33
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SISTEM EKOLOGIS LAUT DAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN PESISIR 1. PENDAHULUAN Iklim dunia berubah, dan akan terus berubah sepanjang abad 21 dan seterusnya. Kenaikan temperatur, pola presipitasi baru, dan perubahan lain telah mempengaruhi banyak aspek dari manusia dan alam. Temuan ilmiah sudah semakin jelas : perubahan iklim menjadi ancaman global yang sangat serius terhadap kehidupan di bumi. Sementara negara-negara sedang berkembang di wilayah tropis masih kesulitan untuk mengatasi ’local-anthropogenic threat’, ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan lebih menyulitkan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut (IPCC, 2007a). Berdasarkan hasil kajian model ekonomi, tanpa intervensi manajemen, perubahan iklim akan menyebabkan resiko biaya setara dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika kita memperhitungkan seluruh resiko dan dampaknya maka total kerusakannya diperkirakan bisa mencapai 20% GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk setara dengan 1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al., 2002). Laporan ke-empat IPCC yang memenangkan hadiah nobel perdamaian pada tahun 2007 lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menyebabkan nelayan sulit menentukan musim penangkapan ikan karena cuaca yang tidak menentu dan hal ini 1

DAMPAK PEMANASAN GLOBAL PADA EKOSISTEM DAN MASYARAKAT PESISIR.doc

  • Upload
    ali

  • View
    41

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SISTEM EKOLOGIS LAUT DAN SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN PESISIR1. PENDAHULUAN

Iklim dunia berubah, dan akan terus berubah sepanjang abad 21 dan seterusnya. Kenaikan temperatur, pola presipitasi baru, dan perubahan lain telah mempengaruhi banyak aspek dari manusia dan alam. Temuan ilmiah sudah semakin jelas : perubahan iklim menjadi ancaman global yang sangat serius terhadap kehidupan di bumi. Sementara negara-negara sedang berkembang di wilayah tropis masih kesulitan untuk mengatasi local-anthropogenic threat, ancaman dari perubahan iklim secara bersama akan lebih menyulitkan pembangunan masyarakat di wilayah tersebut (IPCC, 2007a).

Berdasarkan hasil kajian model ekonomi, tanpa intervensi manajemen, perubahan iklim akan menyebabkan resiko biaya setara dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika kita memperhitungkan seluruh resiko dan dampaknya maka total kerusakannya diperkirakan bisa mencapai 20% GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk setara dengan 1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al., 2002).Laporan ke-empat IPCC yang memenangkan hadiah nobel perdamaian pada tahun 2007 lalu menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang paling rentan akibat perubahan iklim. Perubahan iklim dapat menyebabkan nelayan sulit menentukan musim penangkapan ikan karena cuaca yang tidak menentu dan hal ini berisiko mengubah stabilitas ekosistem, sosial ekonomi masyarakat, dan merusak fungsi planet bumi sebagi penunjang kehidupan (Persada dan Sadikin, 2012; Kusnadi, 2009).Kajian terhadap sumberdaya yang berbasis lahan menunjukan bahwa perubahan iklim memicu munculnya shock dan stress akibat gagal panen atau harga yang turun atau sumberdaya lahan yang tidak memadai yang kemudian mempengaruhi dasar dari sumber nafkah rumah tangga. Shock dan stress ini diduga juga terjadi pada nelayan yang diakibatkan oleh rusaknya sumber-sumber mata pencaharian mereka akibat perubahan iklim. Kondisi ini kemudian menyebabkan munculnya respon dan upaya untuk beradaptasi dalam menghadapi krisis (Davis, 1993).

Adaptasi merupakan proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal. Sebagai suatu proses perubahan, adaptasi dapat berakhir dengan sesuatu yang diharapkan atau tidak diharapkan. Oleh karenanya, adaptasi merupakan suatu sistem interaksi yang berlangsung terus antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan ekosistemnya (Durkan, 2014). Dampak perubahan iklim terhadap ekosistem pesisir-lautan telah menyebabkan terganggunya dinamika dan stok sumberdaya ikan di perairan pesisir-lautan dan ini menyebabkan adanya perubahan respon dari masyarakat nelayan setempat. Bentuk perubahan respon ini berupa perubahan pola dan strategi adaptasi masyarakat nelayan agar dapat bertahan dan melangsungkan kehidupan di lingkungan tempat tinggalnya tersebut (Durkan, 2014).

