Deteksi Dan Intervensi Dini.docx Buk An

Embed Size (px)

Citation preview

12

DETEKSI DAN INTERVENSI DINIPADA KENAKALAN REMAJA*

Oleh : Budi Muhammad Taftazani, S.Sos., MPSSp.

I. Lata BelakangKenakalan remaja merupakan masalah sosial yang seringkali muncul di Indonesia dalam berbagai bentuk dan sudah dianggap sebagai masalah yang cukup mengkhawatirkan. Dari akibat yang ditimbulkannya, beberapa perilaku remaja tidak lagi dianggap sebagai kenakalan biasa karena sudah sampai pada bentuk perilaku yang melanggar hukum. Memang sudah terdengar mengkhawatirkan ketika kenakalan ini mengakibatkan hilangnya nyawa atau rusaknya fasilitas umum serta trauma bagi para korban kenakalan. Beberapa kelompok anak muda tempat menyalurkan hobi telah berubah menjadi kelompok yang meresahkan masyarakat sehingga melekatlah sebutan pada kelompok-kelompok ini sebagai kelompok geng. Fenomena geng motor yang sering melakukan tindakan krminal seperti penganiayaan, pembunuhan, perusakan tempat umum, bukanlah berita baru bagi masyarakat di Indonesia. Begitu pula dengan tawuran antar pelajar bahkan mahasiswa juga sering tedengar. Seperti juga masaah sosial lain yang seringkali secara teoritis dapat dijelaskan penyebabnya sampai berbagai kemungkinan strategi penanganannya, maka kenakalan remaja adalah masalah yang seharunya dapat diatasi atau paling tidak diminimalkan terjadi. Selalu ada penjelasan mengapa sebuah masalah muncul dan sumber masalah seringkali tediri dari berbagai faktor yang saling terkait. Namun pada tingkat tertentu kita dapat mendeteksi sejak dini potensi masalah seperti pada kenakalan remaja ini sebelum akhirnya sampai pada situasi lebih buruk. Upaya deteksi dini ini kemudian ditindaklanjuti dengan intervensi dini sebagai upaya pencegahan sebelum masalah yang sebenarnya terjadi atau sebelum masalah menjadi lebih buruk. Namun upaya deteksi dan intervensi dini ini bukanlah sesuatu yang sudah melembaga dan memadai baik di keluarga, dunia pendidikan, maupun di masyarakat. Pada dunia pendidikan khusunya, kelemahan ini dapat diamati dari sering terjadinya tawuran antar pelajar atau sekolah yang sudah berlangsung sejak lama yang mengindikasikan ada kelemahan pada upaya deteksi potensi masalah serta penanganan dini kepada para pelajar. Upaya deteksi dan penanganan dini ini pun belum melembaga di masyarakat terhadap kelompok remaja yang memiliki resiko bermasalah.

II. Deteksi dan Intervensi Dini Sebagai Upaya PencegahanUpaya deteksi dan intevensi dini merupakan usaha pencegahan masalah. Pencegahan diartikan sebagai tindakan menghentikan sesuatu sebelum sesuatu itu memunculkan masalah. Sheafor & Horesjsi (2012) mengkategorikan pencegahan menjadi tiga kategori yaitu pertama, tindakan yang ditujukan untuk mencegah tumbuhnya masalah, disebut dengan pencegahan primer; kedua, tindakan yang ditujukan untuk mendeteksi masalah dalam tahapnya yang awal, saat masalah tersebut secara relatif masih mudah untuk diubah, disebut dengan pencegahan sekunder; ketiga, tindakan yang ditujukan pada masalah yang sudah serius untuk mencegah agar tidak menjadi lebih buruk, mencegah tidak terjadinya kerusakan tambahan, atau menyebar ke yang lain, disebut pencegahan tersier. Sementara itu Romano dan Hage dalam McWhirter (2004), mendefinisikan upaya pencegahan memiliki satu atau lebih dari lima dimensi berikut ini, (1) menghentikan (mencegah) masalah perilaku terjadi, (2) menunda datangnya masalah perilaku, (3) mengurangi dampak dari masalah perilaku yang ada, (4) memperkuat pengetahuan, sikap, dan tingkah laku yang mendukung kesehatan fisik dan emosional, dan (5) mendukung lembaga, komunitas, dan kebijakan pemerintah yang memajukan kesehatan fisik dan emosional. Definisi pencegahan ini mencakup tujuan-tujuan dari upaya pencegahan primer, skunder, dan tersier dan juga mencakup pengurangan resiko serta strategi untuk mempromosikan bidang kesehatan mental. Upaya pencegahan dapat terdiri dari berbagai aksi yang dapat diselenggarakan dan dapat diintegrasikan kedalam program-program pendidikan baik di sekolah maupun di komunitas. Upaya deteksi dan intervensi dini ini memerlukan keterlibatan profesional termasuk pekerja sosial melalui penggunaan kerangka kerja pencegahan kenakalan remaja. Upaya mempromosikan kesehatan mental remaja, meningkatkan kemampuan mereka agar dapat mengakses berbagai sumber pelayanan sosial, mendeteksi dan memetakan kelompok rentan, memperbaiki kulitas pelayanan yang diberikan lembaga pelayanan, merespon kebutuhan pertumbuhan dan perkembangan remaja, adalah sekian aksi yang dapat dilakukan pekerja sosial untuk terlibat dalam upaya pencegahan kenakalan remaja ini.

