98
i KARYA AKHIR PENGARUH EKSTRAK AQUEOUS KULIT DELIMA (Punica granatum) PERORAL TERHADAP MAKROFAG, FIBROBLAS DAN KOLAGEN PADA PENYEMBUHAN LUKA BAKAR TIKUS PUTIH Penulis : Almahitta Cintami Putri, dr. Pembimbing : Lobredia Zarasade, dr., Sp.BP-RE (KKF) Iswinarno Dososaputro, dr., Sp.BP-RE (K) DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI DAN ESTETIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA RSUD Dr. SOETOMO SURABAYA 2013

DELIMA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nojojp

Citation preview

  • i

    KARYA AKHIR

    PENGARUH EKSTRAK AQUEOUS KULIT DELIMA (Punica granatum)

    PERORAL TERHADAP MAKROFAG, FIBROBLAS DAN KOLAGEN PADA

    PENYEMBUHAN LUKA BAKAR TIKUS PUTIH

    Penulis :

    Almahitta Cintami Putri, dr.

    Pembimbing :

    Lobredia Zarasade, dr., Sp.BP-RE (KKF)

    Iswinarno Dososaputro, dr., Sp.BP-RE (K)

    DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH PLASTIK

    REKONSTRUKSI DAN ESTETIK

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

    RSUD Dr. SOETOMO

    SURABAYA

    2013

  • ii

    Prasyarat Gelar

    PENGARUH EKSTRAK AQUEOUS KULIT DELIMA (Punica granatum)

    PERORAL TERHADAP MAKROFAG, FIBROBLAS DAN KOLAGEN PADA

    PENYEMBUHAN LUKA BAKAR TIKUS PUTIH

    Penelitian Eksperimental

    Karya akhir pada Program Studi Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

    Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

    Oleh :

    Almahitta Cintami Putri, dr.

    Pembimbing :

    Lobredia Zarasade, dr., Sp.BP-RE (KKF)

    Iswinarno Dososaputro, dr., Sp.BP-RE (K)

    DEPARTEMEN / SMF ILMU BEDAH PLASTIK

    REKONSTRUKSI DAN ESTETIK

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

    RSUD Dr. SOETOMO

    SURABAYA

    2013

  • iii

    Lembar Pengesahan

    1. Judul Penelitian: Pengaruh Ekstrak Aqueous Kulit Delima (Punica granatum)

    Peroral terhadap Makrofag, Fibroblas dan Kolagen pada

    Penyembuhan Luka Bakar Tikus Putih

    2. Peneliti:

    a. Nama : Almahitta Cintami Putri, dr.

    b. Jabatan: Peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis I

    c. Bagian : Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

    Telah disetujui oleh pembimbing pada tanggal 25 Oktober 2013 serta

    dipertahankan di depan penguji pada tanggal 11 Oktober 2013 dan dinyatakan

    memenuhi syarat

    Menyetujui,

    Pembimbing

    Iswinarno D.S., dr., Sp.BP-RE (K) Lobredia Z., dr., Sp.BP-RE (KKF)

    NIP. 19630415 199003 1 016 NIP. 19680711 200801 2 013

    Mengetahui,

    Ketua Program Studi Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

    Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

    Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

    Prof. Dr. David S. Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K)

    NIP 19600305 198901 1 002

    Mengetahui,

    Ketua Departemen / SMF Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

    Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya

    Prof. M. Sjaifuddin Noer, dr., Sp.B., Sp.BP-RE(K)

    NIP. 19470816 197612 1 001

  • iv

    Ucapan Terima Kasih

    Pertama-tama penulis ingin mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas

    segala rahmat-Nya sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini yang berjudul Pengaruh

    Ekstrak Aqueous Kulit Delima (Punica granatum) Peroral terhadap Makrofag, Fibroblas

    dan Kolagen pada Penyembuhan Luka Bakar Tikus Putih. Tulisan ini disusun sebagai

    karya akhir penelitian peserta Program Pendidikan Spesialis I Ilmu Bedah Plastik

    Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.

    Soetomo Surabaya.

    Dalam penyusunan tulisan ini, penulis mendapat banyak bantuan dari berbagai

    pihak. Untuk itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada:

    1. Prof. Dr. Fasichul Lisan, drs., Apt., Rektor Universitas Airlangga, atas kesempatan

    yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter

    Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran

    Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo.

    2. Prof. Dr. Agung Pranoto, dr., M.Kes., SpPD, K-EMD, FINASIM, Dekan Fakultas

    Kedokteran Universitas Airlangga atas kesempatan yang diberikan kepada penulis

    untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik

    Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.

    Soetomo.

    3. Dodo Anondo, dr., M.Ph., Direktur RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas kesempatan

    yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter

    Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di RSUD Dr. Soetomo.

  • v

    4. Prof. Dr. Djohansjah Marzoeki, dr., SpB, SpBP-RE(K), Guru Besar Ilmu Bedah

    Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /

    RSUD Dr. Soetomo, Surabaya atas segala arahan dan bimbingan kepada penulis

    selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik

    Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.

    Soetomo Surabaya.

    5. Prof. M. Sjaifuddin Noer, dr., SpB, SpBP-RE(K), Ketua Departemen / SMF Ilmu

    Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

    / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala arahan dan bimbingan kepada penulis

    selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik

    Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.

    Soetomo Surabaya.

    6. Prof. Dr. David S. Perdanakusuma, dr., SpBP-RE(K), Ketua Program Studi Ilmu

    Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

    / RSUD Dr. Soetomo Surabaya atas segala arahan dan bimbingan kepada penulis

    selama menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik

    Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.

    Soetomo Surabaya.

    7. Iswinarno Doso Saputro, dr., SpBP-RE(K), Sekretaris Program Studi Ilmu Bedah

    Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /

    RSUD Dr. Soetomo Surabaya dan pembimbing penulis dalam penelitian ini, yang

    banyak memberikan masukan, arahan dan bimbingan selama penulis menjalani

    Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan

  • vi

    Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo

    Surabaya.

    8. Lobredia Zarasade. dr., SpBP-RE(K), staf Departemen / SMF Ilmu Bedah Plastik

    Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr.

    Soetomo Surabaya dan pembimbing penulis dalam penelitian ini, atas segala

    dukungan, arahan dan bimbingannya kepada penulis dalam menjalani Program

    Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di

    Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

    9. Agus Santoso Budi, dr., SpBP-RE(K), Sitti Rizaliyana, dr., SpBP-RE(K), Magda

    R. Hutagalung, dr., SpBP-RE(KKF), Beta Subakti N. dr., SpBP-RE, Lynda

    Hariani dr., SpBP-RE dan Indri Lakhsmi Putri dr., SpBP-RE(K), staf Departemen /

    SMF Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas

    Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya, atas segala dukungan, arahan dan

    bimbingannya kepada penulis dalam menjalani Program Pendidikan Dokter

    Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran

    Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

    10. Budiono, dr., M.Kes., atas bimbingannya dalam menyelesaikan analisis statistik

    penelitian ini.

    11. Willy Sandhika, dr., MSi, Sp.PA (K) atas bimbingan dan masukannya dalam

    pembacaan preparat histologis.

    12. Martono Muslam, dr., Sp S. dan Henny Listiani, drg., M.Kes., kedua orang tua

    penulis, yang telah begitu banyak berkorban dan senantiasa memberikan dukungan

  • vii

    moril-materiil, inspirasi, ide, doa yang tiada putusnya serta cinta kasih kepada

    penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

    13. Taufik Karnaen, dr., dan Ninik Yuniati, kedua mertua penulis, yang telah memberi

    dukungan dan doa kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan pendidikan

    ini dengan baik.

    14. Moch Fatoni Arief Rachman, dr., suami penulis yang senantiasa mendukung,

    memberi semangat dan doa kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan

    pendidikan ini dengan baik.

    15. Saudara-saudara kandung penulis, Rangga Almahendra, ST., MM., PhD., beserta

    istrinya Hanum Salsabiela Rais, drg., dan Almarissa Ajeng Prameshwara, dr.

    beserta suaminya Odhie Anggani dr., yang juga tidak pernah berhenti berdoa dan

    memberikan dukungan selama pendidikan penulis.

    16. Revita Widya Prasanti, dr., Ulfa Elfiah, dr., Vini Thresianty Irene, dr., Nur Febriany

    Nasser, dr., Taufiq Sakti Noer, dr., dan Badriyatut Dini, dr., sebagai teman

    seperjuangan dalam masa pendidikan.

    17. Th. E. Sudrajat Wahyu Nugroho, dr., Yudi Siswanto, dr., Muhammad Aulia Ul

    Hakim, dr., atas kesediaannya meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu

    pelaksanaan penelitian ini.

    18. Seluruh teman sejawat PPDS I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik

    Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga lainnya, atas bantuan, dukungan serta

    kerjasamanya dalam menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah

    Plastik Rekonstruksi dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga /

    RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

  • viii

    19. Sekretariat dan karyawan Departemen / SMF Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan

    Estetik, atas kerjasama, dukungan dan bantuan kepada penulis selama menjalani

    Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan

    Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo

    Surabaya.

    20. Seluruh tenaga medis dan paramedis di IRD, OK GBPT, Burn Unit, URJ Bedah

    Plastik dan IRNA Bedah, atas segala kerjasama dan bantuannya selama penulis

    menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi

    dan Estetik di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga / RSUD Dr. Soetomo

    Surabaya.

    21. Semua pihak yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu untuk segala

    dukungannya baik secara langsung maupun tidak langsung.

    Penulis ingin menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan pada tingkah

    laku dan tutur kata selama menjalani pendidikan sebagai peserta Program Pendidikan

    Spesialis I Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik Fakultas Kedokteran Universitas

    Airlangga / RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

    Walaupun tulisan ini disusun sebaik-baiknya, kekurangan pasti masih ada. Oleh

    karena itu, kritik dan saran sangat diharapkan. Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat

    bagi kita semua.

    Surabaya, November 2013

    Penulis

  • ix

    Abstrak

    Effect of Oral Pomegranate (Punica granatum) Peel Aqueous Extract on Macrophage,

    Fibroblast and Collagen Thickness Burn Wound Healing

    Almahitta C. P.*, Lobredia Z., Iswinarno D. S.

    Department of Plastic Reconstructive and Aesthetic Surgery

    Airlangga University School of Medicine / Hospital Dr. Soetomo

    Surabaya

    ABSTRACT

    Background: Burn wound healing is a complex process, which involves the process of inflammation,

    oxidative stress, and infection. Therefore it is costly both to stabilize the general condition of the body,

    wound care itself, to prevent and to treat complications. Breakthrough is needed to solve this problem in an

    effective, safe, and affordable ways. One alternative of the breakthroughs is to use natural ingredients and

    Pomegranate is one of that ingredient which is widely studied today. Pomegranates have antioxidant

    effects, anti-inflammatory, anti-infective and anti-carcinogenic due to its content of polyphenols and

    derivatives, such ellagic acid, punicalagin, etc. Pomegranate polyphenol content higher than other fruits and

    its peel contain polyphenols pomegranate highest among other parts. It is known that the aqueous extract of pomegranate peel orally can stimulate healing of incision wound and pomegranate peel extract topically

    effective for burn wound healing. Research in the effect of oral pomegranate (Punica granatum) peel

    aqueous extract on burn wound healing of white rats have not been investigated.

