Upload
others
View
20
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
Diajukan Oleh:
Ato Sugiarto 103033227781
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1430 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul DEMOKRASI DALAM PANDANGAN
ABDURRAHMAN WAHID telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Januari 2010.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial
(S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 27 Januari 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota,
Sekretaris Merangkap Anggota,
Idris Thaha, M.Si. NIP: 19660805 200112 1 001
Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 19690210 199403 2 004
Anggota
Dra. Haniah Hanafie, M.Si. NIP: 19610524 200003 2 002
M. Zaki Mubarok, M.Si. NIP: 19730927 200501 1 008
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)
Oleh Ato Sugiarto
NIM: 103033227781
Di Bawah Bimbingan
Idris Thaha, M.Si. NIP: 19660805 200112 1 001
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1430 H./2010 M.
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 16 Desember 2009
Ato Sugiarto
ABSTRAK
Ato Sugiarto Demokrasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid
Demokrasi Pancasila yang digulirkan Orde Baru secara sederhana digambarkan
Abdurrahman Wahid sebagai “demokrasi seolah-olah”. Seolah-olah demokrasi padahal di
dalamnya semua komponen demokrasi ditelikung dan dibendung. Orde Baru telah menjadikan
Pancasila sebagai quasi ideologi apologetik untuk membungkus praktik kekuasaan tiranik
dengan nilai-nilai demokrasi yang Pancasilais hingga melahirkan Otoritarianisme penafsiran
yang kemudian menjadikan Pancasila sebagai milik mutlak dari pemerintah, dan demokrasipun
menjelma formalisme prosedural yang despotik.
Dari ruang inilah gagasan demokrasi Abdurrahman Wahid lahir. Sebagai antitesa dari
demokrasi Pancasila a la Orde Baru yang secara concern beliau perjuangkan. Baginya,
demokrasi yang hanya bertumpu pada institusionalisasi; trias politica, pemilu, Komnas HAM
dan seterusnya belum bisa menjamin terpenuhinya rasa keadilan, persamaan hak serta
kebebasan.
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana seharusnya demokrasi diaplikasikan dalam
pandangan Abdurrahman Wahid. Dari penelitian ini kemudian diketahui bahwa
konstitusionalisasi demokrasi melalui upaya mewujudkan kedaulatan hukum merupakan
prasyarat utama bagi demokrasi.
Elemen penting lainnya yang merupakan pilar demokrasi baginya adalah pentingnya
penegakan Hak Asasi Manusia, peningkatan kesejahteraan rakyat, penghargaan terhadap
pluralitas dan pemberdayaan masyarakat sipil. Kelima hal inilah yang pada akhirnya harus kita
perjuangkan secara konsisten demi terwujudnya keadilan, persamaan hak dan kebebasan
sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945.
v
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Shalawat serta salam saya haturkan
kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang saya beri berjudul “Demokrasi dalam Pandangan
Abdurrahman Wahid”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Selain itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu baik materil maupun moril
dalam penyusunan skripsi ini taerutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendi, MA. selaku Dekan Fakultas ISIP (Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Idris Thaha, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan masukan-masukan kritik maupun saran yang sangat berarti
bagi penulis, serta kesabarannya memberikan waktu untuk membimbing
penulis
3. Seluruh dosen dan staf akademik prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ilmu Sosial dan ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Ayahanda Bapak Rusman, dan ibunda Sarah yang senantiasa membasahi
kedua lisannya dengan curahan do’a bagi keberhasilan penulis meraih cita
dan harapan, pula tidak penulis lupakan H. Muhammad Salam serta
keluarga yang telah membantu mengarahkan penulis untuk tetap fokus
dalam menyusun skripsi ini.
5. Ketua Yayasan Citra Nurul Falah dan seluruh dewan guru di Sekolah Citra
Alam Ciganjur yang telah memberikan fasilitas yang digunakan penulis
demi lancarnya penyusunan skripsi ini.
6. Seluruh teman-teman alumni Pesanten Luhur Sabilussalam terutama: Jang
opik dari Karawang, Yazid dari Sukabumi, Fa’ri dari Cimone, wa Ucup
vii
dari Tasikmalaya, Ujang dan Sugih dari Bogor, Istiyanti, Alfine Harista
Dewi, yang telah memberikan kontribusinya dalam penyusunan skripsi ini.
Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh tentang pemikiran
kenegaraan Adurrahman Wahid tentang demokrasi.
Jakarta, 5 Maret 2010
Ato Sugiarto
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 4
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 5
E. Metode Penelitian ........................................................................ 6
1. Pendekatan Penelitian ........................................................... 6
2. Sumber Data .......................................................................... 7
3. Analisis Data ......................................................................... 7
4. Sistematika Penulisan ........................................................... 7
BAB II TEORI DEMOKRASI: SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL A. Definisi dan Parameter Demokrasi ............................................... 11
B. Demokrasi: Ide dan Realitas Politik ............................................ 17
C. Varian-varian Demokrasi ............................................................. 24
1. Demokrasi Konstitusional ...................................................... 24
2. Demokrasi Rakyat ................................................................... 27
3. Demokrasi Pancasila ............................................................... 29
BAB III BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID A. Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual .................................... 31
B. Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI ...................... 36
ix
C. Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik ........................ 40
BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG DEMOKRASI A. Pilar-pilar Demokrasi .................................................................... 45
1. Kedaulatan Hukum ................................................................. 45
2. Penegakan Hak Asasi manusia .............................................. 50
3. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat ........................................ 55
4. Penghargaan terhadap Pluralitas ............................................ 58
5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil ............................................ 50
B. Relasi Islam dan Demokrasi ......................................................... 63
C. Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi ...... 70
BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ................................................................................. 73
2. Saran ........................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA
Bab 01
Pemikiran Politik Gus Dur
Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan
bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam simbol atau peran
melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri
terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas
tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga
dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur
hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah
yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular
(Al-Zastrouw, 1999: 32).
Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan
perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme
pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya,
sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling
berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-
humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak
bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim
malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal
sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat”
yang dikutuk kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang
Indonesia, semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai presiden-kyai,
juga seorang pemikir humanis.
Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran
politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut
pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika
berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan
demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan
1 Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.
1
negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun
sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk
agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state
berdasarkan azas pluralisme Pancasila.
Gus Dur dalam hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya,
keinginan sebagian muslim untuk menjadikan Islam sebagai azas negara
dikarenakan Islam sendiri merupakan agama hukum. Sebuah agama hukum
haruslah menentukan dengan rinci hubungan antara negara dan hukum itu sendiri,
agar ajaran Islam yang berupa hukum-hukum agama itu bisa terlaksana dalam
kehidupan.
Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama
dengan negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern
pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi
penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal
doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan
warga negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran
Gus Dur ini memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih
mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan
politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.
Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan,
tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur
lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga,
daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan
idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis
dan substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini,
mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga
ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka
harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala
pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L
Santoso, 193-199).
2
Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh
Fahrurroji M Bukhori (2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi
Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur
dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog
Talcolt Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat
fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep
struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme
biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi
secara proporsional.
Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah
tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat,
dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami
disfungsi, dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian
menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk
dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari
metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa
hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan
oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya
(Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).
Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah
yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur
(2004). Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali
dengan pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai
fenomena “perlawanan” terhadap Gus Dur.
Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa
kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004,
karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah
fiqh yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi
yang menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada
perkembangan selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung
cawapres KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih
3
ketika Ketum PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan
Megawati. Kedua, perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya
sebagai Sekjen PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam
pemilihan gubernur Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Ada
ketidaksingkronan antara interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB
level wilayah yang membuat jago dari PKB gagal meraih kursi.
Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan
menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep
interaksi kontemporer dari Erving Goffman dalam The Presentational of Selfin Every
Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politik Gus Dur sebagai trik seorang aktor
sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan
wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang
berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada
para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada
pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004:
50-55).
Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang
terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan
tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian
“menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver
pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini
dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi
untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi
politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu”
bagi rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam
keadaan ketertindasan politik.
Rahim pemikiran
Situasi ketika pemikiran Gus Dur dilahirkan adalah era developmentalisme
yang merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik
saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba).
Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah
4
tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal
ini pembaruan pemikiran Islam.
Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah
banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan
perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde
Lama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta),
maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis
mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas
ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas
menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi
dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai
pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai
kaum santri (priyayinisasi santri).
Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya
terhadap gagasan-gagasan pembangunan (development), yang merupakan konsep
ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora
pertumbuhan (growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme, laiknya
konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan metafora ini
dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak bisa berbalik, dan
bertujuan.
Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari perspektif
evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed) dipetakan dalam
berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan miskin. Lahirlah term
Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang
miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga membutuhkan uluran tangan
kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan
dengan demikian menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses
peniruan (imitative process), dimana bangsa yang kurang berkembang, secara
perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa-bangsa industri.
5
Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah
kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai secular modernizing intellectual.
Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb Feith, Geertz,
Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka mencoba mempengaruhi
iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan modernisasi dan
pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah perbedaan
yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. 2
Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati
terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas ikatan
suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki sedikit
struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan.
Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan rasionalitas
instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya, sementara
masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana tujuan dari
perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan tentunya
tidak manageable. Pada tataran politis, modernisasi kemudian menciptakan
“kemajemukan fungsional yang bertata nilai” (fungtional valuational pluralism). 3
Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama, hanya sebagai salah satu
nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain, semisal pemerintahan,
ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistem kemasyarakatan secara
keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilki legitimasi fungsional bagi
jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudah diambil alih oleh lembaga-
lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan filsafat sekular.
Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai
satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi tidak
diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah
terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan
Pembangunan) pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni
antara terma “persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah
mengindikasikan pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme. 2 Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-90 3 Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17
6
Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada
awal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan
dengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi
ekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya
ideologi”. Dalam strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya
doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri,
namun juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi,
sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara
maksimal mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan
perdagangan global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan
idealisme aliran, harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen,
melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik.
Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai
“ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan
agama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S
Turner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement) sosial
yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat agama
sebagai “racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara kelompok
yang saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya konflik
antara otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan
sosialnya. Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka semakin
lebarlah potensi konflik tersebut. 4
Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun
mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi
dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah
agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis
sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. 5
Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang
pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan,
4 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-2 5 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-21
7
meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama,
namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi
dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian
berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendir
Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni
sebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen masyarakat
dalam suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik
Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi
pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan
berhasil, jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham
kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik
menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.
Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat
kehidupan sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju
tujuan politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai
kesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural
masyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem politik. Dalam hal ini, tujuan
itu telah diarahkan kepada pembangunan ekonomi, karena dengan tujuan inilah
Orde Baru membedakan dirinya dengan Orde Lama, yang lebih menjadikan
pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalam model itu, politik
menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu
model demokrasi terpimpin yang sentralistik. Ini yang membuat orientasi ekonomi
terbengkalai, sehingga kelahiran Orde Baru terbebani oleh inflasi ekonomi yang
tidak stabil. Soeharto hadir untuk membalik situasi itu, yakni super-ordinasi
pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis, yang nyata membawa
Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknya inilah legitimasi yang
diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru,
membawa perbaikan bagi kondisi bangsa yang tercarut oleh marut perbenturan
politik era Soekarno.
Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di
mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada
8
kesadaran kolektif (collective solidarity) dari sosiologi Durkheim yang menempatkan
agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama
kemudian menjelma common denominator (sebutan bersama) bagi kesepakatan
masyarakat.
Paradigma ini yang dikritik Gus Dur, karena dalam sejarah, selain memainkan
peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir
misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter,
melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian
menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif
atas kekuasaan yang ada.
Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Gus Dur kemudian menambatkan
basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih
berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan, dibanding
kepercayaan akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal, Gus Dur dan masyarakat
nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur, yang otonom, sekaligus mampu
mempengaruhi supra-kultur secara umum. Kepercayaan terhadap kultur ini pada
akhirnya akan menjadikannya sebagai penggerak counter-hegemony, menandingi
hegemoni negara. Jadi, Gus Dur bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat
budaya sebagai elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya
melakukan kritik atas Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari
basis struktur ekonomi.
Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Gus Dur. Artinya,
demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi
praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang
diperjuangkan Gus Dur, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan
simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan
bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.
Orientasi kultural ini pula yang membuat Gus Dur tidak melakukan revolusi,
karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan
umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini
9
kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Gus Dur sebut
sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan
pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam
sub-sistem.6 Semisal Pancasila, di mana Gus Dur tidak hendak menggantikannya
dengan ideology Islam. Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti,
karena yang terpenting adalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila
dalam praksis politik. Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk
menggerakkan kesadaran masyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal
kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas
penyimpangan nilai pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan
masyarakat bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan
oleh basis kultur.
Pemikiran politik Gus Dur juga berangkat dari paradigma pembaruan sosial.
Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan modernisasi, bukan dari
ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari potensi internal rakyat. Satu
hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan pembangunanisme yang
memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi masyarakat.
Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul
adalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas yang
hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa agen
perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan.
Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah melakukan
identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah tradisi bisa
beradaptasi, atau bahkan melakukan perlawanan dengan modernitas?
Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan
Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian memberikan tiga model
pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya. Pertama,
pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif
dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu
6 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9
10
yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini kemudian menyalahkan
hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun, struktur pemerintahan
yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik
begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya
yang tidak sebanding artinya dengan kedudukan yang mereka pegang.7
Pandangan ini yang diwakili oleh para penulis (literati) tua, semisal Sutan
Takdir Alisjahbana, berangkat dari satu kritik atas adaptasi masyarakat terhadap
modernitas yang hanya terhenti pada “produk”, tanpa mampu menjadikan nilai-
nilai kebudayaan modern sebagai mentalitas dan sikap hidup. Bagi Sutan,
modernitas adalah suatu kebudayaan yang mempunyai susunan nilai-nilainya
sendiri. Ia menentukan etik maupun disiplin kelakuan manusia berdasarkan satu
paradigma dan tujuan hidup. Disinilah makna kebudayaan modern menemu ruang,
yakni sebuah kebudayaan rasional dimana progresifitas sains dan ekonomi
menggantikan ekspresifitas agama dan seni, guna mencapai tata aturan hukum alam
serta keuntungan atau utilitas yang sebesar-besarnya.
Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan
industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan raisonalitas
instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang tidak dapat
terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah
pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern
seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh sex dan kekerasan, sikap
individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan masyarakat, kerusakan moral,
hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap” ini merupakan luapan
kebebasan dari sebagian masyarakat modern guna mengatasi kebosanan kehidupan
yang monoton dalam industrialisasi.8 Dari sinilah para kritikus semacam Sutan, atau
Mochtar Lubis kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam
menemukan “ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi,
seperti yang dikehendaki kebudayaan modern.
7 Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981, h., 3 8 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-24
11
Kritik serupa juga dilontarkan oleh SI Poeradisastro. Dalam makalah,
Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, sejarawan kawakan ini juga mengkritik
“mental agraris” dimasyarakat perkotaan Indonesia, yang secara material telah
mengalami industrialisasi, namun secara mental masih tetap bersekukuh dengan
kultur pertanian. Hal inilah yang menurutnya telah menimbulkan mental “mengais
sampah” modernitas berupa ekses hedonistik dari budaya konsumen dan hiburan.
Paparnya:
“Di dalam setiap perjumpaan unsur-unsur kebudayaan, ada dua hal
yang mudah diterima, yakni yang bermanfaat dan menyenangkan indria
(convenient to the senses). Yang menyenangkan dan merayu indria ini pada
umumnya justru yang buruk dan merusak atau setidak-tidaknya dangkal.
Bukan yang terbaik yang dipasarkan dan dipromosikan di Indonesia dari
Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan, melainkan sebaliknya sampah
dan buih yang hanyut dipermukaan gelombang. Di dalam tabrakan
kebudayaan (clash of cultures) ini kita adalah pihak yang rugi. Kegemaran
mengais sampah ini tak terbatas pada golongan menengah dan atas saja,
melainkan melalui tempat persewaan video-tapes telah mulai menjalar ke
kalangan rakyat jelata, misalnya anak muda putus sekolah. Tapi
konsumerisme yang menyertai hidup memburu kesenangan keseharian ini
tetap merupakan sosis yang diikatkan di ujung cambuk kereta anjing, yang
takkan pernah terjangkau.” 9
Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap
yang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai
tersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang
telah membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya
harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai
masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana”
seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan
berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain,
melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing 9 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981, h., 30
12
pamrih, rame ing gawe), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena
adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa
pecinta damai, sopan kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada
akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang
dalam pada kehidupan yang kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi
tekun dalam membangun masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan
satu sama lain, semua nilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif
dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila,
penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).
Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai
Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak
terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries)
maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi
negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan
kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang
benar” atas ideologi negara.10 Proses ini, yang oleh Gus Dur disebut sebagai
“rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”11 menemu ruang misalnya dalam
penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik
dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.
Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah
termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,
semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan
pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak
perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung
kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru
mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian
dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan
dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun
persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling
memberi dan menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua 10 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 14 11 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28
13
pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda
dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses
pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.12
Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu
pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari
satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita
harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat
secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Gus Dur melihat adanya transformasi
dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-
unsur kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Gus Dur, pendekatan positivistik
dalam antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek
sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin
dalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi
tertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap
priyayi keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Gus
Dur temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah
yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif
terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi
pembangunan?” Dari sinilah Gus Dur kemudian mengamini sebuah transformasi
metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu
masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.
Panggung politik
Sampai disini, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya
kedalam gerakan civil society melalui NU, Fordem dan aktivitas
12 Sayangnya, dalam real politics masih banyak terjadi kontradiksi. Pada satu sisi, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, persaingan politik dalam masyarakat masih mencerminkan “persaingan bebas tanpa konsensus” a la liberalisme. Parahnya, kekisruhan tersebut ditambah melalui intervensi pemerintah dalam proses pergulatan politik sipil, seperti yang terlihat dalam intervensi negara pada berbagai suksesi partai politik (era Orba: PDI-PPP). Demikian juga dari sisi pemerintah, belum tercipta tolok ukur penerapan demokrasi integralisitik, sehingga perilaku politik yang masih jauh dari harapan Pancasila masih belum terdeteksi. Permasalahan bertambah ketika hubungan antara liberalisme dan Pancasila juga belum dirumuskan secara komprehensif dengan mengajak berbagai kekuatan bangsa. Faktanya, setiap gerakan, pandangan, dan kritik yang dilakukan masyarakat, akan selalu dianggap subversif, ketika pandangan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran pemerintah atas Pancasila. Lihat Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68
14
kecendekiawanannya. Hingga kemudian, moment reformasi menjadi fase bagi Gus
Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan
mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.
Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan
anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26.
Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu
menggelorakan gerakan unpolitical politics 13(berpolitik tanpa politik), yakni gerakan
kultural sebagai oposisi bagi politik praktis14. Manifesto Khittah 26 merupakan
usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah
dibelokkan oleh kaum politisi NU.
Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah
kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas
berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika
merunut kepada konsep Bassam Tibi tentang pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus
Dur sebagai aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformatif
yang tidak berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni)
akan tetapi melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-
kantong kebudayaan masyarakat awam.
Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti
batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai “siapa
memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu
dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of
possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana
membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya
bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Disinilah kemudian “permainan”
menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai
oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to power (perebutan kekuasaan), maka
13 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hlm. 51 14 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.
15
16
kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang
berangkat dari ideal untuk ideal.
Bab 02
Kritik Demokrasi Institusional
Pemikiran kenegaraan Gus Dur berangkat dari keprihatinan filosofis, atas
otoritarianisme negara. Satu hal yang lahir dari kritik pendekatan state centered
terhadap konstitusi. Dalam perspektif ini, konstitusi dilihat sebagai payung
legitimatif atas gerak kekerasan negara. Hal ini memang sesuai dengan konsepsi
negara modern yang menempatkan institusi politik tertinggi ini sebagai
pemegang sah hegemoni kebenaran, dan oleh karenanya berhak menggunakan
kekerasan.
Dalam kaitan ini negara kemudian memiliki dua macam kekerasan.
Pertama, kekerasan represif yang diperankan oleh militer, polisi, UU, peradilan,
dan penjara. Wujud kekerasan ini hingga ke relung fisik, sejak dari penyiksaan,
pemenjaraan, hingga pembunuhan, sering atas nama UU. Kedua, kekerasan
koersif yang mengacu pada kekuasaan negara untuk membentuk masyarakat
sesuai dengan standar nilainya. Aparat yang lebih kultural ini diperankan oleh
lembaga pendidikan, departemen kesehatan, kementerian agama, sistem pemilu,
dsb yang merupakan mekanisme reproduktif untuk menjaga stabilitas sistem
politik.1 Kekerasan tetap terjadi, karena masyarakat sering dijebak dalam
ketidaksadaran akan hak fundamentalnya, karena mereka sudah mapan merasuk
dalam sistem.
Pada titik ini, concern Gus Dur lebih pada lapis pertama, yakni
kecenderungan negara untuk menjadikan konstitusi sebagai pembenar praktik
dominatif. Tentu hal ini bermasalah karena sejak awal, konstitusi dilahirkan
dalam rangka kontrak sosial, di mana pemerintah sebenarnya lebih merupakan
pelayan bagi kebutuhan masyarakat. Melalui kontrak sosial, rakyatlah yang
menjadi majikan, sehingga konstitusi dibentuk demi menjamin amanat tersebut
terlaksana, minus praktik koruptif. Ini merupakan kemajuan sistem politik yang
tidak lagi menjadikan monarkhi dan feodalisme sebagai mekanisme
bermasyarakat, karena dalam sistem tersebut tidak terdapat kesetaraan antara
raja dan rakyat. Konstitusi dilahirkan, selain untuk membangun sistem internal
kenegaraan (Trias Politica), juga terlebih untuk membatasi kewenangan negara,
sehingga amanat rakyat tidak terberangus oleh kesewenangan tanpa batas.
1 Jens Bartelson, The Critique of the State, UK: Cambridge University Press, 2001, h., 114-116
1
Bagi Gus Dur, konstitusi harus dikembalikan pada akar filosofis tersebut. Ia
tidak lagi menjelma pelindung konstitusional bagi penindasan negara, tetapi
sebaliknya, menjelma advokasi bagi ketertindasan rakyat oleh negara yang
terlindungi oleh konstitusi. Inilah perebutan tafsir politik itu, di mana Gus Dur
tengah memberikan tafsir populis dan anti-negara atas konstitusi. Deskripsinya :
Konstitusi pada hakikatnya mengatur tentang kekuasaan dan
hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada
wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak
warganegaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Kita ingin
memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru
diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-
wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang
kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.
Cara mendekati seperti ini, berlainan dengan kebiasaan yang
melihat konstitusi sebagai sumber pemberi kekuasaan pada negara;
membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negarapun
bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu ketika ia bertindak melampaui
batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga suatu
pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara, bahkan sekadar
penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan
pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain
adalah perbuatan inkonstitusional. Tetapi soalnya, siapa atau badan apa
yang akan menilai konstitusionalitas suatu keputusan, kebijaksanaan
atau peraturan?
Soal yang pelik ini, yang selain bersifat legal juga terutama politis,
tidak akan dapat kita bahas pemecahannya sekarang. Hanya tentu kita
dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses
demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas
(independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran
hak konstitusi warganegara, dan menciptakan suatu instansi penguji
kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi (judicial
review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi
tersendiri. 2
2Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h., 3-5
2
Menarik di sini karena pada dekade 1990 tersebut, Gus Dur sudah
meniscayakan urgensi suatu Mahkamah Konstitusi (MK). Satu hal yang kini
terealisir, tetapi tetap dengan fungsi berbeda. Apa yang diharapkan Gus Dur
adalah mahkamah konstitusi yang menjadi pembela rakyat dari penindasan
konstitusional negara. Ini merupakan paradigma kritis atas kecenderungan
proseduralisme demokrasi, yang sayangnya masih terjadi pada Mahkamah
Konstitusi kita saat ini. Artinya, wewenang MK yang terbatas pada pemberi fatwa
atas perselisihan lembaga-lembaga tinggi negara, tentu tidak cukup memenuhi
harapan Gus Dur di atas. Bagaimanapun, wewenang tersebut tetap berkutat pada
“negara untuk negara” (state qua state), bukan perlindungan kosntitusional dari
penindasan konstitusi. Hal ini memang dilematis, karena situasi politik saat itu,
yakni totaliterisme Orde Baru, membuat Gus Dur perlu memikirkan alternatif
sistem politik. Negara Orde Baru adalah negara Leviathan, yang merasa
bertanggungjawab atas ketertiban politik, dan tentu juga moral, sehingga perlu
untuk menancapkan “cengkeraman politik” nya, di segenap lini kehidupan.
Secara garis besar, konsepsi konstitusi Gus Dur yang anti-otoritarianisme
negara ini merupakan komitmen kritis beliau atas keterjebakan prosedur
demokrasi. Ya, tentu kita tahu, kecermelangan demokrasi yang membuatnya
menjadi “terbaik dari yang terburuk” adalah kemampuannya untuk menciptakan
prosedur politik rasional dan demokratis. Hal ini berangkat dari keprihatinan akan
potensi konflik ideologis antar kelompok politik, yang pasti tidak kondusif bagi
sebuah pemerintahan. Di sini prosedur demokrasi, baik berupa pemisahan dan
pemilahan kekuasaan antara parlemen, eksekutif, dan yudikatif; konstitusi dasar,
metode perumusan undang-undang regulasi publik, penempatan wakil kelompok
dalam sistem multi partai, hingga yang prosedur yang paling menentukan, yakni
pemilu, menjadi praktik politik modern minus konflik dan kecenderungan koruptif.
Demokrasi lahir dari alas pikir ini, mengingat praktik politik tradisional yang
masih meniscayakan keterwakilan ideologis. Satu hal yang dirasa akan
menghambat pembuatan kebijakan publik (public policy) rasional, yang tentu
mensyaratkan absennya emosi kelompok. Ini terjadi karena pembuatan
kebijakan publik berada dalam ruang publik (public sphere). Yakni sebuah ruang
bersama, tempat semua masyarakat merumuskan kepentingan bersama, bukan
kepentingan kelompok. Dalam ruang ini, masing kelompok harus melunakkan
kepentingan golongan, dan secara bersama-sama merumuskan apa yang sering
disebut sebagai agama publik (public religion), berupa keadilan, kesetaraan
3
hukum, pemerataan ekonomi, dsb. Demokrasi masuk dalam ruang ini, dengan
mencipatakan mekanisme dan prosedur rasional, di mana konflik ideologi diganti
oleh konsensus (atau sering menyimpang menjadi kompromi) rasional.
Hanya saja, potensi demokratis dari proseduralisme politik telah ditelikung
oleh dirinya sendiri, akibat pendekatan yang terlalu mengacu pada institusi. Hal
ini wajar, sebab epos politik modern adalah epos tentang implementasi filsafat
politik ke ranah praksis. Jadi, masyarakat politik modern berusaha membumikan
ajaran filosofis tentang apa yang baik dan buruk dalam politik, melalui
pembentukan berbagai institusi politik yang secara legal kemudian dinamai
konstitusi. Sayang, pada titik ini muncul permasalahan, karena gerak substantif
dari filsafat politik tidak begitu mudah terwadahi dalam pelembagaan politik.
Artinya, institusi seperti parlemen misalnya, tidak serta-merta mampu
menjalankan fungsi keterwakilan yang merupakan esensi dari demokrasi.
Representativeness dalam praktiknya telah tertelikung oleh lembaga perwakilan
politik, sehingga banyak aspirasi rakyat yang hanya terhenti pada pembuatan
undang-undang. Dalam kaitan ini, Gus Dur menyatakan:
Dalam keadaan efektif, lembaga-lembaga demokrasi memang
dibutuhkan untuk mekanisme demokrasi. Tetapi bukan berarti
bahwa proses demokrasi cukup disalurkan dalam lembaga-lembaga
itu saja. Hak rakyat untuk menyatakan dan menyatukan
pendapatnya secara langsung tetap merupakan bagian terpenting
dalam mekanisme demokrasi. Keadaan yang kita saksikan sekarang,
sayangnya, adalah terbalik. Sekalipun lembaga-lembaga demokrasi
kurang berfungsi tetapi ia malah dijadikan alibi (bukti) adanya
demokrasi, sambil menjadikan lembaga-lembaga itu satu-satunya
tempat yang sah bagi pemberian izin melakukan kegiatan
pencetusan aspirasi rakyat. Seolah-olah dengan membuat badan-
badan, dengan sendirinya jiwa demokrasi menjadi ada dan hidup. Ini
adalah cara pandang yang sempit mengenai “demokrasi
institusional”. Dengan akibat, dimana seharusnya aspirasi yang
menentukan jenis dan watak lembaga yang dibutuhkan, namun yang
terjadi ialah lembaga-lembaga (institusi) telah membatasi aspirasi
yang dimungkinkan. 3
3 Lihat Gus Dur Dimaki, Gus Dur Disegani, Forum Keadilan, Nomor 02, 14 Mei 1992
4
Dalam situasi seperti inilah Gus Dur kemudian mencetuskan istilah
“demokrasi seolah-olah”. Jadi, seolah-olah demokratis padahal sebenarnya tidak
ada praktik demokrasi. Ini terjadi karena bahkan terbentuknya institusi dan
konstitusi dijadikan alibi bahwa demokrasi telah terlaksana. Ini merupakan
kekerasan simbolik, di mana negara hendak menutup kesadaran kritis
masyarakat atas penyimpangan kekuasaan dari sang penguasa. Dengan adanya
MPR dan DPR, pemerintah menyatakan bahwa aspirasi rakyat telah tertampung
dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkamah Agung dan lembaga peradilan,
seakan rasa keadilan rakyat telah terpenuhi. Dengan adanya Komnas HAM,
persoalan hak asasi manusia seolah telah teradvokasi pemerintah.4 Dalam
kenyataannya, khususnya pada era Soeharto di mana Gus Dur untuk pertama
kali mencetuskan istilah “demokrasi seolah-olah” tersebut, segenap lembaga
politik itu hadir bersama dengan praktik negara yang anti aspirasi, timpang
keadilan, serta haus darah kemanusiaan.
Kritik terhadap institusionalisme demokrasi ini Gus Dur gerakkan, karena
sejak Orde Baru, budaya politik kita telah mengalami birokratisasi. Satu hal yang
memang menjadi ciri khas dari negara modern (nation state). Di sini birokratisasi
dimaknai sebagai proses rasionalisasi politik yang mengarah pada penggunaan
teknokrasi; sebuah teknologi administratif, yang membentuk sistem politik dalam
struktur integratif nan hirarkis. Birokrasi oleh karenanya sering disebut sebagai
kerajaan pejabat (officialdom), karena jangkauan politiknya yang ekslusif, hanya
mengacu pada usaha reproduksi kekuasaan.
Dalam kaitan ini terdapat beberapa ciri birokrasi, yang pada satu titik,
membuat Gus Dur harus mengritiknya. Pertama, keterjebakan administratif.
Memang pada satu sisi, administrasi memberikan kemudahan teknis bagi
perumusan masalah sosial yang kompleks. Namun, ia kemudian melakukan
penyederhanaan (simplifikasi) dengan memasukkan berbagai persoalan sosial
kemanusiaan, ke dalam kategori-kategori verbal yang anti-empati.
Ini yang melahirkan sifat kedua, yakni struktur hirarkis. Sebagai sebuah
sistem, ia membentuk diri (self organizing) dalam struktur hirarkis yang selalu
terkontrol. Hal ini berangkat dari kebutuhan sistem untuk menstabilkan dirinya.
Inilah yang menimbulkan jenjang otoritas dalam pengaturan problem
kemanusiaan. Akhirnya watak anti-kemanusiaan lahir, karena logika hirarki
hanya mengenal penungguan, pelemparan, dan pemaksaan otoritas. Seorang
4 Abdurrahman Whid, Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1999, h., 82-88
5
kepala sub-divisi misalnya, tak bisa segera menangani soal mendesak
kemanusiaan, karena ia harus menunggu keputusan pimpinan yang sering lebih
menyibukkan diri dalam persoalan simbolis politis.5 Dari sini terlihat jelas, bahwa
birokratisasi tidak hanya berhenti pada teknokrasi pemerintahan, tetapi
birokratisasi kehidupan itu sendiri. Tutur Gus Dur:
Ketika bahasa misalnya, yang merupakan alat berpikir diposisikan
sebatas technically oleh para penentu “policy bahasa”, maka ia
merupakan birokratisasi alat berpikir, dan pada akhirnya birokratisasi
proses berpikir itu sendiri. 6
Pada titik ini, Gus Dur telah menembakkan keprihatinan filosofisnya atas
hubungan negara dan proses budaya yang timpang. Ini terjadi karena hegemoni
negara yang menggurita, merasuk ke segenap lini kehidupan. Negara pada era
Orde Baru adalah “negara gurita” yang terlalu melakukan intervensi atas segenap
sektor hidup. Satu hal yang kemudian mencipta birokratisasi tersebut, karena
misalnya seperti kasus policy bahasa di atas, negara kemudian hanya melihat
persoalan bahasa, yang seharusnya menjadi persoalan budaya keilmuan, menjadi
murni persoalan teknik dan kebijakan politik. Hal ini bukanya tak beresiko,
karena dengan cara demikian, negara telah mengambil alih persoalan budaya
yang seharusnya menjadi milik masyarakat sipil, menjadi sah milik negara.
Persoalan yang muncul kemudian adalah, bukan hanya keterjebakan terhadap
birokratisasi bahasa yang membuat produksi ilmu bahasa bersifat stagnan, tetapi
terlebih penggunaan bahasa demi kekuasaan negara. Proses ini terjadi melalui
penciptaan berbagai eufimisme politik, di mana penghalusan bahasa merupakan
strategi untuk menyembunyikan kekerasan dan penindasan HAM.
Secara makro, struktur yang dihadapi Gus Dur memang merujuk pada
watak politik negara-sentris. Sebuah situasi di mana negara ada untuk dirinya,
dan melingkupi segenap unsur sosio-kultur-politik, untuk dirumuskan sesuai
dengan kepentingan penguasa. Ini yang melahirkan hegemoni Orde Baru itu.
Pada tataran ideologis, Orde Baru menancapkan sentralitasnya melalui azas
tunggal Pancasila, di mana segenap ideologi lain: komunisme, marheinisme, dan
Islam, diberangus untuk diganti dengan keseragaman penafsiran monolitik atas
Pancasila.
5 Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Pustakaraya, 2000, h., 22-38 6 Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 4
6
Pada level sosial, Orde Baru telah melakukan reproduksi sosial melalui
restrukturisasi lembaga politik serta reorientasi nilai-nilai budaya. Ini yang
melahirkan sekularisasi melalui pelucutan orientasi agama dalam partai politik.
Atas nama pembangunan dan sistem politik modern, maka segenap aktivitas
politik harus sepi dari sentimen keagamaan, sehingga Islam Yes, Partai Islam No!
menjadi slogan sakral yang menjelma syarat bagi boleh tidaknya warga negara
berpartisipasi dalam politik. Proses ini bukan tidak beresiko karena ia berarti
suatu pemangkasan nilai-nilai politik, yang seharusnya dilindungi oleh UU. Ini
terbukti ketika Orde Baru runtuh, maka segenap sentimen politik Islam lahir
kembali meramaikan pentas politik nasional. Satu hal yang menggambarkan
bahwa sekularisasi era Soeharto bukanlah murni kesadaran politik masyarakat
muslim, tetapi suatu represi politik yang berangkat dari kepentingan negara.
Pada level inilah, kolaborasi antara birokrat, militer, dan teknokrat, menjelma
piramida birokratisasi, di mana ilmu pengetahuan digunakan sebagai mesin
politik untuk merubah struktur masyarakat, agar sesuai dengan kepentingan
negara.7 Pada tahap ini, negara telah berkembang begitu kuat bersamaan
dengan melemahnya masyarakat sipil, sehingga baik pada tataran strategi politik
maupun alternatif pemikiran, masyarakat berada dalam sub-ordinasi.
Dalam hal ini, Gus Dur kemudian menggunakan model hegemoni Gramscian
sebagai pergerakan politiknya. Seperti kita tahu, hegemoni merupakan konsep
pergerakan rakyat yang menjadikan budaya sebagai elemen vital. Artinya,
dimensi supra-struktur; ideologi, kultur, tradisi, pemikiran, dst yang oleh
Marxisme ortodoks hanya merupakan “bias” dari infrastruktur ekonomi,
digerakkan untuk melakukan transformasi politik.8 Hal ini bisa dilakukan melalui
penggalian potensi transformatif dari elemen kultural, dalam kasus Gus Dur,
tradisi agama. Jadi pada level ini, Gus Dur sebagai pemimpin muslim tradisional
telah menghadapkan dua gerbong besar; hegemoni negara vis a vis counter-
hegemony NU. Gerbong muslim tradisional ini mampu menjadi oposisi kultural,
karena sifatnya yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur.
Posisi ini mengacu pada sifat pesantren yang menjadi sub-sistem dari
sistem budaya secara umum. Ia terpisah dan oleh karenanya mampu
independen, tetapi sekaligus bisa mempengaruhi perubahan sistem umum. Hal ini
7 M. AS Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, jurnal Prisma 3, Maret 1991, h., 75-81 8 Robert Bocock, Hegemoni, Yogyakarta: Jalasutra, 2007, h., 17-54
7
memang wajar, mengingat pesantren sejak awal merupakan kerajaan kecil
(pesisiran) yang menjadi penyeimbang bagi kerajaran Hindu-Jawa pedalaman.
Sejak awal, model otoritas budaya dari kyai, mampu menciptakan sistem
kepemimpinan alternatif dari model otoritas politik raja. Bahkan pada satu sisi,
otoritas budaya memiliki “cengkeraman politik” lebih kuat, karena ketundukan
santri terhadap kyai bukan semata ketundukan politik, tetapi terlebih ketundukan
spiritual. Dalam situasi ini, kohesifitas politik akan lebih kuat karena ia lahir dari
sifat sukarela, tanpa paksaan, represif maupun koersif. Kepemimpinan kyai ini
kemudian ditopang oleh sistem nilai unik, serta cara hidup khas kaum santri,
yang pada level politik telah membentuk pemerintahan sendiri berbasis
paguyuban.9 Ini yang membuat pada satu titik, masyarakat pesantren dan juga
NU, tidak membutuhkan negara. Satu hal yang kemudian membuat ormas Islam
ini mampu menjadi oposisi atas negara.
Di sini Gus Dur kemudian menciptakan hegemoni melalui dua pergerakan.
Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) dekade awal 1990.
Forum ini merupakan “markas” para cendekia dan aktivis pro-demokrasi, guna
mengelaborasi, merumuskan, serta “menyentakkan” berbagai ide dan kritik
demokratis, terhadap penyelewengan negara. Sebagai forum urun rembug dan
critical discourse, Fordem tidak merasa melakukan makar, sebab kritisisme
mereka masih terbatas pada pembentukan opini, belum menjelma gerakan
subversif. Hanya saja, betapapun masih sebatas opini, Fordem yang merengkuh
segenap elemen aktivis dari purnawirawan jendral, cendekiawan, seniman,
aktivis, hingga artis, tsb telah membuat “denyut” status quo kekuasaan berdetak
kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Taman Ismail Marzuki,
“dibredel” aparat, dengan alasan perizinan. Gus Dur-pun tidak jadi membacakan
pernyataan Tumbuhkan Kembali Daya Kritis Masyarakat, sebab aparat terlanjur
mencurigainya sebagai sebuah langkah awal propanganda politik. 10
Kedua, NU. Pada level ini, Gus Dur telah melakukan transformasi
paradigmatis, dengan mengadopsi kritik teologi transformatif terhadap gerakan
Neo-Marxis, yakni ketidakmampuan dalam melihat agama sebagai potensi
pergerakan berbasis budaya. Merujuk pada Gueterez, 11 Gus Dur kemudian
9Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur, dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001, h., 7-11 10 Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992 11 Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogya : LKiS, 2000, hlm 178-179
8
menjadikan basis primordialisme massa konon 30 juta, berjalinan dengan
ketundukan religius baik kepada jam’iyyah, kyai, maupun Islam.
Disinilah perlawanan Gus Dur-NU telah menciptakan posisi dilematis bagi
Soeharto. Satu sisi, Gus Dur dan NU dibutuhkan negara sebagai penyeimbang
radikalisme Islam, sehingga negara kemudian membutuhkan kekuatan NU.
Namun, sisi lain, pergerakan “kaum sarungan” ini terbukti sering membuat
“merah telinga” kekuasaan. Satu momen besar yang menjadi rujukan sejarah,
adalah ketika sebagai Ketum PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam
rangka Harlah ke-68 NU, pada 1 Maret 1992. 12 Terdapat sekitar 150.000 warga
nahdliyyin memenuhi stadion utama Senayan Jakarta, dengan satu tujuan :
menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai
ideologi dan falsafah hidup bangsa.
Kenapa penegasan kesetiaan terhadap Pancasila dimunculkan kembali?
Bukankah hal tersebut sudah diselesaikan NU pada Muktamar ke-27 1984 ?
Dalam kaitan inilah, Gus Dur menggunakan konsep hegemoni Gramsci guna
melawan praktik hegemonik negara. Melalui penegasan kembali, kesetiaan
Pancasila, Gus Dur telah menciptakan war of positions dengan melakukan
“perebutan simbolik” atas legitimasi Pancasila. Secara strategis, Gus Dur telah
menghancurkan monopoli penafsiran negara atas “teks” Pancasila. Hasilnya,
muncullah tafsir populis atas Pancasila dari NU guna mengkritik penyelewengan
politik yang dilakukan negara atas Pancasila. Langkah inilah yang membuat
Soeharto tidak berkutik, sebab Gus Dur dalam melakukan kritik, melandaskan diri
pada kesetiaan dan nilai luhur Pancasila. Satu hal berbeda dengan nasib gerakan
Islamis dan komunis yang dengan gampang dibrangus karena di cap, anti-
Pancasila.
Demikian juga pada tataran praktis, pernyataan setia terhadap Pancasila,
merupakan penolakan secara halus atas “pemaksaan” Soeharto agar segenap
ormas mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 1992.
Muhammadiyah sudah melakukan dukungan tersebut. Sementara NU, merujuk
pada Khitttah 26, tetap berusaha membersihkan diri dari politisasi negara.
Penolakan terhadap pencalonan Soeharto juga disebabkan kritisisme atas praktik
“demokrasi seolah-olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lantang
menyebut situasi demokrasi Orde Baru hanya “seolah-olah”, sebab tatanan
12 Douglas E Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya, dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Ellyasa KH Dharwis (ed), Yogya : LKiS, 1997, hlm 101-124
9
politik hanya dilandaskan pada manipulasi institusional dan prosedural (pemilu),
tetapi kebudayaan demokratis semisal kebebasan berpendapat dan berserikat
diberangus secara “tenang tapi mencekam”. 13
Dari sini kita kemudian faham bahwa meskipun Gus Dur mengritik
institusionalisme demokrasi, tetapi Ia tetap menggunakan konstitusi sebagai alat
dan legitimasi bagi kritik tersebut. Dalam hal ini Gus Dur sepertinya melakukan
pemilahan antara institusi politik dan konstitusi. Yang pertama murni
pengejawantahan nilai dan cita politik dalam lembaga modern. Pelembagaan
politik dibutuhkan guna menjembatani ide filosofis tentang moral, tujuan,
kebaikan, dan idealitas politik kepada pelaksanaan di masyarakat.14 Ketika
masyarakat modern sudah menjadikan pemisahan kekuasaan fungsional, antara
pemimpin eksekutif, parlemen sebagai wakil kedaulatan rakyat, dan yudikatif
sebagai otoritas hukum, maka lembaga Trias Politica dibentuk untuk
merealisasikan cita-cita tersebut.
Hanya dalam perkembangannya, institusi politik saja tidak cukup, karena ia
kemudian tereduksi dalam praktik politik. Pendekatan politik tidak lagi cukup
dengan hanya mendirikan lembaga demi perealisaian ide politik. Lembaga,
bagaimanapun hanya mesin yang digerakkan oleh aktor politik, yakni manusia
yang tentu memiliki hasrat, kepentingan, dan kecenderungan koruptif. Apalagi
politik tidak lagi dimaknai sebagai cara untuk mengatur tata masyarakat demi
kesejahteraan bersama. Politik kini lebih dimaknai sebagai the art of possibility;
tentang siapa mendapatkan apa dengan cara bagaimana. Politik kini tidak lagi
menjadi moral Platonis; ia kini tergerak di dalam dan melalui kekuasaan.
Pergeseran dari politik moral menjadi politik kekuasaan inilah yang akhirnya
menjadikan cita-cita normatif dan lembaga politik yang didirikan untuk cita itu
menjadi absurd dan politis. Ini terjadi ketika bukannya nilai moral yang
mengendalikan kesewenangan, selayak kelahiran filsafat politik Abad
Pencerahan. Tetapi nilai-nilai moral itu yang dijadikan alat bagi pencapaian dan
pelanggengan kekuasaan. Pada titik ini, institusi politik sebagai media realisasi
cita-cita politik menjadi tak efektif lagi.
