Upload
damanhury
View
161
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Makalah DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA ini merupakan tugas dari mata kuliah hukum agraria, di Jurusan PKnH, FIS, UNY.
Citation preview
1
Makalah
DINAMIKA PENDAFTARAN TANAH DI INDONESIA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Pajak
Dosen Pengampu:
Suripno , SH
Disusun Oleh:
M. Fatkhul Damanhury
09401241012
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012/2013
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perihal pendaftaran tanah di Indonesia mengalami dinamisasi yang acapkali
merubah tatanan yuridis dalam bidang agraria. Sejak zaman pra-kemerdekaan atau
zaman kolonialisasi sampai reformasi ini pendaftaran tanah mengalami berbagai
perkembangan dari sisi landasan hukumnya maupun dari sisi implementasi.
Hal ini terjadi seiring dengan dinamika regulasi dalam hal agraria. Dimana
keberadaan aturan dibidang agraria diawali dengan adanya hukum adat. Hukum adat
ini berlaku berlaku dikalangan masyarakat adat, yang didalamnya telah terdapat
penguasaan hak atas tanah. Aturan didalam hukum adat bercirikan “tidak tertulis”.
Semenjak Belanda menguasai Indonesia, Belanda menerapkan hukum agraria
buatan mereka di Indonesia. Hukum agrarian ini juga harus ditaati oleh penduduk
pribumi, diluar hukum adat yang telah mereka terapkan. Alhasil timbul dualisme
hukum. Disatu sisi penduduk pribumi harus patuh terhadap hukum adat, dan disisi
lain hukum agrarian buatan Belanda juga harus dipatuhi.
Diawal kemerdekaan Negara Indonesia keadaan dualisme hukum ini masih
berlangsung sampai dikeluarkannya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) atau UU
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau sering disebut
juga sebagai UU landreform1. Keberadaan UU ini secara yuridis mengakhiri dominasi
hukum barat dalam urusan agraria. Selain itu hak-hak yang merupakan warisan dari
kolonialisme yang dianggap bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia dengan
UUPA sebagai turunannya kemudian dihapus. Seperti, hak eigendom, hak postal, dan
hak erfpacht. Hak-hak ini berakhir pada tanggal 24 September 1980.
Berakhirnya dominasi hukum Barat ini berkonsekuensi tanah (masuk pula air,
dan ruang angkasa) dikuasai langsung oleh negara dan diselesaikan menurut aturan-
aturan perundang-undangan yang berlaku, yang tertuang dalam Keputusan Presiden
1 Lihat Supriyadi. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hal: 47
3
No. 32 Tahun 1979. Dalam keputusan ini tanah yang semula dikuasai oleh Hukum
Barat dapat dimintakan hak barunya kepada Pemerintah. Pemerintah yang menangani
hal ini adalah Kementerian Dalam Negeri.
Dalam regulasi mengenai pendaftaran tanah pada saat keberadaan UUPA juga
segera diatur. Adanya Perturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah merupakan jawaban kebutuhan regulasi pendaftaran tanah
pasca dominasi Hukum Barat. Hadirnya regulasi setingkat PP ini tidak terlepas dari
keberadaan Hukum Barat itu sendiri. Jika diruntut dari berlakunya Hukum Barat ada
peraturan yang menjadi acuan dari keberadaan PP tentang pendaftaran tanah, yaitu
Ordonansi Balik Nama yang diatur dalam Staatsblad 1834 Nomor 27 tentang
Ordonansi Balik Nama. Untuk itu dalam makalah ini akan mengkaji perihal dinamika
pendaftaran tanah di Indonesia, baik sejak zaman colonial sampai kemerdekaan
Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari latarbelakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah pendaftaran tanah di Indonesia?
