Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KARYA AKHIR
DETEKSI SPESIES MALASSEZIA PADA PASIEN PITYRIASISVERSIKOLOR DAN DERMATITIS SEBOROIK DENGAN
MENGGUNAKAN NESTED-PCRDI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO
DAN RS JEJARING DI MAKASSAR TAHUN 2018
DETECTION OF MALASSEZIA SPECIES IN PATIENTS OFPITYRIASIS VERSICOLOR AND SEBORRHEIC DERMATITIS
USING NESTED-PCRIN DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO GENERAL HOSPITAL AND ITS
NETWORK HOSPITAL MAKASSAR IN 2018
A.NURHANA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1)PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2018
DETEKSI SPESIES MALASSEZIA PADA PASIEN PITYRIASISVERSIKOLOR DAN DERMATITIS SEBOROIK DENGAN MENGGUNAKAN
NESTED-PCR DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DANRS JEJARING DI MAKASSAR TAHUN 2018
Karya Akhir
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Spesialis
Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis
Disusun dan diajukan oleh
A.NURHANA
Kepada
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS-1 (Sp.1)DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN KULIT & KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2018
KARYA AKHIR
DETEKSI SPESIES MALASSEZIA PADA PASIEN PITYRIASIS VERSIKOLORDAN DERMATITIS SEBOROIK DENGAN MENGGUNAKAN NESTED-PCR
DI RSUP DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO DAN RS JEJARINGDI MAKASSAR TAHUN 2018
Disusun dan diajukan oleh :
A.NURHANA
Nomor Pokok : C111213202
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Tesis
Pada tanggal 10 April 2018
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui:
Komisi Penasehat,
Dr.dr.NURELLY N WASPODO ,Sp.KK, FINSDV Dr.dr.SISWANTO WAHAB Sp.KK(K),FINSDV,FAADV
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ketua KPPS Pendidikan Dokter Spesialis Dekan,Fakultas Kedokteran Unhas Fakultas Kedokteran Unhas
Dr. dr. SYAFRI KAMSUL ARIF, Sp.An-KIC-KAKV Prof. Dr. BUDU,Ph.D, Sp.M(K),M.MED.ED
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA AKHIR
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : A.NurhanaNo.Stambuk : C 111213202Program Studi : Ilmu Kesehatan Kulit & Kelamin
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis inibenar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakanpengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hariterbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis inihasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatantersebut.
Makassar, April 2018
Yang menyatakan
A.Nurhana
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillahirabbilalamin, segala puji bagi
Allah SWT atas seluruh berkah dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat
selesai. Saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
berperan sehingga saya dapat menempuh Pendidikan Dokter Spesialis I
sampai tersusunnya tesis ini.
Kepada Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin dan
Ketua Program Pendidikan Dokter Spesialis I Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Makassar, saya mengucapkan banyak terima kasih
atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan
menyelesaikan pendidikan dokter spesialis di Departemen Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Dr.dr.Siswanto Wahab,
SpKK(K), FINSDV, FAADV selaku Kepala Departemen Ilmu Kesehatan Kulit
dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sekaligus selaku
pembimbing II tesis saya, juga kepada yang terhormat Ketua Program Studi
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin Dr.dr.Khairuddin Djawad, SpKK(K), FINSDV, FAADV
atas segala curahan perhatian, bimbingan, arahan, didikan, kebaikan,
nasehat serta masukan selama saya menempuh pendidikan.
Kepada yang terhormat Dr.dr.Nurelly N Waspodo, Sp.KK, FINSDV
selaku pembimbing I tesis saya, atas segala kebaikan, nasehat, dan
bimbingannya sehingga tersusun tesis ini. Serta kepada yang terhormat Dr. dr.
Ilham Jaya Patellongi, M.Kes sebagai pembimbing statistik/metode penelitian
saya, atas segala ajaran, kebaikan, didikan, serta masukannya sehingga tesis
ini dapat selesai. Kepada yang terhormat penguji tesis saya, Prof.dr.Muh.
Nasrum Massi, Ph.D dan dr.Safruddin Amin, Sp.KK(K),MARS, FINSDV,
FAADV atas segala masukan, kebaikan, didikan, arahan, inspirasi, dan umpan
balik yang disampaikan selama penyusunan tesis ini. Semoga segala kebaikan
pembimbing dan penguji tesis ini dibalas dengan kebaikan dan berlimpah
keberkahan dari Allah SWT.
Kepada yang terhormat seluruh Staf pengajar dan guru-guru saya di
Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin, terima kasih atas segala bimbingan dan kesabaran
dalam mendidik sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan
lancar, semoga ilmu yang telah diberikan dapat menjadi bekal dalam
menghadapi era globalisasi mendatang.
Terima Kasih yang dalam kepada orang tuaku tercinta, ibunda Hj. Andi
Hasnah Patappari atas segala cinta, kasih sayang, doa, dukungan baik moril
maupun materil, semangat, pengorbanan, dan nasehat sehingga saya dapat
menyelesaikan pendidikan ini. Kupanjatkan doa kepada Sang Maha Kuasa
agar mereka senantiasa dilimpahkan keberkahan, kesehatan, rezeki yang
baik, dan kebaikan yang tak pernah putus. Kepada saudara-saudaraku
tersayang A.Nurhadi, A.Nuryadin dan A.Fitriani serta keluarga besar saya
yang telah mendampingi saya serta memberikan semangat dan dukungan
doa serta ketulusan, kesabaran dan kasih sayang yang begitu berarti dalam
menyelesaikan pendidikan ini. Semoga Allah SWT menghimpun segala
kebaikan dan menyimpannya di tengah keluarga yang sakinah mawaddah
warrahmah.
Penghargaan dan terima kasih kepada suamiku dr.Rahmat A.Ridwan
Pangeran,Sp.M,M.Kes dan anakku tercinta A.Ratu Lestari atas kasih sayang,
pengorbanan, kesabaran, pengertian, kesetiaan, dukungan, material dan
doanya selama saya menjalani pendidikan ini. Doa dan cinta selalu
tercurahkan untuk kebaikan dan keberkahan dari Allah SWT.
Kepada seluruh teman-teman Peserta Program Pendidikan
Spesialisasi Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin terima kasih atas segala bantuan, dorongan dan
pengertian teman-teman selama bersama-sama menjalani pendidikan ini.
Terkhusus kepada sahabat-sahabat saya dr. Rani, dr. Andy Manggabari, dr.
Nur Putri Nuzul Iryani, dr. Karlina Novianti dan dr. Eman Arif Rahman serta
teman-teman sekalian atas segala perhatian, dukungan, semangat,
persahabatan, dan masukan sehingga memudahkan saya menyelesaikan
tesis ini.
Terima kasih kepada semua pihak yang namanya tidak tercantum tapi
telah membantu dalam proses pendidikan penulis dan telah menjadi inspirasi
dan pelajaran berharga bagi penulis. Doa terbaik terpanjatkan agar kiranya
Allah SWT memberi balasan berkali-kali lipat untuk setiap amalan dan input
dalam proses pendidikan ini.
Semoga Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang
selalu melimpahkan berkah dan karunia-Nya bagi kita.
Makassar, April 2018
A.Nurhana
ABSTRAK
A.NURHANA. Deteksi Spesies Malassezia pada Pasien Pityriasis Versikolordan Dermatitis Seboroik Dengan Menggunakan Nested-PCR di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS Jejaring di Makassar Tahun 2018 (dibimbingoleh Nurelly N W dan Siswanto Wahab).
Malassezia merupakan jamur dimorfik lipofilik yang tergolong floranormal dari kulit manusia yang dapat menyebabkan mikosis superfisial padamanusia berupa pityriasis versikolor dan dapat menyertai dermatitis seboroik.Dermatitis seboroik dapat mengenai dewasa dan bayi yang kaya akankelenjar sebasea seperti wajah, dada, punggung dan area kepala.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan jenis spesiesMalassezia yang ditemukan pada pityriasis versikolor dan dermatitis seboroikdi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan rumah sakit jejaring di Makassartahun 2018.
Dilakukan studi potong lintang pada 29 pasien pityriasis versikolor dan40 pasien dermatitis seboroik yang datang berobat di RSUP Dr. WahidinSudirohusodo dan rumah sakit jejaring di Makassar dengan pemeriksaanNested PCR dari specimen skuama yang dikerok dari kedua kelompokpasien dengan masing-masing primer untuk mengidentifikasi jenis spesiesMalassezia. Dilakukan uji distribusi frekuensi dengan uji fisher’s exact test.
Hasil penelitian menunjukkan 29 pasien pityriasis versikolor dan 40pasien dermatitis seboroik. Dari 3 spesies Malassezia (M.globosa, M.furfur,M.restricta) dengan pemeriksaan Nested PCR hanya ditemukan 14 orangM.restricta pada pasien pityriasis versikolor (48,3%) dan 31 orang padadermatitis seboroik (77,5%). M.furfur dan M.globosa tidak ditemukan padakedua kelompok penderita.
Sebagian besar pada dermatitis seboroik ditemukan M.restricta danlebih besar dari temuan pityriasis versikolor. Sebaiknya pada pasiendermatitis seboroik perlu dipertimbangkan pemberian antijamur.
Kata kunci: Dermatitis Seboroik; Malassezia; Nested-PCR; PityriasisVersikolor.
ABSTRACT
A.NURHANA. Detection of Malassezia Species in Patients of Pityriasis Versicolorand Seborrheic Dermatitis using Nested-PCR In Dr. Wahidin Sudirohusodo GeneralHospital and its Network Hospital Makassar in 2018 (Supervised by Nurelly N W danSiswanto Wahab).
Malassezia is a lipophilic dimorphic fungus belonging to the normal flora ofhuman skin which might cause superficial mycosis on humans in the form ofpityriasis versicolor and may accompany seborrheic dermatitis. Seborrheic dermatitismay affect adults and infants at the rich in sebaceous glands areas such as face,chest, back and head area.
This study aims to describe the species of Malassezia species found inpityriasis versicolor and seborrheic dermatitis in Dr. Wahidin Sudirohusodo generalhospital and its network hospitals Makassar in 2018.
Cross-sectional study was performed on 29 patients of pityriasis versicolorand 40 patients with seborrheic dermatitis who came for treatment at Dr. WahidinSudirohusodo general hospital and its network hospital in Makassar by Nested PCRexamination of scale specimens scraped from both groups of patients with eachprimer to identify species of Malassezia species. Frequency distribution test wasthen conducted by fisher's exact test.
The results showed 29 patients pityriasis versicolor and 40 patientsseborrheic dermatitis. Of the 3 species of Malassezia (M.globosa, M.furfur,M.restricta), with Nested PCR examination only 14 cases of M. restricta were foundin pityriasis versicolor patients (48.3%) and 31 cases of seborrheic dermatitis (77.5%). M. furfur and M.globosa were not found in both groups of patients.
M.restricta was found on seborrheic dermatitis and its prevalence is greaterthan its finding on pityriasis versicolor. Therefore, antifungals should be consideredto be given to patients with seborrheic dermatitis.
Keywords: Seborrheic Dermatitis; Malassezia; Nested-PCR; Pityriasis Versicolor.