2. PERUBAHAN IKLIM GLOBALPemerintah-pemerintah dunia telah meminta penilaian otoritatif pengetahuan ilmiah tentang perubahan iklim global, dampaknya, dan pendekatan yang mungkin untuk menangani perubahan iklim. Penilaian ini selanjutnya dilakukan oleh sebuah organisasi bersama bernama Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). Setiap lima sampai tujuh tahun, IPCC menggunakan masukan dari ribuan ilmuwan untuk mensintesis pengetahuan dan dampak perubahan iklim. Kesimpulan IPCC , melalui review intens dan evaluasi oleh masyarakat ilmiah dan pemerintah-pemerintah dunia, menghasilkan laporan akhir yang menjadi rujukan banyak negara. Saat ini laporan dari IPCC dipandang memeiliki validitas yang tinggi, karena informasi dalam laporan ersebut telah melalui serangkaian review dan merupakan sintesis paling otoritatif tentang pengetahuan perubahan iklim (IPCC, 2007).Pada 2007, IPCC melaporkan bahwa suhu rata-rata bumi menandakan pemanasan (IPCC 2007b). Dari data time series menunjukkan bukti ilmiah bahwa rata-rata suhu permukaan global bumi telah meningkat 0,75 C sejak 1850 (titik awal untuk jaringan global pengukuran suhu bumi) seperti tampak pada gambar di bawah ini (Gambar 1).

Tidak setiap bagian dari permukaan bumi memanas dengan kecepatan yang sama. Beberapa bagian mengalami pemanasan lebih cepat, beberapa pada tingkat sedang dan bagian-bagian lain pada tingkat yang sangat lambat . Pada gambaran distribusi spasial suhu permukaan bumi tahun 19950 2005 sebagaimana pada gambar 2. Terlihat daerah dengan batas warna merah tua mengalami kenaikan suhu rata-rata lebih dari 0.40 C per dekade, sehingga rata-rata kenaikan suhu pada daerah tersebut rata- rata di tahun 2005 lebih hangat 20 C dibandingkan di tahun 1950.

Gambar 1. Tren Rata-rata Suhu Permukaan Global (1860-2000)(Sumber : School of Enviromental Sciences, Climatic Research Unit, University of East Angle dalam CEIoCC, 2012)Menurut NASA Goddard Institute for Space Studies, telah terjadi delapan tahun terpanas dalam 100 tahun terakhir sejak 1998 . Selama paruh kedua abad ke-20, lautan juga menjadi lebih hangat. Perairan laut yang lebih hangat menyebabkan es laut mencair, memicu pemutihan karang, mengakibatkan banyak spesies mengalami pergeseran rentang geografis mereka, sementara banyak spesies lain yang tidak dapat pindah ke tempat lain, berkontribusi terhadap kenaikan permukaan laut.Gambar 2. Rata-rata Perubahan Suhu Permukaan per Dekade 1950-2005(Sumber: Joint Institute for the Study of the Atmosphere and Ocean, University of Washington dalam CEIoCC,2012)Berdasarkan data pengamatan terjadinya pemanasan global dan regional disebabkan oleh variabilitas penyebab alami dan aktivitas manusia, keduanya akan berkontribusi terhadap tren iklim di masa depan. Namun demikian, aktifitas manusia menunjukan konstribusi yang jauh lebih besar dalam kurun waktu 50 tahun terakhir terhadap pemanasan global khusunya sebagai emitter penting gas-gas rumah. Dalam laporan IPCC, para ilmuwan menyakini bahwa hampir 90 % penyebab pemanasan global yang memicu terjadinya perubahan iklim lebih disebabkan efek gas-gas rumah kaca yang diemisikan oleh kegiatan-kegiatan manusia (IPCC, 2007b).

Pada Gambar 3. Gambaran konsentrasi gas-gas rumah kaca selama 10.000 tahun terakhir. Grafik tongkat mencirikan hasil dari peningkatan besar konsentrasi gas-gas rumah kaca baru-baru ini dibandingkan dengan tingkat yang relative stabil selama 10.000 tahun terakhir.

Gambar 3. Sejarah Konsentrasi Gas Rumah Kaca CO2, CH4 dan N2O Selama 10.000 Tahun Terakhir.

