16
Page | 1 DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU: Status Lembaga Gerakan Koperasi dalam Negara yang Berubah Oleh: Firdaus Putra, HC. 1 | Direktur Kopkun Institute 2 Yang tak mau berubah, akan dipaksa berubah 3 Anonim Politik lebih terlihat sebagai pengeboran kayu keras yang sulit dan lama daripada sebuah heroisme perjuangan 4 R. William Liddle PENGANTAR MASALAH Sejarah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sangat panjang yang dimulai sejak 1947 dengan nama Sentral Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI). Lantas berubah menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI), Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) dan terakhir Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Wadah gerakan koperasi ini tersebar di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi (Dekopin Wilayah) sampai tingkat kabupaten (Dekopin Daerah). Keanggotaannya meliputi Dekopin Wilayah, Dekopin Daerah, Induk Koperasi dan organisasi penunjang gerakan koperasi lainnya. 1 HC kependekan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi sebuah atribusi non akademik. Korespondensi: [email protected] | www.firdausputra.com 2 Adalah institut sosio-ekonomi dan koperasi yang concern pada tiga bidang: riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta pemberdayaan sosial (http://kopkuninstitute.org ). Merupakan lembaga semi-otonom Koperasi Konsumen Kopkun (http://kopkun.com ). 3 Untuk para Pimpinan Dekopin. 4 Untuk mentor dan kolega saya, Suroto, dalam Demokrasi dan Kekecewaan, Yayasan Abad Demokrasi, 2011

Dekopin Sebagai Lembaga Negara Bantu

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Dewan Koperasi Indonesia, Lembaga Negara Bantu, Lembaga Non Struktural, Gerakan Koperasi, SOKRI, KOKSI, DKI, Dekopin

Citation preview

Page | 1

DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NEGARA BANTU: Status Lembaga Gerakan Koperasi dalam Negara yang Berubah

Oleh: Firdaus Putra, HC.1 | Direktur Kopkun Institute2

Yang tak mau berubah, akan dipaksa berubah3

Anonim

Politik lebih terlihat sebagai pengeboran kayu keras yang sulit dan lama daripada sebuah heroisme perjuangan4

R. William Liddle

PENGANTAR MASALAH Sejarah Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) sangat panjang yang dimulai sejak 1947 dengan nama Sentral Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI). Lantas berubah menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI), Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) dan terakhir Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin). Wadah gerakan koperasi ini tersebar di seluruh Indonesia dari tingkat provinsi (Dekopin Wilayah) sampai tingkat kabupaten (Dekopin Daerah). Keanggotaannya meliputi Dekopin Wilayah, Dekopin Daerah, Induk Koperasi dan organisasi penunjang gerakan koperasi lainnya.

1 HC kependekan dari Homo Cooperativus atawa Insan Koperasi sebuah atribusi non akademik. Korespondensi: [email protected] | www.firdausputra.com 2 Adalah institut sosio-ekonomi dan koperasi yang concern pada tiga bidang: riset dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan serta pemberdayaan sosial (http://kopkuninstitute.org). Merupakan lembaga semi-otonom Koperasi Konsumen Kopkun (http://kopkun.com). 3 Untuk para Pimpinan Dekopin. 4 Untuk mentor dan kolega saya, Suroto, dalam Demokrasi dan Kekecewaan, Yayasan Abad Demokrasi, 2011

Page | 2

Sebagai organisasi wadah gerakan koperasi (apex organization) fungsi Dekopin adalah: 1). Wadah perjuangan cita-cita, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi; 2). Wakil gerakan koperasi Indonesia baik di dalam maupun luar negeri; dan 3). Mitra pemerintah dalam pembangunan koperasi untuk mewujudkan tata ekonomi yang berkeadilan5. Tiga fungsi tersebut kemudian diterjemahkan menjadi berbagai kebijakan, strategi dan kegiatan untuk mencapai tujuan yaitu: Membina dan mengembangkan kemampuan koperasi dalam kedudukannya sebagai sistem dan pelaku ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan tata kelola ekonomi nasional yang berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dengan tetap menegakkan jati diri koperasi6. Untuk mencapai tujuannya, Dekopin membutuhkan berbagai sumber daya termasuk pendanaan. Dalam Anggaran Dasar pasal 31 menyebutkan bahwa keuangan Dekopin diperoleh dari iuran anggota, dana pendidikan dari anggota, penerimaan lain yang sah dan tidak mengikat serta dapat menerima bantuan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam konteks dapat menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, beberapa kalangan menilai hal tersebut salah dan tidak sepantasnya dilakukan oleh wadah gerakan koperasi yang bersendi pada kemandirian. Dan sebagian kalangan lain melihat hal itu sebagai akar “kemandulan” organisasi tersebut7. Masalah lainnya adalah adanya sifat Dekopin sebagai wadah tunggal ditengarai oleh aktivis koperasi tanah air sebagai bentuk pengkerdilan gerakan serta merugikan hak warga yang bebas untuk berkumpul dan berserikat8. Hal ini erat kaitannya dengan hak kebebasan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 28. TUJUAN DAN HIPOTESIS Paper ini tidak dimaksudkan sebagai tulisan ilmiah dengan batasan yang ketat. Tujuan paper ini menjawab dua masalah utama:

Apakah Dekopin sah/ tidak menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk menjalankan kegiatannya? Dan mengapa Dekopin sah/ tidak menerima bantuan keuangan tersebut?

Apakah Dekopin sah/ tidak menjadi wadah gerakan koperasi di Indonesia? Dan mengapa Dekopin sah/ tidak menjadi wadah gerakan koperasi di Indonesia?

Tentu saja paper ini bermaksud menguji kelembagaan Dekopin dalam dua konteks masalah utama tersebut. Hipotesis saya adalah: 1). Dekopin sah menerima bantuan keuangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah karena Dekopin merupakan lembaga negara bantu. 2). Dekopin sah menjadi satu-satunya wadah gerakan koperasi karena merupakan lembaga negara bantu. Jadi, tesis utama saya adalah Dekopin sebagai lembaga negara bantu.

