131

Dewan Direksi

  • Upload
    others

  • View
    22

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dewan Direksi
Page 2: Dewan Direksi

Dewan Direksi

Penanggungjawab : Direktur Jenderal Anggaran

Penasehat : Direktur Sistem Penganggaran

Pemimpin Redaksi : Kasubdit Standar Biaya

Redaktur Pelaksana : Kasubdit Transformasi Sistem Penganggaran

Kasubdit Teknologi Informasi Penganggaran

Kasubdit Evaluasi Kinerja Penganggaran

Penyunting/Editor : Kepala Seksi Riset dan Pengembangan Standar Biaya

Staf Redaktur : Yuliardi Muliawan

Achmad Fauzan Sirat

A.A. Nova Swandana

Niken Ajeng Lestari

Lies Kurnia Irwanti

Desain Grafis : Andryan Puji Prapbono

Penyunting Penyelia/Reviewer : Drs. Parluhutan Hutahean, M.A.

Muchamad Amrullah, S.Sos., MM.

Dr. Ir. Uka Wikarya, M.Si.

Keuangan : Indro Trikuntjoro

Israfenny Simangunsong

Tata Usaha dan Sirkulasi : Kepala Subbag Tata Usaha Direktorat Sistem Penganggaran

Faizal Dwi Aulia

Muhammad Aji Wibowo

Trio Kurnia Dianto

Alamat:

Direktorat Sistem Penganggaran

Direktorat Jenderal Anggaran

Kementerian Keuangan

Gedung Sutikno Slamet Lantai 4

Jalan Dr Wahidin Nomor 1 Jakarta Pusat 10710

Email: [email protected]

Kajian yang ditulis pada jurnal ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mencerminkan

kebijakan institusi dimana penulis bekerja.

Page 3: Dewan Direksi

ii

KATA PENGANTAR

Upaya efisiensi alokasi anggaran adalah usaha yang terus menerus perlu dioptimalkan.

Oleh karena itu, jurnal Sistem Penganggaran Sektor Publik terus berupaya melakukan

perbaikan. Perbaikan tersebut dilakukan dengan melakukan proses review oleh ahli terkait

dalam penyusunan kajian.

Peer review dalam kajian-kajian dimaksud antara lain Drs. Parluhutan Hutahean, M.A.

sebagai widya iswara utama dan Muchamad Amrullah dari Pusdiklat Anggaran dan

Perbendaharaan, serta Dr. Ir. Uka Wikarya, M.Si dari Universitas Indonesia.

Adapun kajian-kajian dalam jurnal Sistem Penganggaran Sektor Publik volume 2 tahun

2017 ini adalah sebagai berikut.

1. Telaah atas kewenangan Kementerian Keuangan (c.q. Ditjen Anggaran) dalam menilai

kelayakan proposal anggaran kementerian/lembaga

2. Kajian pengelolaan biaya dalam sistem penganggaran

3. Kajian atas implementasi PMK Nomor 195/PMK.02/2014 tentang Standar Struktur Biaya

4. Sinkronisasi kebijakan honorarium standar biaya dalam kerangka single remunerasi

penganggaran berbasis kinerja

5. Kajian indeksasi

6. Metode monitoring dan evaluasi standar biaya keluaran

7. Memadukan konsep standar biaya keluaran umum riset dengan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

8. Pengaruh kebijakan at cost terhadap alokasi anggaran perjalanan dinas

Hasil kajian di atas diharapkan dapat memberikan kontribusi dan gambaran yang

komprehensif dalam upaya efisiensi alokasi anggaran belanja negara.

Semoga bermanfaat.

Direktur Sistem Penganggaran

Agung Widiadi

Page 4: Dewan Direksi

iii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................................ ii

Daftar Isi .......................................................................................................................................................iii

Telaah Atas Kewenangan Kementerian Keuangan (C.q. Ditjen Anggaran) Dalam Menilai

Kelayakan Proposal Anggaran Kementerian/Lembaga .............................................................. 1

Kajian Pengelolaan Biaya Dalam Sistem Penganggaran .......................................................... 25

Kajian Atas Implementasi PMK Nomor 195/PMK.02/2014 Tentang Standar Struktur

Biaya ............................................................................................................................................................. 32

Sinkronisasi Kebijakan Honorarium Standar Biaya Dalam Kerangka Single Remunerasi

Penganggaran Berbasis Kinerja ........................................................................................................ 49

Kajian Indeksasi ....................................................................................................................................... 71

Metode Monitoring Dan Evaluasi Standar Biaya Keluaran.................................................... 82

Memadukan Konsep Standar Biaya Keluaran Umum Riset Dengan Fleksibilitas

Pertanggungjawaban Penggunaan Dana ....................................................................................... 98

Pengaruh Kebijakan At Cost Terhadap Alokasi Anggaran Perjalanan Dinas ................. 112

ISSN 2549-9858

Page 5: Dewan Direksi

1

TELAAH ATAS KEWENANGAN KEMENTERIAN KEUANGAN (C.Q. DITJEN

ANGGARAN) DALAM MENILAI KELAYAKAN PROPOSAL ANGGARAN

KEMENTERIAN/LEMBAGA

Achmad Fauzan Sirat Email: [email protected]

Intisari

Tujuan utama penelitian ini adalah menjawab pertanyaan adakah kewenangan kementerian keuangan melakukan penliaian kelayakan proposal anggaran kementerian/lembaga. Telaah dilakukan berkenaan dengan aspek filosofis yuridis esensi dari tugas Kementerian Keuangan dalam mencapai tujuan bernegara. Sejalan dengan itu, telaah dilakukan dengan mengulas landasan hukum yang melandasi kewenangan yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan sebagai pengejawantahan dari aspen sebelumnya. Hasil penelitian menyatakan bahwa Kementerian Keuangan memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian kelayakan dan efisiensi kebutuhan dana sebagaimana tercantum dalam PP 90/2010 tentang Penyusunan RKAKL. Namun dalam melaksanakan tugas fungsinya, Kementerian Keuangan kurang memiliki pedoman yang cukup untuk melakukan penilaiannya mengingat tidak ada elaborasi lebih mengenai bagaimana penilaian kelayakan dilakukan.

Kata Kunci: Kewenangan, Penilaian, Kelayakan, Sistem Penganggaran, RKAKL.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

APBN merupakan wujud

pengelolaan keuangan negara demi

terciptanya tujuan bernegara sebagaimana

tercantum dalam alinea IV Pembukaan

UUD 1945. Segala tema seperti pro-poor,

pro-growth, dan pro-job; pembangunan

berkelanjutan dan lain-lain, dicantumkan

dalam APBN merupakan salah satu bukti

yang ditunjukkan bahwa keuangan negara

diarahkan untuk terciptanya tujuan bangsa

dimaksud. APBN merupakan instrumen

kebijakan fiskal yang memiliki peran

penting dalam kehidupan bernegara, oleh

karenanya APBN perlu dikelola secara

terbuka, transparan, bertanggung jawab,

dan digunakan sebesar-besarnya untuk

kemakmuran rakyat.

Dalam pembentukannya, APBN

melalui suatu proses yang dikenal dengan

sebagai siklus APBN. Siklus ini merupakan

rangkaian kegiatan yang melibatkan

berbagai pihak guna memastikan APBN

terbentuk sesuai dengan tujuan tersebut.

Hal yang sering tidak disadari oleh banyak

pihak memahami bahwa siklus APBN

sendiri hanya terbatas pada penyusunan

APBN. Padahal penyusunan sendiri

seharusnya merupakan sebuah sub sistem

yang menjadi bagian dari sistem

pengelolaan keuangan negara yang lebih

besar. Dimana secara keseluruhan sistem

ini terdiri atas penyusunan, pelaksanaan

dan pertanggungjawaban APBN. Dengan

kata lain APBN bukan sesuatu yang

berhenti hanya karena APBN telah

disetujui oleh DPR, namun masih ada

rangkaian kegiatan lain guna memastikan

tujuan bernegara tersebut tercapai.

Page 6: Dewan Direksi

2

Proses dalam penyusunan APBN

sendiri dimulai dengan pembicaraan awal

untuk membahas asumsi yang akan

digunakan, dan diakhiri dengan

pengesahan dokumen pelaksanaan

anggaran yang menjadi dasar legal

pelaksanaan kebijakan guna mencapai

tujuan bernegara. Dalam proses ini,

interaksi, baik secara internal pemerintah

maupun antara pemerintah dan DPR,

terjadi untuk menjamin bahwa APBN telah

dikelola secara terbuka dan bertanggung

jawab untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Berbeda dengan tahap

pelaksanaan dan pertanggung jawaban,

penyusunan APBN menyedot perhatian

lebih mengingat proses tidak hanya

mengingat proses ini berada di awal

namun menjadi kunci masuknya suatu

tindakan yang akan membebani keuangan

negara. Hal ini merupakan alasan mengapa

suatu mekanisme check and balances pada

tahap penyusunan APBN perlu dibuat agar

setiap tindakan yang tercantum dalam

APBN memang ditujukan untuk sebesarnya

kemakmuran rakyat.

Menilik lebih jauh mengenai proses

dalam penyusunan APBN, terdapat banyak

pertanyaan mengenai kewenangan

masing-masing pihak dalam proses

tersebut maupun pertanyaan mengenai

bagaimana kewenangan itu akan

dilaksanakan. Menjawab pertanyaan

tersebut, kajian ini mencoba mengulas

kewenangan masing-masing pihak dan

bagaimana kewenangan tersebut

seharusnya dilaksanakan. Jika fungsi check

and balance mengacu pada pola hubungan

antara pemerintah dan parlemen, antara

CFO dan COO, serta dalam internal COO.

Kementerian Keuangan c.q. DJA dalam

pelaksanaan tugasnya adalah wujud

pelaksanaan check and balance antar

pemerintah merupakan salah satu pihak

yang secara intensif mengawal

penyusunan anggaran dari sejak

pembahasan asumsi awal sampai

disahkannya dokumen pelaksanaan

anggaran.

1.2 Rumusan Masalah

Sebagaimana diuraikan dalam latar

belakang, beberapa pertanyaan muncul

yaitu:

1. Apa inti yang menjadi tugas

Kementerian Keuangan (cq. DJA) dalam

pengelolaan APBN tersebut?

2. Apakah Kementerian Keuangan (cq.

DJA) memiliki kewenangan dalam

menilai kelayakan proposal anggaran

Kementerian/Lembaga?

3. Jika memiliki kewenangan tersebut,

Apakah Kementerian Keuangan (cq.

DJA) memiliki kapabilitas yang cukup

untuk melaksanakan kewenangannya?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Tulisan ini bertujuan untuk

mengulas kewenangan Kementerian

Keuangan (cq. DJA) sebagaimana dimaksud

dalam PP 90/2010 DJA mengenai penilaian

kelayakan. Bahasan diutamakan pada

pertanyaan utama mengenai adakah

kewenangan tersebut, kapan dilakukan

dan bagaimana hal itu dilakukan

berkenaan dengan peraturan-

perundangan yang ada.

Untuk mencapai tujuan tersebut,

tulisan ini akan menyajikan secara sepintas

mengenai proses dalam penyusunan APBN

termasuk pihak-pihak terkait di dalamnya

Page 7: Dewan Direksi

3

guna memberikan sedikit gambaran

mengenai bagaimana APBN disusun

sebelum akhirnya mengulas lebih jauh

mengenai bagaimana kewenangan

Kementerian Keuangan (cq. DJA)

dilakukan.

Tulisan ini bermanfaat guna

mengetahui nilai strategis posisi

Kementerian Keuangan (cq. DJA) dalam

penyusunan APBN. Hal ini membawa

manfaat lanjutan yakni guna memberikan

landasan mengenai apa yang perlu

dibangun dalam mendukung posisi serta

mitigasi atas risiko dalam pelaksanaan

tugasnya.

1.4 Ruang Lingkup

Sebagaimana diketahui bahwa

proses penyusunan APBN melibatkan

banyak pihak dalam pelaksanaannya,

sehingga akan sangat banyak sekali detail

yang akan diulas terkait dengan

kewenangan masing-masing pihak jika

tidak ada pembatasan atas bahasan dalam

penelitian ini. Untuk itu, penelitian ini

dibatasi pada kewenangan yang ada pada

Kementerian Keuangan c.q. Ditjen

Anggaran untuk melakukan penilaian

kelayakan.

2. TELAAH PUSTAKA

2.1 Penilaian Kelayakan

Menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI), kata penilaian berasal

dari kata nilai (n) yang memiliki 6 makna

yaitu: 1 harga (dl arti taksiran harga):

sebenarnya tidak ada ukuran yg pasti

untuk menentukan -- intan; 2 harga uang

(dibandingkan dng harga uang yg lain): --

rupiah terus menurun; 3 angka

kepandaian; biji; ponten: rata-rata -- mata

pelajarannya adalah sembilan; sekurang-

kurangnya -- tujuh untuk ilmu pasti baru

dapat diterima di akademi teknik itu; 4

banyak sedikitnya isi; kadar; mutu: -- gizi

berbagai jeruk hampir sama; suatu karya

sastra yg tinggi -- nya; 5 sifat-sifat (hal-hal)

yg penting atau berguna bagi

kemanusiaan: -- tradisional yg dapat

mendorong pembangunan perlu kita

kembangkan; 6 sesuatu yg

menyempurnakan manusia sesuai dng

hakikatnya: etika dan -- berhubungan erat.

Sedangkan penilaian (n) sendiri bermakna

sebuah proses, cara, perbuatan menilai;

pemberian nilai (biji, kadar mutu, harga).

Dimana Menilai (v) adalah 1

memperkirakan atau menentukan

nilainya; menghargai: pedagang itu belum

dapat ~ harga intan itu; 2 memberi nilai;

menganggap: ia ~ perkumpulan tari itu

terlalu mementingkan pemasukan uang; 3

memberi angka (biji): saya berani ~ tujuh

untuk gambar itu.

Menurut KBBI, kata kelayakan

berasal dari kata layak yang memiliki dua

makna yaitu: 1) wajar; pantas; patut dan 2)

mulia; terhormat. Sedangkan kelayakan (n)

sendiri merupakan kata layak dengan

mendapatkan imbuhan ke-an sehingga

memiliki makna 1) perihal layak (patut,

pantas); kepantasan; kepatutan; 2) perihal

yg dapat (pantas, patut) dikerjakan.

Berkenaan dengan dua makna

tersebut dapat disimpulkan bahwa

penilaian kelayakan adalah suatu proses

memperkirakan suatu nilai apakah sesuatu

hal layak/patut/pantas dikerjakan. Dalam

kenyataannya, proses dimaksud dapat

berbentuk banyak hal, baik dalam aspek

formil dalam penilaian kelayakan proyek

Page 8: Dewan Direksi

4

atau bahkan dalam aspek yang tidak formil

penilaian kelayakan pakaian yang

dikenakan oleh seseorang.

Penilaian atas suatu kelayakan

dapat bersifat subjektif dan judgmental

belaka sehingga hasil penilaian yang akan

cenderung bervariasi. Tanpa adanya

aspek-aspek yang mengontrol variasi atas

hasil penilaian menjadi besar yang dapat

mengakibatkan berkurangnya kredibilitas

penilaian tersebut. Untuk itu, penilaian

kelayakan memerlukan aspek pengontrol

dimaksud untuk mengurangi variasi atas

penilaian seperti misalnya bagaimana

proses penilaian dilakukan, adakah kriteria

yang digunakan untuk melakukan

penilaian.

Berkenaan dengan hal tersebut

maka dapat disimpulkan bahwa penilaian

kelayakan memiliki 4 aspek penting yang

perlu dipersiapkan guna meningkatkan

kredibilitas penilaian, yakni:

1) Proses

Aspek ini berkaitan dengan mekanisme

bagaimana penilaian dilakukan,

sehingga adanya ekspektasi bahwa

untuk kasus yang sama akan ditangani

sama sehingga akan mengarah pada

kesimpulan yang sama.

2) Adanya Kriteria

Aspek ini berkaitan ukuran yang

menjadi dasar atas suatu penilaian

sesuatu. Jika proses berkenaan dengan

mekanisme, kriteria berkenaan dengan

substansi yang diukur. Adanya kriteria

memiliki dua manfaat, yakni

memberikan arah yang jelas mengenai

faktor yang akan dinilai, dan

mengurangi subyektifitas dalam proses

penilaian.

3) Nilai

Aspek ini berkaitan dengan

hasil/kesimpulan atas proses dan

kriteria yang ada. Dengan kata lain,

nilai merupakan hasil akhir dari

mekanisme dan kriteria yang sudah

ditetapkan sebelumnya. Namun

demikian nilai belum menjadi indikasi

dari kelayakan, namun sebagai poin

antara sebelum kelayakan.

4) Keputusan

Aspek ini berkaitan penentuan apakah

suatu nilai dikatakan layak atau patut

untuk dikerjakan. Aspek terakhir ini

merupakan hasil dari keseluruhan

proses yang meliputi pencarian nilai

dan menggunakan nilai dalam

mengambil keputusan.

2.2 Teori Checks and Balances dalam

Sistem Bernegara

Konsep Checks and Balances

pertama kali muncul pada abad

pertengahan, dengan dilandasi oleh ajaran

klasik tentang pemisahan kekuasaan

(separation of power). Hal yang menjadi

esensi dari fungsi check and balances

adalah jika tidak ada satupun cabang

pemerintahan yang memiliki kekuasaan

dominan, serta dapat dipengaruhi oleh

cabang lainnya.

Secara etimologis, checks and

balances terdiri dari dua suku kata, yakni

checks and balances. Suku kata pertama

memiki arti adanya porsi untuk ikut

memeriksa/menilai/ mengawasi/mencari

informasi dan konfirmasi terhadap suatu

keadaan (the right to check); sedangkan

suku kata kedua merujuk pada alat untuk

mencari keseimbangan pandangan atas

suatu kondisi (the means to actively

Page 9: Dewan Direksi

5

balance out imbalances). Secara idiom,

check and balances dapat diartikan suatu

tindakan untuk ikut memeriksa/menilai/

mengawasi/mencari informasi dan

konfirmasi terhadap suatu keadaan guna

mencari keseimbangan pandangan atas

kondisi tersebut.

Konsep Checks and Balances ini

merupakan instrumen yang sangat penting

dalam desain hubungan antar lembaga

kekuasaan mengingat secara alamiah

manusia yang mempunyai kekuasaaan

cenderung menyalahgunakan, dan

manusia yang mempunyai kekuasaan tak

terbatas memiliki pasti akan

menyalahgunakannya. Adagium yang

menyatakan bahwa absolutely power

tends to corrupt but absolute power

corrupts absolutely masih relevan dengan

kondisi saat ini. Banyak contoh yang ada

dalam kehidupan sehari-hari bangsa yang

dapat menjadi contoh atas kondisi saat ini,

seperti misalnya perlukah lembaga

superbody. Keinginan untuk membatasi

kekuasaan dapat terlihat dari

perkembangan konsep bernegara dari

konsep social contract sampai dengan

konsep negara konstitusi1.

Dalam pola hubungan antara

lembaga sebagai alat negara, esensi pokok

dari prinsip checks and balances ini adalah

menjamin adanya kebebasan dari masing-

masing cabang kekuasaan negara sekaligus

menghindari terjadinya interaksi atau

campur tangan dari kekuasaan yang satu

terhadap kekuasaan lainnya. Dengan kata

lain, upaya menciptakan keseimbangan

tersebut tidak dilakukan dengan

1 Rusma Dwiyana, Konsep Konstitusionalisme, Pemisahan Kekuasaan, Dan Checks And Balances System (Sebuah Tinjauan Konseptual Dan Praktis)

melemahkan fungsi, mengurangi

independensi, atau mengurangi

kewenangan lembaga lain yang justru akan

mengganggu kinerja lembaga yang

bersangkutan.

Dengan demikian, checks and

balances sesungguhnya bukanlah tujuan

dari penyelenggaraan negara. Konsep ini

lebih merupakan elemen pemerintahan

demokratis, bersih dan kuat, serta

mendorong perwujudan good society,

melalui penyempurnaan tata hubungan

kerja yang sejajar dan harmonis diantara

pilar-pilar kekuasaan dalam negara.

1. Konsep Konstitusionalisme

Sebelum membahas mengenai

konsep konstitusionalisme, terlebih dahulu

perlu diulas mengenai kata konstitusi. Kata

konstitusi memiliki arti harfiah sebagai

pembentukan. Kata ini berasal dari bahasa

Perancis yaitu constituir yang bermakna

membentuk dan bahasa latin, yang

merupakan gabungan dua kata yakni cume

dan statuere. Bentuk tunggalnya contitutio

yang berarti menetapkan sesuatu secara

bersama-sama dan bentuk jamaknya

constitusiones yang berarti segala sesuatu

yang telah ditetapkan.

Ada beberapa pengertian

mengenai konstitusi diantaranya adalah

pengertian yang diberikan menurut James

Bryce (C.F. Strong, 1966:11) yaitu

constitution is a collection of principles

according to which the powers of the

government, the rights of the governed,

and the relations between the two are

adjusted. Dengan demikian secara

Page 10: Dewan Direksi

6

sederhana yang menjadi objek dalam

konstitusi adalah pembatasan terhadap

tindakan pemerintah, hal ini ditujukan

untuk memberikan jaminan terhadap hak-

hak warga negara dan menjabarkan

bagaimana kedaulatan itu dijalankan.

Mengenai peranan konstitusi

dalam negara, C.F Strong (1966:12)

mengibaratkan konstitusi sebagai tubuh

manusia dan negara serta badan politik

sebagai organ dari tubuh. Organ tubuh

akan bekerja secara harmonis apabila

tubuh dalam keadaan sehat dan

sebaliknya. Negara ataupun badan-badan

politik akan bekerja sesuai dengan fungsi

yang telah ditetapkan dalam konstitusi.

Berdasarkan pengertian dan

peranan konstitusi dalam negara tersebut

maka yang dimaksud dengan konsep

konstitusionalisme adalah konsep

mengenai supremasi konstitusi. Adnan

Buyung Nasution (Negara Hukum

Konstitusionalisme, 1995:111)

menyatakan bahwa konstitusi merupakan

aturan main tertinggi dalam negara yang

wajib dipatuhi baik oleh pemegang

kekuasaan dalam negara maupun oleh

setiap warga negara.

Louis Henkin (2000) menyatakan

bahwa konstitusionalisme memiliki

elemen-elemen sebagai berikut: (1)

pemerintah berdasarkan konstitusi

(government according to the

constitution); (2) pemisahan kekuasaan

(separation of power); (3) Kedaulatan

rakyat dan pemerintahan yang demokratis

(sovereignty of the people and democratic

government); (4) Riview atas konstitusi

(constitutional review); (5) Independensi

kekuasaan kehakiman (independent

judiciary); (6) Pemerintah yang dibatasi

oleh hak-hak individu (limited government

subject to a bill of individual rights); (7)

Pengawasan atas kepolisian (controlling

the police); (8) Kontrol sipil atas militer

(civilian control of the military); and (9)

Kekuasaan negara yang dibatasi oleh

konstitusi (no state power, or very limited

and strictly circumscribed state power, to

suspend the operation of some parts of, or

the entire, constitution).

Kesembilan elemen dari konstitusi

tersebut dapat dikelompokkan menjadi

dua yang berkaitan dengan fungsi

konstitusi sebagai berikut:

a. membagi kekuasaan dalam negara

yakni antar cabang kekuasaan negara

(terutama kekuasaan legislatif,

eksekutif, dan yudikatif) sehingga

terwujud sistem checks and balances

dalam penyelenggaraan negara.

b. membatasi kekuasaan pemerintah

atau penguasa dalam negara.

Pembatasan kekuasaan itu mencakup

dua hal: isi kekuasaan dan waktu

pelaksanaan kekuasaan. Pembatasan

isi kekuasaan mengandung arti bahwa

dalam konstitusi ditentukan tugas serta

wewenang lembaga-lembaga negara.

2. Konsep Pemisahan Kekuasaan (The

Separation of Power) Dalam Negara

Sejalan dengan premis bahwa

secara alamiah manusia yang mempunyai

kekuasaaan cenderung menyalahgunakan,

dan manusia yang mempunyai kekuasaan

tak terbatas memiliki kecenderungan

untuk menyalahgunakannya maka dalam

ketatanegaraan diperlukan implementasi

pemisahan kekuasaan. Dasar pemikiran

atas Pemisahan kekuasaan adalah

kekuasaan akan membahayakan bagi

Page 11: Dewan Direksi

7

warga negara bila kekuasaan yang besar

tersebut dimiliki oleh orang perorangan

maupun kelompok. Pemisahan kekuasaan

adalah suatu metode memindahkan

kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok,

dengan demikian akan menjadi lebih sulit

untuk disalahgunakan.

Menurut Jimly Asshiddiqie

(2000:2), konsep pemisahan kekuasaan

secara akademis dapat dibedakan antara

pengertian sempit dan pengertian luas.

Dalam pengertian luas, konsep pemisahan

kekuasaan (separation of power)

mencakup pengertian pembagian

kekuasaan yang biasa disebut dengan

istilah division power(distribution of

power). Pemisahan kekuasaan merupakan

konsep hubungan yang bersifat horizontal,

sedangkan konsep pembagian kekuasaan

bersifat vertikal. Secara horizontal,

kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam

beberapa cabang kekuasaan yang

dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga

negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif,

dan judikatif. Sedangkan dalam konsep

pembagian kekuasaan (distribution of

power atau division of power) kekuasaan

negara dibagikan secara vertikal dalam

hubungan “atas-bawah”.

3. Konsep Checks and Balances System

Check and balances system adalah

sistem dimana orang-orang dalam

pemerintahan dapat mencegah pekerjaan

pihak yang lain dalam pemerintahan jika

mereka meyakini adanya pelanggaran

terhadap hak. Pengawasan (checks)

sebagai bagian dari checks and balances

adalah suatu langkah maju yang sempurna.

Mencapai keseimbangan lebih sulit untuk

diwujudkan. Gagasan utama dalam checks

and balances adalah upaya untuk membagi

kekuasaan yang ada ke dalam cabang-

cabang kekuasaan dengan tujuan

mencegah dominannya suatu kelompok.

Bila seluruh ketiga cabang kekuasaan

tersebut memiliki checks terhadap satu

sama lainnya, checks tersebut

dipergunakan untuk menyeimbangkan

kekuasaan. Suatu cabang kekuasaan yang

mengambil terlalu banyak kekuasaan

dibatasi lewat tindakan cabang kekuasaan

yang lain. Checks and Balances diciptakan

untuk membatasi kekuasaan pemerintah.

Hal tersebut dapat tercapai dengan men-

split pemerintah dalam kelompok-

kelompok persaingan yang dapat secara

aktif membatasi kekuasaan kelompok

lainnya. Hal ini akan berakhir bila ada suatu

kelompok kekuasaan yang mencoba untuk

menggunakan kekuasaannya secara ilegal.

Contoh sederhana dari konsep ini

adalah hak veto yang dimiliki oleh Presiden

Amerika Serikat. Presiden memiliki

kekuasaan yang signifikan terhadap

legislatif, yang memungkinkan presiden

untuk menuntut bagian tertentu dalam

meloloskan rancangan undang-undang

atau bahkan mem-veto nya. Hasilnya

adalah presiden dapat bekerja sama

dengan legislatif untuk meningkatkan

kekuasaan federal, dan sebagai peringatan

terhadap legislatif untuk tidak melakukan

tindakan preventif untuk memperluas

kekuasaannya. Dalam kasus Indonesia,

veto diejawantahkan dengan pengeluaran

produk hukum PERPU (Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang).

Page 12: Dewan Direksi

8

2.3 Teori Kewenangan dan Batas

Kewenangan

1. Kekuasaan, Kewenangan, dan

Wewenang

Dalam literatur ilmu politik, ilmu

pemerintahan, dan ilmu hukum sering

ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan,

dan wewenang. Penggunaan istilah

tersebut dalam praktiknya sering

dipertukarkan satu dengan yang lain. Guna

memberikan gambaran atas istilah-istilah

tersebut akan diulas mengenai makna

masing-masing.

Kekuasaan biasanya berbentuk

hubungan dalam arti bahwa “ada satu

pihak yang memerintah dan pihak lain yang

diperintah” (the rule and the ruled)2.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat

terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan

dengan hukum. Kekuasaan yang tidak

berkaitan dengan hukum oleh Henc van

Maarseven disebut sebagai “blote

match”3, sedangkan kekuasaan yang

berkaitan dengan hukum oleh Max Weber

disebut sebagai wewenang rasional atau

legal, yakni wewenang yang berdasarkan

suatu sistem hukum ini dipahami sebagai

suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta

dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang

diperkuat oleh Negara4.

Dalam hukum publik, wewenang

berkaitan dengan kekuasaan yang

berkaitan dengan hukum. Kekuasaan

2 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), h. 35-36 3 Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung

Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990), h. 30

memiliki makna yang sama dengan

wewenang karena kekuasaan yang dimiliki

oleh Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif

adalah kekuasaan formal. Kekuasaan

menurut Miriam Budiardjo adalah

kemampuan seseorang atau sekelompok

orang manusia untuk mempengaruhi

tingkah laku seseorang atau kelompok lain

sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu

sesuai dengan keinginan dan tujuan dari

orang atau Negara5. Agar dapat dijalankan,

kekuasaan membutuhkan penguasa atau

organ sehingga Negara itu dikonsepkan

sebagai himpunan jabatan-jabatan (een

ambten complex) di mana jabatan-jabatan

itu diisi oleh sejumlah pejabat yang

mendukung hak dan kewajiban tertentu

berdasarkan konstruksi subyek-

kewajiban6.

Kewenangan sering disejajarkan

dengan istilah wewenang. Ateng syafrudin

berpendapat ada perbedaan antara

pengertian kewenangan dan wewenang7

yakni antara kewenangan (authority,

gezag) dengan wewenang (competence,

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang

disebut kekuasaan formal, kekuasaan yang

berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh

undang-undang, sedangkan wewenang

hanya mengenai suatu bagian tertentu saja

dari kewenangan dimana di dalam

kewenangan terdapat beberapa

wewenang (rechtsbe voegdheden).

4 A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan

Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990), h. 52 5 Miriam Budiardjo, Op Cit, h. 35 6 Rusadi Kantaprawira, Op Cit, h. 39 7 Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), h. 22

Page 13: Dewan Direksi

9

Wewenang merupakan lingkup

tindakan hukum publik, lingkup wewenang

pemerintahan, yang meliputi wewenang

membuat keputusan pemerintah

(bestuur), wewenang dalam rangka

pelaksanaan tugas, dan wewenang dalam

memberikan wewenang serta distribusi

wewenang utamanya yang ditetapkan

dalam peraturan perundang-undangan.

Secara yuridis, pengertian wewenang

adalah kemampuan yang diberikan oleh

peraturan perundang-undangan untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum8.

Menurut H.D. Stoud wewenang dapat

dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-

aturan yang berkenaan dengan perolehan

dan penggunaan wewenang pemerintah

oleh subjek hukum publik dalam hukum

publik9.

Berdasarkan beberapa pengertian

di atas, dapat disimpulkan bahwa

kewenangan (authority) memiliki

pengertian yang berbeda dengan

wewenang (competence). Kewenangan

merupakan kekuasaan formal yang berasal

dari konstitusi seperti undang-undang,

sedangkan wewenang adalah suatu

spesifikasi dari kewenangan yang

memberikan subyek hukum yang

kewenangan oleh undang-undang untuk

melakukan sesuatu yang tersebut dalam

kewenangan itu.

Kewenangan selalu dilandasi oleh

kewenangan yang diperoleh dari konstitusi

baik secara atribusi, delegasi, maupun

mandat. Suatu atribusi menunjuk pada

8 Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang

Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), h. 65 9 Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan

kewenangan yang asli atas dasar konstitusi

(UUD). J.G. Brouwer10 berpendapat bahwa

atribusi merupakan kewenangan yang

diberikan kepada suatu organ (institusi)

pemerintahan atau lembaga Negara oleh

suatu badan legislatif yang independen.

Kewenangan ini adalah asli, yang tidak

diambil dari kewenangan yang ada

sebelumnya. Badan legislatif menciptakan

kewenangan mandiri dan bukan perluasan

kewenangan sebelumnya dan memberikan

kepada organ yang berkompeten. Delegasi

adalah kewenangan yang dialihkan dari

kewenangan atribusi dari suatu organ

(institusi) pemerintahan kepada organ

lainnya sehingga delegator (organ yang

telah memberi kewenangan) dapat

menguji kewenangan tersebut atas

namanya, sedangkan pada Mandat, tidak

terdapat suatu pemindahan kewenangan

tetapi pemberi mandat (mandator)

memberikan kewenangan kepada organ

lain (mandataris) untuk membuat

keputusan atau mengambil suatu tindakan

atas namanya.

2. Kewenangan dan Konsekuensi atas

Kewenangan

Sebagaimana diuraikan diatas

bahwa kewenangan adalah kekuasaan

formal sehingga perlu landasan hukum

yang atas kewenangan tersebut. Landasan

hukum ini merupakan tidak hanya aspek

legal atas kewenangan tersebut untuk

melakukan administrasi pemerintahan

namun juga mencegah terjadinya tumpang

Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), h.4 10 J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch

Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998), h. 16-17

Page 14: Dewan Direksi

10

tindih serta penyalahgunaan kewenangan

antara sesama pejabat adaministrasi

pemerintahan. Hal-hal tersebut akan

menimbulkan konsekuensi hukum bagi

pejabat adminisrasi baik pada tataran

hukum administrasi negara, hukum pidana

maupun dalam tataran hukum perdata.

Berkenaan dengan konsekuensi

hukum, terdapat beberapa perbedaan

penerapan bergantung pada doktrin

hukum yang melandasi. Doktrin di Inggris

dan Prancis tidak mengenal doktrin

pembagian wewenang, fungsi dan tugas

seperti di Belanda. Kedua negara ini

mengenal adanya konsep “delegation of

power“ dimana pejabat yang menerima

wewenang bertanggung jawab mutlak atas

pelaksanaan serta akibat dari pelaksanaan

wewenang itu. Namun demikian, doktrin

Prancis mengenal doktrin pemisahan

kesalahan antara kesalahan pribadi atau

kesalahan jabatan. Dimana kriteria yang

dipakai dalam pemisahan kesalahan

tersebut adalah:

a. Apakah kesalahan pribadi itu dilakukan

dalam jabatan,

b. Apakah kesalahan itu dilakukan dengan

mengatas namakan jabatan,

c. Adakah alat-alat dan perlengkapan yang

digunakan pada saat dilakukan

kesalahan merupakan milik jabatan;

dimana akumulasi dari ketiga kriteria

tersebut menjadikan kesalahan pribadi

menjadi kesalahan jabatan. Namun dalam

praktiknya Pancis sendiri menganut paham

gabungan mengingat sulitnya memisahkan

kesalahan pribadi dan jabatan. Sehingga

konsekuensinya adalah masyarakat

11 Rum Riyanto S, Kewenangan Pejabat Administrasi di Indonesia, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artike

dipersilahkan untuk memilih pengadilan

dalam hal mengajukan gugatan atas

seorang pejabat negara. Untuk sistem

Belanda dan Inggris, kesalahan jabatan

digugat melalui peradilan administrasi

sedangkan untuk kesalahan pribadi terjadi

perubahan diantara keduanya. Dimana

dalam sistem Belanda gugatan diajukan

melalui pengadilan umum sedangkan

dalam sistem Inggris gugatan diajukan

melalui pengadilan perdata.

Hal lain yang menjadi

permasalahan berkenaan dengan

kewenangan dan konsekuensinya adalah

bagaimana suatu tindakan dikatakan

melampaui kewenangan atau tidak.

Berkenaan dengan hal tersebut tiap

doktrin memberikan pembedaaan sebagai

berikut:11

1. Doktrin Belanda yaitu : onrechtmatige

daad dengan unsur

a. Perbuatan itu bertentangan

dengan peraturan perundang -

undangan yang berlaku,

b. Bertentangan dengan kewajiban

hukum si pelaku,

c. Bertentangan dengan kesusilaan,

d. Bertentangan dengan azas

kepatutan, ketelitian, dan sikap

hati-hati.

Sedangkan doktrin onrechtmatige

over heidsdaad;

a. Bertentangan dengan peraturan

perundangan yang berlaku,

b. Menyalahgunakan wewenang,

c. Sewenang-wenang,

d. Bertentangan dengan azas

pemerintahan yang baik.

l/150-artikel-keuangan-umum/20230-kewenangan-pejabat-adminstrasi-di-indonesia, diakses tanggal 8/7/2015

Page 15: Dewan Direksi

11

2. Doktrin Prancis

a. Ultra vires dengan unsur

1) Aspek prosedur : mengabaikan

syarat proseduril yang telah di

tetapkan,

2) Aspek substantif :

a) Tindakan administrasi

dilakukan oleh badan atau

pejabat yang salah,

b) Tindakan administrasi

dilakukan oleh pejabat atau

badan yang tidak di tunjuk

untuk itu,

c) Tindakan dilakukan oleh

pejabat atau badan,

melampai wewenang,

d) Tindakan itu dilakukan tidak

sesuai dengan tujuan

hukum,

e) Tindakan yang dilakukan

oleh pejabat yang

berwenang tetapi

pengunaan wewenangnya

melampaui waktu yang jauh

yang akan datang.

b. Detournement de Pouvoir

1) Menggunakan wewenang

untuk kepentingan peribadi,

2) Menggunakan wewenang

untuk kepentingan golongan.

c. Abus de droit

1) Tindakan administrasi negara

dilakukan dengan

mengabaikan perundang-

undangan,

2) Tindakan administrasi tidak

berdasarkan undang-undang.

3. Doktrin Inggris,

a. Law of Tort dengan unsur :.

1) A certain of conduct ;

pelanggaran kode etik,

2) Duty of care ; kewajiban untuk

bewrbuat berhati-hati,

3) Preach of duty ; pelanggaran

terhadap kewajiban, untuk

bertindak berhati-hati,

4) The are of Risk ; medan resiko

dari suatu perbuatan agar tidak

menimbulkan kerugian bagi,

orang lain.

b. Grouns of Action ; unsurnya,

1) Lack of Action ; melakukan

tindak administrasi tetapi

pejabat atau badan itu tidak

cukup kewenangan ;

2) Infrigement of an assential

prosedural requirement ;

melakukan pelanggaran

pelanggaran terhadap

syarataal dan materiil prosedur

administrasi,

3) Infrigement of Treaty or of any

rule law relating its application

: melakukan pelanggaran

terhadap perjanjian publik

atau prinsip-prinsip hukum,

yang seharusnya di terapkan,

4) Misuse of power ;

menyalahgunakan wewenang,

Doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran

dalam ilmu hukum tersebut berguna

untuk menilai apakah suatu perbuatan

administrasi pemerintahan itu telah

sesuai dengan kewenangannya.

Ajaran-ajaran tersebut dapat

pula di pergunakan baik dalam

konteks peradilan tata usaha negara,

maupun dalam peradilan pidana

terutama dalam tindak pidana korupsi,

dimana penyalahan gunaan

kewenangan oleh pejabat

pemerintahan termasuk sebagai

Page 16: Dewan Direksi

12

tindakan kriminal, jika tindakan itu

merugikan keuangan negara.

Berkenaan dengan tindakan

pidana, Kitab Undang-undang Hukum

Pidana mencantumkan hal pidana

dalam jabatan pada BAB XXVIII

Kejahatan Jabatan dari Pasal 413

sampai dengan Pasal 437. Secara

substansi Kejahatan Jabatan dapat

berupa sebagai berikut:

1. Menolak atau sengaja

mengabaikan perintah untuk

Komandan Angkatan Bersenjata

2. Memerintahkan untuk melawan

ketentuan undang-undang

3. Melakukan penggelapan,

pembiaran yang berujung

penggelapan, atau membantu

penggelapan aset yang berada

dalam tanggung jawabnya

4. Memalsukan catatan untuk

kepentingan pemeriksaan

5. Memaksa seseorang untuk

melakukan, tidak melakukan atau

membiarkan sesuatu

6. Menggunakan sarana paksaan, baik

untuk memeras pengakuan,

maupun untuk mendapatkan

keterangan, diancam dengan

pidana penjara paling lama empat

tahun.

7. Menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum

8. Melampaui kekuasaan atau tanpa

mengindahkan cara-cara yang

ditentukan dalam peraturan umum

12 Gumilar Rusliwa Somantri, Memahami Metode Kualitatif, Makara, Sosial Humaniora, Vol.9, No.2, Desember 2005: 57-65;

Hal umum yang menjadikan kesalahan

jabatan menjadi lingkup pidana adalah

kesalahan tersebut dilakukan dengan

melawan hukum. Jika tidak, kesalahan

jabatan tersebut tidak dapat dikategorikan

dalam lingkup pidana.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian Kualitatif

Menurut Sukmadinata (2005) dasar

penelitian kualitatif adalah

konstruktivisme yang berasumsi bahwa

kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif

dan suatu pertukaran pengalaman sosial

yang diinterpretasikan oleh setiap individu.

Peneliti kualitatif percaya bahwa

kebenaran adalah dinamis dan dapat

ditemukan hanya melalui penelaahan

terhadap orang-orang melalui interaksinya

dengan situasi sosial mereka (Danim,

2002).

Gaya penelitian kualitatif berusaha

mengkonstruksi realitas dan memahami

maknanya, sehingga penelitian ini biasanya

sangat memperhatikan proses, peristiwa

dan otentisitas.12

Penelitian kualitatif mengkaji

perspektif partisipan dengan strategi-

strategi yang bersifat interaktif dan

fleksibel. Penelitian kualitatif ditujukan

untuk memahami fenomena-fenomena

sosial dari sudut pandang partisipan.

Dengan demikian arti atau pengertian

penelitian kualitatif tersebut adalah

penelitian yang digunakan untuk meneliti

pada kondisi objek alamiah dimana peneliti

Page 17: Dewan Direksi

13

merupakan instrumen kunci (Sugiyono,

2005).

Ada lima ciri pokok karakteristik

metode penelitian kualitatif yaitu:

1) Menggunakan lingkungan alamiah

sebagai sumber data

Penelitian kualitatif menggunakan

lingkungan alamiah sebagai sumber

data. Peristiwa-peristiwa yang terjadi

dalam suatu situasi sosial merupakan

kajian utama penelitian kualitatif.

Peneliti pergi ke lokasi tersebut,

memahami dan mempelajari situasi.

Studi dilakukan pada waktu interaksi

berlangsung di tempat kejadian.

Peneliti mengamati, mencatat,

bertanya, menggali sumber yang erat

hubungannya dengan peristiwa yang

terjadi saat itu. Hasil-hasil yang

diperoleh pada saat itu segera disusun

saat itu pula. Apa yang diamati pada

dasarnya tidak lepas dari konteks

lingkungan di mana tingkah laku

berlangsung.

2) Memiliki sifat deskriptif analitik

Penelitian kualitatif sifatnya deskriptif

analitik. Data yang diperoleh seperti

hasil pengamatan, hasil wawancara,

hasil pemotretan, analisis dokumen,

catatan lapangan, disusun peneliti di

lokasi penelitian, tidak dituangkan

dalam bentuk dan angka-angka.

Peneliti segera melakukan analisis

data dengan memperkaya informasi,

mencari hubungan, membandingkan,

menemukan pola atas dasar data

aslinya (tidak ditransformasi dalam

bentuk angka). Hasil analisis data

berupa pemaparan mengenai situasi

yang diteliti yang disajikan dalam

bentuk uraian naratif. Hakikat

pemaparan data pada umumnya

menjawab pertanyaan-pertanyaan

mengapa dan bagaimana suatu

fenomena terjadi. Untuk itu peneliti

dituntut memahami dan menguasai

bidang ilmu yang ditelitinya sehingga

dapat memberikan justifikasi

mengenai konsep dan makna yang

terkandung dalam data.

3) Tekanan pada proses bukan hasil

Tekanan penelitian kualitatif ada pada

proses bukan pada hasil. Data dan

informasi yang diperlukan berkenaan

dengan pertanyaan apa, mengapa,

dan bagaimana untuk mengungkap

proses bukan hasil suatu kegiatan. Apa

yang dilakukan, mengapa dilakukan

dan bagaimana cara melakukannya

memerlukan pemaparan suatu proses

mengenai fenomena tidak dapar

dilakukan dengan ukuran frekuensinya

saja. Pertanyaan di atas menuntut

gambaran nyata tentang kegiatan,

prosedur, alasan-alasan, dan interaksi

yang terjadi dalam konteks lingkungan

di mana dan pada saat mana proses itu

berlangsung. Proses alamiah dibiarkan

terjadi tanpa intervensi peneliti, sebab

proses yang terkontrol tidak akan

menggambarkan keadaan yang

sebenarnya. Peneliti tidak perlu

mentaransformasi data menjadi angka

untuk mengindari hilangnya informasi

yang telah diperoleh. Makna suatu

proses dimunculkan konsep-

konsepnya untuk membuat prinsip

bahkan teori sebagai suatu temuan

atau hasil penelitian tersebut.

4) Bersifat induktif

Penelitian kualitatif sifatnya induktif.

Penelitian kualitatif tidak dimulai dari

Page 18: Dewan Direksi

14

deduksi teori, tetapi dimulai dari

lapangan yakni fakta empiris. Peneliti

terjun ke lapangan, mempelajari suatu

proses atau penemuan yang tenjadi

secara alami, mencatat, menganalisis,

menafsirkan dan melaporkan serta

menarik kesimpulan-kesimpulan dari

proses tersebut. Kesimpulan atau

generalisasi kepada lebih luas tidak

dilakukan, sebab proses yang sama

dalam konteks lingkungan tertentu,

tidak mungkin sama dalam konteks

lingkungan yang lain baik waktu

maupun tempat. Temuan penelitian

dalam bentuk konsep, prinsip, hukum,

teori dibangun dan dikembangkan dari

lapangan bukan dari teori yang telah

ada. Prosesnya induktif yaitu dari data

yang terpisah namun saling berkaitan.

5) Mengutamakan makna

Penelitian kualitatif mengutamakan

makna. Makna yang diungkap berkisar

pada persepsi orang mengenai suatu

peristiwa. Misalnya penelitian tentang

peran kepala sekolah dalam

pembinaan guru, peneliti

memusatkan perhatian pada

pendapat kepala sekolah tentang guru

yang dibinanya. Peneliti mencari

informasi dari kepala sekolah dan

pandangannya tentang keberhasilan

dan kegagalan membina guru. Apa

yang dialami dalam membina guru,

mengapa guru gagal dibina, dan

bagaimana hal itu terjadi. Sebagai

bahan pembanding peneliti mencari

informasi dari guru agar dapat

diperoleh titik-titik temu dan

pandangan mengenai mutu

13 Gumilar Rusliwa Somantri, op. Cit, 57-65

pembinaan yang dilakukan kepala

sekolah. Ketepatan informasi dari

partisipan (kepala sekolah dan guru)

diungkap oleh peneliti agar dapat

menginterpretasikan hasil penelitian

secara sahih dan tepat.

