28
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sejarah panjang perjuangan dan melelahkan pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dengan keputusan rakyat Indonesia sendiri setelah kemerdekaan yang dijanjikan jepang tak kunjung datang. Sejarahpun berlanjut, tiga sistem politik yang berbeda, masing masing mengatasnamakan “Demokrasi” telah di coba di tegakkan selama lebih kurang setengah abad terakhir. Segera setelah Indonesia merdeka, Indonesia mencoba sistem Demokrasi parlementer yang di kemudian hari dianggap terlalu “Liberal”, kemudian menjelang dekade 1950 an dicoba pula sistem politik dengan nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja tidak Demokratis, melainkan dinilai cendrung mengarah kepada sistem Otoriterianisme, pada kurun waktu terpanjang sesudah itu di Indonesia diberlakukan “Demokrasi pancasila” di bawah orde Baru, yang berakhir pada tahun 1998,dan yang melahirkan Revormasi. Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai demokrasi terpimpin di Indonesia dan mudah-mudahan tidak lari jauh dari 1

Demokrasi Terpimpin

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Sejarah panjang perjuangan dan melelahkan pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dengan keputusan rakyat Indonesia sendiri setelah kemerdekaan yang dijanjikan jepang tak kunjung datang. Sejarahpun berlanjut, tiga sistem politik yang berbeda, masing masing mengatasnamakan “Demokrasi” telah di coba di tegakkan selama lebih kurang setengah abad terakhir.

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar BelakangSejarah panjang perjuangan dan melelahkan pada akhirnya membuahkan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945 dengan keputusan rakyat Indonesia sendiri setelah kemerdekaan yang dijanjikan jepang tak kunjung datang. Sejarahpun berlanjut, tiga sistem politik yang berbeda, masing masing mengatasnamakan Demokrasi telah di coba di tegakkan selama lebih kurang setengah abad terakhir.Segera setelah Indonesia merdeka, Indonesia mencoba sistem Demokrasi parlementer yang di kemudian hari dianggap terlalu Liberal, kemudian menjelang dekade 1950 an dicoba pula sistem politik dengan nama demokrasi terpimpin, yang ternyata bukan saja tidak Demokratis, melainkan dinilai cendrung mengarah kepada sistem Otoriterianisme, pada kurun waktu terpanjang sesudah itu di Indonesia diberlakukan Demokrasi pancasila di bawah orde Baru, yang berakhir pada tahun 1998,dan yang melahirkan Revormasi.Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang sempat ada di Indonesia, yang seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai demokrasi terpimpin di Indonesia dan mudah-mudahan tidak lari jauh dari konteks sejarahnya. Dan dalam metode penulisan makalah ini penulis berusaha bersikap netral.

B. Rumusan Masalah1. Apa yang melatar belakangi lahirnya demokrasi terpimpim ?2. Bagaimana peranan Indonesia dalam politik Internasional saat demokrasi terpimpin ?3. Upaya menumpas G30S/PKI?