5 Anggaran Dasar Dekopin pasal 3 sebagaimana terlampir dalam Keppres No. 6 Tahun 2011 6 Anggaran Dasar Dekopin pasal 2. 7 Lihat Djabarudin Djohan, Wajah Koperasi Indonesia, 2011 dan http://kopkuninstitute.org/2016/04/27/dekopin-macan-ompong/ 8 Lihat Suroto dalam http://regional.kompas.com/read/2011/04/25/03152353/RUU.Perkoperasian.Kapitalis

Page | 3

Saya harus mengatakan bahwa bias pandangan mungkin terjadi dimana saya merupakan bagian dari gerakan sebagai praktisi dan aktivis koperasi. Sehingga untuk memperkecil hal tersebut saya akan memberikan rujukan-rujukan semaksimal mungkin. RELASI KOPERASI DAN NEGARA

Koperasi dalam Konstitusi Dalam penjelasan batang tubuh UUD 1945 sebelum amandemen menyebut kata “koperasi” secara tekstual. Hal itu sebagaimana kutipan ini, “Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang – seorang. sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”9. Secara berulang-ulang bahkan M. Hatta dalam berbagai pidatonya di berbagai kesempatan saat menjabat sebagai Wakil Presiden dan selepas menjabat, menyebutkan kalimat yang sama, “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi”10. Hal tersebut mengisyaratkan bahwa sedari awal republik Indonesia berdiri menaruh perhatian khusus dan besar kepada entitas koperasi. Sehingga cukup alasan bila Prof. Sri Edi Swasono menyebut koperasi sebagai Ekonomi Konstitusional. Lantas dalam semangat Reformasi, UUD 1945 dilakukan amandemen sampai empat kali. Pasal 33 sebagai pijakan konstitusi ekonomi juga mengalami amandemen dengan merubah, menambah dan mengurangi ayatnya. Tidak lagi berbunyi bab tentang Kesejahateraan Sosial, melainkan Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial. Hasilnya adalah kata “koperasi” tidak lagi tercantum sebagaimana sebelumnya. Prof. Jimly Asshidiqie mengulas panjang-lebar dinamika amandemen Pasal 33 yang menjadi pijakan konstitusi ekonomi Indonesia. Dalam ulasannya beliau mengatakan bahwa amandemen tersebut menjadikan koperasi dengan semangat kekeluargannya sebagai visi umum perekonomian dan bukan semata pelaku usaha11. Sehingga katanya corak perekonomian nasional Indonesia tetaplah sosialistik. Dalam ulasannya panjangnya Prof. Jimly mengisahkan bahwa amandemen UUD 1945 merupakan pertarungan intelektual antara ideologi neoliberalisme yang pro pasar dengan demokrasi ekonomi. Yang menarik adalah bahwa pandangan Founding Father itu telah menjadi legacy yang hidup dalam kesadaran masyarakat Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan kekecewaan dan penuh tanya ketika “koperasi” tak lagi tercantum dalam UUD 1945. Hal inilah yang ingin saya tunjukkan bahwa legacy tersebut menjadi salah satu politik hukum tata perundang-undangan di Indonesia, khususnya adalah perundang-undangan perkoperasian. Mahfud MD menjelaskan bahwa politik hukum merupakan “Kebijakan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula tentang pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan

9 UUD 1945 sebelum amandemen 10 Dalam Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun, Penerbit Kompas, 2015 11 Dalam Jilmy Asshidiqie, Konstitusi Ekonomi, 2010.

Page | 4

cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada dibelakang pembuatan dan penegakan hukum itu”12. Berbagai konfigurasi aktor serta kekuatan berbagai elemen bangsa itu yang mempengaruhi politik hukum pada setiap perundang-undangan yang dihasilkan. Yang mana aktor-aktor memiliki preferensi pandangan ideologi dalam konteks ini pro terhadap koperasi.

Organisasi Gerakan Koperasi dalam Undang-undang Politik hukum sebagaimana di atas kemudian muncul dan terekspresikan ke dalam beberapa undang-undang perkoperasian dari zaman ke zaman. Yang dalam konteks itu, undang-undang dalam hal ini adalah negara, memberikan peran yang besar bagi organisasi gerakan koperasi. Peranan tersebut secara umum menempatkan organisasi gerakan koperasi yang disebut Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) untuk membina dan mengembangkan koperasi di Indonesia dengan posisi sebagai wadah tunggal. Posisi gerakan koperasi dan/ atau Dekopin dari beberapa UU Perkoperasian di Indonesia sebagaimana di bawah:

Masa Legitimasi Posisi Ayat Penetapan Orde Lama

No. 79 Tahun 1958

Tidak diatur Penjelasan Pasal 6 Bimbingan dan pimpinan gerakan Koperasi ada ditangan Pemerintah sehingga terjamin terselenggaranya usaha rakyat Indonesia menguasai perekonomian rakyat melalui Koperasi.

PP No. 60 Tahun 1959

Tidak diatur Penjelasan Pasal 22 Untuk mencegah penggunaan koperasi sebagai alat dari pada suatu golongan masyarakat maka perlu Pemerintah senantiasa mengawasi semua perkumpulan yang bekerja dalam lapangan cita-cita kekoperasian dalam rangka pelaksanaan ekonomi terpimpin. Pemerintah berpendirian bahwa de-officialisasi dari pada Gerakan Koperasi bertentangan dengan azas-azas demokrasi dan ekonomi terpimpin

UU No. 14 Tahun 1965

Tunggal dan piramidal

Pembentukan badan termaksud dalam ayat (1) pasal ini serta penentuan garis-garis besar s organisasi serta perincian tugasnya diatur dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia.

Orde Baru

UU No. 12 Tahun 1967

Tunggal Untuk memperjuangkan tercapainya cita-cita, tujuan dan kepentingan bersama Koperasi Indonesia, didirikan satu Badan oleh gerakan Koperasi, yang bentuk organisasinya tunggal. Menteri memberikan pengesahan sebagai Badan Hukum bagi Badan yang dimaksud dalam ayat (2) diatas.