2. Bagaimana dinamika regulasi dalam hal pendaftaran tanah di Indonesia?
3. Bagaimana sistem pendaftaran tanah di Indonesia?
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Pendaftaran Tanah di Indonesia
Dalam mengkaji mengenai sejarah pendaftaran tanah di Indonesia disini akan
diuraikan dari pendapat yang dikemukakan oleh C. G. van Huls sebagaimana yang
dikutip oleh Irawan Soerodjo. Dalam bukunya Tijdscrift Voor Het Kadaster in
Nederlandsch-Indie yang diterbitkan tahun 1937, C. G. van Huls membagi sejarah
Kadaster di Indonesia dalam 3 (tiga) periode, yaitu2
1. Periode kacan balau (De chaotische periode), yaitu sebelum tahun 1837;
2. Periode ahli ukur Pemerintah (De Periode van den Gouvernements Landmeter),
yaitu antara tahun 1837 hingga tahun 1837;
3. Periode Jawatan Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralan Diesnst),
yaitu sesudah 1875
Untuk lebih jelasnya masing-masing periode akan diuraikan dibawah ini.
1. Periode Kacan Balau (De chaotische periode)
Masa ini ditandai dengan kekuasaan Belanda yang direpresentasikan oleh
VOC di Indonesia. VOC (Vernigde Oost Indische Compagnie) merupakan
organisasi bentukan Belanda yang didirikan pada tahun 1602. VOC disamping
menerima hak untuk berdagang di Nederlands-Indies juga diberikan hak
kekuasaan yang berdaulat atas daerah-daerah jajahan. Alhasil VOC beranggapan
bahwa dirinya memiliki hak atas tanah-tanah di daerah jajahan. Tanah-tanah di
daerah jajahan di berikan kepada bekas pegawai VOC yang menetap di daerah-
daerah kekuasaannya, juga diberikan pada trasmigran dari Negeri Belanda.
Pemberian tanah ini kemudian menimbulkan masalah, untuk selanjutnya
VOC membuat plakat atau maklumat yang merupakan peletakan dasar pertama
pelaksanaan kadaster dan penyelenggaraan pendaftara hak di Hindia Belanda.
Dalam plakat tersebut diatur mengenai Bailluw dan Schepen harus mengadakan
pendaftaran segala pekarangan dan pohon yang diberikan VOC dan juga nama-
2 Ibid., hal: 153
5
nama pemiliknya dicatat. Dalam sejarah hukum agrarian, pendaftaran semacam
ini masuk dalam kadaster dalam arti kuno karena tidak didasarkan pada peta-peta
tanah.
Pada tanggal 23 Juli 1680, VOC mengeluarkan plakat yang mengatur
mengenai susunan dan tugas Dewan Heemraden, yaitu suatu lembaga pemerintah
yang memiliki daerah kekuasaan di luar kota Jakarta. Salah satu tugasnya adalah
menyelenggarakan tugas Kadaster sehingga dengan adanya plakat ini merupakan
dasar bagi penyelenggaraan Kadaster dalam arti modern. Pasal 16 plakat tersebut
menetapkan bahwa Dewan Heemraden harus dengan segera membuat suatu peta
umum dari tanah-tanah yang terletak dalam wilayah kerjanya yang setiap petanya
dicatat luas dari tiap-tiap tanah serta nama pemiliknya.3
Pasal 19 plakat tanggal 23 Juli 1980 menyatakan bahwa setiap orang tidak
diperkenankan menjual atau mengalihkan bidang-bidang tanahnya yang terletak di
luar tembok-tembok kota, kecuali memberitahukan maksud tersebut terlebih
dahulu kepada Dewan Heermraden. Latar belakng pembentukan Pasal 19 tersebut
adalah mencegah agar tidak terjadi lepasnya control atas pemindahan bidang-
bidang tanah yang terletak di luar kota, kecuali apabila penjual sebelumnya dapat
membuktikan dengna suatu surat keterangan dari Sekertaris Heemraden bahwa
pemindahan bidnag-bidang tanah tersebut telah diberitahukan kepada Dewan
Heemraden yang disebut Heemraden Kennis. Dalam hal tersebut Sekretaris
Heemraden dapat mencatat pemindahan taah dalam daftar-daftar tanah yang