    Objective: To proof the effect of oral pomegranate (Punica granatum) peel aqueous extract on

    macrophage, fibroblast, and collagen thickness burn wound healing of white rats.

    Methods: An experimental with post-test only control group. A total of 28 rats with deep burn wound,

    divided into four groups: two groups of rats which will be given pomegranate peel aqueous extract

    50mg/kgbw/day orally examined at 3 (inflammatory phase) and 10 (proliferative phase) days, and two

    groups of rats which will not be given the aqueous extract of pomegranate peel oral, examined at 3 and 10

    days too. Burn wound will undergo histologic examination with hematoxylin-eosin staining counted the

    number of macrophages, fibroblast density, and thickness of collagen. Data were analyzed with

    multivariate analysis of variance analysis (Manova).

    Results: The number of macrophage at 3 days was similar to the control, but at 10 days control increased

    significantly (P

  • x

    DAFTAR ISI

    Sampul Dalam.i

    Prasyarat Gelar .................................................................................................................... ii

    Lembar Pengesahan ........................................................................................................... iii

    Ucapan Terima Kasih ........................................................................................................ iv

    Abstrak ............................................................................................................................... ix

    DAFTAR ISI ........................................................................................................................x

    DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xiv

    DAFTAR GAMBAR .........................................................................................................xv

    DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................. xvi

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................................... xvii

    BAB 1 PENDAHULUAN ...................................................................................................1

    1.1 Latar Belakang ..........................................................................................................1

    1.2 Rumusan Masalah .....................................................................................................4

    1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................................4

    1.3.1 Tujuan umum .....................................................................................................4

    1.3.2 Tujuan khusus ....................................................................................................4

    1.4 Manfaat Penelitian .....................................................................................................5

    1.4.1 Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan ................................................5

    1.4.2 Manfaat bagi pelayanan kesehatan ....................................................................5

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..........................................................................................6

    2.1 Luka Bakar .....................................................................................................................6

    2.1.1 Fase luka bakar ........................................................................................................6

  • xi

    2.1.2 Pembagian / klasifikasi luka bakar ..........................................................................7

    2.1.3 Patofisiologi luka bakar .........................................................................................11

    2.1.4 Proses penyembuhan luka bakar ............................................................................14

    2.1.5 Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ

    Dysfunction Syndrome (MODS) pada luka bakar ...........................................................21

    2.2 Delima (Punica granatum) ..........................................................................................27

    2.2.1 Efek antioksidan, anti-inflamasi, anti-mikroba, penstimulasi proliferasi

    fibroblas dan penstimulasi sintesis kolagen pada delima ...............................................31

    2.2.2 Asam ellagik dan punicalagin ................................................................................35

    BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN .......................38

    3.1 Kerangka Konseptual ...................................................................................................38

    3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual .................................................................................39

    3.3 Hipotesis Penelitian .....................................................................................................41

    BAB 4 METODE PENELITIAN ......................................................................................42

    4.1 Jenis dan Rancangan Penelitian ...................................................................................42

    4.2 Hewan Coba .................................................................................................................42

    4.3 Replikasi ......................................................................................................................43

    4.4 Variabel Penelitian .......................................................................................................43

    4.4.1 Variabel bebas ........................................................................................................43

    4.4.2 Variabel tergantung ................................................................................................43

    4.5 Definisi Operasional Variabel ......................................................................................44

    4.5.1 Ekstrak aqueous kulit delima oral ..........................................................................44

    4.5.2 Makrofag ................................................................................................................44

  • xii

    4.5.3 Fibroblas ................................................................................................................45

    4.6 Bahan dan Cara Penelitian ...........................................................................................46

    4.7 Pengambilan Data ........................................................................................................46

    4.8 Pengolahan dan Analisis Data .....................................................................................47

    4.9 Alur Penelitian .............................................................................................................47

    4.10 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................................48

    4.11 Anggaran Penelitian ...................................................................................................48

    BAB 5 HASIL PENELITIAN ...........................................................................................49

    5.1 Gambaran Klinis Luka .................................................................................................49

    5.2 Gambaran Histologis Luka ..........................................................................................50

    5.2.1 Makrofag ................................................................................................................51

    5.2.2 Fibroblas ................................................................................................................51

    5.2.3 Kolagen ..................................................................................................................52

    5.3 Diagram Perbandingan Variabel Penelitian .................................................................52

    5.3.1 Perbandingan jumlah makrofag .............................................................................52

    5.3.2 Perbandingan jumlah fibroblas ..............................................................................53

    5.3.3 Perbandingan ketebalan kolagen ............................................................................53

    5.4 Analisis Hasil Penelitian ..............................................................................................54

    5.4.1 Analisis hasil pengamatan hari ke-3 ......................................................................54

    5.4.2 Analisis hasil pengamatan hari ke-10 ....................................................................55

    5.4.3 Analisis hasil pengamatan kelompok kontrol ........................................................55

    5.4.4 Analisis hasil pengamatan kelompok perlakuan ....................................................56

    BAB 6 PEMBAHASAN ....................................................................................................57

  • xiii

    BAB 7 PENUTUP .............................................................................................................63

    7.1 Kesimpulan ..................................................................................................................63

    7.2 Saran ............................................................................................................................63

    DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................64

    LAMPIRAN .......................................................................................................................68

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Klasifikasi ilmiah delima. ..................................................................................28

    Tabel 2.2 Perbandingan jus delima dibandingkan jus buah lain, konsentrasi polifenol

    dan aktivitas antioksidan ...................................................................................31

    Tabel 4.1 Jadwal proses penelitian ....................................................................................48

    Tabel 5.1 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada

    pengamatan hari ke-3. .......................................................................................55

    Tabel 5.2 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada

    pengamatan hari ke-10. .....................................................................................55

    Tabel 5.3 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada

    kelompok kontrol. .............................................................................................56

    Tabel 5.4 Analisis hasil rerata jumlah makrofag, fibroblas dan ketebalan kolagen pada

    kelompok perlakuan. .........................................................................................56

  • xv

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Skema lapisan kulit dan hubungannya dengan kedalaman luka bakar.10

    Gambar 2.2 Rule of nine ................................................................................................11

    Gambar 2.3 Skema zona pada respon lokal luka bakar .....................................................13

    Gambar 2.4 Fase inflamasi pada penyembuhan luka. ........................................................15

    Gambar 2.5 Fase proliferasi pada penyembuhan luka. ......................................................18

    Gambar 2.6 Fase maturasi pada penyembuhan luka. .........................................................20

    Gambar 2.7 Reaksi imun pada luka bakar .........................................................................25

    Gambar 2.8 A. Bunga, daun dan buah delima; B. Kulit delima bubuk; C. Pulir buah

    delima; D. Kulit delima kering. ......................................................................29

    Gambar 3.1 Diagram kerangka konseptual pengaruh ekstrak aqueous kulit delima oral

    terhadap penyembuhan luka bakar ................................................................ 38

    Gambar 4.1 Diagram rancangan penelitian .......................................................................41

    Gambar 4.2 Diagram alur penelitian ..................................................................................47

    Gambar 5.1 Gambaran klinis luka .....................................................................................50

    Gambar 5.2 Gambaran histologis pengamatan hari ke-3 ...................................................50

    Gambar 5.3 Gambaran histologis pengamatan hari ke-10 .................................................51

    Gambar 5.4 Diagram perbandingan rerata jumlah makrofag ............................................52

    Gambar 5.5 Diagram perbandingan rerata jumlah fibroblas .............................................53

    Gambar 5.6 Diagram perbandingan rerata jumlah fibroblas .............................................54

  • xvi

    DAFTAR SINGKATAN

    ARDS : acute respiratory distress syndrome

    CSF : colony stimulating factor

    DIC : disseminated intravascular coagulation

    FGF : fibroblast growth factor

    HE : hematoxylin-eosin

    IL : interleukin

    LPC : lipid protein complex

    MODS : multi-system organ dysfunction syndrome

    MDF : Myocardial Depressant Factor

    NO : nitric oxide

    PDGF : platelet derived growth factor

    PMN : polymorphonuclear

    ROS : reactive oxygen species

    SIRS : systemic inflammatory response syndrome

    TNF : tumour necrotizing factor

    TGF- : transforming growth factor beta

    VEGF : vascular endothelial growth factor

  • xvii

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 : Hasil penghitungan makrofag, fibroblas dan kolagen .............................68

    Lampiran 2 : Hasil analisis statistik ..............................................................................69

    Lampiran 3 : Dokumentasi kegiatan penelitian .............................................................74

    Lampiran 4 : Sertifikat analisis ekstrak delima .............................................................77

    Lampiran 5 : Surat keterangan kelaikan etik .................................................................78

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak

    dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenadjat,

    2001). Kedalaman kerusakan jaringan akibat luka bakar tergantung pada derajat panas

    sumber, penyebab dan lamanya kontak dengan tubuh penderita (Noer, 2006). Luka bakar

    mempunyai dampak langsung terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang

    tidak terjadi pada kebanyakan luka lain. Luka bakar mudah terjadi komplikasi berupa

    terjadinya infeksi, gagal ginjal, ARDS, multiple organ failure terutama pada luka bakar

    berat (Marzoeki, 2006). Di Amerika dilaporkan sekitar 2 sampai 3 juta penderita luka

    bakar setiap tahunnya dengan jumlah kematian sekitar 5-6 ribu kematian/tahun. Di

    Indonesia sampai saat ini belum ada laporan tertulis mengenai jumlah penderita luka

    bakar dan jumlah angka kematian yang diakibatkannya. Di Unit luka bakar RSU Dr.

    Sutomo Surabaya jumlah kasus yang dirawat selama Januari 2000 sampai Desember

    2000 sebanyak 106 kasus atau 48,4% dari seluruh penderita bedah plastik yang dirawat

    yaitu sebanyak 219, jumlah kematian akibat luka bakar sebanyak 28 atau sekitar 26,41%

    dari seluruh penderita luka bakar yang dirawat (Noer, 2006).

