5
DEMOKRASI RELIGIUS DAN KRITIK-KRITIKNYA Melalui berbagai perspektif, bahwa setiap komposisi antara islam (otoritas agama) dan demokrasi (otoritas atas persetujuan rakyat) adalah suatu hal yang tidak kompatibel. Disini argumen-argumen dan kritik-kritik utama terhadap demokrassi religius akan dibahas. 1. Demokrasi Religius adalah paradoksial Menurut pandangan ini, mereka yang yang mendukung demokrasi religius mengabaikan sifat alami dari agama mengabaikan pula fondasi-fondasi epistemologis demokrasi. (hal.244) Kebebasan yang tidak terbatas untuk memilih adalah suatu fondasi penting dalam demokrasi yang ditentang oleh islam. Hamid Paydar menulis: Salah satu fondasi epistemologis dari demokrasi adalah kegelapan dari kebenaran dan pendistribusiannya pada pada semua manusia, akan tetapi jika ada suatu ideology atau agama menyebut dirinya sebagai contoh kebenaran, serta menegaskan bahwa agama-agama dan opini lain adalah manifestasi dari kekafiran, syirik dan sesat, maka yang demikian itu tidak kompatibel dengan pemerintahan demokratis islam, menurut beberapa yata suci AL-qur’an menyebut dirinya sebagai suatu kebenaran yang unikdan agama yang sejati. Ayat-ayat suci tersebut antara lain: “Maka (zat yang demikian) itulah Tuhan kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan” (QS. Yunus:32) “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya"(QS. Al-Imran:85)

DEMOKRASI ISLAM.doc

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DEMOKRASI ISLAM.doc

DEMOKRASI RELIGIUS DAN KRITIK-KRITIKNYA

Melalui berbagai perspektif, bahwa setiap komposisi antara islam (otoritas agama) dan

demokrasi (otoritas atas persetujuan rakyat) adalah suatu hal yang tidak kompatibel.

Disini argumen-argumen dan kritik-kritik utama terhadap demokrassi religius akan

dibahas.

1. Demokrasi Religius adalah paradoksial

Menurut pandangan ini, mereka yang yang mendukung demokrasi religius mengabaikan

sifat alami dari agama mengabaikan pula fondasi-fondasi epistemologis demokrasi.

(hal.244)

Kebebasan yang tidak terbatas untuk memilih adalah suatu fondasi penting dalam

demokrasi yang ditentang oleh islam. Hamid Paydar menulis:

Salah satu fondasi epistemologis dari demokrasi adalah kegelapan dari kebenaran

dan pendistribusiannya pada pada semua manusia, akan tetapi jika ada suatu

ideology atau agama menyebut dirinya sebagai contoh kebenaran, serta

menegaskan bahwa agama-agama dan opini lain adalah manifestasi dari

kekafiran, syirik dan sesat, maka yang demikian itu tidak kompatibel dengan

pemerintahan demokratis islam, menurut beberapa yata suci AL-qur’an menyebut

dirinya sebagai suatu kebenaran yang unikdan agama yang sejati. Ayat-ayat suci

tersebut antara lain:

“Maka (zat yang demikian) itulah Tuhan kamu yang sebenarnya, maka tidak ada

sesuatu kebenaran itu melainkan kesesatan” (QS. Yunus:32)

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan

diterima (agama itu) dari padanya"(QS. Al-Imran:85)

Pandangan ini menekankan infleksibilitas hokum-hukum Islam dan otoritas mutlak

syariah sebagai bukti inkompabilitas antara Islam dan Demokrasi. (hal.245-246 par.2)

2. Mengambil alih kekuasaan Tuhan

Beberapa pemikir Islam berargumen bahwa demokrasi bertentangan dengan prinsip-

Page 2: DEMOKRASI ISLAM.doc

prinsip Islam karena itu melibatkan legislasi hokum dan banyak ayat-ayat suci Al-Qur’an

yang menunjukkan bahwa legislasi adalah milik Allah semata.

“Menetapkan hokum itu hanyalah hak Allah.” (QS. Al-An’am:57)

“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) pada

Allah.”