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Daftar Tabel v
Daftar Gambar vi
Daftar Lampiran vii
Daftar Arti lambang dan singkatan viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 6
1. Tujuan Umum 6
2. Tujuan Khusus 6
D. Manfaat Penelitian 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pityriasis Versikolor 8
1. Definisi 8
2. Epidemiologi 8
3. Etiopatogenesis 9
4. Gambaran Klinis 10
ii
B. Dermatitis Seboroik 11
1. Definisi 11
2. Epidemiologi 11
3. Etiopatogenesis 12
4. Gambaran Klinis 13
C. Malassezia 14
1. Sejarah dan Taksonomi 14
2. Struktur, fisiologi dan biokimia spesies Malassezia 16
3. Malassezia sebagai Jamur Komensal 18
4. Malassezia sebagai Jamur Patogen 20
D. Polymerase Chain Reaction (PCR) 21
1. Denaturasi 23
2. Annealing (Penempelan Primer) 24
3. Pemanjangan Primer (Extention) 24
E. Nested-PCR 25
F. Landasan Teori 26
G. Kerangka Teori 28
H. Kerangka Konsep 30
BAB III METODE PENELITIAN 31
A. Rancangan Penelitian 31
B. Tempat dan Waktu Penelitian 31
iii
C. Populasi dan Sampel Penelitian 31
1. Populasi penelitian 31
2. Sampel penelitian 32
3. Kriteria sampel 32
a. Kriteria inklusi 32
b. Kriteria eksklusi 32
4. Perkiraan besar sampel 33
D. Izin penelitian dan Ethical Clearance 33
E. Alat dan Bahan Penelitian 34
1. Alat 34
2. Bahan 35
F. Prosedur Penelitian 36
1. Persiapan 36
2. Penjelasan dan penandatanganan Informed Consent 37
3. Teknik Pelaksanaan 37
4. Ekstraksi DNA sampel skuama Metode Geneaid 38
5. Proses PCR 39
6. Elektroforesis Hasil PCR 42
G. Alur Penelitian 44
H. Identifikasi Variabel 46
I. Definisi Operasional 46
J. Analisis Data 47
iv
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 48
A. Hasil penelitian 48
B. Pembahasan 53
BAB V PENUTUP 60
A. Kesimpulan 60
B. Saran 60
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN
vDAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Karakteristik pasien dermatitis seboroik dan pityriasis versikolor 49
2. Temuan spesies Malassezia pada pasien dermatitis seboroik dan
pityriasis versikolor 49
3. Perbedaan distribusi temuan spesies M.restricta antara pasien
dermatitis seboroik dan pityriasis versikolor 50
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Teori 28
2. Kerangka Konsep 30
3. Alur Penelitian 44
4. Hasil pemeriksaan Nested PCR 51
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir persetujuan
Lampiran 2. Kuisioner penelitian
Lampiran 3. Keterangan kelayakan etik (Ethical Clearance)
Lampiran 4. Data dan hasil pemeriksaan Nested-PCR
viii
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
AIDS Acquired Immunodeficiency Syndrome
DNA Deoxyribonucleic Acid
dNTP Deoksiribonukleotida trifosfat
HIV Human Immunodeficiency Virus
IL Interleukin
INF Interferon
KOH Kalium Hidroksida
PCR Polymerase Chain Reaction
PV Pityriasis Versicolor
RS Rumah Sakit
RSUP Rumah Sakit Umum Pusat
SPSS Statistical Package for School Science
RNA Ribonucleic Acid
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Malassezia merupakan flora normal yang berada dalam kulit,
namun dalam beberapa kasus Malassezia dapat berproduksi dalam
jumlah besar dan dalam keadaan itulah dapat menyebabkan penyakit.
Malassezia termasuk kelompok lipofilik dan atau tergantung lipid. Habitat
ragi ini adalah kulit manusia dan hewan berdarah hangat lainnya.
Ditemukan pada 90% kulit orang sehat dewasa, dapat mengubah
keadaan saprofit menjadi patogen di bawah pengaruh faktor predisposisi,
misalnya perubahan mikroflora kulit dan atau perubahan dalam
pertahanan host (Mahmoudabadi et al.,2014)
Spesies Malassezia dapat menyebabkan pityriasis versikolor dan
berkaitan dengan gangguan patogenesis kulit seperti dermatitis seboroik,
dermatitis atopik, dan informasi terbaru menunjukkan keterlibatan dalam
terjadinya psoriasis. Pityriasis versikolor pertama diamati pada tahun 1801
oleh willan. Pada tahun 1889, Baillon menyarankan bahwa genus
Malassezia adalah penyebab pityriasis versikolor (Gaitanis et al.,2013)
2
Pada tahun 1996 Gemmer dkk berdasarkan urutan gen 28S rRNA
mengklasifikasikan genus Malassezia menjadi tujuh spesies. 14 spesies
dari genus Malassezia telah diidentifikasi berdasarkan gambaran fenotipik
dan metode molekuler. Genus Malassezia termasuk spesies: Malassezia
furfur, M. globosa, M. restricta, M. obtuse, M. sympodialis, M. slooffiae,
M.pachydermatis, M. dermatis, M. japonica, M. nana, M. yamatoensis, M.
equina, M. capra and M. cuniculi (Gonzales et al.,2016)
Pada penelitian sebelumnya di Ahvaz Iran, sebagian besar spesies
pada pityriasis versikolor dan dermatitis seboroik ditemukan M. furfur
(51.3%) dan M. restricta (65.2%), species lain M. globosa (35.2%) dan M.
restricta (13.5%) pada pityriasis versicolor , dan M. globosa (26.1%), M.
furfur (8.7%) pada dermatitis seboroik. Pada penelitian ini tidak
menemukan spesies yang lainnya (Mahmoudabadi et al.,2014)
Pitiriasis versikolor (PV) merupakan infeksi jamur superfisial, yang
disebabkan oleh ragi dan jamur lipofilik dari genus Malassezia ditandai
dengan bercak bersisik halus (pitiriasis), dapat hipokromik atau
hiperkromik (versikolor) yang biasanya terdapat pada leher, badan dan
lengan. Dapat meluas ke wajah, pangkal paha dan paha.(Bonifaz et al.,
2010)
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia, prevalensi di United States
antara 2-8% dari jumlah populasi (Kundu dan Amil.,2012) dan lebih sering
meningkat di daerah tropis dengan temperatur yang hangat dan
3
kelembaban tinggi. (Muhammad et al., 2009) Oleh karena itu, pada
daerah tropis prevalensinya mencapai 30-40% dan frekuensi menjadi
lebih tinggi pada musim panas. Di Indonesia PV menempati posisi kedua
dermatomikosis yang tersering setelah dermatofitosis. (Krisanty et al.,
2009)
Penelitian beberapa ahli di berbagai tempat mengenai kolonisasi
spesies Malassezia pada pasien PV, menunjukkan hasil yang bervariasi.
Hal ini diduga adanya variasi secara geografis terhadap prevalensi
spesies Malassezia yang berbeda pada pasien pitiriasis
versikolor.(Chaudhary et al., 2010)
Dermatitis seboroik adalah merupakan papuloskumosa kronik yang
umum terjadi dan dapat mengenai orang dewasa dan bayi. Ditemukan di
daerah tubuh dengan konsentrasi folikel sebasea yang tinggi dan kelenjar
sebasea yang aktif, termasuk daerah wajah, kulit kepala, bagian atas
badan, dan daerah lipatan (inguinal, inframamaria, dan aksila). Gambaran
klinis tampak berwarna merah muda sampai eritem, plak dan bercak
superfisial dengan skuama kekuningan, dan kadang berminyak. Dermatitis
seboroik sering terdapat pada pasien dengan infeksi Human
Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome
(AIDS) juga pada kelainan neurologis, seperti penyakit Parkinson (Collins
dan Hivnor., 2012).
4
Prevalensi dermatitis seboroik di seluruh dunia sebesar 1-5% pada
populasi imunokompeten dan meningkat pada populasi imunokompromais
(James., 2009), dan 3%-5% dari populasi usia muda (Collins dan Hivnor.,
2012)
Patogenesis dari dermatitis seboroik belum dapat dijelaskan
sepenuhnya, namun berhubungan dengan jamur Malassezia,
abnormalitas imunologi, aktivitas kelenjar sebasea dan kerentanan
individu. Banyak pasien dengan jumlah Malassezia dalam batas normal di
kulitnya, namun mempunyai respon imun yang abnormal, sehingga
menghasilkan penekanan respon sel T-helper. Malassezia sp. juga
berperan penting dalam respon inflamasi dengan stimulasi dari jalur
komplemen alternatif. Gangguan pada respon imun selular limfositik
terhadap Malassezia menghasilkan peningkatan interleukin (IL)-10 serta
penurunan dari IL-2 dan interferon-γ (Collins and Hivnor,2012).
(Polymerase Chain Reaction, PCR) adalah suatu metode enzimatis
untuk amplifikasi DNA dengan cara in vitro. Pada proses PCR diperlukan
beberapa komponen utama, yaitu DNA cetakan, Oligonukleotida primer,
Deoksiribonukelotida trifosfat (dNTP), Enzim DNA Polimerase, dan
Komponen pendukung lain adalah senyawa buffer (Yusuf., 2010). Nested-
PCR adalah suatu teknik perbanyakan (replikasi) sampel DNA
menggunakan bantuan enzim DNA polymerase yang menggunakan dua
pasang primer untuk mengamplifikasi fragmen. Dengan menggunakan
Nested-PCR, jika ada fragmen yang salah diamplifikasi maka
5
kemungkinan bagian tersebut diamplifikasi untuk kedua kalinya oleh
primer yang kedua. Lim et al, tahun 2008, menggunakan Nested-PCR
untuk mengidentifikasi spesies Malassezia pada pasien dermatitis
seboroik (Lim et al, 2008). Studi terbaru di Ahvaz, Iran, mengidentifikasi
spesies dominan pada pasien pityriasis versicolor dan dermatitis seboroik
dengan uji Nested-PCR didapatkan hasil spesies Malassezia dominan
adalah M. furfur disusul M. restricta. (Mahmoudabadi et al, 2014).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas dapat
dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran temuan species Malassezia pada pasien
Pityriasis versikolor di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS
jejaring di Makassar.
2. Bagaimana gambaran temuan species Malassezia pada pasien
Dermatitis seboroik di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS
jejaring di Makassar.
3. Bagaimana gambaran species Malasezia pada pasien Pityriasis
versikolor dan Dermatitis seboroik di RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo dan RS jejaring di Makassar berdasarkan teknik
Nested PCR.
6
I.3. Tujuan Penelitian
I.3.1 Tujuan Umum
Mengidentifikasi spesies Malassezia dengan teknik Nested PCR
untuk menggambarkan spesies Malassezia yang ditemukan pada pasien
pityriasis versikolor dan dermatitis seboroik di RSUP Dr.Wahidin
Sudirohusodo dan RS jejaring di Makassar tahun 2018.
I.3.2 Tujuan Khusus
a. Menggambarkan temuan spesies Malassezia pada pesien
pityriasis versikolor dengan teknik Nested PCR di RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring di Makassar tahun
2018.
b. Menggambarkan spesies Malassezia pada penderita
dermatitis seboroik dengan teknik Nested-PCR di RSUP
Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring di Makassar
tahun 2018.
I.4. Manfaat Penelitian
1. Untuk mengetahui spesies Malassezia yang terlibat pada
pasien pityriasis versikolor di Makassar.
2. Ingin memeberikan informasi mengenai keterlibatan spesies
Malassezia pada pasien dermatitis seboroik di Makassar.
7
3. Diharapkan dapat meningkatkan kualitas penatalaksanaan
pasien dermatitis seboroik di masa mendatang bila terbukti
spesies Malassezia terkait pada etiopatogenesis dermatitis
seboroik.
4. Memberikan alternatif pemeriksaan spesies Malassezia pada
pasien dermatitis seboroik karena pemeriksaan dengan
Kalium Hidroksida (KOH) sulit dilakukan pada pasien
dermatitis seboroik, sementara pengobatan pasien dermatitis
seboroik akan berbeda bila disertai adanya Malassezia.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1.Pityriasis Versikolor
II.1.1. Definisi
Pityriasis versikolor (PV) adalah penyakit jamur superfisial ringan
akibat infeksi kronis kulit oleh jamur lipofilik genus Malassezia. Manifestasi
klinis khas bentuk bercak diskret atau konfluens dengan perubahan warna
yang tertutup skuama halus, terutama pada badan bagian atas dan
ekstremitas proksimal (Radiono et al.,2013)
II.1.2. Epidemiologi
PV merupakan penyakit universal, dilaporkan terdapat pada 30-
40% populasi penduduk di daerah tropis. PV lebih banyak dijumpai pada
kelompok usia dewasa muda baik laki-laki terbanyak pada usia 21-25
tahun, sedangkan pada perempuan terbanyak dijumpai pada usia 26-30
tahun. Hal ini dihubungkan dengan peningkatan aktivitas kelenjar
sebasea. Penyakit ini diasumsikan lebih sering terjadi pada pasien kulit
berpigmen, meskipun hal ini mungkin karena kesempatan yang lebih
tinggi setelah deteksi perubahan pigmen. Distribusi penyakit sama antara
pria dan wanita. (Bonifaz et al., 2010) Dalam penelitian yang dilakukan di
rumah sakit di Venezuela, PV ditemukan sekitar 28,5% dari semua
dermatomikosis. (Cermeño et al., 2005) Pitiriasis versicolor juga banyak
9
dijumpai pada individu immunokompromais misalnya pasien sindrom
cushing dan pasien dengan defek imunitas yang parah (Radiono et
al.,2013)
II.1.3. Etiopatogenesis
PV disebabkan oleh organisme normal pada kulit berupa ragi
lipofilik yang dahulu disebut sebagai Pityrosporum orbiculare dan
Pityrosporum ovale, tetapi saat ini diklasifikasikan sebagia genus
Malassezia (Radiono et al.,2013)
Malassezia merupakan flora normal di kulit dan menjadi patogen
dengan pengaruh beberapa keadaan seperti kondisi lingkungan hangat
dan lembab. (Ashbee., 2007) Di bawah pengaruh faktor prediposisi, terjadi
perubahan bentuk ragi menjadi miselia. (He et al., 2007), dimana hal ini
dipengaruhi faktor predisposisi berupa faktor eksogen dan endogen.
