23
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KRISIS MIASTENIA Anak Agung Ngurah Eva Primananda Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar ABSTRAK Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat yang disebut dengan krisis miastenia. Pengelolaan akut krisis miastenia memerlukan terapi suportif umum dan ventilasi serta langkah-langkah untuk meningkatkan blokade neuromuskuler yang mencakup pertukaran plasma atau immunoglobulin intravena, serta penghapusan pemicu. Kata kunci:krisis miastenia, diagnosis, tatalaksana MYASTHENIC CRISIS, DIAGNOSIS AND TREATMENT Anak Agung Ngurah Eva Primananda Department of Neurology, Medical School, Udayana University/Sanglah Hospital Denpasar ABSTRACT Myasthenic crisis is defined by every myasthenia gravis that identified as exacerbation. The diagnosis of myasthenic crisis must be suspected to every patient with respiratory failure, especially to them with unclear etiology. Myasthenia gravis affects about 400 per 1 million 1

Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KRISIS MIASTENIA

Anak Agung Ngurah Eva Primananda

Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar

ABSTRAK

Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400 per 1 juta orang. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat yang disebut dengan krisis miastenia. Pengelolaan akut krisis miastenia memerlukan terapi suportif umum dan ventilasi serta langkah-langkah untuk meningkatkan blokade neuromuskuler yang mencakup pertukaran plasma atau immunoglobulin intravena, serta penghapusan pemicu.

Kata kunci:krisis miastenia, diagnosis, tatalaksana

MYASTHENIC CRISIS, DIAGNOSIS AND TREATMENT

Anak Agung Ngurah Eva Primananda

Department of Neurology, Medical School,Udayana University/Sanglah Hospital Denpasar

ABSTRACT

Myasthenic crisis is defined by every myasthenia gravis that identified as exacerbation. The diagnosis of myasthenic crisis must be suspected to every patient with respiratory failure, especially to them with unclear etiology. Myasthenia gravis affects about 400 per 1 million people. About 15% people will experience adverse incident that called myasthenic crisis. Acute management of myasthenic crisis need general supportive therapy and ventilation with steps to increase neuromuscular blockage that include plasma exchange and intravenous immunoglobulin, and avoidance of risk factors.

Keywords: myasthenic crisis, diagnosis, treatment

1

Page 2: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

PENDAHULUAN

Krisis miastenia didefinisikan sebagai setiap miastenia gravis yang diidentifikasi

mengalami eksaserbasi. Diagnosis krisis miastenia harus dicurigai pada semua pasien

dengan gagal pernafasan, terutama mereka dengan etiologi tidak jelas. Miastenia gravis

merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai oleh bermacam-macam tingkat

kelemahan dari otot skelet (volunter) tubuh. Nama miastenia gravis berasal dari bahasa

Latin dan Yunani yang secara harafiah berarti kelemahan otot yang berat atau gawat

(grave muscle weakness). Pada masa lampau kematian akibat dari penyakit ini bisa

mencapai 90%, tetapi setelah ditemukannya obat-obatan dan tersedianya unit-unit

perawatan pernafasan, maka sejak itulah jumlah kematian akibat penyakit ini bisa

dikurangi.1,2

Miastenia gravis adalah kelemahan otot yang cukup berat di mana terjadi

kelelahan otot-otot secara cepat dengan lambatnya pemulihan (dapat memakan waktu

10 hingga 20 kali lebih lama dari normal). Miastenia gravis mempengaruhi sekitar 400

per 1 juta orang. Usia awitan dari miastenia gravis adalah 20-30 tahun untuk wanita dan

40-60 tahun untuk pria. Kelemahan otot yang parah yang disebabkan oleh penyakit

tersebut membawa sejumlah komplikasi lain, termasuk kesulitan bernapas, kesulitan

mengunyah dan menelan, bicara cadel, kelopak mata turun, dan penglihatan kabur atau

ganda. Sekitar 15% orang mengalami peristiwa berat yang disebut dengan krisis

miastenia. Hal ini kadang kala dipicu oleh infeksi. Lengan dan kaki menjadi sangat

lemah dan pada beberapa orang, otot yang diperlukan untuk pernafasan melemah.

