Upload
gamal-al-isra
View
53
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
nojojp
Citation preview
i
KARYA AKHIR
PENGARUH EKSTRAK AQUEOUS KULIT DELIMA (Punica granatum)
PERORAL TERHADAP MAKROFAG, FIBROBLAS DAN KOLAGEN PADA
PENYEMBUHAN LUKA BAKAR TIKUS PUTIH
Penulis :
Almahitta Cintami Putri, dr.
Pembimbing :
Lobredia Zarasade, dr., Sp.BP-RE (KKF)
Iswinarno Dososaputro, dr., Sp.BP-RE (K)
DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH PLASTIK
REKONSTRUKSI DAN ESTETIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD Dr. SOETOMO
SURABAYA
2013
ii
Prasyarat Gelar
PENGARUH EKSTRAK AQUEOUS KULIT DELIMA (Punica granatum)
PERORAL TERHADAP MAKROFAG, FIBROBLAS DAN KOLAGEN PADA
PENYEMBUHAN LUKA BAKAR TIKUS PUTIH
Penelitian Eksperimental
Karya akhir pada Program Studi Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Oleh :
Almahitta Cintami Putri, dr.
Pembimbing :
Lobredia Zarasade, dr., Sp.BP-RE (KKF)
Iswinarno Dososaputro, dr., Sp.BP-RE (K)
DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH PLASTIK
REKONSTRUKSI DAN ESTETIK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD Dr. SOETOMO
SURABAYA
2013
iii
Lembar Pengesahan
1. Judul Penelitian: Pengaruh Ekstrak Aqueous Kulit Delima (Punica granatum)
Peroral terhadap Makrofag, Fibroblas dan Kolagen pada
Penyembuhan Luka Bakar Tikus Putih
2. Peneliti:
a. Nama : Almahitta Cintami Putri, dr.
b. Jabatan: Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I
c. Bagian : Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik
Telah disetujui oleh pembimbing pada tanggal 25 Oktober 2013 serta
dipertahankan di depan penguji pada tanggal 11 Oktober 2013 dan dinyatakan
memenuhi syarat
Menyetujui,
Pembimbing
Iswinarno D.S., dr., Sp.BP-RE (K) Lobredia Z., dr., Sp.BP-RE (KKF)
NIP. 19630415 199003 1 016 NIP. 19680711 200801 2 013
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik
Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Prof. Dr. David S. Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K)
NIP 19600305 198901 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen / SMF Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Prof. M. Sjaifuddin Noer, dr., Sp.B., Sp.BP-RE(K)
NIP. 19470816 197612 1 001
iv
Ucapan Terima Kasih
Pertama-tama penulis ingin mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini yang berjudul Pengaruh
Ekstrak Aqueous Kulit Delima (Punica granatum) Peroral terhadap Makrofag, Fibroblas
dan Kolagen pada Penyembuhan Luka Bakar Tikus Putih. Tulisan ini disusun sebagai
karya akhir penelitian peserta Program Pendidikan Spesialis I Ilmu Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
Dalam penyusunan tulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai
pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Prof. Dr. Fasichul Lisan, drs., Apt., Rektor Universitas Airlangga, atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo.
2. Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Kes., SpPD, K-EMD, FINASIM, Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.
Soetomo.
3. Dodo Anondo, dr., M.Ph., Direktur RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas kesempatan
yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di RSUD Dr. Soetomo.
v
4. Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., SpB, SpBP-RE(K), Guru Besar Ilmu Bedah
Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /
RSUD Dr. Soetomo, Surabaya atas segala arahan dan bimbingan kepada penulis
selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
5. Prof. M. Sjaifuddin Noer, dr., SpB, SpBP-RE(K), Ketua Departemen / SMF Ilmu
Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala arahan dan bimbingan kepada penulis
selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
6. Prof. Dr. David S. Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K), Ketua Program Studi Ilmu
Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
/ RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala arahan dan bimbingan kepada penulis
selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya.
7. Iswinarno Doso Saputro, dr., SpBP-RE(K), Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah
Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /
RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan pembimbing penulis dalam penelitian ini, yang
banyak memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama penulis menjalani
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan
vi
Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
8. Lobredia Zarasade. dr., SpBP-RE(K), staf Departemen / SMF Ilmu Bedah Plastik
Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.
Soetomo Surabaya dan pembimbing penulis dalam penelitian ini, atas segala
dukungan, arahan dan bimbingannya kepada penulis dalam menjalani Program
Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
9. Agus Santoso Budi, dr., SpBP-RE(K), Sitti Rizaliyana, dr., SpBP-RE(K), Magda
R. Hutagalung, dr., SpBP-RE(KKF), Beta Subakti N. dr., SpBP-RE, Lynda
Hariani dr., SpBP-RE dan Indri Lakhsmi Putri dr., SpBP-RE(K), staf Departemen /
SMF Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya, atas segala dukungan, arahan dan
bimbingannya kepada penulis dalam menjalani Program Pendidikan Dokter
Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
10. Budiono, dr., M.Kes., atas bimbingannya dalam menyelesaikan analisis statistik
penelitian ini.
11. Willy Sandhika, dr., MSi, Sp.PA (K) atas bimbingan dan masukannya dalam
pembacaan preparat histologis.
12. Martono Muslam, dr., Sp S. dan Henny Listiani, drg., M.Kes., kedua orang tua
penulis, yang telah begitu banyak berkorban dan senantiasa memberikan dukungan
vii
moril-materiil, inspirasi, ide, doa yang tiada putusnya serta cinta kasih kepada
penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.
13. Taufik Karnaen, dr., dan Ninik Yuniati, kedua mertua penulis, yang telah memberi
dukungan dan doa kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan
ini dengan baik.
14. Moch Fatoni Arief Rachman, dr., suami penulis yang senantiasa mendukung,
memberi semangat dan doa kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan
pendidikan ini dengan baik.
15. Saudara-saudara kandung penulis, Rangga Almahendra, ST., MM., PhD., beserta
istrinya Hanum Salsabiela Rais, drg., dan Almarissa Ajeng Prameshwara, dr.
beserta suaminya Odhie Anggani dr., yang juga tidak pernah berhenti berdoa dan
memberikan dukungan selama pendidikan penulis.
16. Revita Widya Prasanti, dr., Ulfa Elfiah, dr., Vini Thresianty Irene, dr., Nur Febriany
Nasser, dr., Taufiq Sakti Noer, dr., dan Badriyatut Dini, dr., sebagai teman
seperjuangan dalam masa pendidikan.
17. Th. E. Sudrajat Wahyu Nugroho, dr., Yudi Siswanto, dr., Muhammad Aulia Ul
Hakim, dr., atas kesediaannya meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu
pelaksanaan penelitian ini.
18. Seluruh teman sejawat PPDS I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga lainnya, atas bantuan, dukungan serta
kerjasamanya dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah
Plastik Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /
RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
viii
19. Sekretariat dan karyawan Departemen / SMF Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan
Estetik, atas kerjasama, dukungan dan bantuan kepada penulis selama menjalani
Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan
Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
20. Seluruh tenaga medis dan paramedis di IRD, OK GBPT, Burn Unit, URJ Bedah
Plastik dan IRNA Bedah, atas segala kerjasama dan bantuannya selama penulis
menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi
dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.
21. Semua pihak yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu untuk segala
dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Penulis ingin menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan pada tingkah
laku dan tutur kata selama menjalani pendidikan sebagai peserta Program Pendidikan
Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Walaupun tulisan ini disusun sebaik-baiknya, kekurangan pasti masih ada. Oleh
karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat
bagi kita semua.
Surabaya, November 2013
Penulis
ix
Abstrak
Effect of Oral Pomegranate (Punica granatum) Peel Aqueous Extract on Macrophage,
Fibroblast and Collagen Thickness Burn Wound Healing
Almahitta C. P.*, Lobredia Z., Iswinarno D. S.
Department of Plastic Reconstructive and Aesthetic Surgery
Airlangga University School of Medicine / Hospital Dr. Soetomo
Surabaya
ABSTRACT
Background: Burn wound healing is a complex process, which involves the process of inflammation,
oxidative stress, and infection. Therefore it is costly both to stabilize the general condition of the body,
wound care itself, to prevent and to treat complications. Breakthrough is needed to solve this problem in an
effective, safe, and affordable ways. One alternative of the breakthroughs is to use natural ingredients and
Pomegranate is one of that ingredient which is widely studied today. Pomegranates have antioxidant
effects, anti-inflammatory, anti-infective and anti-carcinogenic due to its content of polyphenols and
derivatives, such ellagic acid, punicalagin, etc. Pomegranate polyphenol content higher than other fruits and
its peel contain polyphenols pomegranate highest among other parts. It is known that the aqueous extract of pomegranate peel orally can stimulate healing of incision wound and pomegranate peel extract topically
effective for burn wound healing. Research in the effect of oral pomegranate (Punica granatum) peel
aqueous extract on burn wound healing of white rats have not been investigated.
Objective: To proof the effect of oral pomegranate (Punica granatum) peel aqueous extract on
macrophage, fibroblast, and collagen thickness burn wound healing of white rats.