Faktor eksogen yang berperan seperti temperatur tinggi dan lembab,
aplikasi minyak atau krim yang mengandung minyak di badan,
penggunaan kortikosteroid, dan pemakaian pakaian yang ketat. (Bonifaz
et al., 2010)
Faktor endogen berupa malnutrisi, hiperhidrosis, diabetes,
kehamilan dan predisposisi genetik dimana pasien PV dengan riwayat
keluarga menderita PV lebih mudah mengalami rekurensi dan durasi yang
lebih panjang dibandingkan pasien tanpa riwayat keluarga menderita PV
(Mendez-Towar, 2010, He et al., 2007).
10
Lesi Hipopigmentasi yang terjadi di duga terjadi karena peran asam
azeleat, satu asam dekarboksilat metabolit Malassezia spp. Yang bersifat
menghambat tirosinase dalam alur produksi melanin (Radiono et
al.,2013). Selain itu depigmentasi yang tampak pada pasien PV disertai
adanya pembentukan peroksida lipid, dimana peroksida lipid ini memiliki
efek toksik terhadap melanosit. (Mayser and Gaitanis, 2010)
Lesi hiperpigmentasi diduga timbul akibat peningkatan ukuran
melanosome dan penebalan stratum korneum. Selain itu sebukan sel
radang yang lebih padat pada lesi hiperpigmentasi menunjukkan
peradangan yang relatif lebih berat pada tipe ini, diduga memicu stimulasi
melanosis yang berakhir dengan pembentukan pigmen. Lesi eritematosa
dihubungkan dengan respons hiperemis akibat inflamasi (Radiono et
al.,2013).
II.1.4.Gambaran Klinis
Pasien PV umumnya mengeluh makula hipopigmentasi atau
hiperpigmentasi yang tidak gatal, terkadang gatal ringan yang disertai
skuama pada area tubuh tertentu seperti dada, punggung, perut dan
ekstremitas proksimal. (Bonifaz et al., 2010, Framil et al., 2010) Makula
hipopigmentasi atau hiperpigmentasi berukuran lentikular, numular dan
sering berkonfluensi atau tersebar membentuk lesi plakat dengan skuama
halus diatasnya. Untuk menunjukkan adanya skuama, lesi yang kering
dapat di gores dengan ujung kuku sehingga batas lesi nampak lebih jelas
11
(finger nail sign). Pada anak-anak predileksi utama adalah wajah diikuti
dada dan lengan. Predileksi yang jarang terjadi di aksilla, fossa poplitea,
ekstremitas bawah dan genitalia (Radiono et al.,2013)
II.2.Dermatitis Seboroik
II.2.1. Definisi
Dermatitis seboroik (DS) merupakan dermatosis papuloskuamosa
yang kronis dan sering dijumpai pada bayi dan dewasa. Khususnya terjadi
pada area tubuh yang memiliki konsentrasi folikel sebasea yang tinggi dan
kelenjar sebasea yang aktif (daerah seboroik) diantaranya wajah, kulit
kepala, telinga, trunkus superior dan fleksura, termasuk inguinal,
inframamma dan aksilaris (Collins and Hivnor, 2012)
II.2.2.Epidemiologi
Dermatitis seboroik mengenai sekitar 3-5% populasi, dengan
kecenderungan terjadi pada laki-laki dan dewasa muda dan 1-5% pada
populasi umum. Dapat terjadi juga pada bayi dalam 3 bulan pertama
kehidupan dan dekade keempat dan ketujuh kehidupan. Pada penderita
dengan status imunokompromais, seperti pada penderita HIV dan AIDS,
insiden meningkat menjadi 40-80% (Collins and Hivnor, 2012).
12
II.2.3. Etiopatogenesis
Meskipun banyak teori yang ada, penyebab dermatitis seboroik
masih belum diketahui pasti dan masih belum jelas, namun ada beberapa
faktor yang berkaitan dengan munculnya dermatitis seboroik, yaitu jamur
Malassezia, abnormalitas imunologis, aktivitas sebasea, dan kerentanan
individu (Collins and Hivnor, 2012).
Malassezia membutuhkan lipid sebagai “sumber makanan” untuk
tumbuh dan berproliferasi. Jamur ini mendegradasi sebum (trigliserida)
dengan bantuan enzim lipase menjadi berbagai asam lemak. Namun
Malassezia hanya mengkonsumsi asam lemak yang sangat spesifik, yaitu
saturated fatty acid untuk pertumbuhannya, sedangkan unsaturated fatty
acid ditinggalkan dipermukaan kulit (In Ro B and Dawson , 2005). Bentuk
metabolit unsaturated fatty acid yang paling banyak dijumpai adalah asam
oleat, dan metabolit inilah yang diduga berperan pada pembentukan
skuama pada DS (Dengelis, 2005).
Spesies Malassezia juga mempunyai peranan pada proses
inflamasi dengan jalan stimulasi melalui jalur komplemen alternatif.
Terganggunya respon imun seluler limfositik terhadap Malassezia yang
menyebabkan peningkatan level IL-10, penurunan IL-2 dan INF-γ. Pada
pasien dermatitis seboroik, level antibodi terhadap Malassezia bisa
normal, bisa juga meningkat. Malassezia bisa menyebabkan inflamasi
pada kulit karena produk metabolit yang dihasilkan dan melalui aktivasi
13
komplemen melalui jalur langsung dan alternatif (Collins and Hivnor,
2012).
Produksi sebum terbesar pada kulit kepala, wajah, dada, dan
punggung. Produksinya dikontrol oleh hormone androgen. Pada penderita
dermatitis seboroik, trigliserida dan kolesterol meningkat, namun squalene
dan asam lemak bebas kadarnya menurun dibandingkan orang normal.
Asam lemak bebas terbentuk dari trigliserid melalui aktivitas lipase yang
diproduksi oleh P.acnes, dan bakteri ini jumlahnya sedikit pada dermatitis
seboroik. Hal ini menandakan bahwa terdapat ketidakseimbangan
microbial dan penyimpangan komposisi lipid pada permukaan kulit (In Ro
B and Dawson, 2005).
Beberapa faktor lain yang berhubungan dengan dermatitis
seboroik, diantaranya faktor fisik, obat-obatan, abnormalitas
neurotransmitter, proliferasi epidermis yang tidak normal, kelainan nutrisi,
faktor genetik (Collins and Hivnor, 2012).
II.2.4. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis berupa eritem, skuama berminyak yang agak
kekuningan dengan batas kurang tegas, yang dapat dilihat pada kulit
kepala, pelipis, glabella dan juga dapat dijumpai pada lipatan nasolabial,
lipatan retroauricular, meatus akustikus externa, daerah dada dan juga
pada punggung. Pada pasien juga akan didapati keluhan gatal pada lesi,
14
terutama pada bagian kulit kepala dan juga pada bagian telinga (Burns et
al., 2010).
Gambaran lesi dermatitis seboroik bervariasi sesuai lokasinya.
Pada wajah, lesi tampak merah, dengan atau tanpa skuama putih
diatasnya, atau mungkin terlihat sebagai bercak-bercak berminyak
kekuningan. Erupsi dermatitis seboroik cenderung memiliki distribusi
bilateral simetrik. Di kulit kepala, dermatitis seboroik dapat berkisar dari
eritem ringan dan skuama, hingga plak-plak tebal, yang kadang sulit
dibedakan dari psoriasis. Jika terbentuk di lipatan tubuh (inframamma,
ketiak, lipat paha, lipat intragluteal, daerah perianal, dan umbilikus), maka
lesi cenderung berupa plak-plak merah terang berbatas tegas yang dapat
membentuk fisura. Jika terbentuk fisura di lipatan tubuh dan umbilicus,
maka lesi dapat terasa seperti terbakar, gatal, mengeluarkan cairan, dan
nyeri (Goodheart., 2013).
II.3. Malassezia
II.3.1. Sejarah & Taksonomi
Malassezia (dahulu disebut sebagai Pityrosporum) merupakan
organisme lipofilik dihubungkan dengan ragi/yeast, yang secara alamiah
terdapat pada kulit manusia dan hewan, serta menjadi penyebab penyakit
kulit tertentu (Ashbee, 2007 ; Hay and Midgley, 2010). Jamur Malassezia
ditemukan pertama kali pada abad ke-19 pada pasien dermatitis seboroik,
yang kemudian diberi nama oleh ilmuwan perancis Louis Charles
15
Malassez pada tahun 1874. Pada tahun 1904 Raymond JA Sabouraud
mengusulkan nama genus Pityrosporum untuk spora jamur pada kulit
manusia. Malassezia yang berbentuk dimorfik yakni fase ragi/yeast dan
miselium, dan hal ini dapat membingungkan sebab banyak yang meyakini
bahwa ragi dan miselium adalah organisme yang berbeda. Hal ini
tercermin dengan dimasukkannya kedua fase ini dalam dua genus
terpisah yaitu Pityrosporum untuk bentuk yeast dan Malassezia untuk
bentuk miselium (Ashbee, 2006; Levin and Delano, 2011; Cafarchia et al,
2011).
Pityrosporum kemudian direklasifikasikan menjadi dua spesies
yakni P.ovale yang merupakan lipid dependent dan hanya ditemukan
pada manusia, serta P.pachydermatis yang bersifat lipofilik, tetapi tidak
lipid dependent, dan ditemukan pada sebagian besar binatang (Ashbee,
2007). Selain itu, bentuk sel yeast bervariasi dan dapat dibagi dalam dua
spesies terpisah. Pityrosporum orbiculare yang memiliki bentuk sel bulat
yang ditemukan pada kulit sehat dan Pityrosporum ovale yang berbentuk
lonjong sebagai agen penyebab pitiriasis versikolor (Cafarchia et al, 2011;
Ashbee, 2006; Levin and Delano, 2011). Berdasarkan hal tersebut maka
kedua fase tersebut disatukan dalam satu istilah yakni Malassezia
(Ashbee, 2006; Levin and Delano, 2011).
Genus Malassezia awalnya terdiri atas sembilan spesies jamur
lipofilik yakni M. furfur, M. pachydermatis, M. sympodialis, M. globosa, M.
restricta, M. slooffiae, M. obtusa, M. dermatis, dan M. equi. Pada awalnya
16
Malassezia spp hanya terdiri atas M. furfur, M. pachydermatis, dan M.
sympodialis. Kemudian berkembang klasifikasi taksonomi berdasarkan
morfologi, struktur dan biologi molekuler, sehingga bertambah spesies
lainnya. Saat ini telah diidentifikasi spesies lainnya yakni M. japonica, M.
nana, dan M. yamatoensis, M. caprae sehingga menjadi 13 spesies.
Empat spesies dihubungkan dengan kelainan kulit pada binatang (zoofilik)
yakni M. pachydermatis, M. nana, M. equi, dan M. caprae, sedangkan
yang lainnya pada manusia (antropofilik) (Cafarchia et al, 2011; Janik and
Heffernan, 2008; Gonzales et al, 2009; Cabanes et al, 2007).
Spesies Malassezia yang telah dikenal terdapat 13 spesies yakni
Malassezia furfur (tahun 1889), Malassezia pachydermatis (tahun 1925),
Malassezia sympodialis (1990), Malassezia globosa (1996), Malassezia
obtusa (1996), Malassezia slooffiae (1996), Malassezia restricta (1996),
Malassezia dermatis (2002), Malassezia japonica (2003), Malassezia
nana (2004), Malassezia yamatoensis (2004), Malassezia caprae (2007),
dan Malassezia equina (2007) (Hay and Midgley, 2010).
II.3.2 Struktur, fisiologi dan biokimia spesies Malassezia
Malassezia spp merupakan ragi oportunistik yang ditemukan
dalam flora normal kulit manusia dan dapat dihubungkan dengan kelainan
kulit yang berbeda. (Gonzales et al., 2009) Malassezia tidak dapat
membentuk asam lemak rantai panjang karena hambatan pada sintesis
miristic acid de novo yang berfungsi sebagai prekursor asam lemak rantai
17
panjang, sehingga memerlukan penambahan asam lemak dari luar untuk
pertumbuhannya (Xu et al, 2007; Mayser and Gaitanis, 2010).
Malassezia memproduksi lipase, memperlihatkan aktivitas lipolitik in
vivo maupun in vitro. Brunke dan Hube melaporkan kloning dan
karakterisasi gen pertama yang mengkode sekresi lipase oleh M. Furfur
(Brunke and Hube, 2006). Malassezia juga menghasilkan fosfolipase yang
menyebabkan pelepasan asam arakidonat dari hep 2 cell line, hal ini
menunjukkan bahwa Malassezia dapat menginduksi terjadinya
peradangan. Malassezia juga menghasilkan enzim dengan aktivitas
lipooksigenase seperti yang ditunjukkan oleh kemampuannya melepas
oksida bebas dan esterifikasi asam lemak bebas, skualen dan kolesterol.