Keadaan ini dapat mengancam nyawa1,2,3,4

Kematian dari penyakit miastenia gravis biasanya disebabkan oleh insufisiensi

pernafasan, tetapi dapat dilakukannya perbaikan dalam perawatan intensif sehingga

komplikasi yang timbul dapat ditangani dengan lebih baik. Pengelolaan akut krisis

miastenia memerlukan terapi suportif umum dan ventilasi serta langkah-langkah untuk

meningkatkan blokade neuromuskuler yang mencakup pertukaran plasma atau

immunoglobulin intravena, serta penghapusan pemicu. Terapi ini telah meningkatkan

secara signifikan harapan hidup penderita dengan krisis miastenia dan tingkat kematian

saat ini adalah sekitar 4-8%. Penyembuhan dapat terjadi pada 10-20% pasien dengan

melakukan timektomi elektif pada pasien-pasien tertentu.1,4

2

Page 3: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Faktor Pencetus Krisis Miastenia

Krisis miastenik biasanya dicetuskan oleh kontrol yang buruk pada penyakit,

pengobatan miastenia bulbar (steroid dan antikolinesterase), obat-obatan, infeksi

sistemik yang melibatkan saluran pernafasan, aspirasi, dan pembedahan. Pencetus lain

yang diketahui pada krisis miastenia refraktori adalah stres emosional, lingkungan yang

panas, peningkatan yang mendadak dari suhu tubuh, dan hipertioridism, dengan

penyakit tiroid autoimun sering dikaitkan dengan miastenia gravis.5,6

Tabel 1 Faktor Pencetus Krisis Miastenik5,6

Stresor Medikasi

Stres fisik

Pneumonia aspirasi

Infeksi

Perimenstrual state

Kehamilan

Deprivasi tidur

Pembedahan

Faktor lingkungan

Stres emosional

Nyeri

Temperatur yang ekstrim

Medikasi modulasi-imun secara tapering

α-Interferon

Antibiotik

Aminoglikosid

Gentamicin

Streptomisin

Ampisilin

Makrolida

Eritromisin

Quinolon

Siprofloksasin

Polimiksin

Antiepileptik

Gabapentin

Antagonis β-adrenergik

Calcium channel antagonis

Media kontras

Magnesium

Prednison

Procainamide

3

Page 4: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Quinidine

Pencetus tersering adalah infeksi. Infeksi dilaporkan merupakan pencetus krisis

miastenik pada 38% pasien, di mana penyebab tersering adalah pneumonia bakterial

diikuti oleh infeksi saluran nafas atas oleh bakteri atau virus. Pencetus lain adalah

pneumonitis aspirasi, pembedahan, kehamilan, perimenstrual state, beberapa obat-

obatan, dan pengobatan secara tapering dari pengobatan modulasi imun. Sekitar

sepertiga sampai setengah pasien dengan krisis miastenik masih belum diketahui

penyebabnya.5,6

Berbagai macam obat-obatan dapat memperburuk keadaan miastenia gravis,

seperti kuinidin, prokainamide, antagonis β-adrenergic, antagonis calcium channel

(verapamil, nifedipine, felodipine), magnesium, antibiotik (ampisilin, gentamicin,

streptomicin, polimiksin, ciprofloxacin), phenytoin, gabapentin, methamizole, α-

interferon, dan media kontras. Obat-obatan ini harus digunakan secara hati-hati pada

pasien miastenik, terutama setelah tindakan pembedahan. Obat-obatan yang dicurigai

dapat mencetuskan krisis miastenik harus dihentikan penggunaannya pada penderita.5

Walaupun kortikosteroid dapat digunakan pada pengobatan miastenia gravis,

pengobatan awal dengan prednisone dapat memperburuk keadaan miastenia gravis pada

hampir setengah pasien. Prediktor dari perburukan adalah umur tua, skor rendah pada

Myasthenia Severity Scale, dan gejala bulbar.5

Patofisiologi

Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada patofisiologi

miastenia gravis. Obsevasi klinik yang mendukung hal ini mencakup timbulnya

kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia gravis,

misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid, dan lain-

lain. Antibodi pada reseptor nikotinik aseltikolin merupakan penyebab utama

kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis. Autoantobodi terhadap aseltikolin

reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum 90% pasien yang menderita

miastenia gravis generalisata.4,7

Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor

asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.