diselenggarakan berdasarkan Heemraden Kennis.4
2. Periode ahli ukur Pemerintah (De Periode van den Gouvernements Landmeter)
Pada periode ini, Gubernur Jenderal dalam keputusannya tanggal 18
Januari 1837 Nomor 3 mengintstruksikan kepada para ahli ukur di Jakarta,
Semarang, dan Serabaya untuk menyelenggarakan Kadaster secara terperinci
sesuai dengan pokok-pokok penyelenggaraan suatu Kadaster dalam arti yang
modern. Ahli ukur tanah Pemerintah bertugas untuk5:
3 Ibid., hla: 154 4 Ibid., hal: 155 5 Ibid., hal: 155-156
6
1) Menyimpan dan memelihara peta-peta tanah yang telah ada atau peta-peta
tanah yang dibuat oleh para ahli ukur tanah sebelum berlakunya istruksi
tersebut dan membuat peta-peta tanah dari bidang-bidang tanah yang
belum diukur dan dipeta;
2) Menyelenggarakan daftar-daftar yang terdiri dari:
a) Daftar tanah, yaitu daftar dimana tiap-tiap bidnag tanah didaftar
menurut nomor atau huruf yang diberikan pada bidang-bidang tanah
yang diperlukan;
b) Daftar dari semua peta ini seperti peta kasar dan peta-peta lain;
c) Daftar dari hasil pengukuran dan penaksiran-penaksiran.
3) Memberikan Landmeterskennis
Selanjutnya Pasal 12 Staatblad 1837 Nomor 3 dinyatakan bahwa jika para
ahli ukur menganggap perlu adanya pengukuran dan pemetaan bidang tanah,
maka pembeli atau penjual wajib meminta pengukuran dan pemetaan bidnag tanah
yang bersangkutan kepada ahli ukur atas biaya sendiri. Tanpa pengukuran dan
pemetaan itu ahli ukur bisa tidak memberikan Landmeterskinner. Adapun tujuan
dari ketentuan tersebut memungkinkan para ahli ukur untuk menyesuikan bidnag-
bidang tanah yang telah dipeta dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada
bidang-bidnag tanah itu sehingga peta-peta tanah yang ada akan selalu sesuai
dengan keadaan bidang-bidang tanah yang sebelumnya.
3. Periode Jawatan Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralan Diesnst)
Pada periode ini, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1871
memberikan suatu komisi yang bertugas mempelajari perlu tidaknya penataan
kembali Kadaster. Selanjutnya Hermances; Motke mengusulkan penataan kembali
kadaster harus diadakan secara radikal dan sesuai dengan Kadaster yang
diselenggarakan oleh Negeri Belanda. Kemudian J. B. Hindink mengusulkan
tentang penataan kembali Kadaster tersebut harus dimulai dari Jakarta yang
kemudian diikuti oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1874.6
Pemetaan dan pengukuran segera dimulai dari Jakarta oleh residen Jakarta
diinstruksikan dengna surat keputusan tertanggal 12 Agustus 1874. Yang
6 C. G. van Huls. Tijdscrift Voor Het Kadaster in Nederlandsch-Indie. 1937, dalam Supriyadi, Op. Cit., hal: 156
7
kemudian diubah dengan Staatsblad 1875 Nomor 183 yang berlaku untuk seluruh
wilayah Indonesia.
Staatsblad 1875 Nomor 183 mengatur secara rinci tentang
penyelenggaraan pengukuran dan pemetaan. Pasal 20 peraturan ini menyetaakan
bahwa bidang-bidang tanah yang harus diukur dan dipeta adalah:
a) Bagian tanah yang dipunyai oleh orang atau badan hukum dengna suatu hak;
b) Begian-bagian dari bidang tanah hak jika bagian-bagian dari tanah itu terpisah
oleh batas alam atau jika bagian-bagian tanah itu mempunyai tanaman yang
berbeda-beda;
c) Memelihara Kadaster;
d) Mengeluarkan surat-surat keterangan pendaftaran dan surat-surat ukur,
memberikan kutipan dari peta-peta dan memperbolehkan orang-orang melihat
peta-peta Kadaster dan daftar-daftar serta member ketrangan lisan isi dari
peta-peta dan daftar-daftar itu.