Sebagai hasil akhir, produksi lipoperoksidase menyebabkan rusaknya
membran sel sehingga terjadi gangguan aktivitas selular yang dapat
menyebabkan gangguan pigmentasi pada penampakan klinis PV (Xu et
al, 2007; Mayser and Gaitanis, 2010). Menurut Ro dan Dawson, aktivitas
lipase spesies Malassezia merupakan hal mendasar pada perkembangan
dermatitis seboroik dan ketombe, dimana Malassezia menghidrolisis
trigliserida pada sebum manusia dan melepaskan asam lemak bebas
yang menyebabkan iritasi pada individu yang rentan (Ro and Dawson,
2005). Pengamatan dengan mikroskopis elektron menunjukkan bahwa
Malassezia memiliki dinding sel yang tebal dan berlapis-lapis dengan
tunas yang terbentuk berturut-turut dari lokus tunggal pada sel induk.
Komponen utama dinding sel adalah protein mannan (75-80%), lipid (15-
18
20%) dan kitin (1-2%). Lipid pada dinding sel berperan penting dalam
respons imunologis. Malassezia bereproduksi secara aseksual, sel induk
membentuk tunas enteroblastik monopolar pada sisi tubuhnya, sel anak
berturut-turut tunas melepaskan diri pada tempat tersebut dan
meninggalkan skar atau kolaret. Spora dapat berbentuk seperti botol,
globosa, ovoid maupun silindris. Tunas dapat terletak pada sisi luas
maupun sisi sempit sel induk (Hay and Midgley, 2010).
Dinding sel Malassezia secara umum sangat tebal dibandingkan
dengan yeast lainnya dan membentuk 26% sampai 37% dari volume sel.
Selubung sel M. furfur terdiri dari 3 lapisan: lapisan luar pada lamelar
permukaan, indentasi lapisan dalam yang melekat erat pada membran
plasma dan "membrane-like" elektron-transparan lapisan tengah, yang
dikelilingi oleh dua elektron-lapisan padat. Lapisan luar, yang tampaknya
berada ekuivalen dengan kapsul, adalah struktur unik dari Malassezia dan
diperkirakan mengandung komponen lemak. Terdapat inkonsisten yang
terlihat antara zona yang memisahkan lapisan utama. Lapisan utama
dapat lebih berlamella sehingga memperlihatkan substruktur berlapis-lapis
(Kim et al, 2009).
II.3.3. Malassezia sebagai jamur komensal
Malassezia spp memiliki kemampuan yang bertentangan yakni
meningkatkan atau menekan kekebalan tubuh, dimana hal ini menjadi
kunci dalam memahami sifat Malassezia sebagai komensal dan patogen
(Ashbee, 2006).
19
Malassezia merupakan jamur dimorfik yang tergolong flora normal
kulit. Lee melaporkan jumlah Malassezia spp yang berbeda berdasarkan
bagian tubuh dengan menggunakan metode kultur, diperoleh spesies M.
restricta dominan pada dahi dan M. globosa pada dada (Lee et al, 2006).
Sugita melaporkan jumlah spesies Malassezia yang dominan pada wajah
dan leher adalah M. restricta dan M. globosa dengan menggunakan
metode non kultur (Sugita et al, 2006). Akaza dkk melakukan penelitian
untuk melihat perbedaan mikrobiota Malassezia spp pada kulit subyek
sehat berdasarkan jenis kelamin, bagian tubuh dan musim. Sampel
dikumpulkan dari dahi, pipi, dada dan punggung pada 20 pria sehat dan
20 wanita sehat (usia rata-rata 32 tahun) pada saat musim panas dan
musim dingin. DNA Malassezia dianalisis menggunakan real-time PCR.
Spesies yang dominan adalah M. restricta pada wajah pria, M. globosa
dan M. dermatis pada trunkus atas pria, M. globosa dan M. sympodialis
pada trunkus atas perempuan. Penelitian ini menjelaskan bahwa
mikrobiota spesies Malassezia pada kulit subyek sehat berbeda
berdasarkan jenis kelamin, bagian tubuh dan musim (Akaza et al, 2010).
Melalui metode kultur spesies Malassezia didapatkan hasil yang sama
penyebaran spesies pada bagian tubuh yang berbeda pada pria dan
wanita serta pada metode non kultur tidak ada perbedaan yang signifikan
jumlahnya pada wajah dan trunk atas. M. restricta menunjukkan proporsi
yang tinggi pada wajah laki-laki (Akaza et al, 2009).
20
Melalui metode kultur dan non kultur didapatkan tidak terdapat
perbedaan antara wajah dan trunkus atas dalam jumlah spesies
Malassezia pada pria, sedangkan pada wanita jumlah spesies Malassezia
pada trunkus atas lebih besar dibandingkan di muka. Selain itu komposisi
sebum di tiap area tubuh mempengaruhi distribusi geografis mikrobiota
Malassezia. Namun tidak terdapat laporan terperinci mengenai komposisi
sebum di setiap area tubuh, sehingga dapat dilakukan penelitian lebih
lanjut. (Akaza et al., 2010) Perkembangan penyakit ini berhubungan
dengan peningkatan jumlah sel Malassezia hidup pada musim panas.
Terdapat laporan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
jumlah sebum dengan musim di Jepang (Takada et al, 2006). Hal ini
menjelaskan bahwa jumlah sel Malassezia hidup di musim panas
meningkat oleh pengaruh suhu, kelembaban atau keringat. Hal yang
berbeda, M. dermatis dan M. sympodialis meningkat pada musim dingin
dibandingkan pada musim panas (Akaza et al, 2010).
II.3.4. Malassezia sebagai jamur patogen
Jamur Malassezia dihubungkan dengan beberapa penyakit yang
menyerang kulit manusia seperti pitiriasis versikolor, pitirosporum
follikulitis, dermatitis seboroik, dermatitis atopi, dan psoriasis dan sedikit
dihubungkan dengan beberapa kelainan kulit seperti papillomatosis
konfluen, onikomikosis, dan dermatosis akantolitik transien. (Erchiga and
Hay, 2010) Malassezia spp juga dikaitkan dengan penyakit sistemik pada
21
pasien imunokompromais termasuk folikulitis, dermatitis seboroik,
fungemia yang terkait penggunaan kateter dan berbagai infeksi invasif
lainnya (Tragiannidis et al, 2009)
Malassezia folikulitis biasanya muncul pada pasien yang
imunosupresi akibat diabetes, keganasan hematologis, transplantasi
sumsum tulang, AIDS dan transplantasi organ (Ashbee, 2007).
Dermatitis seboroik merupakan kelainan kulit yang sering
mengalami kekambuhan ditandai adanya plak bersisik kemerahan dan
berminyak dengan predileksi pada area yang kaya sebum yang terjadi
pada sekitar 2-5% dari populasi yang sehat namun kejadian yang jauh
lebih tinggi pada pasien imunokompromais terutama dengan AIDS yakni
mulai dari 30% sampai 80% (Ashbee, 2007).
Malassezia spp juga dapat menyebabkan infeksi invasif pada bayi
berat badan lahir rendah dengan penyakit kritis. Spektrum klinis berkisar
dari infeksi asimtomatik hingga sepsis yang membahayakan jiwa dan
penyakit diseminata, dengan faktor utama kateter intravaskular dan
pemberian suplemen lipid dilengkapi nutrisi parenteral. (Tragiannidis et al,
2009).
II.4. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Reaksi berantai polymerase (Polymerase Chain Reaction,PCR)
adalah suatu metode enzimatis untuk amplifikasi DNA dengan cara in
vitro. PCR ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 oleh Kary B.
22
Mullis. DNA pada PCR dapat dicapai bila menggunakan primer
oligonukleotida yang disebut amplimers. Primer DNA suatu sekuens
oligonukleotida pendek berfungsi mengawali sintesis rantai DNA. PCR
memungkinkan dilakukannya pelipatgandaan suatu fragmen DNA.
Umumnya primer yang digunakan pada PCR terdiri dari 20-30 nukleotida.
DNA template (cetakan) yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan
dan berasal dari spesimen klinik. Enzim DNA polymerase merupakan
enzim termostabil Taq dari bakteri termofilik Thermus aquaticus.
Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) menempel pada ujung 3’ primer
ketika proses pemanjangan dan ion magnesium menstimulasi aktivasi
polymerase (Yuwono,2006, Yusuf, Z. 2010).
Pada proses PCR diperlukan beberapa komponen utama, yaitu
(Yuwono,2006) :
a. DNA cetakan. Adalah fragmen DNA yang akan
dilipatgandakan. DNA cetakan yang digunakan
sebaiknya berkisar antara 105-106 molekul. Dua
hal penting tentang cetakan adalah kemurnian dan
kuantitas.
b. Oligonukleotida primer. Adalah suatu sekuen
oligonukleotida pendek (18-28 basa nukleotida)
yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai
DNA. Dan mempunyai kandungan G + C sebesar
50-60%.
23
c. Deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP). Terdiri dari
dATP, dCTP, dGTP, dTTP. dNTP mengikat ion
Mg2+ sehingga dapat mengubah konsentrasi efektif
ion. Ini yang diperlukan untuk reaksi polimerasi.
d. Enzim DNA Polimerase. Adalah enzim yang
melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA.
e. Senyawa buffer.
Pada proses PCR menggunakan alat termosiklus.
Sebuah mesin yang memiliki kemampuan untuk
memanaskan sekaligus mendinginkan tabung
reaksi dan mengatur temperature untuk tiap
tahapan reaksi. Ada tiga tahapan penting dalam
proses PCR yang selalu terulang dalam 30-40
siklus dan berlangsung dengan cepat yaitu :
(Yuwono,2006)
II.4.1. Denaturasi
Di dalam proses PCR, denaturasi awal dilakukan sebelum enzim
Tag polimerasi ditambahkan ke dalam tabung reaksi. Denaturasi DNA
merupakan proses pembukaan DNA untai ganda menjadi DNA untai
tunggal. Ini biasanya berlangsung sekitar 3 menit, untuk meyakinkan
bahwa molekul DNA terdenaturasi menjadi DNA untai tunggal. Denaturasi
yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi
(membentuk DNA untai ganda lagi) secara cepat, dan ini mengakibatkan
24
gagalnya proses PCR. Adapun waktu denaturasi yang terlalu lama dapat
mengurangi aktifitas enzim Tag polymerase. Aktifitas enzim tersebut
mempunyai waktu paruh lebih dari 2 jam, 40 menit, 5 menit masing-
masing pada suhu 92,5, 95 dan 97,5oC.
II.4.2. Annealing (penempelan primer)
Kriteria yang umum digunakan untuk merancang primer yang baik
adalah primer sebaiknya berukuran 18-25 basa, mengandung 50-60% G +
C dan untuk kedua primer tersebut sebaiknya sama. Sekuens DNA
masing-masing primer itu sendiri juga sebaiknya tidak saling
berkomplemen, karena hal ini akan mengakibatkan terbentuknya struktur
sekunder pada primer tersebut dan mengurangi efisiensi PCR. Waktu
annealing yang biasa digunakan dalam PCR adalah 30-45 detik. Semakin
panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya. Kisaran
temperature penempelan yang digunakan antara 36oC sampai dengan
72oC, namun suhu yang biasa dilakukan adalah 50-60oC.
II.4.3. Pemanjangan Primer (Extention)
Selama tahap ini Taq polymerase memulai aktifitasnya
memperpanjang DNA primer dari ujung 3’. Kecepatan penyusunan
nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72oC diperkirakan 35-100
nukleotida/detik, bergantung pada buffer, Ph, konsentrasi garam dan
molekul DNA target. Dengan demikian untuk produk PCR dengan panjang
2000 pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk tahap
25
perpanjangan primer ini. Biasanya diakhir siklus PCR waktu yang
digunakan untuk tahap ini diperpanjang sampai 5 menit sehingga produk
PCR diharapkan terbentuk DNA untai ganda.
Reaksi-reaksi tersebut di atas diulangi lagi dari 25-30 kali (siklus)
sehingga pada akhir siklus akan diperoleh molekul-molekul DNA rantai
ganda yang baru, yang merupakan hasil polymerase dalam jumlah yang
jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah DNA cetakan yang
digunakan. Banyaknya siklus amplifikasi tergantung pada konsentrasi
DNA target dalam campuran reaksi.
Produk PCR dapat diidentifikasi melalui ukurannya dengan
menggunakan elektroforesis gel agarosa. Metode ini terdiri atas
memasukkan DNA ke dalam gel agarosa dan menyatukan gel tersebut
dengan listrik. Hasilnya untai DNA kecil pindah dengan cepat dan untai
yang besar diantara gel menunjukkan hasil positif. Teknik PCR dapat
dimodifikasi ke dalam beberapa jenis, salah satunya Nested-PCR.
