Upload
khoirul-hikari
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
1/120
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION
TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PASIEN DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
RADEN MATTAHER JAMBI
TESIS
OLEH
Mashudi
NPM. 0906594425
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2011
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
2/120
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PENGARUH PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION
TERHADAP KADAR GLUKOSA DARAH PASIEN DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
RADEN MATTAHER JAMBI
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Keperawatan
OLEH
Mashudi
NPM. 0906594425
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK, JULI 2011
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
3/120
Universitas Indonesia
ii
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
4/120
Universitas Indonesia
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
5/120
Universitas Indonesia
iii
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
6/120
Universitas Indonesia
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
nikmat, serta karunia-Nya laporan hasil tesis yang berjudul “Pengaruh
Progressive Muscle Relaxation (PMR) Terhadap Kadar Glukosa Darah Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher
Jambi” ini dapat penulis selesaikan tepat pada waktunya. Laporan tesis ini penulis
susun berdasarkan beberapa literatur berupa kritisi terhadap tesis dan antitesis dari
riset-riset terkait, beberapa teks book, dan materi lain yang penulis akses dari
internet.
Laporan tesis ini dapat penulis selesaikan atas bimbingan, arahan, dukungan, dan
saran-saran dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terimaksih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Krisna Yetti, SKp., M.App.Sc., selaku pembimbing I yang dengan tulus
ikhlas dan penuh kesabaran meluangkan waktu untuk memberikan
bimbingan, arahan, dan dukungan.
2. Dr. Luknis Sabri, M.Kes., selaku pembimbing II yang dengan tulus ikhlas dan
penuh kesabaran memberikan bimbingan, arahan, dan dukungan.
3. Direktur RSUD Raden Mattaher Jambi, Kepala Bidang Pendidikan dan
Latihan beserta staf, kepala ruangan dan seluruh perawat pelaksana yang telah
memberikan ijin, bantuan dan informasi dalam penelitian ini.
4. Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua,
isteri tercinta Restu Yulvikasari dan anak-anak (M. Zayyan dan M. Tsaqif)
dengan segala pengorbanannya yang telah memberikan dukungan moril, do‟a
dan cinta kasih yang tiada putus kepada peneliti.
5. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Zaenal Arifin dan bapak
Sukarmin selaku teman yang banyak membantu penulis dalam penyusunan
dan penyelesaian tesis ini.
6. Teman-teman mahasiswa angkatan 2009, khususnya Keperawatan Medikal
Bedah yang telah berjuang dan saling memberikan dukungan untuk
kelancaran proses pendidikan.
iv
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
7/120
Universitas Indonesia
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyelesaian tesis ini.
Semoga amal ibadah yang telah diberikan mendapatkan ridho Allah SWT. Penulismenyadari tesis ini masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis dengan lapang
hati menerima masukan dan saran-saran yang konstruktif untuk perbaikan dimasa
yang akan datang.
Depok, Juli 2011
Penulis
iv
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
8/120
Universitas Indonesia
v
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
9/120
Universitas Indonesia
PROGRAM PASCA SARJANA
KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS INDONESIA
Tesis, Juli 2011
Mashudi
Pengaruh Progressive Muscle Relaxation (PMR) Terhadap Kadar Glukosa
Darah Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Daerah Raden
Mattaher Jambi
xi + 77 halaman + 14 tabel + 5 skema + 6 grafik + 11 lampiran
Abstrak
PMR adalah suatu prosedur untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui
pemberian tegangan pada suatu kelompok otot dan menghentikan tegangan
tersebut kemudian memusatkan perhatian untuk mendapatkan sensasi rileks.
Tujuan penelitian ini adalah teridentifikasikannya pengaruh progressive muscle
relaxation(PMR) terhadap penurunan kadar glukosa darah (KGD) pada pasien
diabetes melitus tipe 2 (DMT2) di RSUD Raden Mattaher Jambi. Penelitian ini
menggunakan desain kuasi eksperimen dengan pre and post with control group,
masing-masing kelompok terdiri dari 15 orang responden. Data dianalisis secara
univariat dan bivariat. Hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh PMR secarasignifikan dalam menurunkan KGD pasien DMT2 di RSUD Raden Mattaher
Jambi. Sedangkan variabel umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama
menderita DMT2 tidak mempunyai hubungan dengan rata-rata penurunan kadar
glukosa darah setelah intervensi. Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi
perawat untuk menjadikan PMR sebagai salah satu intervensi keperawatan
mandiri dan memasukkan PMR dalam protap penatalaksanaan pasien DMT2.
Kata kunci : PMR, kadar glukosa darah, pasien DMT2
Daftar Pustaka : 65 (2000-2010)
vi
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
10/120
Universitas Indonesia
POST GRADUATE PROGRAM
MEDICAL-SURGICAL NURSING
FACULTY OF NURSING UNIVERSITY OF INDONESIA
Thesis, July 2011
Mashudi
Effect of Progressive Muscle Relaxation (PMR) in Decreasing Blood Glucose
Levels of Type 2 Diabetes Mellitus Patients In Raden Mattaher District
Hospital Jambi
xi + 77 pages + 14 tables + 5 schemes + 6 graph + 11 appendices
Abstract
PMR was procedure to muscle relaxation, through stretching and relaxing the
muscles followed by focus attention to create relaxation effect. The aim of this
study was to identivy the effect of progressive muscle relaxation to decrease blood
glucose levels in patients with type 2 diabetes mellitus in Raden Mattaher
Hospital Jambi. The study used quasi-experimental with pre and post control
group, each group consisted of 15 respondents. Data was analyzed by univariate
and bivariate test. The results showed that there was a significant effect of PMR in
lowering blood glucose levels of DMT2 patients in Raden Mattaher Hospital
Jambi. The variables of age, sex, comorbidities, and long-suffering DMT2 did nothave a significant relationship with an average of blood glucose levels after
providing intervention. The results could be an input for nurses to develop the
PMR as an independent nursing intervention as a part of nurse management
standard for DMT2 patients.
Key words: PMR, blood glucose levels, DMT2 patients
References : 65 (2000-2010)
vii
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
11/120
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul iHalaman Pernyataan Orisinalitas ii
Halaman Pengesahan iii
Kata Pengantar iv
Halaman Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah untuk
Kepentingan Akademis
v
Abstrak vi
Abstract vii
Daftar Isi viii
Daftar Tabel ix
Daftar Skema x
Daftar Grafik xiDaftar Lampiran xii
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................... 5
1.3 Tujuan ............................................................................ 6
1.4 Manfaat .......................................................................... 7
BAB 2 : TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Glukosa Darah ................................................................ 8
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2 ................................................. 92.2.1 Definisi ............................................................. 9
2.2.2
2.2.3
2.2.4
Etiologi .............................................................
Faktor risiko .....................................................
Patofisiologi .....................................................
9
9
11
2.2.5 Manifestasi Klinik ............................................ 13
2.2.6 Diagnosis .......................................................... 13
2.2.7
2.2.8
Penatalaksanaan ...............................................
Komplikasi .......................................................
13
17
2.3 Stres Dan Diabetes Melitus ........................................... 19
2.4 Progressive Muscle Relaxation2.4.1 Definisi ............................................................. 22
2.4.2
2.4.3
Indikasi .............................................................
Manfaat ............................................................
22
23
2.4.4 Kontraindikasi .................................................. 23
2.4.4. Prosedur ........................................................... 24
2.5 Peran Perawat ................................................................. 27
2.6 Kerangka Teori .............................................................. 28
BAB 3 : KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN DEFINISI
OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep ........................................................... 30
viii
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
12/120
Universitas Indonesia
3.2 Hipotesis ......................................................................... 31
3.3 Definisi Operasional ....................................................... 32
BAB 4 : METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian ............................................................ 334.2 Populasi Dan Sampel ..................................................... 34
4.2.1 Populasi ............................................................ 34
4.2.2 Sampel ............................................................. 34
4.3 Waktu Dan Tempat Penelitian
4.3.1 Waktu penelitian .............................................. 36
4.3.2 Tempat penelitian ............................................. 36
4.4 Etika Penelitian .............................................................. 37
4.4.1 Prinsip etik ....................................................... 37
4.4.2 Informed Consent ............................................. 38
4.5 Alat Dan Prosedur Pengumpulan Data
4.5.1 Alat pengumpul data ........................................ 384.5.2 Prosedur pengumpulan data ............................. 39
4.6 Pengolahan Dan Analisa Data
4.6.1 Pengolahan data ............................................... 43
4.6.2 Analisa data ...................................................... 43
BAB 5 : HASIL PENELITIAN
5.1 Analisis Univariat .......................................................... 46
5.2 Analisis Bivariat ............................................................ 50
BAB 6 : PEMBAHASAN
6.1 Interpretasi dan diskusi hasil penelitian ......................... 66
6.2 Keterbatasan penelitian .................................................. 74
6.3 Implikasi dan tindak lanjut hasil penelitian ................... 74
BAB 7 : KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan .................................................................... 76
7.2 Saran .............................................................................. 76
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
13/120
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Hal
1. Tabel 2.1 Daftar konversi A1c dalam rata-rata glukosa darah 16
2. Tabel 3.1 Definisi Operasional 32
3. Tabel 4.1 Rencana jadwal penelitian dalam minggu 36
4. Tabel 4.2 Rencana uji kesetaraan variabel confounding 44
5. Tabel 4.3 Rencana analisis bivariat uji beda mean antara 2
kelompok data variabel dependen
44
6. Tabel 5.1 Hasil analisis umur responden di RSUD Raden MattaherJambi April-Mei 2011
46
7. Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin,
penyakit penyerta, dan lama menderita DMT2 di RSUD Raden
Mattaher Jambi April-Mei 2011
47
8. Tabel 5.3 Hasil analisis kadar glukosa darah sebelum dan setelah
dilakukan PMR di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
48
9. Tabel 5.4 Hasil analisis uji normalitas data KGD sebelum dan
setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi dan kelompok
kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
51
10. Tabel 5.5 Hasil analisis uji homogenitas responden berdasarkan
umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama menderita
DMT2 antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
54
11. Tabel 5.6 Hasil analisis uji homogenitas data kadar glukosa darah
pasien DMT2 sebelum PMR antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei2011
55
12. Tabel 5.7 Hasil analisis perbedaan kadar glukosa darah pasien
DMT2 sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi
April-Mei 2011
57
13. Tabel 5.8 Hasil analisis selisih rata-rata kadar glukosa darah
pasien DMT2 setelah intervensi PMR antara kelompok intervensi
dan kelompok kontrol di RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei
2011
63
ix
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
14/120
Universitas Indonesia
14. Tabel 5.9 Hasil analisis umur, jenis kelamin, penyakit penyerta,
dan lama menderita DMT2 dengan selisih kadar glukosa darah jam
06.00, 11.00, dan 16.00 di RSUD Raden Mattaher Jambi April-
Mei 2011
64
ix
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
15/120
Universitas Indonesia
DAFTAR SKEMA
Hal
1. Skema 2.1 Kelainan dasar DM Tipe 2 12
2.
