12
DIFTERI TONSILER A. PENDAHULUAN Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi. Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis karena hipoksia. B. Definisi Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada 1

DIFTERI RINGKASAN

Embed Size (px)

DESCRIPTION

g

Citation preview

DIFTERI TONSILERA. PENDAHULUANDifteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya. Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran pernafasan bagian atas. Penularan biasanya terjadi melalui percikan ludah dari orang yang membawa kuman ke orang lain yang sehat dan bisa juga ditularkan melalui benda atau makanan yang terkontaminasi. Difteri tersebar di seluruh dunia, tetapi insiden penyakit ini menurun secara drastis setelah penggunaan vaksin difteri secara meluas. Insiden tergantung kekebalan individu, lingkungan, dan akses pelayanan kesehatan. Serangan difteri sering terjadi dikalangan penduduk miskin yang tinggal di tempat berdesakan, memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan terbatas, dan mempunyai pengetahuan serta pendidikan rendah. Kematian umumnya terjadi pada individu yang belum mendapat imunisasi.Obstruksi saluran nafas atas karena difteri adalah suatu keadaan darurat yang harus segera diatasi untuk mencegah kematian. Gejala obstruksi jalan nafas yang tampak adalah sesak nafas, disfoni sampai afoni, stridor inspirasi, retraksi otot di suprasternal, supraklavikula, epigastrial, dan interkostal, dan apabila tidak mendapat terapi yang adekuat pasien akan gelisah dan sianosis karena hipoksia.B. DefinisiDifteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.3Difteri didapat melalui kontak dengan karier atau seseorang yang sedang menderita difteri. Bakteri dapat disebarkan melalui tetesan air liur akibat batuk, bersin atau berbicara. Beberapa laporan menduga bahwa infeksi difteri pada kulit merupakan predisposisi kolonisasi pada saluran nafas.C. EtiologiPenyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae (basil Klebs-Loeffler) merupakan basil gram positif tidak teratur, tidak bergerak, tidak membentuk spora dan berbentuk batang pleomorfis. Organisme tersebut paling mudah ditemukan pada media yang mengandung penghambat tertentu yang memperlambat pertumbuhan mikroorganisme lain (Tellurite). Koloni-koloni Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.D. Patofisiologi Kuman masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berbiak pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe dan darah. Toksin ini mempunyai 2 fragmen yaitu fragmen A (aminoterminal) dan fragmen B (carboxyterminal) yang disatukan dengan ikatan disulfida. Fragmen B diperlukan untuk melekatkan molekul toksin yang teraktifasi pada reseptor sel pejamu yang sensitif. Perlekatan ini mutlak agar fragmen A dapat melakukan penetrasi ke dalam sel. Kedua fragmen ini penting dalam menimbulkan efek toksik pada sel.Toksin diphtheria mula mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivasi enzim translokase melalui proses :NAD+ + EF2 (aktif) ---toksin---> ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nicotinamide ADP-ribosil-EF2 yang inaktif .Hal ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis tampak jelas di daerah kolonisasi kuman. Sebagai respons terjadi inflamasi lokal yang bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang mula-mula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. selain fibrin, membran juga terdiri dari sel-sel radang, eritrosit dan sel-sel epitel. Bila dipaksa melepas membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas sendiri dalam periode penyembuhan.3Kadang-kadang terjadi infeksi sekunder dengan bakteri (misalnya Streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat jalan nafas. gangguan pernafasan/suffokasi bisa terjadi dengan perluasan penyakit ke dalam laring atau cabang-cabang tracheobronchial. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal.3Antitoksin diphtheria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak bila telah terjadi penetrasi ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, terdapat periode laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinik. Miokardiopati toksik biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologi yang menonjol adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada serat otot dan sistem konduksi. Bila penderita tetap hidup terjadi regenerasi otot dan fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubuler akut pada ginjal.3E. Manifestasi KlinisTanda-tanda dan gejala difteri tergantung pada fokus infeksi, status kekebalan dan apakah toksin yang dikeluarkan itu telah memasuki peredaran darah atau belum. Masa inkubasi difteri biasanya 2-5 hari, walaupun dapat singkat hanya satu hari dan lama 8 hari bahkan sampai 4 minggu. Biasanya serangan penyakit agak terselubung, misalnya hanya sakit tenggorokan yang ringan, panas yang tidak tinggi, berkisar antara 37,8oC 38,9oC. Pada mulanya tenggorok hanya hiperemis saja tetapi kebanyakan sudah terjadi membran putih/keabu-abuan.3Dalam 24 jam membran dapat menjalar dan menutupi tonsil, palatum molle, uvula. Mula-mula membran tipis, putih dan berselaput yang segera menjadi tebal., abu-abu/hitam tergantung jumlah kapiler yang berdilatasi dan masuknya darah ke dalam eksudat. Membran mempunyai batas-batas jelas dan melekat dengan jaringan dibawahnya. Sehingga sukar untuk diangkat, sehingga bila diangkat secara paksa menimbulkan perdarahan. Jaringan yang tidak ada membran biasanya tidak membengkak.Pada difteri sedang biasanya proses yang terjadi akan menurun pada hari-hari 5-6, walaupun antitoksin tidak diberikan.Gejala lokal dan sistemik secara bertahap menghilang dan membran akan menghilang. Dan perubahan ini akan lebih cepat bila diberikan antitoksin. Difteri berat akan lebih berat pada anak yang lebih muda. Bentuk difteri antara lain bentuk Bullneck atau maglinant difteri. Bentuk ini timbul dengan gejala-gejala yang lebih berat dan membran menyebar secrara cepat menutupi faring dan dapat menjalar ke hidung. Udema tonsil dan uvula dapat pula timbul. Kadang-kadang udema disertai nekrose. Pembengkakan kelenjer leher, infiltrat ke dalam jaringan sel-sel leher, dari telinga satu ke telinga yang lain. Dan mengisi dibawah mandibula sehingga memberi gambaran bullneck.Difteri tonsil faringGejala difteri tonsil faring pada saat radang akut akan memberi keluhan nyeri tenggorokan, demam sampai 38,5 C, nadi cepat, tampak lemah, nafas berbau, anoreksia, dan malaise. Dalam 1 2 hari kemudian timbul membran yang melekat, berwarna putih kelabu menutup tonsil, dinding faring, meluas ke uvula dan palatum molle atau ke bawah ke laring dan trakea (gambar 1).