UU No. 25 Tunggal Koperasi secara bersama-sama mendirikan satu organisasi

12 Dalam Moh. Mahfud MD, Membangun Poltik Hukum Menegakkan Konstitusi, 2006.

Page | 5

Tahun 1992 tunggal yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi Koperasi. Organisasi yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1)disahkan oleh Pemerintah. Organisasi tersebut bukan merupakan badan usaha dan karenanya tidak melakukan kegiatan usaha ekonomi secara langsung. Pada saat diundangkannya Undang-undang ini, organisasi ini yang bernama Dewan Koperasi Indonesia (DEKOPIN) selanjutnya harus menyesuaikan dengan ketentuan Undang-undang ini. Tujuan dan kegiatan organisasi tersebut harus sesuai dan selaras dengan jiwa dan semangat yang terkandung dalam Undang-undang ini.

Reformasi

UU No. 17 Tahun 2012 (sudah dibatalkan oleh MK)

Tidak tunggal Gerakan Koperasi mendirikan suatu dewan Koperasi Indonesia yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi Koperasi, dalam rangka pemberdayaan Koperasi. Anggaran Dasar dewan Koperasi Indonesia disahkan oleh Pemerintah. Yang dimaksud dengan "dewan Koperasi Indonesia” yang selanjutnya disingkat Dekopin merupakan kelanjutan dari Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia disingkat SOKRI, yang didirikan pada tanggal 12 Juli 1947 oleh Kongres Koperasi Seluruh Indonesia yang Pertama, yang diselenggarakan di Tasikmalaya.

Dari kacamata politik hukum, saya ingin menegaskan bahwa posisi dan peranan Dekopin yang begitu besar dan sampai ditetapkan langsung oleh UU bukanlah hal yang ahistoris dan mengada-ada. Sebaliknya, konfigurasi aktor dalam perumusan UU tersebut menilai bahwa koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia dan organisasi gerakannya harus diatur dalam sebuah UU. Meski demikian hal tersebut erat kaitannya dengan kepentingan politik rezim berkuasa untuk menjinakkan gerakan-gerakan sosial menjadi kooperatif terhadap pemerintah. Pertama, rezim Orde Lama dibawah kepemimpinan Soekarno melakukan kooptasi gerakan koperasi sebagai alat revolusi menuju sosialisme Indonesia. Pada UU No. 14 Tahun 1965 Pasal 6 menegaskan peranan gerakan koperasi sebagai berikut:

Page | 6

1. Mempersatukan dan memobilisir seluruh rakyat pekerja dan produsen kecuali yang merupakan tenaga-tenaga produktif untuk meningkatkan produksi, mengadilkan dan meratakan distribusi;

2. Ikut serta menghapuskan sisa-sisa imperialisme, kolonialisme dan feodalisme; 3. Membantu memperkuat sektor ekonomi Negara yang memegang posisi memimpinnya; 4. Menciptakan syarat-syarat bagi pembangunan masyarakat Sosialis Indonesia.

Selang dua tahun UU Perkoperasian diganti dengan UU No. 12 Tahun 1967. Secara tegas UU ini menilai bahwa UU No. 14 Tahun 1965 telah merusak gerakan koperasi karena, “Menempatkan fungsi dan peranan koperasi sebagai abdi langsung daripada politik, sehingga mengabaikan Koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat; Menyelewengkan landasan-landasan azas-azas dan sendi- sendi dasar koperasi dari kemurniannya”.13 Tak berbeda jauh dengan Orde Lama, Soeharto melakukan kooptasi gerakan koperasi sebagai instrumen pembangunan yang masih terus berlanjut pada UU No. 25 Tahun 1992. Pendekatan politik Soeharto yang kooptatif tak hanya dilakukan kepada gerakan koperasi semata, melainkan pada kelembagaan masyarakat lainnya. Sebutlah organisasi ICMI, monoloyalitas PNS, azas tunggal Pancasila, proyek Jawanisasi di berbagai nama jalan dan tempat, organisasi kepemudaan, asosiasi profesional seperti KADIN, HIPMI dan lain sebagainya14. Terminologi Quasi NGO15 dalam konteks ini saya batasi penggunaannya hanya untuk menggambarkan transformasi gerakan sosial (NGO) yang telah dikooptasi oleh pemerintah sehingga tak lagi memiliki derajat independensi yang mencukupi sebagai NGO dalam makna sebenarnya. Meski tidak persis sama dalam konteks satu-dua dekade belakangan kita mendengar apa yang namanya LSM Plat Merah yang dibuat oleh politisi, masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh kucuran dana/ akses program pemerintah16. Gerakan Koperasi dari Masa ke Masa

Fase 1947-1958 Fase 1959-1965 Fase 1967-1998 Fase 1999-2010 Gerakan koperasi saat itu bernama SOKRI. Dimana

Kooptasi dilakukan oleh rezim Orde Lama dengan membubarkan

KOKSI bentukan Orde Lama dibubarkan. Kembali ke Dewan

Dalam era Reformasi ini Dekopin mulai menerima dana

13 Bagian pertimbangan UU No. 12 Tahun 1967. 14 Lihat M. AS Hikam, Demokrasi dan Civil Society, 1996. 15 Dalam kajian Administrasi Publik, Quasi NGO kajian tersebut adalah lembaga privat bentukan pemerintah yang didanai pemerintah untuk tujuan-tujuan pemerintahan. Stafnya bersifat pegawai swasta, bukan PNS. Kantornya di luar gedung pemerintahan. Lihat The Quasi Non Governmental Organization, Andrew Carnigie, 1967. 16 Lihat Tuty Alawiyah, Sektor LSM di Indonesia, 2012.

Orde Lama

Orde Baru

Kooptasi

Instrumentasi

NGO Quasi NGO

Page | 7

hubungan gerakan dengan pemerintah harmonis dan “menyatu”17.

