169

Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia
Page 2: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

i

Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Parlemen

Di Indonesia

Page 3: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

ii – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Parlemen di Indonesia Medan, Pustaka Prima, 2021 x+156 - 16,5x24 cm Dr. Zainuddin, SH., MH ISBN : 978-623-93332-6-3 Desain/Layout : Tim Pustaka Prima Diterbitkan oleh: CV. Pustaka Prima Jalan Pinus Raya No.138 Komplek.DPRD Tk.I Medan Email : [email protected] Website : www.pustaka-prima.com Hak Cipta dilindungi Undang-Undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, baik secara elektronik maupun mekanik, termasuk fotokopi, merekam atau dengan system penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.

Page 4: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga buku ini dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Shalawat beriring salam penulis hanturkan kepada junjungan dan suri tauladan, Nabi Muhammad SAW, peran besar beliau hingga kini kita dapat menghirup alam terang benderang.

Buku ini penulis berikan judul mengenai “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Parlemen di Indonesia”. Pasal 2 ayat (1) Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Hal ini berarti bahwa anggota MPR sebelum amandemen UUD 1945 (khususnya Utusan Daerah) tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karenanya, perlu dilakukan re-posisi keanggotaan MPR khususnya yang merupakan perwakilan dari daerah.

Kehadiran DPD sebagai salah satu anggota MPR, diharapkan mampu berbuat lebih banyak terhadap kemajuan masyarakat yang ada di daerah. Akan tetapi, UUD 1945 yang telah di amandemen juga memberikan peran yang sangat terbatas bagi DPD dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Untuk itulah buku ini hadir kehadapan para pembaca sebagai sumbangsih pemikiran dalam rangka pembenahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk yang mulia, kedua orang tua spenulis Bapak Muhammad Shaleh dan Mamakku Rahimah (Almarhumah), serta Mertua saya Bapak Drs. Helmi Lubis (Almarhum) beserta Ibu TD. Edwarni. Untuk yang tercinta dan tersayang, yang selalu memberikan semangat dan dorongan, serta setia mendampingi penulis, Untukmu istriku Hilma Dina Hayati Lubis, S.H., berseta anak-anakku, Dafa Al-Mutakhir Adriansyah, Raihan Al-Fatih, dan Jihan Assyfa Zaima.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karenanya penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari semua pihak demi kesempurnaan karya berikutnya. Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pembaca semua, dan dapat

Page 5: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

iv – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dijadikan rujukan dalam setiap perbincangan kelembagaan negara, khususnya tentang kehadiran lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Semoga Allah selalu melindungi kita semua. Amin..

Medan, 2021

Penulis

Dr. Zainuddin, S.H., M.H.

Page 6: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................... iii DAFTAR ISI ................................................................................ v KATA PENGANTAR .................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1

A. Perlunya Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan ........... 1

B. Konsep Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan ............ 12

BAB II DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH ......................................... 15

A. Sejarah Lembaga Perwakilan Daerah ................................ 15

B. Lembaga Perwakilan Daerah di Indonesia ......................... 19

C. Proses Awal Pembentukan DPD ........................................ 40

D. Dimensi-Dimensi Penting DPD ......................................... 50

E. Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD .................................. 51

F. Eksistensi DPD Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ....... 55

G. DPD dalam Format Otonomi Daerah ................................. 59

BAB III PERANAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN ............... 73

A. Kewenangan DPD Menurut UUD Tahun 1945................... 73

B. Kewenangan DPD Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ... 84

C. Kedudukan Dan Hubungan DPD Dengan Lembaga-lembaga Negara ................................................. 92

BAB IV PENGUATAN FUNGSI DPD DALAM ........................................ 101

Page 7: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

vi – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

KERANGKA NEGARA KESATUAN ........................................... 101 A. Penguatan Fungsi DPD dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia........................................................................ 101

B. Hubungan DPD dengan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah ......................................... 115

BAB V DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM BIKAMERAL ............................................................. 119

A. Sistem Perwakilan .......................................................... 119

B. Struktur Parlemen .......................................................... 129

C. Praktek Bikameral dalam Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia ........................................................ 132

D. Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameralisme ................................................................ 135

GLOSSARIUM ........................................................................ 144 DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 149 INDEKS…………………………………………………………………….155

Page 8: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - vii

”Teruslah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lain“

Rasulullah SAW Bersabda ”Khairunnas Anfa’uhum Linnas“, Sebaik

baik manusia adalah yang memberi manfaat bagi manusia lainnya

(H.R. Ahmad dan Thabrani).

Page 9: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

viii – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Page 10: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya sehingga buku ini dapat diselesaikan sesuai dengan harapan. Shalawat beriring salam penulis hanturkan kepada junjungan dan suri tauladan, Nabi Muhammad SAW, peran besar beliau hingga kini kita dapat menghirup alam terang benderang.

Buku ini penulis berikan judul mengenai “Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameral di Indonesia”. Pasal 2 ayat (1) Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, menyatakan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan DPD. Hal ini berarti bahwa anggota MPR sebelum amandemen UUD 1945 (khususnya Utusan Daerah) tidak mampu melaksanakan kewenangannya sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karenanya, perlu dilakukan re-posisi keanggotaan MPR khususnya yang merupakan perwakilan dari daerah.

Kehadiran DPD sebagai salah satu anggota MPR, diharapkan mampu berbuat lebih banyak terhadap kemajuan masyarakat yang ada di daerah. Akan tetapi, UUD 1945 yang telah di amandemen juga memberikan peran yang sangat terbatas bagi DPD dalam memperjuangkan kesejahteraan masyarakat daerah. Untuk itulah buku ini hadir kehadapan para pembaca sebagai sumbangsih pemikiran dalam rangka pembenahan terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih untuk yang mulia, kedua orang tua spenulis Bapak Muhammad Shaleh dan Mamakku Rahimah (Almarhumah), serta Mertua saya Bapak Drs. Helmi Lubis (Almarhum) beserta Ibu TD. Edwarni. Untuk yang tercinta dan tersayang, yang selalu memberikan semangat dan dorongan, serta setia mendampingi penulis, Untukmu istriku Hilma Dina Hayati Lubis, S.H., berseta anak-anakku, Dafa Al-Mutakhir Adriansyah, Raihan Al-Fatih, dan Jihan Assyfa Zaima.

Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh karenanya penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dari semua pihak demi kesempurnaan karya berikutnya. Akhirnya, semoga buku ini

Page 11: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

x – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dapat bermanfaat bagi para pembaca semua, dan dapat dijadikan rujukan dalam setiap perbincangan kelembagaan negara, khususnya tentang kehadiran lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Semoga Allah selalu melindungi kita semua. Amin..

Medan, 2021

Penulis

Dr. Zainuddin, S.H., M.H.

Page 12: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 1

BAB I PENDAHULUAN

A. Perlunya Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan Kesadaran akan pentingnya pemerintahan perwakilan

telah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan latar belakang budaya yang berbeda-beda, menjadikan lahirnya pemikiran dari para pendiri republik untuk memilih bentuk pemerintahan perwakilan.

Dalam alinea ke empat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa, “Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu UUD Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat….”.1

Uraian alinea ke empat pembukaan UUD Tahun 1945 tersebut di atas, menekankan kepada prinsip pemerintahan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan melalui sistem pemerintahan perwakilan, sebagaiamana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 (sebelum diamandemen) disebutkan bahwa, kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR).2

Pada masa orde baru, kedaulatan rakyat yang dilaksanaan oleh MPR, ternyata belum sepenuhnya terlaksana sesuai dengan konstitusi. Hal tersebut terbukti dengan lebih

1 Lihat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ,

Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 3. 2 Ibid.

Page 13: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

2 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dominan peran eksekutif dibandingkan dengan legislatif dalam menjalankan pemerintahan.

Selama orde baru, legislatif lebih berperan sebagai lembaga yang hanya melegitimasikan berbagai bentuk kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, antara lain lahirnya berbagai produk perundang-undangan yang pada implementasinya tidak menyentuh kepentingan dan/atau kebutuhan masyarakat. Contoh. Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan Daerah yang menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggungjawab, tetapi dalam pelaksanaannya ber-bentuk sentralisasi bukan desentralisasi.

Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 (sebelum diamandemen) menyebutkan bahwa anggota MPR terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Keberadaan utusan daerah dalam MPR dimaksudkan untuk mengakomodir berbagai kepentingan dari daerah, namun pada kenyataannya tidak terlaksana. Utusan daerah yang berasal dari masing-masing daerah dari seluruh Provinsi di Indonesia pada masa itu tidak memberikan kontribusi yang nyata dalam memajukan daerah asalnya disebabkan kondisi politik kenegaraan yang masih memberikan kewenangan yang sangat luas kepada eksekutif.

Tahun 1998 merupakan titik awal perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang melahirkan era baru pemerintahan reformasi. Runtuhnya kekuasan orde baru digantikan dengan era reformasi antara lain dilator belakangi terjadinya ketidakpuasan masyarakat di daerah-daerah akibat ketidakadilan pemerintah pusat dalam penyelenggaran pemerintahan.

Pemerataan hasil-hasil pembangunan selama kurang lebih 32 (tiga puluh dua tahun) hanya dirasakan di kota-kota besar seperti Jakarta dan sebagian besar Pulau Jawa, sedangkan pada bagian Timur Indonesia dan sebagian besar Pulau Sumatera percepatan pem-bangunan berjalan lambat.

Daerah-daerah menuntut suatu keadilan dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Sejarah

Page 14: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 3

menunjukkan bahwa ketidak adilan dari penyelenggaraan pemerintahan biasanya ditandai oleh tolak ukur:3

1) Respon yang diberikan oleh Pemerintah pusat terhadap Pemerintah daerah biasanya diberikan dengan tindakan keras, dan menciptakan keter-gantungan keuangan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat.

2) Tinggi rendahnya legitimasi pemerintah pusat bagi masyarakat daerah dipersepsikan ketika masyarakat daerah menilai bahwa kredibilitas pemerintah pusat mengalami penurunan melalui simbolisasi dalam konteks penguasaan kekuasaan.

Tolok ukur tersebut di atas, terwujud dalam tiga pola hubungan yaitu:4

1. Zero sum game, penentuan derajat ketahanan daerah ditentukan oleh Pemerintah pusat.

2. Positive sum game, diterapkannya win-win solution karena pusat dan daerah berada dalam derajat yang sama dan dalam pemecahan masalah dilaksanakan dengan cara dialog.

3. Negative sum game, pola ini terbangun karena menurunnya posisi tawar menawar pusat seiring dengan menurunya kapasitas dan ligitimasi kekuasaan pusat dalam pandangan masyarakat daerah.

Era reformasi saat ini telah terjadi pergeseran kekuasaan pemerintahan, dari semula fokus pemerintahan berada pada kekuasaan eksekutif (excecutive heavy), kepada kekuasaan yang berada pada pentingnya peran legislatif (legislative heavy). Beberapa peranan yang semula merupakan kewenangan eksekutif kini menjadi kewenangan legislatif.

Salah satu perubahan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 ayat (1) UUD Tahun 1945 (sebelum Amandemen), dinyatakan bahwa “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR”. Setelah Amandemen Pertama

3 J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hlm. 14.

4 Ibid.

Page 15: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

4 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pasal 5 ayat (1) tersebut berubah bunyinya menjadi “Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada DPR”. Demikian juga halnya pada Pasal 20 ayat (1) UUD Tahun 1945 (sebelum Amandemen) dinyatakan bahwa “Tiap-tiap UU menghendaki persetujuan DPR”. Setelah Amandemen Pertama Pasal 20 ayat (1) tersebut berubah bunyinya menjadi “DPR memegang kekuasaan membentuk UU”.

Menguatnya peranan, wewenang, dan kekuasa-an legislatif ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya peranan rakyat. Karena beberapa kasus terlihat bahwa, kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif itu ternyata digunakan untuk kepentingan partainya atau golongannya.5

Aspek penting dalam proses menuju demokrasi di Indonesia adalah melalui reformasi di bidang ketatanegaraan yang telah mulai dijalankan melalui serangkaian amandemen UUD Tahun 1945, yang telah berlangsung sebanyak empat tahap, yaitu:

1. Amandemen pertama disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999;

2. Amandemen kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000;

3. Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001; dan

4. Amandemen ke empat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.

Pada dasarnya amandemen UUD Tahun 1945 bertujuan untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan kearah yang lebih demokratis.

Semangat perubahan konstitusi mengandung muatan berupa penguatan supremasi hukum, pentingnya pembatasan kekuasaan, tata laksana pengaturan hubungan kekuasaan antar cabang kekuasaan negara secara lebih tegas dan rinci, penguatan sistem checks and balances diantara lembaga kekuasaan, perlindungan dan jaminan atas hak-hak asasi manusia, penyeleng-garaan otonomi daerah melalui

5 Suhardiman dalam Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan

Perwakilan, Bandung: Alumni, 2007, hlm. 9.

Page 16: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 5

pemilihan kepala daerah secara langsung, dan pengaturan hal-hal yang mendasar diberbagai bidang kehidupan masyarakat.

Perubahan UUD Tahun 1945 telah mengembali-kan kedaulatan ke tangan rakyat, yang selama ini diselenggarakan oleh MPR. Selain itu, hal terpenting juga terjadi dalam pemeilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, dan tidak lagi melalui mekanisme lewat MPR.

Lembaga MPR juga tidak lagi menjadi lembaga tertinggi melainkan hanya merupakan salah satu diantara lembaga-lembaga negara yang sejajar. Seyogianya memang dalam negara demokrasi tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi seperti lembaga MPR di waktu yang lalu.

Salah satu perubahan penting setelah amandemen ke empat UUD Tahun 1945 adalah perubahan terhadap Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi “MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.

Menurut Bagir Manan sebagaimana yang dikutip oleh Ni’matul Huda mengatakan bahwa, perubahan pada amandemen ke empat Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 yang menghapuskan unsur utusan golongan dan mengubah utusan daerah menjadi DPD adalah lebih didorong oleh pertimbangan pragmatis dari pada konseptual. Yakni Pertama, tidak mudah menentukan golongan yang diwakili. Kedua, cara pengisiannya mudah menimbulkan kolusi politik antara golongan yang diangkat dengan yang mengangkat.6

Ada berbagai gagasan dasar dibalik pembentukan DPD, yaitu:7

1. Gagasan untuk mengubah sistem perwakilan menjadi sistem dua kamar (bicameral). Dalam hal ini DPD dan DPR digambarkan serupa dengan sistem perwakilan seperti di Amerika Serikat yang terdiri dari senat sebagai perwakilan negara bagian (DPD), dan house of representatives sebagai

6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2005, hlm. 157. 7 Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta:

FH UII Press, 2003, hlm. 53.

Page 17: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

6 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

perwakilan seluruh rakyat (DPR). Di Amerika Serikat kedua unsur perwakilan tersebut dinamakan congress.

2. Gagasan untuk meningkatkan keikutsertaan daerah terhadap jalannya politik dan pengelolaan negara. DPD merupakan badan sehari-hari yang turut serta menentukan dan mengawasi jalannya politik dan pengelolaan negara. Dengan demikian, DPD dapat dipandang sebagai koreksi atau penyempurnaan sistem utusan daerah di MPR menurut Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945 sebelum perubahan.

Wacana mengenai parlemen bikameral merupa-kan salah satu gagasan penting dibalik pembentukan DPD sebenarnya sudah mulai ada sejak tahun 1998. Semangat pembaharuan ketika itu melahirkan beberapa pemikiran tentang perombakan sistem ketatanegaraan. Dimulai dari penyatuan kedalam satu lembaga fungsi Peradilan, pelaksanaan pemilihan Presiden/wakil Presiden secara langsung, termasuk masalah parlemen bikameral.

Penelitian Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada tahun 2000, menyimpulkan bahwa pandangan-pandangan mengenai bikameral seperti yang dikemukakan oleh para pakar di bidang Hukum Tata Negara dan Ilmu Pemerintahan pada saat itu didasarkan atas tiga argumentasi, yaitu:8

A. Desakan atas kebutuhan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang tidak dipilih dan tidak efektif (utusan dalam pembenahan sistem ketatanegaraan yang berkaitan dengan supremasi MPR), dan adanya anggota-anggota yang tidak dipilih dan tidak efektif (utusan golongan dan utusan daerah).

B. Kebutuhan Indonesia untuk menerapkan sistem checks and balances terutama dalam mendorong percepatan proses demokratisasi.

C. Pada saat reformasi bergulir, muncul dua perspektif yang saling bertolak belakang untuk menangani politik di daerah. Di satu sisi, wacana negara federalisme didengung-

8 Bivitri Susanti, Bukan Sekedar Pemberi Pertimbangan Peran DPD

dalam Proses Legislasi, Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 2, No. 3, 2005, hlm. 46-64.

Page 18: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 7

dengungkan, dan disisi lain wacana tetap kukuh pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tetap diperjuangkan.

Pandangan yang antifederalisme mengakui perlunya daerah diwakili secara lebih kuat di Parlemen. Namun, menurut pandangan ini memberikan kekuasaan kepada perwakilan daerah seperti senator di Amerika Serikat justru akan membuat politik nasional dapat dikuasai oleh sentimen kedaerahan dan primordial. Dikhawatirkan parlemen menjadi forum pertarungan primordial antara pusat versus daerah, dan kepentingan daerah yang satu versus daerah lainnya. Amandemen konstitusi akhirnya menyepakati jalan tengah dengan membentuk lembaga DPD (perubahan ketiga UUD Tahun 1945).

Rasa khawatir akan pergolakan separatisme dan pergolakan daerah, maka DPD yang mewakili politik daerah tidak boleh terlalu kuat, oleh karena itu kewenangan yang besar tetap berada ditangan DPR. Faktanya bahwa sebagian besar anggota MPR yang membahas kelahiran lembaga DPD adalah anggota DPR, dimana hal itu berkontribusi terhadap penolakan sistem bikameral.

Kontroversi pembentukan DPD juga masih terjadi pada saat menjelang perubahan keempat UUD Tahun 1945. Wacana di kalangan politisi di parlemen yang menolak dianutnya bikameral dengan dibentuknya DPD dalam struktur MPR, sebagaimana dinyatakan dalam perubahan ketiga UUD Tahun 1945 menurut hasil putusan Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001. Sebanyak 207 orang anggota MPR-RI menyatakan sikap politiknya menolak masuknya DPD dalam sistem dan struktur ketatanegaraan Indonesia. Alasan para anggota MPR-RI lintas fraksi menolak keberadaan DPD saat itu adalah:9

1. Ada usaha-usaha dengan sengaja untuk merubah sistem ketatanegaraan Republik Indonesia dengan cara mengintrodusir sistem bikameral dalam bentuk DPD.

2. Bahwa usaha tersebut di atas merupakan langkah yang bertentangan dengan prinsip dasar yang diatur dalam UUD Tahun 1945 sebagai negara unitaris yang hanya mengenal monokameral.

9 Lihat MPR-RI, Pernyataan Sikap Politik 207 Anggota MPR-RI Tanggal 7

November 2001, Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2001, hlm. 11-12.

Page 19: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

8 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

3. Perombakan yang bertentangan dengan prinsip dasar demikian, secara mendasar merusak keseluruhan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan Negara. Sedangkan tugas MPR di dalam Sidang Tahunan adalah untuk menyempurnakan UUD Tahun 1945 dalam rangka memperkokoh NKRI sesuai dengan tuntutan reformasi, dan tidak untuk merombak UUD Tahun 1945 dan juga tidak untuk membentuk UUD Tahun 1945 baru.

Dilema mengenai lembaga DPD sejak semula sudah dapat diprediksi, paling tidak dari hasil amandemen atas konstitusi negara yang dinilai oleh banyak kalangan cenderung bersifat tambal sulam. Hal tersebut berangkat dari tidak konsistennya para politisi saat menata ulang sistem pemerintahan berikut sistem perwakilan Indonesia melalui Panitia Ad Hoc I MPR-RI.10

Politisi Indonesia berkeinginan membangun sistem pemerintahan yang kuat dan stabil melalui mekanisme checks and balances diantara cabang-cabang kekuasaan negara seperti Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Namun pada faktanya para politisi menyampingkan munculnya sistem perwakilan dua kamar yang memungkinkan terwujudnya obsesi tersebut.11

Secara formal konstitusional, DPD mulai terbentuk sejak disahkannya Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 dalam Rapat Paripurna MPR RI Ke 7 Sidang Tahunan MPR tanggal 9 November 2001. Namun secara faktual, kelahiran DPD adalah pada tanggal 1 Oktober 2004 ditandai dengan pelantikan dan pengambilan sumpah/ janji para anggota DPD hasil Pemilu tanggal 5 April 2004.

Sejak terbentuknya lembaga DPD hingga kini eksistensi maupun kedudukannya tetap menjadi perdebatan dalam berbagai forum. Baik dilingkungan akademisi maupun praktisi. Kritik terhadap DPD yang sampai kini belum memberikan kontribusi secara nyata kepada daerah yang diwakilinya maupun terhadap daerah secara keseluruhan menjadikan secara yuridis politis bahwa kewenangan serta fungsi yang dimiliki DPD

10 Hartati, Eksistensi dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam

Pembentukan Undang-Undang Menurut UUD 1945, Bandung: Disertasi Program Doktor dalam Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, 2008, hlm. 11.

11 Ibid., hlm. 12.

Page 20: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 9

terkesan dipasung. Oleh karena itu muncul wacana publik untuk menggagas agar lembaga ini dibubarkan saja.

DPD tidak dapat berbuat banyak dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan dari segi anggaran hanya menjadi beban negara. Karenanya, jika tidak memiliki fungsi konstitusional yang dapat dipertahankan maka sebaiknya DPD dihapuskan saja dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa, pem-bentukan DPD semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri atas DPR dan DPD, dengan harapan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.12

Perubahan susunan MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, seolah mengarah pada pembentukan sistem dua kamar (bikameral), akan tetapi, dari susunan yang menyebutkan anggota MPR terdiri dari anggota-anggota DPR dan anggota DPD, tidak tergambar konsep dua kamar, karena dalam susunan dua kamar, bukan anggota yang menjadi unsur tetapi badan yaitu DPR dan DPD.13

Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat Congress terdiri dari dua lembaga yaitu Senat dan House atau DPR. Congress ini aktif sepanjang mandat konstitusionalnya. Lembaga Congress atau Capitol Hill, mereflesikan aspek-aspek integral sebagai institusi pembuat UU dan sebagai tempat pertemuan/ berkumpulnya perwakilan daerah dan partai politik. Congress sebagai institusi pembuat UU, dimana proses rancangan UU (Bill) dibuat hingga menjadi produk hukum (Law). Congress sebagai badan kolegial melaksanakan amanat konstitusi dan memperdebatkan berbagai macam isu-isu legislatif. Lembaga Congress atau Capitol Hill merupakan arena kompetisi dua lembaga subordinasi seperti Senat dan House atau DPR. Karena berbagai permasalahan dibahas di Senat dan House dan terakhir dibawa di Floor Congress secara paripurna yang kemudian menjadi produk persetujuan Congress untuk disahkan Presiden.

12 Jimly Assiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 140. 13 Ni’matul Huda, Op.Cit., hlm. 160.

Page 21: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

10 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Ini berarti bahwa ada mata-rantai interaksi yang tak terputus antara Senat, DPR dan Kongres.14

Walaupun telah terjadi perubahan anggota dalam lembaga MPR, yaitu adanya lembaga DPD sebagai pengganti utusan-utusan dari daerah dan golongan, namun keberadaannya belum menampakkan adanya perubahan kemajuan terhadap perkembangan per-juangan aspirasi daerah dalam membuat suatu kebijakan.

DPR dan DPD sebagai pemegang kekuasaan legislatif, memiliki kewenangan yang seimbang dalam proses legislasi. Tetapi, kenyataannya tidaklah demikian. Kekuasaan DPR masih sangat dominan, tidak saja pada kebijakan legislasi negara secara umum, tetapi juga pada kebijakan lainnya, misalnya hal-hal yang bersifat usulan dalam mengkaji kebutuhan masyarakat daerah pada usaha percepatan pembangunan di daerah yang sebenarnya lebih dikuasai dan dipahami DPD, juga masih didominasi oleh DPR.

Beberapa permasalahan otonomi daerah, dan masalah hubungan antara pusat dengan daerah yang sebenarnya memerlukan peran aktif DPD dalam mencari solusinya, akan tetapi pada prakteknya justru DPR yang mempunyai kewenangan lebih dalam pengambilan keputusannya tanpa mengikutsertakan DPD.

Sesuai dengan hal tersebut di atas dapat dilihat pada Pasal 22 D (amandemen ke-tiga) UUD Tahun 1945 ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

a. DPD dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b. DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan

14 Bambang Nuroso, Memfungsikan Lembaga MPR (Opini) Suara Karya

Online, di akses Kamis, 18 Desember, 2008.

Page 22: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 11

pertimbangan kepada DPR atas RUU anggaran pendapatan dan belanja negara (RAPBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pasal tersebut menegaskan bahwa, DPD mem-punyai fungsi dan tugas tidak lebih hanya sebatas mengusulkan, ikut membahas, serta memberikan pertimbangan saja, sementara hasil akhir dari usulan dan pembahasan serta pertimbangan yang diberikan itu terletak pada DPR.

Sejalan dengan hal tersebut Laode Ida mengemukakan bahwa sangat diperlukan diberikannya kewenangan yang lebih luas kepada DPD sehingga mempunyai kedudukan yang setara dengan DPR, dengan tujuan agar fungsi check and balances DPD sebagai lembaga negara berjalan dengan baik. Dan idealnya secara normatif DPD juga memiliki hak veto untuk menyetujui atau tidak menyetujui suatu UU, terutama yang berkaitan erat dengan kepentingan masyarakat daerah. Untuk itu peran DPD sebagai penyeimbang idealnya dapat menjadi peran yang lebih ditonjolkan dalam usaha memperluas kewenangan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.15

Ginandjar Kartasasmita juga mengemukakan hal yang hampir sama, dimana harapan yang dibebankan kepada DPD tidak seimbang dengan kewenangan yang dimiliki lembaga itu, dan karenanya masalah kewenangan DPD perlu untuk dikaji ulang kembali.16

Menyikapi beberapa perdebatan mengenai kewenangan DPD dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia, Sri Soemantri menyatakan sebagai berikut:17

”DPD masih merupakan ornamen dalam UUD Tahun 1945. Hal mana terjadi karena masih banyak di antara pemimpin bangsa yang lebih mementingkan simbol-simbol daripada

15 Disampaikan oleh Laode Ida pada Forum Diskusi Panel Calon

Pimpinan DPD yang diselenggarakan oleh Indonesian Voter Initiative, Jakarta, 29 September 2005.

16 Disampaikan oleh Ginandjar Kartasasmita pada Acara Pembukaan Rapat Tim Kerja Materi Kelompok DPD di MPR, dalam rangka Penyusunan Buku Sosialisasi DPD, Jakarta, 1 Desember 2005.

17 Sri Soemantri, Mengawal Konstitusi Pengabdian Seorang Guru Besar (Biografi), ditulis oleh Purnama Kusumaningrat, dan Hikmat Kusumaningrat, Bandung: Unpad Press, 2006, hlm. 285.

Page 23: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

12 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

substansi dalam menyelesaikan akar persoalan bangsa. Adanya ambiguitas di antara pemimpin bangsa dan elit politik di Parlemen. Padahal tuntutan akan keberadaan DPD yang kuat merupakan keharusan sejarah setelah sekian lama kepentingan daerah terabaikan oleh kekuasaan yang sentralistik. Membiarkan posisi DPD lemah, cepat atau lambat dapat mengancam bingkai NKRI. Kedudukan dan eksistensi DPD seperti sekatang ini merefleksikan sikap setengah hati dalam melaksanakan reformasi dan melakukan restrukturisasi lembaga per-wakilan”.

B. Konsep Perwakilan Dalam Sistem Ketatanegaraan Arbi Sanit mengemukakan bahwa, perwakilan diartikan

sebagai hubungan antara dua pihak, yaitu wakil dengan terwakili, dimana wakil memegang kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan yang berkenaan dengan kesepakatan yang dibuatnya dengan terwakili.18

Suatu pemerintahan yang didasarkan pada sistem perwakilan (revresentative government), rakyat tidak lagi secara langsung menyelenggarakan pemerintahan, melainkan melalui wakil-wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Lembaga perwakilan rakyat inilah kemudian memerintah bukan hanya atas nama rakyat, tetapi juga untuk kepentingan rakyat yang sesuai dengan kehendak rakyat.19

Abcarian dalam Riswandha Imawan yang dikutip oleh Abdy Yuhana mengemukakan bahwa, ada empat tipe hubungan yang bisa terjadi dalam hubungan antara wakil dengan yang diwakili, yaitu:

i. Wakil sebagai wakil; dalam tipe ini, wakil bertindak bebas menurut pertimbangannya sendiri tanpa perlu berkonsultasi dengan pihak yang diwakilinya.

18 Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres,

1985, hlm. 1. 19 Bagir Manan dan Kuntana Magnar dalam Abdy Yuhana, Sistem

Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Bandung: Fokus Media, 2007, hlm. 30.

Page 24: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 13

ii. Wakil sebagai utusan; dalam tipe ini, wakil bertindak sebagai utusan dari pihak yang diwakili, sesuai dengan mandat yang diberikannya.

iii. Wakil sebagai politico; dalam tipe ini, wakil kadang-kadang bertindak sebagai wali, dan adakalanya bertindak sebagai utusan. Tindakan wakil akan mengikuti keperluan atau masalah yang dihadapi.

iv. Wakli sebagai partisan; dalam tipe ini, wakil bertindak sesuai dengan program partai atau organisasinya. Wakil akan lepas hubungannya dengan pemilih (pihak yang diwakili) begitu proses pemilihan selesai, wakil hanya terikat dengan partai atau oraganisasi yang mencalonkannya.20

Gagasan mengenai pemikiran pemisahan atas kekuasaan dalam negara pertama sekali dicetuskan oleh Montesquieu melalui Trias Politica yang terdiri dari kekuasaan Pemerintah (eksekutif), kekuasaan Parlemen (legislatif), dan kekuasaan Peradilan (Judikatif). Salah satu kekuasaan yang terdapat dalam Trias Politica Montesquieu yaitu kekuasaan Parlemen (legislatif) menjadi titik awal pelembagaan kedaulatan rakyat untuk ikut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam negara modern saat ini.

Ide mengenai kekusaan negara berada pada kedaulatan rakyat dan pelaksanaannya diselenggarakan oleh Pemerintah pertama kali dikemukakan oleh Epicurus dan dikembangkan oleh Marsilius yang menyatakan bahwa proses terciptanya Pemerintah sebagai pelaksana kedaulatan rakyat bermula ketika terjadi penyerahan tugas (pactum Subjectiones) dalam bentuk penyerahan satu pekerjaan melalui cara konsesi (concession).21

Kekuasaan negara yang tertinggi berada pada rakyat, hal ini dikarenakan negara merupakan satu kesatuan yang terdiri dari orang-orang yang bebas, dan merdeka. Oleh karena itu diperlukan perimbangan antara kekuasaan rakyat dengan kekuasaan raja pada saat itu.22

Untuk menjalankan kepentingan rakyat yang luas dan banyak sudah tentu memerlukan suatu pengaturan yang lebih

20 Abdy Yuhana, Op.Cit., hlm. 56. 21 Paimin Napitupulu, Op.Cit., hlm. 5. 22 Ibid., hlm. 6.

Page 25: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

14 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

baik agar kepentingan-kepentingan dari masing-masing anggota masyarakat dalam suatu negara tidak saling berbenturan, oleh karena itu diperlukanlah suatu lembaga yang kelak akan menjadi representasi dari keterwakilan setiap masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Proses dan tatacara keterwakilan rakyat dalam negara modern saat ini dilakukan melalui wadah pemilihan umum (selanjutnya disebut Pemilu). Dengan melalui wadah pemilu memberikan suatu kesempatan yang sama bagi setiap anggota masyarakat dalam suatu negara untuk menjadi wakil rakyat yang akan duduk dalam pemerintahan. Hal ini bertujuan untuk menciptakan suatu kekuatan dari keberagaman masyarakat (pluralitas) yang terdapat dalam suatu negara.

Fokus kajian mengenai perwakilan rakyat menitikberatkan adanya suatu lembaga yang berdiri sendiri dalam menghimpun para wakil rakyat untuk mewakili segala kepentingannya dalam pengelolaan penguasaan negara. Oleh karena itu Pitkin A. Sorokin sebagaimana pernah dikemukan kembali oleh Arbi Sanit menyatakan bahwa perwakilan dimaknai sebagai suatu proses hubungan manusia antar manusia dimana kehadiran secara fisik seseorang tidak tampak secara nyata, tetapi tanggap untuk melakukan sesuatu dikarenakan perbuatannya tersebut telah dikerjakan oleh orang lain yang mewakilnya.23

Berdasarkan teori Perwakilan Rakyat yang dikemukakan oleh Pitkin A. Sorokin menjelaskan bahwa, Perwakilan kepentingan dari rakyat terdiri atas perwakilan kepentingan, perwakilan opini, dan perwakilan kelompok, sehingga terdapat suatu pola hubungan yang bersifat terus-menerus antara wakil dan yang di wakili, dan kemudian menciptakan suatu bangunan hubungan yang kokoh diantara keduanya.24

23 Arbi Sanit, Op.Cit., hlm. 2.

24 Pitkin A. Sorokin, dalam Arbi Sanit, Partai, Pemilu, dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 76.

Page 26: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 15

BAB II

DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

A. Sejarah Lembaga Perwakilan Daerah Lembaga perwakilan yang sekarang ini dikenal dalam

sistem ketatanegaraan di seluruh dunia, termasuk di Negara Indonesia, berkaitan erat dengan teori Trias Politica. Dan untuk pertama kali dikemukakan oleh John Locke. John Locke berpendapat bahwa dalam suatu negara kekuasaan harus dipisahkan pada tiga cabang kekuasaan yaitu:25

1. Kekuasaan legislatif, yang mempunyai fungsi untuk membentuk segala peraturan perundang-undangan, sekaligus untuk melaksanakan pengawasan/kontrol dari pelaksanaan peraturan perundang-undangan.

2. Kekuasaan eksekutif, yang mempunyai fungsi untuk melaksanakan segala peraturan perundang-undangan yang ada dan telah dibuat oleh legislatif serta memiliki fungsi yudikatif.

3. Kekuasaan federatif, yang mempunyai fungsi untuk menjalankan kekuasaan dalam hubungan luar negeri.

Kemudian ajaran Trias Politica tersebut, di dalam perjalanannya mengalami perubahan dan pemantapan sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu. Montesquieu menyatakan bahwa konsep Trias Politica harus mengadakan pemisahan secara ketat dan tegas diantara cabang kekuasaan yaitu; kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Montesquieu mengatakan bahwa terhadap kekuasaan federatif tidak diperlukan pemisahan sebagaimana yang dikemukakan oleh John Locke, karena kekuasaan federatif tersebut telah inklud kedalam bagian kekuasaan eksekutif.

25 Megawati dan Ali Murtopo, Parlemen Bikameral Dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia, Sebuah Evaluasi, Yogyakarta: UAD Press, 2006, hlm. 7.

Page 27: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

16 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Adanya teori Trias Politica sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu menjadi awal ide tentang konsep pemisahan kekuasaan lembaga-lembaga negara diseluruh belahan dunia. Dan diantara lembaga negara menurut paham Trias Politica senantiasa saling mengawasi dan melakukan kontrol sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh suatu lembaga negara dapat dihindarkan.

Lembaga legislatif menurut pengertian Trias Politica, dalam pelaksanaannya mengharuskan adanya sebuah mekanisme lembaga perwakilan untuk menjalankan fungsinya dalam pemerintahan. Melakukan pembahasan tentang lembaga perwakilan berkaitan erat dengan demokrasi, karena adanya lembaga perwakilan merupakan unsur terpenting dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi.

Konsep demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan pada awalnya berasal dari para ahli filsuf Yunani. Akan tetapi pemakaian konsep demokrasi pada jaman modern dimulai sejak terjadinya pergolakan revolusioner dalam masyarakat Barat pada akhir abad ke delapan belas.26

Demokrasi sebagai suatu sistem dapat dipahami dari dua dimensi yaitu: dimensi normatif dan dimensi empirik. Demokrasi dalam dimensi normatif adalah menjelaskan hal-hal yang idiil menyangkut kedaulatan sesungguhnya berada ditangan rakyat. Kedaulatan rakyat diwujudkan melalui Pemilu yang bebas dan persaingan yang sehat antar partai politik, dan antar calon legislatif, dimana dalam praktek kedaulatan rakyat memberikan peluang yang sama bagi seluruh warga negara untuk menduduki dan mendapatkan jabatan politik. Kedaulatan rakyat juga memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya kepada rakyat untuk berbicara, memberikan penilaian atas apa yang telah dan hendak dilakukan Pemerintah, serta memberikan hak kepada seluruh rakyat untuk dapat menikmati hak-hak dasar mereka sebagai manusia dan sebagai warga negara. Sedangkan demokrasi dalam dimensi empirik adalah menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi dalam kehidupan politik kenegaraan,

26 Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1995, hlm. 4.

