45
Bagian Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Pedoman Dilema Etik Klinis di Rumah Sakit Tipe A Oleh: VICTOR JULIUS 1310019006 Pembimbing: dr. Cort Darby Tombokan, Sp F, SH Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Dilema Etik Fix

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dilema etik

Citation preview

Page 1: Dilema Etik Fix

Bagian Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

Pedoman Dilema Etik Klinis di Rumah Sakit Tipe A

Oleh:

VICTOR JULIUS

1310019006

Pembimbing:

dr. Cort Darby Tombokan, Sp F, SH

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Pada Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

2014

Page 2: Dilema Etik Fix

BAB I

PENDAHULUAN

Saat ini masalah yang berkaitan dengan etika (ethical dilemmas) telah menjadi masalah

utama disamping masalah hukum, baik bagi pasien, masyarakat maupun pemberi asuhan

kesehatan. Masalah etika menjadi semakin kompleks karena adanya kemajuan ilmu dan

tehnologi yang secara dramatis dapat mempertahankan atau memperpanjang hidup manusia.

Pada saat yang bersamaan pembaharuan nilai sosial dan pengetahuan masyarakat menyebabkan

masyarakat semakin memahami hak-hak individu, kebebasan dan tanggung jawab dalam

melindungi hak yag dimiliki. Adanya berbagai faktor tersebut sering sekali membuat tenaga

kesehatan menghadapi berbagai dilema. Setiap dilema membutuhkan jawaban dimana

dinyatakan bahwa sesuatu hal itu baik dikerjakan untuk pasien atau baik untuk keluarga atau

benar sesuai kaidah etik.

Berbagai permasalahan etik yang dihadapi oleh tenaga kesehatan telah menimbulkan konflik

antara kebutuhan pasien (terpenuhi hak) dengan harapan tenaga kesehatan dan falsafah ketenaga

kesehatanan. Contoh nyata yang sering dijumpai dalam praktek ketenaga kesehatanan adalah

euthanasia, penolakan tindakan transfusi darah, dan penolakan transplantasi organ. Menghadapi

dilema semacam ini diperlukan penanganan yang melibatkan seluruh komponen yang

berpengaruh dan menjadi support sistem bagi pasien.

Page 3: Dilema Etik Fix

BAB II

ISI

DEFINISI ETIK

Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik

secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia,

1971 ). Etika juga berasal dari bahasa yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan David

(1978) berarti ” kebiasaaan ”. ”model prilaku” atau standar yang diharapkan dan kriteria

tertentu untuk suatu tindakan. Penggunaan istilah etika sekarang ini banyak diartikan sebagai

motif atau dorongan yang mempengaruhi prilaku. (Mimin. 2002).

Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana

sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip-

prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : baik dan buruk serta kewajiban dan

tanggung jawab

Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga

etik merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku

profesional. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang

digunakan untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang

seharusnya dilakukan seseorang terhadap orang lain. Sehingga juga dapat disimpulkan bahwa

etika mengandung 3 pengertian pokok yaitu : nilai-nilai atau norma moral yang menjadi

pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku, kumpulan azas atau

nilai moral, misalnya kode etik dan ilmu tentang yang baik atau yang buruk (Ismaini, 2001)

TIPE-TIPE ETIKA

1. Bioetik

Bioetika merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik,

menyangkut masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetika difokuskan pada

Page 4: Dilema Etik Fix

pertanyaan etik yang muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi,

pengobatan, politik, hukum, dan theology. Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan

evaluasi etika pada moralitas treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan

pengobatan pada manusia. Pada lingkup yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua

tindakan moral yang mungkin membantu atau bahkan membahayakan kemampuan organisme

terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi semua tindakan yang berhubungan dengan

pengobatan dan biologi

2. Clinical ethics/Etik klinik

Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik

selama pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethics: adanya persetujuan atau

penolakan, dan bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang

bermanfaat (sia-sia).

3. Etik Tenaga kesehatanan

Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan dikembangkan

dalam tindakan ketenaga kesehatanan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik.

Etika ketenaga kesehatanan dapat diartikan sebagai filsafat yang mengarahkan tanggung

jawab moral yang mendasari pelaksanaan praktek ketenaga kesehatanan. Inti falsafah

ketenaga kesehatanan adalah hak dan martabat manusia, sedangkan fokus etika ketenaga

kesehatanan adalah sifat manusia yang unik (k2-nurse, 2009)

TEORI ETIK

Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu

tindakan, sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang

berlainan. Beberapa teori etik adalah sebagai berikut:

1. Utilitarisme

Sesuai dengan namanya Utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis

yang artinya “bermanfaat”. Teori ini menekankan pada perbuatan yang menghasilkan

manfaat, tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang banyak memberikan

Page 5: Dilema Etik Fix

kebahagiaan kepada banyak orang. Teori ini sebelum melakukan perbuatan harus sudah

memikirkan konsekuensinya terlebih dahulu.

2. Deontologi

Deontology berasal dari kata deon dari bahasa yunani yang artinya kewajiban. Teori ini

menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas

pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan. Teori

ini tidak terpatok pada konsekuensi perbuatan dengan kata lain teori ini melaksanakan terlebih

dahulu tanpa memikirkan akibatnya. (Aprilins, 2010)

DILEMMA ETIK KLINIS

Dilema adalah suatu keadaan dimana tenaga kesehatan dihadapkan pada dua alternative

pilihan, yang kelihatannya sama atau hampir sama dan membutuhkan pemecahan masalah.

Dilema muncul karena terbentur pada konflik moral, pertentangan batin, atau pertentangan

antara nilai-nilai yang diyakini tenaga medis dengan kenyataan yang ada

Dilema etik klinis merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang

memuaskan atau suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan

sebanding. Dalam dilema etik tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang

etis, seseorang harus tergantung pada pemikiran yang rasional dan bukan emosional tatapi pada

prinsip moral dalam menyelesaiakan masalah etik (Thompson & Thompson, 1985).

