12
Dermatitis Herpetiformis Sangat gatal, berupa erupsi papulovesikular kronis dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor Dikarakterisasi secara histologis dengan adanya sebukan neutrofil pada papilla dermis (mikroabses) Deposit IgA granular pada kulit yang nampak normal merupakan diagnosis untuk dermatitis herpetiformis Sebagian besar, namun tidak semua, pasien dengan dermatitis herpetiformis terkait dengan enteropati sensitif gluten Ruam berespon cepat dengan terapi dapsone dan pada beberapa pasien berespon baik dengan diet ketat bebas gluten EPIDEMIOLOGI Dermatitis herpetiformis (DH) dikarakterisasi dengan rasa gatal yang sangat intens, disertai erupsi papulovesikular kronis yang biasanya tersebar secara simetris pada permukaan ekstensor. Penyakit ini dapat dengan jelas dibedakan dengan erupsi blister subepidermal berdasarkan kriteria histologis, imunologis dan gastrointestinal. Prevalensi DH pada berbagai populasi Kaukasia bervariasi antara 10/100.000 dan 39/100.000 orang. Beberapa laporan menunjukkan adanya rasio 1.5:1 insidensi DH pada pria terhadap wanita. Kondisi ini dapat terjadi pada usia berapapun, baik anak-anak : namun paling sering terjadi pada dekade kedua, ketiga dan keempat kehidupan. Setelah muncul gejala, DH akan menetap secara tidak pasti pada sebagian besar pasien, meskipun dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Dua penelitian jangka panjang terhadap pasien yang terbukti secara imunologis menunjukkan bahwa penyakit DH ini sekitar 10%-12%nya akan sembuh dengan cepat. Pasien dengan DH berhubungan dengan enteropati sensitif gluten (GSE) yang biasanya bersifat asimptomatik. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Pada tahun 1884, Louis Duhring pertama kali menjelaskan gambaran klinis dan perjalanan klinis gangguan pruritus polimorfus (gatal dengan berbagai bentuk) yang dia sebut sebagai dermatitis herpetiformis; namun elemen penting pada patogenesis DH masih belum diketahui hingga tahun 1960an. Pada tahun 1966, marks et al pertama kali mencatat adanya kelainan

Dermatitis Herpetiformis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Dermatitis Herpetiformis

Dermatitis Herpetiformis

Sangat gatal, berupa erupsi papulovesikular kronis dengan distribusi simetris pada permukaan ekstensor

Dikarakterisasi secara histologis dengan adanya sebukan neutrofil pada papilla dermis (mikroabses)

Deposit IgA granular pada kulit yang nampak normal merupakan diagnosis untuk dermatitis herpetiformis

Sebagian besar, namun tidak semua, pasien dengan dermatitis herpetiformis terkait dengan enteropati sensitif gluten

Ruam berespon cepat dengan terapi dapsone dan pada beberapa pasien berespon baik dengan diet ketat bebas gluten

EPIDEMIOLOGIDermatitis herpetiformis (DH) dikarakterisasi dengan rasa gatal yang sangat intens,

disertai erupsi papulovesikular kronis yang biasanya tersebar secara simetris pada permukaan ekstensor. Penyakit ini dapat dengan jelas dibedakan dengan erupsi blister subepidermal berdasarkan kriteria histologis, imunologis dan gastrointestinal. Prevalensi DH pada berbagai populasi Kaukasia bervariasi antara 10/100.000 dan 39/100.000 orang. Beberapa laporan menunjukkan adanya rasio 1.5:1 insidensi DH pada pria terhadap wanita. Kondisi ini dapat terjadi pada usia berapapun, baik anak-anak : namun paling sering terjadi pada dekade kedua, ketiga dan keempat kehidupan. Setelah muncul gejala, DH akan menetap secara tidak pasti pada sebagian besar pasien, meskipun dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Dua penelitian jangka panjang terhadap pasien yang terbukti secara imunologis menunjukkan bahwa penyakit DH ini sekitar 10%-12%nya akan sembuh dengan cepat.

Pasien dengan DH berhubungan dengan enteropati sensitif gluten (GSE) yang biasanya bersifat asimptomatik.