Page 28: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 17

bagaimana bentuk idiil normatif dapat diwujudkan dalam kehidupan politik dari suatu negara.27

Pada saat ini, perwujudan tipe-tipe atau sistem demokrasi yang dianut oleh banyak negara di dunia mendapat pengaruh dari ideologi-ideologi yang berkembang dalam masyarakat, atau paling tidak terjadi eleborasi diri terhadap situasi dan kondisi tempat ideologi itu hidup dan berkembang dan kemudian berubah menjadi ideologi negara (political ideology).28

Paham demokrasi dalam sistem politik merupakan konsekuensi logis dari adanya pengakuan konstitusi atas hak-hak dasar rakyat dalam kehidupan kenegaraan. Adanya demokratisasi dalam sistem ketatanegaraan ditandai dengan adanya jaminan bahwa rakyat ikut serta dalam segala aktivitas politik kenegaraan. Sebagaimana pernah dinyatakan oleh Lyman Tower Sarjen bahwa setiap sistem demokrasi harus melibatkan rakyatnya dalam proses pengambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil pilihan mereka di lembaga perwakilan.29

Pentingnya perwakilan dalam melaksanakan hak-hak terwakili dalam setiap proses pengambilan keputusan politik tergambar dalam arti perwakilan sebegai berikut; perwakilan adalah konsep duduknya seseorang atau suatu sekelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk berbicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.30

Dalam khasanah Ilmu politik ada dua sistem perwakilan yang berbeda, yaitu sistem perwakilan kepentingan, dan sistem perwakilan rakyat. Ramlan Surbakti menerangkan tentang kedua sistem perwakilan tersebut, yaitu:31

Sistem perwakilan kepentingan didasarkan atas kemajemukan kepentingan yang bersifat deskriptif baik secara vertikal maupun horizontal, dan merujuk kepada:

27 Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. viii. 28 Megawati, dan Ali Murtopo, Op.Cit., hlm. 8. 29 Lyman Tower Sarjen dalam Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem

Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2000, hlm. 1. 30 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia,

1997, hlm. 175. 31 Ramlan Surbakti dalam Megawati, dan Ali Murtopo, Op.Cit., hlm. 9.

Page 29: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

18 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

1. Pengorganisasian berbagai macam kepentingan dalam masyarakat yang bersifat deskriptif misalnya melalui kepentingan buruh, nelayan, petani, kelompok profesi, dunia usaha, kedaerahan, gender, dan agama.

2. Pola hubungan kepentingan dengan Pemerintah dan lembaga legislatif, dimana keberadaan sistem perwakilan rakyat berdasarkan kepada kedaulatan rakyat.

Sistem perwakilan rakyat didasarkan atas kepentingan seluruh rakyat baik secara deskriptif maupun geografik, dan merujuk kepada:

1. Representasi geografik, representasi penduduk, dan representasi deskriptif melalui gagasan pemikiran-pemikiran ataupun dengan hadirnya lembaga perwakilan.

2. Adanya kewenangan legislasi, anggaran, dan pengawasan.

3. Hubungan anggota lembaga perwakilan dengan konstituen pada khusunya, dan masyarakat pada umumnya.

Suatu perwakilan dalam mekanisme perwujudannya secara ilmu ketatanegaraan dapat diwujudkan melalui dua cara yaitu: perwakilan dengan cara langsung (direct democracy), dan perwakilan tidak langsung (indirect democracy), dengan masing-masing bentuk perwakilan tersebut mempunyai kekurangan maupun kelebihan.

Indonesia sebagai suatu negara yang mempunyai letak geografis beragam serta luas wilayah yang besar, dengan jumlah penduduk yang relatif banyak dan karakteristik masyarakat bersifat heterogen, menjadikan perwujudan perwakilan dilaksanakan melalui perwakilan tidak langsung (indirect democracy). Konsekuensi logis dari perwakilan tidak langsung (indirect democracy) adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat diwujudkan melalui mekanisme lembaga perwakilan.

Lembaga perwakilan atau lebih dikenal dengan parlemen, pada dasarnya mempunyai dua sistem yaitu; sistem satu kamar (one cameral system), adalah lembaga perwakilan yang menganut satu lembaga perwakilan. Contoh Indonesia dengan DPR nya. Kedua adalah istem dua kamar (bicameral system), adalah lembaga perwakilan yang menganut dua lembaga perwakilan. Contoh negara federasi seperti Amerika Serikat. Dalam negara federasi, negara bagian terwakili dalam parlemen dengan adanya senat. Sementara satu kamar yang lainnya yang sering disebut

Page 30: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 19

dengan house of representative, merupakan perwakilan rakyat secara keseluruhan, dan apabila kedua kamar tersebut bertemu maka disebut congres.32

B. Lembaga Perwakilan Daerah di Indonesia 1. Konstitusi RIS Tahun 1949

Secara historis perjalanan lembaga DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak terlepas dari masa pendudukan Hindia Belanda. Pada masa Hindia Belanda, Indonesia telah memiliki lembaga perwakilan yang bernama Dewan Rakyat (volksraad), yang mulai berlaku pada tahun 1918 dan berakhir pada masa penyerahan Indonesia pada pemerintahan Jepang tahun 1942. Lembaga Perwakilan ini pembentukannya diawali dengan pembentukan Dewan Kabupaten dan Haminte Kota, dimana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih wali pemilih yang disebut Keesman. Wali pemilih mempunyai hak untuk memilih sebagian Dewan Kabupaten dan Haminte Kota. Sedangkan sebagian lagi diangkat oleh Gubernur atas usulan Bupati. Dewan seperti ini juga dibentuk pada tingkat Provinsi dengan sebutan Propincial Erat, Regent Sraad, atau Geement Sraad, dimana keanggotannya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte diwilayah Provinsi yang bersangkutan.33

Pada dasarnya lembaga perwakilan (volksraad) bukan termasuk lembaga perwakilan rakyat, namun demikian dapat dikatakan bahwa volksraad merupakan cikal bakal dari lembaga perwakilan rakyat di negara Indonesia seperti dikenal saat ini.

Pertama kali volksraad dilantik pada tanggal 18 Mei tahun 1918 yang pada mulanya hanya sebagai badan penasihat tetapi mempunyai kewenangan untuk turut campur dalam masalah anggaran belanja. Volksraad mempunyai beberapa hak antara lain: hak petisi dan amandemen. Pada masa itu para Gubernur Jenderal serta direktur-direktur departemen tidak bertanggung jawab kepada Volksraad, dan Volksraad bubar bersamaan

32 Dahlan Thaib, Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional

Perubahan Ketiga UUD 1945, (Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FH), Yogyakarta: UII, 2002, hlm. 9.

33 Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1997, hlm. 145.

Page 31: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

20 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dengan penyerahan kekuasaan pemerintahan Hindia Belanda kepada Jepang.34

Pada masa pemerintahan Jepang tradisi sistem pemerintahan mengenai lembaga perwakilan tetap dilanjutkan dengan nama Chuoos Sangiin pada sekitar tahun 1942-1945. Chuoos Sangiin beranggotakan dari para kalangan terkemuka di Indonesia dan sebagian dari kalangan militer Jepang, dengan tugas utama sebagai Dewan Penasihat Pemerintah Militer Jepang. Pada prakteknya dewan ini juga tidak mempunyai kekuatan untuk mengimbangi kekuasaan militer Jepang di Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, maka berdasarkan sejarah ketatanegaraan di Indonesia pernah berlaku sistem ketatanegaraan menurut konstitusi RIS Tahun 1949, sistem ketatanegaraan menurut UUDS Tahun 1950, sistem ketatanegaraan menurut UUD Tahun 1945 sebelum perubahan/amandemen, serta sistem ketatanegaraan menurut UUD Tahun 1945 setelah perubahan/ amandemen pertama sampai keempat.

Pada sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD Tahun 1945 setelah perubahan/amandemen, dimana lembaga DPD terwujud melalui perubahan ketiga UUD Tahun 1945. Namun juga diuraikan sekilas mengenai sejarah lembaga perwakilan daerah menurut konstitusi RIS Tahun 1949, dan menurut UUD Tahun 1945 sebelum dilakukan perubahan, untuk mengetahui sejarah lembaga perwakilan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Istilah atau terminologi sistem ketatanegaraan terdiri dari kata sistem dan ketatanegaraan. Sistem adalah keseluruhan yang terintegrasi dan sifat-sifatnya tidak dapat direduksi menjadi sifat-sifat yang lebih kecil. Pendekatan terhadap sistem tidak memusatkan pada balok-balok bangunan dasar atau zat-zat dasar, melainkan pada prinsip-prinsip organisasi dasar.35

Apabila pengertian sistem dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan, maka sistem ketatanegaraan diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkenaan

34 Megawati, dan Ali Murtopo, Op.Cit., hlm. 45. 35 Rusadi Kantaprawira, dalam Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan

Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Paerwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR-RI, Bandung: Fokus Media, 2007, hlm. 67.

Page 32: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 21

dengan organisasi negara, baik yang menyangkut tentang susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, maupun yang berkaitan dengan tugas dan wewenangnya masing-masing maupun satu dengan lainnya.36 Sedangkan sistem ketatanegaraan menurut UUD Tahun 1945 adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan susunan organisasi Negara Republik Indonesia, baik yang berhubungan dengan susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara, tugas dan wewenang, ataupun hubungannya satu sama lain menurut kepribadian khas Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945.

Hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) tanggal 23 Agustus sampai dengan 2 November tahun 1949 di Den Haag Belanda, Republik Indonesia dan perwakilan negara-negara bentukan Belanda membawa implikasi yang besar pada perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan berdasarkan hasil KMB tersebut adalah berubahnya bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Republik Indonesia Serikat dan UUD yang diberlakukan adalah konstitusi RIS Tahun 1949.

Pasal 1 ayat (1) konstitusi RIS Tahun 1949 menyatakan bahwa RIS yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.37 Dan sesuai dengan Pasal 1 ayat (2), maka kedaulatan RIS dilaksanakan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR dan Senat yang merupakan parlemen RIS.

Dalam Negara Federal yang secara resmi bernama Republik Indonesia Serikat tersebut, maka wilayah Negara dibagi dalam tiga bentuk daerah yaitu: Pertama, Negara-negara Bagian RI Yogyakarta, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, dan Negara Sumatera Selatan. Dua, Satuan kenegaraan yang tegak sendiri yaitu Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara, dan Kalimantan Timur. Tiga, Daerah-daerah lain yang bukan termasuk daerah bagian.38

DPR RIS mewakili seluruh rakyat Indonesia dan terdiri dari 150 anggota yaitu; 50 orang dari daerah bagian Republik

36 Ibid. 37 Lihat Konstitusi RIS Tahun 1949. 38 Lihat Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru,

Yogyakarta: FH. UII Press, 2004, hlm. 10.

Page 33: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

22 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Indonesia Yogyakarta, serta 100 orang dari daerah-daerah lainnya.39 Keanggotaan DPR tidak dibenarkan dirangkap dengan keanggotaan senat, ataupun dengan jabatan-jabatan federal lainnya seperti jabatan Jaksa Agung, Menteri, dan Kepala departemen Daerah Bagian. Ketentuan seperti ini juga diberlakukan terhadap anggota Senat, artinya anggota Senat juga tidak dibenarkan merangkap jabatan anggota DPR, dan jabatan-jabatan federal lainnya.

Tanggal 15 Pebruari Tahun 1950 DPR dan Senat mengadakan rapat gabungan. Dalam rapat gabungan tersebut Presiden RIS Ir. Soekarno menyampaikan amanatnya dengan menguraikan kedudukan Pemerintah dan parlemen RIS. Selanjutnya Presiden melantik parlemen RIS (DPR dan Senat), dengan komposisi jumlah anggota DPR sebanyak 146 orang dan anggota Senat sebanyak 32 orang. 146 anggota DPR yaitu terdiri dari wakil-wakil dari 16 Negara/daerah bagian adalah 49 orang dari Republik Indonesia, 17 orang dari Negara Indonesia Timur, 15 orang dari Negara Jawa Timur, 5 orang dari Negara Madura, 21 orang dari Negara Pasundan, 4 orang dari Negara Sumatera Timur, 4 orang dari Negara Sumatera Selatan, 12 orang dari Negara Jawa Tengah, 2 orang dari Daerah Bangka, 2 orang dari Daerah Belitung, 2 orang dari Daerah Riau, 4 orang dari Daerah Kalimantan Barat, 2 orang dari Daerah Dayak Besar, 3 orang dari Daerah Banjar, 2 orang dari Daerah Kalimantan Tenggara, 2 orang dari Daerah Kalimantan Timur. Sedangkan golongan-golongan kecil untuk Tionghoa mempunyai wakil 9 orang, Eropa mempunyai wakil 6 orang, dan Arab mempunyai wakil 3 orang40. Sedangkan keanggotaan Senat yang terdiri dari 32 orang tersebut, meliputi utusan dari 16 Negara bagian/daerah bagian dimana masing-masing Negara bagian/daerh bagian memiliki 2 orang wakil.41

Anggota Senat sesuai dengan Pasal 81 ayat (1) konstitusi RIS, tidak dipilih melalui pemilihan langsung oleh rakyat dalam Pemilu, tetapi ditunjuk oleh Pemerintah daerah-daerah bagian dari daftar yang disampaikan oleh masing-masing perwakilan rakyat dan memuat tiga calon untuk setiap kursi anggota. Dan apabila dibutuhkan calon lebih dari satu, maka Pemerintah daerah-daerah bagian bersangkutan memiliki kewenangan

39 Megawati, dan Ali Murtopo, Op.Cit., hlm. 47. 40 Ibid., hlm. 48. 41 Ibid.

Page 34: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 23

untuk secara bebas memilih dari daftar-daftar yang telah disampaikan oleh perwakilan rakyat sebelumnya. Dalam hal pemilihan anggota Senat pada masa konstitusi RIS peranan dari Pemerintah daerah-daerah bagian sangat besar.

Tugas dan kewenangan Senat tidak bersifat eksklusif dalam artian bekerja sendiri, melainkan selalu dalam kerangka hubungan kerjasama dengan DPR maupun Pemerintah. Misalnya berdasarkan Pasal 127 A dan 127 B konstitusi RIS Tahun 1949, bahwa dalam hal pembuatan suatu undang-undang, bersama dengan DPR dan Pemerintah, maka Senat hanya turut terlibat dalam mengajukan usulan rancangan dalam pembuatan RUU yang berkaitan dengan masalah daerah bagian, ataupun menyangkut hubungan RIS dengan daerah bagian, sedangkan hal-hal di luar itu merupakan kewenangan DPR dan Pemerintah.

Pada masa konstitusi RIS DPR mempunyai fungsi sebagai berikut:42

a. Membentuk UU bersama Pemerintah dan Senat yang berhubungan dengan negara/ daerah bagian.

b. Membentuk UU bersama Pemerintah yang tidak berhubungan dengan negara/daerah bagian.

Senat mempunyai fungsi:

a. Membentuk UU bersama DPR dan Pemerintah sepanjang berkaitan dengan negara/daerah bagian.

b. Sebagai badan penasihat Pemerintah.

DPR pada masa konstitusi RIS Tahun 1949 mempunyai hak bertanya, amandemen, interpelasi, dan angket.

2. UUD Tahun 1945 Sebelum Amandemen Mengakhiri gejolak politik kenegaraan pada awal-awal

kemerdekaan Indonesia, maka Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli tahun 1959. Sistem ketatanegaraan Indonesia kembali kepada UUD Tahun 1945 yang diundangkan dalam Lembaran Negara No. 75 tahun 1959.

42 Ibid.

Page 35: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

24 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Apabila dibaca Dekrit Presiden tanggal 5 Juli Tahun 1959, maka didalamnya terdapat keputusan tentang:

a. Pembubaran konstituante Indonesia.

b. Tidak berlakunya UUDS Tahun 1950.

c. Kembali diberlakukannya UUD Tahun 1945.

d. Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu sesingkat-singkatnya.

Konsekuensi yang ditimbulkan dengan diberlakukannya UUD Tahun 1945, adalah adanya lembaga MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Terlebih dahulu telah terbentuk DPR, BPK, MA, dan Presiden. Oleh karena itu perlu segera dibentuk MPRS dan DPAS.

Selanjutnya berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 2 Tahun 1959 dibentuklah Lembaga MPRS, dan berdasarkan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 3 Tahun 1959 dibentuklah lembaga DPAS. Keanggotaannya ditentukan sebagai-mana ditentukan dalam UUD Tahun 1945 terdiri atas: anggota-anggota DPR, Utusan Golongan, dan utusan-utusan Daerah.43

Seperti diketahui, sejak tanggal 18 Agustus tahun 1945 telah diberlakukan UUD Tahun 1945 yang telah ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam kenyataannya, ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya tidak secara keseluruhan dilaksanakan. Hal ini dibuktikan antara lain dengan sistem pemerintahan yang kemudian dianut dan dijalankan. Dengan kenyataan pemerintahan tidak terlaksana sesuai dengan UUD Tahun 1945, maka beberapa lembaga negara yang telah diatur dalam beberapa pasal di dalam UUD Tahun 1945 juga belum dapat dibentuk termasuk MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (vertretungsorgan des Willens der Staatsvolkes).

Keuntungan yang besar, bahwa para pendiri dan pembentuk negara (founding father) jauh sebelumnya telah merancang satu UUD yang tersingkat, bahkan termasuk tersingkat di dunia. Salah satu jalan keluar yang berhasil dirumuskan oleh para anggota PPKI adalah ditetapkannya Pasal

43 Sri Soemantri, Ketetapan MPRS Sebagai Salah Satu Sumber Hukum

Tata Negara, Bandung: Remadja Karya, 1985, hlm. 15.

Page 36: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 25

IV Aturan Peralihan UUD Tahun 1945 yang menyatakan Sebelum MPR, DPR, DPA, dibentuk menurut UUD ini, maka segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan44 Komite Nasional.45

Setelah kondisi pemerintahan Negara Indonesia sempat kembali stabil dari gejolak politik dan berhasil melakukan konsolidasi kepemimpinan nasional, maka dibentuklah lembaga-lembaga negara. Dan sesuai dengan susunan organisasi negara sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, yaitu terdiri dari MPR, Presiden, DPA, DPR, BPK, dan MA. Pasal 1 ayat (2) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dengan perkataan lain, kekuasaan negara yang tertinggi diselenggarakan oleh MPR.46

Lembaga perwakilan daerah pada masa UUD Tahun 1945 sebelum amandeman diwujudkan dalam bentuk utusan-utusan dari daerah-daerah, dan golongan-golongan atas keanggotaan MPR, yang mana sebagian lainnya juga terdiri dari anggota-anggota DPR.47 Pengertiannya adalah agar seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam majelis, sehingga MPR akan benar-benar dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.

Berdasarkan Pasal 3 UUD Tahun 1945, maka MPR mempunyai kewenangan untuk menetapakan UUD, dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). MPR juga mempunyai kekuasaan untuk mengubah UUD berdasarkan Pasal 37 UUD Tahun 1945. Di samping itu sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) UUD Tahun 1945 MPR juga mempunyai kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Presiden/Wakil Presiden dengan suara terbanyak.

44 Perkataan “bantuan“ dalam Pasal IV Aturan Peralihan UUD Tahun

1945 tersebut tidak mengandung pengertian bahwa kedudukan Komite Nasional sederajat dengan Presiden. Menurut Sri Soemantri, Presiden mempunyai kedudukan yang lebih dominan dalam menjalankan pemerintahan Negara dari pada Komite Nasional.

45 Abdy Yuhana, Op.Cit., hlm. 75. 46 Lihat Melalui Ketetapan MPR Nomor III/MPR1978, mengenai

Kedudukan dan Hubungan Lembaga Tertinggi dan Tinggi Negara, maka MPR diklasifikasikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

47 Abdy Yuhana, Op.Cit., hlm. 73.

Page 37: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

26 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Sejarah perjalanan lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bergantung pada pemberlakuan UUD Tahun 1945. Lembaga perwakilan (MPR) hanya ada terdapat di dalam UUD Tahun 1945, oleh karena itu selanjutnya dalam pembahasan ini akan diuraikan periodesasi pemberlakuan UUD Tahun 1945 sebelum amandemen ke dalam dua masa periode yaitu: periode tahun 1959 sampai 1966, dan periode tahun 1966 sampai tahun 1999.

a. Periode 5 Juli 1959 – 11 Maret 1966 Berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli Tahun 1959

dan diundangkan di dalam Lembaran Negara Nomor 75 Tahun 1959, maka terjadi perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu setelah berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950 sejak tanggal 17 Agustus Tahun 1950, dinyatakan tidak berlaku lagi dan kembali kepada UUD Tahun 1945.

Dekrit Presiden tanggal 5 Juli Tahun 1959 memuat keputusan sebagai berikut:

1) Pembubaran Konstituante Indonesia.

2) Tidak berlakunya UUDS Tahun 1950.

3) Berlakunya kembali UUD Tahun 1945.

4) Dibentuknya dengan segera Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan waktu sesingkat-singkatnya.

Pada periode ini keanggotaan MPRS masih bersifat sementara dimana anggotanya adalah hasil pengangkatan dan penunjukan Presiden, dan bukan hasil Pemilu. Keanggotaannya ditentukan sebagaimana terdapat dalam ketentuan UUD Tahun 1945, yaitu atas Utusan-utusan Golongan, dan Utusan-utusan Daerah.

Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 12 tahun 1959 susunan keanggotaan Majelis terdiri dari 609 orang, dengan komposisi sebagai berikut:48

1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR GR) sebanyak 283 orang;

48 Ibid., hlm. 79.

Page 38: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 27

2) Utusan Daerah sebanyak 94 orang; dan

3) Wakil dari Golongan Karya sebanyak 232 orang.

Pada periode ini Majelis telah bersidang sebanyak 3 kali yaitu:

1. Sidang Umum ke I 19 November-3 Desember 1960 di Bandung.

2. Sidang Umum ke II 15-22 Mei 1963 di Bandung.

3. Sidang Umum ke III 11-16 April 1965 di Bandung.

Masa demokrasi terpimpin MPRS adalah bersifat melembaga, akan tetapi tidak terlepas dari pengaruh Presiden karena pimpinan ini diberikan predikat Menteri yang berarti pembantu Presiden, dan Ketuanya berpredikat Wakil Perdana Menteri.49

Oleh karena itu pada masa ini utusan daerah sebagai representasi dari wakil masyarakat daerah yang terdapat di MPRS pada kenyataannya juga tidak dapat berbuat banyak untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah pada Pemerintah. Sehingga praktis apa yang menjadi kebutuhan/keinginan masyarakat daerah kurang menjadi perhatian Pemerintah.

Berdasarkan Ketetapan MPRS No. VIII/MPRS/ 1965, pengambilan keputusan pada setiap sidang Umum Majelis dilaksanakan berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat, dengan tetap memungkinkan campur tangan Presiden bersama pimpinan MPRS apabila tidak ditemukan musyawarah dan mufakat.

Sidang Umum adalah Sidang yang dilakukan oleh MPR dalam lima Tahun sekali dalam memilih/ mengangkat Presiden/Wakil Presiden. Sedangkan Sidang Istimewa adalah:

1. Sidang yang diselenggarakan Majelis selain Sidang Umum dan Sidang Tahunan.

2. Sidang yang diselenggarakan Majelis atas permintaan DPR untuk meminta dan melakukan penilaian

49 Ibid.

Page 39: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

28 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

pertanggungjawaban Presiden atas pelaksanaan putusan Majelis.

3. Sidang yang diselenggarakan Majelis untuk mengisi lowongan jabatan Presiden dan atau Wakil Presiden apabila berhalangan tetap.

Dalam Ketetapan MPRS tersebut di atas, antara lain disebutkan bahwa apabila setelah diusahakan tetapi musyawarah untuk mencapai mufakat tidak juga tercapai, maka masalahnya diserahkan kepada pimpinan MPRS untuk dicari penyelesaiannya dan dimungkinkan campur tangan dari Presiden. Dengan demikian tidak dimungkinkan untuk mengambil keputusan melalui persetujuan suara terbanyak.50

b. Periode 11 Maret 1966 – 1999 1). MPRS tahun 1966-1971

Politik ketatanegaraan Indonesia pada periode 1966-1999 terdiri atas masa pemerintahan Orde Lama yaitu sejak dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret tahun 1966 oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno, dan masa pemerintahan Orde Baru setelah pelaksanaan Pemilu pertama tahun 1971-1998 dibawah kepemimpinan Presiden Republik Indonesia Soeharto.

Akibat pergolakan politik pada tahun 1965 dan berakhir dengan diturunkannya Presiden Indonesia Ir. Soekarno melalui Sidang Istimewa, secara langsung memberikan dampak serta pengaruh pada konstelasi susunan dan kedudukan MPRS dengan dilakukannya perombakan terhadap keanggotaan MPRS. Hampir seluruh anggota MPRS yang terlibat keanggotaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan dianggap pendukung Presiden Ir. Soekarno “dibersihkan” dari MPRS. Terhadap MPRS, sebagai akibat adanya Gerakan 30 September/ PKI Tahun 1965, dan untuk memulihkan kondusifitas situasi politik tanah air, maka diadakan penyegaran terhadap MPRS dan lembaga-lembaga

50 Ibid.

Page 40: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 29

negara lainnya berdasarkan Resolusi Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong No. 12/DPR-GR/III/1967-1968.51

Berdasarkan Keputusan Presiden No. 92/1968 dengan mengingat Ketetapan MPRS No. IX/1966 dan Ketetapan MPRS No. XXXIII/1967, UU No. 10 Tahun 1966 Tentang Susunan dan Kedudukan MPRS dan DPR-GR, serta Keputusan Presiden No. 95/1968, maka diadakan penambahan dan pengangkatan anggota-anggota MPRS baru sehingga jumlah seluruhnya menjadi dua kali lipat dari jumlah anggota DPR-GR yaitu sebanyak 828 orang dengan komposisi berasal dari anggota DPR-GR, wakil-wakil dari Daerah, dan wakil-wakil Golongan Karya.

Jumlah anggota MPRS yang berasal dari Wakil-wakil Daerah mengalami Kenaikan dibandingkan anggota MPRS masa sebelumnya. Golongan Politik, Golongan Karya masing-masing mendapatkan jatah 330 orang dan 110 orang. Hal ini berdasarkan Pasal 3 UU No.10 Tahun 1966 Tentang Susunan dan Kedudukan MPRS dan DPR-GR yang menyatakan: Penambahan Utusan dari Daerah-daerah yang belum memiliki cukup wakil dalam MPRS atas dasar perhitungan 5 orang wakil untuk daerah berpenduduk di atas 3 juta jiwa, 4 orang wakil untuk daerah berpenduduk 1-3 juta jiwa, dan 3 orang wakil untuk daerah berpenduduk kurang dari 1 juta jiwa. Sesuai ketentuan yang berlaku, maka para anggota MPRS tambahan tersebut dipilih oleh DPRD setempat sehingga pada prakteknya didominasi oleh para pejabat daerah.52

Sebagai suatu Majelis transisi yaitu perubahan dari Demokrasi Terpimpin ke Demokrasi Pancasila, atau lazim disebut dari Orde Lama ke Orde Baru, yang mana banyak anggotanya mengalami pemecatan karena dianggap terlibat dalam Gerakan 30 September/PKI, maka pada periode ini dari segi fungsi MPRS pada awal kepemimpinan Orde Baru (tahun 1967-1969) tidak dapat berbuat banyak untuk kepentingan rakyat dan hanya mencerminkan ambisi mendelegitimasi rezim sebelumnya dan membangun tata politik yang lebih liat untuk bekerjanya Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto bersama dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat

51 Mohamad Tolcah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm. 195.

52 Abdy Yuhana, Op.Cit., hlm. 80.

Page 41: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

30 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

(TNI AD), dan dibantu dengan sejumlah teknokrat sipil dengan tujuan utama meminimalisasi politik demi untuk maksimalisasi ekonomi, dengan menyampingkan kedaulatan serta kepentingan rakyat.53

MPRS (tahun 1967-1969) bersidang sebanyak 3 kali yaitu Sidang Umum 2 kali, dan Sidang Istimewa 1 kali dengan perincian sebagai berikut:

a) Sidang Umum ke IV, 20 Juni-5 Juli 1966 di Jakarta.

b) Sidang Umum ke V, 21-27 Maret 1967 di Jakarta.

c) Sidang Istimewa, 7-27 Maret 1968.

Pimpinan MPRS pada masa ini yang telah dipilih dalam Sidang Umum ke IV tanggal 20 Juni-5 Juli Tahun 1966 di Jakarta adalah sebagai berikut: Ketua MPRS Jenderal A.H. Nasution, Wakil Ketua MPRS Osa Maliki, H.M. Subchan Z.E, Melanton Siregar, dan Mayor Jenderal Mashudi.

Pengambilan keputusan dalam Majelis masa demokrasi Pancasila tetap dengan melakukan musyawarah untuk mufakat tanpa campur tangan Presiden, walaupun sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXXVII/MPRS/1968 diberikan kemungkinan pengambilan keputusan melalui persetujuan suara terbanyak.

2). MPR tahun 1971-1998 Setelah rezim Orde Baru berhasil melakukan penataan

politik dan mulai stabil dalam menjalankan pemerintahan, maka berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI/1966 menetapkan bahwa Pemilu pertama harus dilaksanakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1969. Oleh karena itu Pemerintah dan DPR harus membuat UU tentang Pemilu dan tentang Susduk MPR, DPR, DPRD selambat-lambatnya 6 bulan sejak ditetapkannya Ketetapan MPRS No. XI/1966 (terhitung sejak tanggal 5 Juli 1966).

Menurut Daniel Dhakidae bahwa tertundanya Pemilu pada masa itu disebabkan antara lain oleh dilema dan sengketa

53 Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian

Adinabung, Mengenal DPD-RI Sebuah gambaran Awal, Jakarta: Institute For Local Development, 2006, hlm. 51.

Page 42: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 31

kepentingan sejauh menyangkut tentang apa sebenarnya yang harus dilakukan, menyelenggara-kan Pemilu terlebih dahulu kemudian berdasarkan hasil Pemilu membenahi struktur politik, atau sebaliknya merombak struktur politik lebih dahulu setelah itu baru merencanakan dan melaksanakan Pemilu. Dari segi kepentingan, maka telah timbul sengketa kepentingan antara partai-partai disatu pihak dengan ABRI di pihak lain serta golongan independen yang non partisan.54

Akhir Desember 1966 Pemerintah menyampaikan tiga RUU tentang Pemilu dan kemudian dibicarakan dengan DPR-GR sampai pada tingkat pertama. Akan tetapi pembahasan di DPR-GR tidak dapat mencapai kesepakatan, sehingga pada tanggal 27 Desember 1967 Panitia khusus (Pansus) dan Fraksi-fraksi di DPR-GR menunda untuk mensahkan ketiga RUU tentang Pemilu tersebut sampai pada batas waktu yang tidak dtentukan. Karena penundaan tersebut maka Penjabat Presiden Soeharto pada tanggal 10 Januari 1968 menyampaikan laporan tertulis kepada Pimpinan MPRS bahwa Pemilu tidak dapat dilaksanakan tanggal 5 Juli 1968 sebagaimana dimaksudkan dalam Ketetapan MPRS No. XI/1966. Sidang Istimewa MPRS tanggal 27 Maret 1968 memutuskan untuk menunda kembali pelaksanaan Pemilu selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1971, dan mengangkat Presiden Soeharto sebagai Presiden penuh.55

Berdasarkan UU No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilu Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat, maka pada tanggal 3 Juli 1971 dilaksanakan Pemilu kedua sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, atau Pemilu pertama sejak Indonesia kembali pada UUD Tahun 1945. Pemilu Tahun 1971 tersebut didasarkan atas asas-asas demokrasi yang dijiwai dengan semangat Pancasilan dan UUD tahun 1945, serta dilaksanakan dengan asas pemilihan yang bersifat umum, langsung, bebas, dan rahasia.56

Berdasarkan UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susduk MPR, DPR, dan DPRD, maka dibentuklah MPR dengan jumlah anggota sebanyak 920 orang terdiri atas komposisi 460 orang anggota DPR-RI, 130 orang dari Utusan Daerah, dan 530 orang

54 Abdy Yuhana, Op.Cit., hlm. 83. 55 Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia,

Jakarta: Rineka Cipta, 2003, hlm. 79. 56 Lihat UU No. 15 Tahun 1969 Tentang Pemilihan Umum Anggota-

Anggota Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat.

Page 43: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

32 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dari Utusan Golongan Karya.57 Kemudian secara periodik dilaksanakan Pemilu sekali dalam setiap lima tahun, kecuali pada Tahun 1977 yang pelaksanaannya terlambat satu tahun.

Periodesasi Pemilu tersebut adalah sebagai berikut; Pemilu Tahun 1971 dilaksanakan berdasarkan UU No. 15 Tahun 1969, Pemilu Tahun 1977 dilaksanakan berdasarkan UU No. 4 Tahun 1975, Pemilu tahun 1982 dilaksanakan berdasarkan UU No. 2 Tahun 1980, Pemilu tahun 1987 dilaksanakan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1985, Pemilu tahun 1992 dilaksanakan juga berdasarkan UU No. 1 Tahun 1985, dan Pemilu tahun 1997 juga dilaksanakan berdasarkan UU No. 1 tahun 1985.

Jumlah anggota MPR hasil Pemilu Tahun 1971, 1977, dan 1982 adalah dua kali jumlah anggota DPR, yaitu sebanyak 920 orang terdiri atas anggota DPR 460 orang, dan selebihnya 460 orang berasal dari Utusan Daerah, dan Utusan Golongan. Utusan Daerah yang terdapat dalam keanggotaan MPR 1971, 1977, dan 1982 ditetapkan sekurang-kurangnya 4 orang dan sebanyak-banyaknya 7 orang untuk setiap Daerah Tingkat I. Dengan perincian untuk daerah berpenduduk kurang dari 1 juta orang mendapatkan jatah 4 orang wakil tusan Daerah, untuk daerah berpenduduk 1-5 juta orang mendapatkan jatah 5 orang wakil Utusan Daerah, dan untuk daerah berpenduduk 10 juta orang ke atas mendapatkan jatah 7 orang wakil Utusan Daerah.

Berdasarkan Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD untuk Pemilu Tahun 1971 maka dinyatakan Gubernur Kepala Daerah Tingkat. I sebagai salah satu anggota MPR dari unsur Utusan Daerah. Dan berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 83/M/1972 menetapkan bahwa jumlah keseluruhan anggota MPR dari unsur Utusan Daerah adalah sebayak 132 orang dan terdiri dari Gubernur Kepala Daerah Tingkat. I, Panglima Kodam, dan Komandan Korem.

Hal ini secara demokrasi melemahkan keberadaan keanggotaan Utusan Daerah dalam MPR, dikarenakan pada periode 1971-1982 tidak ada diatur mengenai keharusan bagi anggota MPR dari unsur Utusan Daerah harus mempunyai keterkaitan dengan daerah yang diwakilinya. Setiap Warga Negara Indonesia dapat menjadi anggota MPR dari unsur Utusan Daerah dari sustu daerah tertentu asal memnugi syarat-syarat

57 Abdy Yuhana, Op.Cit., hlm. 84.

Page 44: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 33

umummenjadi anggota sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 UU No. 16 Tahun 1969.58

Kemudian jumlah anggota MPR hasil Pemilu tahun 1987, 1992, dan 1997 mengalami perubahan menjadi 1000 orang.59 Komposisi keanggotaan MPR Tahun 1987, 1992, dan 1997 terdiri dari 500 anggota DPR, 147 orang dari unsur Utusan Daerah, dan 253 orang dari unsur Utusan Golongan.

Utusan Daerah yang terdapat dalam keanggotaan MPR 1987, 1992, dan 1997 ditetapkan sebagai berikut; untuk daerah yang berpenduduk kurang dari 1 juta orang mendapatkan jatah 4 orang wakil Utusan Daerah, untuk daerah berpenduduk 1-5 juta orang mendapatkan jatah 5 orang wakil Utusan Daerah, untuk daerah berpenduduk 10 juta orang mendapatkan jatah 7 orang wakil Utusan Daerah, dan untuk daerah berpenduduk 15 juta orang ke atas mendapatkan jatah 8 orang wakil Utusan Daerah.