(Sumber : IPCC, 2007d)Konsentrasi gas-gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2), methane (CH4), nitri oksida (N2O) dan aerosol mulai meningkat sejak tahun 1750, ketika dimulainya revolusi industri. Peningkatan gas CO2 terutama disebabkan karena pembakaran energi fosil dan perubahan tata guna lahan. Peningkatan konsentrasi gas metana dan nitri oksida terutama ialah dampak dari pembangunan pertanian (Buddemeier et al., 2004).Karbon dioksida sebagai gas anthropogenic greenhouse ialah yang paling penting dalam kontribusinya terhadap kekuatan radiasi. Sejak periode pra industrialisasi, konsentrasi gas karbon dioksida telah meningkat dari 280 ppm menjadi 379 ppm pada tahun 2005. Peningkatan konsentrasi tertinggi terjadi terutama dalam periode waktu 10 tahun terakhir (1995 2005: rata-rata 1,9 ppm per tahun). Peningkatan gas methane terjadi dari 715 ppb menjadi 1732 pada tahun 1990an dan 1774 ppb pada tahun 2005 (IPCC, 2007a; Kleypas et al, 1999). Peningkatan gas nitrit oksida terjadi dari 270 ppb menjadi 319 ppb pada tahun 2005, terutama disebabkan oleh aktifitas pertanian (Buddemeier et al., 2004; IPCC, 2007a).Pengaruh pemanasan global sebagai dampak dari peningkatan konsentrasi terutama oleh ketiga gas tersebut dipahami dalam bentuk kekuatan radiasi (radiative forcing). Kekuatan radiasi yang ditimbulkan terkait dengan meningkatnya karbon dioksida, methane dan nitrit oksida mencapai + 2,30 W m-2. Kekuatan radiasi karbon dioksida mengalami peningkatan sekitar 20% antara tahun 1995 sampai 2005, paling tinggi dalam 200 tahun terakhir (CEIoCC, 2012).3. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA SISTEM EKOLOGIS LAUT

Kawasan perairan menutupi sekitar 71 persen permukaan bumi. Berperan penting sebagai penerima, penyimpan, dan pendistribusi panas yang diserap dari radiasi sinar matahari melalui sistem sirkulasi arus laut dari daerah sekitar ekuator ke arah kedua kutub. Sirkulasi termohaline menjadi sistem pendistribusi energi dimana energi panas yang diterima permukaan air laut diangkut dan didistribusikan masuk ke laut dalam selama ribuan tahun. Melalui distribusi energi panas ini terjadilah proses penguapan air dari permukaan laut yang menyediakan energi panas laten ke atmosfer dan menstimulasi siklus hidrologi yang bisa membangkitkan badai dan siklon (IPCC, 2007).Temperatur laut mempengaruhi kenaikan muka air laut secara langsung melalui kontrol terhadap panas dan secara tidak langsung melalui energi panas pantulan dari atmosfer yang mempengaruhi gunung es, lapisan es di kutub, dan siklus hidrologi. Penyerapan karbon dioksida oleh laut secara alamiah dapat mengimbangi energi panas dari atmosfer ini ( Feely et al, 2004).Sistem kesetimbangan antara laut dan atmosfer pembentuk iklim seperti di atas akhir-akhir ini terganggu oleh aktivitas manusia di muka bumi yang menimbulkan peningkatan produksi gas-gas rumah kaca (GRK) sehingga menimbulkan perubahan iklim global. Perubahan iklim ini dapat memicu beberapa bahaya alam di lingkungan laut dan pesisir yang diidentifikasi dan dikaji oleh Working Group I of the Intergovernmental Panel on Climate Change (WG1-IPCC) serta beberapa referensi penunjang (sebagai berikut: Hughes et al, 2003; Obura, 2005, Fabry et al, 2008 ; UNEP, 2009).1. Kenaikan temperatur air laut 2. Peningkatan frekuensi dan intensitas kejadian cuaca ekstrim (badai, siklon) 3. Perubahan pola variabilitas iklim alamiah (El-Nino, La-Nina, IPO) yang menimbulkan bahaya lanjutan berupa: Perubahan pola curah hujan dan aliran sungai Perubahan pola sirkulasi angin dan arus laut 4. Kenaikan tinggi muka air laut 5. Asidifikasi/Pengasaman