Berdasarkan ciri di atas dapat

disimpulkan bahwa penelitian kualitatif

tidak dimulai dari teori yang dipersiapkan

sebelumnya, tapi dimulai dari lapangan

berdasarkan lingkungan alami. Data dan

informasi lapangan ditarik maknanya dan

konsepnya, melalui pemaparan deskriptif

analitik, tanpa harus menggunakan angka,

sebab lebih mengutamakan proses

terjadinya suatu peristiwa dalam situasi

yang alami. Generalisasi tak perlu

dilakukan sebab deskripsi dan interpretasi

terjadi dalam konteks dan situasi tertentu.

Realitas yang kompleks dan selalu berubah

menuntut peneliti cukup lama berada di

lapangan.

Setidaknya terdapat lima jenis

metode penelitian kualitatif yang banyak

digunakan menurut Dr. Gumilar

R.Sumantri yaitu: Observasi Terlibat,

Analisa Percapakan, Analisa Wacana,

Analisa Isi, dan Pengambilan Data

Ethnografis13. Observasi terlibat biasanya

melibatkan seoarang peneliti kualitatif

langsung dalam intervensi sosial. Analisa

Percakapan pada umumnya memusatkan

perhatian pada percakapan dalam sebuah

interaksi. Analisa Wacana lebih fokus pada

penggunaan bahasa, dimana perhatian

yang besar tertuju pada praktek dan

kontekstualitas. Analisis Isi mengkaji

dokumen berupa kategori dari makna.

Sedangkan Pengambilan data enthografis

Page 19: Dewan Direksi

15

yang relatif tidak terstruktur berfokus pada

pengngalian tekstur dan alir pengalaman

selektif dari responden melalui proses

interaksi secara mendalam dan bebas.

Berkenaan dengan penjelasan

diatas, Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Metode kualitatif

dengan penekanan pada analisis isi dari

suatu peraturan.

3.2 Objek penelitian

Objek dalam penelitian ini adalah

peraturan mengenai kewenangan pihak-

pihak yang terlibat dalam suatu siklus

penganggaran: dari tahap perencanaan

sampai dokumen anggaran disahkan.

Sebagai suatu objek, peraturan ini akan

ditelaah secara isi mengenai keterkaitan

dengan kewenangan yang menjadi objek

dari penelitian.

3.3 Jenis Data

Peraturan-peraturan yang menjadi

data dalam penelitian ini adalah:

a. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara

b. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara

c. Peraturan Pemerintah Nomor 90

Tahun 2010 tentang Penyusunan

Rencana Kerja Anggaran

Kementerian/Lembaga

d. PMK No.136/PMK.01/2014 tentang

Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan

RKAKL

e. Peraturan Menteri Perencanaan

Nomor 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara

Penyusunan Inisiatif Baru Peraturan

dimaksud merupakan data sekunder

terkait dengan kebutuhan penelitian

ini.

3.4 Pengolahan Data

Sebagai dijelaskan mengenai esensi

penelitian kualitatif, penelitian ini

berusaha menelaah lebih dalam mengenai

keweanangan yang dimiliki oleh

Kementerian Keuangan berkenaan dengan

Proposal Anggaran. Berkenaan dengan hal

tersebut, peraturan terkait dikupas pasal

per pasal termasuk dengan ketentuan

dalam lampirannya. Pengkajian difokuskan

pada kewenangan yang diturunkan dari

pengaturan tersebut.

4. PEMBAHASAN

4.1 Kajian Aspek Filosofis Yuridis

Dalam rangka mencapai tujuan

bernegara sebagaimana tercantum dalam

Pembukaan UUD 1945 perlu dibentuk

pemerintahan negara guna mencapai

tujuan tersebut, dimana pembentukan

pemerintahan negara tersebut

menimbulkan konsekuensi hak dan

kewajiban negara yang dapat dinilai

dengan uang yang perlu dikelola dalam

suatu Sistem Pengelolaan Keuangan

Negara. Selanjutnya wujud pengelolaan

keuangan negara guna mencapai tujuan

bernegara dimaksud termaktub dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) yang berisi hak dan kewajiban

negara yang dapat dinilai dengan uang.

Mengingat APBN dimaksudkan untuk

mencapai tujuan bernegara, maka

penyusunan APBN perlu dijaga sedemikian

rupa untuk memastikan proses yang

terbuka dan bertanggung jawab untuk

sebesarnya kemakmuran rakyat.

APBN berisi hak dan kewajiban

negara dalam rangka menyelenggarakan

fungsi pemerintahan untuk mencapai

Page 20: Dewan Direksi

16

tujuan negara. Untuk itu, dalam

penyusunannya APBN perlu

memperhatikan aspek-aspek keuangan

yang berkesinambungan yakni harus

memperhatikan seberapa besar

kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan negara serta kemampuan

negara dalam menghimpun pendapatan.

Dengan demikian, pelaksana

pemerintahan negara tidak dapat berlaku

semena-mena menyelenggarakan

pemerintahan negara tanpa

memperhatikan kemampuan untuk

membiayai hal tersebut. Hal ini sangatlah

penting mengingat ketidakmampuan

untuk menyadari kondisi berkenaan akan

berakibat tidak tercapainya tujuan

bernegara itu sendiri karena negara akan

kehilangan kemampuannya untuk

membiayai pencapaian tujuan bernegara

dimasa yang akan datang. Berkenaan

dengan itu, UU 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara memberikan mandat

untuk selalu mempertahankan kelebihan

biaya atas pendapatan dibawah 3% (ref:

pasal 12 UU 17/2003).

Pemerintahan Negara adalah

sistem penyelenggaraan pemerintahan

Indonesia dengan Presiden sebagai

pemegang kekuasaan pemerintahan

negara tertinggi sesuai dengan Pasal 4 ayat

(1) UUD 1945. Berdasarkan Ketentuan

Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 terdeviasi

kekuasaan Presiden dalam pengelolaan

keuangan negara. Secara yuridis,

kekuasaan memegang pengelolaan

keuangan negara hakikatnya juga untuk

menjamin penyelenggaraan pemerintahan

negara dan pelayanan publik, dalam

konteks penyediaan pendanaan.

Penyusunan APBN sebagai bagian

awal siklus anggaran negara berdasarkan

konstruksi hukumnya diadakan untuk

maksud pemenuhan kewajiban negara

dalam rangka menyelenggarakan fungsi

pemerintahan dalam mencapai tujuan

bernegara. Kewajiban negara ini kemudian

dilaksanakan oleh kementerian

negara/lembaga, yang merupakan pihak

yang menerima kuasa selaku pengguna

anggaran/pengguna barang dari Presiden.

Implikasi hukumnya adalah kementerian

negara/lembaga mempunyai kewajiban

mempertanggungjawabkan penggunaan

anggaran dan barang kepada Presiden

sebagai pemegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara.

Menteri Keuangan, selaku

pembantu Presiden, mendapatkan mandat

sebagai kuasa yang ditunjuk untuk

pengelolaan APBN. Pemberian kuasa

pengelolaan APBN kepada Menteri

Keuangan merupakan perbuatan hukum

Presiden yang menciptakan kekuasaan

atau kewenangan kepada Menteri

Keuangan untuk melakukan sesuatu atau

menuntut sesuatu kepada pihak lain,

dalam hal ini kementerian negara/lembaga

atau pihak ketiga, guna melaksanakan

peraturan perundang-undangan terkait

dengan pengelolaan APBN. Perbuatan

hukum ini berlandaskan pada Pasal 6 ayat

(2) huruf a UU Nomor 17 Tahun 2003,

sehingga menjadi kehendak Presiden

secara mandiri agar Menteri Keuangan

mengelola APBN sebatas kuasa yang telah

diberikannya.

Sebagai penerima kuasa untuk

melakukan pengelolaan APBN, Menteri

Keuangan mempunyai tugas menyusun

kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi

Page 21: Dewan Direksi

17

makro, menyusun rancangan APBN dan

Perubahan APBN, mengesahkan dokumen

pelaksanaan anggaran, melakukan

perjanjian internasional di bidang

keuangan, melaksanakan pemungutan

pendapatan negara yang telah ditetapkan

dalam undang-undang, melaksanakan

fungsi bendahara umum negara,

menyusun laporan keuangan yang

merupakan pertanggungjawaban

pelaksanaan APBN, dan melaksanakan

tugas-tugas lain di bidang pengelolaan

fiskal berdasarkan ketentuan undang-

undang.

Menteri Keuangan dalam

melaksanakan hal yang menjadi tugasnya

dapat membuat kebijakan guna

memastikan tujuan atas penugasan

tersebut dapat dicapai. Untuk itu berbagai

produk hukum dihasilkan sebagai wujud

kebijakan untuk tercapainya tujuan dari

pelaksanaan tugasnya. Kebijakan atau

keputusan tersebut menurut I Gede Pantja

Astawa14 dalam arti luas dapat berupa

salah satu dari tiga kelompok yakni: (1)

wettlijk regelling (peraturan perundang-

undangan) seperti UUD, undang-undang,

peraturan pemerintah, peraturan

pemerintah pengganti undang-undang,

peraturan presiden, peraturan menteri,

peraturan daerah, dan lain-lain; (2)

beleidsregels (peraturan kebijakan),

seperti instruksi, surat edaran,

pengumuman dan lain-lain; dan (3)

beschikking (penetapan), seperti surat

keputusan dan lain-lain.

Kebijakan tersebut pada dasarnya

merupakan alat bantu administratif dalam

melaksanakan kewenangan untuk

14 Arif Christiono Soebroto, kedudukan hukum peraturan/kebijakan dibawah Peraturan Menteri

memastikan suatu proses yang baik (good

governance) dapat tercipta dan

dilaksanakan. Hal inilah yang kemudian

dikenal sebagai suatu sistem pengelolaan

keuangan negara merujuk pada UU 17

Tahun 2003 dan UU 1 Tahun 2004. Sistem

ini dibangun guna memastikan bahwa hak

dan kewajiban yang tercantum dalam

APBN dimaksudkan untuk sebenar-

benarnya kepentingan negara dalam

mencapai tujuannya.

Untuk itu, penilaian kelayakan guna

memastikan bahwa hak dan kewajiban

yang tercantum dalam APBN digunakan

untuk kepentingan negara perlu

memperhatikan aspek-aspek yakni

bagaimana proses dilakukan, apa saja

kriteria yang ditetapkan, nilai apa yang

didapat dari proses tersebut, dan

bagaimana nilai diejawantahkan bagi

pengambilan keputusan. Sebagaimana

aspek-aspek tersebut diupayakan guna

mengurangi variasi atas hasil penilaian

yang berujung pada pengambilan

keputusan. Untuk itu pihak yang

berkewenangan perlu menyusun sistem

untuk memastikan hal tersebut di atas

dapat dilakukan dengan baik sebagai suatu

proses yang governance.

4.2 Kajian Aspek Landasan Hukum

Ketentuan yang menjadi landasan

dalam mengelola APBN adalah sebagai

berikut:

a. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara

b. UU 1/2004 tentang Perbendaharaan

Negara

Perencanaan Pembangunan Nasional. www.birohukum.bappenas.go.id

Page 22: Dewan Direksi

18

c. PP 90/2010 tentang Penyusunan

Rencana Kerja Anggaran

Kementerian/Lembaga

d. PMK 136/PMK.01/2014 tentang

Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan

RKAKL mengatur ruang lingkup

penelaahan

e. Peraturan Menteri Perencanaan

Nomor 1/2011 tentang Tata Cara

Penyusunan Inisiatif Baru

Ketentuan dalam UU 17/2003

menyebutkan bahwa APBN merupakan

rencana keuangan tahunan pemerintahan

negara yang disetujui oleh DPR (Pasal 1)

dan merupakan wujud pengelolaan

keuangan negara yang ditetapkan tiap

tahun dengan undang-undang (pasal 11).

Kekuasaan pengelolaan keuangan negara

merupakan bagian dari kekuasaan

pemerintahan dimana Presiden bertindak

selaku Kepala Pemerintahan (pasal 6).

Selanjutnya kekuasaan tersebut

dikuasakan (mandat) kepada Menteri

Keuangan selaku pengelola fiskal dan wakil

pemerintah dalam kepemilikan kekayaan

yang dipisahkan; dikuasakan (mandat)

kepada menteri/pimpinan lembaga selaku

pengguna anggaran/pengguna barang K/L

yang dipimpinnya; diserahkan (delegasi)

kepada gubernur/bupati/walikota selaku

kepada pemerintahan daerah untuk

mengelola keuangan daerah dan mewakili

pemerintah daerah dalam kepemilikan

kekayaan daerah yang dipisahkan; tidak

termasuk kewenangan dibidang moneter,

yang antara lain mengeluarkan dan

mengedarkan uang, yang diatur dengan

undang-undang (pasal 6 ayat (2)).

Ketentuan tersebut menjelaskan

mandat atau delegasi yang diberikan

Presiden dalam menjalankan pengelolaan

keuangan negara sebagai bagian dari

kekuasaaan pemerintahan kepada pihak-

pihak yang mengelola keuangan negara.

Menteri Keuangan menurut ketentuan ini

mendapatkan mandat selaku pengelola

fiskal dan wakil pemerintah dalam

kepemilikan kekekayaan yang dipisahkan.

Selaku pengelola fiskal, Menteri Keuangan

memiliki tugas seperti sebagaimana

tercantum dalam pasal 8 UU 17/2003.

Dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut,

Menteri Keuangan berdasarkan ketentuan

yang ada berkuasa untuk melakukan

pengaturan-pengaturan yang lebih detail

mengenai pengelolaan keuangan negara.

Berkenaan dengan APBN, Menteri

Keuangan bertugas untuk menyusun

Rancangan APBN dan mengesahkan

dokumen pelaksanaan anggaran. Menteri

Keuangan, dalam menyusun rancangan

APBN, perlu menjaga kesesuaian

kebutuhan penyelenggaran pemerintahan

negara dan kemampuan dalam

menghimpun pendapatan negara. Hal ini

dikenal sebagai kesinambungan fiskal

(fiscal sustainability) sebagai bagian upaya

pengelolaan fiskal. Selain itu, Menteri

Keuangan perlu memastikan kesesuaian

kesepakatan yang terdapat dalam APBN

dengan apa yang dituangkan dalam

dokumen pelaksanaan anggaran. Hal ini

melandasi perlunya pengesahan dokumen

pelaksanaan anggaran mengingat segala

hal yang tertuang dalam dokumen

tersebut akan membebani negara. Dalam

melakukan segala penugasan dimaksud,

sangat memungkinkan Menteri Keuangan

membentuk suatu mekanisme yang

dibutuhkan guna efektifitas pelaksanaan

tugasnya dan melaksanakan kaidah umum

praktik penyelenggaraan tata

Page 23: Dewan Direksi

19

kepemerintahan yang baik (ref. Pasal 2

PP90/2010).

Dalam penyusunan RKAKL

sebagaimana tercantum dalam PP 90/2010

tentang RKAKL, proses dimulai dari

penetapan arah kebijakan dan prioritas

pembangunan nasional oleh Presiden.

Proses dilanjutkan dengan penyusunan

rencana Insiatif baru dan indikasi

kebutuhan anggaran yang telah

diselaraskan dengan arah kebijakan dan

prioritas pembangunan nasional. Dalam

proses tersebut, Kementerian Keuangan

dan Kementerian Perencanaan

menjalankan peran untuk mengevaluasi

pelaksanaan program dan kegiatan yang

sedang berjalan, dan mengkaji usulan

inisiatif baru berdasarkan prioritas

pembangunan serta analisa pemenuhan

kelayakan dan efisiensi indikasi kebutuhan

dananya (ref. Pasal 7 ayat (4)).

Kementerian Perencanaan sendiri

dimandatkan untuk mengoordinasikan

pelaksanaan evaluasi dan pengintegrasian

hasil evaluasi dan melakukan pengaturan

mengenai penyusunan Inisiatif Baru.

Dalam konstruksi ini, Kementerian

Keuangan memiliki kewenangan

berdasarkan PP 90/2010 untuk melakukan

evaluasi atas pelaksanaan program dan

kegiatan berjalan serta melakukan kajian

atas usulan insiatif baru. Hal ini dilakukan

berdasarkan pada dua hal pokok yakni: (1)

apakah program dan kegiatan yang akan

dibiayai sesuai arah kebijakan dan prioritas

nasional, dan (2) apakah program dan

kegiatan tersebut layak dan efisien. Pokok

yang pertama memiliki penekanan pada

apakah ini sesuai dengan kebijakan umum

Pemerintah. Sedangkan pokok yang kedua

merupakan aspek teknis atas usulan

dimaksud walaupun kata layak tidak

dielaborasi lebih mengenai layak dari sisi

yang mana.

Dalam peraturan yang menjadi

turunan dari PP 90/2010, Menteri

Keuangan melalui produk hukum yang

dikeluarkan tidak mengulas lebih lanjut

mengenai bagaimana suatu usulan dikaji,

namun memberikan guidence bagaimana

mengevaluasi sebagaimana tercantum

dalam PMK 249/PMK.02/2011 tentang

Pengukuran dan Evaluasi Kinerja atas

Pelaksanaan RKAKL. Jika melihat esensi

yang termaktub dalam judul PMK

249/PMK.02/2011, hal yang dilakukan

adalah bagaimana mengevaluasi atas

pelaksanaan program dan kegiatan

berjalan. Sedangkan untuk sesuatu yang

akan dilaksanakan, dimana kajian atas

usulan seharusnya ada, lebih tepatnya

adalah substansi yang ada dalam

pengaturan tentang Petunjuk Penyusunan

dan Penelaahan RKAKL. Dimana esensi

yang dibangun dalam peraturan tersebut

adalah bukan kajian atas usulan, namun

kata yang digunakan adalah penelaahan.

Berkenaan dengan penelaahan

maksud dari penelaahan RKAKL

sebagaimana tercantum dalam Peraturan

Menteri Keuangan Nomor

136/PMK.02/2014 tentang Petunjuk

Penyusunan dan Penelaahan RKAKL adalah

memastikan hal-hal sebagai berikut:

1. Rencana Kinerja yang dituangkan

dalam RKAK-KL konsisten dengan yang

tertuang dalam RKP;

2. Untuk mencapai rencana kinerja

tersebut dialokasikan dana yang efisien

dalam tataran perencanaan;

3. Dalam pengalokasiannya telah

mengikuti ketentuan penerapan

Page 24: Dewan Direksi

20

anggaran terpadu, penganggaran

berbasis kinerja, dan kerangka

pengeluaran jangka menengah.

Selanjutnya ruang lingkup

penelaahan sebagaimana tercantum

dalam Peraturan Menteri Keuangan ini

terdiri dari:

1. Penelaahan Kriteria Administratif

Bertujuan meneliti kelengkapan dari

dokumen yang digunakan dalam forum

penelaahan

2. Penelaahan Kriteria Substantif

Bertujuan untuk meneliti kesesuaian,

relevansi, dan/atau konsistensi dari

setiap bagian RKAKL, yang terdiri atas:

a. Kesesuaian data dalam RKAKL

dengan Pagu Anggaran/Alokasi

Anggaran K/L (DJA)

b. Kesesuaian antara kegiatan,

keluaran, dan anggarannya (DJA)

c. Relevansi komponen/tahapan

dengan keluaran (DJA)

d. Konsistensi pencatuman sasaran

kinerja K/L dengan RKP (Bappenas)

e. Konsistensi pencatuman prakiraan

maju untuk 3 (tiga) tahun ke depan

(DJA)

Dalam konteks ini, pengaturan ini

menempatkan penelaahan sebagai bagian

mengkonfirmasi dari beberapa hal yang

telah dilakukan sebelumnya dalam proses

penganggaran, namun tidak spesifik pada

penilaian atas usulan baru baik dari sisi

kelayakan dan efisiensi. Lebih lanjut dalam

pengaturan dimaksud sebenarnya

dibedakan juga penanganan untuk alokasi

yang sudah ada ditahun sebelumnya dan

alokasi inisiatif baru, namun demikian

secara subtansi tidak ada perbedaan dalam

penangangannya mengingat dalam aspek

efisiensi adalah berkenaan apakah

terdapat komponen yang berbeda dalam

penghitungan alokasinya karena hal

tersebut berkenaan alokasi anggaran yang

efisien. Secara umum didalam pengaturan

ini, tidak ada klausul yang membahas

mengenai kelayakan.

Dilain pihak, Peraturan Menteri

Perencanaan Nomor 1/2011 tentang Tata

Cara Penyusunan Inisiatif Baru

memposisikan Kementerian Keuangan

untuk (ref.BAB III):

1. melakukan penilaian atas kelayakan

Proposal Inisiatif Baru, terutama dari

sisi anggaran dan memposisikan

Kementerian Perencanaan guna

melakukan penilaian dari sisi kebijakan

(policy)

2. Melakukan penilaian atas kemampuan

penyerapan anggaran dan saving yang

dilakukan Kementerian dan Lembaga

3. Melakukan pengecekan kepatutan

sesuai dengan kebijakan anggaran

Melihat konstruksi pengaturan

yang membagi kewenangan dimaksud,

secara eksplisit dikatakan bahwa

Kementerian Keuangan memiliki

wewenang untuk melakukan hal

sebagaimana disebutkan, dimana

dikatakan bahwa penilaian atas kelayakan

proposal inisiatif baru adalah dari sisi

anggaran dengan katagori yang

ditentukan. Selanjutnya, dijelaskan kriteria

yang menjadi dasar dari penilaian proposal

dengan dari sisi anggaran yakni:

1. Kesesuaian Anggaran: kesesuaian

parameter, komponen unit jelas, biaya

proposional.

2. Kepatutan Anggaran: Sesuai SBU/SBK,

Konsistensi Biaya,

Penghematan/efisiensi

Page 25: Dewan Direksi

21

3. Sumber Pendanaan: Sumber dari

realokasi anggaran, Target yang

direlokasi tetap dapat dicapai.

Dimana 3 kriteria tersebut merupakan

bagian dari 10 kriteria penilaian inisiatif

baru.

Berdasarkan hal tersebut diatas

maka, dapat disimpulkan bahwa melalui

peraturan ini kata kelayakan dielaborasi

lebih mendalam dalam Peraturan Menteri

Perencanaan Nomor 1/2001 tentang Tata

Penyusunan Inisiatif Baru dengan

menambahkan kriteria yang diperlukan

dari sisi anggaran. Selain itu, kata

kelayakan juga disandingkan dengan kata

kepatutan dari sisi kebijakan anggaran

dimana kedua kata tersebut secara harfiah

memiliki arti yang sama.

4.3 Kesimpulan Aspek Filosofis Yuridis dan

Aspek Landasan Hukum

Berdasarkan bahasan atas kedua

aspek tersebut dapat ditarik benang merah

berkenaan dengan tujuan negara secara

umum, dimana Presiden mandat kepada

Menteri Keuangan selaku untuk

pengelolaan APBN. Mandat ini didapat

mengingat Presiden secara Undang-

undang Dasar menjadi pemegang

kekuasaan tertinggi pemerintahan negara.

Hal ini tercantum dalam ketentuan pada

pasal 6 ayat (2) huruf a UU Nomor 17 tahun

2003. Sehingga walaupun kewenangan

Menteri Keuangan tersebut adalah dalam

undang-undang tidak dapat dikatakan

bahwa kewenang tersebut diperoleh

secara atribusi.

Substansi kewenangan yang

didapat oleh Menteri Keuangan berkenaan

dengan pengelolaan keuangan adalah

untuk memastikan bahwa negara tidak

kehilangan kemampuan dalam membiayai

kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan

bernegara. Oleh karena itu, Menteri

Keuangan berkepentingan untuk

memaksimalkan sumberdaya yang berada

dalam pengelolaannnya berdasarkan

prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang

baik, misalnya optimasi penerimaan dan

pengeluaran, serta mencari pembiayaan

yang menguntungkan jika dibutuhkan

untuk melaksanakan kegiatannya.

Berdasarkan kewenangan yang diperoleh,

Menteri Keuangan selayaknya membuat

aturan yang memadai untuk mendukung

pelaksanaan wewenang tersebut,

terutama pada saat penyusunan APBN

sebagai bentuk pengelolaan keuangan

negara.

Namun demikian pada saat

undang-undang diturunkan lebih lanjut,

konstruksi hukum sebagaimana tercantum

dalam PP90/2010 membagi kewenangan

pemerintahan berkenaan dengan

penyusunan RKAKL kepada Kementerian

Keuangan dan Bappenas. Pada pengaturan

tersebut dinyatakan bahwa kedua institusi

dimaksud memiliki kewenangan untuk

melakukan evaluasi atas pelaksanaan

kegiatan yang sudah ada dan analisa

pemenuhan kelayakan dan efisiensi

indikasi kebutuhan dana.

Mengingat kewenangan

membutuhkan panduan dalam

pelaksanaannya, maka aturan turunan

yang menjadi produk Menteri Keuangan

tidak menggunakan kata kajian atas usulan

mengenai penilaian kelayakan, namun

menggunakan istilah penelaahan

sebagaimana dimaksud dalam PMK

136/PMK.02/2014. Walaupun demikian

Page 26: Dewan Direksi

22

secara desain, waktu penelaahan

sebagaimana dimaksud dalam PMK

tersebut diposisikan sebagai bagian

konfirmasi atas hal yang telah dilakukan

sebelumnya dalam siklus anggaran. Dilain

pihak, kata-kata penilaian kelayakan

dinyatakan lebih jelas dalam Permen

Perencanaan No.1/2011.

Hal yang perlu mendapatkan

perhatian adalah bahwa kedua peraturan

adalah peraturan mandiri, namun

didalamnya mengatur berkenaan dengan

kewenangan pihak lain yang berada diluar

atau secara horisontal. Hal yang

memerlukan perhatian adalah apakah

kewenangan yang dimandatkan oleh

atasan dapat dialihkan berdasarkan

peraturan yang dibuat sendiri. Seharusnya

peraturan tersebut jika mengatur proses

dari institusi lain perlu dibuat sebagai

peraturan bersama.

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang

sudah disampaikan sebelumnya guna

menjawab pertanyaan penelitian, dapat

disampaikan hal-hal sebagai berikut:

1. Tugas Kementerian Keuangan

Kementerian Keuangan (cq. DJA) dalam

pengelolaan APBN adalah memastikan

bahwa negara tidak kehilangan

kemampuan dalam membiayai

kegiatan-kegiatan dalam mencapai

tujuan bernegara. Hal ini dapat

dilakukan dengan mengoptimalisasi

pendapatan dan pengeluaran, serta

mencari pembiayaan yang

menguntungkan jika dibutuhkan untuk

melaksanakan kegiatannya.

2. Berdasarkan landasan hukum yang

ada, Kementerian Keuangan (cq. DJA)

memiliki kewenangan dalam menilai

kelayakan proposal anggaran

Kementerian/Lembaga sebagai

tercantum dalam PP90/2010. Namun

demikian pelaksanaan atas tugas

tersebut tidak diatur lebih lanjut dalam

aturan pelaksanaan atas kewenangan

tersebut.

3. Kewenangan yang tercantum dalam PP

90/2010 tidak dijelaskan lebih lanjut

didalam aturan pelaksanaannya

mengingat kata-kata penilaian

kelayakan tidak digunakan secara

eksplisit namun digunakan kata

penelaahan. Penelahaan ini secara

substanstif berbeda dengan kata

penilaian kelayakan mengingat

penelaahan berdasarkan peraturan

yang mengatur merupakan bagian

mengkonfirmasi dari beberapa hal

yang telah dilakukan sebelumnya

dalam proses penganggaran.

4. Kewenangan yang memberikan

kapabiltas lebih mengenai penilaian

kelayakan lebih banyak diatur dalam

Peraturan Menteri Perencanaan

Nomor 1/2011 tentang Tata Cara

Penyusunan Inisiatif Baru, yang secara

teori kewenangan terkesan tanggal

mengingat kewenangan diperoleh dari

peraturan yang dikeluarkan oleh

institusi yang selevel.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini,

dapat disampaikan beberapa saran sebagai

berikut:

1. Esensi dari PP90/2010 pada saat

memunculkan institusi lain sebagai

Page 27: Dewan Direksi

23

bagian dari pelaksanaan UU 17/2003

pada dasarnya mencoba mengadopsi

konsepsi check and balance dalam

pelaksanan tugas dan fungsi, namun

demikian pengaturan salah satu

institusi yang mengatur institusi lain

seharusnya dibentuk dalam konstruksi

Peraturan Bersama. Hal ini mengingat

konsepsi check and balance tidak

berarti mengkooptasi pelaksanaan

tugas institusi lain dalam menjalankan

kewenangannya.

2. Perlu adanya pengaturan internal guna

mendukung proses yang dilaksanakan

berkenaan dengan penyusunan APBN

terutama berkenaan dengan

kewenangan penilaian kelayakan

anggaran. Dalam hal ini pengaturan

standar biaya dapat menjadi instrumen

atas kelayakan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000)

Gumilar Rusliwa Somantri, Memahami Metode Kualitatif, Makara, Sosial Humaniora, Vol.9, No.2, Desember 2005: 57-65

Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1990)

Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994),

J.G. Brouwer dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law, (Nijmegen: Ars Aeguilibri, 1998),

Kuat, CF. 2008, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi PERBANDINGAN TENTANG Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi Dunia, Terjem. SPA Teamwork, Cet. II, Jakarta: Nusa Media.

Mahkamah Konstitusi RI Dan Konrad Adenauer Stiftung 2005, MEKANISME Impeachment dan

Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hasil Penelitian, Jakarta.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998)

MTI (Masyarakat Transparansi Indonesia), Tanpa Tahun, Keputusan Presiden Yang Menyimpang Periode 1993-1998.

Nasution, Adnan Buyung, 1995, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi Sosio-Hukum differences Konstituante 1956-1959, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Nasution, Mirza 2004, Negara Dan Konstitusi, makalah, Medan: FH-USU

Rum Riyanto S, Kewenangan Pejabat Administrasi di Indonesia, http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/150-artikel-keuangan-umum/20230-kewenangan-pejabat-adminstrasi-di-indonesia, diakses tanggal 8/7/2015

Rusma Dwiyana, Konsep Konstitusionalisme, Pemisahan Kekuasaan, Dan Checks And Balances System (Sebuah Tinjauan Konseptual Dan Praktis)

Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004),

Page 28: Dewan Direksi

24

Subekti, Valina Singka, 2008, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan Dan Pemikiran hearts Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: Rajawali Press.

Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan, (Surabaya: Universitas Airlangga, 1990),

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, Dan Ni'matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: Rajawali.

Utomo, Tri Widodo W., Tinjauan Kritis TENTANG Pemerintah Dan Kewenangan Pemerintah * Menurut Hukum Administrasi Negara, hearts Jurnal Unisia, No. 55 / XXVIII / I / 2005, hal. 28-43, Yogyakarta: UII Press.

Wardani, Kunthi Dyah, 2007, Impeachment Dalam ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta, UII Press.

DOKUMEN

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara

Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja Anggaran Kementerian/Lembaga

PMK No.136/PMK.01/2014 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKAKL

Peraturan Menteri Perencanaan No. 1 Tahun 2011 tentang Tata Cara Penyusunan Inisiatif Baru

Page 29: Dewan Direksi

25

KAJIAN PENGELOLAAN BIAYA DALAM SISTEM PENGANGGARAN

Intisari

Secara de jure, amanat pelaksanaan performance based budget telah berumur lebih dari satu dekade tertulis dalam UU 17 tahun 2003. Secara de facto, bisa jadi belum seperti harapan. Kondisi ini disinyalir karena dalam proses penganggaran masih terjebak dalam detail per item belanja, termasuk didalamnya upaya penerapan prinsip let the manager manage yang masih sarat dengan pendekatan line item.

Kajian ini berupaya memaparkan peran strategis costing dalam mewujudkan tujuan performance based budgeting beserta langkah merealisasikannya. Kajian ini menggunakan metode telaah literatur, peraturan yang ada dilakukan analisa dan dituangkan dalam pemikiran untuk pengembangan penerapannya khususnya dalam sisi pengelolan biaya.

Pada akhir Kajian ini, ditekankan bahwa perbaikan pengaturan costing melalui standar biaya yang disempurnakan dari waktu ke waktu adalah modal dasar dalam mewujudkan efisiensi di level alokasi dan pelaksanaan dalam kesatuan sistem penganggaran.

Kata kunci: biaya, performance based budget, standar biaya, costing

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Secara yuridis (de jure) kehendak

untuk mempraktekkan Performace Based

Budgeting telah diamanatkan dalam UU

No 17 tentang Keuangan Negara, namun

setelah hampir 10 (sepuluh) tahun

diundangkan, boleh jadi dalam prakteknya

(de facto) masih belum seperti harapan,

seperti masih tercampur dengan rasa Line

Item Budgeting.

Performance Based Budgeting

mensyaratkan bahwa terlaksananya

prinsip let managers manage akan berjalan

baik manakala: (1) adanya kepercayaan

(trust) dari Kementerian Keuangan selaku

Chief Financial Officer (CFO) kepada K/L

(managers) selaku Chief Operational

Officer (COO) untuk mengurus hal-hal yang

detail dan mengikat hal-hal yang strategis

(capaian output), didasarkan pada

anggapan bahwa K/L (managers) adalah

pihak yang dianggap paling mengetahui

dan paling bertanggung jawab tentang

bagaimana cara untuk mencapai output

yang diperjanjikan atas penggunaan

alokasi anggaran, dan (2) pada saat

bersamaan K/L (managers) diasumsikan

memang dapat dipercaya (amanah) dalam

membelanjakan anggarannya untuk

mencapai output yang diperjanjikan secara

efisien dan efektif, sehingga apabila dalam

pelaksanannya terdapat pelanggaran maka

mereka harus dimintakan

pertanggungjawabannya.

1.2 Identifikasi Masalah

Permasalahan belum sempurnanya

penerapan Performance Based Budgeting

utamanya karena proses penganggaran

yang ada masih sering terperangkap

dengan hal-hal detail item-per-item

belanja, yang melebihi dari orientasi pada

hasil (output) – itu sendiri. Hal lain yang

juga ikut memperkeruh kondisi ini adalah

Page 30: Dewan Direksi

26

penerapan prinsip let managers manage

pada K/L pada saat pelaksanaan anggaran,

yang juga masih sangat kental dengan

pendekatan item-item belanja yang sering

melebihi dari upaya pencapaian output

secara efisien dan efektif.

1.3 Tujuan

Kajian ini dimaksudkan untuk

memaparkan peran strategis standar biaya

(costing) dalam mewujudkan tujuan

performance based budgeting, dan

langkah-langkah untuk merealisasikannya.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Kajian ini menggunakan metode

telaah literature, peraturan yang ada

dilakukan analisa dan dituangkan dalam

pemikiran untuk pengembangan

penerapannya khususnya dalam sisi

pengelolan biaya.

3. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Peranan Standar Biaya

Upaya untuk mengoptimalkan

peran standar biaya (costing) dalam sistem

penganggaran perlu berangkat dari

pemikiran tentang perlunya mencermati

kembali atas pengaturan three in one (satu

dan lainnya saling melengkapi, saling

menguatkan, dan harus saling bekerja

paralel), yaitu antara: (1) indikator kinerja,

(2) standar biaya (costing) dan (3) evaluasi

kinerja dalam mensukseskan pelaksanaan

Performance Based Budgeting.

Gambar 1. Hubungan instrumen penganggaran

Hubungan ketiga instrumen

performance based budgeting tersebut

dapat dijelaskan sebagai berikut: Pertama,

rumusan output secara tepat beserta

indikatornya merupakan cerminan

seberapa efektif nantinya akan mampu

menopang mencapaian kegiatan, program

dan dampak (impacts) dari alokasi

anggaran akan dirasa secara riil oleh

masyarakat. Hal ini menguatkan keyakinan

tentang urgensi untuk mengawal

terwujudnya rumusan output dan

indikator kinerja K/L di tingkat pusat dan

SKPD di tingkat daerah dalam suatu

Page 31: Dewan Direksi

27

arsitektur kinerjayang makin baik dari

waktu ke waktu. Kedua, standar biaya

(costing) merupakan pengisi rumah

struktur program sebagai alat agar alokasi

anggaran dapat dilakukan secara efisien

dan ekonomis dalam pencapaian output.

Hal ini mengedepankan pentingnya

allocative efficiency dalam perencanaan

anggaran dan operational efficiency dalam

pelaksanaan anggaran dengan

menggunakan prinsip let managers

manage. Sedangkan ketiga, evaluasi

kinerja yang dilaksanakan melalui

monitoring dan evaluasi (monev) menjadi

pilar/alat untuk mengawal dan

membandingkan antara pelaksanaan

anggaran dengan tujuan kinerja yang

diharapkan dari alokasi anggaran agar

dapat terlaksana sesuai dengan yang telah

diperjanjikan dalam indikator kinerja

output sampai dengan impact kepada

masyarakat. Dari ketiga instrumen

tersebut selanjutnya indikator output dan

costing yang memadai diperlukan agar

monev dapat berjalan sesuai tujuan.

Rumusan output yang tepat dan memadai

merupakan prasyarat agar costing dapat

dilaksanakan secara baik pada saat proses

alokasi anggaran. Selanjutnya, hasil monev

juga dibutuhkan untuk proses costing

dalam alokasi anggaran periode

berikutnya.

Gambar 2. Costing Dalam Penganggaran

Standar biaya (costing) dalam

sistem penganggaran mempunyai peran

yang sangat penting untuk menjamin

terwujudnya keekonomian dan efisiensi

anggaran. Salah satu alasannya adalah

karena karakteristik K/L dan SKPD

(pengguna anggaran) saat ini cenderung

untuk menggunakan anggaran dengan

SETARA

STANDAR

BIAYA

BIAYA OUTPUT

BIAYA OUTPUT

BIAYA

KEGIA

BIAYA

PROGRA

BIAYA KOMPONEN

(Vol X Indeks)

BIAYA KOMPONEN

REMUNERASI Gaji Pokok Tunj

Struktural/ Fungs.

Tunj. Kinerja

Honorarium Tetap

PP/ KEPPRES

Ijin Prinsip Menkeu

Dinas Cipta Karya

Pemda

PMK STANDAR BIAYA

Volume Output berkorelasi

Langsung dgn total biaya :

Biaya Output =

Vol x Sat Biaya/Indeks

Volume Output

berkorelasi scr tdk

langsung dgn total

biaya: Biaya

Output = total biaya komponen

BIAYA

KEGIA

Cost Center

(Vol X Indeks)

Page 32: Dewan Direksi

28

harga maksimal dan perlunya prinsip

keadilan untuk pembiayaan suatu

kegiatan/aktivitas yang sama bagi seluruh

pengguna anggaran. Untuk mewujudkan

peran standar biaya yang makin

berkontribusi positif dalam sistem

penganggaran, CFO sebagai otoritas

perencanaan keuangan K/L dan SKPD

harus melakukan langkah-langkah dalam

menerapkan efisiensi belanja negara, salah

satu caranya melalui penetapan standar

biaya, yang meliputi: (1) standar biaya

masukan (SBM), dan (2) standar biaya

keluaran (SBK). Mengingat Standar biaya

merupakan instrumen efisiensi dalam

penerapan Performance Based Budgeting,

maka pengembangan standar biaya

(costing) akan diarahkan pada

pengembangan standar biaya yang

berorientasi pada hasil atau penyusunan

standar biaya berbasis output dalam

bentuk penyusunan Standar Biaya

Keluaran (SBK). Seharusnya SBK secara

bertahap dikembangkan ke arah full-

costing (dengan mengecualikan komponen

gaji dan biaya administrasi pada tahap

awalnya) dengan menggunakan

pendekatan activity based costing. Apabila

hal ini telah dilakukan, maka alokasi

anggaran akan didasarkan pada alokasi

biaya output yang dihasilkan oleh K/L atau

SKPD yang bersangkutan.

4. PEMBAHASAN

4.1 Pengembangan Standar Biaya

Untuk penerapan standar biaya

yang bersuber dari APBN, dalam pasal 3

ayat (1) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara diatur bahwa yang

dimaksud standar biaya adalah satuan

biaya yang ditetapkan baik berupa standar

biaya keluaran sebagai acuan perhitungan

anggaran dalam RKAKL. Lebih lanjut diatur

bahwa standar biaya merupakan salah satu

instrument penting dalam penyusunan

alokasi anggaran, sebagaimana diatur

dalam pasal 5 ayat (3) PP Nomor 90 Tahun

2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja

dan Anggaran Kementrian/Lembaga,

bahwa penyusuaan RKAKL menggunakan

instrument indikator kinerja, standar biaya

dan evaluasi kinerja. Standar biaya

meliputi merupakan satuan biaya yang

ditetapkan sebagai acuan penghitungan

kebutuhan anggaran dalam Rencana Kerja

dan Anggaran Kemetrian

Negara/Lembaga, baik berupa Standar

Biaya Masukan maupun Standar Biaya

keluaran. Standar Biaya Masukan (SBM)

adalah satuan Biaya berupa harga satuan,

tariff, dan indeks yang digunakan untuk

menyusun biaya komponen masukan

kegiatan. Sedangkan Standar Biaya

Keluaran (SBK) adalah besaran biaya yang

dibutuhkan untuk menghasilkan sebuah

keluaran kegiatan yang merupakan

akumulasi biaya komponen masukan

kegiatan.

Untuk pengelolaan biaya dalam

proses alokasi dan pelaksanaan anggaran

atas kegiatan yang dananya bersumber

dari APBN dan APBD perlu adanya

pengembangan sistem costing (costing

system) secara konsisten dari waktu ke

waktu sesuai tuntutan perkembangan

jaman. Costing system pada hakekatnya

diperlukan untuk melakukan perkiraan

jumlah alokasi dana untuk berbagai jenis

pengeluaran di dalam suatu K/L atau SKPD.

Standar analisis belanja ini perlu dilakukan

untuk menghasilkan alokasi anggaran

Page 33: Dewan Direksi

29

berbasis aktivitas yang lebih akurat,

sehingga setiap anggaran yang dikeluarkan

didasarkan atas proses penghitungan yang

wajar dan rasional.

Costing system tersebut diperlukan

agar dapat mendorong K/L atau SKPD

selaku COO untuk melaksanakan prinsip

ekonomi, efisiensi dan efektifitas secara

berkesinambungan. Costing system

diperlukan untuk menjamin implementasi

Penganggaran Berbasis Kinerja, dan

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah

agar dapat berjalan sesuai harapan, yaitu

tercapainya keseimbangan ekonomis,

efisiensi dan efektivitas. Oleh karena itu,

dalam pengembangan pengelolaan biaya

disektor publik yang bersumber dari APBN

dan APBD perlu dicermati esensi

penggunaan pendekatan menerapkan

biaya berbasis aktivitas (Activity Based

Costing).

Standar Biaya Masukan (SBM) saat

ini telah menjadi tools bagi pengguna

anggaran dalam melakukan penyusunan

dokumen perencanaan anggaran. Selain

itu, standar biaya juga diperlukan untuk

membatasi pengeluaran-pengeluaran yang

terkait dengan tambahan penghasilan bagi

pegawai, karena dengan belum berlakunya

sistem remunerasi secara penuh, saat ini

banyak pengguna anggaran yang masih

mengalokasikan honorarorium yang

seharusnya sudah menjadi bagian dari

sistem remunerasi sehingga perlu

pembatasan melalui standar biaya.

Sedangkan untuk Standar Biaya Keluaran

(SBK), saat ini penyusunannya masih

dilakukan hanya untuk biaya langsung

(direct cost) yang terkait langsung dalam

pencapaian suatu output, dengan fokus

pada proses pembelajaran kepada

pengguna anggaran bahwa penyusunan

SBK merupakan bagian dari upaya efisiensi

belanja negara. Namun demikian,

pengembangan konsep SBK terus

dilakukan secara bertahap agar perubahan

yang terjadi dapat berjalan dengan baik

dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang

berkepentingan.

Beberapa hal penting yang

merupakan area pengembangan SBM

adalah: (1) Peningkatan kualitas dan

cakupan SBM, dan mencarikan penataan

pengaturan terhadap satuan-satuan biaya

yang berlaku spesifik pada setiap

pengguna anggaran untuk menjamin

efisiensi anggaran, (2) Makin

mengintensifkan keterlibatan pengguna

anggaran dalam penyusuna SBM, dan (3)

Menggeser penggunaan SBM ke pengguna

anggaran dengan menguatkan peran

aparat pengawasan dalam memantau

pelaksanaan SBM oleh pengguna

anggaran.

Sedangkan beberapa area

pengembangan SBK antara lain dengan

cara: (1) Pengembangan costing

methodologies, dan (2) pengembangan

benchmarking atas SBK yang telah ada

untuk diterapkan pada tahun berbeda,

wilayah berbeda, atau pengguna anggaran

yang berbeda. Kondisi saat ini, SBK sebagai

alat efisiensi kurang mendapat tanggapan

positif dari pengguna anggaran karena

beberapa hal: (1) keengganan pengguna

anggaran untuk melakukan efisiensi, (2)

Hukum penerapan SBK belum menjadi

kewajiban, (3) Pengguna anggaran belum

merasa menerima manfaat secara nyata

atas penerapan SBK, (4) Yang sudah

menerapkan SBK justru merasa sering

diaudit daripada yang belum menerapkan

Page 34: Dewan Direksi

30

SBK. Hal-hal tersebut selanjutnya perlu

disikapi dengan seksama, dan dituangkan

dalam peraturan

4.2 Langkah-Langkah Pengembangan

Untuk mencapai tujuan

pengembangan standar biaya tersebut di

atas, reformulasi pengaturan teknis

standar biaya tidak saja dalam bentuk

penetapan (besichking) dalam bentuk

satuan-satuan biaya dan angka-angka

untuk setiap tahunnya, tetapi juga dalam

bentuk pengaturan (regelling) yang berupa

pedoman mengelola biaya oleh pengguna

anggaran yang berlaku untuk jangka lebih

panjang. Pengaturan standar biaya yang

berlaku untuk sepanjang tahun tersebut

mencakup prinsip-prinsip dan pedoman-

pedoman costing untuk menjamin

alllocative efficiency dan operational

efficiency.

