang seksama.

Diskusi Identifikasi tradisi arsitektur Jawa pada jenis ba-

ngunan, pola tata ruang, serta sistem struktur dan ben-tuk atap Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, Semarang menemukan adanya keselarasan, terutama pada bagian tengah bangunan. Sebaliknya bagian tepi Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi menunjukkan peralihan menuju ketidakselarasan tradisi arsitektur Jawa. Sedangkan pemeriksaan dengan konsep manjing menunjukkan ketidaksinkronan atau ketidakterpaduan antara jenis bangunan, pola tata ruang, serta sistem struktur dan bentuk atap. Akan tetapi seperti halnya temuan iden-tifikasi perwujudan tradisi melalui tiga unsur teraga, maka temuan pemeriksaan dengan konsep manjing menunjukkan keterpaduan yang hanya terdapat pada bagian tengah, bermula dari puncak atap tajug (brun-jung), ruang yang dinaungi, hingga elemen-elemen konstruksi atap serta badan bangunan. Berpedoman kaidah tektonika arsitektur Jawa dari Prijotomo (2006), maka pumpunan pengkonstruksian bangunan Jawa terletak pada bagian tengah. Dengan demikian dapat disimpulkan representasi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi terdapat sifat yang kontradiktif.

Pemaknaan terhadap kontradiksi tersebut tidak mengarah pada gugurnya representasi tradisi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi. Justru sebaliknya, sesuai pandangan Noble (2007: 281) maka kebakuan maupun keluwesan bertradisi selalu meng-iringi perjalanan arsitektur vernakular. Masyarakat pe-ngusung tradisi arsitektur vernakular, sebagaimana la-yaknya organisma yang mencoba bertahan hidup, sela-lu menyesuaikan diri terhadap perubahan. Penyesuai-an ini tentu berdampak pula pada tradisi membangun-nya. Salah satu pengejawantahan keluwesan tradisi arsitektur vernakular adalah modifikasi. Menurut Ber-gengren (dalam Noble, 2007: 282) modifikasi terjadi sebagai dampak pertemuan dua komunitas etnis yang berbeda. Bila mengaitkan dengan representasi arsitek-tur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi, maka

tidak menutup kemungkinan sifat kontradiktif yang muncul merupakan wujud modifikasi akibat pertemu-an budaya antara masyarakat pribumi dengan Eropa yang telah berlangsung cukup lama.

Senada pendapat Noble maupun Bergengren, Heath (2009) memandang pula modifikasi dalam arsi-tektur vernakular sebagai dinamika yang terjadi akibat tiadanya budaya di dunia ini yang bersifat monolit. Heath (2009: 8) menambahkan, bahwa upaya mema-hami arsitektur vernakular di tingkat lokal seyogyanya terpumpun pada kondisi-kondisi yang mempengaruhi sikap masyarakat setempat terhadap corak bangunan (building patterns), penyesuaian tata ruang (spatial adjustment), dan pemaknaannya (meaning). Kondisi-kondisi yang dimaksudkan, antara lain iklim, sosial-budaya, sejarah, politik, ekonomi, pandangan hidup (ideologi), dan lain sebagainya, sebagai tapis setempat (regional filter) yang akan mempengaruhi perwujudan arsitekturnya. Heath (2009: 9-12) mengelompokkan perwujudan tersebut dalam tiga kategori, yaitu bentuk idiosinkratis (idiosyncratic forms), vernakular (verna-cular forms), dan transplantasi (transplanted forms) (lihat diagram dalam gambar 10). Bentuk idiosinkratis merupakan perwujudan konvensi dalam masyarakat yang berdampak pada keterputusan dengan tradisi arsitektur yang telah ada. Bentuk vernakular merupa-kan perwujudan konvensi masyarakat untuk memadu-kan tradisi yang telah ada (sinkretis budaya). Bentuk transplantasi merupakan perwujudan upaya individu penciptanya dalam memahami kondisi setempat tanpa memperhatikan sepenuhnya dinamika tradisi arsitektur yang sedang berlangsung.

10

gambar 10. bagan dinamika perwujudan bentuk vernakularsumber: Heath, 2009: 9

Page 11: DINAMIKA PERWUJUDAN TRADISI ARSITEKTUR JAWA ERA PASCA.doc

Pemahaman atas pandangan tersebut mendorong pemaknaan yang lebih dalam terhadap representasi ar-sitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim Merapi. Berdasarkan representasi arsitektur Jawa pada Masjid Baiturrohim Merapi, maka pemahaman agen pemba-ngun terhadap tradisi masjid di Jawa ternyata me-megang peranan penting sebagai tapis setempat. Agen pembangun tetap mengacu pada tradisi bentuk yang ada, akan tetapi tidak memperhatikan hakikat tekto-nika arsitektur Jawa yang terletak pada konsep man-jing. Hal ini relevan, mengingat posisi agen pemba-ngun bukanlah undhagi atau ahli bangunan kayu. Pada sisi inilah modernitas juga berperan mengubah posisi agen pembangun, yang semula dalam pengertian arsi-tektur vernakular adalah pihak yang langsung turun tangan dalam pendirian bangunan. Dengan demikian kesepahaman bersama terhadap tradisi masjid di Jawa, walaupun terdapat kontradiksi di dalamnya, mendo-rong pemaknaan representasi arsitektur Jawa pada Masjid Jami’ Baiturrohim sebagai perwujudan dinami-ka bentuk vernakular.