    Proses penyembuhan luka bakar mempunyai persamaan dalam fase penyembuhan

    luka pada umumnya, perbedaannya adalah pada durasi setiap fasenya. Akibat cidera

    panas menyebabkan dilepaskannya faktor kemoatraktan dan sitokin sehingga terjadi

    migrasi sel inflamasi (Tiwari, 2012). Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap

  • 2

    invasi mikroba serta adanya jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung

    pertumbuhan mikroorganisme, sehingga beresiko untuk terjadi infeksi (Hemsley dan

    Ansermino, 2004). Netrofil dan makrofag berperan dalam eliminasi bakteri dengan cara

    memproduksi beberapa proteinase dan reactive oxygen species (ROS), namun tingginya

    kadar ROS secara berkepanjangan juga akan menginduksi kerusakan sel tubuh lainnya

    dan memicu ulang timbulnya inflamasi lagi, sehingga proses inflamasi akan menjadi

    berkepanjangan (Lima et al, 2009). Begitu kompleksnya proses penyembuhan luka bakar

    yang melibatkan proses inflamasi, stres oksidatif dan infeksi sehingga membutuhkan

    banyak biaya baik untuk menstabilkan kondisi umum tubuh, perawatan luka itu sendiri

    maupun untuk mencegah dan atau mengobati komplikasinya. Sampai saat ini biaya

    perawatan masih mahal dan komplikasi akibat proses inflamasi, stress oksidatif dan

    infeksi masih tinggi sehingga menyebabkan morbiditas dan kematian. Diperlukan adanya

    terobosan baru untuk memecahkan masalah ini secara efektif, aman, murah, mudah dan

    terjangkau. Salah satu alternatif adalah dengan menggunakan bahan alami dan salah satu

    bahan alami yang banyak diteliti saat ini adalah delima.

    Delima atau Punica granatum merupakan tanaman buah yang dipercaya sebagai

    tanaman obat alami sejak zaman dahulu di beberapa masyarakat dunia dan telah

    dinyatakan dalam Papyrus Ebers Mesir pada 1550 SM (Ismail et al, 2012). Beberapa

    fakta penting hasil penelitian tentang manfaat delima berhasil diungkap dan menjadikan

    delima populer dalam beberapa dekade terakhir ini. Delima mempunyai efek antioksidan,

    anti-inflamasi, anti-infeksi dan antikarsinogenik karena kandungan polifenol dan

    derivatnya yaitu asam ellagik, punicalagin, dll. Delima mempunyai kandungan polifenol

    tertinggi dibandingkan buah jeruk, anggur, cranberry, pir, nanas, apel, peach serta teh

  • 3

    hijau dan kulitnya mengandung polifenol tertinggi diantara bagian lain delima (Rosenbalt

    dan Aviram, 2006). Delima mempunyai potensi sebagai salah satu pilihan pengobatan

    berbagai penyakit yang efektif, murah dan mudah didapat.

    Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa ekstrak aqueous kulit delima peroral

    dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka insisi yaitu terdapat peningkatan

    kekuatan sobekan (breaking strength), peningkatan kandungan hidroksilprolin,

    percepatan epitelialisasi, peningkatan persentase kontraksi luka dibandingkan grup

    kontrol dan secara efektif menghambat efek supresi deksametason dalam penyembuhan

    luka pada tikus (Shalini et al, 2010). Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa ekstrak

    kulit delima topikal efektif dalam menyembuhkan luka bakar dan efeknya sebanding

    dengan perak sulfadiazin, obat topikal standar luka bakar (Shalini et al, 2012). Dari

    pembahasan kedua penelitian tersebut dijelaskan bahwa delima diyakini mempunyai efek

    anti-inflamasi, antioksidan, antimikroba, stimulasi proliferasi fibroblas dan stimulasi

    sintesis kolagen yang mendukung penyembuhan luka. Hingga saat ini penelitian

    mengenai efek ekstrak aqueous kulit delima peroral terhadap luka bakar belum pernah

    dilakukan. Pada penelitian ini akan diteliti ekstrak aqueous kulit delima peroral terhadap

    penyembuhan luka bakar dengan parameter yang diteliti adalah jumlah makrofag, jumlah

    fibroblas, dan ketebalan kolagen. Dari penelitian ini diharapkan ekstrak aqueous kulit

    delima peroral dapat memberi efek positif terhadap penyembuhan luka bakar sehingga

    dapat dijadikan salah satu pilihan terapi yang aman, mudah, murah dan terjangkau.

  • 4

    1.2 Rumusan Masalah

    1. Apakah pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat menurunkan

    jumlah makrofag pada penyembuhan luka bakar kulit tikus?

    2. Apakah pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat meningkatkan

    jumlah fibroblas pada penyembuhan luka bakar kulit tikus?

    3. Apakah pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat meningkatkan

    ketebalan kolagen pada penyembuhan luka bakar kulit tikus?

    1.3 Tujuan Penelitian

    1.3.1 Tujuan umum

    Membuktikan pengaruh ekstrak aqueous kulit delima peroral pada penyembuhan

    luka bakar kulit tikus.

    1.3.2 Tujuan khusus

    1. Membuktikan pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat

    menurunkan jumlah makrofag pada penyembuhan luka bakar kulit tikus.

    2. Membuktikan pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat

    meningkatkan jumlah fibroblas pada penyembuhan luka bakar kulit tikus.

    3. Membuktikan pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat

    meningkatkan ketebalan kolagen pada penyembuhan luka bakar kulit tikus.

  • 5

    1.4 Manfaat Penelitian

    1.4.1 Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

    1. Memperoleh bukti ilmiah pengaruh pemberian ekstrak aqueous kulit delima

    peroral pada penyembuhan luka bakar.

    2. Memberikan dasar teori lebih lanjut untuk pengembangan penelitian pengaruh

    pemberian ekstrak aqueous kulit delima peroral yang berkaitan dengan

    penyembuhan luka bakar.

    1.4.2 Manfaat bagi pelayanan kesehatan

    1. Apabila terbukti bermanfaat, ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat

    digunakan untuk memacu penyembuhan luka bakar.

    2. Apabila terbukti bermanfaat, ekstrak aqueous kulit delima peroral dapat

    dijadikan salah satu pilihan terapi yang aman, mudah, murah dan terjangkau.

  • 6

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Luka Bakar

    Luka bakar adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan kontak

    dengan sumber panas seperti api, air panas, bahan kimia, listrik dan radiasi (Moenadjat,

    2001). Luka bakar bukan luka biasa karena luka bakar mempunyai dampak langsung

    terhadap perubahan lokal maupun sistemik tubuh yang tidak terjadi pada kebanyakan

    luka lain. Kalau luka lain umumnya dirawat di rumah sakit sekitar 1 minggu sampai 1

    bulan maka luka bakar berat dapat dirawat sekitar 1 minggu sampai 6 bulan. Hal ini oleh

    karena mudahnya terjadi komplikasi berupa terjadinya infeksi, gagal ginjal, ARDS,

    multiple organ failure terutama pada luka bakar berat (Marzoeki, 2006). Luka bakar

    merupakan suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang memerlukan

    penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai fase lanjut (Moenadjat, 2001).

    2.1.1 Fase luka bakar

    Dalam perjalanan penyakitnya dibedakan 3 fase pada luka bakar, yaitu:

    a. Fase awal/fase akut/fase syok

    Pada fase ini masalah yang ada berkisar pada gangguan sirkulasi, yaitu keseimbangan

    sirkulasi cairan dan elektrolit yang bersifat sistemik, dan gangguan saluran nafas bila

    terdapat cidera inhalasi.

  • 7

    b. Fase setelah syok berakhir/diatasi

    Dimick menyebutkan sebagai fase sub akut. Fase ini berlangsung setelah syok

    berakhir/dapat diatasi. Masalah pada fase ini antara lain:

    i. Proses inflamasi. Proses inflamasi yang terjadi pada luka bakar berbeda dengan

    luka insisi; proses inflamasi terjadi lebih hebat disertai eksudat dan kebocoran

    protein. Pada saat ini terjadi reaksi inflamasi lokal yang kemudian berkembang

    menjadi reaksi sistemik dengan dilepaskannya zat-zat yang berhubungan

    dengan proses imunologik, yaitu kompleks lipoprotein (lipid protein complex,

    burn toxin) yang menginduksi respons inflamasi sistemik (systemic

    inflammation response syndrome)

    ii. Infeksi yang dapat menimbulkan sepsis

    iii. Proses penguapan cairan tubuh disertai panas/energi (evaporative heat loss)

    yang menyebabkan perubahan dan gangguan proses metabolisme.

    c. Fase lanjut

    Fase ini berlangsung setelah terjadi penutupan luka sampai terjadinya maturasi luka.

    Masalah pada fase ini adalah timbulnya penyulit dari luka bakar berupa parut

    hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain yang terjadi karena kerapuhan jaringan

    atau organ-organ struktural (Moenadjat, 2001).

    2.1.2 Pembagian / klasifikasi luka bakar

    Luka bakar dibagi/diklasifikasikan menjadi beberapa jenis berdasarkan penyebab

    dan kedalaman jaringan, yaitu:

  • 8

    a. Berdasarkan penyebab

    - Luka bakar karena api

    - Luka bakar karena air panas

    - Luka bakar karena bahan kimia (yang bersifat asam atau basa kuat)

    - Luka bakar karena listrik dan petir

    - Luka bakar karena radiasi

    - Cidera akibat suhu sangat rendah (frost bite)

    b. Berdasarkan kedalaman kerusakan jaringan (gambar 2.1)

    i. Luka bakar derajat I:

    - Kerusakan terbatas pada lapisan epidermis (superficial)

    - Kulit kering, hiperemik berupa eritem

    - Tidak dijumpai bula

    - Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi

    - Penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 5-10 hari

    ii. Luka bakar derajat II:

    - Kerusakan meliputi epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi

    inflamasi disertai proses eksudasi

    - Dijumpai bula

    - Nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik teriritasi

    - Dasar luka berwarna merah atau pucat, sering terletak lebih tinggi diatas

    kulit normal

    Dibedakan atas 2 (dua):

  • 9

    a) Derajat II dangkal (superficial)

    kerusakan mengenai bagian superfisial dari dermis

    organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar

    sebasea masih utuh

    penyembuhan terjadi secara spontan dalam waktu 10-14 hari

    b) Derajat II dalam (deep)

    kerusakan mengenai hampir seluruh bagian dermis

    organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar

    sebasea sebagian besar masih utuh

    penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung biji epitel yang tersisa.

    Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan

    iii. Luka bakar derajat III:

    - kerusakan meliputi seluruh tebal dermis dan lapisan yang lebih dalam

    - organ-organ kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea

    mengalami kerusakan

    - tidak dijumpai bula

    - kulit yang terbakar berwarna abu-abu dan pucat. Karena kering, letaknya

    lebih rendah dibandingkan kulit sekitar

    - terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis dikenal sebagai eskar

    - tidak dijumpai rasa nyeri dan hilang sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf

    sensorik mengalami kerusakan / kematian

    - penyembuhan terjadi lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari

    dasar luka (Moenadjat, 2001).

