13
1 Makalah DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Pajak Dosen Pengampu: Suripno , SH Disusun Oleh: M. Fatkhul Damanhury 09401241012 PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012/2013

DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Makalah DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA ini merupakan tugas dari mata kuliah hukum agraria, di Jurusan PKnH, FIS, UNY.

Citation preview

Page 1: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

1

Makalah

DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Hukum Pajak

Dosen Pengampu:

Suripno , SH

Disusun Oleh:

M. Fatkhul Damanhury

09401241012

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2012/2013

Page 2: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perihal pendaftaran tanah di Indonesia mengalami dinamisasi yang acapkali

merubah tatanan yuridis dalam bidang agraria. Sejak zaman pra-kemerdekaan atau

zaman kolonialisasi sampai reformasi ini pendaftaran tanah mengalami berbagai

perkembangan dari sisi landasan hukumnya maupun dari sisi implementasi.

Hal ini terjadi seiring dengan dinamika regulasi dalam hal agraria. Dimana

keberadaan aturan dibidang agraria diawali dengan adanya hukum adat. Hukum adat

ini berlaku berlaku dikalangan masyarakat adat, yang didalamnya telah terdapat

penguasaan hak atas tanah. Aturan didalam hukum adat bercirikan “tidak tertulis”.

Semenjak Belanda menguasai Indonesia, Belanda menerapkan hukum agraria

buatan mereka di Indonesia. Hukum agrarian ini juga harus ditaati oleh penduduk

pribumi, diluar hukum adat yang telah mereka terapkan. Alhasil timbul dualisme

hukum. Disatu sisi penduduk pribumi harus patuh terhadap hukum adat, dan disisi

lain hukum agrarian buatan Belanda juga harus dipatuhi.

Diawal kemerdekaan Negara Indonesia keadaan dualisme hukum ini masih

berlangsung sampai dikeluarkannya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) atau UU

No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut

juga sebagai UU landreform1. Keberadaan UU ini secara yuridis mengakhiri dominasi

hukum barat dalam urusan agraria. Selain itu hak-hak yang merupakan warisan dari

kolonialisme yang dianggap bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia dengan

UUPA sebagai turunannya kemudian dihapus. Seperti, hak eigendom, hak postal, dan

hak erfpacht. Hak-hak ini berakhir pada tanggal 24 September 1980.

Berakhirnya dominasi hukum Barat ini berkonsekuensi tanah (masuk pula air,

dan ruang angkasa) dikuasai langsung oleh negara dan diselesaikan menurut aturan-

aturan perundang-undangan yang berlaku, yang tertuang dalam Keputusan Presiden

1 Lihat Supriyadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal: 47

Page 3: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

3

No. 32 Tahun 1979. Dalam keputusan ini tanah yang semula dikuasai oleh Hukum

Barat dapat dimintakan hak barunya kepada Pemerintah. Pemerintah yang menangani

hal ini adalah Kementerian Dalam Negeri.

Dalam regulasi mengenai pendaftaran tanah pada saat keberadaan UUPA juga

segera diatur. Adanya Perturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran

Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah merupakan jawaban kebutuhan regulasi pendaftaran tanah

pasca dominasi Hukum Barat. Hadirnya regulasi setingkat PP ini tidak terlepas dari

keberadaan Hukum Barat itu sendiri. Jika diruntut dari berlakunya Hukum Barat ada

peraturan yang menjadi acuan dari keberadaan PP tentang pendaftaran tanah, yaitu

Ordonansi Balik Nama yang diatur dalam Staatsblad 1834 Nomor 27 tentang

Ordonansi Balik Nama. Untuk itu dalam makalah ini akan mengkaji perihal dinamika

pendaftaran tanah di Indonesia, baik sejak zaman colonial sampai kemerdekaan

Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Dari latarbelakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah pendaftaran tanah di Indonesia?