13 Abdurrahman Wahid, Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden, Forum Keadilan, No 02, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Matra, “Saya Ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”. 14 David E. Apter, Pengantar Anasila Politik, Jakarta: LP3ES, 1985, h., 392
10
Dari fakta inilah menjadi wajar jika Gus Dur kemudian melakukan kritik atas
institusionalisme politik. Satu langkah antara yang membuatnya memilih
konstitusi sebagai alat pergerakannya. Konstitusi di sini terposisi melampaui
institusi DPR, MA, Presiden, dan segenap departemen pemerintah. Bagaimanapun
berbagai isntitusi tersebut merupakan pelaksana partikular dari konstitusi dasar,
yakni UUD 45. Gus Dur memilih ruang ini, karena UUD merupakan landasan dan
kesepakatan filosofis dari pendiri bangsa dan segenap komponen hukum untuk
merumuskan garis besar haluan negara. Konstitusi tekstual ini menjadi penting,
karena ia memberikan hak-hak politik bagi warga negara yang dijamin sebagai
bangunan dari konstitusi itu sendiri. Satu hal yang pada tataran praktis kemudian
diselewengkan oleh para penyelenggara negara demi kepentingan politiknya. Hal
ini pula yang membuat Gus Dur lebih menekankan gerak sipil dari pergerakan
konstitusional. Artinya, pelaksanaan konstitusi secara benar ternyata tidak bisa
diharapkan lahir dari negara. Maka, ia harus digerakkan oleh elemen sipil, yang
secara esensial hidup dalam sebuah keadaban politik. Tuturnya:
Situasi ini membutuhkan kemauan berbagai kelompok aktivis dalam
isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, hak kaum minoritas,
pemerataan konsumen, keselamatan kerja, dan sebagainya. Kalangan
publik yang semakin meluas yang menaruh perhatian pada isu-isu
tersebut, membentuk pendukung utama bagi upaya-upaya untuk
mengoperasionalisasikan UUD 1945 dalam praktik. Pendukung ini, yang
kini tumbuh dengan cepat di Indonesia, membentuk sektor pelopor yang
menggerakkan seluruh masyarakat ke arah baru pemerintahan
berdasarkan hukum di masa depan, karena perjuangan mereka
sepenuhnya tergantung pada penerapan yang adil dan jujur dari undang-
undang yang ada, serta pengundangan undang-undang yang lebih baik.
Pada gilirannya, dua hal tersebut sepenuhnya tergantung pada
keinginan politik kalangan yang berkuasa untuk melaksanakan konstitusi
secara konstitusi. Dengan demikian, masa depan konstitusionalisme dan
sifat kepolitikan di Indonesia terjalin di dalam karya-karya berbagai
kelompok aktivis di luar pemerintahan, yang bertindak sebagai katalisator
bagi perubahan mendasar dalam berbagai sector kehidupan, melalui
peningkatan secara langsung maupun tidak langsung kesadaran akan
pemerintahan berdasarkan hukum.15
15 Abdurrahman Wahid, The Future of Constitutionalism and the Nature of the Polity: the Case of Indonesia’s 1945 Constitution, A working paper for the Asian Regional Institute of the American
11
12
Dari paparan ini jelas, bahwa konstitusi menjadi faktor terpenting bagi
konsepsi negara Gus Dur. Urgensitas faktor ini terdapat pada kebutuhan akan
pemerintahan yang berlandaskan supremasi hukum. Hanya saja,
konstitusionalisme Gus Dur sering tak berbanding lurus dengan kepentingan
negara. Satu hal yang Gus Dur gerakkan melalui “ekstra perlemen” masyarakat
sipil, di mana para pejuang demokratisasi menjadi pengontrol pelaksanaan
negara. Satu hal yang Gus Dur lanjutkan dalam Kepresidenan ke-4 RI, yang
sayangnya menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Keinginan Gus Dur untuk
membuat “negara ramping” justru menjadi pemicu pada singkatnya kekuasaan
beliau, sebab logika penguatan masyarakat dengan kekuasaan negara tentu
bertentangan. Gus Dur ketika “menjadi negara” bahkan hendak mengurangi
kekuasaan negara atas masyarakat. Satu gerak yang tentu tak di inginkan oleh
segenap kekuatan politik dari negara, yang akhirnya mampu menurunkan Gus
Dur dari tampuk kekuasaan.
Council of Learned Societies, Comparative Constitutionalism Project, being held in collaboration with the Law and Society Trust, Sri Lanka. February 23-27, 1989, Chiangmai, Thailand, h., 10-11
Bab 03
Pemikiran Politik Islam Gus Dur
Secara paradigmatik, pemikiran politik Islam Gus Dur berangkat dari kaidah
fiqh yang berbunyi: tashharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bil mashlahah
(kebijakan seorang pemimpin terkait dengan kemashlahatan rakyat). Kenapa
dirujukkan pada kaidah ini? Karena bagi muslim, praktik politik terkait dengan
amanah, yang tidak hanya mengacu pada kontrak sosial dalam demokrasi, tetapi
pertanggungjawaban manusia atas posisi khalifah, langsung dihadapan Tuhan.
Kemashlahatan rakyat menjadi pijakan dan arah utama, karena Islam menganut
prinsip keadilan (al-‘adalah), yang oleh Gus Dur ditempatkan sejajar bersama dengan
demokrasi (syura) dan persamaan (al-musawah).1 Tanpa adanya keadilan, sebuah
kepemimpinan politik, cacat di mata agama, dan oleh karena itu, halal untuk
dilawan, apalagi ketika ketidakadilan itu mrembet pada penyimpangan syar’i.
Dalam hal inilah, Gus Dur dan NU tidak menambatkan tujuan politiknya
kepada negara Islam. Kenapa? Karena menjadikan Islam sebagai tujuan, akan
terjebak pada cita-cita semu, yang menyebabkan perjuangan menjadi simbolis. Ini
yang dialami para “pembela Islam”, seperti yang terjadi pada perdebatan Piagam
Jakarta di negeri kita. Bagi mereka, yang dinamakan dakwah Islam haruslah secara
letterlijk memasukkan kata-kata Islam atau syari’at kedalam konstitusi negara,
seperti yang termaktub dalam konstitusi Saudi Arabia, Iran, dan Pakistan. Dari sini
perjuangan menjadi simbolis, dimana tegaknya Islam dimaknai sebagai tersebarnya
“lautan jilbab”, dan segala aturan formal akhlak Islam. Hal ini tentu telah
melahirkan agama hipokrit, dimana pelaksanaan ibadah harus melalui pemaksaan
politik, sehingga ia murni bersifat publik tanpa adanya kesunyian transendental.
Dari sini Gus Dur kemudian melakukan rekonstruksi kedalam, atas bangunan
intelektualisme Islam. Ini urgen, sebab perumusan ulang pemikiran Islam
merupakan ruang yang tak tergarap dari kebangkitan Islam tersebut, yang karena
tak masuk dalam geliat intelektualisme, maka ia terjebak dalam perjuangan
1 Abdurrahman Wahid, Islam dan Titik Tolak Etika Pembangunan, makalah seminar pesantren dan pembangunan, Berlin Barat, Juli 1987
1
formalistik.2 Arah ini yang membedakan Gus Dur dengan para “pembela Islam”.
Bagi Gus Dur dan kalangan NU, Islam terlebih adalah soal penguasaan metodologi
keilmuan. Fakta ini searah dengan proses islamisasi awal abad ke-19, ketika jaringan
ulama jawi membawa pembaruan pemikiran Islam, dari Mekkah, ke Nusantara.
Inilah cikal bakal pesantren, yang akhirnya melahirkan kekayaan ilmu ‘alat,
sehingga bagi muslim santri, keberislaman, terutama adalah penguasaan dan
aplikasi dari manhaj al-fikr, sehingga Islam mampu menanggapi perubahan zaman.3
Satu hal yang berbeda dengan kalangan fundamentalis, yang hanya menjadi
konsumen pemikiran dan produk hukum Islam, sehingga Islam kemudian
menjelma “senjata sudah jadi”, dan siap dilawankan dengan apapun.
Pada titik inilah kita akan mengenal konsep kosmopolitanisme dan
universalisme Islam milik Gus Dur. Konsepsi ini mengacu pada usaha untuk
merumuskan bagaimana pemahaman terhadap ajaran Islam harus bersifat terbuka
dengan pemikiran lain. Hanya saja keterbukaan ini bukanlah suatu adaptasi radikal
terhadap Barat, tetapi sebuah keterbukaan pemikiran yang ditujukan untuk
penggerakan perubahan struktural demi tata hidup berkeadilan.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban
Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan
antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua
warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim). Kosmopolitanisme yang
seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga
masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan
berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi
paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair
yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri
dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya hanya dalam postulat-postulat spekulatif
belaka. 4
2 Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Islam sebagai Titik Tolak Kebangkitan Umat, makalah diskusi Training HMI Badko Jawa Barat, di Cimacan, 16 Februari 1981 3 Abdurrahman Wahid, Principle of Pesantren Education, makalah the Pesantren Education Seminar, Berlin, oleh TU Berlin dan FNS, Juli 9-12 1987, h., 4 4 Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Pelita, 26 Januari 1988, h., 8
2
Sikap kosmopolitan ini dilandasi oleh keyakinan akan sifat keterbukaan Islam.
Secara tekstual, keyakinan tersebut didapatkan pada penafsiran Gus Dur terhadap
konsep kesempurnaan Islam yang termaktub dalam Surah al-Maidah (5):3, “Pada
hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu”. Ayat ini
kemudian ditafsiri oleh banyak ulama sebagai penanda bagi kesempurnaan Islam
dalam segenap bidang, baik agama, sistem masyarakat, serta sistem negara. Bagi
Gus Dur, sebaliknya. Konsep kesempurnaan Islam terdapat pada sifatnya yang
terbuka untuk menerima masukan dari sistem lain, selama tidak bertentangan
dengan aqidah. Potensi Islam kemudian terdapat pada keterbukaan bagi
pengembangan wawasan baru secara terus-menerus dalam menjawab tantangan
zaman. Dalam hal ini, substantifisme dalam Islamlah yang membuka ruang bagi
keterbukaan tersebut, bukan rumusan-rumusan detail formalnya.
Hal sama terlihat dari ketidaksetujuan Gus Dur terhadap pemasukan orang
Yahudi dan Nasrani sebagai kafir : suatu kelompok yang memusuhi Islam. Jika al-
Qur’an dikaji secara mendalam, akan didapatkan bahwa konsep kafir hanya
merujuk pada kelompok yang menolak Tuhan, sementara ahli kitab, dilihat masih
memilki konsep ketuhanan, sehingga tidak bisa dimasukkan dalam kekafiran.
Dalam hal ini, Gus Dur kemudian melakukan pembedaan antara definsi “tegas”
sebagai sebuah sikap teologis, dengan tindakan “tegas” sebagai laku kekerasan.
Penegasan ini dianggap penting dalam menafsiri ayat asyidda’u ‘ala al-kuffar
ruhama’u bainahum (bersikap tegas diantara orang-orang kafir dan orang yang
santun mengasihi diantara sesama mereka) (QS al-Fath, 48:29). Atas dasar inilah,
tidak heran jika Gus Dur akrab dengan non-muslim dan terlibat dalam berbagai
pembelaan atas diskriminasi minoritas yang dialami umat Kristen dan Konghucu.
Dalam kaitan ini, Gus Dur telah melakukan rekonstruksi terhadap penafsiran
firman Allah Swt, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu
hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS al-Baqarah, 2:120). Ketidaksenangan
Yahudi-Nasrani dalam ayat ini dianggap sebagai hal yang wajar, karena umat
Islampun pasti memiliki sikap seperti itu. Menurut Gus Dur, pihak yang tidak rela
(walan tardha) bukan hanya non-muslim, tetapi juga pihak muslim, sebab masing
agama memiliki truth claim yang absolut dan tidak menerima kebenaran dari pihak
3
lain. Sementara kalimat ‘anka bukan bermakna wahai kamu (Muhammad),
melainkan berarti kebenaran yang dibawa, yakni Islam. Dengan penafsiran ini, Gus
Dur tidak memiliki kecurigaan terhadap non-muslim, dan secara terbuka
melakukan kerjasama dengan mereka dalam urusan sosio-kemasyarakatan.
Dari sini, kosmopolitanisme Islam kemudian Gus Dur kaitkan dengan terma
universalisme Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran
Islam yang universal, tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban
lain, yang membuat Islam bersikap secara kosmopolitan. Dua titik ini adalah inti
mekanisme dialektik dari pemikiran Islam Gus Dur. Lihat saja betapa tinggi
kepercayaannya terhadap kosmopolitanisme Islam, yang Ia lihat sudah terjadi sejak
awal pengorganisasian Nabi Muhammad SAW di Negara Madinah, hingga
munculnya para ensiklopedis muslim awal, semisal Al-Jahiz di abad ketiga Hijri.
Watak terbuka ini memiliki sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya
batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, serta terciptanya heterogenitas politik.
Kosmopolitanisme ini juga menampakkan diri dalam kehidupan beragama yang
eklektik selama berabad-abad, baik terhadap sisa-sisa peradaban Yunani kuno,
Persia, hingga peradaban India. Islam dalam sejarahnya telah berdialog dengan
peradaban sekular dan mistik, dimana filsafat dan gnostisisme telah menyumbang
kontribusi besar bagi rasionalitas dan arah sufisme. Ini yang melahirkan filsafat
Islam, serta kecenderungan mistis dalam tasawuf, yang sering dirujukkan pada
kalangan Syi’ah. Kemampuan Islam dalam berdialog ini menunjukkan sikap terbuka
dari metode pemikiran dan kelentukan esoteris, sehingga segenap peradaban yang
cenderung tidak searah dengan peradaban fiqh, bisa diterima dan akhirnya
membentuk peradaban Islam tersendiri.
Pada titik ini, watak kosmopolitan berfungsi sebagai perluasan aplikatif, serta
prasyarat kondusif bagi terealisasinya ajaran universal dari Islam. Universalisme ini
merupakan penggalian Gus Dur atas ajaran-ajaran orisinil, yang memiliki
keperdulian mendalam terhadap nasib kemanusiaan serta keadilan sosial, dan oleh
karenanya, ia memiliki keluasan batas pada tataran universal. Secara sistematis Gus
Dur mendapatkan universalisme Islam tersebut didalam berbagai jaminan dasar
Islam atas ketinggian martabat manusia, yang meliputi; pertama, jaminan atas
4
keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum.
Jaminan ini dengan sendirinya mengharuskan pemerintahan berdasarkan hukum,
dengan perlakuan adil kepada semua warga tanpa terkecuali, sesuai dengan hak
masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu
mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warga,
sehingga ia mampu menjamin terwujudnya keadilan sosial, yang oleh Gus Dur
ditempatkan sebagai pandangan hidup paling jelas dari universalitas Islam.
Kedua, jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada
paksaan untuk berpindah agama. Jaminan ini kemudian melandasi hubungan
antarwarga masyarakat berdasarkan sikap saling menghormati, yang akan
mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang
besar. Jaminan ini begitu penting, mengingat kecenderungan negara yang bahkan
sering melakukan pengaturan represif atas kebebasan beragama. Ini terjadi karena
kalangan ulama birokrat yang dengan sengaja menggunakan politik sebagai
pembenar dan pemaksa bagi klaim kebenaran keagamaan mereka, melindas
berbagai keyakinan keagamaan pihak lain yang bertentangan dengan tafsir resmi.
Ketiga, jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan, yang akan
menampilkan sosok moral, baik moral dalam arti kerangka etis maupun kesusilaan.
Kesucian keluarga dilindungi, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling
dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh
sistem kekuasaan yang ada. Keempat, jaminan keselamatan harta benda dan milik
pribadi di luar prosedur hukum, serta jaminan atas keselamatan profesi yang
merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan
proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu.
Dari mekanisme dialektik antara kosmopolitanisme Islam disatu sisi, dengan
universalisme Islam yang merujuk pada berbagai jaminan atas hak-hak dasariah
manusia, maka tujuan utama dari Gus Dur adalah perubahan sosial menuju pada
struktur politik yang lebih berkeadilan. Artinya, usaha untuk membuat Islam lebih
terbuka dengan peradaban lain, yang tentunya memiliki konsekuensi penghapusan
sikap-sikap ekslusif dan melihat Islam sebagai satu-satunya kebenaran, serta
penggerakan perubahan sosial demi pengangkatan martabat manusia.
5
Pemikiran tentang keadilan politik ini memang merupakan juluran historis dan
kultural, yang lahir dari corak keberpihakan populis budaya pesantren. Hal ini bisa
kita lihat, misalnya dalam tradisi tasawuf pesantren, yang tidak merujuk pada
pencapaian kesatuan mistik antara makhluk dengan khalik, seperti dilakukan para
sufi falsafi kalangan Syi’ah. Tasawuf di pesantren lebih mengacu pada tasawuf
‘amali, dimana praktik ibadah melalui penekanan fadloil al-‘amal sebagai pencapaian
sufistik. Corak ini memiliki dampak yang akhirnya bersifat sosial, karena terma
‘amal tersebut, tidak hanya bersifat individual, tetapi terlebih harus mampu
memberikan kemashlahatan bagi orang sekitar. Tengoklah pemaknaan kalangan
pesantren atas perintah jihad dalam kitab I’anatut Thalibin , yang bukan lagi ditafsiri
sebagai “perang suci” (holy war), tetapi kewajiban penyediaan makanan, pakaian,
dan tempat bagi kaum miskin.5 Sikap ini memang kontekstual dengan posisi
pesantren, yang merupakan lembaga pendidikan masyarakat bawah.
Sifat populis ini diperkuat oleh peran kyai sebagai cultural broker. Peran yang
dilihat oleh antropolog Clifford Geertz ini, menggambarkan posisi kyai yang tidak
terbatas pada pengajar agama, tetapi juga penyaring budaya (dari luar), plus
komunikator budaya, yang berfungsi sebagai pendamping atas beberapa persoalan
kultural masyarakat, semisal konsultasi nikah, perdagangan, waris, dsb. Hal ini yang
membuahkan kharisma, sehingga masukan dan ajaran kyai, diterima masyarakat,
sebagai representasi dari “jawaban Tuhan”.6 Kebersamaan kyai dengan masyarakat,
yang dilambari oleh keprihatinan agama inilah, yang membuahkan orientasi
populis, sehingga tujuan politik bagi Islam, harus mengacu pada arah keadilan.
Pada level praktis, hal inilah yang membuahkan magnet dan basis politik,
begitu mengakar dikalangan nahdliyyin, yang tidak selalu merujuk pada
pendaulatan Islam sebagai ideologi politik, tetapi lebih kepada Islam sebagai modal
politik. Modal ini tercipta karena keberislaman yang mengakar hingga relung
budaya, sehingga apa yang dilakukan dan diperintahkan kyai, bukan hanya terhenti
pada perintah normatif, tetapi telah merasuk sebagai “kenyamanan kultural”,
dimana muslim nahdliyyin merasakan kedamaian batin dalam patronase budaya. 5 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan,Jakarta: Leppenas, 1981, h., 6 6 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, USA: Basic Books, 1973, h., 142-150
6
Hal ini kemudian memudahkan para politisi NU untuk memobilisir massa politik,
hanya berlandaskan dukungan kyai, baik yang individual maupun pemimpin
sebuah pesantren.7 Walaupun magnet politik ini kedepan cenderung mendapat
tantangan, khususnya oleh pemilihan presiden langsung yang menggunakan
kecanggihan politik media massa, namun kekuatan ini tetaplah mengakar, karena
bagi sebagian muslim, keseharian mereka tetap berada dalam “rengkuhan” kyai.
Menariknya, dukungan kuat berdasar keagamaan ini tidak kemudian
membuahkan orientasi Islamis dikalangan kyai, tetapi tetap bergerak dalam koridor
negara-bangsa yang menjadikan cita-cita demokrasi dan keadilan sebagai tujuan
utama. Pertanyaannya, bagaimana para kyai, dan tentu juga Gus Dur, tidak
menjadikan “pembelaan Islam” sebagai tujuan dari politik Islamnya? Jawaban atas
tanya ini akan membawa kita pada dataran kultural dari pemikiran beliau, yakni
pribumisasi Islam. Kenapa? Karena dalam pemikiran inilah, Gus Dur telah
menyelesaikan ketegangan antara agama dan budaya, yang merupakan penyebab
bagi usaha formalisasi budaya Arab atas tradisi Islam di Indonesia.
Hal ini berangkat dari kenyataan, bahwa pribumisasi Islam merupakan proses
dialog, akomodasi, dan akulturasi antara Islam yang universal, dengan tradisi pra-
Islam yang lokal, dalam hal ini Hindu-Budha. Kedua budaya tersebut bisa bersatu,
karena menurut Gus Dur, meskipun Islam sebagai agama tetap independen dari
budaya, dikarenakan sifat doktrinalnya, namun Islam sebagai praktik masyarakat,
tetap bisa memanifestasi dalam bentuk budaya.8 Inilah yang melahirkan Tari Seudati
Aceh, Wayang Jawa, Ludruk Surabaya, dsb, yang pada awal, tidak berangkat dari
tradisi Islam, tetapi Hindu.
Wayang sendiri merupakan epos budaya Hindu, mampu diakulturasikan
dengan ajaran Islam, semisal ajaran Dewa Ruci Sunan Kalijaga dan Kyai
Mutamakkin Kajen. Dalam ajaran ini, konsepsi tasawuf martabat tujuh (maraatib al-
sab’ah), disatukan dengan perjalanan mistik Sang Bima dalam mencari “air
kehidupan”, dalam diri Dewa Ruci yang sebenarnya merupakan personifikasi mistis
dari dirinya sendiri. Akulturasi ini disempurnakan oleh penyediaan akomodatif dari 7 Dr. Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004, h., 28-47 8 Abdurrahman Wahid, Agama dan Tantangan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 79-90
7
hukum Islam, sehingga hukum adat bisa menjadi pijakan bagi syari’at (al-‘adah al-
muhakkamah).
Berangkat dari metode pengembangan nash dan kaidah fiqh dalam Pribumisasi
Islam inilah, maka kitapun menjadi mafhum kenapa muslim NU tidak begitu
mengalami kegelisahan keagamaan yang bersifat formalistik. Hal tersebut tentu
berbeda dengan kehidupan beragama Persis, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir,
Front Pembela Islam, Jaringan Islam Liberal, dsb. Bagi pihak ini, perdebatan antara
mana Islam yang otentik, dan mana yang bid’ah atau bahkan sistem kafir menjadi
tema utama proses keber-Islaman.9 Meminjam konsep Oliver Roy, ada sebuah
“kegagalan komparatisisme” antara kesejarahan Islam dengan manifestasi simbolik
peradaban non-Islam,10 sehingga sebagian muslim tidak menemukan berbagai
kultur sinkretik mistis Jawa misalnya, atau struktur nation state Barat, sehingga
terjadilah ketegangan antara Islam dan budaya, layaknya digambarkan Gus Dur.
Keberhasilan Pribumisasi Islam dalam menciptakan rekonsiliasi agama-budaya
ini, tidak secara otomatis mematikan berbagai proses pembaruan dan perubahan
dikalangan muslim. Hal ini dilandaskan pada fakta bahwa melalui pengembangan
nash lewat ushul fiqh dan qawa’idul fiqh, muslim “pribumi” mampu menciptakan apa
yang digambarkan Gus Dur sebagai perubahan yang fundamentil, perlahan, rumit
dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamati secara hati-hati dan
teliti yang dapat mengetahui perubahan tersebut.
Fakta ini sekaligus menciptakan counter discourse terhadap berbagai
pendekatan studi agama “miring”, yang menyatakan, dari sekian produk budaya,
agamalah yang paling sulit mengalami perubahan. Secara sosiologis hal ini tidak
valid, sebab sejarah membuktikan betapa pergumulan konversi didalam agama
Nusantara, sejak datangnya Hindu-Budha, yag merubah animisme, kemudian
diubah lagi oleh kedatangan Islam bersamaan kolonialisme Belanda-Kristen, dsb
membuktikan agama lebih mudah bertransformasi, sementara sistem budaya
semisal teknologi dan mata pencaharian mengalami perubahan secara lamban.
Kasus gagalnya sekularisasi Attaturk Turki tentunya disebabkan peminggiran Islam
9 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 132-140 10 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1992, h., 14-20
8
sebagai potensi perubahan, sebuah kasus yang berbeda ketika kita melihat
keberhasilan Jepang dalam revolusi teknologinya karena Jepang mampu
menggunakan agama Shinto sebagai penggerak pembangunan.
Keberhasilan Islam dalam “merubah dirinya sendiri” juga meruntuhkan tesis
Snouck Hurgronje yang menyatakan umat beragama dipaksa meninjau kembali isi
dari kekayaan akidah dan agamanya, oleh berbagai perubahan sosial yang
melingkupi. Hal ini sekali lagi bertentangan dengan fakta historis dimana perubahan
agama tidak dipaksa oleh perubahan dari luar, melainkan sebaliknya, perubahan
inheren didalam agama kemudian menciptakan transformasi sosio-politik.
Hanya saja, proses perubahan atau pembaruan pemahaman terhadap ajaran
agama, tidak selalu mewujud dalam tujuan dan operasionalisasi yang tunggal,
layaknya gerakan “kembali kepada ajaran yang benar” yang kemudian di kotakkan
kedalam al-Qur’an dan Hadist. Proses ini sering disebut Islam modernis, merujuk
pada Muhammadiyah, Persis, Wahabisme, dsb. Standar kemajuan kemudian
menciptakan oposisi biner dengan model Islam yang sinkretik, berbau klenik, mistik
dan takhayul. Pada perkembangannya, “pembaharuan kedalam” dengan
pembersihan al-Qur’an-Hadist dari kultur mistik tersebut dilambari dengan
“pembaruan keluar” oleh Muhammad Abduh melalui gerakan rasionalisasi yang
merupakan adaptasi dari gerakan Reformasi Gereja Martin Luther. Sempurnalah
tujuan pembaruan ajaran agama dalam meminggirkan apa yang sering disebut
sebagai Islam tradisional, yakni golongan muslim yang sinkretik dalam tradisi dan
ritual agama, serta mistis dan irrasional dalam proses berpikir.
Atas dasar kecenderungan inilah, Gus Dur kemudian memberikan gambaran
lain terhadap penafsiran kembali ajaran agama. Deskripsi beliau :
Proses pemahaman baru atas ajaran agama tidak selalu diikuti
oleh munculnya organisasi gerakan reformasi. Ia dapat tumbuh dalam
suatu group keagamaan tanpa munculnya beberapa eksponen
pembaharu dalam paham-pahamnya, atau justru lalu ia mengambil
bentuk memperkuat posisi group keagamaan yang lama itu dalam
9
dalam usaha menghadapi group baru yang akan mengancam eksistensi
atau dominasinya. 11
Keberhasilan pembaruan tanpa puritanisasi disebabkan oleh adanya titik tolak
yang berangkat dari tradisi, serta orientasi keumatan. Artinya, tujuan
pengembangan pemahaman nash, bukan an sich untuk nash, namun demi penjagaan
kebutuhan umat agar tidak terjadi instabilitas akibat perubahan nilai-nilai antara
“yang baru” dan “yang lama”. Hal ini tentu berbeda dengan orientasi ideologis
kaum Islamis yang berangkat dari “pembelaan” Islam demi Islam melalui
manifestasi Negara Islam dan formalisasi syari’ah.
Disinilah pendekatan sosio-kultural dipilih Gus Dur. Pendekatan ini merujuk
pada perbaikan bersifat sub-sistemik dengan tetap menjaga keutuhan struktur
makro yang sudah established. Memang terdengar a-heroik, dan sekadar “tambal
sulam”. Namun pilihan ini dilakukan Gus Dur dan para ulama NU, demi tetap
menjaga ketenangan serta kekukuhan kehidupan masyarakat pada level struktural.
Secara strategis, pendekatan ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan:
apa yang harus dilakukan Islam ? tanpa menjebak umat dalam keterkungkungan jihad
simbolik formalistik dalam Islam. Hal ini disebabkan sebuah premis, bahwa
masyarakat bawah tidak selalu menunggu produk formalistik hukum Islam untuk
menentukan apa yang harus mereka lakukan. Dari sini, Gus Dur kemudian
menetapkan prioritas agenda pada pembentukan etika baru masyarakat, sebagai
perwujudan esensi Islam minus formalisasi. Lahirlah “pembaruan kultural” dengan
menciptakan operasionalisasi melalui pengembangan pemahaman nash, serta
akulturasi budaya guna mengantarkan umat kepada tiga nilai dasar Islam : keadilan,
persamaan, dan demokrasi (syura).
Pada tataran ini, peran kyai sebagai religious elite memegang posisi vital. Hal
tersebut dikarenakan pengembangan pemahaman ajaran agama terkait dengan
kebutuhan para kyai sebagai pemimpin masyarakat untuk mengendalikan berbagai
perubahan nilai kemasyarakatan.
11 Abdurrahman Wahid, Penafsiran Ulang terhadap Ajaran Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000,, h., 75
10
Tentu saja mereka tidak menerima begitu saja semua perubahan yang terjadi
diluar. Sebagai pemimpinan masyarakat, para kyai akan berusaha mengendalikan
dan mengarahkan perubahan itu sesuai dengan prinsip-prinsip seleksi, mana yang
baik buat masyarakat diambil, sedangkan yang dianggap merugikan atau merusak
tatanan sosial serta bertentangan dengan ajaran agama akan ditolak. Disini, pola
penolakan para kyai diusahakan “sehalus” mungkin agar tidak terjadi “ledakan”
emosi keagamaan yang eksplosif (semisal penolakan Kartosuwiryo atas nation state
Indonesia yang melahirkan pemberontakan) melalui proses seleksi yang bersifat
menerima dan menolak (change and continuity). Proses tersebut secara indah
dirumuskan dalam kaidah “memelihara warisan lama yang baik dan mengambil hal
baru yang lebih baik” (al-muhafadhatu alal-qadimis shalih ma’al-akhdzi bil jadidil-ashlah).
Secara sistematis, pribumisasi Islam kemudian mengarahkan orientasinya
kepada “tujuan besar” Islam, yang oleh Gus Dur didasarkan pada tiga nilai;
demokrasi, keadilan sosial, dan persamaan dimuka undang-undang. Ketiga nilai
dasar ini kemudian dioperasionalisasikan melalui rumusan kaidah fiqh tasharruful
imam ‘ala ra’iyyahtihi manuthun bil mashlahah (tindakan pemegang kekuasaan rakyat
ditentukan oleh kemashlahatan dan kesejahteraan mereka) seperti dijelaskan diatas.
Jadi, cita-cita utama Islam sudah jelas, yakni Islam mengakomodasi segala kenyataan
yang ada, sepanjang membantu dan mendukung kemashlahatan rakyat. Prinsip ini
harus mewarnai segala wujud, baik bentuk kelembagaan maupun produk hukum.
Dari sinilah arah politik Gus Dur tidak bersifat simbolis-formalis, karena pada
level budaya, Islam telah lama melerai ketegangan simbolis, antara teks normatif,
dengan realitas sosial yang berubah. Artinya, bagi para penggerak formalisme
politik Islam, baik ranah struktural (Negara Islam) maupun kultural (syari’atisasi
budaya), proses dakwah Islam adalah proses penakhlukkan budaya non-Islam, oleh
teks normatif agama. Hal ini terjadi karena keyakinan Khawarijian bahwa laa hukma
illa Allah: tiada hukum selain hukum Allah. Penafsiran tekstual ini yang membuat
mereka menolak demokrasi, karena sistem politik ini dianggap tidak
merepresentasikan hukum Allah, tetapi kontrak sosial antar-manusia. Pada aras
struktural, kelahiran negara-bangsa (nation state) juga menjadi ancaman bagi sistem
Islami, karena bentuk negara modern ini yang memecah konsep ummat, dimana
hanya ada satu otoritas global, yakni khilafah, yang menjadi bentuk imperium Islam.
11
Lahirlah utopia khilafah Islamiyah, yang oleh Hizbut Tahrir dijadikan “obat penawar”
dari “penyakit” demokrasi. Kesemua gerak ini berangkat dari ketegangan yang tak
terselesaikan, antara agama dan budaya. Satu situasi yang tak selesai, karena mereka
tidak mampu melihat agama pada level antropomorfisme, dimana agama telah
bergulat dalam perilaku dan sistem sosial, sehingga membentuk sistem budaya.
Dari sinilah salah paham itu terjadi. Yakni pada penolakan simbolis atas
kelemahan struktural dari sebuah sistem politik. Artinya, kelompok seperti Hizbut
Tahrir lebih memahami kelemahan demokrasi, menurut pandangan agama, bukan
melalui tandingan sistem politik nan rasional. Seharusnya, jika kontrak sosial,
legitimasi publik, dan sistem perwakilan dihujat, karena memiliki beberapa
kelamahan, solusi atas semua itu tidak semudah dicarikan dalam agama. Kenapa?
Karena kedua hal itu berbeda: sistem politik berangkat dari kebutuhan masyarakat
untuk mengontrol kekuasaan, sementara agama mengacu pada ketundukan dan
arah berserah kepada Tuhan. Pembeda dari batasan ini terletak dalam posisi dan
entitas kekuasaan yang melampaui apapun, termasuk agama. Ini yang membuat
khilafah misalnya, tidak berarti mampu meredam nafsu kekuasaan, karena
bagaimanapun, ia telah menjadi “kursi panas”, tempat sebuah kaum memiliki
kemampuan memaksa atas kaum lainnya. Ini terjadi dalam sejarah pembunuhan
khulafa al-rasyidin, yang membuktikan bahkan pemerintahan Islampun tak luput
dari “kutukan Ken Arok” tersebut.
Pada titik ini Gus Dur kemudian tidak ingin terjebak dalam bentuk negara,
karena yang terpenting bagi suatu pemerintahan adalah berbagai infra-struktur yang
melandasinya. Infra-struktur itu meliputi pelaksanaan hukum, sifat keterbukaan
berpendapat, inklusifitas sirkulasi kekuasaan, pembagian wewenang yang jelas,
moderatisme budaya, serta ketegasan seorang pemimpin. Berbagai keadaan ini
murni persoalan “duniawi” yang harus diselesaikan secara rasional, dengan
mengedepankan dialog publik yang setara. Satu hal yang tidak akan bisa dilakukan
oleh bentuk negara ideologis, selayak negara Islam, komunisme, Fasisme, dsb yang
lebih mengedepankan prasangka kelompok tertentu dalam menangani persoalan
masyarakat. Cita-cita Islamis atas sebuah negara hanya akan menempatkan
kebutuhan real masyarakat, dalam belenggu ideologi yang sering berangkat dari
emosi kesejarahan sektarian tertentu.
12
13
Namun, peminggiran orientasi ideologis tersebut, tidak kemudian
membuyarkan prinsip dasar Islam tentang praktik pemerintahan. Hal ini yang
membuktikan, bahwa serasional apapun konsep politik kaum muslim, ia tetap
berangkat dari logika dan prinsip keagamaan. Berbagai prinsip tersebut mengacu
pada hubungan antara individu warga negara dengan keniscayaan otoritas, yang
oleh Islam diatur secara seimbang. Baik hak individu warga masyarakat maupun
pentingnya kekuasaan efektif ditangan pemerintah, sama-sama memiliki dasar
tekstual. Ayat al-Qur’an menentukan kewajiban melakukan syura
(permusyawaratan), yang diandaikan menjadi wahana penyaluran aspirasi
individu. Baik dalam tingkat mikro maupun makro, kewajiban melaksanakan
permusyawaratan adalah bagian pokok dari budaya politik yang diinginkan al-
Qur’an. Bahkan demikian jauh hak individu dijaga, sehingga tampak agak anarkis
(Sabda Rasulullah, Tiada ketundukan kepada mahkluk, termasuk yang paling
berkuasa sekalipun, dalam hal yang menentang ketentuan Allah).
Bab 04
Gus Dur dan Negara Islam
Hubungan antara negara dan agama selalu ambivalen. Ia terdebat dalam
benturan politico-jurisprudentik antara struktur negara-bangsa (nation state) yang
menganut hukum alam (natural law), dengan agama (Islam) yang memiliki struktur
hukum transferensial (teks suci).
Keduanya selalu berbenturan. Satu hal yang dilihat Gus Dur bahkan tidak
menyentuh jantung dari persoalan kenegaraan. Ini terjadi karena di dalam dirinya,
masalah negara memiliki ruang politis material yang menuntut pendekatan multi-
sektoral, terkait kondisi structural yang membuat negara efektif dalam menjalankan
amanat publik. Sementara di sisi lain, tuntutan politik Islam lebih didorong oleh
jihad ideologis yang sayangnya bersifat sectarian, karena masing umat Islam
memiliki ragam penafsiran berbeda, terkait bagaimana menempatkan agama dalam
hidup berbangsa.
Dalam Jurnal Prisma edisi No. 11, November 1980, Gus Dur memberikan
gambaran problematik, hubungan antara agama, sebagai ideologi, yang harus
berhadapan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Tema Agama, Ideologi dan
Pembangunan ini menjadi penting, sebab Orde Baru pada awal agenda
pembangunannya, telah memosisikan secara dikotomis antara agama sebagai
ideologi politik dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya
mensyaratkan “matinya ideologi”.
Makna urgen dari makalah ini juga terdapat dalam fungsi penjelas, dimanakah
posisi Gus Dur: apakah dalam gerbong modernisasi yang berarti meminggirkan
agama demi kelancaran percepatan ekonomi, ataukah salah satu dari bagian gerakan
agama yang saat itu dipasung oleh negara, dalam arti Gus Dur adalah bagian dari
Islam politik? Posisi agama dan Gus Dur sebagai pemikir Islam dalam pergulatan
represifitas negara, yang hendak dikupas di tulisan ini, dengan harapan memberikan
satu informasi pemikiran Gus Dur, kaitannya dengan bagaimanakah sikap ideal
1
yang harus dimiliki antara agama dan negara, agar tidak terjadi perbenturan yang
tentunya merugikan nilai-nilai yang dijunjung oleh kedua faktor tersebut.
Gus Dur mengawali analisanya dengan memberikan gambaran atas fakta
ketegangan agama dan negara. Secara abstraktif, Gus Dur menemukan banyak bukti
yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, karena
terjadinya kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab
ideologi negara dan pimpinan gerakan keagamaan dikalangan negara-negara yang
sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh sehingga kehidupan
politik di negara yang sedang berkembang menjadi labil. Tenaga sangat besar
ditujukan hanya untuk membatasi gerakan keagamaan, yang dianggap mengganggu
lancarnya pembangunan. Dalam perjalanannya, proses penghambatan ini malah
menciptakan kelambatan kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali,
roda pembangunan. Gus Dur kemudian melihat terciptanya strategi ganda oleh
negara, dalam menghambat “gangguan” gerakan keagamaan tersebut. Di satu pihak,
gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara untuk keperluan ritual,
sedang dipihak lain terjadi upaya pemojokan gerakan agama yang memiliki aspirasi
politis dan berwatak korektif terhadap pemerintah. Upaya pemojokan ini biasanya
dilakukan melalui penciptakan gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas besar,
dari negara. Dalam istilah Gus Dur, negara menghambat gerakan keagamaan,
melalui politik “memotong baja harus dengan baja”.
Pada sisi lain, radikalisme yang dimiliki oleh gerakan keagamaan terbentuk
dari besarnya persepsi akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi
nilai-nilai transendental yang mereka yakini. Hal ini disebabkan oleh kesibukan
negara dalam menciptakan infrastruktur rasional dan teknik yang efisien, sehingga
aspirasi transendental diatas terabaikan. Sebagian karena oportunisme politik, dan
sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat
diterima oleh semua kalangan. Persepsi akan “kerugian” nilai-nilai transendental ini
kemudian melahirkan “konsolidasi spiritual” yang menemukan ketetapan pendirian
gerakan keagamaan, dalam berbagai sumber ajaran agama, sehingga apapun yang
mereka yakini, memiliki keabadian dan kelanggengan cita-cita. Konsep kesyahidan
(martyrdom) mendudukkan akibat penindasan fisik dalam kerangka perjuangan suci,
2
yang tentunya berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melakukan
penindasan tersebut.
Pada tataran kultur politik, ketegangan antara pemegang ideologi negara vis a
vis gerakan keagamaan ini terkonstruk oleh strategi represif dari Orde Baru dalam
“mengamankan” proyek pembangunan. Oleh Frans Seda, kultur politik Orde Baru
(Orba) dilihat sebagai “kebudayaan ekonomi” yang tentunya lebih berorientasi pada
mengejar performance (performance oriented) atau prestasi, serta hasil sebesar dan
secepat mungkin.1 Satu orientasi yang berbeda dengan Orde Lama, yang
menjadikan politik sebagai panglima, sementara ekonomi (hanya) menjadi faktor
penunjang. Dalam orientasi ini, Orba mendambakan satu pengamanan, yakni
sebuah penyiapan situasi dan kondisi politik yang aman untuk prestasi serta
penertiban terhadap akibat-akibat negatif dari performance tersebut, baik secara
preventif maupun represif. Dalam fakta politik, kaitan antara performance dan
pengamanan dapat berlangsung dengan tempo yang makin hangat. Makin tinggi
performance atau prestasi yang ditargetkan, makin ketat pula pengamanan yang
harus dilakukan. Demikian sebaliknya, performance akan semakin ditingkatkan untuk
membenarkan pengamanan politik yang dilakukan. Perkembangan secara spiral ini
diharuskan sebab suatu pola pembangunan yang didasarkan pada mengejar prestasi
tidak akan bisa mandeg, sebab mandeg berarti mundur dan hancur. Dalam hal inilah
Orba melalui strategi Trilogi Pembangunan baik lewat statement resmi maupun dalam
real politics menunjukkan orientasi performance dengan suatu pengamanan stabilitas
politik sebagai penunjangnya.
Pada titik inilah kesulitan saling memahami antara ideologi negara dengan
aspirasi keagamaan menemu ruang. Hal ini disebabkan oleh situasi labil negara-
negara yang baru berdiri dalam membentuk ideologinya. Apalagi ketika sistem
politik yang dianut merupakan adaptasi secara kasar dari kultur politik “luar”,
sehingga adaptasi tersebut kemudian berbenturan dengan kultur politik
dimasyarakatnya sendiri. Dalam kaitan ini, negara kemudian mengambil strategi
“tawar menawar yang sepi” dengan satu target, yakni stabilitas politik yang
disebabkan kemampuan hegemonik ideologi negara dalam “menertibkan” ideologi
alternatif dari masyarakat. Deskripsi Gus Dur: 1 Frans Seda, Orde Baru dan Kultur Politiknya, Prisma, No. 11, November 1980, h., 3-4
3
“Segera setelah tercapainya penyelesaian formal berupa ideologi negara
yang dinamai Pancasila, perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya
“pengamanan” Pancasila itu sendiri, dari kemungkinan “penyimpangan”
oleh pihak lawan politik. Upaya ini terutama ditumpukkan pada tindakan
politik untuk menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik
di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa
demokrasi liberal (1959-1966) maupun di masa Orde Baru sejak 1966.
“Pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran”
senantiasa mengambil bentuk dalam pendayagunaan aparat negara bagi
perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara, semisal melalui
penataran P4. Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara
bukanlah kasus unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi
negara dan proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara
pihak yang berbeda pendapat… Tetapi, dialog tersebut ada pula yang
mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings),
seperti yang berlangsung di negeri kita. Proses tolak-angsur (tug-of-war)
antara aspirasi theologies dan aspirasi sekularis yang berlangsung di negeri
kita ini adalah bagian dari jalannya “tawar-menawar yang sepi” itu”. 2
Tentu dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam.
Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di
negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya
adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi
Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak
relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara
yang selalu memanfaatkan agama.
Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari
penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak
penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa
dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Cak Nur. Hanya saja,
konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena 2 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Prisma No. 11, November 1980, h., 13-14
4
telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu
menggambarkan detail perbedaan didalam konsep pemisahan agama-negara.
Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih
mengedepankan aspek “tujuan ideologis” dimana para konseptor negara-bangsa
memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan
paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita
politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh
pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut
penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Kenapa?
Karena perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-betul
relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal
ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya
sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya:
Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya
rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat
ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut
pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila
digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi
momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi
komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya
(cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para
ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk
menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap
inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang
sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan
pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions),
sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang
berwawasan sangat jauh.3
3 Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988, h., 4
5
Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori
kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh
sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa
gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam kedalam fanatisme
ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich.4 Bagi Gus Dur,
fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam
sebagai agama. Disatu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin
politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan
“solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan
mashlahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa kedalam
pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim.
Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek
pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik
birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan
pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri,
yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan
masyarakat.
Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori
kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa
diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai
problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah
dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum
formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat
terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu
konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan dibangun: masyarakat
tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat
terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah
kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan
atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur
kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara
Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam 4 Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h., 41-45
6
politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan
kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi
keadilan sosial.
Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan
modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk
sistem Islami. Prinisp tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara
universal memberikan kedudukan sama di muka hokum, tanpa melihat asal-usul
agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan
berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan
menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas
manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang
diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi
hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-uandang)
berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hokum agama Islam), (4)
jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik,
(5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu
pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk mengembangkan
keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan,
selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan
kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan
sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan.5
Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketum PBNU
saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat,
karena disamping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-ormas untuk
mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional,6
juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam
sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam
kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika
sosial, dimana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan
5 Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5 6 Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan Politik: sebuah Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 57
7
kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular didalam struktur hukum
nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata
terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik
internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan
dengan dilema Islam dan modernitas.
Penerimaan Gus Dur atas nama Nahdlatul Ulama (NU) memang bersifat
historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk
negara-bangsa, yang mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur
kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah
aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.
Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan
watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al-
Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-
sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin
kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen
historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang
hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan
kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya
umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga
sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang
dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda,
maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan
kemerdekaan pada Oktober 1945.
Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-bangsa,
menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum
muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi
penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal
yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga
negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola
yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup
8
kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam
batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.
Dalam kaitan inilah, Gus Dur kemudian menggambarkan modal besar dari
sistem keagamaan NU yang membuatnya moderat dalam berhubungan dengan
negara-bangsa. Sistem keagamaan ini merujuk pada kesatuan antara tiga komponen
utama Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dalam berfiqh, muslim NU tidak
hanya mengembangkan produk hukum agama yang diambil dari literatur fiqh
dalam sekala massif, namun juga cara-cara menyusun pemikiran hukum (legal
maxim, qawa’idul fiqh), guna menentukan bentuk akhir keputusan hukum, jika latar
belakang masalahnya tengah mengalami perubahan.
Disinilah dinamika pengambilan hukum Islam menjadi dinamis, karena NU
mampu merumuskan kembali setiap permasalahan hukum berdasarkan perubahan
konteks masyarakat. Pemikiran metodologis hukum agama ini kemudian diberi
bobot spiritualitas melalui tasawuf dalam pengamalan ajaran agama sehari-hari,
melalui rangkaian ritual yang memungkinkan penyiraman jiwa, yang berfungsi
memperdalam bobot kearifan spiritual, sebagai pendalaman bagi kecenderungan
legal formalistik dari corak keagamaan serba fiqh. Dari ketaatan terhadap hukum
agama, dibarengi dengan pengamalan ajaran agama secara sufistik ini, maka muslim
NU kemudian memiliki bobot ketauhidan yang kuat, sehingga agama mampu
membentuk pandangan dunia yang bulat dan utuh, baik dalam lanskap duniawi
maupun ukhrawi.
Dari sistem keagamaan fiqh-sufistik inilah, NU kemudian merumuskan
hubungan moderat antara Islam dan negara modern, sehingga pada satu titik, Islam
tidak kehilangan relevansi bagi kehidupan kekinian, sekaligus Islam tidak
kehilangan dirinya dalam struktur kebudayaan sekular yang dibawa oleh
modernitas tersebut. Elaborasi Gus Dur:
Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang
membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang
asas Pancasila dalam kehidupan organisasi. Dalam pandangan fiqh asas
Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan
negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama
9
sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama
ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan
berorganisasi yang bersangkutan.
Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh,
NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah
negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan, pandangan serba fiqh itu
juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan.. Namun, itu
tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendali
keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan
pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqh.. seperti kaidah
“kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat”
(tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah).7
Dengan menggunakan fiqh sebagai tolok ukur keabsahan negara, maka NU
kemudian tidak mempermasalahkan bentuk formal pemerintahan, selama perilaku
kelembagaan negara masih sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh fiqh.
Dari sinilah muncul kritik partikular atas penyimpangan yang dilakukan oleh sub-
sistem atau pemegang kekuasaan, tidak kemudian menjadikan NU menolak secara
total bentuk pemerintahan, melainkan memperbaikinya secara kasuistik dan
gradual.
Pemikiran kenegaraan (Islam) Gus Dur ini, memang terkait dengan situasi
politik pembangunan yang digerakkan oleh Orde Baru, di mana Gus Dur harus
cerdas menempatkan diri. Satu situasi yang merujuk pada sekularisasi di satu sisi,
dan kebangkitan Islam di sisi lain, yang pada akhir pemerintahan Soeharto malah
diberi angin. Tentu, Gus Dur tidak gamang, dan dengan sigap melakukan
rekonstruksi hubungan antara Islam dan negara, yang pada saat itu menjelma titik
tengkar.
Titik tengkar ini mengacu pada pertanyaan: haruskah Islam menolak Pancasila,
karena ideologi ini bersifat “tidak Islami”? Tanya ini kemudian menciptakan
pembelahan pemaknaan atas hubungan Islam dan politik. Satu pihak, Islam
dipandang sebagai political, dimana arti kejayaannya disematkan dalam totalitas 7 Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 157-159
10
sistemik, melalui pendaulatan syari’at sebagai konstitusi negara. Lahirlah Piagam
Jakarta yang diharapkan menjadi payung konstitusional bagi penerapan hukum
Islam di semua lini kehidupan publik. Sementara itu di pihak lain, Islam tidak
dimaknai sebagai “yang politik”, tetapi lebih kepada “yang kultural”. Pemaknaan ini
berdampak pada posisi politik Islam, yang tidak harus menjelma supra-struktur
negara, tetapi sub-struktur dalam bangunan tubuh negara-bangsa.
Gus Dur masuk dalam gerbong ini. Yakni, dalam penempatan Islam yang
mengacu pada dua hal. Pertama, pemosisian hukum Islam kedalam sub-sistem
hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh kaidah fiqh: ma laa yudraku kulluhu laa yutraku
julluhu (apa yang tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya).
Bagi Islam (Sunni), jika konstitusi negara tidak bisa berdasarkan Islam, mengingat
pluralitas bangsa, maka penanganan persoalan mu’amalah haruslah tetap ditangani
oleh hukum Islam. Dari sini keberadaan Kementarian Agama dan Peradilan Agama
menjadi penting demi menjaga otoritas fiqh agar tetap dipegang oleh para ulama.
Tentu posisi minimalis ini tidak berhenti dengan sendirinya, karena setelah hukum
Islam terposisikan dalam sub-struktur negara, ia kemudian digerakkan sebagai etik
sosial pada ranah masyarakat, juga negara. Gus Dur mendefinisikan etik sosial ini
sebagai fungsi komplementer dari Islam, dimana agama memiliki kewajiban untuk
menyempurnaan tata politik.8 Dalam praktik, proses penyempurnaan ini kemudian
melahirkan etos kritik, di mana Islam mampu menyediakan alternatif dari
pembangunan, jika arah kebijakan negara, dirasa menyimpang dari nilai-nilai dasar
yang dianut oleh Islam.
Dalam kaitan inilah, praktik pembangunan bahkan telah melahirkan, apa yang
disebut Gus Dur sebagai penanganan non-religius atas kehidupan beragama.
Artinya, apa yang dimaksud pemerintah dengan pengaturan kehidupan beragama,
ternyata hanya bersifat artifisial, institusionalis, dan event oriented, daripada
penelaahan problem fundamental umat beragama.9 Hal ini digerakkan melalui
pemberian dana bagi perayaan keagamaan serta pembentukan birokrasi agama,
yang bahkan telah menjebak keberislaman formalistik. Kecenderungan ini lahir dari
8 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9 9 Abdurrahman Wahid, Pergumulan Islam dengan Masalah-masalah Pembangunan, dalam Muslim Ditengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 90
11
paradigma pembangunanisme, yang menempatkan agama, sebagai satu unsur sosial
yang harus memperkuat kebijakan ekonomi negara. Inilah yang terjadi, dan
menempatkan Islam, jika tidak sebagai “ekstrim kanan” yang tersanding dengan
“ekstrim kiri”, maka posisi Islam yang hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Dua
posisi sama sulit, karena pembangunan yang mensyaratkan konflik, dan oleh
karenanya wajib meminggirkan Islam ideologis, dengan satu usaha politisasi Islam
non-politik, yang telah mencerabut agama ini dari fungsi vitalnya.
Penobatan Islam sebagai legitimasi pembangunan tersebut dilakukan
pemerintah dalam dua fase, jika merujuk pada pergulatan Gus Dur. Fase pertama
merujuk pada revisi pandangan modernis negara atas tradisi pesantren, di mana
pembangunan sudah tak lagi menempatkan tradisi ini sebagai penghambat
modernisasi, tetapi sebaliknya, ia dilihat sebagai basis budaya, tempat pemerintah
mensosialisasikan agenda pembangunan. Pendekatan ini memang bersifat
instrumentalis, karena hanya melihat pesantren sebagai alat, dikarenakan watak
kulturalnya yang mengakar dengan masyarakat.10 Dengan modal budaya kuat,
yakni kemenyatuan tradisi Islam dan lokalitas, ditambah patronase perlindungan
kyai atas warga sekitar, pesantren dilihat mampu menjadi ruang komunikasi yang
efektif, dimana peran kyai sebagai komunikator budaya, akan mampu menjembatani
pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi kebijakan pembangunan.
Inilah yang dikritik Gus Dur, karena alih-alih pemerintah bisa, dan berempati
dengan tata nilai pesantren, pendekatan instrumentalis ini hanya menempatkan
pesantren secara pragmatis, minus kesadaran nilai.11 Ketiadaan kesadaran inilah
yang dikritik Gus Dur, sehingga ia kemudian mewacanakan sub-kultur pesantren,
sebagai usaha untuk menggambarkan sistem nilai muslim tradisional tersebut.
Bentuk sub-kultur inilah yang menempatkan pesantren sebagai sub-budaya nan
unik (dan karenanya pemerintah harus hati-hati), tetapi sekaligus mampu
mempengaruhi sistem secara keseluruhan, dan oleh karena itu, ia tidak hanya
berperan sebagai “corong kebijakan”, namun bahkan mampu melakukan koreksi
10 MM. Billah, Dari Paradigma instrumentalistis ke Paradigma Alternatif, Jurnal Pesantren, No. 3/Vol. V/1988, Jakarta: P3M, h., 10-14 11 Abdurrahman Wahid, Culture Oriented Development Policies and Programs; the Case of Pesantren in Indonesia, makalah dalam International Conference on Interactions of Development and Culture: from Dilemmas to Oppoetunities, oleh Fredrich Naumann Foundation dan International University Foundation, Bonn, 29 Juni-3 Juli 1987, h., 4
12
atas pembangunan. Dari sini Gus Dur kemudian menggerakkan pengembangan
masyarakat melalui pesantren, salah satunya dengan mendirikan P3M. Melalui
gerak ini, Gus Dur dan kalangan NU menggali potensi sosio-ekonomi masyarakat,
sehingga ketergantungan atas pembangunan negara bisa diminimalisir.
Fase kedua penggunaan Islam sebagai legitimasi terjadi ketika negara
mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang oleh Gus Dur
dilihat sebagai penodaan komitmen awal terhadap demokrasi. Hal ini terjadi, dan
dikritik Gus Dur, karena “kemesraan” NU dengan negara terjadi, ketika pemerintah
sepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekslusifitas Islam.12 Ini yang melahirkan
dekonfessionalisme Islam: ruang publik dinetralisir dari kecenderungan sektarian
agama yang tentunya akan menjebak penanganan politik dalam segregasi kelompok.
Sayang, komitmen awal ini telah ternoda, dan pemerintah dengan sengaja
memediasi birokratisasi Islam, dengan mengakomodir kecenderungan islamisasi
baik ranah ritual kenegaraan, pengatahuan, dan ruang politik.
Satu hal yang dikhawatirkan Gus Dur, karena pendirian ICMI berarti
pemberian political opportunity atas ekslusifitas Islam, yang bahkan Gus Dur
nisbatkan pada geliat Aljazaer, dimana kaum fundamentalis bergolak.13 ICMI
menurut Gus Dur akan menyemai benih Islamisme politik, di mana kepentingan
demokratisasi pada aras kebangsaan, akan direbut oleh kepentingan golongan
Islamis. Ini tentu langkah mundur, karena sejak awal pembangunan, bentuk politik
sekular sebetulnya ideal, karena melakukan minimalisasi atas potensi ideologis dari
gerakan Islam. Ruang publik yang netral ini, pada dekade 1990 telah dikacaukan lagi
oleh Soeharto, yang memang pada saat itu telah kehilangan sebagian basis politik
militernya, dan oleh karena itu membutuhkan perangkulan massa Islam, demi
kelangsungan kekuasaan.
Dalam kaitan inilah, pemikiran Islam Gus Dur berusaha melakukan
penyaringan, counter discourse, dan penjelasan kesejarahan atas bangunan Islam di
12 Douglas E. Ramage, Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid, dalam Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Greg Barton, Greg Fealy (ed), Australia: Monash ASIA Institute, 1996, h., 235 13 Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin 9 Atchison Street, 1999, h., 186-187
13
14
Indonesia, yang tidak selalu besifat legitimatif. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui
rekonstruksi metode pemikiran (hukum) Islam, untuk menggali potensi
transformatif, agar Islam bisa kompatibel dengan perubahan sosial yang terjadi.
Tentu harus ada kompromi, semisal akomodasi Islam terhadap ideologi negara,
dengan catatan, masing pihak mampu memberikan kontribusi berdasar kesamaan
nilai universal, seperti nilai-nilai yang Gus Dur tarik dari titik sama antara Islam dan
Pancasila:
Pancasila harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan
prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut oleh Islam.
Pancasila harus mengembangkan wawasan yang demokratis, menganut
faham perlakuan sama dimuka undang-undang dan memperjuangkan
keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak
kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara
tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan
berserikat. Itulah kunci diperoleh lima buah jaminan dasar yang
diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar atas
keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik
pribadi, dan keselamatan profesi. 14
Hal inilah yang dilakukan Gus Dur, yakni mengangkat perbedaan partikular
kepada persamaan cita-cita universal, yakni kemanusiaan dan keadilan. Struktur
politik demokratis kemudian menjadi syarat utama, di mana Islam harus melakukan
rekonstruksi atas bangunan doktrinalnya, jika ia ingin menggerakkan perubahan
masyarakat. Inilah letak pemikiran Islam beliau, karena tanpa pembenahan ke
dalam, Islam bahkan sering dijadikan penghambat bagi demokratisasi. Tetapi juga
sebaliknya, tanpa orientasi demokratis, pembenahan dalam tubuh Islam, hanya akan
menciptakan konflik internal umat Islam, karena masing pihak terjebak dalam klaim
kebenaran penafsirannya.
14 Wahid, Islam, Ideologi,dan Etos Nasional sumber tak terlacak, h., 3
Bab 05 Gus Dur dan Syari’at Islam
Dalam pergulatan syari’at Islam, sering terlihat bahwa Gus Dur cenderung
menentang hal tersebut. Syari’at Islam yang oleh sebagian pihak harus dilegalkan
melalui peraturan negara, bagi Gus Dur merupakan tindakan ngoyo-woro, karena
pada level tindakan, ia sudah dipraktikkan pada ranah budaya.
Ini yang menandai perbedaan pendekatan, antara dakwah institusionalis
versus dakwah budaya. Pada poin dakwah pertama, Islam harus diinstitusionalkan,
karena kelompok ini memahami kejayaan Islam berada dalam aktivitas politik.
Lahirlah pandangan “islamisasi dari atas”, dimana untuk mengislamkan
masyarakat, maka struktur pemerintahan harus di Islamkan terlebih dahulu. Hal
berbeda dengan poin dua, yang lebih mendekati Islam dari bawah. Yakni sebuah
gerak budaya yang berangkat dari kemenjadian manifestasi Islam, baik melalui
akulturasi dengan tradisi lokal, maupun akomodasi hukum Islam dengan hukum
adat. Pendekatan ini percaya bahwa Islam terutama adalah budaya, dan bukan
politik. Kenapa? Karena agama adalah persoalan keyakinan, dan keyakinan adalah
persoalan kesadaran. Memaksa kesadaran dengan “pentung politik” hanya akan
membuahkan represi, atau politisasi, sehingga praktik keberagamaan tidak murni
lahir dari kesadaran batiniyah tetapi lebih kepada luapan politik atau bahkan
ideologi.
Apa yang diperjuangkan Gus Dur, ketika beliau menentang formalisasi syari’at
adalah sebuah ajakan kepada umat Islam, untuk lebih memikirkan kepentingan dan
kebutuhan real masyarakat, semisal ketidakadilan ekonomi, kecurangan hukum,
keterbelakangan pendidikan, dsb yang akan terpinggirkan oleh agenda simbolis
penerapan fiqh dalam undang-undang yang sebenarnya merupakan dagangan dan
kerjaan sebagian elite muslim, tanpa melakukan klarifikasi secara massal, apakah
benar segenap umat muslim Indonesia membutuhkan hal itu, sebagai kebutuhan
nyata sehari-hari kehidupannya?
1
Pada titik ini, Gus Dur memang sering membuat emosi keagamaan sebagian
(gerakan) muslim, meluap untuk kemudian ditembakkan kearah kontroversi yang
diciptakan beliau. Kontroversi? Sebenarnya tidak juga, karena apa yang dilontarkan
Gus Dur berangkat dari landasan pemikiran dan kaidah agama yang kuat. Misalnya
pada tahun 1989, ketika Gus Dur memperbolehkan penggantian assalamu’alaikum
sebagai salam komunikasi, dengan kalimat “selamat pagi..” dikarenakan pandangan
dinamis demi lancarnya hubungan sesama manusia, khususnya untuk
menjembatani perbedaan dengan non-muslim. Jadi yang diganti bukan salam di
sholat, tetapi hanya dalam pergaulan. Demikian juga ketika gagasan pribumisasi Islam
diluncurkan, yang merupakan mekanisme fiqhiyah untuk mengakomodasi adat oleh
syari’at, dilandasi oleh kaidah pembuatan hukum (qawaidul fiqh) dimana adat bisa
dijadikan landasan hukum (al-‘adah al-muhakkamah).1 Hal ini terkait dengan
kebutuhan akan Islam Indonesia yang harus melepaskan diri dari “penjajahan
budaya” Arabisme, dimana kekayaan adat hendak dihancurkan oleh simbol-simbol
budaya Arab.
Simbolisasi inilah yang melahirkan formalisasi, dimana bukan hanya syari’at
harus dilembagakan dalam undang-undang negara, melainkan pengotakan mana
“yang Islam” dan mana yang bukan bagian dari Islam. Fakta kemudian
menggambarkan penciutan makna Islam hanya sebatas literalisme ayat al-Qur’an
dan fiqh sebagai produk hukum, yang tidak dikontekstualisasi dalam rentang waktu
serta ruang yang berbeda. Ketika Gus Dur membela Ahmadiyah dan pluralisme dari
fatwa haram MUI, maka Gus Dur berpijak dari “bumi” Indonesia yang bukan
Negara Islam, sehingga berbagai kelompok keyakinan telah dijaga oleh konstitusi
berdasarkan kesadaran pluralitas yang tinggi. Gus Dur secara individu (teologis)
juga melihat Ahmadiyah bukan bagian dari kelompok Islam yang disahkan oleh
ortodoksi hukum, tetapi sebagai bagian dari kemajemukan bangsa, maka Gus Dur
membela hak kelompok (minoritas) tersebut, karena keberadaan mereka telah di
akui oleh legitimitas negara.
Kasus serupa layaknya yang terjadi pada saat ini adalah pembelaan Gus Dur
terhadap ancaman pembredelan tabloid Monitor awal 1990, dikarenakan Arswendo
1 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 117
2
Atmowiloto (cerpenis Kristen) membuat angket asal-asalan tentang tokoh terpopuler
menurut masyarakat, yang ternyata menempatkan Nabi Muhammad pada posisi ke-
11, jauh dibawah Soeharto yang menempati posisi pertama. Hal ini kontan membuat
sebagian umat Islam mengecam pemihakan tersebut, karena Gus Dur dianggap
malah mendukung kelompok Katolik yang ada dibelakang Monitor. Gus Dur sendiri
bukannya tidak marah, tetapi beliau berpikir bahwa Nabi tidak akan terendahkan
hanya karena angket semacam itu. “Setiap hari, satu miliar manusia mengucap
shalawat kepada Nabi”, tegasnya.
Pada kasus Monitor, permasalahannya sederhana saja: kesembronoan dan
kepekaan berlebihan. Kesembronoan dilakukan oleh tabloid Monitor, yang
melakukan polling pendapat tanpa memikirkan akibatnya. Kepekaan berlebihan
datang dari umat, dalam hal ini kebetulan umat Islam. Akibat dari angket sembrono
ini adalah munculnya ranking tidak menguntungkan bagi Nabi Muhammad Saw.
Namun bagi Gus Dur, hal ini sebenarnya hanya kesembronoan dari sebuah tabloid,
yang seharusnya tidak ditanggapi secara emosional oleh umat Islam. Apalagi ketika
penyelesaiannya kemudian berakibat fatal, yakni pembredelan tabloid Monitor oleh
pemerintah berdasarkan tuntutan sebagian gerakan Islam. Hal ini tentu satu noda
yang sangat tragis dan membahayakan masa depan demokrasi, karena emosi politik
dari gerak keagamaan telah “berselingkuh” dengan negara, yang melahirkan
otoritarianisme kekuasaan.2 Melalui kasus ini, sebagian gerakan Islam kanan hendak
membanting arah politik, melalui pembuktian bahwa Soeharto merupakan “pembela
Islam” serta pelawan kaum non-muslim.3 Inilah yang disayangkan Gus Dur, karena
bangunan demokratisasi yang memiliki posisi lebih penting, ternyata tergerus oleh
emosi sesaat umat beragama, padahal bangunan itulah yang dalam jangka panjang
akan melindungi masyarakat dari diktatorisme negara.
Pertanyaan yang muncul, kenapa Gus Dur melawan tuntutan pembredelan
yang merupakan aspirasi sebagian kelompok Islam? Bukankah ini merupakan bukti
bahwa Ketua PBNU (saat itu) tersebut tidak merasakan “sakit hati” umat Islam?
Persoalannya adalah, umat Islam yang mana, dan Islam menurut siapa? Inilah yang
menjadi titik perbedaan sekaligus titik berangkat, karena sebagai pemimpin jama’ah 2 Abdurrahman Wahid, “Ta’ziah” untuk Monitor, sumber tak terlacak 3 Lihat Robert W. Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI-TAF, 2001, h., 273-276
3
Islam (terbesar) moderat di Indonesia, Gus Dur harus tetap menjaga keharmonisan
hubungan antar-agama, ditengah gejolak ekslusifitas beragama yang hanya
mementingkan golongan yang sebenarnya minoritas. Minoritas dalam arti, bahwa
sebagian umat muslim tidak selalu bersikap reaksioner ketika bagian dari
keyakinannya terusik, karena terdapat pertimbangan yang lebih matang, semisal
kebutuhan untuk tidak menciptakan konflik antar-agama.
Ekslusifitas agama, dimana penafsiran terhadap Islam sudah dirasuki oleh
kepentingan politik tertentu, sungguh mengusik Gus Dur karena hal tersebut akan
mengancam sendi utama kehidupan berbangsa, yang tidak harus kembali pada
trauma pertarungan ideologi era Orde Lama, tetapi sudah harus berpikir untuk
bekerja bersama demi memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Hal inilah yang
membuat Gus Dur menolak untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI), karena organ yang didirikan oleh “negara Soeharto” pada 1
Oktober 1991 ini, hanya ingin memanfaatkan peluang negara untuk mengegoalkan
agenda islamisasi yang berangkat dari keyakinan serta kepentingan segolongan
komunitas Islam.4 Islamisasi ditentang Gus Dur karena hanya menyentuh pada
perwujudan simbol-simbol agama tanpa masuk dalam substansi permasalahan
rakyat seperti ketidakdilan ekonomi, diktatorisme politik, keterbelakangan
pendidikan, pengangguran, dsb. Terlebih ketika sektarisnisme tersebut kemudian
semakin memperuncing titik perbedaan bahkan dengan sesama muslim, yang
akhirnya menimbulkan benturan antarkeyakinan beragama.
Hal yang sama terjadi pada pembelaan Gus Dur atas penulis buku Satanic
Verses : Salman Rushdie pada tahun 1987, yang telah di fatwa mati in absentia oleh
pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khomeini. Buku ini juga melukai hati umat Islam
karena didalamnya memuat penghujatan terhadap Nabi Muhammad beserta
keluarganya, sehingga segenap muslim melakukan protes dan mengutuk buku
tersebut. Gus Dur berbalik arah, dengan menyatakan bahwa umat Islam boleh
membaca buku itu sampai habis, dan sang penulis tidak perlu dihukum mati. Gus
Dur berpandangan, mungkin saja orang lalu bisa murtad setelah membaca buku itu,
4 Lihat Douglas E. Ramage, Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton, Greg Fealy (ed), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Australia: Monash ASIA Institute, 1996, h., 230
4
tetapi bukan salah bukunya, melainkan pada dasarnya orang tersebut memang
berpotensi untuk murtad. Hukuman buat Rushdie? “Kita serahkan kepada Allah”.
Gus Dur sendiri pada titik ini sebenarnya menyayangkan sikap umat muslim
yang begitu mudah tersulut emosi keagamaannya, tanpa memiliki kehendak untuk
memahami lebih dalam permasalahan yang sebenarnya kompleks. Tutur beliau:
Dari kasus novel Ayat-Ayat Setan itu lalu menjadi jelas bagi kita,
bahwa kepekaan orang Islam memang sangat tinggi, kalau ada sesuatu
mengenai keyakinan mereka. Emosi tampaknya adalah “ukuran
dominan” bagi mereka, termasuk yang paling terpelajar dan selama ini
berpretensi “menjunjung kebebasan” sekalipun.
Atas pertanyaan mereka, “dapatkah atas nama kebebasan
dibenarkan penghinaan terhadap Islam”, sebenarnya dapat diberikan
jawaban: justru inti kebebasan berpendapat adalah sikap
mempertahankan hak berbicara paling gila sekalipun. Kalau ukuran itu
tidak digunakan, pada analisa terakhir Islam memang tidak menerima
kebebasan berpendapat sebagai sebuah prinsip. Dan bisakah demokrasi
benar-benar tegak dalam lingkup tatanan pemikiran seperti itu?
Sebab dari kepekaan sangat tinggi itu adalah perbenturan antara
nilai-nilai normatif yang dianut kaum muslimin, dan pandangan hidup
serba pragmatik yang dikembangkan oleh peradaban Barat. Jadi
kemelut yang terjadi sebenarnya adalah kelanjutan kisah dialog Islam
dan Barat yang sudah berlangsung berabad-abad dan belum tampak
akan selesai. Pandangan hidup serba normatif, yang muncul dalam
kecenderungan legal-formalistik sangat kuat di kalangan luas kaum
muslimin, berbenturan dengan pandangan pragmatik yang bersumber
pada pendekatan empirik yang masih dangkal.
Dari kasus Ayat-Ayat Setan harus ditarik hikmah adanya sisi
lemah dari budaya Barat. Tiadanya mekanisme kontrol sosial di luar
pengadilan, untuk mencegah penghinaan kepada keyakinan (dan
5
kebenaran agama). Namun, adanya sisi lemah itu justru harus
mendorong dialog lebih jauh, yang menggunakan penalaran, tentunya.
Dari dialog itulah budaya Barat akan mengembangkan mekanisme
kontrol sosial terhadap moral dalam jangka panjang. 5
Dari uraian ini jelas, bahwa hal yang dikritik Gus Dur bukanlah Islam itu
sendiri, yang terkonstruk dalam tindak kekerasan. Gus Dur dalam hal ini jelas
melakukan kritik atas dua sikap sekaligus: budaya Barat yang tidak memiliki
mekanisme kontrol atas praktik penghinaan agama, layaknya kasus Ayat-Ayat Setan
Salman Rushdie. Atas nama kebebasan, Barat kemudian membiarkan saja
penghinaan terhadap keyakinan agama, yang tentunya akan menyakiti emosi
keagamaan umat muslim. Namun sikap reaksioner dari emosi keagamaan ini juga
dikritik Gus Dur, karena ia bahkan memperlihatkan kelemahan diri, serta
ketidakmampuan melihat suatu hal dengan jernih. Jika umat Islam tersulut
emosinya, maka Barat akan tertawa, sebab nyatalah klaim mereka selama ini, bahwa
umat Islam adalah umat terbelakang yang belum mampu berpikir secara rasional,
tetapi emosional. Hanya saja, kehendak Gus Dur untuk mendudukkan persoalan
secara proporsional tersebut, tidak bisa dipahami sebagian muslim, sehingga seolah-
olah Ia dimasukkan kedalam pembela peradaban Barat yang hendak
menghancurkan Islam.
Hal yang sama juga terjadi pada fatwa haram atas diri Gus Dur yang
dilancarkan oleh seorang muballigh Kernolong, Jakarta, yakni Habib Jamalullail.
Pasalnya, sebagai Ketua PBNU, Gus Dur telah membuka Malam Puisi Yesus Kristus
yang diadakan umat Kristen di Jakarta, guna mengisi seremoni peringatan kelahiran
Yesus. Kata Gus Dur, malam puisi tersebut bukan acara ibadah. Bahkan seorang
muslim yang masuk gereja ketika penghuninya sedang beribadah, tidak haram. Asal
saja, muslim itu tidak ada kaitannya dengan peribadatan tadi. Tak kurang dari tujuh
kali Gus Dur menjelaskan sikapnya, hingga Habib Jamalullail berkirim surat, minta
agar polemik diakhiri.6
5 Lihat Abdurrahman Wahid, Hikmah Kasus “Ayat-Ayat Setan”, sumber tak terlacak, h., 1-3 6 Assalamu’alaikum-Monitor, majalah Editor, No 15/Thn. IV/22 Desember 1990
6
Tidak berhenti sampai disini. Pada era reformasi, isu kristenisasi Gus Dur
mencuat lagi, melalui fitnah bahwa Gus Dur telah di baptis ketika menghadiri
sebuah perayaan umat Kristen. Kontan Gus Dur menangkis fitnah tersebut, dan
kemudian menuding bahwa hal itu merupakan politisasi menjelang pemilihan
umum oleh beberapa aktor partai politik yang hendak menjatuhkannya. Hal ini
melengkapi tuduhan serupa, ketika sebagai Presiden ke-4 RI, Gus Dur mengucapkan
assalamu’alaikum pada umat Kristen dan menyatakan bahwa jika umat Islam
konsisten dengan tradisi Maulud Nabi Muhammad, maka seharusnya mereka juga
menghormati perayaan Natal yang merupakan perayaan kelahiran Nabi Isa.
Fitnahpun bertubi-tubi, dengan satu tuduhan bahwa Gus Dur telah menyamakan
antara Islam dengan Kristen, yang menurut teologi memang diharamkan.7 Padahal
berbagai pernyataan tersebut lahir dari posisi Gus Dur sebagai seorang presiden
yang harus memperlebar ruang persamaan antara pemeluk agama, demi terjaganya
harmonisasi kehidupan bangsa. Tekanan yang hendak dinyatakan Gus Dur adalah,
sudah saatnya antar-umat beragama memperlebar jurang perbedaan, karena
pembangunan masyarakat membutuhkan kesatuan langkah, sehingga hal-hal yang
lebih bermanfaat bagi rakyat tidak terbengkalai, dan bahkan mengalami konflik
berdarah seperti yang terjadi dibeberapa daerah rawan konflik.
Kepentingan Negara
Dari segenap gelaran diatas, maka yang digelisahkan Gus Dur adalah satu,
yakni penjadian agama sebagai politik. Hal ini telah berakibat pada terbentuknya
sektarianisme kelompok yang memaksakan klaim kebenarannya atas kelompok lain.
Sementara disisi lain, agama kemudian menjelma negara, dengan satu politisasi,
yang bahkan menguntungkan negara dan meminggirkan potensi umat Islam. Hal ini
terjadi dengan jihad penerapan syari’at pada level negara. Memang dalam diskursus
syari’at Islam, orientasi legalitas politik tidak melulu mengacu kepada
otoritarianisme negara yang menancapkan hegemoninya, katakanlah melalui
penegakan syari’at Islam. Dalam perjalanannya, kita malah menemukan hal
sebaliknya, yakni terjadinya tuntutan penegakan syari’at, dikarenakan negara tidak
mengakomodir dan bahkan meminggirkannya, dengan satu pertimbangan ideologis.
Hanya saja, “dalam diri” gelora penegakan syari’at tersebut sebenarnya telah
menjelma satu paradigma sarwa negara, yang menjadikan eksistensi negara sebagai 7 Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Jakarta: Darul Falah, 2004, h., 62
7
causa prima keterpinggiran syari’at, dan oleh karenanya, syari’at harus menjelma
negara, dalam arti institusi politik yang memiliki otoritas hukum untuk
memaksakan jalannya ideologi keagamaan. Inilah “syari’at politik” itu yang tidak
mampu mengandaikan kemanfaatan syari’at selain dalam domain pengundang-
undangan institusi politik.
Sebelum beranjak kesana, terlebih dahulu kita akan mengelaborasi konsepsi
Gus Dur atas struktur inheren dalam syari’at serta posisi fungsionalnya dalam
masyarakat muslim. Hal ini urgen guna menemukan satu titik pergulatan maknawi
yang membuat muslim hingga sekarang masih menjadikan syari’at sebagai salah
satu pusat perdebatan pemikiran dan praktik politik Islam.
Secara konseptual Gus Dur memaknai syari’at atau hukum Islam, selain
mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang juridis, juga
meliputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan, etika dari cara bersopan-santun
hingga kepada spekulasi estetis dari para mistikus (mutasawwifin) yang terhalus,
soal-soal perdata urusan perorangan (perkawinan dan bagi waris) hingga urusan
perniagaan dan moneter, soal-soal pidana dari penetapan bukti dan saksi hingga
pada penetapan hukuman mati untuk suatu tindak pidana, soal-soal ketatanegaraan
dari penunjukan kepala pemerintah hingga pengaturan hubungan internasional
antara bangsa-bangsa muslim dan bangsa lain, serta seribu masalah lain yang
menyangkut keseluruhan aspek kehidupan. Karenanya, apa yang secara sederhana
disebut sebagai hukum Islam, sebenarnya lebih tepat dinamai keseluruhan tata
kehidupan dalam Islam: the science of all things, human and divine (pengetahuan
tentang semua hal, baik yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan).
Karena kedudukannya yang sedemikian memusat, syari’at tidak hanya turut
menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluk agama itu saja, tetapi
ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup yang dimaksud. Faktor-
faktor lain, seperti gerakan tasawuf dan sebagainya, harus mendapatkan keabsahan
legitimatif dari syari’at. Apakah ia dihalalkan atau diharamkan. Betapa banyak
aspek kehidupan yang disaring, ditolak dan kemudian dihancurkan oleh hukum
Islam, membuktikan dengan jelas betapa pentingnya kedudukan yang dipegangnya,
sebagai pemberi legitimasi.
8
Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian membagi tiga wilayah yang menjadi
“kekuasaan” hukum Islam hingga era sekarang. Pertama, turut menciptakan tata-
nilai yang mengatur kehidupan umat muslim, minimal dengan menetapkan apa
yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan
dan larangan agama. Keseluruhan pandangan hidup umat Islam ditentukan oleh
tanggapan masing-masing atas tata-nilai tersebut, yang pada gilirannya memberikan
pengaruh atas segi-segi pilihan kehidupan yang lain. Kedua, dengan melalui proses
yang berlangsung lama, banyak keputusan hukum dari hukum Islam telah diserap
dan menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Manifestasi dari penyerapan ini
antara lain dapat dilihat pada berlakunya hukum perkawinan dan waris Islam di
beberapa negara, termasuk Indonesia. Di Mesir, unsur-unsur hukum Islam diserap
hingga bahkan oleh hukum pidana dan hukum acara (murafa’at) modern. Ketiga,
dengan masih adanya golongan yang memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat
Islam, penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang
memiliki appeal cukup besar, dan dengan demikian ia menjadi bagian dari
manifestasi kenegaraan Islam yang masih harus ditegakkan dimasa depan, betapa
jauhnya pun masa depan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah.
Tetapi, kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata
sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, sebagai semacam fosilisasi
yang hampir selesai. Disana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi hampir
semua manifestasi praktisnya masih ada, hukum Islam mengalami proses irrelevansi
secara berangsur-angsur tetapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi,
diubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya
hampir secara keseluruhan diganti oleh hukum pidana modern. Tinggal soal-soal
ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam
kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan bergantung pada kemauan
perorangan muslim.
Hal ini diperparah dengan satu fakta bahwa kecenderungan memanifestasikan
hukum Islam telah terjebak dalam posisi “pos penjagaan” yang bersifat apologetik,
hanya menganjurkan pelarangan, serta tuntutan terhadap wujud masyarakat Islam
yang utopis, layaknya civitas Dei (kota Tuhan) yang hanya dihuni para malaikat.
9
Disisi lain, hukum Islam juga terjebak dalam ketercerabutan sejarah, sehingga
meskipun memiliki sejarah sendiri (tarikh al-tasyri’), ia tidak memasukkan diri
kedalam sejarah besar peradaban dunia yang terus berubah dan maju.8 Hukum,
dalam teori Islam klasik, adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan, sebuah sistem
yang disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh negara Islam,
menguasai dan tidak dikuasai oleh masyarakat Islam. Karena memisahkan diri dari
perkembangan sejarah inilah, hukum Islam mengalami kegagapan dalam
merumuskan sebuah tanggapan atas permasalahan yang timbul belakangan.
Pada level institusional, kecenderungan untuk memaksakan paradigma civitas
Dei syari’at ini, bahkan sejak berdirinya negara-bangsa Republik Indonesia telah
mengalami berbagai kekalahan struktural. Hal ini terjadi karena negara sekular
mampu menancapkan hegemoni, dimana aspirasi Islamisme, dipaksa untuk
mendekam dalam kesepakatan diam. Maka konsensus nasional bernama Pancasila,
yang menegasikan konstitusi Islam, sekaligus hukum Islam, hingga sekarang masih
dalam penolakan latent dan kaum Islamis tetap saja berusaha, jika tidak mampu
mengubah pada level supra-struktur, maka mikro-politik yang harus di-Islamkan,
salah satunya melalui syari’atisasi Peraturan Daerah. Inilah buah dari kekecewaan,
yang menurut Husein Umar, Ketua KISDI sekaligus Sekjen DDII, disebabkan oleh
pengkhianatan kaum nasionalis, khususnya Soekarno yang konon hendak
menjadikan Piagam Jakarta sebagai “jiwa UUD 45”. Namun, retorika Soekarno pada
momen Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, dirasa manipulatif dan hanya ingin
“memeti-eskan” syari’at Islam dalam eufimisme politik yang tiada nyata jluntrung-
nya.
Dari sinilah lahir satu dialektika politik yang ambigu. Satu sisi, kaum Islamis
sebenarnya hanya menomorsatukan politik, dan menjadikan agama sebagai
legitimitas orientasi kekuasaan. Hal ini bisa kita baca dari argumen para pejuang
Piagam Jakarta yang menyatakan, bahwa termaktubnya “tujuh kata syari’at” dalam
UUD, adalah langkah bagi terciptanya payung konstitusional, sehingga aspirasi
politik mereka dapat terlindungi.
8 Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 38-47
10
Namun disisi lain, para “pembela Islam” tersebut tidak menyadari
kepentingan negara dalam pemberlakuan syari’at. Sayangnya, penolakan Islamis
terhadap akomodasi terbatas negara terhadap hukum Islam, tidak disertai oleh
kritisisme rasional, dengan mengedepankan prospek penegakan hukum secara
nasional, minus hegemoni negara. Tetapi bolak-balik berkutat dalam gelora
ideologis, sehingga solusi yang ditawarkan, bukan membatasi intervensi negara
dalam urusan agama, tetapi malah melakukan penambahan bobot sarwa-negara
dalam syari’at. Inilah nalar naïf-irrasional dari Islamisme. Yakni ketika sekularisasi
telah dilakukan negara dengan meminggirkan politik Islam, maka Islamisme,
melawan negara. Tetapi, bukannya mengeliminir “hawa jahat” totalitarianisme
negara yang mengobok-obok kehidupan beragama. Kaum Islamis malah hendak
memaksakan pelaksanaan kehidupan beragama, melalui “palu represif” negara.
Kritik ini memang mengena tepat pada jantung permasalahan formalisasi
Islam. Artinya, gelora penegakan agama melalui negara sudah terbentur oleh
penegasian terhadap kemurnian agama itu sendiri, karena normativisme berangkat
dari kebebasan untuk mencari serta menjalankan kebenaran. Sementara negara,
berangkat dari kewenangan politik yang memiliki hak sah untuk melakukan
pemaksaan legitimate. Posisi negara akhirnya “diatas” agama, karena ia berhak
menentukan satu unsur dalam ajaran agama mana, yang harus “disimpan”, dan
aturan mana yang bisa dikeluarkan. Inilah yang membahayakan, yakni bersatunya
otoritas politik dengan otoritas transendental, karena tiba-tiba saja para politisi-
birokrat berhak mengatasnamakan Tuhan dalam menerapkan aturan politiknya.
Dalam lekuk sejarah kita, hal ini pernah terjadi, yakni ketika Orde Baru pada
pertengahan pendulum rezimnya telah melakukan akomodasi terhadap beberapa
elemen syari’at, yang sayangnya tetap tidak bisa melegakan hati para pejuang
syari’at. Hal ini dikarenakan akomodasi negara masih bersifat terbatas, yakni pada
ruang hukum privat, berupa hukum Islam tentang keluarga, waris, pernikahan,
wakaf, serta beberapa pengaturan ibadah semisal haji dan zakat. Akomodasi atas
wilayah privat ini dirasa tidak mencukupi, dan memang dilihat sebagai kesengajaan
politik guna mengeliminir wilayah publik syari’at yang akan memungkinkan
terjadinya islamisasi baik masyarakat maupun negara. Syari’at publik tersebut
11
meliputi simbolisasi Islam (jilbab), pelaksanaan hukum pidana, serta islamisasi
konstitusi. 9
Dalam pelaksanaannya, Orde Baru sengaja meminggirkan ketiga macam
syari’at publik ini, dengan mengakomodir syari’at privat yang tidak memiliki
muatan ideologis. Adapun akomodasi structural atas hukum Islam tersebut
meliputi; UU No 1/1974 tentang Perkawinan, UU Pendidikan Nasional tahun 1989,
UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (1991),
diubahnya kebijakan jilbab di sekolah (1991), keputusan bersama tingkat menteri
berkenaan dengan Bazis (1991), dihapuskannya SDSB (1993), serta UU No 17/1999
tentang Pelaksanaan Haji dan UU No 38/1999 tentang Zakat.
Sebenarnya jika mengacu pada berbagai produk hukum diatas, syari’at bisa
dikatakan telah tegak, karena beberapa permasalahan yang diaturnya memang
permasalahan yang sudah diatur oleh fiqh. Hal inilah yang membuat organisasi
semisal NU menerima akomodasi terbatas tersebut, karena keilmuan fiqh telah
diberi ruang di dalam sistem hukum nasional. Dengan kata lain, penegakan syari’at
oleh pemerintah diruang terbatas, adalah penegakan yang realistis dan rasional
ditengah perubahan kebutuhan umat yang tidak seluruhnya bisa ditangani oleh
korpus klasik hukum Islam. Hanya saja, akomodasi tersebut tidaklah bebas
kepentingan. Tidak ada “makan siang” gratis dalam politik. Ia selalu bersifat
manipulatif dengan muatan kepentingan kekuasaan yang selalu lebih determinan.
Fakta ini bisa kita temukan, dalam sebuah konstruk sosio-politik Orde Baru yang
tengah menggerakkan perubahan masyarakat kearah “kemajuan”, dimana stabilitas
dan unifikasi politik menjadi pra-syarat utama, tak terkecuali legislasi hukum Islam.
Setidaknya ada beberapa kepentingan negara dalam hal ini. Pertama, ambisi
untuk menciptakan unifikasi sistem hukum nasional. Berangkat dari klaim
nasionalisme dan integrasi negara-bangsa, Orde Baru kemudian berhasrat
menyatukan partikularisme perbedaan sistem hukum menjadi satu kodifikasi
tunggal. Hal ini kemudian disahkan oleh GBHN 1973, 1978, 1983, dan 1988. Namun
ditengah jalan, ambisi penyatuan hukum ini kemudian “dilengkapi” oleh perlunya
akomodasi ekslusif atas sistem hukum tertentu untuk memenuhi kebutuhan khusus 9 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporery Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 179-182
12
sebuah masyarakat, dalam hal ini Islam. Jadi ada inkonsistensi disini. Satu sisi
negara hendak berdiri diatas berbagai perbedaan sistem hukum demi nasionalitas,
namun disisi lain, memberi ruang istimewa bagi pemenuhan hukum Islam, yang
tentunya menimbulkan complaint dari warga non-muslim. Kasus UU tentang
Peradilan Agama menjadi bukti. Pada satu titik negara telah merenggut pluralitas
praktik peradilan agama yang sebelum 1989, bebas dilaksanakan masyarakat secara
beragam.