Dilema etik klinis yang sering ditemukan dalam praktek ketenaga kesehatanan dapat bersifat

personal ataupun profesional. Dilema menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan

keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional tenaga kesehatan

kadang sulit karena keputusan yang akan diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan

keburukan. Pada saat berhadapan dengan dilema etis juga terdapat dampak emosional seperti

rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan keputusan rasional yang harus dihadapi,

ini membutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi yang baik dari seorang tenaga

kesehatan.

Dilema etik klinis juga dapat berarti sebuah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan

mengenai perilaku yang layak harus di buat. (Arens dan Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu

diperlukan pengambilan keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut. Kerangkan

Page 6: Dilema Etik Fix

pemecahan dilema etik banyak diutarakan dan pada dasarnya menggunakan kerangka proses

ketenaga kesehatanan/pemecahan masalah secara ilmiah (Thompson & Thompson, 1985).

Banyak teori tentang pemecahan dilemma etik klinis secara ilmiah. Salah satunya adalah

dengan cara ethical methode of reasoning dimana merupakan langkah-langkah untuk

memutuskan dilema etik denagn menggunakan cara berfikir kritis untuk membuat keputusan

yang benar dalam menentukan tindakan kesehatan

Langkah-langkah Ethical Methode Of Resoning

a. Fact deliberation : pertimbangan terhadap fakta yang ada denagan cara

Case

Menentukan kasus yang akan ditelaah terlebih dahulau sambil memikirkan fakta-

fakta yang ada

Deliberation of fact

Pengungkapan fakta dari kasus yang diangkat untuk diselesaikan

b. Value deliberation : pertimbanagan terhadap nilai yang ada di masyarakat

Identifikasi of problem

Menghubungkan masalah-masalah yang timbul dengan nilai-nilai yang di kandung

dalam kehidupan

Choice of main problem

Memilih pokok permasalahan dan mengaitkannya dengan aspek nilai kehidupan

The values of stake

Menentukan nilai yang merupakan poin utama dalam masalah ynag timbul

c. Duty deliberation : pertimbanagan atas kemungkinan yang akan terjadi dan menentukan

pilihan yang terbaik

Reflecting on the most challenging case

Pertimbangan terhadap kasus yang sedang dihadapi setelah di kaitkan dengan aspek

nilai yang ada

Reflecting on other case

Mempertimbangkan dengan kasus yang pernah terjadi sebelumnya

d. Testing consistensy : pertimbangan dengan membandingkan berdasarkan hukum yang

berlaku dan kemampuan kerja

Page 7: Dilema Etik Fix

e. Conclusion/ Final decision : keputusan akhir dari masalah

Ada pula cara penyelesaian dilemma etik klinis dengan melakukan enam pendekatan dapat

dilakukan orang yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:

1. Mendapatkan fakta-fakta yang relevan

2. Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta

3. Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilemma

4. Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema

5. Menentukan konsekuensi yang mungkin dari setiap alternative

6. Menetapkan tindakan yang tepat.

Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi atau

menghindari rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang melakukannya, (2) jika

legal maka disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pada

dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan stress

pada tenaga kesehatan karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk

melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai tenaga kesehatan, klien atau

lingkungan tidak lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil

keputusan.

Penetapan keputusan terhadap satu pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit

karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan apalagi jika tak satupun

keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema etis bertambah pelik dengan

adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan

keputusan rasional. Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik,

misalnya kematian batang otak, penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Dikenal beberapa teori

lain yang mengusung pendapat tentang cara penyelesaian dilemma etik klinis diantaranya:

Model Pemecahan masalah (Megan, 1989)

Mengkaji situasi

Mendiagnosa masalah etik moral

Membuat tujuan dan rencana pemecahan

Page 8: Dilema Etik Fix

Melaksanakan rencana

Mengevaluasi hasil

Kerangka pemecahan dilema etik (Kozier & Erb, 2004 )

Mengembangkan data dasar.

1. Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya

2. Apa tindakan yang diusulkan

3. Apa maksud dari tindakan yang diusulkan

4. Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.

Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut

Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan

mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut

Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan

yang tepat

Mengidentifikasi kewajiban tenaga kesehatan

Membuat keputusan

Model Murphy dan Murphy

Mengidentifikasi masalah kesehatan

Mengidentifikasi masalah etik

Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan

Mengidentifikasi peran tenaga kesehatan

Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan

Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan

Memberi keputusan

Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum

untuk tenaga kesehatanan klien

Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan

informasi tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya

Langkah-Langkah Menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)

Page 9: Dilema Etik Fix

Mengumpulkan data yang relevan

Mengidentifikasi dilemma

Memutuskan apa yang harus dilakukan

Melengkapi tindakan

Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)

a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan,

komponen etis dan petunjuk individual.

b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi

c. Mengidentifikasi Issue etik

d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional

e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.

f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada

Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005)

a. Pengkajian

Hal pertama yang perlu diketahui tenaga kesehatan adalah “adakah saya terlibat langsung

dalam dilema?”. Tenaga kesehatan perlu mendengar kedua sisi dengan menjadi

pendengar yang berempati. Target tahap ini adalah terkumpulnya data dari seluruh

pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu :

1. Apa yang menjadi fakta medik ?

2. Apa yang menjadi fakta psikososial ?

3. Apa yang menjadi keinginan klien ?

4. Apa nilai yang menjadi konflik ?

b. Perencanaan

Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam

pengambilan keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985)

mendaftarkan 3 (tiga) hal yang sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan,

yaitu :

1. Tentukan tujuan dari treatment.

Page 10: Dilema Etik Fix

2. Identifikasi pembuat keputusan

3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.

c. Implementasi

Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan beserta

anggota tim kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan

saling menguntungkan. Harus terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan

bernegosiasi. Peran tenaga kesehatan selama implementasi adalah menjaga agar

komunikasi tak memburuk, karena dilema etis seringkali menimbulkan efek emosional

seperti rasa bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh

perasaan ini dapat menyebabkan kegagalan komunikasi pada para pengambil keputusan.