2. Bagaimana dinamika regulasi dalam hal pendaftaran tanah di Indonesia?

3. Bagaimana sistem pendaftaran tanah di Indonesia?

Page 4: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Pendaftaran Tanah di Indonesia

Dalam mengkaji mengenai sejarah pendaftaran tanah di Indonesia disini akan

diuraikan dari pendapat yang dikemukakan oleh C. G. van Huls sebagaimana yang

dikutip oleh Irawan Soerodjo. Dalam bukunya Tijdscrift Voor Het Kadaster in

Nederlandsch-Indie yang diterbitkan tahun 1937, C. G. van Huls membagi sejarah

Kadaster di Indonesia dalam 3 (tiga) periode, yaitu2

1. Periode kacan balau (De chaotische periode), yaitu sebelum tahun 1837;

2. Periode ahli ukur Pemerintah (De Periode van den Gouvernements Landmeter),

yaitu antara tahun 1837 hingga tahun 1837;

3. Periode Jawatan Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralan Diesnst),

yaitu sesudah 1875

Untuk lebih jelasnya masing-masing periode akan diuraikan dibawah ini.

1. Periode Kacan Balau (De chaotische periode)

Masa ini ditandai dengan kekuasaan Belanda yang direpresentasikan oleh

VOC di Indonesia. VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) merupakan

organisasi bentukan Belanda yang didirikan pada tahun 1602. VOC disamping

menerima hak untuk berdagang di Nederlands-Indies juga diberikan hak

kekuasaan yang berdaulat atas daerah-daerah jajahan. Alhasil VOC beranggapan

bahwa dirinya memiliki hak atas tanah-tanah di daerah jajahan. Tanah-tanah di

daerah jajahan di berikan kepada bekas pegawai VOC yang menetap di daerah-

daerah kekuasaannya, juga diberikan pada trasmigran dari Negeri Belanda.

Pemberian tanah ini kemudian menimbulkan masalah, untuk selanjutnya

VOC membuat plakat atau maklumat yang merupakan peletakan dasar pertama

pelaksanaan kadaster dan penyelenggaraan pendaftara hak di Hindia Belanda.

Dalam plakat tersebut diatur mengenai Bailluw dan Schepen harus mengadakan

pendaftaran segala pekarangan dan pohon yang diberikan VOC dan juga nama-

2 Ibid., hal: 153

Page 5: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

5

nama pemiliknya dicatat. Dalam sejarah hukum agrarian, pendaftaran semacam

ini masuk dalam kadaster dalam arti kuno karena tidak didasarkan pada peta-peta

tanah.

Pada tanggal 23 Juli 1680, VOC mengeluarkan plakat yang mengatur

mengenai susunan dan tugas Dewan Heemraden, yaitu suatu lembaga pemerintah

yang memiliki daerah kekuasaan di luar kota Jakarta. Salah satu tugasnya adalah

menyelenggarakan tugas Kadaster sehingga dengan adanya plakat ini merupakan

dasar bagi penyelenggaraan Kadaster dalam arti modern. Pasal 16 plakat tersebut

menetapkan bahwa Dewan Heemraden harus dengan segera membuat suatu peta

umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah kerjanya yang setiap petanya

dicatat luas dari tiap-tiap tanah serta nama pemiliknya.3

Pasal 19 plakat tanggal 23 Juli 1980 menyatakan bahwa setiap orang tidak

diperkenankan menjual atau mengalihkan bidang-bidang tanahnya yang terletak di

luar tembok-tembok kota, kecuali memberitahukan maksud tersebut terlebih

dahulu kepada Dewan Heermraden. Latar belakng pembentukan Pasal 19 tersebut

adalah mencegah agar tidak terjadi lepasnya control atas pemindahan bidang-

bidang tanah yang terletak di luar kota, kecuali apabila penjual sebelumnya dapat

membuktikan dengna suatu surat keterangan dari Sekertaris Heemraden bahwa

pemindahan bidnag-bidang tanah tersebut telah diberitahukan kepada Dewan

Heemraden yang disebut Heemraden Kennis. Dalam hal tersebut Sekretaris

Heemraden dapat mencatat pemindahan taah dalam daftar-daftar tanah yang

diselenggarakan berdasarkan Heemraden Kennis.4

2. Periode ahli ukur Pemerintah (De Periode van den Gouvernements Landmeter)

Pada periode ini, Gubernur Jenderal dalam keputusannya tanggal 18

Januari 1837 Nomor 3 mengintstruksikan kepada para ahli ukur di Jakarta,

Semarang, dan Serabaya untuk menyelenggarakan Kadaster secara terperinci

sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan suatu Kadaster dalam arti yang

modern. Ahli ukur tanah Pemerintah bertugas untuk5:

3 Ibid., hla: 154 4 Ibid., hal: 155 5 Ibid., hal: 155-156

Page 6: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

6

1) Menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah ada atau peta-peta

tanah yang dibuat oleh para ahli ukur tanah sebelum berlakunya istruksi

tersebut dan membuat peta-peta tanah dari bidang-bidang tanah yang

belum diukur dan dipeta;

2) Menyelenggarakan daftar-daftar yang terdiri dari:

a) Daftar tanah, yaitu daftar dimana tiap-tiap bidnag tanah didaftar

menurut nomor atau huruf yang diberikan pada bidang-bidang tanah

yang diperlukan;

b) Daftar dari semua peta ini seperti peta kasar dan peta-peta lain;

c) Daftar dari hasil pengukuran dan penaksiran-penaksiran.

3) Memberikan Landmeterskennis

Selanjutnya Pasal 12 Staatblad 1837 Nomor 3 dinyatakan bahwa jika para

ahli ukur menganggap perlu adanya pengukuran dan pemetaan bidang tanah,

maka pembeli atau penjual wajib meminta pengukuran dan pemetaan bidnag tanah

yang bersangkutan kepada ahli ukur atas biaya sendiri. Tanpa pengukuran dan

pemetaan itu ahli ukur bisa tidak memberikan Landmeterskinner. Adapun tujuan

dari ketentuan tersebut memungkinkan para ahli ukur untuk menyesuikan bidnag-

bidang tanah yang telah dipeta dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada

bidang-bidnag tanah itu sehingga peta-peta tanah yang ada akan selalu sesuai

dengan keadaan bidang-bidang tanah yang sebelumnya.

3. Periode Jawatan Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralan Diesnst)

Pada periode ini, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1871

memberikan suatu komisi yang bertugas mempelajari perlu tidaknya penataan

kembali Kadaster. Selanjutnya Hermances; Motke mengusulkan penataan kembali

kadaster harus diadakan secara radikal dan sesuai dengan Kadaster yang

diselenggarakan oleh Negeri Belanda. Kemudian J. B. Hindink mengusulkan

tentang penataan kembali Kadaster tersebut harus dimulai dari Jakarta yang

kemudian diikuti oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1874.6

Pemetaan dan pengukuran segera dimulai dari Jakarta oleh residen Jakarta

diinstruksikan dengna surat keputusan tertanggal 12 Agustus 1874. Yang

6 C. G. van Huls. Tijdscrift Voor Het Kadaster in Nederlandsch-Indie. 1937, dalam Supriyadi, Op. Cit., hal: 156

Page 7: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

7

kemudian diubah dengan Staatsblad 1875 Nomor 183 yang berlaku untuk seluruh

wilayah Indonesia.

Staatsblad 1875 Nomor 183 mengatur secara rinci tentang

penyelenggaraan pengukuran dan pemetaan. Pasal 20 peraturan ini menyetaakan

bahwa bidang-bidang tanah yang harus diukur dan dipeta adalah:

a) Bagian tanah yang dipunyai oleh orang atau badan hukum dengna suatu hak;

b) Begian-bagian dari bidang tanah hak jika bagian-bagian dari tanah itu terpisah

oleh batas alam atau jika bagian-bagian tanah itu mempunyai tanaman yang

berbeda-beda;

c) Memelihara Kadaster;

d) Mengeluarkan surat-surat keterangan pendaftaran dan surat-surat ukur,

memberikan kutipan dari peta-peta dan memperbolehkan orang-orang melihat

peta-peta Kadaster dan daftar-daftar serta member ketrangan lisan isi dari

peta-peta dan daftar-daftar itu.

B. Dinamika Peraturan Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah secara historis telah berlangsung sejak zaman colonial

Belanda. dan bahwa peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda saat itu masih

digunakan diawal-awal kemerdekaan bangsa Indonesia, disamping hukum adat yang

telah berlaku di bumi Nusantara. Sehingga dualisme dalam hukum agrarian masih

terjadi ketika Indonesia sudah merdeka. Dualisme ini berakhir ketika diundangkannya

UUPA pada tahun 1960.