Methods: An experimental with post-test only control group. A total of 28 rats with deep burn wound,
divided into four groups: two groups of rats which will be given pomegranate peel aqueous extract
50mg/kgbw/day orally examined at 3 (inflammatory phase) and 10 (proliferative phase) days, and two
groups of rats which will not be given the aqueous extract of pomegranate peel oral, examined at 3 and 10
days too. Burn wound will undergo histologic examination with hematoxylin-eosin staining counted the
number of macrophages, fibroblast density, and thickness of collagen. Data were analyzed with
multivariate analysis of variance analysis (Manova).
Results: The number of macrophage at 3 days was similar to the control, but at 10 days control increased
significantly (P
x
DAFTAR ISI
Sampul Dalam.i
Prasyarat Gelar .................................................................................................................... ii
Lembar Pengesahan ........................................................................................................... iii
Ucapan Terima Kasih ........................................................................................................ iv
Abstrak ............................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................................x
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................................xv
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xvi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... xvii
BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................4
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................................4
1.3.1 Tujuan umum .....................................................................................................4
1.3.2 Tujuan khusus ....................................................................................................4
1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................................................5
1.4.1 Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan ................................................5
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan kesehatan ....................................................................5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................6
2.1 Luka Bakar .....................................................................................................................6
2.1.1 Fase luka bakar ........................................................................................................6
xi
2.1.2 Pembagian / klasifikasi luka bakar ..........................................................................7
2.1.3 Patofisiologi luka bakar .........................................................................................11
2.1.4 Proses penyembuhan luka bakar ............................................................................14
2.1.5 Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS) pada luka bakar ...........................................................21
2.2 Delima (Punica granatum) ..........................................................................................27
2.2.1 Efek antioksidan, anti-inflamasi, anti-mikroba, penstimulasi proliferasi
fibroblas dan penstimulasi sintesis kolagen pada delima ...............................................31
2.2.2 Asam ellagik dan punicalagin ................................................................................35
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .......................38
3.1 Kerangka Konseptual ...................................................................................................38
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual .................................................................................39
3.3 Hipotesis Penelitian .....................................................................................................41
BAB 4 METODE PENELITIAN ......................................................................................42
4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ...................................................................................42
4.2 Hewan Coba .................................................................................................................42
4.3 Replikasi ......................................................................................................................43
4.4 Variabel Penelitian .......................................................................................................43
4.4.1 Variabel bebas ........................................................................................................43
4.4.2 Variabel tergantung ................................................................................................43
4.5 Definisi Operasional Variabel ......................................................................................44
4.5.1 Ekstrak aqueous kulit delima oral ..........................................................................44
4.5.2 Makrofag ................................................................................................................44
xii
4.5.3 Fibroblas ................................................................................................................45
4.6 Bahan dan Cara Penelitian ...........................................................................................46
4.7 Pengambilan Data ........................................................................................................46
4.8 Pengolahan dan Analisis Data .....................................................................................47
4.9 Alur Penelitian .............................................................................................................47
4.10 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................................48
4.11 Anggaran Penelitian ...................................................................................................48
BAB 5 HASIL PENELITIAN ...........................................................................................49
5.1 Gambaran Klinis Luka .................................................................................................49
5.2 Gambaran Histologis Luka ..........................................................................................50
5.2.1 Makrofag ................................................................................................................51
5.2.2 Fibroblas ................................................................................................................51
5.2.3 Kolagen ..................................................................................................................52
5.3 Diagram Perbandingan Variabel Penelitian .................................................................52
5.3.1 Perbandingan jumlah makrofag .............................................................................52
5.3.2 Perbandingan jumlah fibroblas ..............................................................................53
5.3.3 Perbandingan ketebalan kolagen ............................................................................53
5.4 Analisis Hasil Penelitian ..............................................................................................54
5.4.1 Analisis hasil pengamatan hari ke-3 ......................................................................54
5.4.2 Analisis hasil pengamatan hari ke-10 ....................................................................55
5.4.3 Analisis hasil pengamatan kelompok kontrol ........................................................55
5.4.4 Analisis hasil pengamatan kelompok perlakuan ....................................................56
BAB 6 PEMBAHASAN ....................................................................................................57
xiii
BAB 7 PENUTUP .............................................................................................................63
7.1 Kesimpulan ..................................................................................................................63
7.2 Saran ............................................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................64
LAMPIRAN .......................................................................................................................68
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi ilmiah delima. ..................................................................................28
Tabel 2.2 Perbandingan jus delima dibandingkan jus buah lain, konsentrasi polifenol
dan aktivitas antioksidan ...................................................................................31
Tabel 4.1 Jadwal proses penelitian ....................................................................................48
Tabel 5.1 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada
pengamatan hari ke-3. .......................................................................................55
Tabel 5.2 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada
pengamatan hari ke-10. .....................................................................................55
Tabel 5.3 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada
kelompok kontrol. .............................................................................................56
Tabel 5.4 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada
kelompok perlakuan. .........................................................................................56
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Skema lapisan kulit dan hubungannya dengan kedalaman luka bakar.10
Gambar 2.2 Rule of nine ................................................................................................11
Gambar 2.3 Skema zona pada respon lokal luka bakar .....................................................13
Gambar 2.4 Fase inflamasi pada penyembuhan luka. ........................................................15
Gambar 2.5 Fase proliferasi pada penyembuhan luka. ......................................................18
Gambar 2.6 Fase maturasi pada penyembuhan luka. .........................................................20
Gambar 2.7 Reaksi imun pada luka bakar .........................................................................25
Gambar 2.8 A. Bunga, daun dan buah delima; B. Kulit delima bubuk; C. Pulir buah
delima; D. Kulit delima kering. ......................................................................29
Gambar 3.1 Diagram kerangka konseptual pengaruh ekstrak aqueous kulit delima oral
terhadap penyembuhan luka bakar ................................................................ 38
Gambar 4.1 Diagram rancangan penelitian .......................................................................41
Gambar 4.2 Diagram alur penelitian ..................................................................................47
Gambar 5.1 Gambaran klinis luka .....................................................................................50
Gambar 5.2 Gambaran histologis pengamatan hari ke-3 ...................................................50
Gambar 5.3 Gambaran histologis pengamatan hari ke-10 .................................................51
Gambar 5.4 Diagram perbandingan rerata jumlah makrofag ............................................52
Gambar 5.5 Diagram perbandingan rerata jumlah fibroblas .............................................53
Gambar 5.6 Diagram perbandingan rerata jumlah fibroblas .............................................54
xvi
DAFTAR SINGKATAN
ARDS : acute respiratory distress syndrome
CSF : colony stimulating factor
DIC : disseminated intravascular coagulation
FGF : fibroblast growth factor
HE : hematoxylin-eosin
IL : interleukin
LPC : lipid protein complex
MODS : multi-system organ dysfunction syndrome
MDF : Myocardial Depressant Factor
NO : nitric oxide
PDGF : platelet derived growth factor
PMN : polymorphonuclear
ROS : reactive oxygen species
SIRS : systemic inflammatory response syndrome
TNF : tumour necrotizing factor
TGF- : transforming growth factor beta
VEGF : vascular endothelial growth factor
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Hasil penghitungan makrofag, fibroblas dan kolagen .............................68
Lampiran 2 : Hasil analisis statistik ..............................................................................69
Lampiran 3 : Dokumentasi kegiatan penelitian .............................................................74
Lampiran 4 : Sertifikat analisis ekstrak delima .............................................................77
Lampiran 5 : Surat keterangan kelaikan etik .................................................................78
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenadjat,
2001). Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas
sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita (Noer, 2006). Luka bakar
mempunyai dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang
tidak terjadi pada kebanyakan luka lain. Luka bakar mudah terjadi komplikasi berupa
terjadinya infeksi, gagal ginjal, ARDS, multiple organ failure terutama pada luka bakar
berat (Marzoeki, 2006). Di Amerika dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita luka
bakar setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu kematian/tahun. Di
Indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka
bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di Unit luka bakar RSU Dr.
Sutomo Surabaya jumlah kasus yang dirawat selama Januari 2000 sampai Desember
2000 sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik yang dirawat
yaitu sebanyak 219, jumlah kematian akibat luka bakar sebanyak 28 atau sekitar 26,41%
dari seluruh penderita luka bakar yang dirawat (Noer, 2006).
Proses penyembuhan luka bakar mempunyai persamaan dalam fase penyembuhan
luka pada umumnya, perbedaannya adalah pada durasi setiap fasenya. Akibat cidera
panas menyebabkan dilepaskannya faktor kemoatraktan dan sitokin sehingga terjadi
migrasi sel inflamasi (Tiwari, 2012). Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap
2
invasi mikroba serta adanya jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung
pertumbuhan mikroorganisme, sehingga beresiko untuk terjadi infeksi (Hemsley dan
Ansermino, 2004). Netrofil dan makrofag berperan dalam eliminasi bakteri dengan cara
memproduksi beberapa proteinase dan reactive oxygen species (ROS), namun tingginya
kadar ROS secara berkepanjangan juga akan menginduksi kerusakan sel tubuh lainnya
dan memicu ulang timbulnya inflamasi lagi, sehingga proses inflamasi akan menjadi
berkepanjangan (Lima et al, 2009). Begitu kompleksnya proses penyembuhan luka bakar
yang melibatkan proses inflamasi, stres oksidatif dan infeksi sehingga membutuhkan
banyak biaya baik untuk menstabilkan kondisi umum tubuh, perawatan luka itu sendiri
maupun untuk mencegah dan atau mengobati komplikasinya. Sampai saat ini biaya
perawatan masih mahal dan komplikasi akibat proses inflamasi, stress oksidatif dan
infeksi masih tinggi sehingga menyebabkan morbiditas dan kematian. Diperlukan adanya
terobosan baru untuk memecahkan masalah ini secara efektif, aman, murah, mudah dan
terjangkau. Salah satu alternatif adalah dengan menggunakan bahan alami dan salah satu
bahan alami yang banyak diteliti saat ini adalah delima.