3.
Skema 2.2 Etiologi terjadinya DM Tipe 2
Skema 2.3 Kerangka teori penelitian
12
29
4. Skema 3.1 Kerangka konsep penelitian 31
5. Skema 4.1 Desain penelitian 33
x
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
16/120
Universitas Indonesia
DAFTAR GRAFIK
Hal
1. Grafik 5.1A Perubahan KGD Jam 06.00 masing-masing respondensebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
60
2. Grafik 5.1B Perubahan KGD Jam 06.00 masing-masing responden
sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok kontrol di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
60
3. Grafik 5.2A Perubahan KGD Jam 11.00 masing-masing responden
sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
61
4. Grafik 5.2B Perubahan KGD Jam 11.00 masing-masing responden
sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok kontrol di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
61
5. Grafik 5.3A Perubahan KGD Jam 16.00 masing-masing responden
sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok intervensi di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
62
6. Grafik 5.3B Perubahan KGD Jam 16.00 masing-masing responden
sebelum dan setelah intervensi PMR pada kelompok kontrol di
RSUD Raden Mattaher Jambi April-Mei 2011
62
xi
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
17/120
Universitas Indonesia
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Penjelsasn penelitian
Lampiran 2 : Lembar persetujuan
Lampiran 3 : Data karakteristik responden
Lampiran 4 : Lembar observasi pelaksanaan PMR dan hasil pengukuran KGD
Lampiran 5 : Prosedur tetap pelaksanaan pengukuran KGD
Lampiran 6 : Langkah-langkah Progressive Muscle Relaxation
Lampiran 7 : Petunjuk pelaksanaan penelitian
Lampiran 8 : Keterangan lolos kaji etikLampiran 9 : Surat permohonan ijin penelitian
Lampiran 10 : Surat keterangan telah melaksanakan penelitian
Lampitan 11 : Daftar riwayat hidup
xii
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
18/120
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana yang diabsorpsi ke
dalam cairan darah melalui sistem pencernaan. Konsentrasi glukosa darah sangat
penting dipertahankan pada kadar yang cukup tinggi dan stabil sekitar 70-120
mg/dl untuk mempertahankan fungsi otak dan suplai jaringan secara optimal.
Kadar glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak meningkat terlalu tinggi
(hiperglikemia) mengingat glukosa juga berpengaruh terhadap tekanan osmotik
cairan ekstra seluler (Robbin, et al, 2007; Ignatavicius & Walkman, 2006).
Hiperglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah puasa lebih dari 126
mg/dl atau glukosa darah 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl (Soegondo,
2009). Hiperglikemia terjadi karena adanya gangguan sekresi insulin (defisiensi
insulin) dan rendahnya respon tubuh terhadap insulin (resistensi insulin) (Manaf
dalam Sudoyo, et al, 2006). Hiperglikemia dapat menyebabkan dehidrasi seluler,
keluarnya glukosa dalam urin yang menyebabkan diuresis osmotik oleh ginjal.
Kondisi ini menyebabkan manifestasi poliuri (pengeluaran urin secara
berlebihan), polidipsi (minum berlebihan), dan polifagi yang disebabkan oleh
kegagalan metabolisme glukosa oleh tubuh yang menyebabkan penurunan berat
badan dan kecendrungan makan secara berlebihan. Manifestasi ini merupakan
gejala khas diabetes melitus (Soegondo, 2009).
Diabetes Melitus (DM) adalah kelompok penyakit metabolik yang
dikarakteristikkan oleh tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia)
karena kelainan sekresi insulin, kelainan kerja insulin, atau kombinasi keduanya
(Robbins, et al, 2007; Smeltzer & Bare, 2008; American Diabetes Association
(ADA), 2010). DM mempunyai dua tipe utama, yaitu DM tipe 1 (DMT1)
tergantung insulin (Insulin Dependent Diabates Mellitus/ IDDM), dan DM tipe 2
(DMT2) tidak tergantung insulin (Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus/
NIDDM) (Ignatavicius & Walkman, 2006; Gustaviani dalam Sudoyo, et al, 2006).
1
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
19/120
Universitas Indonesia
Kurang lebih 5-10% pasien diabetes menderita DMT1, selebihnya sekitar 90-95%
pasien diabetes menderita DMT2 (Smeltzer & Bare, 2002).
Di Indonesia pasien DMT2 meliputi 90% dari semua populasi diabetes (Suyonodalam Soegondo, et al, 2009). DMT2 ini dikarakteristikkan oleh adanya
hiperglikemia, resistensi insulin, dan adanya penglepasan glukosa hati yang
berlebihan (Ilyas, 2009). Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah karena
perubahan gaya hidup (Suyono dalam Soegondo, et al, 2009).
Diabetes melitus menjadi masalah kesehatan yang serius, baik di negara maju
maupun di negara berkembang seperti di Indonesia karena insidensinya yang terus
meningkat (Suyono dalam Soegondo, 2009). Hal ini dapat dilihat dari angka
prevalensi yang dirilis oleh International Diabetes Federation (IDF) tahun 2006
(Suyono, 2009). Angka prevalensi Amerika Serikat 8,3%, dan Cina 3,9%. Angka
prevalensi Indonesia menurut penelitian Litbang Depkes 2008 adalah 5,7%,
meningkat 1,1% dari 4,6% tahun 2000 (Suyono dalam Soegondo, 2009).
Badan kesehatan dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000
jumlah penderita diabetes di atas 20 tahun berjumlah 150 juta orang, dan dalam
kurun waktu 25 tahun kemudian pada tahun 2025 jumlah itu akan meningkat
menjadi 300 juta orang (Suyono dalam Sudoyo, et al, 2006). Di Indonesia,
menurut perkiraan IDF pada tahun 2000 terdapat penduduk di atas 20 tahun
sebesar 125 juta, dengan asumsi prevalensi DM sebesar 4,6%, diperkirakan pada
tahun 2000 penderita DM berjumlah 5,6 juta. Berdasarkan pola pertambahan
penduduk seperti saat ini, diperkirakan pada tahun 2020 nanti akan ada 178 juta
penduduk berusia di atas 20 tahun, dan dengan asumsi prevalensi DM sebesar
4,6% akan didapatkan 8,2 juta penderita diabetes (Diabetes Atlas 2000 dalam
Suyono, 2009).
DMT2 sering tidak menunjukkan gejala yang khas pada awalnya, sehingga
diagnosis baru ditegakkan ketika pasien berobat untuk keluhan panyakit lain yang
sebenarnya merupakan komplikasi dari diabetes tersebut (Soegondo dalam
Soegondo, et al, 2009). Lebih lanjut Soegondo (2009) mengatakan secara
epidemiologis DMT2 sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai
2
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
20/120
Universitas Indonesia
terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga
morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini.
Komplikasi kronik pada pasien DMT2 seperti retinopati diabetik, nefropatidiabetik, dan neuropati diabetik ini yang mengindikasikan pasien harus menjalani
perawatan di rumah sakit untuk pengelolalan kadar glukosa darah dan keluhan-
keluhan lain yang ditimbulkan oleh penyakit yang menyertainya. Kondisi seperti
ini sering kali membuat pasien stres dan mengalami kecemasan yang hebat (Price
& Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2008).
Stres yang menetap menimbulkan respon stres berupa aktivasi sistem saraf
simpatis dan peningkatan kortisol. Kortisol ini akan meningkatkan konversi asam
amino, laktat, dan piruvat di hati menjadi glukosa melalui proses
glukoneogenesis, dengan demikian stres akan meningkatkan kadar glukosa darah.
Di lain pihak peristiwa kehidupan yang penuh stres telah dikaitkan dengan
perawatan diri yang buruk pada penderita diabetes seperti pola makan, latihan,
dan penggunaan obat-obatan (Smeltzer & Bare, 2008).
Mengingat mekanisme dasar kelainan DMT2 adalah terdapatnya faktor genetik,
resistensi insulin, dan insufisiensi sel β pankreas, maka cara-cara untuk
memperbaiki kelainan dasar tersebut harus tercermin pada langkah pengelolaan.
Langkah pertama yang harus dilakukan dalam pengelolaan DMT2 adalah
pengelolaan nonfarmakologis berupa perencanaan makan dan latihan jasmani.
Apabila dengan cara ini sasaran pengendalian kadar glukosa darah belum tercapai,
maka dapat dilanjutkan dengan pengelolaan farmakologis dengan penggunaan
obat berkhasiat hipoglikemia (Waspadji, 2009). Lebih lanjut Waspadji
mengatakan, pada keadaan kegawatan tertentu (ketosidosis, DM dengan infeksi
dan stres), pengelolaan farmakologis dapat langsung diberikan dan pasien
memerlukan perawatan di rumah sakit.