C. Tujuan Penulisan1. Untuk mengetahui latar belakang lahirnya demokrasi terpimpin.2. Untuk mengetahui peranan Indonesia dalam politik Internasional saat demokrasi terpimpin.3. Untuk mengetahui upaya pemeberantasan Gerakan 30 S / PKI.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Latar Belakang Lahirnya Demokrasi TerpimpinDemokrasi Terpimpinberlakudi Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga jatuhnya kekuasaan Sukarno. Latar belakang dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarno:1. Dari segi keamanan: Banyaknya gerakan sparatis pada masa Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan di bidang keamanan.2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa Demokrasi Liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.3. Dari segi politik: Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran beliau agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD'45. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan voting yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante. Voting ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut.Hasil voting menunjukan bahwa: 269 orang setuju untuk kembali ke UUD'45 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD'45Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD'45 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959:a. Tidak berlaku kembali UUDS 1950b. Berlakunya kembali UUD 1945c. Dibubarkannya konstituanted. Pembentukan MPRS dan DPADengan dikeluarkannya Dekrit Presiden, Kabinet Djuanda dibubarkan dan pada tanggal 9 Juli 1959 diganti dengan Kabinet Kerja. Program Kabinet meliputi keamanan dalam negeri, pembebasan Irian Jaya, dan sandang pangan. Dengan Penetapan Presiden No.2 tahun 1959, dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang anggota-anggotanya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden dengan memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:1. Setuju kembali kepada UUD 19452. Setia kepada perjuangan RI, dan3. Setuju dengan Manifesto Politik.Keanggotaan MPRS terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah dan wakil-wakil golongan. Tugas MPRS adalah menetapkan garis-garis besar haluan negara sesuai pasal 2 UUD 1945.Presiden juga membentuk Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang diketuai oleh Presiden sendiri, mempunyai kewajiban memberi jawab atas pertanyaan Presiden dan berhak mengajukan usul kepada Pemerintah (pasal 16 ayat 2 UUD 1945). DPA dilantik pada tanggal 15 Agustus 1959. DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955 tetap menjalankan tugasnya dengan landasan UUD 1945 dan dengan menyetujui segala perombakan yang dilakukan oleh pemerintah, sampai tersusun DPR baru. Semula nampaknya anggota DPR lama akan mengikuti saja kebijaksanaan Presiden Sukarno, akan tetapi ternyata kemudian mereka menolak Anggaran Belanja Negara tahun 1960 yang diajukan oleh pemerintah. Penolakan Anggaran Belanja Negara tersebut menyebabkan dikeluarkannya Penetapan Presiden No.3 tahun 1960, yang menyatakan pembubaran DPR hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Tindakan itu disusul dengan usaha pembentukan DPR baru. Dan pada tanggal 24 Juni 1960 Presiden Sukarno telah selesai menyusun komposisi DPR baru yang diberi nama Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Para anggota DPR-GR yang baru itu dilantik pada tanggal 25 Juni 1960. Komposisi DPR-GR terdiri dari anggota golongan Nasionalis, Islam, dan Komunis dengan perbandingan 44:43:30. Peraturan-peraturan dan tata-tertibnya juga ditetapkan oleh Presiden. Tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan Amanat Penderitaan Rakyat, dan melaksanakan Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 5 Januari 1961 Presiden Sukarno menjelaskan lagi kedudukan DPR-GR yaitu bahwa DPR-GR adalah pembantu Presiden/Mandataris MPRS dan memberi sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan oleh MPRS.Presiden Sukarno pada upacara bendera Hari Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1959 mengucapkan pidato yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita. Dalam sidangnya pada bulan September 1959, DPA dengan suara bulat mengusulkan kepada pemerintah agar pidato Presiden tanggal 17 Agustus tersebut dijadikan garis-garis besar haluan negara, dan dinamakan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol). Usul DPA itu diterima baik oleh Presiden Sukarno. Dan pada sidangnya pada tahun 1960, MPRS menetapkan Manifesto Politik itu menjadi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Dalam Ketetapan itu diputuskan pula, bahwa pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960 dengan judul: Jalannya Revolusi Kita dan Pidato Presiden tanggal 30 September di muka Sidang Umum PBB yang berjudul To build the world anew (Membangun dunia kembali) merupakan pedoman-pedoman pelaksanaan Manifesto Politik. Terhadap perkembangan politik itu pernah ada reaksi dari kalangan partai-partai, antara lain dari beberapa pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) dan dari PNI. Reaksi juga datang dari Prawoto Mangkusasmito (Masyumi) dan Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia. Sutomo mengajukan pengaduan kepada Mahkamah Agung dengan suratnya tanggal 22 Juni 1960. Sutomo menuduh kabinet bertindak sewenang-wenang dan mengemukakan beberapa fakta sebagai berikut:a. Paksaan untuk menerima Manipol dan Usdek, tanpa diberi tempo terlebih dahulu untuk mempelajarinya;b. Paksaan supaya diadakan kerja sama antara golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis;c. Paksaan pembongkaran Tugu Gedung Proklamasi Pegangsaan Timur 56, Jakarta.Memang di kalangan partai-partai terdapat variasi sikap dan pendapat. Pelbagai tokoh partai menggabungkan diri dalam Liga Demokrasi yang menentang pembentukan DPR-GR. Liga Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU, tergabung beberapa tokoh NU, Parkindo, Partai Katholik, Liga Muslim, PSII, IPKI, dan Masyumi. Pada akhir bulan Maret 1960 Liga tersebut mengeluarkan satu pernyataan yang antara lain menyebutkan: supaya dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Oleh sebab itu, hendaknya rencana pemerintah untuk membentuk DPR-GR yang telah diumumkan tersebut, ditangguhkan. Adapun sebagai alasan dikemukakan antara lain:a. Perubahan perimbangan perwakilan golongan-golongan dalam DPR-GR, memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu.b. DPR yang demikian pada hakekatnya adalah DPR yang hanya akan meng-ia-kan saja, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hukum dan demokrasi yang sehat.c. Pembaharuan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah bertentangan dengan azas-azas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.Kegiatan Liga Demokrasi tersebut hanya nampak pada waktu Presiden Sukarno berada di luar negeri. Setibanya Presiden di tanah air, beliau segera melarang Liga Demokrasi. Tindakan Presiden Sukarno selanjutnya adalah mendirikan Front Nasional, yaitu suatu organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita Proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945. Front Nasional itu diketuai oleh Presiden Sukarno sendiri. Presiden juga membentuk Musyawarah Pembantu Pimpinan Revolusi (MPPR). MPPR beserta stafnya merupakan badan pembantu Pemimpin Besar Revolusi (PBR), dalam mengambil kebijaksanaan khusus dan darurat untuk menyelesaikan revolusi. Keanggotaan MPPR terdiri dari sejumlah menteri yang mewakili MPRS dan DPR-GR, departemen-departemen, angkatan-angkatan dan wakil dari organisasi Nasakom. Badan ini langsung berada di bawah Presiden.Dalam periode Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin, Partai Komunis Indonesia (PKI) berusaha menempatkan dirinya sebagai golongan yang menerima Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia. Kekuatan politik pada waktu itu terpusat di tangan Presiden Sukarno dengan TNI-AD dan PKI di sampingnya. Sehubungan dengan strateginya yang menempel pada Presiden Sukarno, PKI secara sistematis berusaha memperoleh citra sebagai Pancasilais dan mendukung ajaran-ajaran Presiden Sukarno yang menguntungkannya.TNI-AD mensinyalir adanya tindakan-tindakan pengacauan yang dilakukan PKI di Jawa Tengah (PKI malam). TNI pun bertindak dengan melakukan pengawasan terhadap PKI, namun Presiden Sukarno justru memerintahkan agar segala keputusan itu dicabut kembali. Pidato-pidato Presiden Sukarno yang berjudul Resopim, Takem, Gesuri, Tavip, Takari jelas menggambarkan sikap politik Presiden Sukarno yang cenderung kepada TKI dan membuat PKI untuk menyudutkan TNI-AD sebagai pihak yang sumbang suaranya. Puncak dari kegiatan PKI adalah meletusnya Pemberontakan G 30 S/PKI.