Kondisi tersebut di atas dapat saling mempengaruhi satu dengan lainnya di suatu daerah, berpotensi berbagai ancaman yang dipicu oleh perubahan iklim sekaligus. Dampak perubahan iklim yang memicu terjadinya beberapa pola di atas selanjutnya berpengaruh kuat terhadap : suplai sedimen, gelombang, arus laut, badai pasut dan perubahan tinggi muka air laut.Perubahan-perubahan di atas juga menyebabkan dampak turunan pada ekosistem pesisir, terutama di negara tropis. Perubahan Iklim Global menyebabkan degradasi sumberdaya pesisir seperti mangrove (hutan bakau), rumput laut (sea grass), terumbu karang (coral reef) dan berubahnya pola migrasi sumberdaya ikan pelagis.Beberapa perubahan dimaksud dan dampak terhadap ekosistem pesisir-laut yang penting disampaikan dan khususnya terkait dengan perairan Indonesia, meliputi :

3.1Kenaikan Suhu Permukaan Laut

Interaksi laut dan atmosfer terjadi dalam berbagai skala waktu dalam mengontrol, baik temperatur udara dan permukaan laut. Skala waktu ini bervariasi dari harian (siang-malam), musiman, antar dekade (10 tahunan) hingga abad (100 tahunan). Laju kenaikan temperatur udara dapat diamati dengan menganalisis tren datanya, seperti yang dilakukan oleh Diposaptono (2009) untuk kota Jakarta dan Semarang (Gambar 4) dimana terjadi kenaikan temperatur udara rata-rata dari 25.5oC menjadi 27.5.oC atau sekitar 3.0oC selama kurung waktu 125 tahun (1865-1990) atau laju kenaikan temperatur udara sekitar 0.024 oC/tahun.

Gambar 4. Tren suhu rata-rata udara di Jakarta dan Semarang periode 1860 hingga 2000(Sumber : Diposaptono, 2009)Pada pemahaman yang lebih luas, pemanasan global merupakan dampak pertama yang bisa dirasakan dari perubahan iklim. Sekitar 80% suhu udara akhirnya diserap oleh laut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa sejak tahun 1961, peningkatan suhu air laut sudah mencapai kedalaman 3.000 m. Pemanasan ini membuat air laut mengembang dan menjadi salah satu sebab meningkatnya permukaan air laut.Peningkatan suhu permukaan air laut tercatat dalam satuan degree heating weeks (DHW). Hal ini akan menyebabkan stress pada binatang karang sehingga mengeluarkan simbion zooxanthellae dari dalam tubuhnya. Tanpa zooxanthellae, binatang karang menjadi transparan, sehingga dalam skala luas hanya tampak karangka kapur yang berwarna putih. Peristiwa ini disebut dengan bleaching atau pemutihan karang (Obura, 2005)Bleaching yang terjadi dalam waktu pendek umumnya tidak menyebabkan kematian pada binatang karang dan zooxantjealle kembali bersimbiose dengan karang. Namun paling tidak hal ini sudah menyebabkan lambatnya kemampuan pembentukan kerangka kapur. Sedangkan jika bleaching terjadi secara berkepanjangan akan menyebabkan kematian pada binatang karang dan lingkungan terumbu karang akan hancur. Kerusakan terumbu karang, seperti telah dijelaskan sebelumnya akan mempengaruhi kehidupan dan penyediaan sumberdaya bagi masyarakat pesisir (Kristi, 2010)Peristiwa bleaching yang diikuti oleh kematian karang selama ini terjadi di wilayah-wilayah di luar Indonesia. Hal ini diduga karena pengaruh up welling yang banyak terjadi pada perairan di sekitar Indonesia sehingga peningkatan suhu air laut tidak terjadi dalam waktu yang relative lama. Namun tidak ada jaminan bahwa Indonesia akan selamat dari coral bleaching selamanya.Meningkatnya suhu permukaan air laut dan suhu udara juga berpengaruh pada organisme laut. Peneliti mencatat kemungkinan perubahan ratio sex pada penyu karena pengaruh pemanasan global. Secara alami, inkubasi telur penyu akan terjadi pada suhu yang relative tinggi. Akibatnya, tukik yang menetas sebagian besar akan menjadi betina (CCSP, 2003). Sebaliknya, secara alami, satu induk betina membutuhkan pasangan 10 induk jantan (pengkayaan genetik) dalam proses perkawinan. Ramalan pergesaran ratio sex pada penyu bisa membahayakan struktur rakitan spesies.3.2 Asidifikasi