ETIOLOGI DAN PATOGENESISPada tahun 1884, Louis Duhring pertama kali menjelaskan gambaran klinis dan

perjalanan klinis gangguan pruritus polimorfus (gatal dengan berbagai bentuk) yang dia sebut sebagai dermatitis herpetiformis; namun elemen penting pada patogenesis DH masih belum diketahui hingga tahun 1960an. Pada tahun 1966, marks et al pertama kali mencatat adanya kelainan gastrointestinal pada pasien dengan DH. Segera setelah itu, diketahui lesi ini bersifat reversible dengan menghindari diet kaya gluten. Awalnya abnormalitas intestinal diperkirakan terjadi pada 60% hingga 75% pasien DH. Namun pandangan ini telah mengalami modifikasi dengan dua cara. Pertama, kriteria diagnostik DH dibuat lebih tepat lagi dan yang kedua diketahui bahwa beberapa pasien tanpa adanya suatu patologi gastrointestinal yang nyata dapat “diinduksi” untuk mengalami suatu perkembangan lesi gastrointestinal dengan memaparkan mereka dengan asupan gluten dalam jumlah besar; beberapa pasien dikatakan menderita sariawan celiac laten (laten celiac sprue). Sebagian besar pasien DH mengalami abnormalitas gastrointestinal yang serupa dengan (namun tidak identik) dengan penyakit celiac, namun minimal dapat terjadi ketika pasien mengkonsumsi sejumlah gluten dalam jumlah normal. Penelitian ini mengkonfirmasi bahwa gluten, suatu protein yang ditemukan

Page 2: Dermatitis Herpetiformis

pada gandum (wheat), barley (gandum bahan dasar bir) dan sedikit pada gandum hitam (rye) memainkan peran penting dalam patogenesis DH. Oat, lama diketahui mengandung gluten dan berperan dalam menginduksi lesi DH, diketahui tidak menimbulkan toksisitas sama sekali pada pasien DH. Seperti pada penyakit celiac, terdapat peningkatan densitas sel T intraepitelial usus halus dengan suatu reseptor sel T γ/δ pada jejunum pasien dengan DH. Temuan bahwa sel T pada pasien DH menghasilkan interleukin 4 (IL-4) yang lebih signifikan daripada pasien dengan GSE dan bahwa biopsi usus dari pasien asimptomatik dengan GSE saja (isolated GSE) menunjukkan adanya peningkatan ekspresi interferon-γ mengarahkan pada bahwa pola sitokin yang berbeda memainkan perananan pada berbagai manifestasi klinis yang muncul pada kedua penyakit tersebut. Bukti sistemik dari respon imun mukosa usus juga ditemukan pada serum dan kulit pasien dengan DH. Pasien DH pada diet umum yang mengandung gluten diketahui mengalami peningkatan kadar reseptor IL-2 serum dan kadar IL-8 serum, peningkatan ekspresi selectin E sel endotelial di kulit dan peningkatan ekspresi CD11b pada neutrofil sirkulasi. Manifestasi sistemik pada respon imun mukosa berperan dalam pembentukan lingkungan proinflamasi pada kulit yang diperlukan dalam perkembangan lesi kulit. GSE yang ditemukan pada pasien DH kemungkinan berhubungan dengan deposit IgA yang ditemukan pada kulit pasien tersebut, meskipun tidak ditemukan adanya hubungan langsung. Pasien dengan gambaran klinis yang sesuai dengan DH dan defisiensi IgA parsial juga dilaporkan terjadi.

Pada tahun 1999, Dieterich et al mengidentifikasi antibodi terhadap transglutaminase jaringan (Tgases) pada serum pasien DH. Dengan membedakan berbagai tipe Tgases memungkinkan Sardy et al pada tahun 2002 untuk menunjukkan bahwa Tgase epidermal merupakan autoantigen yang dominan pada DH. Hal ini dikonfirmasi oleh suatu penelitian yang dilakukan terhadap 9 pasien DH oleh Donaldson et al yang menunjukkan terdapat deposit dermal dari Tgase epidermal bersama dengan deposit IgA kulit pada ujung papilla dermis. Karena Tgase epidermal diekspresikan dengan kuat pada epidermis bagian atas, penulis menyatakan bahwa pada daerah trauma Tgase dapat berdifusi melalui membrana basalis setelah dilepaskan dari keratinosit epidermal. Tgase epidermal juga ditemukan pada kulit yang tidak terkena sekitar 5 cm dari lesi yang menunjukkan bahwa terdapat faktor tambahan yang terlibat dalam produksi lesi DH.