4

Page 5: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai “penyakit terkait sel B,” di mana antibodi

yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T

pada pathogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ

sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Kelainan kelenjar timus terjadi pada

miastenia gravis. Pada 80% penderita miastenia didapati kelenjar timus yang abnormal.

Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur timoma dan pada penderita-

penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat germinativa kelenjar timus

tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.7,8

Bagan 1 Patofisiologi Miastenia Gravis9

5

Page 6: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas dalam

penyakit miastenia gravis terjadi pada end plate motorik dan bukan pada membran

presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena kerusakan

itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar sehingga lebih

banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor end plate dapat dipecahkan oleh

kolinesterase. Selain itu, jumlah asetilkolin yang dapat ditampung oleh lipatan-lipatan

membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena dua faktor tersebut,

maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Pada pasien miastenia gravis,

antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai subklas yang berbeda, di mana satu

antibodi secara langsung melawan area imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit

alfa juga merupakan binding site dari aseltikolin. Ikatan antibodi reseptor aseltikolin

pada reseptor aseltikolin akan mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular

melalui beberapa cara, antara lain: ikatan silang reseptor aseltikolin terhadap antibodi

antireseptor aseltikolin dan mengurangi jumlah reseptor aseltikolin pada neuromuscular

junction dengan cara menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik,

sehingga mengurangi area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-

reseptor aseltikolin yang baru disintesis.7,8

MANIFESTASI KLINIS

Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang berfluktuasi pada

otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang beraktivitas. Pada 90%

penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang menimbulkan ptosis dan

diplopia. Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada

pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral, kelemahan otot

pengunyah, paresis palatum mol, dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi

melalui hidung jika pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau

suara nasal, dan pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda

rahang yang menggantung.7,10

Krisis miastenik disebabkan oleh kelemahan yang berat dari otot-otot

pernafasan, otot-otot saluran nafas bagian atas (miastenia bulbar), atau keduanya. Baik

otot-otot pernafasan inspirasi dan ekspirasi dapat terpengaruh, yang bermanifestasi

sebagai dispnea. Inspirasi dihasilkan utamanya oleh otot-otot diafragma dan interkostal

6

Page 7: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

eksternal dan dibantu oleh otot-otot sternokleidomastoid dan scalene. Walaupun

ekspirasi biasanya bersifat pasif, otot-otot abdominal dan interkostal internal juga

membantu.6,8

Disfungsi pernafasan juga dapat bermanifestasi sebagai obkstruksi saluran

pernafasan atas jika terjadi kelemahan dari otot-otot saluran nafas atas atau bulbar.

Kelemahan otot saluran nafas atas dapat menyebabkan terjadinya gagal nafas karena

terjadinya kolaps orofaringeal atau obstruksi lidah dan terjadinya peningkatan usaha

nafas oleh otot pernafasan yang sudah lemah melawan saluran nafas yang sudah

tertutup. Tanda dari kelemahan bulbar adalah disfagia, regurgitasi nasal, suara dengan

kualitas hidung, suara pelo, kelemahan rahang (menutup rahang lebih lemah dari

membuka rahang), paresis bifasial, dan kelemahan lidah.6,8

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Pemeriksaan Laboratorium

1. Antibodi reseptor anti-asetilkolin

Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis,

di mana terdapat hasil yang postitif pada 74% pasien. Sekitar 80% penderita miastenia

gravis generalisata dan 50% penderita dengan miastenia okular murni menunjukkan

hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Titer antibodi lebih tinggi pada

penderita miastenia gravis dalam kondisi yang parah, walaupun titer tersebut tidak dapat

digunakan untuk memprediksikan derajat penyakit miastenia gravis.11

2. Antibodi anti striated muscle (anti-SM)

Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini

menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma dalam usia

kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih dari 40 tahun,

antibodi anti-SM dapat menunjukkan hasil positif.11

3. Antibodi anti-muscle-specific kinase (MuSK)

Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil antibodi anti-AChR

Ab negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk

antibodi anti-MuSK.11

4. Antibodi antistriational

7

Page 8: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya antibodi

yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot jantung penderita.

Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin dan ryanodine (RyR).

Antibodi ini selalu dikaitkan pada pasien thymoma usia muda dengan miastenia gravis.

Terdeteksinya titin/RyR antibody merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya

thymoma pada pasien muda dengan miastenia gravis.11

1. Elektrodiagnostik

1. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)

Pada penderita miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor asetilkolin,

sehingga pada RNS tidak terdapat adanya suatu potensial aksi.12

2. Single-fiber Electromyography (SFEMG)

Metode ini menggunakan jarum single-fiber yang memiliki permukaan kecil untuk

merekam serat otot penderita. SFEMG dapat mendeteksi suatu jitter (variabilitas pada

interval interpotensial di antara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit yang

sama) dan densitas fiber (jumlah potensial aksi dari serat otot tunggal yang dapat

direkam oleh jarum perekam). SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada fiber

neuromuskular berupa peningkatan jitter dan densitas fiber yang normal.12

DIAGNOSIS

Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis suatu

krisis miastenia. Pada krisis miastenia akan terjadi kelemahan pada otot-otot pernapasan

sehingga dapat menyebabkan gagal napas akut, di mana hal ini merupakan suatu

keadaan gawat darurat. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat

menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya hipoventilasi.

Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas atas. Biasanya

kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan seringkali

mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas pada otot yang

diinervasi oleh satu nervus kranialis. Hal ini merupakan tanda yang sangat penting

untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus rektus lateralis

dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear ophthalmoplegia,

yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu mata yang disertai

nistagmus pada mata yang melakukan abduksi.12,3,14

8

Page 9: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Untuk penegakan diagnosis krisis miastenia, dapat dilakukan pemeriksaan

sebagai berikut:

1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan

akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.

Penderita menjadi anartris dan afonis.15

2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama

kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak ada

ptosis, maka penderita disuruh beristirahat. Kemudian tampak bahwa suaranya akan

kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi.15

Untuk memastikan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan beberapa tes

antara lain:

1. Uji Tensilon (edrophonium chloride)

Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat

reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera

sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti

misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar

disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini

kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena

efektivitas tensilon sangat singkat.13

2. Uji Prostigmin (neostigmin)

Pada tes ini, penderita disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat secara

intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin ¼ atau ½ mg). Bila kelemahan itu

benar disebabkan oleh miastenia gravis maka gejala-gejala seperti misalnya ptosis,

strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian akan lenyap.13

3. Uji Kinin

Penderita diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. Tiga jam kemudian

diberikan 3 tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar

disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-

lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi

prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.13

TATALAKSANA

9

Page 10: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Manajemen Respirasi pada Krisis Miastenik

1. Intubasi dan Ventilasi Mekanik

Dua per tiga sampai 90% penderita krisis miastenik memerlukan intubasi dan

ventilasi mekanik. Lebih dari 20% pasien memerlukan intubasi selama evaluasi di

unit gawat darurat, dan hampir 60% diintubasi setelah pasien dirawat di ruang

perawatan intensif. Ketika diintubasi, pernapasan pasien sebaiknya berada di bawah

bantuan ventilator dengan pengaturan volume tidal 8-10 cc/kg BB ideal dan tekanan