Delima atau Punica granatum merupakan tanaman buah yang dipercaya sebagai
tanaman obat alami sejak zaman dahulu di beberapa masyarakat dunia dan telah
dinyatakan dalam Papyrus Ebers Mesir pada 1550 SM (Ismail et al, 2012). Beberapa
fakta penting hasil penelitian tentang manfaat delima berhasil diungkap dan menjadikan
delima populer dalam beberapa dekade terakhir ini. Delima mempunyai efek antioksidan,
anti-inflamasi, anti-infeksi dan antikarsinogenik karena kandungan polifenol dan
derivatnya yaitu asam ellagik, punicalagin, dll. Delima mempunyai kandungan polifenol
tertinggi dibandingkan buah jeruk, anggur, cranberry, pir, nanas, apel, peach serta teh
3
hijau dan kulitnya mengandung polifenol tertinggi diantara bagian lain delima (Rosenbalt
dan Aviram, 2006). Delima mempunyai potensi sebagai salah satu pilihan pengobatan
berbagai penyakit yang efektif, murah dan mudah didapat.
Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa ekstrak aqueous kulit delima peroral
dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka insisi yaitu terdapat peningkatan
kekuatan sobekan (breaking strength), peningkatan kandungan hidroksilprolin,
percepatan epitelialisasi, peningkatan persentase kontraksi luka dibandingkan grup
kontrol dan secara efektif menghambat efek supresi deksametason dalam penyembuhan
luka pada tikus (Shalini et al, 2010). Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa ekstrak
kulit delima topikal efektif dalam menyembuhkan luka bakar dan efeknya sebanding
dengan perak sulfadiazin, obat topikal standar luka bakar (Shalini et al, 2012). Dari
pembahasan kedua penelitian tersebut dijelaskan bahwa delima diyakini mempunyai efek
anti-inflamasi, antioksidan, antimikroba, stimulasi proliferasi fibroblas dan stimulasi
sintesis kolagen yang mendukung penyembuhan luka. Hingga saat ini penelitian
mengenai efek ekstrak aqueous kulit delima peroral terhadap luka bakar belum pernah
dilakukan. Pada penelitian ini akan diteliti ekstrak aqueous kulit delima peroral terhadap
penyembuhan luka bakar dengan parameter yang diteliti adalah jumlah makrofag, jumlah
fibroblas, dan ketebalan kolagen. Dari penelitian ini diharapkan ekstrak aqueous kulit
delima peroral dapat memberi efek positif terhadap penyembuhan luka bakar sehingga
dapat dijadikan salah satu pilihan terapi yang aman, mudah, murah dan terjangkau.
4
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat menurunkan
jumlah makrofag pada penyembuhan luka bakar kulit tikus?
2. Apakah pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat meningkatkan
jumlah fibroblas pada penyembuhan luka bakar kulit tikus?
3. Apakah pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat meningkatkan
ketebalan kolagen pada penyembuhan luka bakar kulit tikus?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum
Membuktikan pengaruh ekstrak aqueous kulit delima peroral pada penyembuhan
luka bakar kulit tikus.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Membuktikan pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat
menurunkan jumlah makrofag pada penyembuhan luka bakar kulit tikus.
2. Membuktikan pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat
meningkatkan jumlah fibroblas pada penyembuhan luka bakar kulit tikus.
3. Membuktikan pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat
meningkatkan ketebalan kolagen pada penyembuhan luka bakar kulit tikus.
5
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
1. Memperoleh bukti ilmiah pengaruh pemberian ekstrak aqueous kulit delima
peroral pada penyembuhan luka bakar.
2. Memberikan dasar teori lebih lanjut untuk pengembangan penelitian pengaruh
pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral yang berkaitan dengan
penyembuhan luka bakar.
1.4.2 Manfaat bagi pelayanan kesehatan
1. Apabila terbukti bermanfaat, ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat
digunakan untuk memacu penyembuhan luka bakar.
2. Apabila terbukti bermanfaat, ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat
dijadikan salah satu pilihan terapi yang aman, mudah, murah dan terjangkau.
6
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Luka Bakar
Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak
dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenadjat,
2001). Luka bakar bukan luka biasa karena luka bakar mempunyai dampak langsung
terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan
luka lain. Kalau luka lain umumnya dirawat di rumah sakit sekitar 1 minggu sampai 1
bulan maka luka bakar berat dapat dirawat sekitar 1 minggu sampai 6 bulan. Hal ini oleh
karena mudahnya terjadi komplikasi berupa terjadinya infeksi, gagal ginjal, ARDS,
multiple organ failure terutama pada luka bakar berat (Marzoeki, 2006). Luka bakar
merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan
penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (Moenadjat, 2001).
2.1.1 Fase luka bakar
Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan 3 fase pada luka bakar, yaitu:
a. Fase awal/fase akut/fase syok
Pada fase ini masalah yang ada berkisar pada gangguan sirkulasi, yaitu keseimbangan
sirkulasi cairan dan elektrolit yang bersifat sistemik, dan gangguan saluran nafas bila
terdapat cidera inhalasi.
7
b. Fase setelah syok berakhir/diatasi
Dimick menyebutkan sebagai fase sub akut. Fase ini berlangsung setelah syok
berakhir/dapat diatasi. Masalah pada fase ini antara lain:
i. Proses inflamasi. Proses inflamasi yang terjadi pada luka bakar berbeda dengan
luka insisi; proses inflamasi terjadi lebih hebat disertai eksudat dan kebocoran
protein. Pada saat ini terjadi reaksi inflamasi lokal yang kemudian berkembang
menjadi reaksi sistemik dengan dilepaskannya zat-zat yang berhubungan
dengan proses imunologik, yaitu kompleks lipoprotein (lipid protein complex,
burn toxin) yang menginduksi respons inflamasi sistemik (systemic
inflammation response syndrome)
ii. Infeksi yang dapat menimbulkan sepsis
iii. Proses penguapan cairan tubuh disertai panas/energi (evaporative heat loss)
yang menyebabkan perubahan dan gangguan proses metabolisme.
c. Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadinya maturasi luka.
Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut
hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan
atau organ-organ struktural (Moenadjat, 2001).
2.1.2 Pembagian / klasifikasi luka bakar
Luka bakar dibagi/diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab
dan kedalaman jaringan, yaitu:
8
a. Berdasarkan penyebab
- Luka bakar karena api
- Luka bakar karena air panas
- Luka bakar karena bahan kimia (yang bersifat asam atau basa kuat)
- Luka bakar karena listrik dan petir
- Luka bakar karena radiasi
- Cidera akibat suhu sangat rendah (frost bite)
b. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan (gambar 2.1)
i. Luka bakar derajat I:
- Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial)
- Kulit kering, hiperemik berupa eritem
- Tidak dijumpai bula
- Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
- Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari
ii. Luka bakar derajat II:
- Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi disertai proses eksudasi
- Dijumpai bula
- Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi
- Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas
kulit normal
Dibedakan atas 2 (dua):
9
a) Derajat II dangkal (superficial)
kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis
organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea masih utuh
penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari
b) Derajat II dalam (deep)
kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis
organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea sebagian besar masih utuh
penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung biji epitel yang tersisa.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan
iii. Luka bakar derajat III:
- kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam
- organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea
mengalami kerusakan
- tidak dijumpai bula
- kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering, letaknya
lebih rendah dibandingkan kulit sekitar
- terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis dikenal sebagai eskar
- tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf
sensorik mengalami kerusakan / kematian
- penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari
dasar luka (Moenadjat, 2001).
10
Gambar 2.1 Skema lapisan kulit dan hubungannya dengan kedalaman luka bakar.
(Diambil dari Hettiaratchy S dan Papini R, 2004, ABC of Burns, Initial management of a
major burn: IIassessment and resuscitation).
c. Berdasarkan berat/ringan luka bakar, diperoleh beberapa klasifikasi penderita
berdasarkan luas luka bakar (rule of nine, gambar 2.2) dan keadaan tertentu :
i. Luka bakar berat/kritis
- Derajat II-III > 40%
- Derajat III pada muka, tangan dan kaki
- Adanya trauma pada jalan nafas (cidera inhalasi) tanpa memperhitungkan
luas luka bakar
- Luka bakar listrik
- Disertai trauma lainnya (misal fraktur iga, dll)
ii. Luka bakar sedang
- Derajat II 15-40%
- Derajat III
11
iii. Luka bakar ringan
- Derajat II < 15%
- Derajat III < 2% (Moenadjat, 2001).
Gambar 2.2 Rule of nine.
(Diambil dari Clarke JA, 1992, A Colour Atlas of Burn
Injuries).
2.1.3 Patofisiologi luka bakar
Panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan kerusakan lokal tetapi
memiliki efek sistemik. Perubahan ini khusus terjadi pada luka bakar dan umumnya
tidak ditemui pada luka yang disebabkan oleh cedera lainnya. Karena efek panas terdapat
perubahan sistemik peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan plasma
bocor keluar dari kapiler ke ruang interstitial. Peningkatan permeabilitas kapiler dan
kebocoran plasma maksimal muncul dalam 8 jam pertama dan berlanjut sampai 48 jam.