Dewan Koperasi Indonesia (DKI) diganti menjadi KOKSI dipimpin langsung oleh Menteri.

Koperasi Indonesia (Dekopin). Lantas dikooptasi oleh rezim Orde Baru sebagai alat pembangunan (KUD-sasi)

APBN. Kemudian terjadi konflik internal antara Adi Sasono dan Nurdin Halid18.

Negara yang sedang mencari bentuk pasca kemerdekaan dikenal sebagai Era Demokrasi Liberal.

Negara yang otoriter dikenal sebagai Demokrasi Terpimpin.

Negara yang otoriter dikenal sebagai Era Demokasi Pancasila.

Negara yang demokratis dan desentralistik. Dikenal sebagai Era Konsolidasi Demokrasi.

Pada tabel di atas kita lihat bahwa gerakan koperasi selalu mudah dikooptasi/ dihegemoni oleh negara. Saya berpendapat bawah hal itu disebabkan oleh dua hal: 1. Visi konstitusi Indonesia yang cenderung sosialistik meletakkan koperasi atau modus kooperatif

sebagai ideal type bangunan ekonomi bangsa. Visi tersebut merupakan legacy langsung dari para Founding Father Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 dan beberapa UU lain seperti UUPA 1960 dan sebagainya. Visi semacam itu yang disebut Eugen Ehrlich sebagai living law atau hukum yang hidup di masyarakat19. Hal itulah yang membentuk politik hukum perundangan-undangan di Indonesia dimana koperasi menjadi model favorit yang selalu diperjuangkan. Terkonfirmasi misalnya dari survai Kompas yang menyebut:

2. Mudahnya gerakan koperasi dikooptasi oleh kekuasaan bukan hanya karena lembamnya aktor-aktor atau aktivis koperasi tanah air, melainkan lebih mendasar dari itu bahwa gerakan koperasi tanah air tidak memiliki tradisi politik gerakan radikal20 seperti serikat buruh, serikat tani dan organisasi masyarakat sipil lainnya21. Tradisi koperasi cenderung mengembangkan “gerakan pembangunan” yang karenanya akan selalu kompatibel dan bertemu dengan pemerintah. Sebuah tradisi yang bila kita gunakan terminologi lama (dan terdaur ulang di masa kini) adalah tradisi “kekaryaan”.

NEGARA YANG TERUS BERUBAH

Perubahan Paradigma Administrasi Negara Sebagai entitas organik, negara sebenarnya bukan sesuatu yang tetap, ajeg dan status quo. Sebaliknya, negara bersifat organis dan mengikuti perubahan zaman, dinamika global dan sebagainya. Secara jelas misalnya kita bisa melihat perubahan “negara” Orde Lama, Orde Baru ke

17 Djabaruddin Djohan (2011) menggunakan istilah “menyatu” yang saya tafsirkan sebagai proses hegemoni pemerintah melalui M. Hatta (Wakil Presiden) yang berperan langsung dalam pembinaan dan pengembangan koperasi di tanah air. 18 Dalam Djabaruddin Djohan, Wajah Koperasi Indonesia, 2011 19 Dalam Andi Kasmawati, Humanis, Volume XII Nomor 1, Januari 2011 20 Politik gerakan radikal (radikal berasal dari kata radix artinya mengakar) misalnya praktik yang dilakukan oleh John Bamba dalam CU Gerakan: http://indoprogress.com/2015/10/john-bamba-cu-gerakan-adalah-alternatif-terbaik-saat-ini-buat-gerakan-civil-society-di-indonesia/ 21 Simak analisis Dodi Faedulloh tentang Koperasi yang Progresif dalam http://indoprogress.com/2014/01/membangun-koperasi-progresif/ dan tulisan saya tentang hubungan Koperasi, Negara dan Politik di http://www.firdausputra.com/2010/10/koperasi-negara-dan-politik.html

Page | 8

Reformasi dan Pasca Reformasi dewasa ini. Berbagai faktor telah membuat atau memaksa negara berubah menjadi lebih demokratis, terbuka dan partisipatif. Dalam kajian Administrasi Publik, perubahan paradigma tersebut sangat terasa. Birokrasi Weberian yang dikenal sebagai iron cage yang lamban, birokratis, korup tercermin dalam paradigma Old Public Administration (OPA)22 mengalami perubahan ke arah New Public Management (NPM)23. Tuntutan efisiensi sumber daya, efektivitas kinerja dan lain sebagainya menjadi indikator utama dalam paradigma NPM atau yang dikenal dengan istilah mewirausahakan birokrasi. Sederhananya adalah agar mesin birokrasi pemerintah seefisien dan efektif manajemen perusahaan swasta. Kemudian ketika NPM dinilai kebablasan dan hilang arah dengan banyaknya privatisasi dan komersialisasi yang dilakukan negara, lahirlah New Public Service (NPS)24. Paradigma ini mengembalikan negara sebagai pelayan publik dengan merangkul masyarakat sehingga bersifat partisipatif. Perubahan-perubahan tersebut pada dasarnya adalah perubahan paradigmatik dari pemerintah (government) ke kepemerintahan (governance). Sehingga pemerintah tak lagi dianggap sebagai satu-satunya penyedia layanan publik namun pada saat yang sama dapat dilakukan oleh pihak swasta dan masyarakat25. Perubahan sentrum dari government ke governance26 tersebut melahirkan banyak variasi pendekatan: Good Governance yang menitikberatkan pada responsivitas dan akuntabilitas layanan publik. Kemudian ada Collaborative Governance dengan corak tata kelola kolaboratif antara pemerintah dengan swasta atau masyarakat yang skema umumnya dikenal sebagai Public Private Partnership. Tren ini mulai terlihat jelas belakangan ini ditandai dengan misalnya: Relawan-relawan yang berkolaborasi dengan pemerintah; Pelibatan masyarakat lebih terbuka luas dalam tata kelola; Lahirnya berbagai badan-badan yang dikenal sebagai State Auxiliary Bodies (SAB) dan lain sebagainya.