Gambar 3. Pengaturan Standar Biaya

Upaya untuk menjadikan SBK sebagai

suatu kewajiban bagi pengguna anggaran

merupakan upaya pengembangan yang

penting untuk dilakukan. SBK sebagai

keharusan tersebut dilakukan untuk ha-hal

tertentu secara bertahap melalui proses

penelaahan secara prudent yang akan

dijadikan sebagai baseline (angka dasar)

untuk output-output sejenis. Untuk

mendukung proses ini perlu disusun

costing methodolgy sebagai proses

efisiensi terhadap output-output yang

dihasilkan pengguna anggaran. Kalau hal

ini sudah tertata, langkah berikutnya

adalah alokasi output-output yang bersifat

dukungan manajemen (gaji dan

manajemen kantor) didistribusikan kepada

output-output teknis sehingga yang tersisa

adalah output teknis saja sebagai dasar

alokasi anggaran setiap pengguna

anggaran. Untuk mendukung alokasi

output bersangkutan maka perlu pedoman

bagaimana suatu output dicapai melalui

tahapan-tahapan atau komposisi biaya

tertentu sehingga dalam pencapaian suatu

output menjadi jelas biaya-biaya yang

diperlukan.

Secara lebih rinci, langkah-langkah

pengembangan dari aspek kebijakan,

sistem dan SDM adalah sebagai berikut:

a. Aspek Kebijakan

Pengembangan standar biaya diarahkan

kepada pencapaian keekonomiasan

alokasi dan efisiensi belanja negara

dalam rangka mendukung penerapan

anggaran berbasis kinerja. Untuk

pengembangan ini perlu koordinasi

secara lebih inten antara CFO dengan

COO dan para praktisi penganggaran,

khususnya mengenai metodologi

1. PMK & Surat Menkeu ttg SBM

2. PMK SBK 3. PMK/Surat

Menkeu ttg Standar Struktur Biaya & Indeksasi

BENTUK PENGATURAN SB

Beschikking Regelling

• Bersifat tahunan • Penetapan

satuan2 biaya baik SBM maupun SBK termasuk struktur biaya

• Bersifat jangka panjang

• Pengaturan penerapan standar biaya

1. Panduan penerapan SBM

2. Panduan penerapan SBK,

3. Panduan penerapan Standar Struktur Biaya & Indeksasi)

Page 35: Dewan Direksi

31

pembiayaan sebagai upaya untuk

mendorong percepatan penerapan SBK.

b. Aspek Kesisteman

Pengembangan standar biaya harus

sejalan dengan sistem perencanaan

yang berlaku (Renstra, Renja,

Penganggaran itu sendiri (RKA-K/L atau

RKA SKPD), dokumen pelaksanaan

anggaran dan pertanggungjawaban

kinerja (LKPP dan LAKIP). Dari aspek

kelembagaan, perlu dikaji kembali

keberadaan unit yang

bertanggungjawab menangani seluruh

elemen yang terdapat di dalam Standar

Biaya, dan dalam kerangka penerapan

full-costing maka upaya untuk

mensinergikan penanganan standar

biaya dan remunerasi merupakan hal

urgent dalam kerangka proses

reorganisasi. Dari sisi Teknologi

Informasi, perlu dikembangkan Sistem

Informasi/Teknologi Informasi (SI/TI)

dalam rangka pengolahan data hasil

survey dan penetapan besaran standar

biaya secara elektronik.

c. Aspek Sumber Daya Manusia

Peningkatan kapasitas SDM yang

memadai untuk mengembangkan

norma akuntansi biaya pada sektor

publik/pemerintahan sebagai upaya

penerapan efisiensi atas anggaran

berbasis kinerja. Peningkatan SDM

dimaksud meliputi SDM padai CFO, COO

dan Aparat Pemeriksa Fungsional

melalui program intensif semacam

PPAKP (pada akuntansi pemerintahan)

dengan tekanan pengetahuan proses

perencanaan dan costing methodology.

d. Aspek pengembangan kerjasama

Pengembangan standar biaya tidak

hanya cukup dilaksanakan sendiri. Perlu

adanya upaya-upaya yang lebih

strategis dengan memperluas

kerjasama dengan pihak lain untuk

pengembangannya. Beberapa bentuk

kerjasama pengembangan Standar

Biaya antara lain dalam bentuk

kerjasama terkait costing methodology

dengan pihak kampus, pelaksanaan

survey dengan BPS dan/atau institusi

Kementerian Keuangan yang memiliki

kantor daerah, dan terkait capasity

building dan bantuan konsultan dapat

bekerjasama dengan lembaga-lembaga

internasional yang bersedia

memberikan bantuan atau hibah untuk

kepentingan pengembangan standar

biaya tersebut.

5. PENUTUP

Upaya-upaya percepatan

pengembangan standar biaya merupakan

salah satu pilar penting dan urgent untuk

mewujudkan pencapain tujuan

implementasi Performance Based

Budgeting. Penerapan Performance Based

Budgeting sudah dilaksanakan sejak

ditetapkannya UU No 17 tahun 2003,

tetapi karena hasilnya masih jauh dari

harapan maka saat sekarang dan

selanjutnya merupakan momentum

penting untuk mewujudkan peningkatan

kualitas implementasinya. Pengaturan

Standar Biaya yang telah ada saat ini dari

waktu ke waktu makin membaik

merupakan modal dasar untuk

pengembangan standar biaya yang lebih

sempurna, agar standar biaya betul-betul

menjadi instrumen yang makin efektif

dalam mewujudkan allocative efficiency

dan operational efficiency dalam sistem

penganggaran.

Page 36: Dewan Direksi

32

KAJIAN ATAS IMPLEMENTASI PMK NOMOR 195/PMK.02/2014

TENTANG STANDAR STRUKTUR BIAYA

Lies Kurnia Irwanti Email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Reformasi dalam bidang

pengelolaan keuangan negara ditandai

dengan lahirnya paket peraturan

perundang-undangan bidang keuangan

negara yang salah satunya adalah Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara. Pemberlakuan UU

Keuangan Negara tersebut telah

membawa perubahan yang cukup

signifikan. Sistem pengelolaan keuangan

negara mengalami perombakan

menyeluruh untuk mengatasi kelemahan

sistem penganggaran yang ada. Menurut

Nunuy (2012) kelemahan dimaksud, yaitu:

1. masih terjadinya inefisiensi yaitu

terjadinya penghamburan keuangan

negara,

2. duplikasi penganggaran akibat adanya

kemiripan kegiatan yang dibiayai

anggaran rutin dan anggaran

pembnagunan misalnya, diindikasikan

sebagai penyebab pemborosan

keuangan negara,

3. selain itu, masih ditemui pola-pola

pengelolaan keuangan negara yang

tertutup, tidak profesional dan tidak

proposional sehingga sulit untuk

mewujudkan good-governance dan

clean-government yang sudah menjadi

tuntutan masyarakat.

Dalam UU Keuangan Negara secara

tegas menyatakan bahwa Pemerintah

diwajibkan menyusun anggaran dengan

menggunakan pendekatan anggaran

terpadu, kerangka pengeluaran jangka

menengah dan penganggaran berbasis

kinerja. Selain itu juga meminta

diterapkannya prinsip pengelolaan

keuangan negara yang meliputi

akuntabilitas yang berorientasi pada hasil,

profesionalitas, proporsionalitas,

keterbukaan dalam pengelolaan dan

dilakukannya pemeriksaan keuangan oleh

badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.

Berdasarkan sistem penganggaran dan

prinsip-prinsip tersebut diharapkan terjadi

perubahan sejak penyusunan, pelaksanaan

hingga pertanggungjawaban anggaran.

Reformasi di bidang keuangan

negara sesungguhnya merupakan

reformasi pada dua sisi dalam praktek

pengelolaan keuangan Negara, yaitu

pertama dari sisi sistem dengan

mewujudkan pengelaan keuangan negara

yang mengikuti kaedah yang mendorong

praktek yang mendorong transparansi,

akuntabilitas dan profesionalisme

pengelolaan keuangan negara. Kedua, dari

sisi intern penyelenggaraan negara

diharapkan ada suatu spirit yang melandasi

penyelenggara keuangan negara yang

memiliki integritas sehingga cukup

memadai untuk melaksanakan konsepsi

‘let the manager manage’.

Page 37: Dewan Direksi

33

Namun dari pelaksanaan yang telah

berjalan selama satu dekade ini dari kedua

sisi tersebut yaitu sisi sistem dan sisi intern

dalam mewujudkan konsepsi “let manager

manage”masih ditemukannya kelemahan

pada aspek perencanaan dan

penganggaran dimana perencanaan dan

penganggaran yang berlaku saat ini belum

ditunjang dengan metode analisis dan

costing yang memungkinkan alokasi

penganggaran dilakukan dengan

transparan dan akuntabel mencapai

efisiensi dan efektivitas yang optimal.

Memperhatikan kondisi tersebut, maka

masih diperlukan kajian sistem

penganggaran yang pada penelitian kali ini

akan melihat efisiensi komponen utama

dan pendukung dalam biaya birokrasi di

Indonesia yang telah ditetapkan sebagai

kebijkan dalam Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 195/PMK.02/2014

tentang Standar Struktur Biaya.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Pada penelitian ini akan menjawab

pertanyaan sejauh mana implementasi

PMK Nomor 195/PMK.02/2014 tentang

Standar Struktur Biaya yang telah

diamanatkan untuk diterapkan pertama

kali pada tahun anggaran 2016.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam

kajian ini bertujuan melakukan analisis atas

implementasi kebijakan Standar Struktur

Biaya yang telah ditetapkan dalam PMK

Nomor 195/PMK.02/2014.

1.4 Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini karena

keterbatasan peneliti, maka data yang

digunakan dalam penelitian merupakan

data sekunder mengenai pagu

Kementerian Negara/Lembaga pada saat

perencanaan anggaran untuk tahun

anggaran 2016 yang diambil dari Business

Intelligence (BI). Selain itu, tidak semua

Kementerian Negara/Lembaga diteliti,

tetapi hanya beberapa dari hasil

penyamplingan. Oleh karena itu,

diharapkan ke depan akan dilanjutkan

kajian yang lebih komprehensif.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Terminologi dan Dasar Hukum

Beberapa istilah yang sering

digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Kementerian Negara adalah perangkat

pemerintah yang membidangi urusan

tertentu dalam pemerintahan.

2. Lembaga adalah organisasi non

Kementerian dan instansi lain pengguna

anggaran yang dibentuk untuk

melaksanakan tugas tertentu

berdasarkan UUD Tahun 1945 atau

peraturan perundang-undangan

lainnya.

3. Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga (RKA-

K/L) adalah dokumen rencana keuangan

tahunan K/L yang disusun menurut

bagian anggaran K/L.

4. Standar Struktur Biaya (SSB) adalah

batasan komposisi biaya atas suatu

keluaran (output)/kegiatan/program

tertentu yang ditetapkan oleh Mneteri

Keuangan selaku pengelola fiskal (Chief

Financial Officer).

5. Populasi adalah wilayah generalisasi

yang terdiri atas objek/subjek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti

Page 38: Dewan Direksi

34

untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Populasi bukan hanya

orang, tetapi juga objek dan benda-

benda alam yang lain. Populasi juga

bukan sekedar jumlah yang ada pada

objek/subjek yang dipelajari, tetapi

meliputi seluruh karakteristik/sifat yang

dimiliki oleh subjek atau objek yang

diteliti (Nana Syaodih Sukmadinata,

2009).

6. Sampel adalah sebagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi.

Sampel merupakan kelompok kecil yang

secara nyata diteliti dan ditarik

kesimpulan (Nana Syaodih

Sukmadinata, 2009).

Dasar hukum yang melandasi

perlunya penyusunan RKA-K/L dan

penerapan SSB, yaitu:

1. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 (UU

No.17/2003) tentang Keuangan Negara

Pasal 3 (1) bahwa “Keuangan Negara

dikelola secara tertib, taat pada

peraturan perundang-undangan,

efisien, ekonomis, efektif, transparan,

dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan

kepatutan.”

2. UU No.17/2003 Pasal 14 (1) bahwa

“Dalam rangka penyusunan rancangan

APBN, menteri/pimpinan lembaga

selaku pengguna anggaran/pengguna

barang menyusun rencana kerja dan

anggaran kementerian negara/lembaga

tahun berikutnya.”

3. Peraturan Pemerintah No. 90 Tahun

2010 (PP No. 90/2010) tentang

Penyusunan Rencana Kerja dan

Anggaran Kementerian

negara/Lembaga Pasal 4 (2) bahwa

“Menteri/Pimpinan Lembaga selaku

Pengguna Anggaran wajib menyusun

RKA-K/L atas Bagian Anggaran yang

dikuasainya.”

4. Amanat PMK No. 71/PMK.02/2013

Pasal 26 bahwa “dalam rangka

mendukung efisiensi alokasi biaya

dalam penyusunan RKA-K/L, Menteri

Keuangan menetapkan Standar Struktur

Biaya dan Indeksasi.”

2.2 Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga

(RKA-K/L)

Penyusunan anggaran dalam

dokumen RKA-K/L merupakan bagian dari

penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN), selain

RencanaDana Pengeluaran Bendahara

Umum Negara (RDP-BUN). Secara garis

besar, proses penyusunan RKA-K/L

mengatur tiga materi pokok, yaitu

pendekatan penyusunan anggaran,

klasifikasi anggaran dan proses

penganggaran.

2.2.1 Pendekatan Penyusunan

Anggaran

Sesuai dengan amanat Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, penyusunan anggaran

oleh K/L mengacu kepada tiga pilar sistem

penganggaran, yaitu:

1. Pendekatan Penganggaran Terpadu

Penyusunan anggaran terpadu

dilakukan dengan mengintegrasikan

seluruh proses perencanaan dan

penganggaran di lingkungan K/L untuk

menghasilkan dokumen RKA-K/L

dengan klasifikasi anggaran menurut

organisasi, fungsi dan jenis belanja.

Integrasi atau keterpaduan proses

perencanaan dan penganggaran

Page 39: Dewan Direksi

35

dimaksudkan agar tidak terjadi duplikasi

dalam penyediaan dana untuk K/L baik

yang bersifat investasi maupun untuk

keperluan biaya operasional.

2. Penganggaran Berbasis Kinerja (PBK)

PBK merupakan suatu pendekatan

dalam sistem penganggaran yang

memperhatikan keterkaitan antara

pendanana dan kinerja yang

diharapkan, serta memperhatikan

efisiensi dalam pencapaian kinerja

tersebut. Kinerja merupakan prestasi

kerja yang berupa keluaran (output)

dari suatu kegiatan atau hasil dari suatu

program dengan kuantitas dan kualitas

yang terukur.

3. Kerangka Pengeluaran Jangka

Menengah (KPJM)

KPJM adalah pendekatan penyusunan

nggaran berdasarkan kebijakan, dengan

pengambilan keputusan yang

menimbulkan implikasi anggaran dalam

jangka waktu lebih dari satu tahun

anggaran. Sesuai dengan amanat UU

Nomor 17 Tahun 2003, dalam

penerapan KPJM, K/L menyusun

prakiraan maju dalam periode tiga

tahun ke depan, dna hal tersebut

merupakan keharusan yang harus

dilkaukan setiap tahun, bersamaan

dengan penyampaian RKA-K/L.

Pendekatan penyusunan anggaran

tersebut terus mengalami perbaikan dan

penyempurnaan, dan diwajibkan menjadi

acuan bagi pemangku kepentingan bidang

penganggaran dalam merancang dan

menyusun anggaran.

2.2.2 Klasifikasi Anggaran

Klasifikasi anggaran merupakan

pengelompokan anggaran berdasarkan

organisasi, fungsi dan jenis belanja

(ekonomi) yang bertujuan untuk melihat

besaran alokasi anggaran menurut:

1. Klasifikasi Menurut Organisasi K/L

Klasifikasi organisasi mengelompokkan

alokasi anggaran belanja sesuai dengan

struktur organisasi K/L dan BUN.

Organisasi diartikan sebagai K/L atau

BUN yang dibentuk untuk

melaksanakan tugas tertentu

berdasarkan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan peraturan perundangan-undangan

yang berlaku. Suatu K/L dapat terdiri

atas unit-unit organisasi (Unit Eselon I)

yang merupakan bagian dari suatu K/L.

Suatu unit organisasi dapat didukung

oleh satker yang bertanggung jawab

melaksanakan kegiatan dari program

unit Eselon I atau kebijakan pemerintah

dan berfungsi sebagai Kuasa Pengguna

Anggaran dalam rangka pengelolaan

anggaran. Sementara itu, BUN

merupakan pejabat yang diberi tugas

untuk melaksanakan fungsi bendahara

umum negara sebagaimana yang diatur

dalam Undang-undang.

2. Klasifikasi Menurut Fungsi

Fungsi adalah perwujudan tugas

kepemerintahan di bidang tertentu

yang dilaksanakan dalam rangka

mencapai tujuan pembangunan

nasional, sedangkan Subfungsi

merupakan penjabaran lebih

lanjut/lebih detail dari deskripsi fungsi.

Subfungsi terdiri atas kumpulan

program dan program terdiri atas

kumpulan kegiatan. Yang dimaksud

program adalah penjabaran kebijakan

K/L di bidang tertentu yang

dilaksanakan dalam bentuk upaya yang

berisi satu atau beberapa kegiatan

Page 40: Dewan Direksi

36

dengan menggunakan sumber daya

yang disediakan untuk mencapai hasil

yang terukur sesuai dengan misinya

yang dilaksanakan instansi atau

masyarakat dalam koordinasi K/L yang

bersangkutan.

3. Klasifikasi Jenis Belanja K/L

Jenis belanja atau klasifikasi menurut

ekonomi dalam klasifikasi belanja

digunakan dalam dokumen anggaran

baik dalam proses penyusunan,

pelaksanaan dan

pertanggungjawaban/pelaporan

anggaran. Namun penggunaan jenis

belanja dalam dokumen tersebut

mempunyai tujuan berbeda. Berkenaan

dengan proses penyusunan anggaran

dalam dokumen RKA-K/L, tujuan

penggunaan jenis belanja dimaksudkan

untuk mengetahui pendistribusian

alokasi anggaran ke dalam jenis–jenis

belanja. Dalampengelolaan keuangan

terdapat jenis belanja sebagai berikut:

a. belanja pegawai

b. belanja barang dan jasa

c. belanja modal

d. belanja pembayaran kewajiban

utang

e. belanja subsidi

f. belanja hibah

g. belanja bantuan sosial

h. belanja lain-lain

Belanja Barang dan Jasa adalah

pengeluaran untuk pembelian barang

dan/atau jasa yang habis pakai untuk

memproduksi barang dan/atau jasa

yang dipasarkan maupun yang tidak

dipasarkan dan pengadaan barang yang

dimaksudkan untuk diserahkan atau

dijual kepada masyarakat/Pemerintah

Daerah (Pemda) dan belanja perjalanan.

Dalam pengertian belanja tersebut

termasuk honorarium dan vakasi yang

diberikan dalam rangka pelaksanaan

kegiatan untuk menghasilkan barang

dan/atau jasa. Belanja Barang terdiri

atas Belanja Barang (Operasional dan

Non-Operasional), Belanja Jasa, Belanja

Pemeliharaan, Belanja Perjalanan,

Belanja Badan Layanan Umum (BLU),

serta Belanja Barang Untuk Diserahkan

Kepada Masyarakat/Pemda.

2.2.3 Proses Penganggaran

Proses penganggaran merupakan

uraian mengenai proses dan mekanisme

penganggarannya, dimulai dari Pagu

Indikatif sampai dengan penetapan Pagu

Alokasi Anggaran K/Lyang bersifat final.

Sistem penganggaran tersebut harus

dipahami secara baik dan benar oleh

pemangku kepentingan (stakeholder) agar

dapat dihasilkan APBN yang kredibel dan

dapat dipertanggungjawabkan.

2.3 Standar Struktur Biaya (SSB)

Salah satu upaya meningkatkan

kualitas penganggaran khususnya terkait

dengan efisiensi, maka perlu pengaturan

perubahan unsur-unsur biaya untuk

menghasilkan sebuah output. Pengaturan

perubahan unsur biaya terutama untuk

unsur-unsur yang tidak memberikan nilai

tambah pada peningkatan layanan

pemerintah. Sejalan dengan hal tersebut,

pada Pasal 26 dalam PMK No.

71/PMK.02/2013 tentang Pedoman

Standar Biaya, Standar Struktur Biaya dan

Indeksasi dalam Penyusunan RKA-K/L

mengamanatkan bahwa dalam rangka

mendukung efisiensi alokasi biaya, Menteri

Keuangan menetapkan standar struktur

biaya dalam PMK No. 195/PMK.02/2014

Page 41: Dewan Direksi

37

tentang Standar Struktur Biaya. Standar

Struktur Biaya merupakan salah satu alat

untuk mendukung efisiensi alokasi biaya

dalam penyusunan RKA-K/L melalui

penilaian kewajaran komposisi biaya

tertentu dari suatu keluaran (output)/

kegiatan/program tertentu yang berupa

batasan besaran atau persentase tertentu.

Standar Struktur Biaya berfungsi sebagai

acuan bagi K/L dalam menyusun komposisi

pembiayaan suatu keluaran

(output)/kegiatan/program tertentu dalam

penyusunan RKA-K/L dan sebagai salah

satu alat penelaahan untuk menilai

kewajaran pembiayaan atas suatu

keluaran (output)/ kegiatan/program yang

sejenis/serumpun.

Tujuan utama dari pengaturan SSB

adalah untuk meminimalisasi biaya

birokrasi dalam menghasilkan pelayanan

kepada masyarakat. Biaya atas suatu

keluaran (output) terdiri dari biaya utama

dan biaya pendukung. Biaya utama

merupakan komponen pembiayaan

langsung dari pelaksanaan langsung dari

pelaksanaan suatu kebijakan dan

berpengaruh terhadap pencapaian

keluaran (output). Sedangkan biaya

pendukung (penunjang) merupakan

komponen pembiayaan yang digunakan

dalam rangka menjalankan dan mengelola

kebijakan.

Pada tahap awal, penerapan SSB

dilakukan pada level keluaran (output).

Penetapan besaran SSB merujuk pada jenis

keluaran (output)dalam RKA-K/L yang

dikelompokkan sebagai berikut:

1. Keluaran (output) Barang, yang terdiri

dari:

a. Output barang infrastruktur, yaitu

output kegiatan yang merupakan

barang berwujud dan atau berupa

jaringan yang diperlukan untuk

jaminan ekonomi sektor publik agar

perekonomian dapat berfungsi

dengan baik. Contoh: jalan, kereta

api, air bersih, bandara, kanal,

waduk, pengolahan limbah, dan

sebagainya.

b. Output barang non infrastruktur,

yaitu output kegiatan yang

merupakan barang baik berwujud

maupun tidak berwujud yang tidak

berupa jaringan yang bukan

termasuk barang infrastruktur.

Contoh: kendaraan, software

aplikasi, dan sebagainya.

2. Keluaran (output) Jasa, yang terdiri dari:

a. Output jasa regulasi/birokrasi, yaitu

output yang dihasilkan dari suatu

kegiatan dalam rangka pembuatan

peraturan atau pendukung

administrasi birokrasi. Bentuk

output tersebut dapat berupa

norma, standar, dan lain-lain.

b. Output jasa layanan non-regulasi,

yaitu output dari suatu kegiatan

yang merupakan layanan dari suatu

instansi pemerintah. Contoh: SP2D,

layanan BOS, dan sebagainya.

Standar Struktur Biaya

diberlakukan pada keluaran (output) jasa

layanan non-regulasi. Pemberlakuan SSB

dilakukan dengan membatasi besaran

biaya pendukung tertinggi yang diizinkan

dari total biaya keluaran (output) jasa

layanan non-regulasi. Batasan besaran

biaya pendukung tertinggi yang diizinkan

yaitu sebesar 45% dari total biaya keluaran

(output) jasa layanan non-regulasi.

Page 42: Dewan Direksi

38

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian

deskriptif yang menggunakan pendekatan

kuantitatif. Mely G. Tan (dalam

Soejono:22) mengatakan bahwa penelitian

deskriptif bertujuan menggambarkan

secara tepat sifat-sifat suatu individu,

keadaan, gejala atau kelompok tertentu.

Dalam penelitian ini akan digambarkan

pengimplementasian kebijakan Standar

Struktur Biaya di tahun anggaran 2016.

3.2 Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah

birokrasi di Indonesia (K/L). Objek

penelitian adalah output jasa layanan non-

regulasi dan pagu himpunan RKA-KL dari

K/L yang telah dipilih sebagai sampel.

3.3 Jenis Data

Data merupakan kumpulan

informasi yang diperoleh dari suatu

pengamatan, dapat berupa angka,

lambang atau sifat. Data yang digunakan

merupakan data sekunder, yaitu data

terkait output dan pagu himpunan RKA-K/L

dari K/L yang terpilih menjadi sampel.

3.4 Metode Pengolahan Data

Pada penelitian ini pada prinsipnya

ingin mengetahui penerapan salah satu

bagian dari kebijakan standar biaya, yaitu

standar struktur biaya (SSB) yang saat ini

telah ditetapkan dalam PMK Nomor

195/PMK.02/2014 tentang Standar

Struktur Biaya. Birokrasi di Indonesia

terdiri dari banyak Kementerian Negara

dan Lembaga yang saat ini jumlahnya

mencapai 87 K/L. Oleh karena

keterbatasan penulis, pada penelitian yang

lebih ke arah deskriptifkuantitatif ini, maka

perlu dilakukan pengambilan sampel

(sampling) untuk menentukan K/L mana

saja yang akan diteliti dalam hal penerapan

SSB di dalam RKA-K/L-nyadi tahun 2016.

Dalam suatu penelitian, metode

sampling menjadi salah satu aspek yang

penting dan diperlukan, karena akan

menentukan validitas eksternal dari hasil

penelitian, dalam arti menentukan

seberapa luas atau sejauhmana

keberlakuan atau generalisasi kesimpulan

hasil penelitian. Dengan demikian, kualitas

sampling akan menentukan kualitas

kesimpulan suatu penelitian. Oleh karena

itu, setiap kelemahan dalam metode

sampling akan menyebabkan kelemahan

kesimpulan, kelemahan ramalan atau

dalam tindakan yang mendasarkan pada

hasil penelitian tersebut (Zainuddin, 2011).

Dalam metode sampling dikenal

istilah strata, yaitu mengelompokkan unit-

unit dalam populasi menjadi strata,

dengan tujuan untuk efisiensi penggunaan

metode sampling atau untuk keperluan

lain seperti domain penyajian (daerah

perkotaan dan daerah pedesaan atau

daerah terpencil dan bukan daerah

terpencil). Penggunaan stratifikasi untuk

efisiensi metode sampling adalah dengan

mengusahakan pengelompokkan elemen

yang karakteristiknya lebih homogen.

Pengelompokkan unit sampling ke dalam

strata yaitu membagi N unit sampling

menjadi LNNN ,...,, 21

yang masing-masing

menunjukkan jumlah unit dalam strata,

yaitu strata ke-1, ke-2, dan seterusnya

sampel dengan ke- .L L menunjukkan

banyak strata yang dibentuk pada populasi

(Muhardi Kahar, 2010).

Page 43: Dewan Direksi

39

Selain metode sampling yang akan

digunkaan, ukuran sampel pun merupakan

hal yang tak kalah penting dalam sebuha

penelitian. Pada dasarnya tidak ada aturan

baku mengenai pengambilan ukuran dari

sampel selama sampel sudah mewakili

karakteristik dari populasi. Beberapa ahli

memberikan gambaran mengenai jumlah

sampel yang berbeda-beda , akan tetapi

pertimbangan jenis dan bidang penelitian

sebaiknya dijadikan acuan untuk memilih

ukuran sampel. Gay dan Diehl (1992) pada

kajian penelitian untuk kelas bisnis dan

manajemen memberikan saran ukuran

sampel minimal, sebagai berikut:

a. penelitian deskriptif, jumlah sampel

minimum adalah 10% dari populasi,

b. penelitian korelasi, jumlah sampel

minimum adalah 30 subjek,

c. penelitian kausal perbandingan,

jumlah sampel minimum adalah 30

subjek per grup,

d. penelitian eksperimental, jumlah

sampel minimum adalah 15 subjek per

grup.

4. PEMBAHASAN

Negara Kesatuan Republik

Indonesia adalah suatu negara

berkembang yang wilayahnya merupakan

kepulauan terbesar di dunia. Jumlah

penduduk Indonesia menempati peringkat

ke-4 pada tahun 2015 sebagai negara

dengan jumlah penduduk terbesar di dunia

yitu sebanyak 255,708,785 orang (Divisi

Kependudukan PBB, 2015). Dengan kondisi

geografis dan demografis tersebut, maka

diperlukan pemerintah yang kuat untuk

menjalankan pemerintahan. Salah satu

usaha menjalankan pemerintahan yang

baik, Indonesia membagi tugas dan fungsi

kepada 87 Kementerian Negara/Lembaga.

Guna menjalankan tugas dan fungsi yang

melekat pada setiap K/L, maka pemerintah

memberikan anggaran di setiap tahunnya.

4.1 Pemilihan Sampel Penelitian

Selaras dengan amanat dalam UU

No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara pada Pasal 3 (1) mengamanatkan

bahwa keuangan negara dikelola secara

efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan

bertanggung jawab, maka salah satunya

dibuat kebijakan terkait standar struktur

biaya. Guna menilik penerapan kebijakan

tersebut, dalam penelitian ini akan dipilih

beberapa K/L untuk dijadikan sebagai

sampel yang diamati.

Delapan puluh tujuh K/L dimaksud

dan pemilihan K/L yang dijadikan sampel

disajikan dalam Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Daftar Kementerian Negara/Lembaga di Indonesia (2016)

K/L Unit Pagu HRPA 2016 Rata-rata Pagu/Unit Urutan per Kuartil

052 WANTANNAS 1 45.958.904.000 45.958.904.000 1

074 KOMNAS HAM 1 93.956.146.000 93.956.146.000 2

108 KPPU 1 116.460.861.000 116.460.861.000 3

110 OMBUDSMAN RI 1 146.332.581.000 146.332.581.000 4

084 BSN 1 146.877.155.000 146.877.155.000 5

100 KY RI 1 148.874.879.000 148.874.879.000 6

087 ANRI 1 166.687.386.000 166.687.386.000 7

078 PPATK 1 190.000.000.000 190.000.000.000 8

085 BAPETEN 1 190.772.897.000 190.772.897.000 9

Page 44: Dewan Direksi

40

K/L Unit Pagu HRPA 2016 Rata-rata Pagu/Unit Urutan per Kuartil

034 KEMENKO POLKAM 1 192.678.497.000 192.678.497.000 10

111 BNPP 1 200.599.529.000 200.599.529.000 11

048 KEMEN PAN RB 1 205.386.227.000 205.386.227.000 12

007 KEMENSETNEG 10 2.223.653.489.000 222.365.348.900 13

114 KEMEN SETKAB 1 222.786.973.000 222.786.973.000 14

106 LKPP 1 240.792.573.000 240.792.573.000 15

120 KEMENKO MARITIM 1 250.000.000.000 250.000.000.000 16

077 MK 1 250.368.908.000 250.368.908.000 17

118 BPKPB & PB SABANG 1 261.385.354.000 261.385.354.000 18

086 LAN 1 273.146.483.000 273.146.483.000 19

064 LEMHANNAS 1 314.258.703.000 314.258.703.000 20

109 BPW SURAMADU 1 318.550.954.000 318.550.954.000 21

113 BNPT 1 331.914.878.000 331.914.878.000 22

119 BAKAMLA 1 334.830.911.000 334.830.911.000 1

041 KEMEN BUMN 1 345.000.000.000 345.000.000.000 2

035 KEMENKO EKON 1 361.614.997.000 361.614.997.000 3

019 KEMENPERIND 9 3.339.228.559.000 371.025.395.444 4

104 BNP2TKI 1 415.046.706.000 415.046.706.000 5

026 KEMENAKER 9 3.804.804.724.000 422.756.080.444 6

115 BAWASLU 1 446.928.781.000 446.928.781.000 7

090 KEMENDAG 9 4.036.639.999.000 448.515.555.444 8

010 KEMENDAGRI 11 4.968.104.645.000 451.645.876.818 9

001 MPR 2 953.302.827.000 476.651.413.500 10

029 KEMEN LHK 13 6.301.022.231.000 484.694.017.769 11

036 KEMENKO KESRA 1 487.378.446.000 487.378.446.000 12

105 BPLS 1 500.048.585.000 500.048.585.000 13

065 BKPM 1 520.901.324.000 520.901.324.000 14

095 DPD 2 1.069.594.539.000 534.797.269.500 15

088 BKN 1 555.214.115.000 555.214.115.000 16

040 KEMENPAR 9 5.643.327.228.000 627.036.358.667 17

057 PNRI 1 701.101.136.000 701.101.136.000 18

067 KEMEN DES PDTT 10 7.269.302.065.000 726.930.206.500 19

011 KEMENLU 10 7.286.391.486.000 728.639.148.600 20

056 KEMEN AGRARIA TR / BPN

9 6.585.290.739.000 731.698.971.000 21

059 KEMENKOMINFO 7 5.220.956.623.000 745.850.946.143 22

082 LAPAN 1 777.498.642.000 777.498.642.000 1

051 LSN 1 805.446.595.000 805.446.595.000 2

020 KEMEN ESDM 11 8.894.063.961.000 808.551.269.182 3

080 BATAN 1 814.880.249.000 814.880.249.000 4

116 LPP RRI 1 864.423.065.000 864.423.065.000 5

083 BIG 1 865.537.644.000 865.537.644.000 6

013 KEMENHUMHAM 11 10.131.575.923.000

921.052.356.636 7

117 LPP TVRI 1 930.262.532.000 930.262.532.000 8

081 BPPT 1 977.094.382.000 977.094.382.000 9

103 BNPB 1 986.902.448.000 986.902.448.000 10

093 KPK 1 1.101.130.137.000 1.101.130.137.000 11

121 BEKRAF 1 1.157.724.467.000 1.157.724.467.000 12

Page 45: Dewan Direksi

41

K/L Unit Pagu HRPA 2016 Rata-rata Pagu/Unit Urutan per Kuartil

112 BPKPB & PB BATAM 1 1.169.799.756.000 1.169.799.756.000 13

079 LIPI 1 1.216.088.234.000 1.216.088.234.000 14

047 KEMEN PP & PA 1 1.269.331.578.000 1.269.331.578.000 15

044 KEMEN KOP & UKM 1 1.277.994.952.000 1.277.994.952.000 16

005 MA 7 8.964.879.492.000 1.280.697.070.286 17

066 BNN 1 1.416.122.988.000 1.416.122.988.000 18

055 KEMENPPN/BAPPENAS 1 1.463.944.435.000 1.463.944.435.000 19

032 KEMEN KP 10 15.801.192.731.000

1.580.119.273.100 20

050 BIN 1 1.592.602.925.000 1.592.602.925.000 21

075 BMKG 1 1.607.180.481.000 1.607.180.481.000 1

063 BPOM 1 1.617.444.585.000 1.617.444.585.000 2

089 BPKP 1 1.678.602.257.000 1.678.602.257.000 3

076 KPU 1 1.716.479.187.000 1.716.479.187.000 4

004 BPK 2 3.600.864.073.000 1.800.432.036.500 5

107 BASARNAS 1 1.987.727.561.000 1.987.727.561.000 6

027 KEMENSOS 7 15.289.443.575.000

2.184.206.225.000 7

002 DPR 2 4.659.970.787.000 2.329.985.393.500 8

018 KEMENTAN 12 32.853.133.229.000

2.737.761.102.417 9

092 KEMENPORA 1 2.851.638.316.000 2.851.638.316.000 10

015 KEMENKEU 12 40.499.457.364.000

3.374.954.780.333 11

023 KEMENDIKBUD 13 49.232.799.474.000

3.787.138.421.077 12

068 BKKBN 1 3.864.657.742.000 3.864.657.742.000 13

006 KEJAKSAAN 1 4.706.013.339.000 4.706.013.339.000 14

042 KEMENRISTEK & PT 7 37.987.978.612.000

5.426.854.087.429 15

054 BPS 1 5.656.879.192.000 5.656.879.192.000 16

025 KEMENAG 10 58.482.058.585.000

5.848.205.858.500 17

022 KEMENHUB 8 50.160.359.782.000

6.270.044.972.750 18

024 KEMENKES 8 64.804.497.001.000

8.100.562.125.125 19

033 KEMEN PU & PERA 12 103.812.178.082.000

8.651.014.840.167 20

012 KEMENHAN 5 95.919.798.831.000

19.183.959.766.200

21

060 POLRI 1 67.232.730.717.000

67.232.730.717.000

22

Dalam penelitian deskriptif, menurut Gay

dan Diehl (1992) jumlah sampel minimum

adalah 10% dari populasi. Seperti telah

disampaikan di atas, dari populasi K/L di

Indonesia, maka jumlah sampel

minimumnya yaitu 8,7 atau 9 K/L.

Page 46: Dewan Direksi

42

Penelitian ini menggunakan metode

sampling sistematik berstrata. Strata yang

dimaksud dilihat dari jumlah unit dan pagu

setiap K/L. Dari jumlah unit dan jumlah

pagu tersebut, dihitung rata-rata pagu per

unit (rata-rata tertimbang). Strata satu (S1)

yaitu kelas yang berisi K/L yang rata-rata

tertimbang pagunya 25% dari rata-rata

tertimbang pagu yang terendah

(menggunakan metode kuartil), kemudian

seterusnya ada strata dua (S2), strata tiga

(S3)dan strata empat (S4). Dari masing-

masing strata tersebut dipilih beberapa K/L

sebagai sampel.Sebagai contoh, diambil

dari S2 yaitu data ke-2, data ke-12 dan data

ke-22 yang dipilih sebagai sampel.

Berdasarkan pertimbangan peneliti,

Kementerian Keuangan sebagai pembuat

kebijakan SSB perlu dijadikan sebagai

sampel. Jadi, keseluruhan terdapat sebelas

sampel yang digunakan dalam penelitian

ini.

Tabel 4.2 Daftar Kementerian Negara/Lembaga Terpilih Menjadi Sampel

Strata Ke- Urutan per Kuartil

K/L Sampel

I 1 Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas)

11 Badan Nasional Pengelola Perbatasan(BNPP)

21 Badan Pengembangan Wilayah (BPW) Suramadu

II 2 Kementerian Badan Usaha Milik Negara (Kemen BUMN)

12 Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko Kesra)

22 Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo)

Strata Ke- Urutan per Kuartil

K/L Sampel

III 3 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kemen ESDM)

13 Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BPKPB & PB Batam)

IV 4 Komisi Pemilihan Umum (KPU)

11 Kementerian Keuangan (Kemenkeu)

14 Kejaksaan Republik Indonesia

4.2 Output Jasa Layanan Non-Regulasi

Output jasa layanan non-regulasi

yaitu output dari suatu kegiatan yang

merupakan layanan dari suatu instansi

pemerintah. Layanan yang dimaksudkan

yaitu layanan yang merupakan penjabaran

tugas dan fungsi dari instansi pemerintah.

Pada sub bab ini akan diuraikan tugas dan

fungsi K/L sampel dan output yang

termasuk output jasa layanan non-regulasi.

1. Berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, tugas

dan wewenang Kejaksaan diantaranya

pengawasan aliran kepercayaan yang

dapat membahayakan masyarakat

dan negara, peningkatan kesadaran

hukum masyarakat dan melakukan

penyidikan terhadap tindak pidana

tertentu berdasarkan undang-undang.

Output jasa layanan non-regulasi dari

Kejaksaan antara lain laporan

pengawasan aliran kepercayaan

masyarakat di Kejaksaan Tinggi (1102

003), pelaksanaan pers gathering pada

satker kejaksaan di daerah (1103 008)

dan penanganan perkara tindak

pidana umum khusus (1108 007).

2. Berdasarkan Peraturan Presiden

Nomor 28 tahun 2015 tentang

Kementerian Keuangan dan Peraturan

Page 47: Dewan Direksi

43

Menteri Keuangan Nomor

234/PMK.01/2015 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Kementerian

Keuangan, tugas dan fungsi

Kementerian Keuangan Republik

Indonesia antara lain,

menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang keuangan

negara untuk membantu presiden

dalam menyelenggarakan

pemerintahan negara dan perumusan,

penetapan, dan pelaksanaan

kebijakan di bidang penganggaran,

pajak, kepabeanan dan cukai,

perbendaharaan, kekayaan negara,

perimbangan keuangan, dan

pengelolaan pembiayaan dan risiko.

Beberapa output jasa layanan non-

regulasi di Kementerian Keuangan

antara lain, rumusan kebijakan

kerjasama internasional (1676 001),

laporan rekomendasi kebijakan

potensi penerimaan negara (1740

007) dan laporan pemantauan dini

perkembangan ekonomi makro (1741

001).

3. Tugas dan fungsi Kementerian ESDM

antara lain membantu presiden dalam

menyelenggarakan sebagian urusan

pemerintahan di bidang energi dan

sumber daya mineral, perumusan

kebijakan nasional, kebijakan

pelaksanaan dan kebijakan teknis di

bidang energi dan sumber daya

mineral, serta penyampaian laporan

hasil evaluasi, saran dan

pertimbangan di bidang tugas dan

fungsi departemen kepada presiden.

Output jasa layanan non-regulasi dari

Kementerian ESDM antara lain,

monitoring dan evaluasi (1887 003),

laporan penyiapan rumusan program

pengelolaan di bidang mineral dan

batubara (1904 001), dan laporan

penyiapan program aneka energi baru

dan energi terbarukan (4033 011).

4. Kementerian Koordinator Bidang

Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan mempunyai tugas

menyelenggarakan koordinasi,

sinkronisasi dan pengendalian urusan

Kementerian dalam penyelenggaraan

pemerintahan di bidang

pembangunan manusia dan

kebudayaan. Beberapa fungsi dari

Kemenko Kesra yaitu koordinasi dan

sinkronisasi perumusan, penetapan,

dan pelaksanaan kebijakan K/L yang

terkait dengan isu di bidang

pembangunan manusia dan

kebudayaan, pengelolaan barang

milik/kekayaan negara yang menjadi

tanggung jawab Kementerian

Koordinator Bidang Pembangunan

Manusia dan Kebudayaan dan lain

sebagainya. Oleh karena itu, output

jasa layanan non-regulasi dari

Kemenko Kesra antara lain usulan

rekomendasi kebijakan di bidang

warisan budaya (2542 001), usulan

rekomendasi kebijakan bidang

kependudukan dan KB (2546 001), dan

usulan rekomendasi kebijakan di

bidang keolahragaan (2553 001).

5. Pasal 2 Peraturan Presiden Republik

Indonesia Nomor 54 Tahun 2015

Tentang Kementerian Komunikasi dan

Informatika menyatakan bahwa

Kementerian Komunikasi dan

Informatika mempunyai tugas

menyelenggarakan urusan

pemerintahan di bidang komunikasi

dan informatika untuk membantu

Presiden dalam menyelenggarakan

pemerintahan negara. Selanjutnya

pada Pasal 3 menyatakan bahwa

beberapa fungsi Kemenkominfo yaitu

perumusan dan penetapan kebijakan

Page 48: Dewan Direksi

44

di bidang pengelolaan sumber daya

dan perangkat pos dan informatika,

penyelenggaraan pos dan informatika,

penatakelolaan aplikasi informatika,

pengelolaan informasi dan komunikasi

publik, pelaksanaan penelitian dan

pengembangan sumber daya manusia

di bidang komunikasi dan informatika,

dan pelaksanaan bimbingan teknis dan

supervisi atas pelaksanaan

pengelolaan sumber daya dan

perangkat pos dan informatika,

penyelenggaraan pos dan informatika,

penatakelolaan aplikasi informatika,

pengelolaan informasi dan komunikasi

publik. Berdasarkan tugas dan

fungsinya tersebut, beberapa output

jasa layanan non-regulasi dari

Kemenkominfo yaitu, Layanan

Perumusan dan Evaluasi Peraturan

Perundang-undangan Kementerian

Kominfo (3011 001), Layanan

Komunikasi dan Informasi Publik

Kementerian Kominfo (3017 001),

Layanan pengamanan jaringan

internet (3059 001), dan

Kebijakan/Regulasi di Bidang

Telekomunikasi (3064 001).

6. Dalam Pasal 10 Undang-undang

Nomor 3 Tahun 1999 tentang

Pemilihan Umum dan Pasal 2

Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun

1999 tentang Pembentukan Komisi

Pemilihan Umum dan Penetapan

Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat

Umum Komisi Pemilihan Umum,

dijelaskan bahwa untuk melaksanakan

Pemilihan Umum, KPU mempunyai

tugas kewenangan antara lain

merencanakan dan mempersiapkan

pelaksanaan Pemilihan Umum,

menerima, meneliti dan menetapkan

Partai-partai Politik yang berhak

sebagai peserta Pemilihan Umum, dan

memimpin tahapan kegiatan

Pemilihan Umum. Guna mendukung

tugas tersebut, output jasa layanan

non-regulasi KPU yaitu, Penyuluhan

Peraturan Perundang-undangan

Pemilu dan Pemilukada (3363 013),

Bimbingan teknis penyelenggaraan

Pemilukada (3364 006), dan lain-lain.

7. Ruang lingkup tugas utama BNPP

adalah mengelola Batas Wilayah

Negara dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di kawasan

perbatasan yang merupakan

kristalisasi dari amanat Undang-

Undang Nomor 43 Tahun 2008 pasal

15 dan Peraturan Presiden Nomor 12

Tahun 2010 pasal 3, yaitu menetapkan

kebijakan program pembangunan

perbatasan, menetapkan rencana

kebutuhan anggaran,

mengkoordinasikan pelaksanaan dan

melaksanakan evaluasi, dan

pengawasan terhadap pengelolaan

Batas Wilayah Negara dan Kawasan

Perbatasan. Output jasa layanan non-

regulasi dari BNPP antara lain,

Penetapan kebijakan program

pengelolaan batas negara wilayah

darat (4039 023), Perencanaan

kebutuhan anggaran pengelolaan

batas negara wilayah darat (4039 024),

Evaluasi dan pengawasan pengelolaan

lintas batas negara (4041 034).

8. Visi BP Batam yaitu menjadikan

Kawasan Batam sebagai Kawasan

Ekonomi terkemuka Asia Pasifik dan

kontributor utama pembangunan

Ekonomi Nasional. Serta misi-nya

adalah mewujudkan Pulau Batam

sebagai daerah industri hijau

berorientasi ekspor dan mewujudkan

Pulau Batam menjadi kawasan wisata

bahari unggul dan transhipment

perdagangan internasional. Beberapa

Page 49: Dewan Direksi

45

output jasa layanan non-regulasi BP

Batam yaitu, barang dan jasa yang

dilelang melalui elektronik lelang

(5128 001), layanan perijinan lalu

lintas barang (5129 001) dan Dokumen

Legalitas Kavling Siap Bangun yang

diselesaikan (5133 002).

9. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun

2008 tentang Pembentukan Badan

Pengembangan Wilayah Surabaya-

Madura (BPW Suramadu) yang

kemudian disempurnakan dengan

Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun

2009 tentang Pembentukan Badan

Pengembangan Wilayah Surabaya-

Madura (BPW Suramadu) memiliki

tugas dan fungsi untuk melaksanakan

pengelolaan, pembangunan dan

fasilitasi percepatan kegiatan

pembangunan wilayah Suramadu.

Output jasa layanan non-regulasi BPW

Suramadu antara lain laporan

pelaksanaan promosi pengembangan

klaster/kawasan (3966 023) dan

operasional dan pemeliharaan

infrastruktur kawasan (3970 014).

10. Kementerian Badan Usaha Milik

Negara (Kementerian BUMN) memiliki

tugas pokok yaitu menyelenggarakan

urusan di bidang pembinaan BUMN

dalam pemerintahan untuk

membantu Presiden dalam

menyelenggarakan pemerintahan

negara. Sedangkan salah satu fungsi

dari Kementerian BUMN yaitu

perumusan dan penetapan

pelaksanaan kebijakan di bidang

pembinaan BUMN. Tugas pokok dan

fungsi tersebut berdasarkan pada

Peraturan Menteri Badan Usaha Milik

Negara Nomor Per-06/MBU/2014

tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian BUMN. Output jasa

layanan non-regulasi di Kementerian

BUMN antara lain, peraturan

perundang-undangan (2618 001) dan

dokumen pelaksanaan pembinaan

BUMN bidang usaha perkebunan dan

kehutanan (2622 002).

11. Dewan Ketahanan Nasional

(Wantannas) merupakan lembaga

negara yang berkedudukan di bawah

dan bertanggung jawab kepada

Presiden. Wantannas mempunyai

tugas membantu Presiden dalam

menyelenggarakan pembinaan

ketahanan nasional guna menjamin

pencapaian tujuan dan kepentingan

nasional Indonesia. Beberapa output

jasa layanan non-regulasi dari

Wantannas, yaitu kebijakan sistem

nasional bidang lingkungan alam

(5649 001), kebijakan politik dan

strategi bidang politik nasional (5653

001) dan kebijakan penginderaan dan

perkiraan ancaman bidang lingkungan

strategi nasional (5656 001).

Gambaran persentase jumlah

output jasa layanan non regulasi terhadap

seluruh jenis output dari kesebelas K/L

sampel disajikan pada tabel berikut.

Page 50: Dewan Direksi

46

Tabel 4.3 Persentase Output Jasa Layanan Non Regulasi Terhadap Seluruh Jenis Output

Berdasarkan Tabel 4.3 di atas

diperoleh informasi bahwa output jasa

layanan non-regulasi di seluruh K/L berada

di bawah 75% dari seluruh output yang

dimilikinya. Bahkan di beberapa K/L output

jasa layanan non-regulasinya di bawah

50%. Hal itu berarti bahwa sebenarnya

upaya pengefisienan anggaran melalui

kebijakan standar struktur biaya masih

memiliki ruang yang cukup besar untuk

dikembangkan dengan memperhatikan

ketiga jenis output yang lainnya.

Sebelas K/L terpilih tersebut ditarik

data rincian total pagu himpunan RKA-K/L,

kegiatan, output, komponen dan sifat

biaya-nya dari business intelligence.

Selanjutnya, output yang dimiliki

dipisahkan jenisnya yang merupakan

output jasa layanan non-regulasi. Jenis

output inilah yang diuraikan jenis biayanya

(biaya utama dan biaya pendukung). Hasil

perhitungan yang telah dilakukan tampak

pada Tabel 4.4 berikut.

Tabel 4.4 Persentase Biaya Pendukung Output Jasa Layanan Non-Regulasi

Tabel 4.4 dimaksud berisikan

informasi nama sebelas K/L yang dijadikan

sampel. Masing-masing K/L dirincikan total

pagu untuk output jasa layanan non-

regulasi, biaya utama dan biaya pendukung

dari output jasa layanan non-regulasi, serta

persentase biaya pendukung terhadap

total pagu output jasa layanan non-

regulasi. Biaya utama sendiri merupakan

biaya komponen yang berpengaruh secara

langsung terhadap keluaran (output)/ sub

keluaran (sub output). Sedangkan biaya

pendukung merupakan biaya komponen

yang tidak berpengaruh secara langsung

Jumlah Pagu Jumlah Pagu Jumlah Pagu

1. Kejaksaan 505 861.982.780.000 674 4.706.013.339.000 74,93% 18,32%

2. Kemenkeu 1.481 4.322.057.116.000 3.728 30.958.001.840.000 39,73% 13,96%

3. Kemen ESDM 1.431 2.265.385.346.000 3.010 8.894.063.961.000 47,54% 25,47%

4. Kemenkokesra 221 333.514.065.000 286 487.378.446.000 77,27% 68,43%

5. Kemenkominfo 1.049 3.296.118.755.000 1.541 5.220.956.623.000 68,07% 63,13%

6. KPU 52 189.412.665.000 128 1.716.479.187.000 40,63% 11,03%

7. BPW Suramadu 3 9.000.000.000 8 40.260.000.000 37,50% 22,35%

8. BNPP 153 129.446.600.000 251 200.599.529.000 60,96% 64,53%

9. BPKPB & PB Batam 81 92.203.788.000 337 1.169.799.756.000 24,04% 7,88%

10. Kemen BUMN 261 119.371.471.000 450 345.000.000.000 58,00% 34,60%

11. Wantannas 21 5.861.562.000 48 36.420.683.000 43,75% 16,09%

Total Output Persentase Output JLNRNo. K/L

Output JLNR

No. K/L Total Pagu Output JLNR Biaya Utama Biaya Pendukung Persentase

1. Kejaksaan 861.982.780.000 825.163.811.000 36.818.969.000 4,27143%

2. Kemenkeu 4.322.057.116.000 4.300.024.939.000 22.032.177.000 0,50976%

3. Kemen ESDM 2.265.385.346.000 2.079.828.774.000 185.556.572.000 8,19095%

4. Kemenkokesra 333.514.065.000 302.077.542.000 31.436.523.000 9,42585%

5. Kemenkominfo 3.296.118.755.000 3.094.379.961.000 201.738.794.000 6,12050%

6. KPU 189.412.665.000 184.064.835.000 5.347.830.000 2,82338%

7. BPW Suramadu 9.000.000.000 0 9.000.000.000 100%

8. BNPP 129.446.600.000 126.130.648.000 3.315.952.000 2,56164%

9. BPKPB & PB Batam 92.203.788.000 89.830.232.000 2.373.556.000 2,57425%

10. Kemen BUMN 119.371.471.000 119.371.471.000 0 0%

11. Wantannas 5.861.562.000 4.388.722.000 1.472.840.000 25%

Page 51: Dewan Direksi

47

terhadap keluaran (output)/ sub keluaran

(sub output). Kedua jenis biaya ini

ditentukan oleh sistem pada saat

penginputan data RKA-K/L berdasarkan

Rincian Anggaran Biaya (RAB).

Persentase biaya pendukung

output jasa layanan non-regulasi dari

sebelas K/L yang terpilih sebagai sampel

bervariasi. Persentase terendah yaitu dari

Kementerian Keuangan sebesar 0,51%. Hal

ini sekaligus membuktikan bahwa

Kementerian Keuangan sebagai pembuat

kebijakan berhasil memberikan contoh

kepada K/L lain dalam menerapkan

kebijakan SSB. Selain itu delapan K/L lain

juga berhasil menerapkan kebijakan SSB

dalam RKA-K/Lnya di tahun anggaran 2016

ini. Namun demikian, terdapat satu K/L

yang dalam output-nya tidak terdapat

biaya utama, tetapi hanya biaya

pendukung, yaitu BPW Suramadu.Di

samping itu, terdapat pula K/L yang dapat

dikatakan unik lainnya karena dia hanya

memiliki biaya utama tetapi tidak memiliki

biaya pendukung, yaitu Kementerian

BUMN.

Kejadian pada BPW Suramadu dan

Kementerian BUMN memang

memungkinkan terjadi. Akan tetapi, hal

tersebut perlu menjadi perhatian karena

apabila dinilai secara awam merupakan

sesuatu yang ganjil. Dalam suatu kegiatan

terdapat output yang akan dicapai. Guna

mencapai output tersebut, lazimnya,

diperlukan biaya utama dan biaya

pendukung. Oleh karena itu, menurut

peneliti untuk lebih mendalami perihal

evaluasi pelaksanaan implementasi

kebijakan SSB perlu memperhatikan

apakah output jasa layanan non regulasi

dilakukan selama beberapa tahun

berturut-turut atau tidak. Selain itu juga

penentuan suatu biaya termasuk biaya

utama atau pendukung serta penentuan

kategori output mana yang merupakan

output jasa layanan non-regulasi perlu

mendapatkan pedoman atau patokan yang

lebih jelas.

5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Implementasi PMK Nomor

195/PMK.02/2014 tentang Standar

Struktur Biaya yang telah diamanatkan

untuk diterapkan pertama kali pada tahun

anggaran 2016 telah dilaksanakan oleh K/L

dengan baik. Kesimpulan tersebut

diperoleh dari penarikan sampel yang

dipilih menggunakan metode sampling

berstrata dari jumlah populasi 87 K/L. Dari

sebelas K/L yang menjadi sampel output

jasa layanan non-regulasinya berada di

bawah 75% dari seluruh output yang

dimilikinya. Bahkan di beberapa K/L output

jasa layanan non-regulasinya di bawah

50%. Sepuluh K/L telah

mengimplementasikan kebijakan SSB

dengan baik dengan persentase biaya

pendukung terkecil oleh Kementerian

Keuangan sebesar 0,51%. Selain itu

terdapat dua K/L yang memiliki kejadian

unik, yaitu BPW Suramadu yang hanya

memiliki biaya pendukung dan

kementerian BUMN yang hanya memiliki

biaya utama dalam output jasa layanan

non-regulasinya.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis dalam

penelitian ini, masukan yang dapat kami

sampaikan, sebagai berikut.

1. Batasan besaran biaya pendukung

dalam output jasa layanan non-

Page 52: Dewan Direksi

48

regulasi dapat diturunkan, yang

apabila kebijakan untuk menurunkan

ditempuh maka perlu dilakukan

penentuan besaran batasannya

dituangkan dalam kajian tersendiri.

2. Penerapan Standar Struktur Biaya juga

perlu dipertimbangkan untuk

ditetapkan pada jenis output lainnya

seperti jasa layanan regulasi karena

mengingat persentase jumlah output

jasa layanan non-regulasi berada tidak

lebih dari 75% yang berarti masih ada

peluang inefisiensi dalam hal proporsi

biaya pendukung dari sebuah output

jasa layanan regulasi.

3. Standar Struktur Biaya perlu dilihat

tidak hanya pada output jasa layanan

non-regulasi dalam satu tahun

anggaran, tetapi pada satu kesatuan

alokasi untuk kegiatan yang memiliki

output jasa layanan non-regulasi yang

sama selama beberapa tahun seperti

pada kasus BPW Suramadu.

DAFTAR PUSTAKA

Afiah, Nunuy Nur, 2012, Pengembangan Metode Costing untuk Penguatan Peran K/L dan Peran Strategis DJA dalam Mendukung Implementasi

Penganggaran Berbasis Kinerja yang Berkualitas, Jakarta.

Gay, L.R. dan Diehl, P.L. (1992), Research Methods for Business and Management, New York: MacMillan Publishing Company. (Source:http://www.eurekapendidikan.com/2015/09/defenisi-sampling-dan-teknik-sampling.htmlDisalin dan Dipublikasikan melalui Eureka Pendidikan).

Kahar, Muhardi. (2010). Modul Survei Sampel, Jakarta.

Neuman, W. L. (2007). Basic of Social Research: Qualitative and Quantitative Approaches, Second Edition. Pearson Education, Inc.

PMK Nomor 143/PMK.02/2015 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-K/L dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran.

PMK Nomor 195/PMK.02/2014 tentang Standar Struktur Biaya.

Soejono. 2005. Metode Penelitian Deskriptif. Rineka Cipta: Yogyakarta.

Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Zainuddin, M. (2011). Metodologi Penelitian Kefarmasian dan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press.

Page 53: Dewan Direksi

49

SINKRONISASI KEBIJAKAN HONORARIUM STANDAR BIAYA DALAM

KERANGKA SINGLE REMUNERASI PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

Achmad Fauzan Sirat

Email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penganggaran berbasis kinerja lahir

dari suatu keinginan bahwa

menghubungkan antara alokasi dengan

kinerja pemerintah yang didanai.

Penganggaran berbasis kinerja, dilain

pihak, memiliki sisi-sisi lain sebagai

konsekuensi dari suatu pilihan sistem.

Salah satu konsekuensi ini adalah pilihan

dalam penggajian/kompensasi

berdasarkan kinerja.

Standar biaya sebagai salah satu

instrumen penganggaran berbasis kinerja

memiliki peran penting dalam praktik

penganggaran di Indonesia. Sebagai

sebuah instrumen, standar biaya menjadi

kunci efisiensi baik dalam rangka alokasi

dan pelaksanaan anggaran. Namun

demikian, aspek efisiensi dari sebuah

standar biaya tersebut perlu untuk selalu

ditandingkan dengan efektifitas

pelaksanaan kegiatan yang dialokasikan.

Dengan kata lain, sebagai sebuah pilar

standar biaya memiliki dua sisi

pertimbangan dalam penyusunannya

yakni efisiensi sebagai pertimbangan

utama dan efektifitas sebagai

pertimbangan penyeimbang mengingat

alokasi efisien bukan berarti suatu

pelaksanaan pekerjaan tidak dapat

berjalan efektif dalam menunjang

pencapaian kinerja.

Berkenaan dengan sistem

penggajian, diskusi hangat terjadi

mengenai demarkasi antara honorarium

sebagai produk dari standar biaya dan

remunerasi sebagai bentuk penggajian

kepada pegawai pemerintah. Saat

kebijakan remunerasi digulirkan sejak

tahun 2007 terdapat semangat

menghapuskan praktik pemberian honor

yang tersebar dalam beberapa kegiatan

dan dimasukkan dalam suatu tatanan

penghasilan terintegrasi, dikenal sebagai

single remuneration system. Hal ini,

disadari ataupun tidak, sejalan dengan

prinsip Unified Budget yang

mengitegrasikan pekerjaan proyek dalam

satu managemen dengan pekerjaan rutin.

Namun demikian, dalam praktiknya

masih timbul beberapa honorarium

disamping pemberian remunerasi. Bahkan

demarkasi antara biaya honor dan

remunerasi menjadi tidak terang dan

dirasa cenderung overlap. Kondisi ini

ditimbulkan dari kurangnya keberadaan

kriteria bagaimana suatu kegiatan

membutuhkan tambahan honorarium atau

tidak.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, sinkronisasi

dari kebijakan honorarium perlu dilakukan

Page 54: Dewan Direksi

50

dengan remunerasi dan agar menjadi

komprehensif harus dimulai dari

pembuatan kriteria. Dalam membuat

kriteria perlu pemetaan mengenai

kegiatan dan kajian mendalam mengenai

aspek-aspek apa yang mempengaruhi

sehingga dapat dikelompokkan dengan

baik.

1.3 Tujuan

a. Apa perbedaan antara Honorarium

dan Remunerasi?

b. Aspek-aspek yang

mempengaruhi/perlu

dipertimbangkan pemberian honor?

c. Bagaimana seharusnya pemberian

honor dipetakan dan dikelompokkan?

d. Apakah seharusnya kriteria-kriteria

dapat ditetapkan sebagai patokan

kebijakan honorarium?

2. METODOLOGI PENELITIAN

Kajian ini berupa kajian eksplorasi

berkenaan dengan kerangka kebijakan

honorarium. Kajian eksplorasi ini bagian

dari kajian kualitatif yang mencoba

merangkai suatu kerangka kerja menilai

kelayakan suatu honor atau setidaknya

pengelompokannya. Kajian dilakukan

dengan melakukan kajian pustaka dari

referensi ilmiah yang bereputasi dan

kerangka peraturan yang sudah

diaplikasikan saat ini.

3. LANDASAN TEORI

3.1 Performance-Based Compensation vs

Seniority-Based Compensation

Performance-based compensation

menjadi topik yang sangat hangat sejalan

dengan meningkatkan pemberlakuan

prinsip-prinsip berbasis kinerja yang

diterapkan dalam birokrasi akhir-akhir ini.

Dalam beberapa kajian disebutkan bahwa

pada dasarnya terdapat beberapa

pertimbangan dalam melakukan

performance-based compensation

tersebut terutama dalam menarik talenta

terbaik untuk bekerja di tempat tertentu,

terutama pada bidang pemerintahan (Beth

J. Asch 2015). Terlebih lagi dalam kajian

lain disebutkan bahwa adanya hubungan

yang sangat kuat antara kompensasi yang

didasarkan oleh kinerja dengan

productivitas kerjanya (Paarsch adn

Shearer 1999, 2000: Lazaer 2000; Haley

2003; Badiera Barankay, and Rasul 2005,

2007). Namun demikian disisi lain

pendekatan ini memiliki dampak lain yang

merupakan konsekuensi dari pilihan

kebijakan dimaksud yang berujung pada

hasil yang sebaliknya. Konsekuensi

tersebut terjadi karena sulitnya

pengukuran kinerja individu pegawai,

kehadiran tujuan perusahaan yang

berbagai macam, tarikan atas pengambilan

keputusan dengan berbagai dimensi, serta

adanya kebutuhan yang bervariasi atas

kinerja organisasi.

Gambar 1. Kompensasi trade off antara kinerja dan pengalaman (deffered

compensation)

Pada dasarnya terdapat dua arus

utama sistem kompensasi yang dipakai dan

Page 55: Dewan Direksi

51

sering diulas dalam beberapa literature,

yakni performance-based compensation

dan seniority based compansation. Secara

konsepsi, performance-based

compensation sangat berbeda dengan

seniority based compansation. Penjelasan

sederhana dapat merujuk pada gambar

diatas. Pendekatan Performance-based

Compensation akan membawa

pembayaran upah pada level yang sama

dengan kinerja yang dicapai. Sedangkan

pada seniority-based compensation upah

yang diberikan akan lebih rendah

dibandingkan kinerja yang dicapai namun

pada seiring dengan berjalannya waktu

(senioritas) tingkat upah akan mendekati

tingkat kinerja dimana pada titik tertentu

akan akan melewati tingkat kinerja

tersebut.

Kedua konsep tersebut memiliki

keunggulan dan kelemahan masing-

masing, dimana performance-based

compensation mengedepankan

current/immediate output sedangkan

seniority-based compensation

mengedepankan steadiness atau

keberlangsungan. Gambar diatas

menjelaskan juga mengenai fenomena

yang dikenal dengan sebutan “deffered

compensation” dimana surplus kinerja

akan dikompensasikan dengan defisit

kinerja dikemudian hari. Berkenaan

dengan hal tersebut, perbedaan mendasar

berkenaan dengan dua konsepsi tersebut

adalah bagaimana kedua konsep tersebut

menangani isu loyalitas dan kestabilan

pendapatan bagi sebuah individu.

Hal yang sangat menarik berkenaan

dengan pay-for-performance adalah

bagaimana konsep ini dapat menggiring

prilaku pekerja kepada hal yang menjadi

indikator utama dalam penentuan besaran

kompensasinya. Shingo Takahashi et.al

(2014) menyatakan bahwa para peneliti

ilmu sosial telah mengenal bahwa kontrak

yang hanya berdasarkan satu indikator

kinerja yang bisa diidentifikasi cenderung

menghasilkan respon yang tidak

semestinya. Sebagai contoh jika salesman

dihargai berdasarkan jumlah

penjualannya, maka dia akan lebih

berfokus pada pekerjaan tersebut tanpa

memperhatikan bahwa salesman tersebut

memiliki tugas lain yakni menchoaching

juniornya. Oleh karena itu, dalam

beberapa hal besaran kompensasi yang

dikaitkan dengan kinerja harus dibuat

dalam proporsi yang tepat. Dengan

demikian konsepsi pay-for-performance

memiliki prasyarat: yakni rumusan kinerja

yang tepat (dengan multi indikator, jika

memungkinkan) dan besaran kompensasi

yang berkaitan dengan kinerja harus

dibuat tidak terlalu jauh (dalam berbagai

referensi 20% atas besaran kompensasi).

Khusus hal yang terakhir, Lazaer

(2000) menyatakan bahwa praktik dalam

sektor privat mengindikasikan pemberian

kompensasi lebih sering tidak secara

explisit terkait dengan indikator kinerja

tertentu, misalnya tingkat penjualan.

Namun lebih pada indikator yang lebih

jelas seperti jumlah jam kerja. Dari sisi

besaran atau jumlah yang dikaitkan

dengan kinerja, menurut Parent (1999)

hanya berkisar 9.4 persen dari semua

pembayaran dibayarkan berdasarkan

kinerja individu seperti tingkat penjualan,

dan 14.2 persen dibayar berupa bonus.

Bahkan dalam beberapa kajian

diindikasikan bahwa disparitas

pendapatan atas top performance dan the

lowest tidak begitu signifikan (Medoff and

Page 56: Dewan Direksi

52

Abraham, 1980; Baker, jensen, and

Murphy, 1988).

Hal yang menjadi simpulan dari

poin ini setidaknya ada ketiga hal. Pertama

adalah tambahan penghasilan yang

dikaitkan dengan suatu kinerja merupakan

praktik yang lumrah berkenaan dengan

pemberian kompensasi kepada pegawai.

Hal kedua adalah bahwa tambahan

tersebut dapat menjadi pemicu kenaikan

kinerja dan sekaligus penurunan atas

kinerja, mengingat ada tidaknya indikator

yang cukup tepat berkenaan dengan

pemberian kompensasi tersebut. Terakhir

adalah bagaimana besaran tambahan

tersebut tidak terlampau jauh

dibandingkan dengan kompensasi

dasarnya dan diantara rekan sejawat.

3.2 Definisi Berkenaan dengan

kompensasi bagi pegawai

Sebelum membahas lebih jauh,

berikut disampaikan berbagai perspektif

mengenai sistem pemberian kompensasi

dari suatu pekerjaan.

a) Gaji (Payroll) vs tunjangan (fringe benefit)15 dalam Praktik di Dunia Privat

Kompensasi bagi pegawai terdiri

dapat berupa gaji (payroll) maupun

tunjangan (fringe benefit). Pada dasarnya

gaji dan tunjangan merupakan manfaat

yang didapat oleh karyawan atas jasa yang

diberikan pada perusahaan yang memakai

jasanya. Namun terdapat perbedaan

antara keduanya, yakni Gaji adalah

penghasilan utama sedangkan tunjangan

(fringe benefit) merupakan tambahan

penghasilan kepada pegawai. Sejalan

15 Referensi utama: Payroll Accounting ,Acccounting Coach diakses pada tanggal 6/11/2015

dengan hal tersebut Tohardi (2002)

menyatakan bahwa pada dasarnya

kompensasi itu dapat dibagi menjadi dua

bagian: direct compensation dan indirect

compensation.

Selanjutnya menurut Hariandja

(2002) Kompensasi pelengkap merupakan

salah satu bentuk pemberian kompensasi

berupa penyediaan paket benefit dan

program- program pelayanan karyawan,

dengan maksud pokok untuk

mempertahankan keberadaan karyawan

sebagai anggota organisasi dalam jangka

panjang. Dengan perkataan lain

kompensasi pelengkap adalah upaya

penciptaan kondisi dan lingkungan kerja

yang menyenangkan dan tidak secara

langsung berkaitan dengan prestasi kerja.

Jenis-Jenis Gaji/Direct

Compensation:

1. Gaji/Upah: terminologi gaji atau upah

biasanya merujuk pada penerimaan

secara periodik yang menjadi dasar

dari pengupahan, sedangkan gaji

biasanya ditujukan untuk pembayaran

pada bagian “white-collar” dan upah

untuk “blue-collar”.

2. Bonus & Komisi: terminologi ini

merupakan pembayaran tambahan

yang berkaitan dengan suatu kinerja

tertentu, misalnya target penjualan.

3. overtime pay/lembur: terminologi ini

merujuk pada pembayaran atas

kelebihan waktu yang dilakukan

pekerja dalam menyelesaikan

pekerjaannya. Pembayaran overtime

tersebut pada dasarnya tidak

menyeluruh dengan dua hal yang

http://www.accountingcoach.com/payroll-accounting/explanation/2

Page 57: Dewan Direksi

53

menjadi dasar pertimbangan, yakni:

tanggungjawabnya dan tingkat

pembayarannya.

Jenis-Jenis Tunjangan Fringe

Benefit/Indirect Compensation

1. payroll taxes and costs

o Social Security

o Medicare

o federal income tax

o state income tax

o state unemployment tax

o federal unemployment tax

o worker compensation insurance

2. employer paid benefits

o holidays

o vacations

o sick days

o insurance (health, dental, vision,

life, disability)

o retirement plans

o profit-sharing plans

b) GFS Manual Definition16

Kompensasi pada pegawai adalah

jumlah total remunerasi, baik dalam

bentuk kas maupun natura, yang terutang

pada seseorang dalam hubungan pemberi

kerja dan pekerja sebagai kompensasi dari

pekerjaan yang dilakukan pekerja dalam

suatu period. Sejumlah yang dibayarkan

tersebut merupakan pertukaran atas jasa

karyawan baik tenaga kasar maupun

intelektual yang dilibatkan dalam proses

produksi yang terjadi dalam suatu unit

organisasi. Namun demikian, dalam

kategori ini tidak termasuk dalam

kompensasi kepada karyawan yang

diberikan pada pembentukan barang

modal mengingat hal tersebut akan

16 Government Finance Statistics manual 2014 – Washington, DC: International Monetary Fund, 2014

diperhitungkan sebagai biaya pokok

pembentukan barang modal tersebut.

Selain itu, kompensasi bagi karyawan juga

dikecualikan dari suatu kegiatan dimana

tidak ada hubungan pemberi kerja dan

pekerja, seperti Kontraktor, dan self-

employed outworkers (pekerja

lepas/bukan pegawai tetap).

Demarkasi atas kompensasi pada

pegawai dan klasifikasi dengan tidak

adanya hubungan pekerjaan dapat

dijelaskan pada bagian dalam GFS Manual

sebagai berikut:

- Kompensasi diberikan kepada pekerja

yang bukan merupakan pegawai dari

pemerintah/instansi tertentu harus

dimasukkan sebagai bagian dari belanja

barang

- Hubungan kerja terjadi saat terjadi suatu

perjanjian, baik tertulis maupun tidak,

formal maupun tidak, antara institusi

dan individu, atas kesepakatan kedua

belah pihak, dimana individu pekerja

dimaksud bekerja dengan imbalan

remunerasi baik dalam bentuk uang

ataupun natura.

- Jika seseorang dikontrak untuk

mengerjakan sebuah tugas yang

spesifik, disarankan hal tersebut

dilakukan secara tanpa adanya

hubungan pekerja dan pemberi kerja,

namun dibentuk dalam hubungan

kontraktual antara institusi dan individu

tersebut.

Sebuah indikasi apakah telah

terjadi hubungan pekerja dengan pemberi

kerja dapat dilakukan dengan

menggunakan kaidah sebagai berikut:

Page 58: Dewan Direksi

54

1. Ada tidaknya pengendalian baik untuk

mengendalikan secara personal atau

untuk mengarahkan bagaimana

pekerjaan dilakukan;

2. apakah seorang pekerja membayar

sendiri sosial contribution yang ada

atau tidak.

3. Apakah seseorang mendapatkan

benefit lain yang diberikan oleh

pemberi kerja kepada pekerjanya

(misalnya: tunjangan, fasilitas,

pembayaran/tunjangan pajak dan lain

sebagainya.)

Beberapa penggunaan barang atau

jasa yang digunakan oleh pemerintah yang

tidak masuk secara langsung dalam proses

produksi namun dikonsumsi oleh pegawai

dalam melaksanakan proses tersebut.

Secara umum, ketika barang atau jasa

digunakan oleh pegawai atas kemauan

atau dalam penguasan waktu mereka

untuk kepentingan/kebutuhan pribadi

pegawai, barang atau jasa tersebut

merupakan remunerasi in kind (dalam

bentuk natura). Namun demikian, ketika

penggunaan barang dan jas tersebut

adalah suatu keharusan agar pegawai

dapat melaksanakan tugasnya, maka hal

tersebut akan diperhitugkan sebagai

penggunaan barang dan jasa atau bukan

bagian dari remunerasi. Contohnya:

1. Alat yang digunakan dalam pekerjaan

2. Pakaian atau alat lain yang konsumen

scara umum tidak akan

menggunakan/membeinya atau

dipakai dan yang digunakan secara

khusu pada saat melakukan kerja for

example, protective clothing, overalls,

or uniforms;

3. Jasa Akomodasi pada tempat kerja

atau tempat sejenisya yang tidak dapat

dimiliki oleh rumahtangga dimana

pekerja menggunakannya: seperti

barak, kabin, dormitori, huts dll.

4. Makanan khusus yang diberikan dan

dibtuhkan secara khusus dalam suatu

kondisi kerja tertentu, pada saat

perjalanan dinas dan pada saat

melakukan pekerjaan.

5. Perubahan fasilitas, kamar mandi dlsb

yang dibutuhkan pada tempat kerja

6. Fasilitas pertolongan pertama,

pemeriksaan kesehatan atau lainnya

yang dibutuhkan pada pekerjaan.

Walaupun pegawai membelinya dan

dilakukan penggantian atas

pembeliaannya nanti, hal tersebut tetap

masuk sebagai bagian dari penggunaan

barang dan jasa, bukan sebagai gaji atau

tunjangan dari pegawai.

Menurut GFS, kompensasi kepada

pegawai baik dalam bentuk kas atau

natura, diluar social contribution payable

for employers, dapat berupa:

a. Gaji Dasar/Hutang Gaji yang dibayar

secara periodik, termasuk pada yang

dibayar atas dasar piece rate atau

tunjangan khusus dari lembur atau

pemberian tunjangan saat bekerja jauh

dari domisili atau pada daerah

berkecamuk atau berbahaya,

tunjangan expatriaton saat bekerja

jauh di luar negeri, dan lain sebagainya.

b. Tunjangan Tambahan (Supplementary

allowances) yang dibayar secara

reguler, contoh tunjangan perumahan,

kecuali social benefit;

c. Gaji/Tunjangan lain pada pegawai yang

pergi dalam waktu singkat, misalnya:

liburan atau cuti;

d. Tunjangan tambahan tahunan, seperti

bonus and “13th month” pay;

e. Bonus Ad hoc atau pembayaran khusus

yang terhubung langsung dengan

Page 59: Dewan Direksi

55

skema umum pemberian insentif

dalam perusahaan;

f. Komisi, gratifikasi , dan tips yang

diterima oleh pegawai: ini harus

dimasukkan dalam pembayaran untuk

layanan yang diberikan oleh unit

mempekerjakan pekerja, bahkan

ketika mereka dibayarkan langsung

kepada karyawan oleh pihak ketiga.

Mereka dengan demikian dianggap

sebagai dibayar oleh pekerja kepada

karyawan .

Hal ini tidak termasuk :

1. Penggantian perjalanan , relokasi , atau

biaya terkait dibuat oleh karyawan

ketika mereka mengambil pekerjaan

baru atau diwajibkan oleh majikan

mereka untuk memindahkan rumah

mereka ke bagian berbeda negara atau

ke negara lain

2. Penggantian biaya yang dikeluarkan

oleh karyawan pada peralatan,

perlengkapan, pakaian khusus, atau

barang-barang lainnya yang diperlukan

secara eksklusif, atau terutama, untuk

memungkinkan mereka untuk

melaksanakan pekerjaan mereka

mengecualikan manfaat sosial

dibayarkan oleh pemerintah kepada

karyawan mereka dalam bentuk :

3. Anak, pasangan, keluarga, pendidikan ,

atau tunjangan lainnya sehubungan

tanggungan

4. Pembayaran dilakukan pada full , atau

dikurangi , tingkat upah atau gaji untuk

pekerja absen dari pekerjaan karena

sakit , luka karena kecelakaan , cuti

hamil , etc.10

5. pembayaran pesangon kepada pekerja

atau korban mereka yang kehilangan

pekerjaan mereka karena redundansi ,

ketidakmampuan , kematian, dll

Termasuk dalam jenis (natura):

1. Makanan dan minuman yang

disediakan secara teratur, termasuk

unsur subsidi dari kantin kantor (untuk

alasan praktis, tidak perlu untuk

membuat estimasi untuk makanan dan

minuman yang dikonsumsi sebagai

bagian dari aparat hiburan resmi atau

selama perjalanan bisnis)

2. Pakaian atau alas kaki yang karyawan

dapat memilih untuk memakai sering di

luar tempat kerja dan di tempat kerja

3. layanan Perumahan atau akomodasi

dari jenis yang dapat digunakan oleh

semua anggota rumah tangga yang

karyawan milik

4. Layanan kendaraan atau barang tahan

lama lainnya disediakan untuk

penggunaan pribadi karyawan

5. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh

majikan, seperti perjalanan gratis di

pesawat terbang atau kereta api

pemerintah

6. Olahraga, rekreasi, atau fasilitas

liburan bagi karyawan dan keluarga

mereka

7. Transportasi ke dan dari tempat kerja,

gratis atau parkir bersubsidi, ketika

dinyatakan harus

8. harus dibayar untuk

9. penitipan anak untuk anak-anak

karyawan

10. Nilai dari bunga oleh majikan ketika

mereka memberikan pinjaman kepada

karyawan di dikurangi atau bahkan nol

tingkat bunga untuk keperluan

membeli rumah, kendaraan, furniture,

atau barang atau jasa lainnya (jumlah

ini juga dicatat sebagai piutang bunga

seperti yang dijelaskan dalam ayat

11. Dalam kasus perusahaan publik, upah

dan gaji dalam bentuk juga dapat

Page 60: Dewan Direksi

56

mencakup saham bonus atau saham

dibagikan kepada karyawan.

Kontribusi sosial dibayar oleh pengusaha

untuk dana sosial keamanan, dana pensiun

yang terkait dengan ketenagakerjaan, atau

skema asuransi sosial tenaga kerja terkait

lainnya untuk mendapatkan hak untuk

benefit sosial bagi karyawan mereka.

c) Honorarium

Dalam pengertian yang didapat

dari web wikipedia.org, honorarium adalah

pembayaran ex-gratia (yaitu pembayaran

yang dilakukan tanpa adanya keharusan

atau kewajiban hukum dari yang

memberikan) dibuat untuk seseorang atas

jasanya sesuai kapasitasnya selaku relawan

atau untuk jasa yang secara tradisi tidak

diberikan pembayaran. Pembayaran

seperti Ini digunakan oleh kelompok-

kelompok seperti sekolah atau klub

olahraga untuk membayar pelatih untuk

biaya mereka. Contoh lain termasuk

pembayaran untuk pembicara tamu di

sebuah konferensi untuk menutupi

perjalanan , akomodasi, atau waktu

persiapan mereka.

Dengan kata lain dari pengertian

tersebut, kata honorarium mengacu pada

pemberian sebagai bentuk penghargaan

kepada seseorang mengingat biasanya hal

yang dilakukan bukan sesuatu yang

dibayar. Hal inilah yang melandasi

bagaimana standar atas pemberian

penghargaan tersebut tidak terdapat di

pasar.

3.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Besarnya Kompensasi

Organisasi atau perusahaan dalam

setiap pemberian kompensasi kepada

karyawan mempunyai beberapa faktor

yang mempengaruhi pemberian

kompensasi.

Menurut Tohardi (2002) faktor-faktor yang

mempengaruhi besar kecilnya kompensasi

antara lain adalah produktivitas,

kemampuan untuk membayar, kesediaan

untuk membayar, penawaran dan

permintaan tenaga kerja, organisasi

karyawan, dan peraturan perundang-

undangan. Senada dengan pendapat

tersebut, Hasibuan (2003) menyebutkan

faktor-faktor yang mempengaruhi

besarnya kompensasi, antara lain sebagai

berikut: Penawaran dan permintaan

tenaga kerja, Kemampuan dan kesediaan

perusahaan, Serikat buruh/Organisasi

karyawan, Pemerintah dengan undang-

undang Keppres, Biaya hidup/Cost of

living, Posisi jabatan karyawan, Pendidikan

dan pengalaman kerja, Kondisi

perekonomian nasional, dan Jenis dan sifat

pekerjaan.

Berdasarkan pendapat diatas dapat

disimpulkan bahwa posisi jabatan

karyawan, jenis pekerjaan yang dilakukan

dan kemampuan perusahaan tersebut

untuk membayar merupakan faktor-faktor

yang mempengaruhi besar kecilnya

pemberian balas jasa dan kompensasi

terhadap karyawan. Dalam konteks

kebutuhan penyusunan standar biaya,

selayaknya posisi dan jenis pekerjaan yang

akan diberikan kompensasi menjadi

perhatian dalam perumusan besaran.

Namun demikian ada hal lain yang tidak

kalah penting yakni bagaimana pemberi

kerja (pemerintah) mampu membayar atas

jasa yang diberikan tersebut. untuk itu,

selain dari posisi penerima, pertimbangan

dari sisi pemberi berupa ketersediaan dana

(fiscal space) harus menjadi perhatian.

Page 61: Dewan Direksi

57

Secara umum dari beberapa hal

yang menjadi rujukan dalam kajian ini

dapat ditarik beberapa kesimpulan yang

dapat digunakan sebagai kerangka pikir

dalam penetapan honor beserta

besarannya. adapun beberapa kriteria

yang perlu dilakukan sebagai berikut:

1. Pembuatan Klasifikasi Kompensasi

Kepada Pegawai

2. Pengelompokan Kompensasi

3. Formulasi Penghitungan Besaran

4. Penentuan Besaran

Berkenaan dengan hal tersebut,

proposal disampaikan sehubungan dengan

penetapan klasifikasi yang akan menjadi

kerangka pikir dalam kajian ini.

Gambar 2. Kerangka Pikir Single Remunerasi

Terdapat empat kuadran

pemberian pemberi kerja kepada pegawai

yang dapat dijadikan kerangka pikir dalam

pengambilan kebijakan kompensasi.

Adapun empat kuadran tersebut adalah

sebagai berikut:

a. Gaji

Gaji merupakan pembayaran secara

berkala kepada pegawai sebagai

bentuk imbalan atas jasa yang diterima

dari pegawai. Termasuk didalamnya

adalah pembayaran overtime (lembur).

Dasar filosofi dari gaji adalah segala

sesuatu yang diperjanjikan pada saat

perikatan kerja antara pekerja dan

pemberi kerja. Dalam praktik, gaji tidak

dibedakan baik dibayar harian,

mingguan, bulanan. Hal yang menjadi

pokok untuk mengidentifikasi gaji ada

kesepakatan awal sebelumnya dan

kompensasi apa yang menjadi

imbalannya.

b. Tunjangan

Tunjangan merupakan tambahan

penghasilan pegawai yang diberikan

baik yang dibayarkan bersamaan

dengan gaji ataupun tidak, misalnya

tunjangan istri, tunjangan anak,

tunjangan pajak, tunjangan jabatan

termasuk juga bonus dan komisi.

Tunjangan lebih bersifat optional. Pada

umumnya tunjangan biasanya sejalan

dan dibayarkan atas dasar gaji

pegawai. Hal yang membedakan

adalah proporsi antara keduanya yang

secara umum menempatkan gaji pada

tempat yang lebih besar.

c. Honorarium

Honorarium merupakan pembayaran

yang diberikan kepada seseorang yang

melaksanakan penugasan diluar

kesepakatan kerja awal atau sebagai

pembayaran atas pekerjaan yang

dilakukan tanpa hubungan pekerja dan

pemberi kerja. seperti keanggotaan

dalam tim.

d. Fasilitas

Fasilitas merupakan pemberian sarana

yang diberikan untuk kelancaran dalam

pelaksanaan tugas. Pengertian sarana

dalam hal ini adalah alat yang

digunakan dalam pelaksanaan

tugasnya. Dalam perkembangan, alat

tersebut dapat diberikan dalam uang

untuk kepentingan pelaksanaan tugas.

Page 62: Dewan Direksi

58

Contoh dari fasilitas adalah kendaraan

operasional, baju seragam, peralatan

kerja dsb.

Konsekuensi dari pengelompokkan

tersebut akan berakibat pada pendekatan

yang perlu dilakukan berkenaan dengan

perumusan kebijakan terkait dengan

segala kompensasi kepada pegawai.

Secara konsepsi penerapan standar biaya

harus mempertimbangkan 3 aspek secara

bersamaan, yakni:

a. Aspek fiskal

Setiap penetapan standar biaya akan

mempengaruhi besaran biaya

dialokasikan dari kemampuan

keuangan daerah yang tersedia

(kapasitas fiskal daerah). Oleh karena

itu, penetapan standar biaya seefisien

mungkin mengingat perubahan

(kenaikan) standar biaya dapat

mengurangi alokasi pada sektor yang

lain.

b. Efektifitas

Setiap standar biaya yang ditetapkan

harus diupayakan agar dapat

membiayai kegiatan secara efektif.

Adanya aspek fiskal tidak berarti

kegiatan akan menjadi tidak terbiayai

secara tuntas. Oleh karena itu,

memastikan standar biaya ditetapkan

pada angka rasional menjadi penting

sebagai salah satu pertimbangan.

c. Efek Sistem

Penetapan standar biaya juga harus

mempertimbangkan keberadaan

satuan biaya lainnya, khususnya satuan

biaya yang dasar perhitungannya atau

jenisnya sama. Hal ini berarti juga pada

saat terdapat perubahan disatu

standar akan berefek secara relatif

pada standar biaya lainnya.

4. PEMBAHASAN

4.1 Kebijakan Honorarium Standar Biaya

dari Tahun ke Tahun

4.1.1 Alokasi Belanja terkait dengan

Penghasilan Pegawai

Alokasi belanja pegawai dari tahun

ke tahun meningkat, seiring dengan

meningkatnya satuan gaji pokok sebanyak

6% selama tahun 2009-2014 dan

pemberian tunjangan kinerja pada

kementerian/lembaga sejak tahun 2008.

Peningkatan total gaji dan tunjangan yang

melekat pada gaji sejak 10 tahun terakhir

beranjak dengan laju peningkatan sebesar

13% selama lima tahun terakhir. Sejalan

dengan hal tersebut peningkatan

tunjangan kinerja juga stabil dengan laju

peningkatan lebih tinggi dengan rata-rata

sebesar 36%.selama lima tahun. Hal yang

menarik adalah penurunan alokasi untuk

honor tetap (seperti honor penilik sekolah,

vakasi dll) serta lembur yang secara

tradisional dikenal dengan tingkat

penurunan rata-rata 26% selama kurun

waktu yang sama. Hal ini menunjukaan

bahwa dalam satu sisi kebijakan

remunerasi telah berhasil mengubah

paradigma alokasi kedalam sistem

penggajian tunggal. Namun disisi lain

kerangka sistem penggajian tunggal mulai

meninggalkan sistem overtime, jika

diperlukan waktu lebih dalam

melaksanakan pekerjaan. Selain itu sistem

lama berkenaan dengan insentif tambahan

juga mulai ditinggalkan. Hal ini tergambar

secara ringkas dalam grafik 1.

Page 63: Dewan Direksi

59

Grafik 1. Komposisi Belanja Pegawai 2005-2015 (dalam juta)

Grafik 2 menggambarkan

bagaimana perilaku biaya birokrasi terkait

dengan honor atau yang ada kaitannya

dengan penghasilan pegawai selama kurun

waktu 2008-2015. Dalam grafik tersebut,

alokasi yang dimasukkan sebagai

pertimbangan adalah berkenaan dengan

honor tim Adhoc pengelola keuangan,

honor tim terkait dengan output, dan

honor narasumber. Alokasi honor

pengelola keuangan meningkat sejalan

dengan perkembangan jumlah satker dan

ini merupakan mandat tetap atas

pengelolaan keuangan yang ada. Perilaku

biaya ini tidak mengkhawatirkan

mengingat kontrol atas satuan biaya ini

sudah sangat jelas baik dari sisi penerima

maupun jumlah yang dapat diberikan.

Dilain pihak, perkembangan honor terkait

output kegiatan, yakni honor-honor tim

pelaksana kegiatan, berkembang secara

rata-rata 16% selama 5 tahun terakhir

dengan nilai total tertinggi sampai dengan

Rp. 13 trilyun. Hal ini masih cukup tinggi

mengingat semangat penggajian secara

tunggal serasa belum cukup efekif jika

dilihat dari perkembangan atas

pembayaran honor dimaksud.

Terakhir, berkenaan dengan

pembayaran honor narasumber, data

menunjukkan hal yang lebih menarik

mengingat pertumbuhan alokasi

mengalami kenaikan sebesar 33% selama

kurun waktu sama tol dan, secara proporsi,

alokasi pada tahun 2015 sudah mencapai

separuh dari alokasi honorarium tim

pelaksana kegiatan.

Page 64: Dewan Direksi

60

Grafik 2. Honor Adhoc dan Belanja Honor lainnya (dalam juta)

Dari deskripsi data tersebut diatas,

dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan

remunerasi yang ada selama ini belum

cukup efektif menekan laju pertumbuhan

honor-honor adhoc yang selama ini

berjalan. Hal ini dibuktikan dengan

peningkatan atas gaji serta tunjangan

dengan honor-honor adhoc lainnya.

Kedua, penurunan honor tetap dan lembur

yang selama ini menjadi penghasilan

bersifat variable bagi pegawai diganti

dengan alokasi honor adhoc. Ketiga,

kebijakan honor adhoc dan honor lainnya

sedikit banyak berpengaruh pada perilaku

K/L dalam mengalokasikan dananya,

terutama untuk hal yang bersifat variabel.

4.1.2 Bentuk Rumusan Kebijakan

Honorarium

Kebijakan Honorarium dalam

standar biaya tertuang dalam tiga bentuk

produk, yakni Peraturan Menteri

Keuangan tentang Standar Biaya Masukan

yang dikeluarkan tahunan, Peraturan

Menteri Keuangan yang dikeluarkan

tersendiri berkenaan dengan honorarium

tertentu, dan Surat Persetujuan Standar

Biaya Masukan lainnya. Kebijakan ini

terangkum dalam Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 71/MK.02/2013.

Sedangkan terkait dengan gaji dan

tunjangan (remunerasi) tertuang dalam

produk kebijakan yang berbentuk

Keputusan Presiden. Saat ini, pemrosesan

PMK Standar Biaya dan SBM lainnya

dilakukan pada Direktorat Sistem

Penganggaran sedangkan Keppres

mengenai gaji dan tunjangan diproses

pada Direktorat Harmonisasi Peraturan

Penganggaran.