B. Peranan Indonesia Dalam Politik Internasional Saat Demokrasi TerpimpinPada awalnya, politik luar negeri Indonesia adalah politik bebas aktif sesuai yang mengabdi pada kepentingan nasional. Bebas berarti tidak memihak salah satu blok (barat/timur), sedangkan aktif berarti ikut memelihara perdamaian dunia. Pada masa demokrasi terpimpin, pelaksanaan politik luar negeri condong mendekati negara-negara blok timur dan konfrontasi terhadap negara-negara blok barat. Perubahan arah ini disebabkan oleh :1) Faktor dalam negeri : dominasi PKI dalam kehidupan politik2) Faktor luar negeri : sikap negara-negara Barat yang kurang simpati dan tidak mendukung terhadap perjuangan bangsa Indonesia.

a. Politik Konfrontasi Nefo dan OldefoTerjadi penyimpangan dari politik luar negeri bebas aktif yang menjadi cenderung condong pada salah satu poros. Saat itu Indonesia memberlakukan politik konfrontasi yang lebih mengarah pada negara-negara kapitalis seperti negara Eropa Barat dan Amerika Serikat. Politik Konfrontasi tersebut dilandasi oleh pandangan tentang Nefo (New Emerging Forces) dan Oldefo (Old Established Forces)Nefo merupakan kekuatan baru yang sedang muncul yaitu negara-negara progresif revolusioner (termasuk Indonesia dan negara-negara komunis umumnya) yang anti imperialisme dan kolonialisme. Oldefo merupakan kekuatan lama yang telah mapan yakni negara-negara kapitalis yang neokolonialis dan imperialis (Nekolim).Untuk mewujudkan Nefo maka dibentuk poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. Dampaknya ruang gerak Indonesia di forum internasional menjadi sempit sebab hanya berpedoman ke negara-negara komunis.