Sedangkan Fraksi-Fraksi dalam Majelis sesuai hasil Pemilu Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997 adalah: Fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Fraksi Karya Pembangunan (Golongan Karya), Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (P3), dan Fraksi Utusan Daerah.

Setelah kembali kepada UUD Tahun 1945, maka kedaulatan rakyat di Indonesia berada dalam satu badan. Berbeda dengan sistem yang pernah dianut pada masa konstitusi RIS. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum amandemen menyebutkan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR. Dalam rangka melaksanakan kedaulatan rakyat maka MPR mempunyai tugas dan wewenang. Tugas dan wewenang MPR tersebut diatur dalam UUD Tahun 1945 dan melalui Ketetapan MPR No. I/MPR/1983. Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD Tahun 1945 sebelum amandemen serta Pasal 3 Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 tugas tersebut meliputi:60

a) Menetapkan UUD;

58 Ibid., hlm. 85. 59 Lihat UU No. 2 Tahun 1985 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR, dan DPRD. 60 Ibid., hlm. 91.

Page 45: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

34 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

b) Menetapkan GBHN;

c) Memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden.

Wewenang yang dimiliki oleh MPR menurut Pasal 37 UUD Tahun 1945 sebelum amandemen adalah mengubah UUD dengan cara dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 (duapertiga) anggota MPR. Menurut Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 wewenang MPR adalah:61

a) Membuat putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga Negara yang lain, termasuk penetapan GBHN yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.

Dalam hal Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-GR, maka jelas bahwa kedudukan UUD Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis yang berada di atas Perundang-undangan lainnya. Putusan-putusan yang dibuat oleh Majelis tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara lainnya. Bentuk-bentuk putusan Majelis dimaksud, sesuai dengan ketentuan Pasal 98 Peraturan Tata Tertib Majelis adalah: Ketetapan Majelis, dan Keputusan Majelis. Ketetapan Majelis adalah Putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam Majelis. Sedangkan Keputusan Majelis adalah Putusan majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat hanya ke dalam Majelis.

b) Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap putusan-putusan Majelis.

Sama halnya dengan wewenang Majelis lainnya, maka wewenang Majelis ini diperlukan agar Majelis dapat melaksanakan tugasnya dan terhindar dari perbedaan penafsiran terhadap putusan-putusan yang dikeluarkan sehingga terdapat kepastian hukum.

c) Menyelesaikan pemilihan dan selanjutnya mengangkat Presiden/Wakil Presiden.

Pada dasarnya wewenang Majelis ini merupakan Penjelasan terhadap ketentuan Pasal 6 ayat (2) UUD Tahun 1945 sebelum amandemen. Untuk menyelesai-kan pemilihan dan pengangkatan Presiden/Wakil Presiden, dilakukan melalui tata cara sebagaimana telah dimuat pada Ketetapan MPR No. II/MPR/1973.

61 Ibid., hlm. 94-96.

Page 46: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 35

d) Meminta pertanggungjawaban Presiden/Mandataris mengenai pelaksanaan GBHN dan menilai pertang-gungjawaban tersebut.

Mengenai wewenang Majelis tersebut merupakan penjelasan lebih lanjut terhadap ketentuan dalam penjelasan UUD Tahun 1945 mengenai Sistem Pemerintahan Negara. Hal tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 Tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi/dengan atau Antar Lembaga Tinggi Negara.

e) Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh-sungguh telah melanggar GBHN dan atau UUD.

Apabila dalam Sidang Istimewa Majelis yang diminta oleh DPR, menilai Presiden telah sungguh-sungguh melanggar GBHN dan atau UUD, maka Majelis dapat mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa jabatannya.

f) Mengubah UUD.

Pasal 104 Ketetapan MPR No. I/MPR/1983 Tentang Peraturan Tata Tertib Majelis sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Ketetapan MPR No. I/MPR/1988, dan terakhir dirubah kembali sesuai dengan Ketetapan MPR No. I/MPR/1993 menyatakan bahwa: “Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD Tahun 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekwen”.

Oleh karena itu merupakan suatu hal yang mustahil bahwa Majelis akan mempergunakan wewenangnya ini. Tetapi seandainya Majelis tetap berkehendak melaksanakan wewenangnya tersebut berdasarkan ketentuan dan peraturan tata tertib Majelis, maka harus dilaksanakan melalui referendum seperti ditentukan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983.

g) Menetapkan Peraturan dan Tata Tertib Majelis.

Untuk memantapkan tata susunan dan tatalaksana Majelis, maka diperlukan adanya suatu Peraturan Tata Tertib Majelis yang mengatur sarana dan tata cara dalam menghayati dan

Page 47: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

36 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

mengamalkan kehidupan kenegaraan yang demokratis konstitusional.

h) Menetapkan pimpinan Majelis

Dalam hal ini pimpinan Majelis merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif, yang terdiri dari seorang ketua dan beberapa orang wakil ketua dan dipilih dari dan oleh anggota Majelis dengan mencerminkan fraksi yang ada.

i) Mengambil/memberi putusan terhadap anggota yang melanggar sumpah/janji.

Terhadap anggota Majelis yang melakukan pelang-garan terhadap sumpah/janji, demikian pula peraturan yang telah dibuat oleh Majelis maka Majelis dapat mengambil putusan yang bersifat peneguran dan atau pemecatan.

Sri Soemantri menyatakan bahwa dari sembilan wewenang MPR tersebut di atas, maka wewenang yang terdapat pada poin 1, 2, 4, 5, dan 6 mempunyai arti sangat penting apabila ditinjau dari segi kedudukan, tugas, serta kewenangan MPR.62

3). Perubahan Ketiga UUD 1945 Pelaksanaan sistem pemerintahan perwakilan Indonesia

berdasarkan UUD Tahun 1945 pada periode Tahun 1971 sampai dengan Tahun 1998 sebagaimana diuraikan di atas pada tataran implementasi telah memberikan kekuasaan yang sangat luas dan besar bagi Presiden sebagai kepala Pemerintahan dan Kepala Negara. Pada kurun waktu itu MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara dapat dikatakan tidak menjalankan fungsi tugas, dan wewenangnya sebagaimana di perintahkan oleh UUD meskipun pada kasus-kasus tertentu Presiden pada masa itu telah menyimpang dari GBHN dan UUD Tahun 1945.

Sejarah telah mencatat hal tersebut dalam perjalanan Negara Indonesia melalui krisis moneter, ekonomi, politik, dan hukum sejak pertengahan Tahun 1997 dan akhirnya menimbulkan gerakan penolakan atas rezim berkuasa pada saat

62 Sri Soemantri, Op.Cit., hlm. 20.

Page 48: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 37

itu, serta dilakukannya pembaruan pada sistem ketatanegaraan dan kehidupan politik kebangsaan yang baru.

Presiden Soeharto yang baru terpilih kembali dalam Sidang Umum MPR tanggal 11 Maret 1998 tidak kuasa bertahan lagi ditengah besarnya gelombang aksi massa (mahasiswa) dan pembelotan para elite pendukungnya sendiri. Puncak dari keadaan itu, maka pada tanggal 21 Mei 1998 di Istana Merdeka Jakarta terjadi peralihan kuasa dan pengambilan sumpah jabatan BJ. Habibie (sebelumnya Wakil Presiden), menjadi Presiden Indonesia.63

Agenda pembaruan dalam kehidupan ketata-negaraan, politik serta keinginan untuk melaksanakan Pemilu secepatnya merupakan tuntutan reformasi di tahun 1998. Kemudian percepatan untuk mengaman-demen UUD Tahun 1945 juga merupakan kebutuhan mendesak yang didengungkan seluruh lapisan masyarakat saat itu.

Mencermati keadaan politik kenegaraan serta tuntutan reformasi yang menggema diseluruh pelosok tanah air, maka pemerintahan Presiden BJ. Habibie yang oleh sebagian kalangan pada waktu itu dianggap sebagai pemerintahan transisi segera menyahutinya dengan menyusun paket undang-undang politik baru dengan mensahkan UU No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, UU No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilu, UU No. 4 tahun 1999 Tentang Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan.64 Sebagai perwujudan dari hasil penyusunan paket undang-undang politik baru tersebut, maka diadakan pemilu legislatif yang pada tanggal 7 Juni 1999, dan diikuti oleh 48 Partai Politik sebagai pesertanya.

Sebelumnya, sebagai landasan hukum kebijakan untuk melaksanakan percepatan Pemilu, maka MPR hasil Pemilu Tahun 1997, tanggal 10-13 November 1998 melaksanakan Sidang Istimewa serta mensahkan Ketetapan MPR No. XIV/MPR/1998 yaitu untuk memberi-kan mandat kepada Presiden agar menyelenggarakan percepatan pelaksanaan Pemilu.

Dari 48 Partai Politik yang ikut dalam pelaksanaan Pemilu legislatif tanggal 7 Juni 1999, maka 21 dari kontestan Partai

63 Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian Adinabung, Op.Cit., hlm. 53.

64 Ibid.

Page 49: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

38 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Politik berhasil mandapatkan kursi dalam parlemen nasional (DPR). Setelah dilantik dan mengucapkan sumpah pada tanggal 1 Oktober 1999, sebuah DPR baru terbentuk dengan periode jabatan 1999-2004.

Berdasarkan ketentuan Tata Tertib DPR yang mensyaratkan pembentukan satu fraksi oleh minimal 10 anggota DPR, maka terbentuklah 10 fraksi dalam DPR yaitu: FPDIP (153 anggota), FPG (120 anggota), FPPP (58 anggota), FPKB (51 anggota), F-Reformasi (41 anggota), F-TNI/Polri (38 anggota), FPBB (13 anggota), FKKI (12 anggota), dan FPDKB (5anggota).

Berkaitan dengan telah dilantik dan terbentuknya DPR masa bakti 1999-2004, maka MPR periode 1999-2004 juga terbentuk dimana sebagian anggotanya berasal dari DPR tersebut. Namun sesuai dengan ketentuan UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, jumlah anggota DPR tidak lagi sebanyak dua kali lebih besar dari jumlah anggota DPR, melainkan mengalami penyusutan dan hanya terdiri dari 700 anggota dengan komposisi 500 anggota diantaranya adalah merupakan anggota DPR, 135 anggota berasal dari unsur Utusan Daerah (5 kursi untuk tiap Provinsi), dan 65 anggota berasal dari Utusan Golongan.65

Berdasarkan Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 Tentang Peraturan Tata Tertib MPR, maka susunan keanggotaan dalam MPR dikelompokkan ke dalam fraksi-fraksi Majelis, dan setiap anggota MPR diwajibkan untuk bergabung dalam salah satu fraksi yang ada. Pembentukan sebuah fraksi sekurang-kurangnya oleh 10 anggota. Pada periode MPR 1999-2004 terbentuk 12 fraksi dalam MPR yaitu: FPDIP (183 anggota), FPG (178 anggota), FPPP (66 anggota), FPKB (58 anggota), F-Reformasi (48 anggota), FPBB (14 anggota), FKKI (12 anggota), FPDU (9 anggota), FPDKB (5 anggota), F-TNI/Polri (38 anggota), F-Utusan Golongan (69 anggota).

Mengenai keberadaan fraksi Utusan Daerah dalam MPR sebagai cikal bakal terbentuknya Lembaga DPD yang mana menurut ketentuan UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan terdiri dari 135 orang anggota

65 Ibid., hlm. 54.

Page 50: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 39

justru terhilangkan dalam fraksi MPR pada Sidang Umum MPR tanggal 14-21 Oktober 1999.66

Hasilnya sebagaimana dapat dilihat dalam Pasal 13 ayat (1) Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 Tentang Peraturan tata Tertib MPR RI, diamana dalam ketetapan tersebut fraksi-fraksi dalam Majelis merupakan pengelompokan anggota yang hanya mencerminkan konfigurasi dari partai politik hasil Pemilu, TNI/Polri, dan utusan golongan. Sebaliknya Utusan Daerah, menurut Pasal 2 UU No. 4 Tahun 1999 Tentang Lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, dipilih oleh DPRD di masing-masing Provinsi, menyebar dan masuk ke dalam fraksi-fraksi partai politik menurut partai yang mencalonkan mereka pada pemilihan di DPRD Provinsi. Dengan demikian sesungguhnya anggota Utusan Daerah dalam MPR adalah merupakan wakil partai politik dan hanya berbeda dalam proses rekrutmennya yang tidak melalui Pemilu.67

Hal ini juga menjelaskan adanya perbedaan mendasar dalam jumlah anggota sejumlah parati politik dalam fraksi di DPR dengan MPR, dimana jumlah lebih besar terdapat dalam fraksi di MPR sesuai dengan konfigurasi kekuatan setiap partai politik dalam DPRD Provinsi. Kenyataannya juga bahwa anggota Utusan Daerah MPR tidak selalu berasal dari atau mempunyai kaitan tertentu dengan Provinsi asal, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada periode ini juga tidak terdapat signifikansi atas keberadaan Utusan Daerah yang efektif di dalam perwakilan daerah di MPR.

Tahun 2001 keadaan tentang perwakilan Utusan Daerah mengalami perubahan mendasar, diawali dengan kesepakatan dalam temu nasional para anggota MPR Utusan Daerah di Bandung tentang kesepakatan para anggota MPR Utusan Daerah yang secara informal bergabung dalam Forum Utusan Daerah untuk membentuk suatu fraksi tersendiri di MPR, dan respon tersebut mendapat dukungan yang kuat untuk membentuk Fraksi Utusan Daerah (FUD) di MPR.

Aspirasi dan respon untuk pembentukan FUD muncul pertama kali oleh Wakil Ketua Panitia Ad Hoc Badan Pertimbangan MPR Slamet Effendy Yusuf, yang melihat aspirasi tersebut sebagai suatu hal yang wajar apalagi dengan melihat

66 Ibid., hlm. 55. 67 Ibid.

Page 51: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

40 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

tidak seriusnya Pemerintah dalam merealisasikan otonomi daerah. Dengan berbagai loby dan perjuangan gigih, bahkan pernah berujung pada insiden (bentrok fisik) antara anggota MPR yang pro dan kontra untuk pembentukan FUD di MPR pada Sidang Tahunan MPR tanggal 1-9 November 2001, maka akhirnya dalam Pasal 13 ayat (1) Ketetapan MPR No. II/MPR/1999, dan kemudian dirubah dalam Ketetapan MPR No. V/MPR/2001, terbentuklah FUD di MPR sebagai fraksi yang ke 12.68

Fraksi baru FUD terbentuk sebagai fraksi ke 12 dalam MPR sebagai cermin baru konfigurasi keterwakilan berbagai elemen di MPR terbentuk melalui Ketetapan MPR No. V/MPR/2001, dan pertama sekali diketuai oleh DR. Oesman Sapta Odang, yang sebelumnya merupakan Ketua Forum Utusan Daerah sebagai wadah komunikasi anggota-anggota Utusan Daerah dalam MPR.

Setelah FUD MPR terbentuk, tidak secara otomatis seluruh anggota MPR dari Utusan Daerah mau bergabung ke dalam fraksi ini. Perjuangan bahkan sungguh alot, dan hanya berhasil menarik 55 orang dari total 135 orang anggota Utusan Daerah yang ada dalam MPR ke dalam FUD.69 Hal ini menunjukkan rendahnya ketertarikan bahkan keterkaitan para anggota MPR terutama wakil dari unsur Utusan Daerah untuk masuk bergabung ke dalam wadah perwakilan eksklusif bagi perjuangan kepentingan daerah, dan jumlah tersebut jauh berkurang apabila dibandingkan dengan masa sebelumnya.70

C. Proses Awal Pembentukan DPD Berakhirnya rezim pemerintahan Orde Baru pada Tahun

1998 melahirkan era baru dalam sistem pemerintahan di

68 Harian Surat Kabar Kompas, tanggal 12 Juni 2001, hlm. 6. 69 Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian

Adinabung, Op.Cit., hlm. 56. 70 Bandingkan dengan periode-periode sebelumnya sebagaimana

terlihat dan diatur dalam UU No. 16 Tahun 1969 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Pemilu 1971, maupun rangkaian perubahannya sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 1985 Tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, yaitu: dalam MPR 1972-1977 (sebanyak 130 orang), MPR 1977-1982 (sebanyak 139 orang), MPR 1982-1987 (sebanyak 140 orang), MPR 1987-1992 (sebanyak 147 orang), MPR 1992-1997 (sebanyak 149 anggota), dan MPR 1997-1999 (sebanyak 149 anggota).

Page 52: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 41

Indonesia. Selain tuntutan pelaksanaan Pemilu dipercepat, maka agenda lain yang juga dianggap tepat untuk memulai era baru pembaruan sistem ketatanegaraan dan politik adalah pilihan untuk melaksanakan perubahan (amandemen) atas UUD tahun 1945.

Awalnya pilihan untuk melaksanakan perubahan atas konstitusi Negara tidak mungkin dilakukan, mengingat selama berpuluh-puluh tahun UUD Tahun 1945 menjadi suatu dokumen sangat sakral dan secara politis dilarang untuk dirubah.71

Ketentuan politis yang melarang dilakukannya perubahan atas UUD Tahun 1945 tentunya secara hukum ketatanegaraan mengandung kejanggalan, setidaknya apabila dilihat dari dua alasan berikut:

1. Secara historis UUD Tahun 1945 sendiri pada dasarnya adalah suatu konstitusi sementara, yang oleh Presiden Ir. Soekarno disebut sebagai UUD kilat, oleh karena itu perlu adanya suatu konstitusi yang lebih lengkap dan sempurna dikemudian hari.

2. UUD Tahun 1945 sendiri justru memberikan kewenangan bahkan mandat kepada MPR untuk melakukan perubahan keberadaannya dan menetapkan suatu UUD yang baru melalui persyaratan dan mekanisme sebagaimana diatur dalam Pasal 37 UUD Tahun 1945 (sebelum perubahan).

Secara yuridis para perumus UUD Tahun 1945 telah lebih dulu menunjukkan kearifan, bahwa apa yang mereka lakukan ketika menyusun UUD Tahun 1945 tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan sangat memungkinkan pada suatu saat akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunannya maupun sebagai produk hukum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saat itu. Sebuah UUD akan haus dimakan waktu dan jaman apabila tidak diadakan pembaharuan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara baik dibidang politik, ekonomi, sosial, maupun budaya.72

71 Ibid., hlm. 57. 72 Lihat dalam Nimatul Huda, Politik Ketatanegaran Indonesia, kajian

Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Page 53: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

42 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Bahwa selanjutnya dalam kenyataannya, praktek kenegaraan yang terjadi justru sebaliknya, dan hanya dapat dijelaskan melalui sudut kepentingan politik praktis, sehingga keberadaan UUD Tahun 1945 dianggap menjadi dasar konstitusional yang cocok dan efektif untuk melanggengkan rezim otokrasi yang dibangun pada masa Orde Baru selama kurang lebih 32 Tahun.73

Bahkan MPR yang secara konstitusional mempunyai kewenangan untuk membuat atau melakukan perubahan UUD, melakukan upaya sakralisasi dengan membuat suatu “benteng” sebagaimana dapat dilihat pada Ketetapan MPR No. I/MPR/1978 Tentang Tata Tertib MPR, jo Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum, dimana secara organik klausul penjabarannya diimplementasikan melalui UU No. 5 tahun 1985 Tentang Referendum.74

Bergantinya era Orde Baru kepada era Reformasi pada tahun 1998 telah membawa berbagai perubahan mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Perubahan-perubahan tersebut dapat dilihat misalnya, sejak jatuhnya rezim pemerintahan Presiden Soeharto, maka Indonesia tidak lagi memiliki seorang pemimpin yang bersifat sentral dan selalu menentukan. Munculnya pusat-pusat kekuasaan baru di luar negara, telah menggeser kedudukan seorang Presiden Republik Indonesia dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi Kepala Pemerintahan biasa dan sewaktu-waktu dapat digugat atau bahkan diturunkan dari kekuasaannya.

Seiring dengan runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada Tahun 1998, maka seluruh praktek-praktek sakralisasi tersebut terdelegitimasi, dan tuntutan untuk melakukan perubahan atas UUD Tahun 1945 menjadi agenda utama dan mutlak harus dilakukan.

73 Lihat A. Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi

Paradigmatik, Malang: Intrans, 2003. Lihat juga Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

74 Lihat Ketetapan MPR No. I/MPR/1978 Tentang Tata Tertib MPR, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum, dan UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum.

Page 54: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 43

Mengapa tuntutan untuk perubahan UUD Tahun 1945 menjadi salah satu agenda terpenting pasca runtuhnya rezim pemerintahan Orde Baru? Berbagai kalangan berpendapat bahwa terjadinya krisis di Indonesia pada saat itu adalah dikarenakan ketidakjelasan konsep yang dibangun oleh UUD Tahun 1945, dan tidak terdapatnya checks and balances antar alat kelengkapan organisasi negara. Sejak itu maka berbagai kalangan di Indonesia menyiapkan bahan kajian untuk perubahan UUD Tahun 1945, serta mendesak MPR untuk secepatnya melakukan perubahan dimaksud.

Selain itu, munculnya kehidupan tatanan politik yang lebih bebas dan tidak terkekang telah memunculkan kehidupan poltik yang lebih demokratis, serta mempercepat usaha reformasi politik untuk pencerahan pendidikan politik bagi masyarakat Indonesia. Keadaan poltik kenegaraan yang semakin demokratis tersebut, pada tataran lembaga tinggi Negara telah menimbulkan kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances diantara cabang-cabang kekuasaan Negara yang ada.

Tindak lanjut agenda perubahan atas UUD Tahun 1945, oleh MPR baru (periode 1999-2004) dilaksanakan dengan hati-hati dan membuat batasan-batasan tertentu, agar dasar filosofis dan normatif yang mendasari seluruh pasal dalam UUD Tahun 1945 dalam kerangka staatsidee berdirinya NKRI tetap kokoh bertahan.75 Panitia Ad Hoc. I MPR pada masa Sidang Umum MPR Tahun 1999 membuat batasan tersebut meliputi:76

1. Tidak mengubah Pembukaan UUD Tahun 1945.

2. Tetap mempertahankan NKRI.

3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

4. Penjelasan UUD Tahun 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan kedalam pasal-pasal.

5. Perubahan UUD Tahun 1945 dilakukan dengan cara addendum.

Bagir Manan mengatakan rangkaian perubahan yang telah dilakukan atas UUD Tahun 1945 dapat dikategorikan ke dalam:

75 Nimatul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003, hlm. 14.

76 Ibid., hlm. 13.

Page 55: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

44 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

1. Perubahan terhadap substansi yang telah ada, seperti perubahan atas wewenang Presiden dalam membuat UU.

2. Penambahan terhadap ketentuan yang telah ada, seperti penambahan atas ayat atau pasal.

3. Pengembangan materi yang sudah ada menjadi bab baru, seperti tentang BPK.

4. Penambahan yang sama sekali baru, seperti pembentukan dan pengaturan keberadaan DPD.

5. Penghapusan ketentuan yang sudah ada, seperti penghapusan DPA.

6. Pemindahan beberapa isi Penjelasan ke dalam Batang Tubuh, seperti prinsip negara berdasarkan hukum.

7. Perubahan struktur UUD 1945 dan menghapus Penjelasan sebagai bagian UUD 1945.

Berdasarkan batasan yang telah dibuat di atas, maka diadakan perubahan atas UUD Tahun 1945 yang dilaksanakan melalui serangkaian Sidang Umum MPR sejak tahun 1999 yaitu Perubahan pertama pada bulan Oktober Tahun 1999 melalui Sidang Umum MPR, Perubahan kedua pada bulan Agustus Tahun 2000 melalui Sidang Tahunan MPR, Perubahan ketiga pada bulan November Tahun 2001 melalui Sidang Tahunan MPR, dan perubahan keempat pada bulan Agustus Tahun 2002 melalui Sidang Tahunan.

Perubahan UUD Tahun 1945 yang berkaitan dengan pembentukan DPD adalah berdasarkan perubahan ketiga UUD Tahun 1945 yang dilakukan pada Sidang Tahunan MPR pada bulan November tahun 2001.

Sumber-sumber formal sebagai bahan penelusuran dalam perubahan UUD Tahun 1945 yang berhubungan dengan pembentukan DPD antara lain draf rancangan yang dipersiapkan Panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR (BP MPR), sumbangan pemikiran dari Tim Ahli yang dibentuk untuk membantu Panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR dalam mempersiapkan Rancangan Perubahan UUD Tahun 1945. Selain itu juga diterima sumber lain sebagai bahan kajian dari unsur masyarakat, risalah kajian, proposal advokasi atau materi-materi kampanye baik dari

Page 56: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 45

kalangan PerguruanTinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai sumber pembanding.77

Berdasarkan Keputusan BP MPR No. 2/BP/2000, dalam BP MPR sebagai Alat Kelelngkapan Majelis dibentuk tiga Panitia Ad Hoc yang bertugas mempersiapkan segala rancangan materi tertentu sebagai bahan pembahasan di BP MPR, dan nantinya dibawa dalam persidangan lengkap Majelis (Sidang Paripurna MPR) untuk diambil suatu keputusan.

Dalam melaksanakan tugas-tugas dimaksud, Panitia Ad Hoc. I, Panitia Ad Hoc. II BP MPR dibantu oleh masing-masing sebuah Tim Ahli yang bertugas melakukan pengkajian dan memberi masukan yang diperlukan. Tim Ahli Panitia Ad Hoc. I beranggotakan 30 orang ilmuan dari Perguruan Tinggi dan merupakan ahli dalam bidang keilmuan tertentu, yang dikelompokkan ke dalam 5 bidang keahlian yaitu: bidang politik, bidang hukum, bidang ekonomi, bidang agama, sosial, budya, dan bidang pendidikan.

Tim Ahli Bidang Politik: Prof.DR. Afan Gafar, MA, DR. Bachtiar Effendy, Prof.DR. Maswadi Rauf, MA., Prof.DR. Nazaruddin Syamsudin, Prof.DR. Ramlan Surbakti, MA, dan DR. Riswanda Imawan. Tim Ahli Bidang Hukum: DR. H. Dahlan Thaib, S.H., M.Si, Prof.DR. Hasyim Djalal, MA, Prof.DR. Ismail Suny, S.H., MCL, Prof.DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Prof.DR. Maria SW Sumardjono, S.H., MCL, MPA, Prof.DR. Muchsan, S.H., Satya Arinanto, S.H., M.H., Prof.DR. Sri Soemantri Martosoewignjo, dan Pro.DR. Suwoto Mulyosudarmo. Tim Ahli Bidang Ekonomi: Prof.DR. Bambang Sudibyo, Prof.DR. Dawam Rahardjo, Prof.DR. Didik J. Rachbini, Prof.DR. Mubyarto, DR. Sri Adiningsih, DR. Sri Mulyani, dan (alm) DR. Syahrir. Tim Ahli Bidang Agama: Sosial, dan Budaya: Prof.DR. Azyumardi Azra, DR. Eka Darmaputera, DR. Komarudin Hidayat, DR.H. Nazaruddin Umar. MA, dan (alm) Prof.DR. Sardjono Jatiman. Tim Ahli Bidang Pendidikan: DR. Willy Toisuta, Prof.DR. Wuryadi, Prof. DR. Jahja Umar.

Pemaparan di depan rapat BP MPR tanggal 2 Oktober 2001, Ketua Panitia Ad Hoc. I BP MPR Drs. Jacob Tobing, MPA menyampaikan draf rancangan perubahan UUD Tahun 1945 sebagai hasil persiapan dari panitia Ad Hoc. I Badan Pekerja MPR. Khusus mengenai pembentukan DPD, keberadaannya

77 Ibid., hlm. 60.

Page 57: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

46 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dalam MPR, maupun keterkaitan fungsinya dalam hubungan antar lembaga Negara, dalam usulan rumusan pasal-pasal yang disampaikan pada rapat BP MPR adalah sebagai berikut:78

1. Berkaitan dengan DPD Pasal 22 C ayat (1): Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui Pemilu (tanpa alternatif).

Pasal 22 C ayat (2): Anggota DPD dari setiap provinsi jumlahnya sama, dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (tanpa alternatif).

Pasal 22 C ayat (3): DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun (tanpa alternatif).Pasal 22 C ayat (4): Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan UU (tanpa alternatif).

Pasal 22 D ayat (1): DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (tanpa alternatif).

Pasal 22 D ayat (2): DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, agama, otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (alternatif 2).

Pasal 22 D ayat (3): DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai untuk ditindaklanjuti (alternatif 1), atau DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,

78 Ibid., hlm. 62-66.

Page 58: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 47

pelaksanaan APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (alternatif 2).

Pasal 22 D ayat (4): Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam UU (tanpa alternatif).

Pasal 22 D ayat (5): DPD dapat mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya kepada MPR karena pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden (alternatif1) atau tidak perlu ayat (5) ini (alternatif 2).

Pasal 22 D ayat (6): Usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 anggota yang hadir dalam persidangan yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota (alternatif 1) atau tidak perlu ayat (6) ini (alternatif 2).

2. Berkaitan dengan MPR dan Keberadaan DPD dalam MPR.

Pasal 1 ayat (3): Kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR (alternatif 1), atau Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.

Pasal 2 ayat (1): MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu, ditambah dengan Utusan Golongan yang diatur menurut ketentuan UU (alternatif 1), atau MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu dan diatur menurut ketentuan UU (alternatif 2).

Pasal 3 ayat (1): Tugas, wewenang, dan hak MPR ialah mengubah dan menetapkan UUD (tanpa alternatif).

Pasal 3 ayat (2): Menetapkan haluan negara dalam garis-garis besar (alternatif 1), atau tidak perlu menetapkan haluan negara dalam garis-garis besar (alternatif 2).

Pasal 3 ayat (3): Memilih dan menetapkan dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden untuk dipilih secara langsung oleh rakyat (alternatif 1), atau menetapkan dua paket calon Presiden dan Wakil Presien dari dua partai politik pemenang Pemilu untuk dipilih secara langsung oleh rakyat (alternatif 2), atau memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua paket

Page 59: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

48 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

calon Presiden dan Wakil Presiden dari partai-partai politi yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam Pemilu (alternatif 3), atau tidak perlu alternatif 1, 2, dan 3 (alternatif 4).Pasal 3 ayat (4): Menetapkan dan melantik Presiden dan Wakil Presiden (tanpa alternatif).

Pasal 3 ayat (5): Memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dari jabatannya karena pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, atau perbuatan tercela atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden (tanpa alternatif).

3. Berkaitan dengan Pemilu termasuk pemilihan anggota DPD.

Pasal 22 E ayat (1): Pemili dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (2): Pemilu diselanggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (3): Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah partai politik (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (4): Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (5): Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (tanpa alternatif).

Pasal 22 E ayat (6): Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan UU (tanpa alternatif).

4. Berkaitan dengan Keterkaitan Fungsional DPD dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pasal 23 E ayat (1): Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu badan BPK yang bebas dan mandiri (tanpa alternatif).

Pasal 23 E ayat (2): Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai kewenangannya (tanpa alternatif).

Pasal 23 E ayat (3): Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan atau badan sesuai dengan UU (ayat (2), tanpa alternatif).

Page 60: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 49

Pasal 23 F ayat (1): Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden (tanpa alternatif).

Pasal 23 F ayat (2): Pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota (tanpa alternatif).

Pemaparan Panitia Ad Hoc. I BP MPR, khusus mengenai DPD sebagaimana diuraikan dalam usulan rumusan Pasal 22 C ayat (1), (2), (3), dan (4), Pasal 22 D ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6) tersebut di atas secara hukum, melalui kalimat dapat, mengindikasikan DPD tidak harus atau mungkin tidak perlu mengajukan RUU kepada DPR, apalagi kalau DPD menganggap itu tidak terlalu penting, atau apabila hal tersebut hanya sebuah rumusan yang tidak mengikat DPD untuk mengajukan RUU kepada DPR. Sedangkan kalimat ikut mengindikasikan bahwa DPD menjadi sub ordinat DPR. Hal ini secara politik praktis boleh jadi, jika suatu saat terjadi ketegangan politik antara DPR dengan DPD, maka dapat saja DPR tidak mengikutsertakan DPD dalam proses pembahasan suatu RUU.79

Pembentukan DPD dalam struktur kekuasaan legislatif baru di Indonesia secara langsung lahir sebagai konsekuensi dari proses reformasi kekuasaan legislatif. Sebagai lembaga baru, keberadaan DPD yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat dari setiap provinsi dalam Pemilu memang oleh sebagaian besar masyarakat Indonesia masih sangat awam keberadaannya. Akan tetapi, disisi lain oleh para konstituennya, anggota DPD dianggap lebih legitimate keabsahannya karena mereka telah dipilih secara langsung oleh rakyat. Ini sangat berbeda dengan anggota DPR walaupun dipilih secara langsung oleh rakyat, akan tetapi sebagian besar dipilih oleh partainya, karena kebanyakan tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih.80

Sebagai lembaga baru yang mewakili kepentingan masyarakat daerah pada tingkat nasional, pola relasi antara DPD dengan konstituennya belum terumuskan secara jelas. Belum terdapat suatu mekanisme yang jelas, dan sarana maupun

79 John Pieris, dan Aryanthi Baramuli Putri, DPD RI Studi, Analisis, Kritik, dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Jakarta: Pelangi Cendikia, 2006, hlm. 105.

80 Ibid., hlm. 106.

Page 61: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

50 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

prasarana yang memadai dan dapat menjadi jembatan penyaluran bagi aspirasi masyarakat daerah kepada wakilnya ditingkat pusat melalui anggota DPD. Tanpa mekanisme yang jelas, sarana dan prasarana yang memadai, maka harapan akan fungsi dan peran DPD dalam rangka memper-juangkan kepentingan daerah menjadi tidak optimal.

Selain masalah menyaring, mengelola, dan menindaklanjuti aspirasi konstituennya, maka juga diperlukan adanya mekanisme dan instrumen untuk menilai hasil kineja dan akuntabilitas dari anggota DPD terhadap konstituennya, demikian pula publik pada umumnya.

Kemudian, dalam rangka memenuhi harapan konstituennya, anggota DPD dituntut memiliki kapasitas yang memadai agar dapat menjalankan peran dan fungsinya. Berbagai upaya peningkatan terhadap kapasitas anggota DPD perlu dilakukan untuk meningkat-kan peran dan fungsinya. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk itu, misalnya dengan melaksanakan workshop, atau pelatihan-pelatihan dalam rangka pemantapan kapasitas anggota DPD dalam berperan ditingkat nasional.

Legitimasi yang besar dari para konstituennya memberikan harapan yang besar pula terhadap anggota DPD dalam memperjuangkan aspirasi daerah pada tingkat nasional. DPD dijadikan alternatif baru untuk membawa perubahan ditingkat elite dalam menyerap aspirasi sekaligus memperjuangkan kepentingan masyarakat pada tingkat nasional.

D. Dimensi-Dimensi Penting DPD Keberadaan DPD dalam struktur baru lembaga Negara

menimbulkan dimensi-dimensi yang dianggap baru dan penting dalam konstitusi Negara Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa pada saat ini terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan, peraturan tata tertib, dan kode etik terkait pengaturan segenap dimensi keberadaan DPD dimaksud.

Pada dasarnya terdapat dua dimensi penting mengenai keberadaan DPD sebagai lembaga Negara yaitu: Pertama, dari segi internal kelembagaan atau secara umum sering disebut susunan DPD, sebagai suatu komposisi yang meliputi komponen

Page 62: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 51

dan proses pembentukan komponen tersebut agar dapat tersusun suatu lembaga DPD. Kedua, dari segi eksternal kelembagaan atau secara umum sering disebut kedudukan DPD, yang menunjukkan tempat keberadaan dan posisi relatif DPD dalam struktur ketatanegaraan yang menurut hasil Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 terdiri atas MPR, DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, BPK, MA, MK, dan Komisi Yudisial.

Susunan DPD terdiri atas wakil-wakil dari provinsi yang dipilih melalui Pemilu, dan kedudukannya adalah sebagai lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga Negara yang dikenal dari berbagai lembaga Negara lainnya dalam struktur ketatanegaraan Indonesia.

E. Fungsi, Tugas, dan Wewenang DPD Pasal 22 D ayat (1), (2), dan (3) UUD Tahun 1945

Perubahan ketiga mengatur tentang fungsi, tugas, dan wewenang DPD secara umum.

Pengertian legislasi tertentu dalam fungsi pertama DPD adalah dalam hal pengajuan usul dan ikut membahas hal-hal yang behubungan dengan RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, mengajukan pertimbangan mengenai RUU APBN, serta RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama. Demikian juga halnya DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, serta agama.