Peningkatan CO2 di udara sebagian besar (sekitar 30%) diserap oleh laut sehingga mempengaruhi pH air laut. Dalam 100 tahun terakhir, pH air laut diperkirakan mengalami penurunan antara 0,14 sampai 0,35. Dampaknya paling jelas terlihat pada organisme dengan kerangka luar dari kapur, seperti kerang dan binatang karang.Peningkatan kandungan CO2 dalam air laut menyebabkan berubahnya keseimbangan sistem karbonat. Pertumbuhan terumbu karang di laut sangat tergantung dari kemampuan binatang karang di dalamnya untuk menyusun kerangka luar dari kapur. Penurunan karbonat dan bikarbonat dalam air (sebagai akibat dari meningkatnya kandungan CO2) akan menurunkan kejenuhan aragonit sehingga akan memperlambat pertumbuhan terumbu karang di laut. Selain itu, kerangka kapur dari terumbu karang yang saat ini sudah kuat, bisa melemah dan terumbu karang akan mengalami erosi. Jika hal ini terjadi maka kehidupan ikan-ikan yang termasuk dalam kategori reef associated species akan terganggu. Berdasarkan perkiraan World Resource Institute melalui dokumentasi FishBase, 70% dari ikan-ikan komersial yang ditangkap oleh nelayan termasuk dalam kategori reef associated species. Dengan demikian, meningkatnya kandungan CO2 di laut yang diserap dari udara, pada akhirnya akan mempengaruhi sumber mata pencaharian masyarakat dari perikanan tangkap (Hughes et al, 2003).Melemahnya struktur karangka kapur terumbu karang akan mengurangi fungsi lain dari ekosistem terumbu karang. Terumbu karang telah terbukti sebagai pelindung pantai dari serangan gelombang maupun tsunami. Para peneliti mencatat bahwa setengah dari energi gelombang/tsunami berkurang setelah melewati terumbu karang yang sehat. Peningkatan CO2 air laut, secara tidak langsung bisa menyebabkan abrasi pantai (Obura D.O., 2005).Perubahan sistem karbonat air laut juga berpengaruh pada ikan. Sebagian besar spesies ikan mengalami penurunan kemampuan reproduksi pada kejenuhan aragonit yang lebih rendah. Sistem lainnya yang juga terganggu adalah tekanan osmosis dan laju metabolisme. Sebagai dampak turunannya, ikan akan semakin mudah terserang penyakit. Pada akhirnya, populasi ikan akan berkurang dan berkurang juga potensi salah satu sumberdaya bagi masyarakat pantai (Hughes et al, 2003).

3.3Perubahan Tinggi Muka Air LautPemanasan global sebagian besar (80%) akan diserap oleh laut. Hal ini akan menyebabkan volume air laut mengembang. Meningkatnya suhu permukaan bumi juga menyebabkan mencairnya es di kedua kutub bumi. Kedua fenomena ini akan menyebabkan semakin meningkatnya permukaan air laut ke arah darat. Dari pengamatan terhadap permukaan air laut selama ini, air laut diperkirakan akan mengalami peningkatan antara 60 100 cm dalam 100 tahun kedepan (IPCC, 2007a).Meningkatnya permukaan air laut bagi Indonesia bisa menenggelamkan beberapa gugus pulau karang. Jika pulau-pulau tersebut merupakan gugus pulau terluar sebagai tempat untuk mengukur batas jurisdiksi, maka hal ini bisa merubah kedaulatan negara pada akhirnya. Departemen Kelautan dan Perikanan sedang melakukan studi kemungkinan sejumlah pulau yang akan tenggelam karena meningkatnya permukaan air laut (Persada dan Sadikin, 2012).Meningkatnya permukaan air laut akan mempengaruhi keberadaan formasi lingkungan pantai, seperti hutan bakau (mangrove). Pada kondisi normal, diduga hutan bakau bisa beradaptasi terhadap peningkatan permukaan air laut. Karena terjadinya secara perlahan, maka hutan bakau akan beradaptasi untuk tumbuh ke arah daratan. Masalahnya adalah bahwa sebagian besar hutan bakau sudah terisolasi oleh konstruksi atau bangunan di bagian daratan. Peluang untuk mengalami adaptasi menjadi hilang, kecuali pada tempat-tempat dimana formasi lingkungan pesisir masih cukup alami (Done et al, 2003)3.4 Perubahan Sirkulasi Massa Air

Pergerakan air permukaan disebabkan oleh gerakan angin sedangkan sirkulasi massa air bawah lebih disebabkan oleh sirkulasi termohaline yang dikontrol oleh perbedaan densitas massa air. Pada kondisi normal, arah pergerakan massa air permukaan akan mengikuti pola arah angin setempat, sedangkan sirkulasi massa air dalam mengikuti sistem pergerakan massa air global the conveyer belt dimana sistem pergerakan massa air perairan Indonesia atau dikenal sebagai sistem ARLINDO (Arus Lintas Indonesia) merupakan bagian dari sistem global tersebut.