III. Deteksi Dini Remaja Beresiko 1. Faktor-Faktor Resiko Deteksi dan intervensi dini pada kenalakan remaja adalah tindakan untuk mencegah kelompok remaja yang masuk dalam situasi beresiko agar tidak menjadi lebih buruk. Mc Whirter (2004) mendefinisikan situasi beresiko sebagai perkiraan keadaan berbahaya yang akan dialami anak/remaja di masa depan akibat dari beragam situasi yang dapat dijelaskan melalui hubungan sebab akibat. Keadaan beresiko ini tidak menggambarkan masalah yang sedang terjadi, namun merupakan situasi yang dapat diantisipasi. Upaya deteksi dini ini sesungguhnya dapat dilakukan baik di lingkungan sekolah, komunitas, atau keluarga. Perhatian khusus harus segera diberikan jika terdapat beberapa faktor resiko teridentifikasi pada remaja. Guru, pekerja sosial, atau profesional lain dapat melakukan deteksi ini melalui kegiatan assessment pada kelompok remaja atau murid-murid di sekolah. Dengan menggunakan model ekologis kita dapat melakukan assessment dan memetakan berbagai faktor yang berkontribusi pada situasi remaja beresiko. Faktor-faktor resiko tersebut dapat dilacak mulai dari faktor indivdu, faktor keluarga, sekolah, teman sebaya, dan faktor komunitas. Carroll et.al (2009), merangkum faktor-faktor tersebut sebagai berikut,

Faktor IndividuPsikososial: kepercayaan diri rendah, motivasi rendah, perkembangan kongintif lambat,intelegensi rendah, keterampilan sosial rendah, kelekatan dengan keluarga rendah, perilaku antisosial dini, psychopatologi Fisik: kesehatan tidak baik, keadaan sakit dan disabilitas, berat badan saat lahir rendah, aktivitas sistem saraf pusat, laki-laki Perilaku :kemampuan menahan diri yang rendah, hiperaktif, pasif, kehamilan dini, agresif, penyalahgunaan zat kimia, aspirasi dan prestasi akademik yang rendah, keterasingan, tidak memiliki keterampilan memecahkan masalah,pembolos, diskors/diberhentikan dari sekolah

Faktor Keluargastruktur keluarga : ketidakutuhan keluarga, keterpisahan dari keluarga dan ukuran keluarga yang terlalu besar.Fungsi keluarga : kelemahan dalam pengelolaan kontrol dan pengawasan, ganguan hubungan antara orang tua dan anak, keterlantaran anak, kekerasan terhadap anak, kekerasan dalam keluarga, pengabaian atau penolakan dari orang tua, ada model/contoh keluarga yang berperilaku anti sosial, mobilitas orang tua yagn tinggi, dan pengasuhan yang psikopat.Status sosial ekonomi keluarga : pendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah, menganggur.

Faktor Teman Sebayaberteman dengan sebaya yang menyimpang, penolakan teman sebaya, berteman dengan orang dewasa yang anti sosial.

Faktor Sekolahorganisasi sekolah : kebijakan dan pelaksanaan kebijakan yang rigid, disiplin yang represif, kelas yang besar, sekolah yang besar tanpa substruktur. Aspek kurikulum : pelajaran yang tidak menarik atau tidak disukai, tidak adanya partisipasi dalam pengambilan keputusan, strategi pembelajaran yang pasif, penilaian yang mendominasi adalah penilaian yang hanya berdasarkan persaingan akademik (ada yang kalah dan menang). Suasana sekolah : budaya sekolah yang tidak mendukung misi pendidikan, hubungan murid-guru yang negatif, ketidakberfungsian konselor sekolah, ketiadaan partisipasi siswa, kurangnya hubungan antara orang tua dan sekolah, miskinnya pengembangan profesionalisme staf.