Fungsi, tugas, dan wewenang DPD secara umum adalah:81

1. Dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan

81 Ibid., hlm. 83-84.

Page 63: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

52 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

sumber daya alam dan ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.

2. Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah.

3. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berhubungan dengan pajak, pendidikan, maupun agama.

4. Memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK.

5. Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, pembentukan pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, maupun agama serta menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.

6. Menerima hasil pemeriksaan keuangan Negara dari BPK untuk dijadikan bahan dalam membuat pertimbangan bagi DPR tentang RUU APBN.

Secara garis besarnya, pengembangan dari fungsi, tugas dan wewenang DPD dapat digambarkan secara ringkas dalam bagan seperti tersebut di bawah ini:

Page 64: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 53

FUNGSI TUGAS DAN WEWENANG

BIDANG TERKAIT

Perundang-undangan (Legislasi)

� Dapat mengajukan RUU kepada DPR

� Ikut membahas RUU

� Otonomi Daerah

� Hubungan pusat dan daerah

� Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah

� Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya

� Perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Pertimbangan (Konsultasi)

� Memberikan pertimbangan kepada DPR ihwal RUU tertentu

� Memberikan pertimbangan kepada DPR ihwal pemilihan BPK

� RUU APBN � RUU yang

berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

� Pemilihan anggota BPK

Page 65: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

54 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pengawasan (Kontrol)

� Dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan menyampaikan hasil pengawasannya kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti

� Menerima hasil pemeriksaan keuangan negara yang dilakukan BPK.

� Otonomi daerah

� Hubungan pusat dan daerah

� Pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah

� Pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya

� Perimbangan keuangan pusat dan daerah

� Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

� Pajak � Pendidikan � Agama.

Page 66: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 55

Anggaran

(Budgeting) � Sebagai fungsi

khusus yang merangkum ketiga fungsi di atas terkait masalah keungan dan anggaran

� Dapat mengajukan RUU tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah (legislasi).

� Memberikan pertimbangan terhadap RUU APBN (konsultasi)

� Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan APBN (kontrol)

� Perimbangan keuangan pusat dan daerah

� RUU APBN

� Pelaksanaan APBN.

Sumber: Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian Adinabung, Mengenal DPD-RI Sebuah Gambaran Awal.

F. Eksistensi DPD Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah

Pelaksanaan Pemilu pada tahun 2004 menjadi sejarah baru dalam proses demokrasi di Indonesia. Dengan mekanisme pemilihan secara langsung anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), demikian juga pemilihan langsung ekskutif (Presiden/Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupat/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota), menunjukkan bahwa perjalanan demokrasi di Indonesia mengalami kemajuan dibanding-kan pada masa kepemimpinan Orde Baru yang cenderung bersifat otoritarianisme yang represif sentralistik.

Page 67: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

56 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pembentukan DPD sebagai lembaga Negara baru adalah berdasarkan Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 dalam Pasal 22 C, 22 D, dan 22 E. Sebagai lembaga Negara baru yang lahir ditengah arus transisi politik pemerintahan, maka keberadaan DPD belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia pada awal-awal pembentukannya, sekalipun pemilihan anggota DPD juga dilaksanakan secara langsung dan dipilih oleh rakyat melalui mekanisme Pemilu tanpa instrumen partai politik.82

Sampai saat ini masih sangat banyak masyarakat yang tidak mengenal lembaga DPD, bagaimana fungsi, tugas dan wewenangnya. Hal tersebut terjadi karena pada awal Pemilu Tahun 2004 dan Pemilu Tahun 2009 yang baru lalu calon-calon anggota DPD melakukan kampanye tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh calon-calon anggota DPR. DPD berkampanye hanya melalui stiker, spanduk, dan propaganda-propaganda semu. Secara langsung hal ini memberikan implikasi yang tidak menarik perhatian masyarakat selaku konstituennya.

Seharusnya DPD melakukan kampanye dialogis dengan pendekatan mengajak masyarakat untuk belajar mendapatkan pendidikan politik, misalnya dengan cara: memperkenalkan apa itu lembaga DPD, bagaimana fungsi, tugas dan wewenangnya, serta mekanisme kerjanya dalam menyerap dan memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah sebagai basis politiknya, dan apa yang melatarbelakangi sejarah terbentuknya DPD, dan lain-lain.

Sosialisasi kampanye dengan cara-cara dialogis bersama masyarakat daerah akan lebih efektif dalam menemukan serta mencapai apa yang menjadi kebutuhan daerah untuk diperjuangkan di level nasional. Dan juga secara langsung membangun kekuatan bersama antara DPD dengan rakyat dalam mendapatkan kewenangan politik yang lebih besar pada proses demokrasi jangka panjang.

Munculnya lembaga DPD memberikan harapan baru dalam memperjuangkan aspirasi serta kepentingan daerah dalam kerangka pembangunan nasional, setelah sekian lama keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan hanya sebagai

82 Sirajudin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Membangun

Konstituen Meeting, Mempertemukan kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD, Jakarta: Malang Corruption Watch & Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, 2006, hlm. 87.

Page 68: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 57

pelengkap dan tidak memiliki kemampuan untuk berbuat banyak bagi kepentingan daerah di lembaga legislatif MPR.

Meskipun DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berjuang untuk kepentingan masyarakat daerah pada tingkat nasional, akan tetapi hubungan DPD dengan konstituen demikian juga dengan lembaga-lembaga politik/pemerintahan di daerah tidak banyak diatur secara formal normatif pada tingkat strategis seperti UUD dan peraturan perundang-undangan lain. Hal ini secara langsung mengakibatkan lemahnya otoritas DPD dalam memperjuangkan aspirasi daerah yang diwakilinya. Padahal prosedur pemilihan keanggotaan DPD justru jauh lebih rumit dan sulit. Seperti diketahui seseorang baru dapat terpilih menjadi anggota DPD apabila ia benar-benar tokoh yang dikenal luas di daerahnya, dan ia bukan orang partai sehingga sungguh-sungguh dapat dikenali oleh masyarakat di daerahnya di luar konteks mesin politik yang bernama partai.83

Akan tetapi, setelah terpilih menjadi anggota DPD dan mulai melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang-nya, anggota DPD hanya dapat memberikan pertimbangan kepada DPR mengenai urusan legislasi yang berkaitan dengan daerah. Sehingga harapan besar yang diharapkan oleh masyarakat daerah menjadi keniscayaan bagi DPD untuk dapat memperjuangkannya secara maksimal.

Untuk memberikan kewenangan pada DPD agar dapat maksimal memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah di era otonomi daerah, maka sangat diperlukan pemberian otoritas yang lebih luas atau setidak-tidaknya sama antara DPD dan DPR berkaitan dengan kepentingan daerah, termasuk dalam hal ini hak veto bagi DPD untuk tidak menyetujui RUU yang tidak memberikan kontribusi bagi kesejahteraan masyarakat daerah.

Oleh karena itu, kepada DPD tidak hanya diberikan hak sebatas mengajukan dan ikut membahas bersama DPR atau Pemerintah RUU yang berkaitan dengan daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, melainkan juga terhadap hal-hal lain yang dianggap

83 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen

dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996, hlm. 32.

Page 69: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

58 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

krusial dibidang pemerintahan dan berkaitan dengan kepentingan daerah.

Keterbatasan wewenang yang dimiliki, tidak berarti menjadi alasan penghalang bagi DPD untuk bekerja keras dan berbuat lebih banyak untuk memperjuangkan kepentingan daerah. Apabila DPD tidak melakukan kreasi yang lebih bergairah dan baru untuk memaksimalkan kewenangan yang dimiliki, atau jika DPD hanya bertumpu pada rujukan UU yang mengatur kewenangannya, maka DPD akan berada pada kondisi dilematis. Dimana di satu sisi DPD tidak memiliki bargaining posisition terhadap lembaga Negara lainnya seperti DPR dan MPR, dan pada pihak lain rakyat di daerah menjadi apatis bahkan bersikap resistensi terhadap keberadaan DPD.84

Apabila DPD telah berupaya lebih keras dan maksimal mempopulerkan keberadaannya terhadap konstituen di daerah dengan kewenangan yang sangat terbatas dan mengakibatkan tidak maksimalnya kinerja DPD, maka masyarakat selaku konstituen DPD akan menjadi asset terbesar bersama-sama dengan DPD untuk meminta kepada Pemerintah pemberian kewenangan yang lebih besar lagi kepada DPD dalam memberikan solusi bagi setiap persoalan yang dihadapi daerah.

Salah satu dalil yang sangat penting diangkat oleh DPD dalam memperjuangkan kepentingan daerah adalah seperti: memprioritaskan kesejahteraan rakyat daerah, mengurangi angka pengangguran di daerah serta pemenuhan hak-hak ekonomi, sosial, budaya sebagai salah satu kebutuhan utama bagi masyarakat daerah. Dengan demikian apabila hal tersebut dapat maksimal diupayakan DPD di daerah, maka keberadaan DPD tidak sama dengan Utusan Golongan atau Utusan Daerah yang pada jamannya tidak mempunyai kemampuan secara optimal memperjuangkan kepentingan daerah. Bahkan tidak mustahil akan dapat mengangkat citra positif DPD sebagai lembaga negara baru bagi masyarakat daerah khususnya, dan bagi kepentingan nasional pada umumnya.85

Sebagai lembaga negara yang baru dengan kewenangan sangat terbatas, DPD memerlukan suatu ikhtiar politik untuk menjauhkan tudingan masyarakat daerah.

84 Ibid., hlm. 89. 85 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm.

91.

Page 70: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 59

G. DPD dalam Format Otonomi Daerah

Bergulirnya era reformasi pada akhir tahun 1998 secara langsung telah memberikan implikasi terhadap format politik pemerintahan di Indonesia. Tuntutan reformasi disegala bidang kehidupan, khususnya pada bidang politik pemerintahan memunculkan suatu agenda kesepakatan nasional baru pada penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Agenda nasional tersebut dituangkan dalam TAP MPR No. XV/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI. TAP MPR No. XV/MPR/1998 menjadi landasan lahirnya Paket UU Otonomi Daerah, dimulai dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 tahun 2008 Tentang Perubahan Ke dua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.86

Pembangunan daerah dilaksanakan melalui penyelenggaraan otonomi daerah. Hal ini memberikan pengertian bahwa pembangunan nasional dimulai atau berdasarkan dari hak untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerah. Mulai dari proses perencanaan dan pelaksanaan, sepenuhnya diserahkan oleh aparatur dan kelembagaan di daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan daerah dilaksana-kan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Masyarakat daerah mempunyai peran besar, untuk mengawal proses demokratisasi yang sampai saat ini terus berlangsung di Indonesia. Daerah memilki dasar yang kuat dalam penyelenggaraan pembangunan daerah menurut prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat daerah.

Secara jelas dan tegas telah dinyatakan bahwa aspek demokrasi dan memperhatikan keragaman daerah merupakan

86 Henrico Hutagalung, Penyelenggaraan Otonomi Daerah Setelah Berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke dua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daeah (Studi di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara), Tesis, Medan: Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2009, hlm. 13.

Page 71: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

60 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

posisi strategis bagi daerah dalam mempercepat pembangunan menuju kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian akan menghilangkan program-program yang selama orde baru sering bersifat massal dan uniform, serta justru sering belum tentu sesuai dengan kondisi kenyataan kebutuhan masyarakat daerah.87

Karena atas dasar prakarsa sendiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat daerah, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak lagi didasari atas program dan perencanaan dari Pemerintah pusat. Oleh karena telah dirumuskan dari daerah sendiri sesuai dengan harapan serta aspirasi rakyat daerah, maka diharapkan penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar bermakna bottom up, sehingga bias dalam mencari solusi atas masalah pembangunan daerah antara perencanaan top down dengan bottom up tidak lagi ditemukan seperti pada masa era orde baru.

Berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka makna otonomi daerah harus ditempatkan dalam format yang benar dalam mengkoordinasikan dan memadukan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, dan pengawasan pem-bangunan daerah menuju pengembangan serta pertumbuhan daerah sesuai dengan kebutuhan dan kondisi nyata masyarakat daerah.88

Format tersebut dimulai dari perencanaan strategis melalui pengembangan visi, misi, dan strategi yang jelas sampai pada perencanaan taktis. Disusul pelaksanaannya secara nyata dan memberikan manfaat yang positif, efektif bagi rakyat daerah, serta menampilkan pelaksanaan fungsi pengendalian dan pengawasan berdasarkan prinsip-prinsip akuntabilitas.

Peranan yang besar harus pula diikuti dengan komitmen yang jelas dari segenap penyelengga pemerintahan di daerah. Keberadaan aparatur, kekuatan sosial politik, dan seluruh komponen daerah, termasuk dalam hal ini lembaga DPD yang keberadaannya terbentuk setelah Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 tanggal 9 November Tahun 2001, harus merasa tertantang dan terpanggil dengan paradigma baru pemerintahan daerah. Seluruh kekuatan dan potensi yang ada diberdayakan

87 H.A. Dj. Nihin, Paradigma Baru Pemerintahan Daerah Menyongsong

Millenium Ketiga, Jakarta: Mardi Mulyo, 1999, hlm. 32. 88 Ibid., hlm. 34.

Page 72: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 61

untuk pengembangan kehidupan di segala bidang, dan bersemangat untuk melakukan pemberdayaan potensi-potensi daerah.

Tantangan, hambatan, maupun rintangan harus menjadi penggugah semangat atau kemauan dalam mewujudkan kemajuan daerah. Seluruh kekuatan dan potensi daerah yang ada harus memiliki basic need for achievement. Tidak mengorbankan kepentingan rakyat daerah karena ingin menyelamatkan diri, atau menonjol-kan kepentingan yang sempit dalam merespon tuntutan aspirasi daerah. Dalam melaksanakan kewajibannya sebagai komponen dan kekuatan daerah tidak cukup hanya melalui kehendak, tetapi harus memiliki komitmen/ kemauan yang keras untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan tugas dan peranan sebagai aparatur penyelenggara pemerintahan daerah, komponen sosial politik daerah, demikian juga sebagai lesgislatif daerah yang bertugas dalam kebijakan politik di tingkat nasional.

Sangat diperlukan sense of crisis dan sense of urgency baik dari aparatur daerah, masyarakat daerah, dan seluruh komponen sosial poltik daerah untuk mencari format perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan daerah. Dengan demikian cita dan koridor pemerintah yang bersih dan berwibawa (good governance) di daerah menjadi persoalan dan tanggung jawab bersama baik Pemerintah daerah sebagai institusi maupun masyarakat daerah sebagai pemilik (stake holder) kedaulatan rakyat daerah.

Sebagaimana ditemukan dalam ilmu politik, bahwa masalah utama dalam politik adalah bagaimana menciptakan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif, dan bagaimana membuat pemerintahan tersebut menjadi demokratis.89 Kedua hal tersebut secara praktis tampak saling bertentangan, terdapat semacam dilema. Namun idealnya adalah bagaimana tercipta suatu pemerintahan yang efektif sekaligus demokratis. Hal ini membawa konsekuensi untuk tetap mempertimbangkan secara adil kedua tantangan tersebut dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Terhadap keberadaan lembaga pemerintah daerah, demikian juga lembaga perwakilan daerah seperti DPD sebagai

89 Samodra Wibawa, Kebijakan Publik, Proses, dan Analisis, Jakarta: Intermedia, 1994, hlm. 6.

Page 73: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

62 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

perantara kedaulatan rakyat daerah dalam memperjuangkan aspirasi daerah pada tingkat nasional, mempunyai kewajiban dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya masing-masing untuk senantias memiliki keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat daerah. Berusaha secara optimal untuk kepentingan rakyat daerah walaupun dengan berbagai keterbatasan kewenangan yang dimiliki.

Menjadi fokus perhatian DPD dalam format otonomi daerah adalah persoalan mengenai ketepatan serta kecermatan DPD dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang yang terbatas dimilikinya, untuk secara kualitatif dilaksanakan sesuai dengan aspek-aspek kebutuhan nyata dari masyarakat daerah. Anggota DPD harus memiliki aspek-aspek keahlian yang terkandung dalam kelembagaan secara lebih inherent, (kelekatan, kedekatan, dan kesifatannya), tidak saja aspek ketokohannya yang dtonjolkan. Jadi dalam hal ini format DPD dalam otonomi daerah sangat berkaitan erat dengan siapa melaksanakan apa yang setepat-tepatnya. Pengertian siapa dalam hal ini adalah, seluruh anggota DPD yang berjuang untuk kepentingan aspirasi rakyat daerahnya pada tingkat nasional.

Harold Laswell, melalui teori politiknya yang populer, menyatakan bahwa dalam tataran implementasi politik dan kebijakan sangat penting diperhitungkan mengenai siapa mendapat apa, dalam waktu kapan, serta dalam kondisi yang bagaimana.90 Cermin politik Indonesia masih berwajah weberian yang memandang politik hanya sebagai kekuasaan dalam hal penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam hal ini Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses melakukan monopoli penggunaan fisik dalam suatu wilayah tertentu. Di Indonesia hal tersebut tergambar pada realitas politik yang tidak terlepas dengan sejarah politik orde baru, dengan tradisi kekuasaan Pemerintah (eksekutif heavy) lebih dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Perjalanan panjang dalam merumuskan sistem serta kultur politik yang mengedepankan kebutuhan serta kepentingan masyarakat banyak merupakan salah satu yang

90 Harold Laswell, dalam Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik,

Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1999, hlm. 1.

Page 74: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 63

menjadi latar belakang melahirkan konsep penyelenggaraan otonomi daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.91

Pada setiap momen politik, sangat jarang muncul komitmen politik dari elit politik untuk mengedepankan persoalan rakyat. Justru elit politik lebih mengutamakan berkonsentrasi pada kursi kekuasaan, walaupun pada akhirnya rakyat menjadi korban kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.

Desentralisasi penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan menjadi titik awal dalam merubah sistem pemerintahan, yang pada awalnya daerah tidak memiliki kewenangan dalam mengurus kepentingan daerah, Pemerintah pusat memiliki hak otoritatif untuk mengatur dan menentukan segala kepentingan dan persoalan masyarakat daerah, menjadi memberikan kewenangan seluas-luasnya bagi daerah untuk menentukan, menyelesaikan, serta membuat kebijaksanaan sendiri, yang dianggap penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah, terkecuali kewenangan pada bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisial, moneter/fiskal nasional, dan agama tetap menjadi kewenangan Pemerintah pusat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 jo UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah.92

Amandemen UUD Tahun 1945 merupakan salah satu prestasi dalam kebijakan politik kenegaraan yang telah turut melahirkan lembaga Negara yang baru yaitu DPD, untuk menyuarakan dan memperjuangkan kebutuhan serta kepentingan masyarakat daerah. Harus diakui bahwa sebelumnya, Utusan Daerah dalam MPR dinilai kurang berhasil dan tidak efektif melaksanakan aspirasi daerah. Otonomi daerah dianggap lebih efektif dan efisien dalam membangun kesejahteraan daerah.

Otonomi bukan saja sekedar diberikannya regulasi kepada daerah dalam menyelesaikan segala permasalahan dan kepentingan daerah, akan tetapi lebih dari itu, bahwa dengan otonomi diberikan ruang yang seluas-luasnya pada daerah

91 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm.

92. 92 Henrico Hutagalung, Op.Cit., hlm. 13.

Page 75: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

64 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

untuk menata, mengelola, segala potensi daerah untuk kesejahteraan masyarakat daerah.

Oleh karena itu dalam pelaksanaan otonomi daerah, turut pula diberi keleluasaan dan kemandirian bagi daeah untuk mengatur daerahnya. Masyarakat dan pemerintah daerah lebih mengetahui serta memahami karakter dan potensi yang ada di daerahnya untuk dirumuskan dalam kebijakan yang akan dilaksanakan untuk kesejahteraan masyarakat daerah.

Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan, daerah memiliki hak otoritatif dalam membuat regulasi yang berkaitan dengan kepentingan serta kebutuhan daerah. Birokrasi di daerah sepenuhnya diserahkan kepada daerah, sehingga secara fungsional birokratis pemerintahan di daerah adalah menjadi urusan pemerintah daerah. Dengan demikian, diharapkan cita-cita otonomi akan tercapai melalui pendekatan pemerintah daerah dengan masyarakat daerah.93

Otonomi pada pelaksanaannya juga memberi ruang bagi timbulnya “penguasa-penguasa baru”, di daerah yang mempunyai anggapan sebagai penguasa tunggal daerah. Sehingga otonomi yang secara substansi adalah untuk memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan menata daerahnya dalam memaksimalkan potensi dan segala sumber daya daerah yang ada untuk kesejahteraan rakyat, justru terjadi berbagai penyimpangan kekuasaan (abuse of power) dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.94

Berbagai masalah hukum, terutama yang berkaitan dengan penyimpangan dana kas daerah, dan penyalahgunaan anggaran dalam proyek-proyek strategis di pemerintahan daerah, yang telah melibatkan beberapa Gubernur, Bupati, Walikota, atau Kepala-kepala dinas selaku Satuan Kerja Perangkat Daerah di berbagai daerah di Indonesia, merupakan salah satu bukti bahwa otonomi daerah juga menimbulkan suatu kerawanan apabila tidak dilaksanakan sesuai dengan tujuannya. Padahal maksud dan tujuan dari otonomi daerah adalah sebagai salah satu bentuk desentralisasi pemerintahan yang pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu berupaya untuk lebih mendekatkan

93 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm.

94. 94 Ibid.

Page 76: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 65

penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat dalam rangka pencapaian masyarakat adil dan makmur.95

Secara realita apabila otonomi daerah tidak terlaksana sebagaimana mestinya, artinya tidak terjadi proses kesejahteraan hidup masyarakat secara berkesinambungan, maka otonomi pada akhirnya akan merugikan rakyat daerah sendiri.

Pada prakteknya, penyelenggaraan otonomi daerah selama ini belum didukung oleh berbagai peraturan yang lebih mementingkan aspirasi masyarakat daerah, baik pada tingkat UU sampai dengan Paraturan Daerah (Perda). Sebagai contoh, sejak era otonomi daerah dilaksanakan sering terjadi tumpang tindih peraturan dalam mengatur kepentingan masyarakat daerah misalnya dalam hal bagi hasil dari lahan perkebunan yang terdapat di suatu daerah.

Demikian juga banyak terdapat Perda-Perda yang hanya mementingkan penambahan PAD misalnya tentang retribusi, pajak daerah, pungutan daerah, dan lain-lain yang bersifat pendapatan daerah, daripada mengutamakan program-program pemberdayaan atau keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan di daerah.

Penyelenggaraan otonomi daerah yang tidak dibarengi dengan pemberdayaan masyarakat daerah maka akan mengahasilkan keadaan yang kontraproduktif. Peranan masyarakat, demikian juga sektor swasta memberikan sumbangan yang sangat besar dalam menentukan tingkat keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah. Tanpa memberikan peningkatan atas partisipasi masyarakat dan sektor swasta, maka otonomi akan kehilangan makna dasarnya yaitu mempercepat proses pembangunan daerah.

Melalui otonomi, Pemerintah daerah mempunyai peluang yang lebih besar untuk mendorong dan memberi motivasi membangun daerah yang kondusif, sehingga akan memunculkan kreasi dan daya inovasi masyarakat yang dapat bersaing dengan daerah lain. Disamping itu, daerah dapat membangun pusat pertumbuhan daerah, mengingat daerah

95 Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Daerah, Jakarta: Surya

Mukti Grafika, 2001, hlm. 35.

Page 77: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

66 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

lebih mengetahui potensinya serta lebih akrab dengan masyarakat dan lingkungannya.96

Otonomi tidak hanya dipandang sebagai hak dan kewenangan semata, akan tetapi harus lebih pada penekanan kewajiban dan tanggung jawab, sehingga bagi daerah dituntut untuk lebih mengembangkan serta meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM), kelembagaan ketatalaksanaan, kualitas personal birokrasi, kelayakan organisasi, dan kecanggihan serta keterampilan teknologi administrasi. Otonomi juga tidak semata-mata hanya tampak dalam penyerahan urusan dan sumber-sumber penghasilan daerah, akan tetapi lebih jauh dari itu bahwa dengan kewenangan yang dilimpahkan dalam otonomi harus mampu memberikan kontribusi terhadap kemampuan mengambil prakarsa, sekaligus seberapa jauh legislatif (DPRD, dan DPD) melibatkan diri melakukan pengendalian dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sesungguhnya, penyelenggaraan otonomi daerah dalam sistem pemerintahan daerah saat ini memang rumit dan kompleks, dikarenakan kondisi objektif daerah-daerah yang pada masa lalu masih mengalami kekurangan serta kelemahan-kelemahan terutama pada bidang: kepegawaian, sarana dan prasarana, dan minimnya anggaran. Akan tetapi dalam sistem desentralisasi pada era otonomi seperti saat ini tugas-tugas pemerintahan daerah harus tetap dilaksanakan walaupun kemandirian daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan belum terlaksana seutuhnya.97

Fakta dan keadaan saat ini, masalah yang lebih besar dihadapi pada saat otonomi daerah tersebut benar-benar telah dimulai adalah mampukah daerah yang selama ini tertinggal dari semua lini kehidupan dapat memberdayakan diri dan daerahnya. Apakah otonomi daerah tersebut akan memunculkan “penguasa-penguasa baru” dalam ruang lingkup yang berbeda, mengingat keterbelakangan selama ini dan secara relatif belum dapat mengimbangi berbagai kecepatan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin maju dan canggih. Ataupun otonomi daerah akan melahirkan “raja-raja kecil” seperti landlords di daerah-daerah dengan memanfaatkan

96 HAW. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2002, hlm. 77. 97 Ibid., hlm. 78.

Page 78: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 67

ketidakpastian maupun keterbelakangan masyarakat daerah. Hal tersebut di atas merupakan suatu masalah besar yang perlu mendapat perhatian serta tanggapan dari semua pihak.

Amandemen UUD Tahun 1945 yang telah melahirkan konsep dua kamar dalam parlemen di Indonesia dengan dibentuknya DPD, maka diharapkan akan berfungsi sebagai check and balance sebagaimana keberadaan DPR selama ini. Secara politik eksistensi DPD memiliki akar legitimasi yang lebih berakar dan kokoh daripada DPR yang berangkat melalui partai politik sebagai instrumen politiknya dalam meraih kekuasaan, sehingga DPR terkesan tampak setengah hati di dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.98

Sangat berbeda dengan keberadaan DPD. Anggota DPD sejak tahun 2004 telah dipilih secara langsung oleh rakyat tanpa melalui instrumen politik seperti partai politik atau simbol-simbol kekuasaan lainnya. Kondisi demikian memiliki kebebasan politik secara luas (political freedom) dalam usaha memper-juangkan nasib dan tuntutan rakyat di daerah.99

Independensi DPD merupakan peluang strategis untuk mengangkat dan terus melakukan komunikasi intensif dengan masyarakat daerah dalam mendapatkan informasi-informasi yang aktual dan krusial sehubungan dengan proses kesejahteraan maupun kemandirian masyarakat daerah. Dengan adanya lembaga baru DPD, maka akan membantu dan mempercepat pencarian solusi atas problem-problem masyarakat daerah. Artinya dengan azas desentralisasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah dimana daerah mempunyai kewenangan untuk mengelola pemerintahan daerah agar lebih mengedepankan kesejahteraan rakyat, DPD sebagai legislatif daerah yang ikut berperan dalam kebijakan politik nasional dapat turut serta secara aktif menopang program-program pembangunan kesejahteraan masya-rakat daerah ditingkat pusat.

DPD cukup efektif untuk mendalami dan memahami berbagai persoalan di daerahnya. Melalui azas desentralisasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, maka DPD dapat melakukan pendekatan secara intensif terhadap konstituennya

98 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm.

95. 99 Ibid.

Page 79: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

68 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

dimasing-masing daerah. Pendekatan tersebut dapat dilakukan DPD melalui jalur struktural yaitu dengan melakukan kerjasama pada Pemerintah daerah, dan jalur kultural misalnya dengan melakukan dialog langsung secara sosiologis kepada konstituen, melalui wadah-wadah perkumpulan adat, majelis-majelis taklim, atau organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya.100

Melalui semangat otonomi daerah serta ditopang dengan keberadaan DPD sebagai asset daerah yang berkompetisi di legislatif tingkat nasional, maka proses percepatan kesejahteraan rakyat daerah, bahkan kedewasaan politik dan demokratisasi masyarakat di daerah akan semakin terbuka lebar.

Penyelenggaraan otonomi daerah, secara sungguh-sungguh harus didukung pula oleh kearifan lokal melalui kreatifitas maksimal DPD, meskipun dengan kewenangan yang sangat terbatas pada DPD, tetapi melalui pendekatan-pendekatan, atau loby secara bersama-sama dengan Pemerintah daerah, dan segenap kekuatan politik di daerah menyuarakan kepada Pemerintah apa yang dianggap penting dalam proses mensejahterakan masyarakat daerah. Sehingga dalam membuat keputusan dalam tingkat UU ataupun pemerataan anggaran bagi masyarakat daerah, Pemerintah juga ikut arif dan bijaksana untuk mempertimbangkan apa yang direkomendasikan oleh DPD, atau bahkan dimasa yang akan datang memberikan kewenangan yang lebih besar lagi bagi DPD dalam kiprah politik nasional.

1. Peran DPD di Daerah DPD mempunyai peran dan tanggung jawab secara moral

untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat daerah yang diwakilinya. Oleh karena itu DPD harus dapat mengidentifikasi serta menginventarisir kebutuhan dan kepentingan yang benar-benar dibutuhkan masyarakat daerahnya.

Di era demokrasi yang semakin maju saat ini, menyampaikan sekaligus memperjuangkan aspirasi masyarakat daerah adalah merupakan kewajiban yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh DPD. Kalau tidak, maka DPD sendiri telah mengingkari sejarah politiknya yang memposisikan diri bahwa

100 Ibid., hlm. 96.

Page 80: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 69

DPD merupakan penyambung kepentingan aspirasi masyarakat daerah dalam pembangunan nasional.101

Berbagai daerah di seluruh Indonesia baik secara ekonomis, sosiologis, dan budaya mempunyai keberagaman dalam banyak hal. Hal ini berimplikasi pada kepentingan dan kebutuhan apa yang sangat dibutuhkan suatu daerah dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karenanya DPD sebagai asset daerah yang berperan dalam politik nasional diharapkan mempunyai kepekaan terhadap segala persoalan dan kepentingan masyarakat daerah yang diwakilinya, dan mampu melihat serta menggali segala potensi daerah yang dapat diperjuangkan pada Pemerintah untuk kesejahteraan rakyat daerah. Sehingga dalam hal penyambung aspirasi kepentingan daerah, DPD tidak salah sasaran dalam merumuskan maupun mengajukan RUU yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

Kemampuan DPD dalam menyerap aspirasi masyarakat daerah sebagai konstituen yang telah memilihnya terutama pada setiap masa reses, secara tidak langsung menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tidak tepat dalam mekanisme penjaringan aspirasinya. Sebagai contoh dalam kegiatan DPD Konstituen Meeting yang pernah diselenggarakan di 4 Provinsi yaitu Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur pada tahun 2008 lalu, diketahui muncul beberapa permasalahan dari rakyat daerah sebagai konstituen pemilih, bahwa pada setiap masa reses anggota DPD yang kembali ke daerahnya tidak mampu mengartikulasikan maupun memenuhi harapan rakyat daerah yang semestinya diemban oleh DPD, sehingga pada masa-masa reses berikutnya ada beberapa anggota DPD yang tidak siap untuk menemui kembali konstituennya dan hanya melakukan kunjungan pada pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/Kota, dan secara langsung tidak menghasilkan hal yang positif untuk memperjuangkan aspirasi rakyat daerah.102

Munculnya perbedaan dalam mencari bentuk mekanisme dalam mengatur proses penjaringan aspirasi masyarakat daerah, merupakan realitas yang ikut memberikan kontribusi negatif atas minimnya akuntabilitas kinerja DPD terhadap masyarakat daerah. Keadaan ini menjadi faktor penghambat kedua, setelah

101 Ibid., hlm. 98. 102 Ibid., hlm. 99.

Page 81: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

70 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

faktor kewenangan yang sangat terbatas diberikan Pemerintah terhadap DPD sehingga nilai positif dari proses demokrasi langsung yang sebelumnya terbangun dalam relasi politik antara DPD dengan konstituennya menjadi tidak komunikatif dan efektif.

Secara jelas tersebut di atas tergambar dalam proses reses antara DPD dengan konstituennya di daerah, dimana konstituen mempunyai cara dan perspektif tersendiri dalam menyampaikan kepentingan serta aspirasinya dan meminta pertanggungjawaban terhadap anggota-anggota DPD, sedangkan DPD memilih posisi cara dan perspektif sendiri pula dalam mengakomodasi aspirasi konstituen dan dalam menyampaikan pertanggung jawabannya.103 Hal tersebut terjadi secara garis besarnya disebabkan oleh tidak seimbangnya antara proses rekrutmen anggota DPD yang dilakukan secara langsung tanpa melalui partai politik, dengan terbatasnya kewenangan yang diberikan kepada DPD disertai dengan tidak rincinya tugas dan wewenang yang diberikan Pemerintah pada DPD.

Beberapa usulan yang berkembang pada pertemuan DPD di empat Provinsi sebagaimana tersebut sebelumnya, untuk mensinergikan peran DPD dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah misalnya dapat dilakukan melalui penjaringan aspirasi masyarakat melalui konsultasi publik dengan mekanisme tatap muka secara langsung dari unsur tokoh-tokoh masyarakat, kaum ulama, unsur pendidikan dan Perguruan Tinggi, untuk membuat verifikasi tentang kebutuhan, persoalan-persoalan, dan kebijakan apa yang segera diperlukan, untuk masyarakat daerah dalam mewujudkan kesejahteraan.104

Dalam proses penjaringan aspirasi masyarakat daerah sangat perlu diperhatikan adalah menentukan segmentasi masyarakat. Hal ini bukan untuk membuat suatu diskriminasi, akan tetapi mengingat keberagaman konstituen di daerah maka diperlukan suatu metode yang tepat digunakan dalam menjaring aspirasi tersebut. Untuk itu dapat dilakukan ke dalam dua segmentasi yaitu: segmentasi konstituen modern, dan segmentasi konstituen tradisional.

Konstituen modern yaitu masyarakat daerah yang mempunyai pola hidup modern dan hidup di wilayah-wilayah

103 Ibid., hlm. 99. 104 Ibid., hlm. 105.

Page 82: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 71

perkotaan dengan tingkat pendidikan rata-rata adalah sekolah tinggi (universitas), sehingga dalam mencari aspirasi kebutuhannya dilakukan dengan pola pikir dan cara hidup yang telah lebih maju dengan mengedepankan misalnya melalui seminar, diskusi publik, lokakarya, atupun penelitian-penelitian, serta pemanfaatan media teknologi informatika.

Konstituen tradisional yaitu masyarakat daerah yang memiliki pola hidup sederhana dan secara langsung tidak bersentuhan dengan media publik ataupun fasilitas-fasilitas teknologi modern dan biasanya hidup di daerah-daerah pinggiran, pedesaan, maupun pegunungan perbukitan, sehingga dalam mencari apa aspirasi yang dibutuhkannya maka diperlukan sosialisasi langsung bahkan DPD dapat melakukan tinggal sementara (life in) di desa-desa dalam waktu-waktu tertentu pada masa reses, berbaur dengan pola hidup masyarakat tradisional sehingga dapat mengartikulasikan sendiri apa sebenarnya yang sangat dibutuhkan oleh konstituen masyarakat tradisional.

Melalui segmentasi tersebut maka diharapkan DPD dapat mempertemukan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat daerah serta membuat kebijakan skala prioritasnya dan menyampaikannya pada Pemerintah untuk dapat disahuti dalam program kebijakan nasional.

Adanya verifikasi seperti di atas diharapkan DPD akan lebih mudah dan aspiratif dalam membuat skala prioritas program kerja, dan melaksanakan tanggung-jawab moralnya untuk memberikan solusi terhadap kepentingan konstituennya, karena aspirasi masyarakat yang telah diterima memang benar-benar menjadi kebutuhan masyarakat daerahnya.

Jadi, tidak seperti saat sekarang ini aspirasi dan kepentingan masyarakat yang mana yang akan diperjuangkan, apa prioritasnya, serta bagaimana DPD memperjuangkannya serba tidak jelas, apalagi tiadanya mekanisme akuntabilitas. Sehingga tidak jarang muncul pendapat ditengah masyarakat bahwa secara kelembagaan DPD memang ada dan dapat dirasakan keberadaannya dalam struktur pemerintahan, akan tetapi eksisitensi dan kinerjanya untuk masyarakat diera otonomi daerah tidak diketahui secara pasti. Kalau dianalogikan keberadaan DPD seperti angin, dapat dirasakan hembusannya tetapi tidak dapat dilihat bentuknya.