Lembaga Negara Bantu Lembaga Negara Bantu atau terminologi umumnya adalah State Auxiliary Bodies merupakan ekspresi dari perubahan paradigma pemerintahan dari government ke arah governance. Hal tersebut tak hanya terjadi di Indonesia yang menemukan momentum ketika Reformasi, melainkan terjadi di banyak negara lain27. Lembaga Negara Bantu ini tak bisa lagi didefinisikan dalam cara pandang konvesional ala Trias Politica-nya Montesquieu. Bahkan sebagian kalangan menyebut Lembaga Negara Bantu ini sebagai Pilar Keempat dari tata pemerintahan kontemporer.

22 Jay M. Shafritz, dan Albert C. Hyde, Classics of Public Administration, 1995 23 Lihat Owen E. Hughes, Public Management and Administration: An Introduction (3rd Edition), 2003 dan David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi, 1996. 24 Lihat Robert B Denhardt dan Janet V. Denhardt, New Public Service, 2007 25 Lihat Miftah, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, 2008 26 Tentang Paradigma Governance, Stoker mengemukakan karakteristik paradigma tersebut: 1. Governance merupakan bangunan institusi dan aktor yang melampaui pemerintah (state); 2. Governance teridentifikasi dalam kaburnya batas dan tanggungjawab dalam konteks isu sosial dan ekonomi; 3. Governance teridentifikasi pada kemandirian kekuatan untuk mengelola aksi kolektif; 4. Governance merupakan otonomi swa-kelola jaringan antar aktor; 5. Governance mengakui kapasitas untuk mendapatkan sesuatu yang tidak tergantung pada kekuatan pemerintah. Lihat Stoker, Gerry. 1998. Governance as Theory: Five Propositions, 1998. Dan lihat Osborne, Stephen P. Osborne, The New Public Governance?: Emerging Perspectives on The Theory and Practice on Public Governance, 2010 27 Ada 40.000 SAB di Italia, ratusan di Perancis, ribuan di Inggris dan lainnya. Lihat Rizky Argama, 2007.

Page | 9

Para ilmuwan mendefinisikan Lembaga Negara Bantu sebagai, “Keberadaannya bersifat publik, juga didanai oleh dana publik, serta untuk kepentingan publik, sehingga tidak dapat disebut sebagai NGO`s dalam arti yang sebenarnya. Oleh karena itu, secara tidak resmi memang masuk akal jika disebut sebagai quasi NGO`s yang merupakan singkatan dari quasi autonomous Non Govermental Organization”28. Di Indonesia lahirnya Lembaga Negara Bantu erat kaitannya dengan tuntutan publik ketika Reformasi 1998 dulu kala. Tuntutan-tuntutan tersebut seperti: Transparansi pemerintahan dan bersih dari KKN, sehingga lahirlah KPK, Ombudsman dan sejenisnya; Penegakan hak-hak azasi manusia, lahirlah Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI dan sebagainya; Keterbukaan akses informasi untuk publik yang melahirkan Komisi Informasi Publik dan berbagai tuntutan lain yang bersifat mendesak, khas, pemihakan dan tak bisa terwadahi dalam lembaga negara konvensional yang ada. Pemerintah menggunakan Lembaga Non Struktural (LNS) untuk menyebut jenis Lembaga Negara Bantu tersebut. Per 2013 Lembaga Administrasi Negara (LAN) mencatat ada sekitar 135 Lembaga Non Struktural dalam berbagai bentuknya: komisi, komite, dewan, badan, lembaga, tim dan lainnya29. Keberadaan LNS tersebut ada yang dibentuk karena amanat UU, PP, Perpres dan Keppres. Sebagai contoh yang dibentuk karena amanat UU seperti: Dewan Pers, Dewan Koperasi Indonesia, Dewan Ketahanan Pangan, KPPU, KPAI, KPI, Komnas Perempuan dan sebagainya. Sedangkan yang dibentuk berdasarkan Keppres seperti: KNKT, Dewan Gula, KONI, BAZNAS dan lainnya30. Hamdan Zoelva mendefinisikan LNS sebagai, “Institusi yang dibentuk karena urgensi terhadap tugas khusus tertentu yang tidak dapat diwadahi dalam kelembagaan pemerintah (konvensional) dengan keunikan tertentu dan memiliki karakteristik tugas yang urgen, unik, dan terintegrasi serta efektif”31. Sedangkan Kementerian Sekretariat Negara menjelaskannya sebagai, “Sebagai lembaga yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan tertentu guna menunjang fungsi negara dan pemerintah, yang dapat melibatkan unsur-unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil, serta dibiayai oleh negara”32. Karakteristik LNS menurut LAN sebagai berikut33:

1. Keberadaannya didasarkan pada peraturan perundang-undangan 2. Melaksanakan tugas tertentu yang bersifat mandiri dan tidak dilakukan oleh instansi

pemerintah lainnya 3. Pembiayaan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 4. Kedudukan berada di luar struktur pemerintahan 5. Bertanggungjawab kepada masyarakat 6. Tidak dapat diintervensi oleh institusi manapun

28 Dalam Sri Hadiati, Kriteria Lembaga Non Struktural Tinjauan Administrasi Negara, 2012 29 Dalam Arsitektur Kelembagaan Negara, 2015. 30 Profil Lembaga Non Struktural 2010, hal 146-148. 31 Dalam Kajian Kelembagaan Sekretariat Komisi Informasi Pusat, 2015. 32 Dalam Arsitektur Kelembagaan Negara, 2015. 33 Hal 69-70 Evy Trisulo, Konfigurasi

Page | 10

7. Keanggotaan bisa berasal dari: tokoh masyarakat, tokoh agama, LSM, kalangan perguruan tinggi, profesional dan sebagainya.