Ketika UUPA lahir, kiblat landasan yuridis dari bidang agraria berpindah dari

hukum barat ke hukum Nasional. Produk hukum nasional ini lebih representative bagi

rakyat atau bangsa Indonesia. Bahkan dalam UUPA hukum adat tetap menjadi acuan,

dengan didasarkannya UUPA pada hukum asali bangsa Indonesia itu.7 Hanya saja ada

7 Hukum adat dijadikan dasar semangat UUPA bisa dilihat dari Penjelasan Umum angka III (1) UUPA. (1) dalam Penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa: Dengan sendirinya HUkum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agrarian baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya

Page 8: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

8

beberapa penyesuaian dan syarat-syarat khusus tentang pengakuan dan pemasukan

hukum adat dalam UUPA, seperti termaktub dalam Pasal 5 UUPA. Dalam Pasal 5

UUPA dinyatakan bahwa:

“Hukum agrarian yang berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa

ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional

dan negara, yang didasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia

serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini

dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan

mengindahkan unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.” (UU NO.

5 Tahun 1960)

Posisi pendaftaran tanah yang merupakan bagian dari urusan agrarian juga

kemudian mengacu pada UUPA. Ketentuan pendaftara tanah pada UUPA terdapat

pada Pasal 19. Aturan ini kemudian diatur lebih lanjut dengan aturan pelaksana, yaitu

PP No. 10 tahun 1961 yang kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997.

Hadirnya peraturan pelaksana ini menjadi jawaban akan kebutuhan kepastian

hukum pada para pemilik tanah. Mengingat pendaftaran tanah diselenggarakan untuk

menjamin kepastian hukum, Pendafatara Tanah ini diselenggarakan untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dan pemerintah).8

Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 untuk pertama

kalinya Indonesia mempunyai suatu lembaga tanah. Hal ini tambah mantap ketika

disempurnakan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.

Sebelum adanya kedua produk hukum ini, dikenal Kantor Kadaster sebagai Kantor

Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah9 yang tunduk kepada Kitab Undnag-undang

Hukum Perdata Barat.

Hadirnya peraturan pemerintah dalam urusan pendaftaran tanah merupakan

perintah dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960. Dalam Pasal tersebut diatur bahwa:

tidak lepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat colonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feudal., dalam UU NO. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 8 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, 1989., hal: 3 9 Hak atas tanah yang dimaksud dalam hal ini seperti, Hak Egigendom, Hak Erpacht, Hak Opstal., lihat Adrian Sutedi. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2006., hal: 112.

Page 9: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

9

(1) Untuk menjamin kepastian hukm oleh pemrintah dilakukan pendaftaran tanah di

seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur

dengna Peraturan Pemerintah.

(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:

a) pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b) pendaftaran hak-hak atas tanah

dan peralihan hak-hak tersebut; c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang

berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan

masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan

penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.

(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan

pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang

tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.

Sehingga PP No. 10 Tahun 1961 yang diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997

memperkaya Pasal 19 UUPA, yaitu:10

a. Bahwa diterbitkannya sertifikat tanah, maka kepada pemiliknya diberikan

kepastian hukum dan perlindungan hukum. Di zaman informasi ini maka

Kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memlihara

dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah,

baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat untuk merencanakan

pembangunan negara, dan juga bagi masyarakat sediri informasi itu

penting untuk memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah.

Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberikan

informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang bangunan yang ada.

b. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang

wajar.

Perubahan dari PP No. 10 Tahun 1974 dengan PP No. 24 Tahun 1997

menjadikan aturan pelaksana dari UUPA lebih sempurna. penyempurnaan itu meliputi

berbagai hal yang belum jelas dalam peraturan yang lama (PP NO. 10 Tahun 1974),

antara lain pengertian pendaftaran tanah itu sendir, asas-asas dan tujuan

penyelenggaraannya, yang disamping memberi kepastian hukum juga untuk

10 Adrian Sutedi. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2006., hal: 116.

Page 10: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

10

menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data

yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan.11

C. Sistem Pendaftaran Tanah

Menurut Dr. Boedi Djatmiko HA,SH,M. Hum., didunia ini dikenal ada dua

model atau jenis pendaftaran tanah , yaitu: pertama, disebut dengan model

pendaftaran akta atau " registration of deeds" yang oleh beberapa penulis

menggunakan istilah pendaftaran tanah dengan stelsel negatif atau pendaftaran tanah

negatif dan kedua, pendaftaran hak atau "registration of title", dimana lazim pula

disebut dengan nama " pendaftaran dengan stelsel positif" ataupun seringkali disebut "

system Torrens". Hal ini diungkapkan oleh Rowtow Simpton, menyebutkan:

" … some writers do not use our terminology of registration of deed and registration

of title, but distinguish between negative and positive system of registration.12

Kedua system pendaftaran tanah ini mempunyai perbedaan – persamaan dan

kelebihan - kekurangan satu dengan yang lainnya. Secara umum perbedaan terlihat

pada wujud dokumen formal yang dipergunakan sebagai instrument atau alat

pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Wujud dokumen formal dalam system

pendaftaran tanah dengan stelsel negative sebutannya adalah " akta " kepemilikan

sedang wujud dokumen dalam model pendaftaran tanah dengan stelsel positif

sebutannya adalah berupa " sertipikat" hak. Kedua wujud atau bentuk formal dari

kedua model tersebut secara yuridis sangat berpengaruh terhadap eksistensi kekuatan

hukum dari hak kepemilikan hak atas tanah. Khusus untuk pendaftaran tanah akta

para penulis di Indonesia lebih lazim menggunakan terminology sistem pendaftaran

negative atau stelsel negative untuk penyebutan sistem pendaftaran akta, seperti

Abdurrahman, AP. Parlindungan, demikian juga Boedi Harsono, lebih cenderung

menggunakan istilah tersebut.13

Kedua system pendaftaran tanah ini, masing-masing mempunyai kelebihan

dan kekurangan. Kelebihan positif stelsel adalah terletak pada jaminan kepastian

hukum, namun kelemahannya adalah tertutup kesempatan bagi pemilik tanah yang

11 Penjelasan Umum PP No. 24 Tahun 1997, dalam Soedharyo SOimin. Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua. Jakarta: Sianr Grafika., hal: 161. 12Boedi Djatmiko. “Sistem Pendaftaran Tanah. 2009, diakses dari http://sertifikattanah.blogspot.com/2009/09/sistem-pendaftaran-tanah_05.html, tanggal 25 Desember 2012 13 Ibid.

Page 11: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

11

sesungguhnya untuk menggugat haknya yang telah didaftarkan atas nama orang lain.

Sedangkan stelsel negative kebalikannya. Dalam stelsel negative terbuka kesempatan

bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk menggugat nama pemilik yang terdaftar,

kelemahannya tidak ada jaminan kepastian hukum, setiap saat dapat diganggu gugat.14

Diantara kedua jenis system pertanahan tadi yang banyak diikuti adalah sistem

pendaftaran tanah yang berlaku di Australia yang lazim disebut Sistem Torrens.

Torrens ketika menjadi anggota Firt Colonial Ministry dari provinsi South Australia,

mengambil inisiatif untuk mengintroduksi pendaftaran tanah, yang di Australia

dikenal sebagai Real Property Act Nomor 15 Tahun 1857-1858. System ini kemudian

di dunia dikenal dengan system Torrens atau Torrens System.15

Penerapan sistem ini berawal dari suatu cita ketentuan bahwa manakala

seorang mengklaim sebagai pemilik fee simple baik karena undang-undang atau sebab

lain harus mengajukan suatu permohonan agar lahan yang bersangkutan diletakkan

atas namanya. Permohonan ini kemudian diteliti oleh Barrister and Conveyancer yang

dikenal sebagai examiner of title, dan berdasarkan PP NO. 10 Tahun 1961 disebut

Panitia Tanah A/ B, atau Panitia Ajudikasi oleh PP No. 24 Tahun 1997.16

Dalam memeriksa kelayakan sebuah permohonan yang diajukan oleh

pemohon, maka lahan tersebut akan diuji dan berkesimpulan:17

1. Bahwa yang dimohon didaftarkan tersebut baik dan jelas;

2. Bahwa diatas permohonan tidka ada sengketa dalam pemilikan tersebut;

3. Bahwa atas permohonannya secara meyakinkan dapat diberikan;

4. Bahwa bukti dari alas hak tidak ada orang yang berprasangka dan berkeberatan

terhadap kepemilikan pemohon.