(Yuwono,2006, Yusuf, Z. 2010).
II.4.4. Nested-PCR
Proses ini memungkinkan untuk mengurangi kontaminasi pada
produk selama amplifikasi dari penyatuan primer yang tidak diperlukan.
Dua set primer digunakan untuk mendukung metode ini, set kedua
mengamplifikasi target kedua selama proses pertama berlangsung.
Sekuens DNA target dari satu set primer yang disebut primer inner
26
disimpan di antara sekuens target set kedua dari primer yang disebut
sebagai outer primer. Pada prakteknya, reaksi pertama dari PCR
menggunakan outer primer, lalu reaksi PCR kedua dilakukan dengan
inner primer atau nested primer menggunakan hasil dari produk reaksi
yang pertama sebagai target amplifikasi. Nested primer akan menyatu
dengan produk PCR yang pertama dan menghasilkan produk yang lebih
pendek daripada produk yang pertama (Yuwono, 2006, Yusuf, Z. 2010).
Keunggulan PCR dikatakan sangat tinggi. Hal ini didasarkan atas
spesifitas, efisiensi dan keakuratannya. Spesifitas PCR terletak pada
kemampuannya mengamplifikasi sehingga menghasilkan produk melalui
sejumlah siklus. Keakuratan yang tinggi karena DNA polymerase mampu
menghindari kesalahan pada amplifikasi produk. Masalah yang berkenaan
dengan PCR yaitu biaya PCR yang masih tergolong tinggi.
(Yuwono,2006).
II.5. Landasan Teori
Berdasarkan tinjauan pustaka tersebut di atas, maka pokok pikiran
yang dijadikan landasan untuk menilai peranan spesies Malassezia pada
dermatitis seboroik dan pitiriasis versikolor adalah sebagai berikut :
1. Salah satu patogenesis dermatitis seboroik yang
diduga sangat berperan adalah jamur spesies
Malassezia.
27
2. Patogenesis pityriasis versikolor yang berperan ialah
spesies Malassezia
3. Bentuk metabolit unsaturated fatty acid yang paling
banyak dijumpai adalah asam oleat, dan metabolit
inilah yang diduga berperan pada pembentukan
skuama pada dermatitis seboroik.
4. Spesies Malassezia dapat diidentifikasi dengan
menggunakan teknik Nested-PCR.
28
II.6. Kerangka Teori
Dermatitis Seboroik
Faktor lain :
faktor fisik,gangguan nutrisidan obat-obatan
GambaranKlinis
Lokasi lesi
-kulit kepala-wajah-batang tubuh-generalisata
MalasseziaKelainanimunologi
Aktivitassebasea
Kerentananindividu
Mendegradasi sebum (trigliserida) dengan bantuan enzim lipase menjadi asamlemak bebas → asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif menghasilkan
suatu antibakterial yang mengganggu flora normal kulit
29
Pityriasis Versikolor
faktor lain:lingkungan panas,lembab, kadar CO2yang ↑padakeadaan oklusif,hyperhidrosis,penggunaankortikosteroidsistemik,imunosupresif danmalnutrisi
GambaranKlinis
Bercak putih ataukecoklatan yangtidak gatal
Malasseziaspp
Penurunanrespon
imunitasseluler
Makula berbatastegas, tertutupskuama halus
- Asam azeleat- Senyawa indol :
Pityriacitrin Malassezin Pityriarubins Indirubin
↑ peningkatanukuran melanosomedan penebalanstratun korneum
Lokasi lesi
-dada-punggung atas-bahu-lengan atas-wajah(anak)
30
II.7. Kerangka Konsep
Variabel Populasi Variasi
PenderitaPityriasis Versikolor dan
Dermatitis Seboroik
Teknik Identifikasi(Nested-PCR)
Jenis SpesiesMalassezia
M.Furfur
M.Globosa
M.Restricta
31
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. Rancangan penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang dilakukan
dengan pendekatan potong lintang, untuk mengetahui species Malassezia
dari pasien pityriasis versikolor dan dermatitis seboroik.
III.2. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo dan RS Jejaring di Makassar Tahun
2018 meliputi penentuan klinik pityriasis versikolor dan dermatitis
seboroik. Pemeriksaan Nested-PCR dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
III.3. Populasi dan sampel penelitian
III.3.1 Populasi penelitian
Populasi penelitian adalah pasien pityriasis versikolor dan pasien
dermatitis seboroik yang berobat di Poliklinik Kulit dan Kelamin, rawat inap
RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan RS jejaring di Makassar Tahun
2018.
32
III.3.2. Sampel penelitian
Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara total sampling
selama 3 bulan. Sampel penelitian adalah semua penderita yang
dinyatakan menderita pityriasis versikolor dan dermatitis seboroik yang
didiagnosis secara klinis dan laboratorium yang memenuhi kriteria
penerimaan sampel penelitian.
III.3.3. Kriteria sampel
III.3.3.1. Kriteria inklusi
a. Pasien di diagnosis pityriasis versikolor dan dermatitis seboroik.
b. Pasien pityriasis versikolor dan dermatitis seboroik yang belum
pernah di terapi.
c. Pasien pityriasis versikolor yang hasil pemeriksaan KOH positif dan
negatif.
d. Bersedia mengikuti penelitian.
III.3.3.2. Kriteria eksklusi
a. Pasien dermatitis seboroik dan pityriasis versikolor yang
mendapat terapi topikal kortikosteroid dan atau antijamur
b. Data hilang saat penelitian.
33
III.3.4. Perkiraan besar sampel
Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang
memenuhi kriteria inklusi, bersedia mengikuti penelitian dengan
menandatangani informed consent. Perkiraan besar sampel untuk
estimasi proporsi pada populasi terbatas dengan menggunakan rumus :
n = Z2 α/2 ӿ p (1-p) N
d 2 (N-1) + Z2 α/2 ӿ p (1-p)
dimana, n : besar sampel
Z2 α/2: nilai Z pada derajat kepercayaan 1α/2
p : proporsi hal yang diteliti
d : presisi
N : jumlah populasi
Maka besar sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini adalah 40
sampel untuk dermatitis seboroik dan 29 sampel untuk pityriasis
versikolor.
III.4. Izin Penelitian dan Ethical Clearance
Permintaan izin dari pasien untuk dijadikan sampel penelitian, serta
persetujuan Komisi Etik Penelitian Biomedis pada sampel isolat, Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin. Ethical clearance tidak memberi
34
kerugian pada subyek penelitian, kerahasiaan data tetap dijaga, dan
dilakukan informed consent sebelum pengambilan isolat.
III.5. Alat dan bahan penelitian
A. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :
1. Lembar persetujuan penelitian
2. Skalpel tumpul
3. Lampu spiritus
4. Kaca objek
5. Swab alkohol
6. Sarung tangan
7. Mesin PCR
8. Gel DOC
9. Mesis elektroforesis
10. Mesin sentrifugasi
11.Waterbath
12. Laminal Flow
13. BSC tipe II
14. Mikropipet (1000 ul, 100 ul, 20 ul, 10ul)
15. Cetakan agarosa
16. Tips (1000 ul, 100 ul, 20 ul, 10 ul)
17. Tabung efendorf
35
18. Tabung PCR
19. Erlenmeyer
20. Gelas ukur
21. Rak Tabung
B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini, yaitu :
1. Spesimen skuama dermatitis seboroik
2. NaCl 0,9%
3. KIT Ekstraksi Jaringan (GENEAID)
4. TBE 0,5 ; Loading Dey
5. Agarosa
6. RNAse Free Water
7. DNA leader / Marker 100 bp
8. Ethidium Bromida
9. Enzim PCR
10. Primer ITS spesifik Malassezia species :
ITS1F-N GGATCATTAGTGATTGCCTTTATA
berpasangan dengan ITS1-R
TCCTCCGCTTATTGATATG.
11. Primer M. furfur 230 bp : M. f-F
CTACTCGCGTACAACGTCTCTG
36
berpasangan dengan 5.8S-R
TTCGCTGCGTTCTTCATCGA
12. Primer M. globosa 270 bp : M.gl-F
CAATAAGTGTGTCTCTGCGG
berpasangan dengan 5.8S-R
TTCGCTGCGTTCTTCATCGA
13.Primer M. restricta 320 bp :
M. rt-F
CTTGGTTGGACCGTCACTG
berpasangan dengan M. rt-R
AGGCGGATGCAAAGTGTCTC
(Mahmoudabadi AZ, Zarrin M, Azish M, 2014).
III.6. Prosedur penelitian
III.6.1. Persiapan
- Peneliti diberi surat ijin untuk melaksanakan penelitian oleh Bagian
Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/RS.
Dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar.
- Rancangan penelitian diajukan ke Komite Etik Penelitian RS. Dr.
Wahidin Sudirohusodo untuk mendapatkan persetujuan (ethical
clearance). Informed consent akan diberikan pada penderita yang
hanya akan dilaksanakan bila telah diperoleh ijin tertulis dari
penderita/wali.
37
III.6.2. Penjelasan dan penandatanganan Informed consent
Subjek penelitian atau wali diberi penjelasan mengenai penelitian
yang akan dilakukan, bila bersedia ikut dalam penelitian, maka diminta
untuk menandatangani Informed consent. Pada penelitian ini dilakukan
anamnesis kemudian dilakukan pengambilan kerokan kulit (skuama) pada
lesi PV dan DS serta dilakukan identifikasi spesies Malassezia.
III.6.3. Teknik pelaksanaan
- Seleksi pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
- Subjek yang memenuhi kriteria sampel penelitian dikelompokkan
menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok PV dan DS
- Melakukan pengambilan spesimen kerokan kulit (skuama)
penderita, yaitu setelah lesi kulit dibersihkan dengan swab alkohol,
dilakukan kerokan kulit menggunakan pisau/skalpel tumpul untuk
memperoleh skuama. Skuama ditampung pada kaca objek yang
sudah dilidahapikan diatas api spiritus.
- Selanjutnya spesimen akan dilakukan pemeriksaan KOH
- Setelah dari hasil KOH yang positif ataupun negatif dilanjutkan
dengan isolasi DNA-Malassezia untuk diuji dengan Nested-PCR.
38
III.6.4. Ekstraksi DNA Sampel (Skuama) Metode Geneaid
Cara kerja :
1. Masukkan sampel (skuama) ke dalam tabung efendorf 1,5 ml sebanyak
± 25 mg tambahkan 200 ul larutan GST Buffer dan 20 ul Proteinase K
( sebelumnya ditambahkan ddH2O add 1 ml ),vortex selama 10
detik.Inkubasi pada suhu 60 º C selama semalam ( Sampai semua
skuama lisis ) . Kemudian sentrifuge dengan kecepatan 14.000 –
16.000 ( 15.000 ) X g selama 2 menit. Ambil supernatannya masukkan
ke dalam tabung efendorf 1,5 ul yang baru. Tambahkan larutan GSB
Buffer sebanyak 200 ul vortex selama 10 detik.
2. Tambahkan 200 ul Ethanol Absolut campur selama 10 detik.Transfer
semuanya kedalam GD Column in 2 ml collection tube sentrifuge
dengan kecepatan 14.000 – 16.000 ( 15.000 ) X g selama 1 menit.
Buang collection tube,ganti dengan 2 ml collection tube yang baru.
3. Tambahkan 400 ul W1 Buffer kedalam GD column,sentrifuge dengan
kecepatan 14.000 – 16.000 ( 15.000 ) X g selama 30 detik, buang
cairan yang terdapat pada collection tube.Tambahkan 600 ul Wash
Buffer ( sebelumnya ditambahkan Ethanol add 100 ml ) sentrifuge
dengan kecepatan 14 .000 – 16.000 ( 15.000 ) X g selama 30
detik.Buang cairan yang terdapat pada collection tube sentrifuge
dengan kecepatan 14.000 – 16.000 ( 15.000 ) X g selama 3 menit.
4. Pindahkan GD column ke dalam tabung ependorf 1,5 ml ,tambahkan
100 ul Elution Buffer yang sebelumnya telah dipanaskan,diamkan
39
selama 3 menit, sentrifuge dengan kecepatan 14.000 – 16.000 ( 15.000
) X g selama1 menit. Buang GD column ,cairan yang terdapat pada
tabung ependorf 1,5 ml merupakan DNA produk dari sampel yang telah
diekstraksi dan siap untuk di PCR.