Tenaga kesehatan harus ingat “Saya disini untuk melakukan yang terbaik bagi klien”.

Tenaga kesehatan harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua)

alternatif yang menarik, tetapi kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak

mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan, pengambil keputusan harus menjalankannya.

Kadangkala kesepakatan tak tercapai karena semua pihak tak dapat didamaikan dari

konflik sistem dan nilai. Atau lain waktu, tenaga kesehatan tak dapat menangkap

perhatian utama klien. Seringkali klien / keluarga mengajukan permintaan yang sulit

dipenuhi, dan di dalam situasi lain permintaan klien dapat dihormati.

d. Evaluasi

Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai

outcome-nya. Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial

dapat dipakai untuk mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah.

Komunikasi diantara para pengambil keputusan masih harus dipelihara.

Pembuatan keputusan etik, terutama dalam situasi klinik, dapat juga dilakukan dengan

pendekatan yang berbeda dengan pendekatan kaidah dasar moral diatas. Jonsen, Siegler dan

Winslade (2002) mengembangkan teori etik yang menggunakan 4 topik yang esensial dalam

pelayanan klinik , yaitu :

1. Medical Indication

Page 11: Dilema Etik Fix

Pada topik Medical Indication dimasukkan semua prosedur diagnostik dan terapi yang

sesuai untuk mengevaluasi keadaan pasien dan mengobatinya. Penilaian aspek indikasi

medis ini ditinjau dari dari sisi etiknya, dan terutama manggunakan kaidah dasar

bioetik Beneficence dan Nonmaleficence. Pertanyaan etika pada topik ini adalah serupa

dengan seluruh informasi yang selayaknya disampaikan kepada pasien pada doktrin

Informed consent.

2. Patient Preferrences

Pada topik Patient Preferrences kita memperhatikan nilai (value) dan penilaian

tentang manfaat dan beban yang akan diterimanya, yang berarti cerminan kaidah

Autonomy. Pertanyaan etiknya meliputi pertanyaan tentang kompetensi pasien, sifat

volunteer sikap dan keputusannya, pemahaman atas informasi, siapa pembuat

keputusan bila pasien tidak kompeten, nilai dan keyakinan yang dianut pasien, dan

lain-lain.

3. Quality of Life

Topik Quality of Life merupakan aktualisasi salah satu tujuan kedokteran, yaitu

memperbaiki, menjaga atau meningkatkan kualitas hidup insani. Apa, siapa, dan

bagaimana melakukan penilaian kualitas hidup merupakan pertanyaan etik sekitar

prognosis, yang berkaitan dengan kaidah dasar bioetik yaitu Beneficence,

Nonmaleficence dan Autonomy.

4. Contextual Features

Prinsip dalam Contextual Features adalah Loyalty and Fairness. Disini dibahas

pertanyaan etik seputar aspek non medis yang mempengaruhi keputusan, seperti factor keluarga,

ekonomi, agama, budaya, kerahasiaan, alokasi sumber daya dan faktor

hukum.

PRINSIP MORAL DALAM DILEMMA ETIK KLINIS

Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh tenaga kesehatan dalam pendekatan

penyelesaian masalah / dilema etis adalah :

a. Otonomi

Page 12: Dilema Etik Fix

Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan

memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat

keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai.

Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai

persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.

Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut

pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat tenaga kesehatan

menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan tentang tenaga kesehatanan

dirinya.

b. Benefisiensi

Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga

memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau

kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Kadang-kadang dalam

situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan otonomi.

c. Keadilan (justice)

Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang

menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan . Nilai ini direfleksikan dalam

praktek profesional ketika tenaga kesehatan bekerja untuk terapi yang benar sesuai

hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan

kesehatan (Geoffry hunt. 1994).

d. Non-malefisien

Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan psikologik.

Segala tindakan yang dilakukan pada klien.

e. Veracity (kejujuran)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi

layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk

meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan

kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi

akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan

Page 13: Dilema Etik Fix

materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu

yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani tenaga kesehatanan.

Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk

kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau

adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki

otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya.

Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya

f. Fidelity

Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap

orang lain. Tenaga kesehatan setia pada komitmennya dan menepati janji serta

menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan adalah kewajiban seeorang untuk

mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan itu menggambarkan kepatuhan

tenaga kesehatan terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari

tenaga kesehatan adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,

memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.

g. Kerahasiaan (confidentiality)

Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus

dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya

boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh

informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi

tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang

klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.

h. Akuntabilitas (accountability)

Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti

pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas

merupakan standar yang pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai

dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

LANDASAN HUKUM

Page 14: Dilema Etik Fix

- UU kesehatan pasal 15 ayat 1

“dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan pasien, dokter dapat melakukan

tindakan medis tertentu”

Dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan apabila ;

Indikasi medis mengharuskan diambilnya tindakan.

Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahllian dan kewenangan sesuai

dengan tanggung jawab profesi berdasarkan pertimbangan tim ahli.

Mendapatkan persetujuan pasien atau keluarganya

- Pasal 7 ayat 2 & 3( Peraturan Mententeri Kesehatan tahun 1989 tentang persetujuan tindakan

medik)

“Tim medis dibolehkan untuk melakukan suatu tindakan untuk menyelamatkan pasien dalam

keadaan gawat darurat ana persetujuan informed consent.”