Pedoman pengelolaan DM sudah ada dan disepakati oleh para ahli diabetes di
Indonesia yang dituangkan dalam suatu konsensus pengelolaan DMT2 di
Indonesia yang mulai disebarluaskan sejak tahun 1994 dan beberapa kali
mengalami revisi, yang terakhir pada tahun 2006 (Soegondo, 2006). Berdasarkan
3
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
21/120
Universitas Indonesia
konsensus tersebut disepakati ada 5 pilar utama pengelolaan DM, yaitu
perencanaan makan (diit), latihan jasmani, obat berkhasiat hipoglikemik, edukasi,
dan pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (home monitoring) (Subekti,
2009; Batubara, 2009).
Selama kurun waktu dua dekade terakhir ini asuhan keperawatan pasien DMT2
dilakukan dalam konteks kolaborasi farmakologi (Smeltzer & Bare, 2008),
padahal perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan diharapkan mampu
memberikan asuhan keperawatan secara mandiri dalam konteks nonfarmakologi
(Dochterman & Bulechek, 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pendekatan nonfarmakologis diantaranya latihan relaksasi merupakan intervensi
yang dapat dilakukan pada pasien DM (Smeltzer & Bare, 2008).
Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind-body therapy dalam terapi
komplementer dan alternatif (Complementary and Alternative Therapy (CAM)
(Moyad & Hawks, 2009). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional
yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional/
medis. Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad
& Hawks, 2009).
Relaksasi merupakan salah satu teknik pengelolaan diri yang didasarkan pada cara
kerja sistem saraf simpatetis dan parasimpatetis. Terapi relaksasi ini ada
bermacam-macam, salah satunya adalah relaksasi otot progresif (Progressive
Muscle Realaxation (PMR)). Relaksasi ini sering dilakukan karena terbukti efektif
mengurangi ketegangan dan kecemasan. Yildirim & Fadiloglu, (2006) dari hasil
penelitiannya menyebutkan bahwa PMR menurunkan kecemasan dan
meningkatkan kualitas hidup pasien yang menjalani dialisis. Penelitian yang
dilakukan oleh Sheu, et al (2003) memperlihatkan bahwa PMR menurunkan rata-
rata tekanan darah sistolik sebesar 5,4 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik
sebesar 3,48 mmHg pada pasien hipertensi di Taiwan.
Di Indonesia penelitian tentang relaksasi ini juga sudah banyak dilakukan.
Maryani (2008), mengukur efektivitas PMR untuk mengurangi kecemasan yang
berimplikasi pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani
4
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
22/120
Universitas Indonesia
kemoterapi. Istiarini, (2009) menilai pengaruh terapi refleksologi terhadap kadar
glukosa darah pada pasien diabetes di Yogyakarta. Setyawati, (2010) mengukur
pengaruh relaksasi otogenik terhadap penurunan glukosa darah dan tekanan darah
pada pasien DMT2 dengan hipertensi. Selanjutnya relaksasi otot progresif efektif
menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi primer di Kota Malang
(Hamarno, 2010).
Penelitian tentang pengaruh PMR terhadap penurunan kadar glukosa darah pada
DMT2 belum ada. Penelitian tentang latihan PMR terhadap penurunan glukosa
darah masih terbatas pada diabetes anak-anak (diabetes tipe 1), yaitu pengaruh
terapi masase dan progressive muscle relaxation terhadap hemoglobin
terglikosilasi (HbA1c) pada diabetes anak-anak di Iran (Ghazavi, et al, 2007).
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden
Mattaher Jambi. RSUD Raden Mattaher adalah rumah sakit umum unit swadana
tipe B non pendidikan yang menjadi rumah sakit rujukan dari 10 kabupaten/ kota
di provinsi Jambi. Rumah sakit ini memiliki 306 tempat tidur dengan Bed
Occupation Rate (BOR) 80,32 %, Bed Turn Over (BTO) 59,11 kali, Lenght Of
Stay (LOS) 4,03 hari dan Turn Over interval (TOI) 1,21 hari (Profil RSD RadenMattaher Jambi, 2006). Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan,
diperoleh data sebanyak 412 pasien DMT2 yang menjalani rawat inap di RSUD
Raden Mattaher Jambi selama tahun 2010 (Medical Record, 2010). Dari
keterangan perawat yang bekerja di ruang penyakit dalam RSUD Raden Mattaher
Jambi belum ada intervensi PMR oleh perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan.
1.2 Rumusan Masalah
Diabetes melitus menjadi masalah kesehatan yang serius, baik di negara maju
maupun di negara berkembang karena insidensinya yang terus meningkat (Suyono
dalam Soegondo, 2009). Penyakit ini sering diderita oleh orang dewasa, yang
berkaitan dengan gaya hidupnya (life style). Diabetes melitus merupakan penyakit
kronis yang dapat menyebabkan komplikasi pada berbagai sistem tubuh, dan
hanya dapat dikontrol kadar glukosa darahnya, tetapi tidak dapat disembuhkan.
Hal ini membuat pasien stres dan berakibat buruk terhadap kesehatannya karena
5
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
23/120
Universitas Indonesia
menambah tinggi kadar glukosa darahnya. Oleh karena itu, selain diberikan terapi
standar diabetes, pasien juga perlu mendapatkan terapi komplementer berupa
latihan relaksasi untuk mengatasi stresnya.
Berbagai studi yang berbasis terapi relaksasi telah dilakukan untuk mengatasi
stres dan kecemasan serta kadar glukosa darah, tetapi penelitian tentang pengaruh
PMR terhadap penurunan glukosa darah pada pasien DMT2 belum ada. Dengan
demikian, masalah penelitian ini adalah: Belum diketahuinya pengaruh
Progressive Muscle Relaxation terhadap kadar glukosa darah (KGD) pada pasien
DMT2.
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah teridentifikasikannya pengaruh progressive
muscle relaxation terhadap penurunan kadar glukosa darah pada pasien diabetes
melitus tipe 2.
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Teridentifikasikannya karakteristik pasien DMT2 pada kelompokintervensi dan kelompok kontrol.
b. Teridentifikasikannya KGD pasien DMT2 pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol sebelum dilakukan PMR.
c. Teridentifikasikannya KGD pasien DMT2 pada kelompok intervensi
dan kelompok kontrol setelah dilakukan PMR.
d. Teridentifikasikannya perbedaan KGD pasien DMT2 sebelum dan
setelah dilakukan PMR pada kelompok intervensi.
e. Teridentifikasikannya perbedaan KGD pasien DMT2 sebelum dan
setelah dilakukan intervensi pada kelompok kontrol.
f. Teridentifikasikannya perbedaan KGD pasien DMT2 pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol setelah dilakukan PMR.
6
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
24/120
Universitas Indonesia
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Untuk pelayanan keperawatan dan masyarakat
a. Memberi masukan bagi pihak pelayanan kesehatan untuk menggunakanlatihan PMR sebagai salah satu terapi komplementer dalam
menurunkan kadar glukosa darah pasien diabetes melitus.
b. Memasyarakatkan latihan PMR sebagai terapi komplementer dalam
menurunkan kadar glukosa pasien diabetes melitus kronik.
1.4.2 Untuk perkembangan ilmu keperawatan
a. Memperkuat dukungan teoritis penggunaan PMR dalam menurunkan
kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus.
b. Mengembangkan kajian penggunaan PMR sebagai terapi komplementer
untuk menurunkan kadar glukosa darah pada pasien diabetes melitus.
7
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
25/120
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab 2 ini diuraikan konsep teori yang mendukung penelitian meliputi
glukosa darah, diabetes melitus tipe 2, stres dan diabetes melitus, progressive
muscle relaxation (PMR), dan peran perawat dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien DMT2.
2.1 Glukosa darah
Glukosa merupakan bentuk karbohidrat yang paling sederhana yang diabsorpsi ke
dalam cairan darah melalui sistem pencernaan. Kadar glukosa darah ini akan
meningkat setelah makan dan biasanya akan turun pada level terendah pada pagi
hari sebelum orang makan. Kadar glukosa darah diatur melalui umpan balik
negatif untuk mempertahankan keseimbangan di dalam tubuh (Price & Wilson,
2006; Smeltzer, 2008). Kadar glukosa di dalam darah dimonitor oleh pankreas.
Bila konsentrasi glukosa menurun karena dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan
energi tubuh, pankreas melepaskan glukagon, hormon yang menargetkan sel-sel
di hati. Kemudian sel-sel ini mengubah glikogen menjadi glukosa (proses ini
disebut glikogenolisis). Glukosa dilepaskan ke dalam aliran darah, hingga
meningkatkan kadar gula darah (Ignatavicius & Walkman, 2006).
Konsentrasi glukosa darah sangat penting dipertahankan pada kadar yang cukup
tinggi dan stabil sekitar 70-120 mg/dl untuk mempertahankan fungsi otak dan
suplai jaringan secara optimal. Kadar glukosa darah juga perlu dijaga agar tidak
meningkat terlalu tinggi (hiperglikemia) mengingat glukosa juga berpengaruh
terhadap tekanan osmotik cairan ekstra seluler (Robbins, 2007; Ignatavicius &
Walkman, 2006; Waspadji, 2009).
Hiperglikemia adalah kondisi dimana kadar glukosa darah puasa lebih dari 126
mg/dl dan kadar glukosa darah 2 jam setelah makan lebih dari 200 mg/dl
(Soegondo, 2009). Hiperglikemia terjadi karena adanya gangguan sekresi insulin
8
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
26/120
Universitas Indonesia
(defisiensi insulin) dan rendahnya respon tubuh terhadap insulin atau resistensi
insulin (Manaf, 2006; Smeltzer & Bare, 2008). Hiperglikemia dapat menyebabkan
dehidrasi seluler akibat keluarnya glukosa dalam urin yang menyebabkan diuresis
osmotik oleh ginjal. Kondisi ini menyebabkan manifestasi poliuri (pengeluaran
urin secara berlebihan), polidipsi (minum berlebihan), dan polifagi yang
disebabkan oleh kegagalan metabolisme glukosa oleh tubuh yang menyebabkan
penurunan berat badan dan kecendrungan makan secara berlebihan. Manifestasi
ini merupakan gejala khas diabetes melitus (Soegondo, 2009).