III.6.5. Proses PCR
a. Urutan Primer Yang digunakan :
Species and PrimersSequence (5ʹ 3ʹ) DNA FragmentSize,
bp
First PCR untuk tiga spesies Malassezia
ITS1F-N GGATCATTAGTGATTGCCTTTATA
ITS4-R TCCTCCGCTTATTGATATG
Second PCR untuk masing-masing spesies Malassezia
M. furfur 230
M. f-F CTACTCGCGTACAACGTCTCTG
5.8S-R TTCGCTGCGTTCTTCATCGA
M. globosa 270
M.gl-F CAATAAGTGTGTCTCTGCGG
5.8S-R TTCGCTGCGTTCTTCATCGA
M. restricta 320
40
M. rt-F CTTGGTTGGACCGTCACTG
M. rt-R AGGCGGATGCAAAGTGTCTC
b. Mix dan siklus PCR
1.1 .First PCR untuk tiga spesies Malassezia
Master Mix Green : 12,5ul
Primer Forward : 0,5 ul
Primer Reverse : 0,5 ul
Nuclease Free water : 6,5 ul
DNA Produk : 5 ul
Total Volume : 25,0 ul
1.2. Siklus PCR First PCR untuk tiga spesies Malassezia
Cycle 1 (1x) : 94o C selama 5
menit
Cycle 2 (30x), Step 1 : 94o C selama 30
detik
Step 2 : 57o C selama 1
menit
Step 3 : 72o C selama 50
detik
Cycle 3 (1X) : 72o C selama 10
menit.
41
2.1. Second PCR untuk tiga spesies Malassezia
Master Mix Green : 12,5ul
Primer Forward M. furfur : 0,5 ul
Primer Reverse M. furfur : 0,5 ul
Primer Forward M. globosa : 0,5 ul
Primer Forward M. globosa : 0,5 ul
Primer Forward M. restricta : 0,5 ul
Primer Forward M. restricta : 0,5 ul
Nuclease Free water : 4,5 ul
DNA Produk : 5 ul
Total Volume : 25,0 ul
2.2. Siklus Second PCR untuk tiga spesies Malassezia
Cycle 1 (1x) : 94o C selama 3
menit
Cycle 2 (30x), Step 1 : 94o C selama 30
detik
Step 2 : 62o C selama 1
menit
Step 3 : 72o C selama 40
detik
42
Cycle 3 (1X) : 72o C selama 10
menit.
III.6.6. Elektroforesis hasil PCR
A. Buat gel
1. Ditimbang 2 gr agarose dan dilarutkan dalam 100 ml TAE Buffer
0,5x untuk mendapatkan larutan agarose 2 %
2. Campuran agarose dan TAE 0,5x dipanaskan hingga larut
kemudian ditunggu hingga agak dingin kemudian ditambah 5μl
Ethidium Bromida
3. Larutan agarose dituang kedalam cetakan dan ditunggu hingga
beku.
B. Pembuatan DNA Marker
1. Sebanyak 25 µl DNA 100 bp ladder dimasukkan ke dalam tube
berisi 1 ml Blue Juice Loading Dye, dan dicampur untuk marker
2. Laber tube dicopot dan diganti menjadi marker
C. Persiapan Running Elektroforesis
1. Gel yang telah beku dimasukkan ke dalam elektroforesis dan
direndam dalam larutan TAE 0,5x
2. Sebanyak 8 μl amplicon hasil PCR/ PCR Produk ( kontrol positif,
kontrol negatif, sampel ) ditambah dengan 2 μl Blue Juice
Loading Dye (tanpa marker), dicampur dan dimasukkan ke
dalam sumur-sumur gel sebanyak 10 μl.
43
3. Pada lubang pertama tambahkan 10 ul DNA leader 100 bp
dimasukkan ke dalam sumur di dekat kontrol positif
D. Running Elektroforesis
1. Elektroforesis dihidupkan dan dijalankan dari muatan negative
(katode) ke muatan positif (anode) pada 100 A dan 40 menit
2. Setelah elektroforesis dilihat pita yang terbentuk. Apabila pita
sejajar dengan control positif berarti hasil positif.
E. Prosedur Kerja Gel Doc
Cara menggunakan alat Gel Doc dibagi menjadi 4 tahap, yaitu :
1. Menyalakan Alat Gel Doc
2. Mengatur Posisi Gel
3. Mengatur Gambar
4. Save dan Print Gambar
44
III.7. Alur penelitian
Pasien Pityriasis Versikolor
Penentuan diagnosis klinisPityriasis Versikolor
Pengambilan spesimendengan kerokan kulit
Memenuhi kriteria
Uji Nested-PCR
Identifikasi spesiesMalassezia
Laporan hasil penelitian
Analisis data
Periksa KOH
Positif Negatif
45
Penentuan diagnosis klinisDermatitis Seboroik
Pengambilan spesimendengan kerokan kulit
Memenuhi kriteria
Uji Nested-PCR
Identifikasi spesiesMalassezia
Laporan hasil penelitian
Analisis data
Pasien Dermatitis Seboroik
46
III.8. Identifikasi Variabel
1. Variabel tergantung adalah species malassezia
2. Variabel bebas adalah pityriasis versikolor dan dermatitis
seboroik.
III.9. Definisi operasional
1. Pityriasis versikolor adalah infeksi jamur superfisial, yang disebabkan
oleh ragi dan jamur lipofilik dari genus Malassezia. Ditandai dengan
bercak bersisik halus (pitiriasis), dapat hipokromik atau hiperkromik
(versikolor) yang biasanya terdapat pada leher, badan dan lengan serta
dapat meluas ke wajah, pangkal paha dan paha.
2. Dermatitis seboroik adalah penyakit kulit dimana terjadi peradangan
pada area yang banyak mengandung kelenjar minyak (sebasea), seperti
wajah, kulit kepala, telinga, tubuh (dada dan punggung), lipatan
(selangkangan, bawah payudara dan ketiak) yang di tandai dengan kulit
kemerahan yang ditutupi sisik halus sampai adanya peninggian kulit
disertai rasa gatal.
3. Manifestasi klinis adalah keluhan yang dirasakan pasien dan dilihat oleh
pemeriksa pada saat kunjungan.
4. Malassezia merupakan jamur dimorfik lipofilik yang tergolong flora
normal dan dapat diisolasi dari kerokan kulit yang berasal dari hampir
47
seluruh area tubuh terutama di area yang kaya kelenjar sebasea seperti
dada, punggung dan area kepala.
5. Nested-PCR adalah suatu ternik perbanyakan (replikasi) sampel DNA
menggunakan bantuan enzim DNA polymerase yang menggunakan dua
pasang primer untuk mengamplifikasikan fragmen.
6. Rumah Sakit jejaring adalah semua rumah sakit yang memiliki kerja
sama dengan bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin di kota Makassar
III.10. Analisis data
Data dalam penelitian ini akan diolah dengan perangkat lunak statistik
komputer menggunakan SPSS versi 20. Untuk uji hipotesis analisis
dengan menggunakan uji Chi-square test. Hipotesis diterima bila nilai P <
0,05 dengan interval kepercayaan 95%.
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kota Makassar, Sulawesi Selatan dengan
jumlah sampel sebanyak 69 orang yang terdiri dari 40 orang penderita
dermatitis seboroik dan 29 orang penderita pityriasis versikolor yang
memenuhi kriteria inklusi dari Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo dan
Rumah Sakit jejaring lainnya. Pemeriksaan dilakukan dengan
memperhatikan manifestasi klinis untuk menentukan diagnosis secara
klinis. Pengambilan spesimen skuama diambil dengan pengerokan
skuama pada lesi dermatitis seboroik dan pityriasis versikolor, kemudian
dilakukan pemeriksaan Nested-PCR untuk mengidentifikasi spesies
Malassezia di Laboratorium Mikrobiologi Rumah Sakit UNHAS Makassar.
Penelitian ini bertujuan mengetahui seberapa besar frekuensi atau insiden
ditemukannya spesies Malassezia pada penderita dermatitis seboroik dan
pityriasis versikolor. Adapun karakteristik subyek penelitian dapat dilihat
pada tabel 1
49
Tabel 1. Karakteristik pasien dermatitis seboroik dan pityriasisversikolor
Karakteristik
DermatitisSeboroik
(n=40)
PityriasisVersikolor
(n=29) Nilai p
Usia(tahun)
Min/Max 29/68 4/56 <0,0001
Mean(SD) 45,88(9,32) 28,69(13,96)
JenisKelamin
Laki-laki; n(%)
27 (67,5%) 21(72,4%) 0,863
Perempuan;n (%)
13 (32,5%) 8(27,6%)
*independent sample t test; Continuity correction X2 test
Dari tabel 1 diatas menunjukkan bahwa ada perbedaan usia
penderita dermatitis seboroik dengan pityriasis versikolor secara
bermakna (p<0,05). Penderita pityriasis versikolor ditemukan pada usia
yang lebih muda (28,69±13,96 vs 45,88±9,32). Tidak ditemukan
perbedaan distribusi jenis kelamin (p>0,05); Ditemukan laki-laki lebih
banyak pada kedua kelompok penderita.
Tabel 2. Temuan spesies Malassezia pada pasien dermatitis seboroikdan pityriasis versikolor
SpesiesMalassezia
Dermatitis Seboroik(n=40)
Pityriasis Versikolor(n=29)
N % n %
M.furfur 0 0,0% 0 0,0%
M.globosa 0 0,0% 0 0,0%
M.restricta 31 77,5% 14 48,3%
50
Tabel 2 menunjukkan bahwa ditemukan spesies M.restricta pada kedua
kelompok, tetapi tidak ditemukan spesies M.furfur dan M.globosa pada
kedua kelompok penderita.
Tabel 3. Perbedaan distribusi temuan spesies M.restricta antara
pasien dermatitis seboroik dan pityriasis versikolor
Diagnosis klinis
M.restricta
Nilai pPositif (n=45) Negatif n=24)
Dermatitis
seboroik
31 77,5% 9 22,5% 0,024
Pityriasis
versikolor
14 48,3% 15 51,7%
*Continuity Correction X2 test
Tabel 3 menunjukkan bahwa hasil uji X2 menunjukkan adanya perbedaan
temuan M.restricta yang bermakna (p<0,05) antara penderita dermatitis
seboroik dengan Pityriasis Versikolor. Temuan M.restricta pada dermatitis
Seboroik lebih banyak dari temuan M.restricta pada Pityriasis Versikolor
(77,5% vs 48,3%).
Elektroforesis produk PCR pada kelompok sampel penderita
dermatitis seboroik dan pityriasis versikolor menunjukkan dominasi positif
terdeteksi M. restricta pada target band 320 bp dengan forward primer
51
CTTGGTTGGACCGTCACTG dan reverse primer
AGGCGGATGCAAAGTGTCTC. (Gambar 1)
Gambar 1. Hasil pemeriksaan Nested-PCR
52
53
B. Pembahasan
Dermatitis seboroik merupakan suatu kondisi kulit dengan inflamasi
sub-akut atau kronis, yang ditandai dengan pruritus, plak eritematosa
berminyak, skuama berwarna abu-abu kekuningan yang tampak pada
daerah yang kaya akan glandula sebasea, seperti wajah, kepala, dada
bagian atas dan punggung. Dermatitis seboroik mengenai sekitar 3-5%
populasi dewasa, dengan kecenderungan terjadi pada laki-laki. (Collins
and Hivnor, 2012., (Naldi and Rebora, 2009)
Penyebab dermatitis seboroik belum diketahui pasti, beberapa
faktor berperan dalam etiopatogenesis, salah satunya adalah spesies
Malassezia. (Gupta et al.,2004) Beberapa penelitian klinis menunjukkan
peningkatan kepadatan Malassezia memiliki peran penting pada
patogenesis dermatitis seboroik. (Hedayati et al., 2010)
54
Spesies Malassezia merupakan organisme lipofilik dan bagian dari
flora normal manusia, khususnya pada kulit berminyak. Semua spesies
Malassezia (kecuali M. pachydermatis) mampu menghancurkan lemak
pada sebum dan merubah saturated fatty acid, trigliserida menjadi
unsaturated fatty acid (asam lemak bebas) dan digliserid. Asam lemak
bebas ini akan menyebabkan peningkatan kepadatan spesies Malassezia
dan menyebabkan proses inisiasi inflamasi. (DeAngelis et al., 2005)
Pada kepustakaan dikatakan, dermatitis seboroik umumnya terjadi
pada masa remaja atau dewasa muda, dengan insiden meningkat pada
pasien berumur lebih dari 50 tahun. (Gupta and Bluhm, 2004) Pada
pasien dengan usia lanjut memiliki daya tahan tubuh yang sudah
berkurang sehingga lebih rentan terhadap berbagai macam penyakit
salah satunya seperti dermatitis seboroik. Di indonesia untuk hasil
penelitian retrospektif dari Malak, et al tahun 2016 di Manado didapatkan
kelompok usia 45-64 tahun merupakan kelompok yang mempunyai
distribusi tertinggi untuk dermatitis seboroik. (Malak et al., 2016)
Dari penelitian ini, distribusi kasus dermatitis seboroik berdasarkan
jenis kelamin diperoleh jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan
perempuan. Jumlah laki-laki sebanyak 27 kasus (67,5%) dan perempuan
sebanyak 13 kasus (32,5%). Hal ini sama dengan penelitian sebelumnya
oleh Malak et al tahun 2016 di Manado, laki-laki merupakan pasien
terbanyak yaitu 61 kasus (67,0%) dan perempuan 30 kasus (33,0%).