Jimly Asshidiqie mengatakan bahwa lembaga-lembaga tersebut dibentuk dengan tujuan-tujuan sebagai berikut34:

1. Efisiensi pelayanan; 2. Pemusatan (konsentrasi/ integrasi) fungsional; 3. Independensi dari intervensi politik dan mencegah konflik kepentingan; 4. Prinsip pembagian habis fungsi-fungsi kekuasaan negara dan pemerintahan sehingga

tidak ada yang tumpang tindih. Sebab-sebab lahirnya Lembaga Negara Bantu sebagai berikut35:

1. Adanya kebutuhan untuk menyediakan pelayanan budaya dan pelayanan yang bersifat personal yang diharapkan bebas dari risiko campur tangan politik.

2. Adanya keinginan untuk mengatur pasar dengan regulasi yang bersifat non-politik. 3. Perlunya pengaturan mengenai profesi-profesi yang bersifat independen, seperti profesi di

bidang kedokteran dan hukum. 4. Perlunya pengadaan aturan mengenai pelayanan-pelayanan yang bersifat teknis. 5. Munculnya berbagai institusi yang bersifat semi-yudisial dan berfungsi untuk

menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (alternative dispute resolution/ alternatif penyelesaian sengketa).

Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu

Seperti terjelaskan di muka bahwa secara negara terus mengalami perubahan yang ditandai dengan perubahan pada level paradigmatik Administrasi Publik dan bertemu dengan momentum Reformasi. Meletakkan Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu dalam konteks negara yang berubah tersebut. Yang bila kita ingat bahwa Lembaga Negara Bantu bersifat independen yang bertanggungjawab kepada masyarakat. Dalam terminologi tata negara kontemporer Dekopin sudah cukup syarat menjadi sebagai Lembaga Non Struktural (LNS) dengan karakteristik sebagaimana tersebut di atas. Hal-hal yang harus menjadi titik tekan bahwa LNS dapat diisi oleh unsur masyarakat dan bertanggungjawab kepada publik. Dengan begitu, Dekopin sebagai LNS tetap tidak tercerabut dari akar keberadaan dan muasalnya (raison d’etre) sebagai lembaga gerakan koperasi. Perubahan paradigma Administrasi Publik dari government ke governance merupakan bentuk canggih evolusi tata pemerintahan yang membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik mulai dari perencanaan, sumber daya, implementasi, monitoring dan evaluasi. Hal ini tidak bisa dipahami sebagai proses kooptasi rezim politik terhadap suatu organisasi masyarakat, justru sebaliknya adalah partisipasi organisasi masyarakat secara langsung dan signifikan dalam tata pemerintahan negara.

34 Makalah pada Seminar Nasional Lembaga-Lembaga Non-Struktural oleh Kantor Menpan Republik Indonesia, 1 Maret 2011 35 Lihat Rizky Argama, Kedudukan Lembaga Negara Bantu dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, 2007

Page | 11

Dekopin sebagai LNS dengan sendirinya sah secara konstitusional untuk menerima pembiayaan dari APBN guna membiayai kerja-kerja publiknya. Yang selanjutnya karena Dekopin sebagai LNS maka jumlahnya cukup satu sebagaimana yang dikatakan Jimly Asshidiqie di atas dalam rangka pemusatan/ konsentrasi fungsional. Maka sudah cukup tepat perumus UU No. 17 Tahun 2012 (yang dibatalkan MK) dengan menyebut, “Gerakan koperasi mendirikan suatu dewan Koperasi Indonesia yang berfungsi sebagai wadah untuk memperjuangkan kepentingan dan bertindak sebagai pembawa aspirasi koperasi, dalam rangka pemberdayaan koperasi”36.

Dekopin sebagai LNS harus mencukupi beberapa hal di bawah ini: 1. Para pengurusnya adalah para profesional, praktisi atau aktivis koperasi yang tidak menjabat

sebagai Pengurus Partai Politik. Hal ini sesuai dengan latar belakang berdirinya Lembaga Negara Bantu yakni layanan yang tidak diintervensi kepentingan politik.

2. Melakukan pertanggungjawaban secara vertikal (kepada pemerintah) dan horizontal (kepada gerakan koperasi) dan diagonal (kepada lembaga negara lainnya).

3. Menjaga independensi dan berpihak kepada gerakan koperasi sebagaimana perintah UU. 4. Menjalankan tata kelola yang baik (good governance)37.

REVITALISASI DEKOPIN SEBAGAI LEMBAGA NON STRUKTURAL

a. Perubahan Paradigma

36 UU No. 17 Tahun 2012. Perlu diperhatikan bahwa JR yang dikabulkan MK dengan hasil pembatalan UU No. 17 Tahun 2012 adalah dari pemohon gerakan koperasi Jawa Timur yang pokok permohonannya adalah pengujian pasal-pasal: Pasal 1 angka 1 sepanjang frasa“orang perseorangan”, Pasal 37 ayat (1) huruf f, Pasal 50 ayat (1) huruf a, Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf e, Pasal 55 ayat (1), Pasal 56 ayat (1), Pasal 57 ayat (2), BAB VII tentang Modal yang terdiri atas Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70, Pasal 71, Pasal 72, Pasal 73, Pasal 74, Pasal, 75, Pasal 76, dan Pasal 77, serta Pasal 80, Pasal 82, Pasal 83, dan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Liat Amar Putusan MK tanggal 28 Mei 2014 tentang Pencabutan UU Perkoperasian No. 17 Tahun 2012 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1702_28%20PUU%202013-UUKoperasi-telahucap-28Mei2014-tdk%20dtrima-%20wmActionWiz.pdf Status dikabulkan. Sehingga MK belum mengeluarkan justifikasi terhadap pasal lembaga gerakan koperasi http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/putusan_sidang_1701_60%20PUU%202013-UUKoperasi-telahucap-28Mei2014%20-%20Copy-%20wmActionWiz.pdf Status tidak dapat diterima. 37 Ada 10 prinsip good governance: 1. Akuntabilitas 2. Pengawasan 3. Daya tanggap 4. Profesionalisme 5. Efisien dan efektif 6. Transparansi 7. Kesetaraan 8. Wawasan ke depan 9. Partisipasi dan 10. Penegakan hukum.