- Permenkes no.585 tahun 1989

“dokter harus menjelaskan informasi/penjelasan kepada pasien atau keluarganya diminta atau

tidak diminta”

- Berdasarkan lafal sumpah dokter

“nyawa dan kesehatan pasien merupakan prioritas utama dokter”

ISU-ISU DILEMA ETIK KLINIS

Dilema etik klinis yang sering dihadapi oleh para tenaga medis di Indonesia antara lain adalah

a. Hak konstitusional wanita untuk melakukan aborsi

b. Bayi tabung

c. Transplantasi organ

d. Eutanasia

Beberapa contoh yang dapat dikemukakan tentang isu etika biomedis dalam arti pertama

(bioetika) adalah antara lain terkait dengan: kegiatan rekayasa genetik, teknologi reproduksi,

Page 15: Dilema Etik Fix

eksperimen medis, donasi dan transpalasi organ, penggantian kelamin, eutanasia, isu-isu pada

akhir hidup, kloning terapeutik dan kloning repraduktif. Sesuai dengan definisi di atas tentang

bioetika oleh International Association of Bioethics, kegiatan-kegiatan di atas dalam pelayanan

kesehatan dan ilmu-ilmu biologi tidak hanya menimbulkan isu-isu etika, tapi juga isu-isu sosial,

hukum, agama, politik, pemerintahan, ekonomi, kependudukan, lingkungan hidup, dan mungkin

juga isu-isu di tenaga kesehatan lain.

Dengan demikian, identifikasi dan pemecaha masalah etika biomedis dalam arti tidak

hanya terbatas pada kepedulian internal rumah sakit saja-misalnya Komite Etika Rumah Sakit

dan para dokter saja seperti halnya pada penanganan masalah etika medis ‘tradisional’-

melainkan kepedulian dan tenaga kesehatang kajian banyak ahlimulti- dan inter-displiner tentang

masalah-masalah yang timbul karena perkembangan tenaga kesehatang biomedis pada skala

mikro dan makro, dan tentang dampaknya atas masyarakat luas dan sistem nilainya, kini dan

dimasa mendatang (F.Abel,terjemahan K.Bertens).

Studi formal inter-disipliner dilakukan pada pusat-pusat kajian bioetika yang sekarang

sudah banyak jumlahnya terbesar di seluruh dunia. Dengan demikian,identifikasi dan pemecahan

masalah etika biomedis dalam arti pertama tidak dibicarakan lebih lanjut pada presentasi ini.

Yang perlu diketahui dan diikuti perkembangannya oleh pimpinan rumah sakit adalah tentang

‘fatwa’ pusat-pusat kajian nasional dan internasional,deklarasi badan-badan internasional seperti

PBB, WHO, Amnesty International, atau ’fatwa’ Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional

(diIndonesia;AIPI) tentang isu-isu bioetika tertentu, agar rumah sakit sebagai institusi tidak

melanggar kaidah-kaidah yang sudah dikonsesuskan oleh lembaga-lembaga nasional atau

supranasional yang terhormat itu. Dan jika terjadi masalah bioetika dirumah sakit yang belum

diketahui solusinya, pendapat lembaga-lembaga demikian tentu dapat diminta.

Seperti sudah disinggung diatas, masalah etika medis tradisional dalam pelayanan medis

dirumah sakit kita lebih banyak dikaitkan dengan kemungkinan terjadinya malpraktek, terutama

oleh dokter. Padahal, etika disini terutama diartikan kewajiban dan tanggung jawab institusional

rumah sakit. Kewajiban dan tanggung jawab itu dapat berdasar pada ketentuan hukum (Perdata,

Pidana, atau Tata Usaha Negara) atau pada norma-norma etika.

ABORSI

Page 16: Dilema Etik Fix

Aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mencapai viabilitas dengan usia

kehamilan < 22 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram.

Aborsi dan Kehamilan tidak diinginkan (KTD) merupakan permasalahan yang terabaikan

dibanyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Sebagai tenaga kesehatan yang menyatu

dengan masyarakat, tenaga kesehatan sering didatangi oleh perempuan dengan masalah ini.

Penyebab terjadinya aborsi dan KTD : korban perkosaan, pengetahuan yang kurang tentang

kesehatan reproduksi, hingga kegagalan kontrasepsi. Menghadapi masalah tersebut tenaga

kesehatan harus berperang antara keinginan menolong dengan hati nurani yang bertentangan,

belum lagi hukum yang melarang tindakan aborsi.

Menolak atau tidak peduli pada perempuan yang mengalami permasalahan dengan KTD

seringkali berdampak fatal. Banyak kejadian yang menyebabkan perempuan cari jalan pintas

dengan melakukan aborsi tidak aman. Aborsi tidak aman bisa dilakukan oleh perempuan itu

sendiri, orang lain yang tidak memiliki keterampilan medis, tenaga kesehatan yang tidak

memenuhi standar kemampuan dan kewenangan.

Dalam dunia kedokteran dikenal 3 macam aborsi, yaitu :

Aborsi Spontan / Alamiah : berlangsung tanpa tindakan. Kebanyakan disebabkan karena

kurang baiknya kualitas sel telur dan sel sperma.

Aborsi Buatan / Sengaja : pengakhiran kehamilan sebelum usia kandungan 28 minggu

sebagai suatu akibat tindakan yang disengaja dan disadari oleh calon ibu maupun

pelaksana aborsi.

Aborsi Terapeutik / Medis : pengguguran kandungan buatan yang dilakukan atas indikasi

medik.  Sebagai contoh, calon ibu yang sedang hamil tetapi mempunyai penyakit darah

tinggi menahun atau penyakit jantung yang parah yang dapat membahayakan baik calon

ibu maupun janin yang dikandungnya. Tetapi ini semua atas pertimbangan medis yang

matang dan tidak tergesa-gesa.