  • 10

    Gambar 2.1 Skema lapisan kulit dan hubungannya dengan kedalaman luka bakar.

    (Diambil dari Hettiaratchy S dan Papini R, 2004, ABC of Burns, Initial management of a

    major burn: IIassessment and resuscitation).

    c. Berdasarkan berat/ringan luka bakar, diperoleh beberapa klasifikasi penderita

    berdasarkan luas luka bakar (rule of nine, gambar 2.2) dan keadaan tertentu :

    i. Luka bakar berat/kritis

    - Derajat II-III > 40%

    - Derajat III pada muka, tangan dan kaki

    - Adanya trauma pada jalan nafas (cidera inhalasi) tanpa memperhitungkan

    luas luka bakar

    - Luka bakar listrik

    - Disertai trauma lainnya (misal fraktur iga, dll)

    ii. Luka bakar sedang

    - Derajat II 15-40%

    - Derajat III

  • 11

    iii. Luka bakar ringan

    - Derajat II < 15%

    - Derajat III < 2% (Moenadjat, 2001).

    Gambar 2.2 Rule of nine.

    (Diambil dari Clarke JA, 1992, A Colour Atlas of Burn

    Injuries).

    2.1.3 Patofisiologi luka bakar

    Panas yang mengenai tubuh tidak hanya mengakibatkan kerusakan lokal tetapi

    memiliki efek sistemik. Perubahan ini khusus terjadi pada luka bakar dan umumnya

    tidak ditemui pada luka yang disebabkan oleh cedera lainnya. Karena efek panas terdapat

    perubahan sistemik peningkatan permeabilitas kapiler. Hal ini menyebabkan plasma

    bocor keluar dari kapiler ke ruang interstitial. Peningkatan permeabilitas kapiler dan

    kebocoran plasma maksimal muncul dalam 8 jam pertama dan berlanjut sampai 48 jam.

    Setelah 48 jam permeabilitas kapiler kembali kembali normal atau membentuk trombus

    yang menjadikan tidak adanya aliran sirkulasi darah. Hilangnya plasma merupakan

    penyebab syok hipovolemik pada penderita luka bakar. Jumlah kehilangan cairan

  • 12

    tergantung pada luasnya luka bakar. Luka bakar luas permukaan tubuh biasanya dihitung

    dengan aturan Wallace rule of 9 pada orang dewasa dan Lund and Browder grafik pada

    orang dewasa dan anak-anak. Orang dewasa dengan luka bakar lebih dari 15% dan pada

    anak-anak lebih dari 10% dapat terjadi syok hipovolemik jika resusitasi tidak memadai

    (Tiwari, 2012).

    Peningkatan permeabilitas kapiler secara sistemik tidak terjadi pada luka lainnya.

    Hanya terdapat reaksi lokal pada lokasi luka karena inflamasi menyebabkan vasodilatasi

    progresif persisten dan edema. Syok hipovolemik yang terjadi pada trauma lain biasanya

    karena kehilangan darah dan membutuhkan tranfusi segera (Tiwari, 2012).

    Saat terjadi kontak antara sumber panas dengan kulit, tubuh akan merespon untuk

    mempertahankan homeostasis dengan adanya proses kontraksi, retraksi dan koagulasi

    pembuluh darah. Jackson pada tahun 1947 mengklasifikasikan 3 zone respon lokal akibat

    luka bakar yaitu: (gambar 2.3)

    a. Zona koagulasi, terdiri dari jaringan nekrosis yang membentuk eskar, yang

    terbentuk dari koagulasi protein akibat cidera panas, berlokasi ditengah luka

    bakar, tempat yang langsung mengalami kerusakan dan kontak dengan panas.

    b. Zona stasis, daerah yang langsung berada diluar disekitar zona koagulasi.

    Didaerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah disertai kerusakan

    trombosit dan leukosit, sehingga terjadi gangguan perfusi (no flow phenomena),

    diikuti perubahan permeabilitas kapiler dan respon inflamasi lokal, yang beresiko

    terjadinya iskemia jaringan. Zona ini bisa menjadi nekrosis atau hiperemis,

    menjadi zona hiperemis jika resusitasi yang diberikan adekuat, atau menjadi zona

    koagulasi jika resusitasi yang diberikan tidak adekuat.

  • 13

    c. Zona hiperemis, daerah yang terdiri dari kulit normal dengan cidera sel yang

    ringan, ikut mengalami reaksi berupa vasodilatasi dan terjadi peningkatan aliran

    darah sebagai respon cedera luka bakar. Zona ini bisa mengalami penyembuhan

    spontan atau berubah menjadi zona statis (Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004).

    Gambar 2.3 Skema zona pada respon lokal luka bakar, zona statis dapat menjadi zona

    hiperemis jika resusitasi yang diberikan adekuat (kiri bawah), atau menjadi zona

    koagulasi jika resusitasi yang diberikan tidak adekuat (kanan bawah). (Diambil dari

    Hettiaratchy dan Dziewulski, 2004 ABC of Burns, Pathophysiology and types of burns).

    Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap invasi mikroba serta adanya

    jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung pertumbuhan mikroorganisme,

    sehingga beresiko untuk terjadi infeksi. Semakin luas luka bakar, semakin besar resiko

    infeksi (Hemsley dan Ansermino, 2004). Tidak seperti kebanyakan luka lain, luka bakar

    biasanya steril pada saat cidera. Panas yang menjadi agen penyebab membunuh semua

    mikro-organisme pada permukaan. Setelah minggu pertama luka bakar cenderung

    terinfeksi, sehingga membuat sepsis luka bakar sebagai penyebab utama kematian pada

    luka bakar. Sedangkan luka lain misalnya luka gigitan, luka tusukan, crush injury dan

  • 14

    ekskoriasi terkontaminasi pada saat terjadi trauma dan jarang menyebabkan sepsis secara

    sistemik (Tiwari, 2012).

    2.1.4 Proses penyembuhan luka bakar

    Proses penyembuhan luka bakar mempunyai persamaan dalam fase penyembuhan

    luka pada umumnya, perbedaannya adalah pada durasi setiap tahap (Tiwari, 2012).

    Proses penyembuhan luka secara umum merupakan suatu proses yang kompleks, yang

    melibatkan respon seluler dan biokimia baik secara lokal maupun sistemik (Rohrich dan

    Robinson, 1999). Pada umumnya, penyembuhan luka dibagi dalam 3 fase yang saling

    tumpang tindih. Fase awal atau fase inflamasi dimulai segera setelah terjadinya suatu

    trauma/cidera, dengan tujuan untuk menyingkirkan jaringan mati dan mencegah infeksi.

    Fase kedua fase proliferasi, dimana akan terjadi keseimbangan antara pembentukan parut

    dan regenerasi jaringan. Fase yang paling akhir merupakan fase yang terpanjang dan

    hingga saat ini merupakan fase yang paling sedikit dipahami, yakni fase

    maturasi/remodeling yang bertujuan memaksimalkan kekuatan dan integritas struktural

    dari luka (Gurtner, 2007).

    a. Fase inflamasi (lag phase)

    Fase inflamasi (gambar 2.4) dimulai segera setelah terjadinya trauma/cidera dan

    umumnya sampai hari ke-5 pasca trauma. Tujuan utama fase ini pada umumnya adalah

    hemostasis, hilangnya jaringan yang mati dan pencegahan kolonisasi maupun infeksi oleh

    agen mikrobial patogen (Gurtner, 2007). Perbedaan antara luka bakar dan luka biasa pada

    fase ini yaitu pada luka bakar terjadi vasodilatasi lokal dengan ekstravasasi cairan dalam

    ruang ketiga. Dalam luka bakar yang luas, adanya peningkatan permeabilitas kapiler

  • 15

    menyebabkan ekstravasasi plasma yang cukup banyak dan membutuhkan penggantian

    cairan (Tiwari, 2012).

    Pada luka biasa proses hemostasis mendahului terjadinya inflamasi yaitu terjadi

    vasokonstriksi dan retraksi pembuluh darah yang putus disertai reaksi hemostasis segera

    setelah terjadinya trauma yang menyebabkan luka (Harjowasito, 1998). Pembuluh darah

    yang cidera mengakibatkan termobilisasinya berbagai elemen darah ke lokasi luka.

    Agregasi platelet akan membentuk plak pada pembuluh darah yang cedera. Selama

    proses ini berlangsung, platelet akan mengalami degranulasi dan melepaskan beberapa

    growth factor, seperti platelet-derived growth factor (PDGF) dan transforming growth

    factor- (TGF-). Hasil akhir kaskade koagulasi jalur intrinsik dan ekstrinsik adalah

    konversi fibrinogen menjadi fibrin (Gurtner, 2007). Sedangkan pada luka bakar, proses

    koagulasi akibat panas menyebabkan dilepaskannya faktor kemotaktik seperti kallkireins

    dan peptida fibrin, sedangkan sel mast melepaskan faktor nekrosis tumor, histamin,

    protease, leukotreins dan sitokin sehingga terjadi migrasi sel-sel inflamasi. Neutrofil dan

    monosit merupakan sel pertama yang bermigrasi di lokasi peradangan (Tiwari, 2012).

    Gambar 2.4 Fase inflamasi pada penyembuhan luka. (Diambil dari Gurtner, 2007, Wound

    healing, normal and abnormal dalam Grabb and Smiths plastic surgery, 6th edition).

  • 16

    Berbagai mediator inflamasi yakni prostaglandin, interleukin-1 (IL-1), tumor

    necrosis factor (TNF), C5a, TGF- dan produk degradasi bakteri seperti lipopolisakarida

    (LPS) akan menarik sel netrofil sehingga menginfiltrasi matriks fibrin dan mengisi

    kavitas luka. Migrasi netrofil ke luka juga dimungkinkan karena peningkatan

    permeabilitas kapiler akibat terlepasnya serotonin dan histamin oleh sel mast dan jaringan

    ikat. Netrofil pada umumnya akan ditemukan pada 2 hari pertama dan berperan penting

    untuk memfagositosis jaringan mati dan mencegah infeksi. Keberadaan netrofil yang

    berkepanjangan merupakan salah satu penyebab utama terjadinya konversi dari luka akut

    menjadi luka kronis (Regan dan Barbul, 1994; Gurtner, 2007).

    Makrofag juga akan mengikuti netrofil menuju luka setelah 48-72 jam dan

    menjadi sel predominan setelah hari ketiga pasca trauma. Debris dan bakteri akan

    difagositosis oleh makrofag. Makrofag juga berperan utama memproduksi berbagai

    growth factor yang dibutuhkan dalam produksi matriks ekstraseluler oleh fibroblas dan

    pembentukan neovaskularisasi. Keberadaan makrofag oleh karenanya sangat penting

    dalam fase inflamasi ini (Gurtner, 2007).