Perkembangan rumusan kebijakan

honorarium yang tercantum dalam

Peraturan Menteri Keuangan tentang

Standar Biaya Masukan terlihat sangat

dinamis sebagai mana dapat dilihat pada

tabel 1. Baik dari sisi pengelompokannya,

besaran honorariumnya atau bahkan

masuk tidaknya dalam sebuah pengaturan.

Dinamika pengelompokan honor terlihat

dari perubahan atas penempatan jenis

honorariumnya dari tahun ke tahun.

Dinamika juga berlaku pada uraian

penjelasan atas honorarium dimaksud.

Walaupun tidak sedinamis yang lain,

Page 65: Dewan Direksi

61

besaran honorarium berubah pada

beberapa bagian secara parsial sehingga

perubahan terlihat beragam.

Tabel 1. Daftar Honor SBM dari Tahun ke Tahun No 2016 2015 2014 2013 2012

1. Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan

2. Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai

Honor Penanggung Jawab Pengelola Keuangan pada satker yang khusus mengelola belanja pegawai

3. Honor Pengadaan Barang/Jasa

Honor Pengadaan Barang/Jasa

Honor Pengadaan Barang/Jasa

Honor Pengadaan Barang/Jasa/ULP

Honor Pengadaan Barang/Jasa/ULP

4. Honor Perangkat ULP

Honor Perangkat ULP

5. Honor Penerima Hasil Pekerjaan

Honor Penerima Hasil Pekerjaan

Honor Penerima Hasil Pekerjaan

Honor Penerima Hasil Pekerjaan

Honor Penerima Hasil Pekerjaan

6. Honor Pengelola PNBP

Honor Pengelola PNBP

Honor Pengelola PNBP

Honor Pengelola PNBP

Honor Pengelola PNBP

7. Honor Pengelola SAI

Honor Pengelola SAI

Honor Pengelola SAI

Honor Pengelola SAI

Honor Pengelola SAI

8. Honor Pengurus/Penyimpan BMN

Honor Pengurus/Penyimpan BMN

Honor Pengurus/Penyimpan BMN

Honor Pengurus/Penyimpan BMN

Honor Pengurus/Penyimpan BMN

9. Honor Kelebihan Jam Perekayasaan

Honor Kelebihan Jam Perekayasaan

Honor Kelebihan Jam Perekayasaan

Honor Kelebihan Jam Perekayasaan

Honorarium Peneliti

Honor Kelebihan Jam Penelitian

10. Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan

Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan

Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan

Honor Penunjang Penelitian/Perekayasaan

11. Honor Narasumber Honor (Narasumber, Moderator, Pembawa Acara, Panitia, Narasumber LN)

Honor Kegiatan Seminar (Narasumber dan Moderator)

Honor Kegiatan Seminar (Narasumber dan Moderator)

Honor Kegiatan Seminar (Narasumber dan Moderator)

Honor Panitia Seminar

Honor Panitia Seminar

Honor Panitia Seminar

12. Honor Penyuluh Pegawai P3

Honor Penyuluh Pegawai P3

Honor Penyuluh Non Pegawai Negeri

Honor Penyuluh Non Pegawai Negeri

Honor Penyuluh Non Pegawai Negeri

13. Satuan Biaya Operasional Penyuluh

Satuan Biaya Operasional Penyuluh

Page 66: Dewan Direksi

62

No 2016 2015 2014 2013 2012

14. Honor Rohaniwan Honor Rohaniwan Honor Rohaniwan Honor Rohaniwan

15. Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan

Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan

Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan

Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Honor Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan

Honor Tim Pelaksanan Kegiatan dan Honor Sekretariat Tim pelaksanan Kegiatan

16. Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website

Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website

Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website

Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website

Honor Tim Penyusun Jurnal/Buletin/Majalah/Pengelola Website

17. Honor Penyelenggaran Sidang Internasional

Honor Penyelenggaran Sidang Internasional

Honor Penyelenggaraan Sidang Internasional

Honor Penyelenggaraan Sidang Internasional

Honor Penyelenggaraan Sidang Internasional

Honor Penyelenggaraan Workshop Internasional

Honor Penyelenggaraan Workshop Internasional

Honor Penyelenggaraan Workshop Internasional

Biaya Narasumber LN

Biaya Narasumber LN

Biaya Narasumber LN

18. Honor Penyelenggaraan Ujian dan Vakasi

Vakasi dan Honor Penyelenggaraan Ujian

Vakasi dan Honor Penyelenggaraan Ujian

Vakasi dan Honor Penyelenggaraan Ujian

Vakasi Penyelenggaraan Ujian

19. Honor Penyelenggaraan Kegiatan DIKLAT

Honor Pengajar DIKLAT

20. Satuan Biaya Uang Makan ASN

Satuan Biaya Uang Makan ASN

Satuan Biaya Uang Makan PNS

Satuan Biaya Uang Makan PNS

Satuan Biaya Uang Makan PNS

21. Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur

Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur

Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur

Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur

Satuan Biaya Uang Lembur dan Uang Makan Lembur

22. Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor

Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor

Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor

Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor

Satuan Biaya Uang Rapat dalam Kantor

23. Satuan Biaya Uang Saku Pemeriksaan dalam lokasi perkantoran yang sama

Satuan Biaya Uang Saku Pemeriksaan dalam lokasi perkantoran yang sama

24. Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti (per Prop)

Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti (per Prop)

Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti (per Prop)

Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti

Honor Satpam, pengemudi, Petugas Kebersihan dan Pramubakti

Daftar tersebut diatas merupakan

honorarium yang tercantum dalam PMK

SBM dari tahun ke tahun. Jika

dikelompokkan honor-honor tersebut

terdiri dari:

Page 67: Dewan Direksi

63

1. Honor terkait pejabat terkait pengelola

keuangan/pejabat

pengadaan/kebendaharaan;

2. Honor terkait penelitian (kelebihan

penelitian/perekayasaan dan

penunjang penelitian/perekayasaan)

3. Honor terkait dengan penyuluhan

(honor dan biaya operasional)

4. Honor tim ad hoc (pelaksana

kegiatan/jurnal/majalah/sidang

internasional dll)

5. Honor Penyelenggaraan ujian dan

vakasi

6. Honor terkait Lembur/Uang Makan

Lembur

7. Honor terkait dengan pelaksanaan

Rapat

8. Honor terkait dengan Biaya

Pemeriksaan yang menjadi TUSI

9. Honor terkait dengan perikatan tenaga

kontrak

(satpam/pengemudi/pramubakti/kebe

rsihan)

Pada umumnya honorarium

diformulasikan berdasarkan metode point

factor. Metode ini meliputi identifikasi

variabel yang mempengaruhi bobot

masing-masing posisi dalam jabatan

tertentu dan penentuan dasar perhitungan

besaran. Variable yang diidentifikasi terdiri

dari tanggung jawab, risiko pekerjaan,

kompleksitas pekerjaan, pendidikan formal

yang dibutuhkan dan pangkat/golong

minimal yang dibutuhkan untuk

menduduki jabatan tersebut. Kelima

variabel tersebut nantinya akan menjadi

indeks yang membedakan antara tingkat

jabatan dalam kelompok jabatan tertentu.

Sedangkan terkait dengan dasar

perhitungan, besaran yang diacu adalah

sama untuk satu kelompok jabatan

tertentu. Besaran ini dapat berupa gaji

pokok untuk golongan tertentu, tarif

lembur dan lainnya.

Dari sekian banyak honor yang

tercantum, honor pejabat terkait

pengelolaan

keuangan/pengadaan/kebendaharaan

diformulasikan secara bersamaan

menggunakan metode point factor.

Sedangkan honor lainnya diformulasikan

secara terpisah. Dengan demikian, patut

diduga bahwa konsistensi perhitungan

yang bisa dijaga secara kesisteman tidak

menyeluruh.

Selain kebijakan Honorarium yang

dimasukkan dalam PMK Standar Biaya

Masukan diatas, terdapat beberapa

honorarium yang dikeluarkan dalam

bentuk Standar Biaya Masukan Lainnya.

Adapun kebijakan yang menjadi contoh

dari bentuk ini antara lain: honorarium

dokter internship, pemberian uang

pengamanan bagi petugas Bea dan Cukai.

Kebijakan ini pada umumnya dikeluarkan

dalam bentuk surat persetujuan Menteri

Keuangan atas dasar usulan dari

Kementerian/Lembaga namun demikian

tidak menutup kemungkinan kebijakan ini

diangkat dalam bentuk satu Peraturan

Menteri tersendiri. Bahkan dalam

beberapa hal, kebijakan honorarium yang

dikeluarkan dalam bentuk surat

persetujuan diintegrasikan dengan

kebijakan umum standar biaya masukan

dalam Peraturan Menteri. Perumusan

SBML tersebut terkadang didasarkan atas

perhitungan mandiri pengusul dengan

konfirmasi lebih lanjut atas perhitungan

yang ada.

Hal tersebut diatas menghasilkan

setidaknya dua kondisi yang menjadi risiko

dalam perumusannya, yakni: konsistensi

atas klasifikasi dan konsistensi atas dasar

Page 68: Dewan Direksi

64

perhitungan. Pada akhirnya, risiko terberat

adalah kebijakan honorarium akan

mengalami penurunan kredibiltas dalam

perumusannya. Untuk mengurangi risiko

tersebut, suatu kriteria yang dapat

menjaga konsistensi atas dua kondisi

dibutuhkan. Klasifikasi dapat dikaitkan

dengan konsepsi pemberian kompensasi

atas pekerjaan secara komprehensif.

Sedangkan dasar perhitungan besaran

akan mengikuti metode yang menjadi

dasar penghitungan pada setiap klasifikasi

yang ada.

4.1.3 Kompleksitas Rumusan Kebijakan

Honorarium

Sebagai konsekuensi atas bentuk

kebijakan yang berbeda beda,

kompleksitas atas Rumusan Kebijakan

Honorarium pun tidak sama. Hal ini dapat

dilihat dari setidaknya dalam tiga indikator,

yakni: baru tidaknya rumusan honorarium,

waktu penyelesaian, dan efek penetapan.

Rumusan kebijakan baru akan berbeda

dengan kebijakan honorarium yang sudah

ada. Hal ini dikarenakan rumusan

kebijakan baru harus mempertimbangkan

dasar perhitungan dari awal, sedangkan

kebijakan yang sudah ada biasanya sudah

lebih stabil dari cara perhitungan dan hal-

hal lain yang menjadi pertimbangan.

Indikator berikutnya adalah

berkenaan dengan waktu penyelesaian.

Panjang pendeknya waktu penyelesaian

rumusan kebijakan dapat mengindikasikan

kompleksnya kebijakan yang akan diambil.

Hal ini dapat terjadi karena luasnya ruang

koordinasi, tidak adanya benchmark, dan

kurangnya pengaturan yang akan menjadi

dasar dari kebijakan.

Sedangkan berkenaan dengan

indikator yang terakhir, efek dari

penetapan merupakan akibat yang muncul

setelah kebijakan ini digulirkan. Pada

beberapa kebijakan, pertimbangan

matang harus benar-benar dilakukan

mengingat dapat saja efek berikutnya dari

kebijakan tersebut adalah berkaitan

dengan penyediaan alokasi dana pada

dokumen anggaran. Sebagai contoh

kenaikan 10% pada tarif uang makan PNS

akan berefek bagi negara setidaknya

tambahan dana 10% dari 4 juta pegawai.

Kompleksitas tersebut semakin

menjadi kendala sekaligus tantangan

mengingat belum ada kriteria yang

disepakati dalam perumusan kebijakan

lebih lanjut. Dilain pihak, kriteria standar

untuk kebijakan honorarium perlu ada

guna adanya kepastian penanganan. Untuk

itu kesepakatan atas kriteria standar dalam

perumusan kebijakan honorarium adalah

sebuah kebutuhan mendasar dalam

kerangka single remunerasi pada

penerapan pengangaran berbasis kinerja.

4.2 Usulan Formulasi Kebijakan Umum

Honorarium Standar Biaya

4.2.1 Evaluasi Rumusan Kebijakan

Honorarium

Sebagaimana dibahas pada bab

sebelumnya, gambaran perumusan

kebijakan honorarium memiliki celah

kebijakan yang perlu segera diisi. Adapun

celah tersebut berkenaan dengan kriteria

perumusan honorarium dalam kerangka

single remunerasi. Kriteria tersebut akan

memperjelas demarkasi antara

kompensasi langsung (direct) dan tidak

langsung (indirect) dalam satu kerangka

kompensasi terhadap pegawai.

Page 69: Dewan Direksi

65

Secara umum honor-honor

tersebut jika diklasifikasikan dalam

kerangka 4 kuadran menjadi sebagai

berikut:

Gaji Tunjangan

1. Honor terkait pejabat terkait pengelola keuangan/pejabat pengadaan/kebendaharaan;

2. Honor terkait Lembur/Uang Makan Lembur

3. Honor Penyelenggaraan ujian dan vakasi

4. Honor terkait dengan perikatan tenaga kontrak (satpam/pengemudi/pramubakti /kebersihan)

5. Honor terkait penelitian (kelebihan penelitian/perekayasaan dan penunjang penelitian/perekayasaan)

6. Honor terkait dengan penyuluhan (honor)

Honor Fasilitas

1. Honor Tim adhoc (pelaksana kegiatan/jurnal/majalah/sidang internasional dll)

2. Honor terkait penelitian (penunjang penelitian/perekayasaan)

1. Honor terkait dengan penyuluhan (biaya operasional)

2. Biaya Pemeriksaan yang menjadi TUSI

Adapun dasar dalam

pengelompokan tersebut adalah

sebagaimana diulas dalam definisi. Gaji

merupakan pembayaran secara berkala

kepada pegawai yang termasuk

didalamnya pembayaran overtime.

Tunjangan merupakan tambahan

penghasilan yang pada prinsipnya bersifat

optional. Honorarium adalah pembayaran

atas penugasan yang berada diluar dari

kesepakatan kerja awal, bersigat adhoc

dan tidak terus menerus. Sedangkan

fasilitas merupakan pemberian sarana

yang diberikan untuk kelancaran dalam

pelaksanaan tugas.

Termasuk dalam kelompok gaji

adalah honor pejabat pengelola

keuangan/pejabat

pengadaan/kebendaharaan. lembur dan

uang makan lembur, honor

penyelenggaraan ujian dan vakasi, honor

terkait dengan perikatan tenaga kontrak,

honor terkait dengan penelitian, dan honor

terkait dengan penyuluhan. Lembur/uang

makan lembur dan penyelenggara ujian

dan vakasi masuk dalam kategori pertama

mengingat keduanya pada dasarnya

semacam overtime atas pelaksanaan

tugas. Lembur bagi pekerja kantor dan

penyelenggaraan ujian/vakasi bagi

pendidik merupakan pelaksanaan

pekerjaan diluar jam operasional utama.

Pekerja kantor akan bekerja diluar jam

kerja, sedangkan untuk pendidik overtime

terjadi pada saat diluar jam mengajar.

Sedangkan honor yang diberikan pada

pekerja dengan perikatan kontrak dan

Penyuluh masuk pada kategori pertama

karena hal inilah yang menjadi sejatinya

penghasilan utama pekerja atas jasa yang

diberikan.

Dalam kelompok tunjangan

terdapat tidak terdapat dalam peraturan

standar biaya masukan eksisting.

Kelompok honor ini merupakan biasanya

terkait dengan penggunaan tunjangan

secara umum yang biasa dituangkan dalam

peraturan lainnya.

Sebagaimana ketentuan pada

dasarnya yang masuk dalam kategori ini

adalah bagian penugasan diluar

kesepakatan kerja awal (tugas tambahan).

Page 70: Dewan Direksi

66

Honorarium yang bersifat ad-hoc ini

dimasukkan dalam kategori honorarium

karena pada dasarnya yang diberikan

merupakan bagian yang tidak

terdefinisikan pada saat perikatan

pekerjaan.

Sedangkan untuk klasifikasi

terakhir, honororium terdiri dari Honor

terkait dengan penyuluhan (biaya

operasional), dan Biaya Pemeriksaan yang

menjadi TUSI. Beberapa pengaturan honor

tersebut pada dasar merupakan fasilitas

yang diberikan oleh negara dalam

pelaksanaan tugasnya. Secara substansi

pengaturan dimaksud tidak termasuk

sebagai honor namun pemberian fasilitas

dalam bentuk pertanggung-jawaban

lumpsum. Hal ini sama halnya jika seorang

pegawai diberikan uang transport pada

saat tidak disediakan kendaraan dinas

untuk menuju lokasi penugasan. Biaya

operasional penyuluh dan biaya

pemeriksaan yang menjadi TUSI pada

dasarnya ada fasilitas yang diberikan

negara.

4.2.2 Usulan Formulasi Kebijakan Standar

Biaya

Sehubungan dengan hasil evaluasi

diatas usulan formulasi kebijakan standar

biaya akan berkisar dari pembedaan honor

dan remunerasi dalam kerangka single

remunerasi, aspek-aspek yang

mempengaruhi, pengelompokkan atau

kategorisasi pemberian honor dalam

kerangka single remunerasi dan

standardisasi kriteria pada tiap kelompok.

Bahasan berikut adalah berkenaan dengan

ke-empat faktor tersebut diatas.

17 http://nasional.tempo.co/read/news/2010/01/26/

1) Kerangka Single Remunerasi.

Kerangka Single Remunerasi adalah

kerangka penghasilan dengan

memperhitungkan semua penghasilan

yang diterima oleh seorang pekerja,

atau dengan kata lain dengan sudut

pandang adalah pekerja sebagai

sebuah individu yang dipekerjakan.

Dalam sebuah artikel koran online,

remunerasi merupakan prasyarat

menuju single salary system yang

diartikan bahwa seorang pegawai

hanya mendapatkan gaji dan tunjangan

tanpa perlu mengharapkan lagi honor-

honor yang berkaitan dengan

pelaksanaan tugasnya17. Untuk itu

pertimbangan dalam formulasi

kebijakan standar biaya harus

memperhitungkan faktor tersebut.

Terdapat setidaknya empat hal yang

perlu dilpertimbangkan dalam

kerangka single remunerasi tersebut,

yakni:

a. apakah suatu pekerjaan merupakan

pekerjaan utama atau pekerjaan

tambahan

b. seberapa banyak waktu yang

dibutuhkan dalam melaksanakan satu

tugas

c. seberapa besar porsi penghasilan

tambahan dibandingkan penghasilan

utama (gaji dan tunjangan) yang

diterima

d. adakah duplikasi pemberian

kompensasi atas pekerjaan antara

pekerjaan utama dan pekerjaan

tambahan

Keempat pertanyaan ini perlu

menjadi standar dalam menilai apakah

063221589/kpk-single-salary-system-bisa-diterapkan-pasca-remunerasi diakses 11/02/2016

Page 71: Dewan Direksi

67

suatu usulan kebijakan masih dalam satu

kerangka atau tidak. Pertanyaan pertama

berkenaan dengan esensi perikaatan

antara pemberi kerja dan pekerja yang

secara alaminya tidak ada pemberi kerja

yang memberi pekerjaan kepada pekerja

untuk melakukan pekerjaan tambahan.

Perlu diingat perspektif yang dipakai

adalah pekerja tersebut. sehingga

seandainya seseorang diangkat sebagai

pramubakti dalam sebuah satker, bagi

pekerja tersebut, itu adalah pekerjaan

utama. Sehingga atas pekerjaan tersebut

diperoleh imbalan atas jasanya berupa gaji.

Pertanyaan kedua berkenaan

dengan pengujian bagaimana suatu

pekerjaan merupakan pekerjaan

tambahan atau tidak. Jika proporsi waktu

pengerjaan pekerjaan tambahan lebih

besar dibandingkan tugas utama, perlu

dievaluasi yang mana yang pekerjaan

tambahan.

Pertanyaan ketiga berkenaan

dengan aspek psikologis dan keadilan

antara tambahan pekerjaan dan tugas

utama. Sebagaimana merujuk kondisi

multitasking, secara psikologis pekerja

akan cenderung mengerjakan apa yang

lebih menguntungkan dari sisi personal.

Dalam konteks ini, jika penghasilan untuk

tugas tambahan atau tambahan

penghasilan lebih besar maka pekerja akan

cenderung memilih tugas tambahan

tersebut mengingat rewardnya. Hal ini

akan terlabih lagi jika reward yang

diberikan bersifat variable terhadap

pekerjaan. Secara konsepsi, lebih besar

penghasilan tambahan dari pada

penghasilan utama akan merusak konsep

keadilan dalam penggajian.

Terakhir, pertanyaan berkenaan

apakah atas penggajian utama sudah

memperhitungkan pekerjaan tambahan

dimaksud. Sejatinya jika pekerjaan

tersebut masih terkait dengan pekerjaan

utama dapat ditenggarai bahwa pekerjaan

tersebut masih dalam jangkauan pekerjaan

utama. Sebagai contoh, seorang petugas

lalu lintas mengatur lalu lintas pada kondisi

normal atau pada saat kondisi ada

kecelakaan. Kondisi yang lebih

membutuhkan penanganan tidak

membuat pekerjaan tersebut menjadi

pekerjaan tambahan, namun demikian

mengingat dibutuhkan jam kerja lebih

untuk penanganan maka ha tersebut

diperlakukan sebagai lembur atau

overtime dari normal time.

2) Aspek-aspek yang mempengaruhi

besaran dan pemberian honorarium.

Terdapat banyak aspek yang

mempengaruhi besaran dan

pemberian honorarium. Secara prinsip,

besaran honorarium tidak boleh lebih

besar dari gaji dan tunjangan yang

menjadi alasan seseorang

dipekerjakan. Hal ini berdasarkan

konsepsi multasking bahwa pekerja

akan cenderung mengerjakan

pekerjaan yang memberikan reward

tinggi dan mengesampingkan kinerja

yang unrewarded. Perilaku ini akan

berakibat tidak baik secara

keseluruhan organisasi. Hal yang kedua

adalah perlu adanya level sesuai

dengan tanggung jawab pekerjaan.

Seorang superviser atau koordinator

tidak bisa disamakan dengan

subordinatnya, mengingat

kompleksitas dan tanggung jawabnya

berbeda secara hierarki. Untuk itu,

besaran perlu memperhatikan hierarki

tersebut. selain itu, faktor kompetensi

juga harus dipertimbangkan dalam

Page 72: Dewan Direksi

68

formulasi besaran sehingga top

performer dengan middle performer

berefek. Secara umum kompetensi bisa

dilihat dari berbagai indikator, seperti

pengalaman kerja, pendidikan, atau

hasil evaluasi dari kinerja terdahulu.

Berkenaan bagaimana honorarium

dapat diberikan, kebijakan selayaknya

berfokus pada seberapa mungkin suatu

pekerjaan dikategorikan sebagai

tambahan yang tidak diperhitungkan

dalam kegiatan pekerjaan utama.

Dengan pengembangan dari empat

pertanyaan sebagaimana disampaikan

dalam subbab sebelumnya, perlu

dibuat suatu kategori untuk

kemudahan dan konsistensi kebijakan

standar biaya, khususnya berkenaan

dengan honorarium.

3) Kelompok honor dalam kerangka single

remunerasi.

Sebagaimana beberapa kali diulas,

pengelompokkan kebijakan standar

biaya adalah sesuatu yang penting

untuk formulasi kebijakan berikutnya.

Sebagai usulan kerangka kebijakan

single remunerasi utk formulasi

kebijakan standar biaya, kelompok

tersebut adalah sebagai berikut:

a. Gaji

Merupakan basis kompensasi yang

diberikan dalam rekrutmen pekerja

b. Tunjangan

Merupakan opsi atas penghasilan

dikaitkan dengan suatu kondisi

tertentu

c. Honorarium

Merupakan tambahan penghasilan

sebagaimana tambahan pekerjaan

diluar tugas utama

d. Fasilitas

Merupakan alat, bahan, akomodasi

atau biaya tambahan yang

diberikan guna mendukung

pelaksanaan pekerajaan

4) Standardisasi kriteria pada tiap

kelompok.

Berkenaan dengan keempat kelompok

kebijakan standar biaya dalam

kerangka single remunerasi, perlu

dibuat kriteria yang standar sebagai

penjelas dari definisi. Adapun kriteria

yang menjadi usulan adalah sebagai

berikut:

a. Gaji

Sebagai basis kompensasi yang

diberikan dalam rekrutmen pekerja

maka kriteria yang perlu ada pada

kategori ini adalah:

- Merupakan penghasilan utama

atas suatu perikatan pekerja

dan pemberi kerja

- Menjadi nilai acuan dalam

pemberian insentif lainnya

- Besaran diformulasikan

multitable

b. Tunjangan

Sebagai sebuah opsi atas

penghasilan dikaitkan dengan

suatu kondisi tertentu kriteria yang

perlu dimasukkan dalam kategori

ini adalah:

- Opsi penghasilan dikaitkan

tunjangan yang berlaku umum

- Berlaku hanya pada beberapa

pegawai dan tidak seluruhnya

c. Honorarium

Sebagai tambahan penghasilan

sebagaimana tambahan pekerjaan

diluar tugas utama kriteria untuk

kategori ini adalah:

- Merupakan kompensasi dari

tugas tambahan

Page 73: Dewan Direksi

69

- Besaran tidak melebihi

penghasilan utama

- Merupakan kompensasi dari

tugas sekali, besaran mungkin

tidak terkait dengan

penghasilan utama

d. Fasilitas

Sebagai alat, bahan, akomodasi

atau biaya tambahan yang

diberikan guna mendukung

pelaksanaan pekerjaan maka

kriteria pada kategori ini adalah:

- Bukan tambahan penghasilan,

namun penghindar pengurang

gaji dan tunjangan

- Diberikan terkait dengan

pelaksanaan tugas

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

5.1 Kesimpulan

Salah satu kunci keberhasilan

sistem penggajian tunggal adalah dengan

konsistensi kebijakan lain terkait dengan

penghasilan pegawai. Secara alamiah,

penghasilan bersifat variable menjadi salah

satu konsekuensi atas pilihan sistem

berbasis kinerja dalam penganggaran.

Untuk itu, peran penting standar biaya

perlu dijaga dengan konsistensi dalam

perumusan kebijakan sebagai sebuah

instrumen dari penganggaran berbasis

kinerja, khususnya berkenaan dengan

perumusan kebijakan honorarium dalam

kerangka single remunerasi. Konsistensi

dalam perumusan kebijakan tersebut

akan meningkatkan kredibilitas rumusan

yang menjadi arti pentingnya standar biaya

dalam penjaga efisiensi pada level mikro.

Kajian eksploratif ini mengusulkan

pendekatan dalam perumusan kebijakan

dimaksud guna mencapai tujuan

konsistensi.

Honorarium dan remunerasi secara

konsepsi berbeda berkenaan apakah

kompensasi tersebut diperoleh atas tugas

utama atau tugas tambahan. Dalam

praktik, terjadi ambiguitas dalam

penggunaannya istilah tersebut sebagai

contoh penyebutan honor satpam

pramubakti yang secara konsepsi

seharusnya masuk sebagai gaji/remunerasi

satpam pramubakti mengingat pekerjaan

tersebut ada pekerjaan utama pada saat

perikatan kontrak. Dengan demikian telah

disampaikan cara-cara pemilhan antara

honorarium dan remunerasi dengan

empat pertanyaan, yakni:

a. apakah suatu pekerjaan merupakan

pekerjaan utama atau pekerjaan

tambahan

b. seberapa banyak waktu yang

dibutuhkan dalam melaksanakan satu

tugas

c. seberapa besar porsi penghasilan

tambahan dibandingkan penghasilan

utama (gaji dan tunjangan) yang

diterima

d. adakah duplikasi pemberian

kompensasi atas pekerjaan antara

pekerjaan utama dan pekerjaan

tambahan

selain empat pertanyaan tersebut

sebagai alat untuk membedakan antara

honorarium dan remunerasi, perlu juga

pengelompokkan atas bentuk lain yang

seolah-olah ada diantara keduanya.

Dengan demikian pengelompokkan

menjadi empat bagian yakni: Gaji,

Tunjangan, Honorarium, dan Fasilitas.

Keempat kelompok ini diupayakan guna

Page 74: Dewan Direksi

70

menjaga konsistensi kebijakan yang

diambil.

Sejalan dengan pengklasifikasian

tersebut, besaran atas masing-masing

klasifikasi perlu dijaga keseimbangannya.

Bagaimana penghasilan tambahan dijaga

agar tidak lebih besar dari penghasilan

utama demi kepentingan organisasi secara

keseluruhan.

5.2 Rekomendasi

Sebagai rekomendasi, terdapat tiga

hal untuk dipertimbangkan:

a. kebijakan pengelompokan empat

bagian terkait dengan penghasilan

pegawai dapat digunakan sebagai

landasan pengelompokan awal untuk

kebijakan standar biaya.

b. Atas pengelompokan tersebut perlu

penguatan kriteria sebagai rambu-

rambu untuk melakukan formulasi

besaran satuannya.

c. Pengelompokan diatas berkenaan

dengan pekerja yang bekerja secara

tetap pada satu pemberi kerja, atas

satuan biaya penggunaan jasa tenaga

kontrak perlu dilakukan kajian lanjut

guna memperlakukan biaya yang tidak

termasuk dalam kelompok dimaksud.

DAFTAR PUSTAKA

Asch, Beth J. (2005), The Economic Complexities of Incentive Reforms, High-Performance Government: Structure, Leadership, Inscentives, pp.309-379

Becker, Gary (1976). The Economic Approach to Human Behavior. Chicago: University of Chicago Press.

Lazear, Edward (1995). Personnel Economics. Cambridge: MIT Press.

Lazear, Edward (1997). Personnel Economics for Managers: New York: Wiley.

Prendergast, Canice (1999). The Provision of Incentives in Firms, Journal of Economic Literature, Vol.37, No.1 (Mar., 1999), pp.7-63

Sandel, Michael J. (2013), Market Reasoning as Moral Reasoning: Why Economists Should Re-engage with Political Philosophy. Journal of Economic Persctives—volume 27, Number 4—Fall 2013- Pages 121-140

Bahan Bimtek Kebijakan Standar Biaya PMK SBM tahun 2012-2016

Page 75: Dewan Direksi

71

KAJIAN INDEKSASI

Lies Kurnia Irwanti

Email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2003 tentang Keuangan Negara

mengamanatkan tiga pilar sistem

penganggaran untuk penyusunan angaran

oleh Kementerian negara/Lembaga (K/L).

Ketiga pilar dimaksud yaitu penganggaran

terpadu, Penganggaran Berbasis Kinerja

(PBK) dan Kerangka Pengeluaran Jangka

Menengah (KPJM). KPJM adalah

pendekatan penyusunan anggran

berdasarkan kebijakan, dengan

pengambilan keputusan yang

menimbulkan implikasi anggaran dalam

jangka waktu lebih dari satu tahun

anggaran. Sesuai dengan amanat UU No 17

Tahun 2003, dalam penerapan KPJM, K/L

menyusun prakiraan maju dalam periode

tiga tahun ke depan. Hal tersebut

merupakan keharusan yang dilakukan

setiap tahun, bersamaan dengan

penyampaian RKA-K/L.

Sejalan dengan hal tersebut,

Peraturan Menteri Keuangan Nomor

71/PMK.02/2013 tentang Pedoman

Standar Biaya, Standar Struktur Biaya, dan

Indeksasi dalam Penyusunan Rencana

Kerja dan Anggaran Kementerian

Negara/Lembaga, Indeksasi didefinisikan

sebagai parameter penyesuaian yang

digunakan untuk menghitung kebutuhan

alokasi biaya tahun yang direncanakan dan

prakiranaan maju tahun anggaran

berikutnya yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan. Penerapan indeksasi KPJM

dalam kerangka teknik pembiayaan pada

hakekatnya merupakan aspek mikro dari

penerapan penganggaran yang melebihi

dari satu tahun(KPJM). Penganggaran

dengan KPJM dimaksud dilaksanakan

dengan menggunakan konsep anggaran

bergulir yang dilakukan dengan tiga

instrumen yaitu baseline, new initiative

dan parameter. Angka indeksasi pada

hakekatnya merupakan angka parameter

yang merujuk pada angka perkiraan inflasi

di tahun yang direncanakan 321 ,, ttt yang

dilakukan penyesuaian merujuk kebijakan

atas sebuah output. Pembiayaan dengan

konsep indeksasi KPJM dimaksudkan untuk

memperbaiki kualitas prakiraan maju agar

sejalan prakiraan kebutuhan anggaran,

pada saat perencanaan pembiayaan atas

sebuah output.

Selanjutnya penerpan KPJM

dilakukan dengan penggunaan prakiraan

maju dalam RKA-K/L yang dilakukan

dengan indeks. Proses pendisiplinan

penerapan indeksasi KPJM pada

hakekatnya merupakan bagian dari

pembiayaan atas suatu output yang dalam

KPJM dilakukan dengan merujuk pada

konsep baseline dan new initiative.

Indeksasi dilakukan untuk pembuatan

prakiraan maju (prakiraan kebutuhan

pembiayaan) dari suatu output merujuk

pada klasifikasi dan jenis biaya dari suatu

output. Jenis output yang dimaksudkan

yaitu Indeks Keluaran (Output) barang

infrastruktur, Indeks Keluaran (Output)

Page 76: Dewan Direksi

72

barang non infrastruktur, Indeks Keluaran

(Output) jasa regulasi dan Indeks Keluaran

(Output) jasa layanan non-

regulasi.Berkenaan dengan kebijakan

tersebut, tulisan ini mencoba

mendokumentasikan bagaimana sebuah

angka indeks KPJM diformulasikan untuk

kepentingan reviu baseline dan angka

penyesuai sebagaimana dimaksudkan

dalam PMK Nomor 71 Tahun 2013.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Pada kajian ini akan menyajikan

pendokumentasian penentuan angka

indeks KPJM dengan menjawab beberapa

pertanyaan berikut ini:

1. Bagaimana metode untuk

memformulasikan angka indeksasi?

dan

2. Berapa angka indeksasi untuk

beberapa jenis output pada RKA-K/L

2018?

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian yang dilakukan dalam

kajian ini bertujuan:

1. Menjelaskan metode yang digunakan

untuk memformulasikan angka

indeksasi, dan

2. Menentukan angka indeksasi untuk

beberapa jenis output pada RKA-K/L

2018.

1.3 Pembatasan Masalah

Pada penelitian ini karena

keterbatasan peneliti, maka formulasi

perumusan indeksasi menggunakan hasil

yang telah disusun oleh akademisi, yaitu

Dr. Ir. Uka Wikarya, M.Si.

2. LANDASAN TEORI

2.1 Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga (RKA-

K/L)

Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga (RKA-K/L)

adalah dokumen rencana keuangan

tahunan K/L yang disusun menurut bagian

anggaran K/L. Penyusunan anggaran dalam

dokumen RKA-K/L merupakan bagian dari

penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara (APBN), selain Rencana

Dana Pengeluaran Bendahara Umum

Negara (RDP-BUN). Secara garis besar,

proses penyusunan RKA-K/L mengatur tiga

materi pokok, yaitu pendekatan

penyusunan anggaran, klasifikasi anggaran

dan proses penganggaran.

2.1.1 Penganggaran Berbasis Kinerja

(PBK)

Sesuai dengan amanat Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, penyusunan anggaran

oleh K/L mengacu kepada tiga pilar sistem

penganggaran, yaitu: Pendekatan

Penganggaran Terpadu, Penganggaran

Berbasis Kinerja (PBK), dan Kerangka

Pengeluaran Jangka Menengah

(KPJM).Pendekatan penyusunan anggaran

tersebut terus mengalami perbaikan dan

penyempurnaan, dan diwajibkan menjadi

acuan bagi pemangku kepentingan bidang

penganggaran dalam merancang dan

menyusun anggaran.

PBK merupakan suatu pendekatan

dalam sistem penganggaran yang

memperhatikan keterkaitan antara

pendanaan dan kinerja yang diharapkan,

serta memperhatikan efisiensi dalam

Page 77: Dewan Direksi

73

pencapaian kinerja tersebut. Kinerja

merupakan prestasi kerja yang berupa

keluaran (output) dari suatu kegiatan atau

hasil dari suatu program dengan kuantitas

dan kualitas yang terukur. Agar penerapan

PBK dapat dioperasionalkan, PBK

menggunakan instrumen, sebagai berikut:

1. indikator kinerja, merupakan

instrumen yang digunakan untuk

mengukur kinerja,

2. standar biaya, adalah satuan biaya

yang ditetapkan baik berupa standar

biaya masukan dan standar biaya

keluaran maupun standar struktur

biaya sebagai acuan perhitungan

kebutuhan anggaran, dan

3. evaluasi kinerja, merupakan penilaian

terhadap capaian sasaran kinerja,

konsistensi perencanaan dan

implementasi, serta realisasi

penyerapan anggaran.

2.1.2 Kebijakan Indeksasi Sebagai

Bagian Standar Biaya

Pelaksanaan reformasi

penganggaran berdasarkan UU Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

perlu dijaga konsistensi dan kelanjutannya

untuk menjamin terwujudnya

penganggaran yang efektif dan efesien.

Sejalan telah ditetapkannya PP Nomor 90

Tahun 2010 tentang RKA-K/L sebagai revisi

PP 21 Tahun 2004 perlu dilakukan

pemantapan penerapan Penganggaran

Berbasis Kinerja (PBK). Revisi PP dimaksud

diantaranya dilatarbelakangi oleh perlunya

penguatan tentang konsep anggaran

bergulir, penerapan parameter serta

penambahan ketentuan tentang

pengukuran dan evaluasi kinerja. Standar

biaya merupakan instrumen dalam

penyusunan RKA-K/L, dimana bersama

dengan dua instrumen PBK lainnya, yaitu

indikator kinerja dan evaluasi kinerja,

digunakan pemerintah dalam pengelolaan

APBN.

Pada Pasal 5 ayat (3) PP Nomor 90

Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana

Kerja dan Anggaran

Kementerian/Lembaga:

“Penyusunan RKA-K/L menggunakan

instrumen indikator kinerja, standar biaya

dan evaluasi kinerja”

Amanat PMK No. 71/PMK.02/2013

tentang Pedoman Standar Biaya, Standar

Struktur Biaya, dan Indeksasi dalam

Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran

Kementerian Negara/Lembaga Pasal 26

bahwa:

“dalam rangka mendukung efisiensi

alokasi biaya dalam penyusunan RKA-K/L,

Menteri Keuangan menetapkan Standar

Struktur Biaya dan Indeksasi.”

Indeksasi sendiri didefinisikan

dalam PMK Nomor 71 Tahun 2013 dalam

Pasal 28 yaitu “indeksasi merupakan alat

yang digunakan untuk penghitungan

kebutuhan anggaran dalam kerangka

pengeluaran jangka menengah.” Indeksasi

digunakan oleh K/L untuk menyusun

penghitungan anggaran dasar (baseline)

dan inisiatif baru. Penggunaan indeksasi

dalam penghitungan anggaran dasar

dilakukan untuk menyesuaikan

perhitungan kebutuhan besaran biaya

keluaran (output) pada tahun anggaran

yang direncanakan dan prakiraan maju

tahun anggaran berikutnya.

2.2 Indeksasi

Penerapan indeksasi KPJM dalam

kerangka costing (teknik perhitungan

Page 78: Dewan Direksi

74

biaya) merupakan aspek mikro dari

penerapan penganggaran yang melebihi

satu tahun anggaran dengan

menggunakan konsep anggaran bergulir.

Konsep anggaran bergulir tersebut

dilaksanakan dengan tiga instrumen, yaitu

anggaran dasar (baseline), inisiatif baru

dan parameter. Angka indeksasi

merupakan angka parameter yang

merujuk antara lain pada angka perkiraan

besaran inflasi dan kurs di tahun yang

direncanakan 321 ,, ttt . Angka indeksasi

tersebut disusun sesuai klasifikasi output

dan jenis biaya atas sebuah output.

Indeksasi KPJM digunakan untuk

menyusun prakiraan maju/pagu

kebutuhan alokasi biaya suatu dasar

keluaran (output baseline) dan inisiatif

baru pada tahun anggaran yang

direncanakan.

Fungsi utama indeksasi dalam

rangka perencanaan anggaran berupa:

1. Penghitungan pagu kebutuhan alokasi

biaya suatu output pada tahun

anggaran yang direncanakan bagi

dasar output baseline.

2. Penghitungan prakiraan maju tahun

anggaran berikutnya bagi output

baseline dan insiatif baru.

Biaya atas suatu keluaran (output)

terdiri dari biaya utama dan biaya

pendukung. Biaya utama merupakan

komponen pembiayaan langsung dari

pelaksanaan langsung dari pelaksanaan

suatu kebijakan dan berpengaruh

terhadap pencapaian keluaran (output).

Sedangkan biaya pendukung (penunjang)

merupakan komponen pembiayaan yang

digunakan dalam rangka menjalankan dan

mengelola kebijakan.

Penetapan nilai indeksuntuk output

dalam RKA-K/L, dikelompokkan sebagai

berikut:

1. Keluaran (output) Barang, yang terdiri

dari:

a. Output barang infrastruktur, yaitu

output kegiatan yang merupakan

barang berwujud dan atau berupa

jaringan yang diperlukan untuk

jaminan ekonomi sektor publik agar

perekonomian dapat berfungsi

dengan baik. Contoh: jalan, kereta

api, air bersih, bandara, kanal,

waduk, pengolahan limbah, dan

sebagainya.

b. Output barang non infrastruktur,

yaitu output kegiatan yang

merupakan barang baik berwujud

maupun tidak berwujud yang tidak

berupa jaringan yang bukan

termasuk barang infrastruktur.

Contoh: kendaraan, software

aplikasi, dan sebagainya.

2. Keluaran (output) Jasa, yang terdiri dari:

a. Output jasa regulasi/birokrasi, yaitu

output yang dihasilkan dari suatu

kegiatan dalam rangka pembuatan

peraturan atau pendukung

administrasi birokrasi. Bentuk

output tersebut dapat berupa

norma, standar, dan lain-lain.

b. Output jasa layanan non-regulasi,

yaitu output dari suatu kegiatan

yang merupakan layanan dari suatu

instansi pemerintah. Contoh: SP2D,

layanan BOS, dan sebagainya.

Penerapan indeksasi dilakukan

dengan tujuan dapat menghasilkan

perhitungan angka prakiraan maju yang

mencerminkan kebutuhan riil pada saat

pelaksanaannya.Dalam pendekatan KPJM

disampaikan bahwa proyeksi biaya output

Page 79: Dewan Direksi

75

pada tahun direncanakan disesuaikan

dengan angka indeks, dengan rumusan:

indekskuantitasahoutput arg

Jenis dan besarannya indeks yang akan

ditetapkan terdiri atas:

1. Indeks untuk kebutuhan output

layanan perkantoran belanja pegawai.

2. Indeks untuk kebutuhan output

layanan perkantoran belanja barang.

3. Indeks untuk komponen utama output

barang infrastuktur.

4. Indeks untuk komponen utama output

barang non-infrastruktur.

5. Indeks untuk komponen utama output

jasa regulasi.

6. Indeks untuk komponen utama output

jasa layanan non-regulasi.

7. Indeks untuk komponen pendukung

output barang infrastruktur.

8. Indeks untuk komponen pendukung

output barang non-infrastruktur.

9. Indeks untuk komponen pendukung

output jasa regulasi.

10. Indeks untuk komponen pendukung

output jasa layanan non-regulasi.

2.3 Indeks Harga Konsumen (IHK)

Inflasi merupakan suatu keadaan

perekonomian yang menunjukkan adanya

kecenderungan kenaikan tingkat harga

secara umum. Dikatakan tingkat harga

umum karena barang dan jasa yang ada di

pasaran memiliki jenis dan jumlah yang

beraneka ragam. Sebagian besar dari

harga-harga barang tersebut selalu

meningkat dan mengakibatkan terjadinya

inflasi. Beberapa faktor penyebab inflasi,

yaitu:

1. demand inflation, merupakan inflasi

yang timbul karena meningkatnya

permintaan masyarakat terhadap

barang dan jasa.

2. cost inflation yaitu inflasi yang timbul

naiknya biaya produksi untuk

menghasilkan barang dan jasa.

3. imported inflation, yaitu inflasi yang

timbul karena kenaikan harga barang

impor yang digunakan sebagai baham

mentah produksi di dalam negeri.

4. teori kuantitas yaitu pertambahan

jumlah uang yang beredar di

masyarakat, baik uang kartal maupun

uang giral dan alat pembayaran

lainnya.

Indeks harga adalah salah satu

indikator ekonomi yang secara umum

dapat menggambarkan tingkat

inflasi/deflasi harga barang dan jasa.

Indeks harga merupakan sebuah rataan

dari perubahan harga yang proporsional

pada suatu barang atau jasa tertentu

antara dua periode waktu. Indeks harga

biasa digunakan untuk mengetahui ukuran

perubahan variabel-variabel ekonomi

sebagai barometer keadaan

perekonomian. Indeks hargadi Indonesia

dihitung dengan mengembangkan metode

agregatif tertimbang, yaitu metode

Laspeyres, metode Paasche dan metode

tahun khas. Beberapa macam indeks harga

yaitu:

1. Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah

angka yang menggambarkan

perbandingan perubahan harga

barang dan jasa yang dihitung

dianggap mewakili belanja konsumen,

kelompok barang yang dihitung bisa

berubah-ubah disesuaikan dengan

pola konsumsi aktual masyarakat.

2. Indeks Harga Produsen (IHP) adalah

perbandingan perubahan barang dan

jasa yang dibeli oleh produsen pada

Page 80: Dewan Direksi

76

waktu tertentu, yang dibeli oleh

produsen meliputi bahan mentah dan

bahan setengah jadi. Perbedaannya

dengan IHK adalah kalau IHP

mengukur tingkat harga pada awal

sistem distribusi, IHK mengukur harga

langsung yang dibayar oleh konsumen

pada tingkat harga eceran. Indeks

harga produsen biasa disebut juga

indeks harga grosir.

3. Indeks harga yang harus dibayar dan

diterima oleh petani. Indeks harga

barang-barang yang dibayar oleh

petani baik untuk biaya hidup maupun

untuk biaya proses produksi, apabila

dalam menghitung indeks dimasukkan

unsur jumlah biaya hipotek, pajak,

upah pekerja yang dibayar oleh petani,

indeks yang diperoleh disebut indeks

paritas. Rasio antara indeks harga

yang harus dibayar oleh petani dengan

indeks paritas dalam waktu tertentu

disebut rasio paritas.