B. Dinamika Peraturan Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah secara historis telah berlangsung sejak zaman colonial
Belanda. dan bahwa peraturan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda saat itu masih
digunakan diawal-awal kemerdekaan bangsa Indonesia, disamping hukum adat yang
telah berlaku di bumi Nusantara. Sehingga dualisme dalam hukum agrarian masih
terjadi ketika Indonesia sudah merdeka. Dualisme ini berakhir ketika diundangkannya
UUPA pada tahun 1960.
Ketika UUPA lahir, kiblat landasan yuridis dari bidang agraria berpindah dari
hukum barat ke hukum Nasional. Produk hukum nasional ini lebih representative bagi
rakyat atau bangsa Indonesia. Bahkan dalam UUPA hukum adat tetap menjadi acuan,
dengan didasarkannya UUPA pada hukum asali bangsa Indonesia itu.7 Hanya saja ada
7 Hukum adat dijadikan dasar semangat UUPA bisa dilihat dari Penjelasan Umum angka III (1) UUPA. (1) dalam Penjelasan Umum angka III (1) UUPA dinyatakan bahwa: Dengan sendirinya HUkum Agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agrarian baru tersebut akan didasarkan pula pada ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyarakat dalam negara yang modern dan hubungannya dengan dunia internasional serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi maka hukum adat dalam pertumbuhannya
8
beberapa penyesuaian dan syarat-syarat khusus tentang pengakuan dan pemasukan
hukum adat dalam UUPA, seperti termaktub dalam Pasal 5 UUPA. Dalam Pasal 5
UUPA dinyatakan bahwa:
“Hukum agrarian yang berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa
ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara, yang didasarkan persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia
serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini
dan dengan peraturan-peraturan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsure-unsur yang bersandar pada hukum agama.” (UU NO.
5 Tahun 1960)
Posisi pendaftaran tanah yang merupakan bagian dari urusan agrarian juga
kemudian mengacu pada UUPA. Ketentuan pendaftara tanah pada UUPA terdapat
pada Pasal 19. Aturan ini kemudian diatur lebih lanjut dengan aturan pelaksana, yaitu
PP No. 10 tahun 1961 yang kemudian diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997.
Hadirnya peraturan pelaksana ini menjadi jawaban akan kebutuhan kepastian
hukum pada para pemilik tanah. Mengingat pendaftaran tanah diselenggarakan untuk
menjamin kepastian hukum, Pendafatara Tanah ini diselenggarakan untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dan pemerintah).8
Dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 untuk pertama
kalinya Indonesia mempunyai suatu lembaga tanah. Hal ini tambah mantap ketika
disempurnakan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997.
Sebelum adanya kedua produk hukum ini, dikenal Kantor Kadaster sebagai Kantor
Pendaftaran untuk hak-hak atas tanah9 yang tunduk kepada Kitab Undnag-undang
Hukum Perdata Barat.
Hadirnya peraturan pemerintah dalam urusan pendaftaran tanah merupakan
perintah dari Pasal 19 UUPA No. 5 Tahun 1960. Dalam Pasal tersebut diatur bahwa:
tidak lepas pula dari pengaruh politik dan masyarakat colonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja yang feudal., dalam UU NO. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 8 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Jakarta, 1989., hal: 3 9 Hak atas tanah yang dimaksud dalam hal ini seperti, Hak Egigendom, Hak Erpacht, Hak Opstal., lihat Adrian Sutedi. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2006., hal: 112.
9
(1) Untuk menjamin kepastian hukm oleh pemrintah dilakukan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengna Peraturan Pemerintah.