Dititik lain, negara menorehkan rasa “warga nomor dua” di kalangan non-
muslim, karena yang disebut agama dalam peradilan agama, atau juga Departemen
Agama, ternyata tereduksi sebatas kebutuhan umat Islam. Demikian yang terjadi
dengan KHI, yang memang memiliki tujuan “menghapus perbedaan pengambilan
keputusan hukum untuk kepentingan keadilan sosial dan kepastian hukum”. KHI
secara de-facto telah mengebiri jaminan pluralitas sistem mazhab yang dijamin oleh
syari’at itu sendiri, meskipun ia tidak memiliki sanksi mengikat, karena hanya
berupa petunjuk pengambilan hukum bagi para hakim dalam peradilan agama.
Kedua, rekayasa budaya. Ini memang menjadi trade mark Orde Baru karena
sebagai sebuah rezim yang memiliki kepentingan politik ekonomi, lebih dominan
dibanding rezim sebelumnya, harus membutuhkan gerak politik lebih sinergik
dalam setiap lini. Rekayasa budaya berangkat dari kebutuhan pengondisian kultural
bagi mulusnya jalan pembangunan ekonomi, termasuk didalamnya, restrukturisasi
budaya agama, karena dalam masyarakat Dunia Ketiga, agama masih menjadi
sistem makna, baik sebagai sistem kognitif masyarakat untuk memaknai realitas,
maupun sebagai media politik penguasa untuk melakukan perubahan. Dalam kaitan
inilah UU Perkawinan menemu ruang. Yakni sebagai media stabilisasi populasi
penduduk agar kondusif bagi pemercepatan pembangunan ekonomi. UU
Perkawinan (dan juga program Keluarga Berencana) yang membatasi arbitrase
perceraian, poligami, serta perkawinan usia dini, ternyata berhasil mengontrol
pertumbuhan populasi penduduk, sehingga sesuai dengan pra-syarat bagi
modernisasi ekonomi.
Ketiga, pengungkapan simbolis bahwa Orde Baru akomodatif dan memenuhi
kebutuhan umat Islam. Ini merupakan strategi politik untuk memperkuat legitimasi,
13
Syari’at Gus Dur
Pada titik inilah, pendekatan kultural atas pelaksanaan syari’at, sesuai dengan
perjuangan Gus Dur, yang “menerapkan” syari’at bukan pada level negara, tetapi
pada ranah tindakan budaya. Maksud Gus Dur dalam hal ini adalah, jika pada level
struktural, persoalan hukum Islam di negara-bangsa, haruslah diawali dengan
pengembalian wewenang pembuatan hukum kepada konstitusi sah negara yang
berupa hukum nasional, karena struktur masyarakat Indonesia yang plural. Dalam
kaitan ini tidak berarti beliau anti terhadap syari’at, karena sejak kelahiran NU,
syari’at Islam bahkan telah ditegakkan dalam dua ranah kehidupan sekaligus.
Pertama, ketaatan moralitas fiqh dalam kehidupan sehari-hari, dimana setiap
perilaku muslim dibatasi oleh aturan yang termaktub dalam kekayaan literatur kitab
kuning.
Pada titik ini, ketaatan terhadap syari’at tersebut kemudian dilambari oleh
kedalaman penghayatan tasawuf akhlaqi milik al-Ghazali, sehingga disiplin legal
formal dari hukum Islam, tidak bersifat kaku dan dangkal, melainkan
ditindaklanjuti oleh sebuah perjalanan spiritual, yang membuat muslim pada satu
titik tegas ketika berhadapan dengan halal-haram, namun pada saat bersamaan juga
berperilaku sabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah, sehingga mampu
bersikap lembut, dan menghargai perbedaan antar-sesama. Penegakan syari’at Islam
10 Lihat Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia, dalam Jaringan Islam Liberal, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL-TAF, 2003, h., 63-71
14
pada level pertama inilah yang membuahkan kekayaan keilmuan Islam klasik di
pesantren, serta melahirkan ulama-ulama besar Nusantara.
Kedua, penegakan syari’at pada level perundang-undangan, sebagai bagian
dari sistem hukum nasional. Lahirlah Departemen Agama dan Kompilasi Hukum
Islam, yang secara sah merupakan “otoritas syari’at” guna melakukan pengaturan
terhadap beberapa unsur kehidupan muslim, agar sesuai dengan “aturan Islam”,
atau dalam hal ini fiqh.
Hal ini sesuai dengan pola politik Sunni, yang sebenarnya cenderung membuat
pemilahan antara otoritas politik (khalifah) dengan otoritas publik, yang diperankan
oleh ulama, terkhusus para faqih. Pemilahan ini berangkat dari kebutuhan tata dunia
bagi stabilitas tata ibadah (nizam al-dunya syarthu lin nizam al-din), sebagaimana
dinyatakan al-Ghazali. Dari sinilah kepemimpinan politik dibutuhkan, sebatas jika ia
mampu memperlancar pengaturan fiqh atas ruang publik muslim, karena yang
terpenting bagi kalangan Sunni adalah penerapan hukum Islam pada level
mu’amalah. Ini yang melahirkan waliyyul amri al-dlaruuri bi al-syaukah (pemimpin
darurat yang memiliki otoritas) pada era Soekarno, dimana para ulama nahdliyyin,
melakukan legitimasi fiqhiyyah atas pemerintahan RI, dengan target, teraturnya
pelaksanaan hukum Islam, khususnya tauliyah: pengangkatan wali hakim dalam
pernikahan perempuan yang tak memiliki wali sedarah.11
Jadi jelas, Gus Dur dan kyai NU juga memiliki keprihatinan untuk
menegakkan aturan Islam pada level pemerintahan. Hanya saja, karena didasari oleh
kesadaran akan struktur negara-bangsa yang telah memiliki konstitusi hukum
sendiri, maka penegakan tersebut tidak perlu bersifat menyeluruh layaknya dalam
Negara Islam, selain karena keterbatasan hukum Islam dalam menghadapi problem
masyarakat modern, juga kekhawatiran terciptanya konflik, seperti yang terjadi
dengan ketidaksetujuan umat non-muslim atas Piagam Jakarta. Tuturnya:
Dalam memahami hubungan antara agama dan negara itu lalu
menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan
11 Asep Taufik Akbar, Akar-akar Pergumulan Kelahiran Konsep Wali al-Amr al-Dlarury bi al-Syaukah, Tashwirul Afkar, Jakarta: Lakpesdam, h., 84-100
15
pesat dalam pemikiran keagamaan maupun kenegaraannya. Ideologi
negara Pancasila telah didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin,
yaitu menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum
muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak
dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak
diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara teoritik tidak
akan diberlakukan undang-undang maupun peraturan lain yang
bertentangan dengan ajaran agama di negeri ini.
Secara keseluruhan, Islam lalu berfungsi dalam kehidupan bangsa
dalam dua bentuk. Bentuk pertamanya adalah sebagai akhlaq
masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua
adalah partikel-partikel dirinya yang dapat dituangkan melalui proses
konsensus (Undang-undang 1/1974 tentang Perkawinan, UU Peradilan
Agama 7/1989, sebagai contoh). Dengan mengakui wewenang hukum
Islam untuk mengatur kehidupan warga negara, melalui ‘filter’ berupa
Hukum Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa lalu
terhindar dari orientasi sekular, seperti yang dikhawatirkan dapat
terjadi bila diikuti pendapat Ali Abrurraziq. Situasi seperti ini memang
tidak sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki
pelaksanaan ajaran Islam secara utuh sebagai produk legislatif formal,
atau dengan istilah lain menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum
Islam dalam kehidupan bernegara. Bagi pandangan ini, memang tidak
akan ada yang memuaskan selain berdirinya sebuah Negara Islam,
sedangkan dalam kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik
Indonesia. 12
Pada titik ini Gus Dur melakukan kritik atas pemikiran sekular Ali Abdurraziq.
Dalam hal ini, kritik Gus Dur merujuk pada langkah Abdurraziq yang
mengeyampingkan sisi normatif dari Islam, yang telah meletakkan demikian banyak
ketentuan terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum agama (fiqh).
12 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme Islam & Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (ed), edisi terbatas, 1991, h. 19-20
16
Dari fiqh ini lalu dikembangkan wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan
Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama syari’ah. Hanya saja menurut Gus
Dur, Abdurraziq kemudian melihat negara sebagai instrumen yang terpisah dari
hukum agama, dan dengan demikian secara praktis memperkenalkan gagasan
negara sekular. Dalam negara seperti ini, hukum agama tidak memperoleh tempat,
karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional. Islam dilepaskan dari
fungsi normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka, yakni sebagai dasar
negara, dan dengan demikian tidak memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum
yang bersifat langsung.
Demikian juga, meskipun Gus Dur menerima Pancasila sebagai landasan
konstitusional negara, namun beliau tetap memberikan catatan prasyarat bagi
ideologi negara tersebut. Catatan ini mengacu pada pengujian, apakah Pancasila
mampu atau tidak, mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang
di tuntut Islam, semisal berbagai nilai utama Islam, yakni keadilan (‘adalah),
persamaan (musawah), dan demokratisasi (syura). Dalam hal ini Pancasila harus
mengembangkan wawasan kehidupan demokratis, menganut paham perlakuan
sama di muka undang-undang, serta memperjuangkan keadilan. Pancasila harus
mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi peda pelaksanaan kedaulatan
hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan
berserikat. Inilah yang menurut Gus Dur merupakan kunci yang dapat
disumbangkan Islam kepada ideologi bangsa, Pancasila. Kunci ini diperoleh dari
lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat;
jaminan dasar akan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta
milik pribadi, dan keselamatan profesi.13
Pertanyaannya, kenapa beberapa pihak masih melihat Gus Dur, anti terhadap
penegakan syari’at Islam? Inilah persoalan perbedaan sudut pandang itu, yang lahir
dari perbedaan latar belakang dan orientasi keislaman. Bagi Gus Dur yang sejak
lahir telah bersentuhan dan “mengalami” syari’at, maka Islam dirasakan sebagai
sesuatu yang kultural, dimana ajaran Islam telah menjadi bagian dari tradisi
keseharian sehingga akhirnya membentuk identitas diri. Sementara itu, sebagian
13 Wahid, Islam, Ideolog, h., 18-20
17
muslim yang ngotot untuk menformalkan syari’at, memang cenderung
berlatarbelakang tekstual dalam memahami agama.
Artinya, Islam bagi muslim model ini, tidak (mau) diakulturasikan dengan
tradisi yang telah ada di masyarakat, semisal akulturasi antara (budaya) Islam
dengan (budaya) Hindu-Jawa. Konsekuensinya, Islam sebagaimana adanya di Arab,
tetap dipaksakan kedalam struktur kebudayaan muslim Indonesia yang nota bene
telah memiliki kesejarahan pra-Islam. Jadi, inti dari formalisasi syari’at sebenarnya
memiliki dua poin. Pertama, Arabisasi simbol-simbol budaya Islam, dimana tradisi
asli masyarakat Indonesia hendak diganti dengan tradisi muslim Arab. Lahirlah
penggantian sebutan kyai menjadi ustadz, arsitektur masjid bersusun tiga (meru)
menjadi masjid kubah, pengharaman tahlil, ziarah wali, hingga legalisasi jilbab
dengan menggunakan “polisi syari’at” atas “moral aurat” masyarakat Indonesia
yang tentu berbeda dengan Arab. Kedua, penggunaan produk hukum Islam, kepada
konteks masyarakat yang tentunya sudah berbeda dengan masyarakat klasik ketika
hukum tersebut dibuat. Pada titik inilah penguasaan Gus Dur atas kaidah
pembuatan hukum Islam (qawaidul fiqh), membuatnya mampu melakukan revisi
terhadap hukum Islam, guna mengakomodir perubahan konteks, sehingga tidak
secara taqlid memaksakan produk hukum, atas nama syari’at.
Kalau begitu, apakah memang benar, Gus Dur tidak membela Islam? Jika Islam
yang dimaksud adalah sebuah ideologi politik, dimana ia berambisi untuk
menguasai pada tataran institusi ataupun simbolisasi politik, maka benar, Gus Dur
tidak membela Islam model ini. Kenapa? Karena Islam yang telah berorientasi pada
“menguasai”, ia bukan agama lagi, tetapi sudah sebagai ideologi, yang
mensyaratkan (keharusan) adanya musuh, dan oleh karena itu, si musuh haruslah
dimusnahkan. Inilah embrio dari kekerasan yang dilakukan atas nama Islam. Non-
muslim dianggap kafir, lalu halal darahnya. Pluralisme dilihat sebagai penyamaan
semua agama, dimana sebagian muslim itu merasa terancam klaim “paling benar”
Islamnya, hingga berbagai pembrangusan budaya lokal, oleh Islam (Arab), karena
budaya yang “tidak serba Arab” tersebut, bukan dianggap sebagai bagian dari Islam.
Hal ini disebut Gus Dur sebagai “krisis identitas”, dimana perjuangan Islam
yang digerakkan bersifat “pinggiran”, tanpa menyentuh persoalan utama yang
18
didera oleh masyarakat. “Pinggiran” yang dimaksud adalah penegakan dan
pembelaan Islam pada tataran simbolis semisal pewajiban jilbab sebagai indikator
ketaatan syari’at, praktik ekonomi berdasarkan konsep Islam, atau pengharaman
hal-hal yang merupakan perbedaan furu’iyah diantara sesama umat muslim, dsb.
Gerakan Islam model ini mengklaim telah merasakan “kesakitan” Islam atas
dominasi kehidupan modern, sehingga pembelaanpun dialamatkan kepada “Islam”.
Pada titik ini, Gus Dur melihat fenomena diatas sebagai bagian dari
“kebangkitan Islam”. Hal ini merujuk pada pola responsi umat Islam dalam
menghadapi penetrasi budaya Barat, baik kultural maupun politik. Berbagai nilai
westernis semisal materialisme dan individualisme dianggap mengancam nilai-nilai
Islam. Individualisme mengancam konsep kesatuan umat, sementara materialisme
mengikis spiritualitas. Perbenturan nilai kemudian terjadi, yang sayangnya
menempatkan posisi muslim dalam sikap bertahan (defense mechanism). Artinya,
sebagian umat Islam model ini hanya melakukan penolakan atas nilai-nilai Barat,
guna menjaga otentisitas nilai Islam, sembari melakukan sikap pengagungan diri
terhadap sejarah masa lalu.14
Bagi Gus Dur, yang tidak mengalami “krisis identitas”, karena sejak awal
islamisasi Nusantara, Islam Indonesia telah mampu merasuk kedalam identitas
kebudayaan Hindu-Jawa, sehingga membentuk identitas muslim Indonesia,
persoalan utama dalam perjuangan Islam, bukanlah pembelaan terhadap Islam itu
sendiri, tetapi pembelaan atas keterbelakangan, dan keterpinggiran umat Islam, serta
manusia pada umumnya, berdasarkan kekuatan nilai-nilai utama (welstanchaung)
Islam. Nilai-nilai atau perjuangan utama Islam ini Gus Dur rumuskan dalam tiga
cita-cita besar, yakni keadilan, persamaan, dan demokrasi. Keadilan menyangkut
keseimbangan sosio-ekonomi yang mensyaratkan terciptanya distribusi ekonomi
secara merata, sehingga tidak hanya segelintir elite yang menikmatinya. Hal ini
dilakukan Gus Dur misalnya dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
saat menjabat Ketum PBNU tahun 1989, dengan target pemberian kredit pada usaha
kecil kerakyatan. Kalau dari sudut pandang yang sempit, pasti yang diperdebatkan
adalah haramnya bunga bank, namun karena mashlahah rakyat yang diutamakan,
maka perdebatan fiqhiyah itu diselesaikan dalam forum kajian hukum Islam (bahstul 14 Abdurrahman Wahid, Mengapa Mereka Marah, Tempo, 20 Juni 1981
19
masail), sehingga agenda distribusi ekonomi ke rakyat itu terus berjalan. Nilai
persamaan Gus Dur lihat sebagai konsekuensi dari bangunan kebangsaan yang telah
ada sejak nenek moyang, sehingga siapapun, baik muslim maupun non-muslim,
rakyat atau pejabat, harus mendapatkan perlindungan dan perlakuan adil di
hadapan hukum.
Sementara itu demokrasi mengacu pada proses demokratisasi, dimana
masyarakat bisa secara bebas mengekspresikan aspirasi dan menuntut haknya,
berhadapan dengan negara yang sering bersifat totaliter seperti era Orde Baru. Satu
hal yang penting dicatat disini adalah, bahwa meskipun nilai-nilai demokrasi,
persamaan, keadilan, atau pluralisme bukan khas milik Islam, tetapi milik
kemanusiaan secara universal, namun oleh Gus Dur, nilai-nilai tersebut tetap
dirujukkan pada kekayaan keilmuan Islam. Pada titik inilah Gus Dur kemudian
membedakan antara nilai Barat dengan nilai Islam, karena misalnya seorang muslim
sejati pasti anti-kapitalisme karena terdapat syari’at zakat. Sedangkan
kecenderungan teologi Kristen (Protestan) dalam masyarakat Barat telah dijadikan
spirit penggerak etos kapitalisme. Perjuangan demokrasinya pun tidak serta-merta
bisa dicap sebagai sekularisme, karena meski Gus Dur tidak setuju pada penyatuan
agama-negara, namun sejarah Orde Baru membuktikan, bahwa Gus Dur menjadikan
(gerakan) Islam (NU) untuk melawan hegemoni negara. Ini artinya, yang ditolak
Gus Dur adalah penyatuan din wa daulah karena sering menjebak pada manipulasi
agama demi politik.
Jadi terang disini, bahwa Gus Dur merupakan gerak pembela Islam. Namun
bukan Islam yang telah menjadi ideologi politik, karena politik Islam model ini
hanya membenturkan umat dalam pertikaian tak berkesudahan: saling caci, saling
mengklaim paling Islam, saling fatwa haram, hingga praktik pengeboman massal,
yang kesemuanya sangat ditentang oleh Islam. Islam selain menyediakan tahapan
syari’at, juga mewajibkan umatnya untuk masuk lebih dalam ke tataran hakikat dan
ma’rifat. Di sinilah unsur fiqhiyah dan tekstualisme kitab suci telah dimaknai secara
sufistik, sehingga mustahil orang disebut muslim ketika ia mencaci sesama
saudaranya. Pembelaan Islam yang menggunakan kekerasan dan perusakan, oleh
karenanya bukan bagian dari Islam, karena ia telah melanggar perintah utama Allah
untuk menyampaikan dakwah secara bijak dan penuh dengan hikmah. Apa yang
20
didengang-dengungkan sebagai Islam dengan membawa parang, pedang, caci maki,
fatwa haram, dsb sebenarnya bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai
kepentingan politik, atau bahkan keterpinggiran bathiniyah yang tidak mampu
menyikapi arus modernisasi dengan bijak, karena keringnya hati-hati itu dari
baluran kesejukan dzikir dan kholwat yang sebenarnya menjadi esensi dari Islam.
Satu titik idealitas konsepsi Islam, dan penurunan praksis pada level sistem
sosial, juga dilakukan Gus Dur terkait dengan gagasan ekonomi Islam. Jika dalam
domain negara Islam, Gus Dur membenturkan idealitas nilai Islam dengan pra-
syarat struktural sebuah negara, maka dalam ekonomi Islam, Gus Dur mengajukan
tiga komponen dalam melihat gagasan tersebut, yakni visi, mekanisme pengaturan
ekonomi, dan capaian perangkat yang telah dicapai.
Dilihat dari visinya, apa yang disebut ekonomi Islam berangkat dari nilai luhur
akan persamaan antara sesama umat manusia. Martabat yang dimiliki manusia itu
dengan sendirinya tidak boleh dilecehkan oleh hawa nafsu, keserakahan dan
eksploitasi. Karenanya, manusia dilindungi dari praktik manipulatif tersebut, baik
secara perorangan warga negara, maupun kolektif.
Bentuk-bentuk perlindungan itu bersifat normatif, seperti larangan memakan
dan mengusahakan barang riba, larangan melakukan penimbunan barang dan
manipulasi harga, larangan mengurangi upah dan kompensasi lain bagi pekerja.
Dengan demikian, modal tidak diperbolehkan bergerak terlepas dari acuan moral:
menyejahterakan taraf hidup manusia, bukannya menyengsarakan taraf hidup
seorang wargapun dalam kehidupan masyarakat.
Untuk memungkinkan terwujudnya wawasan egaliter ideal itu, ditampilkan
pola hubungan kerja dan transaksi yang berwatak saling menguntungkan antara
pemilik modal, pengelola usaha dan pekerja. Berbagai istilah seperti mudarabah,
salam, murabahah, qirad dsb lalu digali dari khasanah fiqh. Dengan cara demikian,
maka dilakukan eliminasi atas praktik seperti pembungaan uang, penimbunan
barang, spekulasi surat berharga, dsb. Kesemua praktik itu dinilai secara normatif,
sebagai bagian manipulatif dan eksploitatif dari kapitalisme, pengandaian yang
sebenarnya justru menunjukkan pengambilan sikap dari sosialisme.
21
Disisi lain, visi yang dikembangkan adalah pemunculan pelaku ekonomi yang
memiliki prakarsa pribadi untuk mencari untung (profit motive) dan jaminan akan
keselamatan milik pribadi (al-milk al-fardi) dari pengambilalihan penguasa tanpa
melalui proses hukum. Kecenderungan meniadakan harta benda milik pribadi oleh
negara dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan adagium utama Marxisme,
yang melandasi sosialisme, yaitu pemilikan alat produksi oleh masyarakat secara
kolektif. Diharapkan dengan mengambil pola normatif yang baik dalam kombinasi
dengan hak perorangan untuk memupuk kekayaan, akan diperoleh keseimbangan
antara kebutuhan perorangan warga masyarakat, dengan kebutuhan masyarakat itu
sendiri secara kolektif. Dengan indah, Islam mempertemukan dua jenis kebutuhan
itu dalam sebuah tindakan yang sekaligus dijadikan salah satu pilar Islam: zakat. Ini
yang membuat konsepsi Islam unik, jika dibandingkan dengan kapitalisme dan
sosialisme.15
Hanya sayang, visi ideal ini masih terantuk pada tataran mekanisme dan
capaian perangkat ekonomi, yang hingga saat ini masih menggunakan ekono-metri
kapitalisme. Artinya, gagasan ekonomi Islam yang kini digerakkan kaum Islamis tak
jauh beda dengan utopia negara atau khilafah Islam. Kesamaannya terletak pada
pembenturan nilai atas kelemahan sistemik dari kapitalisme, sehingga satu sisi,
konsepsi tandingan bernama ekonomi Islam hanya terhenti pada level nilai normatif
tanpa operasionalisasi praksis.16 Hal ini kemudian melahirkan, apa yang disebut
Gus Dur sebagai “kapitalisme termodifikasi”, karena operasionalisasi nilai Islam
yang masih menggunakan teknik modern. Ini yang melahirkan kapitalisasi simbol
agama, dimana industri ekonomi telah memanfaatkan sentimen keagamaan demi
menjajakan produk agar lebih dekat dengan perasaan masyarakat. Satu hal yang
telah terjadi dan tidak disadari oleh para “pembela Islam” tersebut.
Pada satu titik inilah, Gus Dur kemudian bersikap empatik terhadap
fundamentalisme Islam. Kenapa? Sebab sikap bertahan terhadap perubahan nilai-
nilai yang dibawa modernitas, sebenarnya tidak bisa disalahkan, karena ia hanya
merupakan akibat, bukan sebab. Disini bukanlah kecaman terhadap fanatisme
15 Abdurrahman Wahid, Ekonomi Islam: Baru Sebuah Impian dan Utopia, sumber tak terlacak, h., 1-2 16 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 108
22
beragama yang harus dilakukan, karena fanatisme merupakan usaha kaum muslim
untuk menjaga kepenuhan identitas keislamannya berhadapan dengan serangan
luar. Yang harus dilakukan dalam hal ini adalah sikap empatik, berusaha memahami
kenapa sampai terjadi fanatisme, namun tidak kemudian terjebak dalam sikap
fanatis.17 Dalam hal ini Gus Dur bahkan melakukan kritik atas penamaan sikap
fanatik dalam Islam, melalui terma fundamentalisme Islam. Hal ini disebabkan,
selain terma fundamentalisme yang lahir bukan dari kesejarahan Islam, melainkan
pergulatan umat Kristen, gerak pembelaan kaum muslim terhadap cara hidup Islami
tidak melulu bisa disebut sebagai bagian dari fundamentalisme. Tutur Gus Dur:
Sekumpulan aturan baru tentang apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan mulai diterima, yang mencerminkan kesadaran mendalam
dari imperatif-imperatif suatu “moralitas pribadi yang islami”. Diatas
segala-galanya, berbagai upaya tersebut menunjukkan kelangsungan
hidup Islam sebagai daya pendorong yang kuat guna menemukan
solusi atas persoalan-persoalan yang tampaknya tak dapat ditelusuri
dari negara-negara modern, termasuk yang ada di kawasan ini. Sejauh
usaha-usaha tersebut merupakan upaya untuk menghidupkan kembali
nilai-nilai Islam, tanpa sama sekali menghentikan proses modernisasi di
seluruh kawasan, maka tidak mungkin menerapkan cap
Fundamentalisme terhadap mereka. Sekadar penegasan ulang ajaran-
ajaran Islam dalam menghadapi tekanan modernisasi belum cukup
untuk menjadi dasar tuduhan “Fundamentalisme Islam”.
Tetapi fakta bahwa mayoritas pemuda muslim sekedar mengikuti
jalur penegasan ulang Islam, dan jalan sangat selektif, tidak boleh
membuat kita melupakan berbagai gerakan sporadis di antara mereka
yang pandangan dan sikapnya benar-benar fundamentalistik.
Kelompok-kelompok tersebut menolak keabsahan pemerintahan
nasional yang ada (dan mereka memilih tinggal di komune kecil untuk
mempraktekkan “kemerdekaan” mereka dari pemerintahan tersebut),
keabsahan ortodoksi kemapanan Islam di negara mereka masing-
17 Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Islam sebagai Fenomena Sosio-Kultural, Kompas, 3 Februari 1991
23
masing, keabsahan ideologi nasional masing-masing negara mereka,
dan tentu saja keabsahan partisipasi muslim dalam politik nasional. 18
Dari sini terlihat jelas, bahwa sebagai muslim, Gus Dur memahami posisi Islam
dan umat Islam ditengah proses gempuran zaman. Hal ini yang membuat Gus Dur
mencoba membedakan “kebangkitan Islam” pada tataran kultural, yang Ia sebut
sebagai retradisionalisasi Islam atau Islam sebagai “ideologi kultural”. Islam model
ini merupakan respon umat muslim atas penetrasi kultur Barat yang dianggap
mengancam spiritualitas dan simbol-simbol budaya Islam. Maka lahirlah serangan
balik kultural, mewujud dalam peneguhan kembali berbagai simbol tradisi Islam
yang mencoba merengkuh religiusitas umat dengan kesatuan kultur Islam.19 Selama
gerak ini tidak mengarah pada dampak politik, berupa agenda penggantian supra-
struktur negara, hingga penggunaan kekerasan atas nama Islam, maka geliat
semacam ini tidak bisa dimasukkan dalam terma fundamentalisme Islam, yang
patut di waspadai.
Hanya saja, ketika ia tengah mengarah kepada gerakan struktural, yang
sebenarnya berangkat dari ketidakmampuan sebagian muslim dalam meletakkan
aspirasi politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan kedalam bangunan negara
modern, maka ia harus diwaspadai karena sudah mendorong arah sektarian dan
kekerasan. Pada titik ini, ketidakmampuan beradaptasi dengan struktur modern,
telah membuat muslim fundamentalistik tersebut mengalami “krisis identitas”,
karena mereka mencari kekalahan “aspek luar” (material) kepada kesalahan dan
sekaligus solusi “aspek dalam” (spiritual). Kekalahan muslim pada tataran sosio-
politik, kemudian dilihat sebagai kekalahan spiritual, dan oleh karenanya,
spiritualitas Islam tersebut lalu diangkat pada tataran materialisme-struktural untuk
menandingi struktur modernitas. Satu langkah yang menurut Gus Dur berakibat
fatal, karena telah menyeret agama ke dalam politik duniawi.
18 Abdurrahman Wahid, Islamic Fundamentalism: A Shoutheast Asian Perspective, 19 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 29-31
24
Bab 06 Gus Dur dan Kultur Demokratis
Studi tentang demokratisasi di Indonesia memang tengah mengalami
pergeseran paradigma. Jika era Orde Baru, para peneliti terkonstruk dalam
pendekatan konsolidasi demokrasi pasca revolusionerisme Orde Lama, maka pasca
Orba, paradigma bergeser ke ranah transitologi. Melalui optik ini, kehidupan politik
dilihat dari pertanyaan, apakah demokrasi sudah mengalami konsolidasi pasca-
otoritarianisme negara ataukah telah terjebak pada zona abu-abu demokrasi?
Transitologi berangkat dari prinsip dasar Machiavelli tentang ketidakpastian
(uncertainly) dan sebuah nasehat (maxim), bahwa tidak ada yang lebih sulit
dilaksanakan, atau diragukan keberhasilannya, atau lebih berbahaya dikelola,
daripada memperkenalkan sistem baru. Ini yang menjadikan transisi bahkan sudah
dianggap mati pada tataran paradigmatik (the end of transition paradigm), dikarenakan
kecenderungan negara pasca otoritarianisme, yang gagal mengalami konsolidasi
demokrasi.
Sementara itu, konsolidologi berangkat dari kebutuhan untuk memetakan
ketidakpastian politik tersebut, kedalam berbagai struktur baku yang mengikat arus
destabilisasi politik kepada stabilitas demokrasi. Hal ini tidak hanya terhenti pada
level metodologis, tetapi sekaligus “pengikatan institusional” pada praktik politik,
sehingga searah dengan prosedur dan proses demokrasi.
Mengacu pada Juan J. Linz dan Alfred Stepan, maka terdapat kesatuan
prasyarat politik yang mengindikasikan bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi.
Pertama, rezim pasca-otoriter tidak menggunakan sumber daya politik untuk
menciptkan rezim non-demokratis. Persoalan ini urgen, namun ambigu, karena
tidak selalu masa transisi menuju pada konsolidasi demokrasi. Bisa saja yang terjadi
adalah “demokrasi hibrida”: proses politik tidak memenuhi syarat minimum
demokrasi, namun tidak kembali kepada status quo ante. Atau bisa muncul
demokrasi tak terkonsolidasi (unconsolidated democracy), yakni ketika rezim sudah
1
terlembaga dalam prosedur demokrasi, namun tidak mengalami konsekuensi dan
keuntungan yang seharusnya ditawarkan demokrasi.
Kedua, secara kultural, mayoritas masyarakat tetap menerima demokrasi
sebagai sistem terbaik meskipun situasi ekonomi-politik tak menentu. Persetujuan
mayoritas ini dibarengi oleh terisolasinya “musuh-musuh demokrasi”, yang
meskipun menolak, tetapi tetap bisa menyuarakan perbedaannya. Hal ini berangkat
dari watak demokrasi yang pada satu sisi kukuh menjaga otentisitas nilai, namun
sisi lain harus menyediakan “ruang bebas” bagi sang musuh sebagai konsistensi atas
kebebasan yang dibelanya.
Ketiga, jika kekuatan politik, baik pemerintah maupun non-pemerintah
mampu melakukan kontestasi dan konflik, dalam ketundukan konstitusional yang
dibentuk melalui proses demokratis. Inilah esensi demokrasi, karena sebagai sistem
modern, ia harus membangun landasan institusional untuk menjaga carut-marut
pertarungan politik, yang bisa meruntuhkan demokratisasi.1
Hanya saja, proses transisi demokrasi ini ternyata “diculik” oleh sebuah
hukum besi yang merujuk pada oligarki. Hukum ini telah mendaulat institusi
politik, khususnya negara dan partai sebagai agen utama demokrasi, padahal
didalam institusi tersebut terdapat musuh utama demokrasi, yakni oligarki. Hukum
besi ini berangkat dari keniscayaan objektif, dimana secara ontologis, organisasi
(birokrasi) telah melahirkan konservatisisme dalam tubuh institusi politik. Ia
menciptakan kepentingan sendiri, melindas kepentingan rakyat atau cita ideal,
bahkan melalui sarana dan modal-modal demokrasi. Oligarki mengandaikan proses
elitisasi dan ekslusifisme kekuasaan yang dilahirkan oleh struktur objektif birokrasi
politik, yang terdapat disegenap organisasi modern, baik partai maupun negara.
Hal ini bisa kita lihat dalam beberapa hal. Pertama, doktrin cara menjadi
tujuan. Partai sebagai sarana dan mekanisme bagi artikulasi politik rakyat, ternyata
telah menjadi tujuan itu sendiri. Ia telah melokalisir fungsi tersebut dalam
representasi kepentingan anggota partai, demi individu politisi dan kemapanan
1 Juan J. Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan, 2001, h., 25-29
2
kekuasaan partai. Partai kemudian kehilangan fungsi perantara (brokerage), dimana
amanat kepentingan konstituen, terbentur oleh institusionalisasi kepentingan politis.
Kedua, elitisasi negara. Ketika struktur birokrasi politik telah memisahkan
partai dari konstituen, maka kekuasaan negarapun mengerucut dalam ekslusifitas
elite. Ini yang tiba-tiba saja menjauhkan (janji manis) presiden dari rakyat
pemilihnya. Presiden, sang pemegang amanat rakyat itu, tiba-tiba saja tak kuasa
melakukan perubahan fundamental demi keadilan dan kesejahteraan, karena
langkah yang selalu terbentur baik oleh kerumitan sistemik, “birokrasi gemuk”, serta
jeratan kepentingan partai, seperti dalam Kabinet (koalisi) Indonesia Bersatu,
dimana SBY sebagai pemimpin pilihan (langsung) rakyat, ternyata harus lebih
memperhitungkan kepentingan partai, demi kelanggengan kuasa. Maka lahirlah
tragi-komedi selayak pepatah Italia : “Si cambia il maestro di capella, ma la musica e
sempre quella” (dirigen boleh berganti, namun musik tetap sama).2
Ketiga, dominasi kepentingan partai. Seharusnya pemerintahan SBY sangat
kuat, karena didukung oleh 410 kursi (76,4%) kekuatan di parlemen, dengan
proporsi partai non-pemerintah hanya 130 kursi (23,6%). Namun sayang, kekuatan
koalisi tersebut harus dibayar mahal oleh presiden dengan memberikan 18 (dari 36)
jabatan dalam kabinet kepada kader partai. Jika “kue” ini tidak memuaskan, maka
partaipun bergolak sehingga proses reshuffle sering menjadi tambal sulam kekuasaan
antara presiden dan partai. Hal ini sebenarnya hendak dibatasi oleh parlemen
melalui RUU Kementerian Negara. RUU ini merupakan realisasi dari amandemen
kedua UUD 45 pada Sidang MPR 2001 yang mengamanatkan agar pembentukan,
pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
Satu langkah yang kemudian ditolak oleh “partai presiden” (pada era Megawati, F-
PDIP, era sekarang, Fraksi Partai Demokrat) dengan argumen terlalu mencampuri
hak prerogatif presiden. Padahal, selain hendak menggerakkan reformasi birokrasi
dan efiensi anggaran, RUU ini juga akan “menyelamatkan” presiden dari desakan
kepentingan partai.
2 Lihat Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, dalam Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996, h., 35-44
3
Hal ini tentu bertentangan dengan landasan politik modern yang telah
menganut pluralisme politik. Dalam paradigma ini, interaksi politik tidak lagi
bersifat oposisi biner selayak perjuangan kelas, dimana kelas sosial terbelah menjadi
penindas dan tertindas. Pada domain ini, instrumen utama perubahan sosial adalah
ideologi. Dalam pluralisme, kelas dikotomik buyar, menjadi satuan kelompok
majemuk yang telah menggantikan ideologi dengan pragmatisme: ide politik
berguna sejauh bermanfaat secara praktis.3 Dari sinilah muncul parlemen sebagai
ruang publik dimana partai politik tidak lagi tergulat dalam benturan ideologis,
melainkan “perjamuan makan siang” dalam kompromi politik.
Jika partai politik menjadi “makin lama makin realistis” (des passion realites),
dan ia memang merupakan pra-kondisi dari demokrasi, apakah dengan demikian
pragmatisme serta politik kompromis bisa dilihat sebagai mekanisme modernisasi
politik? Agak dilematis memang. Satu sisi gagasan tentang ruang publik (public
sphere) mensyaratkan terpinggirnya berbagai motivasi sektarian dan ideologis, demi
terbukanya dialog rasional dengan tingkat otonomi individu yang tinggi. Dari sini
kita bisa mafhum kenapa sekularisasi diperlukan, ketika “cahaya publik” dijejali
totalisme agama, dan oleh karenanya menyilaukan rasionalitas publik. Namun
disisi lain, konsep ruang publik juga sebenarnya mensyaratkan terkontrolnya
interaksi minus ideologi itu oleh institusionalisme politik, yang menurunkan
keagungan hak politik kepada “bumi” pertanggungjawaban publik. Kebebasan,
dalam politik modern, telah dibatasi oleh konstitusionalisme.
Satu hal yang menambah dilema dalam discourse ini adalah, fakta kultural
bahwa budaya politik masyarakat berkembang yang merujuk pada sistem politik
tradisional berbasis keagamaan. Ia yang akhirnya harus membuat sekularisasi
berpikir ulang, karena ternyata disetiap lekuk tindakan politik, masyarakat Timur
tak bisa lepas dari motivasi religius, baik berupa primordialisme agama, Islam
ideologis, hingga mistifikasi “angan-angan sosial” berupa kharisma dan “ajaran
keramat”. Ini yang membuat kultur partai politik Indonesia selalu mengelompok
dalam tipologi sektarian; nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam,
komunisme, dan sosialisme demokrat. Masing aliran tetap berangkat dari religion as
3 Lihat Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h., 141-147
4
a political system, ideologi kelas, manipulasi kharisma tokoh, sampai satu titik,
Islamisme. Apa yang dicita-citakan pluralisme politik, dimana segenap partai
menanggalkan “baju radikal” untuk terjun bersama ke penanganan kebijakan publik
secara rasional, sering terganjal, tidak hanya oleh “jihad kelompok” melainkan
terlebih langkah manipulatif yang menelikung jihad tersebut demi kepentingan
politis.
Persoalan yang patut diangkat disini adalah, bagaimana memilah sekaligus
menyatukan berbagai komponen permasalahan tersebut dalam proporsionalisme,
yang tidak hanya mengacu pada modernitas politik, tetapi juga sadar akan fakta
kulturalisme politik, khususnya bagi masyarakat kita. Jika dipetakan, problem ini
bisa mengelompok pada beberapa hal. Pertama, bagaimana kita mendefinisikan
“kemauan” ruang publik yang mensyaratkan politik minus ideologi dan
primordialisme keagamaan. Kedua, bagaimana pula kita mengemas kemustahilan
itu, dalam sebuah rasionalitas komunikatif “masyarakat post-sekular”, dimana
sektarianisme partai politik diletakkan justru dalam domain pluralisme politik, yang
diatur oleh ruang publik. Ketiga, hal ini mensyaratkan penataan konstitusi yang
akan mengikat pertarungan kompromistik tersebut, dalam aturan main, yang tidak
hanya memungkinkan kebijakan publik tetap bisa lahir, namun juga pembangunan
state building demi cita negara modern.
Keempat, dan yang terpenting: meluruskan kembali historisitas perjalanan
budaya dan sistem partai politik, dimana pragmatisme serta kompromi politik,
dianggap sebagai pra-kondisi bagi terbentuknya sistem politik modern. Demokrasi
mengganti pertarungan dengan perdebatan rasional kompromistik. Apakah ia
merupakan degradasi dari idealisme the political (perjuangan politik), ataukah
pengaturan modern, karena pemerintahan hanya membutuhkan teknokrasi, bukan
filsafat atau bahkan ideologi? Pada titik inilah, konsep dan gerak demokratisasi Gus
Dur menjadi relevan. Ini terjadi karena satu sisi, Gus Dur tetap bisa membawa
politik keagamaan di ruang publik, tidak untuk menutupnya dalam ghirrah jihad
totalitas Islam. Agama bagi Gus Dur adalah penyempurna demokrasi, karena ia
memberikan landasan moral bagi praktik politik. Hal saya dengan gerak
demokrasinya yang tidak terjebak pada institusionalisme prosedural, karena yang
5
terpenting bagi demokrasi, bukanlah efektifitas pemerintah, tetapi terlebih sebuah
gerak kultur demokratis.
Pribumisasi demokrasi
Melakukan kajian tentang pemikian demokrasi (sekaligus praksis politik) Gus
Dur selalu menarik. Penelitian ini menjadi suatu kajian kontekstual dan kontradiktif,
mengingat term pemikiran ideal seorang intelektual organik, cenderung kontras
dengan praksis politik, seorang politisi yang sedang bergumul dalam sebuah moment
liberalisasi politik, di mana nalar politisi pasca runtuhnya Orde Baru tersebut, telah
tervirus oleh paradigma Machiavellian4 yang menganggap tujuan utama dan
supreme body segala aktivitas politik adalah kekuasaan.
Kecenderungan untuk kontradiksi disebabkan karena demokrasi sendiri
adalah sebuah teks yang menyediakan diri untuk multi-interpretable. Adanya
dualisme antara demokrasi sebagai sebuah sistem pemikiran dan ideologi Barat an
sich, yang pasca Perang Dunia II dideklarasikan oleh Francis Fukuyama sebagai the
last man in the end of history5, sebagai sistem dunia terbaik setelah runtuhnya
komunisme, dengan demokrasi sebagai nilai-nilai universal mengenai kebebasan
(freedom), persamaan (equality), pluralisme, dst menjadikan teks demokrasi bisa
ditafsiri secara sepihak sesuai dengan beragamnya kepentingan.
Kasus seperti Demokrasi Terpimpinnya Soekarno yang malah bertentangan
dengan pemerintahan liberal-parlementer, dengan mengembalikan komando secara
mutlak kepada presiden, merupakan pelencengan besar-besaran dari konstitusi
demokrasi yang meniscayakan adanya keseimbangan antara trias politica. Demikian
juga dengan Demokrasi Pancasila Soeharto yang jelas-jelas menentang liberalisme
secara serampangan, dengan menjadikan Pancasila sebagai quasi ideologi apologetik
untuk membungkus praktik kekuasaan tiranik dengan nilai-nilai demokrasi yang
Pancasilais. Otoritarianisme penafsiran kemudian menjadikan Pancasila sebagai
4 Politik menghalalkan segala cara a la Machiavelli, digambarkan sebagai Chiron, makhluk berkepala manusia dan berbadan kuda dalam mitos yunani kuno. Penguasa politik haruslah berkepribadian ganda, yakni melakukan politik kebinatangan untuk menghabisi lawan, namun juga berbuat baik guna mendapatkan simpati politis. 5 Dalam deklarasi the end of history, Francis Fukuyama menjelma sebuah legitimasi dari universaalisasi demokrasi secara “tekstual”. Demokrasi sejati adalah liberalisme. Padahal fakta mengatakan, bahwa adaptasi oleh Dunia Ketiga terhadap demokrasi, sangat dinamis dan kontekstual yang dalam satu sisi malah menimbulkan perlawanan terlebih dari fundamentalisme Islam.
6
milik mutlak dari pemerintah, dan demokrasipun menjelma formalisme prosedural
yang despotik.
Dalam “permainan” politik, teks demokrasi juga sering ditafsirkan secara
manipulatif sesuai dengan kepentingan politis. Apalagi dalam kebudayaan politik
yang sudah sampai pada penggunaan “politik citra” (politics of image), sehingga
melihat fenomena politik, berarti melihat kesan yang diciptakan komunikator
politik, yang tidak selalu sesuai dengan realitas sesungguhnya.
Disinilah wacana politik kontemporer menemukan ruangnya. Layaknya kaum
post-strukturalis seperti Michel Foucault yang mendefiniskan politik bukan sebagai
hakikat kedaulatan (Plato, Aristoteles), kontrak sosial (JJ Rousseau, John Lokce),
lembaga-lembaga politik (Montequieu), pertarungan kelas (Karl Marx), akan tetapi
berbicara politik adalah berbicara tentang relasi antar kekuasaan yang plural,
dengan hubungan kompleksitasnya6. Berkaitan dengan hal ini, maka politik adalah
kegiatan manipulasi kesan, atau yang disebut Gilles Deleuze dalam in Logics of Sense
(1990) sebagai imagologi, yakni strategi politik melalui teknologi citra (televisi, iklan,
dsb) untuk menciptakan kesan tertentu terhadap sebuah partai atau seorang tokoh
politik. Imagologi ini berangkat dari keadaan diskontinuitas antara political image
dengan real politics7.
Demokrasi sebagai teks kemudian dimanipulasi untuk menciptakan konstruksi
realitas sosial (social construction of reality)8, dengan menciptakan “realitas simbolik”
yang sebenarnya merupakan second reality (realitas kedua) dari keadaan yang
sesungguhnya. Demokrasi tidak hanya terjebak kepada “demokrasi seolah-olah”
karena hanya mengandalkan proseduralisme formal, akan tetapi ia menjelma simbol
suci yang digunakan para politisi untuk membungkus dirinya agar terlihat layak
menaiki kursi kepemimpinan nasional.
6 Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Basis No 01-02, tahun ke-51, Januari-Februari 2002 7 Yasraf Amir Piliang, Simulakra Politik, Kompas 1 November 2003 8 Teori Konstruksionisme Sosial diperkenalkan oleh Peter Berger yang menyatakan bahwa realitas terbentuk dari hasil komunikasi, sehingga tidak ada realitas hakiki, karena semua merupakan konstruk yang bersifat relatif dan bahkan manipulatif.