Juga diketahui bahwa pasien baik dengan GSE dan DH memiliki antibodi IgA sirkulasi terhadap Tgases. Hal ini diperkirakan merupakan predileksi untuk autoantibodi IgA dalam sirkulasi ini untuk berikatan dengan Tgase epidermal pada pasien DH, dimana predileksi ini adalah untuk autoantibodi untuk berikatan dengan Tgase jaringan pada pasien dengan isolated GSE. Perananan pasti IgA antiepidermal Tgase dalam sirkulasi dalam perkembangan lesi kulit pada pasien DH masih belum diketahui. Namun anak-anak dengan penyakit celiac, dimana kadar antibodi IgA sirkulasi terhadap Tgase jaringan tidak berbeda secara bermakna antara anak-anak dan dewasa yang menderita penyakit celiac. Pengamatan ini memunculkan hipotesis bahwa epitope yang menyebar sepanjang waktu menghasilkan perkembangan IgA antiepidermal Tgase dan onset akhir dari antibodi IgA antiepidermal Tgase berperan dalam perkembangan khas DH pada dekade kedua hingga ketiga kehidupan.

Kemungkinan mekanisme bagaimana IgA antiepidermal Tgase berikatan dengan kulit pasien DH masih belum sepenuhnya dipahami. Suatu hipotesis yang selama ini berlaku adalah bahwa kompleks imum sirkulasi yang mengandung IgA bertanggung jawab terhadap deposit IgA pada kulit pasien DH. Temuan terkini adanya antibodi IgA antiepidermal Tgase mengarahkan pada kecurigaan bahwa kompleks imun IgA epidermal Tgase dapat terdeposit pada kulit pasien DH. Namun, hanya sebagian kecil pasien DH yang diketahui memiliki deposit IgA dan Tgase jaringan epidermal yang terkumpul di jaringan perivaskular. Selain itu, deposit neutrofil perivaskular dari kompleks imun ini jarang terjadi. Temuan ini mengarahkan pada

Page 3: Dermatitis Herpetiformis

hipotesis alternatif bahwa IgA antiepidermal Tgase dapat secara langsung berikatan pada kulit dengan Tgase jaringan epidermal. Ikatan antigen-antibodi langsung dari IgA antiepidermal Tgase dengan kulit sulit ditunjukka mekanisme lengkapnya karena deposit IgA pada kulit pasien DH tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan teknik tertentu untuk melepaskan antibodi yang terikat langsung pada antigen. Kemungkinan bahwa IgA antiepidermal Tgase berikatan awal melalui interaksi antigen-antibodi dan kemampuan Tgase untuk berikatan silang dengan protein menghasilkan ikatan silang IgA dengan protein dermal yang menghasilkan suatu deposit IgA jangka panjang yang stabil pada kulit pasien DH. Hipotesis ini masih memerlukan konfirmasi.

Apakah deposit IgA pada kulit memainkan peranan pada patofisiologi pembentukan blister masih belum diketahui. Temuan adanya IgA dan komplemen pada hampir seluruh sisi kulit, tidak hanya pada lesi kulit, memunculkan postulat bahwa jika IgA (baik secara tunggal atau sebagai bagian dari kompleks imun) memainkan suatu peranan penting, suatu faktor tambahan masih diperlukan untuk menjelaskan awal terbentuknya lesi. Takeuchi et al menunjukkan bahwa trauma minor pada kulit menghasilkan peningkatan ekspresi IL-8 dan E-selectin, yang keduanya merupakan predisposisi adanya infiltrat inflamasi neutrofilik. Temuan ini disertai dengan adanya lesi DH secara khas pada permukaan ekstensor pada sisi trauma, menunjukkan adanya produksi sitokin/kemokin lokal setelah trauma yang merupakan satu faktor pemicu terbentuknya lesi kulit DH. Kemungkinan setelah infiltrat neutrofil awal berikatan dengan IgA klit, beberapa faktor seperti sitokin, kemokin dan protease dilepaskan dimana keduanya secara langsung menimbulkan pembentukan blister dan menginduksi keratinosit basal untuk menghasilkan kolagenase atau stromelysin-1 yang kemudian turut berperan dalam pembentukan blister. Penelitian lain menunjukkan bahwa sel T memainkan peranan dalam patogenesis terbentuknya lesi kulit; namun tidak terdapat respon sel-T spesifik terhadap gluten yang terdeteksi.

Diketahui bahwa terkadang iodida yang diberikan per oral dapat mengeksaserbasi atau memunculkan erupsi DH, dan hal ini sebelumnya digunakan untuk tujuan diagnosis. Ketesediaan teknik imunopatologis dalam deteksi deposit IgA pada kulit membuat beberapa tes provokasi tidak perlu digunakan lagi.