Faktor Komunitas dan Kemasyarakatankemiskinan yang ekstrem, ada norma anti sosial di masyarakat, lingkungan masyarakat yang kacau dan tidak harmonis, tingkat kriminalitas yang tinggi, adanya akses pada senjata api, konsentrasi teman sebaya yang nakal tinggi, dan status etnik minoritas.

Pada tingkat masyarakat, para remaja atau anak muda juga kadangkala mengalami situasi tidak diuntungkan oleh struktur sosial yang tidak berpihak kepada mereka. Situasi yang tidak menguntungkan seperti pengangguran, tunawisma, kemiskinan struktural, dan disparitas sosial ekonomi tidak bisa diselesaikan hanya dengan intervensi dini pada tingkatan mikro. Namun struktur sosial yang tidak mendukung ini dapat diidentifikasi sebagai faktor-faktor yang dapat menempatkan anak muda pada situasi beresiko. Wyn&White (1997), menyebut situasi ketidakberuntungan kaum muda akibat situasi sosial yang tidak berpihak pada mereka sebagai marjinalisasi anak muda (youth marginalization). Sebagai sebuah gambaran, berikut di bawah ini adalah ungkapan-ungkapan remaja anggota geng motor di Kota Bandung (GM), yang merupakan kutipan wawancara dari penelitian yang penulis lakukan untuk menggambarkan bahwa sebelum mereka terlibat dengan kelompok bermasalah, mereka memiliki indikasi yang sebenarnya dapat dideteksi sejak dini, Ada, baik sebelum ataupun ketika sudah masuk genk tapi bukan obat lebih ke minum aja (minuman keras). (GM 4;11/2010) Ya itu tadi paling tidak bisa mengendalikan emosi jadi gampang tersinggung. (GM 3;11/2010) gampang marah saya orangnya. (GM 6;11/2010) gimana ya? saya juga ga paham sama kemampuan mengendalikan saya. (GM 7;11/2010) saya itu pasif. Dulu waktu SMA pun saya ga pernah nanya sama guru kalo ada yang gak paham. Lebih baik saya nanya sama temen dibanding harus tanya guru langsung. (GM 7;11/2010). gue cenderung pendiam. (GM 3;11/2010) ya mengekang ada, karena orang tua banyak aturan jadi bikin kesel juga,beda kalau pas masuk geng motor bebas lah gak ada aturan. (GM1;11/2010). ya orang sibuk (orang tua), makanya saya tidak terperhatikan dan masuk anggota geng juga,( GM 1;11/2010). Anggota geng lain mengatakan, sibuk banget (orang tua) (GM 5;11/2010) GM 3 berharap agar guru tidak memberi penilaian yang malah berakibat buruk: tidak langsung menjudge karena akan berefek negatif. (GM 3;11/2010). ya. Ada (penolakan teman sebaya) dengan orang yang pinter, karena mereka memandang saya sebagai anak nakal, ga benerlah. Kalo saya mau main teh malah pada pergi. (GM1; 11/2010).

2. Faktor-Faktor Pelindung Selain melakukan assessment pada faktor-faktor resiko, diperlukan pula deteksi pada faktor-faktor pelindung remaja dari keadaan bermasalah. Faktor pelindung ini berupa kemampuan anak remaja untuk bisa bertahan pada perilaku normal dan sehat dalam menjalani masa-masa perkembangan mereka, terutama pada kelompok remaja yang terindikasi memiliki hambatan atau kesulitan. Ketahanan tersebut juga dikenal dengan resiliensi, yaitu kemampuan berkembang normal pada kondisi yang sulit (Fonagy et al., dalam Daniel 2002). Faktor-faktor pelindung remaja dari tingkah laku menyimpang memiliki peran vital dalam memperkuat resiliensi dan memberi kekuatan pada mereka untuk memiliki pertahanan dari keterlibatan pada perilaku menyimpang. Resiliensi merupakan dampak dari faktor-faktor pelindung yang mencakup baik kekuatan personal maupun sumber kekuatan eksternal yang bisa mengatasi kesulitan secara efektif. Beberapa faktor yang membuat remaja memiliki resiliensi sehingga tidak berperilaku menyimpang digolongkan dalam empat domain oleh Bernard (1991) dalam Carroll et al., yaitu 1. Social Competence : Responsiveness, flexibility, empathy/caring; communication skills, sense of humor2. Problem solving skill : critical thinking, ability to generate alternatives, planning, making a change3. Autonomy : self esteem/self efficacy, internal locus of control, independence, adaptive distancing4. Sense of purpose and future: goal directedness, achievement, motivation, educational aspirations, healthy expectations, persistence, hopefulness, compelling future, and coherence/meaningfulness.