    Pada luka bakar sel-sel inflamasi diatas membantu dalam fagositosis,

    pembersihan jaringan yang mati dan racun yang dikeluarkan oleh jaringan yang terbakar.

    Selain melalui proses fagositosis, netrofil dan makrofag juga berperan dalam eliminasi

    bakteri dengan cara memproduksi dan melepaskan beberapa proteinase dan reactive

    oxygen species (ROS). ROS melalui sifat radikal bebasnya penting dalam mencegah

    infeksi bakterial, namun tingginya kadar ROS secara berkepanjangan juga akan

    menginduksi kerusakan sel tubuh lainnya. ROS juga mengaktivasi dan mempertahankan

  • 17

    kaskade asam arakidonat yang akan memicu ulang timbulnya berbagai mediator

    inflamasi lagi seperti prostaglandin dan leukotrien, sehingga proses inflamasi akan

    menjadi berkepanjangan (Lima et al, 2009).

    Limfosit dan sel mast merupakan sel terakhir yang bergerak menuju luka dan

    dapat ditemukan pada hari kelima sampai ketujuh pasca trauma. Peran keduanya masih

    belum jelas hingga saat ini (Gurtner, 2007).

    Pade akhir fase inflamasi, mulai terbentuk jaringan granulasi yang berwarna

    kemerahan, lunak dan granuler. Jaringan granulasi adalah suatu jaringan kaya vaskuler,

    berumur pendek, kaya fibroblas, kapiler dan sel radang tetapi tidak mengandung ujung

    saraf (Anderson, 2000). Jaringan granulasi menyediakan lingkungan yang secara

    metabolik mendukung proses penyembuhan luka.

    b. Fase proliferasi (fibroplasi, regenerasi)

    Fase proliferasi (gambar 2.5) berlangsung umumnya mulai hari ke-4. Pada luka

    bakar superfisial, migrasi keratinosit yang berada pada tepi luka sesungguhnya telah

    mulai bekerja beberapa jam pasca trauma, menginduksi terjadinya reepitelialisasi yang

    biasanya menutup luka dalam 5-7 hari. Setelah reepitelisasi, membran basalis terbentuk

    antara epidermis dan dermis. Pembentukan kembali dermis dibantu oleh proses

    angiogenesis dan fibrogenesis. Pada fase ini matriks fibrin yang didominasi oleh platelet

    dan makrofag secara gradual digantikan oleh jaringan granulasi yang tersusun dari

    kumpulan fibroblas, makrofag dan sel endotel yang membentuk matriks ekstraseluler dan

    neovaskular (Gurtner, 2007).

  • 18

    Gambar 2.5 Fase proliferasi pada penyembuhan luka. (Diambil dari Gurtner, 2007,

    Wound healing, normal and abnormal dalam Grabb and Smiths plastic surgery, 6th edition).

    Fibroblas memiliki peran yang sangat penting dalam fase ini. Fibroblas

    memproduksi matriks ekstraselular yang akan mengisi kavitas luka dan menyediakan

    landasan untuk migrasi keratinosit. Matriks ekstraselular merupakan komponen yang

    paling nampak pada skar di kulit. Makrofag memproduksi growth factor seperti PDGF

    dan TGF- yang menginduksi fibroblas untuk berproliferasi, migrasi dan membentuk

    matriks ekstraselular (Gurtner, 2007). Fibroblas mencerna matriks fibrin dan

    menggantikannya dengan glycosaminoglycan (GAG) dengan bantuan matrix

    metalloproteinase (MMP). Matriks ekstraselular akan digantikan oleh kolagen tipe III

    yang juga diproduksi oleh fibroblas dengan berjalannya waktu. Kolagen ini tersusun atas

    33% glisin, 25% hidroksiprolin, dan selebihnya berupa air, glukosa dan galaktosa.

    Selanjutnya kolagen tipe III akan digantikan oleh kolagen tipe I pada fase maturasi

    (Marzoeki, 1993; Schultz, 2007). Faktor proangiogenik yang diproduksi makrofag seperti

    vascular endothelial growth factor (VEGF), fibroblas growth factor (FGF)-2,

  • 19

    angiopoietin-1 dan thrombospondin akan menstimulasi sel endotel membentuk

    neovaskular melalui proses angiogenesis (Gurtner, 2007).

    Pada luka bakar yang dalam untuk mempercepat penyembuhan perlu dilakukan

    eksisi dan tandur kulit (skin graft). Tindakan penutupan luka dengan skin graft setelah

    eksisi kulit yang terbakar merupakan bagian dari fase proliferasi pada penyembuhan luka

    (Tiwari, 2012).

    Hal yang menarik dari fase proliferasi ini adalah bahwa pada suatu titik tertentu,

    seluruh proses yang telah dijabarkan di atas harus dihentikan. Fibroblas akan segera

    menghilang segera setelah matriks kolagen mengisi kavitas luka dan pembentukan

    neovaskular akan menurun melalui proses apoptosis. Kegagalan regulasi pada tahap

    inilah yang hingga saat ini dianggap sebagai penyebab terjadinya kelainan fibrosis seperti

    skar hipertrofik (Gurtner, 2007).

    c. Fase maturasi (remodeling)

    Fase maturasi (gambar 2.6) ini di luka pada umumnya berlangsung mulai hari ke-

    21 hingga sekitar 1 tahun, namun pada luka bakar derajat 2 yang dalam dan yang

    mengenai seluruh ketebalan kulit yang dibiarkan sembuh sendiri fase ini bisa memanjang

    menjadi bertahun-tahun (Tiwari, 2012). Fase ini segera dimulai segera setelah kavitas

    luka terisi oleh jaringan granulasi, proses reepitelialisasi usai, dan setelah kolagen

    menggantikan matriks temporer (Gurtner, 2007). Pada fase ini terjadi maturasi luka dan

    graft (pada luka bakar post skin graft) (Tiwari, 2012).

  • 20

    Gambar 2.6 Fase maturasi pada penyembuhan luka. (Diambil dari Gurtner, 2007, Wound

    healing, normal and abnormal dalam Grabb and Smiths plastic surgery, 6th edition).

    Kontraksi dari luka dan remodeling kolagen terjadi pada fase ini. Kontraksi luka

    terjadi akibat aktivitas myofibroblas, yakni fibroblas yang mengandung komponen

    mikrofilamen aktin intraselular. Kolagen tipe III pada fase ini secara gradual digantikan

    oleh kolagen tipe I dengan bantuan matrix metalloproteinase (MMP) yang disekresi oleh

    fibroblas, makrofag dan sel endotel. Sekitar 80% kolagen pada kulit adalah kolagen tipe I

    yang memungkinkan terjadinya tensile strength pada kulit (Gurtner, 2007).

    Keseimbangan antara proses sintesis dan degradasi kolagen terjadi pada fase ini.

    Kolagen yang berlebihan didegradasi oleh enzim kolagenase dan kemudian diserap.

    Sisanya akan mengerut sesuai tegangan yang ada. Hasil akhir dari fase ini berupa

    jaringan parut yang pucat, tipis, lemas dan mudah digerakkan dari dasarnya (Bisono dan

    Pusponegoro, 1997).

    Kolagen awalnya tersusun secara tidak beraturan, sehingga membutuhkan lysyl

    hydroxylase untuk mengubah lisin menjadi hidroksilisin yang dianggap bertanggung

    jawab terhadap terjadinya cross-linking antar kolagen. Cross-linking inilah yang

    menyebabkan terjadinya tensile strength sehingga luka tidak mudah terkoyak lagi.

  • 21

    Tensile strength akan bertambah secara cepat dalam 6 minggu pertama, kemudian akan

    bertambah perlahan selama 1-2 tahun. Pada umumnya tensile strength pada kulit dan

    fascia tidak akan pernah mencapai 100%, namun hanya sekitar 80% dari normal

    (Marzoeki, 1993; Schultz, 2007).

    Pada luka bakar derajat 2 dalam dan yang mengenai seluruh ketebalan kulit bila

    dibiarkan sembuh sendiri dapat terbentuk hipertrofik jaringan parut dan kontraktur.

    Hiperpigmentasi terjadi pada luka bakar superfisial karena respon berlebihan melanosit

    dari trauma panas dan hipopigmentasi terjadi pada luka bakar yang dalam karena

    kerusakan melanosit pada kulit. Pada luka bakar post skin graft saat mulai terjadi

    inervasi, saraf yang tumbuh akan merubah kontrol melanosit yang biasanya akan terjadi

    hiperpigmentasi graft pada orang berkulit gelap dan akan hipopigmentasi pada orang

    berkulit putih (Tiwari, 2012).

    2.1.5 Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ

    Dysfunction Syndrome (MODS) pada luka bakar

    SIRS adalah suatu bentuk respon klinis yang bersifat sistemik eksageratif

    terhadap berbagai stimulus klinis berat seperti infeksi (nidus infeksi, endotoksin dari

    bakteri gram negatif yang lisis, eksotoksin/enterotoksin dari bakteri gram positif, antigen

    virus/jamur) maupun penyebab noninfeksi (trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,

    pankreatitis, dan lain-lain). SIRS merupakan masalah utama yang timbul pada fase

    subakut luka bakar. Respon inflamasi mengikuti suatu cidera adalah suatu hal yang

    bersifat fisiologis dan alami, namun bilamana respon ini berlebihan, bersifat sistemik dan

  • 22

    eksageratif, maka respon inflamasi seperti ini tidak lagi dapat dikatakan sesuatu yang

    fisiologis (Moenadjat, 2006).

    Ada lima hal yang bisa menjadi aktivator (faktor pencetus) timbulnya SIRS, yaitu

    infeksi, cidera, inflamasi, aliran darah yang tidak adekuat, dan iskemia/reperfusion

    injury; kelimanya dapat dijumpai pada luka bakar. Kriteria klinis yang digunakan,

    mengikuti hasil konsensus American College of Chest Phycisions dan the Society of

    Critical Care Medicine tahun 1991, adalah bila dijumpai 2 (dua) atau lebih manifestasi

    berikut selama beberapa hari berturut-turut, yaitu:

    - hipertermi (suhu 38C) atau hipotermi (suhu 90 kali per menit)

    - takipnu (frekuensi napas >20 kali per menit) atau tekanan parsial CO2 rendah

    (PaCO212.000 sel per mm3), leukopeni 10% neutrophil dalam bentuk imatur (band).

    Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil kultur darah/bakteremia

    dan pemeriksaan histopatologis), maka SIRS disebut sepsis. SIRS selalu berkaitan

    dengan MODS (Multi-system Organ Dysfunction Syndrome). MODS adalah kumpulan

    gejala dengan adanya gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa sehingga

    homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. MODS merupakan akhir

    perjalanan SIRS (Moenadjat, 2006).