Page 83: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

72 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Menjawab tantangan yang dihadapi DPD dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah maka diperlukan kerja keras untuk membangun citra DPD melalui kinerja yang maksimal, dan salah satunya dituntut kemampuan serta kepekaan DPD untuk memperjuangkan aspirasi daerah melalui sidang-sidang DPD, sidang-sidang di DPR/MPR, dan melakukan proses komunikasi politik kepada publik melalui media massa dan elektronik agar aspirasi daerah yang tengah diperjuangkan dapat terukur apakah telah sesuai dengan keinginan konstituen atau belum. Hal tersebut sangat penting dilakukan oleh DPD, mengingat salah satu indikator keberhasilan kinerja DPD dapat diketahui dari perdebatan-perdebatan yang muncul dalam persidangan formal maupun melalui ekspose media.

DPD juga diharapkan mampu berbuat lebih untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat daerah, dan apabila perlu melaksanakan program-program kepen-tingan rakyat daerah dengan kegatan-kegiatan swakarya melalui modal sendiri tanpa mengharapkan dari anggaran dan program kerja Pemerintah, misalnya membuat program-program pelatihan kerja, kursus-kursus pemberdayaan bagi rakyat daerah, dan berusaha memasarkan keterampilan rakyat daerah pada pasar-pasar kerja yang membutuhkannya. Apabila hal ini dapat maksimal dilaksanakan oleh DPD, maka konstituen akan memberikan penilaian positif bagi kinerja DPD, dan secara langsung dapat lebih mendekatkan hubungan batin antara rakyat daerah dengan DPD. Disinilah optimalisasi peran DPD, ditengah keterbatasan kewenangan tetapi mampu memberikan konstribusi nyata untuk kepentingan konstituen. Sehingga stigmatisasi keberadaan DPD sama seperti legislatif lainnya yang cenderung hanya gagah-gagahan dan hanya berbuat untuk kepentingan pribadi dapat terhilangkan.105

105 Ibid., hlm. 108.

Page 84: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 73

BAB III

PERANAN DPD DALAM SISTEM KETATANEGARAAN

A. Kewenangan DPD Menurut UUD Tahun 1945 Membahas sistem ketatanegaraan di Indonesia menurut

UUD Tahun 1945 dengan keberadaan kewenangan DPD di dalamnya, maka terlebih dahulu diuraikan mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD tahun 1945.

Menurut Sri Soemantri, sistem pemerintahan dalam arti yang lebih luas adalah sistem hubungan kekuasaan antara lembaga negara yang terdapat dalam UUD Tahun 1945, sedangkan dalam arti sempit adalah sistem hubungan kekuasaan antara Pemerintah (eksekutif) dan Perwakilan Rakyat (legislatif).106

Sistem dapat juga diartikan sebagai suatu kebulatan atau keseluruhan yang bersifat kompleks atau terorganisasi, suatu himpunan atau perpaduan dari banyak hal atau bagian-bagian dan membentuk suatu kebulatan yang bersifat utuh.107 Sedangkan menurut Prajudi, sistem adalah suatu jaringan dari prosedur-prosedur yang satu dengan lainnya saling berhubungan menurut suatu skema yang bulat dan bertujuan untuk menggerakkan fungsi utama dari suatu urusan.108

Secara ringkas sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang bersifat utuh dari proses rangkaian urusan dan satu dengan lainnya saling berkaitan. Bagian atau anak cabang dari suatu sistem, menjadi induk sistem dari rangkaian selanjutnya, demikian berputar selanjutnya sampai pada bagian

106 Sri Soemantri, Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Pasca Amandemen UUD 1945, dalam Hartati, Eksistensi dan Kedudukan DPD dalam Pembentukan UUD Menurut UUD 1945, Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Pandjajaran, 2008, hlm. 190.

107 S. Pamudji, Teori Sistem dan Penerapannya dalam Management, Jakarta: Ichtiar Baru, 1981, hlm. 4.

108 H.S. Prajudi Atmosudirdjo, Dasar-Dasar Office Management, Jakarta: Ghalia, 1973, hlm. 111.

Page 85: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

74 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

yang terkecil. Terganggunya salah satu dari bagian maka akan mengganggu kestabilan sistem tersebut secara keseluruhan.

Pemerintahan Indonesia adalah merupakan salah satu contoh dari sistem pemerintahan, dan anak cabangnya adalah sistem pemerintahan daerah Provinsi, Kabupaten, Kota, Kecamatan, Desa atau Kelurahan.109

Apabila pengertian-pengertian tersebut di atas dikaitkan dengan sistem ketatanegaraan, maka kebulatan atau keseluruhan yang utuh itu adalah organisasi negara, sedangkan komponen-komponennya adalah organ-organ atau lembaga-lembaga negara yang mempunyai susunan, kedudukan, dan fungsinya masing-masing, dan pada gilirannya satu lembaga negara merupakan satu sistem tersendiri, demikian pula lembaga-lembaga negara yang lain, saling berhubungan satu dengan lainnya mengikuti satu pola, tata, maupun norma tertentu. Secara keseluruhan adalah dalam rangka mencapai tujuan pemerintahan negara yang lazim dirumuskan dalam suatu UUD Negara.110

Berdasarkan sejarah ketatanegaraan Indonesia sejak kemerdekaan sampai saat ini, maka di Indonesia telah pernah berlaku sistem ketatanegaraan berdasarkan Konstitusi RIS Tahun 1949, sistem ketatanegaraan berdasarkan UUDS Tahun 1950, sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD Tahun 1945 sebelum amandemen, sistem ketatanegaran berdasarkan UUD Tahun 1945 setelah amandemen pertama sampai keempat. Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah berdasarkan sistem ketatanegaraan setelah amandemen ketiga UUD Tahun 1945, dimana DPD lahir sebagai lembaga negara yang baru berdasarkan amandemen ketiga UUD Tahun 1945 pada tahun 2001.

DPD merupakan lembaga negara yang baru terbentuk di Negara Indonesia setelah amandemen ketiga UUD Tahun 1945, artinya sebelum diamandemen UUD Tahun 1945, tidak dikenal adanya nama DPD sebagai salah satu lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Atas dasar tersebut, secara yuridis formal DPD mendapatkan landasan yuridis konstitusional setelah amandemen ketiga UUD Tahun 1945.

109 Inu Kencana Syafei, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung:

Eresco, 1992, hlm. 101. 110 Hartati, Op.Cit., hlm. 191.

Page 86: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 75

Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) UUD Tahun 1945, bahwa MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu dan diatur lebih lanjut dalam UU. Dari pasal tersebut, menempatkan DPD sebagai lembaga perwakilan tingkat pusat.111

Pasal 22 C perubahan ketiga UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa:

(1) Anggota DPD dipilih dari setiap Provinsi melalui Pemilu.

(2) Anggota DPD dari setiap Provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.112

(3) DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.

(4) Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan UU.113

Berdasarkan rumusan Pasal 22 C perubahan ketiga UUD Tahun 1945 sebagaimana tersebut di atas, secara terang menggambarkan bahwa materi muatan yang diatur adalah mengenai keanggotaan DPD, yaitu anggota DPD dipilih melalui Pemilu dari setiap Provinsi d an jumlahnya sama bagi setiap Provinsi yang ada di Indonesia, serta jumlah tersebut tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.

Kewenangan DPD diatur dalam Pasal 22 D perubahan ketiga UUD Tahun 1945. Sebelum mengurai-kan tentang kewenangan DPD, ada baiknya terlebih dahulu diberikan batasan mengenai pengertian dari kewenangan.

Secara etimologis istilah kewenangan berasal dari istilah wewenang, dan merupakan padanan dari kata competence atau bevoegheid.114

111 Ibid., hlm. 193. 112 Rumusan ini menunjukkan pendekatan yang digunakan bukanlah

pendekatan hukum, melainkan pendekatan politik. Karena jumlah anggota DPD selalu mengalami perubahan dalam lima tahun sekali sesuai dengan pergeseran anggota DPR (hal ini akibat ukuran yang digunakan adalah sepertiga anggota DPR). Lihat Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Op.Cit., hlm. 57-58.

113 Berdasarkan Pasal 22 C ayat (3) Perubahan ketiga UUD Tahun 1945, maka dibentuk UU No.22 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 27Tahun 2009 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

114 Lihat Hartati, Ibid., hlm. 194.

Page 87: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

76 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

S.F. Marbun mengatakan pengertian kewenangan atau authority, gezag adalah sebagai bentuk kekuasaan yang telah diformalkan baik terhadap segolongan orang tertentu maupun kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu secara bulat dan bersumber dari kekuasaan legislatif maupun kekuasaan Pemerintah.115 Lebih lanjut ia mengatakan wewenang merupakan kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis wewenang adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melaksanakan hubungan-hubungan hukum.116

Dari pandangan yang dikemukakan oleh S.F. Marbun seperti di atas terdapat makna, bahwa kewenangan adalah merupakan kekuasaan yang telah dibentukkan dalam arti pelaksanaan, sedangkan bidang tertentu dari kekuasaan itu disebut sebagai wewenang. Oleh karena itu suatu lembaga, badan, atau organ, dinyatakan mempunyai kewenangan, apabila lembaga, badan, atau organ, tersebut telah mempunyai bentuk-bentuk cara melaksanakan wewenangnya.

Soerjono Soekanto memberikan perbedaan secara gramatikal mengenai istilah kekuasaan dan wewenang (authority). Menurutnya setiap kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain dapat dikatakan sebagai kekuasaan, karena itu kekuasaan dapat dilihat dari hubungan antara yang berkuasa dan yang dikuasai, atau antara pihak yang mempunyai kemampuan melaksana-kan pengaruh sedangkan pihak lainnya menerima pengaruh tersebut dengan baik tidak terpaksa. Sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atau sekelompok orang yang memiliki dukungan atau mendapat pengakuan dari masyarakat.117

Dalam batasan pengertian yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto tersebut, secara garis besar dapat disimpulkan bahwa wewenang merupakan kekuasaan, sedangkan kekuasaan belum tentu termasuk dalam kategori wewenang.

115 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya

Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997, hlm. 154. 116 Ibid. 117 Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali

Pers, 1988, hlm. 79-80.

Page 88: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 77

Menurut Bagir Manan, bahwa istilah kekuasaan dan wewenang mempunyai suatu perbedaan. Kekuasaan atau macht tidak sama pengertiannya dengan wewenang. Kekuasaan memberikan gambaran tentang hak untuk melakukan perbuatan atau tidak, sedangkan wewenang mempunyai arti sebagai hak dan sekaligus kewajiban (rechten en plichten).118

Oleh karena itu, terlihat bahwa di dalam kekuasaan terdapat adanya unsur kebebasan yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan pada tataran wewenang, maka pemegang kewenangan tidak hanya diberikan hak untuk berbuat tetapi juga diberikan kewajiban untuk melakukan sesuatu.119

Hak pada dasarnya dapat dikatakan sebagai kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu berkenaan dengan sesuatu atau terhadap subjek hukum tertentu atau semua subjek hukum tanpa halangan atau gangguan dari pihak manapun, dan kebebasan tersebut mempunyai landasan hukum dan karena itu juga dilindungi oleh hukum, sedangkan kewajiban pada dasarnya merupakan kaharusan yang telah ditetapkan oleh hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, dan apabila tidak dilaksanakan akan menimbulkan akibat hukum tertentu bagi pelaksana kewajiban tersebut.120

Penekanan pada kebebasan dan keharusan, menunjukkan bahwa hak sesungguhnya bertumpu pada adanya kebebasan, sedangkan kewajiban bertumpu pada adanya keharusan. Oleh karena itu, pada kekuasaan maka penekanannya hanya memiliki hak tanpa dibebankan adanya kewajiban, demikian sebaliknya pada kewenangan penekanannya tidak hanya memiliki hak tetapi juga dibebankan suatu kewajiban.121

Sumber atau atribusi dari suatu wewenang asalnya dapat bersumber dari pemerintahan pada tingkat pusat dan

118 Lihat Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam

Rangka Otonomi Daerah, sebagaimana dinyatakan oleh Hartati, dalam Eksistensi dan Kedudukan DPD dalam Pembentukan UU Menurut UUD Tahun 1945, Disertasi, Op.Cit., hlm. 197.

119 Ibid. 120 Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu

Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000, hlm. 90.

121 Hartati, Op.Cit., hlm. 199.

Page 89: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

78 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

pemerintahan pada tingkat daerah. Sumber atau atribusi yang berasal dari Pemerintah di tingkat pusat bersumber dari MPR berupa UUD dan Ketetapan MPR lainnya, dan yang bersumber dari DPR bersama Pemerintah berupa UU, sedangkan sumber atau atribusi yang berasal dari Pemerintah di tingkat daerah, bersumber dari DPRD dan Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah (Perda).122

Berdasarkan pengertian seperti diuraikan di atas, maka kewenangan yang yang lahir dari atribusi menunjukkan bahwa kewenangan tersebut adalah wewenang yang baru, sedangkan pada delegasi dan mandat penekanannya yaitu pada pelimpahan wewenang dari suatu badan atau pejabat tata usaha negara lainnya dalam lingkup pemerintahan (eksekutif).

Oleh karenanya wewenang yang terdapat pada delegasai dan mandat tersebut bukan merupakan wewenang yang baru, tetapi merupakan wewenang yang sebelumnya dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara (yang bersumber dari atribusi) dan kemudian dilimpahkan kembali kepada suatu badan atau pejabat tata usaha negara yang lainnya.123

Berdasarkan pengertian kewenangan seperti telah diuraikan di atas, dapat diketahui bahwa kewenangan DPD merupakan kewenangan yang berasal dari atribusi yang telah dilembagakan secara formal pelaksanaannya di dalam Pasal 22 D Perubahan ketiga UUD Tahun 1945. Dalam Pasal 22 D Perubahan ketiga UUD Tahun 1945, disebutkan bahwa:124

(1) DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi, lainnya serta berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) DPD ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lannya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan memberikan

122 S.F. Marbun, Op.Cit., hlm. 159. 123 Hartati, Op.Cit., hlm. 200. 124 Lihat Perubahan ketiga UUD Tahun 1945 Pasal 22 D ayat (1), (2),

(3), dan (4).

Page 90: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 79

pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN, RUU yang berkaitan dengan Pajak, Pendidikan, serta Agama.

(3) DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan peng-gabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN yang berkaitan dengan Pajak, Pendidikan, Agama, serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

(4) Anggota DPD dapat diberhentikan dari jabatnnya, yang syarat-syarat tata caranya diatur dalam UU.

Ketentuan pasal di atas menegaskan bahwa UUD Tahun 1945 mengatur tentang kewenangan yang dimiliki oleh DPD yang berhubungan dengan pengajuan dan pembahasan atas RUU tertentu, serta kewenangan untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu.

Pengaturan tersebut memberikan pembatasan kewenangan yang ada pada DPD dan secara limitatif telah ditentukan dalam UUD Tahun 1945. Adanya pembatasan terhadap kewenangan DPD menimbulkan berbagai pertanyaan, seperti mengapa sebagai lembaga negara kewenangan DPD sangat terbatas, apakah pembatasan atas kewenangan DPD tersebut merupakan suatu konsekuensi dari nama lembaga itu yang merupakan wakil daerah sehingga tugas-tugas yang dapat dilaksanakan hanya terbatas pada kepentingan serta aspirasi masyarakat daerah.

Apabila dasar pembatasan kewenangan DPD sebagaimana alasan tersebut di atas, maka perlu pula untuk dikaji lebih lanjut apakah kepentingan masyarakat daerah dalam kerangka NKRI hanya sebatas pada ketentuan yang diatur pada Pasal 22 D ayat (1), (2), (3), perubahan ketiga UUD Tahun 1945.125

Pasal 22 D ayat (4) perubahan ketiga UUD Tahun 1945 juga mengatur tentang pemberhentian anggota DPD, dimana syarat-syarat dan tata cara pelaksanaannya diatur dalam UU. Dari ketentuan ayat empat tersebut di atas mensyaratkan bahwa

125 Hartati, Op.Cit., hlm. 203.

Page 91: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

80 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

akan dibuat UU yang mengatur tentang syarat dan tata cara dari pemberhentian keanggotaan DPD. Pertanyaannya apakah dengan ketentuan ayat empat tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa yang dimaksud oleh UUD Tahun 1945 hanya terhadap pembentukan UU yang mengatur tentang syarat dan tata cara pemberhentian keanggotaan DPD saja, bagaimana halnya mengenai ketentuan yang lainnya, apakah juga perlu untuk diatur lebih lanjut melalui UU, mengingat ketentuan yang mengatur tentang DPD dalam UUD Tahun 1945 sangat singkat dan terbatas.

Sebaiknya rumusan Pasal 22 D ayat (4) UUD Tahun 1945 tidak hanya terbatas terhadap pembentukan UU tentang syarat dan tata cara pemberhentian keanggotaan DPD saja, melainkan juga harus diatur lebih lanjut tentang hak, kewajiban, dan kewenangan lainnya dari anggota DPD.

Pengaturan lebih lanjut mengenai hak, kewajiban, dan kewenangan keanggotaan DPD ini sangat penting apabila dihubungkan lebih lanjut dengan ketentuan Pasal 7 A, 7 B ayat (1) sampai dengan ayat (7) perubahan ketiga UUD Tahun 1945 mengenai pemberhentian Presiden, yang dilakukan berdasarkan usulan DPR tanpa harus melibatkan DPD sebagai elemen MPR, yang mana berdasarkan Pasal 2 ayat (1) perubahan keempat UUD Tahun 1945 kedudukannya sejajar dengan DPR.

Selain itu, Pasal 7 C perubahan ketiga UUD Tahun 1945 menyatakan Presiden tidak dapat mem-bekukan dan/atau membubarkan DPR. Hal demikian secara hukum tidak mencakup DPD. Ketentuan tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada jaminan bagi DPD untuk mempertahankan kedudukannya dari kekuasan Presiden apabila sewaktu-waktu terancam untuk dibekukan atau dibubarkan, karena tidak adanya pengaturan hukum secara konstitusi, padahalkeberadaan dan kedudukan DPD sebagai lembaga negara sejajar serta dipilih oleh rakyata secara langsung sama halnya dengan DPR.126

Ketentuan yang demikian memperlihatkan ketimpangan perlakuan dalam konstitusi terhadap pengaturan DPD sebagai lembaga Negara, dimana pembentukannya sendiri juga atas amanat konstitusi Negara namun dalam melaksanakan

126 Agus Haryadi dalam Bambang Wijayanto, Konstitusi Baru Melalui

Komisi Konstitusi Independen, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm. 116.

Page 92: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 81

peranannya menimbulkan ambivalensi dalam praktek kenegaraan.

DPD hanya diatur secara khusus dalam dua pasal sebagaimana telah disebutkan di atas, dan menimbulkan banyak pertanyaan yang memerlukan jawaban secara hukum. Namun demikian kekuatan legitimasi DPD sebagai salah satu lembaga Negara secara konstitusional juga telah memberikan warna baru dalam proses demokrasi di Indonesia.

Pasal 22 E perubahan ketiga UUD Tahun 1945 mengatur tentang sistem pemilihan anggota DPD. Pasal 22 E ayat (1) sampai ayat (6) tersebut menyatakan bahwa:127

(1) Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

(2) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD.

(3) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD adalah partai politik.

(4) Peserta Pemilu untuk memilih anggota DPD adalah perseorangan.

(5) Pemilu diselenggarakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang Pemilu diatur dengan UU.

Pemilihan calon anggota DPD dibedakan dengan calon anggota DPR. Jika peserta Pemilu untuk calon anggota DPR adalah dari partai politik, maka peserta calon anggota DPD adalah dari perseorangan. Perbedaan tersebut dapat dihubungkan dengan penerapan sistem pemilihan yang berbeda, yaitu sistem proporsional untuk calon anggota DPR, dan sistem distrik untuk calon anggota DPD. Terhadap calon anggota DPD rakyat secara langsung memilih orang yang bersang-kutan,

127 Lihat Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 Pasal 22 E ayat (1), (2),

(3), (4), (5), dan (6).

Page 93: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

82 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

sedangkan untuk calon anggota DPR/D melalui mekanisme kepartaian.128

Pengaturan rekrutmen keanggotaan yang demikian terhadap anggota DPD, menunjukkan bahwa anggota DPD sesungguhnya merupakan wakil-wakil dari daerah yaitu dalam hal ini adalah mewakili setiap Provinsi yang ada di Indonesia, yang dilakukan melalui proses Pemilu. Selain hal tersebut, ketentuan ini juga semakin mempertegas adanya perbedaaan status wakil dari DPD dengan DPR. Artinya apabila anggota DPD dalam hal ini bertindak mewakili daerah-daerah Provinsi yang ada di Indonesia, sedangkan DPR dalam hal ini bertindak mewakili rakyat melalui partai-partai politik.

Secara teoritis anggota DPD dalam menjalankan fungsi dan kewenangannya tidak dapat didikte atau diintervensi oleh kepentingan-kepentingan partai politik. Hal demikian sangat berbeda dengan anggota DPR sendiri, karena lahir dari partai-partai politik, maka secara otomatis dalam pelaksanaan fungsi dan kewenangannya akan sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan partai politik yang diwakilinya.

Berkaitan dengan pengertian perwakilan politik (political representation) untuk anggota DPR, dan perwakilan daerah (territorial representation) untuk anggota DPD. Untuk dapat menjadi calon anggota DPD, peserta Pemilu perseorangan harus memenuhi syarat dukungan sesuai dengan Pasal 13 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD adalah sebagai berikut:129

(7) Provinsi yang berpenduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) orang, harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 1.000 (seribu) pemilih.

(8) Provinsi yang berpenduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) orang, harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 2.000 (dua ribu) pemilih.

128 Peter Harris, dan Ben Reilly dalam Reni Dwi Purnomowati,

Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hlm. 296.

129 Lihat UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD.

Page 94: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 83

(9) Provinsi yang berpenduduk lebih dari 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) orang, harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 3.000 (tiga ribu) pemilih.

(10) Provinsi yang berpenduduk lebih dari 10.000.000 (sepuluh juta) sampai dengan 15.000.000 (lima belas juta) orang, harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 4.000 (empat ribu) pemilih.

(11) Provinsi yang berpenduduk lebih dari 15.000.000 (lima belas juta) orang, harus mendapatkan dukungan dari paling sedikit 5.000 (lima ribu) pemilih.

Pembuktian dari dukungan sebagaimana tersebut pada Pasal 13 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, sesuai dengan Pasal 13 ayat (3) harus dibuktikan melalui daftar dukungan yang dibubuhi tanda tangan atau cap jempol dan dilengkapi fotocopy Kartu Tanda Penduduk dari setiap pendukung.

DPD sebagai lembaga negara, sebatas memberikan pertimbangan dan pengawasan saja. Susduk mengatur sedemikian rupa sehingga ruang gerak DPD untuk berkiprah dalam memperjuangkan aspirasi daerah pada tingkat kebijkan nasional menjadi lebih sempit dan tidak mempunyai kewenangan untuk memberikan suatu putusan sama sekali mengenai kepentingan daerah.

Mengenai pengaturan dasar tentang DPD sebagaimana terdapat di dalam Bab VII A Pasal 22 C dan Pasal 22 D Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 memberikan tugas dan wewenang kepada DPD secara Konstitusional sebagai perwakilan rakyat yang berorientasi kepada kepentingan daerah. Hal ini berarti ditengah keterbatasan wewenang yang ada pada DPD, maka DPD juga dituntut untuk dapat menciptakan suatu kondisi terwujudnya keseimbangan antara berlangsung-nya kekuasaan dan wibawa Pemerintah pusat di daerah, dan sekaligus keberlangsungan proses demokrasi serta

Page 95: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

84 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

terakomodasinya aspirasi masyarakat daerah secara adil dan demokratis pada tingkat kebijakan nasional.130

Sangat diperlukan posisi kesetaraan antara DPR dan DPD, sehingga dalam melahirkan suatu produk kebijakan nasional yang berkaitan dengan kepentingan daerah, DPD sebagai perwakilan daerah di tingkat pusat mempunyai kewenangan untuk ikut memberikan putusan akhir (final political decision).

B. Kewenangan DPD Menurut UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, disahkan pada tanggal 12 Agustus 2011 menggantikan UU No. 10 Tahun 2004. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari 13 Bab dan 104 Pasal. Diantara pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang peran serta DPD dalam hal pembentukan UU. Keterlibatan DPD dalam hal pembentukan UU diatur pada pasal-pasal sebagai berikut:131

Pasal 43 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyata-kan bahwa:

(1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden.

(2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD.

(3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik.

Pasal 45 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyata-kan bahwa:

130 M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Mandar Maju, 2008,

hlm. 96. 131 Lihat UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Paraturan

Perundang-undangan.

Page 96: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 85

(1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas.

(2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan:

a. otonomi daerah;

b. hubungan pusat dan daerah;

c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah;

d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan

e. perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Atas dasar pengaturan pada Pasal 43 dan Pasal 45 UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terlihat bahwa undang-undang tersebut hanya mengikuti hal-hal yang telah ditentukan dan diatur oleh UU No. 23 Tahun 2003 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD (yang lama). Namun satu hal yang harus diingat bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang- Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Program Legislasi Nasional.

Pasal 46 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyata-kan bahwa; Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD.

Pasal 48 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyata-kan bahwa:

(1) Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik.

(2) Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat

Page 97: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

86 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang.

(3) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pem-bulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan Undang-Undang.

(4) Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna.

Pasal 65 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyata-kan bahwa:

(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi.

(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan:

(a) otonomi daerah;

(b) hubungan pusat dan daerah;

(c) pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah;

(d) pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan

(e) perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.

(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan tingkat I132.

132 Berdasarkan Pasal 66 dan 67 UU No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bahwa Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yang terdiri atas: a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.

Page 98: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 87

(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang- Undang yang dibahas.

(5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Apabila diperhatikan Pasal 65 tersebut di atas, terlihatlah dengan jelas keterbatasan kewenangan DPD, karena dengan tegas dinyatakan pembahasan RUU hanya dilakukan oleh DPR bersama Preside. DPD baru diikutsertakan ketika membahas RUU yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas.

Keterbatas DPD semangkin jelas ketika hanya dapat memberikan pertimbangan kepada DPR, namun tidak dapat menentukan (ikut memutuskan) dalam RUU yang dibahas. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 56 ayat (5) di atas, yang menentukan DPD hanya memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Pasal 68 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyata-kan bahwa:

(1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:

a. pengantar musyawarah;

b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan

c. penyampaian pendapat mini.

(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:

Page 99: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

88 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari DPR;

b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR;

c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika Rancangan Undang- Undang berasal dari Presiden; atau

d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden.

(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:

a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau

b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2).

(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh:

a. fraksi;

b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan

c. Presiden.

(5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.

Page 100: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 89

(6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.

Secara kelembagaan bahwa pembentukan DPD adalah dalam rangka menampung dan menyalurkan aspirasi serta kepentingan-kepentingan daerah pada kebijakan nasional pada tingkat pusat, yang didasarkan atas pertimbangan secara politis dan teoritis.

Pertimbangan politis, yaitu dalam rangka memper-kuat ikatan daerah-daerah dalam wadah NKRI, meneguhkan semangat persatuan kebangsaan sampai keseluruh pelosok negeri, meningkatkan akomodasi aspirasi dan kepentingan daerah-daerah dalam perumusan kebijakan nasional, mendorong percepatan proses demokrasi, pembangunan, dan kemajuan daerah secara berkeadilan dan berkesinambungan. Sedangkan pertimbangan secara teoritis terbentuknya lembaga DPD adalah untuk membangun sebuah mekanisme kontrol dan keseimbangan (checks and balances) yang baru diantara cabang kekuasaan Negara demikian juga di dalam legislatif itu sendiri, menjamin dan menampung perwakilan daerah-daerah yang memadai untuk memper-juangkan aspirasi serta kepentingan daerah dalam lembaga legislatif.133

Berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki oleh DPD seperti telah diuraikan di atas, maka DPD hanya mempunyai tiga macam fungsi dalam kedudukannya sebagai lembaga Negara, yaitu fungsi legislasi, fungsi pertimbangan, dan fungsi pengawasan. Ke tiga fungsi tersebut dimiliki oleh DPD secara terbatas, dalam pengertian tidak meliputi keseluruhan fungsi yang pada umumnya terdapat pada lembaga perwakilan (legislatif).

Sebagai contoh dapat dilihat dalam hal pengertian fungsi legislasi. Pada dasarnya fungsi legislasi dari sudut materil membuat suatu UU adalah suatu tindakan memutuskan untuk membuat peraturan umum, sedang-kan dari sudut formal pembuatan UU memberikan pengertian adanya kewenangan untuk memberikan keputusan dalam membuat suatu UU baik

133 Hartati, Op.Cit., hlm. 223-224.

Page 101: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

90 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

yang dilakukan oleh satu lembaga, atau beberapa lembaga yang berwewenang.134

Dari pendapat tersebut maka secara teoritis yang dikategorikan dengan fungsi legislasi adalah terdapatnya suatu tindakan untuk ikut memberikan keputusan dalam pembuatan suatu UU. DPD dikategorikan tidak memiliki fungsi legislasi yang sebenarnya, karena DPD hanya mempunyai kewenangan sebatas mengajukan, membahas, memberikan per-timbangan, atas suatu RUU, dan melakukan pengawasan pelaksanaan suatu UU.

Kewenangan mana seperti tersebut di atas jelas merupakan tidak termasuk dalam kategori untuk memutuskan atau memberikan keputusan atas suatu RUU.135

Perlu diperhatikan bahwa untuk menghindari terjadinya perbedaan pemahaman, maka kehadiran DPD secara fisik dalam pembahasan suatu RUU dengan DPR termasuk kemungkinan dengan Presiden/Pemerintah, sebagaimana telah diundang atau diberitahukan oleh DPR, tidak berarti dihadiri oleh DPD penuh secara kelembagaan, namun hanya diwakili oleh panitia atau komisi yang terdapat di DPD. Karena kalau terjadi secara gabungan (joint session) antara DPD dan DPR maka hal tersebut akan membentuk MPR. Selanjutnya juga harus dipahami bahwa pengertian kalimat ”dapat”, dan ”ikut membahas”, kedudukan DPD mengandung norma hukum fakultatif atau tidak merupakan suatu kewajiban sebagaimana halnya terdapat pada DPR.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki DPD seperti tersebut di atas, secara sistematis akan melemahkan peranan DPD dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia karena hanya sebatas ikut membahas, memberikan pertimbangan atas suatu RUU, atau melakukan pengawasan atas suatu UU.

DPD sering hanya sebatas sebagai peserta rapat saja yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, dalam bidang legislasi tersebut dapat dikatakan bahwa DPR sebagai pembentuk UU utama (primaire wetgever), Presiden sebagai pembentuk UU serta (mede wetgever), dan DPD

134 B.N. Marbun, DPR RI, Pertumbuhan dan Cara Kerjanya, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 41. 135 Lihat Hartati, Op.Cit., hlm. 240.

Page 102: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 91

adalah sebagai pembentuk UU serta mini (kleine mede wetgever).136

Pengaturan tentang kewenangan DPD yang sangat terbatas seperti tersebut di atas, sesungguhnya telah bertentangan dengan kondisi dari status DPD yang merupakan wakil rakyat dalam lembaga perwakilan, dimana diberikan tanggung jawab untuk lebih meng-akomodasi serta merumuskan aspirasi atau kepentingan masyarakat yang diwakilinya.

Lahirnya DPD sesungguhnya didasarkan atas kehendak untuk mewujudkan mekanisme yang dapat mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan, dimana diantara lembaga Negara mempunyai peran yang seimbang sehingga dapat saling bekerjasama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Menurut I Gde Pantja Astawa, melalui fungsi legislasi maka badan perwakilan rakyat akan menunjukkan keberadaannya sebagai wakil rakyat dengan bertugas mengakomodasikan dan merumuskan aspirasi ataupun kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat yang diwakilinya ke dalam bentuk berbagai kebijaksanaan yang diputuskannya.137 Oleh karena itu merupakan suatu penyimpangan apabila terhadap fungsi legislasi yang seharusnya melekat pada lembaga perwakilan dikaburkan sedemikian rupa oleh peraturan perundang-undangan sehingga fungsi tersebut menjadi lemah atau bahkan hilang sama sekali.

Pembatasan terhadap kewenangan DPD apabila memang dikehendaki, maka dapat dilakukan hanya terhadap lingkup kewenangannya, yaitu hanya sebatas terhadap RUU tertentu, sedangkan untuk kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPD haruslah sama dan seimbang sebagaimana terdapat pada DPR.138

Keseimbangan kewenangan di bidang legislasi antara DPD dengan DPR harus dapat dilaksanakan sebagai bentuk perwujudan dari prinsip negara kesejahteraan di Indonesia, yang bertujuan untuk: melindungi segenap bangsa Indonesia dan

136 Hartati, Ibid., hlm. 254, dan bandingkan dengan pendapat B.N.

Marbun dalam buku DPR RI, Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. 137 I Gde Pantja Astawa, Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia Menurut UUD Tahun 1945, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2000, hlm. 110.

138 Hartati, Op.Cit., hlm. 256.

Page 103: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

92 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi serta keadilan sosial.

Oleh karena itu, dalam rangka mewujudkan tujuan pembangunan nasional bangsa Indonesia, maka sangat diperlukan terdapatnya keseimbangan kewenangan dibidang legislasi diantara lembaga negara (terutama yang berhubungan dengan otonomi daerah, serta kepentingan-kepentingan daerah lainnya).

Sebagai suatu negara yang mengakui dan menganut azas demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya, maka sudah selayaknya memberikan tempat yang tepat terhadap pelaksanaan fungsi lembaga perwakilan. Salah satu fungsi yang melekat pada lembaga perwakilan adalah fungsi pembentukan undang-undang (legislasi), karena dengan kewenangan itu secara nyata kedaulatan yang diberikan oleh rakyat diakui oleh Negara untuk dilaksanakan.

C. Kedudukan Dan Hubungan DPD Dengan Lembaga-

lembaga Negara Sebelum menjelaskan hubungan DPD dengan Lembaga-

lembaga negara lainnya, adalah penting untuk terlebih dahulu melihat struktur kelembagaan Negara baik sebelum perubahann maupun setelah perubahan UUD Tahun 1945. Sebagaiman diketahui bahwa pada periode berlakunya UUD Tahun 1945 sejak tanggal 18 Agustus 1945, struktur kelembagaan Negara mengenal adanya hierarchi kelembagaan negara, yaitu terdapat hubungan vertikal (hubungan tinggi rendah diantara lembaga Negara), dimana pada masa sebelum Perubahan UUD Tahun 1945 MPR berkedudukan sebagai lembaga Tertinggi Negara, dan terdapat lima lembaga Tinggi Negara, yaitu Presiden, DPR, BPK, DPA, dan MA.139

Pada periode ini Presiden merupakan mandataris dari MPR, Presiden bertanggungjawab kepada MPR, dan Presiden dipilih serta diangkat oleh MPR. Struktur kelembagaan Negara

139 Rahimullah, Hukum Tata Negara, Hubungan Antar Lembaga Negara

Versi Amandemen UUD 1945, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Satyagama, 2007, hlm. 164.

Page 104: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 93

berdasarkan UUD Tahun 1945 Sebelum Perubahan dapat digambarkan sebagai berikut:140

Setelah terjadi Perubahan UUD Tahun 1945 sebanyak empat kali, yang dimulai pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002, maka struktur kelembagaan Negara berubah dari hierarchi vertikal menjadi horizontal fungsional, artinya tidak lagi terdapat lembaga tertinggi dan tinggi negara, dan seluruh lembaga Negara mempunyai kedudukan yang setara.

Hubungan horizontal fungsional diantara lembaga negara pada periode UUD Tahun 1945 seperti saat ini terlihat jelas sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Kemudian kedaulatan yang berada di tangan rakyat tersebut oleh konstitusi Negara RI didistribusikan kepada lembaga-lembaga Negara sesuai dengan fungsi dan kewenangannya.

Struktur kelembagaan Negara berdasarkan UUD Tahun 1945 Setelah Perubahan dapat digambarkan sebagai berikut:141

140 Lihat UUD Tahun 1945 Sebelum Perubahan. 141 Lihat UUD Tahun 1945 Setelah Perubahan.

UUD 1945

MPR

BPK DPR MA DPA Presiden

Page 105: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

94 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

1. DPR Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) Perubahan Ke Satu

UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, selanjutnya DPD sebagaimana dinyatakan pada Bab VII A Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945 hanya memiliki kewenangan terbatas untuk memberikan pertimbangan, mengajukan usul maupun saran kepada DPR, serta mengawasi pelaksanaan UU tertentu.