Tidak adanya model pada binatang untuk kasus DH baik yang muncul secara alami atau dikembangkan di laboratorium membatasi perkembangan pemahaman mengenai patogenesis DH. Saat ini Marietta dan timnya melaporkan suatu model baru tikus dengan DH. Mereka melaporkan seekor tikus diabetik obese transgenik HLA-DQ8 dimana ketika diimunisasi dengan gluten kemudian timbul lesi kulit neutrofilik bersama dengan deposit IgA pada kulit. Selain itu penghentian diet gluten menghasilkan kesembuhan lesi. Penelitian lebih lanjut terhadap model tikus ini dapat memberikan informasi penting terkait dengan patogenesis DH. Akhirnya, terdapat sedikit laporan kasus yang menggambarkan onset DH dengan beberapa penggunaan obat tertentu seperti interferon, ribavirin dan analog hormon pelepas gonadotropin (gonadotropin-releasing hormone).

TEMUAN KLINISLesi primer DH berupa papul eritematosa dan plak menyerupai urtikaria, atau yang

paling banyak berupa vesikel (Gb 61-1, 61-3). Bulla besar jarang muncul. Vesikel khususnya jika muncul di bagian palmar dapat bersifat hemoragik. Lesi yang muncul dan kemudian menghilang dapat menimbulkan lesi hiperpigmentasi atau hipopigmentasi. Pasien dapat muncul hanya dengan lesi berkrusta, dan dari pemeriksaan tidak dapat ditemukan adanya lesi primer. Lesi berkelompok herpetiformis (menyerupai herpes) seringkali muncul di beberapa area (lihat Gb 61-1 dan 61-3), namun pasien juga dapat memiliki beberapa lesi tunggal.

Page 4: Dermatitis Herpetiformis

Gejala bervariasi dari perasaan terbakar dan gatal yang berat pada sebagian besar pasien hingga tidak ada gejala sama sekali pada sedikit pasien. Sebagian besar pasien biasanya dapat memprediksi erups dari suatu lesi 8-12 jam sebelum kemunculannya karena adanya perasaan tersengat, terbakar atau gatal lokal pada kulit.

Distribusi biasanya simetris pada siku, lutut, pantat, bahu dan area sacrum pada sebagian besar pasien (lihat Gb 61-1, 61-4). Meskipun regio tersebut paling banyak terkena, sebagian besar pasien juga memiliki lesi pada kulit kepala dan/atau lesi pada area nuchal posterior. Area lain yang juga sering terkena adalah wajah dan garis rambut wajah (facial hairline). Lesi membran mukosa jarang ditemukan begitu pula lesi pada palmar dan plantar.

UJI LABORATORIUMIKATAN IN VIVO IMUNOGLOBULIN A DAN KOMPLEMEN

Setelah Cormane menunjukkan bahwa area disekitar lesi dan kulit yang tidak terkena pada pasien dengan DH mengandung deposit Ig granular yang berlokasi pada ujung papilla dermis, van der Meer menemukan bahwa sebagian besar kelas Ig yang sering terdeteksi pada kulit DH adalah IgA (Gb 61-5). Meskipun sebagian besar pasien memiliki deposit IgA granular pada kulitnya, penelitian terkini menunjukkan suatu pola fibrilar yang jelas dari deposit IgA dapat ditemukan pada beberapa pasien dengan DH. Signifikasi klinis potensial dari perbedaan tersebut tidak diketahui. Sebagian besar deposit IgA tidak teramati pada kulit pasien dengan penyakit isolated GSE (penyakit celiac). Saat ini Cannistraci dan tim menggunakan mikroskop konfokal dan melaporkan adanya kolonisasi IgA dan Tgases epidermal pada papilla dermis dan tersebar di perivaskular kulit pasien dengan isolated GSE. Signifikansi temuan ini pada patogenesis DH masih belum diketahui.

Temuan adanya deposit IgA granular pada kulit yang tampak normal merupakan kriteria diagnosis yang paling sesuai bagi DH. Deposit IgA ini tidak dipengaruhi oleh treatment dengan obat-obatan namun dapat menurun atau hilang setelah dilakukan diet bebas gluten jangka panjang. Deposit IgA tidak terdistribusi merata di seluruh kulit dan dapat dideteksi dengan mudah pada kulit yang tampak normal didekat lokasi lesi aktif. Pada pasien DH, terkadang Ig lainnya terikat pada kulit di area yang sama dengan IgA. Deposit IgA juga dapat teramati pada kulit pasien dengan pemphigoid bullosa, pemphigoid dengan jaringan parut, Henoch-Schonlein purpura dan penyakit hepar alkoholik, meskipun dengan pola distribusi yang berbeda dengan yang teramati pada DH.