(2) Pendaftaran tersebut dalam ayat (1) pasal ini meliputi:
a) pengukuran perpetaan dan pembukuan tanah; b) pendaftaran hak-hak atas tanah
dan peralihan hak-hak tersebut; c) pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang
berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
(3) Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomi serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
(4) Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat (1) diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang
tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Sehingga PP No. 10 Tahun 1961 yang diganti dengan PP No. 24 Tahun 1997
memperkaya Pasal 19 UUPA, yaitu:10
a. Bahwa diterbitkannya sertifikat tanah, maka kepada pemiliknya diberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum. Di zaman informasi ini maka
Kantor Pertanahan sebagai kantor di garis depan haruslah memlihara
dengan baik setiap informasi yang diperlukan untuk sesuatu bidang tanah,
baik untuk pemerintah sendiri sehingga dapat untuk merencanakan
pembangunan negara, dan juga bagi masyarakat sediri informasi itu
penting untuk memutuskan sesuatu yang diperlukan terkait tanah.
Informasi tersebut bersifat terbuka untuk umum, artinya dapat diberikan
informasi apa saja yang diperlukan atas sebidang bangunan yang ada.
b. Untuk itu perlulah tertib administrasi pertanahan dijadikan suatu hal yang
wajar.
Perubahan dari PP No. 10 Tahun 1974 dengan PP No. 24 Tahun 1997
menjadikan aturan pelaksana dari UUPA lebih sempurna. penyempurnaan itu meliputi
berbagai hal yang belum jelas dalam peraturan yang lama (PP NO. 10 Tahun 1974),
antara lain pengertian pendaftaran tanah itu sendir, asas-asas dan tujuan
penyelenggaraannya, yang disamping memberi kepastian hukum juga untuk
10 Adrian Sutedi. Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar Grafika, 2006., hal: 116.
10
menghimpun dan menyajikan informasi yang lengkap mengenai data fisik dan data
yuridis mengenai bidang tanah yang bersangkutan.11
C. Sistem Pendaftaran Tanah
Menurut Dr. Boedi Djatmiko HA,SH,M. Hum., didunia ini dikenal ada dua
model atau jenis pendaftaran tanah , yaitu: pertama, disebut dengan model
pendaftaran akta atau " registration of deeds" yang oleh beberapa penulis
menggunakan istilah pendaftaran tanah dengan stelsel negatif atau pendaftaran tanah
negatif dan kedua, pendaftaran hak atau "registration of title", dimana lazim pula
disebut dengan nama " pendaftaran dengan stelsel positif" ataupun seringkali disebut "
system Torrens". Hal ini diungkapkan oleh Rowtow Simpton, menyebutkan:
" … some writers do not use our terminology of registration of deed and registration
of title, but distinguish between negative and positive system of registration.12
Kedua system pendaftaran tanah ini mempunyai perbedaan – persamaan dan
kelebihan - kekurangan satu dengan yang lainnya. Secara umum perbedaan terlihat
pada wujud dokumen formal yang dipergunakan sebagai instrument atau alat
pembuktian kepemilikan hak atas tanah. Wujud dokumen formal dalam system
pendaftaran tanah dengan stelsel negative sebutannya adalah " akta " kepemilikan
sedang wujud dokumen dalam model pendaftaran tanah dengan stelsel positif
sebutannya adalah berupa " sertipikat" hak. Kedua wujud atau bentuk formal dari
kedua model tersebut secara yuridis sangat berpengaruh terhadap eksistensi kekuatan
hukum dari hak kepemilikan hak atas tanah. Khusus untuk pendaftaran tanah akta
para penulis di Indonesia lebih lazim menggunakan terminology sistem pendaftaran
negative atau stelsel negative untuk penyebutan sistem pendaftaran akta, seperti
Abdurrahman, AP. Parlindungan, demikian juga Boedi Harsono, lebih cenderung
menggunakan istilah tersebut.13
Kedua system pendaftaran tanah ini, masing-masing mempunyai kelebihan
dan kekurangan. Kelebihan positif stelsel adalah terletak pada jaminan kepastian
hukum, namun kelemahannya adalah tertutup kesempatan bagi pemilik tanah yang
11 Penjelasan Umum PP No. 24 Tahun 1997, dalam Soedharyo SOimin. Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua. Jakarta: Sianr Grafika., hal: 161. 12Boedi Djatmiko. “Sistem Pendaftaran Tanah. 2009, diakses dari http://sertifikattanah.blogspot.com/2009/09/sistem-pendaftaran-tanah_05.html, tanggal 25 Desember 2012 13 Ibid.