2.2 Diabetes Melitus Tipe 2
2.2.1 Definisi
Diabetes melitus adalah kelompok penyakit metabolik yang dikarakteristikkan
oleh tingginya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) karena kelainan sekresi
insulin, kelainan kerja insulin, atau kombinasi keduanya (Smeltzer & Bare, 2008;
Robbins, 2007; Gustaviani, 2006; American Diabetes Association (ADA), 2010).
Diabetes melitus tipe 2 dikarakteristikkan oleh adanya hiperglikemia, resistensi
insulin, dan adanya penglepasan glukosa hati yang berlebihan (Ilyas, 2009).
2.2.2 Etiologi
DMT2 dapat disebabkan oleh faktor genetik, resistensi insulin, dan faktor
lingkungan. Selain itu ada faktor-faktor yang mencetuskan diabetes diantarannya
obesitas, kurang gerak/ olahraga, makanan berlebihan, dan penyakit hormonal
yang kerjanya berlawanan dengan insulin (Suyono & Subekti, 2009).
2.2.3 Faktor Risiko Diabates
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan kadar glukosa darah dan
terjadinya DMT2, diantaranya adalah usia, jenis kelamin, dan penyakit penyerta
(Dunning, 2003).
a. Usia
Golberg dan Coon dalam Rochmah (2006) menyatakan bahwa umur sangat
erat kaitannya dengan kenaikan kadar glukosa darah, sehingga semakin
meningkat usia maka prevalensi diabetes dan gangguan toleransi glukosa
semakin tinggi. DMT2 biasanya terjadi setelah usia 30 tahun dan semakin
9
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
27/120
Universitas Indonesia
sering terjadi setelah usia 40 tahun serta akan terus meningkat pada usia
lanjut. Sekitar 6% individu berusia 45-64 tahun, dan 11% individu berusia di
atas 65 tahun (Ignatavicius & Walkman, 2006). Usia lanjut yang mengalami
gangguan toleransi glukosa mencapai 50-92% (Medicastore, 2007; Rochmah
dalam Sudoyo, 2006).
Proses menua yang berlangsung setelah umur 30 tahun mengakibatkan
perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia. Perubahan dimulai dari tingkat
sel berlanjut ke tingkat jaringan dan akhirnya pada tingkat organ yang
mempengaruhi fungsi homeostasis. Komponen tubuh yang mengalami
perubahan adalah sel β pankreas penghasil insulin, sel-sel jaringan target
yang menghasilkan glukosa, sistem saraf, dan hormon lain yang
mempengaruhi kadar glukosa darah. WHO menyebutkan bahwa setelah usia
30 tahun, maka kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg/dl/tahun pada saat
puasa dan naik 5,6-13 mg/dl/tahun pada 2 jam setelah makan (Rochmah
dalam Sudoyo, 2006).
b. Jenis kelamin
Meskipun belum diketahui secara pasti pengaruh jenis kelamin terhadapkejadian DMT2 dan peningkatan kadar glukosa darah, namun beberapa
penelitian memasukkan jenis kelamin ke dalam karakteristik pasien DMT2,
diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Santono, Lian, dan Yudi, (2006)
tentang gambaran pola penyakit diabetes di bagian rawat inap RSUD Koja
Jakarta tahun 2000-2004. Menurut hasil penelitian tersebut dilaporkan bahwa
perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, kadar glukosa darah
saat masuk rata-rata 201- 500 mg/dl, dan komplikasi terbanyak adalah infeksisaluran kemih (Cermin dunia kedokteran No. 150).
c. Penyakit penyerta
Separuh dari keseluruhan pasien DM yang berusia 50 tahun ke atas dirawat di
rumah sakit setiap tahunnya, dan komplikasi DM menyebabkan peningkatan
angka rawat inap bagi pasien DMT2 (Smeltzer & Bare, 2002). Penyandang
DM mempunyai risiko untuk terjadinya penyakit jantung koroner dan
penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, 5 kali lebih mudah
10
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
28/120
Universitas Indonesia
menderita ulkus/ gangren, 7 kali lebih mudah mengidap gagal ginjal terminal,
dan 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan akibat kerusakan retina dari
pada pasien non DM (Waspdji, 2009). Kalau sudah terjadi penyulit, usaha
untuk menyembuhkan melalui pengontrolan kadar glukosa darah dan
pengobatan penyakit tersebut ke arah normal sangat sulit, kerusakan yang
sudah terjadi umumnya akan menetap (Waspadji, 2009).
d. Lama menderita DM
DM merupakan penyakit metabolik yang tidak dapat disembuhkan, oleh
karena itu kontrol terhadap kadar glukosa darah sangat diperlukan untuk
mencegah komplikasi baik komplikasi akut maupun kronis. Lamanya pasien
menderita DM dikaitkan dengan komplikasi kronik yang menyertainya. Hal
ini didasarkan pada hipotesis metabolik, yaitu terjadinya komplikasi kronik
DM adalah sebagai akibat kelainan metabolik yang ditemui pada pasien DM
(Waspdji, 2009). Semakin lama pasien menderita DM dengan kondisi
hiperglikemia, maka semakin tinggi kemungkinan untuk terjadinya
komplikasi kronik. Atas dasar hipotesis ini Kelly West lebih setuju
menganggap kelainan vaskuler sebagai manifestasi patologis DM dari pada
sebagai penyulit, karena eratnya hubungan dengan kadar glukosa darah yang
abnormal, sedangkan untuk mudahnya terjadi infeksi seperti tuberkulosis atau
gangren diabetik lebih sebagai komplikasi (Waspadji, 2009).
2.2.4 Patofisiologi
Pankreas atau kelenjar ludah perut adalah kelenjar penghasil insulin yang terletak
dibelakang lambung. Didalamnya terdapat kumpulan sel yang berbentuk seperti
pulau dalam peta, sehingga disebut pulau-pulau Langerhans pankreas. Pulau- pulau ini berisi sel alpa yang menghasilkan hormon glukagon dan sel beta yang
menghasilkan insulin. Kedua hormon ini bekerja berlawanan, glukagon
meningkatkan glukosa darah sedangkan insulin bekerja menurunkan kadar
glukosa darah (Price & Wilson, 2006; Subekti & Suyono , 2009).
Insulin yang dihasilkan oleh sel β pankreas dapat diibaratkan sebagai anak kunci
yang dapat membuka pintu masuknya glukosa ke dalam sel, kemudian di dalam
sel glukosa tersebut dimetabolisasikan menjadi tenaga. Jika insulin tidak ada atau
11
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
29/120
Universitas Indonesia
jumlahnya sedikit, maka glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga
kadarnya di dalam darah meningkat (hiperglikemia).
Pada DMT2 jumlah insulin berkurang atau dapat normal (defisiensi relatif), tetapi jumlah reseptor insulin di permukaan sel berkurang. Reseptor insulin ini dapat
diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Meskipun anak
kuncinya (insulin) cukup banyak, namun karena jumlah lubang kuncinya
(reseptor) berkurang, maka jumlah glukosa yang masuk ke dalam sel berkurang
juga (resistensi insulin). Sementara produksi glukosa oleh hati terus meningkat,
kondisi ini menyebabkan kadar glukosa darah meningkat (Subekti & Suyono,
2009).
Resistensi insulin pada awalnya belum menyebabkan DM secara klinis, sel β
pankreas masih bisa melakukan kompensasi. Insulin disekresikan secara
berlebihan sehingga terjadi hiperinsulinemia dengan tujuan normalisasi kadar
glukosa darah. Mekanisme kompensasi yang terus menerus menyebabkan
kelelahan sel β pankreas (exhaustion), kondisi ini disebut dekompensasi dimana
produksi insulin menurun secara absolut. Resistensi dan penurunan produksi
insulin menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Kondisi ini memenuhikriteria diagnostik DM (Manaf, 2006; Waspadji, 2009). Secara skematis dapat
dijelaskan pada skema 2.1 dan 2.2 di bawah ini :
Skema 2.1 Kelainan Dasar DMT2
Sumber : Waspadji dalam Soegondo, (2009).
Dari skema ini dapat diketahui adanya tiga kelainan yang mendasari terjadinya
DMT2, yaitu resistensi insulin, peningkatan produksi glukosa di hati, dan sekresi
insulin yang berkurang.
Sekresi berkurang
Hati SelGlukosa Sel
Pankreas
Produksi Glukosa
Meningkat
Defek reseptor
& post reseptor
12
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
30/120
Universitas Indonesia
Skema 2.2 Etiologi terjadinya DM tipe 2
Sumber : Waspadji dalam Soegondo, et al, (2009)
2.2.5 Manifestasi klinik
Manifestasi klinik DMT2 berhubungan dengan defisiensi relatif insulin. Akibat
defisiensi insulin ini pasien tidak dapat mempertahankan kadar glukosa darah
normal. Apabila hiperglikemia melebihi ambang ginjal (± 180 mg/dl), maka
timbul tanda dan gejala glukosuria yang akan menyebabkan diuresis osmotik.
Akibat diuresis osmotik akan meningkatkan pengeluaran urin (poliuri), timbul
rasa haus yang menyebabkan banyak minum (polidipsi). Pasien juga banyak
makan (polifagi) akibat katabolisme yang dicetuskan oleh defisiensi insulin dan
pemecahan protein serta lemak. Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negatif, akibatnya berat badan menurun. Pasien
juga mengalami gejala lain seperti keletihan, kelemahan, tiba-tiba terjadi
perubahan pandangan, kebas pada tangan atau kaki, kulit kering, luka yang sulit
sembuh, dan sering muncul infeksi (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare,
2008; Soegondo, 2009).