Komoditas barang dan jasa yang

dipilih dalam perhitungan IHK didasarkan

pada Survei Biaya Hidup (SBH)

yangdilakukan oleh Badan Pusat Statistik

(BPS). Barang dan jasa yang dipilih untuk

disurvei diklasifikasikan menjadi 7

kelompok pengeluaran rumah tangga,

yaitu:

1. bahan makanan,

2. makanan jadi, minuman, rokok, dan

tembakau,

3. perumahan, air, listrik, gas, dan bahan

bakar,

4. sandang,

5. kesehatan,

6. pendidikan, rekreasi, dan olahraga,

serta

7. transpor, komunikasi, dan jasa

keuangan.

Data harga barang dan jasa yang

dikumpulkan adalah harga di tingkat

pedagang eceran dan merupakan harga

transaksi. Observasi harga dilakukan

secara harian, mingguan, dua mingguan

dan bulanan. Dari setiap kota, data harga

dikumpulkan pada beberapa pasar

tradisional maupun pasar modern yang

mewakili harga di kota tersebut. Data dari

masing-masing komoditas diperoleh dari 3

atau 4 outlet dan dikumpulkan langsung

dari pemantauan harga.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian

deskriptif yang menggunakan pendekatan

kuantitatif.

3.2 Objek Penelitian

Objek penelitian adalah data

faktor-faktor penyebab Indeks Harga

Konsumen (IHK).

3.3 Jenis Data

Data merupakan kumpulan

informasi yang diperoleh dari suatu

pengamatan, dapat berupa angka,

lambang atau sifat. Data yang digunakan

merupakan data sekunder, yaitu data yang

diperoleh dari laman Badan Pusat Statistik.

3.4 Metode Pengolahan Data

Pada kajian ini pada prinsipnya

ingin mengetahui berapa angka indeksasi

untuk tahun anggaran 2018. Untuk

menentukan angka indeksasi tersebut

dilakukan dengan proyeksi inflasi melalui

pendekatan ekonometri. Setelah itu angka

inflasi dijabarkan untuk menjadi indeks

Page 81: Dewan Direksi

77

dari sepuluh jenis output menggunakan

regresi dan solver. Dalam kajian ini data

yang diperoleh diolah menggunakan

bantuan perangkat lunak eviews, minitab,

dan microsoft excel.

4. PEMBAHASAN

4.1 Pemutakhiran Data Faktor

Penyebab Inflasi

Inflasi dapat disebabkan oleh

beberapa faktor. Pada penelitian ini faktor-

faktor yang menyebabkan inflasi

dinamakan variabel independen,

sedangkan untuk inflasinya sendiri

dinamakan variabel dependen. Dalam

rangka untuk mendapatkan angka

indeksasi yang akan digunakan pada tahun

anggaran 2018, akan dilakukan terlebih

dahulu proyeksi inflasi dengan pendekatan

ekonometri. Model untuk

memproyeksikan inflasi diperoleh dari

hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Ir.

Uka Wikarya, M.Si. menggunakan model

panel dengan data historis tahun 2007-

2011, model dimaksud yaitu:

iitititi

tt

tt

tiit

GCINVCONS

PElectGAJIPNS

PBBMNER

MCPI

log

loglog

loglog

1loglog

54

32

1

dengan keterangan untuk setiap variabel,

sebagai berikut:

1. CPI (Consumer Price Index): indeks

harga konsumen di provinsi

2. M1: jumlah uang beredar

3. NER (Nominal Exchange Rate): nilai

tukar rupiah terhadap dollar

4. PBBM: harga rata-rata BBM premium

dan solar

5. GAJIPNS: gaji pokok rata-rata PNS

Golongan IIIa

6. PElect: harga listrik rata-rata

7. CONS: PDRB konsumsi rumah tangga

atas dasar harga konstan 2000

8. INV: PDRB pembentukan modal tetap

atas dasar harga konstan 2000

9. GC: PDRB pengeluaran konsumsi

pemerintah atas dasar harga konstan

2000

Berdasarkan model yang diperoleh

tersebut, dilakukan simulasi dengan

bantuan perangkat lunak eviews. Data

yang diperlukan untuk simulasi merupakan

data runtun waktu dari tahun 2011 hingga

2020. Akan tetapi, saat ini sedang berjalan

di tahun 2016, sehingga untuk data dari

tahun 2017 hingga 2020 diperoleh dari

hasil peramalan (forecasting). Metode

peramalan yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu exponential smoothing

yang merupakan salah satu analisis deret

waktu dan merupakan metode peramalan

dengan memberi nilai pembobot pada

serangkaian pengamatan sebelumnya

untuk memprediksi nilai masa depan

(Trihendradi, 2005).Peramalan yang

dilakukan untuk meng-update data

dibantu perangkat lunak minitab.Data-

data yang di-update untuk digunakan

dalam simulasi, yaitu:

1. Data nilai tukar rupiah terhadap dollar.

Data yang digunakan yaitu data

bulanan dari tahun 2001 hingga tahun

2016, kemudian hasil peramalannya

untuk bulan Desember 2016.

Selanjutnya yang dimasukkan dalam

simulasi adalah rata-rata di tahun

2016.

2. Data tarif listrik rata-rata (rupiah per

KWH). Data yang digunakan adalah

data tarif listrik bulanan yang

kemudian dirata-rata untuk

mendapatkan data tahunan.

Page 82: Dewan Direksi

78

3. Kenaikan gaji PNS (dalam %). Terkait

kebijakan pemerintah sejak tahun

2016 tidak terdapat kenaikan gaji PNS,

maka untuk update data kenaikan gaji

PNS diisi 0%.

4. Jumlah uang beredar. Untuk data

tahun 2016, diramalkan dulu jumlah

uang beredar untuk bulan Desember

2016, karena data yang tersedia dari

BPS adalah data bulanan. Setelah

didapatkan data bulan Desember

2016, selanjutnya dirata-rata selama

tahun 2016 untuk meng-update data

M1 di tahun 2016 untuk simulasi.

5. Rata-rata harga BBM transportasi

bersubsidi. Data yang digunakan yaitu

data terkini harga premium dan solar

di tahun 2016 kemudian dirata-rata.

Data yang telah di-update tersebut

kemudian dijalankan program simulasi

yang telah dibuat oleh Dr. Ir. Uka Wikarya,

M.Si. dengan kombinasi bantuan

perangkat lunak microsoft excel dan

eviews. Data asumsi faktor penyebab

inflasi yang telah di-update tersaji seperti

dalam tabel berikut.

Tabel 4.1 Data Asumsi Faktor Penyebab Inflasi

Tahun Nilai Tukar Tarif Listrik Gaji PNS (%) Uang Beredar BBM

2011 8.776 700 10 634.788 4.500 2012 9.384 725 10 758.404 4.500 2013 10.459 798 6 842.934 6.065 2014 11.869 1.528 6 905.441 8.138 2015 13.389 1.506 6 999.281 7.255 2016 13.277 1.402 0 1.113.999 6.079 2017 13.428 1.536 0 1.207.058 6.021 2018 13.857 1.632 0 1.298.355 6.256 2019 14.285 1.729 0 1.389.651 6.490 2020 14.713 1.826 3 1.480.947 6.724

4.2 Angka Proyeksi Inflasi dan Indeksasi

Indeks harga merupakan salah satu

indikator ekonomi yang secara umum

dapat menggambarkan tingkat inflasi

harga barang dan jasa. Oleh karena itu,

angka proyeksi inflasi yang diperoleh dari

hasil simulasi akan dijabarkan menjadi

angka indeks untuk kesepeuluh jenis

output yang ada di dalam RKA-K/L guna

menjadi baseline.

Angka proyeksi inflasi yang

diperoleh dari hasil simulasi untuk tahun

2018 yaitu 4,13%. Sebagai pembanding,

pada sasaran inflasi untuk tahun 2018 yang

ditetapkan melalui PMK

Nomor93/PMK.011/2014 adalah sebesar

3,5% dengan deviasi sebesar 1%. Angka

proyeksi inflasi tersebut dijabarkan pada

komponen-komponen yang membentuk

angka inflasi global untuk tahun yang akan

diproyeksikan (2018). Langkah-langkah

menjabarkan ke dalam tujuh komponen,

sebagai berikut:

1. Ambil data realisasi rincian inflasi per

kategori barang menurut kelompok

pengeluaran selama 10 tahun terakhir,

yaitu:

Page 83: Dewan Direksi

79

Tabel 4.2 Data Inflasi Menurut Kelompok Pengeluaran

Sumber: BPS, 2016

2. Estimasikan koefisien yang menjadi bobot dari masing-masing komponen menggunakan program microsoft excel dengan memilih menu “data analysis”, “regression” selanjutnya masukkan variabel dependen di kolom y dan variabel independen di kolom x.

Tabel 4.3 Koefisien Regresi Setiap

Variabel

3. Estimasikan nilai inflasi dari setiap komponen dengan nilai proyeksi inflasi. Hal ini dilakukan dengan bantuan microsoft excel pada menu “data” kemudian “solver” dan masukkan “value of” sesuai dengan angka proyeksi inflasi yaitu 4,13 kemudian klik “solve”.

Tabel 4.4 Nilai Proyeksi Inflasi Tiap Komponen di Tahun 2018

TahunBahan

Makanan

Makanan

Jadi,

Minuman,

Rokok, dan

Tembakau

Perumahan,

Air, Listrik,

Gas, dan

Bahan Bakar

Sandang Kesehatan

Pendidikan,

Rekreasi

dan

Olahraga

Transpor,

Komunikasi,

dan Jasa

Keuangan

Umum

2016 5,17 4,90 1,72 3,53 3,58 2,68 -1,82 2,59

2015 4,93 6,42 3,34 3,43 5,32 3,97 -1,53 3,35

2014 10,57 8,11 7,36 3,08 5,71 4,44 12,14 8,36

2013 11,35 7,45 6,22 0,52 3,70 3,91 15,36 8,38

2012 5,68 6,11 3,35 4,67 2,91 4,21 2,20 4,30

2011 3,64 4,51 3,47 7,57 4,26 5,16 1,92 3,79

2010 15,64 6,96 4,08 6,51 2,19 3,29 2,69 6,96

2009 3,88 7,81 1,83 6,00 3,89 3,89 -3,67 2,78

2008 16,35 12,53 10,92 7,33 7,96 6,66 7,49 11,06

2007 11,26 6,41 4,88 8,42 4,31 8,83 1,25 6,59

Coefficients Standard Error

Intercept 0,009667984 0,146960465

X Variable 1 0,221371715 0,00941045

X Variable 2 0,162419423 0,017175724

X Variable 3 0,297458447 0,047206679

X Variable 4 0,064860965 0,015004597

X Variable 5 -0,0344791 0,038677624

X Variable 6 0,111752692 0,014645502

X Variable 7 0,161646792 0,011229772

Cell Name Original Value Final Value Integer

$O$17 Bahan Makanan 4,412960999 4,412960999 Contin

$O$18 Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau 3,237769543 3,237769543 Contin

$O$19 Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan Bakar 5,92972107 5,92972107 Contin

$O$20 Sandang 1,292978659 1,292978659 Contin

$O$21 Kesehatan 0 0 Contin

$O$22 Pendidikan, Rekreasi dan Olahraga 2,227747425 2,227747425 Contin

$O$23 Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan 3,222367553 3,222367553 Contin

Page 84: Dewan Direksi

80

4. Besaran indeks ditetapkan dalam

penghitungan prakiraan maju pada

output:

a. Indeks Keluaran (Output) barang

infrastruktur;

b. Indeks Keluaran (Output) barang

non infrastruktur;

c. Indeks Keluaran (Output) jasa

regulasi; dan

d. Indeks Keluaran (Output) jasa

layanan non-regulasi.

5. Nilai indeksasi tiap komponen

dimasukkan dalam tabel per output

dan koefisien regresi yang didapatkan

dijadikan sebagai bobot. Nilai indeks

untuk setiap komponen diperoleh dari

hasil perkalian bobot dengan estimasi

nilai inflasi tiap komponen di tahun

2018, kemudian ditambahkan

konstanta. Untuk lebih jelasnya

disajikan dalam tabel berikut:

Tabel 4.5 Jenis Output dan Bobot Tiap Komponen

6. Guna kebutuhan penyesuaian angka

dasar (baseline) untuk tahun anggaran

2018, besaran indeksasi yang dapat

disarankan, yaitu:

Tabel 4.6 Besaran Indeks untuk Tiap

Jenis Output

Berdasarkan hasil penjabaran nilai

proyeksi inflasi telah diperoleh indeks

untuk masing-masing jenis output.

Beberapa jenis output memiliki nilai indeks

melebihi nilai proyeksi inflasi, yaitu

komponen utama output barang

infrastruktur (5,13) dan output barang

non-infrastruktur (4,72). Jenis output

lainnya baik yang merupakan komponen

utama dan pendukung memiliki nilai

indeks sama dengan nilai proyeksi inflasi,

yaitu 4,13.

5. PENUTUP

5.3 Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang telah

dilakukan, diperoleh kesimpulan sebagai

berikut:

1. Indeksasi dilakukan untuk pembuatan

prakiraan maju (prakiraan kebutuhan

pembiayaan) dari suatu output

merujuk pada klasifikasi dan jenis

biaya dari suatu output. Nilai indeks

yang diperolehakan digunakan untuk

kepentingan reviu baseline dan angka

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)

Layanan Perkantoran Belanja Pegawai 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162

Layanan Perkantoran Belanja Barang 0,221 0,162 0,297 0,065 - 0,112 0,162

Komponen Utama Keluaran Barang Infrastruktur - - 0,700 - - - 0,300

Komponen Utama Keluaran Barang Non-Infrastruktur - 0,200 0,550 - - - 0,250

Komponen Utama Keluaran Jasa Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162

Komponen Utama Keluaran Jasa Non-Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162

Komponen Pendukung Keluaran Barang Infrastruktur 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162

Komponen Pendukung Keluaran Barang Non-Infrastruktur 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162

Komponen Pendukung Keluaran Jasa Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162

Komponen Pendukung Keluaran Jasa Non-Regulasi 0,221 0,162 0,297 0,065 -0,034 0,112 0,162

Proporsi KomponenJenis Output

Layanan Perkantoran Belanja Pegawai 4,130

Layanan Perkantoran Belanja Barang 4,130

Komponen Utama Keluaran Barang Infrastruktur 5,127

Komponen Utama Keluaran Barang Non-Infrastruktur 4,724

Komponen Utama Keluaran Jasa Regulasi 4,130

Komponen Utama Keluaran Jasa Non-Regulasi 4,130

Komponen Pendukung Keluaran Barang Infrastruktur 4,130

Komponen Pendukung Keluaran Barang Non-Infrastruktur 4,130

Komponen Pendukung Keluaran Jasa Regulasi 4,130

Komponen Pendukung Keluaran Jasa Non-Regulasi 4,130

Jenis Output Indeks

Page 85: Dewan Direksi

81

penyesuai sebagaimana dimaksudkan

dalam PMK Nomor 71 Tahun 2013.

2. Indeks harga merupakan salah satu

indikator ekonomi yang secara umum

dapat menggambarkan tingkat inflasi

harga barang dan jasa. Oleh karena

itu, dalam merumuskan indeksasi

terlebih dahulu diproyeksikan nilai

inflasi dengan menggunakan variabel-

variabel penyebab inflasi.

3. Model yang digunakan untuk

memproyeksikan inflasi, yaitu:

iitititi

tt

tt

tiit

GCINVCONS

PElectGAJIPNS

PBBMNER

MCPI

log

loglog

loglog

1loglog

54

32

1

Dari model dimaksud, diperoleh angka

proyeksi inflasi untuk 2018 sebesar

4,13%.

4. Untuk dapat digunakan sebagai angka

indeksasi, nilai proyeksi inflasi

dijabarkan lebih lanjut dengan

menggunakan regresi dan solver di

microsoft excel.

5. Angka indeksasi untuk masing-masing

jenis output diperoleh seperti pada

tabel 4.6.

5.4 Saran

Berdasarkan kajian yang telah

dilakukan, beberapa masukan yang dapat

kami sampaikan, sebagai berikut:

1. Perlu meninjau kembali pemutakhiran

data asumsi yang digunakan dalam

membentuk rumusan model untuk

memproyeksikan inflasi dengan

berkoordinasi dengan Badan Pusat

Statistik (BPS).

2. Pembobotan untuk merumuskan

indeksasi pada masing-masing

komponen memungkinkan

dikembangkan pada metode dan

proporsi komponen yang lebih tajam.

DAFTAR PUSTAKA

Ardra. 2016. Jenis-jenis, Sifat, Sebab, dan

Asal Inflasi (diakses pada 13

Desember 2016

https://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-

makro/jenis-sifat-sebab-dan-asal-

inflasi/)

Badan Pusat Statistik. 2016. Jakarta. Laman

https://www.bps.go.id/

Cladi, Emha. 2012. Makalah Inflasi dan

Indeks Harga. Barru. (diakses pada 13

Desember 2016

https://emhaclady.wordpress.com/

2012/03/08/makalah-inflasi-dan-

indeks-harga/)

Peraturan Menteri Keuangan Nomor

71/PMK.02/2013tentang Pedoman

Standar Biaya, Standar Struktur

Biaya, dan Indeksasi dalam

Penyusunan Rencana Kerja dan

Anggaran Kementerian

Negara/Lembaga.

PMK Nomor 143/PMK.02/2015 tentang

Petunjuk Penyusunan dan

Penelaahan RKA-K/L dan

Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan

Anggaran.

Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun

2010 tentang Penyusunan Rencana

Kerja dan Anggaran

Kementerian/Lembaga.

Trihendradi, C. 2005. SPSS 13: Step by Step

Analysis Data Statistik. Andi Offset:

Yogyakarta.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara.

Page 86: Dewan Direksi

82

METODE MONITORING DAN EVALUASI STANDAR BIAYA KELUARAN

Niken Ajeng Lestari

Email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Berdasarkan ketentuan pasal 24

ayat (1) PMK No.71/PMK.02/2013 tentang

Pedoman Standar Biaya, Standar Struktur

Biaya, dan Indeksasi dalam Penyusunan

RKA K/L, Kementerian Keuangan dan/atau

K/L diamanatkan untuk melaksanakan

monitoring dan evaluasi (monev)

penerapan standar biaya keluaran (SBK)

sesuai dengan kewenangannya. Hingga

saat ini, baik dalam pelaksanaan tugas

kebijakan standar biaya maupun monev

penganggaran, belum dilakukan monev

yang berkenaan dengan standar biaya yang

dalam hal ini adalah SBK. Di sisi lain, saat ini

juga belum terdapat pengaturan yang

menetapkan atau menjelaskan lebih rinci

aspek apa saja yang perlu untuk dimonev.

Monev SBK perlu dilaksanakan

karena selain sebagai bentuk pelaksanaan

peraturan perundang-perundangan, juga

penting untuk dilaksanakan dalam rangka

perbaikan kebijakan penganggaran yang

menjadi tugas utama dari Ditjen Anggaran.

Selain itu hasil monev juga menjadi bahan

pertimbangan dalam menyusun dan

menetapkan SBK di tahun anggaran

berikutnya sebagaimana diamanatkan

dalam pasal 24 ayat (3) PMK

No.71/PMK.02/2013.

Pelaksanaan monev SBK berperan

penting dalam hal pengembangan

kebijakan standar biaya terutama karena

hingga saat ini SBK dianggap kurang

penting dan kurang bermanfaat bagi

beberapa kementerian negara dan

lembaga (K/L). Monev SBK menjadi salah

satu alat untuk menampung berbagai kritik

dan saran dari K/L yang terkait dengan

pelaksanaan kebijakan SBK. Selain itu,

berdasarkan amanat pasal 24 ayat (2) PMK

No.71/PMK.02/2013, monev SBK

dilakukan meliputi realisasi anggaran dan

komponen/tahapan dari SBK.

Berdasarkan beberapa hal yang

telah disebutkan di atas, dalam studi ini

akan dikaji konsep monev SBK yang dinilai

paling tepat atau yang dapat dilaksanakan

dan sesuai dengan tujuannya. Metode

yang digunakan dalam menyusun kajian ini

adalah kualitatif deskriptif dengan

menggali informasi dari berbagai sumber

dan proses wawancara dan diskusi untuk

memperoleh informasi lebih lengkap.

1.2 Tujuan penelitian

1. Mengetahui aspek-aspek dalam

monev SBK

2. Mengetahui indikator dari setiap

aspek dalam monev SBK

3. Mengetahui tahapan monev SBK

1.3 Pertanyaan penelitian

1. Apa saja aspek-aspek dalam monev

SBK?

2. Apa saja indikator penilaian dari setiap

aspek dalam monev SBK?

3. Bagaimana tahapan monev SBK?

Page 87: Dewan Direksi

83

2. TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kebijakan Penganggaran dan Standar

Biaya

Dalam penjelasan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan

Negara, terdapat 3 (tiga) pilar yang

diperlukan dalam sistem penganggaran,

yaitu penganggaran terpadu (unified

budget), kerangka pengeluaran jangka

menengah (meduim term expenditure

framework) dan penganggaran berbasis

kinerja (performance based budgeting).

Dalam rangka mewujudkan PBK, sesuai PP

No. 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan

RKA K/L, diperlukan adanya 3 instrumen

yaitu: indikator kinerja, standar biaya, dan

evaluasi kinerja.

PBK merupakan suatu pendekatan

penganggaran yang bertujuan untuk

meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan

efektivitas dengan menekankan bahwa

setiap penggunaan uang negara

(anggaran) harus mempunyai nilai manfaat

yang terukur bagi peningkatan kehidupan

masyarakat (value of money). Dengan

demikian, setiap perencanaan anggaran

harus dapat dijelaskan hubungan antara

biaya yang dibutuhkan dengan ekspekasi

hasil yang akan dicapai dalam pengeluaran

pemerintah, yang mana kegiatan

(activities) yang dibiayai harus

menghasilkan keluaran (output). Pada

akhirnya, gabungan dari beberapa

keluaran kegiatan dalam suatu program

akan mendukung pencapaian hasil

(outcome) yang diinginkan.

Dalam mewujudkan PBK, sistem

penganggaran diimplementasikan melalui

RKA K/L terdiri dari program, kegiatan, dan

keluaran. Kontrak kinerja masing-masing

K/L diukur pada tataran keluaran kegiatan.

Pendekatan PBK diterapkan dengan cara

mengubah pola penganggaran dari

berbasis masukan (input based) ke

berbasis keluaran (output based) dan

berbasis hasil (outcome based). Sejalan

dengan hal itu, kebijakan standar biaya

keluaran yang difungsikan sebagai tulang

punggung penerapan PBK juga mengalami

beberapa perubahan, antara lain sebagai

berikut:

1. Pengalokasian anggaran berdasarkan

rencana pencapaian keluaran

(output)/sub keluaran (sub output)

kegiatan yang mempunyai keterkaitan

dengan pelaksanaan tugas dan fungsi

satuan kerja yang melekat pada

struktur organisasi K/L (money follow

function);

2. Fleksibilitas dalam memilih sumber

data guna mencapai efisiensi dengan

tetap menjaga akuntabilitas (let

manager manage);

3. Orientasi pada capaian keluaran

sesuai hasil yang diinginkan (output

and outcome oriented); dan

4. Fokus pada maksimalisasi hasil atas

penggunaan dana.

Di sisi lain, dalam penerapan PBK, SBK

memiliki beberapa manfaat diantaranya

adalah:

1. Memperbaiki kualitas perencanaan;

2. Mempercepat penyusunan dan

penelahaan RKA K/L; dan

3. Memudahkan pelaksanaan

monitoring dan evaluasi dalam

pencapaian keluaran (output).

1.2 Standar Biaya Keluaran (SBK)

SBK adalah besaran biaya uang

ditetapkan untuk menghasilkan keluaran

Page 88: Dewan Direksi

84

(output)/sub keluaran (sub output). SBK

dapat terdiri atas.

1. Indeks biaya keluaran yaitu SBK untuk

menghasilkan satu volume keluaran

(output), dan

2. Total biaya keluaran adalah SBK untuk

menghasilkan total volume keluaran

(output).

Penyusunan SBK dilakukan pada level

keluaran (output)/sub keluaran (sub

output) yang menjadi tugas dan fungsi K/L.

Keluaran (output)/sub keluaran (sub

output) yang dapat diusulkan menjadi SBK

mempunyai beberapa kriteria yaitu.

1. Bersifat berulang

2. Mempunyai jenis dan satuan yang

jelas serta terukur, dan

3. Mempunyai komponen/tahapan yang

jelas.

SBK dalam proses penganggaran

berfungsi sebagai.

1. Batas tertinggi yang besarannya tidak

dapat dilampaui,

2. Referensi penyusunan prakiraan maju,

3. Bahan penghitungan pagu indikatif

K/L, dan/atau

4. Referensi penyusunan SBK untuk

keluaran (output) sejenis pada K/L

yang berbeda.

Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan

anggaran, SBK berfungsi sebagai estimasi

yaitu prakiraan besaran biaya yang dapat

dilampaui, antara lain karena perubahan

komponen/tahapan dan/atau penggunaan

standar biaya yang dipengaruhi harga

pasar.

SBK berlaku untuk

beberapa/seluruh K/L yang penetapannya

oleh Menkeu dengan terlebih dahulu

berkoordinasi dengan K/L, atau juga

berlaku untuk satu K/L tertentu yang

penetapannya oleh Menkeu berdasarkan

usulan dari pimpinan K/L atau pejabat yang

berwenang dengan mengatasnamakan

pimpinan K/L. Dalam penyusunan SBK,

diperlukan adanya komponen/tahapan

dengan tujuan untuk mengetahui.

1. Proses pencapaian keluaran/sub

keluaran yang akan dihasilkan,

2. Relevansi terhadap pencapaian

keluaran/sub keluaran, baik terhadap

volume maupun kualitasnya,

3. Keterkaitan dan kesesuaian antar

tahapan dalam mendukung

pencapaian keluaran/sub keluaran.

Secara umum, komponen/tahapan dalam

pencapaian suatu keluaran/sub keluaran

menggambarkan pelaksanaan fungsi

manajemen yang terdiri dari.

1. Perencanaan (planning),

2. Pengorganisasian (organizing),

3. Pelaksanaan (actuating), dan

4. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan

(controlling).

1.3 Konsep Monitoring dan Evaluasi

Disarikan dari Subarsono dalam

situs Sekretariat Kabinet, evaluasi

kebijakan adalah kegiatan untuk menilai

tingkat kinerja suatu kegiatan. Evaluasi

baru dapat dilakukan kalau suatu kebijakan

sudah berjalan cukup waktu. Sedangkan

monitoring dan evaluasi menurut Kusek

dan Rist (2004: 1) merupakan alat

manajemen publik yang dapat digunakan

oleh pembuat kebijakan dan pembuat

keputusan untuk mengetahui

perkembangan dan menunjukkan

pengaruh dari proyek, program, atau

kebijakan tertentu.

Page 89: Dewan Direksi

85

2. METODOLOGI PENELITIAN

Kajian ini disusun dengan

menggunakan metode kualitatif berupa

telaah pustaka, antara lain: peraturan

perundang-undang terkait dan sumber

lainnya yang relevan dengan materi kajian.

3. PEMBAHASAN

3.1 Aspek-Aspek dalam Monev SBK

Berdasarkan amanat PMK

No.71/PMK.02/2013, monev SBK meliputi

realisasi anggaran dan

komponen/tahapan. Selain itu, terdapat

aspek lain yang penting untuk dimonev

terkait dengan SBK yaitu aspek konsistensi

dan pelaksanaan SBK. Berikut akan

diuraikan hal-hal yang lebih rinci dari 4

aspek yang perlu dimonev dalam SBK.

1. Realisasi Anggaran

Aspek realisasi anggaran dalam

kaitannya dengan monev SBK ialah

membandingkan antara besaran SBK yang

ditetapkan, alokasi SBK dalam RKA K/L, dan

realisasi SBK. Berikut ilustrasi dari monev

yang terkait dengan aspek realisasi

anggaran (Gambar 1).

Gambar 1. Ilustrasi Monev SBK dari Aspek Realisasi Anggaran

Aspek ini penting untuk dimonev

dalam rangka untuk mengetahui antara

kebutuhan yang sebenarnya dari suatu SBK

yang telah ditetapkan. Di sisi lain, akan

diketahui beberapa perilaku biaya suatu

K/L terhadap kebijakan SBK dalam proses

perencanaan dan pelaksanaan

anggarannya. Ilustrasi sebagai berikut akan

memberikan beberapa analisis mengenai

perilaku K/L terkait SBK.

Contoh kasus:

PMK SBK telah ditetapkan satuan biaya

untuk menghasilkan 1 output A sebesar Rp

100juta. Pada RKA K/L, alokasi output A

adalah sama sebesar Rp 100juta, namun

pada suatu waktu, K/L tersebut melakukan

revisi anggaran yang menyebabkan sisa

dana untuk output A hanya sebesar Rp

50juta dan sisanya digeser untuk output

lainnya.

Berdasarkan ilustrasi tersebut di

atas, tentu saja terdapat pro dan kontra

terhadap hal tersebut. Analisis yang dapat

diperoleh dari kasus tersebut diantaranya

adalah.

a. Hal tersebut boleh dilakukan selama

output A telah tercapai. Selanjutnya

pada tahun berikutnya K/L tersebut

kembali mengajukan SBK dengan

besaran Rp 50juta untuk menghasilkan

1 output A,

b. Hal tersebut tidak boleh dilakukan

karena K/L ditengarai sengaja

mengambil kesempatan untuk

memperoleh alokasi anggaran yang

lebih besar padahal kebutuhannya tidak

sebesar yang telah ditetapkan dalam

PMK SBK, dan

c. Semakin tidak dibenarkan apabila

output A belum tercapai dan dana yang

dialokasikan telah terserap Rp 50juta

saja.

Sementara itu, jika terdapat kasus

yang sebaliknya dari ilustrasi di atas,

PMK SBK Alokasi RKA K/L Realisasi

Page 90: Dewan Direksi

86

apabila SBK yang ditetapkan dalam PMK

ternyata realisasinya lebih besar daripada

yang ditetapkan, hal ini menjadi bahan

review bagi penetapan SBK tahun

berikutnya. SBK yang diajukan pada tahun

berikutnya, dapat lebih tinggi dari tahun

sebelumnya, dengan tentu saja

memperhatikan realisasi SBK di tahun

sebelumnya dan beberapa rincian

komponen/tahapannya.

2. Komponen/Tahapan

Monev aspek komponen/tahapan

SBK adalah membandingkan antara

komponen/tahapan dalam menghasilkan

suatu output pada saat mengusulkan SBK

dengan alokasi dalam RKA K/L dan dengan

realisasi SBK. Aspek ini penting untuk

dimonev dalam rangka mengetahui

konsistensi dalam proses perencanaan

penganggaran K/L dan pelaksanaannya.

Selain itu, hasil monev komponen/tahapan

dapat menjadi acuan dalam melakukan

penelaahan SBK yaitu untuk menilai

kesesuaian suatu usulan

komponen/tahapan SBK dengan

membandingkan realisasi

komponen/tahapan SBK yang sama yang

telah dimonev.

Komponen/tahapan SBK memang

bukan merupakan bagian yang ditetapkan

dalam PMK tentang SBK, namun demikian

dalam proses pengajuan usulan SBK oleh

K/L kepada Kemenkeu harus menyertakan

pula rincian komponen/tahapan dengan

tujuan untuk mengetahui.

a. Proses pencapaian output/sub output

yang akan dihasilkan;

b. Relevansi teradap pencapaian

output/sub output, baik terhadap

volume maupun kualitasnya;

c. Keterkaitan dan kesesuaian antar

tahapan dalam mendukung

pencapaian output/sub output.

Maka dengan demikian, berikut ilustrasi

monev SBK dari aspek komponen/tahapan

(Gambar 2).

Gambar 2. Ilustrasi Monev SBK dari Aspek Komponen/Tahapan

3. Konsistensi

Aspek konsistensi memang bukan

merupakan salah satu aspek yang

diamanatkan oleh peraturan perundang-

undangan untuk dimonev terkait SBK,

namun hal ini dapat menjadi salah satu

pertimbangan untuk dijadikan salah satu

aspek yang penting untuk dimonev. Aspek

konsistensi di sini adalah membandingkan

antara SBK yang telah ditetapkan pada

tahun t dengan adanya usulan SBK pada

tahun t+1. Artinya, monev aspek

konsistensi bertujuan untuk mengetahui

konsistensi perilaku K/L dalam hal

mengusulkan SBK dari tahun ke tahun

dengan memperhatikan beberapa hal

lainnya. Selain itu, aspek konsistensi diukur

juga dengan tujuan untuk mengetahui

apakah SBK yang telah ditetapkan telah

digunakan dalam proses penganggaran.

Terdapat berbagai opini terkait

dengan SBK oleh K/L. Beberapa satker

merasakan bahwa dengan adanya SBK

akan mempermudah proses perencanaan

penganggaran pada satkernya. Di sisi lain,

justru terdapat satker yang merasa

bingung output apa yang bisa diusulkan

Komponen/Tahapan Usulan SBK

Komponen/Tahapan dalam RKA K/L

Realisasi Komponen/Tahapan

Page 91: Dewan Direksi

87

menjadi SBK. Hal ini mengindikasikan

beberapa hal yaitu.

a. K/L kurang memahami tusi dan

kewenangan unitnya yang tergambar

dari munculnya kebingungan dalam

merumuskan output yang sifatnya

berulang yang dapat diusulkan

menjadi SBK.

b. K/L kurang memahami pentingnya dan

manfaat dari SBK.

c. Kurang efektifnya transfer knowledge

yang dilakukan oleh pihak DJA terkait

SBK.

Beberapa hal tersebut di atas, dapat

menyebabkan diantaranya adalah terjadi

keengganan K/L untuk mengusulkan SBK.

Selain itu, adanya perubahan nomenklatur

atau pun informasi yang tidak sempurna

menjadi alasan lain bagi K/L yang tidak

mengajukan SBK.

Di sisi lain, hingga saat ini terdapat

pula K/L yang telah mengajukan SBK dan

ditetapkan dalam PMK namun tidak

digunakan dalam proses perencanaan

anggaran K/L tersebut. Alasan K/L

melakukan hal tersebut belum diketahui

namun dugaan sementara hanya untuk

memenuhi permintaan dari pihak

Kementerian Keuangan (Ditjen Anggaran)

untuk setidaknya setiap eselon satu

mengajukan 1 buah SBK.

Berdasarkan berbagai alasan

tersebut, monev SBK dari aspek konsistensi

bertujuan untuk menjaring informasi yang

lebih lengkap mengenai konsistesi K/L

dalam mengusulkan SBK. Pada akhirnya

hasil dari monev ini dapat menjadi

masukan bagi DJA untuk melakukan

berbagai perbaikan dalam proses bisnis

penyusunan PMK SBK di tahun berikutnya.

4. Pelaksanaan SBK

Tujuan dari monev SBK dari aspek

pelaksanaan adalah untuk menghimpun

berbagai opini terkait dengan kebijakan

SBK. Beberapa hal yang dipertanyakan

berupa pertanyaan terbuka mengenai

beberapa hal seperti proses bisnis, proses

penganggaran, penelaahan, persetujuan,

pelaksanaan, revisi, dan lain sebagainya.

4. Indikator Penilaian dalam Monev SBK

Sesuai dengan 4 aspek dalam

monev SBK sebagaimana disebutkan di

atas, terdapat masing-masing indikator

yang menjadi penilaian dalam monev SBK.

Pada dasarnya, setiap indikator dipilih

untuk membandingkan antara SBK yang

diusulkan dalam PMK dengan SBK yang

digunakan dalam proses perencanaan

anggaran dan pelaksanaannya. Berikut

uraian indikator dari setiap aspek

sebagaimana telah disebutkan di atas.

1. Indikator Realisasi Anggaran

Penghitungan yang digunakan dalam

monev aspek realisasi anggaran

menggunakan tehnik penghitungan

sederhana yaitu dengan melihat

selisih dari angka SBK antara PMK SBK,

alokasi SBK pada RKA K/L, dan realisasi

SBK. Berikut uraian singkatnya dan

dokumen yang dibutuhkan dalam

melakukan monev.

a. Perbandingan besaran PMK SBK

dengan alokasi pada RKA K/L

Indikator ini membandingkan

antara besaran SBK yang telah

ditetapkan pada PMK dengan

besaran SBK yang dialokasikan

dalam RKA K/L berkenaan. Maka

ilustrasinya adalah sebagai

berikut.

Page 92: Dewan Direksi

88

Tabel 1. Indikator 1 dari Aspek Realisasi Anggaran

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD A. Aspek Realisasi Anggaran Indikator: A.1. Perbandingan besaran PMK SBK dengan alokasi pada RKA K/L

No. Jenis SBK Besaran

Selisih Keterangan pada PMK SBK pada Alokasi

1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:

Pada tabel di atas ditunjukkan

bahwa pada indikator 1 aspek

realisasi anggaran yang menjadi

perhatian adalah selisih antara

besaran SBK pada PMK SBK dan

besaran SBK yang telah

dialokasikan pada RKA K/L. Hal ini

untuk mengetahui konsistensi

atau perilaku K/L dalam proses

perencanaan anggaran terkait

besaran SBK.

Dokumen yang digunakan

dalam melakukan monev ini

adalah PMK tentang SBK dan

Keppres tentang Rincian Anggaran

Belanja Pemerintah Pusat. Tahun

dari kedua dokumen tersebut

tentunya memiliki tahun anggaran

yang sama misalnya PMK tentang

SBK Tahun Anggaran 2015

dibandingkan dengan Keppres

tentang Rincian Anggaran Belanja

Pemerintah Pusat Tahun Anggaran

2015.

b. Perbandingan alokasi RKA K/L

dengan realisasi anggaran

Indikator ini membandingkan

antara besaran SBK yang

digunakan dalam alokasi RKA K/L

dengan SBK pada realisasi

anggaran K/L berkenaan. Maka

ilustrasinya adalah sebagai

berikut.

Page 93: Dewan Direksi

89

Tabel 2. Indikator 2 dari Aspek Realisasi Anggaran

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD A. Aspek Realisasi Anggaran Indikator: A.2. Perbandingan alokasi RKA K/L dengan realisasi anggaran

No. Jenis SBK Besaran

Selisih Keterangan pada alokasi pada realisasi

1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:

Pada tabel di atas ditunjukkan

serupa dengan yang terdapat pada

indikator 1 bahwa pada indikator

2 aspek realisasi anggaran yang

menjadi perhatian adalah selisih

antara besaran SBK yang

digunakan dalam alokasi anggaran

K/L dan besaran realisasi SBK. Hal

ini untuk mengetahui perbedaan

besaran SBK pada saat alokasi

anggaran K/L (proses

perencanaan anggaran) dengan

realisasinya (proses pelaksanaan

anggaran).

Dokumen yang digunakan

dalam melakukan monev ini

adalah Keppres tentang Rincian

Anggaran Belanja Pemerintah

Pusat dan dokumen realisasi

anggaran belanja K/L. Serupa

dengan yang terdapat pada

indikator 1, tahun dari kedua

dokumen tersebut tentunya

memiliki tahun anggaran yang

sama misalnya Keppres tentang

Rincian Anggaran Belanja

Pemerintah Pusat tahun anggaran

2015 dan dokumen realisasi

anggaran belanja K/L tahun

anggaran 2015.

2. Indikator Komponen/Tahapan

Terdapat 2 indikator dalam monev

aspek komponen/tahapan SBK. Pada

dasarnya untuk mengetahui

konsistensi K/L usulan

komponen/tahapan pada saat proses

pengajuan usulan SBK dengan

komponen/tahapan yang ditetapkan

dalam RKA K/L dan juga dengan

realisasi anggaran belanjanya.

a. Perbandingan usulan

komponen/tahapan dengan RKA

K/L

Pada indikator ini membandingkan

komponen/tahapan SBK yang

tertuang dalam dokumen usulan

SBK yang telah ditetapkan dengan

komponen/tahapan SBK yang

tertuang dalam dokumen

anggaran yang telah disahkan

dalam Perpres tentang Rincian

Anggaran Belanja Pemerintah

Pusat. Indikator ini bertujuan

untuk mengetahui konsistensi K/L

Page 94: Dewan Direksi

90

dalam mengajukan SBK dengan

proses perencanaan anggarannya.

Berikut ilustrasi monev SBK

dengan indikator perbandingan

usulan komponen/tahapan

dengan RKA K/L.

Tabel 3. Indikator 1 dari Aspek Komponen/Tahapan

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD B. Aspek Komponen/Tahapan Indikator: B.1. Perbandingan usulan komponen/tahapan dengan RKA K/L

No. Jenis SBK Komponen/Tahapan

Perbedaan Keterangan pada usulan SBK

pada RKA K/L

1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:

b. Perbandingan usulan komponen/

tahapan dengan realisasi

Pada indikator ini membandingkan

komponen/tahapan SBK yang

tertuang dalam dokumen

anggaran yang telah disahkan

dalam Perpres tentang Rincian

Anggaran Belanja Pemerintah

Pusat dengan komponen/tahapan

pada dokumen realisasi anggaran.

Indikator ini bertujuan untuk

mengetahui konsistensi K/L dalam

proses perencanaan anggaran

dengan proses pelaksanaannya.

Berikut ilustrasi monev SBK

dengan indikator perbandingan

usulan komponen/tahapan

dengan realisasi.

Tabel 4. Indikator 2 dari Aspek Komponen/Tahapan

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD B. Aspek Komponen/Tahapan Indikator: B.2. Perbandingan usulan komponen/tahapan dengan realisasi

No. Jenis SBK Komponen/Tahapan

Perbedaan Keterangan pada RKA K/L pada realisasi

1. 2. Analisis SBK 1: Analisis SBK 2:

Page 95: Dewan Direksi

91

3. Indikator Konsistensi

Pada indikator ini yang dimonev

adalah berkenaan dengan SBK dalam

proses pengajuan PMK hingga proses

perencanaan penganggaran. Namun

yang menjadi perhatian pada aspek ini

bukan besaran SBKnya tapi jumlah

SBK, jenis output/sub output, dan

penggunaan SBK dalam RKA K/L baik

dilihat dari jumlah yang dipakai

maupun jenis output/sub output.

Berikut beberapa uraian indikator dari

aspek konsistensi.

a. Perbandingan jumlah SBK dalam

PMK SBK berdasarkan waktu

Pada indikator pertama ini

membandingkan banyaknya SBK

suatu K/L yang telah ditetapkan

dalam PMK SBK pada tahun t

dengan jumlah SBK dari K/L yang

sama dalam PMK SBK di tahun t+1.

Berikut ilustrasi monev

perbandingan jumlah PMK SBK

berdasarkan waktu.

Tabel 5. Indikator 1 dari Aspek Konsistensi

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran

Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD

C. Aspek Konsistensi

Indikator:

C.1. Perbandingan jumlah SBK dalam PMK SBK berdasarkan waktu

No

. Indikator

PMK SBK Perbedaan

Keteranga

n Tahun t Tahun t+1

1. Jumlah SBK

Analisis:

b. Perbandingan SBK berdasarkan

jenis output/sub output

Pada indikator kedua ini

membandingkan jenis output/sub

output yang diusulkan K/L pada

PMK SBK tahun t dengan PMK SBK

tahun t+1. Berikut ilustrasi monev

perbandingan SBK berdasarkan

jenis output/sub output.

Page 96: Dewan Direksi

92

Tabel 6. Indikator 2 dari Aspek Konsistensi

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD C. Aspek Konsistensi Indikator: C.2. Perbandingan SBK berdasarkan jenis output/sub output No

. Indikator

PMK SBK Perbedaan Keterangan

Tahun t Tahun t+1 1. Jenis output/sub

output a. SBK A b. SBK B c. ...

a. SBK A b. SBK C ...

Analisis:

c. Penggunaan SBK dalam RKA K/L

Indikator ini bertujuan untuk mengetahui perilaku K/L dalam hal penggunaan SBK

dalam proses perencanaan anggarannya. Indikator ini muncul karena terdapat

kenyataan bahwa SBK yang telah ditetapkan dalam PMK ternyata tidak digunakan K/L

dalam proses penyusunan dokumen anggarannya. Berikut ilustrasi monev

penggunaan SBK dalam RKA K/L.

Tabel 7. Indikator 3 dari Aspek Konsistensi

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD C. Aspek Konsistensi Indikator: C.3. Penggunaan SBK dalam RKA K/L No

. Indikator Jenis SBK Digunakan dalam RKA K/L Keterangan

1. Penggunaan SBK a. SBK A b. SBK B c. ...

a. Ya b. Tidak ...

Analisis:

d. Penggunaan jumlah SBK dalam

RKA K/L

Serupa dengan indikator 3 di atas,

indikator ini bertujuan untuk

mengetahui penggunaan SBK

dalam RKA K/L namun dalam

indikator ini yang menjadi

perhatian adalah antara jumlah

SBK yang ditetapkan dalam PMK

dengan banyak SBK yang

digunakan dalam RKA K/L. Berikut

Page 97: Dewan Direksi

93

ilustrasi monev penggunaan

jumlah SBK dalam RKA K/L.

Tabel 8. Indikator 4 dari Aspek Konsistensi

Monitoring dan Evaluasi Kebijakan Standar Biaya Keluaran Tahun XXXX

Nama Kementerian Negara dan Lembaga: ABCD C. Aspek Konsistensi Indikator: C.4. Penggunaan jumlah SBK dalam RKA K/L

No.

Indikator Jumlah SBK

Perbedaan Keteranga

n Dalam PMK

Dalam RKA K/L

1. Penggunaan jumlah SBK dalam RKA K/L

Analisis:

5. Tahapan Monev SBK

Pada tahapan monev SBK ini akan

diuraikan pihak-pihak yang terlibat dan

beberapa aktivitas yang dilakukan dalam

pelaksanaan monev SBK. Beberapa pihak

yang terlibat tentu saja tidak berbeda

dengan pihak-pihak yang terlibat dalam

proses penyusunan SBK. Beberapa tahap

utama dalam pelaksanaan monev SBK

serupa dengan pelaksanaan monev lainnya

yaitu.

1. Persiapan,

Pada tahap persiapan ini, pihak-pihak

yang terlibat masih dalam lingkup

internal Direktorat Jenderal Anggaran

yaitu Direktorat Anggaran I, II, dan III

dan Direktorat Sistem Penganggaran.

Pada tahap awal Direktorat Sistem

Penganggaran melakukan bimbingan

teknis mengenai hal-hal penting

terkait monev SBK mulai dari tujuan

monev, manfaat monev, aspek-aspek

yang dimonev, indikator-indikator

yang diukur, data yang diperlukan, dan

bentuk pelaporannya. Dalam

kesempatan ini dilakukan internalisasi

secara maksimal agar pentingnya dan

manfaat dari monev SBK maupun SBK

sendiri dapat benar-benar dipahami

bersama oleh Direktorat Anggaran

mengingat yang akan melakukan

monev adalah Direktorat tersebut.