8-15 cmH2O untuk mencegah atelektasis dan meminimalisasi beban pernapasan.5,16

Penghentian penggunaan ventilator harus diinisiasi setelah pasien

menunjukkan perbaikan klinis, biasanya pada kapasitas vital yang lebih dari

15mL/kg. Perbaikan pada kekuatan fleksor leher dan otot tambahan lain biasanya

dihubungkan dengan perbaikan kekuatan otot respirasi dan bulbar, dan berguna

sebagai penilaian terhadap perbaikan klinis. Ventilator pasien sebaiknya ditransisi

ke mode pernapasan spontan (misalnya ventilasi dengan bantuan tekanan), di mana

pasienlah yang menginisiasi pernapasan. Bantuan pernapasan tersebut dapat

dikurangi secara bertahap hingga mencapai pengaturan minimal.16

Masih tidak jelas kapan sebaiknya pasien diekstubasi setelah mengalami

krisis miastenik. Terdapat 3 faktor risiko independen yang memperpanjang masa

intubasi (> 14 hari): umur>50 tahun, kapasitas vital puncak <25 mL/kg pada post-

intubasi hari 1-6, dan serum bikarbonat ≥ 30 mmol/L. Pasien tanpa faktor risiko

diintubasi selama kurang dari 2 minggu, sedangkan pasien dengan ketiga faktor

risiko tersebut memiliki masa intubasi yang lebih lama. Untuk mencegah atelektasis

dapat dilakukan intubasi dini, fisioterapi dada yang agresif, dan suction yang sering,

serta pemberian PEEP tinggi selama pasien menggunakan ventilasi mekanik.5,16

3. Ventilasi non-invasif

Ventilasi non-invasif digunakan untuk mencegah intubasi dan re-intubasi pada

pasien dengan krisis miastenik. Dengan menggunakan bilevel positive airway

pressure (BiPAP), tekanan positif diberikan delama kedua fase pernapasan,

sehingga meningkatkan aliran udara dan mengurangi beban pernapasan selama

inspirasi dan mencegah kolaps jalan napas dan atelektasis selama ekspirasi. Pada

pasien yang awalnya mendapat ventilasi non-invasif dan mengalami perburukan

gejala seperti sesak napas, takipneu, atau hiperkapni terus menerus sebaiknya

10

Page 11: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

dilakukan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik. Terdapat prediktor

independen kesuksesan ventilasi non-invasif, yaitu serum bikarbonat < 30mmol/L

dan skor APACHE II <6. Prediktor independen kegagalan metode ini adalah

hiperkapnia (pCO2> 45 mmHg).5,16

Penggunaan ventilasi non-invasif dini diasosiasikan dengan durasi penggunaan

bantuan pernapasan yang lebih singkat. Pada pasien dengan kelemahan bulbar,

tindakan ini meningkatkan risiko aspirasi, namun pada pasien yang berhasil dengan

tindakan tersebut mengalami lebih sedikit komplikasi pulmoner.5,16

Pengobatan Krisis Miastenik

Terdapat 2 terapi farmakologis yang tersedia untuk krisis miastenik, yakni

immunoglobulin intravena (IVIg) dan pertukaran plasma (PE). IVIg biasanya diberikan

400mg/kg setiap hari selama 5 hari. Pasien harus disapih terhadap adanya IgA defisiensi

untuk mencegah anafilaksis terhadap IVIg. Efek samping yang paling sering terjadi

adalah sakit kepala. Komplikasi lain termasuk demam, mual, ketidaknyamanan,

kemerahan, lemah, dan nyeri. Efek samping yang lebih serius adalah meningitis aseptik,

hipertensi, aritmia jantung, trombositopenia, stroke, infark jantung, dan emboli paru.5,16

Untuk PE, 5 kali penggantian (1 volume plasma atau 3-4 L setiap penggantian)

biasanya dilakukan selama 10 hari. Cairan pengganti umumnya adalah larutan normal

salin/5% albumin. Akses vena dilakukan dengan infus set besar, atau tunneled

double-lumen central venous catheters. Komplikasi PE yang biasanya

terjadi adalah demam, gejala hipokalemia (umumnya parestesia),

penurunan sementara tekanan darah, dan takikardia. Efek samping

yang lebih serius namun lebih jarang terjadi termasuk aritmia, infark

miokardial, dan hemolisis. Respon terhadap pengobatan biasanya

terjadi setelah 2 hari dengan PE dan setelah 4-5 hari dengan IVIg. Bila

respon yang terjadi tidak adekuat atau tidak ada respon sama sekali,

PE bisa diberikan setelah IVIg dan IVIg bisa diberikan setelah PE.