Karena deposit IgA pada kulit dan hubungan antara DH dan GSE (penyakit celiac), beberapa kelompok penelitian meneliti subkelas IgA pada DH. IgA1 merupakan subkelas utama (atau eksklusif) yang teridentifikasi pada kulit pasien DH. Sebagian besar IgA1 diproduksi di sumsum tulang dimana sebagian besar IgA2 diproduksi pada sisi mukosa. Hal ini tidak meniadakan kemungkinan bahwa IgA pada kulit dapat berasal dari mukosa karena IgA1 merupakan subkelas IgA predominan dari antibodi IgA terhadap protein dalam makanan yang dihasilkan di usus pada pasien dengan DH. Kantele et al melaporkan DH yang berhubungan dengan peningkatan plasmoblast-IgA1 dalam sirkulasi, dengan reseptor pada kulit (CLA) dibandingkan dengan IgA2.

Komponen ketiga dari komplemen (C3) seringkali ditemukan pada lokasi yang sama dengan IgA. Adanya C3 baik di sekitar lesi dan kulit yang tampak normal tidak dipengaruhi oleh treatment dengan dapsone (diaminodiphenyl sulfone) namun C3 dapat hilang setelah diet bebas gluten. C5 dan komponen jalur komplemen alternatif juga dapat ditemukan pada daerah yang terdapat deposit IgA. Kompleks C5-C9 yang menyerang membran, yang terbentuk dari

Page 5: Dermatitis Herpetiformis

hasil akhir aktivasi komplemen juga dapat teramati pada kulit yang tampak normal dan sekitar lesi pasien.

Sisi pasti deposit IgA pada kulit dengan DH telah diteliti dengan mikroskop imunoelektron. Penelitian awal menunjukkan bahwa IgA lebih berhubungan dengan serabut mikrofibril dan dengan fibril yang terdapat pada papilla dermis tepat di bawah lamina basalis. Penelitian yang lebih baru menunjukkan bahwa beberapa atau hampir semua deposit IgA berhubungan dengan komponen non-fibrilar kulit dan jaringan ikat lainnya. Juga belum disetujui apakah deposit IgA pada DH terlokalisasi pada fibrilin, suatu komponen utama serabut mikrofibrilar elastis.

PEMERIKSAAN SERUMAntibodi antituberkulin dari kelas IgA dan IgG terdeteksi pada serum 17%-93% pasien

dengan DH dan dalam presentase yang lebih besar pada pasien dengan penyakit lainnya, khususnya penyakit celiac. Antibodi mikrosomal tiroid dan antibodi antinuklear juga terdeteksi meningkat pada serum pasien dengan DH. Komplek imun terdeteksi pada serum 25%-40% pasien.

Chorzelski et al menjelaskan suatu antibodi IgA yang berikatan dengan substansi miofibril (endomisium) dari otot polos. Sifat antigen ini teridentifikasi awalnya dari penelitian yang dilakukan oleh Sardy et al yang menunjukkan bahwa autoantibodi IgA ini memiliki spesifisitas terhadap Tgases khusunya Tgases spesifik epidermis. Meskipun sebagian besar pasien DH yang medapat diet yang mengandung gluten memiliki antibodi Tgase antiepidermal dalam sirkulasi, namun sebagian pasien tidak menunjukkan hal tersebut. Sehingga adanya antibodi Tgase antiepidermal dalam sirkulasi seharusnya tidak dianggap sebagai suatu uji diagnostik.

TEMUAN IMMUNOGENETIKTerdapat suatu peningkatan bermakna insidensi beberapa antigen MCH (major

histocompatibility complex) pada pasien dengan DH. Penelitian di seluruh dunia menemukan bahwa 77%-87% pasien DH memiliki HLA-B8 (dibandingkan dengan 20%-30% individu yang tidak terkena). Selain itu, antigen terhadap MHC kelas II HLA-DR dan –DQ berhubungan dengan DH lebih sering daripada HLA-B8. Park et al melaporkan bahwa lebih dari 90% pasien yang mengekspresikan Te24 yang kemudian diketahui serupa dengan HLA-DQw2, dan temuan ini telah dikonfirmasi oleh penelitian lainnya. Penelitian molekuler menunjukkan kecenderungan DH tidak berhubungan dengan molekul HLA-DQw2 yang unik. Secara nyata semua pasien dengan DH memiliki gen yang mengkode heterodimer HLA-DQ (α1*0501,β1*02) atau HLA-DQ (α1*03,β1*0302), suatu pola yang didentik dengan yang ditemukan pada penyakit celiac. Hubungan yang kuat antara gen yang dicurigai dan DH serta GSE secara klinis dan patofisiologis penting dimana terdapat kaitan kuat antara dua penyakit ini pada kembar monozigot. Lebih lanjut, keluarga tingkat satu dari pasie DH dan GSE sering (4%-5%) juga menderita salah satu penyakit tersebut.