Adanya pemanasan global akan mempengaruhi dua penggerak arus terebut. Fenomena El Nino dan La Nina serta pergerakan front massa air termasuk upwelling di luar pola kebiasaan menjadi bukti kuat pengaruh dari perubahan iklim tersebut.

3.4.1 El Nino dan La NinaFenomena Global seperti El Nino dan La Nina tampaknya juga mempengaruhi produktifitas primer di Indonesia. Pada saat terjadi El Nina di Indonesia terjadi kekeringan dan penurunan suhu rata-rata permukaan laut. Sementara itu pada saat terjadi La Nina, suhu rata-rata permukaan laut di Indonesia meningkat dengan ketebalan thermoklin mencapai 150 hingga 200 meter.

Menurunnya suhu rata-rata permukaan air laut di Indonesia terkait dengan bergesernya zona upwelling di ekuator pasifik dan pasifik timur ke pasifik barat di atas Irian Jaya. Pada kondisi normal, di perairan Pasifik Barat terjadi akumulasi massa air panas yang merupakan sumber supplai ke perairan Indonesia melalul mekanisme ARLINDO. Pada tahun El Nino di Pasifik Barat justru terjadi upwelling sehingga perairan Indonesia mendapat supplai air yang relatif dingin dan kaya akan nutrient. Akibatnya di sebagian perairan Indonesia terjadi peningkatan kesuburan. Kondisi sebaliknya terjadi pada tahun La Nina. Gambar 5 berikut memperlihatkan distribusi khlorofil-a di perairan Indonesia pada saat El Nino dan La Nina.

(a) (b)

Gambar 5. Citra Satelit Sea WifS Distribusi Horisontal Klorofil-a 1997 2003, unit log10 (chl a) + 2 (a): Rata-rata (a atas), Fase El Nino maks ( a tengah), Fase La Nina maks (a bawah) dan Citra Satelit AVHRR-SST, unit oC (b),: Rata-rata (b atas), Fase El Nino maks (b tengah) , Fase La Nina maks (b bawah)

(Sumber : Kennely and Yoder, 2004)3.4.2 Bergesernya Front Massa Air

Letak geografis Indonesia di sekitar ekuator dan di antara dua samudera besar memberikan keuntungan tersendiri. Letak geografis ni memungkinkan Indonesia sebagai tempat bertemunya berbagai massa air sehingga terjadi front-front yang dapat memacu terjadinya percampuran vertikal. salah satu dampak dari perubahan iklim di laut adalah bergesernya front massa air baik secara temporal maupun secara spasial. Salah satu front massa air yang dimaksud berdasarkan hasil analisis yang dilakukan penulias adalah front massa air Halmahera.Di perairan Utara Papua Jaya hadir sedikitnya dua macam massa air, massa air pasifik selatan yang relatif hangat dan asin diangkut oleh Arus Pantai Papua (APP) dan massa air Pasifik Utara yang dibawa oleh arus Mindanao. Berdasarkan hash survei Kapal Riset Baruna Jaya I dan kapal Kaiyo (Jepang), diketahui bahwa front di utara Papua, atau dikenal sebagal front Halmahera, Iokasinya bergerak sepanjang tahun dan bertepatan dengan lokasi front merupakan daerah dengan kepadatan pelagis yang tinggi. Gambar 6 dan 7 berikut memperlihatkan keadaan ini.