Penelitian lain juga di lakukan oleh N R Jumiaty et al tahun 2017 di
55
Makassar, ditemukan jumlah pada laki-laki 17 kasus (56,7%) dan
perempuan 13 kasus (43,3%). (N R Jumiaty et al, 2017). Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan stimulasi hormon androgen yang
lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan perempuan dimana hormon ini
memiliki fungsi untuk menghasilkan sebum dan aktivitas sebum yang
merupakan salah satu penyebab terjadinya dermatitis seboroik. (Malak et
al, 2016)
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan bahwa ditemukan spesies
M.restricta pada kedua kelompok, tetapi tidak ditemukan spesies M.furfur
dan M.globosa pada kedua kelompok penderita. Spesies Malassezia yang
terdeteksi pada sampel positif dermatitis seboroik, yaitu M. restricta.
Menurut kepustakaan, sebagian besar studi di seluruh dunia menunjukkan
M. restricta sebagai spesies dominan pada penderita dermatitis seboroik.
Penelitian yang dilakukan oleh Lim et al, pada tahun 2008 menggunakan
metode Nested-PCR, dan Lee et al, pada tahun 2011 menggunakan
metode PCR-RFLP, untuk mengidentifikasi spesies Malassezia pada
penderita dermatitis seboroik di Korea, mendapatkan hasil spesies
dominan adalah M. restricta (47%) dan M. furfur (27%). (Lim et al., 2008,
Lee et al., 2011) Dengan demikian hasil penelitian ini sama dengan
peneliti sebelumnya.
Distribusi kasus pityriasis versikolor berdasarkan jenis kelamin
diperoleh jumlah laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Jumlah
laki-laki sebanyak 21 kasus (72,4%) dan perempuan sebanyak 8 kasus
56
(27,6%). Hasil demikian juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan
sebelumnya oleh C Romano et al tahun 2013 di Siena Italy, laki-laki 43
kasus dan wanita 31 kasus dengan usia rata-rata 39,5 ± 15,2 tahun
(kisaran 17–76, median 38 tahun). Usia dengan frekuensi tertinggi adalah
antara 30 dan 39 tahun. (C Romano et al, 2013). Berdasarkan studi B
Tarazooie et al tahun 2004 di Tehran Iran, peran jenis kelamin dalam
kecenderungan untuk pengembangan PV masih tidak jelas, beberapa
penelitian menemukan bahwa PV lebih umum terjadi pria dibanding
wanita. Meskipun spesies Malassezia dianggap mikroflora normal kulit
manusia, ragi lipofilik ini terkait dengan banyak gangguan kulit khususnya
PV dalam beberapa keadaan. Dipercaya secara luas bahwa faktor
endogen seperti pemberian kortikosteroid, malnutrisi dan peningkatan
kadar kortisol plasma menengahi perkembangan PV.( B Tarazooie et al,
2004). Archana et al di Karnataka India tahun 2015 juga menemukan
insiden PV lebih sering terjadi pada laki-laki (73%) dari pada wanita
(27%). Gosh et al., Rao et al. dan Krishnan et al juga menemukan
dominan pada laki-laki mungkin dipengaruhi oleh aktifitas luar pada laki-
laki.( Archana et al, 2015)
Berdasarkan temuan Malassezia pada pasien dermatitis seboroik
dan pityriasis versikolor pada penelitian ini menunjukkan bahwa
ditemukan spesies M.restricta pada kedua kelompok, tetapi tidak di
temukan spesies M.furfur dan M.globosa pada kedua kelompok penderita.
Pada pasien dermatitis seboroik sebanyak 40 kasus, didapatkan 31 kasus
57
(77,5%) positif M.restricta dan 9 kasus (22,5%) yang negatif. Sedangkan
pada pasien pityriasis versikolor sebanyak 29 kasus, didapatkan 14 kasus
(48,3%) positif M.restricta dan 15 kasus (51,7%) yang negatif. Dari
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mahmoudabadi AZ et al tahun
2014 di Ahvaz Iran, menunjukkan bahwa pada kelompok pasien dermatitis
seboroik ditemukan spesies yang lebih banyak ialah M.restricta sebanyak
15 kasus (65,2%), M.globosa 6 kasus (26,1%) dan M.furfur 2 kasus (8,7%)
dari 30 kasus dermatitis seboroik yang di teliti. Sedangkan pada kelompok
pityriasis versikolor ditemukan spesies yang lebih banyak ialah M.furfur 19
kasus (51,3%), M.globosa 13 kasus (35,2%) dan M.restricta 5 kasus
(13,5%) dari 45 kasus pityriasis versikolor yang di teliti. ( Mahmoudabadi
AZ et al,2014)
Berdasarkan kepustakaan bahwa dalam sebagian besar studi
epidemiologis di dunia, M.Globosa lebih banyak ditemukan daripada
spesies Malassezia lainnya pada pasien dengan pityriasis versikolor.
Sedangkan dalam penelitian di Ahvaz Iran, M. furfur adalah spesies
dominan pada pasien pityriasis versikolor dan pada hasil penelitian ini
hanya didapatkan spesies M.restricta. Perbedaan hal ini dengan studi
sebelumnya mungkin disebabkan oleh penyebaran spesies Malassezia di
berbagai wilayah geografis, prevalensi spesies dan juga perbedaan dalam
metode yang digunakan untuk mengidentifikasi spesies, kebersihan
subyek, iklim dan gaya hidup. ( Mahmoudabadi AZ et al,2014)
58
Selain itu, Gupta AK et al menemukan M.sympodialis dari kasus PV
di daerah beriklim sedang dan M. globosa adalah spesies utama di daerah
tropis. Laporan pertama ditemukan M. restricta, M. pachydermatis, dan M.
Obtusa pada pasien PV yaitu di Mesir dengan menggunakan PCR-RFLP
untuk identifikasi spesies Malassezia. Hasil ini menunjukkan bahwa
spesies Malassezia tersebut adalah spesies patogen untuk pasien PV di
Mesir. ( Elshabrawy WO et al, 2017)
Malassezia yang menjadi penyebab utama spesies PV tampaknya
berbeda di antara geografis. M. globosa telah dilaporkan lebih lazim
banyak di negara-negara dengan iklim suhu sedang dan Mediterania
seperti Spanyol, Jepang, Israel, India utara, Iran, Tunisia, Italia dan
Bosnia-Hercegovina. M. sympodialis lebih umum di subtropis negara
Argentina, Brasil dan India Selatan kecuali di Kanada yang memiliki iklim
sedang. M. furfur telah menunjukkan dominasi yang jelas di negara tropis
seperti Indonesia, Thailand, Brasil dan Venezuela.( P. U. Ibekwe et al,
2015).
Pada penelitian ini didapatkan 4 kasus pityriasis versikolor yang
memiliki hasil pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) 10% positif, yaitu
ditemukannya “spaghetti and meatballs” namun pada pemeriksaan
Nested-PCRnya tidak ditemukan DNA Malassezia Spesies, hal ini dapat
disebabkan oleh karena pada pemeriksaan Nested-PCR ini primer yang
digunakan yang spesifik terhadap M.furfur, M.globosa dan M. restricta
59
yang dengan kata lain bahwa bisa saja ditemukan jenis DNA Malassezia
yang lain tetapi tidak diketahui jenis spesies Malassezianya.
60
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari pemeriksaan Nested PCR untuk mengidentifikasi 3 spesies
Malassezia (M.furfur, M.globosa dan M.restricta) pada pasien pityriasis
versikolor dan dermatitis seboroik di RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo dan
RS jejaring di Makassar tahun 2018 dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada pasien pityriasis versikolor hanya ditemukan spesies
Malassezia restricta sebesar 48,3%, M.furfur dan M.globosa
tidak ditemukan.
2. Pada pasien dermatitis seboroik hanya ditemukan spesies
Malassezia restricta sebesar 77,5%, M.furfur dan M.globosa
tidak ditemukan.
B. SARAN
1. Pada pengobatan dermatitis seboroik perlu dipertimbangkan obat
antijamur terutama pada pasien yang rekuren.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan memperluas jenis
primer yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis malassezia
yang lain dengan jumlah sampel yang sesuai.
61
DAFTAR PUSTAKA
Akaza, N., Akamatsu, H., Sasaki, Y., Takeoka, S., Kishi, M., Mizutani, H.,
Sano, A., Hirokawa, K., Nakata, S. & Matsunaga, K. 2010.
Cutaneous Malassezia microbiota of healthy subjects differ by sex,
body part and season. J of Dermatol, 37, 1-7.
Archana BR, Beena PM. 2015. Study of the Distribution of Malassezia
Species in Patients with Pityriasis Versicolor in Kolar Region,
Karnataka. Indian J Dermatol. 1-4.
Ashbee, H. 2007. Update on the genus Malassezia. Med Mycol, 45, 287-
303.
Bonifaz, a., Gomez-daza, f., Paredes, v. & ponce, r. (2010) Tinea
versicolor, tinea nigra, white piedra, and black piedra. J Clin
Dermatol, 28, 140-5.
Brunke, S., Hube, B. 2006. MfLIP1, a gene encoding an extracellular
lipase of the lipid-dependent fungus Malassezia furfur. Microbiol,
152, 547-54.
Burns, T., Breathnach, S., Cox, N., Griffiths, C. 2010. Rook’s Text book of
dermatology. 8th. U.K: Blackwell publishing
Cabanes, F., Theelan, B. & Castella, G. 2007. Two new lipid-dependent
Malassezia species from domestic animals. FEMS Yeast Res, 7,
1064-76.
62
Cafarchia, C., Gasser, R.B., Figueredo, L.A., Latrofa, M.S., Otrando, D.
2011. Advances in the identification of Malassezia. Mol Cell Probes.
25(1) , 1-7.
Cermeño, j., Hernandez, i. & godoy, g. (2005) mycoses at hospital
universitario “ruiz y paez”, ciudad bolivar, venezuela 2002. Invest
clin, 46, 37-42.
Chaudhary, R., Singh, S., Banerjee, T. & Tilak, R. (2010) Prevalence of
different
Malassezia species in pityriasis versicolor in central India. Indian J
Dermatol Venereol Leprol, 76,159-64.
Collins, C.D., Hivnor, C. 2012. Seborrheic Dermatitis. In: Wolf, K., Kartz,
S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. (eds.) Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill.
C. Romano et al. 2013. Identification of Malassezia species isolated from
patients with extensive forms ofpityriasis versicolor in Siena, Italy .
Rev Iberoam Micol. 30(4), 231–234.
Deangelis. 2005. Three etiologic facets of dandruff and seborrheic
dermatitis : Malassezia fungi, sebaceous lipids, and individual
sensitivity. J Investing Dermatol Symp Proc. 10, 295-7.
Elshabrawy WO, Saudy N, Sallam M. 2017. Molecular and Phenotypic
Identification and Speciation of Malassezia Yeasts Isolated from
Egyptian Patients with Pityriasis Versicolor. Journal of Clinical and
Diagnostic Research. 11(8): 12-17.
63
Framil, v., Szeszs, m. & Zaits, c. (2010) pityriasis versicolor circinata:
isolation of malassezia sympoidalis-case report. An bras dermatol,
85, 227-8.
Gaitanis,G et al. 2013. Skin diseases associated with Malassezia yeast:
Facts and controversies. Clinical in Dermatology 31, 455-463.
Gonzales, A., Sierra, R. & Cardenas, M. 2009. Physiological and
molecular characterization of atypical isolates of Malassezia furfur.
J of Clin Microbiol, 47, 48-53.
Goodheart, H.P. 2009. Diagnosis fotografik dan penatalaksanaan penyakit
kulit. Edisi 3. Terjemahan oleh Brahm U. Pendit. 2013. Jakarta :
EGC.
Gupta, A. K., Nicol, K. & Batra, R. 2004. Role of antifungal agents in the
treatment of seborrheic dermatitis. American journal of clinical
dermatology, 5, 417-422.
Hay, R. & Midgley, G. 2010. Introduction: Malassezia yeasts from a
historical perspective. In: Boekhout, T., Gueho-Kellermann, E.,
Mayser, P. & Velegraki, A. (eds.) Malassezia and the skin. Berlin:
Springer-Verlag.