Selain faktor di atas, lembaga pendidikan seperti sekolah juga memiliki peran penting yaitu upaya mengurangi munculnya perilaku bermasalah pada remaja. Christle et al, menunjukan hasil penelitian bahwa sekolah yang memiliki karekteristik seperti kepemimpinan yang baik, staf yang berdedikasi tinggi, adanya program pengelolaan perilaku yang luas baik untuk siswa maupun staf, dan metode pembelajaran yang efektif dapat meminimalisir perilaku menyimpang dari siswa. Suasana sekolah yang mendukung dan kondusif juga merupakan aspek yang menentukan ada tidaknya siswa yang menyimpang di sekolah (Gotfredson et al., 2005).

IV. Intervensi Dini Remaja Beresiko 1. Program Pencegahan dan Intevensi DiniSetelah dilakukan deteksi dini terhadap para remaja, pekerja sosial kemudian dapat melakukan intervensi dini sesuai area atau kebutuhan pencegahan dari faktor resiko yang sudah terlebih dahulu diidentifikasi. Beberapa komponen utama program pencegahan dan intevensi dini misalnya ditawarkan oleh Mc Whirter et.al (2004) yang terdiri dari pengembangan keterampilan afektif, kognitif, dan perilaku yang memberi pengaruh besar pada kesuksesan pribadi dan sosial remaja. Keterampilan-keterampilan tersebut sekaligus dapat membangun resiliensi mereka. Life Skill Model, menekankan pada bentuk pelatihan dan pendidikan daripada konseling dan terapi. Digunakan untuk anak-anak dari sekolah dasar, menengah, dan atas. Keterampilan ini terdiri dari resolusi konflik tanpa kekerasan, assertiveness, resistensi dari tekanan teman sebaya, keterampilan memecahkan masalah, dan negosiasi relasi dengan orang dewasa. Aspek penting dari life skill adalah kompetensi sosial. Latihan keterampilan hidup ini dapat mencegah anak dan remaja mengalami masalah perilaku yang beresiko. Penguatan konsep diri dan kepercayaan diri, terdiri dari penguatan self eficacy, optimisme, dan cognitive restructuring. Terdapat catatan bahwa remaja beresiko tinggi cendrung memiliki masalah dengan konsep diri yang negatif, dan perjuangan memperoleh keprcayaan diri. Keterhubungan (connectedness),mencakup keterampilan kesadaran intrapersonal dan keterampilan interpesonal. Assertiveness dan komunikasi interpersonal merupakan keterampilan dari keterhubungan ini. Self Regulation (Penguasaan dan kontrol diri), merupakan kemampuan penting untuk pengendalian stres dan kececamasan (anxiety) melalui berbagai teknik relaksasi, cognitive restructuring, dan self management. Banyak anak remaja beresiko karena dipengaruhi oleh stress dan anxiety. Banyaknya aspek dari proses pendidikan yang dijalani remaja yang dapat menimbulkan stress dan kecemasan, maka disarankan sekolah-sekolah mengadakan program intervensi dini untuk mengurangi gangguan kecemasan yang serius.