Gen non MHC yang dicurigai diketahui terkait dengan DH. Alel *2 dari regio 1,2 hipersensitif-DNase dari regio pengaturan Ig rantai besar ditemukan dalam frekuensi tinggi pada pasien dengan DH.

HISTOPATOLOGIGambaran histologi dari lesi kulit awal (secara klinis non-vesikular) dikarakterisasi

dengan terkumpulnya neutrofil pada papilla dermis (mikroabses), fragmen neutrofil, sejumlah

Page 6: Dermatitis Herpetiformis

eosinofil, fibrin dan terkadang pelepasan ujung papilla dari epidermis yang mendasari (Gb 61-6). Selain itu pada beberapa lesi awal vasa dermis bagian atas dan tengah dikelilingi oleh infiltrat limfohistiositik disertai sejumlah neutrofil dan sedikit eosinofil. Terkadang, lesi awal dapat sulit atau tidak bisa dibedakan dengan penyakit yang berhubungan dengan IgA lainnya (lihat Bab 58), erupsi bullosa pada lupus eritematosus (lihat Bab 155), pemphigoid bullosa (lihat Bab 56) atau epidermolisis bullosa akuisita kaya neutrofil (lihat Bab 60). Gambaran histologis dari lesi yang lebih lama menunjukkan vesikel subepidermal yang tidak dapat dibedakan dari erupsi bullosa subepidermal lainnya, seperti pemphigoid bullosa, eritema multiforme, erupsi obat tipe bullosa, dan pemphigoid gestasionis. Pemeriksaan immunofluoresensi terlokalisasi dan ultrastruktural pada sisi terbentuknya blister pada DH menunjukkan bahwa blister terbentuk diatas lamina densa – di dalam lamina lucida. Lesi ini diperkirakan muncul karena lamina lucida merupakan komponen penghubung dermal-epidermal yang paling lemah.

MASALAH TERKAITMANIFESTASI GASTROINTESTINAL

Saat ini dinyatakan bahwa sebagian besar pasien DH mengalami abnormalitas gastrointestinal terkait yang disebabkan oleh sensitivitas terhadao gluten. Gambaran patologis GSE yang berkaitan dengan DH dan pada kasus isolated GSE (GSE yang tidak berhubungan dengan DH) secara umum serupa, meskipun lesi GSE yang tidak berhubungan dengan DH biasanya lebih berat; hal ini ditunjukkan dengan susunan sel epitel yang lebih kacau juga pada karakter infiltrat limfoplasmasitik. Selain itu, distribusi lesi gastrointestinal pada usus halus secara umum lebih menyebar daripada penyakit celiac. Perubahan fungsional pada usus besar dan sekuel klinis pada GSE yang berkaitan dengan DH dan pada penyakit celiac serupa namun dengan derajat yang berbeda, dimana pada penyakit celiac didapatkan kondisi yang lebih berat. Sedangkan, pada DH saat teramati adanya steatorrhea (20%-30% pasien), absorpsi D-xylose abnormal (10%-33%) dan terkadang anemia sekunder akibat defisiensi besi atau asam folat. Pada pasien yang tidak mengkonsumsi dapsone atau obat terkait, anemia sekunder karena defisiensi besi atau asam folat biasanya disebabkan karena malabsorpsi. Penelitian dengan menggunakan diet elemental (lihat bagian “Terapi Diet Elemental atau lainnya”) pada treatment DH menimbulkan pertanyaan peran penting dari gluten dala patogenesis penyakit ini. Selain adanya lesi pada usus halus, pasien dengan DH mengalami peningkatan insidensi achlorydia dan gastritis atrofik. Laporan adanya anemia pernisiosa dan antibodi terhadap sel parietal gaster kemungkinan merupakan suatu sebab daripada suatu kebetulan.