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis klinis DMT2 umumnya ditegakkan apabila ditemukan keluhan klinis
berupa poliuria, polifagia, polidipsia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah
HiperinsulinemiaResistensi insulin
Genetik
Didapat Resistensi insulin
Terkompensasi Normal/ TGT
Didapat
Toksisitas glukosa
Asam lemak, dll
Kelelahan sel
DM Tipe 2
Resistensi insulinProduksi glukosa hati
Sekresi insulin kurang
Genetik
13
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
31/120
Universitas Indonesia
lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus
vulvae pada wanita (Soegondo, 2009).
Apabila ada keluhan khas dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dlatau pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan yang khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal belum cukup kuat
untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemeriksaan untuk memastikan
lebih lanjut dengan mendapatkan satu kali lagi angka abnormal, baik kadar
glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl atau kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl
pada hari yang lain (Soegondo, 2009).
2.2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan standar DMT2 mencakup pengaturan makanan, latihan jasmani,
obat berkhasiat hipoglikemia (OHO dan insulin), edukasi/ penyuluhan, dan
pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri (home monitoring) (Waspdji,
2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009). Penatalaksanaan non farmakologis
merupakan langkah pertama dalam pengelolaan DMT2. Apabila dengan
penatalaksanaan non farmakologis ini sasaran pengendalian glukosa darah belumtercapai, dapat dilanjutkan dengan terapi farmakologis atau penggunaan obat
(Waspdji, 2009; Subekti, 2009; Batubara, 2009).
Pengelolaan DM sesuai lima pilar utama pengelolaan DM dijabarkan sebagai
berikut :
a. Perencanaan makan
Tujuan perencanaan makan pada pasien DMT2 adalah untuk mengendalikan
glukosa, lipid, dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diit hipokalori pada
pasien gemuk akan memperbaiki kadar hiperglikemia jangka pendek dan
berpotensi meningkatkan kontrol metabolik jangka panjang. Sukardji (2009)
mengatakan bahwa penurunan berat badan ringan dan sedang (5-10 kg) dapat
meningkatkan kontrol diabetes. Penurunan berat badan dapat dicapai dengan
penurunan asupan energi yang moderat dan peningkatan pengeluaran energi
(Sukardji, 2009).
14
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
32/120
Universitas Indonesia
Kebutuhan energi pasien diabetes tergantung pada umur, jenis kelamin, berat
badan, tinggi badan, kegiatan fisik, keadaan penyakit dan pengobatannya.
Energi yang dibutuhkan dinyatakan dalam satuan kalori. Komposisi makanan
yang dianjurkan adalah 10-20% protein, 20-25% lemak, dan 45-65%
karbohidrat (Sukardji, 2009).
b. Latihan jasmani
Masalah utama pada pasien DMT2 adalah kurangnya respon reseptor insulin
terhadap insulin, sehingga insulin tidak dapat membawa masuk glukosa ke
dalam sel-sel tubuh kecuali otak. Dengan latihan jasmani secara teratur,
kontraksi otot meningkat yang menyebabkan permeabilitas membran sel
terhadap glukosa juga meningkat. Akibatnya resistensi berkurang dan
sensitivitas insulin meningkat yang pada akhirnya akan menurunkan kadar
glukosa darah (Ilyas, 2009).
Kegiatan fisik dan latihan jasmani sangat berguna bagi pasien diabetes karena
dapat meningkatkan kebugaran, mencegah kelebihan berat badan,
meningkatkan fungsi jantung, paru, dan otot, serta memperlambat proses
penuaan (Sukardji & Ilyas, 2009). Latihan jasmani merupakan salah satu pilar penatalaksanaan diabetes, sehingga latihan jasmani perlu dibudayakan. Latihan
jasmani yang dianjurkan untuk pasien diabetes adalah jenis aerobik seperti
jalan kaki, lari, naik tangga, sepeda, sepeda statis, jogging, berenang, senam
aerobik, dan menari. Pasien diabetes dianjurkan melakukan latihan jasmani
secara teratur 3-4 kali seminggu selama 30 menit (Sukardji & Ilyas, 2009).
c. Obat berkhasiat hipoglikemia
Sarana pengelolaan farmakologis diabetes dapat berupa:
1) Obat Hipoglikemik Oral (OHO) yang terdiri dari; pemicu sekresi insulin
(seperti sulfonilurea dan glinid), penambah sensitivitas terhadap insulin
(seperti biguanid, tiazolidindion), penghambat glukosidase alfa, dan
incretin mimetic, penghambat DPP-4 (Waspadji, 2009).
15
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
33/120
Universitas Indonesia
2) Insulin
Saat ini dalam penanganan diabetes tipe 2 terdapat beberapa cara pendekatan.
Salah satu pendekatan terkini yang dianjurkan di Eropa dan Amerika Serikat
adalah dengan memakai nilai A1c (HbA1c) sebagai dasar penentuan awal sikap
atau cara memperbaiki pengendalian diabetes (Soegondo, 2009).
Untuk daerah yang pemeriksaan A1c masih sulit dilaksanakan dapat digunakan
daftar konversi A1c dengan rata-rata kadar glukosa darah (seperti pada tabel
2.1). Meskipun demikian semua pendekatan pengobatan tetap menggunakan
perencanaan makan (diet) sebagai pengobatan utama, dan apabila hal ini
bersama dengan latihan jasmani ternyata gagal mencapai target yang
ditentukan, maka diperlukan penambahan obat hipoglikemik oral atau insulin
(Soegondo, 2009). Pada pasien DM tipe 2 awalnya diberikan obat hipoglimeik
oral, namun karena pasien tidak melakukan kontrol glukosa darah secara
teratur maka pasien akhirnya memerlukan insulin untuk kontrol glukosa
darahnya (Tarigan, 2009).
Tabel 2.1 Daftar Konversi A1c Dalam Rata-rata Glukosa Darah
A1c (%) Estimasi rata-rata kadar glukosa darah (mg/dl)5 97
5,5 111
6 126
6,5 140
7 154
7,5 169
8 183
8,5 197
9 212
9,5 226
10 240
10,5 255
11 269
11,5 283
12 298
Sumber : Soegondo dalam Soegondo, et al. 2009
d. Penyuluhan
Salah satu penyebab kegagalan dalam pencapaian tujuan pengobatan diabetes
adalah ketidakpatuhan pasien terhadap program pengobatan yang telah
ditentukan. Penelitian terhadap pasien diabetes, didapatkan 80% menyuntikkan
16
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
34/120
Universitas Indonesia
insulin dengan cara yang tidak tepat, 58% memakai dosis yang salah, dan 75%
tidak mengikuti diet yang dianjurkan (Basuki, 2009). Untuk mengatasi
ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan terhadap pasien dan keluarganya mutlak
diperlukan.
Penyuluhan diperlukan karena penyakit diabetes adalah penyakit yang
berhubungan dengan gaya hidup. Pengobatan dengan obat-obatan memang
penting, tetapi tidak cukup. Pengobatan diabetes memerlukan keseimbangan
antara berbagai kegiatan yang merupakan bagian integral dari kegiatan rutin
sehari-hari seperti makan, tidur, bekerja, dan lain-lain. Pengaturan jumlah dan
jenis makanan serta olah raga merupakan pengobatan yang tidak dapat
ditinggalkan, walaupun ternyata banyak diabaikan oleh pasien dan
keluarganya. Keberhasilan pengobatan tergantung pada kerjasama antara
petugas kesehatan dengan pasien dan keluarganya. Pasien yang mempunyai
pengetahuan cukup tentang diabetes, selanjutnya mau mengubah perilakunya
akan dapat mengendalikan kondisi penyakitnya sehingga ia dapat hidup lebih
berkualitas (Basuki, 2009).
e. Pemantauan Kadar Glukosa Sendiri (PKGS)DMT2 merupakan penykit kronik dan memerlukan pengobatan jangka
panjang, sehingga pasien dan keluarganya harus dapat melakukan pemantauan
sendiri kadar glukosa darahnya di rumah. Beberapa cara yang dapat dilakukan
untuk PKGS adalah dengan pemantuan reduksi urin, pemantauan glukosa
darah, dan pemantauan komplikasi serta cara mengatasinya (Soewondo, 2009).
PKGS kini telah dilakukan secara luas oleh sekitar 40% pasien DMT1 dan 26%
pasien DMT2 di Amerika. ADA mengindikasikan PKGS pada kondisi-kondisi
berikut : 1) Mencapai dan memelihara kendali glikemik : PKGS memberikan
informasi kepada dokter dan perawat mengenai kendali glikemik dari hari ke
hari agar dapat memberi nasehat yang tepat, 2) Mencegah dan mendeteksi
hipoglikemia, 3) Mencegah hiperglikemia berat, 4) menyesuaikan dengan
perubahan gaya hidup terutama berkaitan dengan masa sakit, latihan jasmani,
atau aktivitas lainnya seperti mengemudi, dan 5) Menentukan kebutuhan untuk
memulai terapi insulin pada pasien DM gestasional (Soewondo, 2009).
17
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
35/120
Universitas Indonesia
Pemantauan dengan menggunakan A1c merupakan parameter tingkat
pengendalian kadar glukosa darah. Kelebihan pemeriksaan A1c adalah mampu
menunjukkan kadar rata-rata gula darah selama 8-12 minggu terakhir.
Pemeriksaan A1c mempunyai korelasi dengan komplikasi diabetes.
Pengendalian dikatakan baik jika kadar HbA1c kurang dari 7%, acceptable jika
kadar HbA1c antara 7,6% - 9% (Batubara, 2009).
2.2.8 Komplikasi
Menurut Price & Wilson (2006), komplikasi penyakit DM dapat dibagi menjadi
dua kategori, yaitu komplikasi yang terjadi secara akut (komplikasi metabolik
akut) dan komplikasi yang terjadi secara kronis (komplikasi vaskuler jangka
panjang).
2.2.8.1 Komplikasi akut
Komplikasi akut DM terjadi akibat perubahan yang relatif akut pada konsentrasi
glukosa plasma, yaitu hipoglikemia dan hiperglikemia.