b. Politik Konfrontasi MalaysiaIndonesia juga menjalankan politik konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan karena pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap sebagai proyek neokolonialisme Inggris yang membahayakan Indonesia dan negara-negara blok Nefo.Dalam rangka konfrontasi tersebut Presiden mengumumkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora) pada tanggal 3 Mei 1964, yang isinya sebagai berikut. Perhebat Ketahanan Revolusi Indonesia. Bantu perjuangan rakyat Malaysia untuk membebaskan diri dari Nekolim Inggris.Pelaksanaan Dwikora dengan mengirimkan sukarelawan ke Malaysia Timur dan Barat menunjukkan adanya campur tanggan Indonesia pada masalah dalam negeri Malaysia.

c. Politik MercusuarPolitik Mercusuar dijalankan oleh presiden sebab beliau menganggap bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang dapat menerangi jalan bagi Nefo di seluruh dunia.Untuk mewujudkannya maka diselenggarakan proyek-proyek besar dan spektakuler yang diharapkan dapat menempatkan Indonesia pada kedudukan yang terkemuka di kalangan Nefo. Proyek-proyek tersebut membutuhkan biaya yang sangat besar mencapai milyaran rupiah diantaranya diselenggarakannya GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) yang membutuhkan pembangunan kompleks Olahraga Senayan serta biaya perjalanan bagi delegasi asing.Pada tanggal 7 Januari 1965, Indonesia keluar dari keanggotaan PBB sebab Malaysia diangkat menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB.

d. Politik Gerakan Non-BlokGerakan Non-Blok merupakan gerakan persaudaraan negara-negara Asia-Afrika yang kehidupan politiknya tidak terpengaruh oleh Blok Barat maupun Blok Timur. Selanjutnya gerakan ini memusatkan perjuangannya pada gerakan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia-Afrika dan mencegah perluasan Perang Dingin.Keterlibatan Indonesia dalam GNB menunjukkan bahwa kehidupan politik Indonesia di dunia sudah cukup maju.GNB merupakan gerakan yang bebas mendukung perdamaian dunia dan kemanusiaan. Bagi RI, GNB merupakan pancaran dan revitalisasi dari UUD1945 baik dalam skala nasional dan internasional.

C. Upaya Menumpas Pemberontakan G 30 S / PKI1. Tindakan Kostrad a. Penilaian Panglima Kostrad Pada hari Jumat tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari, setelah memperoleh informasi terjadinya penculikan dan pembunuhan terhadap pimpinan TNI-AD , pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera mengumpulkan staffnya di markas Kostrad, untuk mempelajari situasi. Dalam rapat tersebut Pangkostrad belum mendapat gambaran yang lengkap dan jekas tentang gerkan yang beru saja terjadi, serta belum mengetahui tempat presiden berada. Setelah tampilnya Letkol Inf. Untung, seorang perwira menengah TNI-AD yang pernah berdinas dalam jajaran Kodam VII/Doponegoro dan beliau ketahui sebagai anggota PKI, dengan pengumuman pertamannya yang disiarkan setelah warta berita RRI Jakarta pukul 07.00, maka Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto mempunyai keyakinan bahwa Gerakan 30 September adalah gerakan PKI yang bertujuan menggulingkandan merebut kekuasan dari Pemerintah RI yang sah.