Gambar 1. Difteri tonsil, faring Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Limfadenitis servikalis dan submandibular bila terjadi bersamaan dengan udem ringan jaringan lunak leher yang luas, akan menimbulkan bullneck. Selanjutnya, gejala tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau sirkulasi, dapat juga terjadi paralisis palatum molle baik unilateral maupun bilateral, disertai kesukaran menelan dan regurgitasi. Penurunan kesadaran, koma, kematian bisa terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi berangsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membran akan terlepas dalam 7 10 hari dan biasanya terjadi penyembuhan sempurna.

F. DIAGNOSIS DIFTERIDiagnosis dini sangat penting karena keterlambatan pemberian antiotoksin sangat mempengaruhi prognosis penderita. Diagnosis harus segera ditegakkan berdasarkan gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Adanya membran di tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Membran pada difteri berbeda dengan membran penyakit lain, yaitu warna membran pada difteri lebih gelap, lebih keabuabuan disertai lebih banyak fibrin yang melekat dengan mukosa dibawahnya, dan apabila diangkat terjadi perdarahan.Untuk pemeriksaan bakteriologis dapat dilakukan dengan : Pengambilan preparat langsung dari membran dan bahan di bawah membran Kultur dengan medium Loeffler, tellurite dan media agar darah Miokarditis atau peradangan dinding otot jantung pada pasien difteri dapat diketahui dngan melakukan pemeriksaan electrocardiogram (EKG) Tes Schick (imunitas) : Tes kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari, tetapi tes ini berguna untuk menentukan kerentanan penderita, diagnosis serta penatalaksanaan defisiensi kekebalan.Pemeriksaan preparat smear kurang dapat dipercaya, sedangkan untuk biakan dibutuhkan waktu beberapa hari, cara yang lebih akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique. Diagnosis pasti dengan isolasi C.Diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo dan in-vitro dengan tes Elek.G. Pengobatan Tujuan mengobati penderita diphtheria adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit diphtheria.1. Pengobatan UmumIstirahat mutlak selama kurang lebih 2 minggu, pemberian cairan serta diit yang adekwat. Khusus pada diphtheria laring dijaga agar nafas tetap bebas serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan nebulizer. Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernafasan yang progresif hal-hal tersebut merupakan indikasi tindakan trakeostomi.2. Pengobatan Khusus :a. Antitoksin : serum anti diphtheria (ADS)Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis diphtheria. Sebelumnya harus dilakukan tes kulit atau tes konjungtiva dahulu. Oleh karena pada pemberian ADS terdapat kemungkinan terjadinya reaksi anafilaktik, maka harus tersedia larutan Adrenalin 1 : 1000 dalam semprit.Dosis ADS di ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo disesuaikan menurut derajat berat penyakit sebagai berikut :-20.000 KI i.m. untuk diphtheria ringan (hidung, kulit, konjungtiva).-40.000 KI i.v. untuk diphtheria sedang (pseudomembran terbatas pada tonsil, diphtheria laring).-100.000 KI i.v. untuk diphtheria berat (pseudomembran meluas ke luar tonsil, keadaan anak yang toksik; disertai "bullneck", disertai penyulit akibat efek toksin).Pemberian ADS secara intravena dilakukan secara tetesan dalam larutan 200 ml dalam waktu kira-kira 4-8 jam. Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat (serum sickness).3b. AntimikrobialBukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 50.000-100.000 KI/BB/hari selama 7-10 hari, bila alergi bisa diberikan eritromisin 40 mg/kg/hari.3c. KortikosteroidBelum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada diphtheria. Di Ruang Menular Anak RSUD Dr. Soetomo kortikosteroid diberikan kepada penderita dengan gejala obstruksi saluran nafas bagian atas dan bila terdapat penyulit miokardiopati toksik.

H. KOMPLIKASIKomplikasi bisa dipengaruhi oleh virulensi kuman, luas membran, jumlah toksin, waktu antara timbulnya penyakit dengan pemberian antitoksin.Komplikasi difteri terdiri dari :1. Infeksi sekunder, biasanya oleh kuman streptokokus dan stafilokokus yang akan memperberat gejala Difteri2. Infeksi lokal : obstruksi jalan nafas akibat membran atau udim jalan nafas3. Infeksi sistemik karena efek eksotoksin Komplikasi yang terjadi antara lain kerusakan jantung, yang bisa berlanjut menjadi gagal jantung. Kerusakan sistem saraf berupa kelumpuhan saraf menyebabkan gerakan tak terkoordinasi, bahkan bisa berakibat kelumpuhan. Komplikasi berat lainnya yang bisa segera menimbulkan kematian adalah obstruksi jalan nafas.I. Pencegahan UmumKebersihan dan pengetahuan tentang bahaya penyakit ini bagi anak-anak. Pada umumnya setelah menderita penyakit difteri kekebalan penderita terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.3 Khusus Terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan carrier.J. PrognosaSebelum adanya antitoksin dan antibiotika, angka kematian mencapai 30-50 %. Dengan adanya antibiotik dan antitoksin maka kematian menurun menjadi 5-10% dan sering terjadi akibat miokarditis.Prognosa tergantung pada :1. Usia penderitaMakin rendah makin jelek prognosa. Kematian paling sering ditemukan pada anak-anak kurang dari 4 tahun dan terjadi sebagai akibat tercekik oleh membran difterik.2. Waktu pengobatan antitoksinSangat dipengaruhi oleh cepatnya pemberian antitoksin.

3. Tipe klinis difteriMortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%)4. Keadaan umum penderitaPrognosa baik pada penderita dengan gizi baik.Difteri yang disebabkan oleh strain gravis biasanya memberikan prognosis buruk. Semakin luas daerah yang diliputi membran difteri, semakin berat penyakit yang diderita. Difteri laring lebih mudah menimbulkan akibat fatal pada bayi atau pada penderita tanpa pemantauan pernafasan ketat. Terjadinya trombositopenia amegakariositik atau miokarditis yang disertai disosiasi atrioventrikuler menggambarkan prognosis yang lebih buruk.

8