11
sesungguhnya untuk menggugat haknya yang telah didaftarkan atas nama orang lain.
Sedangkan stelsel negative kebalikannya. Dalam stelsel negative terbuka kesempatan
bagi pemilik tanah yang sesungguhnya untuk menggugat nama pemilik yang terdaftar,
kelemahannya tidak ada jaminan kepastian hukum, setiap saat dapat diganggu gugat.14
Diantara kedua jenis system pertanahan tadi yang banyak diikuti adalah sistem
pendaftaran tanah yang berlaku di Australia yang lazim disebut Sistem Torrens.
Torrens ketika menjadi anggota Firt Colonial Ministry dari provinsi South Australia,
mengambil inisiatif untuk mengintroduksi pendaftaran tanah, yang di Australia
dikenal sebagai Real Property Act Nomor 15 Tahun 1857-1858. System ini kemudian
di dunia dikenal dengan system Torrens atau Torrens System.15
Penerapan sistem ini berawal dari suatu cita ketentuan bahwa manakala
seorang mengklaim sebagai pemilik fee simple baik karena undang-undang atau sebab
lain harus mengajukan suatu permohonan agar lahan yang bersangkutan diletakkan
atas namanya. Permohonan ini kemudian diteliti oleh Barrister and Conveyancer yang
dikenal sebagai examiner of title, dan berdasarkan PP NO. 10 Tahun 1961 disebut
Panitia Tanah A/ B, atau Panitia Ajudikasi oleh PP No. 24 Tahun 1997.16
Dalam memeriksa kelayakan sebuah permohonan yang diajukan oleh
pemohon, maka lahan tersebut akan diuji dan berkesimpulan:17
1. Bahwa yang dimohon didaftarkan tersebut baik dan jelas;
2. Bahwa diatas permohonan tidka ada sengketa dalam pemilikan tersebut;
3. Bahwa atas permohonannya secara meyakinkan dapat diberikan;
4. Bahwa bukti dari alas hak tidak ada orang yang berprasangka dan berkeberatan
terhadap kepemilikan pemohon.
Dalam bidang agrarian untuk Negara Indonesia sendiri menggunakan system
stelsel negatif. Dalam system stelsel negative, kepemilikan tanah hanya bersifat kuat
tidak mutlak. Di dalam penjelasan PP No. 10 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
dinyatakan bahwa pembukuan suatu hak di dalam daftar buku tanah atas nama
seseorang tidak mengakibatkan bahwa orang yang seharusnya berhak atas tanah itu
akan kehilangan haknya. Orang tersebut masih dapat menggugat hak dari yang
14Sistem Pendaftaran Tanah: Indonesia menganut Negatif stelsel. 2010. Diakses dari http://landdiary.blogspot.com/2010/10/pendaftaran-tanah.html, tanggal 25 September 2012 15 Supriyadi. Op. Cit., hal: 166. 16 A. P Parlindungan, Pendaftaran Tanah d Indonesia, (Berdasrkan PP No. 24 Tahun 1997). Bandung: Mandar Maju, 1999., hal: 2. 17 Supriyadi. Op. Cit., hal: 167.
12
terdaftar dalam buku tanah sebagai orang yang berhak. Jadi, cara pendaftaran hak
yang diatur dalam PP ini tidaklah positif, tetapi negative. Dmikian penjelasan PP No.