    Perjalanan SIRS secara umum menurut teori Bone di bagi menjadi 3 tahap, yaitu:

    Tahap I

  • 23

    Respon inflamasi sistemik didahului oleh suatu penyebab yang cukup berat,

    misalnya luka bakar. Kerusakan jaringan lokal merangsang pelepasan berbagai mediator

    pro-inflamasi seperti sitokin. Sitokin adalah pembawa pesan fisiologis dari suatu bentuk

    respon inflamasi, berperan pada proses penyembuhan luka dan mengerahkan sel-sel

    retikulo-endotel. Komponen utamanya antara lain: interleukin (IL1, IL6), tumour

    necrotizing factor (TNF), interferon, colony stimulating factor (CSF). Efektor seluler

    dari respon inflamasi (sel-sel yang menghasilkan sitokin dan mediator-mediator inflamasi

    lain) ini adalah sel-sel leukosit PMN (polymorphonuclear), monosit, makrofag, dan sel-

    sel endotel. Sel-sel endotel melepaskan molekul-molekul adesi dan reseptor-reseptor

    untuk sitokin maupun mediator inflamasi sekunder seperti prostaglandin, leukotrien,

    thromboksan, platelet activating factor (PAF), radikal bebas, oksida nitrit (nitric oxide),

    dan protease (cathepsin, elastase). Endotel teraktivasi dan lingkungan yang kaya sitokin

    mengaktifkan kaskade koagulasi sehingga terjadi trobosis lokal. Hal ini bertujuan

    mengurangi kehilangan darah melalui luka; disamping itu timbul efek pembatasan

    (walling off) jaringan cidera sehingga secara fisiologis daerah inflamasi terisolasi. Sampai

    disini, respon inflamasi masih berada dalam batas fisiologis, dimana efek sitokin masih

    bersifat positif.

    Tahap II

    Sejumlah sitokin yang dilepaskan ke sirkulasi justru meningkatkan respon lokal.

    Terjadi pengerahan makrofag, trombosit, dan stimulasi produksi growth factor.

    Selanjutnya dimulailah respon fase akut yang terkendali secara simultan melalui

    penurunan kadar mediator pro-inflamasi dan pelepasan antagonis endogen (antagonis

    reseptor IL1 dan mediator-mediator antiinflamasi lain seperti IL4, IL10, IL11, reseptor

  • 24

    terlarut TNF, dan transforming growth factor). Dengan demikian mediator-mediator

    tersebut mempertahankan respon antiinflamasi awal yang terkendali dengan baik melalui

    peran down regulating cytokine production dan efek antagonis terhadap sitokin yang

    dilepaskan. Keadaan ini berlangsung hingga diperoleh homeostasis.

    Tahap III

    Jika homeostasis tidak dapat dikembalikan, timbul tahap III (SIRS) dengan

    terjadinya respon sistemik yang bersifat massif dan eksageratif. Efek sitokin berubah

    menjadi destrukstif. Sirkulasi dipenuhi oleh mediator-mediator pro-inflamasi, sehingga

    integritas dinding kapiler rusak. Sitokin merambah ke dalam berbagai organ dan

    mengakibatkan kerusakan. Respon destruktif regional dan sistemik (terjadi peningkatan

    vasodilatasi perifer, gangguan permeabilitas mikrovaskuler, akselerasi trombosis

    mikrovaskuler, aktivasi sel leukosit-endotel) yang mengakibatkan peruahan-perubahan

    patologis di berbagai organ. Jika reaksi inflamasi tdak dapat dikendalikan, timbul syok

    septik, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), Acute Respiratory Distress

    Syndrome (ARDS), MODS dan kematian (Moenadjat, 2006).

    Pada luka bakar, reaksi imun yang terjadi dapat dilihat pada gambar 2.7. Cidera

    termal berat menginduksi terjadinya imunosupresi yang merupakan predisposisi pasien

    untuk sepsis dan MODS, serta merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas

    pada pasien luka bakar. Cidera termal meningkatkan aktivitas netrofil dan makrofag

    sehingga meningkatkan produksi mediator pro-inflamasi. Peningkatan aktivitas makrofag

    terjadi pula peningkatan Inducible NOS (iNOS). Epidermis kulit yang rusak,

    memudahkan invasi mikroba. Kulit yang terkoagulasi dan adanya eksudat menciptakan

    lingkungan ideal untuk pertumbuhan mikroba. Adanya kolonisasi dan translokasi

  • 25

    mikroba juga akan menimbulkan reaksi imun. Cidera termal menyebabkan reaksi

    inflamasi sistemik yang memproduksi burn toxin dan radikal oksigen yang akhirnya

    Gambar 2.7 reaksi imun pada luka bakar. (Diambil dari Cakir dan Yegen, 2004, Systemic

    Responses to Burn Injury)

    menyebabkan peroksidasi. Metabolit oksigen reaktif menyebabkan kehancuran dan

    kerusakan membran sel dengan mengoksidasi lipid. Keseimbangan jumlah produk dari

  • 26

    metabolisme oksidatif dan penghambat alami radikal bebas menentukan hasil dari

    kerusakan jaringan lokal dan jauh yang dapat berujung dengan kegagalan organ. Bukti

    terbaru menunjukkan bahwa aktivasi dari kaskade proinflamasi berperan penting dalam

    terjadinya komplikasi utama yang terkait dengan trauma luka bakar yaitu disfungsi imun,

    kerentanan terhadap sepsis, dan kegagalan organ multipel (Cakir dan Yegen, 2004).

    Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan timbulnya SIRS dan MODS yang

    terjadi secara bersamaan dan intinya menjelaskan bermula dari adanya kerusakan epitel:

    1. Pertama, kerusakan endotel segera mengikuti suatu cidera termis. Pelepasan

    histamin menyusul suatu bentuk cidera akan mengaktivasi leukosit PMN, dan terjadi

    adesi leukosit pada endotel. Endotel ini memacu produksi Reactive Oxygen Species

    (ROS) yang merangsang produksi Nitric Oxide pathway melalui siklus urea yang

    memproduksi Nitric Oxide (NO). NO ini merupakan suatu bentuk radikal bebas dan

    kadarnya sangat tinggi pada sepsis; karenanya disebut sebagai modulator sepsis.

    Kaskade asam arakidonat segera terjadi, diikuti aktivasi sistem komplemen dan

    menyebabkan agregasi trombosit dan perubahan hematologi lainnya. Perubahan

    inflamasi endotel menyebabkan perubahan permeabilitas kapiler yang diikuti oleh

    perubahan tekanan onkotik di ruang intravaskuler dan interstisial; menyebabkan

    edema interstisial. Adanya perubahan permeabilitas kapiler ini merupakan pertanda

    timbulnya respon sistemik yang gagal melokalisasi dampak cidera.

    2. Kedua, syok yang terjadi menyebabkan penurunan sirkulasi di daerah splangnikus;

    mengakibatkan perfusi ke saluran cerna dan hepar terganggu. Hipoperfusi

    splangnikus menyebabkan iskemia dan disrupsi mukosa saluran cerna.

  • 27

    3. Ketiga, adanya stress metabolisme. Hiperkatabolisme disertai peningkatan kadar

    hormon glukokortikoid, katekolamin, balans nitrogen negatif dan resistensi insulin.

    4. Keempat, pelepasan lipid protein complex (LPC) dari sel (epitel, endotel) yang

    mengalami kerusakan akibat cidera termis; sebelumnya dikenal sebagai burn toxin

    dari jaringan nekrosis akibat cidera termis. LPC memiliki toksisitas dengan kekuatan

    ribuan kali enterotoksin merangsang pelepasan mediator inflamasi. Pelepasan LPC

    ini tidak ada hubungannya dengan infeksi (Moenadjat, 2006).

    Mediator inflamasi yang dilepas sebagai respon terhadap suatu cidera tidak hanya

    menyerang benda asing dan toksin yang ada; tapi juga menimbulkan kerusakan pada

    jaringan organ sistemik. Kondisi ini dimungkinkan karena luka bakar merupakan suatu

    bentuk trauma yang bersifat immunosupresif. Mediator inflamasi merangsang

    dilepaskannya TNF yang menyebabkan ARDS, kerusakan sel-sel hati dan glomerulus

    ginjal yang bersifat ireversibel. Sebagai reaksi terhadap mediator inflamasi ini, dilepas

    Myocardial Depressant Factor (MDF) yang menyebabkan kerusakan sel-sel otot jantung.

    Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif, bertujuan mencegah perkembangan

    SIRS dan MODS, atau memutus rantai kaskade SIRS yang sudah berjalan. Pemberian

    antioksidan yang bersifat anti terhadap radikal bebas sangat dianjurkan (Moenadjat,

    2006).

    2.2 Delima (Punica granatum)

    Delima dengan nama latin Punica granatum, (klasifikasi ilmiahnya dapat dilihat

    pada tabel 2.1) adalah tanaman buah-buahan yang dapat tumbuh hingga 5-8 m. Tanaman

    ini diperkirakan berasal dari Iran, namun telah lama dikembangbiakkan di daerah

  • 28

    Mediterania, tersebar di daerah subtropik sampai tropik. Bangsa Moor memberi nama

    salah satu kota kuno di Spanyol, Granada berdasarkan nama buah ini. Tanaman ini juga

    banyak ditanam di daerah Cina Selatan dan Asia Tenggara. Bentuk pohon perdu atau

    pohon kecil dengan tinggi 25 m. Batang berkayu, ranting bersegi, percabangan banyak,

    lemah, berduri pada ketiak daunnya, cokelat ketika masih muda, dan hijau kotor setelah

    tua. Daun tunggal, bertangkai pendek, letaknya berkelompok. Helaian daun bentuknya

    lonjong sampai lanset, pangkal lancip, ujung tumpul, tepi rata, pertulangan menyirip,

    permukaan mengkilap, panjang 19 cm, lebar 0,52,5 cm, warnanya hijau. Bunga

    tunggal bertangkai pendek, keluar di ujung ranting atau di ketiak daun yang paling atas.

    Biasanya, terdapat satu sampai lima bunga, warnanya merah, putih atau ungu. Berbunga

    sepanjang tahun. Buahnya bentuknya bulat dengan diameter 512 cm, warna kulitnya

    beragam, seperti hijau keunguan, putih, cokelat kemerahan atau ungu kehitaman (gambar

    2.7). Bijinya banyak, kecil-kecil, bentuknya bulat panjang yang bersegi-segi agak pipih,

    keras, tersusun tidak beraturan, warnanya merah, merah jambu atau putih. Delima sering

    ditanam di kebun-kebun sebagai tanaman hias, tanaman obat atau karena buahnya yang

    dapat dimakan. (Anonim, 2012).