He, s., du, w. & yang, s. (2007) the genetic epidemiology of tinea
versicolor in china. Mycoses, 51, 55-62.
Hedayati, M., Hajheydari, Z., Hajjar, F., Ehsani, A., Shokohi, T. &
Mohammadpour, R. 2010. Identification of Malassezia species
64
isolated from Iranian seborrhoeic dermatitis patients. Eur Rev Med
Pharmacol Sci, 14, 63-8.
Ibekwe P U, Ogunbiyi A O, Besch R, Ruzicka T, Sardy M. 2015. The
spectrum of
Malassezia species isolated from students with pityriasis vesicolor
in Nigeria. Mycoses, 203–208
Janik, M. & Heffernan, M. 2008. Yeast infection: candidiasis and tinea
(pityriasis) versicolor. In: Wolf, K., Kartz, S., Gilchrest, B., Paller, A.,
Leffell , D. (eds.) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th
ed. New York: Mc Graw Hill.
Krisanty, R.,Bramono, K & Wisnu,I. 2009. Identification of Malasezia
species from pityriasis versicolor in Indonesia and its relationship
with clinical characteristics. Mycoses, 52, 257-62
Kundu R., Garg, A. 2012. Yeast Infections: Candidiasis, Tinea (Pityriasis)
Versicolor, and Malassezia (Pityrosporum) Folliculitis. In: Wolf, K.,
Kartz, S., Gilchrest, B., Paller, A., Leffell, D. (eds.) Fitzpatrick's
Dermatology in General Medicine. 8th ed. New York: Mc Graw Hill.
Lee, Y., Yim, S., Lim, S., Choe, Y., Ahn, K. 2006. Quantitative
investigation on the distribution of Malassezia species on healthy
human skin in korea. Mycoses, 49, 405-10.
Levin, N., Delano, S. 2011. Evaluation and treatment of Malassezia-
related skin disorders. Cosmetic Dermatol, 24, 137-45.
65
Lim, S. W., Shin, M. G., Lim, J. Y., Yun, S. J., Kim, S. J., Lee, S. C., Won,
Y. H. & Lee, J. B. 2008. Nested PCR for detection of Malassezia
species from patient skin scales and clinical strains. Korean Journal
of Dermatology, 46, 446-452.
Mahmoudabadi, A.Z., Zarrin, M., Azish, M. (2014). Detection of
Malassezia species isolated from patients with pityriasis versicolor
and seborrheic dermatitis using Nested-PCR. Jentashapir J Health
Res. 5(6) : e26683.
Mayser, P., Gaitanis, G. 2010. Physiology and biochemistry. In: Boekhout,
T., Gueho-Kellermann, E., Mayser, P. & Velegraki, A. (eds.)
Malassezia and the skin. Berlin: Springer-Verlag.
Mendez-Towar, l. (2010) Pathogenesis of dermatophytosis and tinea
versicolor. J clin dermatol, 28, 185-9.
Muhammad, N., Kamal, M., Islam, T., Islam, n. & Shafiquzzaman, m.
(2009) A study to evaluate the efficacy and safety of oral
fluconazole in the treatment of tinea versicolor. Mymensingh Med J,
18, 31-5.
Naldi, L. & Rebora, A. 2009. Seborrheic dermatitis. New England Journal
of Medicine, 360, 387-396.
N R Jumiaty. 2017. Identification of Malassezia Species in Seborrheic
Dermatitis Patients Using Nested-pcr. International Journal of
Sciences: Basic and Applied Research, 36, 2, 323-330.
66
Radiono S, Suyoso S, Bramono K. 2013. Pitiriasis Versikolor.
Dermatomikosis Superfisialis.,24-32.
Ro, B. & Dawson, T. 2005. The role of sebaceous gland activity and scalp
microfloral metabolism in the etiology of seborrheic dermatitis and
dandruff. J Invest Dermatol Symp Proc, 10, 194-7.
S.K Lwanga and S. Lemeshow. 1999. Sample size determination in health
studies. Massachusetts: USA.
Sugita, T., Tajima, M. & Tsubuku, H. 2006. Quantitative analysis of
cutaneous Malassezia in atopic dermatitis patients using real-time
PCR. Mikrobiolo Immunol, 50, 549-52
Takada et al. 2006. Effects of seasonal change or menstrual cycle on
human facial pores. J Jpn Cosmet Sci Soc, 30, 1-4.
Tarazooie B, Kordbaceh F, 2004. Study of the distribution of Malassezia
species in
patients with pityriasis versicolor and healthy individuals in Tehran,
Iran. BMC Dermatology. 1-6
Tragiannidis, A., Bisping, G., Koehler, G., Groll, A. 2009. Malassezia
infections in immunocompromised patients. Mycoses, 53, 187-95.
Xu, J., Saunders, C., Hu, P. 2007. Dandruff-associated Malassezia
genomes reveal convergent and divergent virulence traits shared
with plant and human fungal pathogens. Proc Natl Acad Sci USA,
104, 18730-5.
67
Yowono, T. 2006. Teori dan Aplikasi PCR. Yogyakarta : Andi.Yusuf, Z.
2010. Polymerase Chain Reaction (PCR), Gorontalo. 5, 6, 1-6.
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS KEDOKTERANKOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN
Sekretariat : Lantai 3 Gedung Laboratorium TerpaduJL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar. Telp. (0411)5780103,
Fax (0411) 581431.Contact person dr. Agussalim Bukhari,M.Med,PhD,SpGK (HP. 081241850858),
email: agussalimbukhari @ yahoo.com
Lampiran 2FORMULIR PERSETUJUAN MENGIKUTI PENELITIAN
SETELAH MENDAPAT PENJELASAN
Setelah membaca informasi penelitian serta mendengar penjelasan dan menyadari pentingnya
penelitian:
Deteksi Species Malassezia Pada Pasien Pityriasis Versikolor Dan Dermatitis Seboroik Dengan
Menggunakan Nested-PCR
Maka saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama :
Umur :
Jenis kelamin :
Pekerjaan :
Alamat :
Saya bersedia untuk dilakukan pengambilan sampel skuama. Saya mengerti sepenuhnya
bahwa sampel skuama yang diambil tidak akan mempengaruhi kondisi kesehatan saya dan hal
ini semata-mata dilakukan untuk kepentingan penelitian. Saya mengetahui bahwa saya berhak
untuk menolak ikut serta dalam penelitian ini tanpa kehilangan hak saya untuk mendapatkan
pelayanan kesehatan yang seharusnya saya peroleh.
Semua biaya pemeriksaan dan biaya pengobatan bila terjadi keluhan apapun sehubungan
dengan penilitian ini, ditanggung oleh peneliti.
Bila masih ada hal yang masih belum saya mengerti atau saya ingin mendapatkan
penjelasan lebih lanjut, saya bisa mendapatkannya dari dokter peneliti. Demikian persetujuan ini
saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.
Saksi 1 ……………………. ………………………………. ………………
Saksi 2 ……………………. ………………………………. ………………
Penanggung Jawab PenelitianNama : dr. Andi NurhanaAlamat : Jl. Sunu Kompleks UNHAS Baraya Blok B4, Makassar
Penanggung Jawab MedisNama : Dr. dr. Nurelly NW, Sp.KKAlamat : Jl. Monginsidi No 126, Makassar
DISETUJUI OLEH KOMISIETIK PENELITIANKESEHATAN FAK.
KEDOKTERAN UNHAS.Tgl:……………..2017
FORMULIR KUESIONER PENELITIAN
DETEKSI SPECIES MALASSEZIA PADA PASIEN PITYRIASIS VERSIKOLOR DAN DERMATITIS SEBOROIKDENGAN MENGGUNAKAN NESTED-PCR
Makassar,………………………………………………2017No.Urut : ……………
IDENTITAS
Nama :…………………………………….Umur :……...tahun ………… bulanJenis kelamin : a. Laki-laki b. PerempuanPekerjaan :…………………………………….Pendidikan terakhir :…………………………………….Status perkawinan :…………………………………….Alamat :…………………………………….
Status Dermatologi :Kepala :Wajah :Dada :Punggung :
Berilah tanda silang (V) pada jawaban yang sesuai karakteristik anda
NoPertanyaan Jawaban
Ya TidakRiwayat Penyakit1 Apakah keluhan ini dirasakan sudah lebih 6 bulan?
Jika YA, sebutkan……………………………..2 Apakah keluhan ini baru pertama kali dialami?
Jika Tidak, sebutkan (berapa kali)………………..3 Apakah keluhannya terasa gatal?4 Apakah gatalnya bertambah bila beraktifitas?5 Apakah sering berkeringat lebih walaupun tidak beraktifitas?6 Apakah keluhan muncul atau bertambah saat anda stress?7 Apakah ada keluarga dengan keluhan yang sama?
Jika YA, sebutkan………………………………..8 Apakah ada riwayat penyakit sistemik (penyakit ginjal, diabetes
mellitus, penyakit tiroid?Jika YA, sebutkan……………………………….
9 Apakah keluhan ini sudah pernah di obati?Jika YA, sebutkan……………………………….
Pasien Dermatitis Seboroik
No Nama Pasien Umur JK Hasil Nested PCR KesimpulanM.furfur M.globosa M.restricta
1 Lili 46 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
2 Wardiyanto 34 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
3 Nani 31 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
4 Aidin 35 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
5 Abd.Rahman 53 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
6 XK.Tissue 31 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
7 Abd.HafidSyam
51 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
8 Idam 48 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
9 Marlina 43 P Negatif Negatif Positif Ditemukan
Jamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
10 Nirma 52 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
11 Suryani 54 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
12 SuharniNengsih
38 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
13 Yuliana 68 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
14 Paulina 49 p Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
15 A.Nursiah 51 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
16 Abd.Kadir 46 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
17 Sala 56 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
18 Syaripuddin 49 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
19 Barantjing 34 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
20 Pinda Hasrun 59 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
21 Mustafa 47 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
22 Elizabeth 49 P Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
23 Jainuddin 50 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
24 Ny.Zulmaawinah
33 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
25 Hatta ( DS ) 61 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
26 Rustam 49 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast dan
DNA jamurM.restricta
27 Tn.Bactiar( DS )
51 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
28 M.Dayya 50 L Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
29 Halim/NN 45 L Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
30 Evi 31 P Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
31 M,Halim 57 L Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
32 Tn.Djufri 45 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restrcita
33 Tn.Supriyadi 40 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
34 Tn.Andarias 51 L Negatif Negatif Positif Ditemukan
Jamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
35 Tn.BasoSuprianto
49 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
36 Natsir Ibrahim 50 L Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
37 Kun 31 L Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
38 Yanti S 39 P Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
39 Tn.Baskar 29 L Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
40 Abd.Syukur 50 L Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
Pasien Pityriasis Versikolor
No Nama Pasien Umur JK HasilKOH
Hasil Nested PCR KesimpulanM.furfur M.globosa M.restricta
1 MuharramDg.Naba( PV )
26 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
2 Baharuddin 46 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
3 Badanang 52 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
4 Novi ( PV ) 30 P + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
5 Jihanuddin( BV )
39 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
6 Zainuddin 44 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
7 RendilAnandito
17 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
8 Vilda Arjumi 19 P Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
9 Yusran Yusuf 17 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
10 John SansriNibel
28 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
11 Rahmat 14 L + Negatif Negatif Negatif Ditemukanmalassaziasp.bentukhifa/sporadalampemeriksaanKOH
12 Hilda 13 P Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
13 Titin 44 P + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
14 Irfan 26 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalassezia
Spesies15 Lasang
Dg.Tiro56 L + Negatif Negatif Positif Ditemukan
Jamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
16 Dg.Jarre 28 L + Negatif Negatif Negatif Ditemukanmalassaziasp.bentukhifa/sporadalampemeriksaanKOH
17 Ramadan 25 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
18 Aspar 16 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
19 Ronni 31 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
20 Sahib 15 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
21 Indar 17 P + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast dansDNA jamurM.restricta
22 AbdulrahmanRahim
12 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
23 Hasyim 50 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA dan
bentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
24 Rangga 16 L + Negatif Negatif Negatif Ditemukanmalassaziasp.bentukhifa/sporadalampemeriksaanKOH
25 Rustam 45 L Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
26 Kalila 4 P + Negatif Negatif Negatif Ditemukanmalassaziasp.bentukhifa/sporadalampemeriksaanKOH
27 Elensulastri 30 P + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
28 Isa Hamza 30 P Negatif
Negatif Negatif Negatif TdkDitemukanDNA danbentuk yeast /hifa JamurMalasseziaSpesies
29 Hadonang 42 L + Negatif Negatif Positif DitemukanJamur bentukyeast danDNA jamurM.restricta
Gambar Hasil PCR