b. Operasi Penumpasan Berdasarkan keyakinan itu, Pangkostrad Mayjend TNI Soeharto segera menyusun rencana untuk menumpas gerakan pengkhiatan tersebut. Beliau segera mengkonsolidasikan dan menggerakkan personil Markas Kostrad dan satuan-satuan lain di Jakarta yang tidak mendukung Gerakan 30 September, disertai dengan usaha menginsyafkan kesatuan-kesatuan yang digunakan oleh Gerakan 30 September. Imbangan kekuatan makin tidak menguntukan pihak Gerakan 30 September, terutama setelah sebagian besar satuan yang digunakan oleh beberpa perwira yang dibina PKI berhasil disadarkan dan kembali menggabungkan diri kedalam Komando dan pengendalian Kostrad. Setelah pasukan-pasukan yang dopengaruhi oleh G30S berhasil disadarkan, maka langkah selanjutnya adalah merebut RRI Jakarta dan Kantor Besar Telkom yang sejak pagi-pagi diduduki oleh pasukan Kapten Inf. Suradi yang berada dibawah komando Kolonel Inf. A. Latief. Pada pukul 17.00 pasukan RPKAD dibawah pimpinan Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan merebut kembali kedua objek penting tersebut dengan sejauh mungkin menghindari pertumpahan darah. Pada pukul 17.20 Studio RRI Jakarta telah dikuasai oleh RPKAD dan bersamaan dengan itu telah direbut pula Kantor Besar Telkom. Setelah diperoleh laporan bahwa daerah di sekitar pangkalan Uadara Halim Perdanakusuma digunakan sebagai basis Gerakan 30 September, operasi penumpasan diarahkan ke daerah tersebut. Perkembangan menjelang petang tanggal 1 Oktober 1965 berlangsung dengan cepat. Pasukan pendukung G 30 S yang menggunakan Pondok Gede sebagai basis segera menyadari adanya situasi yang semakin tidak menguntungkan gerakannya.Situasi menjadi semakin gawat bagi pasukan G 30 S setelah Presiden memerintahkan secara lisan kepada Brigjen TNI Soepadjo agar pasukan-pasukan yang mendukung G 30 S menghentikan pertumpahan darah. Setelah RRI berhasil dikuasai kembali oleh RPKAD, pada pukul 19.00 Mayjen TNI Soeharto selaku pimpinan sementara AD menyampaikan pidato radio yang dapat ditangkap diseluruh wilayah tanah air. Dengan bukti-bukti siaran G 30 S melalui RRI Jakarta Soeharto menjelaskan bahwa telah terjadi tindakan pengkhianatan oleh apa yang menamakan dirinya Gerakan 30 September. Selanjutnya dijelaskan bahwa G 30 S telah melakukan penculikab terhadap beberapa Perwira Tinggi TNI-AD, sedangkan Presiden dan Menko Hankam/Kasab Jendral TNI A.H. Nasution dalam keadaan aman. Situasi Ibu Kota Negara telah dikuasai kembali dan telah dipersiapkan langkah-langkah untuk menumpas G 30 S tersebut. Untuk sementara pimpinan AD dipegang oleh Soeharto. Pidato Pangkostrad tersebut dapat menentramkan hati rakyat yang seharian penuh diliputi suasana gelisah dan tanda tanya. Pasukan pendukung G 30 S setelah melakukan perlawanan lebih kurang setengah jam, pada tanggal 2 Oktober 1965 pukul 14.00 menghentikan perlawanannya dn melarikan diri dari Pondok Gede.

c. Ditemukannya Tempat Penguburan Para Korban Penculikan di Lubang Buaya Dengan hancurnya kekuatan fisik G 30 S / PKI di Ibu Kota operasi dilanjutkan untuk mengetahui nasib para korban penculikan. Sukitman, anggota polisi yang ditangkap pasukan penculik pada saat dilakukannya penculikan terhadap Brigjen TNI D.I. Panjaitan, yang berhasil melarikan diri melaporkan kepada pasukan keamanan bahwa ia menyaksikan sendiri penyiksaan dan membunuhan yang dilakukan terhadap korban penculikan. Atas perintah Mayjen Soeharto dengan bantuan Sukitman tanggal 3 Oktober 1965 sekitar 17.00 dapat ditemukan timbunan tanah dan sampah yang diperkirakan sebagai tempat penguburan kemudian dilakukan penggalian terhadap timbunan tanah dan sampah tersebut yang ternyata adalah sebuah sumur tua. Hasil penggalian membenarkan bahwa sumur tua tersebut ditemukan tanda-tanda adanya janazah sesuai dengan laporan Sukitman. Atas perintah Kolonel Inf Sarwo Edhie Wibowo, penggalian timbunan tanah dihentikan karena mengalami kesulitan teknis, dan lagi hal tersebut perlu dilaporkan terlebih dahulu kepada Mayjen Soeharto. Keesokan harinya, setelah mendapat laporan tentang ditemukannya tempat yang kemmungkinan besar menjadi tempat para korban penculikan dikubur, Mayjen Soeharto kemudian menuju sumur tua itu yang berada di lingkuangan kebun karet di daerah Lubang Buaya. Atas perintah Soeharto penggalian mulai dilakukan, yang pelaksanaan teknisnya dilakukan oleh anggota kesatuan Intai para Ampibi (KIPAM) dari KKU AD (Marinir) bersama-sama anggota RPKAD dengan disaksikan kembali oleh mayjen Soeharto. Dalam sumur tua tersebut ditemukan jenazah semua korban penculikan yang berjumlah tujuh orang, Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI Soeprapto, Mayjen TNI S. Parman, Mayjen TNI Haryono M. T, Brigjen TNI D. I Panjaitan, Brigjen TNI Soetojo S, serta Lettu Czi Pierre Andreas Tendean.