7
Pada titik ini, menarik jika memetakan pemikiran demokrasi Gus Dur yang
beranjak dari nalar pribumisasi. Sebagai seorang intelektual yang dilahirkan dalam
atmosfir tradisionalisme, Gus Dur tentunya menolak untuk menyerahkan dirinya
secara kaaffah kepada sistem nilai demokrasi liberal yang secara ideologis bersifat a-
histories. Hal ini merupakan permasalahan umum pemikir Dunia Ketiga yang
menurut Donal’d Smith (1987)9, harus melakukan adaptasi paradigmatik dengan
konsep nilai dari luar (Barat). Pergerakan politik Dunia Ketiga menurut Smith masih
menggunakan konsep politik tradisi keagamaan, yakni penggunaan agama sebagai
kekuatan pembangunan politik, sehingga masyarakat politik (polity) identik dengan
masyarakat agama (religious community).
Disini Gus Dur menyelamatkan tradisi lokal masyarakat dari proses yang
disebut oleh VS Naipul dalam Beyond Belief sebagai ikonoklasme, yaitu sebuah
penghancuran terhadap “tradisi kecil” (little tradition) oleh “tradisi tinggi” (high
tradition)10. Demokrasi liberal yang lahir dari rahim kritik teologi Katolik, yang
kemudian beranak pinak kepada sekularisme, rasionalisme, dan individualisme,
dianggap Gus Dur tidak cocok dengan konteks ke-Indonesiaan yang bersifat
komunalistik, religius, dan tradisional. Sehingga, ketika masyarakat negara
berkembang menelan mentah-mentah liberalisme, akan berakibat “terlahapnya”
kultur orinisinil dari masyarakat, meski Gus Durpun tetap memandang urgensitas
liberalisme sebagai nilai falsafi yang menjunjung tinggi hak dasar manusia,
kedaulatan hukum, persamaan, pluralisme, dst yang sesungguhnya termuat dalam
tujuan luhur Pancasila11.
Pemikiran demokrasi Gus Dur, seperti disebutkan Mun’im DZ (2004) beranjak
dari nalar pribumisasi. Nalar inilah yang menjadi landasan berfikir dari segala
pembacaan Gus Dur terhadap realitas dan berbagai pemikiran dari “luar pribumi”.
Hal ini terlihat dari penolakan Gus Dur terhadap konsep demokrasi prosedural
(procedural democracy), ketika pada dekade 1990-an ia melontarkan istilah “demokrasi
9 Donald Eugene Smith, Religion and Political Development (Boston, Massachusetts, Little, Brown and Company, 1970), hlm. 26-27 10 Penyelamatan terhadap tradisi lokal, memang sudah menjadi trade mark Islam a la NU, yang melakukan akulturasi budaya antara Islam universal dengan tradisi lokal Jawa-Hindu. 11 Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, Kompas, 21 Juli 1987
8
seolah-olah”12 sebagai kritik terhadap praktik demokrasi Orde Baru yang hanya
melandaskan praktik politik kepada berdirinya institusionalisme ; trias politica, UU,
dan pemilu, sementara keadilan, persamaan hak, kebebasan berpendapat dst yang
menjadi elemen substantif dari demokratisasi tidak terlaksana, bahkan cenderung
mengalami pembungkaman.
Dari penolakan terhadap paham institusionalisme13 dalam demokrasi, Gus Dur
kemudian menekankan pada aspek insfrastruktur demokrasi, yakni budaya
keadaban (civic culture) yang menopang terjadinya demokratisasi, baik oleh negara
kepada rakyat maupun sebaliknya. Konsep Gus Dur ini searah dengan
demokratisasi a la Robert W Hefner14 yang mendefinisikan demokrasi sebagai apa
yang difikirkan masyarakat tentang demokrasi itu sendiri. Artinya, segala
kelembagaan demokrasi seperti parlemen, pemerintah eksekutif, hukum, dan pers,
tidak akan mampu dan bahkan bisa menjadi musuh dari demokrasi, ketika
demokrasi belum mampu merasuk dalam relung budaya masyarakat15.
Landasan berfikir inilah yang membuat Gus Dur concern terhadap
pemberdayaan civil society dalam tubuh besar jama’ah NU. Gus Dur menjadikan NU
sebagai eksperimentasi penciptaan “kantong-kantong” masyarakat sipil, seperti
penciptaan lembaga-lembaga a la NGO di NU, penguatan tradisi lokal masyarakat,
serta penumbuhan gelombang intelektualisme anak muda NU. NU kemudian
menjelma kekuatan civil society yang berhadapan vis a vis negara, meskipun dengan
gaya “dansa gengsi”16, serta mampu melaksanakan civic education (pendidikan sipil)
kepada 40 juta warganya.
Dari sinilah Gus Dur kemudian menempatkan diri dalam posisi sebagai
intelektual organik, yakni seorang aktivis yang melandaskan pergerakannya kepada
12 Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, Forum Keadilan, No 02, 14 Mei 1992 13 Penolakan institisionalisme dilakukan Gus Dur, hampir disemua lini gerakannya. Mulai dari penempatan kekuatan jama’ah di banding jam’iyyah (organisasi) di NU, perlawanan penerapan syari’at Islam yang ingin melembagakan nilai-nilai keislaman dalam sebuah “lembaga” syari’at, sampai kepada penguatan masyarakat sipil agar tidak didominasi oleh otoritarianisme negara. 14 Konsep Hefner tentang Civil Islam, yang menyatakan bahwa dalam Islam sebetulnya terdapat potensi bagi terbentuknya masyarakat sipil, sama dengan perspektif “kulturalisme” Islam-nya Gus Dur, yang menggunakan agama sebagai potensi besar bagi penguatan civil society. 15 Abdurrahman Wahid, Mendesentralisasikan Kebudayaan Bangsa, Jawa Pos, 9 November 1991 16 Robin L Bush, Ambigu-Ambigu di Balik “Republik” NU, dalam Geger di “Republik” NU (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999), hlm. xvii-xxi
9
sistem pemikiran tertentu yang menjadi paradigma dan ideologi bagi tindakan
praksisnya. Gus Dur pun mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) sebagai realisasi
dari konsep masyarakat sipil yang bertugas menciptakan counter balancing (kekuatan
penyeimpang) bagi dominasi negara. Tercatat dekade 1990-an, Fordem banyak
mengalami pembrangusan aktivitas oleh rezim Soeharto karena kritisismenya17.
Dalam hal ini, Gus Dur menjadikan Pancasila sebagai point of view bagi
pergerakan demokrasinya, baik ketika berhadapan dengan monopoli ideologi oleh
negara, maupun dengan ideologisasi Islam kaum skripturalis. Ketika negara
menciptakan hegemoni ideologi dengan menciptakan azas tunggal Pancasila, Gus
Dur kemudian “merebut” Pancasila dari rezim Orde Baru yang telah melakukan
monopoli dengan membrangus ideologi selain Pancasila, serta menciptakan
penafsiran sepihak dan memaksakannya melalui represifitas birokrasi dan militer.
Ketika Orba mengharamkan Marxisme-Leninisme hidup di Indonesia, demikian
juga dengan Islam ideologis, lewat penggantian azas Islam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dengan Pancasila, Gus Dur menggunakan pengakuan
pluralisme dari Pancasila untuk menghantam balik totaliterisme Pancasila a la
Soeharto.
Memang sepribumi apapun demokrasi Gus Dur, ia tetap menggunakan
parameter asli demokrasi (liberal), yakni konstitusi. Azas negara yang merupakan
landasan konstitusional demokrasi modern tersebut, digunakannya sebagai
bumerang untuk mengkritik manipulasi demokrasi yang dilakukan pemerintah. Hal
ini juga terlihat dalam praktik kenegaraanya ketika menjabat Presiden ke-4 RI. Gus
Dur berulang menggunakan konstitusi sebagai argumen penyeimbang bagi
serangan-serangan lawan politiknya. Bahkan Dekrit Presiden kontroversial yang
dideklarasikan untuk membekukan parlemen menjelang kejatuhannya, merupakan
kekokohan memegang prinsip konstitusi.
17 Salah satunya adalah moment pelarangan acara halal bihalal Fordem di Taman Ismail Marzuki, Mei 1992. Sementara Rapat Akbar NU tidak terkena pemberangusan.
10
Sebagai intelektual muslim yang oleh Greg Barton dikategorikan sebagai kaum
neo-modernisme Islam18, Gus Dur menambatkan “perahu” ideologi kenegaraannya
kepada Pancasila. Konsep ini sebagai anti tesa terhadap gerakan kaum Islamis yang
ingin menjadikan Islam sebagai azas negara, baik dengan target negara Islam (al-
daulah al-Islamiyyah) maupun memasukkan hukum Islam kedalam hukum positif
melalui isu pewajiban syari’at Islam. Sekilas Gus Dur terlihat memihak kepada
sekularisme yang mengharamkan campur tangan agama dalam mengelola negara,
tetapi jika ditelusuri, Gus Dur sebenarnya seorang aktivis yang “berideologikan”
Islam. Gus Dur dalam setiap pemikiran dan gerakan selalu menjadikan Islam
sebagai pedoman, namun penggunaan Islam disini bukanlah secara formal-politis
dengan melembagakannya, melainkan sebagai substansi moral dalam sebuah
gerakan kultural. Islam kemudian menjadi elemen komplementer, bukan sebagai
pengganti ideologi resmi negara19.
Demokrasi Gus Dur
Dalam setiap kesempatan di era Orde Baru dahulu, Gus Dur selalu
mengumandangkan istilah “demokrasi seolah-olah”. Pengumandangan itu tentu
bukan asal kumandang, tetapi merupakan lontaran politik strategis yang dibarengi
oleh kedalaman refleksif pada level filsafat politik. Demokrasi kemudian menjelma
critical discourse (kritik wacana) atas manipulasi negara yang mencipta monolitisisme
penafsiran demokrasi, minus penghargaan terhadap “suara lain” dari masyarakat
sipil.
Apa maksud “demokrasi seolah-olah”? Yakni sebuah situasi dimana
demokrasi telah terjebak dalam institusionalisme politik; ada eksekutif, legislatif,
dan yudikatif, tetapi minus pemberian hak warga negara yang dijamin oleh nilai-
nilai demokrasi. Berpolitik kemudian terbentur oleh dinding birokratisme politik,
yang menghambat perealisasian hak asasi manusia, hanya dilembar perundang-
undangan, minus praktik di lapangan. Inilah keterjebakan terhadap proseduralisme
itu, yang memang menjadi kekuatan utama demokrasi.
18 Belakangan, tipologi tersebut banyak dikritik, khususnya penyamaan antara konsep Gus Dur dengan Cak Nur. Kritik mengemuka karena terdapat perbedaan orientasi, modernisme Gus Dur berangkat dan demi pemulihan tradisi, sementara Cak Nur lebih condong berorientasi kedapa modernisme Barat. 19 Hal tersebut dibuktikan Gus Dur, lewat penerimaan NU atas azas Pancasila pada Muktamar ke-27.
11
Seperti kita tahu, demokrasi menjadi sistem terbaik dari yang terburuk, karena
ia memberikan mekanisme tidak hanya pembuatan keputusan publik, tetapi juga
pengelolaan konflik sektarian. Konsensus rasional telah mengganti gontok-gontokan
ideologis yang dibawa oleh masing kelompok kepentingan. Pada level makro,
demokrasi kemudian menyediakan pemilu sebagai media efektif bagi sirkulasi
kepemimpinan politik, sehingga kelemahan sebuah rezim bisa dianulir melalui
penggantian kepemimpinan nasional lima tahun sekali secara egaliter, dimana setiap
warga negara berhak berkontestasi. Hanya saja, terkhusus era Soeharto,
proseduralisme ini menjadi sesuatu yang semu, karena segegap-gempita apapun
pemilu, presiden terpilih tetap sama, yakni Sang Bapak Pembangunan. Inilah yang
membuat Gus Dur melontarkan wacana diatas, karena seolah-olah demokratis,
tetapi sebenarnya tidak demokratis.20 Seolah-olah ada proses pergantian
kepemimpinan politik, tetapi nyata tidak. Seolah-olah ada perwakilan rakyat, tetapi
DPR hanya menjadi stempel pemerintah.
Ini yang membuat Gus Dur selalu mengutip satu kaidah fiqh yang berbunyi,
tasharrufful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah. Keputusan dan keabsahan
seorang pemimpin atas rakyat harus terkait langsung dengan kemashlahatan rakyat.
Kenapa kaidah ini selalu beliau utarakan? Apa kaitannya dengan hidup bangsa kita,
dan bagaimana ia dipraktikkan oleh Gus Dur sendiri sebagai seorang pemimpin?
Ternyata setelah penulis rasakan, kaidah itu sangat dalam maknanya, terlebih
ketika pemerintah kita doyong arah kebijakannya. Doyong berarti berat sebelah,
bukan kearah rakyat, tapi kearah kepentingan elite politik yang berada dilingkaran
kekuasaan. Kenapa ini bisa terjadi, padahal sistem pemilu kita sudah lebih
mendekatkan calon pemimpin dengan konstituennya? “Lha itu khan hanya
prosedur saja saudara-saudara, “ kata Gus Dur. Sebagai prosedur, meski pemilu
sudah bersifat langsung, namun ia tak menjamin, pemimpinnya bisa amanah dan
betul-betul dekat dengan rakyat, baik secara politik, batin, apalagi kebijakan. Sistem
pemilu langsung kita hanya menyediakan medan perang rimba antar-partai dan
politisi untuk berebut simpati rakyat, tentu dengan strategi kampanye yang sering
lebih dekat kepada iklan, daripada sosialisasi dan pendidikan politik. Iklan dalam
20 Lihat Abdurrahman Wahid, Demokrasi, dalam Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1998, h., 82-85
12
artian, apa yang dihidangkan pada saat kampanye, hanya merupakan kamuflase,
tiupan palsu dari kenyataan, lewat propaganda di media massa maupun televisi.
Ini yang membuat demokrasi kita “seakan-akan”. Seakan demokrasi, tapi
sebenarnya tidak. Ini jelas terlihat, dan Gus Dur melihatnya pada keterjebakan hidup
politik kita dalam lembaga. Memang ada lembaga perwakilan, ada lembaga hukum,
ada lembaga sosial, ada lembaga pendidikan, ada pemerintah. Tapi siapa yang
menjamin bahwa segenap lembaga itu bisa menjadi saluran aspirasi rakyat? Siapa
yang menjamin DPR kita bisa turun kebawah, mendengar dan mengumpulkan
permasalahan rakyat dalam UU? Siapa yang menjamin, lembaga pengadilan kita
tidak terongrong tikus-tikus mavia peradilan? Kalau kita melihat semua ini, sering
lembaga itu malah menjadi penghambat dari aspirasi rakyat, dan yang namanya
perwakilan hanya terbatas pada mewakili golongan, partai, dan elite politik.
Makanya penulis tidak heran, kalau Gus Dur kemudian lebih memilih “budaya
demokrasi”. Jadi bukan lembaga politik yang menjadi tolok ukur berjalannya
demokrasi, tetapi perilaku, baik dari pemimpin, aparat, hingga rakyat, yang
mencerminkan perilaku demokratis. Ini dibuktikan Gus Dur dengan membuka kran
kebebasan pers, sebab pada zaman Pak Harto, kran inilah yang macet, dan koar-koar
tentang demokrasi menjadi sumir, karena nyatanya, rakyat tidak diperbolehkan
mendapatkan informasi secara bebas. Ini juga yang membuat Gus Dur
menghilangkan kesangaran Istana Negara, karena bagaimana bisa demokratis,
bagaimana bisa menjadi pemerintahan rakyat, jika istana presiden saja dijaga begitu
ketat menyeramkan, sehingga rakyat lebih cenderung takut, daripada merasa
terayomi.
Sayangnya sekarang ini, kesangaran pemerintah itu sudah kembali lagi.
Memang, ia tak seseram tongkat-bedil Soeharto (alm), karena pemerintahan SBY bisa
memberikan senyum manis dihadapan rakyat. Tapi senyum manis ini, seperti kritik
Megawati (5/2/08) kemarin, bahwa pemerintahan SBY-JK bergerak seperi tari poco-
poco, maju selangkah mundur selangkah. Meskipun penulis tak sepenuhnya setuju
dengan kritik itu, tetapi ia menjadi gambaran dari suasana batin rakyat yang tak
kunjung menemukan arah perubahan yang lebih baik.
13
Hal ini juga merupakan kelemahan demokrasi. Kenapa? Karena demokrasi
telah memberikan ruang politik yang terlalu lunak, dengan kemungkinan kompromi
yang begitu luas. Hal ini akan bermasalah ketika tuntutan rakyat yang terkait
dengan kebutuhan mendasar akhirnya terhenti dikesepakatan “bawah meja” antar
pemimpin, yang lebih mementingkan kebutuhan kelompok dan diri, daripada
tuntutan yang sungguh perlu tersebut. Apalagi demokrasi kita bersifat multi-partai,
sehingga wajar saja ketika Soekarno membubarkan parlemen tahun 1957, karena
menurutnya sifat banyak partai dalam demokrasi kita hanya akan melahirkan
tubrukan kepentingan.
Gus Dur sendiri tidak serta menerima demokrasi tanpa syarat. Sistem
demokrasi yang akhrinya menjadikan politik sebagai tujuan politik itu sendiri,
ditolak habis-habisan oleh beliau. Ini dilakukan karena bagaimanapun mulia,
demokrasi tetap sebatas cara dan pra-syarat. Cara untuk membuka sirkulasi
kepemimpinan secara damai, dan pra-syarat bagi tegaknya cita-cita tata masyarakat
oleh rakyat.21 Disini demokrasi, kata Gus Dur, memang menjadi tolok ukur, apakah
pembangunan selaras dengan kebutuhan masyarakat, atau sebaliknya? Apa yang
terjadi dengan pemerintahan Orde Baru, dimana ekonomi tumbuh pesat, tapi
mengorbankan hak asasi manusia, merupakan bukti, bahwa demokrasi memang
menjadi batas, apakah kebijkan pemerintah telah lurus atau melenceng.
Hanya saja, ditengah situasi yang konon lebih demokratis, demokrasi dalam
artian pemilu tidaklah mencukupi, apalagi dibarengi oleh kecurangan seperti yang
terjadi dengan penggagalan pencalonan Gus Dur dalam Pemilu 2004, lewat alasan
kesehatan. Demokrasi model ini, tidak memenuhi pra-syaratnya sendiri, yakni hak
setiap warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan. Ini cacat demokrasi, karena
hukum tidak dijadikan alat pengerem kekuasaan, tetapi sebaliknya, alat pengelus
dan pemulus syahwat kekuasaan, tanpa mengindahkan moral demokrasi itu sendiri.
Orang tentu sinis, “Lebih baik kita hidup dizaman Orde Baru, karena pemimpin
yang tegas, walau sadis, tetap bisa menjamin harga beras dan minyak, bisa
terjangkau. Sekarang, katanya demokrasi, pemimpin dipilih rakyat, tapi harga
sembako naik, tak kunjung usai”. Sinisme ini akan terus menjadi jangongan
21 Abdurrahman Wahid, Demokrasi Harus Diperjoangkan, Tempo, 12 Agustus 1978
14
masyarakat di angkruk ronda, ketika pemerintah tidak jeli dalam memilah, ini
kepentingan pribadi, ini kepentingan bersama.
Lalu apa yang kemudian tersisa, ketika demokrasi hanya menjadi milik elite?
Lha ini yang dikritik oleh Gus Dur. Elite sebenarnya wakil, dan bahkan pelayan bagi
masyarakat. Ini arti penting demokrasi itu, karena tanpa perwakilan, aspirasi rakyat
tak bisa tersampaikan dalam pengambilan kebijakan. Tapi sekali lagi sayang, cara
demokratis ini telah dinodai oleh cacat demokrasi itu, karena perwakilan malah
semakin menjauhkan rakyat dari kebijakan pro-rakyat. Kenapa semua ini bisa
terjadi? Karena lingkaran kepentingan elite kita, tak jauh dari masalah
“pemerintahan dari aku, oleh aku, dan untuk aku”. Bukan dari rakyat, oleh rakyat,
dan untuk rakyat!
Pada titik inilah, jika Gus Dur ditanya, kenapa beliau membidani Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), maka sederhana jawabnya: hendak menegakkan
moralitas politik. Kenapa? Karena banyak dari politisi kita hanya mementingkan
perut dan kelompok sendiri, bukan bangsa dan masyarakat.
Tetapi apakah semudah itu membuat kinerja politisi dan partai politik sesuai
dengan akhlak yang karimah? Tentu tidak sederhana jawabannya. Dibutuhkan
kesungguhan hati untuk tetap berpegang teguh pada “kekosongan niat”. Nasehat
yang sering beliau tuturkan pada penulis, “Kita harus bisa mengubur diri dalam
bumi kekosongan”. Satu nasehat kesukaan, yang beliau ambil dari hikmah Al-Hikam:
Idfin wujudaka fi ardli al-khumuli (pendamlah dirimu dalam bumi kekosongan).22
Tentu secara sekilas tidak masuk akal nasehat ini. Lha bagaimana tidak. Orang
yang masuk dunia politik, ia seolah masuk dalam rimba raya, tempat banyak pihak
memperebutkan kekuasaan. Disana lalu lintas sosial tak beda dengan kemacetan
Jakarta: jalan “sebiji jagung”-pun tetap diperebutkan demi sampai tujuan. Ini malah
diminta agar “kosong” dalam niat, bagaimana bisa?
Dari tanda tanya yang masygul itu, penulis baru menyadari apa yang
dimaksud Gus Dur. Ternyata, ini merupakan teori politik paling canggih yang 22 Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary, Matan al-Hikam, Kediri: Pesantren Lirboyo, h., 1
15
membuat aktivis politik tidak termakan oleh politik itu sendiri. Teori ini berangkat
dari apa yang disebut Gus Dur zaman Soeharto dulu sebagai un political politics :
berpolitik “tanpa politik”. Maksudnya? Jelas kita tahu bahwa politik sebenarnya
merupakan cara menata masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan fundamen
manusia, yakni sandang, pangan, papan. Orang-orang pinter menambahkan poin
kebutuhan yang lebih soft dan beradab, seperti hak bebas bicara, berorganisasi,
termasuk mengritik pemerintah. Satu kondisi yang sering disebut dengan
demokrasi.
Ini yang hilang dari budaya politik kita, karena politik sebagai cara, malah
berubah menjadi tujuan. Partai yang seharusnya menjadi “bus kopaja” tempat
mengangkut aspirasi rakyat, malah menjelma “mobil” (sewaan lagi), untuk
mengantar kepentingan orang-perorang yang berada dalam kepengurusan partai.
Ini yang dikritik oleh Gus Dur, berlandas moralitas publik yang diakui agama.
Tetapi pertanyaannya, bagaimana menerapkan “kekosongan” itu dalam tubuh
partai yang sudah menjadi kerajaan tersendiri? Kerajaan yang memisahkan politisi
dengan warga yang diwakilinya? Kecurigaan dan sikap apatis dari rakyat atas partai
begitu akut, padahal kita tahu sistem demokrasi menempatkan partai politik sebagai
kendaraan utama bagi pergantian kepemimpinan. Tanpa partai rakyat tidak
memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik. Tanpa partai, orang tidak
bisa mengelola perbedaan melalui cara yang diakui oleh konstitusi. Tanpa partai,
kelompok kepentingan dan organisasi kemasyarakatan tidak bisa membungkus cita-
cita kelompoknya dalam lembaga yang sah secara politik. Partai, seperti “taubat
sambal”, dibenci tetapi dicintai.
Dari sinilah kata Gus Dur, posisi kepemimpinan ulama dalam politik menjadi
hal yang tak bisa ditawar. Apa maksud kepemimpinan ulama? Jelas, moralitas
jawabnya. Yakni sebuah moral yang sudah tertata, di godog di kawah condrodimuko,
untuk zuhud dan tidak gumunan melihat kemilau dunia. Kenapa ini penting? Karena
prinsip ora gumunan membuat seseorang tidak terlena dengan “kursi empuk” jabatan
yang sebenarnya amanah. Agar para pekerja politik tidak mencari kerjaan dipolitik,
karena politik bukan lapangan kerja tempat para pengangguran mengais rezeki.
Politik adalah kerja untuk menciptakan kesejahteraan bersama, sehingga Gus Dur
16
selalu meyakini bahwa keabsahan penguasa atas rakyat tergantung pada komitmen
terhadap kesejahteraan (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah).23
Ini yang membuat “kosong” itu menjadi berisi. Kalau tidak kosong bagaimana
bisa berisi, kalau tidak berisi bagaimana bisa “kosong”? Artinya, kemampuan untuk
mengosongkan batin dari kesemrawutan niat, membuat Gus Dur kuat dalam
menghadapi badai politik apapun. Ketika beliau diangkat sebagai Presiden ke-4 RI,
ketika para pendukung di Poros Tengah berbalik menyerang. Ketika harus lengser
dari tahta negara, dan ketika pencalonan kembali pada Pemilu 2004 dihalangi lewat
alasan kesehatan. Kalau tidak “kosong”, bagaimana seseorang bisa tetap survive
menghadapi hempasan tersebut. Karena secara alamiah, orang mungkin bisa kuat
menahan lapar, tetapi sering terkecoh ketika kekenyangan.
Apalagi satu sikap yang dimiliki Gus Dur, yakni tidak takut “terasing sendiri”,
betul-betul menjadikan kekuatan batin sebagai kekuatan utama dalam berpolitik
(dalam artian luas). Gus Dur sering dicemooh, dikafirkan, dan ditinggalkan orang-
orang yang dibesarkannya. Tetapi beliau lepas begitu saja, karena secara batiniah,
tak merasa apa-apa dan tak memiliki kepentingan apa-apa.
Ini yang membedakan orang “kosong”, dengan orang yang sejak awal memang
penuh dengan kepentingan, dan kebingungan. Banyak orang yang datang ke Gus
Dur karena alasan-alasan struktural. Ingin nyalon Bupati, Gubernur, Ketua NU,
anggota legislatif, bisnis lancar, jadi pengurus partai, pengurus yayasan, dsb. Ini
yang malah membutakan mata, bahwa Gus Dur selain bisa dimintai “surat sakti”,
beliau terlebih seorang kyai, dalam artian seorang sepuh yang sebenarnya risih
dengan banyaknya sabetan kepentingan. Seorang kyai selalu berusaha membersihkan
diri. Seorang yang selalu tersenyum dan berkata nggeh kepada setiap bentuk orang
yang mengadu, bahkan kepada seorang tua biasa yang datang hanya ingin nyucup
tangan. Gus Dur diposisikan hanya sebagai “tanda tangan”, dan ketika ia sudah tak
terpakai, maka ditinggallah sang kyai yang sebenarnya setelah memberi, tak
menghitung lagi apa yang telah terberi. Kadang penulis melihat hal ini, dan melihat
betapa kenyamanan batin Gus Dur agak terganggu. Tetapi bagaimana lagi. Hal itu 23 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 20
17
sudah menjadi pilihan beliau sebagai pemimpin, pengayom, dan benteng tempat
banyak pihak menyandarkan kepenatan.
Jika renungan ini diarahkan pada level negara, pasti lebih sulit lagi aplikasinya.
Seperti penulis bilang diawal esai ini, bahwa corak kepemimpinan dalam lembaga
politik kita masih bersifat kerajaan. Dari sini bisa ditarik benang merah, bahwa pada
level budaya, etika pemimpin kita masih bak raja. Minta dilayani, di subyo-subyo, dan
yang terpenting, terasing dari masyarakat. Rakyat dalam hal ini terasa semakin jauh
dengan para wakil yang dipilihnya. Ini bukan semata kesalahan para pemimpin,
tetapi juga kultur politik kita yang birokratis (jika era Pak Harto bersifat militer) di
tambah “kecambah” partai pasca Reformasi, yang menumbuhkan “bau politis”
dalam pengaturan pemerintahan.
Gus Dur pernah menjadi “korban” situasi seperti ini, dimana bandul politik
yang pada pemerintahan Pak Harto bersifat berat-eksekutif (executive heavy) menjadi
legislative heavy pada era Gus Dur. Pemerintahan disesaki oleh kepentingan partai
politik yang berkuasa diparlemen, menjelma kerajaan oligarkis para politisi
oportunis, sehingga segenap kebijakan Gus Dur selalu ditangkap dan disambut
sebagai lemparan “bola panas”. Segenap kebijakan yang berangkat dari kedalaman
pemikiran, tentang masa depan demokratisasi, kemandirian masyarakat,
“pengecilan tubuh” negara, pengembalian militer ke barak, nasionalisme ekonomi,
dsb ditangkap oleh legislatif sebagai ruang politis untuk menjatuhkan presiden.
Dalam hal ini, Gus Dur berada pada posisi “penuh” sekaligus “kosong”. Gus Dur
menghadapi situasi ini sebagai negarawan yang mementingkan nasib bangsa,
konstitusi, dan masyarakat, berarti beliau “penuh”. Tetapi beliau juga tidak hendak
melakukan kompromi politik dengan lawan-kawan partai politik, yang
menggambarkan kekosongan batin dari ketakutan tidak mendapatkan dukungan
politis. Dan inilah yang terjadi: Gus Dur terlempar dari carut-marut perebutan
kekuasaan, karena pilihan “kosong” nya. Andai Gus Dur tidak “kosong”, maka
beliau pasti lebih mementingkan terjaganya kekuasaan meski dengan resiko
“menjual” idealisme politik kepada para “koboi Senayan”.
Resiko pahit inilah yang membuat banyak pihak takut “untuk kosong”. Gus
Dur sering bilang, bahwa situasi ini bisa tercapai, manakala seorang manusia
18
mampu berada di antara ketegangan ekstrim: menjadi hamba Allah (‘abdullah) yang
menyerahkan hidupnya pada Sang Khalik (bukan pada partai, presiden, pemilu,
atau sekadar atasan kantor), yang merupakan titik pijakan nol dalam hidup. Untuk
menuju kerja maksimal 100% guna menunaikan tugas suci manusia sebagai “wakil
Allah” (khalifah) di muka bumi. Dari sini orang dituntut untuk bekerja sampai
tetesan keringat terakhir, tetapi setelah itu harus kembali pada kesunyian batin,
tempat kawulo lan Gusti bercengkrama dalam ruang kosong, tak diketahui manusia,
tak digubris siapa-siapa. O, jadi ini yang menjadi kekuatan Gus Dur, kenapa beliau
tetap saja bergerak dan bekerja untuk masyarakat, entah itu pakai embel-embel
presiden atau tidak. Satu kekuatan yang membutuhkan kekuatan untuk memilih
dan memilikinya.
Jika merunut sejarah, kekuatan ini sebenarnya dimiliki oleh budaya politik kita
zaman kerajaan. Dahulu sebelum terbentuk pemerintahan Belanda, budaya politik
para raja kita mengacu pada “politik kosong” ini, yang merupakan hasil dari
martabat kerajawian. Martabat ini bisa dikatakan mampu menyatukan antara etos
brahmana atau resi, dengan etos pemimpin politik. Satu posisi yang saat ini sering
disebut sebagai negarawan. Budaya kerajawian kita bisa mencapai hal itu, karena
bagi masyarakat Nusantara, politik dimaknai sebagai sesuatu yang suci, sakral. Ini
yang membedakan dengan praktik politik kita sekarang, yang telah ternodai oleh
limbah budaya Barat. Memang, dalam masyarakat Eropa, demikian tandas Gus Dur,
budaya politik sudah bisa rasional. Hanya rasional mereka dilambari oleh sikap
masyarakat yang sejak awal tidak hidup dalam keseharian sakral. Beda dengan kita.
Masyarakat kita masih bersifat religius, sehingga tidak sepenuhnya rasional. Ini
yang akhirnya melahirkan “wilayah abu-abu”, sehingga yang sampai dikita hanya
“limbah” dari budaya Barat.
Coba saja lihat, betapa pemimpin kita hanya berlomba menguasai pertarungan
pemilu yang tanpa nilai. Paling nilai-nilai seperti keadilan, nasionalisme-religius,
Islam, dan kesejahteraan, hanya dijadikan jargon kampanye. Para pemimpin kita
tidak mencoba meneladani “politik kosong” dari raja-brahmana dalam sejarah kita,
yang tidak semata-mata menjadikan politik sebagai ajang menguasai, tetapi terlebih,
tugas suci untuk meratakan kesejahteraan. Kesucian tugas ini yang menempatkan
pemimpin, tidak hanya bertanggungjawab kepada pemilih, apalagi kepada ketua
19
partai, tetapi terutama kepada Tuhan, dan panggilan suci. Nah, memang, sikap ini
berulang kali mensyaratkan keberanian, bahkan untuk menghilangkan keinginan
menguasai (will to power). Keberanian yang tentu tidak menguntungkan, ketika
politik dimaknai sebagai ajang “manusia adalah serigala bagi yang lainnya”: homo
homini lupus.
Sayangnya, di era Pasca-Reformasi ini situasi telah berubah. Ketika zaman
Orde Baru, kekuatan politik terbelah jelas: negara vis a vis masyarakat sipil. Saat ini
peta tersebut telah membuyar. Negara kini hanya menjelma ruang bebas, tempat
berbagai kontestasi kepentingan bertubrukan, berkompromi, dan seringnya
meminggirkan substansi perjuangan politik yang menjadi cita utama peruntuhan
Orde Baru.
Lalu dimanakah Gus Dur? Gus Dur tetap konsisten, meski strategi perjuangan
telah berubah. Di era “negara untuk negara” (state qua state) itu, Gus Dur bersama
dengan NU menggerakkan oposisi kultural. Terma oposisi kultural ini merujuk pada
perang posisi (war of position) dimana Gus Dur dan NU melakukan tandingan
budaya atas hegemoni negara. Ini terjadi karena Orde Baru tidak selalu memaksakan
kekuasaannya secara represif, tetapi juga persuasif. Contohnya kebijakan azas
tunggal Pancasila. Kebijakan ini merupakan usaha negara untuk menerapkan
ketunggalan makna atas ideologi negara, sehingga dengan ketunggalan tersebut
negara bisa melakukan represi normatif atas gerakan ideologis yang mengancam
stabilitas penguasa.
Menanggapi ini NU kemudian mengambil stategi “menelikung lewat dalam”.
Artinya, melalui penerimaan atas azas tunggal tersebut, sembari dibarengi dengan
keluarnya NU dari PPP, maka dua kemanfaatan tercapai. Pertama, dengan
menerima Pancasila, maka NU berhak melakukan penafsiran tersendiri atas ideologi
negara tersebut, guna menyeimbangi penafsiran a la negara. Penyeimbangan ini
penting, karena ditangan gerakan masyarakat, Pancasila bisa menjadi legitimasi vis a
vis negara. Satu hal yang dengan sengaja ditutup oleh negara, karena penafsiran
Pancasila oleh masyarakat, pastilah akan berhadapan dengan penafsiran resmi
20
negara.24 Ketika NU dan Gus Dur menerima, untuk menafsir ulang Pancasila, maka
negara tidak bisa menghantam NU karena yang dibela sama-sama ideologi negara.
Kedua, dengan keluarnya NU dari PPP, maka ia mampu penuh sebagai oposisi
kultural, karena jama’ah wa jam’iyyah diniyyah ini tidak terikat dalam struktur
formal politik negara.25 Formalisme politik ini yang akan memenjarakan NU dalam
aturan, batasa, dan pendisiplinan (disciplinary) negara.
Inilah hakikat demokrasi menurut Gus Dur. Yakni dalam sebuah perjuangan
panjang tanpa henti untuk terlibat dalam penyeimbangan kekuasaan negara.
Demokrasi bagi Gus Dur tidak terbatas pada institusi dan prosedur politik, yang
cenderung hanya menjadi media bagi hasrat politik untuk masuk dalam ruang
kekuasaan. Ontologi demokrasi Gus Dur tidak terhenti pada individualisme, tetapi
lebih kepada demokrasi deliberatif yang menurunkan idealisme doktrinal politik,
kepada realitas pembuatan keputusan publik yang tergelut dalam debat rasional
baik dari pemerintah dan rakyat. Satu hal yang selama ini tidak pernah terjadi,
karena demokrasi yang terjadi di Indonesia masih menganut pada republikanisme
semu,26 dimana partisipasi politik diterjemahkan pada pembentukan berbagai
lembaga politik, minus keberpihakan rakyat.
Bagi Gus Dur, persoalan demokrasi bukanlah persoalan teori; apakah dia dari
Barat atau asli karya Indonesia? Pendebatan demokrasi pada level teoritis, akan
menutup satu fakta, bahwa melampaui segalanya, demokrasi haruslah
diperjuangkan. Demokrasi disini kemudian dimaknai sebagai proses, tempat warga
negara berusaha mendapatkan haknya kembali, setelah sekian lama tercuri oleh
praktik politik anti-demokrasi.
Hal inilah yang membuat Gus Dur bahkan memasukkan demokrasi (syura)
sebagai salah satu nilai utama dalam Islam, persamaan (musawah) dan keadilan
(‘adalah). 27Terma syura disamakan dengan demokrasi, karena ia memberikan
24 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, jurnal Prisma 11,November 1980, h., 14 25 Douglas E Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya, dalam Era Paska Asas Tunggal, dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, 1997, h., 101-106 26 David Held, Models of Democracy, Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006, h., 24-35 27 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 131-132
21
22
landasan normatif, dimana Islam mewajibkan pembahasan kolektif atas
permasalahan publik. Ini terjadi pada sirkulasi kepemimpinan muslim awal pasca-
Nabi, ketika Abu Bakar terpilih secara aklamasi melalui bai’at. Ketiadaan kepastian
dari Nabi atas pengganti kekhalifahan telah membuktikan bahwa kepemimpinan
Islam bersifat demokratis, karena ia diserahkan kepada kehendak publik.
Penaubatan demokrasi sebagai nilai utama (Welstanchauung) Islam didasarkan
pada satu postulat kekuatan agama dalam perubahan sosial. Gus Dur menyebutnya
sebagai gerakan keagamaan berwawasan struktural.28 Gerak ini dilakukan Islam sejak
kelahirannya, dimana ia melakukan koreksi atas praktik kapitalisme-feodal yang
terjadi di masyarakat Mekkah. Dalam kaitan ini, gerakan agama tidak harus menjadi
candu Marxian, yang melegitimasi atau meninabobokkan kaum mustadl’afin dari
penindasan. Gerak agama juga tidak boleh bersifat reformatif, dengan hanya
melakukan perbaikan pada level permukaan pemerintah, minus kritisisme pada aras
struktural.29 Ini yang mengharuskan Islam meminjam nilai-nilai dari demokrasi,
karena dengan demokrasi, umat Islam bisa terlibat dalam perjuangan untuk
mengembalikan “suara rakyat” kepada dirinya sendiri. Satu hal yang telah dicuri
oleh praktik kekuasaan, atas nama proseduralisme dan institusionalisme demokrasi.
28 Lihat Abdurrahman Wahid, Republik Bumi di Surga, Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 175 29 Lihat Abdurrahman Wahid, Agama dan Demokratisasi, dalam Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1998, h., 30-35
Bab 07
Dekonstruksi Negara Gus Dur
Memang, menjadikan Gus Dur sebagai presiden, ibarat memasukkan mutiara
ke dalam karung sempit. Demikian keluh Romo Mudji Sutrisno. Resikonya, kalau
bukan mutiara yang lecet, maka karung tersebut yang mengalami kerusakan, akibat
tidak mampu memuatnya. 1 Hal inilah yang terjadi dengan masa kepresidenan Gus
Dur, yakni tidak memadainya bangunan politik negara, serta konstalasi demokrasi,
yang membuat berbagai ide demokratisasi belum sepenuhnya bisa direalisasikan,
dan bahkan menjadikan Gus Dur sebagai “tumbal” nya.
Artinya, sebagai presiden, Gus Dur tetap membawa paradigma “radikalisme”
aktivis pro-demokrasi, yang tentunya selalu berhadapan dengan konsepsi negara.
Dalam perspektif aktivisme, negara harus diminimalisir dari kehidupan masyarakat,
jika sebuah tatanan demokrasi hendak titegakkan. Meskipun dalam hal ini, Gus Dur
tidak menggunakan radikalisme anarkhis dalam melihat hubungan antara negara
dan masyarakat. Sebab, sebagai pemimpin organisasi massa Islam terbesar,
pergerakan yang dilakukannya mengambil metode evolusi : merubah sub-sistem
sembari menjaga supra sistem yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Pada
tataran inilah kita menjadi mafhum, kenapa Gus Dur menerima Pancasila sebagai
ideologi negara (bukan Piagam Jakarta), guna dijadikan “boomerang” untuk
mengkritik penyelewengan negara atas nilai-nilai Pancasila.
Era kepresidenan Gus Dur bisa disebut sebagai era “negara emoh negara”. Hal
ini bisa dilihat dari berbagai gebrakan kebijakan yang mengarah pada satu
paradigma, meminimalkan peran negara atas masyarakat, sehingga sebagai struktur
kekuasaan, ia tidak lagi menjadi penentu hegemonik, melainkan sebatas fasilitator.
Dalam hal ini, Gus Dur bisa dikaji melalui perspektif Marxian atau bahkan
anarkisme evolusioner, yang melihat “peminggiran” intervensi negara sebagai syarat
mutlak bagi terciptanya masyarakat sipil demokratis, independen, dan mampu
menggali potensi untuk menyelesaikan permasalan sendiri.
1 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : LKiS, 2000, hlm 27
1
Tentu, pemikiran seperti ini bukan dadakan, pasca beliau menjabat kepala
negara, melainkan sebuah keberlanjutan konsentrasi pergerakan yang telah tergerak,
sejak Gus Dur belum “menjadi negara”. Dalam satu artikel, Negara dan Kebudayaan, 2
Gus Dur mencoba memisahkan terma kebudayaan, sebagai kehidupan manusiawi
dengan negara yang merupakan penjelmaan struktur kekuasaan. Jika kebudayaan
menjadi bagian dari negara, maka tunggulah saat terjadinya pemasungan kreativitas
manusia melalui birokratisasi kebudayaan. Resikonya sangat berbahaya.
Kebudayaan yang merupakan segenap nilai dan system tata atur kehidupan
masyarakat, kemudian “dikotakkan” sebatas seni, untuk “dibonsai” kedalam
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Birokratisasi tersebut akan menciptakan
benturan kebudayaan, antara pendekatan represif kekuasaan versus pendekatan
kultural masyarakat, dimana kebebasan kreatif masyarakat dibatasi oleh institusi
politik yang tentunya jauh dari perhitungan
Satu hal yang nyata, bahwa pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan
dekonstruktif. Satu gerak politik, di mana Gus Dur bahkan bukan seorang politikus
yang memobilisir kekuatan dan legitimasi politik demi stabilitas kuasanya. Yang
terjadi, Gus Dur tetap seorang Ketua Pokja Forum Demokrasi, yang merealisasikan
gagasan anarkis tentang minimalisasi peran negara demi kuatnya masyarakat sipil.
Gus Dur telah “mengecilkan tubuh negara” yang selama dua rezim otoritarian Orla-
Orba, menggelembung kemana-mana, melampaui batas konstitusi, menyesak-
desakkan keringat kecut dan muka penuh amarah di ruang publik, tempat segenap
kekuatan masyarakat terkebiri. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah suatu cita-
cita utopis tentang menguatnya masyarakat, yang mensyaratkan debirokratisasi dan
demiliterisasi. Ini yang esensial dan akhirnya menjadi bumerang, sebab saat itu,
bahkan hingga sekarang, kondisi struktural dan kultural tidak mengizinkan.
Setidaknya ada beberapa kebijakan yang diambil pemerintahan Gus Dur guna
“membebaskan” masyarakat dari totalitarianisme negara. Pertama, pembubaran
Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen). Kebijakan ini
berangkat dari fakta politik, bahwa ketika negara (Orde Baru) memiliki jangkauan
tak terbatas, maka persoalan sosio-kultural yang sebenarnya menjadi unsur utama
2 Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok : Desantara, 2001 hlm 3-5
2
penjamin free public sphere menjadi terbungkam. Deppen terbukti telah menjadi
otoritas kekuasaan yang menentukan mana informasi yang boleh disebarkan, dan
mana informasi yang subversive.
Hal ini membawa konsekuensi terpasungnya kekebasan pers, yang seharusnya
menjadi satu pilar demokratisasi. Layaknya catatan David T Hill (1994) dimana
beberapa media yang nakal dan cenderung kritis semisal Sinar harapan, Duta
Masyarakat, Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Harian KAMI, dst selalu dibayangi
pembredelan tanpa adanya proses peradilan. Hingga decade 1990, Deppen telah
menyempurnakan diri sebagai “Sang raja Breidel” yang menelan korban Tabloit
Detik, Editor, dan Majalah Tempo. Demikian juga posisi Depsos yang selama Orde
Baru terbukti menjadi sarang subur bagi kleptokrasi dan KKN, disebabkan
mekanisme birokrasi yang “gemuk”, serta arah kelembagaan yang tidak jelas, sebab
secara real culture, masyarakat melalui berbagai ormas dan LSM, sebenarnya mampu
me-manage pelayanan sosialnya sendiri, tanpa bantuan dari institusi politik yang
amat birokratis.