Beberapa studi menunjukkan bahwa pemberian PE lebih efektif

dibandingkan IVIg pada penderita krisis miastenik, namun

kemungkinan terjadinya komplikasi juga lebih tinggi pada

penggunaan PE, seperti infeksi dan instabilitas jantung.5,16

11

Page 12: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

Kortikosteroid diberikan bersama dengan IVIg dan PE. Prednisone dosis tinggi

(60-100 mg per hari atau 1-1.5 mg/kg/hari) dapat dimulai bersamaan dengan IVIg atau

PE, karena prednisone mulai bekerja setelah 2 minggu, di mana efek PE dan IVIg mulai

berkurang. Pemberian kortikosteroid secara oral lebih dipilih, dan inisiasi pemberian

prednisone dapat ditunda sampai pasien telah diekstubasi bila pasien mununjukkan

perbaikan yang cepat setelah pengobatan dengan IVIg atau PE. Ketika pasien sudah

menunjukkan perbaikan klinis, dosis prednisone dapat dikurangi, dan secara gradual

dikonversi ke alternate-day dosing. Efek samping paling sering adalah penampakan

Chusingoid., katarak, dan peningkatan berat badan. Infeksi, diabetes yang tidak

terkontrol, dan osteoporosis merupakan kontraindikasi relatif dalam penggunaan

kortikosteroid.5,16

Cyclosporine dapat dipertimbangkan setelah dimulainya terapi IVIg atau PE

pada pasien yang tidak dapat mentolerasi atau tidak bereaksi terhadap kortikosteroid.

Namun, onset kerja cyclosporine adalah 1-2 bulan. Agen immunomodulating lain,

azathioprine dan mycophenolate, tidak berguna dalam krisis miastenik karena masa

laten kerjanya yang panjang.5,16

Nilai laboratorium yang abnormal yang dapat mempengaruhi kekuatan otot

harus dikoreksi. Kekurangan ion kalium, magnesium, dan fosfat dapat memperburuk

krisis miastenik dan harus dikoreksi. Hematokrit yang kurang dari 30% dapat

mempengaruhi kelemahan dengan menurunkan oxygen-carrying capacity. Nutrisi yang

cukup juga juga untuk menghindari keseimbangan energi yang negatif dan

memperburuk kekuatan otot.5,16

Pemberian inhibitor asetilkolinesterase biasanya dihentikan pada krisis

miastenik untuk menghindari sekresi bronkial yang berlebihan. Selain itu, bila

digunakan secara berlebihan, kelemahan otot dapat meningkat. Setelah pasien

menunjukkan perbaikan kekuatan otot yang jelas (biasanya beberapa hari setelah

dimulainya IVIg atau PE), inhibitor asetilkolinesterase, khususnya pyridostigmine oral

dapat dimulai kembali setelah ekstubasi. Pyridostigmine oral lebih dipilih, namun dapat

pula diberikan secara intravena. Satu milligram pyridostigmine intravena setara dengan

30 mg pyridostigmine oral. Pasien sebaiknya memulai pengobatan pada dosis yang

rendah terlebih dahulu yang ditingkatkan hingga gejala berkurang. Pemberian

pyridostigmine intravena secara terus menerus sebagai pengobatan krisis miastenik

12

Page 13: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

dapat berefek sama dengan PE, namun hal ini dihubungkan juga dengan meningkatnya

risiko aritmia jantung yang mengancam nyawa.5,16

Thymektomi

Hiperplasia timus sering terjadi pada pasien miastenia muda, khususnya perempuan,

dengan antibodi terhadap AchR yang positif. Tumor timus, ditemukan pada 15% pasien

miastenia gravis dan pada 32% pasien krisis miastenik, sebaiknya dilakukan timektomi.

Pasien dengan miastenia gravis non-timus dapat dipertimbangkan untuk melakukan

timektomi untuk meningkatkan kemungkinan terjadinya perbaikan kondisi atau remisi.