2. Tuntutan Massa Dalam Pembubaran PKI a. Reaksi Partai Politik dan organisasi Massa Kenyataan menunjukkan bahwa setelah tersiar adanya G 30 S melalui studio RRI Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965, baik parpol maupun ormas belum menentukan sikap karena sama sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dan latar belakangnya. Mereka belum mempunyai pedoman untuk menanggapinya. Situasi maupun kondisi sosial politik pada saat itu memaksa mereka bertindak sangat cermat sekali agar sikap yang mereka ambil jangan sampai menimbulkan kerugian politis bagi partai atau golongan. Baru setelah mendengar siaran langsung pidato Soeharto ditempat ditemukannya para korban penculikan pada tanggal 4 Oktober 1965 dan siaran upacara pemakaman para pahlawan Revolusi tanggal 5 Oktober 1965, keluarlah pernyataan-pernyataan dan ormas yang umumnya bernada sebagai berikut: Mengucap syukur atas terhindarnya presiden Soekarno dari bahaya; Tetap berdiri penuh di belakang presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno; Mengutuk pemberontakan dan pengkhianatan G 30 S

b. Tindakan Spontan Massa terhadap PKI Setelah diperoleh tanda-tanda yang semakin jelas bahwa PKI adalah dalang dari pelaku Gerakan 30 September, mulailah terjadi aksi-aksi spontan berbagai kelompok massa pemuda, mahasiswa dan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 mulai terjadi aksi-aksi massa menyerbu gedung-gedung kantor PKI serta ormas-ormasnya. Aksi-aksi massa tersebut terjadi diberbagai daerah dan tempat-tempat dimana terdapat basis-basis kekuatan PKI disitu terjadi suasana tegang dan konflik fisik. Sementara itu tanggal 8 Oktober 1965 di taman Suropati Jakarta, partai politik dan berbagai organisasi massa melakukan apel kebulatan tekad untung mengamankan Pancasila. Apel kebulatan tekad tersebut juga mendesak Presiden untuk membubarkan PKI beserta ormas pendukungnya, membersihkan kabinet, DPR-GR, MPRS, serta lembaga-lembaga negara lainnya dari unsur-unsur G 30 S/PKI. Kegiatan penindakan terhadap PKI yang semula hanya timbul secara spontan dari masing-masing golongan masa, pemuda, mahasiswa dan pelajar kemudian menjadi lebih luas. Pada tanggal 2 Oktober 1965 berbagai partai politik yaitu NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo, PSII, unsur-unsur perti, dan unsur-unsur PNI, serta ormas-ormas aanti komunis seperti Muhamadiyah, SOSKI, dan lain-lain membentuk dan begabung menjadi fron Pancasila. Dengan memperhatikan munculnya suasana yang sama dilingkungan mahasiswa dalam menuntut pembubaran PKI dan menyerbu gedung-gedung PKI, tanggal 25 Oktober 1965.Menteri perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP), Brigjen TNI dr. Syarif Thayeb, memanggil beberapa tokoh dari organisasi mahasiswa. Beliau mengatakan bahwa untuk menghadapi gerakan komunis, para mahasiswa agar tidak bergerak sendiri-sendiri tetapi terpadu dalam satu kesatuan aksi. Dan menganjurkan kepada mahasiswa agar membentuk Gerakan Mahasiswa yang terpadu dengan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Sejak saat itulah terbentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia yang kemudian diikuti oleh munculnya berbagai kesatuan aksi lainnya. Kesatuan-kesatuan aksi ini tergabung dalam Badan Koordinasi Kesatuan Aksi. Pada tanggal 31 Desember 1965 BKKA dan Fron Pancasila menandatangani naskah deklarasi mendukung pancasila, yang bertujuan menggalang persatuan antara rakyat dan ABRI sebagai Dwi Tunggal dalam mengamalkan ideologi pancasila secara murni serta menolak usaha pembelaan terhadap Gerakan 30 September dalam bentuk apapun.

c. Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) Janji yang berulang kali diucapkan Presiden Soekarno untuk memberikkan penyelesaian politik yang adil terhadap pemberontakan G-30-S/PKI belum juga diwujudkan. Sementara itu, gelombang demonstrasi menuntut pembubaran PKI kian keras dan bertambah luas. Situasi yang menjurus kearah konflik politik tersebut bertambah lagi dengan munculnya rasa tidak puas terhadap kesdaan ekonomi negara. Dalam keadan serba tidaak puas dan tidak sabar, akhirnya tercetuslah Tri-Tuntutan hati Nurani Rakyat, atau lebih dikenal sebagai Tri Tuntutan Rakyat, yang disingkat menjadi Tritura. Dengan dipelopori oleh KAMI dam KAPI, pada tanggal 12 Januari 1966 kesatuan-kesatuan aksi yang bergabung dalam fron Pancasila memenuhi halaman DPR GR dan mengajukan tiga buah tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Tritura itu, yang isinya adalah: Pembubaran PKI; Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI; dan Penurunan harga dan perbaikan ekonomi.

3. Komando Pemulihan Keamanan Dan Ketertiban Sore hari tanggal 2 Oktober 1965 setelah berhasil mengiuasai kembali keaasaan kota Jakarta, Mayend Soeharto menemui Presiden di Istana Bogor. Dalam pertemuan tersebut presiden memutuskan untuk secra langsung memegang tampuk PimpinanAngkatan Darat yang semenjak tanggak 1 Iktober 1965 untuk sementara Mayjend Soeharto. Sebagai pelaksana harian presiden menunjuk Mayjend Pranoto Reksosamudro untuk menyelenggarakan pemulihan keamanan dan ketertiban seperti sedia kala ditunjuk Mayjend Soeharto, panglima Kostrad.Keputusan tersebut disiarkan oleh Presiden dalam Pidato melalui RRI Pusat dini hari pukul 01.30 tanggal 3 Oktober 1965. Pengangkatan Mayjend Soeharto sebagai panglima operasi pemulihan keamanan dan ketertiban serta pembentukan komando operasi pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) kemudian diatur dengan Kepres/Pangti ABRI/Koti Nomor 142/Koti/1965 tanggal 1 November 1965, Nomor 162/Koti/1965/tgl 12 November 1965 dan Nomor 179/Koti/1965 tanggal 6 Desember 1965. Tugas pokok Kopkamtib adalah memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat-akibat peristiwa Gerakan 30 September serta menegakkan kembali kewibawaan pemerintah pada umumnya dengan jalan operasi fisik, militer dan mental. Dalam usaha penumpasan gerakan pemberontakan ini, di mana-mana ABRI mendapat bantuan dari rakyat dan bekerjasama dengan organisai-organisasi politik dan organisasi-organisasi massa yang setia kepada pancasila.

4. Surat Perintah 11 Maret Pada tanggal 11 Maret 1966 Presiden mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto, menteri/pangad, yang pokoknya berisi perintah kepada Letjen Soeharto untuk atas nama presiden/Pangti ABRI/peminpim besar Revolusi, mengambil sega tindakan yang dianggap perlu guna terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kesetabilam pemerintahan. Pemberian surat perintah tersebut merupakan pemberian kepercayaan dan sekaligus pemberian wewang kepda Letjend Soeharto untuk mengatasi keadaan yang waktu itu serba tidak menentu. Keluarnya Surat Perintah tersebut disambut dengan semangat yang menggelora oleh rakyat dan durat perintah tersebut sering disebut Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Berdasarkan kewenangan yang bersumber pada Supersemar, dengan menimbang masih adanya kegiatan sisa-sisa G30S/PKI serta memperhatikan hasil-hasil pengadilan dan keputusan Mahkamah militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh G30S/PKI, pada tanggal 12 Maret 1966 Letjend Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi menandatangani Surat Keputusan Prsiden/Pangti ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/PBR. No 1/3/1966, yaitu pembubaran PKI dan organisasi-organisasi yang bernaungdan berlindung dibawahnya serta menyatakan sebagai organisasi terlarang di wilayah kekuasaan Negara RI.