Setelah 48 jam permeabilitas kapiler kembali kembali normal atau membentuk trombus
yang menjadikan tidak adanya aliran sirkulasi darah. Hilangnya plasma merupakan
penyebab syok hipovolemik pada penderita luka bakar. Jumlah kehilangan cairan
12
tergantung pada luasnya luka bakar. Luka bakar luas permukaan tubuh biasanya dihitung
dengan aturan Wallace rule of 9 pada orang dewasa dan Lund and Browder grafik pada
orang dewasa dan anak-anak. Orang dewasa dengan luka bakar lebih dari 15% dan pada
anak-anak lebih dari 10% dapat terjadi syok hipovolemik jika resusitasi tidak memadai
(Tiwari, 2012).
Peningkatan permeabilitas kapiler secara sistemik tidak terjadi pada luka lainnya.
Hanya terdapat reaksi lokal pada lokasi luka karena inflamasi menyebabkan vasodilatasi
progresif persisten dan edema. Syok hipovolemik yang terjadi pada trauma lain biasanya
karena kehilangan darah dan membutuhkan tranfusi segera (Tiwari, 2012).
Saat terjadi kontak antara sumber panas dengan kulit, tubuh akan merespon untuk
mempertahankan homeostasis dengan adanya proses kontraksi, retraksi dan koagulasi
pembuluh darah. Jackson pada tahun 1947 mengklasifikasikan 3 zone respon lokal akibat
luka bakar yaitu: (gambar 2.3)
a. Zona koagulasi, terdiri dari jaringan nekrosis yang membentuk eskar, yang
terbentuk dari koagulasi protein akibat cidera panas, berlokasi ditengah luka
bakar, tempat yang langsung mengalami kerusakan dan kontak dengan panas.
b. Zona stasis, daerah yang langsung berada diluar disekitar zona koagulasi.
Didaerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan
trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena),
diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal, yang beresiko
terjadinya iskemia jaringan. Zona ini bisa menjadi nekrosis atau hiperemis,
menjadi zona hiperemis jika resusitasi yang diberikan adekuat, atau menjadi zona
koagulasi jika resusitasi yang diberikan tidak adekuat.
13
c. Zona hiperemis, daerah yang terdiri dari kulit normal dengan cidera sel yang
ringan, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran
darah sebagai respon cedera luka bakar. Zona ini bisa mengalami penyembuhan
spontan atau berubah menjadi zona statis (Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).
Gambar 2.3 Skema zona pada respon lokal luka bakar, zona statis dapat menjadi zona
hiperemis jika resusitasi yang diberikan adekuat (kiri bawah), atau menjadi zona
koagulasi jika resusitasi yang diberikan tidak adekuat (kanan bawah). (Diambil dari
Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004 ABC of Burns, Pathophysiology and types of burns).
Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap invasi mikroba serta adanya
jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung pertumbuhan mikroorganisme,
sehingga beresiko untuk terjadi infeksi. Semakin luas luka bakar, semakin besar resiko
infeksi (Hemsley dan Ansermino, 2004). Tidak seperti kebanyakan luka lain, luka bakar
biasanya steril pada saat cidera. Panas yang menjadi agen penyebab membunuh semua
mikro-organisme pada permukaan. Setelah minggu pertama luka bakar cenderung
terinfeksi, sehingga membuat sepsis luka bakar sebagai penyebab utama kematian pada
luka bakar. Sedangkan luka lain misalnya luka gigitan, luka tusukan, crush injury dan
14
ekskoriasi terkontaminasi pada saat terjadi trauma dan jarang menyebabkan sepsis secara
sistemik (Tiwari, 2012).
2.1.4 Proses penyembuhan luka bakar
Proses penyembuhan luka bakar mempunyai persamaan dalam fase penyembuhan
luka pada umumnya, perbedaannya adalah pada durasi setiap tahap (Tiwari, 2012).
Proses penyembuhan luka secara umum merupakan suatu proses yang kompleks, yang
melibatkan respon seluler dan biokimia baik secara lokal maupun sistemik (Rohrich dan
Robinson, 1999). Pada umumnya, penyembuhan luka dibagi dalam 3 fase yang saling
tumpang tindih. Fase awal atau fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya suatu
trauma/cidera, dengan tujuan untuk menyingkirkan jaringan mati dan mencegah infeksi.
Fase kedua fase proliferasi, dimana akan terjadi keseimbangan antara pembentukan parut
dan regenerasi jaringan. Fase yang paling akhir merupakan fase yang terpanjang dan
hingga saat ini merupakan fase yang paling sedikit dipahami, yakni fase
maturasi/remodeling yang bertujuan memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural
dari luka (Gurtner, 2007).
a. Fase inflamasi (lag phase)
Fase inflamasi (gambar 2.4) dimulai segera setelah terjadinya trauma/cidera dan
umumnya sampai hari ke-5 pasca trauma. Tujuan utama fase ini pada umumnya adalah
hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh
agen mikrobial patogen (Gurtner, 2007). Perbedaan antara luka bakar dan luka biasa pada
fase ini yaitu pada luka bakar terjadi vasodilatasi lokal dengan ekstravasasi cairan dalam
ruang ketiga. Dalam luka bakar yang luas, adanya peningkatan permeabilitas kapiler
15
menyebabkan ekstravasasi plasma yang cukup banyak dan membutuhkan penggantian
cairan (Tiwari, 2012).
Pada luka biasa proses hemostasis mendahului terjadinya inflamasi yaitu terjadi
vasokonstriksi dan retraksi pembuluh darah yang putus disertai reaksi hemostasis segera
setelah terjadinya trauma yang menyebabkan luka (Harjowasito, 1998). Pembuluh darah
yang cidera mengakibatkan termobilisasinya berbagai elemen darah ke lokasi luka.
Agregasi platelet akan membentuk plak pada pembuluh darah yang cedera. Selama
proses ini berlangsung, platelet akan mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa
growth factor, seperti platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth
factor- (TGF-). Hasil akhir kaskade koagulasi jalur intrinsik dan ekstrinsik adalah
konversi fibrinogen menjadi fibrin (Gurtner, 2007). Sedangkan pada luka bakar, proses
koagulasi akibat panas menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik seperti kallkireins
dan peptida fibrin, sedangkan sel mast melepaskan faktor nekrosis tumor, histamin,
protease, leukotreins dan sitokin sehingga terjadi migrasi sel-sel inflamasi. Neutrofil dan
monosit merupakan sel pertama yang bermigrasi di lokasi peradangan (Tiwari, 2012).
Gambar 2.4 Fase inflamasi pada penyembuhan luka. (Diambil dari Gurtner, 2007, Wound
healing, normal and abnormal dalam Grabb and Smiths plastic surgery, 6th edition).
16
Berbagai mediator inflamasi yakni prostaglandin, interleukin-1 (IL-1), tumor
necrosis factor (TNF), C5a, TGF- dan produk degradasi bakteri seperti lipopolisakarida
(LPS) akan menarik sel netrofil sehingga menginfiltrasi matriks fibrin dan mengisi
kavitas luka. Migrasi netrofil ke luka juga dimungkinkan karena peningkatan
permeabilitas kapiler akibat terlepasnya serotonin dan histamin oleh sel mast dan jaringan
ikat. Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2 hari pertama dan berperan penting
untuk memfagositosis jaringan mati dan mencegah infeksi. Keberadaan netrofil yang
berkepanjangan merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konversi dari luka akut
menjadi luka kronis (Regan dan Barbul, 1994; Gurtner, 2007).
Makrofag juga akan mengikuti netrofil menuju luka setelah 48-72 jam dan
menjadi sel predominan setelah hari ketiga pasca trauma. Debris dan bakteri akan
difagositosis oleh makrofag. Makrofag juga berperan utama memproduksi berbagai
growth factor yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan
pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan makrofag oleh karenanya sangat penting
dalam fase inflamasi ini (Gurtner, 2007).
Pada luka bakar sel-sel inflamasi diatas membantu dalam fagositosis,
pembersihan jaringan yang mati dan racun yang dikeluarkan oleh jaringan yang terbakar.
Selain melalui proses fagositosis, netrofil dan makrofag juga berperan dalam eliminasi
bakteri dengan cara memproduksi dan melepaskan beberapa proteinase dan reactive
oxygen species (ROS). ROS melalui sifat radikal bebasnya penting dalam mencegah
infeksi bakterial, namun tingginya kadar ROS secara berkepanjangan juga akan
menginduksi kerusakan sel tubuh lainnya. ROS juga mengaktivasi dan mempertahankan
17
kaskade asam arakidonat yang akan memicu ulang timbulnya berbagai mediator
inflamasi lagi seperti prostaglandin dan leukotrien, sehingga proses inflamasi akan
menjadi berkepanjangan (Lima et al, 2009).
Limfosit dan sel mast merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka dan
dapat ditemukan pada hari kelima sampai ketujuh pasca trauma. Peran keduanya masih
belum jelas hingga saat ini (Gurtner, 2007).