Selain itu, perihal monev SBK

juga perlu disampaikan pada beberapa

kesempatan sosialisasi kebijakan yang

diterbitkan oleh Direktorat Sistem

Penganggaran kepada K/L diantaranya

sosialisasi juknis RKA K/L dan

kebijakan standar biaya yang

disampaikan pada awal tahun

anggaran. Penyampaian informasi ini

dilakukan untuk memberi K/L

informasi terlebih dahulu di awal

tahun penganggaran agar K/L dapat

lebih mempersiapkan diri baik dalam

ketersedian waktunya, penyediaan

datanya, dan pelaporannya.

2. Pelaksanaan,

Pada tahap pelaksanaan, pihak-pihak

yang terkait sudah melibatkan 2 pihak

Page 98: Dewan Direksi

94

yaitu Direktorat Anggaran dan K/L

yang menjadi mitra kerjanya. Pada

tahap ini Direktorat Anggaran

menentukan satker K/L yang akan

dimonev. Selanjutnya Direktorat

Anggaran melakukan koordinasi awal

kepada setiap K/L bahwa akan

dilakukan monev SBK dengan berbagai

keperluan yang harus disiapkan. Pada

kesempatan selanjutnya, setiap K/L

diminta untuk menjawab berbagai

pertanyaan yang diajukan dalam

kuesioner monev SBK dan

menyampaikannya kepada Direktorat

Anggaran. Pada proses ini diharapkan

terdapat dukungan teknologi

informasi untuk membantu

kemudahan dan kelancaran monev.

Aplikasi monev diharapkan dapat

terintegrasi dengan aplikasi SBK yang

telah ada sehingga ke depannya

terdapat bank data SBK yang dapat

digunakan dalam rangka penelaahan

SBK dan penyusunan SBK tahun

berikutnya.

3. Pelaporan.

Pada tahap ini Direktorat Anggaran

melakukan analisis terhadap hasil

monev dari masing-masing K/L yang

menjadi mitra kerjanya. Hasil monev

selanjutnya disampaikan kepada pihak

eksternal DJA yaitu pimpinan K/L dan

juga pihak internal DJA yaitu Dirjen

Anggaran dengan tembusan ke

Direktorat Sistem Penganggaran. Hasil

monev selain dapat menjadi bahan

penelaahan atau penyusunan SBK

tahun berikutnya, juga dapat menjadi

bahan masukan dalam menyusun

kebijakan SBK di tahun yang akan

datang.

Berdasarkan uraian proses bisnis

pelaksanaan monev SBK di atas, berikut

ilustrasi proses bisnis tersebut yang

disajikan dalam bentuk flowchart

sederhana.

Page 99: Dewan Direksi

95

Gambar 3. Alur Sederhana Proses Bisnis Monev SBK

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan kajian di atas, dapat

beberapa kesimpulan yang dapat

diperoleh yaitu.

1. Tujuan dan manfaat dilakukannya

monev SBK adalah

a. Bahan penyusunan SBK bagi KL

maupun Kementerian Keuangan

dalam penelaahan SBK tahun

berikutnya,

b. Alat untuk mengetahui perilaku

biaya (cost behaviour) K/L

khususnya terkait dengan SBK,

dan

c. Memperoleh feedback dari K/L

dan mengetahui keinginan K/L

atas suatu kebijakan dan

pelaksanaan SBK.

2. Terdapat 4 aspek dalam monev SBK

diantaranya adalah.

a. Realisasi anggaran,

b. Komponen/tahapan,

c. Konsistensi, dan

d. Pelaksanaan.

3. Dari 4 aspek monev SBK tersebut,

terdapat indikator dari masing-masing

aspek yaitu.

a. Realisasi anggaran,

1) Perbandingan besaran PMK

SBK dengan alokasi pada RKA

K/L

2) Perbandingan alokasi RKA K/L

dengan realisasi anggaran

b. Komponen/tahapan,

1) Perbandingan usulan

komponen/tahapan dengan

RKA K/L

2) Perbandingan usulan

komponen/tahapan dengan

realisasi

c. Konsistensi, dan

1) Perbandingan jumlah SBK

dalam PMK SBK berdasarkan

waktu

Direktorat Anggaran menentukan K/L yang

akan dimonev dan melakukan persiapan

monev SBK

Direktorat Anggaran

melakukan monev ke K/L

Dirjen Anggaran mendapatkan

laporan hasil monev SBK

Direktorat Anggaran melakukan analisis atas hasil monev

SBK

DSP menerima tembusan laporan

monev SBK

Dirjen Anggaran menugaskan DSP

untuk melaksanakan monev SBK

DSP melakukan bimtek monev SBK kepada Direktorat

Anggaran

Persiapan Pelaksanaan Pelaporan

Pimpinan K/L mendapatkan

laporan hasil monev SBK

Page 100: Dewan Direksi

96

2) Perbandingan SBK berdasarkan

jenis output/sub output

3) Penggunaan SBK dalam RKA

K/L

4) Penggunaan jumlah SBK dalam

RKA K/L

d. Pelaksanaan.

Pada aspek ini hanya akan

terdapat beberapa pertanyaan

terbuka mengenai beberapa hal

seperti proses bisnis, proses

penganggaran, penelaahan,

persetujuan, pelaksanaan, revisi,

dan lain sebagainya.

4. Tahapan monev SBK dibagi menjadi 3

pokok kegiatan utama yaitu

a. Persiapan

Pada tahap kegiatan ini pada

dasarnya terdapat koordinasi

antara DSP dengan Direktorat

Anggaran yaitu DSP melakukan

bimtek kepada Direktorat

Anggaran mengenai monev SBK

dan Direktorat Anggaran mulai

melakukan identifikasi K/L yang

akan dimonev sesuai dengan

pembagian mitra kerjanya.

b. Pelaksanaan

Pada tahap ini Direktorat

Anggaran melakukan monev

kepada K/L dengan meminta K/L

mengisi beberapa kuesioner dan

melengkapi beberapa yang

diperlukan dalam pelaksanaan

monev.

c. Pelaporan

Pada tahap ini Direktorat

Anggaran melakukan analisis atas

hasil monev SBK yang dilengkapi

oleh K/L kemudian melaporkan

hasil monev kepada Pimpinan KL

dan Dirjen Anggaran dengan

tembusan kepada Direktorat

Sistem Penganggaran.

5.2 Saran

Dalam pelaksanaan monev SBK,

terdapat beberapa saran yang dapat

diberikan agar monev dapat dilaksanakan

secara lancar dan tujuan monev dapat

tercapai sesuai yang diharapkan.

1. Pentingnya peran SBK dalam proses

penganggaran diharapkan dapat

dipahami oleh semua pihak di

lingkungan Kementrian Keuangan

khususnya Direktorat Jenderal

Anggaran, mulai dari level pimpinan

yang tertinggi hingga pelaksana.

2. Dalam rangka mendukung kelancaran

pelaksanaan SBK, diperlukan

dukungan tehnologi informasi berupa

aplikasi atau hal lainnya sehingga

monev mudah dilaksanakan dan tidak

membebani DJA maupun K/L.

3. Metode monev SBK perlu ditetapkan

dalam bentuk peraturan perundang-

undangan sehingga dapat memiliki

kekuatan hukum yang tetap.

DAFTAR PUSTAKA

Kusek, Jody Zall Kusek dan Ray C. Rist. 2004. Ten Steps To A Results-Based Monitoring And Evaluation System : a handbook for development practitioners. World Bank. Washington DC.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun

2010 tentang Penyusunan Rencana

Kerja Anggaran Kementerian Negara

dan Lembaga

Page 101: Dewan Direksi

97

Peraturan Menteri Keuangan Nomor

71/PMK.02/2013 tentang Pedoman

Standar Biaya, Standar Struktur

Biaya, dan Indeksasi dalam

Penyusunan RKA K/L

Page 102: Dewan Direksi

98

MEMADUKAN KONSEP STANDAR BIAYA KELUARAN UMUM RISET

DENGAN FLEKSIBILITAS PERTANGGUNGJAWABAN PENGGUNAAN

DANA

Niken Ajeng Lestari Email: [email protected]

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam rangka penyusunan Standar

Biaya Keluaran yang bersifat umum atau

SBK yang berlaku di seluruh Kementerian

Negara dan Lembaga (SBKU), terdapat

perilaku ekonomi dari suatu kelompok

tertentu atau unit yang ditengarai akan

menunjukkan perilaku yang tidak

bertanggung jawab dalam melaksanakan

suatu kegiatan yang didanai dari anggaran

pemerintah. Kegiatan tersebut adalah riset

atau penelitian yang pengalokasian

dananya melalui SBK.

Perilaku yang diperkirakan akan

terjadi terkait kegiatan riset adalah

perilaku di ranah pertanggungjawaban

pelaksanaan kegiatan, dimana penerima

dana riset, secara sengaja atau tidak,

cenderung akan mencari-cari nota atau

tanda bukti pembayaran lainnya untuk

dijadikan lampiran pertanggungjawaban

dananya. Hal ini terjadi karena

berdasarkan pengalaman beberapa

peneliti, terdapat pengeluaran riset yang

tidak terduga baik dalam jumlah yang

besar maupun kecil dengan intesitas yang

cukup sering.

Berdasarkan dugaan tersebut,

pengalokasian dana melalui SBK justru

dinilai kurang efektif karena justru akan

mendorong perilaku yang kurang

bertanggung jawab. Atas permasalahan

tersebut, terdapat solusi yang ditawarkan

diantaranya adalah penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

untuk SBKU riset sehingga dana yang

diberikan untuk kegiatan riset berlaku

selayaknya dana pengadaan barang/jasa

kepada pihak ketiga yang

pertanggungjawabnya berupa kontraktual

antara peneliti dan pemilik dana dengan

batas waktu tertentu.

Selain itu, fleksibilitas

pertanggungjawaban dana bagi SBKU riset

juga dilatarbelakangi oleh suatu

permasalahan yang dihadapi para peneliti

dalam melakukan pelaporan keuangan.

Permasalahan tersebut diungkapkan oleh

Kemenristekdikti dalam kajiannya

mengenai perbaikan manajemen anggaran

riset yaitu peneliti harus melaporkan

pertanggungjawaban keuangannya secara

individu. Hal ini cukup memberatkan

mengingat SPJ yang harus dilakukan adalah

mulai dari pengadaan barang dan jasa,

pemberian honor, pembayaran pajak, dan

perjalanan dinas. Penyusunan SPJ dirasa

lebih sulit daripada melakukan penelitian

itu sendiri. Di sisi lain, hal ini membuat

fokus peneliti terpecah dan pada akhirnya

dapat berefek pada rendahnya kualitas

riset yang dihasilkan.

Dilatarbelakangi oleh beberapa hal

tersebut, kajian ini disusun untuk mengkaji

Page 103: Dewan Direksi

99

lebih lanjut mengenai memadukan konsep

SBKU riset dengan fleksibilitas

pertanggungjawaban dananya. Analisis

akan dilakukan dengan metode kualitatif

dengan menguraikan terlebih dahulu

konsep dari fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

SBKU riset, kemudian mengkajinya dari sisi

peraturan perundang-undangan, urgensi,

manfaat dan kendala dari konsep

fleksibilitas pertanggungjawaban dana

bagi SBKU riset.

1.2 Pertanyaan Penelitian

Terdapat beberapa pertanyaan

yang ingin dijawab dari penyusunan kajian

ini, diantaranya adalah:

1. Bagaimana konsep fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

dana SBKU riset?

2. Bagaimana kemungkinan dari sisi

peraturan perundang-undangan

mengenai fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

dana bagi SBKU riset?

3. Apa urgensi dari penerapan

fleksibilitas pertanggungjawaban

penggunaan dana bagi SBKU riset?

4. Apa saja isu-isu yang muncul dengan

adanya fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

dana bagi SBKU riset?

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan beberapa pertanyaan

tersebut, penyusunan kajian ini bertujuan

untuk:

1. Menguraikan konsep SBKU riset yang

akan dibentuk.

2. Mengetahui kemungkinan dari sisi

peraturan perundang-undangan

mengenai fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

dana bagi SBKU riset.

3. Mengetahui urgensi dari penerapan

fleksibilitas pertanggungjawaban

penggunaan dana bagi SBKU riset.

4. Mengetahui isu-isu yang muncul

dengan adanya fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

dana bagi SBKU riset.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebijakan Standar Biaya Keluaran

SBK adalah besaran biaya uang

ditetapkan untuk menghasilkan keluaran

(output)/sub keluaran (sub output). SBK

dapat terdiri atas:

3. Indeks biaya keluaran yaitu SBK untuk

menghasilkan satu volume keluaran

(output), dan

4. Total biaya keluaran adalah SBK untuk

menghasilkan total volume keluaran

(output).

Penyusunan SBK dilakukan pada level

keluaran (output)/sub keluaran (sub

output) yang menjadi tugas dan fungsi K/L.

Keluaran (output)/sub keluaran (sub

output) yang dapat diusulkan menjadi SBK

mempunyai beberapa kriteria yaitu:

1. Bersifat berulang

2. Mempunyai jenis dan satuan yang

jelas serta terukur, dan

3. Mempunyai komponen/tahapan yang

jelas.

SBK dalam proses penganggaran

berfungsi sebagai.

1. Batas tertinggi yang besarannya tidak

dapat dilampaui,

2. Referensi penyusunan prakiraan maju,

3. Bahan penghitungan pagu indikatif

K/L, dan/atau

Page 104: Dewan Direksi

100

4. Referensi penyusunan SBK untuk

keluaran (output) sejenis pada K/L

yang berbeda.

Di sisi lain, dalam rangka pelaksanaan

anggaran, SBK berfungsi sebagai estimasi

yaitu prakiraan besaran biaya yang dapat

dilampaui, antara lain karena perubahan

komponen/tahapan dan/atau penggunaan

standar biaya yang dipengaruhi harga

pasar.

SBK berlaku untuk

beberapa/seluruh K/L yang penetapannya

oleh Menkeu dengan terlebih dahulu

berkoordinasi dengan K/L, atau juga

berlaku untuk satu K/L tertentu yang

penetapannya oleh Menkeu berdasarkan

usulan dari pimpinan K/L atau pejabat yang

berwenang dengan mengatasnamakan

pimpinan K/L. SBK yang berlaku untuk

beberapa K/L disebut sebagai Standar

Biaya Keluaran Khusus (SBKK) dan SBK yang

berlaku untuk seluruh K/L disebut sebagai

Standar Biaya Keluaran Umum (SBKU).

Dalam penyusunan SBK, diperlukan

adanya komponen/tahapan dengan tujuan

untuk mengetahui:

1. Proses pencapaian keluaran/sub

keluaran yang akan dihasilkan,

2. Relevansi terhadap pencapaian

keluaran/sub keluaran, baik terhadap

volume maupun kualitasnya,

3. Keterkaitan dan kesesuaian antar

tahapan dalam mendukung

pencapaian keluaran/sub keluaran.

Secara umum, komponen/tahapan dalam

pencapaian suatu keluaran/sub keluaran

menggambarkan pelaksanaan fungsi

manajemen yang terdiri dari:

1. Perencanaan (planning),

2. Pengorganisasian (organizing),

3. Pelaksanaan (actuating), dan

4. Monitoring, evaluasi, dan pelaporan

(controlling).

2.2 Pertanggungjawaban Penggunaan

Dana APBN

Dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 45 Tahun 2013 tentang Tata Cara

Pelaksanaan APBN, penyelesaian tagihan

kepada negara atas suatu beban anggaran

belanja negara yang tertuang dalam APBN,

dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti

yang sah untuk memperoleh pembayaran.

Pembayaran atas tagihan kepada negara

dilakukan secara langsung dari rekening

kas umum negara kepada yang berhak.

Berdasarkan tagihan kepada

negara, pejabat pembuat komitmen (PPK)

menerbitkan dan menandatangani surat

permintaan pembayaran (SPP) yang

selanjutnya diuji terlebih dahulu oleh

pejabat penandatangan surat perintah

membayar (PPSPM) sebelum diterbitkan

surat perintah membayar (SPM) yaitu

dokumen yang diterbitkan pengguna

anggaran/kuasa pengguna anggaran

(PA/KPA) atau pejabat lain yang ditunjuk

untuk mencairkan dana yang bersumber

dari DIPA atau dokumen lain yang

dipersamakan. Pengujian SPP yang

dilakukan oleh PPSPM tersebut meliputi:

a. Pemeriksaan secara rinci kelengkapan

dokumen pendukung SPP,

b. Penelitian ketersediaan pagu anggaran

dalam dokumen isian pelaksanaan

anggaran (DIPA),

c. Pemeriksaan kesesuaian keluaran

antara yang tercantum dalam dokumen

perjanjian dengan keluaran yang

tercantum dalam DIPA,

d. Pemeriksaan kebenaran atas hak tagih,

paling sedikit meliputi:

Page 105: Dewan Direksi

101

1) Pihak yang ditunjuk untuk menerima

pembayaran,

2) Nilai tagihan yang harus dibayar, dan

3) Jadwal waktu pembayaran.

e. Pemeriksaan kesesuaian pencapaian

keluaran antara spesifikasi teknis yang

disebutkan dalam dokumen

penerimaan barang/jasa dan spesifikasi

teknis yang disebutkan dalam dokumen

perjanjian, dan

f. Pemeriksaan dan pengujian ketepatan

penggunaan klasifikasi anggaran.

Dalam hal hasil pengujian sebagaimana

dimaksud di atas tidak memenuhi

persyaratan, PPSBM wajib menolak

menerbitkan SPM.

2.3 Bagan Akun Standar

Bagan Akun Standar yang

selanjutnya disingkat BAS adalah daftar

kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi

keuangan yang disusun secara sistematis

sebagai pedoman dalam perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan

pelaporan keuangan pemerintah.

Kodefikasi ini digunakan dalam sistem yang

terintegrasi. Integrasi dilaksanakan dengan

penggunaan klasifikasi atau kode

pengukuran yang sama untuk setiap

tahapan dalam siklus pengelolaan

keuangan negara. Melalui penggunaan

klasifikasi yang sama pada tahapan

perencanaan, penganggaran hingga

pertanggungjawaban, Bagan Akun Standar

merupakan suatu pedoman dalam

pencatatan seluruh transaksi keuangan

pemerintah. Selain itu, Bagan Akun

Standar digunakan sebagai pusat aliran

data dari sistem pengelolaan keuangan,

alat pengendalian disiplin fiskal melalui

pengaturan pengendalian dan kerangka

struktur pelaporan, dan mendukung

proses pengambilan keputusan

pemerintah yang lebih baik.

Penetapan pengunaan Bagan Akun

Standar sebagai pedoman dalam

mekanisme pengelolaan keuangan negara

didahului dengan pembentukan suatu

kerangka dasar dalam bentuk single

framework Bagan Akun Standar. Dengan

adanya single framework ini, maka Bagan

Akun Standar memfasilitasi kebutuhan

klasifikasi para penggunanya. Bagan Akun

Standar tidak hanya menyajikan akun yang

secara umum digunakan untuk tujuan

pelaporan keuangan seperti akun aset,

kewajiban, modal, pendapatan, belanja,

pembiayaan, dan lain-lain, tetapi juga

meliputi klasifikasi lain yang digunakan

dalam perencanaan dan penganggaran.

Klasifikasi tersebut antara lain berupa kode

organisasi, tempat pembayaran, lokasi

kegiatan, program, kegiatan dan output

yang dihasilkan. Penggunaan klasifikasi

yang sama tersebut, memerlukan

kesepakatan dan komitmen antar

pengguna Bagan Akun Standar.

Komitmen para pengguna Bagan

Akun Standar baik dari Kementerian

Keuangan, maupun Kementerian

Negara/Lembaga sangat diperlukan guna

mewujudkan amanat reformasi keuangan

negara dan mendukung proses integrasi

pengelolaan keuangan negara. Untuk

memenuhi hal tersebut, maka dibutuhkan

pembaruan terhadap pengelolaan

keuangan Negara guna memenuhi prinsip-

prinsip good governance. Pemutakhiran

Bagan Akun Standar dilaksanakan secara

terpadu dengan mendasarkan pada single

framework tersebut. Selain itu,

penggabungan klasifikasi anggaran dan

klasifikasi akuntansi membentuk

Page 106: Dewan Direksi

102

kumpulan kode berupa struktur Bagan

Akun Standar.

Klasifikasi dalam BAS terdiri dari

segmen yang merupakan bagian dari BAS

berupa rangkaian kode sebagai dasar

validasi transaksi keuangan yang diakses

oleh sistem aplikasi. Segmen dalam BAS

terdiri dari 12 segmen yaitu segmen:

a. Satker merupakan kode satker dengan

atribut antara lain berupa kode bagian

anggaran dan kode eselon I yang

mencerminkan adanya unit yang

bertanggung jawab dalam pencatatan

transaksi,

b. KPPN merupakan kode KPPN dengan

atribut antara lain berupa kode Kantor

Wilayah Direktorat Jenderal

Perbendaharaan. Segmen ini

menunjukan adanya fungsi tempat

pemrosesan pembayaran melalui

kantor pelayanan perbendaharaan di

bawah Ditjen Perbendaharaan

Kementerian Keuangan,

c. Akun merupakan kode akun. Kode akun

atau juga dikenal sebagai klasifikasi

ekonomi, merupakan salah satu bagian

penting yang menunjukan transaksi dan

dampaknya pada laporan keuangan.

Kode akun ini akan mengalami

perubahan karena adanyapenerapan

akuntansi berbasis akrual sehingga

akun-akun yang ada akan menjadi akun

akrual. Dalam penerapan akuntansi

akrual, terdapat beberapa laporan yang

membutuhkan kode akun baru atau

juga terkait dengan mapping dengan

akun operasional berbasis kas yang

sudah ada,

d. Program merupakan kombinasi dari

kode bagian anggaran, kode eselon I,

dan kode program yang menunjukkan

penjabaran kebijakan Kementerian

Negara/Lembaga yang terdiri atas

beberapa kegiatan,

e. Output akan melekat pada pelaksanaan

dan pencapaian suatu kegiatan,

sehingga output merupakan kombinasi

dari kode kegiatan dan kode output,

dengan atribut antara lain berupa kode

fungsi dan kode sub fungsi,

f. Dana merupakan kombinasi dari kode

sumber dana, kode cara penarikan, dan

kode nomor register yang

mencerminkan adanya alokasi

pelaksanaan anggaran yangberasal dari

sumber dana tertentu dan memiliki cara

penarikan dana yangsesuai dengan

sumber dana tersebut,

g. Bank merupakan kombinasi dari kode

tipe rekening dan kode nomor rekening

dengan atribut antara lain berupa kode

KPPN yang mencerminkan penggunaan

rekening bank berbeda dalam

pengelolaan anggaran oleh pemegang

kas pemerintah yaitu Kuasa BUN yang

dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat

Pengelolaan Kas Negara selaku Kuasa

BUN Pusat, dan KPPN selaku Kuasa BUN

Daerah,

h. Kewenangan merupakan kode

kewenangan sebagai cerminan terdapat

berbagai kewenangan dalam proses

pelaksanaan anggaran. Terdapat 6

kewenangan yaitu kewenangan kantor

pusat, kator daerah, dekonsentrasi,

tugas pembantuan, desentralisasi, dan

urusan bersama,

i. Lokasi merupakan kode Lokasi

menunjukkan tempat berlangsungnya

kegiatan dan/atau penerima dana.

Selain itu, dengan adanya kode lokasi,

maka terdapat pengendaliananggaran

atas alokasi pembagian Dana Bagi Hasil,

dan bertujuan untuk transparansi

Page 107: Dewan Direksi

103

pengalokasian dana dalam transaksi

pengelolaan keuangan daerah,

j. Anggaranmerupakan kode

anggaranyang menunjukkan beberapa

tahapan pencatatan transaksi keuangan

dalam siklus pengelolaan APBN.

Tahapan tersebut terdiri dari atas

transaksi APBN, DIPA, realisasi,

pengembalian realisasi, dan

penyesuaian akrual,

k. Antarentitasmerupakan kode

antarentitas yang berisi Ditagihkan

Kepada Entitas Lain (Due to) dan

Diterima Dari Entitas Lain (Due From)

sebagai lawan dari kode satker untuk

transaksi antar entitas, dan

l. Cadangan merupakan kodefikasi yang

disediakan jika nantinya dalam

pengembangan BAS ke depan akan

membutuhkan segmen baru yang

belum tertampung dalam segmen

kodefikasi BAS saat ini.

2.4 Pengajuan Riset kepada Kementerian

Riset, Teknologi, dan Perguruan

Tinggi

Pengajuan riset pada

Kemenristekdikti mengikuti pedoman

Insentif Riset Sistem Inovasi Nasional

(SINas) yang berisi prosedur pengajuan

riset yang akan didanai dari APBN dan

kriteria-kriteria yang harus dipenuhi.

Berikut alur pengajuan riset yang dibiayai

oleh APBN melalui Kemenristekdikti.

Gambar 1. Prosedur Pengajuan Proposal Insentif Riset SINas pada Kemenristekdikti

Pada prosedur tersebut, proses

kerjasama riset serupa dengan proses

pengadaan barang dan jasa dilihat dari

kewajiban yang harus dipenuhi oleh

pengaju proposal. Berikut kewajiban yang

harus dipenuhi oleh pengaju proposal

insentif riset pada Kemenristekdikti yaitu

lembaga penerima berkewajiban untuk:

1. Mengembangkan organisasi dan

sistem manajemen yang efektif, dan

efisien serta accountable untuk

pelaksanaan kegiatan,

2. Melaksanakan rencana yang telah

disusun untuk mencapai sasaran dan

keluaran yang telah ditentukan, serta

memenuhi semua ketentuan yang

diatur di dalam kontrak kerjasama

dengan tim pengelola insentif riset

SINas,

Page 108: Dewan Direksi

104

3. Pelaksanaan insentif riset SINas

selama 10 (sepuluh) bulan kalender,

4. Bila terjadi keterlambatan

penyampaian pelaporan akhir atau

tidak selesai sesuai jangka waktu yang

telah ditetapkan akan dikenakan

denda sebesar 1‰ (satu per seribu)

untuk setiap hari keterlambatan atau

maksimum 5% (lima persen) dari nilai

kontrak dan atau sangsi lain sesuai

peraturan perundang yang berlaku.

5. Pencairan dana penyampaian laporan

(hardcopy dan file elektronik), yaitu:

a. Proposal untuk pencairan dana

termin 1 (30%). Dana diberikan

setelah menyampaikan proposal

hasil perbaikan sesuai anggaran

yang disetujui dan dokumen

administrasi keuangan.

b. Laporan Kemajuan Pertama untuk

penarikan dana termin 2 (50%).

Dana diberikan setelah

menyampaikan laporan kemajuan

teknis pertama setara dengan

pemanfaatan dana30%.

c. Laporan Kemajuan Kedua Untuk

penarikan dana Termin 3 (20%).

Dana diberikan setelah

menyampaikan laporan kemajuan

Teknis kedua setara dengan

pemanfaatan dana 50%.

d. Laporan akhir setara pemanfaatan

dana 100% Disampaikan saat

kontrak kerjasama berakhir yang

meliputi: (1) Laporan Akhir Teknis,

(2) Laporan Ringkas Hasil Litbang

Sesuai Lampiran 7, (3) Daftar Hasil

Litbang, (4) Surat Pernyataan Tidak

Membeli Alat/Barang Modal, (5)

Surat Pernyataan Setor Dana Sisa,

Dilengkapi dengan Bukti Setor Dana

Sisa (Bila ada), serta (6) Hasil

Evaluasi.

6. Membangun dan memantapkan

kemitraan dengan sejumlah lembaga

penelitian, perguruan tinggi, industri,

serta institusi lain yang terkait.

7. Mengamankan dan mengelola

teknologi yang dihasilkan melalui

perlindungan HKI meliputi: paten, hak

cipta, desain industri, rahasia dagang,

dan sebagainya.

8. Melakukan langkah promosi hasil

litbang potensial:

a. Mengembangkan mekanisme

transformasi teknologi dan

menyediakan dukungan teknis,

agar hasil litbang yang dibiayai

khususnya melalui Insentif Riset

SINas dapat diadopsi oleh

pengguna, industri atau

masyarakat secara maksimal.

b. Melaporkan kemajuan kegiatan,

hambatan dan penyimpangan yang

terjadi kepada Kementerian Riset

Dan Teknologi Secara periodik.

c. Menyediakan Informasi yang

diperlukan dalam rangka

monitoring dan evaluasi kinerja

Insentif Riset SINas.

d. Mengikuti pameran Iptek dan

seminar yang diselenggarakan

Kementerian Riset dan Teknologi.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan

dalam menyusun kajian ini adalah metode

kualitatif. Substansi yang dikaji diperoleh

melalui studi literatur mulai dari peraturan

perundang-undangan, kajian terdahulu,

serta berbagai literatur yang relevan

dengan tema kajian ini.

Page 109: Dewan Direksi

105

4. PEMBAHASAN

4.1 Konsep Fleksibilitas

Pertanggungjawaban Penggunaan

Dana SBKU Riset

Konsep fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

untuk SBKU riset, adalah serupa dengan

penerapan pada akun belanja lain-lain.

Belanja lain-lain yaitu pengeluaran/belanja

pemerintah pusat yang sifat

pengeluarannya tidak dapat

diklasifikasikan ke dalam pos-pos

pengeluaran lainnya (pegawai, barang,

modal, pembayaran utang/kewajiban,

subsidi, hibah, dan bantuan sosial).

Pertanggungjawaban atas penggunaan

dana SBKU riset adalah

pertanggungjawaban yang berupa

penggunaan dana secara gelondongan dan

tidak perlu terdapat bukti-bukti

pembayaran suatu barang/jasa yang

digunakan seperti nota, kuitansi, dan struk.

Pertanggungjawaban atas

penggunaan dana riset hanya berupa

kesepakatan antara pihak-pihak yang

berkepentingan. Kesepakatan tersebut

berisi diantaranya progress penyelesaian

riset, persentase dana yang dapat

dicairkan per progress riset, waktu

penyelesaian riset, tenggat waktu

keterlambatan, konsekuensi apabila riset

terlambat diselesaikan atau tidak dapat

diselesaikan, dan hal lainnya yang

mengikat bagi penerima insentif riset.

Hal ini menimbulkan beberapa

pertanyaan atau isu yang memunculkan

pro dan kontra atas penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

bagi SBKU riset. Isu-isu yang muncul akan

dibahas lebih lanjut pada subbab

berikutnya dan selanjutnya digunakan

untuk menilai seberapa layaknya

pembentukan akun khusus SBKU riset

dalam pengelolaan keuangan negara.

4.2 Analisis Penerapan Fleksibilitas

Pertanggungjaaban Penggunaan

Dana SBKU Riset

4.2.1 Aspek Hukum

Pada subbab ini, analisis penerapan

fleksibilitas pertanggungjawaban

penggunaan dana SBKU riset dilihat dari

sisi hukum atau peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Beberapa

peraturan yang berkaitan diantaranya

adalah peraturan yang berkenaan dengan

BAS, pelaksanaan APBN, dan peraturan

lainnya yang relevan.

Dimulai dari Pasal 65 ayat (1)

Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 2013

tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN,

dalam hal penyelesaian tagihan kepada

negara atas suatu beban anggaran belanja

negara yang tertuang dalam APBN,

dilaksanakan berdasarkan hak dan bukti

yang sah untuk memperoleh pembayaran.

Pada pasal tersebut, pertanggungjawaban

atas suatu penggunaan dana dari APBN,

tidak mensyaratkan dokumen yang sangat

rinci. Hanya dipersyaratkan hak dan bukti

yang sah untuk memperoleh pembayaran.

Beberapa hal yang perlu dipastikan

dalam pengajuan SPP diuraikan dalam

pasal 67 yaitu saat PPSPM menguji SPP

atas suatu tagihan tertentu, harus

melakukan pengujian yang meliputi

kelengkapan dokumen SPP, ketersediaan

pagu anggaran dalam DIPA, kesesuaian

keluaran antara dokumen perjanjian

dengan DIPA, kebenaran hak tagih,

kesesuaian keluaran antara dokumenn

Page 110: Dewan Direksi

106

penerimaan barang/jasa dengan dokumen

perjanjian, dan ketepatan penggunaan

klasifikasi anggaran.

Analisis lain dari sisi hukum

selanjutnya adalah analisis dengan

memperhatikan PMK

No.214/PMK.05/2013 tentang Bagan Akun

Standar. Peraturan ini juga perlu

diperhatikan karena pada penerapannya,

diharapkan dibentuk akun khusus bagi

SBKU riset sehingga dari sisi akuntansi akan

lebih akuntabel.

Pada pasal 5 PMK

No.214/PMK.05/2013 disebutkan bahwa

BAS dikelola oleh DJPB. Dalam rangka

pengelolaan BAS tersebut, DJPB dapat

melakukan pemutakhiran BAS yang

dilakukan atas dasar usulan dan/atau

penetapan kebijakan.

Berdasarkan hal tersebut, usulan

pemutakhiran BAS dapat berasal dari K/L

dan/atau unit eselon I di lingkungan

Kemenkeu. Usulan tersebut disampaikan

kepada DJPB/DJA/DJPU sesuai dengan

jenis segmen-segmennya. Selain itu,

pemutakhiran BAS atas dasar penetapan

kebijakan dapat disebabkan antara lain

karena perubahan peraturan perundang-

undangan dan/atau perubahan proses

bisnis pengelolaan keuangan.

Berdasarkan beberapa analisis dari

sisi hukum tersebut di atas, penerapan

fleksibilitas pertanggungjawaban

penggunaan dana untuk SBKU riset tidak

memiliki permasalahan yang berarti.

Hanya perlu terdapat koordinasi antara

pihak-pihak terkait terutama DJPB sebagai

pengelola BAS. Selain itu juga diperlukan

sosialisasi bagi seluruh pengelola

keuangan negara terkait hal ini mengingat

SBKU akan berlaku bagi seluruh KL. Di

samping itu, juga perlu terdapat

komunikasi intensif dengan aparat dan

pemeriksa agar memiliki cara pandang

yang sama pada saat melakukan audit atas

pelaksanaan kegiatan dalam rangka

pencapaian output riset.

4.2.2 Aspek Urgensi

Analisis selanjutnya mengenai

rencana penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

bagi SBKU riset ialah dengan mengkaji

urgensi dari hal tersebut. Dengan adanya

pertanggungjawaban secara “global” atau

tanpa pertanggungjawaban yang sangat

rinci dari penggunaan dana insentif riset,

hal ini akan memudahkan para peneliti

dalam proses penyusunan risetnya.

Bentuk pertanggungjawaban

secara global akan mendukung kinerja

peneliti dalam melakukan riset baik dari

sisi kuantitas maupun kualitas riset yang

dihasilkan. Dengan fokus pada penyusunan

risetnya, hal ini mendorong para peneliti

untuk menyusun riset sebanyak-

banyaknya dan peneliti akan lebih fokus

pada kualitas risetnya daripada sibuk

menyediakan segala bentuk nota atau

kuitansi sebagai bentuk

pertanggungjawaban atas penggunaan

dana riset.

Berdasarkan pertimbangan-

pertimbangan tersebut, dilihat dari

urgensinya, maka penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

bagi SBKU riset dapat dilakukan. Namun

perlu ditekankan pada para peneliti bahwa

dengan konsep pertanggungjawaban

tersebut, harus tetap mengedepankan

asas pengelolaan keuangan negara

sebagaimana diungkapkan dalam UU

No.17 Tahun 2003 yaitu keuangan negara

Page 111: Dewan Direksi

107

dikelola secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis,

efektif, transparan, dan bertanggung

jawab dengan memperhatikan rasa

keadilan dan kepatutan.

4.2.3 Isu-Isu yang Muncul Pada Penerapan

Fleksibilitas Pertanggungjawaban

Penggunaan Dana SBKU Riset

Dari beberapa uraian di atas,

terdapat aspek lain yang perlu

diperhatikan dalam melakukan analisis

penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

bagi SBKU riset. Aspek tersebut adalah

perlunya memperhatikan isu-isu yang

muncul dari penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

yang tidak dapat diabaikan dan perlu

terdapat solusinya. Terdapat 3 isu yang

akan dibahas satu per satu dalam subbab

ini yaitu berkenaan dengan penentuan

besaran SBKU riset itu sendiri,

akuntabilitas, dan pengukuran kinerja.

a. Penentuan Besaran SBKU Riset

Pembahasan akan dimulai dari isu

bagaimana besaran SBKU riset itu disusun.

Isu yang muncul adalah apakah besaran

SBKU riset yang telah ditetapkan, sudah

dapat menjamin bahwa kebutuhan riset

telah dapat terpenuhi. Sementara itu, jenis

riset yang ada sangat beragam dan

membawa konsekuensi kebutuhan

dananya juga cukup beragam pula. Isu ini

mungkin tidak berhubungan langsung

dalam pertimbangan untuk menentukan

pembentukan akun khusus bagi SBKU riset,

namun hal ini menjadi penting untuk

memastikan besaran SBKU adalah angka

yang dinilai paling efisien dan optimal

sehingga pertanggungjawaban secara

global dari penggunaan dana ini tidak

terdapat pro-kontra lagi.

Berikut beberapa uraian mengenai

penentuan besaran SBKU riset. SBKU

ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan

berlaku bagi seluruh kementerian

dan/atau lembaga. Agak berbeda dengan

konsep penggunaan besaran SBM dan SBK

dalam perencanaan dan pelaksanaan

anggaran, khusus besaran SBKU riset,

dalam proses perencanaan dan

pelaksanaan adalah batas tertinggi yang

tidak dapat dilampaui. Artinya, alokasi

SBKU dalam proses perencanaan tidak

boleh melebihi besaran yang telah

ditetapkan dan dalam pelaksanaan

anggaran juga terdapat aturan tertentu

yang menetapkan bahwa tidak semua

alokasi SBKU riset diberikan bagi suatu

proposal riset yang diajukan.

Dalam menentukan besaran yang

paling efisien, besaran SBKU disusun

berdasarkan kebutuhan riset yang selama

ini telah dilakukan atau berdasarkan

proposal-proposal riset yang telah

diajukan. Dari kisaran besaran tersebut,

Kemenkeu c.q DJA melakukan exercise

penghitungan secara detail dari kebutuhan

penyusunan riset per tahapan riset yang

selanjutnya didiskusikan bersama-sama

baik dengan pihak internal maupun pihak

eksternal DJA. Berdasarkan penghitungan

secara detail tersebut, akan diperoleh

besaran tertentu dari SBKU riset yang

selanjutnya ditetapkan sebagai SBKU yang

menjadi lampiran dari Peraturan Menteri

Keuangan tentang Standar Biaya Keluaran.

Atas besaran SBKU tersebut, kebutuhan

dana riset yang telah disusun diharapkan

telah sesuai dengan kebutuhan dalam

penyusunan riset.

Page 112: Dewan Direksi

108

Di sisi lain, dibuat juga ketentuan-

ketentuan tertentu dalam rangka

pengajuan anggaran riset sebagai bentuk

kontrol dari pengelolaan keuangan negara.

Ketentuan tersebut diantaranya

ialahmenentukan grade riset dan besaran

SBKU yang diberikan berdasarkan grade

tersebut. Artinya, dari proposal riset yang

diajukan, proposal akan direview oleh

reviewerdan akan ditentukan grade

risetnya. Selanjutnya berdasarkan grade

yang telah ditentukan, akan diberikan

persentase besaran SBKU tertentu,

misalnya riset grade A memperoleh 35%

dari besaran SBKU riset, riset grade B

memperoleh 50% dari besaran SBKU riset,

dan lain sebagainya.

Berdasarkan uraian di atas, dilihat

dari proses penentuan besaran SBKU riset,

pertanggungjawaban dana secara global,

tidak akan menimbulkan pro kontra karena

besaran SBKU riset disusun dengan

metode yang cukup memadai sehingga

menghasilkan besaran SBKU yang dinilai

paling efisien. Informasi ini perlu

disosialisasikan pada seluruh K/L sehingga

memiliki persepsi yang sama atas SBKU

riset.

b. Akuntabilitas

Isu selanjutnya yang menjadi

perhatian adalah akuntabilitas dari

pertanggungjawaban penggunaan dana

riset secara global. Pertanggungjawaban

tanpa menyertakan bukti-bukti

pembayaran secara rinci akan

menimbulkan moral hazard atau perilaku

seseorang yang tidak peduli dengan suatu

risiko atau kerugian yang timbul. Artinya,

dengan adanya kebijakan ini, justru

dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk

mengambil keuntungan sebanyak-

banyaknya. Hal ini menyebabkan tidak

terjaminnya akuntabilitas dari

pertanggungjawaban dana riset.

Menjawab atas kekhawatiran

tersebut, setiap kebijakan tentu saja selalu

timbul moral hazard yang menyebabkan

kebijakan tersebut tidak berjalan secara

sempurna. Berkenaan dengan kebijakan

pertanggungjawaban dana riset secara

global, timbulnya moral hazard dapat

diminimalisirkan dalam proses persetujuan

suatu pengajuan dana riset melalui

reviewer atas proposal riset yang diajukan.

Selain itu, dari proses penetapan besaran

SBKU riset sendiri pun sudah dimulai

diantisipasi dengan menentukan besaran

SBKU yang dinilai paling efisien dan

optimal.

Dengan demikian, isu akuntabilitas

yang muncul akibat adanya

pertanggungjawaban secara global dari

penggunaan dana riset, sudah dapat

dimitigasi risikonya. Maka pembentukan

pertanggungjawaban dana secara global,

tidak akan menimbulkan pro kontra dari

sisi akuntabilitas. Hal ini juga penting untuk

diinformasikan kepada pihak pemeriksa,

sehingga terdapat pemahaman yang sama

dan tidak mempermasalahkan di masa

yang akan datang.

c. Pengukuran Kinerja

Isu terakhir yang muncul dari

adanya kebijakan penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan dana

bagi SBKU riset adalah hilangnya alat yang

dapat digunakan Menteri Keuangan

sebagai chief Financial Officer (CFO) dalam

mengukur efisiensi melalui analisis varian.

Analisis varian merupakan penghitungan

Page 113: Dewan Direksi

109

dengan membandingkan biaya output,

tahapan pencapaian output, dan detail

biaya pada saat perencanaan dan

pelaksanaannya. Analisis varian

merupakan salah satu alat yang digunakan

untuk menilai efisiensi yang

membandingkan biaya suatu output dari

dimensi antarwaktu, tempat, dan

pengguna anggaran sebagai pelaksana

pencapaian output.

Perhitungan dengan alat ini tidak

dapat dilakukan karena tidak ada informasi

detail mengenai komponen biaya yang

digunakan dari dana insentif riset yang

telah digunakan oleh peneliti. Hal ini

terjadi karena pertanggungjawaban yang

diberikan oleh peneliti hanya berupa

penggunaan dana global dengan capaian

penyusunan risetnya.

Atas permasalahan tersebut, solusi

yang dapat diberikan yaitu dengan tetap

mewajibkan para peneliti untuk

memberikan rincian komponen biaya atas

penggunaan dana insentif riset yang

diperolehnya. Rincian tersebut berupa

ringkasan penggunaan dana seperti untuk

pembiayaan perjalanan dinas, biaya ATK,

biaya pengadaan, dan lain sebagainya

namun tidak perlu menyertakan bukti-

bukti pembayaran atas pembelian barang

atau penggunaan jasa tertentu. Dengan

demikian, dengan adanya rincian biaya

tersebut, penghitungan efisiensi dapat

dilakukan dan selain itu, isu atas kurangnya

akuntabilitas penggunaan dana riset juga

dapat diminimalisir.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan beberapa uraian di

atas, berikut kesimpulan yang dapat

diperoleh yaitu:

1. Konsep penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

dana untuk SBKU riset adalah serupa

dengan pertanggungjawaban pada

akun belanja lain-lain. Dengan

demikian, pertanggungjawaban atas

penggunaan riset hanya berupa

penggunaan dana secara gelondongan

dan tidak perlu terdapat bukti-bukti

pembayaran suatu barang/jasa yang

digunakan seperti nota, kuitansi, dan

struk. Pertanggungjawaban atas

penggunaan dana riset hanya berupa

kesepakatan 2 pihak antara PPK

dengan penerima insentif riset

Pertanggungjawaban atas

penggunaan dana riset hanya berupa

kesepakatan 2 pihak antara PPK

dengan penerima insentif riset.

Kesepakatan tersebut berisi

diantaranya progress penyelesaian

riset, persentase dana yang dapat

dicairkan per progress riset, waktu

penyelesaian riset, tenggat waktu

keterlambatan, konsekuensi apabila

riset terlambat diselesaikan atau tidak

dapat diselesaikan, dan hal lainnya

yang mengikat bagi penerima insentif

riset.

2. Berdasarkan beberapa analisis dari

beberapa peraturan perundang-

undangan yaitu PP No.45 Tahun 2013

dan PMK No.214/PMK.05/2013,

penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

Page 114: Dewan Direksi

110

dana untuk SBKU riset tidak memiliki

permasalahan yang berarti dari sisi

hukum. Hanya perlu terdapat

koordinasi antara pihak-pihak terkait

terutama DJPB sebagai pengelola BAS.

Selain itu juga diperlukan sosialisasi

bagi seluruh pengelola keuangan

negara terkait hal ini mengingat SBKU

akan berlaku bagi seluruh KL. Di

samping itu, juga perlu terdapat

komunikasi intensif dengan aparat dan

pemeriksa agar memiliki cara pandang

yang sama pada saat melakukan audit

atas pelaksanaan kegiatan dalam

rangka pencapaian output riset.

3. Dilihat dari urgensinya, penerapan

fleksibilitas pertanggungjawaban

penggunaan dana bagi SBKU riset

dapat dilakukan. Namun perlu

ditekankan pada para peneliti bahwa

dengan konsep pertanggungjawaban

secara global, harus tetap

mengedepankan asas pengelolaan

keuangan negara sesuai UU No.17

Tahun 2003 yaitu keuangan negara

dikelola secara tertib, taat pada

peraturan perundang-undangan,

efisien, ekonomis, efektif, transparan,

dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan rasa keadilan dan

kepatutan.