Pergerakan front Halmahera tampaknya mengikuti pergerakan musim, pada bulan Juli pada saat musim Timur front berlokasi di Utara Kepala Burung, kemudian bergerak ke Barat sehingga pada Bulan Oktober terdeteksi di sebelah Timur Halmahera. Selanjutnya front masih bergerak terus ke utara Halmahera hingga pada bulan Februari terdeteksi di Utara Halmahera. Pada bulan bulan berikutnya front tersebut akan kembali ke selatan, ke Utara Kepala Burung.Pemanasan global yang mempengaruhi dinamika meteorologis-oseanografis akan merubah pola gerakan angin, pengaruh angin musim Timur melemah sehingga front tidak menuju ke Utara dan skala front juga tidak luas. Selanjutnya schooling (gerombolan) ikan juga akan mengikuti keberadaan atau posisi front yang baru ini.

(a) (b) (c) Gambar 6.Pergeseran Front Halmahera, pada Bulan Juli Terletak di Atas Kepala Burung (a), pada Bulan Oktober di Timur Halmahera (b) sedangkan pada Bulan Pebruari di Utara Halmahera (c)

(Sumber : Alkatiri dan Herunadi, Pengkajian Aspek Oseanografi untuk Menunjang

Pengembangan Perikanan Laut, 1999)

Gambar 7. Kepadatan Schooling Pelagis di Utara Papua pada Bulan Juli 1992, kepadatan yang tinggi lokasinya bersesuaian dengan lokasi front pada gambar 7a.

(Sumber : Laporan Survei Poteni Perikanan dan Osenaografi, Desember 1991-Januari 1992; Juni-Juli 1992 di Utara Papua, BPPT-Balitkanlut Deptan, Jakarta,Indonesia)

4. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA SISTEM SOSIAL MASYARAKAT NELAYAN 4.1 Dampak Perubahan Iklim pada Masyarakat Nelayan

Indonesia sebagai negara kepulauan tropis memiliki kekayaan hayati laut yang sangat luar biasa dan merupakan potensi besar bagi kemakmuran rakyatnya. Nelayan dengan ikatan ekonomi maupun historisnya telah memanfaatkan sumber daya hayati laut ini secara turun temurun. Namun kondisi saat ini menunjukkan bahwa berada di tengah melimpahnya kekayaan sumber daya alam hayati laut dan pesisir ternyata belum dapat membuat perekonomian nelayan Indonesia terangkat dari garis kemiskinan.

Keterpurukan nelayan ini diperparah oleh kerusakan ekologi yang terjadi pada ekosistem pesisir dan laut yang menjadi sumber matapencahariannya. Salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan ekologi pesisir dan laut ini adalah perubahan iklim. Perubahan iklim mengacu pada perubahan-perubahan yang terjadi pada iklim dari waktu ke waktu baik secara alamiah maupun disebabkan oleh aktivitas manusia (IPCC, 2007).

Setidaknya terdapat empat hal yang dapat terjadi pada perikanan tangkap terkait dampak-dampak perubahan iklim di wilayah laut (Diposaptono et al., 2009). Pertama, terjadi perubahan pola migrasi ikan akibat perubahan suhu permukaan laut. Kedua, terjadi stratifikasi kolom air yang memengaruhi proses upwelling yang berkorelasi positif dengan gerombolan ikan (fish schooling), dan dengan sendirinya mengakibatkan nelayan sulit menangkap ikan. Ketiga, terjadi perubahan kawasan penangkapan ikan (fishing ground). Keempat, semakin terpuruknya nasib nelayan akibat dibutuhkannya waktu dan biaya yang lebih besar untuk melaut karena migrasi maupun rusaknya habitat perikanan dan fishing ground.

IPCC (2007) juga menyebutkan dampak perubahan iklim berupa pemutihan terumbu karang (coral bleaching) yang berperan sebagai ekosistem penyangga habitat ikan dan biota laut yang selama ini merupakan komoditas tangkapan nelayan.Berdasarkan perspektif masyarakat nelayan di Indonesia secara umum, perubahan ekologi pada ekosistem laut mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan melalui terjadinya perubahan musim ikan dan kekacauan musim angin.

a. Perubahan musim ikan

IPCC (2007) menyebutkan bahwa kedepannya, perubahan arus laut, naiknya permukaan laut, suhu air laut, perubahan salinitas, arah dan kecepatan angin, kekuatan upwelling, ketebalan lapisan pencampuran di laut dan respon predator terhadap perubahan iklim memiliki potensi untuk secara substansial mengubah habitat berkembang biak ikan dan pasokan makanan bagi ikan hingga akhirnya kelimpahan populasi ikan di perairan Asia. wilayah penangkapan inilah yang dipahami oleh nelayan sebagai musim penangkapan ikan atau musim ikan.