Pade akhir fase inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna
kemerahan, lunak dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya vaskuler,
berumur pendek, kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung
saraf (Anderson, 2000). Jaringan granulasi menyediakan lingkungan yang secara
metabolik mendukung proses penyembuhan luka.
b. Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)
Fase proliferasi (gambar 2.5) berlangsung umumnya mulai hari ke-4. Pada luka
bakar superfisial, migrasi keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah
mulai bekerja beberapa jam pasca trauma, menginduksi terjadinya reepitelialisasi yang
biasanya menutup luka dalam 5-7 hari. Setelah reepitelisasi, membran basalis terbentuk
antara epidermis dan dermis. Pembentukan kembali dermis dibantu oleh proses
angiogenesis dan fibrogenesis. Pada fase ini matriks fibrin yang didominasi oleh platelet
dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan granulasi yang tersusun dari
kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan
neovaskular (Gurtner, 2007).
18
Gambar 2.5 Fase proliferasi pada penyembuhan luka. (Diambil dari Gurtner, 2007,
Wound healing, normal and abnormal dalam Grabb and Smiths plastic surgery, 6th edition).
Fibroblas memiliki peran yang sangat penting dalam fase ini. Fibroblas
memproduksi matriks ekstraselular yang akan mengisi kavitas luka dan menyediakan
landasan untuk migrasi keratinosit. Matriks ekstraselular merupakan komponen yang
paling nampak pada skar di kulit. Makrofag memproduksi growth factor seperti PDGF
dan TGF- yang menginduksi fibroblas untuk berproliferasi, migrasi dan membentuk
matriks ekstraselular (Gurtner, 2007). Fibroblas mencerna matriks fibrin dan
menggantikannya dengan glycosaminoglycan (GAG) dengan bantuan matrix
metalloproteinase (MMP). Matriks ekstraselular akan digantikan oleh kolagen tipe III
yang juga diproduksi oleh fibroblas dengan berjalannya waktu. Kolagen ini tersusun atas
33% glisin, 25% hidroksiprolin, dan selebihnya berupa air, glukosa dan galaktosa.
Selanjutnya kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase maturasi
(Marzoeki, 1993; Schultz, 2007). Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-2,
19
angiopoietin-1 dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel membentuk
neovaskular melalui proses angiogenesis (Gurtner, 2007).
Pada luka bakar yang dalam untuk mempercepat penyembuhan perlu dilakukan
eksisi dan tandur kulit (skin graft). Tindakan penutupan luka dengan skin graft setelah
eksisi kulit yang terbakar merupakan bagian dari fase proliferasi pada penyembuhan luka
(Tiwari, 2012).
Hal yang menarik dari fase proliferasi ini adalah bahwa pada suatu titik tertentu,
seluruh proses yang telah dijabarkan di atas harus dihentikan. Fibroblas akan segera
menghilang segera setelah matriks kolagen mengisi kavitas luka dan pembentukan
neovaskular akan menurun melalui proses apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap
inilah yang hingga saat ini dianggap sebagai penyebab terjadinya kelainan fibrosis seperti
skar hipertrofik (Gurtner, 2007).
c. Fase maturasi (remodeling)
Fase maturasi (gambar 2.6) ini di luka pada umumnya berlangsung mulai hari ke-
21 hingga sekitar 1 tahun, namun pada luka bakar derajat 2 yang dalam dan yang
mengenai seluruh ketebalan kulit yang dibiarkan sembuh sendiri fase ini bisa memanjang
menjadi bertahun-tahun (Tiwari, 2012). Fase ini segera dimulai segera setelah kavitas
luka terisi oleh jaringan granulasi, proses reepitelialisasi usai, dan setelah kolagen
menggantikan matriks temporer (Gurtner, 2007). Pada fase ini terjadi maturasi luka dan
graft (pada luka bakar post skin graft) (Tiwari, 2012).
20
Gambar 2.6 Fase maturasi pada penyembuhan luka. (Diambil dari Gurtner, 2007, Wound
healing, normal and abnormal dalam Grabb and Smiths plastic surgery, 6th edition).
Kontraksi dari luka dan remodeling kolagen terjadi pada fase ini. Kontraksi luka
terjadi akibat aktivitas myofibroblas, yakni fibroblas yang mengandung komponen
mikrofilamen aktin intraselular. Kolagen tipe III pada fase ini secara gradual digantikan
oleh kolagen tipe I dengan bantuan matrix metalloproteinase (MMP) yang disekresi oleh
fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sekitar 80% kolagen pada kulit adalah kolagen tipe I
yang memungkinkan terjadinya tensile strength pada kulit (Gurtner, 2007).
Keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen terjadi pada fase ini.
Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan kemudian diserap.
Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir dari fase ini berupa
jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya (Bisono dan
Pusponegoro, 1997).
Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan, sehingga membutuhkan lysyl
hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang dianggap bertanggung
jawab terhadap terjadinya cross-linking antar kolagen. Cross-linking inilah yang
menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka tidak mudah terkoyak lagi.
21
Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam 6 minggu pertama, kemudian akan
bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada umumnya tensile strength pada kulit dan
fascia tidak akan pernah mencapai 100%, namun hanya sekitar 80% dari normal
(Marzoeki, 1993; Schultz, 2007).
Pada luka bakar derajat 2 dalam dan yang mengenai seluruh ketebalan kulit bila
dibiarkan sembuh sendiri dapat terbentuk hipertrofik jaringan parut dan kontraktur.
Hiperpigmentasi terjadi pada luka bakar superfisial karena respon berlebihan melanosit
dari trauma panas dan hipopigmentasi terjadi pada luka bakar yang dalam karena
kerusakan melanosit pada kulit. Pada luka bakar post skin graft saat mulai terjadi
inervasi, saraf yang tumbuh akan merubah kontrol melanosit yang biasanya akan terjadi
hiperpigmentasi graft pada orang berkulit gelap dan akan hipopigmentasi pada orang
berkulit putih (Tiwari, 2012).
2.1.5 Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ
Dysfunction Syndrome (MODS) pada luka bakar
SIRS adalah suatu bentuk respon klinis yang bersifat sistemik eksageratif
terhadap berbagai stimulus klinis berat seperti infeksi (nidus infeksi, endotoksin dari
bakteri gram negatif yang lisis, eksotoksin/enterotoksin dari bakteri gram positif, antigen
virus/jamur) maupun penyebab noninfeksi (trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dan lain-lain). SIRS merupakan masalah utama yang timbul pada fase
subakut luka bakar. Respon inflamasi mengikuti suatu cidera adalah suatu hal yang
bersifat fisiologis dan alami, namun bilamana respon ini berlebihan, bersifat sistemik dan
22
eksageratif, maka respon inflamasi seperti ini tidak lagi dapat dikatakan sesuatu yang
fisiologis (Moenadjat, 2006).
Ada lima hal yang bisa menjadi aktivator (faktor pencetus) timbulnya SIRS, yaitu
infeksi, cidera, inflamasi, aliran darah yang tidak adekuat, dan iskemia/reperfusion
injury; kelimanya dapat dijumpai pada luka bakar. Kriteria klinis yang digunakan,
mengikuti hasil konsensus American College of Chest Phycisions dan the Society of
Critical Care Medicine tahun 1991, adalah bila dijumpai 2 (dua) atau lebih manifestasi
berikut selama beberapa hari berturut-turut, yaitu:
- hipertermi (suhu 38C) atau hipotermi (suhu 90 kali per menit)
- takipnu (frekuensi napas >20 kali per menit) atau tekanan parsial CO2 rendah
(PaCO212.000 sel per mm3), leukopeni 10% neutrophil dalam bentuk imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia
dan pemeriksaan histopatologis), maka SIRS disebut sepsis. SIRS selalu berkaitan
dengan MODS (Multi-system Organ Dysfunction Syndrome). MODS adalah kumpulan
gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa sehingga
homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. MODS merupakan akhir
perjalanan SIRS (Moenadjat, 2006).
Perjalanan SIRS secara umum menurut teori Bone di bagi menjadi 3 tahap, yaitu:
Tahap I
23
Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab yang cukup berat,
misalnya luka bakar. Kerusakan jaringan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator
pro-inflamasi seperti sitokin. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologis dari suatu bentuk
respon inflamasi, berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel
retikulo-endotel. Komponen utamanya antara lain: interleukin (IL1, IL6), tumour
necrotizing factor (TNF), interferon, colony stimulating factor (CSF). Efektor seluler
dari respon inflamasi (sel-sel yang menghasilkan sitokin dan mediator-mediator inflamasi
lain) ini adalah sel-sel leukosit PMN (polymorphonuclear), monosit, makrofag, dan sel-
sel endotel. Sel-sel endotel melepaskan molekul-molekul adesi dan reseptor-reseptor
untuk sitokin maupun mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien,
thromboksan, platelet activating factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit (nitric oxide),
dan protease (cathepsin, elastase). Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin
mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trobosis lokal. Hal ini bertujuan
mengurangi kehilangan darah melalui luka; disamping itu timbul efek pembatasan
(walling off) jaringan cidera sehingga secara fisiologis daerah inflamasi terisolasi. Sampai
disini, respon inflamasi masih berada dalam batas fisiologis, dimana efek sitokin masih
bersifat positif.
Tahap II
Sejumlah sitokin yang dilepaskan ke sirkulasi justru meningkatkan respon lokal.
Terjadi pengerahan makrofag, trombosit, dan stimulasi produksi growth factor.
Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkendali secara simultan melalui
penurunan kadar mediator pro-inflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis
reseptor IL1 dan mediator-mediator antiinflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor
24
terlarut TNF, dan transforming growth factor). Dengan demikian mediator-mediator
tersebut mempertahankan respon antiinflamasi awal yang terkendali dengan baik melalui
peran down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang
dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga diperoleh homeostasis.
Tahap III
Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, timbul tahap III (SIRS) dengan
terjadinya respon sistemik yang bersifat massif dan eksageratif. Efek sitokin berubah
menjadi destrukstif. Sirkulasi dipenuhi oleh mediator-mediator pro-inflamasi, sehingga
integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan
mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi peningkatan
vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskuler, akselerasi trombosis
mikrovaskuler, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan peruahan-perubahan
patologis di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tdak dapat dikendalikan, timbul syok
septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS), MODS dan kematian (Moenadjat, 2006).
Pada luka bakar, reaksi imun yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.7. Cidera
termal berat menginduksi terjadinya imunosupresi yang merupakan predisposisi pasien
untuk sepsis dan MODS, serta merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
pada pasien luka bakar. Cidera termal meningkatkan aktivitas netrofil dan makrofag
sehingga meningkatkan produksi mediator pro-inflamasi. Peningkatan aktivitas makrofag
terjadi pula peningkatan Inducible NOS (iNOS). Epidermis kulit yang rusak,
memudahkan invasi mikroba. Kulit yang terkoagulasi dan adanya eksudat menciptakan
lingkungan ideal untuk pertumbuhan mikroba. Adanya kolonisasi dan translokasi
25
mikroba juga akan menimbulkan reaksi imun. Cidera termal menyebabkan reaksi
inflamasi sistemik yang memproduksi burn toxin dan radikal oksigen yang akhirnya
Gambar 2.7 reaksi imun pada luka bakar. (Diambil dari Cakir dan Yegen, 2004, Systemic
Responses to Burn Injury)
menyebabkan peroksidasi. Metabolit oksigen reaktif menyebabkan kehancuran dan
kerusakan membran sel dengan mengoksidasi lipid. Keseimbangan jumlah produk dari
26
metabolisme oksidatif dan penghambat alami radikal bebas menentukan hasil dari
kerusakan jaringan lokal dan jauh yang dapat berujung dengan kegagalan organ. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa aktivasi dari kaskade proinflamasi berperan penting dalam
terjadinya komplikasi utama yang terkait dengan trauma luka bakar yaitu disfungsi imun,
kerentanan terhadap sepsis, dan kegagalan organ multipel (Cakir dan Yegen, 2004).
Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan timbulnya SIRS dan MODS yang
terjadi secara bersamaan dan intinya menjelaskan bermula dari adanya kerusakan epitel:
1. Pertama, kerusakan endotel segera mengikuti suatu cidera termis. Pelepasan
histamin menyusul suatu bentuk cidera akan mengaktivasi leukosit PMN, dan terjadi
adesi leukosit pada endotel. Endotel ini memacu produksi Reactive Oxygen Species
(ROS) yang merangsang produksi Nitric Oxide pathway melalui siklus urea yang
memproduksi Nitric Oxide (NO). NO ini merupakan suatu bentuk radikal bebas dan
kadarnya sangat tinggi pada sepsis; karenanya disebut sebagai modulator sepsis.
Kaskade asam arakidonat segera terjadi, diikuti aktivasi sistem komplemen dan
menyebabkan agregasi trombosit dan perubahan hematologi lainnya. Perubahan
inflamasi endotel menyebabkan perubahan permeabilitas kapiler yang diikuti oleh
perubahan tekanan onkotik di ruang intravaskuler dan interstisial; menyebabkan
edema interstisial. Adanya perubahan permeabilitas kapiler ini merupakan pertanda
timbulnya respon sistemik yang gagal melokalisasi dampak cidera.
2. Kedua, syok yang terjadi menyebabkan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus;
mengakibatkan perfusi ke saluran cerna dan hepar terganggu. Hipoperfusi
splangnikus menyebabkan iskemia dan disrupsi mukosa saluran cerna.
27
3. Ketiga, adanya stress metabolisme. Hiperkatabolisme disertai peningkatan kadar
hormon glukokortikoid, katekolamin, balans nitrogen negatif dan resistensi insulin.
4. Keempat, pelepasan lipid protein complex (LPC) dari sel (epitel, endotel) yang
mengalami kerusakan akibat cidera termis; sebelumnya dikenal sebagai burn toxin
dari jaringan nekrosis akibat cidera termis. LPC memiliki toksisitas dengan kekuatan
ribuan kali enterotoksin merangsang pelepasan mediator inflamasi. Pelepasan LPC
ini tidak ada hubungannya dengan infeksi (Moenadjat, 2006).
Mediator inflamasi yang dilepas sebagai respon terhadap suatu cidera tidak hanya
menyerang benda asing dan toksin yang ada; tapi juga menimbulkan kerusakan pada
jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu
bentuk trauma yang bersifat immunosupresif. Mediator inflamasi merangsang
dilepaskannya TNF yang menyebabkan ARDS, kerusakan sel-sel hati dan glomerulus
ginjal yang bersifat ireversibel. Sebagai reaksi terhadap mediator inflamasi ini, dilepas
Myocardial Depressant Factor (MDF) yang menyebabkan kerusakan sel-sel otot jantung.
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif, bertujuan mencegah perkembangan
SIRS dan MODS, atau memutus rantai kaskade SIRS yang sudah berjalan. Pemberian
antioksidan yang bersifat anti terhadap radikal bebas sangat dianjurkan (Moenadjat,
2006).
2.2 Delima (Punica granatum)
Delima dengan nama latin Punica granatum, (klasifikasi ilmiahnya dapat dilihat
pada tabel 2.1) adalah tanaman buah-buahan yang dapat tumbuh hingga 5-8 m. Tanaman
ini diperkirakan berasal dari Iran, namun telah lama dikembangbiakkan di daerah
28
Mediterania, tersebar di daerah subtropik sampai tropik. Bangsa Moor memberi nama
salah satu kota kuno di Spanyol, Granada berdasarkan nama buah ini. Tanaman ini juga
banyak ditanam di daerah Cina Selatan dan Asia Tenggara. Bentuk pohon perdu atau
pohon kecil dengan tinggi 25 m. Batang berkayu, ranting bersegi, percabangan banyak,
lemah, berduri pada ketiak daunnya, cokelat ketika masih muda, dan hijau kotor setelah
tua. Daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya berkelompok. Helaian daun bentuknya
lonjong sampai lanset, pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip,
permukaan mengkilap, panjang 19 cm, lebar 0,52,5 cm, warnanya hijau. Bunga
tunggal bertangkai pendek, keluar di ujung ranting atau di ketiak daun yang paling atas.
Biasanya, terdapat satu sampai lima bunga, warnanya merah, putih atau ungu. Berbunga
sepanjang tahun. Buahnya bentuknya bulat dengan diameter 512 cm, warna kulitnya
beragam, seperti hijau keunguan, putih, cokelat kemerahan atau ungu kehitaman (gambar
2.7). Bijinya banyak, kecil-kecil, bentuknya bulat panjang yang bersegi-segi agak pipih,
keras, tersusun tidak beraturan, warnanya merah, merah jambu atau putih. Delima sering
ditanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat atau karena buahnya yang
dapat dimakan. (Anonim, 2012).
Tabel 2.1 Klasifikasi ilmiah delima. (Diambil dari Anonim, 2012, Wikipedia bahasa
Indonesia, ensiklopedia bebas)
Kerajaan: Plantae
Divisi: Magnoliophyta
Kelas: Magnoliopsida
Subkelas: Rosidae
Ordo: Myrtales
Famili: Lythraceae
Genus: Punica
Spesies: P. granatum
29
Gambar 2.8. A. Bunga, daun dan buah delima; B. Kulit delima bubuk; C. Pulir buah
delima; D. Kulit delima kering. (Diambil dari Ismail et al, 2012, Pomegranate peel and
fruit extracts: A review of potential anti-inflammatory and anti-infectiveeffects).
Delima dipercaya sebagai tanaman obat tradisional sejak zaman dahulu di
beberapa masyarakat dunia. Berbagai bagian dari tanaman ini telah digunakan dalam
pengobatan tradisional dan juga telah dinyatakan dalam Papyrus Ebers Mesir (1550 SM).
Seiring dengan waktu sejumlah fakta penting hasil penelitian tentang manfaat delima
berhasil terungkap dan menjadikan delima populer dalam beberapa dekade terakhir ini
(Ismail et al, 2012). Dalam 2000 UK Millennial Festival of Medicine, delima terpilih
menjadi logo perayaan tersebut diantara berbagai pilihan yang berhubungan dengan
kedokteran (Aslam et al, 2005).
Delima diyakini mempunyai efek antioksidan, anti-inflamasi, anti-infeksi dan
antikarsinogenik. Manfaat delima tersebut telah diteliti lebih dalam yang menfokuskan
pada terapi dan pencegahan kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes, penyakit dental,
disfungsi ereksi, infeksi bakteri dan resistensi antibiotik, ultraviolet radiation-induced
30
skin damage dan penyembuhan luka. Delima mempunyai potensi sebagai salah satu
pilihan pengobatan berbagai penyakit yang murah, mudah dan terjangkau (Ismail et al,
2012).
Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa ekstrak aqueous kulit delima peroral
dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka insisi yaitu terdapat peningkatan
kekuatan sobekan (breaking strength), peningkatan kandungan hidroksilprolin,
percepatan epitelisasi, peningkatan persentase kontraksi luka dibandingkan grup kontrol
dan secara efektif menghambat efek supresi deksametason dalam penyembuhan luka
pada tikus wistar (Shalini et al, 2010). Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa ekstrak
kulit delima topikal efektif dalam menyembuhkan luka bakar dan efeknya sebanding
dengan perak sulfadiazin yang merupakan obat topikal standar luka bakar (Shalini et al,
2012). Dari pembahasan kedua penelitian tersebut dijelaskan bahwa hasil penelitian yang
diperoleh adalah karena delima diyakini mempunyai efek anti-inflamasi, antioksidan,
antibakteri, penstimulasi proliferasi fibroblas dan penstimulasi sintesis kolagen (Shalini et
al, 2010; Shalini et al, 2012).
Kelas utama dari fitokimia delima adalah polifenol (cincin fenolik yang
mengandung beberapa gugus hidroksil) yang mendominasi dalam buah delima. Polifenol
delima meliputi flavonoid (flavonol, flavanol, dan anthocyanin), condensed tanin
(proanthocyanidins) dan hydrolyzable tanin (ellagitannins dan gallotannins). Fitokimia
lainnya adalah organik dan asam fenolik, sterol dan triterpenoid, asam lemak, trigliserida,
dan alkaloid (Seeram et al, 2006).
31
2.2.1 Efek antioksidan, anti-inflamasi, anti-mikroba, penstimulasi proliferasi
fibroblas dan penstimulasi sintesis kolagen pada delima
Delima mempunyai kemampuan antioksidan yang kuat. Aktivitas antioksidan jus
delima 3 kali lebih tinggi dari teh hijau. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa jus
delima mempunyai kandungan polifenol tertinggi (5 mmol/L) dibandingkan jus buah
lainnya yaitu jeruk, anggur, cranberry, pir, nanas, apel dan peach yang mengandung 1,3
4 mmol/L. Selain itu pola yang sama juga terlihat pada inhibisi ion copper yang
terinduksi oksidasi LDL, delima mempunyai nilai IC50 terendah dibandingkan jus buah
lain, seperti yang terlihat pada tabel 2.2 yang membandingkan konsentrasi polifenol dan
aktivitas antioksidan jus delima dengan jus buah lain (Rosenbalt dan Aviram, 2006).
Senyawa fenol diyakini menyumbang elektron pada radikal bebas sehingga membentuk
senyawa yang lebih stabil (Ismail et al, 2012; Rosenbalt dan Aviram, 2006). Hal ini
menunjukkan bahwa delima mempunyai aktivitas antioksidan paling poten yang dapat
berhubungan dengan tingginya kandungan polifenol.
Tabel 2.2 Perbandingan konsentrasi polifenol dan aktivitas antioksidan jus delima
dibandingkan jus buah lain (Diambil dari Rosenbalt dan Aviram, 2006, Antioxidative
Properties of Pomegranate: In Vitro Studies dalam Pomegranates Ancient Roots to
Modern Medicine).
32
Penelitian pada pulir buah, kulit (bermembran) dan biji delima didapatkan
kandungan polifenol tertinggi pada membran kulit dan mempunyai aktivitas antioksidan
yang tertinggi pula. Selain itu dari hasil penelitian aktivitas antioksidan kulit delima, jus
delima dan jenis makanan lain didapatkan aktivitas antioksidan dari yang tertinggi hingga
terendah: kulit delima, kunyit, ragi, jus delima, bayam, wijen, gandum dan biji rami.
Dalam pemeriksaan menggunakan Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) assay
didapatkan bahwa ekstrak kulit delima merupakan sumber antioksidan tertinggi diantara
ekstrak kulit buah lain yang sering dikonsumsi dan juga menunjukkan mempunyai
aktivitas antioksidan 2,8 kali dibanding ekstrak biji dan daun. Dari beberapa penelitian
diatas didapatkan bahwa kulit delima mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat
dibandingkan buah dan bahan makanan yang lain serta diantara bagian lain dari delima
(Rosenbalt dan Aviram, 2006).
Kulit delima mempunyai karakteristik bagian dalamnya terdiri dari jalinan
membran yang tersusun sebagian besar 26-30% dari total berat buah dan mempunyai
kandungan penting polifenol, termasuk flavonoid (anthocyanins, catechin dan flavonoid
kompleks lainnya) dan hydrolyzable tanin (punicalin, pedunculagin, asam gallik dan
asam ellagik). Campuran ini tersarikan dalam jus dan kulit delima, dimana terdapat 92%
aktivitas antioksidan dari keseluruhan buah (Ismail et al, 2012).
Pengaruh ekstrak metanol kulit delima pada tikus untuk efek racun karbon
tetraklorida (CCl4) telah diteliti dengan pemeriksaan histopatologi dan biokimia. Analisis
ekstrak metanol menunjukkan 42% fenol total setara dengan catechin, yang asam galat
dan asam ellagik sebagai konstituen utamanya. Tingkat berbagai ROS diperiksa dalam
memberantas enzim seperti katalase, superoksida dismutase (SOD) dan peroksidase,
33
serta jumlah peroksida lipid dalam homogenat hepar. Hasilnya dibandingkan dengan efek
CCl4 pada tikus yang diberi ekstrak kulit delima.CCl4 dan metabolitnya telah diketahui
secara ekstensif toksik terhadap hepar. CCl4 menyebabkan reduksi enzim-enzim tersebut
di atas 50 sampai 90%, dan peroksida lipid meningkat sekitar tiga kali lipat. Tikus yang
sebelumnya diberi ekstrak melindungi enzim pada tingkat kontrol dan mengurangi nilai
peroksida lipid setengah dari tingkat kontrol. Efek perlindungan ini dikaitkan dengan
kandungan tinggi ekstrak terhadap asam gallik dan ellagik serta mungkin polimernya,
semua poten menjadi penangkal radikal bebas (Seeram et al, 2006).
Aktivitas antioksidan kulit delima berhubungan dengan adanya senyawa polifenol
dalam bentuk anthocyanin, gallotannins, ellagitannins, ester gallagyl, asam
hidroksibenzoat, asam hydroxycinnamic dan dihydroflavonol, namun, derivat
ellagitannins seperti asam ellagik, asam galat, dan punicalagin yang merupakan fenolik
dominan (Ismail et al, 2012).
Ekstrak metanol kulit delima memiliki kemampuan untuk menghambat
peradangan dan alergi. Komponen anti-inflamasi kulit delima yaitu, punicalagin,
punicalin, strictinin A dan granatin B signifikan mengurangi produksi oksida nitrat dan
PGE2 dengan menghambat ekspresi protein pro-inflamasi. Sel inflamasi seperti neutrofil,
makrofag dan monosit dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan di dekatnya seperti
pada sejumlah besar penyakit seperti emfisema, sindrom gangguan pernapasan akut,
atherosklerosis, cedera reperfusi, keganasan dan arthritis (Ismail et al, 2012).
Dari penelitian lain, pada isolasi neutrofil manusia menunjukkan bahwa ekstrak
aqueous kulit delima secara langsung menghambat aktivitas myeloperoxidase neutrofil
dan produksi enzim asam hypochloric dari hidrogen peroksida pada konsentrasi 50ng/ml.
34
Dari suatu penelitian melaporkan mengenai efek anti-inflamasi dari ekstrak kulit delima
setelah pemberian intraperitoneal (25, 50 dan 100mg/kg) dan intracerebroventricular (10,
25 dan 50 mg / 3 ml / tikus) didapatkan penurunan indeks nyeri 52-82% dan penurunan
inflamasi. Demikian pula pada penelitian lain yang menunjukkan efek menghambat yang
kuat melawan efek stimulator inflamasi pada tikus yang diinduksi edem setelah
pemberian peroral granatin B (2.5 dan 10mg/kg) selama 6 hari dibandingkan
indometasin. Dari penelitian invitro dan invivo menunjukkan bahwa ekstrak kulit delima
dan hydrolyzed tanin, dalam bentuk komponen aktif standar, merupakan ukuran
pengobatan yang sangat efektif terhadap penyakit inflamasi (Ismail et al, 2012).
Polifenol, flavonoid, condensated tanin dan hydrolized tanin
yang diekstrak dari buah-buahan, sayuran, bumbu dan rempah-rempah telah
dieksplorasi sebagai agen potensial untuk mengobati atau mencegah berbagai
infeksi. Mekanisme antimikroba senyawa fenolik yaitu reaksi antara fenol dengan protein
membran sel mikroba dan/atau kelompok protein sulfhidril yang menghasilkan kematian
bakteri akibat pengendapan protein membran protein dan penghambatan enzim seperti
transferases glycosyl. Di subkontinen India ekstrak kulit delima digunakan secara
konvensional untuk pengobatan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan infeksi
saluran kemih., sedangkan ellagitannins, punicalagin, asam ellagik dan asam gallik pada
kulit delima sebagai agen antimikroba alami, telah banyak dimanfaatkan untuk
pengobatan infeksi Staphylococcus aureus dan Escherichia coli hemorrhagic karena
kemampuannya untuk mengendapkan protein membran dan menghambat enzim seperti
glycosyltransferase, yang menyebabkan lisis sel. In vivo dan in situ aplikasi ekstrak
metanol 80% dari kulit delima diketahui mempunyai efek inhibisi terhadap Listeria
35
monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Yersinia enterocolitica
(Ismail et al, 2012).