Ketiga, demiliterisasi. Hal ini dilakukan Gus Dur dengan menciptakan reposisi
militer yang selama Orba mengalami dwi-fungsi. Hasilnya, April 2000, TNI
memutuskan meninggalkan peran sosio-politik, untuk konsentrasi dalam bidang
pertahanan. Hengkangnya TNI dari politik telah menciptakan paradigma baru
supremasi sipil atas militer, sehingga aparat represif ini tidak disalahgunakan
penguasa. Langkah penghapusan dwi-fungsi TNI tersebut segera ditindaklanjuti
oleh Gus Dur dengan melakukan pemisahan TNI-Polri, berdasarkan Keppres No
89/2000. Pemisahan ini menjadi langkah awal dari demiliterisasi pelayanan dan
keamanan masyarakat, yang menjadi tugas utama Polri. Pada tataran manajerial,
Gus Dur kemudian menyempurnakan supremasi sipil tersebut melalui perumusan
TNI di bawah Departemen Pertahanan (Dephan). Perumusan ini diharapkan mampu
mendorong terciptanya defense management based on civilization authority, sebab TNI
sebagai pemegang komando lapangan, diatur dalam administrasi Dephan yang
dipegang oleh sipil. Sayang, hingga Gus Dur lengser, perumusan tersebut belum
dituntaskan.
3
Pada tataran supra-struktur politik, Gus Dur juga menciptakan “terapi kejut”
guna “mencuci” kesadaran sejarah masyarakat. Salah satu yang kemudian
mengundang kontroversi adalah ide pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 tentang
pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme. Hal ini dilakukan pada batasan
wacana, sebab presiden tidak memiliki otoritas. Motivasi yang melatarbelakangi ide
tersebut jelas, yakni membersihkan beban sejarah dari dendam dan trauma masa
lalu, sebab TAP tersebut telah bersifat diskriminatif dengan menciptakan berbagai
pemberangusan gerakan “kiri”, serta “mengutuk” anak cucu PKI dalam isolasi
politik. Ide pencabutan juga berangkat dari fakta, bahwa sekuat apapun sebuah
ajaran di larang, ia akan tetap “menelusup” kedalam relung kesadaran masyarakat.
Pembelaan terhadap minoritas juga dilakukan Gus Dur dengan mencabut
Inpres No 14/1967 tentang agama yang sah, dan agama yang terlarang. Melalui
Keppres No 6/2000, Gus Dur telah menghancurkan otoritarianisme negara atas
kebebasan beragama. Hasilnya, Konghucu dan etnis Cina menikmati kebebasan
ekspresif atas kebuadayaan keagamaannya. Pada level inilah, denegaraisasi agama,
Gus Dur gerakkan, sebagai praksis politik atas gagasan kemandirian agama dari
negara. Sayang, pada pemerintahan Megawati, kemandirian tersebut ditutup
kembali, dengan dicanangkannya RUU Kerukunan Umat Beragama, yang
memasung agama hanya dalam lima agama sah. Hal ini menjadi arus balik
pengaturan agama oleh “agama negara”, yang menahbiskan epos double
otoritarianisme antara politik negara dan politik agama.
Masih banyak usaha-usaha pemerintahan Gus Dur dalam “membebaskan”
masyarakat dari totalitarianisme negara. Dari kebijakan yang bersifat dekonstruktif,
Gus Dur juga mengimbanginya melalui kebijakan rekonstruktif, yakni dengan
menumbuhkan potensi masyarakat yang selama Orba belum tergali. Misalnya,
pendirian Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman, guna memperkuat
kontrol masyarakat atas pelaksanaan hukum aparat negara. Pada tataran ekonomi,
Gus Dur juga mendirikan Departemen Eksplorasi Kelautan dan Perikanan, sebagai
satu usaha menuju pembangunan ekonomi berbasis maritim. Pada tataran global,
Gus Dur telah memprakarsai Poros Asia-Afrika pada KTT G-15 Mei 2001, guna
4
melakukan counter balancing atas dominasi negara maju terhadap negara
berkembang. 3
Sayangnya, berbagai kebijakan radikal demokratisasi tersebut berjalan dalam
sebuah konstruk pertarungan politik, antara Gus Dur dengan politisi partai dalam
parlemen. Para politisi sejak dini sudah “mencari-cari” titik lemah kebijakan Gus
Dur guna menjatuhkan kepresidenan yang konstitusional tersebut. Semisal ide Gus
Dur tentang pencabutan TAP MPRS No XXV/1966. Meski ide itu baru sampai tahap
wacana, namun para “koboi senayan” kemudian memelintirnya demi keuntungan
politik. Sejarah kepresidenan Gus Dur adalah sejarah tenggelamnya ide dan
kebijakan besar tentang deskralisasi negara, demiliterisasi, dan penciptaan ruang
publik masyarakat sipil, dikarenakan nafsu perebutan kekuasaan antara partai
politik, yang melembaga dalam konflik legislatif vs eksekutif.
Konflik tersebut diawali oleh ketidakrelaan F-PDI P dan F-PG atas pemecatan
Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla dari jabatan kementrian. Meski pemecatan ini
merupakan hak prerogatif presiden, namun DPR kemudian mempermasalahkannya
dengan mengajukan hak interpelasi guna meminta keterangan kenapa Gus Dur
mencopot dua menetri tersebut. Konflik mengemuka, ketika dalam klarifikasi, Gus
Dur malah menempatkan interpelasi dalam lanskap perdebatan konstitutif, yakni
mengenai sah tidaknya hak interpelasi itu. Gus Dur kemudian merujuk pada fakta
historisitas konstitusi, bahwa hak interpelasi hanya diatur dalam UU No 4/1999
tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Sayangnya, hak tersebut tidak
mendapatkan dasar legitimatif dari UUD 45, sebab sistem pemerintahan bersifat
presidensial. Dalam sistem ini, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen,
sehingga DPR tidak berhak mengajukan hak interpelasi.
Hal yang sama terjadi pada kasus hak angket guna penyelidikan keterlibatan
Gus Dur dalam kasus dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei. Terdapat
cacat hukum, karena pembentukan Panitia Khusus (Pansus) didasarkan pada UU No
6/1954 yang merujuk pada sistem pemerintahan parlementer dengan payung UUD
RIS 1950. Pasca Dekrit Soekarno 1959, maka konstitusi dikembalikan kembali kepada
3 A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal, Yogyakarta: LKiS, 2002, h., 15-30
5
sistem presidensial dan UUD 45, sehingga dengan sendirinya hak angket tersebut
telah gugur. Memang pada Agustus 2000, MPR telah melakukan amandemen UUD
45 dengan memberikan hak angket bagi parlemen. Namun pada saat pemerintahan
Gus Dur, hak tersebut belum dijabarkan dalam UU, sehingga statusnya masih
“ditangguhkan”. 4
Model manipulasi seperti inilah yang dilakukan para politisi Senayan. Semisal
pemelintiran dari temuan Pansus Bulog-Brunei gate, bahwa Gus Dur “patut diduga”
terlibat, kemudian dipelintir menjadi “sungguh-sungguh” terlibat. Penyimpangan
terjadi dalam dua hal. Pertama, wewenang Pansus yang sebenarnya hanya
melakukan penyelidikan terhadap fakta dan data, namun meluas kepada pemberian
fatwa. Kedua, tidak dilibatkannya lembaga pengadilan dalam mengusut dugaan
keterlibatan Gus Dur. Berdasarkan pemelintiran fakta inilah, DPR kemudian
mengajukan memoradum bagi terselenggaranya Sidang Istimewa MPR.5
Celakanya, motivasi awal, yakni penyelidikan kasus Bulog-Brunei gate,
kemudian mengalami penyimpangan terhadap kinerja pemerintah. Satu fakta
penyimpangan besar-besaran, sebab pansus tidak berhak melakukan penilaian
terhadap kinerja eksekutif. Demikian juga ketika MPR mempercepat pelaksanaan SI,
dari 1 Agustus menjadi 21 Juli 2001, argumen yang diberikan sangat bias dan
inskonstitusional, yakni penyimpangan presiden karena mengganti Kapolri tanpa
persetujuan DPR. Akhirnya pada 21 Juli 2001, SI MPR digelar, dan Gus Dur pun
dikudeta secara inskonstitusional, tanpa adanya pembuktian secara yuridis atas
berbagai tuduhan korupsi dana Yanatera Bulog. Secara dramatis, Gus Dur kemudian
mengakhiri konflik kepentingan ini dengan memberlakukan Maklumat Preisiden 22
Juli 2001, sebagai counter discourse terhadap tata pemerintahan yang timpang, sebab
real konstitusi menetapkan sistem presidensial, sehingga parlemen tidak berhak
menjatuhkan presiden, demikian sebaliknya.
Tragedi yang menimpa kepresidenan Gus Dur ini merupakan pertanda bahwa
demokrasi kita belum terkonsolidasi. Ini terlihat dari ketidakmampuan konstitusi
dalam mengatur konflik antar lembaga tinggi negara. Sentralisasi politik yang telah 4 Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003 h., 353-360 5 Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Studi Kasus Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Grafiti, 2007, h., 129-156
6
7
diruntuhkan oleh Reformasi 1998 tidak membuahkan kesadaran demokratis, di
mana segenap masyarakat politik mematuhi aturan main demokrasi. Yang terjadi
sebaliknya; setiap pihak kini telah memanfaatkan ruang kebebasan demi
kepentingan golongan sendiri. Di sini negara kemudian ditempatkan dalam domain
pluralisme politik. Dalam perspektif ini, negara menjadi bebas nilai; ia hanya ruang
politik yang bebas untuk diperebutkan oleh siapapun, tentu dengan meminjam
sumber daya politik yang disediakan oleh negara. Situasi ini yang menciptakan
“negara untuk negara”, yang sayangnya terbangun bahkan oleh masyarakat politik,
yang pada era otoritarianisme Orde Baru, menjadi gerbong utama masyarakat sipil.
Tragedi kudeta konstitusional yang terjadi pada kepresidenan Gus Dur
menunjukkan prematurnya tanggung jawab politik yang teremban akibat
keberhasilan reformasi. Inilah yang melahirkan homo homini lupus, yang sayangnya
tidak terjadi dalam masyarakat, tetapi bergulat di dalam dan melalui negara. Di sini
negara tidak lagi menjelma ruang publik di mana segenap kelompok melunakkan
kepentingannya untuk bersama memikirkan persoalan publik. Negara dalam situasi
ini telah dijadikan ruang sumber daya demi kepentingan politik kelompok dan
individu, yang tragisnya akan semakin memperkuat negara itu sendiri. Dari sini
menjadi mafhum kenapa berbagai agenda besar yang dicanangkan Gus Dur menjadi
kandas tengah jalan. Tentu, kepentingan kelompok, dan kepentingan stabilitas
sistem negara yang tidak menginginkannya.
Daftar Pustaka Abdurrahman Wahid 1981. Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas ………………………… 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS ……………………….. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS ……………………….. 1999. Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya …………………………2001. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok: Desantara …………………………1991. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. Edisi terbatas ………………………. Islamic Fundamentalism: A Southeast Asian Perspective. sumber tak terlacak ……………………….. Culture Oriented Development Policies and Programs: The Case of Pesantren in Indonesia, makalah International Conference on “Interactions of Development and Culture: from Dilemmas to Opportunities”, oleh Fredrich Naumann Foundation dan International University Foundation, Konigswinter/Bonn, 29 Juni-3 Juli 1987 ……………………….. The Future of Constitutionalism and the Nature of the Polity: the Case of Indonesia’s 1945 Constitution, A working paper for the Asian Regional Institute of the American Council of Learned Societies, Comparative Constitutionalism Project, being held in collaboration with the Law and Society Trust, Sri Lanka. February 23-27, 1989, Chiangmai, Thailand …………………………. Principle of Pesantren Education, makalah the Pesantren Education Seminar, Berlin, oleh TU Berlin dan FNS, Juli 9-12 1987 ………………………. Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988 …………………………. Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban. Sumber tak terlacak ………………………….. Ekonomi Islam: Baru Sebuah Impian dan Utopia, sumber tak terlacak Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984 Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin 9 Atchison Street, 1999 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporery Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006 Donald Eugene Smith, Religion and Political Development, Boston, Massachusetts, Little, Brown and Company, 1970 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971 David Held, Models of Democracy, Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004 Greg Barton, Greg Fealy (ed), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Australia: Monash ASIA Institute, 1996 Geger di “Republik” NU, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999 Hartono Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Jakarta: Darul Falah, 2004 Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996 Juan J. Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan, 2001 Jaringan Islam Liberal, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL-TAF, 2003
1
Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1992 Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Pustakaraya, 2000 Robert W. Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI-TAF, 2001 Robert Bocock, Hegemoni, Yogyakarta: Jalasutra, 2007 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, dari Indonesia hingga Nigeria, Ciputat: Alvabet, 2004 Frans Seda, Orde Baru dan Kultur Politiknya, Prisma, No. 11, November 1980 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981 Asep Taufik Akbar, Akar-akar Pergumulan Kelahiran Konsep Wali al-Amr al-Dlarury bi al-Syaukah, Tashwirul Afkar, Jakarta: Lakpesdam NU Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 M. Ishom El Saha, M. Ag, Epistemologi Hukum Islam Perspektif NU, jurnal Tashwirul Afkar Edisi No. 12/2002, Jakarta: Lakpesdam NU M. AS Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, jurnal Prisma 3, Maret 1991 Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Basis No 01-02, tahun ke-51, Januari-Februari 2002 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogya : LKiS, 2000 A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal, Yogyakarta: LKiS, 2002 Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003 Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Studi Kasus Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Grafiti, 2007 Tim INCReS, Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung : INCReS, 2000.
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nama K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)1 diakui atau tidak merupakan
salah satu sosok intelektual yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan di
kancah politik nasional, hal ini dikarenakan salah satu concern pemikiran
politiknya adalah tentang demokrasi. Aksi pemikiran dan gerakan sosial yang
selama ini dimainkannya tidak pernah bergeser dari gagasan besarnya untuk
menciptakan demokratisasi dalam masyarakat. Penerimaan konsep demokrasi
menurutnya merupakan pilihan logis sebagai salah satu dimensi dalam ajaran
Islam.
Gagasannya tentang demokrasi sebenarnya sudah muncul sejak Orde Baru
berkuasa, lahirnya lembaga-lembaga demokrasi pada era Orde Baru yang
keberadaannya diakui olehnya sebagai mekanisme demokrasi merupakan indikasi
penerimaannya terhadap konsep demokrasi. Namun, kemudian ia menempatkan
demokrasi institusional ini sebagai kritik dengan istilah yang ia lontarkan sebagai
“demokrasi seolah-olah”. Baginya, demokrasi ala Orde Baru terjebak pada
institusi dan prosedur politik. Artinya, institusi dan prosedur yang semestinya
1 Lahir pada 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang. Merupakan anak pertama dari enam
bersaudara. Terlahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil, dia adalah putra tokoh terkenal K. H. Abdul Wahid Hasyim, putra K. H. Hasyim Asy’ari buah perkawinannya dengan Ny. Hj. Solehah, putra K. H. Bisri Syamsuri, salah seorang pendiri NU, pendiri pondok pesantren Denanyar sekaligus pernah menjabat sebagai Rois ‘Aam Syuriah PBNU setelah K. H. Abdul Wahab Hasbullah. Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2004), cet, I h. 68.
1
2
ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam
dirinya sendiri.2
Hal inilah yang menjadi dasar kritiknya, yakni sebuah situasi, dimana
lembaga demokrasi bahkan menjadi penghambat aspirasi atau hak demokratis.
Jadi, bukan hanya lembaga-lembaga tersebut kurang berfungsi sebagai penyalur
kedaulatan rakyat, ia bahkan menghambat kedaulatan tersebut, karena
memposisikan diri sebagai ruang sah bagi demokrasi. Situasi seperti ini tentu
mencederai hakikat demokrasi, karena eksisitensi lembaga politik yang
sebenarnya terposisi sebagai media perwakilan.
Dari kritik atas keterjebakan institusional ini, ia kemudian menambatkan
solusi praksisnya pada konstitusi. Hal ini lahir dari kesadaran diskursif, bahwa
selain lembaga politik, demokrasi juga terbentuk oleh konstitusi. Bahkan
konstitusilah yang menjadi landasan normatif bagi demokrasi. Inilah yang
merupakan landasan dasar pemahaman dan pemikirannya tentang demokrasi.
Dalam tataran praktis, sebagai wujud keprihatinan atas realitas politik
yang terjadi pada saat itu3, Gus Dur dan kawan-kawan4 membentuk sebuah forum
2 Dengan adanya DPR, MPR pemerintah menyatakan bahwa aspirasi rakyat telah
tertampung dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, seakan rasa keadilan rakyat telah terpenuhi. Dengan adanya Komnas HAM, persoalan hak asasi manusia seolah telah teradvokasi pemerintah. Baca, Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 82-88.
3 Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid adalah otoritarianisme Orde Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan institusi demokrasi sebagai pemberangus hakikat demokrasi. Inilah yang akhirnya melahirkan kritik atas pendekatan state centered. Dalam prespektif ini, konstitusi dilihat sebagai payung legitimatif atas gerak kekerasan negara. Sebagai contoh, presiden tidak menanggapi dua surat Ketua Komisi HAM guna membicarakan kondisi dan kasus pelanggaran berat HAM tahun 1997-1998. Kasus penculikan aktifis dibiarkan mengambang. Presiden jarang bicara jelas soal pelanggaran berat HAM dan penyelesaiannya. Baca, Chris Siner Key Timu, “Selesaikan Pelanggaran Berat HAM”, artikel diakses pada 11 Juli 2009 dari http://www.depkumham.go.id/NR/rdonlyres/9AF30E4B-81FD-4F9F-97CE-5D9E6273602D/0/selesaikanpelanggaranham.pdf
3
yang dinamakannya sebagai Forum Demokrasi. Menurutnya, forum ini dibentuk
sebagai upaya menumbuhkan prilaku demokrasi yang lebih penting dari lembaga
demokrasi. Sementara demokrasi itu sendiri, menurutnya, memiliki komponen
yang sangat luas dan itu merupakan komponen yang dicita-citakan Forum
Demokrasi, yakni tegaknya kedaulatan hukum, perlakuan yang sama di depan
undang-undang, kebebasan berpendapat; kebebasan berserikat, sikap saling
hormat dan menghargai antara golongan yang berbeda-beda, serta terbukanya
peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mengabdi kepada negara dan
bangsa ini melalui jalan yang dipilih masing-masing.
Memahami pemikiran dan gagasannya merupakan kajian yang sangat
menarik, terlepas dari persoalan di atas, ia merupakan sosok intelektual yang
secara serius menekuni berbagai bacaan yang dianggap berat sekalipun. Bacaan
yang mendalam atas berbagai karya pemikir-pemikir besar adalah bagian tak
terpisahkan dari perjalanan intelektualitasnya. Di samping itu pula, ia merupakan
sosok yang mengagumi jiwa kebangsaan para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Gus Dur menulis,5
“….Dalam politik saya mengagumi Bung Karno untuk semangat kebangsaanya, kecintaanya kepada bangsa ini begitu kelihatan. Bung Hatta saya kagumi untuk sikap demokratisnya, dia betul-betul seorang demokrat, kompeten, kemampuannya tinggi. Syahrir untuk pandangannya yang jauh ke depan. Agus Salim, Tan Malaka dengan kerakyatannya. Dia tidak mengenal putus asa untuk memperjuangkan rakyat.”
4 Forum ini dibentuk pada tanggal 16-17 Maret 1991 di desa Cibeureum, Bogor. Diantara
tokoh yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Bondan Gunawan, Sutjipto Wirosardjono, Aswab Mahasin, Eko Tjokrodjojo, YB Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, Rahman Tolleng, Kristiya Kartika, Marsilam Simanjuntak, Mimis Sasmoyo, Djohan Effendi, Jaelani Ishaq, Gaffar Rahman, Daniel Dhakidae, dan Mudji Sutrisno. Lihat “Abdurrahman Wahid dkk Bentuk Forum Demokrasi”, Kompas, 4 April 1991, h. 1 dan 5.
5 Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam Hak minoritas Reformasi Kultural, (Yogyakarta: LKis, 1998), cet. Ke-II, h. 166.
4
Referensi yang demikian kuat dalam dirinya membuat dia mampu
memberikan analisis-analisis terhadap berbagai problem sosial politik dan
keagamaan secara rasional dan cerdas. Atas dasar inilah skripsi ini disusun, yakni
untuk mengetahui sejauh mana ide atau gagasan demokrasi yang dilontarkan Gus
Dur serta aplikasinya dalam pentas politik nasional.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang layak untuk
dikaji, diantaranya :
1. Bagaimana demokrasi difahami dan diaplikasikan dalam konteks
Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru?
2. Faktor apa saja yang mengindikasikan sebuah pemerintahan dikategorikan
sebagai pemerintahan yang demokratis dalam pandangan Gus Dur?
3. Upaya apa saja yang telah dilakukan Gus Dur dalam membangun
demokrasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan kegunaan penyusunan skripsi ini adalah :
1. Tujuan
a. Untuk menjelaskan secara rinci pokok pemikiran Abdurrahman Wahid
tentang demokrasi.
b. Untuk mengetahui apa saja yang telah diupayakan Abdurrahman
Wahid dalam membangun demokrasi.
5
c. Untuk menemukan pembenaran tradisi demokrasi dalam ajaran Islam
menurut pandangan Abdurrahman Wahid.
2. Manfaat
a. Penyusunan skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi
positif dalam menemukan bentuk demokrasi -yang paling tidak- ideal
untuk saat ini, serta upaya apa saja yang harus dilakukan baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
b. Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut terutama yang
berminat dibidang politik ke-Indonesiaan.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran penulis terhadap karya ilmiah yang ada, setidaknya
terdapat beberapa tulisan yang selaras dengan bahasan dalam topik skripsi ini,
seperti:
1. Asep Hikmatillah, Kontroversi Kebijakan Politik Abdurrahman Wahid pada
Era Reformasi, 2006: studi ini menitikberatkan pada kebijakan-kebijakan
politik yang diambil Abdurrahman Wahid ketika menjabat Presiden RI ke-4,
apakah akan membawa perubahan yang lebih baik dengan mengeluarkan
kebijakan yang berpolemik dan kontroversial, atau sebaliknya. Adapun
kebijakan itu antara lain; pencabutan TAP MPR tentang pelarangan ajaran
Komunisme, Marxisme, Leninisme; penghapusan Departemen Sosial dan
6
Departemen Penerangan; penghapusan Badan Pemantapan Stabilitas Nasional
(Bakortanas) dan Lembaga Penelitian Khusus (Litsus).
2. Anshori, Hubungan Sipil-Militer dalam Transisi Demokrasi: Studi Pemikiran
Gus Dur, 2006: studi ini menjelaskan tentang bagaimana seharusnya
menempatkan hubungan sipil-militer dalam sebuah negara yang mengalami
transisi demokrasi paskan jatuhnya Presiden Soehart, hal inni dikarenakan pada
masa itu posisi terbut akan menentukan jalannya proses demokratisasi di
Indonesia terutama masalah kehanan negara RI.
3. Supriyadi, Peran Politik Gus Dur dalam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),
2008: kajian ini berangkat dari opini bahwa PKB adalah Gus Dur, dan bukan
sebaliknya Gus Dur milik PKB, hal ini menimbulkan anggapan bahwa PKB
sangat bergantung pada Gus Dur yang dijadikan panutan dan rujukan oleh
banyak orang dalam menjelaskan persoalan-persoalan umat dan bangsa, baik
itu menyangkut persoalan agama, budaya dan politik hingga ia mendapatkan
penghargaan Nasional maupun Internasional dalam memperjuangkan
demokrasi dan menegakkan HAM.
4. Warno, Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Dasar
Negara, 2009: kajian ini dilakukan untuk menjawab persoalan hubungan antara
agama dan negara dalam pandangan Abdurrahman Wahid, hal ini dilakukan
untuk menemukan makna Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, agama serta budaya.
Keempat judul diatas merupakan hasil karya yang berbentuk skripsi
mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Pemikiran Politik Islam UIN
7
Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penulis juga banyak menemukan buku
yang menjelaskan tentang pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh Gus Dur,
baik tulisan-tulisan pribadi seperti: Membangun Demokrasi, Bandung:
Rosdakarya, 1996, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo,
1999, Islam, Negara dan Demokrasi, Jakarta: Erlangga, 1999, Tabayun Gus Dur:
Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural, Yogyakarta, LKis, 1998.
Selain itu, pemikiran Gus Dur pula telah banyak dikaji para akademisi dan
peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri. Kajian yang ada, misalnya
membandingkan beberapa tokoh Indonesia, antara Abdurrahman Wahid dan M.
Amien Rais6, serta antara Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish
Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat.7 Adapun kajian yang secara spesifik ditujukan
kepada pemikiran Gus Dur sangat banyak jumlahnya.8
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
6 Misalnya karya Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural,
Yogyakarta: Laelathinkers, Mei 2003, karya suntingan Arif Affandi, Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, serta karya Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
7 Lihat, karya Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998, cet. Ke-I.
8 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdala, (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKis, 2000, Arsyil A’la Al Maududi, Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur, Yogyakarta: Wihdah Press, 2000, Al Zastrauw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Jakarta: Erlangga, 1999, Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Pemikiran Gus Dur II: Menyakiti Hati Umat, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2000, Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, cet. ke-I.
8
Dalam karya ilmiah, metode penelitian merupakan hal yang harus
dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Metode dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur
sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk mencapai maksud ini,
maka secara metodologis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan
metode deskriptif-analitis.
Pendekatan penelitian kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan untuk
menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang demokrasi dalam
pandangan K. H. Abdurrahman Wahid.
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, sumber data yang bersifat primer adalah buku-buku
atau karya ilmiah yang memuat gagasan atau ide tentang demokrasi dari
Abdurrahman Wahid. Data ini di dukung pula oleh karya para ahli baik melalui
buku maupun karya ilmiah mereka yang mengkaji gagasan dan pemikiran
Abdurrahman Wahid.
3. Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan cara memeriksa
seluruh data yang terkumpul untuk dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan
dalam proses penelitian deskriptif-analisis
9
Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku,
“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi), yang
diterbitkan oleh Ceqda, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menyusunnya ke dalam lima bab.
BAB I yaitu pendahuluan yang menjadi landasan dasar penyusunan skripsi ini.
Dengan membaca bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa sebenarnya
yang melatarbelakangi perlunya pembahasan mengenai demokrasi dalam
pandangan K. H. Abdurrahman Wahid serta signifikansinya terhadap khazanah
pemikiran yang telah ada. Dalam bab ini dipaparkan mulai dari latar belakang
masalah, sampai munculnya pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,
telaah pustaka, pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini serta
sistematika penulisan.
Selanjutnya BAB II, membahas tentang gambaran umum mengenai
demokrasi sebagai kerangka teori dalam sebuah pemahaman yang meliputi:
pengertian, batasan dan parameter demokrasi, demokrasi antara idea dan realitas
serta beberapa varian demokarsi. Penjelasan ini penyusun anggap perlu untuk
mengetahui apa sesungguhnya makna yang terkandung dalam demokrasi.
Pada BAB III, akan di bahas tentang biografi K. H. Abdurrahman Wahid
yang meliputi latar belakang keluarga, pendidikan serta aktivitas kesehariannya,
pemikiran dan aksinya di pentas politik nasional. Hal ini penyusun anggap penting
dikarenakan untuk mengetahui secara komprehensif gagasan dan pemikiran yang
10
dilontarkan Abdurrahman Wahid, terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana
situasi dan kondisi lingkungan yang telah membentuk dirinya.
Selanjutnya BAB IV, berisi unsur terpenting demokrasi dalam pemikiran
K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi: kedaulatan hukum, pengakuan Hak
Asasi Manusia, meningkatkan kesejahteraan sosial, pemberdayaan masyarakat
sipil dan penghargaan terhadap pluralitas. Pembahasan dilanjutkan dengan
melakukan analisis kritis terhadap pemikirannya.
BAB V, berisi tentang kesimpulan dan memuat tanggapan serta saran-
saran penulis yang berhubungan dengan obyek studi yang diambil oleh penulis.
Bab ini sekaligus disertai dengan daftar pustaka.
BAB II
TEORI DEMOKRASI:
SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam upaya memahami detil pemikiran dan gagasan Gus Dur tentang
demokrasi, akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa teori demokrasi yang telah
dikemukakan oleh para teoritisi ilmu sosial. Hal ini dimaksudkan selain untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif, juga untuk menemukan korelasi
antara teori dengan praktik demokrasi yang selama ini diperjuangkannya.
Betapapun Gus Dur tidak memberikan penjelasan tentang demokrasi
secara definitif sebagaimana telah dijelaskan pada BAB I, namun terdapat
beberapa doktrin tetap yang disepakati Gus Dur dalam kaitannya dengan
demokrasi, seperti keadilan, persamaan, musyawarah dan pluralitas.
Pada bab ini akan dijelaskan secara singkat sejarah, pengertian, parameter
dan konsep serta varian demokrasi9 yang digunakan sebagai acuan untuk
mengetahui gagasan demokrasi dalam pandangan Gus Dur yang akan di bahas
secara lebih rinci pada BAB IV.
A. Definisi dan Parameter Demokrasi
Sejarah peristilahan “demokrasi” dapat ditelusuri jauh ke belakang.
Konsep ini ditumbuhkan pertama kali dalam praktek negara-kota Yunani dan
9 Pada pembahasan tentang varian demokrasi, penulis berupaya untuk menjelaskan bahwa gagasan dan pemikiran Gus Dur tentang demokrasi tidak masuk pada kategori demokrasi rakyat atau demokrasi liberal, melainkan lebih mengarah pada upaya memaknai demokrasi pancasila secara lebih paripurna sebagaimana akan dijelaskan pada BAB IV.
11
12
Athena (450 SM dan 350 SM). Dalam tahun 431 SM, Pericles, seorang agamawan
ternama dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa
kriteria: Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh
dan langsung. Kedua, kesamaan di depan hukum. Ketiga, pluralisme, yaitu
penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan. Keempat,
penghargaan atas suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan
mengekspresikan kepribadian individu. Dalam zaman yang sama kita pun dapat
berkenalan dengan pemikiran politik Plato, Aristoteles, Polybius, dan Cicero10 –
untuk menyebut sebagian diantara jajaran pemikir masa itu- yang juga meletakkan
dasar-dasar dari pengertian demokrasi.
Dalam perkembangannya kemudian, pertumbuhan istilah demokrasi
mengalami masa subur dan pergeseran ke arah pemoderenan pada masa
kebangunan kembali dan renaissance. Dalam masa ini muncul pemikiran-
pemikiran besar tentang hubungan antara penguasa atau negara di satu pihak
dengan rakyat di pihak lain. Yaitu pemikiran baru dan mengejutkan tentang
kekuasaan dari Niccolo Machiavelli (1469-1527), serta pemikiran tentang kontrak
sosial dan pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke
(1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-
1778).11 Pemikiran-pemikiran dari sejumlah nama besar tersebut telah
memberikan sumbangan yang penting bagi pendefinisian kembali demokrasi.
10 Sukron Kamil, MA., Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual & Historis, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), cet. Ke-1, h. 1-2. Lihat Pula Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais (Jakarta: Teraju, 2005), h. 19-24.
11 Kamil, MA., Islam & Demokrasi, h. 8-10.
13
Satu hal yang kita baca dari berbagai studi penelusuran istilah demokrasi
adalah bahwa demokrasi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat. Semakin tinggi tingkat kompleksitas kehidupan masyarakat maka
semakin rumit dan tidak sederhana pula demokrasi didefinisikan. Salah satu hasil
akomodasi pendefinisian demokrasi terhadap tingkat perkembangan masyarakat
adalah semakin tergesernya kriteria partisipasi langsung rakyat dalam formulasi
kebijakan -yang menjadi kriteria pertama Pericles- oleh model perwakilan.
Dalam kerangka perkembangan ini, kita dapat menelusuri berbagai
pendefinisian demokrasi sebagai sebuah idea politik modern melalui paparan
berikut ini.
Robert A. Dahl dalam studinya yang terkenal mengajukan lima kriteria
demokrasi sebagai sebuah idea politik. Yaitu: Pertama, persamaan hak pilih
dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi efektif
yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan
keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran yaitu adanya peluang
yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya
proses politik dan pemerintahan secara logis. Keempat, kontrol terakhir terhadap
agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menyatukan
agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan,
termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang
mewakili masyarakat. Kelima, pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat
mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dalam
definisinya ini tampak bahwa Dahl mementingkan keterlibatan masyarakat dalam
14
proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan terhadap kekuasaan dan
dijaminnya persamaan perlakuan negara terhadap semua warga negara sebagai
unsur-unsur pokok demokrasi.12
Masih dalam kerangka pendefinisian demokrasi yang bersifat umum dan
menyeluruh, Amien Rais memaparkan adanya sepuluh kriteria demokrasi, yaitu:
(1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3)
distribusi pendapatan secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5)
empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
persurat-kabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6)
ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen (tatakrama
politik), (8) kebebasan individu, (9) semangat kerjasama, dan (10) hak untuk
protes.13
Kriteria yang lebih menyeluruh diajukan oleh Gwendolen M. Carter dan
Jhon H. Herz, keduannya mengkonseputalisasikan demokrasi sebagai
pemerintahan yang dicirikan oleh dijalankannya prinsip-prinsip berikut: (1)
pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi
individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara
berkala, tertib dan damai melalui alat-alat perwakilan yang efektif, (2) adanya
sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, (3) persamaan di depan
hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa
membedakan kedudukan politik, (4) adanya pemilihan yang bebas dengan disertai
12 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (Jakarta:
Rajawali Pers, 1985), h. 10-11. 13 Amien Rais, “Demokrasi dan Proses Politik”, dalam pengantar buku Demokrasi dan
Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), h. xvi-xxi.
15
adanya model perwakilan yang efektif, (5) diberinya kebebasan berpartisipasi dan
beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan
perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa, (6)
adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya
betapapun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu, (7)
dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan
lebih mengutamakan penggunaasn cara-cara persuasi dan diskusi dari pada koersi
dan represi.14 Sedangkan Clark D. Neher melihat demokrasi dari sudut jaminan
terhadap pluralisme, bagi Neher, demokrasi adalah suatu sistem politik yang di
dalamnya terdapat jaminan bagi setiap elemen pluralitas untuk mengekspresikan
kepentingannya dengan disertai tetap terjaganya kestabilan dan kelangsungan
sistem politik tersebut. 15
Sementara itu, Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl mendefinisikan
demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah diminta
tanggung jawab atas tindakan-tindakan di wilayah publik oleh warga negara, yang
bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil
mereka yang terpilih.16 Pengertian ini menekankan adanya tindakan yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Adapun definisi demokrasi menurut David Bheetam adalah sebuah cara
pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara
14 Gwendolen M. Carter dan Jhon H. Herz, “Peran Pemerintah dalam Masyarakat Masa
Kini” dalam Miriam Budiardjo, ed., Masalah Kenegaraan (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 86-87. 15 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi a la Orde Baru: Masalah dan Masa
Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: Rosdakarya, 2000), cet. ke-II, h. 10. 16 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim
Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 73-74.
16
kolektif, yang dikenai kontrol dari rakyat. Jadi menurutnya tatanan yang paling
demokratis adalah yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati
hak yang setara dan efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam
pengambilan keputusan semacam itu. Elemen kunci dari definisi ini adalah
kontrol masyarakat dan kesetaraan politis.17
Dalam bahasa yang lebih rinci, Sukron Kamil mendefinisikan demokrasi
sebagai suatu sistem politik dimana pemilu yang jujur dan adil serta accuntability
sebagai intinya. Artinya bahwa dalam demokrasi rakyat berdaulat, tetapi karena
ketidakmungkinan rakyat menjalankan kedaulatannya sendiri dalam negara
nasional yang mempunyai wilayah luas, berbeda dengan city state Athena, maka
kedaulatannya diserahkan kepada wakilnya di parlemen (lembaga perwakilan
rakyat) lewat pemilu yang jujur dan adil. Selanjutnya mengingat dalam demokrasi
pemilu merupakan mekanisme kontrol rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu
dipaksa untuk bertanggung jawab jika ia ingin dipilih kembali. Dalam hal ini,
demokrasi memang menjunjung tinggi mayoritas, tetapi bukanlah mayoritasisme.
Dalam demokrasi mesti tercakup kompromi yang adil yang tidak mengganggu
kepentingan minoritas yang paling fundamental. Demokrasi adalah majority rule,
minority right.18 Pengertian ini kemudian dikuatkan oleh Denny Gahral Adian,
yang mengatakan demokrasi adalah sebentuk prosedur yang memaksa kerja sama
politik secara konstitusional19. Prosedur demokrasi tidak membiarkan satu
17 Andres Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di
Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 11. 18 Syukron Kamil, MA., Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002), h. 195. 19 Yakni konstitusi yang berbasiskan hak-hak demokratis, prosedur yang meminimalisasi
dominasi, habitus nondominasi dalam kultur politik.
17
kelompok memaksakan satu artikulasi politiknya. Ia juga tidak mengejar
kehendak umum. Prosedur demokratis memaksa berbagai kelompok dengan
ambisi masing-masing mencapai apa yang dalam teori permainan (game theory)
disebut saddle point. Semua kelompok yang terlibat dipaksa untuk sampai pada
titik tawar maksimal yang mana mereka tak bisa menawar lebih dari itu.20
Dalam definisi-definisi demokrasi tersebut di atas, para ahli politik
tersebut tampaknya mementingkan atau mendahulukan keterlibatan rakyat dalam
proses pengambilan keputusan atau kebijakan politik. Rakyat (warga negara) juga
harus mengawasi jalannya keputusan (kekuasaan) dan mendapat jaminan
persamaan perlakuan dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, sekalipun
terminologi demokrasi memiliki banyak batasan pengertian, namun batasan yang
dikemukakan para pakar politik tersebut tampak menemukan titik temu yang
sama. Yaitu, bahwa demokrasi memiliki doktrin dasar yang tidak pernah berubah.
Doktrin tersebut adalah adanya keikutsertaan anggota masyarakat, yaitu
partisipasi rakyat dalam menyusun agenda politik yang dijadikan landasan
pengambilan keputusan.21
B. Demokrasi; Idea dan Realitas Politik
Demokrasi memiliki dua komponen dasar: substantif dan prosedural.
Komponen pertama adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai-
nilai dasar bagi suatu tatanan (sistem) kehidupan politik dan ketatanegaraan yang
keberadaanya mutlak diperlukan serta membedakannya dengan sistem yang lain.
20 Donny Gahral Adian, “Mengingatkan Demokrasi,” Kompas, 31 Agustus 2006, h. 6. 21 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais
(Jakarta: Teraju, 2005), cet. ke-1, h. 32
18
Komponen kedua adalah seperangkat tata cara yang dipergunakan agar sistem
tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks masyarakat tertentu.
Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan permanen,
maka komponen kedua bersifat kontekstual dan bentuknya terus menerus
mengalami perkembangan serta terbuka (open-ended). Kendati keduanya tak
dapat dipisahkan, namun kedua elemen tersebut dapat dibedakan satu dari yang
lain.
Dalam kerangka ini kita membutuhkan definisi yang operasional dan dapat
menterjemahkan demokrasi sebagai ideologi politik ke dalam kriteria-kriteria
praktek politik –terlepas dari tahap transformasi atau gelombang mana demokrasi
itu berada sebagaimana dinyatakan Roberth A. Dahl maupun Samuel P.
Huntington.22
Pertama, partisipasi politik yang luas dan otonom dari seluruh elemen
masyarakat. Pembatasan partisipasi adalah sebuah praktek anti-demokrasi.
Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan adanya partisipasi politik yang luas,
dalam arti tidak ada pembatasan dan ekslusifitas dalam penentuan sumber-sumber
rekrutmen politik dan tidak ada pula ekslusifitas dalam formulasi kebijakan-
kebijakan politik.
Kedua, sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif.
Praktek demokrasi mensyaratkan adanya jaminan mekanisme sirkulasi
kepemimpinan politik yang diadakan secara berkala, selektif, kompetitif dan
melibatkan keseluruhan elemen masyarakat dalam prosesnya. Baik keberkalaan,
22 Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), h. x. dan Samuel P. Hantington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1995), h. 4.
19
selektivitas maupun sifat kempetitif dan sirkulasi kepemimpinan politik
merupakan kriteria-kriteria operasional yang amat penting.
Ketiga, kontrol terhadap kekuasaan yang efektif. Sentralisasi kekuasaan
dan akumulasi kekuasaan yang senjang adalah kondisi anti-demokrasi. Kontrol
terhadap kekuasaan ini dinilai efektif manakala ia dijalankan baik oleh
kelembagaan politik formal di tingkat supra struktur (semacam parlemen atau
legislatif dan yudikatif), maupun kelembagaan politik di tingkat infra struktur
(semacam media masa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain-
lain). Di sampang itu, masyarakat secara perseorangan dan kelompok tak-
terorganisasi juga diberikan keleluasaan untuk mengontrol kekuasaan. Dalam
kerangka ini, oposisi adalah prasyarat demokrasi yang penting.
Keempat, kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana
kebebasan. Kompetisi ini meliputi kompetisi antar-elemen masyarakat, elemen
masyarakat dengan elemen negara, antar-elemen-elemen di dalam negara, secara
leluasa dan sehat. Dalam kerangka ini, perbenturan kepentingan dan nilai politik
dimungkinkan terjadi sejauh tidak menjadikan kehancuran bagi sistem politik.
Lain halnya dengan Nurcholish Madjid. Dalam upayanya menterjemahkan
demokrasi sebagai ideologi politik ke dalam kriteria praktek politik, ia kemudian
menempatkannya dalam bahasa budaya, menurutnya demokrasi bukanlah kata
benda, tetapi lebih merupakan kata kerja, sebagai proses demokratisasi.
Demokrasi adalah suatu kategori dinamis. Ia senantiasa bergerak atau berubah.
Kadang negatif (mundur), kadang positif (berkembang maju). Oleh karena itu,
dengan mengutip Willy Eichler, ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman, jelasnya
20
kemudian, demokrasi akhirnya menjadi sama dengan proses demokratiasasi.
Sebab itu, suatu negara atau masyarakat dapat disebut demokratis, jika padanya
terdapat proses-proses perkembangan menuju keadaan yang lebih baik dalam
melaksanakan HAM dan menjunjung tinggi nilai keadaban atau civility
(madaniah) dalam bentuk keterikatannya pada supremasi hukum dan peraturan.
Demokrasi dalam hal ini adalah proses melaksanakan nilai-nilai civility
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Demokrasi adalah proses menuju
dan menjaga civil society (masyarakat madani) yang menghormati dan berupaya
merealisasikan nilai-nilai demokrasi sebagai way of life-nya.23 Yang dimaksud
dengan civil society di sini, pengertianya, bersifat elektik. Yakni sebagaimana
definisi Muhammad AS. Hikam, wilayah-wilayah kehidupan yang terorganisasi
dan bercirikan antara lain; keterikatan pada norma-norma atau nilai hukum yang
diakui, kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian yang
tinggi berhadapan dengan negara.24 Masyarakat yang demikian itulah sebagai
rumah bagi demokrasi. Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa adanya masyarakat
yang demikian.
Berikut ini beberapa nuktah penting pandangan hidup demokratis,
berdasarkan bahan-bahan yang sedikit banyak telah berkembang, baik secara
teoritis maupun praktis di negara-negara demokratis yang cukup mapan:25
Pertama, prinsip kesadaran kemajemukan. Yang dimaksud dengan
kesadaran akan kemajemukan (pluralisme) ini tidak hanya suatu kesadaran pasif
23 Nurcholish Madjid, “Transisi ke Demokrasi” dalam Fatsoen Tekad No. 16/th. I, 15-21
Februari 1999. 24 Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 3. 25 Nurcholish Madjid, “Membangun Rumah bagi Demokrasi Indonesia”, Madani Edisi I,
11-18 Maret 1999.
21
akan kenyataan pluralisme, teapi lebih dari itu. Yaitu disertai dengan usaha aktif
untuk menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan segi positif dari pluralisme
ini untuk memperkaya proses-proses berbangsa dan bernegara, untuk suatu tujuan
kebersamaan yang lebih tinggi. Prinsip ini secara jelas mengemukakan bahwa
suatu titik temu bersama sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita
kebangsaan bersama.
Kedua, prinsip musyawarah. Musyawarah dalam bahasa Arab bermakna
saling memberi isyarat. Dengan keinsyafan ini berarti bahwa ada kedewasaan
dengan tulus menerima kemungkinan untuk berkompromi, bahkan kalah suara.
Semangat yang mendasari keinsyafan ini menuntut agar setiap orang menerima
kemungkinan terjadi “partial functioning of ideals”- pandangan dasar bahwa
belum tentu dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau
kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Inilah bentuk kompromi
atau ishlah yang perlu dijunjung dalam suatu masyarakat yang sedang menuju ke
demokrasi. Prinsip ini menuntut kedewasaan dalam mengemukakan pendapat,
menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih
baik. Prinsip musyawarah ini juga menentang monolitisme dan absolutisme.