(QS. Asy-Syura:10)

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia

kepada Allah (Al-Qur`an) dan Rasul (Sunnahnya).” (QS. Surat An-Nisa : 59)

Kesimpulannya, Islam berpegang bahwa kekuasaan adalah pada Tuhan (Hukum-hukum

Illahiyah-Syariah) dan bukan pada Ummah. Jadi Ummah tidak memiliki hak untuk

melegislasi setiap masalah. (hal. 248, paragraph 1 dan2)

Namun demikian, masyarakat Muslim juga memerlukan hukum-hukum dan peraturan-

peraturan baru untuk dapat menysuaikan system hukum dengan problem-problem yang

terjadi dalam hubungan social, yaitu perkembangan baru dalam cara hidup,

perkembangan teknologi, dan perubahan-perubahan cultural dan ekonomi. Perubahan

social tersebut tidak dapat dipecahkan tanpa legislasi baru. (hal 254, par 1)

Dalam Islam dikenal istilah ijtihad (fukaha menjabarkan hukum-hukum baru dengan

merujuk pada sumber-sumber Islam), yang bukan berarti suatu legislasi. Melalui ijtihad,

seorang faqih merujuk pada sumber-sumber syariah untuk menentukan posisi islam

berkaitan dengan permasalahan-permasalahan baru, dan ini tentunya sama sekali bukan

legislasi. Para Fuqaha tidak berhak untuk membuat legislassi, mereka hanya mengerti dan

mengumumkannya pada umat apa yang telah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

(hal 256 par.1)

Syariah Islam adalah sempurna, bukan karena kita tidak membutuhkan setiap jenis

legislasi , akan tetapi karena islam adalah suatu system hokum yang paling sempurna dari

semua system hokum. Islam terdiri dari hokum-hukum illahiyah yang kompeherensif dan

meliputi segala sesuatu dan jurisprudensi Islam juga mempunyai unsure-unsur yang

spesifik, yang menjadikannya sebagai suatu system yang dinamis dan fleksibel yang

mampu menangani perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Salah satu

Page 3: DEMOKRASI ISLAM.doc

aspek terpenting dari struktur ini adalah hak dari Faqih yang berkualitas ( wali al-faqih

mujtahid al-adil) untuk mengeluarkan peraturan dan perintah-perintah. (hal 257 par.2)

Jika syariah sudah menetapkan suatu keputusan hokum tentang suatu masalah tertentu,

maka wajib bagi suatu Negara islam untuk mengadopsi keputusan-keputusan dari syariah

tersebut. Jika suatu keadaan timbul dimana terjadi ambiguitas dalam syariah atau terjadi

perbedaan-perbedaan pendapat tentang hukium ilahiyah, maka pendapat dan keputusan

Wali amr mempunyai presedensi atas semua yang lain. Dalam hal dimana tidak terdapat

keharusan atau larangan dalam syariah, maka diperbolehkan bagi seorang faqih yang adil

untuk mengeluarkan oeraturan-peraturan pemerintah demi kepentingan Islam dan

muslimin. Oleh karena faqih mempunyai otoritas legitimate (wilayah) dan kedaulatan

legislative, penguasa-penguasa lain termasuk anggota parlemen dan presiden harus

ditunjuk oleh faqih yang adil. Jika tidak, maka mereka tidak mempunyai otoritas yang

legitimate untuk membuat peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan pemerintah.(hal

258 par1)

Status legitimate inilah yang membedakan demokrasi religius dengan konsep-konsep

demokrasi lainnya. Demokrasi religious membatasi otoritas rakyat sesuai kedaulatan

legislative dari Tuhan. Dalam Negara- Negara demokratis nonreligius, kedaulatan dari

individu-individu yang terpilih tidak dibatassi syariah, dan doktrin ini secara eksplisit

mengasumsikan demokrasi sebagai system sekuler yang terpisah dari otoritas dan

kedaulatan Tuhan.(hal 259-260 par2)

3. Problem Kesamaan Hukum

Kesamaan hokum sering dikutip sebagai salah satu fondasi yang terpenting dari

pemerintahan demokratis. Konsekuensinya, setiap teori politik yang ingin

mengkategorikan dirinya sebagai demokratis harus menghormati kesamaan hokum warga

masyarakat. Beberapa pengkritik demokrasi religious beranggapan bahwa Islam tidak

kkompatibel dengan demokrasi atas dasarv beberapa ketidaksamaan yang di ‘endorse’

dalam system hokum islam.n

Ketidaksamaan hukum pada tiga kelompok masyarakat, yaitu warga non muslim, budak,

dan wanita dibandingkan dengan warga muslim pria yang merdeka dianggap

mengahalangi sistem kearah demokrasi. (hal 260 par1)

Page 4: DEMOKRASI ISLAM.doc

Padahal, menurut sifat asli demokrasi (sebagai sejarah dari pemikiran politik) disebutkan

bahwa demokrasi tetap kompatibel dengan ketidaksamaan hokum.Selain itu, bahkan

konsepsi modern dari demokrasi tidak bertumpu pada kesamaan hokum yang sempurna,

tetapi bertumpu pada prinsip bahwa semua anggota masyarakat yang dewasa dianggap

mempunyai hak politik yang sama, dan dapat berpartisipasi dalam pemilihan dan

distribusi kekuatan politik. Oleh karena itu, ketidaksamaan dalam bidang nonpolitik dan

hokum, pada prinsipnya, bukan berarti tidak kompatibel dengan demokrasi.(hal 261 par1)