Hubungan DPD dengan DPR dapat dilihat pada peran yang diberikan terhadap DPD itu sendiri yaitu:

a. Di bidang legislasi, DPD mempunyai fungsi sebagai pengusul di bidang-bidang tertentu, dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi derah.

b. Di bidang pengawasan, DPD dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu.

c. Di bidang anggaran, DPD memberikan pertimbangan pada DPR dan Pemrintah dalam rangka perancangan maupun pembahasan RUU APBN kepada DPR dengan menjadikan laporan keuangan BPK sebagai salah satu bahan utama.142

Pasal 20 ayat (1) Perubahan Ke Satu UUD Tahun 1945 secara tegas dinyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, sedangkan DPD hanya akan terlibat pembahasan RUU dalam persidangan internal DPR, sebelum DPR melaksanakan pembahasan bersama Presiden.

142 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit.,

hlm. 51.

UUD NKRI

Tahun 1945

KY MK MA BPK MPR DPR DPD Presiden

Page 106: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 95

Selanjutnya Pasal 20 ayat (2) Perubahan Satu UUD Tahun 1945 menyatakan seriap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama, dan tidak ada pasal atau ketentuan yang mengatur pembahasan RUU dilakukan bersama antara DPR, DPD, dan Presiden, apalagi mensyaratkan persetujuan dari DPD. Hal ini berarti, ketidaksetujuan DPD tidak dapat menghalangi disahkannya pembentukan suatu UU. Kemudian dipertegas sebagaimana dapat dilihat pada Pasal 224 ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, dan i UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Mencermati ketentuan pasal-pasal tersebut di atas telah menempatkan kekuasaan yang sangat besar kepada DPR sebagai lembaga negara yang super diantara lembaga-lembaga negara yang ada. Dan hubungan DPD dengan DPR hanya sebatas hubungan tata kerja antara lembaga Negara yang bersifat biasa serta tidak seimbang.143

2. MPR MPR merupakan Lembaga Permusyawaratan Rakyat yang

berkedudukan sebagai Lembaga Negara, hal ini berarti bahwa DPD dan MPR adalah sama-sama berkedudukan sebagai lembaga Negara yang setingkat.144 Dalam hal kewenangan, Pasal 3 ayat (1) Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 dinyatakan bahwa MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD, ayat (2) MPR melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden, ayat (3) MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD.

MPR merupakan majelis persidangan bila bersama-sama antara DPR, dan DPD (joint session) pada saat suatu keputusan-keputusan harus diambil oleh para anggota Parlemen Indonesia sebagai anggota MPR.

Pada periode saat ini kedudukan MPR telah mengalami banyak reduksi, dimana seiring dengan pergesaran dan dinamika ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD

143 Ibid., hlm. 53. 144 Lihat Jimly Asshiddiqie, Hubungan Kerja Antara DPD dengan

lembaga Negara lainnya, disampaikan pada Fokus Discussion Group, yang diselanggarakan oleh Sekretariat Panitia Ad Hoc. I, Badan Pekerja MPR-RI bekerjasama dengan Universitas Brawijaya Malang, tanggal 27 Maret 2003, di Malang, hlm. 8.

Page 107: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

96 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Tahun 1945, maka MPR tidak lagi berkedudukan sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Perubahan tersebut diikuti kembali dengan suatu langkah besar melalui Pasal 2 ayat (1) Perubahan Ke Empat UUD Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa MPR terdiri dari atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu, dan diatur lebih lanjut dengan UU.

Perubahan yang terjadi dalam Konstitusi Negara RI tersebut berimplikasi pada hubungan dan peran MPR, dari sebelumnya sebagai Lembaga Tertinggi Negara (supreme body), menjadi Lembaga Tinggi Negara yang hanya sebatas sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD. Selain itu, karena MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, maka sesungguhnya DPD juga memiliki fungsi sebagaimana terdapat pada MPR, seperti mengubah dan menetakan UUD, serta memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan di tengah masa jabatan.145

3. BPK Pasal 23 ayat (2), Pasal 23 E ayat (2), Pasal 23 F ayat (1)

Perubahan Ketiga UUD Tahun 1945, memberikan penegasan tentang keikutsertaan DPD di dalam hal yang berhubungan dengan keuangan Negara. Pasal 23 ayat (2) menyatakan RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Pasal 23 E ayat (2) menyatakan Hasil pemeriksaan keuangan Negara diserahkan kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Selanjutnya Pasal 23 F ayat (1) menyatakan Anggota BPK dipilih oleh DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan diresmikan oleh Presiden.

Mencermati ketentuan pasal-pasal tersebut, maka hubungan antara DPD dengan BPK adalah hanya sebatas kewenangan dalam memberikan pertimbangan kepada DPR dalam kaitannya dengan hasil laporan pemeriksaan keuangan Negara tersebut.

145 Ibid., hlm. 54.

Page 108: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 97

4. Presiden Presiden sebagai kepala pemerintahan mempunyai

kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembentukan peraturan perundang-undangan, serta kekuasaan pada bidang yustisial. Apabila dilihat dalam UUD Tahun 1945 setelah Perubahan, maka diketahui hubungan DPD dengan Presiden adalah sama-sama sebagai lembaga Negara yang mana kedudukan diantara keduanya adalah sederajat.

Hubungan DPD dengan Presiden adalah terhadap hal-hal yang bersentuhan dengan kewenangan dalam hal membahas APBN. Dalam hal ini DPD dapat mengajukan, membahas RUU, dan melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU dalam rangka memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat daerah yang berkaitan dengan potensi keuangan, sumber daya alam, serta sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah, demi keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional. Dalam hal melaksanakan fungsi pengawasan keuangan dalam hubungan DPD dengan Presiden, maka DPD dapat menggunakan masukan dari BPK.146

5. Mahkamah Konstitusi DPD dan MK adalah lembaga negara yang mempunyai

kedudukan sama dan sederajat. Ketentuan Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945 menyatakan MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil Pemilu.

MK berwenang menyelesaikan apabila timbul sengketa hasil Pemilu anggota DPD. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 E ayat (2) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945 yaitu Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan DPRD.

146 Ibid., hlm. 55.

Page 109: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

98 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Di dalam Pasal 54 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK, dinyatakan bahwa MK dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Selanjutnya dalam Pasal 59 UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK dinyatakan bahwa MK menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian UU terhadap UUD.

DPD menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ke Tiga UUD 1945. Disamping hal tersebut di atas, hubungan DPD dengan MK dapat terlihat sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 41 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 24 Tahun 2003 Tentang MK, yang menyebutkan bahwa MK dapat memanggil dan meminta keterangan DPD dalam persidangan.

Dari uraian pasal-pasal tersebut di atas, maka antara DPD dan MK terdapat hubungan tata kerja antara lembaga Negara, dan masing-masing tidak mempunyai hubungan kedudukan antara satu dengan lainnya.147

6. Mahkamah Agung Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945

menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan Badan Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan sebuah MK. Selanjutnya Pasal 24 A ayat (1) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945 menyebutkan bahwa MA berwenang mengadili pada tingkat Kasasi, menguji peraturan Perundang-undangan di bawah UU terhadap UU dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh UU.

Hubungan DPD dengan MA pertama-tama dapat dilihat dari ketentuan dimana sebelum MK terbentuk maka berdasarkan Aturan Peralihan Pasal III Perubahan Ke IV UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa MK dibentuk selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MA. Selain itu persoalan hukum termasuk permasalahan hukum yang dapat menjadikan

147 Ibid., hlm. 56.

Page 110: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 99

alasan pemberhentian keanggotaan DPD proses peradilannya bermuara pada pengadilan umum dan puncak upaya hukumnya berada pada MA.

Antara DPD dan MA dari uraian tersebut di atas mempunyai kedudukan yang sama sebagai lembaga Negara, dan pada prinsipnya tidak mempunyai hubungan tata kerja yang bersifat khusus selain daripada permasalahan hukum biasa apabila menimpa anggota DPD jika proses hukumnya bermuara sampai kepada tingkat Kasasi di MA.

Page 111: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

100 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Page 112: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 101

BAB IV

PENGUATAN FUNGSI DPD DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN

A. Penguatan Fungsi DPD dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Membangun tatanan demokrasi dalam suatu sistem

ketatanegaran memerlukan proses waktu yang panjang. Perubahan terhadap UUD Tahun 1945 yang telah mulai dilakukan sejak tahun 1999, sampai tahun 2002, secara fakta telah membawa pengaruh yang mendasar terhadap sistem ketatanegaraan maupun sistem penyelanggaraan pemerintahan serta fungsi atau tugas maupun hubungan antar lembaga negara.

Berkaitan dengan perubahan tersebut DPD sebagai lembaga Negara baru yang berdiri berdasarkan perintah Konstitusi, yaitu melalui Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945, pada akhirnya secara faktual tanggal 1 Oktober tahun 2004 terbentuk, yang ditandai dengan pelantikan serta pengambilan sumpah/janji para anggota DPD hasil Pemilu 5 April tahun 2004. Sejak itu maka DPD ikut memberi warna dalam sistem politik ketatanegaraan Indonesia saat ini.

Namun catatan sejarah politik Indonesia Modern, mengenai gagasan perwakilan politik yang berbasis teritori atau daerah sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Jauh pada sekitar separuh abad silam, tepatnya antara tahun 1945-1950 gagasan tersebut pernah terwujud dalam lembaga dan praktek politik Indonesia, melalui kehadiran Senat yang merupakan salah satu kamar parlemen di samping DPR pada saat itu. Juga dapat dilihat melalui keberadaan unsur utusan daerah dalam Komite Nasional Pusat (KNP) di tahun 1945-1949 sebagai lembaga parlemen pertama Indonesia yang mana sebagian kecil anggotanya dipilih dari daerah, maupun dalam komposisi keanggotaan MPR pada masa Orde Baru.148

148 Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian

Adinabung, Op.Cit., hlm. 41.

Page 113: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

102 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pembentukan DPD semula dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur parlemen Indonesia agar menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral diharapkan proses fungsi legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double check dan memungkinkan terwujudnya representasi kepentingan seluruh rakyat (terutama kepentingan masyarakat daerah) dapat dilaksanakan secara lebih luas. DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip teritorial regional (regional representation).149

Ide bikameralisme pada perjalanannya akhirnya mendapat tentangan dan ketidaksetujuan yang sangat keras dari kelompok konsertvatif pada Panitia Ad Hoc Perubahan UUD Tahun 1945 di MPR pada tahun 1999-2002. Sehingga praktek sistem ketatanegaraan Indonesia pada saat ini disepakati bahwa rumusan sistem bikameral tidak dapat secara nyata diberikan pada sistem ketatanegaraan Indonesia.150

Dalam ketentuan yang terdapat pada UUD Tahun 1945 sekarang ini tampak terlihat bahwa DPD tidak mempunyai fungsi kewenangan dalam membentuk UU (legislasi). Akan tetapi hanya dalam bidang pengawasan, meskipun terbatas berkenaan dengan kepentingan daerah dan hal-hal yang berkenaan dengan pelaksanaan UU tertentu DPD mempunyai fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintahan. Oleh karena itu dapat dikatakan, DPD mempunyai kedudukan yang bersifat penunjang (auxiliary) terhadap fungsi DPR dibidang legislasi, sehingga DPD hanya dapat disebut sebagai co- legislator dari pada legislator yang sebenarnya.

DPD dalam menjalankan tugas perwakilannya pada dasarnya dapat lebih berfokus pada bidang pengawasan yang telah diamanatkan oleh konstitusi maupun UU yang ada, dari pada bidang legislasi sangat terbatas tersebut, sehingga keberadaannya dalam kerangka negara kesatuan dapat lebih dirasakan efektifitasnya oleh masyarakat di daerah-daerah selaku konstituen nyata.

149 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara

Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hlm. 141. 150 Ibid.

Page 114: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 103

1. Peningkatan Fungsi Legislatif Pasal 6 A ayat (1) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945

telah menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Implikasi dari pemilihan tersebut memberikan legitimasi yang sangat kuat kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh masyarakat dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan. Sedangkan keberadaan DPD dengan segala kewenangannya diatur dalam Pasal 22 C dan 22 D Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945.

Terbentuknya lembaga Negara DPD telah membangkitkan harapan masyarakat di daerah bahwa kepentingan daerah dan masalah-masalah yang dihadapi daerah dapat diangkat dan diperjuangkan di tingkat nasional, melalui kebijakan-kebijakan publik yang diambil pada tingkat nasional tidak akan merugikan kepentingan masyarakat daerah dan sesuai dengan kebijakan publik yang digariskan bagi kepentingan daerah. DPD akan menjamin kepentingan daerah sebagai bagian yang serasi dari kepentingan nasional, dan tetap mengusahakan agar kepentingan nasional tidak bertentangan dan tidak lagi dipertentangkan dengan kepentingan masyarakat daerah di seluruh tanah air.

Beberapa catatan yang sering terjadi sebagai penolakan terhadap sistem perwakilan dengan dua kamar (bikameral) adalah masalah efisiensi dalam proses legislasi. Karena harus melalui proses dua kamar, maka banyak anggapan bahwa sistem bikameral akan menimbulkan gangguan atau hambatan dalam memperlancar kebijakan pembuatan suatu UU. Sejalan dengan hal tersebut, maka beberapa negara yang menganut sistem perwakilan dengan dua kamar dengan cara dan modelnya masing-masing telah berupaya mengatasinya antara lain dengan membentuk conferencee commitee sebagai wadah untuk menyelesai-kan perbedaan yang terdapat antara dua majelis tersebut, sehingga pada prakteknya pada saat ini persoalaan tersebut tidak lagi dipandang sebagai suatu faktor penghambat dalam sistem perwakilkan dua kamar.151

Dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki pada sistem perwakilan dua kamar pada umumnya terbagi dalam kategori: kewenangan yang kuat dan kewenangan yang lemah. Dalam sistem perwakilan dimana, anggota legislatif yang dipilih secara

151 John Pieris, Aryanthi Baramuli Putri, Op.Cit., hlm. 144.

Page 115: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

104 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

langsung oleh masyarakat tanpa melalui mekanisme partai politik akan memberikan legitimasi yang sangat tinggi dan secara langsung memberikan kewenangan yang kuat dalam fungsi legislatifnya, demikian pula sebaliknya, sebagai contoh dapat dilihat pada negara Amerika Serikat, Itali, dan Swiss.152

Namun di Indonesia hal tersebut merupakan suatu anomali. DPD tidak mempunyai legitimasi yang kuat, kewenangan formal dalam fungsi legislatifnya sangat rendah, meskipun melalui pemilihan secara langsung oleh masyarakat tanpa mekanisme partai politik, sebagaimana ditemukan pada DPR. Pemberdayaan dan peningkatan efektifitas DPD terutama dalam pelaksanaan fungsi legislatifnya dalam sistem ketatanegaraan yang demokratis, terdapat beberapa prinsip yang perlu menjadi pegangan, yaitu:153

a. Pada bidang legislasi kedudukan DPD tidak sepenuhnya setara atau sama luasnya dengan DPR, akan tetapi terhadap DPD diberikan kewenangan yang sama dengan DPR dalam mengambil keputusan mengenai suatu UU yang berhubungan dengan kewenangan DPD sebagaimana tercantum dalam UUD Tahun 1945.

b. Kewenangan legislasi DPD tersebut dapat dirumuskan dengan berbagai cara sebagaimana seperti telah berlaku pada negara-negara lain, misalnya dapat menolak, mengembalikan kepada DPR, atau menunda pengambilan keputusan tentang legislasi sehingga benar-benar memperhatikan kepentingan masyarakat daerah yang menjadi kewenangan DPD untuk memperjuangkannya pada tingkat kebijakan nasional.

c. Dalam hal kewenangan dibidang pengawasan, DPD harus benar-benar memiliki kekuatan hukum yang sama dengan DPR, agar pengawasan tersebut dapat berjalan efektif. Diperlukan pembagian kewenangan dan tanggung jawab antara DPD dan DPR, agar tidak terjadi duplikasi antara kedua lembaga. Misalnya pengawasan yang diberikan kepada

152 Ginandjar Kartasasmita, DPD dan Penguatan Demokrasi, (Diktat

Program Penguatan Kelembagaan dan Peningkatan Kapasitas Anggota DPD), Jakarta: 2006, hlm. 7.

153 Ibid., hlm. 11. Lihat juga pendapat Arend Lijpart dalam Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty One Countries, New Haven: Yale University Press, 1984, hlm. 110.

Page 116: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 105

DPD lebih difokuskan pada pelaksanaan UU di daerah sedangkan DPR berfokus di pusat.

Terbentuknya lembaga Negara DPD secara fakta telah memberikan harapan baru terhadap iklim legislasi nasional. Perdebatan terhadap gagasan pemikiran dalam proses legislasi nasional akan memberikan kemajuan dalam pencerdasan demokrasi kebangsaan. Meskipun dari segi kewenangan yang diberikan oleh konstitusi terhadap DPD sangat terbatas dan terkesan ”dianaktirikan” yang mana hanya sebatas ikut membahas RUU tertentu berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 D Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945.

Akan tetapi dengan terbentuknya DPD dapat memfasilitasi berbagai perspektif kedaerahan yang terus bergulir seiring dengan keinginan masyarakat di daerah untuk dapat terlibat dalam penentuan arah kebijakan nasional. Oleh karena itu mekanisme hubungan DPD dengan masyarakat daerah sebagai konstituen harus dilihat dalam kerangka pemberdayaan kehidupan demokrasi serta pencerdasan dan peningkatan peradaban politik, termasuk di dalamnya komunikasi dan interaksi politik serta penghargaan terhadap konstituen. Setiap anggota DPD harus secara langsung masuk ke dalam kehidupan riil masyarakat di daerahnya, tanggap dan respek dalam mengartikulasikan maupun memper-juangkan kepentingan masyarakat dan pemerintah daerah.154

Secara fakta, perubahan yang dikehendaki di Indonesia dalam konteks proses demokratisasi adalah mewujudkan stabilitas nasional yang nyata dan menyeluruh, bukan stabilitas semu yang ditopang pola kekuasaan sentralistik sarat potensi konflik. Sebagai lembaga negara yang relatif baru dengan keterbatasan peran dan wewenangnyang dimiliki, DPD dapat mendorong stabilitas nasional tersebut dengan mem-berikan keberpihakan kepada kepentingan daerah melalui mandat legitimasinya yang kuat.

Pada saat ini banyak pihak mengharapkan Indonesia menjadi negara yang demokratis, akan tetapi sangat sedikit

154 John Pieris, Aryanthi Baramuli Putri, Op.Cit., hlm. 148.

Page 117: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

106 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

orang yang mempunyai kemampuan serta kemauan dalam membangun kemajuan konstituennya. Prospek DPD sebagai lembaga perwakilan yang secara langsung telah dipilih oleh masyarakat sangat tergantung pada kiprahnya dalam dinamika hubungan antar lembaga negara, oleh karenanya diperlukan landasan moral yang kuat. Nilai kelembagaan DPD hanya dapat diukur dari moralitas peranannya yang kemudian dapat melahirkan kemampuan untuk berperan aktif dalam kehidupan demokrasi. Sebaliknya apabila timbul kesan, bahwa moralitas politik DPD rendah, maka kemampuan untuk mempengaruhi perkembangan demokrasi akan menjadi surut dan lemah.155

DPD perlu setia kepada mandat awalnya yaitu untuk mewujudkan NKRI melalui otonomi daerah yang nyata. Karena itu DPD dituntut untuk merumuskan gagasan-gagasan baru yang cemerlang, sehingga isu-isu yang disampaikan oleh DPD mempunyai daya tarik yang kuat untuk diperjuangkan pada tingkat nasional.

Kegairahan politik seluruh anggota DPD yang berfungsi sebagai legislator dapat ditingkatkan. Oleh karena itu sebagai legislator para anggota DPD dapat lebih mempersiapkan diri secara lebih berkualitas untuk terlibat secara langsung dan produktif dalam melahirkan semua UU yang khususnya berkaitan dengan kepentingan daerah. Dampak positif dengan ditingkat-kannya fungsi legislatif DPD, maka akan lebih membuka saluran aspirasi antara rakyat di daerah dan antara daerah-daerah dengan anggota-anggota DPD.

Konsekuensi logis dari peningkatan fungsi legislatif DPD akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan kualitas keanggotaan DPD sebagai legislator dan sebagai agen pembangunan di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya dari masing-masing daerah.156 Oleh karenanya seluruh anggota DPD harus mengetahui secara jelas, memahami secara mendalam, serta menguasai secara problem-problem sosial kemasya-rakatan dan pembangunan di berbagai daerah.

Diharapkan DPD dapat mendeskripsikan sejumlah permasalahan daerah karena menguasai peta daerahnya

155 Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Studi dan Analisis

Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945 (Kritik, Masalah, dan Solusi), Kertas Kerja, Jakarta: FORMAPPI, 2004, hlm. 5.

156 John Pieris, Aryanthi Baramuli Putri, Op.Cit., hlm. 164.

Page 118: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 107

masing-masing, seperti kondisi sosial, ekonomi, politik, budaya, terutama potensi daerah dan selanjutnya dapat diperjuangkan secara optimal ke dalam bentuk legislasi yang terkait langsung dengan kepentingan daerah.

Secara garis besarnya DPD dapat memfungsikan diri sebagai ”rumah aspirasi” untuk menginventarisasi, mengidentifikasi, mengagregasi, memformulasikan serta mengartikulasikan seluruh aspirasi daerah secara lebih fungsional dan bermakna.157

2. Peningkatan Fungsi Pengawasan Pengawasan merupakan bagian dari kebijakan dalam

sistem administrasi negara. Di dalam literatur terdapat tiga macam bentuk pengawasan, yaitu:

a. Pengawasan hukum, adalah bentuk pengawasan yang ditujukan untuk mengetahui apakah suatu kewenangan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku (geldelijke controle).

b. Pengawasan administratif, adalah bentuk pengawasan yang ditujukan untuk mengukur suatu efisiensi kerja.

c. Pengawasan politik adalah merupakan bentuk pengawasan yang ditujukan untuk mengukur segi-segi kemanfaatan suatu kebijakan publik.158

Terkait dengan fungsi yang dimiliki DPD, maka selaku wakil rakyat dan wakil daerah DPD harus melakukan fungsi pengawasan yang efektif terhadap Pemerintah, untuk mengetahui apakah Pemerintah sudah secara konsekuen melaksanakan fungsinya dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat.

Dalam kondisi yang demikian, DPD dapat mempergunakan suatu UU tertentu untuk mengawasi Pemerintah, agar dapat diketahui apakah Pemerintah secara serius telah melaksanakan UU tersebut, atau apakah Pemerintah telah melaksanakan seluruh program kegiatan yang digariskan oleh undang-undang secara benar dan efektif. Di samping itu DPD juga dapat melakukan pengawasan politik atas kebijkan-kebijakan yang

157 Ibid., hlm. 165. 158 Ibid., hlm. 167.

Page 119: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

108 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

diputuskan Pemerintah, terutama dalam bidang pembangunan, kemasyarakatan, maupun pemerintahan. Sehingga dapat diketahui apakah kebijakan yang telah diputuskan oleh Pemerintah untuk dilaksanakan, benar-benar mempunyai manfaat bagi masyarakat atau tidak.

Jimly Asshiddiqie menyatakan, bahwa fungsi pengawasan dalam arti luas, juga termasuk di dalamnya adalah fungsi anggaran.159 Hal ini berarti, dalam melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tentang APBN, juga mengawasi penggunaan APBN, maka DPD mempunyai peranan yang tidak kecil. Hal ini sangat perlu menjadi perhatian, agar fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPD terutama terkait dengan fungsi anggaran pada bidang otonomi daerah benar-benar dapat maksimal dilaksanakan.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 22 D ayat (3) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945, DPD memiliki fungsi pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tertentu mengenai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dan memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.

Ketentuan di atas secara yuridis terkesan sangat simplistik, dikarenakan fungsi pengawasan yang dapat dilakukan oleh DPD hanyalah pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu oleh Pemerintah. Di luar dari ketentuan pasal tersebut, maka DPD tidak dapat melakukan pengawasan atas pelakasanaan UU lain. Dari ketentuan ini DPD tidak diberikan kewenangan untuk melakukan fungsi pengawasan yang lebih luas terhadap kinerja Pemerintah secara menyeluruh.

Ketentuan Pasal 22 D Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945 secara nyata menunjukkan bahwa lemahnya peran dan fungsi DPD apabila dibandingkan DPR. Dengan lemahnya peran DPD sebagai representasi perwakilan lokal telah mengaburkan

159 Jimly Asshiddiqie, Peranan DPR RI di Bidang Legislatif di Masa

Depan, makalah pada diskusi panel Komisi Hukum Nasional, Jakarta: 6 September, 2000, hlm. 25.

Page 120: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 109

paradigma kedaulatan rakyat dan mekanisme check and balance dalam dinamika konstitusi ketatanegaraan Indonesia.160

Pada umumnya dalam sistem ketatanegaraan yang menganut parlemen dua kamar (bicameral) yang murni (strong bicameral), maka kedua kamar mempunyai tugas dan wewenang yang seimbang dalam menetapkan suatu undang-undang.

Melihat ketentuan pasal-pasal dalam UUD Tahun 1945 yang mengatur DPD, maka lembaga DPD tidak mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu undang-undang bersama-sama dengan DPR dan Presiden. Wewenang yang dimiliki DPD sangat sempit dan terbatas, yaitu hanya sebatas untuk memberikan pertimbangan. DPD solah-olah hanya berposisi sebagai dewan pertimbangan bagi DPR dalam sistem ketatanegaraan.

Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD Tahun 1945 dan Pasal 20 A ayat (1) Perubahan Ke Dua UUD Tahun 1945 secara eksplisit telah mengurangi penerapan fungsi legislasi oleh DPD, dimana kekuasaan dalam membuat undang-undang hanya dimiliki oleh DPR. Demikian seterusnya dalam penjabaran ketentuan-ketentuan pada tingkat bawah seperti UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Oleh karen itu harus diakui bahwa senyatanya amandemen UUD Tahun 1945 masih mengecilkan kewenangan yang diberikan terhadap DPD.

Reformasi konstitusi yang telah empat kali dilakukan telah mengalami kegagalan dalam memperhatikan aspirasi daerah pada setiap proses pembuatan kebijakan pada tingkat nasional. Padahal, gagasan yang melahirkan DPD adalah dilatar belakangi oleh adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk segera mengartikulasikan aspirasi masyarakat daerah secara struktural.

Adanya lembaga DPD sebagai suatu badan khusus dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia adalah sebagai representasi dari seluruh wilayah-wilayah Provinsi melalui institusi formal dalam tingkat nasional. Dengan demikian, diharapkan daerah-daerah mempunyai akses secara kelembagaan dalam membuat perumusan kebijakan nasional.

160 Dahlan Thaib, DPD dalam Peraturan Perundang-undangan, dalam

Seminar Nasional DPD RI, Jakarta: 2 Maret 2006, hlm. 17.

Page 121: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

110 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Untuk meningkatkan fungsi pengawasan DPD, maka diperlukan suatu perumusan ulang mengenai fungsi pengawasan seperti apakah yang secara ideal seharusnya dimiliki oleh DPD.

Melihat kedudukan DPD dalam legislatif yang merupakan hasil pemilihan langsung oleh konstituen dari seluruh wilayah NKRI tanpa mekanisme partai politik, maka idealnya pengawasan yang harus dimiliki oleh DPD adalah bentuk pengawasan prosedural bersifat aktif. Artinya, bahwa tanpa kasus tertentu sehubungan dengan pelaksanaan dari UU, misalnya UU tersebut secara prosedural bertentangan dengan UU lain yang lebih tinggi ataupun yang sederejat, dan secara substansial tidak mencerminkan penegakan keadilan yang sepatutunya harus dirasakan manfaatnya oleh daerah-daerah atau masyarakat secara umum, maka DPD seharusnya mempunyai fungsi pengawasan untuk mengingatkan Pemerintah tentang masalah tersebut.161

Apabila fungsi pengawasan yang diberikan kepada DPD lebih besar tidak terbatas pada satu bidang kegiatan sebagaimana diatur dalam UUD Tahun 1945 ataupun UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka pelaksanaan undang-undang yang dilakukan oleh Pemerintah paling tidak dapat dieleminir agar terhindar dari penyimpangan-penyimpangan dalam penegakannya. Di samping itu juga akan terhindar dari penerapan yang tidak benar terhadap norma hukum yang mencerminkan keadilan.

Mengenai fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang tertentu sebagaimana diatur di dalam Pasal 150 Keputusan DPD RI No. 29/DPD/2005 Tentang Tatib DPD RI, seharusnya DPD tidak cukup hanya melaporkan hasil pengawasan atas pelaksanaan UU pada bidang tertentu tersebut sebagai bahan pertimbangan DPD kepada DPR saja, melainkan seharusnya hasil pengawasan tersebut juga langsung disampaikan kepada Presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya. Sehingga fungsi pengawasan DPD selaku legislatif berjalan secara seimbang.

Secara ideal fungsi pengawasan yang harus dimiliki DPD dalam mekanisme check and balance agar berjalan lebih baik adalah, apabila DPD diberikan fungsi untuk tidak saja

161 John Pieris, Aryanthi Baramuli, Op.Cit., hlm. 173.

Page 122: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 111

melakukan pengawasan pelaksanaan UU secara formal dan tertentu sifatnya, tetapi juga ikut mengawasi secara substansial apa yang merupakan kehendak dari UU tersebut, terutama dalam kaitannya dengan kebijakan-kebijakan publik yang diambil oleh Pemerintah. Fungsi pengawasan sebagaimana tersebut di atas sangat perlu ke depan untuk diberikan kepada DPD agar proses penegakan hukum yang dijalankan oleh Pemerintah dapat sesuai dengan tujuan yang tertuang di dalam UU.

3. Peningkatan Fungsi Anggaran Terbentuknya DPD melalui Perubahan Ke Tiga UUD Tahun

1945 telah mendorong peran DPD dalam mewujdkan cita-cita pemberdayaan masyarakat daerah terutama dalam era otonomi daerah. Dengan adanya DPD, semangat untuk melaksanakan pembangunan di daerah semakin tinggi percepatannya. DPD dituntut untuk lebih berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi daerah, membangun bentuk-bentuk kerja sama antar daerah, melakukan evaluasi atas berbagai kebijakan yang menyangkut otonomi daerah, serta pemberdayaan masyarakat daerah.

Terbentuknya DPD memberikan konstelasi baru dalam tatanan kehidupan ketatanegaraan Indonesia, dimana daerah-daerah berhasil mewujudkan aspirasi dan cita-citanya, terutama dalam menciptakan pola hubungan yang lebih berimbang dengan Pemerintah Pusat. Dengan adanya DPD, maka peranan daerah tidak lagi hanya semata sebagai objek tetapi subjek dalam pembangunan nasional.162

DPD dapat berperan lebih banyak dalam percepatan pembangunan daerah sehingga dapat mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat, bahkan diharapkan dapat memberikan ruang yang lebih kreatif dan inisiatif kepada daerah untuk memaksimalkan potensi ekonomi daerah agar berjalan sesuai dengan kapasitas serta kemampuan daerah.

Salah satu peran yang diamanatkan oleh UUD Tahun 1945 kepada DPD adalah menyusun RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan,

162 Irman Gusman, Dari Daerah Untuk Bangsa, Jakarta: Makalah, 2006, hlm. 106.

Page 123: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

112 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Oleh karena itu, dalam kapasitas DPD yang lebih memiliki legitimasi kuat dibandingkan DPR karena secara langsung dipilih oleh konstituen tanpa mekanisme partai politik, diharapkan dapat menjembatani kepentingan daerah di pusat demikian pula sebaliknya tanpa meninggalkan tugas-tugas legislasi lainnya.

Keberadaan DPD dapat menjadi kekuatan penyeimbang atau ”countervailing power” oleh daerah terhadap pusat, untuk mengantisipasi berbagai kebijakan pusat yang kurang menguntungkan bagi perkembangan kemajuan daerah.

Salah satu unsur terpenting dari pelaksanaan otonomi daerah adalah terkait dengan APBD dan APBN. Oleh karena itu DPD sebagai aset daerah yang bertugas dalam kancah legislatif nasional di tingkat pusat penting untuk ditingkatkan fungsi tugasnya di bidang angaran. Karena, sebagimana dapat dilihat dalam UUD Tahun 1945 maupun dalam UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, tidak memberikan rumusan yang jelas dan tegas mengenai fungsi anggaran DPD. Di dalam ke dua sumber hukum tersebut di atas fungsi anggaran yang dimiliki oleh DPD juga hanya sebatas memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN.

Anggaran negara apabila dilihat dari sudut hukum tata negara adalah sebagai keseluruhan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan secara periodik, dan memberikan kuasa kepada kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan pembiayaan pengeluaran maupun penerimaan negara dalam periode tertentu, serta menunjuk alat pembiayaan yang diperlukan untuk melaksanakan segala pengeluaran negara.163

Dari penjelasan tersebut secara singkat dapat dikatakan, bahwa anggaran negara atau APBN/APBD ditinjau dari sudut hukum tata negara menitikberatkan kepada aspek otorisasi, yang mana atas dasar otorisasi tersebut pihak yang melaksanakan anggaran secara logis dibebani untuk mempertanggungjawabkan pelaksana-annya.

163 Goedhart. C, Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara,

diterjemahkan oleh Ratmoko, Jakarta: Balai Pustaka, 1973, hlm. 312.

Page 124: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 113

Selanjutnya selama tahun anggaran berlangsung, Pemerintah selaku eksekutif melaksanakan anggaran negara berdasarkan tata aturan yang telah dimuat dalam perundang-undangan dan mempertanggungjawabkan keuangan negara tersebut secara kelembagaan terhadap pihak legislatif selaku perwujudan kedaulatan rakyat. Hal tersebut sangat diperlukan sebagaimana perintah UUD Tahun 1945 maupun UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, terutama dalam merumuskan berbagai kebijakan pembiayaan negara dalam APBN, dan pelaksanannya dalam rencana keuangan tahunan pemerintahan negara harus mendapat persetujuan oleh legislatif.164

APBN sebagai suatu rencana kerja negara dalam melaksanakan berbagai kebijakan publik, dalam implementasinya memerlukan aturan-aturan hukum. Dalam suatu undang-undang rumusan APBN banyak berisi angka-angka yang secara langsung menarik fokus perhatian untuk mengetahui lebih lanjut apa maksud rumusan angka-angka tersebut secara hukum.

Sebagai UU, APBN mempunyai kedudukan yang bersifat khusus selain pengertian normatif yuridis, dimana legislatif secara berkala dalam setiap tahun menetapkannya dalam bentuk otorisasi. Oleh karena itu dalam konteks yang demikian tersebut, tidak saja Presiden dan DPR yang memiliki peran dalam perumusan APBN, tetapi juga DPD, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah, agar komunikasi kepntingan pusat dan daerah dapat dibicarakan secara lebih baik. Dengan posisi demikian, maka DPD dapat menjalankan fungsi anggarannya tidak hanya sekedar memberikan pertimbangan dalam membicarakan RUU APBN atau menerima hasil audit pemerikasaan BPK atas penggunaan APBN.165

Konsideran menimbang, huruf a, dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah untuk ke dua kalinya menurut UU 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan:

”Bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD Tahun 1945,

164 Dian Puji N. Simatupang, Determinasi Kebijakan Anggaran Negara

Indonesia Suatu Studi Yuridis, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005, hlm. 19. 165 John Pieris, Aryanthi Baramuli, Op.Cit., hlm. 181.

Page 125: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

114 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan suatu daerah dalam sistem NKRI”.

Ketentuan tersebut di atas, secara langsung memberikan peran kepada DPD untuk ikut dalam penyelenggarannya terutama sebagai aset daerah yang memperjuangkan kepentingan masyarakat daerah dalam perumusan kebijakan pembangunan nasional.

Selain itu, bahwa keterkaitan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka otonomi daerah berdasarkan UUD Tahun 1945 dalam sistem NKRI, tidak mustahil dapat menimbulkan pertentangan dan perbedaan kepentingan antara pusat dan daerah. Oleh karena itu maka DPD harus diberikan fungsi anggaran yang lebih luas agar dapat menjembatani kepentingan pusat dan daerah dalam hal pengelolaan serta pemberdayaan sumber-sumber ekonomi keuangan negara.