5. Pembubaran PKI Berdasarkan wewenang yang bersumber pada Supersemar, Letjend Soeharto atas nama Presiden menetapkan pembubaran dan pelarangan PKI, termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai kedaerah beserta semua organisasi yang se azas/ berlindung/bernaung dibawahnya, keputusan tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden/Pangti ABRI/mandataris MPR/PBR no.1/3/1966 tanggal 12 maret 1966 dan merupakan tindakan pertama Letjen Soeharto sebagai pengemban perintah 11 Maret atau Supersemar. Keputusan pembubaran dan pelarangan PKI itu diamabil oleh pengemban Supersemar berdasarkan pertimbangan bahwa PKI telah nyata-nyata melakukan perbuatan kejahatan dan kekejaman. Bukan itu saja, tetapi telah dua kali pengkhianatan terhadap negara dan rakyat Indonesia yang sedanag berjuang. Seluruh rakyat yang menjunjung tinggi landasan falsafah dan ideologi Pancasila waktu itu serentak menuntut dibubarkannya PKI. Oleh karena itu, keputusan pembubaran PKI itu disambut dengan gembira dan perasaan lega oleh seluruh rakyat Indonesia.

BAB IIIPENUTUP

A. KesimpulanLatar belakang dicetuskannya sistem Demokrasi Terpimpin oleh Presiden Soekarnoyaitu dari segi keamanan: Banyaknya gerakan sparatis pada masa Demokrasi Liberal, menyebabkan ketidakstabilan di bidang keamanan. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa Demokrasi Liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat. Dari segi politik: Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.Untuk merencanakan pembangunan ekonomi, pada tahun 1958 dibentuk undang-undang mengenai pembentukan Dewan Perancang Nasional. Tugasnya adalah mempersiapkan rancangan undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana, menilai penyelenggara pembangunan itu. Pada massa demokrasi terpimpin Indonesia melakukan kredit luar negeri dan melakukan kerja sama perdangan dengan Cina yang memberikan keuntungan materi dan politik. Pada masa Demokrasi Terpimpin, parlemen sudah tidak mempunyai kekuatan yang nyata. Partai politik tidak mempunyai peran besar dalam pentas politik nasional dalam tahun-tahun awal Demokrasi Terpimpin.Dalam bidan social budaya, pendidikan masa demokrasi terpimpim mulai berubah dan mengalami kemajuan. Perguruan tinggi mulai bermunculan baik swasta maupun negeri. Media massa ketika demokrasi terpimpin mengalami kemunduran, sebab media massa mulai dibelenggu dengan aturan-aturan dan izin cetak/siar. Media massa dikendalikan oleh komunis. Bidang budayapun juga begitu, seni dan sastra dipengaruhi oleh paham komunis.Penumpasan G 30 S PKI dilakukan untuk menjaga keutuhan bangsa dari ancaman yang datang dari dalam. Hal ini dilakukan agar kekerasan yang memakan korban nyawa dalam upaya pemaksaan ideologi komunisme segera dihentikan.B. SaranSalah satu kutipan Ir. Soekarno yang terkenal adalah Jas Merah yang berarti jangan sekali-kali melupakan sejarah. Untuk itu, setelah kita memahami kronologi dari tragedi dan penumpasan G 30 S PKI, berikut adalah hikmah yang dapat diambil sebagai pelajaran dari masa lalu dan pedoman bagi masa depan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara: Sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia, hendaknya kita menghormati kesatuan negara dengan tidak mencoba untuk mengobrak-abrik konsep yang ada. Kepentingan negara haruslah diletakkan di atas kepentingan pribadi dan golongan. Demi bangsa dan negara, kita harus rela berkorban, bahkan nyawa sekalipun. Kekerasan bukanlah jawaban dari setiap masalah, baik masalah kenegaraan maupun politik. Kita tidak boleh memaksakan paham dan kehendak kita kepada orang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah.terjemahan Nugroho Notosusanto. Jakarta: Yayasan Penerbit Universitas Indonesia

Karim, Rusli. 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia: Sebuah Potret Pasang-Surut. Jakarta: Rajawali Pers.

Matroji. 2008. Sejarah 2 SMA. Jakarta: Bumi Aksara

_______.1994. Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Jakarta: Sekretarit Negara RI.

_______.1981. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: Sekretariat Kementrian Negara RI.

Maarif, Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (19591965). Jakarta: Gema Insani Press.

Marwati Djoened Poesponegoro dkk. 1993 Sejarah Nasional Indonesia jilid VI, Jakarta: Depdikbud-Balai Pustaka.

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September

19