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan
penurunan glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat
berupa koma disertai kejang (Boedisantoso, 2009). Hipoglikemia ditegakkan
apabila kadar glukosa darah plasma ≤ 63 mg/dl (3,5 mmol/L).
Berbagai studi fisilogis menunjukkan bahwa gangguan fungsi otak sudah
terjadi pada kadar glukosa darah 55 mg/dl (3 mmol/L), lebih lanjut diketahui
bahwa kadar glukosa darah 55 mg/dl yang berulang kali dapat merusak
proteksi endogen terhadap hipoglikemia yang lebih berat (Soemadji, 2006).
Hipoglikemia terjadi akibat peningkatan kadar insulin baik sesudah
penyuntikan subkutan atau karena obat yang meningkatkan sekresi insulin
seperti sulfonilurea (Soemadji, 2006). Penyebab lain yang dapat
menimbulkan hipoglikemia adalah makan kurang dari aturan yang
ditentukan, berat badan turun, sesudah olahraga, sesudah melahirkan, sembuh
dari sakit, dan pemberian insulin yang tidak tepat (Boedisantoso, 2009).
18
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
36/120
Universitas Indonesia
b. Hiperglikemia
Melalui anamnesis penyebab hiperglikemia dapat diketahui, diantaranya
karena adanya masukan kalori yang berlebihan, penghentian obat oral
maupun insulin yang didahului oleh stres akut. Pasien menderita
hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan
lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai pembentukan
benda keton. Peningkatan keton dalam plasma menyebabkan ketosis dengan
tanda khas penurunan kesadaran disertai dehidrasi berat (Price & Wilson,
2002; Smeltzer, 2008; Boedisantoso, 2009).
Hiperglikemia hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis disebut sindrom
hiperglikemia hiperosmolar non ketotik (HHNK). Gejala klinis utamanya
adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat, dan sering disertai gangguan
neurologis dengan atau tanpa adanya ketosis (Soewondo, 2006).
2.2.8.2 Komplikasi kronis
Komplikasi jangka panjang DM meliputi mikroangiopati dan makroangiopati.
Adanya pertumbuhan dan kematian sel merupakan dasar terjadinya komplikasi
vaskuler terutama pada endotel pembuluh darah, serat otot polos pembuluh darahyang menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintesisan sel (Waspadji,
2009).
a. Mikroangiopati
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan
arteriol retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik), dan
saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot-otot dan kulit.
b. Makroangiopati
Makroangiopati diabetik mempunyai gambaran histopatologis berupa
aterosklerosis yang disebabkan karena penimbunan sorbitol dalam intima
vaskuler (Waspadji, 2009). Apabila mengenai arteri perifer dapat
mengakibatkan insufisiensi vaskuler perifer disertai klaudikasio intermitten
dan gangguan pada ekstremitas seperti luka yang sulit disembuhkan
19
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
37/120
Universitas Indonesia
(gangren). Bila mengenai arteri koronaria dan aorta menyebabkan angina dan
infark miokard (ADA, 2010; Price & Wilson, 2006; Smeltzer, 2008).
2.3 Stress dan Diabetes Melitus
Stres adalah reaksi non spesifik manusia terhadap rangsangan atau tekanan
(stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat sangat individual,
sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapannya bagi orang
lain (Hartono, 2007). Stres diartikan sebagai suatu kondisi dimana kebutuhan
tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan
(Taylor dalam Gunawan, 2007). Lebih lanjut, Taylor mendeskripsikan stres
sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi,
fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau
menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres (Gunawan &
Sumadiono, 2007).
Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu, 1) stresor fisik atau biologik seperti
dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, dan pukulan. 2) stresor psikologis seperti takut,
khawatir, cemas, dan marah, dan 3) stresor sosial budaya seperti menganggur,
perceraian, dan perselisihan (Gunawan & Sumadiono, 2007).
Stres fisiologis seperti infeksi dan pembedahan mempermudah terjadinya
hiperglikemia dan dapat mencetuskan terjadinya Diabetes Ketoasidosis (DKA)
atau Hiperglikemia Hiperosmolar Nonketotik Sindrom (HHNS). Stres emosional
(stres, kecemasan, depresi) yang terjadi akibat tingginya kadar glukosa darah dan
komplikasi DMT2 bisa berdampak negatif pada pasien (Smeltzer & Bare, 2008).
Selama stres, hormon-hormon yang mengarah pada peningkatan kadar glukosa
darah seperti epineprin, kortisol, glukagon, ACTH, kortikosteroid, dan tiroid akan
meningkat. Selain itu selama stres emosional, pasien DMT2 mengubah pola
kebiasaan makan, latihan, dan pengobatan. Hal ini tentunya dapat memperburuk
kondisi pasien (Smeltzer & Bare, 2008; Price & Wilson, 2006).
Stres menyebabkan epineprin bereaksi pada hati meningkatkan konversi glukagon
menjadi glukosa. Kortisol memiliki efek meningkatkan metabolisme glukosa,
sehingga asam amino, laktat, dan pirufat diubah di hati menjadi glukosa
20
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
38/120
Universitas Indonesia
(glukoneogenesis) yang akhirnya meningkatkan kadar glukosa darah. Glukagon
meningkatkan kadar glukosa darah dengan cara mengkonversi glikogen di hati
menjadi glukosa. ACTH dan glukokortikoid pada korteks adrenal dapat
meningkatkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pembentukan glukosa
baru oleh hati. ACTH dan glukokortikoid meningkatkan lipolisis dan katabolisme
karbohidrat (Smeltzer & Bare, 2008; Price & Wilson, 2006).
Reaksi pertama dari respon stres adalah terjadinya sekresi sistem saraf simpatis
yang diikuti sekresi simpatis-adrenal-medular. Secara simultan hipotalamus
bekerja secara langsung pada sistem saraf otonom untuk merangsang respon yang
segera terhadap stress. Sistem otonom sendiri diperlukan dalam menjaga
keseimbangan tubuh. Sistem otonom terbagi dua yaitu sistem simpatis dan
parasimpatis (Price & Wilson, 2006).
Sistem simpatis bertanggung jawab terhadap adanya stimulus stress, berupa
peningkatan denyut jantung, napas yang cepat, dan penurunan aktivitas
gastrointestinal. Sementara sistem parasimpatis membuat tubuh kembali ke
keadaan istirahat melalui penurunan denyut jantung, perlambatan pernapasan, dan
peningkatan aktivitas gastrointestinal. Perangsangan yang berkelanjutan terhadapsistem simpatis menimbulkan respon stres yang berulang-ulang dan menempatkan
sistem otonom pada ketidakseimbangan. Untuk kompensasi lebih lanjut sistem
hipotalamus-pituitari akan diaktifkan (Price & Wilson, 2006; Smeltzer, 2008).
Hipotalamus menstimulasi neuron-neurosekretori untuk melepaskan hormon CRH
(Corticotropin- Releasing Hormone) ke hipofisis anterior melalui sistem portal,
hipofisis anterior melepaskan hormon lain yaitu ACTH (Adrenocorticotropic
Hormone) ke dalam sirkulasi. ACTH sebagai gantinya menstimulasi kelenjar
adrenal, yaitu korteks adrenal untuk mensekresi glukokortikoid (kortisol). Proses
ini merupakan mekanisme umpan balik negatif hipotalamus-hipofisis-korteks
adrenal (Price & Wilson, 2006). Kortisol ini selanjutnya akan meningkatkan
konversi asam amino, laktat, dan pirufat di hati menjadi glukosa melalui proses
glukoneogenesis, namun karena resistensi insulin, glukosa tidak bisa diambil oleh
sel dari siskulasi sehingga kadarnya meningkat dalam darah (Price & Wilson,
2006; Smeltzer, 2008).
21
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
39/120
Universitas Indonesia
2.4 Progressive Muscle Relaxation (PMR)
2.4.1 Definisi
PMR adalah gerakan mengencangkan dan melemaskan otot-otot pada satu bagiantubuh pada satu waktu untuk memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan
mengencangkan dan melemaskan otot secara progresif ini dilakukan secara
berturut-turut (Snyder & Lindquist, 2002). Pada relaksasi ini perhatian pasien
diarahkan untuk membedakan perasaan yang dialami saat kelompok otot
dilemaskan dan dibandingkan ketika otot-otot dalam kondisi tegang.
Relaksasi otot progresif merupakan salah satu teknik relaksasi yang mudah dan
sederhana serta sudah digunakan secara luas. PMR merupakan suatu prosedur
untuk mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan
memberikan tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan
tersebut kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut
menjadi rileks, merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang (Richmond,
2007).
2.4.2 Indikasi
Relaksasi merupakan salah satu bentuk mind-body therapy dalam terapi
komplementer dan alternatif (Complementary and Alternative Therapy (CAM)
(Moyad & Hawks, 2009). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional
yang sudah diakui dan dapat dipakai sebagai pendamping terapi konvensional/
medis. Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad
& Hawks, 2009).
PMR merupakan salah satu intervensi keperawatan yang dapat diberikan kepada
pasien DM untuk meningkatkan relaksasi dan kemampuan pengelolaan diri.
Latihan ini dapat membantu mengurangi ketegangan otot, stres, menurunkan
tekanan darah, meningkatkan toleransi terhadap aktivitas sehari-hari,
meningkatkan imunitas, sehingga status fungsional dan kualitas hidup meningkat
(Smeltzer & Bare, 2002).
PMR telah menunjukkan manfaat dalam mengurangi ansietas atau kecemasan,
dan berkurangnya kecemasan ini mempengaruhi berbagai gejala psikologis dan
22
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
40/120
Universitas Indonesia
kondisi medis. Yildirim & Fadiloglu (2006) dari hasil penelitiannya menyebutkan
bahwa PMR menurunkan kecemasan dan meningkatkan kualitas hidup pasien
yang menjalani dialisis. Penelitian yang dilakukan oleh Sheu, et al, (2003)
memperlihatkan bahwa PMR menurunkan rata-rata tekanan darah sistolik sebesar
5,4 mmHg dan rata-rata tekanan darah diastolik sebesar 3,48 mmHg pada pasien
hipertensi di Taiwan. Gazavi, et al, (2007) menyebutkan bahwa PMR dan masase
menurunkan tingkat HbA1C pada diabetes melitus tipe 1 (DM pada anak-anak).