Pasal 1 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menyatakan bahwa : Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desntralisasi, dengan mempertimbang-kan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan.166

Uraian sebagaimana terdapat pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004 tersebut di atas, mengharuskan DPD untuk bersungguh-sungguh dalam menjalankan fungsi anggarannya melakukan monitoring pembagian keuangan yang adil,

166 Lihat UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan

Pusat dan Daerah.

Page 126: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 115

proporsional, demokratis, transparan, dan efisien antara pusat dan daerah.

Fungsi anggaran DPD memberikan pengertian yang mendalam, dimana DPD juga ikut bertanggung jawab atas penggunaan APBN agar roda pemerintahan negara dalam bidang keuangan negara terlaksana dengan tepat serta dapat dipertanggungjawabkan.

Fungsi anggaran memang merupakan salah satu fungsi penting dalam sistem ketatanegaraan dari suatu negara. Fungsi anggaran secara yuridis teoritik merupakan fungsi dari lembaga legislatif. Di Indonesia, fungsi anggaran melekat pada fungsi DPR secara keseluruhan. Akan tetapi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca perubahan UUD Tahun 1945, maka fungsi anggaran juga telah diberikan kepada DPD walaupun masih sangat terbatas.

Pasal 23 ayat (2) Perubahan Ke Tiga UUD Tahun 1945 menyatakan RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD. Mengenai apabila pertimbangan DPD diperhatikan atau tidak oleh Presiden ataupun DPR, tidak terdapat kejelasan lebih lanjut mengenai pertimbangan DPD tersebut. Dengan mekanisme yang demikian, maka fungsi anggaran yang dimiliki oleh DPD sesungguhnya tidak mempunyai arti yang penting, terutama bagi kepentingan masyarakat daerah.167

Oleh karena itu sudah sepatutnya apabila UUD Tahun 1945, UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maupun dalam Tatib DPD ke depan dapat mengatur atau merumuskan kembali fungsi anggran DPD secara lebih jelas dan tepat. Sehingga DPD dapat secara maksimal memperjuangkan kepentingan serta aspirasi daerah dalam bidang penggunaan dan pengelolaan sumber daya keuangan negara.

B. Hubungan DPD dengan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Sebagai perwujudan kesejahteraan rakyat, maka

Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan pembangunan

167 John Pieris, Aryanthi Baramuli, Op.Cit., hlm. 184.

Page 127: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

116 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

diseluruh Indonesia secara adil dan merata. Untuk dapat menjangkau pelaksanaan tugas pemerintahan yang sangat luas bidang maupun cakupannya sampai ke tingkat daerah-daerah, maka Pasal 18 Perubahan Ke Dua UUD Tahun 1945 menyatakan: NKRI dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah Provinsi itu dibagi atas Kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten, dan Kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang di atur dengan UU.

Pasal 1 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke Dua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan: Bahwa pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD Tahun 1945. Dari ketentuan tersebut, maka Pemerintah Daerah mempunyai kewajiban untuk menerapkan prinsip otonomi daearah (otda) dalam wadah NKRI.

DPD sebagai legislatif yang berasal dari daerah dan telah dipilih secara langsung oleh konstituennya melalui Pemilu langsung serta terlepas dari kepentingan partai politik, mempunyai hubungan psikologis yang erat dengan masyarakat daerah maupun Pemerintah Daerah dalam mengawal percepatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat pada masa otda sekarang ini.

Meskipun DPD merupakan lembaga perwakilan daerah, hubungannya dengan konstituen, dan lembaga pemerintahan di daerah tidak banyak diatur secara formal pada level Peraturan Perundang-undangan. Terkait dengan hal tersebut, UUD Tahun 1945 hanya mengatur ihwal pemilihan calon anggota DPD dari setiap Provinsi melalui mekanisme Pemilu dan tata cara pemilihannya dijabarkan lebih lanjut melalui UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD.

UU No. 10 tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD hanya mengatur ihwal tugas dan wewenang DPD terkait domain urusan/kepentingan daerah. Tidak ada secara tegas dan khusus mengatur tentang sifat pengaturan yang berkaitan dengan kewajiban dari pelaksanaan tugas DPD apabila mengalami kegagalan dalam menyerap serta menindak-lanjuti aspirasi kepentingan daerah. Hanya ada diatur hal-hal yang

Page 128: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 117

bersifat umum tentang pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih serta daerah pemilihannya yang mana terkesan normatif, standar sama seperti pertanggungjawaban yang terdapat pada lembaga negara lainnya seperti DPR.168

Pengaturan lebih lanjut mengenai hubungan DPD dengan masyarakat daerah dan Pemerintah Daerah hanya sedikit diatur dalam Pasal 146 butir a Keputusan DPD RI No. 29/DPD/2005 Tentang Tatib DPD RI, yang menyatakan bahwa anggota DPD melaksanakan kegiatan di daerah yang diwakilinya untuk menyerap, meng-himpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah pemilihannya masing-masing yang berada dalam ruang lingkup tugas dan wewenang DPD. Selanjutnya pada butir b dinyatakan bahwa anggota DPD menyampaikan perkembangan pelaksanaan tugas dan wewenangnya di daerah pemilihannya masing-masing, serta butir c menyatakan bahwa anggota DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU tertentu.

Kurangnya regulasi yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan tugas DPD dalam hubungannya dengan masyarakat daerah dan Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan otda, tidak lalu menjadikan DPD berpangku tangan dalam memajukan kesejahteraan masyarakat daerah. Justru dengan adanya lembaga baru DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini akan dapat mempercepat pengembilan solusi atas problem-problem yang terjadi di daerah. Artinya, dengan asas desentralisasi pemerintahan dimana daerah mempunyai kewenangan untuk mengurus serta mengelola pemerintahan daerah secara luas dan bertanggungjawab dalam mencapai kesejahteraan masyarakat daerah, maka Pemerintah Daerah dapat bersinergi dengan DPD sebagai perwakilan daerah untuk memperjuangkan aspirasi daerah pada tingkat kebijakan nasional di Pemerintah Pusat.169

Melalui asas desentralisasi dalam pemerintahan, DPD sebagai perwakilan daerah cukup efektif untuk lebih memahami bentuk-bentuk persoalan daerahnya. Oleh karena itu DPD dapat menggunakan dua cara untuk lebih mendekatkan fungsinya terhadap konstituennya masing-masing di daerah yaitu melalui:

168 Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian Adinabung, Op.Cit., hlm. 102.

169 Sirajuddin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Op.Cit., hlm. 96.

Page 129: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

118 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

1. DPD dapat menggunakan cara struktural daerah seperti melakukan kerjasama, rapat dengar pendapat dengan unsur Pemerintah Daerah, dan DPRD. Hal tersebut sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 224 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Melalui cara ini diharapkan DPD dapat secara jelas mengetahui apa yang menjadi permasalahan-permasalahan pokok di daerah, serta dapat menggali potensi-potensi daerah yang dapat digunakan dalam upaya mensejahterakan masyarakat daerah.

2. DPD dapat menggunakan cara kultural seperti memahami lebih mendalam kultur sosiologis kehidupan masing-masing daerahnya, misalnya melalui pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat yang ada di daerahnya, lalu secara serius berkesinambungan memperjuangkannya di parlemen pusat. Hal ini untuk menepis anggapan yang selama ini sering terdengar bahwa DPD sebagai lembaga perwakilan daerah bersifat elitis serta inklusif.170

Sinergi antara DPD dengan Pemerintah Daerah, DPRD, maupun masyarakat daerah akan mempercepat terwujudnya semangat otonomi dan desentralisasi pemerintahan dalam upaya mensejahterakan rakyat daerah, keadilan dan kemakmuran rakyat daerah, terutama dalam memberikan kedewasaan politik serta demokratisasi di daerah.

Harapan yang digantungkan masyarakat daerah atas keberadaan DPD sebagai perwakilan daerah, merupakan suatu prestasi politik masyarakat yang harus disambut serta diperjuangkan secara maksimal, sebagai bukti bahwa DPD merupakan bagian dari asset daerah yang membawa aspirasi daerahnya agar dapat dinegosiasikan pada Pemerintah Pusat. Hal tersebut merupakan titik penting dari tanggung jawab DPD untuk senantiasa berbuat secara optimal dan kemudian memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat daerah sebagai konstituennya pada masa otda seperti sekarang ini.

170 Ibid.

Page 130: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 119

BAB V

DEWAN PERWAKILAN DAERAH DALAM SISTEM BIKAMERAL

A. Sistem Perwakilan Sejak awal munculnya gagasan demokrasi perwakilan, muncul pemikiran untuk menciptakan wadah demokrasi perwakilan yang bertugas menghasilkan keputusan-keputusan penting dalam urusan bernegara demi kesejahteraan warga yang diwakili. Pada umumnya dikenal ada 2 (dua) macam lembaga perwakilan atau parlemen, yaitu parlemen dua kamar (bicameral parliament)) dan parlemen satu kamar (unicameral parliament).171

Dalam demokrasi perwakilan, para warga negara memilih wakil-wakilnya untuk membuat keputusan politik, merumuskan ketentuan perundang-undangan dan menjalankan program untuk kepentingan umum. Setiap pejabat pemerintah memangku jabatan atas nama rakyat dan tetap bertanggung jawab kepada rakyat. Oleh sebab itu pemerintah dipandang sebagai salah satu unsur yang hidup berdampingan dengan lembaga-lembaga lain yang banyak dan bervariasi dalam masyarakat seperti partai politik, organisasi dan asosiasi.172

Heinz Eulau dan John Whalke mengadakan klasifikasi perwakilan ini ke dalam tiga pusat perhatian, dijadikan sebagai sudut kajian yang mengharuskan adanya“wakil”, yaitu adanya partai, kelompok dan adanya daerah yang diwakili. Dengan adanya klasifikasi yang demikian, maka akan melahirkan tiga jenis perwakilan, yaitu perwakilan politik (political representative), perwakilan fungsional (functional representative) dan perwakilan daerah (regional representative). Dalam konsepsi perwakilan politik pihak yang diwakili adalah suatu kelompok manusia yang terdiri dari individu-individu yang telah

171Semua harus terwakili studi mengenai reposisi MPR, DPR dan

lembaga kepresidenan (Jakarta, Pusat Studi Hukum dan kebijakan Indonesia, 2000), hlm.32

172 Eddy Purnama, “Negara Kedaulatan Rakyat”, (Malang: Nusamedia, 2007), hlm. 52

Page 131: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

120 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

menyeragamkan kehendak mereka terlebih dahulu melalui sebuah partai politik. Menurut konsepsi perwakilan fungsional pihak yang diwakili adalah bermacam-macam kelompok kepentingan biasanya dalam bidang ekonomi, mereka merupakan golongan minoritas di dalam masyarakat tetapi mempunyai kekuaan yang dapat mempengaruhi penyelenggaraan negara. Dalam konsepsi perwakilan regional pihak yang diwakili bukan individu ataupun kelompok kepentingan, melainkan kepentingan yang bersifat teritorial (kedaerahan).173

Secara teoritik dapat dikatakan bahwa dalam sebuah negara yang demokratis setiap warga negara dan unit-unit politik harus diwakili dan terwakili. Menurut Roger H. Soltau, demokrasi merupakan kerangka politik dan sosial bagi suatu masyarakat berdasarkan prinsip kebebasan dan kesamaan hak bagi setiap orang.174 Sedangkan menurut Henry B. Mayo, demokrasi merupakan sistem politik. Sistem politik dikatakan demokrasi apabila kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang dipilih dan diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan berkala berdasarkan prinsip persamaan politik, dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.175

Dengan adanya demokrasi yang melahirkan pemilihan secara langsung untuk mewakili rakyat, maka badan-badan perwakilan tersebut lazim disebut parlemen. Salah satu isu yang paling fundamental adalah penentuan berapa jumlah “kamar” dalam parlemen tersebut dan bagaimana proses pengambilan putusan serta proses legislasi yang diemban oleh parlemen tersebut. “kamar-kamar” dalam parlemen tersebut dapat berjumlah “satu”, “dua”, “tiga”, atau “empat”.176

Model bikameral pada hakikatnya mengidealkan adanya dua kamar di dalam lembaga perwakilan. Doktrin ini berasal dari teori klasik Aristoteles dan Polybius yang berargumen bahwa pemerintahan yang baik adalah gabungan antara prinsip

173 Ibid. hlm. 66 174 W.A. Bonger, Masalah-Masalah Demokrasi, Jakarta, Yayasan

Pembangunan, Alih Bahasa: M. Sitorus, 1954, hlm. 32 175Henry B. Mayo, An Introduction to Democratie Theory, New York,

Oxford University, 1950, hlm. 70 176King Faisal Sulaiman, “Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga

Parlemen Indonesia”, (Yogyakarta: UII Press, 2013, hlm. 22

Page 132: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 121

demokrasi dan oligarki.177 Dahlan Thaib, menguraikan bahwa kelebihan atau keuntungan dalam sistem legislatif bikameral adalah kemampuan anggota untuk secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau golongan), memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-undangan, mencegah disyahkan perundang-undangan yang cacat atauceroboh, dan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.178 Sistem perwakilan dua kamar (bicameral) ini, selain dipraktekkan di negara-negara bersusunan federasi, juga dipraktekkan di lingkungan negara-negara bersusunan kesatuan (unitary), misalnya Inggris, Belanda, Prancis, Filiphina, Thailand, Jepang, dan lain sebagainya dengan tujuan untuk menjaga keutuhan wilayah negara, melindungi etnik dan kepentingan khusus golongan tertentu.179

Ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Alasan kedua adalah untuk membentuk perwakilan untuk menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.180

Sistem satu kamar (unicameral parliament) adalah sistem pemerintahan yang hanya memiliki satu kamar pada parlemen atau lembaga legislatif. Banyak negara yang menggunakan sistem satu kamar, terutama negara kesatuan yang kecil dan homogen dan menganggap sebuah majelis tinggi atau kamar kedua tidak perlu, sementara itu lembaga perwakilan dua kamar pada hakikatnya merupakan suatu bentuk wadah demokrasi perwakilan yang terdiri dari dua kamar atau dua dewan dalam

177Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensiil Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 235

178 King Faisal Sulaiman, Op.cit, hlm. 39 179 Samuel C. Patterson & Anthony Mughan, (1999), Senat Bicameral in

the Contemporary Word, Oshio State University, hlm. 10 180 Ibid. hlm. 40-41

Page 133: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

122 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

lembaga legislatif. Bentuk lembaga perwakilan semacam ini merupakan hasil proses panjang penyelenggaraan negara di berbagai belahan dunia.181Lalu atas dasar apa negara memilih kedua sistem tersebut? Para penganjur sistem satu kamar berpendapat bahwa satu kamar mencerminkan mayoritas dari kehendak rakyat karena dipilih langsung oleh rakyat. Proses mayoritas inilah yang dianggap sesuai dengan konsep demokrasi dan secara teori prosedur pengambilan pendapat dan keputusan dapat berjalan dengan relatif cepat.182

Di lain pihak para penganut sistem dua kamar berpendapat bahwa kekuasaan satu kamar harus dibatasi, karena memberi peluang untuk menyalahgunakan wewenang. Anggota-anggotanya akan lebih mudah terpengaruh oleh situasi politik, karena dipilih langsung oleh rakyat melalui partai politik. Dalam sistem dua kamar, lembaga tinggi sedikit lebih banyak akan dapat menetralisir kecenderungan itu melalui pembahasan yang lebih moderat.183 Hal serupa yang diungkapkan olehRamlan Subakti dan Bagir Manan yang menyatakan bahwa sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme check and balances antar kamar-kamar dalam suatu badan perwakilan.184

Sehingga nantinya diharapkan akan mengurangi penyalahan wewenang serta jual beli politik di lembaga perwakilan rakyat yang dapat berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup bernegara dan keutuhan NKRI yang selama ini terlihat sangat timpang dan terkesan sangat sentralistik dan menimbulkan akumulasi kekecewaan yang sangat mengakar bagi masyarakat daerah terhadap pemerintah pusat.

Istilah struktur organisasi parlemen dua kamar atau dalam istilah lain disebut Bikameral. Dalam beberapa definisi tentang bikameralisme adalah sebaga berikut:

1. Bicameral sistem: A legislature which has two chamber rather then one (unicameral sistem), providing check and Balances and lessening, the risk of aletive dictatorship, at the birth of the united,

181 Ibid. hlm.35 182Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, Gramedia: 2009),

hlm. 319 183 Ibid. hlm. 320 184Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia , Konstitusi republik Indonesia

menuju perubahan ke-5 (Jakarta : Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2009), hlm. 216, cet, ketiga

Page 134: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 123

Benjamin Franklin wrote that “a plural legislature is nesesary to good government as a single executive”. Artinya: sistem bikameral adalah badan legislatif yang terdiri dari dua kamar untuk melaksanakan mekanisme check and balences agar terhindar dari resiko pemerintah yang diktator, Benjamin Franklin menulis kemajemukan pembuat undang-undang adalah cara unuk menjadikan pemerintah yang baik (good government) diatas eksekutif yang tunggal.

2. Bicameral: the division of legislative or judikal body into to components or cembers. The US congress is a bicameral legislature, sinse its dividedinto to houses, the senate and the house of representative.185Artinya: bikameral adalah devisi dalam badan legislatif yang terdiri dari baberapa komponen atau kamar. Di Amerika kongres terdiri dari dua kamar yaitu senat dan house of representative.

3. Bicameral of legislature having two legislative House (usu. The house of refresentatives, or the assembly, and the sanate). The federal government and all states excep nabraska have bicameral legislatures.186Artinya: sistem bikameral dalam badan pembuat undang-undang terdiri dari dua badan atau kamar (biasanya disebut house of refresentatives dan senate), setiap pemerintahan yang menganut sistem federal mempunyai dua badan pembuat undang-undang.

Dari beberapa pengertian diatas dapat dipahami bahwa, lembaga perwakilanrakyat dua kamar pada dasarnya merupakan suatu bentuk wadah demokrasi perwakilan yang terdiri dari dua kamar atau dua dewan. Bentuk semacam ini merupakan proses panjang penyelenggaraan negara di berbagai belahan dunia, sejak awal timbulnya gagasan mengenai demokrasi perwakilan, muncul keinginan untukmenciptakan demokrasi yang bertugas

185Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Bicameral dalam Parlemen di

Indonesia (Jakarta : Raja grafindo persada, 2005), hlm. 13 186Ad.Bryian A. Garner, Black Law Dictionary, (United States Of America,

2004), h, 171, Eighth edition.

Page 135: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

124 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

untuk menghasilkan keputusan-keputusan penting dalam penyelenggaraan negara.

Sistem bikameralisme merupakan salah satu dari klasifikasi sistem keparlemenan yang ada di dunia. Seperti yang dikemukakan Arend Lijphart dalam bukunya Patterns of Democracy, bahwa bikameralisme merupakan sebuah dikotomi dari kategori sistem keparlemenan di dunia yang ditandai oleh adanya dua kamar yang memiliki nama masing-masing. Kamar pertama atau biasa disebut lower house biasanya selalu lebih penting dari kamar kedua (upper house).Selanjutnya, Lijphart menyatakan bahwa terdapat kecenderungan dari bikameralisme ini. Secara original, fungsi yang penting dari kamar kedua atau upper house yang dipilih dari basis terbatas adalah melayani sikap konservatif yaitu agresifitas dari kamar pertama yang biasanya anggotanya dipilih secara lebih demokratis.

Pertimbangan lain adalah adanya keinginan untuk mengurangi agresifitas DPR (lower) dalam hal isu-isu kebijakan terkini. Selain itu, pertimbangan yang tidak kalah penting adalah pentingnya kamar kedua untuk mencegah korupsi atau perebutan kekuasaan oleh lembaga lain, oleh eksekutif atau oleh kepentingan khusus.Di Amerika Serikat, kehadiran senat sebagai kamar kedua dalam sistem bikameralisme diarahkan untuk mendinginkan situasi dari adanya kekhawatiran dalam praktek sistem keparlemenan tunggal yang cenderung menimbulkan oligarki kekuasaan. Kondisi ini disadari oleh para ahli terkesan menimbulkan intervensi dari lembaga upper house dalam hal hubungan normal dari tanggung jawab politik dengan lower, lembaga demokratis lainnya serta eksekutif. Tetapi hal tersebut merupakan konsekuensi dari upaya menciptakan mekanisme checks and balances antar lembaga.

Menurut Miriam Budiarjo, negara kesatuan yang memakai sistem dua kamar (majelis) biasanya terdorong oleh pertimbangan bahwa satu majlis dapat mengimbangi dan membatasi kekuasaan dari majelis lain, dikhawatirkan bahwa sistem satu kamar memberi peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan, karena mudah dipengaruhi oleh situasi politik. Majelis atau kamar kedua memiliki wewenang kurang daripada majelis atau kamar pertama.187

187 Mariam Budiardjo, Op.cit, hlm. 319

Page 136: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 125

C.F. Strong menambahkan, bahwa keberadaan kamar kedua dapat mencegah pengesahan undang-undang secara tergesa-gesa dan tidak direncanakan dengan matang oleh suatu majelis yang merasa kekuasaanya tidak terbatas khususnya dalam pembuatan undang-undang, sehingga ini dimungkinkan akan menyalahgunakan kekuasaan dan tirani.188 Kemudian ia juga menambahkan bahwa kamar kedua tidak akan ada artinya dan tidak akan membawa kemajuan kecuali jika diupayakan menemukan hal-hal berikut ini:189

a. Sejauh mana majelis tinggi dapat mempertahankan kekuasaannya yang riil.

b. Sejauh mana majelis tinggi yang dipilih dapat mengembangkan diri danmemiliki kekuatan.

c. Dengan cara bagaimana jika terjadi deadlock antara kedua majelis dapat diselesaikan apabila kekuasaan majelis tinggi cukup nyata untuk menghalangi tindakan bebas majelis rendah.

d. Bagaimana kedudukan majelis tinggi jika diberi kekuasaan yang tidak diberikan kepada majelis rendah.

Selanjutnya mungkin ada dua alasan mengapa mengapa para penyusunkonsitusi memilih sistem bikameral. Alasan pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (check and balances) serta yang kedua adalah untuk menampung kepentingan tertentu yang mungkin tidak dapat diwakili sepenuhnya oleh majelis pertama.190

Pelembagaan fungsi legislature itulah yang disebut parlemen. Di berbagai negara ada yang melembagakannya dalam satu forum saja (unicameral atau monocameral), ada pula yang dua forum (bicameral). Bahkan ada pula negara-negara yang mempunyai struktur parlemen multi kameral atau terdiri atas

188C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, terjejemahan dari

Modern Constitution (bandung: Nusamedia, 2008). hlm. 275, Cet ke-2 189 Ibid. 274 190 Ibid. hlm. 16

Page 137: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

126 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

lebih dari dua kamar atau lebih dari dua institusi.191 Salah satunya adalah Indonesia yang mempunyai tiga institusi atau tiga forum parlemen sekaligus, yaitu DPR, DPD, dan MPR. DPR merupakan lembaga perwakilan politik (political representation), DPR merupakan perwakilan daerah (regional representation), sedangkan MPR merupakan penjelmaan keseluruhan rakyat, baik dari segi politik maupun kedaerahan.

Di samping fungsi lainnya, DPR berfungsi untuk membentuk undang-undang, DPD memberikan pertimbangan dalam pembentukan undang-undang, sedangkan MPR menetapkan UUD sebagai kebijakan tertinggi. Di berbagai negara, DPD atau yang disebut dengan nama lain, seperti Senat, biasanya berperan dalam pengambilan keputusan pembentukan undang-undang atau undang-undang tertentu. Akan tetapi, berdasarkan UUD 1945 yang berlaku sekarang, keputusan-keputusan DPD sama sekali tidak menentukan dalam proses pembentukan undang-undang itu. Peranan DPD hanya bersifat advisoris terhadap DPR. Sementara itu, menurut Montesquieu, pembentukan undang-undang dasar juga dinamakan legislasi.

Karena itu, dengan mengacu kepada pendapat Montesquieu dan Frank Goodnow tersebut di atas, kita dapat mengatakan bahwa dalam struktur parlemen Indonesia dewasa ini terdapat tiga forum parlemen yang sama-sama mempunyai fungsi legislasi dalam arti yang luas. Karena itu, sering dinamakan struktur parlemen Indonesia dewasa ini sebagai parlemen trikameral. Indonesia tidak menganut prinsip unikameralisme, bukan pula bikameralisme, melainkan trikameralisme. Dengan demikian, adanya MPR, DPR, dan DPD dalam sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945 dewasa ini merupakan satu kesatuan kelembagaan parlemen Indonesia yang mempunyai tiga forum perwakilan dan permusyawaratan dalam rangka pengambilan keputusan mengenai kebijakan negara berdasarkan UUD 1945.

Lembaga legislatif atau legislature mencerminkan salah satu pelaksana fungsi kekuasaan negara, disamping badan eksekutif dan badan yudikatif yang menerapkan pengaturan dalam pembagian kekuasaan. Legislature atau pembuat undang-

191 Lihat disertasi Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen

dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Page 138: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 127

undang dapat disebut juga sebagai Assembly yang mengutamakan unsur “berkumpul” untuk membicarakan masalah-masalah publik.192

Selain daripada nama badan legislatif, legislature atau juga Assembly, nama lain lagi adalah parliament, suatu istilah yang menekankan unsur “bicara” (parler) dan merundingkan. Sebutan lain yang mengutamakan refresentasi atau keterwakilan anggota-anggotanya dan dinamakan people’s Representative Body atau Dewan Perwakilan Rakyat. akan tetapi, apapun perbedaan dalam namanya, dipastikan bahwa badan ini merupakan simbol dari rakyat yang berdaulat.193

Dengan berkembangnya gagasan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan rakyat itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang. Rousseau yang merupakan pelopor dari gagasan kedaualatan rakyat tidak menyetujui adanya badan perwakilan, tetapi mencita-citakan suatu bentuk “demokrasi langsung”, di mana rakyat secara langsung merundingkan serta memutuskan soal-soal kenegaraan dan politik.194

Demokrasi secara langsung seperti yang diinginkan oleh Rousseau dianggap tidak praktis, dan hanya dipertahankan dalam bentuk khusus dan terbatas seperti referendum dan plebesit. Boleh dikatakan bahwa dalam negara modern dewasa ini rakyat menyelenggarakan kedaulatan yang dimilikinya melalui wakil-wakil yang dipilih secara berkala.195

Badan legislatif di negara-negara demokrasi disusun sedemikian rupa sehingga ia mewakili mayoritas dari rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya. Untuk meminjam rumusan C.F. Strong yang menggabungkan tiga unsur dari suatu negara demokrasi, yaitu representasi, partisipasi dan tanggung jawab politik.196

Lembaga perwakilan rakyat pada mulanya dipandang sebagai representasi mutlak warga negara dalam rangka ikut

192 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta,

Gramedia Pustaka Utama: 2008), hlm.315. 193 Ibid. 194 Ibid. hlm.316 195 Ibid. 196 Ibid.

Page 139: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

128 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

serta menentukan jalannya pemerintahan. Apa yang diputuskan oleh parlemen, itulah yang dianggap sebagai keputusan rakyat yang berdaulat. Dari sinilah lahir doktrin supremasi parlemen atau “the principle of supremacy of parliament”. Dalam perseptif demikian, undang-undang sebagai produk parlemen tidak boleh diganggu-gugat apalagi dinilai oleh hakim.197

Kewenangan untuk menetapkan peraturan harus diberikan kepada lembaga perwakilan rakyat atau parlemen atau lembaga legislatif. Ada tiga hal penting yang harus diatur oleh wakil rakyat melalui parlemen, yaitu (i) pengaturan yang dapat mengurangi hak dan kebebasan warga negara, (ii) pengaturan yang dapat membebani harta kekayaan warga negara, (iii) pengaturan mengenai pengeluaran-pengeluaran oleh penyelenggara negara. pengaturan mengenai ketiga hal tersebut hanya dapat dilakukan atas persetujuan dari warga negara sendiri, yaitu melalui perantara wakil-wakil mereka di parlemen sebagai lembaga perwakilan rakyat.198

Oleh karena itu, yang biasa disebut sebagai fungsi pertama lembaga perwakilan rakyat adalah fungsi legislasi atau pengaturan. Fungsi pengaturan (regelende functie) ini berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan pengaturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi, sehingga kewenangan ini utamanya hanya dapat dilakukan sepanjang rakyat sendiri menyetujui untuk diikat dengan norma hukum tersebut. kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat, maka peraturan yang lebih tinggi di bawah undang-undang dasar haruslah dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama dengan eksekutif.199

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa fungsi legislatif menyangkut empat bentuk kegiatan sebagai berikut:200

(i). Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);

197 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca

Reformasi, Op.cit, hlm.153. 198 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara II, Op.cit,

hlm.32 199 Ibid. hlm.33 200 Ibid.

Page 140: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 129

(ii) Pembahasan rancangan undang-undang (law making prosess);

(iii) Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);

(iv) Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atau perjanjian atau persetujuan internasional atau dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (Binding decision making on internasional angrement and traties or other legal binding document).

B. Struktur Parlemen Menurut Jimly Asshiddiqie, secara umum ada tiga prinsip perwakilan rakyat yang dikenal di dunia, yaitu (i) Reprensentasi Politik (Political Representation), (ii) Representasi Teritorial (Territorial Representation), dan (iii) Representasi Fungsional (Functional Representation).201 Prinsip perwakilan yang pertama adalah perwakilan melalui prosedur partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi modern. Namun, pilar partai politik ini dipandang tidak sempurna jika tidak dilengkapi dengan sistem “double-check” sehingga aspirasi dan kepentingan seluruh rakyat benar-benar dapat disalurkan dengan baik. Karena itu, diciptakan pula adanya mekanisme perwakilan daerah (territorial representation).202

Bagi negara-negara besar dan kompleks, apalagi negara-negara yang berbentuk federasi, sistem double-check ini dianggap lebih ideal. Karena itu, banyak diantaranya mengadopsi keduanya dengan membentuk struktur parlemen bikameral atau dua kamar. Namun, pertimbangan dibentuknya dua kamar atau dua institusi parlemen itu, sesuai dengan pengalaman sejarah di masing-masing negara, terkadang tidak didasarkan atas pertimbangan teritorial, melainkan didasarkan atas pertimbangan fungsional.203

201 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Pasca

Reformasi, Op.cit, hlm.154. 202 Ibid. 203 Ibid. hlm.155

Page 141: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

130 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pada negara Inggris misalnya, majelis tinggi disebut House of Lord dibedakan dari majelis rendah yang disebut House of Commons bukan berdasarkan prinsif representasi politik dan representasi teritorial, melainkan berdasarkan prinsip representasi politik dan representasi fungsional. Sementara itu, dalam parlemen Amerika Serikat yang disebut sebagai The Congress of the United States of America juga bersifat bikameral, yaitu terdiri atas The House of Representatives dengan mencerminkan prinsip perwakilan politik dan The Senate dengan mencerminkan prinsip perwakilan teritorial dari setiap negara bagian.204

Dengan kata lain, di dunia sekarang dikenal dua sistem perwakilan, yaitu:

1) Parlemen Unikameral (monokameral), dan

2) Parlemen Bikameral.

Parlemen yang terdiri atas satu lembaga perwakilan disebut sistem unikameral, sedangkan yang terdiri atas dua lembaga perwakilan rakyat disebut dengan bikameral. Ada negara yang hanya memiliki satu kamar atau lembaga parlemen, misalnya, negara-negara tetangga Indonesia pada umumnya bersifat unikameral. Sebagian besar negara-negara yang berbentuk negara kesatuan cenderung memiliki parlemen satu kamar (unikameral), tetapi semua negara federal mimiliki struktur parlemen dua kamar (bikameral).205

Namun, ada pula negara kesatuan yang besar juga memiliki bentuk parlemen bikameral, meskipun kedudukannya tidak setara satu sama lain. Karena itu, sistem parlemen bikameral itu oleh para ahli biasa dibedakan antara (a) bikameral yang kuat (strong bikameralisme) dan (b) bikameral yang sederhana atau lemah (soft bikameralisme).206

Ketika pertama kali didirikan pada tahun 1945, struktur parlemen negara Indonesia diidealkan berkamar tunggal (unikameral) tetapi dengan variasi yang dikaitkan dengan teori kedaulatan rakyat yang dibayangkan dapat diorganisasikan secara total ke dalam suatu organ bernama Majelis

204 Ibid. 205 Ibid. hlm.156. 206 Ibid.

Page 142: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 131

Permusyawaratan Rakyat. Majelis ini yang dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat, sehingga diidealkan sebagai lembaga tertinggi dalam bangunan organ negara.207

Karena sebagian besar keanggotaan MPR itu adalah anggota DPR, maka MPR itu sendiri sebagai lembaga memang erat kaitannya dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Bahkan, karena keanggotaannya yang bersifat overlapping, maka kedua lembaga tersebut tidak dapat disebut sebagai dua kamar sebagaimana pada umumnya yang dipahami dalam sistem parlemen dua kamar (bikameral).208 Dengan demikian, adanya keanggotaan Dewan Perwakilan Daerah tentunya diharapkan negara Indonesia dapat menerapkan sistem parlemen dua kamar (bikameral).

Jika kamarnya ada dua, tentulah rumahnya tetap ada satu. Untuk itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetap dipertahankan namanya, yaitu untuk menyebut rumah parlemen yang terdiri dari dua kamar. Akan tetapi, kedudukannya tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara selama ini. Fungsi kekuasaan yang dikaitkan dengan majelis yang terdiri atas dua kamar itu disebut sebagai kekuasaan legislatif.209

Bagaimana menentukan perbedaan di antara kedua kamar parlemen dalam UUD. Dengan demikian, perbedaan kedua kamar parlemen di Indonesia yang disebut Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah itu dapat ditentukan oleh dua faktor, yaitu (a) sistem rekruitmen anggotanya; dan (b) pembagian kewenangan diantara keduanya dalam menjalankan tugas-tugas parlemen.210 Tujuan dibentuknya parlemen bikameral itu memang biasanya dihubungkan dengan bentuk negara federal yang memerlukan dua kamar untuk maksud melindungi formula federasi itu sendiri.211

207 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,

(Jakarta, Konstitusi Press, 2005), hlm. 16 208 Ibid. hlm.18 209 Ibid.hlm.21 210 Ibid. 211 Ibid.hlm.22

Page 143: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

132 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

C. Praktek Bikameral dalam Sistem Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia Di Indonesia, sistem bikameral bukan hanya perdebatan

yang muncul selama era Reformasi. Jauh hari sebelumnya, ketika berlaku Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949, sistem bikameral sudah “disepakati” menjadi model sistem perwakilan Indonesia. Dalam Bab III Ketentuan Umum KRIS 1949 disebutkan bahwa Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah alat perlengkapan federal Republik Indonesia Serikat. Sebagai Majelis Tinggi, berdasarkan Pasal 80 KRIS, Senat mewakili daerah-daerah bagian dengan jumlah yang sama, yaitu dua orang untuk setiap negara bagian. Sementara itu, sebagai Majelis Rendah, DPR mewakili seluruh rakyat Indonesia yang terdiri dari 150 anggota.212

Meskipun negara RIS hanya berumur sekitar delapan bulan, pada tanggal 17 Agustus 1950 negara serikat dibubarkan dan KRIS 1949 diganti dengan UUD Sementara 1950, dukungan terhadap sistem bikameral belum punah. Buktinya, dalam upaya membuat konstitusi baru yang dilakukan oleh Konstituante (1956-1959), sistem bikameral tetap menjadi salah satu opsi bentuk lembaga perwakilan rakyat. Sayangnya, usaha Konstituante tidak dapat diselesaikan secara tuntas karena Constitutional Assembly yang dibentuk berdasarkan hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 dibubarkan Presiden Soekarno sebelum masa tugasnya berakhir.213

Gagasan sistem bikameral yang mengalami “mati suri” sekitar empat dasawarsa kembali menemukan momentum seiring dengan kuatnya desakan untuk melakukan “reformasi total” terhadap UUD 1945 pada awal era Reformasi. Buktinya, Sidang Tahunan MPR 2001 berhasil mencapai kesepakatan mendasar untuk membentuk “kamar kedua” setelah DPR di lembaga perwakilan rakyat dengan sebutan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).214

212http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=94:penataan-lembaga-perwakilan-rakyat-sistem-trikameral-di tengah-supremasi-dewan-perwakilan-rakyat&catid= 18:jurnalnasional&Itemid=5. Di akses pada tanggal 26 Januari 2020

213 Ibid. 214 Ibid.

Page 144: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 133

Menurut Ramlan Surbakti, ada beberapa pertimbangan Indonesia mengadopsi sistem bikameral yang masing-masing mewadahi keterwakilan yang bebeda, yaitu distribusi penduduk Indonesia menurut wilayah sangat timpang dan terlampau besar terkonsentrasi di Pulau Jawa, serta sejarah Indonesia menunjukkan aspirasi kedaerahan sangat nyata dan mempunyai basis materil yang sangat kuat yaitu dengan adanya pluralisme daerah otonom seperti daerah istimewa dan otonomi khusus.215

Sejalah dengan Ramlan Surbakti, Bagir Manan memandang ada beberapa pertimbangan bagi Indonesia menuju sistem dua kamar.216

1. Seperti diutarakan Montesquieu, sistem dua kamar merupakan suatu mekanisme checks and balances antara kamar-kamar dalam satu badan perwakilan.