KEGANASANLeonard et al melaporkan adanya peningkatan frekuensi terjadinya keganasan/kanker

khusunya limfoma gastrointestinal, selain itu Collin et al melaporkan adanya peningkatan yang bermakna dalam kejadian Limfoma Non-Hodgkin pada pasien DH. Suatu kombinasi studi retrospesktif dari kedua kelompok tersebut menunjukkan adanya peran protektif dari diet bebas gluten terhadap kejadian limfoma gastrointestinal. Hervonen dan tim melaporkan bahwa 1% dari 1104 pasien dengan DH mengalami perkembangan limfoma dari 2 hingga 31 tahun setelah terdiagnosis DH. Yang menarik, hanya dua kasus limfoma yang merupakan tipe terkait enteropati sedangkan delapan kasus lainnya merupakan limfoma tipe sel B dan satu kasus tidak dapat diklasifikasikan. Pasien dengan DH yang menderita limfoma mengikuti diet bebas gluten kurang ketat dibandingkan dengan pasien tanpa limfoma. Saat ini, Viljamaa dan tim melaporkan tingkat kejadian keganasan dan mortalitas pada pasien dengan DH melalui

Page 7: Dermatitis Herpetiformis

suatu penelitian berdasarkan populasi 30 tahun. Mereka melaporkan tidak terdapat perbedaan pada keseluruhan tingkat keganasan dan mortalitas pada pasien DH dari populasi umum; namun terdapat peningkatan kejadian limfoma Non-Hodgkin. Yang menarik, tingkat mortalitas pasien DH lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum. Lewis et al menggunakan Database Penelitian Praktik Umum di Inggris untuk mempelajari kelompok yang terdiri atas 846 pasien DH dan 4,225 subjek kelompok kontrol yang disesuaikan. Mereka melaporkan tidak terdapat peningkatan resiko keganasan pada pasien DH. Penulis memperkirakan terdapat bias populasi pada pasien rawat inap dalam penelitian sebelumnya yang lebih kecil yang dihasilkan dari perbedaan derajat inflamasi usus yang terjadi atau penyakit lain yang tidak berkaitan yang meningkatkan frekuensi kejadian keganasan pada pasien DH. Penelitian terkini menunjukkan bahwa pasien dengan DH tidak mengalami peningkatan resiko terjadinya keganasan meskipun masih diperlukan suatu penelitian lebih lanjut.

PENYAKIT LAINNYASelain penyakit celiac, gastritis atrofik dan anemia perniciosa (lihat Bab Manifestasi

Gastrointestinal), pasien DH memiliki insidensi penyakit autoimun yang lebih tinggi seperti penyakit tiroid, diabetes yang tergantung insulin, lupus eritematosus, sindroma Sjorgen dan vitiligo. Predileksi ini yang berkaitan dengan penyakit autoimun dapat diakibatkan oleh frekuensi tinggi dari haplotype 8.1 pada pasien DH.

Penyakit neurologis dilaporkan terjadi pada pasien dengan penyakit celiac saja (isolated), meliputi epilepsi, ataksia, opsoclonus-myoclonus dan demensia; namun temuan ini harus dikonfirmasi dengan penelitian lain yang lebih luas. Beberapa penulis menyatakan bahwa pasien DH beresiko lebih tinggi untuk mengalami komplikasi neurologis akibat konsumsi jangka panjang gluten; namun Wills dan rekan menemukan tidak adanya bukti penyakit neurologis yang dimediasi sistem imun pada evaluasi yang dilakukan pada pasien DH.

Pasien dengan penyakit celiac yang tidak diterapi juga diketahui mengalami peningkatan kejadian pengeroposan tulang. pasien dengan DH yang melanjutkan diet yang mengandung gluten biasanya mengalami malabsorbsi meskipun dalam derajat rendah. Di Stefano menunjukkan adanya densitas mineral tulang yang menurun secara signifikan pada pasien DH yang mendapat diet yang mengandung gluten. Namun baru-baru ini, Abuzakouk et al dalam suatu penelitian terhadap 25 pasien DH tidak menemukan adanya bukti adanya penyakit tulang atau kaitan lainnya dengan densitas mineral tulang dan keparahan enteropati. Penulis menyatakan bahwa perbedaan antara laporan mereka dan yang dilaporkan oleh Di Stefano diakibatkan oleh fakta pada penelitian Di Stefano pasien DH merupakan pasien yang baru saja terdiagnosis. Temuan ini menunjukkan bahwa kini pasien DH harus di-follow up secara ketat dan pasien dengan diet mengandung gluten diskrining untuk mengetahui kemungkinan adanya penurunan densitas tulang. jika ditemukan adanya penurunan densitas mineral tulang, pasien harus disarankan untuk memulai suatu diet bebas gluten.