    Tabel 2.1 Klasifikasi ilmiah delima. (Diambil dari Anonim, 2012, Wikipedia bahasa

    Indonesia, ensiklopedia bebas)

    Kerajaan: Plantae

    Divisi: Magnoliophyta

    Kelas: Magnoliopsida

    Subkelas: Rosidae

    Ordo: Myrtales

    Famili: Lythraceae

    Genus: Punica

    Spesies: P. granatum

  • 29

    Gambar 2.8. A. Bunga, daun dan buah delima; B. Kulit delima bubuk; C. Pulir buah

    delima; D. Kulit delima kering. (Diambil dari Ismail et al, 2012, Pomegranate peel and

    fruit extracts: A review of potential anti-inflammatory and anti-infectiveeffects).

    Delima dipercaya sebagai tanaman obat tradisional sejak zaman dahulu di

    beberapa masyarakat dunia. Berbagai bagian dari tanaman ini telah digunakan dalam

    pengobatan tradisional dan juga telah dinyatakan dalam Papyrus Ebers Mesir (1550 SM).

    Seiring dengan waktu sejumlah fakta penting hasil penelitian tentang manfaat delima

    berhasil terungkap dan menjadikan delima populer dalam beberapa dekade terakhir ini

    (Ismail et al, 2012). Dalam 2000 UK Millennial Festival of Medicine, delima terpilih

    menjadi logo perayaan tersebut diantara berbagai pilihan yang berhubungan dengan

    kedokteran (Aslam et al, 2005).

    Delima diyakini mempunyai efek antioksidan, anti-inflamasi, anti-infeksi dan

    antikarsinogenik. Manfaat delima tersebut telah diteliti lebih dalam yang menfokuskan

    pada terapi dan pencegahan kanker, penyakit kardiovaskuler, diabetes, penyakit dental,

    disfungsi ereksi, infeksi bakteri dan resistensi antibiotik, ultraviolet radiation-induced

  • 30

    skin damage dan penyembuhan luka. Delima mempunyai potensi sebagai salah satu

    pilihan pengobatan berbagai penyakit yang murah, mudah dan terjangkau (Ismail et al,

    2012).

    Dalam suatu penelitian disebutkan bahwa ekstrak aqueous kulit delima peroral

    dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka insisi yaitu terdapat peningkatan

    kekuatan sobekan (breaking strength), peningkatan kandungan hidroksilprolin,

    percepatan epitelisasi, peningkatan persentase kontraksi luka dibandingkan grup kontrol

    dan secara efektif menghambat efek supresi deksametason dalam penyembuhan luka

    pada tikus wistar (Shalini et al, 2010). Pada penelitian lain juga disebutkan bahwa ekstrak

    kulit delima topikal efektif dalam menyembuhkan luka bakar dan efeknya sebanding

    dengan perak sulfadiazin yang merupakan obat topikal standar luka bakar (Shalini et al,

    2012). Dari pembahasan kedua penelitian tersebut dijelaskan bahwa hasil penelitian yang

    diperoleh adalah karena delima diyakini mempunyai efek anti-inflamasi, antioksidan,

    antibakteri, penstimulasi proliferasi fibroblas dan penstimulasi sintesis kolagen (Shalini et

    al, 2010; Shalini et al, 2012).

    Kelas utama dari fitokimia delima adalah polifenol (cincin fenolik yang

    mengandung beberapa gugus hidroksil) yang mendominasi dalam buah delima. Polifenol

    delima meliputi flavonoid (flavonol, flavanol, dan anthocyanin), condensed tanin

    (proanthocyanidins) dan hydrolyzable tanin (ellagitannins dan gallotannins). Fitokimia

    lainnya adalah organik dan asam fenolik, sterol dan triterpenoid, asam lemak, trigliserida,

    dan alkaloid (Seeram et al, 2006).

  • 31

    2.2.1 Efek antioksidan, anti-inflamasi, anti-mikroba, penstimulasi proliferasi

    fibroblas dan penstimulasi sintesis kolagen pada delima

    Delima mempunyai kemampuan antioksidan yang kuat. Aktivitas antioksidan jus

    delima 3 kali lebih tinggi dari teh hijau. Dalam suatu penelitian didapatkan bahwa jus

    delima mempunyai kandungan polifenol tertinggi (5 mmol/L) dibandingkan jus buah

    lainnya yaitu jeruk, anggur, cranberry, pir, nanas, apel dan peach yang mengandung 1,3

    4 mmol/L. Selain itu pola yang sama juga terlihat pada inhibisi ion copper yang

    terinduksi oksidasi LDL, delima mempunyai nilai IC50 terendah dibandingkan jus buah

    lain, seperti yang terlihat pada tabel 2.2 yang membandingkan konsentrasi polifenol dan

    aktivitas antioksidan jus delima dengan jus buah lain (Rosenbalt dan Aviram, 2006).

    Senyawa fenol diyakini menyumbang elektron pada radikal bebas sehingga membentuk

    senyawa yang lebih stabil (Ismail et al, 2012; Rosenbalt dan Aviram, 2006). Hal ini

    menunjukkan bahwa delima mempunyai aktivitas antioksidan paling poten yang dapat

    berhubungan dengan tingginya kandungan polifenol.

    Tabel 2.2 Perbandingan konsentrasi polifenol dan aktivitas antioksidan jus delima

    dibandingkan jus buah lain (Diambil dari Rosenbalt dan Aviram, 2006, Antioxidative

    Properties of Pomegranate: In Vitro Studies dalam Pomegranates Ancient Roots to

    Modern Medicine).

  • 32

    Penelitian pada pulir buah, kulit (bermembran) dan biji delima didapatkan

    kandungan polifenol tertinggi pada membran kulit dan mempunyai aktivitas antioksidan

    yang tertinggi pula. Selain itu dari hasil penelitian aktivitas antioksidan kulit delima, jus

    delima dan jenis makanan lain didapatkan aktivitas antioksidan dari yang tertinggi hingga

    terendah: kulit delima, kunyit, ragi, jus delima, bayam, wijen, gandum dan biji rami.

    Dalam pemeriksaan menggunakan Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) assay

    didapatkan bahwa ekstrak kulit delima merupakan sumber antioksidan tertinggi diantara

    ekstrak kulit buah lain yang sering dikonsumsi dan juga menunjukkan mempunyai

    aktivitas antioksidan 2,8 kali dibanding ekstrak biji dan daun. Dari beberapa penelitian

    diatas didapatkan bahwa kulit delima mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat

    dibandingkan buah dan bahan makanan yang lain serta diantara bagian lain dari delima

    (Rosenbalt dan Aviram, 2006).

    Kulit delima mempunyai karakteristik bagian dalamnya terdiri dari jalinan

    membran yang tersusun sebagian besar 26-30% dari total berat buah dan mempunyai

    kandungan penting polifenol, termasuk flavonoid (anthocyanins, catechin dan flavonoid

    kompleks lainnya) dan hydrolyzable tanin (punicalin, pedunculagin, asam gallik dan

    asam ellagik). Campuran ini tersarikan dalam jus dan kulit delima, dimana terdapat 92%

    aktivitas antioksidan dari keseluruhan buah (Ismail et al, 2012).

    Pengaruh ekstrak metanol kulit delima pada tikus untuk efek racun karbon

    tetraklorida (CCl4) telah diteliti dengan pemeriksaan histopatologi dan biokimia. Analisis

    ekstrak metanol menunjukkan 42% fenol total setara dengan catechin, yang asam galat

    dan asam ellagik sebagai konstituen utamanya. Tingkat berbagai ROS diperiksa dalam

    memberantas enzim seperti katalase, superoksida dismutase (SOD) dan peroksidase,

  • 33

    serta jumlah peroksida lipid dalam homogenat hepar. Hasilnya dibandingkan dengan efek

    CCl4 pada tikus yang diberi ekstrak kulit delima.CCl4 dan metabolitnya telah diketahui

    secara ekstensif toksik terhadap hepar. CCl4 menyebabkan reduksi enzim-enzim tersebut

    di atas 50 sampai 90%, dan peroksida lipid meningkat sekitar tiga kali lipat. Tikus yang

    sebelumnya diberi ekstrak melindungi enzim pada tingkat kontrol dan mengurangi nilai

    peroksida lipid setengah dari tingkat kontrol. Efek perlindungan ini dikaitkan dengan

    kandungan tinggi ekstrak terhadap asam gallik dan ellagik serta mungkin polimernya,

    semua poten menjadi penangkal radikal bebas (Seeram et al, 2006).

    Aktivitas antioksidan kulit delima berhubungan dengan adanya senyawa polifenol

    dalam bentuk anthocyanin, gallotannins, ellagitannins, ester gallagyl, asam

    hidroksibenzoat, asam hydroxycinnamic dan dihydroflavonol, namun, derivat

    ellagitannins seperti asam ellagik, asam galat, dan punicalagin yang merupakan fenolik

    dominan (Ismail et al, 2012).

    Ekstrak metanol kulit delima memiliki kemampuan untuk menghambat

    peradangan dan alergi. Komponen anti-inflamasi kulit delima yaitu, punicalagin,

    punicalin, strictinin A dan granatin B signifikan mengurangi produksi oksida nitrat dan

    PGE2 dengan menghambat ekspresi protein pro-inflamasi. Sel inflamasi seperti neutrofil,

    makrofag dan monosit dapat menimbulkan kerusakan pada jaringan di dekatnya seperti

    pada sejumlah besar penyakit seperti emfisema, sindrom gangguan pernapasan akut,

    atherosklerosis, cedera reperfusi, keganasan dan arthritis (Ismail et al, 2012).

    Dari penelitian lain, pada isolasi neutrofil manusia menunjukkan bahwa ekstrak

    aqueous kulit delima secara langsung menghambat aktivitas myeloperoxidase neutrofil

    dan produksi enzim asam hypochloric dari hidrogen peroksida pada konsentrasi 50ng/ml.

  • 34

    Dari suatu penelitian melaporkan mengenai efek anti-inflamasi dari ekstrak kulit delima

    setelah pemberian intraperitoneal (25, 50 dan 100mg/kg) dan intracerebroventricular (10,

    25 dan 50 mg / 3 ml / tikus) didapatkan penurunan indeks nyeri 52-82% dan penurunan

    inflamasi. Demikian pula pada penelitian lain yang menunjukkan efek menghambat yang

    kuat melawan efek stimulator inflamasi pada tikus yang diinduksi edem setelah

    pemberian peroral granatin B (2.5 dan 10mg/kg) selama 6 hari dibandingkan

    indometasin. Dari penelitian invitro dan invivo menunjukkan bahwa ekstrak kulit delima

    dan hydrolyzed tanin, dalam bentuk komponen aktif standar, merupakan ukuran

    pengobatan yang sangat efektif terhadap penyakit inflamasi (Ismail et al, 2012).