2. Penyederhanaan sistem badan perwakilan. Hanya ada satu badan perwakilan tingkat pusat yang terdiri dari dua unsur yaitu unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat dan unsur yang mewakili daerah. Tidak diperlukan utusan golongan. Kepentingan golongan diwakili dan disalurkan melalui unsur yang langsung mewakili seluruh rakyat.

3. Wakil daerah menjadi bagian yang melaksanakan fungsi parlemen (membentuk undang-undang, mengawasi pemerintah, menetapkan APBN, dan lain-lain). Dengan demikian segala kepentingan daerah terintegrasi dan dapat dilaksanakan sehari-hari dalam kegiatan parlemen. Hal ini merupakan salah satu faktor untuk menguatkan persatuan, menghindari disintegrasi.

4. Sistem dua kamar akan lebih produktif. Segala tugas dan wewenang dapat dilakukan setiap unsur. Tidak perlu menunggu atau bergantung pada satu badan seperti DPR sekarang.

Meskipun tidak menyebut secara eksplisit, kedua pendapat di atas menghendaki sistem bikameral dengan kewenangan yang relatif berimbang antara kedua kamar/majelis di lembaga

215 Ibid. 216 Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: 2003, FH UII

Press), hlm.56.

Page 145: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

134 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

perwakilan rakyat (strong bicameralism), bukan soft bicameralism yang menjadikan satu kamar atau majelis mempunyai kekuatan lebih ketimbang yang lainnya. Biasanya, dengan strong bicameralism, mekanisme chekcs and balances di antara kedua kamar/majelis dapat berjalan lebih seimbang.217

Dalam sistem parlemen bikameral, kata kuncinya adalah saling kontrol diantara majelis tinggi dan majelis rendah untuk menimbulkan keseimbangan politik di dalam parlemen itu sendiri. Karena check and balances itu tidak hanya terjadi antara legislatif dan eksekutif, tetapi di dalam tubuh legislatif itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan penguatan peran dan fungsi DPD, agar tercipta sistem check and balances.218

Terkait dengan hali ini, Jimly Asshiddiqie menambahkan, dengan adanya dua majelis di suatu negara dapat menguntungkan karena dapat menjamin semua produk legislatif dan tindakan-tindakan pengawasan dapat diperiksa dua kali (double check). Keunggulan sistem double check ini semakin terasa apabila Majelis Tinggi yang memeriksa dan merevisi suatu rancangan itu memiliki keanggotaan yang komposisinya berbeda dari Majelis Rendah.219 Bahkan menurut Soewoto Mulyosudarmo, sistem bikameral bukan hanya merujuk adanya dua dewan dalam suatu negara, tetapi dilihat pula dari proses pembuatan undang-undang yang melalui dua dewan atau kamar, yaitu melalui Majelis Tinggi dan Majelis Rendah.220

Terhadap lembaga perwakilan rakyat, perubahan sudah dimulai sejak Amandemen Pertama pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999. Amandemen Pertama “berhasil” mengurangi secara mendasar kekuasaan presiden dan menambah kekuasaan DPR secara berarti dalam praktik ketatanegaraan Kemudian, Amanademen Kedua semakin mengukuhkan penguatan peran DPR. Selanjutnya, Amandemen Ketiga melakukan penataan lembaga perwakilan rakyat dari

217 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006), hlm.78

218Widayati, Rekonstruksi Kelembagaan MPR, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum, Surakarta, 2015, hlm. 208

219 Ibid. 220 Soewoto Mulyosudarmo, Makalah Pada Pembaruan Ketatanegaraan

Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya, 2004.

Page 146: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 135

sistem unikameral (dengan supremasi MPR) menuju sistem bikameral.Terakhir, Amandemen Keempat dilakukan untuk melengkapi bagian-bagian yang masih “menggantung” dalam tiga perubahan sebelumnya, termasuk penataan komposisi MPR.

Perubahan-perubahan mendasar itu memunculkan pertanyaan, benarkah semua itu mengganti sistem unikameral (dengan supremasi MPR) menjadi sistem bikameral? Pertanyaan ini sangat terkait dengan berbagai kritik terhadap lembaga perwakilan rakyat pasca-amandemen UUD 1945. Misalnya, penataan lembaga perwakilan rakyat belum akan mampu mewujudkan mekanisme checks and balances karena perubahan yang dilakukan hanya menggeser pendulum dari supremasi MPR menjadi supremasi DPR.Lebih dari itu, rumusan UUD 1945 yang baru sama sekali tidak mencerminkan konsep sistem perwakilan dua kamar. Bahkan, dengan adanya keanggotaan dan kewenangan tersendiri MPR dalam UUD 1945, MPR menjadi kamar ketiga dalam lembaga perwakilan rakyat Indonesia.

D. Lembaga Dewan Perwakilan Daerah Dalam Sistem Bikameralisme Pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

dimaksudkan dalam rangka mereformasi struktur Indonesia menjadi dua kamar (bikameral) yang terdiri dari DPR dan DPD. Dengan struktur bikameral itu diharapkan proses legislasi dapat diselenggarakan berdasarkan sistem double-check yang memungkin representasi kepentingan seluruh rakyat secara relatif dapat disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas. DPR merupakan cermin representasi politik (political representation), sedangkan DPD mencerminkan prinsip representasi teritorial atau regional (regional representation).221

Akan tetapi, ide bikameralisme atau struktur parlemen dua kamar tersebut dapat tentangan yang keras dari kelompok konservatif Panitia Ad Hoc Perubahan UUD 1945 di MPR tahun 1999-2002, sehingga yang disepakati adalah rumusan yang sekarang ini tidak dapat disebut menganut sitem bikameral sama sekali. Dalam ketentuan UUD 1945.222

221 Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara

Pasca Reformasi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI: 2006). hlm.139 222 Ibid. hlm.139.

Page 147: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

136 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Ketentuan Pasal 22D UUD 1945, lembaga perwakilan rakyat setelah perubahan UUD 1945 bukan merupakan lembaga perwakilan bikameral. Hasil kajian para ahli hukum tata negara Indonesia, perubahan UUD 1945 justru menghasilkan lembaga legislatif tiga kamar (trikameral) dengan menempatkan MPR sebagai kamar tersendiri dalam model lembaga perwakilan rakyat Indonesia.223 Hal itu disebabkan oleh Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”.

MPR menjadi wadah badan perwakilan tersendiri karena susunannya yang menyebutkan terdiri dari anggota-anggota DPR dan DPD. Dalam susunan dua kamar (bikameral), Bagir Manan mengatakan bahwa bukan anggota yang menjadi unsur, tetapi badan yaitu DPR dan DPD. Kalau anggota yang menjadi unsur, maka MPR merupakan badan yang berdiri sendiri. Dengan demikian, hasil perubahan UUD 1945 tidak menempatkan MPR menjadi sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD.224

Model yang sedemikian berbeda dengan lembaga legislatif di Amerika Serikat, misalnya yang menempatkan congress sebagai gabungan (joint session) antara House of Representatives dan Senate. Dalam Article I Section I Konstitusi Amerika Serikat dinyatakan, “.... Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of Representatives...”. berdasarkan rumusan dalam Aticle I Section I tersebut, bahwa Congress merupakan penggabungan antara Senate dan House of Representatives sebagai lembaga legislatif. Dalam hal ini, joint session digunakan untuk menyelesaikan wewenang bersama Senat dan DPR. Dengan demikian, dalam fungsi legislatif, Senat mempunyai kewenangan yang relatif seimbang dengan DPR. Dalam menjalankan fungsi legislasi, DPR dan Senat punya kesempatan untuk mengecek atau memeriksa semua rancangan undang-undang sebelum disampaikan kepada presiden.225

Berbeda halnya dengan sistem bikameral di Amerika Serikat, dalam UUD 1945 MPR merupakan penggabungan dari anggota-anggota DPR dan DPD. Dengan perumusan seperti itu, MPR menjadi kamar ketiga dalam lembaga perwakilan rakyat.

223 Saldi Isra, Op.cit, hlm.255

224 Ibid. 225 Ibid.

Page 148: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 137

artinya, hasil amandemen UUD 1945 meletakkan lembaga perwakilan rakyat ke dalam sistem trikameral dengan kewenangan terbesar (supremasi) berada di DPR.

Keberadaan DPD sebagai lembaga yang independen sangat memungkinkan dapat memperjuangkan kepentingan rakyat secara sungguh-sungguh dibandingkan dengan kedudukan DPR yang merupakan wakil rakyat yang berasal dari Partai Politik dan sudah barang tentu lebih terikat pada kebijakan partai. Proses lahirnya DPD sebagai pengganti Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam perubahan UUD 1945 mencapai kata sepakat pada perubahan kelima, hal ini menunjukkan bahwa kelahiran DPD merupakan pergulatan antara berbagai ide dan kepentingan atau hanya sebuah kompromi setengah hati.226

Demikian juga halnya dengan kewenangan yang diberikan kepada DPD sebagai lembaga perwakilan daerah dalam menyerap dan mewujudkan aspirasi masyarakat, dilihat dari aspek hak dan kewenangan yang diberikan oleh konstitusi masih sangat lemah.227 Kewenangan yang sangat terbatas itu dan dapat dikatakan menyebabkan DPD hanya sebagai formalitas konstitusional belaka disebabkan oleh kompromi yang melatarbelakangi pelaksanaan amandemen.228

Tujuan terbentuknya DPD dalam perubahan UUD 1945, dapat dimaknai sebagai perpaduan dari dua gagasan yaitu; demokratisasi dan upaya mengakomodasi kepentingan daerah demi terjadanya integrasi nasional. Sri Sumantri Martosoewingjo dan Mochamad Isnaeni Ramdhan yang menyatakan bahwa pembentukan DPD tidak terlepas dari dua hal, yaitu: pertama, adanya tuntutan demokratisasi pengisian anggota lembaga agar selalu mengikut sertakan rakyat pemilih. Keberadaan Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam komposisi MPR digantikan dengan keberadaan DPD. Kedua, Karena adanya tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah yang jika tidak dikendalikan dengan baik akan berujung pada tuntutan sepatisme. DPD dibentuk sebagai representasi kepentingan rakyat di daerah.229

226 H.Harpani Matnuh, Jurnal Hukum, Peran DPD dalam Penyerapan

Aspirasi Masyarakat di Daerah, FKIP Unlam. 227 Ibid. 228 Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm.70. 229 H.Harpani Matnuh, Log.cit.

Page 149: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

138 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Pada awal timbulnya konsep terbentunya DPD sebagai anggota MPR bersama DPRyang dipilih langsung oleh rakyat dalam Pemilu legislatif, para kalangan akademisi danpolitisi akan mengarahkan pikirannya akan terbentuknya struktur parlemen terdiri atas duakamar yang memiliki kedudukan dan kewenangan yang sama dan seimbang, seperti halnyabikameralisme di Amerika Serikat.230

Seraca teoritis dan yuridis pembentukan sistem bikameral dalam sistem pemerintahan di Indonesia dapat dilaksanakan. Arend Lijphart menyatakan, “ The pure majoritarian model calls for the cncentration of legislative power in singlechamber is characterized by a bicameral legislature in which power is divided equallybetween two differently constuted chambers”. Lijphart, mengemukakan bahwa berdasarkan pada model demokrasi di Indonesia adalah consensus model. Oleh karena itu secara teoritis selayaknya Indonesia menganut sistem parlemen bikameral, bahkan strong bicameralism. Jika Indonesia adalah negara pureconsensus model democracy.231

Jimly Asshiddiqie, dalam makalahnya yang disampaikan dalam Seminar tentang Bikameralisme tanggal 12 Juni 2001 di Medan, mengemukakan konsep DPD sebagai berikut:232

a. Adanya gagasan pembentukan DPD nantinya parlemen Indonesia terdiri dari duakamar yaitu DPR dan DPD. Jika kamarnya dua, maka rumahnya tetap satu. MPRmasih bisa dipertahaankan namanya, tetapi kedudukannya tidak lagi sebagai lembagatertinggi seperti selama ini. Ketentuan tentang kekuasaan legislatif dalam perubahanUUD 1945 dapat dirumuskan: Kekuasaan legislatif dilakukan oleh MPR yang tterdiriatas DPR dan DPD.

b. Anggota DPD mewakili rakyat dalam konteks kedaerahan dengan orientasikepentingan daerah. Anggota DPD dipilih langsung oleh rakyat melalui sistem distrikmurni, yaitu dengan cara memilih tokoh yang dikenal di daerah yang bersangkutanberdasarkan perhitungan “the winner takes all”. Sedangkan anggota DPR dipilihlangsung oleh rakyat melalui sistem proporsional yang memang berguna

230 Ibid. 231 Ibid. 232 Jimly Asshiddiqie, 2002, Menuju Struktor Parlemen Dua Kamar,

Makalah Seminar Nasional, Forum Rektor Indonesia, Medan.

Page 150: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 139

dalammemperkuat kelembagaan seperti partai politik yang bersifat nasional.

c. Pada prinsipnya baik DPR maupun DPD dan anggotanya mempunyai fungsi, tugas, dan hak yang sama. Tetapi khusus untuk tugas penentuan pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik, sebaiknya diberikan kepada DPR saja.

d. Khusus mengenai tugas meminta pertanggungjawaban terhadap pemerintah (impeachment), tugas penuntutannya hanya diberikan kepada DPR. Sedangkan DPD akan ikut menentukan vonisnya dalam persidangan MPR.

e. Khusus untuk menjamin perlindungan terhadap hak dan kekayaan masyarakat dari pembebanan yang dilakukan oleh negara, tugas utama sebaiknya diberikan kepada DPD, karena DPD yang mewakili rakyat di daerah-daearah yang dianggap akan paling menderita akibat beban yang memberatkan dibuat pemerintah. Meskipun tugas pengawasan dapat dilakukan oleh DPR dan DPD di semua bidang, namun dapat ditentukan bahwa yang di awasi oleh DPD hanyalah pelaksanaan UUD dan UU sejauh yang berkenaan dengan urusan-urusan yang berkaitaan langsung dengan kepentingan daerah dan rakyat di daerah.

f. DPD dan DPR memiliki fungsi legislatif yang meliputi kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan mengesahkan undang-undang yang dapat dibedakan adalah bidang yang diatur dalam undang-undang itu. Namun hal ini masih memungkinkan munculnya perebutan pembahasan antara DPR dan DPD. Hal tersebut kemudian berkembang pendapat pendapat agar tidak ada pembagian bidang, asalkan Sekretaris Jenderal DPR dan DPD menjadi satu yang terdiri dari anggota DPD dan DPR ditambah para ahli dari luar.

g. Jika presiden berinisiatif mengajukan RUU, maka Badan Legislasi yang menentukan apakah pembahasannya dilakukan oleh DPR atau DPD, Jika inisiatif datang dari DPR atau DPD, maka lembaga yang membahasnya. Hal ini harus diikuti dengan mekanisme Checks and balances di antara kedua kamar serta Presiden, yaitu mmengatur adanya hak veto di antara mereka.

Page 151: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

140 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

h. Jika suatu RUU telah disetujui dan disahkan oleh satu kamar, dalam waktu 30 hari mendapat penolakan dari kamar lainnya, maka RUU itu harus dibahas lagi oleh kamar yang membahasnya untuk mendapat persetujuan suara lebih banyak, yaitu ditentukan harus di attas 2/3 X 2/3 jumlah anggota (overwite).

i. Jika suatu RUU sudah disetujui oleh dua lembaga, tetapi divito oleh Presiden, maka putusan penyelesaiannya harus diambil dalam sidang MPR yang terdiri dari DPR dan DPD dengan dukungan 2/3 X 2/3. Khusus mengenai penetapan dan perubahan UUD, dapat ditentukan harus diputuskan dalam sidang MPR atas usul DPR atau DPD.

Perumusan kewenangan DPD yang merupakan hasil kompromi dari beberapa pendapat tertuang dalam Pasal 22D ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. DPD memiliki tiga fungsi tetapi terbatas bersifat konsultatif dan suburdinat terhadap fungsi yang sama yang dilakukan oleh DPR. Semua fungsi yang dimiliki DPD berakhir dan bermuara pada DPR. Fungsi-fungsi DPD dapat diuraikan sebagai berikut:233

1). Fungsi Legislasi a. Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang

berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang terkait dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

b. Ikut membahas pada Tingkat I atas rancangan undang-undang yang berlkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

c. Memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU yang berkaitan dengan APBN, Pajak, Pendidikan dan Agama.

233 H.Harpani Matnuh, Op.cit.

Page 152: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 141

2). Fungsi Pengawasan Fungsi pengawasan DPD terhadap pelaksanaan UU

menganai otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan dan agama, berdasarkan laporan yang diterima dari BPK, aspirasi dan pengaduan masyarakat, keterangan tertulis pemerintah, dan temuan monitoring dilapangan. Hasil pengawasan tersebut disampaikan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindak lanjuti.

3). Fungsi Nominasi Fungsi nominasi dalam rangka memberikan pertimbangan

kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK yang dilakukan oleh DPR.

Tabel I Ragaan tentang Kewenangan DPD

RUU dalam Bidang Kewenangan DPD

1 Otonomi Daerah Dapat mengajukan, ikut membahas, dapat mengawasi

2 Hubungan Pusat dan Daerah Dapat mengajukan, ikut membahas, dapat mengawasi

3 Pembentukan dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah

Dapat mengajukan, ikut membahas, dapat mengawasi

4 Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya

Dapat mengajukan, ikut membahas, dapat mengawasi

5 Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Dapat mengajukan, ikut membahas, dapat

Page 153: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

142 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

mengawasi

6 RAPBN Memberi pertimbangan atas RUU, mengawasi pelaksanaannya

7 Pajak Memberi pertimbangan atas RUU, mengawasi pelaksanaannya

8 Pendidikan Memberi pertimbangan atas RUU, mengawasi pelaksanaannya

9 Agama Memberi pertimbangan atas RUU, mengawasi pelaksanaannya

10

Pemilihan Anggota BPK (bukan dalam pembuatan RUU-nya) Memberi pertimbangan

Sumber: Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Reformasi, hlm.71

Jika dipetakan maka kewenangan-kewenangan DPD sebagaimana yang termaktub dalam ketentuan Pasal 22D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, hanyalah sebatas dalam masalah-masalah tertentu seperti di bawah ini.234

a. Dapat Mengajukan Rancangan UU

DPD dapat mengajukan RUU (tanpa boleh ikut menetapkan dan memutuskan dan memutuskan) dalam bidang-bidang tertentu yaitu: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah, Pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

234 Ibid. hlm.70

Page 154: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 143

b. Ikut Membahas Rancangan UU

Tanpa boleh ikut menetapkan atau memutuskan, DPD boleh ikut membahas RUU dalam bidang: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah, Pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

c. Memberi Pertimbangan

DPD diberi kewenangan untuk memberikan pertimbangan atau RUU yang berkaitan dengan Rancangan APBN, Pajak, Pendidikan dan Agama serta memberikan pertimbangan (di luar RUU) dalam pemilihan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

d. Dapat Melakukan Pengawasan

DPD dapat juga melakukan pengawasan dalam pelaksanaan bidang-bidang: Otonomi Daerah, Hubungan Pusat dan Daerah, Pembentukan dan Pemekaran serta Penggabungan Daerah, Pengembangan Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Ekonomi lainnya, Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, APBN, Pajak, Pendidikan, dan Agama.

Di dalam konstitusi hasil perubahan memang sama sekali tidak disebut istilah parlemen sehingga tidak mudah menjadikan DPR dan DPD sebagai kamar-kamar dari parlemen dua kamar. Lebih dari itu, jika di dalam UUD disebutkan secara tegas bahwa DPR mempunyai dungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan (Pasal 20A ayat 1), maka DPD tidak mempunyai fungsi-fungsi tersebut secara penuh. Dalam bidang legislasi, DPD tidak dapat menetapkan UU sebagaimana layaknya lembaga perwakilan rakyat, sebab Pasal 20 ayat (1) sudah mengunci bahwa yang memegang kekuasaan membentuk UU adalah DPR.235

Terbatasnya kewenangan DPD dapat terjadi karena kompromi kepentingan politik dalam proses amandemen UUD 1945. Apabila dilihat dari beberapa butir kesepakatan terhadap perubahan UUD 1945, terdapat butir bahwa perubahan dilakukan dengan cara adendum. Butir kesepakatan itulah yang kemudian secara langsung menyebabkan DPD dibentuk sebagai

235 Ibid.

Page 155: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

144 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

lembaga negara, tetapi dengan fungsi yang hampir tidak berarti.236

Selain dengan fungsi-fungsinya yang tak dapat menentukan UU dan kebijakan negara lainnya, ditentukan juga bahwa jumlah anggota DPD tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Bahkan, kelemahan DPD menjadi semakin tampak ketika kewenangannya untuk ikut membahas RUU tertentu oleh UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dikurangi lagi sehingga DPD hanya boleh ikut membahas pada tahap awal Pembicaraan Tingkat I saja.237

Dengan fungsi dan wewenang yang seperti itu sebenarnya DPD dapat dikatakan tidak mempunyai fungsi ketatanegaraan terutama dalam sistem perwakilan rakyat. DPD dapat dikatakan pula hanya menjadi ban serep oleh saudara tuanya, DPR.

236 Ibid, hlm.72 237 Ibid.

Page 156: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 145

GLOSSARIUM

Badan Pemeriksa Keuangan adalah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bupati adalah kepala pemerintah daerah kabupaten.

Dewan Pertimbangan Presiden adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.

Gubernur adalah kepala pemerintah daerah provinsi.

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak asasi manusia.

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Komisi Pemilihan Umum adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu.

Lembaga Negara adalah lembaga yang menyelenggarakan fungsi-fungsi negara.

Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 157: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

146 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Ombudsman Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah.

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.

Pemilihan Umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil presiden, dan unhrk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasra, jdur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota.

Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.

Page 158: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 147

Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah provinsi.

Undang-Undang adalah Peraturan Perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.

Walikota adalah kepala pemerintah daerah kota.

Page 159: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

148 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Page 160: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 149

DAFTAR PUSTAKA

Ad.Bryian A. Garner, Black Law Dictionary, (United States Of America, 2004), Afan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

Agus Haryadi dalam Bambang Wijayanto, Konstitusi Baru Melalui Komisi Konstitusi Independen, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002

Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pres, 1985,

Bagir Manan dan Kuntana Magnar dalam Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Perwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR RI, Bandung: Fokus Media, 2007.

Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH. UII Press, 2004, hlm. 10.

Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: 2003, FH UII Press).

Bambang Nuroso, Memfungsikan Lembaga MPR (Opini) Suara Karya Online, di akses Kamis, 18 Desember, 2008.

Bivitri Susanti, Bukan Sekedar Pemberi Pertimbangan Peran DPD dalam Proses Legislasi, Jakarta: Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 2, No. 3, 2005,

C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, terjejemahan dari Modern Constitution (bandung: Nusamedia, 2008).

Dahlan Thaib, DPD dalam Peraturan Perundang-undangan, dalam Seminar Nasional DPD RI, Jakarta: 2 Maret 2006.

Dahlan Thaib, Menuju Parlemen Bikameral: Studi Konstitusional Perubahan Ketiga UUD 1945, (Pidato Pengukuhan Guru Besar pada FH), Yogyakarta: UII, 2002.

Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia , Konstitusi republik Indonesia menuju perubahan ke-5 (Jakarta : Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2009).

Page 161: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

150 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Dian Puji N. Simatupang, Determinasi Kebijakan Anggaran Negara Indonesia Suatu Studi Yuridis, Jakarta: Papas Sinar Sinanti, 2005.

Eddy Purnama, “Negara Kedaulatan Rakyat”, (Malang: Nusamedia, 2007)

Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif di Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 1997

Fatmawati, Struktur dan Fungsi Legislasi Parlemen dengan Sistem Multikameral: Studi Perbandingan antara Indonesia dan Berbagai Negara”, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Ginandjar Kartasasmita, DPD dan Penguatan Demokrasi, (Diktat Program Penguatan Kelembagaan dan Peningkatan Kapasitas Anggota DPD), Jakarta: 2006,

Goedhart. C, Garis-Garis Besar Ilmu Keuangan Negara, diterjemahkan oleh Ratmoko, Jakarta: Balai Pustaka, 1973

H.A. Dj. Nihin, Paradigma Baru Pemerintahan Daerah Menyongsong Millenium Ketiga, Jakarta: Mardi Mulyo, 1999

H.Harpani Matnuh, Jurnal Hukum, Peran DPD dalam Penyerapan Aspirasi Masyarakat di Daerah, FKIP Unlam.

H.S. Prajudi Atmosudirdjo, Dasar-Dasar Office Management, Jakarta: Ghalia, 1973.

Harold Laswell, dalam Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widiasarana, 1999.

Hartati, Eksistensi dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah dalam Pembentukan Undang-Undang Menurut UUD 1945, Bandung: Disertasi Program Doktor dalam Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Padjajaran Bandung, 2008.

HAW. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonom, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Henrico Hutagalung, Penyelenggaraan Otonomi Daerah Setelah Berlakunya UU No. 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Ke dua Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daeah (Studi di Pemerintah Provinsi Sumatera Utara), Tesis, Medan: Program Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, 2009.

Page 162: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 151

Henry B. Mayo, An Introduction to Democratie Theory, New York, Oxford University, 1950.

http://www.saldiisra.web.id/index.php?option=com_content&view=article&id=94:penataan-lembaga-perwakilan-rakyat-sistem-trikameral-di-tengah-supremasi-dewan-perwakilan-rakyat&catid= 18:jurnalnasional&Itemid=5. Di akses pada tanggal 26 Januari 2020.

I Gde Pantja Astawa, Hak Angket dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD Tahun 1945, Disertasi Doktor dalam Ilmu Hukum, Bandung: Universitas Padjadjaran, 2000,

Inu Kencana Syafei, Pengantar Ilmu Pemerintahan, Bandung: Eresco, 1992.

Irman Gusman, Dari Daerah Untuk Bangsa, Jakarta: Makalah, 2006.

J. Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Jimly Asshiddiqie, 2002, Menuju Struktor Parlemen Dua Kamar, Makalah Seminar Nasional, Forum Rektor Indonesia, Medan.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta, Konstitusi Press, 2005),

Jimly Asshiddiqie, Peranan DPR RI di Bidang Legislatif di Masa Depan, makalah pada diskusi panel Komisi Hukum Nasional, Jakarta: 6 September, 2000,

Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI Press, 1996

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, (Jakarta: Setjen dan Kepaniteraan MKRI: 2006). hlm.139

Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2006),\

Jimly Assiddiqie, Perkembangan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press, 2006

Page 163: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

152 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

John Pieris, dan Aryanthi Baramuli Putri, DPD RI Studi, Analisis, Kritik, dan Solusi Kajian Hukum dan Politik, Jakarta: Pelangi Cendikia, 2006.

Ketetapan MPR No. I/MPR/1978 Tentang Tata Tertib MPR, Ketetapan MPR No. IV/MPR/1983 Tentang Referendum, dan UU No. 5 Tahun 1985 Tentang Referendum.

King Faisal Sulaiman, “Sistem Bikameral dalam Spektrum Lembaga Parlemen Indonesia”, (Yogyakarta: UII Press, 2013 Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia, Studi dan Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945 (Kritik, Masalah, dan Solusi), Kertas Kerja, Jakarta: FORMAPPI, 2004

Lyman Tower Sarjen dalam Dahlan Thaib, DPR dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 2000.

M. Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Bandung: Mandar Maju, 2008.

Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010).

Megawati dan Ali Murtopo, Parlemen Bikameral Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Sebuah Evaluasi, Yogyakarta: UAD Press, 2006.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama: 2008).

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1997.

Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta, Gramedia: 2009).

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 2000,

Mohamad Tolcah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Tentang Kekuasaan-Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif Negara Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983.

Mohammad Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Mukhtie Fadjar, Reformasi Konstitusi dalam Masa Transisi Paradigmatik, Malang: Intrans, 2003. Lihat juga Bagir Manan, DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Yogyakarta: FH UII Press, 2004.

Page 164: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 153

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

Nimatul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia Kajian terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003

Nimatul Huda, Politik Ketatanegaran Indonesia, kajian Terhadap Dinamika Perubahan UUD 1945, Yogyakarta: FH UII Press, 2003.

Pernyataan Sikap Politik 207 Anggota MPR-RI Tanggal 7 November 2001, Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku, 2001

Peter Harris, dan Ben Reilly dalam Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia, Jakarta: Rajawali Press, 2005, hlm. 296.

Pitkin A. Sorokin, dalam Arbi Sanit, Partai, Pemilu, dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997,

Rahimullah, Hukum Tata Negara, Hubungan Antar Lembaga Negara Versi Amandemen UUD 1945, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Satyagama, 2007

Reni Dwi Purnomowati, Implementasi Bicameral dalam Parlemen di Indonesia (Jakarta : Raja grafindo persada, 2005),

Robert Endi Jaweng, Lexy Armanjaya, Henry Siahaan, Adrian Adinabung, Mengenal DPD-RI Sebuah gambaran Awal, Jakarta: Institute For Local Development, 2006

Rusadi Kantaprawira, dalam Abdy Yuhana, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Sistem Paerwakilan di Indonesia dan Masa Depan MPR-RI, Bandung: Fokus Media, 2007.

S. Pamudji, Teori Sistem dan Penerapannya dalam Management, Jakarta: Ichtiar Baru, 1981.

S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Yogyakarta: Liberty, 1997.

Saldi Isra, “Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensiil Indonesia”, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), hlm. 235

Samodra Wibawa, Kebijakan Publik, Proses, dan Analisis, Jakarta: Intermedia, 1994

Page 165: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

154 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

Samuel C. Patterson & Anthony Mughan, (1999), Senat Bicameral in the Contemporary Word, Oshio State University. Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995,

Sarundajang, Arus Balik Kekuasaan Pusat Daerah, Jakarta: Surya Mukti Grafika, 2001

Sirajudin, Zulkarnain, Abdus Salam, Ikhwan Fahrojih, Membangun Konstituen Meeting, Mempertemukan kepentingan Daerah dengan Keterbatasan Wewenang DPD, Jakarta: Malang Corruption Watch & Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi, 2006,

Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 1988

Soewoto Mulyosudarmo, Makalah Pada Pembaruan Ketatanegaraan Melalui Perubahan Konstitusi, Intrans dan Asosiasi Pengajar HTN dan HAN Jawa Timur, Surabaya, 2004.

Sri Soemantri, Ketetapan MPRS Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara, Bandung: Remadja Karya, 1985,

Sri Soemantri, Mengawal Konstitusi Pengabdian Seorang Guru Besar (Biografi), ditulis oleh Purnama Kusumaningrat, dan Hikmat Kusumaningrat, Bandung: Unpad Press, 2006

Sri Soemantri, Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, dalam Hartati, Eksistensi dan Kedudukan DPD dalam Pembentukan UUD Menurut UUD 1945, Bandung: Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Pandjajaran, 2008.

Suhardiman dalam Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, Bandung: Alumni, 2007.

W.A. Bonger, Masalah-Masalah Demokrasi, Jakarta, Yayasan Pembangunan, Alih Bahasa: M. Sitorus, 1954.

Widayati, Rekonstruksi Kelembagaan MPR, Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Epistemologi Ilmu Hukum, Surakarta, 2015.

Page 166: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 155

INDEKS

APBN, 49, 55, 57, 58, 59, 84, 100, 102, 103, 115, 119, 120, 122, 141, 149, 152

Bicameral, 128, 130, 131, 164 Daerah, i, ii, iii, v, vi, ix, 2, 3, 5, 8, 16,

20, 23, 25, 28, 31, 33, 34, 35, 40, 41, 42, 56, 59, 60, 61, 63, 64, 68, 69, 70, 73, 82, 83, 118, 120, 121, 123, 124, 125, 139, 140, 143, 144, 145, 146, 150, 151, 152, 154, 155, 156, 160, 161, 164, 165

Demokrasi, 15, 17, 31, 33, 35, 60, 110, 127, 135, 138, 159, 160, 161, 163, 164, 165

DPAS, 25, 28 DPD, iii, iv, v, vi, ix, x, 5, 6, 7, 8, 9, 10,

11, 12, 20, 21, 23, 31, 41, 43, 44, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 68, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 133, 134, 140, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 159, 160, 162, 163, 164, 165

DPR, iii, ix, 2, 4, 5, 6, 7, 9, 10, 11, 18, 19, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 40, 41, 43, 44, 49, 50, 51, 52, 54, 55, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 71, 76, 80, 83, 84, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 108, 109, 110, 111, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126, 132, 133, 134, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 152, 153, 159, 161, 162, 163

DPRD, ii, 31, 32, 33, 34, 35, 41, 43, 51, 52, 60, 71, 80, 83, 87, 88, 91, 101, 102, 104, 116, 117, 119, 122, 123, 124, 125, 153

GBHN, 27, 36, 37, 39 Indonesia, i, ii, iii, iv, v, vi, ix, x, 1, 2,

4, 5, 6, 7, 8, 9, 12, 13, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 30, 31, 33, 34, 35, 38, 39, 43, 44, 45, 46, 52, 54, 59, 60, 63, 64, 67, 69, 71, 73, 78, 79, 80, 81, 86, 87, 96, 97, 102, 107, 108, 110, 112, 115, 116, 118, 120, 122, 123, 124, 126, 128, 130, 131, 133, 134, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 146, 153, 154, 155, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165

KMB, 22 legislasi, 9, 10, 19, 54, 59, 61, 91, 95,

96, 97, 98, 100, 108, 109, 110, 111, 113, 116, 119, 128, 134, 136, 143, 144, 152

Lembaga, v, vi, 5, 9, 10, 13, 16, 17, 19, 20, 25, 27, 37, 39, 40, 41, 47, 98, 101, 102, 108, 112, 128, 134, 135, 139, 143, 154, 159, 162, 164

Militer, 21, 105 MPR, iii, ix, 1, 2, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12,

13, 22, 23, 25, 26, 27, 29, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 50, 52, 54, 61, 62, 63, 68, 76, 80, 83, 86, 91, 96, 98, 101, 102, 104, 108, 116, 117, 119, 122, 125, 126, 133, 134, 139,140, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 153, 159, 162, 163, 164, 165

MPRS, 25, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 36, 165

parliament, 126, 129, 134, 135 pengawasan, 16, 19, 49, 55, 58, 59,

65, 66, 84, 89, 95, 96, 100, 103, 109,

Page 167: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

156 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia

111, 114, 115, 116, 117, 124, 128, 129, 133, 142, 147, 149, 152

Perwakilan, i, ii, iii, v, vi, ix, 1, 2, 4, 5, 8, 11, 13, 15, 16, 20, 28, 30, 33, 40, 41, 78, 112, 126, 130, 135, 139, 140, 143, 144, 154, 155, 156, 159, 160, 162, 165

Presiden, 4, 5, 6, 10, 23, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 43, 45, 46, 50, 51, 52, 54, 60, 85, 86, 87, 90, 91, 92, 93, 94, 96, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 109, 116, 117, 120, 122, 140, 148, 153, 155, 156

Representasi, 19, 137 Representation, 137 Republik, 1, 7, 8, 22, 23, 25, 30, 33,

35, 45, 140, 153, 154, 155 RUU, 4, 11, 24, 33, 49, 52, 54, 55, 56,

57, 59, 62, 74, 84, 92, 93, 95, 96, 97,

100, 101, 102, 103, 111, 115, 118, 119, 120, 122, 148, 149, 150, 151, 152, 153

Tatib, 117, 122, 124 unicameral, 126, 129, 130, 133 unikameral, 138, 142, 143 UUD, iii, vi, ix, 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 11,

12, 13, 20, 21, 22, 23, 25, 26, 27, 28, 33, 35, 36, 37, 38, 39, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 50, 54, 60, 61, 65, 68, 71, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 89, 97, 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 107, 108, 109, 111, 112, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 134, 139, 140, 143, 144, 145, 147, 148, 151, 152, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165

UUDS, 21, 25, 27, 28, 79

Page 168: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

Dewan Pwrwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia - 157

Page 169: Dewan Perwakilan Daerah Di Indonesia

158 – Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Parlemen di Indonesia