Beberapa hal yang bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk turut andil, upaya untuk

menurunkan kematian ibu dengan aborsi :

a.       Mencegah terjadinya KTD dengan cara :

1)      melakukan advokasi kemasyarakat tentang isu - isu kespro

2)      consent inform kepada klien kontrasepsi

b.      Melakukan konseling pada perempuan dengan masalah KTD, tanpa sikap menghakimi

Page 17: Dilema Etik Fix

c.       Sampaikan informasi yang diperlukan, misalnya :

1) Prosedur aborsi yang aman, kemungkinan efek samping

2) Mcam aborsi tidak aman dan dampaknya

3) Resiko dari setiap keputusan yang diambil klien

4) Cara mencegah KTD dikemudian hari

d.      Untuk kasus - kasus tertentu (KTD akibat perkosaan) / klien tetap memutuskan ingin

mengakhiri kehamilannya, rujuk klien kepada tenaga kesehatan yang memiliki keahlian

dan keterampilan untuk tindakan aborsi yang aman.

EUTHANASIA

a. Pengertian

Euthanasia berasal dari Bahasa Yunani yaitu : ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan

θάνατος, thanatos yang berarti kematian) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia atau

hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit

yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan suntikan yang mematikan.

Aturan hukum mengenai masalah ini berbeda-beda di tiap negara dan seringkali berubah seiring

dengan perubahan norma-norma budaya maupun ketersediaan tenaga kesehatanan atau tindakan

medis. Di beberapa negara, eutanasia dianggap legal, sedangkan di negara-negara lainnya

dianggap melanggar hukum. Oleh karena sensitifnya isu ini, pembatasan dan prosedur yang ketat

selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.

b. Kategori Euthanasia

Bila ditinjau dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu :

Eutanasia agresif, disebut juga eutanasia aktif, adalah suatu tindakan secara sengaja yang

dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk mempersingkat atau mengakhiri

hidup seorang pasien. Eutanasia agresif dapat dilakukan dengan pemberian suatu senyawa

yang mematikan, baik secara oral maupun melalui suntikan. Salah satu contoh senyawa

mematikan tersebut adalah tablet sianida.

Eutanasia non agresif, kadang juga disebut eutanasia otomatis (autoeuthanasia) digolongkan

sebagai eutanasia negatif, yaitu kondisi dimana seorang pasien menolak secara tegas dan

dengan sadar untuk menerima tenaga kesehatanan medis meskipun mengetahui bahwa

penolakannya akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Penolakan tersebut diajukan

Page 18: Dilema Etik Fix

secara resmi dengan membuat sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Eutanasia non

agresif pada dasarnya adalah suatu praktik eutanasia pasif atas permintaan pasien yang

bersangkutan.

Eutanasia pasif dapat juga dikategorikan sebagai tindakan eutanasia negatif yang tidak

menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan seorang

pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan pemberian bantuan medis yang

dapat memperpanjang hidup pasien secara sengaja. Beberapa contohnya adalah dengan tidak

memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan, tidak

memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, meniadakan tindakan operasi

yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang hidup pasien, ataupun pemberian obat

penghilang rasa sakit seperti morfin yang disadari justru akan mengakibatkan kematian.

Tindakan eutanasia pasif seringkali dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah

sakit.

Penyalahgunaan eutanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis maupun pihak keluarga

yang menghendaki kematian seseorang, misalnya akibat keputusasaan keluarga karena

ketidaksanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Pada beberapa kasus keluarga pasien

yang tidak mungkin membayar biaya pengobatan, akan ada permintaan dari pihak rumah sakit

untuk membuat "pernyataan pulang paksa". Meskipun akhirnya meninggal, pasien diharapkan

meninggal secara alamiah sebagai upaya defensif medis.

c. Euthanasia Ditinjau dari Sudut Pemberian Izin

Ditinjau dari sudut pemberian izin maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :

Eutanasia di luar kemauan pasien: yaitu suatu tindakan eutanasia yang bertentangan

dengan keinginan si pasien untuk tetap hidup. Tindakan eutanasia semacam ini dapat

disamakan dengan pembunuhan.

Eutanasia secara tidak sukarela: Eutanasia semacam ini adalah yang seringkali menjadi

bahan perdebatan dan dianggap sebagai suatu tindakan yang keliru oleh siapapun juga.

Hal ini terjadi apabila seseorang yang tidak berkompeten atau tidak berhak untuk

mengambil suatu keputusan misalnya statusnya hanyalah seorang wali dari si pasien

(seperti pada kasus Terri Schiavo). Kasus ini menjadi sangat kontroversial sebab

beberapa orang wali mengaku memiliki hak untuk mengambil keputusan bagi si pasien.

Page 19: Dilema Etik Fix

Eutanasia secara sukarela : dilakukan atas persetujuan si pasien sendiri, namun hal ini

juga masih merupakan hal kontroversial.

d. Euthanasia Ditinjau Dari Sudut Tujuan

Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu :

1)   Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)

2)   Eutanasia hewan

3)   Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, bentuk lain eutanasia agresif secara sukarela

Di Indonesia tindakan eutanasia tidak dibenarkan menurut undang-undang, tujuan dari

eutanasia aktif adalah mempermudah kematian klien. Sedangkan eutanasia pasif bertujuan untuk

mengurangi rasa sakit dan penderitaan klien namun membiarkannya dapat berdampak pada

kondisi klien yang lebih berat bahkan memiliki konsekuensi untuk mempercepat kematian. Batas

kedua hal tersebut kabur bahkan sering kali merupakan hal yang membingungkan bagi

pengambil keputusan tindakan ketenaga kesehatanan (Priharjo, 1995).

Eutanasia aktif merupakan tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan dalam

KUHP pasal 338, 339, 345 dan 359.

Hak Individu yang akan meninggal:

1. Hak diperlakukan sebagaimana manusia hidup sampai ajal tiba

2. Hak untuk mempertahankan harapananya, tidak peduli apapun perubahan yang terjadi

3. Hak untuk mengekspresikan perasaan dan emosinya sehubungan dengan kematian yang

sedang dihadapinya sesuai dengan kepercayaannya.

4. Hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan tenaga

kesehatanannya

Page 20: Dilema Etik Fix

5. hak untuk memperoleh perhatian dalam pengobatan dan tenaga kesehatanan secara

berkesinambunagn walaupun tujuan penyembuhannya harus diubah menjadi tujuan

memberikan rasa nyama.

6. Hak untuk tidak meninggal dalam kesendirian

7. Hal untuk bebas dari rasa sakit

8. Hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaannya secara jujur

9. Hak untuk memperoleh bantuan dari tenaga kesehatan atau medis untuk keluarga yang

ditinggal agar dapat menerima kematiannya

10. Hak untuk meninggal dalam keadaan damai dan bermartabat

11. Hak untuk tetap dalam kepercayaan atau agamanya dan tidak diambil keputusan yang

bertentang dengan kepercayaan yang dianutnya

12. Hak untuk memperdalam dan meningkatkan kepercayaannya, apapun artinya bagi orang

lain

13. Hak untuk mengharapkan bahwa kesucian raga manusia akan dihormati setelah yang

bersangkutan meninggal.

ADOPSI

Adopsi berasal dari kata “adaptie” dalam bahasa Belanda. Menurut kasus hukum berarti

“Pengangkatan seorang anak untuk anak kandungnya sendiri”. Dalam bahasa Malaysia dipakai

kata adopsi, berarti anak angkat atau mengangkat anak. Sedangkan dalam Bahasa Inggris,

“Edoft” (Adaption), berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak. Dalam bahasa Arab

disebut “Tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “Mengambil Anak

Angkat”.

Sistim Hukum yang Mengatur Adopsi / Pengangkatan Anak

1)      Hukum Barat (BW)

Dalam kitab UU Hukum Perdata (KUHP) tidak ditentukan satu ketentuan yang mengatur

masalah adopsi atau anak angkat yang ada hanyalah ketentuan tentang pengangkatan anak di luar

Page 21: Dilema Etik Fix

kawin, seperti yang diatur dalam buku BW hal XII bagian ketiga, pasal 280-289, tentang

pengakuan anak diluar kawin. Karena tuntutan masyarakat, maka dikeluarkan oleh Pemerintah

Hindia Belanda : Staats Blad no : 124/1917, khusus pasal 5-15, yg mengatur masalah adopsi

anak / anak angkat.

2) Pasal 8 menyebutkan bahwa ada 4 syarat untuk pengangkatan anak :

a) Persetujuan orang yang mengangkat anak.

b) Jika anak diangkat adalah anak syah dari orangtuanya, diperlukan izin dari orangtuanya itu.

Jika bapaknya sudah wafat dan ibunya kawin lagi, kasus ada persetujuan dari walinya.

c) Jika anak yang diangkat lahir di luar perkawinan, izin diperlukan dari orangtua yang

mengakui sebagai anaknya. Jika anak tidak diakui harus ada persetujuan dari walinya.

d) Jika anak yang akan diangkat sudah berusia 14 tahun, maka persetujuan adalah dari anak

sendiri.

TRANSPLANTASI

a. Pengertian

Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ

dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang

sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada

penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan

orang yang masih hidup ataupun telah meninggal. Teknik transplantasi dimungkinkan untuk

memindahkan suatu organ atau jaringan tubuh manusia yang masih berfungsi baik, baik dari

orang yang masih hidup maupun yang sudah meninggal ke tubuh manusia lain.

Dalam penyembuhan suatu penyakit, adakalanya transplantasi tidak dapat dihindari

dalam menyelamatkan nyawa si penderita. Dengan keberhasilan teknik transplantasi dalam usaha

penyembuhan suatu penyakit dan dengan meningkatnya keterampilan dokter – dokter dalam

melakukan transplantasi. Upaya transplantasi mulai diminati oleh para penderita dalam upaya

penyembuhan yang cepat dan tuntas. Untuk mengembangkan transplantasi sebagai salah satu

cara penembuhan suatu penyakit tidak dapat bagitu saja diterima masyarakat luas. Pertimbangan

etik, moral, agama, hukum, atau sosial budaya ikut mempengaruhinya.

Transplantasi ditinjau dari sudut si penerima, dapat dibedakan menjadi :

1)   Autotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ ke tempat lain dalam tubuh

orang itu sendiri.

Page 22: Dilema Etik Fix

2)   Homotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari tubuh seseorang ke

tubuh orang lain.

3)   Heterotransplantasi, yaitu pemindahan suatu jaringan atau organ dari suatu spesies ke tubuh

spesies lainnya.

b. Masalah Etik dan Moral dalam Transplantasi

Donor Hidup

Adalah orang yang memberikan jaringan / organnya kepada orang lain ( resepien ). Sebelum

memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang

dihadapi, baik resiko di tenaga kesehatang medis, pembedahan, maupun resiko untuk

kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan / organ yang telah dipindahkan.

Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis.

Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut untuk mencegah

timbulnya masalah.

Jenazah dan donor mati

Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh – sungguh

untuk memberikan jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah

meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila

sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang

merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain

bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang

hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan.

Keluarga donor dan ahli waris

Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian

dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian

hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya dituntut suatu penghargaan kepada donor dan

keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah

tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.

Resipien

Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita

mempunyai hak untuk mendapatkan tenaga kesehatanan yang dapat memperpanjang hidup atau

meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar – benar mengerti semua hal yang

Page 23: Dilema Etik Fix

dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat

memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa

hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia

menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan

orang banyak di masa yang akan datang.

Dokter dan tenaga pelaksana lain

Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor,

resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal – hal yang mungkin

akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di

kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan

mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam

melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan –

pertimbangan kepentingan pribadi.

c. Transplantasi Ditinjau dari Aspek Hukum

Pada saat ini peraturan perundang – undangan yang ada adalah Peraturan Pemerintah No.