2. Intervensi Teman SebayaTerdapat teori yang menjelaskan bahwa para remaja yang terlibat dalam perilaku bermasalah memiliki tendensi untuk betemu satu sama lain. Mereka kemudian membentuk apa yang disebut dengan kluster teman sebaya (peer cluster). Dalam kelompok kluster ini mereka kemudian melakukan penormalan pada perilaku menyimpang, saling mendukung dan mendorong pada perilaku tersebut. Dinamika kluster teman sebaya ini dapat menjelaskan mengapa banyak program pencegahan dan treatment mengalami kegagalan. Banyak para remaja yang kembali ke lingkungan asli dan kluster teman sebaya mereka pasca treatment. Intervensi teman sebaya untuk mempengaruhi peer cluster dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya sebagai berikut, Cooperative Learning, anak remaja belajar keterampilan kolaborasi, mengelolan konflik dan permusuhan, membangun spirit kerjasama dengan teman-teman mereka. Model pembelajaran ini merupakn alternatif dari model pembelajaran kompetisi individual yang memiliki efek buruk bagi remaja beresiko. Kelompok Dukungan Sebaya (Peer Support Group). Kelompok dukungan ini terdiri dari gabungan anak yang beresiko tinggi dengan anak yang beresiko rendah. Dengan pengelolaan yang disengaja dan terencana, maka anak yang memiki resiko tinggi dapat memperoleh dukungan positif dari anak yang lebih prososial, menciptakan suasana keterhubungan positif dengan anak-anak yang lain. Anak yang beresiko tidak didekati dengan cara yang formal dan mencolok mata, namun mereka ditempatkan pada situasi dimana mereka dapat menjaga relasi dengan teman sebaya yang dapat menyediakan model postitif dari perilaku dan prestasi akademik. Pelatihan Peer Mediator dan Peer Facilitator, merupakan pelatihan dengan tujuan agar anak remaja dapat saling menolong satu sama lain. Training peer mediator berisi pengelolaan konflik yang dilakukan oleh siswa atau remaja. Mediator remaja ini bekerja dalam tim untuk memfasilitasi pemecahan masalah bagi mereka yang berselisih. Mereka mempelajari pemecahan masalah, disiplin diri, berfikir kritis, pengembangan self regulation, dan kesadaran akan perilaku yang dapat diterima secara sosial.

3. Intervensi KeluargaKeluarga adalah faktor terpenting dalam memberi pengaruh pada perilaku anak remaja. Pola pengasuhan dan keadaan sosial ekonomi keluarga terkait dengan kualitas hidup remaja. Pengangguran dan kemiskinan menghambat pemenuhan kebutuhan hidup anggota keluarga sehingga dapat memunculkan berbagai kesulitan dan menjadi sumber stres. Kekerasan pada anak seringkali terjadi di di rumah akibat dari kesulitan-kesulita tersebut selain disebabkan pula oleh ketidakmampuan mengendalikan perilaku. Dengan demikian intervensi untuk keluarga memerlukan dukungan program yang terintegrasi dengan peningkatan kesejahteraan ekonomi keluarga. Peningkatan pendapatan, akses pada pelayanan kesehatan dan pendidikan menjadi penting. Skema ini tentunya harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang mempromosikan kesejahteraan keluarga. Sedangkan untuk pelayanan peningkatan kemampuan pengasuhan pada orang tua, dapat dilakukan melalui program-program pelatihan seperti Parent Effectiveness Training (PET), atau Good Parenting.

4. Intervensi Komunitas : Community Counseling Sebagai Model Pencegahan Pada Tingkat KomunitasCommunity Counseling didefinisikan sebagai kerangka kerja pertolongan yang kompehensif untuk strategi intervensi dan pelayanan yang memajukan pengembangan diri, kesejahteraan individu dan komunitas. Community counseling adalah sebuah model yang menekankan pada upaya menumbuhkan komunitas yang sehat dan pencegahan masalah (Lewis, et.al 2003:6). Community counseling yang menekankan pada upaya pencegahan, membuat model ini dianggap sebagai model yang efektif. Dalam community counseling, terdapat pelayanan komunitas langsung berupa pendidikan pencegahan (preventive education) dalam beragam program mulai dari pendidikan, pelatihan, workshop, dan pembentukan forum-forum yang mempromosikan kesehatan mental. Dari model dan bentuk aksinya, maka community counseling dapat digunakan sebagai strategi pencegahan kenakalan remaja melalui kegiatan-kegiatan pelatihan atau workshop di komunitas untuk penguatan resiliensi dan kesehatan mental remaja.Aksi community counseling ini dapat dijalankan melalui lembaga-lembaga yang sudah ada di masyarakat. Misalnya yang terkait dengan pembinaan remaja, BKKBN memiliki program Bina Keluarga Remaja (BKR) yang sudah tersebar sampai tingkat rukun warga yang dapat dioptimalkan perannya dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan untuk deteksi dan intervensi dini bagi para remaja. Upaya deteksi dini dan intervensi dini pada tingkat komunitas dapat pula dilakukan dengan mengembangkan lingkungan yang bisa melindungi anak muda atau remaja dari pengaruh buruk perilaku anti sosial atau kriminal. Lingkungan pelindung ini (protective environment) berupa jaringan informal yang lebih luas yang terdiri dari sekolah dalam hal ini guru, kelompok siswa atau peer group, lingkungan rumah dalam hal ini orang tua atau keluarga yang lain serta jaringan ketetanggaan. Model protective environment sebaiknya dikembangkan bukan hanya untuk mendeteksi dini pada remaja beresiko, namun juga untuk melakukan koreksi dan pendampingan bagi remaja yang sudah benar-benar bermasalah.