DIAGNOSIS BANDINGDH dapat sulit dibedakan dengan berbagai kondisi lainnya karena manifestasinya yang

beragam dan sulitnya mendiagnosis berdasarkan gambaran lesi (Kotak 61-1). Ekskoriasi neurotik, ekzema, urtikaria papular, dermatosis akantolisis transient, eritema multiforme dan berbagai dermatosis lainnya dapat dibedakan dengan mudah berdasarkan kriteria histologis dan immunologis. Penyakit yang terkait dengan IgA dapat lebih sulit dibedakan secara klinis dan hsitologis, namun secara imunologis jelas berbeda. Adanya tingkat kecurigaan yang tinggi

Page 8: Dermatitis Herpetiformis

sangat membantu pada kondisi yang tidak ditemukan adanya lesi primer, DH dapat didiagnosis berdasarkan deposit granule IgA yang terikat secara in vivo pada kulit yang tampak normal.

TREATMENTSULFONE

Diaminodiphenyl sulfone (dapsone), sulfoxone (diasone – tidak tersedia di AS) dan sulffapyridine menghasilkan perbaikan segera pada tanda dan gejala penyakit. Gejala dapat mereda dalam 3 jam atau beberapa hari sejak konsumsi pil pertama, dan lesi baru tidak lagi muncul dalam 1-2 hari terapi. Eksaserbasi dapat terjadi dalam beberapa jam hingga beberapa hari sejak dilakukan penghentian terapi. Respon terhadap terapi ini, dalam jangka panjang, merupakan elemen penting dalam penegakan diagnosis. Treatment yang lebih dipilih pada dewasa adalah dapsone dengan dosis awal 100-150 mg/hari (biasanya diminum satu kali sehari). Beberapa pasien memerlukan dapsone dengan dosis 300-400 mg untuk mencapai suatu perbaikan awal. Pasien harus diminta untuk mengkonsumsi dosis minimal yang diperlukan untuk menekan tanda dan gejala yang timbul. Tidak semua pasien memerlukan suatu treatment harian; pada kasus yang jarang, pemberian 25 mg per minggu sudah cukup. Sulfapyridine dalam dosis 1.0-1.5 g perhari bermanfaat pada pasien yang intoleran terhadap pemberian dapsone, pada pasien lansia dan pasien yang mengalami gangguan kardiopulmoner. Farmakologi, mekanisme aksi, efek simpang (adverse event) dan pengamatan dalam penggunaan dapsone didiskusikan pada Bab 225. Penting untuk mengetahui bahwa obat antiinflamasi nonsteroid (NSAIDs) seringkali dapat mengeksaserbasi DH meskipun pada pasien yang mendapat terapi dengan dapsone

DIET BEBAS GLUTENPENGARUH PADA USUS HALUS. Tidak diragukan lagi bahwa lesi usus pada DH berespon terhadap penghentian diet yang mengandung gluten. Waktu yang diperlukan untuk respon tersebut pada individu dewasa dengan DH adalah serupa dengan individu dewasa yang menderita penyakit celiacPENGARUH PADA PENYAKIT KULIT. Diet bebas gluten yang ketat dalam berbagai jangka waktu (dari 5 bulan hingga 1 tahun) akan menurunkan atau menghilangkan kebutuhan pengobatan pada sebagian besar kasus namun tidak pada semua pasien. Penelitian awal yang sangat luas yang dilakukan oleh Fry et al mengkonfirmasi hal tersebut dalam beberapa kelompok. Namun hanya pasien yang termotivasi kuat lah yang mampu menjalankan diet tersebut yang memerlukan konseling oleh ahli gizi yang terbiasa dengan hal tersebut.

TERAPI DIET ELEMENTAL DAN TERAPI DIET ALINNYAPenelitian yang dilakukan pada sejumlah kecil pasien DH menunjukkan bahwa diet

elemental (yang terdiri atas asam amino, polisakarida rantai pendek dan sejumlah kecil trigliserida) dapat bermanfaat dalam meredakan penyakit kulit dalam beberapa minggu. Efek yang bermanfaat terhadap penyakit kulit dapat dicapai meskipun pasien mengkonsumsi gluten dalam jumlah besar. Sayangnya diet elemental sulit ditoleransi dalam jangka panjang. Yang menarik, penyembuhan sempurna pada lesi kulit DH juga dilaporkan dengan diet rendah karbohidrat, tinggi protein dengan lemak tanpa batasan yang dikenal sebagai “Diet Atkins”. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengkonfirmasi hal tersebut