18 tahun 1981, tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat

atau Jaringan Tubuh Manusia. Pokok – pokok peraturan tersebut adalah :

1)   Pasal 10

Transplantasi alat untuk jaringan tubuh manusia dilakukan dengan memperhatikan ketentuan –

ketentuan yaitu harus dengan persetujuan tertulis penderita dan keluarganya yang trdekat setelah

penderita meninggal dunia.

2)   Pasal 14

Pengambilan alat atau jaringan tubuh manusia untuk keperluan transplantasi atau bank mata dari

korban kecelakaan yang meninggal dunia, dilakukan dengan pernyataan tertulis keluarga

terdekat.

3)   Pasal 15

Sebelum persetujuan tentang transplantasi alat dan jaringan tubuh manusia diberikan oleh calon

donor hidup, calon donor yang bersngkutan terlebih dahulu diberitahu oleh dokter yang

merawatnya, termasuk dokter konsultan mengenai sifat operasi, akibat – akibat dan

kemungkinan – kemungkinan yang dapat terjadi. Dokter yang merawatnya harus yakin benar

Page 24: Dilema Etik Fix

bahwa calon donor yang bersangkutan telah menyadari sepenuhnya arti dari pemberitahuan

tersebut.

4)   Pasal 16

Donor atau keluarga donor yang meninggal dunia tidak berhak atas suatu kompensasi material

apapun sebagai imbalan transplantasi.

5)   Pasal 17

Dilarang memperjual – belikan alat atau jaringan tubuh manusia.

6)   Pasal 18

Dilarang mengirim dan menerima alat dan jaringan tubuh manusia dalam semua bentuk keadaan

dari luar negri

BAYI TABUNG

Bayi tabung adalah upaya jalan pintas untuk mempertemukan sel sperma dan sel telur diluar

tubuh (in vitro fertilization). Setelah terjadi konsepsi hasil tersebut dimasukkan kembali ke

dalam rahim ibu atau embrio transfer sehingga dapat tumbuh menjadi janin sebagaimana

layaknya kehamilan biasa. Status bayi tabung ada 3 macam :

1.    Inseminasi buatan dengan sperma suami.

2.    Inseminasi buatan dengan sperma donor.

3.    Inseminasi bautan dengan model titipan.

Beberapa Negara memperbolehkan donor sperma bukan suami, dan diakui secara legal.

Kerahasiaan identitas donor yang bukan suami senantiasa dijaga, untuk menghindarkan masalah

dikemudian hari. Terkait dengan proses bayi tabung, pada tahun 1979, Majelis Ulama Indonesia

(MUI) pernah mengeluarkan fatwanya. Pada intinya, para ulama menyatakan bahwa bayi tabung

diperbolehkan selama sperma yang didonorkan berasal dari suami yang sah dari si perempuan

yang rahimnya hendak digunakan dalam proses bayi tabung. Hal itu karena memanfaatkan

teknologi bayi tabung merupakan hak bagi pasangan yang berikhtiar untuk memperoleh

keturunan. Namun, jika sperma dan rahim yang digunakan bukan berasal dari pasangan suami

istri yang sah, maka hal itu statusnya sama dengan hubungan kelamin antara lawan jenis di luar

pernikahan yang sah. Dengan kata lain, bisa terjadi rahim seorang perempuan dipinjamkan untuk

proses bayi tabung dari embrio seorang lelaki yang bukan suaminya. Nah, hal itu sama saja

dengan perzinaan.

Page 25: Dilema Etik Fix

INFORMED CONSENT

Informed consen adalah izin/pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar,

dan rasional, setelah ia mendapat inform yang dipahami dari dokter tentang penyakitnya

Tujuan informed consent

a. Melindungi pengguna jasa tindakan medis (pasien) secara hukum dari segala tindakan

medis yang dilakukan tanpa sepengetahuannya, maupun tindakan pelaksana jasa tindakan

medis yang sewenang-wenang, tindakan malpraktek yang bertentangan dengan hak asasi

pasien dan standar profesi medis, serta penyalahgunaan alat canggih yang memerlukan

biaya tinggi atau “over utilization” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak ada alasan

medisnya.

b. Memberikan perlindungan hukum terhadap pelaksana tindakan medis dari tuntutan-

tuntutan pihak pasien yang tidak wajar, serta akibat tindakan medis yang tidak terduga

dan bersifat negatif. Selama hal itu terjadi dalam batas-batas tertentu, maka tidak dapat

dipersalahkan, kecuali jika melakukan kesalahan besar karena kelalaian atau

ketidaktahuan.

Fungsi informed consent

penghormatan terhadap harkat dan martabat pasien selaku manusia

promosi terhadap hak untuk menentukan nasibnya sendiri

untuk mendorong dokter melakukan kehati-hatian dalam mengobati pasien

menghindari penipuan dan miss leading oleh dokter

mendorong untukmengambil keputusan rasional

mendorong keterlibatan publik dalam masalah kedokteran dan kesehatan

Jenis informed consent

a. informed consent adalah Consent yang diberikan pada pasien yang ditandatangani

langsung oleh pasien yang berangkutan (tanpa keluarga/wali).