    Polifenol, flavonoid, condensated tanin dan hydrolized tanin

    yang diekstrak dari buah-buahan, sayuran, bumbu dan rempah-rempah telah

    dieksplorasi sebagai agen potensial untuk mengobati atau mencegah berbagai

    infeksi. Mekanisme antimikroba senyawa fenolik yaitu reaksi antara fenol dengan protein

    membran sel mikroba dan/atau kelompok protein sulfhidril yang menghasilkan kematian

    bakteri akibat pengendapan protein membran protein dan penghambatan enzim seperti

    transferases glycosyl. Di subkontinen India ekstrak kulit delima digunakan secara

    konvensional untuk pengobatan penyakit yang ditularkan melalui makanan dan infeksi

    saluran kemih., sedangkan ellagitannins, punicalagin, asam ellagik dan asam gallik pada

    kulit delima sebagai agen antimikroba alami, telah banyak dimanfaatkan untuk

    pengobatan infeksi Staphylococcus aureus dan Escherichia coli hemorrhagic karena

    kemampuannya untuk mengendapkan protein membran dan menghambat enzim seperti

    glycosyltransferase, yang menyebabkan lisis sel. In vivo dan in situ aplikasi ekstrak

    metanol 80% dari kulit delima diketahui mempunyai efek inhibisi terhadap Listeria

  • 35

    monocytogenes, Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Yersinia enterocolitica

    (Ismail et al, 2012).

    Dalam penelitian in vivo, ekstrak aqueous kulit delima berperan dalam proliferasi

    fibroblas dan proses sintesis kolagen dengan menstimulasi sintesis pro-kolagen tipe I dan

    menghambat matrix metalloproteinase-1 (MMP-1), enzim pendegradasi kolagen. Dengan

    demikian pemberian ekstrak aqueous kulit delima dapat menstimulasi proses

    penyembuhan luka (Aslam et al, 2005).

    Dalam suatu penelitian, dosis maksimal pemberian ekstrak delima peroral pada

    level 600 mg/kg/hari tidak memberikan efek samping pada tikus. Sedangkan pada dosis

    1000 mg/kg mulai didapatkan tanda-tanda apatis dan gangguan mental pada 24 jam

    pertama namun tidak menyebabkan kematian (Patel et al, 2008; Shalini et al 2010).

    2.2.2 Asam ellagik dan punicalagin

    Asam ellagik dan Punicalagin merupakan derivat ellagitannins dari fenolik

    delima. Keduanya diyakini memiliki efek antioksidan kuat. Beberapa penelitian telah

    menegaskan efek sitoprotektif asam ellagik dari kulit delima pada sel hidup yang

    mengalami cidera oksidatif, kerusakan DNA oksidatif dan deplesi kutub non-protein

    sulfhidril. Semakin tinggi konsentrasi asam ellagik semakin tinggi pula aktivitas

    antioksidan kulit delima. Kandungan asam ellagik dari kulit dan jus buah delima yang

    telah dilaporkan 10-50 mg/100 g dan 1-2,38 mg/100 ml (Ismail et al, 2012).

    Delima memiliki konsentrasi tertinggi punicalagin di antara buah lain yang sering

    dikonsumsi. Penelitian telah menunjukkan bahwa punicalagin memiliki efek antioksidan,

    antijamur, dan antibakteri (Ismail et al, 2012). Dalam suatu penelitian didapat punicalagin

  • 36

    menghambat tembaga ion-terinduksi LDL oksidasi dan efek ini dapat dikaitkan dengan

    kemampuan untuk mengikat radikal bebas. Punicalagin mengurangi stres oksidatif oleh

    makrofag sampai dengan 90%, dan kemampuan sel untuk mengoksidasi LDL hingga

    40% (Rosenbalt dan Aviram, 2006). Punicalagin mempunyai aktivitas antimikroba

    melawan Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa serta dapat menghambat

    pertumbuhan kloning 6 galur Brazilian methicillin-resistant S. aureus (Jayaprakasha et

    al, 2006). Kandungan Punicalagin dari ellagitannin sebesar 1120 g/kg bubuk kulit

    delima (Ismail et al, 2012).

    Bioavaibilitas asam ellagik diteliti dalam suatu penelitian pada tikus (mouse)

    dengan dosis 0,3 g/g BB perperoral (setara 21 mg pada manusia 70 kg). Sulfat ester,

    glukoronid, dan glutation merupakan konjugasi asam ellagik yang terdapat pada urin,

    empedu dan darah. Absorpsi 3H-asam ellagik terbanyak dalam 2 jam setelah pemberian.

    Levelnya pada darah, empedu, dan jaringan rendah, dan hampir semua dosis yang

    diberikan diekskresikan dalam urin. Lebih dari setengah pemberian 3H-asam ellagik

    tertinggal di saluran pencernaan setelah 24 jam. Sekitar 19% diekskresikan bersama feses

    dan 22% pada urin dalam 24 jam. Sedangkan pada tikus (rat) didapatkan penyerapan dan

    metabolisme yang cepat. Terdapat 2 metabolit yang didapat pada feses dan urin,

    urolithin-A dan lainnya tidak teridentifikasi. Level asam ellagik sedikit sampai hampir

    tidak ditemukan dalam darah, paru-paru, dan hepar yang menunjukkan absorpsi yang

    rendah dan eliminasi cepat pada hewan coba ini. Hal ini mungkin disebabkan beberapa

    faktor termasuk ionisasi asam ellagik pada pH fisiologis, pembentukan kompleks dengan

    ion magnesium dan calcium yang sulit larut serta karena binding yang kuat pada

    epithelium usus.B iovaibilitas ellagitanin (punicalagin) diteliti dengan pemberian kulit ari

  • 37

    (kandungan ellagitaninnya sama dengan jus delima pada tikus (rat)) 6% dari

    makanannya. Sekitar 3-6% punicalagin yang telah tercerna terdapat sebagai metabolit

    pada feses dan urin. Di dalam plasma punicalagin terdapat sekitar 30 g/ml. Hanya

    sedikit metabolit yang terdapat pada hepar atau ginjal dan tidak ada pada paru-paru, otak

    atau jantung baik pada asam ellagik maupun punicalagin pada hewan coba (Barberan et

    al, 2006).

    Penelitian bioavaibilitas yang dilakukan pada manusia didapatkan bahwa

    pemberian 180 ml jus delima (mengandung 25 mg asam ellagik bebas dan 318 mg

    ellagitanin (termasuk punicalagin)), terdapat pada plasma 1 jam setelah pemberian namun

    terjadi eliminasi yang cepat selama 4 jam, besarnya bervariasi antara 0,5 dan 18,6 M.

    Pada urin metabolitnya setelah 1 hari pemberian antara 0,7 sampai 52,7% (Barberan et al,

    2006).

  • 38

    BAB 3

    KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

    3.1 Kerangka Konseptual

    Keterangan :

    = variabel yang diteliti

    = menstimulasi

    = menghambat

    Stres Oksidatif

    (ROS/RNS)

    Luka Bakar

    Inflamasi

    Kerusakan endotel Burn toxic /

    LPC

    Kerusaakan

    barier kulit

    Invasi

    mikroba

    Makrofag Eliminasi

    bakteri

    Growth factor

    Fibroblas

    Kolagen

    Penyembuhan

    luka bakar

    Ekstrak aqueous

    kulit delima

    peroral

    p

    o

    li

    f

    en

    o

    l

    menghambat ekspresi protein pro-inflamasi

    pengendapan protein membran &

    penghambatan

    enzim

    proliferasi & mencegah kematian sel

    stimulasi pro kolagen tipe-I & menghambat

    produksi MMP-1

    menyumbang elektron & menghambat enzim oksida

  • 39

    Gambar 3.1 Diagram kerangka konseptual pengaruh ekstrak aqueous kulit delima peroral

    terhadap penyembuhan luka bakar.

    3.2 Penjelasan Kerangka Konseptual

    Luka bakar menyebabkan kerusakan sel (endotel dan epitel kulit) membentuk

    Lipid Protein Complex (LPC) yang sebelumnya dikenal sebagai burn toxin dari jaringan

    nekrosis akibat cidera termis. LPC memiliki toksisitas dengan kekuatan ribuan kali

    enterotoksin merangsang pelepasan mediator inflamasi (Moenadjat, 2006).

    Kerusakan endotel memacu produksi ROS yang merangsang produksi Reactive

    Nitrogen Species melalui siklus urea yang memproduksi NO. NO ini merupakan suatu

    bentuk radikal bebas dan kadarnya sangat tinggi pada sepsis, karenanya disebut sebagai

    modulator sepsis. Kaskade asam arakidonat segera terjadi, diikuti aktivasi sistem

    komplemen dan menyebabkan agregasi trombosit dan perubahan hematologi lain pemicu

    proses inflamasi (Moenadjat, 2006).

    Luka bakar merusak fungsi barier kulit terhadap invasi mikroba serta adanya

    jaringan nekrotik dan eksudat menjadi media pendukung pertumbuhan mikroorganisme,

    sehingga beresiko untuk terjadi infeksi. Pada fase proses penyembuhan luka terjadi

    aktivasi berbagai sel inflamasi yang salah satunya adalah makrofag. Selain melalui proses

    fagositosis, makrofag juga berperan dalam eliminasi bakteri dengan cara memproduksi

    ROS yang penting dalam mencegah infeksi bakterial melalui sifat radikal bebasnya,

    namun tingginya kadar ROS secara berkepanjangan akan mengaktivasi dan

    mempertahankan kaskade asam arakidonat yang akan memicu ulang timbulnya berbagai

    mediator inflamasi lagi seperti prostaglandin dan leukotrien, sehingga proses inflamasi

    akan menjadi berkepanjangan (Lima et al, 2009).

  • 40

    Berbagai macam growth factor diproduksi oleh makrofag dan salah satunya

    berfungsi untuk memicu pembentukan fibroblas. Fibroblas memegang peranan yang

    sangat penting pada fase proliferasi. Fibroblas akan memproduksi matriks ekstraselular

    yang kemudian akan digantikan oleh kolagen (Gurtner, 2007).

    Ekstrak aqueous kulit delima peroral berperan dalam mencegah proses inflamasi

    yang berkepanjangan, yakni melalui aktivitasnya sebagai anti oksidan, antimikroba, dan

    anti-inflamasi secara langsung. Senyawa fenol pada kulit delima diyakini menyumbang

    elektron pada radikal bebas sehingga membentuk senyawa yang lebih stabil dan secara

    langsung menghambat aktivitas myeloperoksidase neutrofil serta produksi enzim asam

    hypoklorik dari hidrogen peroksida. Komponen anti-inflamasinya menghambat ekspresi

    protein pro-inflamasi sehingga mengurangi produksi oksida nitrat dan PGE2. Mekanisme

    antimikrobanya yaitu terjadi reaksi antara fenol dengan protein membran sel mikroba

    dan/atau kelompok protein sulfhidril yang menghasilkan kematian bakteri akibat

    pengendapan protein membran dan pengham