Sebuah studi retrospektif menemukan bahwa pasien miastenia gravis yang melakukan

timektomi memiliki lebih sedikit insiden terjadinya krisis miastenia dan episode yang

lebih ringan. Krisis miastenik postoperasi sering ditemukan setelah timektomi; insiden

berkisar antara 12-34%. Krisis postoperasi dihubungkan dengan riwayat krisis

miastenik, kelemahan bulbar yang muncul pada preoperasi, antibodi AChR serum

preoperasi > 100 nmol/L, kehilangan darah>1L pada masa intraoperasi.7

PROGNOSIS

Walaupun tidak ada pengobatan yang memberikan kesembuhan total untuk kasus

miastenia gravis, obat-obatan yang telah berkembang memberikan prognosis yang lebih

baik sehingga penderita dapat mnjalani hidup yang relative mendekati normal. Tanpa

pengobatan medis, angka kematian mencapai 25-31%; dengan pengobatan medis angka

kematian hanya 3-4%. Sekitar33% penderita mengalami remisi spontan dimana semua

gejala hilang secara permanen. Secara umum, hasil pengobatam tergantung pada

seberapa cepatkah progresi penyakit dan keefektifan pengobatan. Sekitar 46% penderita

miastenia gravis mengalami gagal nafas, komplikasi yang mengancam nyawa dari krisis

miastenik, pneumonia dan atelektasis. Prosedur timektomi dihubungkan dengan

tercapainya remisi pada 85% kasus dan 35% pasien mengalami remisi komplit.7

13

Page 14: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

DAFTAR PUSTAKA

1. Zulkarnain N. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Miastenia Gravis. DSI UNAIR 2011. [cited: March 24th, 2012]. Available from: http://nuzulul-fkp09.web.unair.ac.id/artikel_detail-35345-Kep%20Uncategorized-Askep%20 Mistania%20Gravis.html.

2. Engel AG. Myasthenia Gravis and Myasthenic Syndromes. Ann Neurol. 1985;6:519-534.

3. Hudak CM, Gallo BM. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI. Jakarta: EGC; 1996.

4. Lewis RA, Selwa JF, Lisak RP. Myasthenia Gravis: Immunological Mechanisms and Immunotherapy. Ann Neurol. 1995;37(S1):S51-S62.

5. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic Crisis. The Neurohospitalist. 2011;1(1):16-22.

6. Chauduri A, Behan PO. Myasthenic Crisis. QJM. 2009;102:97-107.

7. Howard JF. Myasthenia Gravis, a Summary. NINDS 2011. [cited: March 22nd, 2012]. Available from: http://www.ninds.nih.gov/disorders/myasthenia_ gravis/ detail_myasthenia_gravis.htm

8. Lombardo MC. Penyakit Degeneratif dan Gangguan Lain Pada Sistem Saraf. In: Price SA, Wilson LM, (eds). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 4th ed. Jakarta: EGC; 1995.

9. Putra SE. Miastenia Gravis. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember; 2009.

10. Sidharta P. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian Rakyat; 1999.

11. Romi F, Aarli JA, Gilhus NE. Seronegative myasthenia gravis: disease severity and prognosis. European Journal of Neurology. 2005;12:413-418

12. Romi F, Gilhus NE, Aarli JA. Myasthenia Gravis: Clinical, Immunological, and Therapeutic Advances. Acta Neurol Scand. 2005;111:134-141.

13. Bianca MC, Milani M, Kaminski HJ. Myasthenia Gravis: Past, Present, and Future. The Journal of Clinical Investigation. 2006:116(11);2843-2854.

14. Keesey JC. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis. Muscle Nerve. 2004;29:484-505.

15. Ngoerah IGNG. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya: Airlanga University

Press; 1991.

14

Page 15: Diagnosis Dan Tatalaksana Krisis Miastenia

16. Goldenberg WD, Kulkarni R. Emergent Management of Myasthenia Gravis.

Medscape 2011. [cited: March 25th, 2012]. Available from: http://emedicine.

medscape.com/article/793136-overview

15