Page 26: Dilema Etik Fix

b. Proksi consent adalah Consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu

sendiri dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi

(suami, istri, anak, ortu, saudara kandung, dll)

Bentuk informed consent

a. Tersirat ( Implied Consent) adalah persetujuan yang diberikan pasien secara terirat,

tanpa pernyataan tegas

Contoh : melakukan jahitan, penagmbilan darah untuk pemeriksaan laboratorium,

penyuntikan

Presumed consent adalah jika pasien dalam keadaan gawat darurat, dan dokter harus

lakukan tindakan segera sedangkan pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan

persetujuan, dan keluargapun tidak ada di tempat, maka dokter segera melakukan

tindakan berdasarkan Permenkes 585 tahun 1989, pasal 11. Dengan arti bila pasien

dalam keadaan yang sadar akan menyetujui tindakan medik yang dilakukan

b. Dinyatakan (Ekpress Consent) adalah persetujuan yang dinyatakan secara lisan atau

tulisan, bila yang akan dilakukan lebih dari prosedur pemeriksaan dan tindakan yang

biasa

Yang berhak menandatangani informed consent

pasal 8

pasien dewasa 21 tahun atau sudah menikah dalam keadaan sehat

keluarga pasien bila umur pasien 21, pasien dengan gangguan jiwa, tidak sadar, pingsan

pasal 9

pasien < 21 tahun/ sudah menikah dibawah pengampuan dan gangguan mental,

persetujuan diberikan pada wali

pasal 10

pasien < atau belum menikah dan tidak punya wali/ wali berhalangan, persetujuan

diberikan pada keluarga atau induk semang/ yang bertanggung jawab pada pasien

pasal 11

Page 27: Dilema Etik Fix

dalam keadaan pasien tidak sadar dan tidak ada wali/ keluarga terdekat dan dalam

keadaan darurat yang perlu tindakan medik segera tidak dibutuhkan informed consent

dari siapapun

Syarat syah informed consent

diberikan secara bebas

diberikan pada orang yang sanggup memberikan perjanjian

telah dijelaskannya bentuk tindakan yang akan dilakukan sehingga pasien memahami

tindakan itu perlu dilakukan

mengenai sesuatu yang khas

tindakan itu juga dilakukan pada situasi yang sama

Tata cara informed consent

Permenkes RI NO 585/MenKesh/Per/IX/1989

1. Penjelasan langsung dari dokter yang melakukan tindakan medis dan dengan bahasa

yang mudah dimengerti oleh pasien

2. Tidak ada unsur dipengaruhi/ mengarahkan pasien pada tindakan tertentu, semua

putusan diserahkan pasien dan dokter hanya menyarankan dan menjelaskannya

3. Menyakan ulang kembali apakah sudah mengerti

4. Lembar informed consent diisi oleh pasien/keluarga/ wali

Jenis tindakan yang memerlukan Informed Consent

1. Tindakan-tindakan yang bersifat invasif dan operatif atau memerlukan pembiusan, baik

untuk menegakkan diagnosis maupun tindakan yang bersifat terapeutik.

2. Tindakan pengobatan khusus, misalnya radioterapi untuk kanker.

3. Tindakan khusus yang berkaitan dengan penelitian bidang kedokteran ataupun uji klinik

(berkaitan dengan bioetika)

Hal yang membatalkan informed consent

keadaan darurat medis

Page 28: Dilema Etik Fix

ancaman terhadap kesehatan masyarakat

pelepasan hak pemberian consen pada pasien

clinical privilage

pasien tanpa pendamping yang tidak kompeten memberikan consent

Aspek hukum yang mendasari informed consent adalah :

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 85/Menkes/Per/1X/1998 tentang persetujuan

tindakan medik. Pasal 1 (angka a) ialah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau

keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan

terhadap pasien tersebut.

UU No. 29 Tahun 2004 Pasal 45, persetujuan diberikan setelah diberikan penjelasan

kepada pasien.

IDI fatwa No 319- 1988

Dari sudut hukum pidana informed consent harus dipengaruhi dengan adanya pasal 351

KUHP tentang penganiyaan

Informasi dalam informed consent

a. Garis besar, seluk beluk penyakit yang diderita prosedur perawatan/ pengobatan yang

akan diberikan atau diteruskan

b. Resiko yang akan dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul

c. Prospek atau prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.

d. Alternative metode perwatan atau pengobatan

e. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk member ikan persetujuan

f. Prosedur perawatan atau pengobatan yang akan dilakukana merupakan suatu

percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan.

Page 29: Dilema Etik Fix

DAFTAR PUSTAKA

Jaringan Epidemiologi Nasional. (1995). AIDS dan Hukum / Etika. Seri Monogragi No:05.

Jakarta : Jaringan Epidemi Nasional bekerja sama dengan The Ford Foundation.

Guwandi,J. (2002). Hospital Law (Emerging doctrines & Jurisprudence). Jakarta : Balai

penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Guwandi,J. (1992). Trilogi Rahasia Kedokteran. Jakarta : Balai penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Marquis, B.L and Huston, Carol.J. (2006). Leadership Roles and Management Functions in

Nursing : Theory and Application. 5 th Ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins.

Tappen, M.R., Sally A. Weiss, Diane K.W. (2004). Essentials of Nursing Leadership and

Management. 3 rd Ed. Philadelphia : FA. Davis Company.

Widiastuti, Rahayu.dkk.2012.Kamus Ketenaga kesehatanan. Jakarta: Prestasi Pustaka

Kozier, B., Erb G., Berman, A., & Snyder S. J. (2004). Fundamentalsof Nursing Concepts

Process and Practice. (7th ed). New Jerney: Pearson Education Line.

http://hadita19.wordpress.com/2011/10/12/delima-etik/

Guwandi, J. 2005. Rahasia Medis. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Hanafiah, M.Jusuf dan Amri Amir. 1998. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Medan: EGC

Achadiat CM.2007. Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran Dalam Tantangan Zaman. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC

Guwandi J.2006. Dugaan Malpraktek Medik dan Draft RPP: “ Perjanjian Terapetik antara

Dokter dan Pasien”. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Guwandi J. 2008, Informed Consent. Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Hanafiah MJ, Amir Amri. 2007. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Penerbit

Buku Kedokteran EGC

Page 30: Dilema Etik Fix

Guwandi J. 2004.Hukum Medik (medical Law). Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Sampurna Budi,dkk. 2005. Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta: Pustaka Dwipar

Undang-Undang Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2006