Orde Lama Orde Baru Reformasi Pasca Reformasi

Kooptasi

Instrumentasi

Representasi

Partisipasi

NGO Independent Organt SAB

Demokratisasi

Quasi NGO

Governance

Page | 12

Skema di atas memperlihatkan bahwa harus terjadi transformasi paradigmatik peran Dekopin dalam negara yang berubah ini. Dekopin meskipun dari dulu berwujud Quasi NGO karena dikooptasi/ dihegemoni pemerintah terus menerus, pada masa Pasca Reformasi ini harus meneguhkan dirinya sebagai Lembaga Non Struktural yang bersifat independen. Keberadaan Dekopin merupakan mandat UU yang ditugaskan untuk mengawal gerakan koperasi tanah air. Faktor yang mendorong perubahan tersebut bisa berupa insentif dan disinsentif sumber daya. Bila Dekopin tidak dapat memerankan diri sebagai lembaga independen, akuntabel, transparan, efektif dan efisien, maka Kementerian PAN dan RB bisa melakukan evaluasi terhadap keberadaannya38. Dekopin sebagai LNS justru akan lebih mudah dievalusi secara konstitusional daripada melingkar dalam model Quasi NGO yang susah dituntut pertanggungjawabannya baik secara vertikal maupun horizontal. Dalam Manajemen Perubahan (change management) dinyatakan bahwa perubahan bisa berasal dari dalam internal organisasi atau tuntutan lingkungan eksternal. Dalam konteks yang demikian, Dekopin sebagai LNS dituntut (dari eksternal) untuk melakukan perubahan-perubahan secara fundamental. Dekopin harus mampu merepresentasikan diri sebagai independent organt yang menyaratkan adanya partisipasi dari basis gerakan terlibat aktif dalam lembaga. Tentu saja ruang partisipasi tidak boleh sebatas prosedural belaka bahwa Dekopin terbuka bagi semua lembaga, namun harus dimulai dari sikap Dekopin yang membuka diri lewat transparansi kinerja dan anggaran.

38 Lihat http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/13083781/Kementerian.PAN-RB.Ajukan.Izin.Pembubaran.14.Lembaga.Non-Struktural

Page | 13

b. Perbandingan Akuntabilitas Dekopin Dekopin sebagai Lembaga Non Struktural

Sebagai LNS maka akuntabilitas Dekopin sebagaimana di atas: Akuntabilitas Vertikal, Akuntabilitas Horizontal dan Akuntabilitas Diagonal. Akuntabilitas Vertikal (ke atas) terkait dengan keberadaan dirinya sebagai LNS yang memperoleh pembiayaan APBN. Akuntabilitas Vertikal (ke bawah) adalah pertanggungjawaban kinerja Dekopin kepada anggota-anggotanya: Dekopin Wilayah di tingkat provinsi, Dekopin Daerah di tingkah kabupaten. Lantas kepada koperasi-koperasi anggota Dekopin Daerah sebagai basis riil keanggotaan Dekopin. Juga tak ketinggalan kepada publik dalam makna umum adalah warga negara mengingat Dekopin sebagai Lembaga Non Struktual. Akuntabilitas Horizontal (ke kanan) ini kepada Induk dan Pusat Koperasi baik anggota atau pun non anggota Dekopin yang karena kapasitas mereka sebagai organisasi payung (apex organization) dalam sektornya masing-masing. Akuntabilitas Horizontal (ke kiri) adalah kepada organ-organ gerakan koperasi lainnya seperti Masyarakat Perkoperasian Indonesia (MPI), Asosiasi Koperasi Seluruh Indonesia (AKSI) dan lain sebagainya. Akuntabilitas Diagonal (ke atas) adalah akuntabilitas Dekopin kepada sesama lembaga negara yang memiliki fungsi pengawasan: transparansi informasi (KIP), kinerja pelayanan (Ombudsman) dan bahkan penyidikan atas masalah seperti kasus korupsi (KPK). Sedangkan Akuntabilitas Diagonal (ke

Dekopin

Pemerintah

Kemenkop

Kemenkeu

Kemen PAN

BPK

KIP

Ombudsman

KPK

ICW

Fitra

Induk

Dekopinwil

Dekopinda

Koperasi

Pusat MPI AKSI

Publik

AMKI

MTI

Page | 14

bawah) yakni kepada LSM-LSM yang concern memantau penyelenggaraan pemerintahan seperti ICW, Fitra dan sebagainya.

Dekopin sebagai LNS dituntut oleh perundang-undangan untuk akuntabel kepada lembaga-lembaga tersebut. Keberadaannya sebagai lembaga publik menginsyaraktkan adanya keterbukaan informasi kepada publik sebagaimana perintah UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 7 bahwa tentang Kewajiban Badan Publik: 1. Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang

berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

2. Badan Publik wajib menyediakan Informasi Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. 3. Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Publik harus

membangun dan mengembangkan sistem informasi dan dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik secara baik dan efisien sehingga dapat diakses dengan mudah.

4. Badan Publik wajib membuat pertimbangan secaratertulis setiap kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap Orang atas Informasi Publik.

5. Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) antara lain memuat pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau pertahanan dan keamanan negara.