4. Terdapat 3 isu yang muncul dalam

penerapan fleksibilitas

pertanggungjawaban penggunaan

dana bagi SBKU riset yaitu penentuan

besaran SBKU riset, akuntabilitas, dan

pengukuran kinerja. Isu-isu tersebut

muncul akibat adanya kekhawatiran

bahwa adanya fleksibilitas justru akan

menimbulkan moral hazard dari para

peneliti untuk menggunakan dana

riset secara tidak bertanggung jawab,

kurangnya akuntabilitas, dan

hilangnya alat bagi Menkeu dalam

rangka menghitung efisiensi melalui

analisis varian. Namun demikian dari

setiap isu telah dapat mitigasi

risikonya sehingga diharapkan di masa

yang akan datang tidak lagi muncul

permasalahan

5.2 Saran

Atas beberapa kesimpulan yang

telah diambil tersebut, berikut saran yang

dapat diberikan yaitu:

6. Saat fleksibilitas terhadap

pertanggungjawaban penggunaan

dana SBKU riset direalisasikan, perlu

terdapat kontrol yang baik sehingga

akuntabilitas tetap terjaga.

7. Harus terdapat sosialisasi yang

dilakukan dalam memberikan

pemahaman yang tepat kepada

seluruh pihak yang terkait dengan

kebijakan ini. Beberapa pihak

diantaranya, pihak Kemenristekdikti,

JFA peneliti, pihak universitas atau

akademisi, pihak pemeriksa, BPK, Itjen,

dan pihak-pihak lain yang

berkepentingan, agar terdapat

pemahaman yang sama sehingga

terjadinya moral hazard dapat

diminimalisirkan.

DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003

tentang Keuangan Negara

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010

tentang Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun

2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan

APBN

Page 115: Dewan Direksi

111

Peraturan Menteri Keuangan Nomor

71/PMK.02/2013 tentang Pedoman

Standar Biaya, Standar Struktur

Biaya, dan Indeksasi Dalam

Penyusunan RKA K/L

Peraturan Menteri Keuangan Nomor

214/PMK.05/2013 tentang Bagan

Akun Standar

Page 116: Dewan Direksi

112

PENGARUH KEBIJAKAN AT COST TERHADAP ALOKASI ANGGARAN

PERJALANAN DINAS

AA Nova Swandana Email: [email protected]

INTISARI

Kebijakan penerapan mekanisme at cost pada perjalanan dinas membawa dampak pro dan kontra. Sampai dengan saat ini belum ada penelitian yang berusaha membahas mengenai pengaruh penerapan at cost tersebut. Penelitian ini merupakan tipe penelitian

korelasional yang berusaha untuk menemukan pengaruh atas kebijakan tersebut pada alokasi anggaran perjalanan dinas dengan mengangkat variabel pagu anggaran, belanja barang, uang harian, dan transportasi. Jangkauan penelitan ini mulai dari tahun 2005 hingga 2011. Untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan, digunakan metodologi analisis uji beda dan regresi statistika. Analisis uji beda untuk menguji apakah terdapat perbedaan antara sebelum dan sesudah penerapan at cost, dan regresi statistika untuk mengetahui secara lebih mendetail hubungan antara variabel dengan mekanisme at cost. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa terdapat perbedaan alokasi pagu perjalanan dinas antara sebelum dan sesudah penerapan at cost. Sedangkan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap perjalanan dinas adalah: uang harian, pagu perjalanan dinas, dan pagu belanja barang. variabel-variabel tersebut mempengaruhi perjalanan dinas sebanyak 56%. Selain itu, terdapat variabel lainnya yang memberikan kontribusi pengaruh sebesar 44% terhadap perjalanan dinas.

Kata kunci: perjalanan dinas, at cost, lump sum, belanja negara, anggaran sektor publik

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Bicara mengenai perjalanan dinas

merupakan suatu hal yang menarik. Tidak

hanya di negara berkembang seperti

Indonesia, negara-negara maju pun

memiliki permasalahan dalam

mengefisienkan pengeluaran perjalanan

dinas. Di Indonesia, semangat

mengefisienkan belanja negara tercermin

dari dikeluarkannya PMK 45/PMK.05/2007

tentang Perjalanan Dinas Jabatan Dalam

Negeri Bagi Pejabat Negara,Pegawai

Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap

(selanjutnya dalam tulisan ini disebut

perjalanan dinas saja) pada tanggal 25 April

2007. Salah satu latar belakang keluarnya

PMK tersebut adalah pertimbangan bahwa

pembiayaan untuk perjalanan dinas harus

sesuai dengan kebutuhan nyata dan

memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan

keuangan negara. Karena itu perlu

dilakukan perubahan pada cara

pembayaran biaya perjalanan dinas, dari

sebelumnya diberikan secara gelondongan

(lumpsum) menjadi dihitung sesuai dengan

kebutuhan riil (at cost) khususnya pada

biaya transportasi dan penginapan.

Perubahan tersebut diharapkan

menunjang pelaksanaan anggaran yang

transparan dan akuntabel, dalam hal ini

untuk menghindari peluang terjadinya

praktek yang tidak sehat seperti

Page 117: Dewan Direksi

113

menambah jumlah hari perjalanan. Sistem

at cost dipercaya mampu memberikan

manfaat efisiensi, karena:

1. Semua kebutuhan dalam pelaksanan

perjadin difasilitasi

2. Pengeluaran benar-benar sesuai

kenyataannya untuk mendukung

pencapaian output

3. Meminimalisir tujuan untuk

menambah penghasilan sehingga

perjadin dilakukan benar-benar dalam

kerangka mencapai output

4. Memudahkan pelaksanaan

pemeriksaan karena terdapat bukti riil

Secara psikologis, penerapan

metode at cost yang sesuai dengan

kebutuhan nyata dianggap akan mampu

meningkatkan efisiensi perjalanan dinas

sekaligus menurunkan tendensi

melakukan perjalanan dinas untuk

menambah penghasilan. Kenyataan bahwa

pemerintahan daerah, pimpinan dan

anggota DPRD juga mulai mengadopsi

sistem at cost ini dengan terbitnya

Permendagri Nomor 16/2013 tentang

Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2013

telah menunjukkan bahwa at cost betul-

betul dipandang mampu meningkatkan

efisiensi perjalanan dinas.

Disisi lain, terdapat suara

penolakan terhadap penerapan at cost.

Arus penolakan terhadap kebijakan ini

mulai dari permintaan untuk kembali pada

metode lumpsum karena at cost ditengarai

mengurangi penghasilan sampai dengan

anggapan bahwa at cost justru membawa

konsekuensi lebih borosnya perjalanan

dinas yang dilakukan.

Kini telah genap 8 tahun semenjak

PMK 45/PMK.05/2007 diterbitkan,

ternyata belum ada satupun penelitian

yang berusaha menjawab apakah benar

penerapan at cost tersebut berpengaruh

terhadap alokasi anggaran.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah

memberikan gambaran tentang ada

tidaknya pengaruh pada alokasi anggaran

sebagai dampak dari penerapan

mekanisme at cost pada perjalanan dinas.

1.3 Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian ini adalah:

1. Adakah perbedaan pada alokasi

perjalanan dinas antara sebelum dan

sesudah penerapan at cost?

2. Variabel apakah yang paling

mempengaruhi perjalanan dinas?

1.4 Pembatasan dan Perumusan Masalah

Penelitian ini berupaya memberi

jawaban ada tidaknya pengaruh

penerapan metode at cost pada alokasi

perjalanan dinas. Seluruh data perjalanan

dinas pada APBN terekam dalam data

server DJA, dan untuk mengaksesnya

diperlukan interface. Interface yang

dibangun oleh DJA sekarang hanya

memfasilitasi akses mulai dari tahun

anggaran 2005, sehingga data yang ideal

tidak dapat diperoleh, diantaranya adalah

volume perjalanan dinas. Selain itu,

beberapa perubahan yang terjadi terkait

perumusan output Kegiatan pada tahun

2009-2010 telah membuat beberapa

struktur data (diantaranya output) menjadi

berubah dan berbeda antar tahun.

Pokok dari penelitian ini adalah

penerapan at cost, karena itu diperlukan

titik kapan penerapan at cost tersebut

Page 118: Dewan Direksi

114

dilakukan. Meskipun semenjak PMK

45/PMK.05/2007 yang mengatur at cost

menyatakan berlaku pada saat PMK

tersebut diundangkan, pada penelitian ini

digunakan asumsi bahwa penerapan at

cost dilaksanakan pada tahun 2008 dengan

pertimbangan bahwa pada tahun 2007

fasilitas yang mendukung terlaksananya

mekanisme at cost belum tersedia dengan

baik, dan baru pada tahun 2008 bisa

dikatakan cukup baik.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori kebijakan

Menurut definisi KBBI, kebijakan

adalah :

Kebijakan/ke·bi·jak·an/ n 1 kepandaian;

kemahiran; kebijaksanaan; 2 rangkaian

konsep dan asas yg menjadi garis besar

dan dasar rencana dl pelaksanaan suatu

pekerjaan, kepemimpinan, dan cara

bertindak (tt pemerintahan, organisasi,

dsb); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip,

atau maksud sbg garis pedoman untuk

manajemen dl usaha mencapai sasaran;

garis haluan:

Menurut Ealau dan Pewitt (1973)

kebijakan adalah sebuah ketetapan yang

berlaku,dicirikan oleh perilaku yang

konsisten dan berulang baik dari yang

membuat atau yang melaksanakan

kebijakan tersebut. Menurut Titmuss

(1974) mendefinisikan kebijakan sebagai

prinsip-prinsip yang mengatur tindakan

dan diarahkan pada tujuam tertentu dan

menurut Edi Suharto (2008:7) menyatakan

bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan

yang memuat prinsip-prinsip untuk

mengarahkan cara bertindak yang dibuat

secara terencana dan konsisten dalam

mencapai tujuan tertentu.

Dalam lingkup publik, dikenal

adanya kebijakan publik. Kebijakan publik

menurut Anderson (1975) adalah

kebijakan kebijakan yang dibangun oleh

badan-badan dan pejabat-pejabat

pemerintah, di mana implikasi dari

kebijakan tersebut adalah: 1) kebijakan

publik selalu mempunyai tujuan tertentu

atau mempunyai tindakan-tindakan yang

berorientasi pada tujuan; 2) kebijakan

publik berisi tindakan-tindakan

pemerintah; 3) kebijakan publik

merupakan apa yang benar-benar

dilakukan oleh pemerintah, jadi bukan

merupakan apa yang masih dimaksudkan

untuk dilakukan; 4) kebijakan publik yang

diambil bisa bersifat positif dalam arti

merupakan tindakan pemerintah

mengenai segala sesuatu masalah

tertentu, atau bersifat negatif dalam arti

merupakan keputusan pemerintah untuk

tidak melakukan sesuatu; 5) kebijakan

pemerintah setidak-tidaknya dalam arti

yang positif didasarkan pada peraturan

perundangan yang bersifat mengikat dan

memaksa

2.2 Teori alokasi anggaran

Menurut definisi KBBI, alokasi

adalah: Alokasi/alo·ka·si/ n Ek 1 penentuan

banyaknya barang yg disediakan untuk

suatu tempat (pembeli dsb); penjatahan; 2

penentuan banyaknya uang (biaya) yg

disediakan untuk suatu keperluan:

Pemerintah memberi -- dana kpd tiap desa

untuk membangun gedung sekolah dasar;

3 Sos pembagian pengeluaran dan

pendapatan (di suatu departemen,

instansi, atau cabang perusahaan), baik dl

Page 119: Dewan Direksi

115

perencanaan maupun pelaksanaannya; 4

Man penentuan penggunaan sumber daya

secara matematis (msl tt tenaga kerja,

mesin, dan perlengkapan) demi

pencapaian hasil yg optimal;

Menurut Mardiasmo (2002:61):

”Anggaran merupakan pernyataan

mengenai estimasi kinerja yang hendak

dicapai selama periode waktu tertentu

yang dinyatakan dalam ukuran financial,

sedangkan penganggaran adalah proses

atau metoda untuk mempersiapkan suatu

anggaran.”

Untuk menyusun suatu anggaran,

organisasi harus mengembangkan lebih

dahulu perencanaan strategis. Melalui

perencanaan strategis terserbut, anggaran

mendapatkan kerangka acuan strategis. Di

sini, anggaran menjadi bermakna sebagai

alokasi sumber daya berupa keuangan

untuk mendanai berbagai program dan

kegiatan.

2.3 Perjalanan Dinas

Definisi perjalanan dinas menurut

KBBI:

Per·Ja·lan·an n 1 perihal (cara, gerakan,

dsb) berjalan: krn kakinya cacat, ~ nya tidak

sempurna; 2 kepergian (perihal bepergian)

dr suatu tempat dsb ke tempat dsb yg lain:

ia mendapat kecelakaan dl ~ ke Jakarta; 3

jarak (jauh) yg dicapai dng berjalan dl

waktu yg tertentu: jauhnya kira-kira dua

jam ~; 4 perbuatan; kelakuan; tingkah laku:

ia bertanya kpd saya bagaimana ~ pegawai

baru itu sebelum bekerja di sini;

Di·nas 1 n bagian kantor pemerintah yg

mengurus pekerjaan tertentu; jawatan: --

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya; 2 n

segala sesuatu yg bersangkutan dng

jawatan (pemerintah), bukan swasta: surat

--; pekerjaan --; 3 v cak bertugas, bekerja

(dl jawatan pemerintah): di mana kau --

sekarang?;

Berdasarkan definisi kedua kata

tersebut, dapat ditarik disimpulkan yang

dimaksud dengan perjalanan dinas adalah

perihal bepergian dari suatu tempat ke

tempat yang lain karena bekerja. Dalam

pelaksanaannya, karena perpindahan

tersebut memerlukan biaya-biaya maka

kepada pegawai diberikan fasilitas

perjalanan dinas berupa uang harian, uang

transportasi, dan penginapan (jika

diperlukan). Pada prinsipnya, fasilitas

tersebut merupakan biaya karena tidak

bersifat menambah penghasilan.

Pengaturan mengenai perjalanan

dinas itu diatur oleh Menteri Keuangan

selaku Chief Financial Officer dalam

Pemerintahan Republik Indonesia. Dalam

bentuk pengaturannya, Kewenangan

Menteri Keuangan tersebut didelegasikan

menjadi dua kewenangan yang diberikan

kepada Direktorat Jenderal Anggaran yang

mengatur mengenai besaran standar

biayanya, dan Direktorat Jenderal

Perbendaharaan yang mengatur mengenai

mekanisme perjalanan dinasnya. PMK

Nomor 45/PMK.02/2007 adalah terbitan

Direktorat Jenderal Perbendahaaran yang

bersifat mengatur mekanisme. Pada

perjalanannya, PMK tersebut melalui

beberapa kali revisi dan terakhir dicabut

dengan PMK No.113/PMK.05/2012 yang

tetap mempertahankan pengaturan

mekanisme at cost.

Terdapat dua klasifikasi perjalanan

dinas, yakni perjalanan dinas dalam negeri

dan perjalanan dinas luar negeri.

Perjalanan dinas dalam negeri diatur

dalam PMK Nomor 45/PMK.02/2007 jo.

Page 120: Dewan Direksi

116

PMK No.113/PMK.05/2012, Sedangkan

untuk Perjalanan Dinas Luar Negeri diatur

melalui Peraturan Menteri Keuangan

Nomor 97/PMK.05/2010, Terdapat tiga

komponen dalam perjalanan dinas yaitu

uang harian, tranportasi, dan penginapan.

Perlu disampaikan bahwa, pengaturan at

cost dalam perjalanan dinas dalam negeri

adalah pada komponen transportasi (tiket)

dan hotel. Sedangkan pada perjalanan

dinas luar negeri, hanya transportasi yang

diberikan at cost karena uang penginapan

digabungkan dengan uang harian yang

diberikan secara lumpsum.

Menurut kedua peraturan

tersebut, Perjalanan Dinas Dalam Negeri,

didefinisikan sebagai: perjalanan ke luar

tempat kedudukan yang dilakukan dalam

wilayah Republik Indonesia untuk

kepentingan negara. Sedangkan

Perjalanan Dinas Luar Negeri, yang

didefinisikan sebagai: perjalanan baik

perseorangan maupun secara bersama

untuk kepentingan dinas/negara, dari

Tempat Bertolak di Dalam Negeri ke

Tempat Tujuan di Luar Negeri, dari Tempat

Kedudukan di Luar Negeri/ Tempat

Bertolak di Luar Negeri ke Tempat Tujuan

di Dalam Negeri, atau dari Tempat

Kedudukan di Luar Negeri/Tempat

Bertolak di Luar Negeri ke Tempat Tujuan

di Luar Negeri, yang dananya bersumber

dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara (APBN).

Terdapat perbedaan antara

pengaturan perjalanan dinas yang

bersumber dari dana APBN dengan dana

APBD. Seorang analis anggaran

mengibaratkan keuangan negara sebagai

aliran sungai yang terbelah dua, menjadi

Anggaran Pusat dan anggaran Daerah.

Dalam UU Nomor 17 tahun 2003

disebutkan dalam pasal bahwa keuangan

daerah diserahkan kepada pemerintahan

daerah. Sebagai pembina keuangan daerah

dipegang oleh Kementerian Dalam Negeri.

Perjalanan dinas yang dilakukan oleh

Pemerintah Daerah, dan Pimpinan serta

Anggota DPRD diatur dalam Peraturan

Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia,

yang terakhir adalah Permendagri Nomor

37 Tahun 2014 yang (serupa dengan

pengaturan pada APBN) mengatur uang

transportasi dan penginapan dibayar

secara at cost dan uang harian secara

lumpsum.

Namun khusus untuk DPR yang

merupakan bagian dari

Kementerian/Lembaga, biarpun sama-

sama menggunakan dana APBN,

perjalanan dinas Pimpinan dan Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia diatur tersendiri dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun

1990 yang mengatur perjalanan dinas

untuk Pimpinan dan anggota DPR secara

lumpsum.

Terkait dengan sistem

penganggaran, perjalanan dinas

menempati pos akun belanja 524. Dalam

penganggaran di Indonesia dikenal adanya

pembagian Jenis Belanja yang terdiri dari:

(1) Aset; (2) Kewajiban (3) Ekuitas Dana (4)

Pendapatan; (5) Belanja; (6) Transfer untuk

daerah; (7) Pembiayaan. Dan (8) Non

Anggaran. Pengeluaran atau belanja dibagi

menjadi (51) Belanja Pegawai, (52) Belanja

Barang (Belanja Perjalanan terdapat pada

sub Belanja Barang dengan akun 524), (53)

Belanja Modal, (54) Pembayaran Utang

(55) Belanja Subsidi (56) Belanja Hibah (57)

Belanja Bantuan Sosial, dan (58) Belanja

Page 121: Dewan Direksi

117

lain-lain. Pengaturan sebagaimana

tersebut diatur melalui PMK Nomor

91/PMK.05/2007 jo. PMK No.

214/PMK.05/2013 tentang Bagan Akun

Standar. Bagan Akun Standar adalah daftar

kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi

keuangan yang disusun secara sistematis

sebagai pedoman dalam perencanaan,

penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan

pelaporan keuangan pemerintah

Belanja Perjalanan dalam Negeri

mendapat kode akun 52411, dan Belanja

Perjalanan Luar Negeri mendapat kode

akun 52421 dengan sub akun 6 digit

sebagaimana berikut:

Tabel 1.1 Akun dan Kode Akun Perjalanan Dinas Dalam dan Luar Negeri Belanja perjalanan dinas dalam negeri 52411

524111 Belanja perjalanan dinas biasa

524112 Belanja perjalanan dinas tetap

524113 Belanja perjalanan dinas dalam kota

524114 Belanja paket

meeting dalam

kota

524119 Belanja paket

meeting luar kota

Belanja

perjalanan

dinas luar

negeri

52421

524211 Belanja perjalan

biasa – Luar

Negeri

524212 Belanja Perjalanan

dinas tetap – Luar

negeri

524219 Belanja Perjalanan

Lainnya –Luar

Negeri

Komponen yang diatur dalam

pengaturan PMK 45 jo PMK 113 adalah

terdapat dalam akun 524111 yang detilnya

terdiri dari Belanja Uang Harian, Belanja

Transportasi, dan Belanja Penginapan.

Kegiatan Paket meeting (berdasarkan

standar biaya terdiri dari paket yang

disediakan hotel untuk keperluan meeting

terdiri dari half day/paket setengah hari-5

jam, fullday-paket sehari 8 jam, dan

fullboard-paket termasuk menginap)

sebagai fasilitasi dari rapat, seminar, dan

sejenisnya yang dilaksanakan diluar kota

menggunakan akun 524119 Sesuai

Perdirjen Perbendaharaan No. PER-

22/PB/2013, dan Surat Dirjen PB No. S-

4599/PB/2013.

2.4 At cost dan Lumpsum

Salah satu latar belakang

dikeluarkannya PMK Nomor

45/PMK.05/2007 adalah pertimbangan

bahwa pembiayaan untuk perjalanan dinas

harus sesuai dengan kebutuhan nyata dan

memenuhi kaidah-kaidah pengelolaan

keuangan negara. Kebutuhan nyata/riil

yang dimaksud ada didalam mekanisme at

cost yang merupakan anti tesis dari

mekanisme lumpsum.

Mekanisme lumpsum itu sendiri

berarti pembiayaan yang diberikan

sekaligus kepada yang menjalankan tugas,

sedangkan mekanisme at cost berarti biaya

dibayarkan sesuai dengan pengeluaran

secara riil, dapat diberikan dimuka.

Berlawanan dengan mekanisme at cost

yang mana jika realisasi pengeluaran

kurang dari yang diberikan maka sisanya

harus dikembalikan, maka pada

mekanisme lumpsum jika pengeluaran

lebih kecil daripada pembiayaan yang

diberikan maka kelebihannya menjadi hak

yang menjalankan tugas.

Perjalanan dinas dan kesejateraan

pegawai merupakan isu sentral dari

penolakan atas pemberlakuan sistem at

Page 122: Dewan Direksi

118

cost. Merupakan rahasia umum bahwa

sistem lumpsum memberikan peluang

kepada pegawai untuk menabung

kelebihan uang yang diterimanya melalui

penghematan yang dilakukan. Misal,

daripada memilih tiket perjalanan yang

semestinya menggunakan tiket Garuda

sesuai standar perjalanan dinas, yang

bersangkutan lebih memilih menggunakan

maskapai penerbangan lain yang harga

tiketnya di bawah harga tiket Garuda untuk

dapat mengambil keuntungan dari selisih

harga tiket tersebut. Semenjak

pemberlakuan at cost, hal tersebut tidak

dapat dilakukan lagi yang mana hal

tersebut berimbas pada kesejahteraan

pegawai yang melakukan perjalanan dinas

karena secara otomatis tidak ada celah lagi

untuk melakukan penghematan

disebabkan yang dibayarkan sesuai dengan

harga tiket.

3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Menurut Kuncoro (2009, 10),

terdapat 5 jenis penelitian berdasarkan

metode yang dilakukan dalam penelitian

tersebut yaitu: penelitian historis;

deskriptif; korelasional; kausal komparatif;

dan eksperimental. Maka penelitian ini

termasuk dalam jenis penelitian

korelasional yaitu penelitian yang

bertujuan menentukan apakah terdapat

asosiasi antara 2 variabel atau lebih, serta

seberapa jauh korelasi yang ada di antara

variabel yang diteliti. Namun terdapat

suatu hal yang perlu diperhatikan, bahwa

penelitian korelasi tidak menjelaskan

sebab-akibat dari setiap variabelnya,

melainkan hanya menjelaskan ada atau

tidak adanya hubungan antara variabel

yang diteliti.

Jenis data yang digunakan dalam

studi ini ialah data panel berupa data

pooled yaitu kombinasi data yang memiliki

elemen runtun waktu dan crosssection

(Gujarati, 2004: 28). Data yang digunakan

terdiri dari 63 K/L dengan waktu penelitian

pada data anggaran tahun 2005 hingga

2011. Data panel dipilih karena beberapa

keunggulan di antaranya (Baltagi, 2005: 4-

6):

1. Data panel yang merupakan gabungan

dua jenis data cross-section dan time

series, mampu menyediakan data yang

lebih banyak sehingga memberikan

informasi yang lebih banyak, lebih

beragam, sedikit kolinearitas

antarvariabel, menghasilkan degree of

freedom lebih besar, dan lebih efisien;

2. Dengan mempelajari unit cross-section

yang berulang-ulang, maka

penggunaan data panel lebih baik

dalam mempelajari adanya perubahan

dinamis;

3. Dapat lebih baik mendeteksi dan

mengukur pengaruh suatu variabel

yang tidak diperoleh jika

mengobservasi dengan data murni

cross-section atau murni time series.

4. Memungkinkan peneliti untuk

mempelajari suatu model perilaku

yang lebih kompleks.

5. Secara sederhana, penggunaan data

panel dapat memperkaya analisis

empiris yang mungkin tidak dapat

ditemukan jika hanya menggunakan

data runtun waktu saja atau data cross-

section saja.

Data yang digunakan dalam kajian

ini diambil dari business inteligence (BI)

Page 123: Dewan Direksi

119

DJA, standar biaya masukan (SBM) untuk

besaran satuan biaya uang harian, satuan

biaya uang tiket, dan satuan biaya

penginapan. Data pagu yang digunakan

adalah data pagu Perpres.

3.2 Strategi identifikasi

Perjalanan dinas dari setiap K/L

merupakan hasil dari proses produksi

dengan memanfaatkan sumber daya yang

tersedia dari beberapa variabel yaitu pagu

K/L, belanja barang, dan uang harian. Maka

fungsi produksi dari perjalanan dinas

adalah:

Perjadin = f(PAGU, BBARANG, UHARIAN)

Keterangan:

PAGU = pagu anggaran K/L

(Rupiah)

BBARANG = belanja barang K/L

(Rupiah)

UHARIAN = besar uang harian sesuai

SBU/SBM (Rupiah)

Secara umum dengan

menggunakan data panel akan

menghasilkan intersep dan slope koefisien

yang berbeda pada setiap provinsi dan

setiap periode waktu. Dengan demikian,

dalam mengestimasi model data panel,

akan tergantung dari asumsi yang dibuat

tentang intersep, koefisien slope, dan

variabel gangguannya. Beberapa

kemungkinan yang muncul yaitu

(Widarjono, 2009):

1. Intersep dan slope tetap sepanjang

waktu dan provinsi. Maka perbedaan

intersep dan slope dijelaskan oleh

variabel gangguan.

2. Slope tetap dan intersep berbeda

antarprovinsi.

3. Slope tetap dan intersep berbeda baik

antarwaktu maupun antarprovinsi.

4. Slope dan intersep berbeda

antarprovinsi.

5. Slope dan intersep berbeda

antarwaktu dan antarprovinsi.

Terdapat beberapa metode yang

secara umum digunakan untuk

mengestimasi model regresi dengan data

panel yaitu:

1. Koefisien tetap antarwaktu dan

individu (common effect)

Pendekatan ini menggunakan

metode OLS biasa untuk mengestimasi

model data panel. Dalam pendekatan

ini tidak memperhatikan dimensi

individu maupun waktu. Diasumsikan

bahwa perilaku data antarprovinsi

sama dalam berbagai kurun waktu.

Bentuk model persamaan regresi

secara umum sebagai berikut:

Yit = β0+ β1Xit+ εit

Keterangan:

Yit = variabel dependen dari individu i

pada kurun waktu t

Xit = variabel independen dari individu

i pada kurun waktu t

εit = error term

2. Slope konstan dan intersep berbeda

antarindividu (fixed effect)

Asumsi pada common effect dinilai

tidak mencerminkan kondisi

sebenarnya. Karakteristik dari

beberapa individu (provinsi) jelas akan

berbeda. Salah satu cara paling

sederhana untuk mengetahui adanya

perbedaan adalah dengan

mengasumsikan bahwa intersep

berbeda antarindividu (provinsi)

sedangkan slopenya tetap sama

Page 124: Dewan Direksi

120

antarindividu (provinsi). Bentuk model

FE secara umum ialah:

Yit = β0i+ β1Xit+ εit

Keterangan:

Yit = variabel dependen dari individu i

pada kurun waktu t

Xit = variabel independen dari individu

i pada kurun waktu t

εit = error term

Pada model tersebut intersep β

diberikan subkrip i untuk menunjukkan

bahwa intersep dari seluruh individu

(provinsi) dimungkinkan berbeda.

Adanya perbedaan intersep dalam

model fixed effect, ditangkap dengan

penggunaan variabel dummy dalam

model estimasi. Tehnik ini dikenal

dengan tehnik least squares dummy

variables (LSDV). Penggunaan dummy

juga bertujuan untuk mewakili

ketidaktahuan peneliti tentang model

yang sebenarnya.

3. Random effect

Penggunaan variabel dummy

dalam model fixed effect (FE) membawa

konsekuensi berkurangnya derajat

kebebasan (degree of freedom) yang pada

akhirnya mengurangi efisiensi parameter.

Masalah ini dapat diatasi dengan

penggunaan variabel gangguan (error

terms) yang dikenal dengan metode

random effect (RE). Variabel gangguan dari

metode estimasi data panel ini, mungkin

saling berhubungan antarwaktu dan

antarindividu.

Asumsi yang digunakan adalah

intersepnya merupakan variabel random

atau stokastik. Maka model RE secara

umum ialah

Yit = β0i+ β1Xit+ εt

Keterangan:

Yit = variabel dependen dari individu i

pada kurun waktu t

Xit = variabel independen dari individu

i pada kurun waktu t

εt = error term

Dalam hal ini β0i tidak lagi tetap

tetapi bersifat random sehingga dapat

dituliskan kembali dalam persamaan

sebagai berikut:

β0i = �̅�0 + µi yaitu i = 1,….n

�̅�0 adalah parameter yang tidak diketahui

yang menunjukkan rata-rata intersep

populasi dan µ adalah variabel gangguan

yang bersifat random yang menjelaskan

adanya perbedaan perilaku provinsi secara

individu. Dalam hal ini, variabel gangguan

µi memiliki karakteristik sebagai berikut:

E(µi) = 0 dan var(µi) = 𝜎𝜇2

Sehingga E(β0i) = �̅�0 dan var(β0i) = 𝜎𝜇2

Maka persamaan RE menjadi:

Yit = (�̅�0 + µi) + β1Xit + eit

= �̅�0 + β1Xit + (eit + µi)

= �̅�0 + β1Xit + vit

Yaitu vit = eit + µi yang berarti bahwa

variabel gangguan vit terdiri dari dua

komponen berupa variabel gangguan

secara menyeluruh eit (kombinasi time

series dan cross section) serta variabel

gangguan secara individu µi. Variabel

gangguan µi adalah berbeda-beda

antarindividu tetapi tetap antarwaktu.

Dengan demikian model RE juga disebut

sebagai error component model (ECM).

Asumsi yang berkaitan dengan

variabel gangguan vit adalah sebagai

berikut:

a. Nilai harapan variabel gangguan nol

E(vit) = 0

Page 125: Dewan Direksi

121

b. Varian variabel gangguan

homoskedastisitas Var(vit) = 𝜎𝜇2 + 𝜎𝑒

2

c. Variabel gangguan dari provinsi yang

sama dalam periode yang berbeda

saling berkorelasi cov (vit, vis) = 𝜎𝜇2 (t ≠

s)

d. Variabel gangguan dari provinsi yang

berbeda tidak berkorelasi cov (vit, vjs) =

0 (i ≠ j).

Adanya korelasi antara variabel gangguan

dalam model RE menyebabkan metode

OLS tidak bisa digunakan untuk mendapat

estimator yang efisien. Metode yang tepat

digunakan untuk mengestimasi model RE

adalah generalized least squares (GLS).

Sebelum melakukan estimasi,

terlebih dahulu dilakukan uji akar unit (unit

root) dari masing-masing variabel. Pada

dasarnya, uji akar unit dilakukan pada data

panel untuk meningkatkan kekuatan dari

hasil estimasi (Baltagi, et al., 2007).

Pemilihan tehnik estimasi model

regresi data panel sebagaimana

disebutkan di atas, ditentukan dengan

beberapa uji statistik untuk menemukan

model terbaik yang digunakan untuk

mengestimasi model regresi. Maka

beberapa uji tersebut di antaranya:

1. Uji signifikansi FE

Keputusan untuk menambahkan

variabel dummy untuk mengetahui

bahwa intersep berbeda antarprovinsi

dengan metode FE dapat ditunjukkan

dengan uji F statistik. Uji F ini

merupakan uji perbedaan dua regresi

yang juga dikenal dengan uji Chow. Uji

F digunakan untuk mengetahui apakah

tehnik regresi data panel dengan FE

lebih baik dari model regresi data panel

tanpa variabel dummy. Hal ini

dilakukan dengan melihat residual sum

of squares (RSS) dari masing-masing

model. Adapun uji F statistiknya adalah

sebagai berikut:

𝐹 =(𝑅𝑆𝑆1 − 𝑅𝑆𝑆2) 𝑚⁄

(𝑅𝑆𝑆2) (𝑛 − 𝑘)⁄

Keterangan:

RSS1= residual sum of squares tehnik tanpa

variabel dummy

RSS2= residual sum of squares tehnik FE

dengan variabel dummy

m = jumlah restriksi atau pembatasan di

dalam model tanpa variabel dummy

n = jumlah observasi

k = jumlah parameter dalam model FE

dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 = common effect

H1 = fixed effect

Nilai statistik F hitung akan mengikuti

distribusi statistik F dengan derajat

kebebasan (df) sebanyak m untuk

numerator dan sebanyak n-k untuk

denumetor. Maka jika F hitung lebih besar

dari F statistik, maka menolak H0 yang

artinya model FE dengan tehnik LSDV

adalah model data panel yang lebih tepat

dibandingkan dengan common effect (CE).

2. Uji signifikansi RE

Selanjutnya perlu dilakukan pengujian lain

untuk memilih model data panel RE atau

CE yang sesuai untuk mengestimasi data

panel. Pengujian ini menggunakan uji

Lagrange multiplier (LM) yang

dikembangkan oleh Breusch Pagan. Uji ini

didasarkan pada nilai residual dari metode

OLS. Adapun nilai statistik LM dihitung

dengan formula sebagai berikut:

𝐿𝑀 =𝑛𝑇

2(𝑇 − 1)[∑ [∑ 𝑒𝑖�̂�

𝑇𝑡=1 ]𝑛

𝑖=12

∑ ∑ �̂�𝑖𝑡2𝑇

𝑡=1𝑛𝑖=1

− 1]

2

=𝑛𝑇

2(𝑇 − 1)[

∑ (𝑇�̂��̅�)𝑛𝑖=1

2

∑ ∑ �̂�𝑖𝑡2𝑇

𝑡=1𝑛𝑖=1

− 1]

2

Page 126: Dewan Direksi

122

Keterangan:

n = jumlah individu

T = jumlah periode waktu

e = residual metode OLS

dengan hipotesis:

H0 = common effect

H1 = random effect

Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-

squares dengan degree of freedom sebesar

jumlah variabel independen. Jika nilai LM

lebih besar daripada nilai statistik chi-

squares, maka H0 ditolak atau metode RE

merupakan metode yang tepat dalam

mengestimasi model regresi data panel

daripada metode OLS.

3. Uji signifikansi FE atau RE

Terdapat 2 pertimbangan dalam

menentukan pemilihan metode estimasi

data panel dengan FE atau RE, yaitu:

a. Keberadaan korelasi antara error terms

eit dan variabel independen X

Jika diasumsikan terjadi korelasi antara

eit dan variabel independen X, maka

model RE lebih tepat. Begitu juga

sebaliknya, jika tidak ada korelasi

antara eit dan variabel independen X,

maka model FE lebih tepat.

b. Jumlah sampel dalam penelitian

Jika sampel yang digunakan hanya

sebagian kecil dari populasi, maka akan

diperoleh error terms eit yang bersifat

random sehingga model RE lebih tepat.

Namun demikian, terdapat uji

formal yang dikembangkan oleh Hausman

mengenai uji statistik untuk memilih

menggunakan model FE atau RE. uji ini

didasarkan pada ide bahwa LSDV dalam

metode FE dan GLS adalah efisien,

sedangkan metode OLS tidak efisien. Oleh

karena itu, hipotesis nolnya adalah hasil

estimasi keduanya tidak berbeda sehingga

uji Hausman dapat dilakukan berdasarkan

perbedaan estimasi tersebut. Unsur

penting untuk uji ini adalah kovarian matrik

dari perbedaan vektor [�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆]:

𝑉𝑎𝑟[�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆] = 𝑉𝑎𝑟[�̂�] + 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆] −

𝐶𝑜𝑣[�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆] −

𝐶𝑜𝑣[�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆]′

Hasil metode Hausman adalah bahwa

perbedaan kovarian dari estimator yang

efisien dengan estimator yang tidak efisien

adalah nol, sehingga:

𝐶𝑜𝑣[(�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆), �̂�𝐺𝐿𝑆]

= 𝐶𝑜𝑣[�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆]

− 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆] = 0

𝐶𝑜𝑣(�̂�, �̂�𝐺𝐿𝑆) = 𝑉𝑎𝑟(�̂�𝐺𝐿𝑆)

Maka jika disubtitusikan, menghasilkan

kovarian matriks sebagai berikut:

𝑉𝑎𝑟[�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆] = 𝑉𝑎𝑟[�̂�] − 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆]

= 𝑉𝑎𝑟(�̂�)

Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, Uji

Hausman ini akan mengikuti distribusi Chi-

Squares sebagai berikut:

𝑚 = �̂�′𝑉𝑎𝑟(�̂�)−1�̂�

yaitu 𝑞 =̂ [�̂� − �̂�𝐺𝐿𝑆] dan 𝑉𝑎𝑟(�̂�) =

𝑉𝑎𝑟[�̂�] − 𝑉𝑎𝑟[�̂�𝐺𝐿𝑆] ,

dengan degree of fredom sebanyak k

jumlah variabel independen. Jika nilai

statistik Hausman lebih besar dari nilai

kritisnya, maka model yang tepat adalah

model FE.

Selanjutnya mengikuti kriteria

Wald, Uji Hausman ini akan mengikuti

distribusi Chi-Squares, dengan degree of

fredom sebanyak k jumlah variabel

independen. Jika nilai statistik Hausman

lebih besar dari nilai kritisnya, maka model

yang tepat adalah model FE. Sedangkan

jika sebaliknya, maka model yang tepat

adalah model RE. Beberapa hasil pengujian

Page 127: Dewan Direksi

123

pemilihan model data panel tersebut

dirangkum oleh Park (2011) yang diuraikan

pada tabel sebagai berikut.

Tabel 3.1 Pengujian Pemilihan Model Data Panel

3.3 Jenis data

Jenis data yang digunakan adalah

data sekunder berupa observasi terhadap

data anggaran kementerian

negara/lembaga pada server DJA yang

diakses melalui business intelligence. Data

anggaran yang ada di server DJA dimulai

dari TA 2005, meliputi pagu dan realisasi,

sampai dengan data terakhir (saat

penulisan ini) adalah data anggaran TA

2015 yang belum mencakup data realisasi.

Data tersebut berupa data kuantitatif yang

bersifat data rasio (berbentuk angka dalam

arti yang sesungguhnya). Data yang

diambil adalah data anggaran perjalanan

dinas dan total anggaran pada pagu

Keppres APBN.

3.4 Populasi/sampel

Populasi/sampel yang digunakan

adalah Kementerian Negara/lembaga yang

menggunakan dana APBN pada kurun

waktu 2005 s.d 2011 (jangka waktu 7

tahun). Namun terkait dengan beberapa

hal yang menjadikan beberapa data K/L

outlier sehingga perlu dikeluarkan dari

sampel, yaitu K/L yang tidak secara

konsisten muncul dalam rentang waktu 7

tahun tersebut.

Selain itu, terdapat pula K/L yang

sama sekali atau dalam rentang waktu

tertentu tidak memiliki biaya perjalanan

dinas, terhadap K/L seperti ini juga tidak

dijadikan sampel penelitian.

4. PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengolahan Data

Pengolahan data menggunakan Uji

Beda dan Regresi Statistika

4.1.1 Uji Beda

Untuk mengetahui adakah perbedaan

antara sebelum dan sesudah penerapan at

cost. Namun sebelumnya perlu dilakukan

uji normalitas untuk menilai bahwa

pengujian yang dilakukan dapat terlaksana

dengan baik, maka terlebih dahulu perlu

dilakukan pengujian berdasarkan uji

normalitas. Jika diperoleh normal maka

pengukuran untuk mengetahui adakah

perbedaan antara sebelum dan sesudah

penerapan at cost menggunakan uji T-test.

Jika hasil yang diperoleh tidak normal,

maka menggunakan metode Wilcoxon.

Hasil uji normalitas ditunjukkan

pada tabel 4.1. Hasil uji tersebut

menunjukkan hasil bahwa terdapat

anormalitas (tidak normal). Karena hasil uji

yang tidak normal, maka pengujian harus

dilakukan secara non parametrik

menggunakan metode Wilcoxon.

Pengukuran menggunakan metode

Wilcoxon memperoleh hasil sebagai pada

tabel 4.2. Dari tabel 4.2 dapat kita lihat

Page 128: Dewan Direksi

124

bahwa Asymp. Sig (2 tailed) lebih kecil dari

0.5% (0.00), yang menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan antara sebelum dan

sesudah penerapan at cost. Artinya,

penerapan at cost mempunyai pengaruh

terhadap perjalanan dinas.

Tabel 4.1 Tabel Hasil Uji Normalitas

Tabel 4.2 Tabel Hasil Uji Wilcoxon

4.1.3 Regresi Statistika

Berdasarkan hasil regresi yang

didapatkan, ternyata variabel biaya tiket

dan biaya hotel tidak secara signifikan

mempengaruh biaya perjalanan dinas

(hanya variabel tersebut yang lebih besar

dari 0,5%, poin signifikansi). Artinya,

seluruh variabel lain yaitu pagu perjalanan

dinas, belanja barang, dan uang harian,

memiliki pengaruh signifikan yang

mempengaruhi perjalanan dinas. Nilai R-sq

(R Square) within yang diperoleh adalah

sebesar 0.4647. nilai ini bermakna bahwa

variabel yang dilibatkan disini

mempengaruhi sebanyak 46% dari

keseluruhan perjalanan dinas. Hal ini

berarti terdapat faktor lain yang

mempengaruhi sisa 54% dari keseluruhan

biaya perjalanan dinas.

Lebih lanjut, dengan menggunakan

metode OLS dapat secara lebih mendetail

diketahui hubungan antara variabel

dengan mekanisme at cost. Hasil estimasi

perjalanan dinas K/L dengan metode OLS

ditunjukkan pada tabel 4.3.

Page 129: Dewan Direksi

125

Tabel 4.3 Tabel Hasil estimasi

Berdasarkan hasil estimasi tersebut

di atas, dapat dijelaskan korelasi antara

perjalanan dinas dengan variabel-variabel

independen yang mempengaruhinya yaitu:

a. Adanya perubahan 1 persen pada pagu

anggaran K/L, akan meningkatkan pagu

perjalanan dinas sebesar 0,0097

persen

b. Perubahan 1 persen belanja barang,

akan meningkatkan pagu perjalanan

dinas sebesar 0,1269 persen

c. Perubahan 1 rupiah uang harian, akan

meningkatkan pagu belanja sebesar Rp

21.100.000.000

d. Saat penerapan kebijakan at cost,

perjalanan dinas akan meningkat Rp

38.900.000.000.000 lebih besar

dibandingkan saat kebijakan lump-sum

e. Pada saat kebijakan at cost, jika uang

harian meningkat Rp 1, maka

perjalanan dinas akan menurun

sebesar Rp 120.000.000 lebih besar

dibandingkan saat kebijakan lump sum

diterapkan.

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Melalui pengukuran-pengukuran

sebagaimana dilakukan pada pembahasan,

diperoleh hasil sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan alokasi pagu

perjalanan dinas antara sebelum dan

sesudah penerapan at cost.

2. Variabel-variabel yang berpengaruh

terhadap perjalanan dinas adalah:

uang harian, pagu perjalanan dinas,

dan pagu belanja barang, dimana

variabel-variabel ini mempengaruhi

perjalanan dinas sebanyak 56%. Selain

itu, terdapat variabel lainnya yang

memberikan kontribusi pengaruh

sebesar 44% terhadap perjalanan

dinas.

5.2 Saran

1. Berdasarkan hasil sebagaimana

diperoleh sebelumnya, maka dalam

penelitian ini kami merekomendasikan

untuk tetap melanjutkan kebijakan

yang telah diambil, yaitu tetap

melanjutkan penerapan mekanisme at

cost pada perjalanan dinas.

2. Untuk pengembangan yang lebih baik,

maka perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut mengenai pengaruh at cost

dengan menggunakan data realisasi

perjalanan dinas, dan jika

memungkinkan untuk melihat sampai

sejauhmana tingkat efisiensi yang

dihasilkan dari perubahan mekanisme

tersebut, karena selama ini terdapat

anggapan bahwa penerapan at cost

berdampak pada meningkatnya

efisiensi perjalanan dinas.

Page 130: Dewan Direksi

126

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, James A. (1975). Public Policy Making: Basic Concept in Political Sciences. New York: Praeger University Series.

Baltagi, Badi H, Georges Bresson, dan Alain Pirotte. 2007. “Panel Unit Root Tests and Spatial Dependence.” Journal of Applied Econometrics, 22(2), 339-360.

Baltagi, BH., et al., 2007, Testing for Serial Correlation, Spatial Autocorrelation, and Random Effect using Panel Data, Journal of Econometrics, 140, 5-51.

Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi Yogyakarta, 2002, 61-74

Park, Hun Myoung. 2011. Practical Guides to Panel Data Modeling: a step by step analysing using stata. Tersedia di: http://www.iuj.ac.jp/faculty/kucc625/method/panel/panel_iuj.pdf [2014, 8 Agustus].

Prof. Dr. Nana Syaodih Sukmadinata.2009. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.

Prof.Dr. Sugiyono.2008. Metode Penelitian Pendidikan.Bandung:Penerbit Alfabeta.

Rusdin Pohan, Metodologi Penelitian Pendidikan, Lanarka Publisher, Yogyakarta 2007.

Sarwo,jonathan.2006.Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif .Jogja:Graha Ilmu

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, PT Rineka Cipta, Jakarta, 2002.

Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik.Bandung: Alfabeta

Tejoyuwono Notohadiprawiro dalam makalahnya: Metodologi Penelitian dan Beberapa Implikasinya dalam Penelitian Geografi, Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta 1991.

Titmuss, Richard, 1974, Sociol Policy: An lntroduction, Alten and Unwin, London

Umi Proboyekti dalam makalahnya: Apa itu Research, Riset atau Penelitian?, Fakultas Teknik UKDW, Yogyakarta.

Widarjono, Agus. 2009. Ekonometrika: pengantar dan aplikasinya. Penerbit Ekonisia. Yogyakarta.

Page 131: Dewan Direksi