Maryani (2008), menyebutkan PMR mengurangi kecemasan yang berimplikasi
pada penurunan mual dan muntah pada pasien yang menjalani kemoterapi.
Selanjutnya relaksasi otot progresif efektif menurunkan tekanan darah pada pasien
hipertensi primer di Kota Malang (Hamarno, 2010).
2.4.3 Manfaat PMR
Stres dan kecemasan mencetuskan beberapa sensasi dan perubahan fisik, meliputi
peningkatan aliran darah menuju otot, ketegangan otot, mempercepat atau
memperlambat pernafasan, meningkatkan denyut jantung, dan menurunkan fungsi
digesti (Ankrom, 2008). Jika stres dan kecemasan yang dialami berlangsung terus
menerus, maka respon psikofisiologikal yang berulang dapat membahayakan
tubuh.
Brown 1997 dalam Snyder & Lindquist (2002) menyebutkan bahwa respon stres
adalah bagian dari jalur umpan balik yang tertutup antara otot-otot dan pikiran.
Penilaian terhadap stressor mengakibatkan ketegangan otot yang mengirimkan
stimulus ke otak dan membuat jalur umpan balik. Relaksasi PMR akan
menghambat jalur tersebut dengan cara mengaktivasi kerja sistem saraf
parasimpatis dan memanipulasi hipotalamus melalui pemusatan pikiran untukmemperkuat sikap positif sehingga rangsangan stres terhadap hipotalamus
berkurang (Copstead & Banasik, 2000).
2.4.4 Kontra indikasi
Beberapa hal yang mungkin menjadi kontra indikasi latihan PMR antara lain
adalah cidera akut atau ketidaknyamanan muskuloskeletal, dan penyakit jantung
berat/ akut (Fritz, 2005). Latihan PMR dapat meningkatkan kondisi rileks yang
23
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
41/120
Universitas Indonesia
dapat menyebabkan hipotensi, sehingga perlu memeriksa tekanan darah untuk
mengidentifikasi kecendrungan hipotensi (Snyder & Lindquist, 2002).
2.4.5 Prosedur PMR
Progressive Muscle relaxation (PMR) merupakan suatu prosedur untuk
mendapatkan relaksasi pada otot melalui dua langkah, yaitu dengan memberikan
tegangan pada suatu kelompok otot, dan menghentikan tegangan tersebut
kemudian memusatkan perhatian terhadap bagaimana otot tersebut menjadi rileks,
merasakan sensasi rileks, dan ketegangan menghilang. Untuk hasil yang maksimal
dianjurkan untuk melakukan PMR pada jam yang sama 2 kali sehari selama 25-30
menit. Latihan bisa dilakukan pagi dan sore hari, dilakukan 2 jam setelah makan
untuk mencegah rasa mengantuk setelah makan (Charleswarth & Nathan, 1996).
Jadwal latihan biasanya memerlukan waktu 1 minggu. Berstein & Borkovec
menganjurkan menggunakan 10 sesi untuk PMR. Greenberg (2002) mengatakan
relaksasi akan memberikan hasil setelah dilakukan sebanyak 3 kali latihan.
Berdasarkan pendapat di atas dan atas pertimbangan lama hari rawat pasien
DMT2 di RSUD Raden Mattaher yaitu antara 5-12 hari, maka pada penelitian ini
latihan PMR diberikan dalam 6 kali latihan.
Prosedur PMR terdiri dari 15 gerakan berturut-turut, yaitu; gerakan
pertama ditujukan untuk melatih otot tangan yang dilakukan dengan cara
menggenggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan. Pasien diminta
membuat kepalan ini semakin kuat sambil merasakan sensasi ketegangan yang
terjadi. Lepaskan kepalan perlahan-lahan, sambil merasakan rileks selama ± 8
detik. Lakukan gerakan 2 kali sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan kanan.
Gerakan kedua adalah gerakan untuk melatih otot tangan bagian belakang.
Gerakan ini dilakukan dengan cara menekuk kedua lengan ke belakang pada
pergelangan tangan sehingga otot-otot di tangan bagian belakang dan lengan
bawah menegang, jari-jari menghadap ke langit-langit. Lakukan penegangan ± 8
detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks yang dialami. Lakukan gerakan ini 2 kali.
24
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
42/120
Universitas Indonesia
Gerakan ketiga adalah untuk melatih otot-otot bisep. Gerakan ini diawali dengan
menggenggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan kemudian membawa
kedua kepalan ke pundak sehingga otot-otot bisep akan menjadi tegang. Lakukan
penegangan otot ± 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali.
Gerakan keempat ditujukan untuk melatih otot-otot bahu. Dilakukan dengan
cara mengangkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan menyentuh kedua
telinga. Fokus perhatian gerakan ini adalah kontras ketegangan yang terjadi di
bahu, punggung atas, dan leher. Rasakan ketegangan otot-otot tersebut ± 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kelima sampai ke delapan adalah gerakan-gerakan yang ditujukan
untuk melemaskan otot-otot di wajah. Otot-otot wajah yang dilatih adalah otot-
otot dahi, mata, rahang, dan mulut. Gerakan untuk dahi dapat dilakukan dengan
cara mengerutkan dahi dan alis sampai ototototnya terasa dan kulitnya keriput,
mata dalam keadaan tertutup. Rasakan ketegangan otot-otot dahi selama ± 8 detik,kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan keenam ditujukan untuk mengendurkan otot-otot mata diawali dengan
menutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan ketegangan di sekitar mata
dan otot-otot yang mengendalikan gerakan mata. Lakukan penegangan otot ± 8
detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan ketujuh bertujuan untuk mengendurkan ketegangan yang dialami
oleh otot-otot rahang dengan cara mengatupkan rahang, diikuti dengan menggigit
gigi-gigi sehingga ketegangan di sekitar otot-otot rahang. Rasakan ketegangan
otot-otot tersebut ± 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali.
25
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
43/120
Universitas Indonesia
Gerakan kedelapan dilakukan untuk mengendurkan otot-otot sekitar mulut.
Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya sehingga akan dirasakan ketegangan di
sekitar mulut. Rasakan ketegangan otot-otot sekitar mulut selama ± 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kesembilan ditujukan untuk merilekskan otot-otot leher bagian
belakang. Pasien dipandu meletakkan kepala sehingga dapat beristirahat,
kemudian diminta untuk menekankan kepala pada permukaan bantalan kursi
sedemikian rupa sehingga pasien dapat merasakan ketegangan di bagian belakang
leher dan punggung atas. Lakukan penegangan otot ± 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kesepuluh bertujuan untuk melatih otot leher bagian depan. Gerakan
ini dilakukan dengan cara membawa kepala ke muka, kemudian pasien diminta
untuk membenamkan dagu ke dadanya. Sehingga dapat merasakan ketegangan di
daerah leher bagian muka. Rasakan ketegangan otot-otot tersebut ± 8 detik,
kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antaraketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kesebelas bertujuan untuk melatih otot-otot punggung. Gerakan ini
dapat dilakukan dengan cara mengangkat tubuh dari sandaran kursi, kemudian
punggung dilengkungkan, lalu busungkan dada. Kondisi tegang dipertahankan
selama ± 8 detik, kemudian rileks. Pada saat rileks, letakkan tubuh kembali ke
kursi, sambil membiarkan otot-otot menjadi lemas. Rasakan ketegangan otot-otot
punggung selama ± 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-lahan dan
rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan gerakan
ini 2 kali.
Gerakan kedua belas dilakukan untuk melemaskan otot-otot dada. Tarik nafas
panjang untuk mengisi paru-paru dengan udara sebanyak-banyaknya. Tahan
selama beberapa saat, sambil merasakan ketegangan di bagian dada kemudian
turun ke perut. Pada saat ketegangan dilepas, pasien dapat bernafas normal dengan
26
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
44/120
Universitas Indonesia
lega. Lakukan penegangan otot ± 8 detik, kemudian relaksasikan secara perlahan-
lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks. Lakukan
gerakan ini 2 kali.
Gerakan ketiga belas bertujuan untuk melatih otot-otot perut. Tarik kuat-kuat
perut ke dalam, kemudian tahan sampai perut menjadi kencang dan keras.
Rasakan ketegangan otot-otot tersebut ± 8 detik, kemudian relaksasikan secara
perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot dan keadaan rileks.
Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan keempat belas bertujuan untuk melatih otot-otot paha, dilakukan
dengan cara meluruskan kedua belah telapak kaki sehingga otot paha terasa
tegang. Rasakan ketegangan otot-otot paha tersebut selama ± 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali.
Gerakan kelima belas bertujuan untuk melatih otot-otot betis, luruskan kedua
belah telapak kaki sehingga otot paha terasa tegang. Gerakan ini dilanjutkan
dengan mengunci lutut, lakukan penegangan otot ± 8 detik, kemudian
relaksasikan secara perlahan-lahan dan rasakan perbedaan antara ketegangan otot
dan keadaan rileks. Lakukan gerakan ini 2 kali. Langkah-langkah relaksasi PMR
dapat dilihat pada lampiran6.
2.5 Peran perawat
Relaksasi PMR merupakan relaksasi yang mudah untuk diajarkan kepada pasien
dalam rangka meningkatkan kemandirian pasien dalam mengatasi masalah
kesehatannya. Perawat berperan dalam memfasilitasi kemandirian pasien, hal ini
sesuai dengan konsep self-care Orem. Menurut teori self-care Orem, pasien
dipandang sebagai individu yang memiliki potensi untuk merawat dirinya sendiri
dalam memenuhi kebutuhan hidup, memelihara kesehatan, dan mencapai
kesejahteraan. Kesejahteran atau kesehatan yang optimal dapat dicapai pasien
apabila dia mengetahui dan dapat melakukan perawatan yang tepat sesuai dengan
kondisi dirinya sendiri. Perawat menurut teori self-care berperan sebagi
pendukung atau pendidik bagi pasien (Tomey & Alligood, 2006).