Bahasan ini belum menjangkau kondisi-kondisi dalam kehidupan masyarakat maupun lingkungan yang berpotensi sebagai tapis setempat. Setidaknya bahasan ini berupaya membuka wawasan pemahaman penyebaran tradisi arsitektur Jawa yang lebih dalam dan tidak kaku. Obyek dalam bahasan ini juga belum dapat mewakili fenomena arsitektur Jawa di Sema-rang. Masih kiranya perlu melakukan eksplorasi dan memetakan temuan-temuan penelitian lain yang relevan dengan pumpunan bahasan ini, agar selanjut-nya dapat diperoleh pencerahan keterkaitan obyek arsitektur, agen pembangun dan waktu.

Senarai pustakaAbercrombie, N., Hill, S. & Turner, B.S. (2010). Kamus

Sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Anonim. (2007). Sejarah Kantor Wilayah Departemen

Agama Provinsi Jawa Tengah. Diunduh dari http: //www.jateng.kemenag.go.id/file/9511Sejarah%20Kanwil%20Jateng.pdf pada tanggal 13 Juli 2011.

Budi, B. S. (2004). A Study on the History and Development of the Javanese Mosque. Part 1: A Review of Theories on the Origin of the Javanese Mosque. Journal of Asian Architecture and Building Engineering, 3 (1), hal. 189-195.

Budi, B. S. (2006). A Study on the History and Development of the Javanese Mosque.Part 3: Typhology of Plan and Structure of the Javanese Mosque and Its Distribution. Journal of Asian Architecture and Building Enginee-ring, 5 (2), hal. 229-236

Heath, K. W. M. (2009). Vernacular Architecture and Regi-onal Design: Cultural Process and Environmental Res-ponse. Oxford: Architectural Press.

Ismunandar. (1986). Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Semarang: Effhar.

Lombard, D. (1990a). Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan Kosentris. Jakarta: PT. Gramedia.

Lombard, D. (1990b). Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia. Jakarta: PT. Gramedia.

Malik, A. & Bharoto. (2011). An Architectonic Analysis of the Vernacular Mosque Related to The Manifestation of Sholat Space Dimension through Exploration of the

Golden Section Proportion (Case Study: Jami’ Mosque Baiturrohim Merapi Semarang). Semarang: Fakultas Teknik Universitas Diponegoro.

Noble, A. G. (2007). Traditional Building: A Global Survey of Structural Forms and Cultural Functions. London: I. B. Tauris.

Oliver, P. (Ed.) (1997). Encyclopedia of Vernacular Archi-tecture of The World, Volume 1: Theories and Princi-ples. Cambridge: Cambridge University Press.

Oliver, P. (2006). Built to Meet Needs: Cultural Issues in Vernacular Architecture. Oxford: Elsevier.

Prijotomo, J. & Rachmawati, M. (1995). Petungan: Sistem Ukuran dalam Arsitektur Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Prijotomo, J. (2002). Serat Balewarna: Jawa Menolak Ja-wa-Kolonialisasi ataukah Rasionalisasi Pengetahuan Arsitektur Jawa?. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur, 30 (1), hal. 61-69

Prijotomo, J. (2006). (Re-)Konstruksi Arsitektur Jawa: Gri-ya Jawa dalam Tradisi Tanpa Tulisan. Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika.

Reksodihardjo, S. dkk. (1985). Arsitektur Tradisional Dae-rah Jawa Tengah. Semarang: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Soeratman, D. (2000). Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Sulchan, H. M. (1979). Kejutan Seorang Kacung: Otobio-grafi H. M. Sulchan. Jakarta: PT. Gunung Agung.

Vellinga, M. (2006). Engaging the Future Vernacular Archi-tecture Studies in the Twenty-First Century. dalam Lindsay Asquith & Marcel Vellinga (Ed.), Vernacular Architecture in the Twenty-First Century: Theory, education and practice (hal. 81-94). London: Taylor and Francis.

Wibowo, H. J., Murniatmo, G., & Sukirman. (1983). Arsi-tektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, Pro-yek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Dae-rah, Dirtektorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direk-torat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia

11