Ketiga, prinsip cara haruslah sesuai dengan tujuan. Prinsip ini
mengemukakan dasar bahwa suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan dengan
kebaikan cara yang ditempuh untuk meraihnya. Penerapan prinsip ini menuntu
suatu standar moral politik yang tinggi. Dengan kata lain, demokrasi tidak
terbayang tanpa akhlak. Demokrasi juga membutuhkan tingkat kepercayaan yang
22
tinggi, yang membebaskan seseorang atau kelompok dari kekhawatiran yang
berlebihan terhadap orang atau kelompok lain.
Keempat, prinsip pemufakatan yang jujur, ini adalah buah dari penerapan
permusyawaratan yang jujur dan sehat. Dengan begitu, prinsip ini sebenarnya
menolak jenis-jenis pemufakatan yang dicapai melalui perekayasaan, manipulasi,
atau taktik-taktik yang sesungguhnya hanya curang, cacat dan sakit, bahkan
mengkhianati nilai dan semangat demokrasi itu sendiri, yang menuntut ketulusan
dalam proses sosial, di mana perlu pembebasan diri dari vested interest (egoisme)
yang sempit.
Kelima, prinsip pemenuhan kehidupan ekonomi dan perencanaan sosial
budaya. Prinsip ini sangat penting bagi terrealisasinya kehidupan demokrasi. Ada
indikasi langsung antara kemakmuran dan kehidupan demokrasi. Karena itu,
penting sekali suatu perencanaan pemenuhan kehidupan ekonomi rakyat, dan
pemenuhan hak-hak sosial politik yang check list-nya adalah nilai-nilai
kemanusiaan yang universal, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Keenam, prinsip kebebasan nurani (freedom of conscience). Ini adalah
prinsip dasar dalam politik yang merupakan nilai-nilai asasi dalam demokrasi.
Prinsip ini memperkuat egalitarianisme dan tingkah laku penuh percaya diri pada
itikad baik orang dan kelompok lain. Dengan demikian, prinsip ini meneguhkan
pandangan manusia yang positif dan optimis, yang akan medorong kerjasama
antar warga masyarakat dan saling mempercayai itikad baik masing-masing,
kemudian jalinan dukung-mendukung secara fungsional antara berbagai unsur
kelembagaan kemasyarakatan yang ada, yang merupakan segi penunjang efisiensi
23
untuk demokrasi. Maka atas dasar kebebasan nurani ini pula, pada dasarnya
demokrasi menolak suatu masyarakat yang terpecah belah.
Ketujuh, prinsip perlunya pendidikan demokrasi. Ini adalah hal yang
sangat mendasar. Mengingat demokrasi, seperti yang telah disinggung, merupakan
kata kerja sebagai proses menuju dan mempertahankan demokrasi, maka
demokrasi bukanlah suatu yang akan terwujud bagaikan jatuh dari langit,
melainkan menyatu dengan pengalaman nyata, usaha dan elsperimentasi kita
sehari-hari.
Kriteria-kriteria operasional itulah yang dapat dijadikan ukuran minimal
bagi praktek demokrasi. Dengan praktek politik yang menjamin terlaksananya
kriteria tersebut, maka apa yang disebut Dahl sebagai keunggulan proses
demokrasi dapat terbentuk.26 Yaitu: (1) demokrasi meningkatkan kebebasan
dalam bentuk yang tidak dapat dilakukan oleh alternatif lain manapun, yakni
kebebasan penentuan nasib sendiri secara individual maupun bersama, serta
kebebasan dalam tingkat otonomi moral; (2) demokrasi meningkatkan
perkembangan manusia, dalam hal kemampuannya untuk menentukan nasibnya
sendiri, pemilikan otonomi moral dan pertanggungjawaban terhadap pilihan yang
diambilnya; dan (3) demokrasi merupakan cara yang paling pasti yang dapat
digunakan manusia untuk melindungi dan memajukan kepentingan dan kebaikan
yang sama-sama mereka miliki dan orang lain. Kerangka konseptual seperti
tergambar di atas menjadi pegangan Gus Dur dalam mengungkapkan
26 Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
1992), jilid 2, h. 167-168.
24
pemikirannya tentang demokrasi -sebagaimana akan dibahas pada bab
selanjutnya.
C. Varian-varian Demokrasi
Keadaan kultural dan sejarah yang berbeda dari masing-masing negara,
serta perbedaan penekanan pada kebebasan atau persamaan, segi formal atau segi
materil dari demokrasi yang diutamakan menyebabkan tidak ada dua negara di
dunia ini yang betul-betul sama dalam mengartikan dan melaksanakan demokrasi.
Tetapi dari sekian banyak ide atau praktek tentang demokrasi paling tidak dapat
diketengahkan dua faham yang paling penting yaitu demokrasi konstitusional dan
demokrasi rakyat dan ditambah aliran ketiga yaitu demokrasi pancasila yang
dianut di Indonesia.
1. Demokrasi Konstitusional
Demokrasi ini sering juga disebut demokrasi liberal,27 model demokrasi
ini memiliki akar-akar doktrinal dalam liberalisme Jhon Locke, Rousseau,
Montesquieu, Jhon Stuart Mill, Jeremy Beetham dan lain-lain. Demokrasi ini
merupakan demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau individualitas.
Menurut Hans Kelsen, salah seorang pelopor dari aliran ini, negara yang tidak
menjamin kebebasan anggota masyarakatnya bukanlah negara demokrasi. Karena
27 Sistem ini muncul karena adanya ketidakpuasan di kalangan rakyat akan kekuasaan
gereja yang jumud dan anti pembaharuan. Selain itu sistem politik pada masa itu memberikan kesempatan pada kalangan aristokrat, tuan tanah, bangsawan kerajaan memiliki kekuasaan yang besar tanpa batas, sehingga hak-hak dasar rakyat tidak terpenuhi. Lahirnya liberalisme berawal dari negara-negara Eropa Barat pada abad ke 15 dan 16. Baca Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), cet. ke-19. h. 53-55.
25
itu dia membedakan dua macam negara yaitu negara bebas dan negara yang tidak
bebas. Ciri khas dari demokrasi konstitusional ini ialah bahwa pemerintahnya
terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap
warga negaranya. Cara yang terbaik membatasi kekuasaan pemerintah tersebut
ialah melalui suatu konstitusi. Konstitusi menjamin hak-hak asasi warga
negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga
kekuasaan eksekutif diimbangi oleh legislatif (Parlemen) dan kekuasaan Yudikatif
(lembaga hukum yudikatif).
Setidaknya terdapat empat prinsip yang terkandung dalam demokrasi
liberal. Pertama, kebebasan individual (individual freedom). Dalam demokrasi
liberal, kebebasan individual menempati posisi terpenting sebab kebebasan
merupakan nilai dasar manusia. Dengan memiliki kebebasan, individu akan
menemukan jati dirinya sebagai manusia yang kreatif, kaya inisiatif, kritis dan
lain-lain. Kebebasan dalam pengeritan demokrasi liberal bukanlah kebebasan
yang tanpa batas (total freedom) untuk melakukan apapun yang dikehendaki
individu. Kebebasan individu dapat dibenarkan atau ditolelir sejauh kebebasan itu
tidak mengganggu atau mengancam kebebasan individu lain dalam masyarakat.
Kedua, kontrak sosial. Menurut Michael Margolis, kontrak sosial
merupakan suatu pandangan politik yang sangat liberal. Dalam bentuknya yang
paling revolusioner menurut Margolis kontrak sosial menekankan hak-hak warga
negara dan memberikan pembenaran politis bagi pembentukan lembaga-lembaga
yang dibentuk atas kehendak rakyat. Di sisi lain, dalam bentuknya yang
26
konservatif kontrak sosial menekankan arti pentingnya kepentingan-kepentingan
komunitas, sikap-sikap moderat dan gradualisme.
Ketiga, demokrasi liberal menganut prinsip pasar bebas (free market
society). Dalam demokrasi ini segala sesuatu yang dianggap mempengaruhi
kehidupan individu atau rakyat banyak ditentukan sepenuhnya oleh negosiasi atau
bargaining, proses tawar menawar dari individu atau masyarakat bersangkutan.
Keputusan-keputusan penting ditentukan oleh pasar secara bebas. Dalam bidang
ekonomi misalnya, produk-produk konsumtif ditentukan sepenuhnya oleh
mekanisme pasar bebas.
Keempat, demokrasi liberal mengakui eksistensi pluralitas sosio-kultural
dan politik masyarakat. Perbedaan pandangan, ideologi dan prinsip-prinsip hidup
(way of life) dianggap sebagai suatu kewajaran. Pengakuan terhadap pluralitas itu
tercermin dari sistem kepartaian yang dianut negara-negara demokrasi liberal.
Umumnya negara-negara itu menganut sistem multi-partai (multi-party system)
atau sistem dua partai (two party system). Dalam dua sistem kepartaian pertama
secara implisit mengandung unsur pengakuan terhadap pluralitas sosio-kultural
dan politik masyarakat, sedangkan dalam sistem partai tunggal cenderung
menunjukkan penolakan terhadap keanekaragaman itu.
Dengan adanya lebih dari satu partai, secara implisit juga menunjukkan
bahwa individu diberikan kebebasan untuk menjadi anggota, aktivis, atau
27
memberikan suara kepada satu diantara beberapa partai yang ada dalam pemilihan
umum.28
2. Demokrasi Rakyat
Banyak nama yang sering diberikan pada demokrasi tipe ini, yaitu
demokrasi proletar, demokrasi komunis, marxis komunisme atau demokrasi
Sovyet. Tokoh dari aliran ini antara lain Robert Owens, Saint Simon, Fourier dan
yang terpenting adalah Karl Marx. Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx
adalah masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana
manusia dibebaskan dari keterikatannya kepada milik pribadi dan tidak ada
eksploitasi, penindasan dan paksaan, tetapi anehnya untuk mencapai masyarakat
yang bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan serta kekuatan yaitu
dengan perebutan kekuasaan oleh kaum buruh dari tangan kapitalis. Ucapan Marx
tentang ini ialah kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang sedang
hamil tua dengan masyarakat baru. Demokrasi rakyat (totalliterisme komunis)
oleh M. Carter dicirikan oleh dorongan untuk memaksakan persatuan,
penghapusan oposisi terbuka dan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu
mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan yang
menjalankan kekuasaan melalui suatu elit yang kekal.
Selain apa yang telah dikemukakan di atas, demokrasi komunis memiliki
ciri-ciri lainnya. Demokrasi ini bersifat masyarakat anti pasar. Dalam masyarakat
anti pasar, tidak diperkenankan kebebasan bernegosiasi sesuatu yang
28 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), cet. ke-II. h. 317-318.
28
memperngaruhi dan menentukan kehidupan individu dalam masyarakat.
Hubungan-hubungan sosial, keagamaan, ekonomi dan politik diatur oleh negara.
Di bidang perekonomian, harga semua produk tidak ditentukan oleh pasar atau
keputusan-keputusan hasil negosiasi, melainkan oleh negara. Kecendrungan ini
menimbulkan ciri lain dari demokrasi komunis, yaitu adanya maksimalisasi peran
negara. Jadi, moralitas ditentukan oleh negara. Maksimalisasi peranan negara
menimbulkan kecendrungan lain dalam negara demokrasi komunis, yaitu kurang
diakuinya privatisasi dan kebebasan sektor-sektor swasta (non-negara) untuk
mengembangkan diri. Hak-hak privat dan dominasi sektor swasta dianggap
kejahatan sosial dan dianggap sumber berbagai ketimpangan sosial ekonomi.29
Pembatasan partisipasi politik merupakan ciri lain demokrasi komunis.
Dalam negara komunis partisipasi politik hanya ditolelir sejak ia mendukung
kekuasaan rezim yang berkuasa. Partisipasi politik yang berbeda dengan aspirasi
pemerintah dianggap sebagai kegiatan ilegal dan kegiatan subversif. Karena
partisipasi politik diperkenankan sejauh dimaksudkan untuk mendukung
penguasa, maka terdapat kecendrungan dimana partisipasi di negara-negara
demokrasi komunis lebih bersifat partisipasi yang dimobilisasi. Kegiatan politik
bukanlah merupakan partisipasi yang benar-benar muncul karena kesadaran diri,
otonom dan sukarela.
Demokrasi komunis juga kurang mengenal kebebasan pers, sebab pers
atau media masa sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan. Pers hanya
diperkenankan menyuarakan aspirasi, program dan cita-cita elit penguasa. Maka
29 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran
Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), cet. ke-II. h. 313.
29
dalam demokrasi komunis, pers tidak bisa disebut sebagai pilar keempat (the
fourth pillar) demokrasi sebab pers, misalnya, tidak bisa secara bebas
menyuarakan pandangan, aspirasi, gagasan dan penyelewengan kekuasaan negara.
Ciri umum lainnya dari negara yang menganut demokrasi komunis adalah
digunakannya sistem partai tunggal dominan (one party system). Di negara
demokrasi komunis tidak dikenal persaingan atau kompetisi partai-partai seperti
yang terdapat dalam demokrasi liberal. Sebab hanya ada satu partai yang
berkuasa. Kalaupun ada partai-partai lainnya, pada umumnya lemah dan tidak
memiliki kekuasaan politik yang memungkinkan mereka bernegosiasi dengan
partai negara yang dominan.30
3. Demokrasi Pancasila
Dalam demokrasi pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak,
tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial. Di dalam kebebasan itu
harus selalu melekat tanggung jawab terhadap kepentingan umum dan
kepentingan bersama. Dalam demokrasi pancasila keuniversalan cita-cita
demokrasi dipadukan dengan cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh
semangat kekeluargaan. Dengan demikian dalam sistem dan mekanisme
demokrasi pancasila tidak akan terjadi “dominasi mayoritas” maupun “tirani
minoritas”, sebab konsep mayoritas dan minoritas tidak selaras dengan semangat
kekeluargaan.
30 Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 314.
30
Selanjutnya pembagian demokrasi bisa pula dilihat dari sisi
pelaksanaannya. Menurut Inu Kencana, pembagian itu terdiri dari dua model yaitu
demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect
democracy). Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya
pada suatu negara dilakukan secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga
legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan,
sedangkan pemilihan lembaga eksekutif dilakukan rakyat secara langsung melalui
pemilu. Begitu juga pemilihan anggota parlemen atau legislatif.
Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melainkan
melalui lembaga perwakilan. Pada demokrasi tidak langsung lembaga parlemen
dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara.31
31 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE
UIN Syarif Hidayatullah, 2000), h. 122.
BAB III
BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID
Memahami gagasan dan pemikiran seorang tokoh, tidak akan tercapai
tanpa mengetahui sosoknya terlebih dahulu secara lebih dekat. Karena
bagaimanapun, faktor keluarga, kondisi sosial, pendidikan dan pergaulan
merupakan hal terpenting untuk mengetahui munculnya gagasan dan pemikiran
dari tokoh tersebut.
Maka untuk memenuhi dan melengkapi hal tersebut di atas, pada bab ini
akan dibahas biografi singkat Gus Dur yang meliputi latar belakang keluarga,
pendidikan, jabatan yang pernah disandangnya serta pola perjuangannya dalam
konteks demokrasi di pentas politik nasional.
A. Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual
Abdurrahman Ad-dakhil Bin Wahid Hasyim Bin Hasyim Asy’ari,32
demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu
kombinasi personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor
lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluargannya. Sosok yang pernah
menjadi presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4
Agustus 1940. Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertaman, KH.
Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para
32 Arsyil A’la Al Maududi (peny), Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), h xi.
31
32
kyai besar di Jawa.33 Kakek dari ayahnya KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar
pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah
memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Sementara itu, kakek dari pihak ibunya, KH. Bisri Syamsuri, juga
pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan
Rais `Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid
inilah yang merupakan tokoh dan kiai cikal bakal pendiri organisasi keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU), di samping KH. Abdul Wahab Hasbullah.34
Latar belakang keluarga yang demikian membuat ia secara genetik
utamanya berasal dari tradisi pesantren dan merupakan keturunan darah biru.
Meminjam terminologi Clifford Geertz, Abdurrahman Wahid tergolong sebagai
seorang santri dan priyai sekaligus dalam tipologi masyarakat Jawa. Dalam
geneologi yang demikian, tidak diragukan lagi bahwa ia berada pada posisi inti
dalam kosmologi dan emosi komunitas -meminjam istilah Gaffar Karim-
masyarakat NU.35
Gus Dur lahir dan berkembang dalam tradisi pesantren dimana terdapat
relasi yang cukup unik antara kyai dan santri. Menurut Zubaidi Habibullah A.,
siapapun yang pernah mengenyam pendidikan pesantren akan menemukan model
hubungan feodal antara kiai dan santrinya. Dalam tradisi pesantren, santri akan
merasa takut berhadapan dengan kiainya. Jangankan duduk dalam satu forum,
berpapasan dengan kiainya lebih sering menghindar. Bahkan, santri mempunyai
33 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid V, h. 161. 34 A. Gaffar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama: Politisasi Islam Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 95. 35 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 68.
33
ketaatan yang cukup kuat terhadap apapun yang dikatakan oleh kiai. Ketaatan ini
kemudian sering disalahfahami oleh orang luar pesantren yang cenderung
menganggapnya sebagai ketaatan yang negatif, Karena dianggap berlebihan dan
fanatik. Meskipun sebenarnya ketaatan yang dipresentasikan oleh para santri
terhadap kiai di pesantren tetap berpijak pada berbagai kajian-kajian kitab-kitab
klasik (kitab kuning) yang banyak di baca dan dipahami oleh kalangan pesantren.
Artinya, ketaatan yang dipresentasikan oleh kalangan santri terhadap kiai
bukanlah ketaatan buta, sebagaimana yang selama ini dipahami, tetapi sebuah
ketaatan pada ‘otoritas keilmuan’.36
Demikian kuatnya posisi Abdurrahman Wahid di tengah keunikan tradisi
pesantren tersebut, sesungguhnya tidak pernah membuatnya ‘terninabobokan’.
Berbagai bentuk pemikirannya justru menunjukkan indikasi yang kuat untuk
melampaui sekat-sekat tradisi yang selama ini menjadi basis intelektualitasnya.37
Bahkan pemikirannya seringkali dianggap lebih modern daripada para pemikir
yang selama ini dianggap atau menganggap sebagai pemikir modern. Tidak
berlebihan bila Greg Barton memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai salah
satu pemikir neo-modernis di samping Nurcholish Madjid, Djohan Effendy dan
Ahmad Wahib.
36 Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 69. 37 Dengan pengetahuan yang dimilikinya, ia telah menulis ratusan artikel di berbagai media masa, baik di Indonesia maupun luar negeri. Bunga Rampai Pesantren (1979) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1981) adalah karya-karya yang menjadikan sosok Abdurrahman Wahid dikenal dengan keintelektualannya. Di samping yang telah disebutkan di atas, ada juga Islam, the State and Development in Indonesia (Islam, Negara dan Pembangunan di Indonesia) dan Ethical Dilemmas of Development in Asia (Dilema Etis Pembangunan di Asia) adalah salah satu karya ilmiah Abdurrahman Wahid dalam bahasa Inggris.
34
Sejak kecil Abdurrahman wahid sudah diberi pengetahuan dan
pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Di
ambang usianya yang masih sangat muda (12 tahun),38 perasaan tanggung jawab
ini secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya
dalam kecelakaan mobil.
Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial
sudah diterapkan oleh kedua orangtuanya baik sebelum maupun sesudah ayahnya
meninggal, yaitu secara periodik Abdurrahman kecil dititipkan dalam asuhan
seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam.
Pada waktu itulah ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang
kemudian menjadi kegemarannya.
Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid
melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP)
di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada KH. Ali
Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis,
KH. Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majelis Tarjih
Muhammadiyah.
Pendidikan keagamaan selanjutnya diasah di beberapa pondok pesantren
Nahdlatu ‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan
menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separuh waktu santri pada umumnya
(1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul
38 Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural (Yogyakarta: LKiS, 1998), h. 152. Berbeda dengan yang dijelaskan oleh Greg Barton dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 163, A. Gaffar Karim, dan beberapa tokoh lainnya menyebutkan angka 13.
35
‘Ulum, pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur kepada KH. Wahab
Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren
Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka KH. Ali
Ma’shum. Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di
Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra
Universitas Baghdad (Irak) antara tahun 1966 sampai 1970.39 Di Irak Gus Dur
mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak pernah ia dapatkan di Mesir. Di
sana ia merasa menemukan gairah intelektualnya kembali dengan menekuni buku-
buku besar karya sarjana orientalis Barat. Di samping itu, hal yang menarik lagi
adalah perpustakaan universitas yang penuh buku-buku mengenai Indonesia.
Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad tahun 1970, Gus Dur berharap
dapat mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Eropa. Ia merancang perjalanan
untuk melakukan penjajakan mengunjungi universitas Kohln, Heidelberg, Paris,
dan Leiden. Di setiap tempat tersebut Gus Dur melakukan penjajakan, karenanya
ia menjadi pelajar keliling, berjalan dari satu universitas ke universitas lain.
Akhirnya ia menetap di Belanda dan tinggal di sana selama enam bulan. Selama
tinggal di Belanda, Gus Dur mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia
dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Organisasi ini sampai sekarang masih hidup.
Perjalanan panjangnya di luar negeri berakhir pada Juni 1971 ketika ia dipanggil
pulang ke Jombang.
Pada tahun 1972, dengan bekal ijazah S1 dari Universitas Baghdad, ia
diangkat menjadi seorang dosen merangkap sebagai Dekan pada Fakultas
39 Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 163.
36
Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) Jombang. Bersamaan dengan
itu, untuk menguji intelektualitasnya dan mengembangkan pemikiran sosial
politiknya, Gus Dur banyak menulis di berbagai media masa nasional.40
B. Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI
Bila melihat sepak terjang Gus Dur sekembalinya dari pengembaraanya
menuntut ilmu di Timur Tengah dan Barat sampai dengan sekarang ini, rasanya
tidak keliru kiai Wahid memberi nama Abdurrahman ad-Dakhil. Karena Gus Dur
saat ini telah menjadi “penakluk”. Bukan saja karena geneologi pesantren yang
dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu
membaca situasi yang sedang berkembang.
Kedalaman keilmuannya itulah yang mendorong KH. Yusuf Hasyim,
pamannya, agar Gus Dur bersedia membantu Pondok Pesantren Tebuireng, ini ia
jalani hingga tahun 1980. selama periode itu secara teratur ia semakin terlibat
dalam kepengurusan NU dengan menjabat Wakil Katib Awal Syuriyah PBNU.
Dari sini, ia mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan kepesantrenan
di berbagai tempat baik dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun kemudian terlibat
dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada program training-training,
termasuk untuk tenaga Protestan.41
40 Dalam catatan Hairus Salim dan Nuruddin Amin, Gus Dur pertama kali muncul dalam pentas nasional pada awal 1970-an, tepatnya 1973, ketika salah satu tulisannya mengenai dunia pesantren muncul di media masa ibu kota berpengaruh (Kompas) pada 26 November 1973 yang berjudul “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia”. Baca H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 9. 41 Tim INCReS, Beyond the Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 20.
37
Di kapal besar NU, melalui tawaran pemikirannya yang brilian tentang
“kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis, Gus
Dur pada tahun 1984 terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul hilli wal
`aqdi, yang diketuai KH. R. As’ad Syamsul Arifin, untuk menduduki jabatan
Ketua Umum PBNU dalam muktamar ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah,
Sukorejo, Situbondo.42
Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU selama tiga periode
bukan berarti perjalanan yang mulus tanpa hambatan. Sifat dan sikapnya yang
kontroversial dan sering dinilai aneh tidak jarang membawa sikap kontra dari
beberapa ulama atau kalangan dalam NU sendiri. Wacana khittah NU dengan
keluar dari PPP yang dibawanya dan kalangan muda saat itu menjadikan rasa
“marah” bagi ulama-ulama lain terutama yang terlibat dalam partai politik di PPP
seperti Idham Chalid, ketua tanfidziyah sebelumnya.
Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur membawa NU dalam suasana
dinamis, penuh nuansa wacana dan kritik. Kritik-kritik pedas yang dilontarkannya
kepada pemerintah membawa dampak yang serius terhadap hubungan NU dengan
pemerintah, imbasnya hasil muktamar NU tahun 1994 di Cipasung tidak
“direstui” pemerintahan Soeharto.43
Dalam upayanya menegakkan demokrasi di Indonesia, pada masa
kepemimpinannya Gus Dur melakukan hegemoni terhadap pemerintahan Soeharto
melalui dua pergerakan sekaligus. Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi
(Fordem) pada dekade awal 90-an. Forum ini merupakan “markas” para cendekia 42 H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 10. 43 Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), h. 71.
38
dan aktifis pro-demokrasi, guna mengelaborasi, merumuskan berbagai ide dan
kritik demokratis, terhadap penyimpangan dan penyelewengan negara. Sebagai
forum urun rembug dan kritik discourse, Fordem tidak merasa melakukan makar,
sebab kritisisme mereka masih terbatas pada pembentukan opini, belum menjelma
gerakan subversif. Hanya saja, betapapun masih sebatas opini, Fordem yang
merengkuh segenap elemen aktivis dari purnawirawan jendral, cendekiawan,
seniman, aktivis, hingga artis, tsb sangat membuat “denyut” status quo kekuasaan
berdetak kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Taman Ismail
Marzuki, “dibredel” aparat, dengan alasan perizinan. Gus Dur-pun tidak jadi
membacakan pernyataan Tumbuhkan Kembali Daya Kritis Masyarakat, sebab
aparat keburu mencurigainya sebagai sebuah langkah awal propanganda politik. 44
Kedua, NU. Pada level ini, Gus Dur telah melakukan transformasi
paradigmatis, dengan mengadopsi kritik “teologi pembebasan” terhadap gerakan
Neo-Marxis, yakni ketidakmampuan dalam melihat agama sebagai potensi
pergerakan berbasis budaya. Merujuk pada Gueterez, 45 Gus Dur kemudian
menjadikan basis primordialisme massa konon 30 juta, berjalinan dengan
ketundukan religius baik kepada jam’iyyah, kyai, maupun Islam.
Di sinilah perlawanan Gus Dur-NU telah menciptakan posisi dilematis bagi
Soeharto. Satu sisi, Gus Dur dan NU dibutuhkan negara sebagai penyeimbang
radikalisme Islam, sehingga negara kemudian membutuhkan kekuatan NU.
Namun, di sisi lain, pergerakan “kaum sarungan” ini terbukti sering membuat
44 Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992. 45 Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta : LKiS, 2000), h. 178-179.
39
“merah telinga” kekuasaan. Satu momen besar yang menjadi rujukan sejarah,
adalah ketika sebagai Ketum PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam
rangka Harlah ke-68 NU, pada 1 Maret 1992.46 Terdapat sekitar 150.000 warga
Nahdliyyin memenuhi stadion utama Senayan Jakarta, dengan satu tujuan:
menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai
ideologi dan falsafah hidup bangsa.
Kenapa penegasan kesetiaan terhadap Pancasila dimunculkan kembali?
Bukankah hal tersebut sudah diselesaikan NU pada Muktamar ke-27 1984? Dalam
kaitan inilah, Gus Dur menggunakan konsep hegemoni Gramsci guna melawan
praktik hegemonik negara. Melalui penegasan kembali, kesetiaan Pancasila, Gus
Dur telah menciptakan war of positions dengan melakukan “perebutan simbolik”
atas legitimasi Pancasila. Secara strategis, Gus Dur telah menghancurkan
monopoli penafsiran negara atas “teks” Pancasila. Hasilnya, muncullah tafsir
populis atas Pancasila dari NU guna mengkritik penyelewengan politik yang
dilakukan negara atas Pancasila. Langkah inilah yang membuat Soeharto tidak
berkutik, sebab Gus Dur dalam melakukan kritik, melandaskan diri pada kesetiaan
dan nilai luhur Pancasila. Hal ini berbeda dengan nasib gerakan Islamis dan
komunis yang dengan gampang dibrangus karena di cap anti-Pancasila.
Demikian juga pada tataran praktis, pernyataan setia terhadap Pancasila,
merupakan penolakan secara halus atas “pemaksaan” Soeharto agar segenap
ormas mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 1992.
Muhammadiyah sudah melakukan dukungan tersebut. Sementara NU, merujuk 46 Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 101-124.
40
pada Khitttah 26, tetap berusaha membersihkan diri dari politisasi negara.
Penolakan terhadap pencalonan Soeharto juga disebabkan kritisisme atas praktik
“demokrasi seolah-olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lantang
menyebut situasi demokrasi Orde Baru hanya “seolah-olah”, sebab tatanan politik
hanya dilandaskan pada manipulasi institusional dan prosedural (pemilu), tetapi
kebudayaan demokratis semisal kebebasan berpendapat dan berserikat dibrangus
secara “tenang tapi mencekam”.47
Itulah potret peran politik Gus Dur yang mengantarkannya pada tampuk
kepresidenan ke-4 RI48 yang merupakan kesinambungan atas pergerakan civil
society vis a vis Soeharto melalui momen reformasi yang meletus akibat “kudeta
massa” mahasiswa pada mei 1998 dan merupakan titik kulminasi dari sekian
rentetan perlawanan kultural yang dilakukan aktifis pro-demokrasi, termasuk Gus
Dur.
C. Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik
Oleh karena suatu sistem erat kaitannya dengan budaya masyarakat, maka
satu-satunya jalan menyelamatkan kualitas demokrasi adalah melalui perjuangan
kultural. Yaitu perjuangan yang termanifestasi dalam gerakan moral yang
mengarahkan masyarakat ke arah nilai yang sesuai dengan substansi dan tujuan
47 Abdurrahman Wahid, “Negeri ini Kaya dengan Calon Presiden,” Forum Keadilan, No II, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Gatra, “Saya ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”. 48 Setelah sebelumnya MPR menolak laporan pertanggungjawaban Habibie -wakil presiden yang menggantikan Soeharto.
41
demokrasi. tentu semuanya harus beroperasi dalam bingkai kebangsaan dan
kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pancasila.
Perjuangan kultural berbeda dengan perjuangan politik yang bersifat
struktural. Jika perjuangan struktural selalu dikaitkan dengan konsep, ide bahkan
jabatan, dan akuisisi kekuasaan (acquisition of power) serta bagi-bagi kekuasaan,
maka perjuangan kultural lebih kepada pemberdayaan politik yang menempatkan
posisinya sebagai kekuatan kontrol atas proses demokratisasi yang datang dari
kelompok civil society dan berperan dalam mencerdaskan dan memberdayakan
masyarakat.
Perjuangan kultural yang dilakukan Gus Dur ini tampak menonjol ketika
ia menjadi ketua umum PBNU49 dan aktif di berbagai LSM, dimana ia tampil
sebagai seorang pemikir yang kerap memperjuangkan demokrasi. ia
mengungkapkan pentingnya reformasi progresif yang tidak hanya dibutuhkan
sesaat, namun istiqomah dan harus menjadi proses yang berjalan terus-menerus.50
Sebagai pimpinan NU, Gus Dur merupakan tokoh yang paling gigih
memperjuangkan tumbuhnya keharmonisan hubungan antar-agama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terlihat misalnya pada pembelaannya atas
penulis buku Satanic Verses: Salman Rushdie pada tahun 1987 serta
penolakannya untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
49 Salah satu upaya ril yang dilakukan dalam upaya peningkatan taraf hidup rakyat adalah membangun kerjasama antara NU dengan Bank Summa dalam pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) guna memberikan kredit usaha kecil dan menengah kepada masyarakat. Baca “Nahdlatul Ulama “Go Warga,” Tempo, 9 Juni 1990, h. 58. Pada awal 2006, terdapat 2300 BPR yang berperasi di seluruh Indonesia, namun jumlah itu menyusut hingga menjadi 2000 pada akhir 2006 dan terus berkurang tinggal 1767. BPR Nusumma adalah proyek ekonomi NU yang kurang berhasil, meskipun tidak gagal total. 50 Arif Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-struktural (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), h. 136.
42
(ICMI). Hal ini dilakukannya dalam upaya menumbuhkan budaya demokrasi dari
bawah. Baginya kebebasan berpendapat adalah sikap mempertahankan hak
berbicara paling gila sekalipun. Mengenai penolakannya menjadi anggota ICMI,
adalah dikarenakan kekhawatiran akan terjadinya eklusifitas agama tertentu –
dalam hal ini Islam- atas agama lain. Karena hal tersebut hanya akan mengancam
sendi utama kehidupan berbangsa, yang tidak harus kembali kepada pertarungan
ideologi era Orde Lama, tetapi sudah harus berpikir untuk bekerja sama demi
memenuhi kebutuhan utama masyarakat.
Sisi lain yang tidak kalah penting dikedepankan dalam konstelasi
pemikiran dan aksi politik Gus Dur adalah pandangannya tentang nilai
kemanusiaan. Pandangan ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau
paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan
merupakan inti ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi
oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Penekanan pada pemahaman
ini memberikan pendasaran bagi sikap humanisme yang hendak dibangun oleh
Gus Dur.
Humanisme dalam konteks ini adalah adanya penghargaan yang cukup
tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang secara inhern melekat dalam diri
manusia. Penghargaan ini berimplikasi pada diberikannya ruang yang ‘longgar’
atas kebebasan bertindak dan berpikir bagi setiap orang sesuai dengan kualitas
nilai kemanusiaanya. Kondisi ini sangat lekat dalam aksi dam pikiran Gus Dur.
Pembelaanya terhadap Arswendo Atmowiloto dalam kasus heboh Monitor,
dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukkan sebagai agama resmi
43
yang diakui negara, pendirian Forum Demokrasi, pembelaanya terhadap Jamaah
Ahmadiyah adalah rentetan panjang penolakannya terhadap perlakuan tidak adil
terhadap minoritas, yang menurutnya bertentangan dengan ajaran agama yang
menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.
Kecintaanya yang mendalam terhadap kemanusiaan membuat Gus Dur
sangat terkenal dalam melakukan pembelaan terhadap berbagai bentuk penindasan
dan kekerasan, atas nama apapun, terlebih atas nama agama. Ukuran (nilai)
kemanusiaan ini baginya merupakan bentuk pengakuan atas mertabat
kemanusiaan yang harus di junjung tinggi, kapanpun, di manapun bahkan oleh
siapapun. Nilai kemanusiaan menjadi semacam common platform bagi
bertemunya segala bentuk perbedaan yang melatarbelakanginya, baik suku,
bahasa, ras maupun agama.51
Komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seolah
menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, penegakan nilai
kemanusiaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Dalam
salah satu tulisannya tampak mempunyai semangat yang besar untuk memberikan
pemahaman baru tentang pentingnya penegakkan nilai kemanusiaan. Berbagai
bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan justru banyak terjadi di
negara-negara yang menganggap dirinya sebagai pejuang bagi hak asasi manusia
(HAM). Adanya peperangan yang melanda negara-negata di dunia ini adalah
wujud dari meningkatnya kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah. Kekrasan
51 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 102-104.
44
–disadari atau tidak- adalah bagian dari upaya pereduksian HAM dalam tingkatan
apapun.52
52 Baca Abdurrahman Wahid, “Mencari Prespektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), cet. ke-II, h. 85-97.
BAB IV
PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID
TENTANG DEMOKRASI
Setelah memahami beberapa teori demokrasi yang telah dijelaskan pada
BAB II dan mengenal lebih dekat sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) baik latar
belakang keluarga, pendidikan, jabatan yang pernah disandangya serta pola
perjuangannya di pentas politik nasional sebagaimana dijelaskan pada BAB III,
maka dalam bab ini akan dijelaskan secara lebih rinci pokok-pokok gagasan dan
pemikirannya tentang demokrasi yang diharapkan dapat memberikan penjelasan
secara komprehensif.
A. Pilar-pilar Demokrasi
1. Kedaulatan Hukum
Sebuah pemerintahan terbentuk melalui perjanjian yang mengikat antar
seluruh warga negara tanpa kecuali demi terwujudnya keadilan, keamanan dan
kesejahteraan seluruh warga negara. Perjanjian itu dilahirkan dalam bentuk yang
kita kenal dengan konstitusi. Konstitusi berperan sebagai pedoman yang
mengarahkan seluruh komponen bangsa guna mencapai cita-cita bersama. Dalam
sebuah tulisannya Gus Dur menulis:
“Konstitusi pada hakekatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Keberadaan konstitusi juga dimaksudkan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Hal ini didasarkan pada
45
46
pemahaman bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.”53 Dalam tulisannya yang lain, beliau mengatakan bahwa kedaulatan hukum
merupakan hal terpenting yang perlu diperjuangkan seluruh komponen
masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan minimal
masyarakat yang berupa terpenuhinya kebutuhan pokok sehari-hari bagi “orang
kecil”. Sebaliknya, bila kebutuhan minimal itupun tidak dapat dijamin, sudah
tentu orang mencari “jalan pintas”: korupsi, manipulasi dan pelanggaran.54
Baginya, memahami hukum haruslah dilihat dari fungsinya, yakni untuk
menciptakan rasa takut akan hukuman jika kejahatan dilakukan –fungsi psikologis
yang berwatak preventif . Lex talionis, hukum berbalasan, bukanlah jiwa
pelaksanaan hukum pada masa modern ini. Tidak seperti zaman pemerintahan
imperial Romawi atau sistem hukum pra modern lainnya.55 Hal inilah yang
merupakan dasar pemahaman Gus Dur tentang makna pentingnya kedaulatan
hukum bagi tegaknya demokrasi di negeri kita.
Dalam berbagai tulisannya tentang pentingnya kedaulatan hukum, Gus
Dur mengajukan beberapa solusi alternatif untuk segera dilakukan dalam upaya
mewujudkannya. Ia menulis,
“….Hanya tentu kita dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warganegara, dan menciptakan suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi
53 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h. 3-5. Lihat pula Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Depok: Kukusan, 2009), h. 270. 54 Baca, Abdurrahman Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984.
55 Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984.
47
(judicial review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi tersendiri.”56
Menarik di sini karena pada dekade 1990 tersebut, Gus Dur sudah
meniscayakan urgensi suatu Mahkamah Konstitusi (MK). Satu hal yang kini
terealisir, tetapi tetap dengan fungsi berbeda. Apa yang diharapkan Gus Dur
adalah mahkamah konstitusi yang menjadi pembela rakyat dari penindasan
konstitusional negara. Ini merupakan paradigma kritis atas kecenderungan
proseduralisme demokrasi, yang sayangnya masih terjadi pada Mahkamah
Konstitusi kita saat ini.57
Artinya, wewenang MK yang terbatas pada pemberi fatwa atas
perselisihan lembaga-lembaga tinggi negara, tentu tidak cukup memenuhi harapan
Gus Dur di atas. Bagaimanapun, wewenang tersebut tetap berkutat pada “negara
untuk negara” (state qua state), bukan perlindungan konstitusional dari
penindasan konstitusi. Hal ini memang dilematis, karena situasi politik saat itu,
yakni totaliterisme Orde Baru, membuat Gus Dur perlu memikirkan alternatif
sistem politik. Negara Orde Baru adalah negara Leviathan, yang merasa
bertanggungjawab atas ketertiban politik, dan tentu juga moral, sehingga perlu
untuk menancapkan cengkeraman politiknya, di segenap lini kehidupan.
Betapapun demikian, berdasarkan kutipan tulisan tersebut di atas, menurut
penulis, Gus Dur mengajukan dua solusi konkrit untuk mewujudkan kedaulatan
hukum, diantaranya:
56 Wahid, Forum Demokrasi. h. 2. 57 Chatibul Umam Wiranu, Filsafat Negara Gus Dur, (Naskah Buku, Maret 2009), h.3. Tulisan ini bisa pula di akses di http://www.khatibul-umam.com
48
1. Menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary)
Konstitusi menurut Gus Dur, berfungsi tidak hanya mengatur kekuasaan di
dalam negara, lebih dari itu ia memberikan batas tegas pada wewenang kekuasaan
negara di satu sisi, dan di sisi lain konstitusi meneguhkan hak-hak
warganegaranya serta memberikan perlindungan baginya. Oleh karena itu, untuk
menghindari segala tindakan inkonstitusional, baik melalui keputusan pejabat
ataupun peraturan perundang-undangan perlu ditegakkan sebuah peradilan yang
bebas.58
Argumen diatas pula diperkuat oleh pakar hukum tatanegara Prof. Dr.
Jimly Asshiddiqie, SH. Baginya, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak
(idependent and impartial judiciary) ini mutlak harus ada dalam setiap negara
hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh
siapapun juga, baik Karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan
uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan
adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik
intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari
kalangan masyarakat dan media masa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak
boleh memihak kepada siapapun juga kecuali kepada kebenaran dan keadilan.
Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh
hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan
menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di
tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-
58 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h. 3-5. Lihat pula Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Depok: Kukusan, 2009), h. 270.
49
undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan
yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.59
2. Adanya instansi yang melakukan kajian tentang kesesuaian peraturan
perundang-undangan dengan konstitusi (judicial review)
Instansi ini diharapkan akan menjamin terpenuhinya hak-hak warganegara
sekaligus memberikan perlindungan kepada warganegara dari berbagai
penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan negara. Lebih jauh beliau
menjelaskan:
“Konstitusi pada hakekatnya mengatur tentang kekuasaan di dalam negara. Memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut perlindungan baginya. Kita ingin memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan. Cara mendekati seperti ini;- berlainan dengan kebiasaan yang melihat konstitusi sebagai sumber “pemberi kekuasaan pada negara”-, membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negarapun bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu ketika ia bertindak melampaui batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga suatu pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara, bahkan sekedar penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain adalah perbuatan inkonstitusional.”60
Pentingnya Mahkamah Konstitusi (constitutional couts) ini adalah dalam
upaya memperkuat sistem ‘cheks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan
yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin atas demokrasi. misalnya,
mahkamah ini diberi fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas
undang-undang yang nerupakan produk lembaga legislatif, dan memutus 59 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.” Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004. Bisa pula diakses melalui www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.doc
60 Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban. Sumber tak terlacak.
50
berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang
mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang di pisah-pisahkan.
Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini
dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi
tegaknya negara hukum modern.61
Dengan uraian di atas menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan
penegakkan hukum atau kedaulatan hukum itu kurang lebih merupakan upaya
yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit
maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap
perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh
aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-
undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara di samping mengukuhkan dan menjamin
hak warganegaranya dari segala bentuk ketidakadilan.
2. Penegakan Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada
hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.62
61 Asshiddiqie, SH., “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer,” h. 3. 62 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 tentang HAM.
51
Komitmen Gus Dur dalam upaya membangun demokrasi pada ranah
penegakan Hak Asasi Manusia tidak diragukan lagi. Ini terbukti dari rentetan
pembelaannya terhadap minoritas yang termarjinalkan baik oleh negara maupun
oleh masyarakat sekalipun. Pembelaannya terhadap Arswendo Atmowiloto dalam
kasus Monitor, dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukkan
sebagai agama resmi negara, pendirian Forum Demokrasi, pembelaannya terhadap
Inul Daratista, serta pembelaannya terhadap Jama’ah Ahmadiyah merupakan
contoh nyata kepeduliannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Gus Dur,
penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan telah melekat dalam
diri manusia sejak ia dilahirkan, hal ini berimplikasi pada diberikannya ruang
yang longgar atas kebebasan bertindak dan berpikir bagi setiap orang sesuai
dengan kualitas nilai kemanusiaannya.
Komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seolah
menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, penegakan nilai
kemanusiaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Tanpa
nilai terebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik
sosial. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Mencari Prefektif Baru dalam
Penegakan Hak-hak Asasi Manusia, beliau tampak mempunyai semangat yang
besar untuk memberikan pemahaman baru tentang pentingnya penegakan nilai
kemanusiaan. Itulah sebabnya secara tegas ia menolak segala bentuk kekerasan,
apapun dalihnya. Kekerasan, utamanya yang seringkali diakibatkan dalam ssetiap
peperangan misalnya, merupakan pengingkaran atas HAM. Dengan lugas beliau
menjelaskan:
52
“Hak-hak asasi manusia harus diwujudkan dalam kemampuan menghindarkan umat manusia secara keseluruhan dari kehancuran, dan dengan demikian usaha-usaha perdamaian melalui pelucutan senjata menjadi bagian pokok dari hak asasi manusia.”63
Kemudian dalam melihat hubungan antara Islam dan Pancasila sebagai
dasar negara, beliau mendasarkan hubungannya pada hubungan simbiotik
fungsional, dimana Pancasila dan Islam sama-sama memiliki konsep aplikatif
tentang pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Ungkap beliau:
“Pancasila harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama di muka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Inilah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi negara. Kunci ini diperoleh dari lima jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada masyarakat; jaminan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.”64
Pada tulisannya yang lain, Gus Dur menjelaskan secara panjang lebar
tentang lima prinsip dasar yang diberikan Islam sebagai tolak ukur penegakan
Hak Asasi Manusia. Prinsip pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari
tindakan badani di luar ketentuan hukum. Prinsip ini mengandung arti bahwa
pelaksanaan suatu pemerintahan harus berdasar aturan hukum yang menjamin
perlakuan yang sama kepada setiap warga negara tanpa kecuali sesuai dengan
hak-hak mereka dipandang perlu. Prinsip ini tidak disangsikan lagi sama dengan
63 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal 78. 64 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam
Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Depok: Desantara, 2001), hal. 179.