Dalam bidang agrarian untuk Negara Indonesia sendiri menggunakan system

stelsel negatif. Dalam system stelsel negative, kepemilikan tanah hanya bersifat kuat

tidak mutlak. Di dalam penjelasan PP No. 10 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama

seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu

akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang

14Sistem Pendaftaran Tanah: Indonesia menganut Negatif stelsel. 2010. Diakses dari http://landdiary.blogspot.com/2010/10/pendaftaran-tanah.html, tanggal 25 September 2012 15 Supriyadi. Op. Cit., hal: 166. 16 A. P Parlindungan, Pendaftaran Tanah d Indonesia, (Berdasrkan PP No. 24 Tahun 1997). Bandung: Mandar Maju, 1999., hal: 2. 17 Supriyadi. Op. Cit., hal: 167.

Page 12: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

12

terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak

yang diatur dalam PP ini tidaklah positif, tetapi negative. Dmikian penjelasan PP No.

10 Tahun 1997.18

Penerapan System pendaftaran tanah dengan sistem stelsel negatif di

Indonesia, juga dapat dilihat buktinya dari beberapa putusan pengadilan, yaitu:

1. Putusan MA tanggal 18 September 1975 No. 459K/Sip/1975 menentukan

“Mengingat stelsel negative tentang register/pendaftaran tanah yang

berlaku di Indonesia, maka pendaftaran nama seseorang di dalam register

bukanlah berarti absolute menjadi pemilik tanah tersebut apalagi

ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain.”

2. Putusan MA tanggal 2 Juli 1974 No. 480K/Sip/1973 menentukan

pengoperasian hak atas tanah menurut Pasal 26 UUPA jo. PP No. 10

Tahun 1961 harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan

tidak dapat dilaksanakan seseorang di bawah tangan seperti haknya

sekarang, cara yang harus ditempuh oleh penggugat. Kalh pihak tergugat

tidak mau memenuhi perjanjian tersebut dengan sukarela, penggugat dapat

memohon agar kedua akta di bawah tangan itu oleh pengadilan dinyatakan

sah dan berharga, serta mohon agar tergugat dihukum untuk bersama-sama

dengan penggugat menghadap kepada seorang Pejabat Pembuat Akta

Tanah untuk membuat akta tanah mengenai kedua bidang persil tersebut.

3. Putusan MA No. 2339/K/Sip/1982 menentukan: Menurut UUPA Pasal 5,

bagi tanah berlaku hukum adat, hal mana berarti rumah dpat

diperjualbelikan terpisah dari tanah (pemisahan horizontal).

18 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Loc. Cit.

Page 13: DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA

13

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan tentang dinamika pendaftaran tanah di Indonesia, dapat

disimpulkan bahwa, pertama, mengacu pada periodesasi dari C. G. van Huls sejarah

Kadaster di Indonesia dibagi dalam 3 (tiga) periode, yaitu, (1) Periode kacan balau

(De chaotische periode), yaitu sebelum tahun 1837; (2) Periode ahli ukur Pemerintah

(De Periode van den Gouvernements Landmeter), yaitu antara tahun 1837 hingga

tahun 1837; (3) Periode Jawatan Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralan

Diesnst), yaitu sesudah 1875.

Kedua, berlakunya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

menandai berakhirnya dominasi hukum barat dalam bidang agrarian di Indonesia,

sekaligus mengakhiri dualisme hukum agrarian yang telah terjadi berpuluh-puluh

tahun. Dalam UUPA ini diatur mengenai pendaftaran tanah, yaitu Pasal 19. Dalam

Pasal 19 ini mengamanatkan perlunya dibuat aturan pelaksana, sehingga dibuatlah PP

No. 10 Tahun 1974 yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997—

yang masih berlaku sampai sekarang.

Ketiga, di negara-negara dunia umumnya dikenal dua system pendaftaran

tanah. Yaitu, system stelsel positif dan system stelsel negative. Antara kedua system

ini sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Walau demikian sistem stelsel

positif atau sistem torrens (Torrens System) lebih banyak dipakai di berbagai negara.

Sedang, untuk Indonesia sendiri system negative menjadi system yang dipakai dalam

pendaftaran tanah. Sehingga, dikeluarkannya sertifikat tanah atas kepemilikan tanah

di Indonesia tidak mutlak tapai kuat. Dalam artian, seseorang dapat memperoleh

kepemilikan suatu bidang tanah jika kemudian dia yang dengan bukti yang kuat dapat

membuktikan kepemilikan sebuah tanah yang telah bersertifikat atas nama orang lain.

Pengalihan kepemilikan kepada orang yang dianggap lebih ‘sah’ ini tidak berlaku

pada sistem stelsel positif.