5. Intervensi Masyarat dan KebijakanUpaya pencegahan kenakalan remaja seringkali terabaikan sampai masalahnya benar-benar muncul. Program yang berorientasi pencegahan seringkali tidak populer dan orientasi penanganan lebih bersifat kuaratif. Selain itu penanganan yang dilakukan umumnya terbatas pada treatment di level individu atau kelompok kecil saja (mikro). Upaya pendidikan karakter untuk para remaja hanya dapat diperoleh di sekolah-sekolah formal dengan capaian dan evaluasi yang terbatas pada ukuran akademik. Ketiadaan agenda pencegahan dini yang lebih sistematis akan menempatkan remaja pada posisi lebih beresiko.Untuk menciptakan lingkungan yang sehat buat remaja diperlukan dukungan kelembagaan yang lebih luas termasuk dukungan kebijakan yang terkait dengan kesejahteraan anak dan keluarga serta lembaga yang mempromosikan kesehatan mental. Upaya ini akan memberikan keuntungan jangka panjang karena melibatkan perencanaan yang terintegrasi serta jaringan kelembagaan yang luas yang termasuk di dalamnya lembaga pendidikan, kesehatan, perlindungan dan kesejahteraan anak, serta hukum. Pencanangan pada beberapa wilayah kota atau kabupaten di Indonesia seperti bebas anak jalanan, bebas narkoba tentunya bisa dilakukan pula pada pencanangan bebas kenakalan remaja. Misalnya seperti ide untuk model kota bebas tawuran. Pendekatan yang bersifat pembimbingan dan pendidikan yang berorientasi pencegahan tentunya harus lebih dikedepankan daripada pendekatan hukum yang selama ini terlihat lebih dominan sehingga kita tidak perlu lebih sering mendengar kasus-kasus anak yang dipenjara atau bekonflik dengan hukum. Upaya deteksi dan intervensi dini pada kenakalan remaja memerlukan aksi pada berbagai tingkat pelayanan mulai dari individu, keluarga, kelompok sebaya, sekolah, komunitas, dan dukungan kebijakan. Upaya ini sekaligus adalah promosi untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental masyarakat. Edukasi terkait perilaku prososial dan hidup yang berkualitas bagi remaja memerlukan upaya yang lebih terencana dan terintegrasi. Upaya ini sesungguhnya akan lebih murah biaya sosialnya dibanding biaya sosial yang harus dikeluarkan saat masalah kenakalan remaja benar-benar sudah pada tingkat mengkhawatirkan. Artinya upaya deteksi dan intervensi dini adalah aksi menyicil mengurangi dan menghilangkan masalah disfungsi sosial pada generasi muda.

Daftar RujukanCarroll, Annemaree., Stephen H., Kevin D., John A.H.,(2009). Adolescent Reputations and Risk. Springer Science Business Media, LLC.Daniel, Brigid, Sally Wassell (2002). Adolescence : Assesing and Promoting Resilience in Vulnerable Children. London : Jessica Kingsley Publishers Lewis A, Judith, Michael D. Lewis, Judy A Daniels, Michael J. Andrea (2003). Community Counseling : Empowerment Strategies for a Diverse Society. Brooks/Cole thomson Learning IncMcWhirter, J Jeffries, Benedict T Mc Whirter, Ellen Hawley McWhirter, Robert J. McWhirter (2004). At Risk Youth: Comprehensive Response. Brooks/Cole Thomson Learning IncSheafor, W. Bradford, Chales R. Horejsi (2012). Techniques and Guidlines for Social Work Practice. Pearson Education, Inc.Wyn, Johanna, Rob White (1997). Rethinking Youth. Allen & Unwin Pty Ltd.

__________________________________________________________________Penulis adalah staf pengajar di Program Studi Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Padjadjaran Indonesia.

budi mt/kesos/unpad/2013/doc