27
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
45/120
Universitas Indonesia
Menurut Orem (dalam Tomey & Alligood, 2006), perawatan merupakan suatu
kebutuhan universal untuk menjaga dan meningkatkan eksistensi diri, kesehatan,
dan kesejahteraan hidup. Pasien DMT2 yang menjalani perawatan di rumah sakit
sering mengalami stres fisik maupun psikologis akibat penyakitnya. Stres fisik
maupun psikologis ini dapat memicu meningkatnya kadar glukosa darah. Oleh
karena itu selain memberikan terapi kolaboratif, perawat dapat membantu pasien
mencapai kemampuan dalam mengontrol kadar glukosa darahnya melalui latihan
relaksasi otot progresif (PMR).
2.6 Kerangka teori
Hubungan berbagai variabel dalam penelitian ini diuraikan dalam suatu kerangka
teori yang diadopsi dari beberapa literatur. Untuk lebih jelasnya kerangka teori
penelitian ini dapat dilihat pada skema 2.3.
28
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
46/120
Universitas Indonesia
Skema 2.3 Kerangka Teori Penelitian
Sumber : Kombinasi dari Black & Hawks (2009); Riyadi & Sukarmin (2008);
Snyder & Lindquist (2002)
Retinopati
Nefropati
Diabetes Melitus
↓ Ambilan Glukosa oleh Sel
↑ Kadar Glukosa Darah
Komplikasi Akut
Kaki diabetik
PJK
Stroke
Makrovaskuler Mikrovaskuler Neuropati
Homeostasis TD Normal
Hiperglikemia
Hipoglikemia
Ketoasidosis diabetik
Sindrom HHNK
Komplikasi Kronis
Stres & kecemasan
Latihan PMR
Umur
Jenis kelamin
Penyakit penyerta
Lama menderita DMT2
KGD NormalHemodinamik stabil
Keseimbangan tubuh
29
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
47/120
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS, DAN
DEFINISI OPERASIONAL
Dalam bab ini diuraikan tentang kerangka konsep penelitian, hipotesis, dan
difinisi operasional untuk membantu mempermudah memahami masing-masing
variabel penelitian dan hipotesis yang akan dibuktikan, serta batasan dari masing-
masing variabel penelitian.
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan landasan berpikir dalam melakukan penelitian yang
dikembangkan berdasarkan teori. Dalam kerangka konsep ini dijelaskan tentang
variabel-variabel yang dapat diukur dalam penelitian. Variabel-variabel yang
dimaksud adalah sebagai berikut :
a. Variabel terikat (dependent)
Variabel terikat pada penelitian ini adalah kadar glukosa darah pasien DMT2
sebelum dan setelah mendapatkan relaksasi PMR.
b. Variabel bebas (independent)
Variabel independent pada penelitian ini adalah relaksasi PMR pada DMT2
yang dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok intervensi atau kelompok
yang diberikan latihan PMR dan kelompok kontrol atau kelompok yang tidak
mendapat latihan PMR.
c. Variabel perancu (confounding)
Variabel perancu pada penelitian ini adalah usia, jenis kelamin, penyakit
penyerta, dan lama menderita diabetes.
Hubungan antara variabel-variabel dalam penelitian ini dapat dilihat pada
skema 3.1
30
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
48/120
Universitas Indonesia
3.2 Hipotesis
Hipotesis adalah suatu pernyataan yang merupakan jawaban sementara peneliti
terhadap pertanyaan penelitian (Dahlan, 2008). Hipotesis inilah yang akan
dibuktikan oleh peneliti melalui penelitian. Ada dua kemungkinan hasil apakah
hipotesis penelitian terbukti atau tidak terbukti. Dalam penelitian ini ada dua
hipotesis yang dirumuskan peneliti, yaitu hipotesis mayor dan hipotesis minor.
Hipotesis mayor dalam penelitian ini adalah : Ada pengaruh PMR terhadap
penurunan KGD pada pasien DMT2 di RSUD Raden Mattaher Jambi. Sedangkan
hipotesis minornya adalah :
a. Ada perbedaan rata-rata KGD sebelum dan setelah latihan PMR pada
kelompok intervensi. b. Ada perbedaan rata-rata KGD sebelum dan setelah intervensi pada kelompok
kontrol.
c. Ada perbedaan selisih rata-rata KGD antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol setelah intervensi.
d. Ada hubungan antara umur, jenis kelamin, penyakit penyerta, dan lama
menderita DMT2 dengan penurunan rata-rata KGD setelah latihan PMR.
Skema 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Variabel Independen
Relaksasi PMR
Variabel Dependen
Kadar Glukosa Darah
Variabel Confounding
UsiaJenis Kelamin
Penyakit Penyerta
Lama menderita DM
31
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
49/120
Universitas Indonesia
3.3 Definisi Operasional
Definisi operasional masing-masing variabel dijelaskan dalam tabel 3.1 berikut
ini.
Tabel 3.1 Definisi Operasional
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Independent:
Progressive
Muscle
Relaxation
(PMR)
Suatu prosedur yang terdiri
dari 15 langkah untuk
mendapatkan relaksasi
pada otot melalui 2 tahap,
yaitu dengan memberikan
tegangan pada kelompok
otot (± 8 detik), kemudianmelemaskan kelompokotot tersebut (± 8 detik).
Dilakukan selama 3 hari,
sehari 2 kali selama ± 15
menit.
Observasi
pelaksanaan
relaksasi PMR
1= iya/
melakukan 15
langkah PMR
0= tidak
melakukan 15
langkah PMR
Nominal
Dependent:Kadar glukosa
darah
Kadar glukosa darah pasien diabetes melitus
tipe 2 jam 06.00, 11.00,
dan 16.00 yang diukur
dengan glukometer
Pengukurandengan
observasi nilai
KGD
menggunakan
Glukometer.
KGD diukurhari 0 sebelum
dan hari ke 4
setelah
dilakukan PMR
Glukosa darahdalam satuan
mg/dl
Interval
Perancu:Umur
Umur responden yangdihitung dalam tahun
Kuesioner 1= ≤ 45 tahun 2= > 45 tahun
Ordinal
Jenis Kelamin Gender yang terdiri darilaki-laki dan perempuan
Kuesioner Kategori :1. Laki-laki2. Perempuan
Nominal
Penyakit penyerta
DMT2
Ada tidaknya penyakityang menyertai DMT2
sebagai komplikasi dan
mempengaruhi KGD
KuesionerData ini
diperoleh
dengan melihat
catatan medis/
keperawatan
0= tidak ada1= ada
Nominal
Lama
menderita DM
Lamanya pasien menderita
DM setelah didiagnosis
dokter
Kuesioner 0 = ≤ mean 1 = > mean
Ordinal
32
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
50/120
Universitas Indonesia
BAB 4
METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menguraikan desain penelitian, populasi dan sampel, tempat penelitian,
waktu penelitian, etika penelitian, alat pengumpul data, prosedur pengumpulan
data, dan analisis data.
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kuasi eksperimen dengan pre and post with control
group, yaitu suatu desain yang memberikan perlakuan pada dua atau lebih
kelompok, kemudian diobservasi sebelum dan sesudah implementasi (Polit &
Beck, 2006). Desain ini digunakan untuk membandingkan hasil intervensi dua
kelompok, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol yang keduanya
diukur sebelum dan sesudah dilakukan intervensi (Notoatmojo, 2005). Kelompok
kontrol dalam penelitian ini penting untuk melihat perbedaan perubahan variabel
dependen antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Untuk lebih
jelasnya desain ini dapat dilihat pada skema 4.1.
Skema 4.1 Desain penelitian
Keterangan :
X1 : Rata-rata KGD pasien DMT2 sebelum relaksasi PMR pada kelompok
intervensi.
X2 : Rata-rata KGD pasien DMT2 setelah relaksasi PMR pada kelompok
intervensi.
Post testPre test Out put
X2 X1
X3 X4
X1 – X2 = Y1
X3 – X4 = Y2
X1 – X3 = Y3
Y1 –
Y2 = Y4
Relaksasi PMR
Tidak mendapat
relaksasi PMR
33
Pengaruh progressive..., Mashudi, FIK UI, 2011
8/20/2019 Digital 20281698-T Mashudi
51/120
Universitas Indonesia
X3 : Rata-rata KGD pasien DMT2 sebelum intervensi pada kelompok kontrol.
X4 : Rata-rata KGD pasien DMT2 setelah intervensi pada kelompok kontrol.
Y1
Y2
Y3
Y4
:
:
:
:
Perbedaan rata-rata KGD pasien DMT2 sebelum dan setelah intervensi
PMR pada kelompok intervensi.
Perbedaan rata-rata KGD pasien DMT2 sebelum dan setelah intervensi
pada kelompok kontrol.
Perbedaan rata-rata KGD pasien DMT2 sebelum intervensi pada
kelompok intervensi dan kelompok kontrol.
Perbedaan rata-rata KGD pasien DMT2 setelah intervensi pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol.
4.2 Populasi dan sampel
4.2.1 Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien DMT 2 yang dirawat di Instalasi
Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Raden Mattaher Jambi.
4.2.2 Sampel
4.2.2.1 Teknik pengambilan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling, yaitu merekrut
semua subjek yang memenuhi kriteria inklusi dalam waktu tertentu. Menurut
Sastroasmoro, (2006), consecutive sampling merupakan jenis non-probability
sampling yang paling baik dan paling sering digunakan dalam studi klinis. Sampel
yang diambil dalam penelitian ini didasarkan pad