Dalam penelitian in vivo, ekstrak aqueous kulit delima berperan dalam proliferasi
fibroblas dan proses sintesis kolagen dengan menstimulasi sintesis pro-kolagen tipe I dan
menghambat matrix metalloproteinase-1 (MMP-1), enzim pendegradasi kolagen. Dengan
demikian pemberian ekstrak aqueous kulit delima dapat menstimulasi proses
penyembuhan luka (Aslam et al, 2005).
Dalam suatu penelitian, dosis maksimal pemberian ekstrak delima peroral pada
level 600 mg/kg/hari tidak memberikan efek samping pada tikus. Sedangkan pada dosis
1000 mg/kg mulai didapatkan tanda-tanda apatis dan gangguan mental pada 24 jam
pertama namun tidak menyebabkan kematian (Patel et al, 2008; Shalini et al 2010).
2.2.2 Asam ellagik dan punicalagin
Asam ellagik dan Punicalagin merupakan derivat ellagitannins dari fenolik
delima. Keduanya diyakini memiliki efek antioksidan kuat. Beberapa penelitian telah
menegaskan efek sitoprotektif asam ellagik dari kulit delima pada sel hidup yang
mengalami cidera oksidatif, kerusakan DNA oksidatif dan deplesi kutub non-protein
sulfhidril. Semakin tinggi konsentrasi asam ellagik semakin tinggi pula aktivitas
antioksidan kulit delima. Kandungan asam ellagik dari kulit dan jus buah delima yang
telah dilaporkan 10-50 mg/100 g dan 1-2,38 mg/100 ml (Ismail et al, 2012).
Delima memiliki konsentrasi tertinggi punicalagin di antara buah lain yang sering
dikonsumsi. Penelitian telah menunjukkan bahwa punicalagin memiliki efek antioksidan,
antijamur, dan antibakteri (Ismail et al, 2012). Dalam suatu penelitian didapat punicalagin
36
menghambat tembaga ion-terinduksi LDL oksidasi dan efek ini dapat dikaitkan dengan
kemampuan untuk mengikat radikal bebas. Punicalagin mengurangi stres oksidatif oleh
makrofag sampai dengan 90%, dan kemampuan sel untuk mengoksidasi LDL hingga
40% (Rosenbalt dan Aviram, 2006). Punicalagin mempunyai aktivitas antimikroba
melawan Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta dapat menghambat
pertumbuhan kloning 6 galur Brazilian methicillin-resistant S. aureus (Jayaprakasha et
al, 2006). Kandungan Punicalagin dari ellagitannin sebesar 1120 g/kg bubuk kulit
delima (Ismail et al, 2012).
Bioavaibilitas asam ellagik diteliti dalam suatu penelitian pada tikus (mouse)
dengan dosis 0,3 g/g BB perperoral (setara 21 mg pada manusia 70 kg). Sulfat ester,
glukoronid, dan glutation merupakan konjugasi asam ellagik yang terdapat pada urin,
empedu dan darah. Absorpsi 3H-asam ellagik terbanyak dalam 2 jam setelah pemberian.
Levelnya pada darah, empedu, dan jaringan rendah, dan hampir semua dosis yang
diberikan diekskresikan dalam urin. Lebih dari setengah pemberian 3H-asam ellagik
tertinggal di saluran pencernaan setelah 24 jam. Sekitar 19% diekskresikan bersama feses
dan 22% pada urin dalam 24 jam. Sedangkan pada tikus (rat) didapatkan penyerapan dan
metabolisme yang cepat. Terdapat 2 metabolit yang didapat pada feses dan urin,
urolithin-A dan lainnya tidak teridentifikasi. Level asam ellagik sedikit sampai hampir
tidak ditemukan dalam darah, paru-paru, dan hepar yang menunjukkan absorpsi yang
rendah dan eliminasi cepat pada hewan coba ini. Hal ini mungkin disebabkan beberapa
faktor termasuk ionisasi asam ellagik pada pH fisiologis, pembentukan kompleks dengan
ion magnesium dan calcium yang sulit larut serta karena binding yang kuat pada
epithelium usus.B iovaibilitas ellagitanin (punicalagin) diteliti dengan pemberian kulit ari
37
(kandungan ellagitaninnya sama dengan jus delima pada tikus (rat)) 6% dari
makanannya. Sekitar 3-6% punicalagin yang telah tercerna terdapat sebagai metabolit
pada feses dan urin. Di dalam plasma punicalagin terdapat sekitar 30 g/ml. Hanya
sedikit metabolit yang terdapat pada hepar atau ginjal dan tidak ada pada paru-paru, otak
atau jantung baik pada asam ellagik maupun punicalagin pada hewan coba (Barberan et
al, 2006).
Penelitian bioavaibilitas yang dilakukan pada manusia didapatkan bahwa
pemberian 180 ml jus delima (mengandung 25 mg asam ellagik bebas dan 318 mg
ellagitanin (termasuk punicalagin)), terdapat pada plasma 1 jam setelah pemberian namun
terjadi eliminasi yang cepat selama 4 jam, besarnya bervariasi antara 0,5 dan 18,6 M.
Pada urin metabolitnya setelah 1 hari pemberian antara 0,7 sampai 52,7% (Barberan et al,
2006).
38
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Konseptual
Keterangan :
= variabel yang diteliti
= menstimulasi
= menghambat
Stres Oksidatif
(ROS/RNS)
Luka Bakar
Inflamasi
Kerusakan endotel Burn toxic /
LPC
Kerusaakan
barier kulit
Invasi
mikroba
Makrofag Eliminasi
bakteri
Growth factor
Fibroblas
Kolagen
Penyembuhan
luka bakar
Ekstrak aqueous
kulit delima
peroral
p
o
li
f
en
o
l
menghambat ekspresi protein pro-inflamasi
pengendapan protein membran &
penghambatan
enzim
proliferasi & mencegah kematian sel
stimulasi pro kolagen tipe-I & menghambat
produksi MMP-1
menyumbang elektron & menghambat enzim oksida
39
Gambar 3.1 Diagram kerangka konseptual pengaruh ekstrak aqueous kulit delima peroral
terhadap penyembuhan luka bakar.
3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual
Luka bakar menyebabkan kerusakan sel (endotel dan epitel kulit) membentuk
Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya dikenal sebagai burn toxin dari jaringan
nekrosis akibat cidera termis. LPC memiliki toksisitas dengan kekuatan ribuan kali
enterotoksin merangsang pelepasan mediator inflamasi (Moenadjat, 2006).
Kerusakan endotel memacu produksi ROS yang merangsang produksi Reactive
Nitrogen Species melalui siklus urea yang memproduksi NO. NO ini merupakan suatu
bentuk radikal bebas dan kadarnya sangat tinggi pada sepsis, karenanya disebut sebagai
modulator sepsis. Kaskade asam arakidonat segera terjadi, diikuti aktivasi sistem
komplemen dan menyebabkan agregasi trombosit dan perubahan hematologi lain pemicu
proses inflamasi (Moenadjat, 2006).
Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap invasi mikroba serta adanya
jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung pertumbuhan mikroorganisme,
sehingga beresiko untuk terjadi infeksi. Pada fase proses penyembuhan luka terjadi
aktivasi berbagai sel inflamasi yang salah satunya adalah makrofag. Selain melalui proses
fagositosis, makrofag juga berperan dalam eliminasi bakteri dengan cara memproduksi
ROS yang penting dalam mencegah infeksi bakterial melalui sifat radikal bebasnya,
namun tingginya kadar ROS secara berkepanjangan akan mengaktivasi dan
mempertahankan kaskade asam arakidonat yang akan memicu ulang timbulnya berbagai
mediator inflamasi lagi seperti prostaglandin dan leukotrien, sehingga proses inflamasi
akan menjadi berkepanjangan (Lima et al, 2009).
40
Berbagai macam growth factor diproduksi oleh makrofag dan salah satunya
berfungsi untuk memicu pembentukan fibroblas. Fibroblas memegang peranan yang
sangat penting pada fase proliferasi. Fibroblas akan memproduksi matriks ekstraselular
yang kemudian akan digantikan oleh kolagen (Gurtner, 2007).
Ekstrak aqueous kulit delima peroral berperan dalam mencegah proses inflamasi
yang berkepanjangan, yakni melalui aktivitasnya sebagai anti oksidan, antimikroba, dan
anti-inflamasi secara langsung. Senyawa fenol pada kulit delima diyakini menyumbang
elektron pada radikal bebas sehingga membentuk senyawa yang lebih stabil dan secara
langsung menghambat aktivitas myeloperoksidase neutrofil serta produksi enzim asam
hypoklorik dari hidrogen peroksida. Komponen anti-inflamasinya menghambat ekspresi
protein pro-inflamasi sehingga mengurangi produksi oksida nitrat dan PGE2. Mekanisme
antimikrobanya yaitu terjadi reaksi antara fenol dengan protein membran sel mikroba
dan/atau kelompok protein sulfhidril yang menghasilkan kematian bakteri akibat
pengendapan protein membran dan pengham