10 Tahun 1997.18
Penerapan System pendaftaran tanah dengan sistem stelsel negatif di
Indonesia, juga dapat dilihat buktinya dari beberapa putusan pengadilan, yaitu:
1. Putusan MA tanggal 18 September 1975 No. 459K/Sip/1975 menentukan
“Mengingat stelsel negative tentang register/pendaftaran tanah yang
berlaku di Indonesia, maka pendaftaran nama seseorang di dalam register
bukanlah berarti absolute menjadi pemilik tanah tersebut apalagi
ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak lain.”
2. Putusan MA tanggal 2 Juli 1974 No. 480K/Sip/1973 menentukan
pengoperasian hak atas tanah menurut Pasal 26 UUPA jo. PP No. 10
Tahun 1961 harus dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan
tidak dapat dilaksanakan seseorang di bawah tangan seperti haknya
sekarang, cara yang harus ditempuh oleh penggugat. Kalh pihak tergugat
tidak mau memenuhi perjanjian tersebut dengan sukarela, penggugat dapat
memohon agar kedua akta di bawah tangan itu oleh pengadilan dinyatakan
sah dan berharga, serta mohon agar tergugat dihukum untuk bersama-sama
dengan penggugat menghadap kepada seorang Pejabat Pembuat Akta
Tanah untuk membuat akta tanah mengenai kedua bidang persil tersebut.
3. Putusan MA No. 2339/K/Sip/1982 menentukan: Menurut UUPA Pasal 5,
bagi tanah berlaku hukum adat, hal mana berarti rumah dpat
diperjualbelikan terpisah dari tanah (pemisahan horizontal).
18 Badan Pertanahan Nasional, Himpunan Karya Tulis Pendaftaran Tanah, Loc. Cit.
13
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan tentang dinamika pendaftaran tanah di Indonesia, dapat
disimpulkan bahwa, pertama, mengacu pada periodesasi dari C. G. van Huls sejarah
Kadaster di Indonesia dibagi dalam 3 (tiga) periode, yaitu, (1) Periode kacan balau
(De chaotische periode), yaitu sebelum tahun 1837; (2) Periode ahli ukur Pemerintah
(De Periode van den Gouvernements Landmeter), yaitu antara tahun 1837 hingga
tahun 1837; (3) Periode Jawatan Pendaftaran Tanah (De Periode van den Kadastralan
Diesnst), yaitu sesudah 1875.
Kedua, berlakunya Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
menandai berakhirnya dominasi hukum barat dalam bidang agrarian di Indonesia,
sekaligus mengakhiri dualisme hukum agrarian yang telah terjadi berpuluh-puluh
tahun. Dalam UUPA ini diatur mengenai pendaftaran tanah, yaitu Pasal 19. Dalam
Pasal 19 ini mengamanatkan perlunya dibuat aturan pelaksana, sehingga dibuatlah PP
No. 10 Tahun 1974 yang kemudian disempurnakan dengan PP No. 24 Tahun 1997—
yang masih berlaku sampai sekarang.
Ketiga, di negara-negara dunia umumnya dikenal dua system pendaftaran
tanah. Yaitu, system stelsel positif dan system stelsel negative. Antara kedua system
ini sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Walau demikian sistem stelsel
positif atau sistem torrens (Torrens System) lebih banyak dipakai di berbagai negara.
Sedang, untuk Indonesia sendiri system negative menjadi system yang dipakai dalam
pendaftaran tanah. Sehingga, dikeluarkannya sertifikat tanah atas kepemilikan tanah
di Indonesia tidak mutlak tapai kuat. Dalam artian, seseorang dapat memperoleh
kepemilikan suatu bidang tanah jika kemudian dia yang dengan bukti yang kuat dapat
membuktikan kepemilikan sebuah tanah yang telah bersertifikat atas nama orang lain.
Pengalihan kepemilikan kepada orang yang dianggap lebih ‘sah’ ini tidak berlaku
pada sistem stelsel positif.