6. Dalam rangka memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik.

UU tersebut mendefinisikan Badan Publik dalam Pasal 1 ayat 3 sebagai berikut: Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luarnegeri. Dekopin sebagai LNS tentu harus tunduk pada UU Keterbukaan Informasi Publik sehingga masalah transparansi anggaran yang selama ini banyak dikeluhkan oleh praktisi, pemerhati dan aktivis koperasi tanah air harus terselesaikan. Seperti misalnya Teguh Boediyana dalam tulisannya mengatakan, “Bahkan saat ini terdapat masalah karena sementara organisasi koperasi menganggap penggunaan dana APBN tersebut tidak jelas dan tranparan”.39

39 Dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, Sinar Harapan, 2009.

Page | 15

Dekopin sebagai NGO

Berbeda dengan mekanisme akuntabilitas di atas, akuntabilitas Dekopin sebagai NGO lebih sederhana dan ditujukan kepada lingkaran gerakan koperasi sendiri. Hal ini tentu membuat berbagai tuntutan transparansi kinerja dan anggaran dapat dimentahkan begitu saja. Seolah adagium yang berlaku adalah “semua teman sendiri” atau “semua keluarga sendiri” sehingga lebih banyak permakluman bagi kekeliruan atau ketidakmasimalan kerja. c. Ilusi Dekopin Kembali ke Khittah ebagian kalangan praktisi dan aktivis gerakan koperasi menyerukan agar Dekopin kembali ke khittah-nya sebagai gerakan sosial murni (NGO). Menurut hemat saya, gagasan kembali ke khittah tersebut memiliki tiga kelemahan mendasar:

1. Telisik sejarah memperlihatkan bahwa Dekopin selalu dikooptasi/ dihegemoni oleh pemerintah dari rezim ke rezim yang secara tidak resmi berperilaku sebagai Quasi NGO. Hal itu sudah terjadi lama sehingga membentuk sebuah budaya organisasi dari Pusat, Wilayah sampai Daerah. Menurut hemat saya, alih-alih mengembalikan besi bengkok, sebaiknya gerakan koperasi membangun wadah gerakan baru dan/ atau memaksimalkan gerakan lain yang sudah ada seperti AKSI dan MPI sebagai genuine NGO.

2. Dalam negara yang berubah ini, maka mendorong Dekopin sebagai LNS yang par excellent adalah lebih rasional yang akan memaksanya mengikuti berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Ditambah dengan Akuntabilitas Vertikal, Horizontal dan Diagonal, Dekopin akan dipaksa menjadi lembaga publik yang independen, profesional dan transparan. Pada titik ini saya bersepakat dengan gagasan Teguh Boediyana yang menyontohkan MPI sebagai pengimbang Dekopin40.

3. UU Perkoperasian yang baru (sebagai contoh UU No. 17 Tahun 2012) sama sekali tidak

membatasi ruang bagi gerakan koperasi untuk membangun organisasi-organisasi penunjang yang baru. Hal ini adalah momentum bagi MPI dan AKSI untuk uji tesis dan praktik bahwa yang bottom up itu akan lebih berdaya ledak.

40 Dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, Sinar Harapan, 2009.

Dekopin

Induk

Dekopinwil

Dekopinda

Koperasi

Pusat MPI AKSI AMKI

Page | 16

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan

1. Dekopin sah menerima pembiayaan APBN dan menjadi wakil gerakan koperasi di Indonesia karena berbentuk Lembaga Negara Bantu yang disebut sebagai Lembaga Non Struktural yang bersifat independen.

2. Alih-alih terpasung pada ilusi Dekopin sebagai NGO, justru kita harus mendorong peran Dekopin sebagai Lembaga Non Struktural yang bersifat independen secara par excellent. Imbasnya adalah Dekopin harus akuntabel baik secara vertikal, horizontal dan diagonal.

Rekomendasi 1. Dekopin karena statusnya adalah LNS maka sama sekali tidak menutup kesempatan bagi

elemen gerakan koperasi lainnya untuk membentuk organisasi lainnya. Misalnya sudah terbentuk salah satunya Asosiasi Koperasi Seluruh Indonesia (AKSI)41. Kemudian ada Indonesian Cooperator Club (ICC)42. Ada Asosiasi Manajer Koperasi Indonesia (AMKI)43. Ada Lembaga Studi Pengembangan Perkoperasian Indonesia (LSP2I)44. Ada Masyarakat Perkoperasian Indonesia (MPI)45. Ada Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Indonesia46. Organisasi-organisasi non pemerintahan (NGO) yang murni tersebut dapat memerankan fungsi salah satunya sebagai Kemenkop dan Dekopin Watch47.

2. Dekopin karena statusnya adalah LNS harus menerapkan good governance dalam tata kelola kelembagaannya. Yang paling sedikit harus dilakukan adalah: a. Transparansi anggaran dan penggunaannya kepada publik yang selalu dikeluhkan oleh

aktivis atau pemerhati koperasi dari tahun ke tahun. Transparansi seperti dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dapat dilakukan lewat media elektronik seperti website;

b. Pelaporan kinerja secara rutin melalui media sejenis; 3. Masalah kinerja Dekopin yang telah lama dinilai kalangan gerakan koperasi cenderung

amburadul harus mendapat perhatian Kementerian PAN dan RB agar dapat dimonitor dan dievaluasi keberadaannya sebagai LNS.

PENUTUP Demikian penelitian singkat saya tentang status Dekopin dalam negara yang berubah ini. Studi lain diperlukan misalnya perbandingan dewan koperasi di Indonesia dan negara-negara lainnya. Justifikasi terhadap kelembagaan Dekopin sebagai Lembaga Negara Bantu ini tidak sama dengan saya mendukung terhadap rezim kepemimpinan Dekopin saat ini. Terimakasih. []

41 Dipimpin oleh Suroto. 42 Dipimpin oleh Sujatmiko. 43 Dipimpin oleh Larto. 44 Dipimpin oleh Djabaruddin Djohan. 45 Dipimpin oleh Deddy SA Kodir. 46 Dipimpin oleh Suroto. 47 Sehingga dengan banyaknya organisasi-organisasi penunjang gerakan koperasi yang bersifat murni NGO, hemat saya kita move on dari ilusi Dekopin = NGO. Saatnya membuktikan pengorganisasian bottom up akan lebih handal dan berdaya ledak lewat organisasi-organisasi gerakan yang saya sebut tadi. Gagasan ini seperti pokok pikiran Teguh Boediyana yang menghendaki adanya Indonesian Cooperative Corruption Wacth (ICCW) dalam Membangun Keswadayaan Koperasi, 2009.