53
deklarasi universal hak asasi manusia yang menilai keadilan, kesamaan dan
demokrasi sebagai norma fundamental dalam kebijakan yang demokratis.65
Prinsip kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada
paksaan untuk berpindah agama. Dalam pandangan Gus Dur, kebebasan khusus
ini bahkan melingkupi keyakinan karena Islam menghargai perbedaan agama dan
tidak mengakui baik pemaksaan (coercion) ataupun keharusan (compulsion)
dalam persoalan agama, termasuk konversi (conversion) keagamaan. Lebih jauh
beliau mengatakan,
“Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antarwarga masyarakat atas dasar sikap saling menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar”.66
Prinsip ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Prinsip ini merupakan
fondasi etis dan moral yang di atasnya menurut pandangan Islam, suatu
masyarakat yang baik dapat diwujudkan. Hal itu karena dalam Islam kesucian
keluarga merupakan dasar bagi kehidupan masyarakat dan oleh karenanya, sudah
seharusnya keluarga dibebaskan dari manipulasi oleh pihak luar, baik dari
masyarakat maupun negara. Menurutnya, di dalam keluargalah bahwa individu
memulai mengeksplorasi kebebasannya untuk memilih dan mempertanyankan,
termasuk kebebasan untuk mempertanyakan keyakinan agamanya. Keluargalah
yang pertama kali memberikan kesempatan kepadanya untuk menentukan pilihan-
pilihan yang akan mempengaruhi masa depannya. Akhirnya, keluargalah yang 65 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 180. Lihat Pula Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 29. 66 Wahid, Pergulatan Negara, h. 181.
54
mampu melestarikan keberadaan kohesi sosial dengan mengintegrasikan
anggotanya ke dalam unit sosial yang lebih besar.67
Prinsip keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar
prosedur hukum. Prinsip ini sangat krusial dalam kaitannya dengan pembentukan
masyarakat modern, modernisasi telah mengakibatkan diferensiasi peranan dan
fungsi sebagaimana halnya proses individualisasi dalam masyarakat. Perlindungan
hak-hak individu vis-à-vis sosial, secara bertahap, menjadi satu dari sekian banyak
kebutuhan yang muncul dalam kehidupan modern. Suatu pembedaan yang tegas
antara sisi publik dan privat diperlukan, sebab kalau tidak pelanggaran hak-hak
individu atas nama kepentingan publik/umum akan terjadi. Salah satu solusinya
adalah mengakui gagasan milik pribadi. Melalui hak inilah individu dapat
menjalankan kebebasan pribadinya dan mengembangkan potensi dirinya sendiri.
Dan juga tindakan-tindakan itu masih berada di dalam batasan-batasan yang
dibentuk oleh masyarakat yang lebih luas.
Prinsip kelima, berhubungan dengan prinsip yang keempat yakni
keselamatan profesi. Hal ini menyiratkan bahwa dalam hal kebebasan individu,
Islam membuka pintu bagi individu anggota masyarakat untuk memilih pilihan
yang dianggap relevan dengan kehidupan seseorang. Prinsip ini secara jelas
menghargai hak seseorang untuk mencapai suatu tujuan sebagai suatu cara
mengekspresikan diri.
Berdasarkan lima prinsip tersebut di atas, sangatlah jelas bahwa terdapat
ruang bagi kaum muslim untuk bekerja sama dengan yang lain dalam
67 Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 30.
55
mengembangkan hak asasi manusia, khususnya dalam bidang-bidang yang
mereka dapat bersepakat. Dapat disimpulkan bahwa jika kaum muslim mampu
mengembangkan program-program dan tindakan-tindakan berdasar prinsip-
prinsip tersebut mereka akam mampu mengatasi problem yang amat menekan di
bidang hak asasi manusia di sebagian besar negara-negara Islam.68
3. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat
Jika demokrasi politik berlangsung di tengah kesenjangan ekonomi yang
tajam antara yang kaya dengan yang miskin, maka (sebagaimana teori
determinisme) yang kaya-lah yang menguasai demokrasi itu. Selanjutnya,
demokrasi hanya dijadikan alat bagi kelas kaya untuk mempertahankan posisinya.
Kelas miskin hanya dijadikan obyek dalam proses politik, dan seringkali menjadi
obyek penindasan kelas kaya terhadap kelas miskin. Maka prasyarat yang harus
dipenuhi adalah terciptanya demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan69 baik
konsepsi maupun aplikasinya. Demikian pandangan Gus Dur tentang demokrasi
dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat.
Sebagaimana diketahui, tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) adalah mewujudkan “kesejahteraan rakyat” atau dalam bahasa
pembukaan UUD 1945 kata kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan
68 Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 31.
69 Ekonomi kerakyatan (demokrai ekonomi) adalah suatu sistem ekonomi yang menjamin keterlibatan rakyat sebagai subyek yang mengendalikan jalannya roda ekonomi negara, atau suatu perekonomian yang menjamin dilakukannya “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau kepemilikan rakyat”. Disebut juga demokrasi ekonomi, karena sistem ini mengacu pada pasal 33 UUD 1945. Zaenal Ma’arif, “Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Kapitalisme Global,” Artikel di akses pada 27 Oktober 2009 di //http.www.scribd.com/doc/19094274/Kwik-kian-gie.
56
lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Bagi Gus Dur, upaya ini
memiliki persamaan dengan prinsip maslahah dalam Islam. Kaidah yang
seringkali ia gunakan adalah tasharruf al-imâm ‘alâ arra’iyyah manûtun bi al-
maslahah (kebijaksanaan dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung
dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin). Maka menjadi jelaslah bahwa upaya
mewujudkan kesejahteraan rakyat menjadi bagian integral perjuangan Islam.70
Dalam Islam, masalah kecukupan jelas ada aturannya, yaitu mencapai
perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal sama. Kesamaan
hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam konsep kapitalisme klasik tidak
pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa
manusia lain menjadi korban.71 Bila dalam kenyataanya kemudian manusia tidak
bernasib sama, maka negara berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga
negara yang “kalah” dalam bentuk kecukupan minimal.72
Dalam pandangan Gus Dur, hal pertama yang harus dilakukan dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah perubahan orientasi ekonomi kita
yang tadinya terlalu melayani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang-
orang miskin. Perubahan orientasi ekonomi itu terletak pada dua bidang utama,
yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah yang dijalankan
70 Dalam hal ini Gus Dur tidak sepakat dengan gagasan ekonomi Islam yang terlalu
memfokuskan pada aspek-aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai-nilai tersebut di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam menurutnya lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi dan sejenisnya. Baca M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Pemikiran Politik KH. Abdurrahman Wahid,” dalam pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), h. xxvi. 71 Ayat yang dikutip Gus Dur dalam menjelaskan hal ini adalah QS. Surat at-Takasur [120]: Ayat 1-2. 72 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), h. 172.
57
dengan pemberian kredit yang berbunga sangat rendah sebagai modal
pembentukan UKM tersebut serta upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah
ini harus disertai pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang
memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah
untuk menolong UKM. Padahal saat ini, apapun yang dilakukan untuk menolong
keduanya, selalu menghadapi hambatan.73
Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan tekanan dalam
ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada bidang ekspor, yang hasilnya
dalam bentuk pajak- sangat sedikit kembali ke kas pemerintah, karena begitu
banyak keringanan untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus
diutamakan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar-besaran.
Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, peningkatan
pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar.
Kedua, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang
untuk pasaran dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya
tergantung kepada tata niaga internasional.74
Pada tulisan yang lain, Gus Dur mengakui keterbatasannya dalam
memahami sebuah perekonomian, namun demikian ia memahami dua hal yang
menurutnya merupakan hal yang fundamental, yakni pertama, ekonomi adalah
pemenuhan kebutuhan manusia, dan ia memiliki mekanisme sendiri. Selebihnya,
haruslah dirumuskan oleh para ahli ekonomi, dan mereka harus
mempertimbangkan kaitan sebuah perekonomian dengan hal-hal lain dalam
73 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 207 74 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 162
58
kehidupan seperti, politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain-lain. Dengan
kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah sepenuhnya dapat
diterapkan, sehingga harus selalu diingat keterkaitan ekonomi dengan hal-hal lain
dalam kehidupan sebuah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah
terlepas dari perdagangan atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional maupun
internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat untuk memisahkan
perekonomian kita sendiri dari perekonomian global.
Oleh karenanya, globalisasi ekonomi merupakan suatu hal yang niscaya
selagi menghilangkan sifat eksploitatif perusahaan-perusahaan besar atas
perekonomian negara berkembang. Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam
itu, tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan
pemerintah, minimal untuk terjadinya eksploitasi itu sendiri.75
4. Penghargaan terhadap Pluralitas
Pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan
makin memperkokoh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.
Namun ancaman kegagalan sebagai sebuah bangsa majemuk akan muncul tatkala
ada perilaku berbagai kelompok yang mendiskreditkan kelompok minoritas
agama, etnik, ras dan golongan.
Untuk memahami peranan dominan Gus Dur di ranah pluralisme, tiga
faktor dominan dapat dipergunakan menakar peranannya, mengapa ia begitu tegar
mempromosikan pluralisme di Indonesia. Pertama, keyakinannya pada nilai-nilai
75 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 188-190.
59
universal dalam Islam yang menjamin hak-hak semua warga negara. Hal ini
beliau jelaskan:
“Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka), dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kelaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.”
Kedua, menjunjung tinggi nilai kosmopolitan, bahwa semua individu dan
kelompok dalam sebuah negara memiliki 'tempatnya' sendiri, dan paksaan
kelompok mayoritas adalah sebuah malapetaka bagi pluralisme dan demokrasi.
Dalam kaitan ini, terma kosmopolitan ini Gus Dur kaitkan dengan universalime
Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran Islam yang
universal tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban lain yang
membuat Islam bersikap kosmopolitan. Watak terbuka ini memiliki sejumlah
unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan
terciptanya heterogenitas politik. Dengan lugas beliau menjelaskan:
“Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal manakala tercapai kesimbangan antara kecendrungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim).”76
76 Abdurrahma Wahid, Universalime Islam dan Komopolitanisme Peradaban Islam dalam
Pergulatan Negara, agama dan Kebudayaan (Desantara: Depok, 2000), hal. 186.
60
Ketiga, meyakini dan mengakui akan adanya perbedaan dengan tulus,
merupakan faktor yang membuatnya memiliki integritas lintas etnik, agama, ras
dan golongan. Harus diakui, berdirinya negara Indonesia ini, adalah disebabkan
oleh adanya kesadaran berbangsa daripada faktor ideologi Islam, dan inilah
kenyataan yang harus diterima secara obyektif. Karena itulah dia berpendapat
bahwa ajaran Islam lebih baik ditempatkan sebagai komponen yang membentuk
dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita.
Jadi jelaslah, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim
(sebagai mayoritas) mengadaptasikan diri mereka dengan realitas dunia modern.
Hal ini pasti akan melibatkan masalah-masalah bagaimana mereka memandang
dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan
dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke
dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.
5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil
Keberadaan sebuah civil society dalam masyarakat modern tentu tak lepas
dari hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural yang inhern di
dalamnya. Komponen pertama termasuk terbentuknya negara yang berdaulat,
berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang publik yang bebas, tumbuh dan
berkembangnya kelas menengah serta keberadaan organisasi-organisasi dalam
masyarakat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat
apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat.
Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan
61
atasnya, khusunya hak berbicara dan berorganisasi, sikap toleran antar individu
dan kelompok dalam masyarakat, adanya tingkat kepercayaan publik yang tinggi
terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap
kemandirian pribadi dan kelompok.
Dalam merealisasikan gagasannya tentang urgensi pemberdayaan
masyarakat sipil, ia kemudian mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).77 Forum
ini diharapkan dapat menjadi counter balancing (kekuatan penyeimbang) atas
dominasi negara. Hal ini beliau jelaskan:
“Perhatian dan kepentingan para peserta dan pendukung Forum Demokrasi adalah keutuhan bangsa Indonesia, yang ingin selalu dijaga, sambil tetap bergerak dalam proses menuju masyarakat yang lebih dewasa dan lebih maju. Disadari, bahwa ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh itu hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana yang demokratis. Atau sebaliknya, suasana tidak adanya demokrasi, suasana kurang kebebasan, justru akan menjadi sumber tumbuhnya sikap-sikap curiga-mencurigai, sikap mementingkan golongan atau kelompok sendiri, dan sikap meninggalkan norma-norma dan acuan umum untuk kemudian menggunakan nilai masing-masing dalam mengukur segalanya.”78
Tidak sampai disitu, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal
demokrasinya kedalam gerakan civil society melalui NU dan aktivitas
kecendikiawanannya. Hingga akhirnya menjadi fase bagi Gus Dur untuk
“membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan mendirikan
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.
Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan
anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah
26. Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu 77 Forum ini didirikan pada 16-17 Maret 1991 di Desa Cibeurum, Bogor. 78 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggugjawaban. Sumber tak terlacak. Hal 1.
62
menggelorakan gerakan unpolitical politics79 (berpolitik tanpa politik), yakni
gerakan kultural sebagai oposisi bagi politik praktis80. Manifesto Khittah 26
merupakan usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang
sebelumnya telah dibelokkan oleh kaum politisi NU.
Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah
kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas
berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis.
Jika merunut pada gerak pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai aktivis
atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformative yang tidak berhenti
pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni) akan tetapi
melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-kantong
kebudayaan masyarakat awam.
Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional
seperti batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai
“siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang
diselalu dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the
art of possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah
bagaimana membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga
tolok ukurnya bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Di sinilah
kemudian “permainan” menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya
politik Indonesia yang dikuasai oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to
79 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hal. 51 80 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.
63
power (perebutan kekuasaan), maka kerja politisi jelas kontradiktif dengan
idealisme pergerakan kaum aktivis yang berangkat dari ideal untuk ideal.
Jadi, peran politik yang mengantarkan Gus Dur pada tampuk kepresidenan
ke-4 RI, merupakan kesinambungan atas pergerakan civil society vis a vis
Soeharto. Artinya, moment Reformasi yang meletus akibat “kudeta massa”
mahasiswa pada Mei 1998, merupakan titik kulminasi dari sekian rentetan
“perlawanan kultural” yang dilakukan para aktivis pro-demokrasi, termasuk Gus
Dur.
B. Islam dan demokrasi
Pemikiran demokrasi Gus Dur juga mengalami pergulatan dengan diskursus
Islam. Ini terjadi karena Gus Dur seorang intelektual muslim, dan pernah
memimpin jam’iyyah Islam terbesar, yakni NU. Posisi inilah yang membuat
pemikiran demokrasinya, mau tidak mau harus bersinggungan dengan dua kutub
pemikiran Islam, apakah menolak demokrasi, ataukah menerimanya.
Seperti kita ketahui bersama, Gus Dur tidak konsen pada perdebatan teoritis
tentang demokrasi. Kenapa? Karena yang terpenting dalam demokrasi ialah
menggerakkannya. Perdebatan teoritis akan cenderung melupakan satu fakta,
bahwa demokrasi, melebihi pro-kontra, terlebih harus diwujudkan pada tataran
kehidupan. Pemikiran seperti ini bisa dipahami, karena setting pemikirannya yang
berada di bawah cengkeraman otoritarianisme negara. Jadi segenap pertanyaan
apakah demokrasi yang merupakan produk Barat cocok dengan dunia Timur?
Atau apakah demokrasi yang menganut kedaulatan rakyat searah dengan
64
kedaulatan Tuhan dalam Islam? Segenap pertanyaan tersebut musti dijawab, tetapi
jangan sampai melupakan kebutuhan mendasar, yakni mewujudkan politik
demokratis, vis a vis keangkuhan kekuasaan.
Dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam.
Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di
negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya
adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi
Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak
relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara
yang selalu memanfaatkan agama.
Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari
penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak
penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa
dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Nurcholis Madjid
(Cak Nur). Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi
otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular,
sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan di dalam
konsep pemisahan agama-negara.
Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih
mengedepankan aspek “tujuan ideologis” di mana para konseptor negara-bangsa
memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan
paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita
politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh
65
pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut
penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Hal ini
dikarenakan perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-
betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari
masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual
bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi
kesejahteraan rakyat. Tuturnya:
“Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya (cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions), sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh.”81
Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori
kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh
sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa
gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam ke dalam
81 Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan
Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988, h., 4
66
fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich.82 Bagi
Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama
“membahayakan” Islam sebagai agama. Di satu sisi, Islam telah dijadikan
alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya
menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai
“jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan maslahat, gelora serba alternatif ini
pasti akan menggeret massa ke dalam pertarungan ideologis, sering dengan
ceceran darah sesama muslim.
Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek
pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik
birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan
pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri,
yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan
masyarakat.
Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori
kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan
bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai
problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah
dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis
hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional,
mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi
kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan
82 Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h.,
41-45
67
dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan,
ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan
dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau
sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat
baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat
rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat
pengatasnamaan agama dalam politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis
berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama
pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial.
Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan
modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu,
termasuk sistem Islami. Prinsip tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang
secara universal memberikan kedudukan sama di muka hukum, tanpa melihat
asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem
perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang
akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan
terbatas manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara,
yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan
materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-
uandang) berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hukum agama
Islam), (4) jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai
hak milik, (5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak
ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk
68
mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa
ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan
melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari
tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran
pengadilan.83
Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketua
Umum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi
masyarakat, karena di samping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-
ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada
kepentingan nasional,84 juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak
akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari
satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan
pada, pertama, sebagai etika sosial, di mana Islam mampu mengarahkan dan
membentuk moralitas publik, dan kedua melalui penerapan hukum Islam secara
partikular di dalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen
Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak
mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga
mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan
modernitas.
Penerimaan Gus Dur atas nama NU memang bersifat historis. Kesejarahan
tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang
83 Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5 84 Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan
Politik: sebuah Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 57
69
mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk
kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi
kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.
Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah
membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-
Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada
adalah negara kolonial-sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa
negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah,
disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan
Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi
keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini
adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari
penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu
mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari
pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk
mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945.
Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-
bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi
kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non
bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan
hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi
warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan
demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin
70
dengan orientasi cukup kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi
saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.
C. Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi
Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan
politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah otoritarianisme pemerintahan Orde
Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan institusi demokrasi sebagai
pemberangus hakikat demokrasi. Artinya, institusi dan prosedur yang semestinya
ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam
dirinya sendiri. Dari realitas politik inilah gagasan demokrasi Gus Dur lahir.
Dengan menjadikan demokrasi institusional sebagai kritik dengan istilah
yang ia lontarkan sebagai “demokrasi seolah-olah”, Gus Dur kemudian
menambatkan solusi praksisnya pada dua ranah sekaligus, struktural dan kultural.
Pada ranah struktural, Gus Dur menggagas pentingnya kedaulatan hukum yang
diwujudkan dengan upaya menegakkan peradilan yang bebas dan menggagas
lahirnya Mahkamah Konsitusi, penegakan Hak Asasi Manusia dan peningkatan
kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga hal ini
diharapkan akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi selluruh
rakyat Indonesia.
Pada ranah kultural, Gus Dur menggagas pentingnya penghargaan
terhadap pluralitas sebagai wujud penghargaan terhadap keragaman budaya,
bahasa serta agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta
pemberdayaan masyarakat sipil yang pada akhirnya diharapkan akan mampu
71
melakukan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan sebagai mekanisme
demokrasi.
Dari penolakan terhadap paham institusionalisme dalam demokrasi, Gus
Dur kemudian menekankan pada aspek infrastruktur demokrasi, yakni budaya
keadaban (civic culture) yang menopang terjadinya demokratisasi, baik oleh
negara kepada rakyat maupun sebaliknya. Konsep Gus Dur ini mengarah pada
definisi demokrasi sebagai apa yang dipikirkan masyarakat tentang demokrasi itu
sendiri. Artinya, segala kelembagaan demokrasi seperti parlemen, pemerintah
ekskutif, hukum, dan pers, tidak akan mampu dan bahkan bisa menjadi musuh
dari demokrasi, ketika demokrasi belum mampu merasuk dalam relung budaya
masyarakat.
Landasan seperti inilah yang membuat Gus Dur Concern terhadap
pemberdayaan civil society dalam tubuh besar jama’ah Nahdlatul Ulama (NU).
Gus Dur menjadikan NU sebagai eksperimentasi penciptaan “kantong-kantong”
masyarakat sipil, seperti penciptaan lembaga-lembaga ala NGO di NU, penguatan
tradisi lokal masyarakat, serta penumbuhan gelombang intelektualisme anak muda
NU. Organisasi ini kemudian menjelma menjadi kekuatan civil society yang
berhadapan vis a vis negara.
Gus Dur selalu menjadikan Pancasila sebagai point of view dalam semua
aksi dan pemikirannya, baik ketika berhadapan dengan monopoli idiologi oleh
negara, maupun dengan ideiologisasi Islam kaum skriptualis. Ketika negara
menciptakan hegemoni ideologi dengan menciptakan azas tunggal Pancasila, Gus
Dur kemudian “merebut” Pancasila dari rezim Orde Baru yang telah melakukan
72
monopoli dengan memberagus ideologi selain Pancasila, serta menciptakan
penafsiran sepihak dan memaksakannya melalui represifitas birokrasi dan militer.
Ketika Orba mengharamkan Marxisme-Leninisme hidup di Indonesia, demikian
juga dengan Islam ideologis, lewat penggantian azas Islam Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dengan Pancasila, Gus Dur menggunakan pengakuan
pluralisme dari Pancasila untuk menghantam balik totalisme Pancasila a la
Soeharto.
Memang, sepribumi apapun demokrasi Gus dur, ia tetap menggunakan
parameter asli demokrasi (liberal), yakni konstitusi. Azas negara yang merupakan
landasan konstitusional demokrasi modern tersebut, digunakannya sebagai
bumerang untuk mengkritik manipulasi demokrasi yang dilakukan pemerintah.
Hal ini juga terlihat dalam praktik kenegaraanya ketika menjabat Presiden RI ke-
4. Ia berulang kali menggunakan konstitusi sebagai argument penyeimbang bagi
serangan-serangan lawan politiknya. Bahkan Dekrit Presiden kontroversial yang
dideklarasikan untuk membekukan parlemen menjelang kejatuhannya, merupakan
kekokohannya memegang prinsip konstitusi.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Praktik demokrasi yang telah berlangsung beberapa dekade di Tanah Air
ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Muslim, telah
melakukan ‘uji coba’ untuk mewujudkan demokrasi. Perjalanan dan
perkembangan demokrasi di Indonesia berlangsung fluktuatif. Kadang sesuai
dengan jalur demokrasi yang sebenarnya, dan kadang pula menyimpang dari jalan
demokrasi yang sesungguhnya. Namun yang jelas, Indonesia telah berusaha
mengalami dan merasakan ‘pahit-manis’ nikmatnya berdemokrasi. Dalam wacana
demokrasi, nama Abdurrahman Wahid merupakan salah satu tokoh yang ikut
mewarnai wacana demokrasi di Indonesia.
Dari seluruh pembacaan Abdurrahman Wahid terhadap konsep demokrasi,
baginya tidaklah penting bagaimana demokrasi tersebut didefinisikan, tapi
sebaliknya, bagaimana demokrasi itu bisa berjalan. Konsep kedaulatan hukum,
penegakan Hak Asasi Manusia, Peningkatan kesejahteraan rakyat, pentingnya
pemahaman tentang pluralitas serta pemberdayaan masyarakat sipil baginya
merupakan elemen-elemen terpenting yang harus terpenuhi dalam mewujudkan
pemerintahan demokratis. Dalam konteks ini pula, agama (Islam) tidak harus
dijadikan sebagai tujuan perjuangan politik secara formal, tetapi lebih diarahkan
kepada prilaku sosial yang menjunjung tinggi nilai keadilan, persamaan dan
demokrasi sebagaimana terebut diatas. Hal ini dikarenakan untuk menemukan
73
74
format perjuangan seluruh elemen negara dan masyarakat bangsa secara bersama-
sama guna mencapai cita-cita bersama sebagaimana tertulis dalam Undang-
undang Dasar 1945.
Akhirnya, merujuk kepada Abdurrahman Wahid bukan berarti mengikuti
segenap pikiran dan tindakannya, tapi hanya mendukung referensi pemikiran yang
diwakili olehnya yaitu: kebangsaan, sekularisasi, demokrasi, dan transformasi
sosial. Keberpihakan kepada Abdurrahman Wahid adalah keberpihakan pada level
sistem pemikirannya dan bukan pada level aksi dan kebijakannya sebagai aplikasi
terhadap sistem tersebut. Kita berpihak pada gagasannya tentang negara
kebangsaan, dan bukan negara Islam atau model negara “Piagam Jakarta”, di
mana ia sering mengutip ajaran Soekarno dan Renan tentang makna berbangsa.
Kita juga berpihak pada Abdurrahman Wahid ketika berbicara tentang
desentralisasi dan minimalisasi peran negara menjadi “negara pengurus dan
fasilitator”, bukan negara penguasa seperti di masa Orde Baru. Maka, kita
mendukung kebijakannya membubarkan Departemen Penerangan, Departemen
Sosial, dan Kementrian Pemuda dan Olahraga. Tapi kita perlu menentang
beberapa kebijakannya yang bertentangan dengan sistem pemikiran yang
diwakilinya. Misalnya mempertahankan keberadaan Departemen Agama, dan
Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Soalnya urusan agama dan
perempuan adalah urusan masyarakat, dan bukan urusan negara. Padahal dulu
kalangan NU dikenal gencar mengkritik keberadaan Departemen Agama yang
dinilai diskriminatif terhadap agama diluar Islam dan bahkan menindas agama-
agama lokal. Tapi, karena sekarang yang malah menggarap Departemen Agama
75
adalah orang-orang NU, maka suara-suara pembubaran yang pernah
dilontarkannya pun jadi terlupakan.
B. Saran
Dari pembacaan atas gagasan dan pemikiran Gus Dur, secara kritis,
tampak ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan padanya. Pertama, dalam
banyak hal, beliau masih menyisakan berbagai bentuk penjelasan yang belum
tuntas. Berbagai tulisannya tidak lebih dari sekedar kumpulan perenungan yang
bersifat kasuistik dan hanya dituliskan dalam empat sampai delapan halaman. Hal
ini meskipun di satu sisi merupakan kelebihannya dalam pembacaan atas realitas
yang terjadi, namun di sisi lain persoalan kenegaraan dan kebangsaan merupakan
contoh kasus yang bersifat mendasar dan oleh karenanya perlu dilakukan
pembahasan yang panjang dan menyeluruh. Oleh karena itu masih diperlukan
kajian akademik atas pemikiran Gus Dur agar dapat ditindaklanjuti kebenarannya
serta merumuskannya kembali secara lebih sistematis dan komprehensif.
Kedua, bila melihat kekukuhan Gus Dur “menjadi negara” untuk yang
kedua kalinya menurut penulis sangatlah dilematis. Ini dikarenakan ia telah
terjebak dalam pluralisme politik. Satu kondisi paska otoritarianisme yang
memposisikan negara secara bebas nilai, di mana ia hanya ruang terbuka untuk
menampung dan oleh karenanya menyediakan diri untuk diperebutkan berbagai
kepentingan. Hal ini berakibat pada pergeseran pola perjuangan, dari kultural
menuju struktural partai politik yang tentunya diarahkan untuk menguasai atau
setidaknya menghadapi negara. Maka sebagai konsekuensinya, ia akan kehilangan
76
basis kulturalnya. Satu hal yang tidak sepenuhnya bisa disediakan partai politik
karena memang infrastrukturnya berbeda. tetapi untuk membuktikan
kebenarannya, perlu penelitian lebih lanjut.
Ketiga, ketika kita bermufakat untuk menjadikan pancasila sebagai dasar
negara kita, maka keragaman bangsa Indonesia menjadi penting untuk
dipertimbangkan dalam upaya memahami teks-teks keagamaan agar senantiasa
mampu merespon tuntutan sejarah. Oleh karena itu, reinterpetasi atau pemahaman
kembali terhadap teks-teks keagamaan diperlukan untuk selalu menjaga relevansi
teks tersebut dengan realitas sosial yang terus berubah. Hal inilah yang perlu
menjadi perhatian kita bersama, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.
77
DAFTAR PUSTAKA
A. Dahl, Robert. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali Press, 1985.
− − − − −. Demokrasi dan Para Pengeritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.
A’la Al Maududi, Arsyil. Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur. Yogyakarta: Wihdah Press, 2000.
Abdillah, Maskuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.
Affandi, Arif. Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Al Zastrauw Ng. Gus Dur Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga, 1999.
Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004.
Arif, Syaiful. Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual. Depok Kukusan, 2009.
AS. Hikam, Muhammad. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1996.
− − − − −. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga, 2000.
Asshiddiqie SH., Jimly. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.” Simbur Cahaya No. 25, Mei 2004.
Barton, Greg dan Greg Fealy, ed. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997.
Budiarjo, Miriam, ed. Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia, 1982.
− − − − −. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.
Djamaluddin Malik, Dedi dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.
Huntington, Samuel, P.. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1995.
Ida, Laode dan A. Thantowi Jauhari. Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.
78
Kamil, Sukron, MA. Islam & Demokrasi: Telaah Kondeptual & Historis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.
Karim, A. Gaffar. Metamorfosis Nahdlatul Ulama: Politisasi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.
K. H. Dharwis, ed. Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS, 1997.
Ma’arif, Zaenal. “Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Kapitalisme Global,” Artikel di akses pada 27 Oktober 2009 di //http.www.scribd.com/doc/19094274/Kwik-kian-gie.
Madjid, Nurcholish. “Membangun Rumah bagi Demokrasi Indonesia.” Madani Edisi I, Maret 1999.
− − − − −. “Transisi ke demokrasi.” dalam Fatsoen Tekad No. 16/th. I, 15-21 Februari 1999.
Masdar, Umaruddin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999.
Noor, Irfan. “Jaringan Pondok Pesantren Se-kalimantan Selatan: Sebuah Usaha Menegakkan Pilar Masyarakat Sipil,” artikel diakses pada 10 September 2009 di //http:www.scribd.com/doc/7850893/Pesantren-Dan-Masyarakat-Sipil
Rais, Amien. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES, 1986.
Saefullah, Aris. Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. Yogyakarta: Laelathinkers, 2003.
Saefulloh Fattah, Eep. Pengkhianatan Demokrasi a la Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Rosdakarya, 2000.
Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta: AR-RUZZ, 2004.
Siner Key Timu, Cris. “Selesaikan Pelanggaran Berat HAM.” Artikel diakses pada 11 Juli 2009 dari http://www.dephumkam.go.id./NR/rdonlyres/9AF30E4B-81FD-4F9F-97CE-5D9E6273602D/0/selesaikanpelanggaranham.pdf
Suaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdala. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2000.
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Thaha, Idris. Demokrasi Religius: Pemikiaran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Jakarta: Teraju, 2005.
Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000.
79
Tim INCReS. Beyond the Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.
Uhlin, Andres. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Wahid, Abdurrahman. Membangun Demokrasi. Bandung: Rosdakarya, 1999.
− − − − −. Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural. Yogyakarta: LKiS, 1998.
− − − − −. Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LKiS, 2000.
− − − − −. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok, Desantara, 2001.
− − − − −. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS, 1999.
− − − − −. Islamku, Islam anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokasi.Jakarta: the Wahid Institute, 2006.
− − − − −. “Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden.” Forum Keadilan No. II 14 Mei 1992.
− − − − −. “Menunggu Setan Lewat.” Tempo, 10 Maret 1984.
Waluyo, Endri. “Abdurrahman Wahid: Telaah Atas Ide Neo-modernisme.” Artikel diakses pada 15 Oktober 2009 dari http://katakanhanyasatu.blogspot.com.
Wiranu, Chatibul Umam. Filsafat Negara Gus Dur. Naskah Buku, Maret 2009.
MAJALAH/KORAN Tempo, 10 Maret 1984, 9 Juni 1990.
Forum Keadilan, No. II, Mei 1992.
Kompas, Kamis, 4 April 1991.
Filsafat Negara Gus Dur Teori dan Praksis Kenegaraan KH Abdurrahman Wahid
Daftar Isi
Pendahuluan
I. Pemikiran Politik Gus Dur
- Rahim pemikiran
- Panggung politik
II. Kritik Demokrasi Institusional
III. Pemikiran Politik Islam Gus Dur
IV. Gus Dur dan Negara Islam
V. Gus Dur dan Syari’at Islam
- Kepentingan negara
- Syari’at Gus Dur
VI. Gus Dur dan Kultur Demokratis
- Pribumisasi demokrasi
- Demokrasi Gus Dur
VII. Dekonstruksi Negara Gus Dur
Penutup
Daftar Pustaka
1
Pendahuluan
KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melebihi apapun adalah seorang negarawan. Beliau
boleh saja disebut sebagai cendekiawan muslim, budayawan, politisi. Namun segenap modal
budaya tersebut Ia gerakkan untuk menjaga titik keseimbangan negara-bangsa. Apalagi
segenap perjuangan saat Orde Baru telah terbayar melalui Kepresidenan ke-4 RI, di mana beliau
mampu mewujudkan eksperimentasi kenegaraannya, yang lahir dari keprihatinan atas
otoritarianisme politik Orde Baru.
Meskipun umur kepresidenanya tak lama. Tetapi kita tetap bisa menemukan garis merah
konsepsional dari segenap kebijakan politik yang konon sering kontroversial. Dalam hal ini,
studi tentang filsafat negara Gus Dur menjadi titik muara, karena ia tidak hanya merujuk pada
domain politik, tetapi terlebih budaya. Dalam discourse negara, pemikiran Gus Dur bisa
diletakkan secara menyeluruh, sebab sejak Orde Baru hingga sekarang, titik bidik Gus Dur
adalah negara, tepatnya oposisi terhadap negara, bahkan ketika ia “menjelma negara”.
Sayangnya, ketiadaan perumusan sistemik, serta pengangkatan Gus Dur pada level politik
budaya, akan meniadakan gerak dan watak Gus Dur yang sejak awal sudah political. Politik
dalam arti keberpihakan, politik dalam arti pengarahan praktik politik oleh sebuah pemikiran.
Hal ini nyata, sebab jauh sebelum Gus Dur menjadi presiden, Ketua PBNU, dan oposisi
utama Soeharto, ia terlebih adalah cendekiawan sosial yang merumuskan kritik budaya dalam
jurnal Prisma (LP3ES). Gus Dur sejak awal kedatangan ke Indonesia pasca studi di Baghdad
adalah sosok sadar ideologi. Hal ini menjadi nyata, selayak kerja awal yang merujuk pada kritik
atas pola pembangunan Orde Baru yang hanya mengacu pada pemercepatan ekonomi, minus
pemerataan kesejahteraan.
Studi ini juga hendak menekankan proses transformasi hubungan antara negara dan
masyarakat pasca Reformasi 1998. Fokusnya melingkup pada era pemerintahan Gus Dur, di
mana pada lanskap politik, arus transisi tengah menjelma radikalisme demokrasi, sementara
pada level tindakan politik mencerminkan dekonstruksi fundamental atas pemusatan negara
terhadap masyarakat. Sebagai studi era transisi, kajian ini hendak mempermasalahkan, apakah
berbagai komponen politik dan budaya pada saat itu, telah mampu menyediakan ruang bagi
konsolidasi demokrasi? Dan sejarahpun menjawab, orde Gus Dur terjungkal oleh konspirasi
partai, yang lahir dari legislative heavy. Apa yang dilihat para peneliti sebagai bentuk demokrasi
pasca-otoritarianisme sungguh tak terlihat dengan jelas. Apakah era itu memang hanya
menyediakan gerak transisional, kembali ke status quo, demokrasi hibrida, atau unconsolidated
democracy?
Satu hal yang pasti, bahwa pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan dekonstruktif.
Satu gerak politik, dimana Gus Dur bahkan bukan seorang politikus yang memobilisir kekuatan
dan legitimasi politik demi stabilitas kuasanya. Yang terjadi, Gus Dur tetap seorang Ketua Pokja
Forum Demokrasi, yang merealisasikan gagasan anarkis tentang minimalisasi peran negara
demi kuatnya masyarakat sipil. Gus Dur telah “mengecilkan tubuh negara” yang selama dua
2
rezim otoritarian Orde Lama dan Orde Baru, menggelembung kemana-mana, melampaui batas
konstitusi, menyesak-desakkan keringat kecut dan muka penuh amarah di ruang publik, tempat
segenap kekuatan masyarakat terkebiri. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah suatu cita-cita
utopis tentang menguatnya masyarakat, yang mensyaratkan debirokratisasi dan demiliterisasi.
Ini yang esensial dan akhirnya menjadi bumerang, sebab saat itu, bahkan hingga sekarang,
kondisi struktural dan kultural tidak mengizinkan.
Memang berbagai kebijakan tersebut bahkan menjadi bumerang bagi pemerintahan Gus
Dur, karena disatu sisi menciptakan destabilisasi politik, karena berjuta rakyat pegawai negeri
yang harus menganggur sebab bubarnya beberapa departemen. Sementara disisi lain, para
politisi partai memanfaatkan kebijakan dekonstruktif itu untuk menurunkan popularitas
presiden. Satu hal yang kemudian bisa dinikmati hingga sekarang adalah buyarnya dwi-fungsi
ABRI, sehingga militer semaksimal mungkin bisa dikembalikan ke baraknya. Hal yang berbeda
dengan peniadaan batasan hanya lima agama, yang sayangnya dihapus oleh kepemimpinan
Megawati sehingga sekarang diksriminasi agama tetap terjadi.
Hanya yang patut diangkat, dan menjadi concern kajian ini adalah, segenap lanskap
pemikiran Gus Dur pada tataran abstraksi ideal, mengenai hubungan terbaik antara negara dan
masyarakat. Ini yang menjadi arah gerakannya sejak era Orde Baru, dan hingga sekarang tetap
menjelma problem tak terselesaikan. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa Gus Dur anti
terhadap birokratisasi budaya yang seharusnya menjadi hak milik masyarakat? Apakah
memang posisi negara yang begitu hegemonik, patut diamini sebagai keniscayaan evolusi
masyarakat modern, sehingga potensi kemandirian “memerintah” dari masyarakat sendiri
terbungkam? Berhakkah negara, pada tataran real melakukan pembunuhan atas manusia demi
stabilitas politik? Berhakkah negara mengobok-obok kebebasan beragama dan berpikir, melalui
otoritarianisme otoritas pengetahuan, entah melalui korpus KUHP ataupun lembaga MUI?
Dimanakah posisi kajian hubungan negara dan masyarakat dalam studi dan proses demokrasi,
sehingga seakan hal ini menghilang dalam arus reformasi pasca Leviathanisme negara?
Hal sama juga terjadi pada pertanyaan, kenapa Gus Dur menolak negara Islam? Apakah
dengan demikian Ia tidak memiliki kehendak untuk memperjuangkan terbentuknya
masyarakat berdasar nilai-nilai Islam? Tanya ini urgen sebab sikap keberislaman Gus Dur tentu
mewakili sikap NU, dan mayoritas Islam di negeri ini. Pandangan Gus Dur mengenai hubungan
antara Islam dan negara menjadi penting, sebab hingga saat ini, ada saja pihak yang hendak
mempermasalahkanya dalam suatu perjuangan ideologis. Dalam kaitan ini, sikap Gus Dur
sebagai gerbong tradisionalisme Islam tentu berbeda dengan pihak yang sama menolak negara
Islam. Bagaimanapun Gus Dur dan NU bukanlah penganut sekularisasi. Sebagai agama hukum
(religion of law), masyarakat sarungan ini memiliki kaidah pemikiran metodologis (qawa’idul
manhajiyah) yang berangkat dari logika ushul fiqh. Ini yang menjadikan kaum nahdliyin tidak
bisa melepaskan pendekatan dan pandangan agama dalam setiap keputusan politiknya.
3
4
Berbagai tanda tanya inilah yang hendak dicarikan jawabannya, dalam pemikiran Gus
Dur, baik pada level intelektualisme, maupun praksis Kepresidenan ke-4 RI. Pada lanskap
makro, tulisan ini juga hendak mencari jawab, kenapa transisi era Gus Dur bisa berakhir dengan
hegemoni politisi partai dalam legislative heavy sehingga berbagai agenda besar perubahan
politik yang tengah Gus Dur gerakkan, kandas ditengah jalan.
Penutup Sisi positif dari pemikiran negara Gus Dur adalah wataknya yang anti
totalitarianisme. Watak ini tetap menempatkan negara sebagai media capaian politik
di mana kesejahteraan rakyat menemu prioritas. Hal ini yang membuat negara
bukan untuk negara sendiri. Ia hanya menjadi alat bagi tujuan politik, yakni
pensejahteraan masyarakat.
Dari posisi ini, negara kemudian dibatasi ke(se)wenangannya. Ini lahir dari
kesadaran, bahwa sebagai alat politik, negara telah memiliki nyawa sendiri yang
cenderung otoriter dan koruptif. Definisi negara modern yang menempatkan
keabsahan penggunaan kekerasan menjadi bukti, bahwa melalui otoritas sentralnya,
negara tetap berpotensi melaksanakan kejahatan. Kesadaran ini yang melingkupi
Gus Dur, bukan hanya karena Ia lahir dalam pergulatan politik otoritarianisme Orde
Baru. Melampaui hal itu, kecurigaan Gus Dur merupakan warisan kultural dari
domain sub-kultur pesantren. Sebagai sub-kultur, masyarakat santri sudah terbiasa
bermasyarakat tanpa negara.
Ini terjadi karena internal sistem sosialnya merujuk pada otoritas budaya,
sehingga ia independen dari otoritas politik milik negara. Dari otonomi sub-kultur
ini, masyarakat santri kemudian cenderung anti-birokrasi. Satu hal yang menjadi
elemen utama hukum besi oligarki, yang membuat negara totaliter. Keprihatinan
Gus Dur terletak di sini, yakni dalam domain birokratisasi kehidupan yang telah
menjauhkan cita pengaturan publik (public regulation) dari empati kemanusiaan.
Oleh birokrasi, manusia menjadi mesin minus perasaan, dan sebagai kaum tradisi
yang biasa hidup bebas secara kultural, Gus Dur tentu alergi dengan hal ini.
Dari birokratisasi, kritik Gus Dur tertuju pada kekerasan negara. Satu
kekerasan yang digerakkan atas nama konstitusi. Menariknya, meskipun Gus Dur
mengritik dan berhasrat untuk “mengecilkan tubuh” negara, tapi mantan Presiden
ke-4 RI ini, tetap menjadikan konstitusi untuk melawan negara. Inilah perlawanan
simbolis itu, di mana Gus Dur telah melakukan de-monolitisisme tafsir atas
konstitusi. Tentu ini merupakan gerakan filosofis, karena Gus Dur telah
membongkar keterjebakan institusionalisme politik, dan mengembalikan segenap
1
lembaga politik tersebut kepada cita filosofisnya. Artinya, apa yang saat ini disebut
sebagai konstitusi, ternyata lebih menjelma pelencengan: ide filosofis tentang
kedaulatan rakyat, telah dikebiri oleh lembaga politik yang didirikan untuk
mewujudkan cita tersebut.
Gerak konstitusional Gus Dur ini wajar, sebab cara berpikir Sunni yang
merujuk pada kaidah metodologis (qawa’id al-manhajiyah) dari rasionalitas hukum
Islam. Model berpikir inilah yang mampu menempatkan Pancasila sebagai
“bangunan rumah”, sementara Islam sebagai “rumah tangga” kaum muslim. Dari
sini mafhum kenapa Gus Dur tetap berpegang pada konstitusi dan UUD 45, karena
sejak awal, masyarakat Sunni adalah masyarakat yang mendasarkan pembentukan
pola kemasyarakatan pada supremasi hukum. Satu hal yang telah dilakukannya,
melalui penempatan hukum Islam, sebagai sub-sistem hukum nasional. Pola
pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat Gus Dur tidak menjadikan hukum
Islam sebagai alternatif dari konstitusi negara, melainkan sebagai suplemen:
penyempurna tata politik, di mana syari’at mampu melakukan kritik atas
penyimpangan sosial yang sering menempatkan negara sebagai faktor utama.
Memang saat ini Gus Dur tengah berusaha untuk mengarahkan gerak negara
melalui prosedur demokrasi: partai. Kita bisa memahami langkah ini sebagai
penggarapan tugas yang belum selesai, karena kepresidenan beliau yang terkudeta
secara konstitusional. Hingga saat ini, Ketua Umum Dewan Syura Partai
Kebangkitan Bangsa ini tetap berkehendak untuk mengembalikan arah dari
pembangunan nasional, yang menurutnya tidak mengacu pada pemerataan social,
tetapi hanya mengerucut pada kepentingan segelintir elite. Satu hal yang memang
membutuhkan negara untuk mengarahkannya. Namun bahkan dalam titik inilah
muncul kontradiksi. Hal ini terjadi pada perbedaan antara kritik demokrasi
institusionalnya yang meniscayakan posisi “luar negara”, dengan keterlibatannya
dalam partai yang cenderung prosedural. Hanya memang, sebagai pihak yang
berpijak pada undang-undang, maka Gus Durpun mendasari keterlibatan dalam
prosedur demokrasi ini, karena hanya partailah yang secara sah menjadi alat
partisipasi politik.
2