Perubahan musim ikan ini sangat mempengaruhi penghasilan nelayan mengingat beberapa spesies ikan memang hanya datang di musim-musim tertentu. Salah satunya adalah ikan layur. Ikan layur merupakan salah satu ikan musiman yang hanya bisa ditangkap pada periode tertentu dalam satu tahun. Biasanya ketika musim ikan layur datang, ikan ini akan muncul dalam jumlah yang besar. Menurut nelayan, perubahan iklim diduga telah memberi dampak yang signifikan terhadap periode musim ikan jenis ini, karena berdasarkan pengakuan nelayan, pada beberapa tahun belakangan jumlah ikan layur yang diperoleh semakin sedikit atapun tidak terdapat ikan layur sama sekali dalam satu tahun.

b. Kekacauan musim angin

Salah bentuk dari perubahan iklim yang mepengaruhi kegiatan produksi nelayan adalah perubahan pola angin (UNEP, 2009). Perubahan pola angin, selain memengaruhi proses sirkulasi yang pada akhirnya berdampak pada kelimpahan ikan di lautan, juga menyebabkan sulitnya nelayan memprediksi waktu-waktu yang tepat untuk melaut. Nelayan Indonesia umumnya mengenal dua musim angin yang berhembus di wilayah perairan laut , yaitu musim angin timur dan musim angin barat. Musim angin timur berhembus sejak bulan April hingga Agustus, sedangkan musim angin barat berhembus di bulan September hingga Januari.

Perubahan iklim, berdasarkan perspektif nelayan, menyebabkan kekacauan musim angin di wilayah penangkapan. Bulan-bulan yang telah dipahami sebagai musim berhembusnya angin timur, saat ini mengalami pergeseran atau kekacauan dimana angin barat kadang datang secara tiba-tiba di tengah musim angin timur. Selain itu, pergeseran musim terjadi dimana angin barat datang lebih awal, yang sekaligus memotong masa angin timur dan merugikan sebagian besar nelayan yang tidak dapat pergi melaut. Kekacauan musim ini menyebabkan sulitnya nelayan menentukan waktu yang tepat untuk melaut

Menurut Helmi dan Satria (2012) berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada beberapa masyarakat pesisir (Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan; Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat) menyatakan bahwa Perubahan Iklim menyebabkan terjadinya dampak sosial-ekonomi pada: kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat serta aktivitas perikanan tangkap (sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan, sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, meningkatnya resiko melaut, dan terganggunya akses kegiatan melaut). 1. Dampak pada kesehatan lingkungan dan pemukiman masyarakat. Dampak perubahan iklim yang terjadi pada lingkungan masyarakat nelayan yaitu terganggunya sumber-sumber air bersih dan terjadinya angin puting beliung di wilayah pemukiman. Dampak lain dari perubahan iklim ini adalah meningkatnya cuaca ekstrim yang berpotensi menjadi pendorong berkembangnya penyakit-penyakit yang mewabah seperti demam berdarah, malaria, typhus dan lain-lain.

2. Dampak pada aktivitas perikanan tangkap. Pada perikanan, perubahan iklim menyebabkan menurunnya hasil tangkapan nelayan yang dipicu oleh : a) Sulitnya menentukan wilayah tangkapan ikan. Sebagaimana kebiasaan turun-temurun sebagai suatu local wisdom, masyarakat nelayan telah memiliki wilayah penangkapan tertentu yang menjadi areanya mencari ikan selama bertahun-tahun. Perubahan iklim akan menyebabkan perubahan pola migrasi ikan. Hal ini kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan tradisional yang masih mengandalkan pengetahuan lokal serta pengalaman empirik semata dalam pencarian ikan. Ketika perubahan iklim memberi dampak yang signifikan pada kondisi ekosistem laut dan membuat banyak perbedaan dibanding kondisi lautan sebelumnya, pengalaman empirik nelayan dalam pencarian ikan menjadi tidak berlaku lagi. Nelayan menjadi sulit untuk menentukan wilayah penangkapan ikan. Hal ini diperburuk dengan semakin sedikitnya stok ikan yang terdapat di lautan, baik akibat perubahan pola migrasi ikan maupun kerusakan wilayah mangrove yang merupakan habitat dari berbagai jenis komoditas tangkapan nelayan.

b). Sulitnya menentukan musim penangkapan ikan.

Perubahan iklim yang menyebabkan tidak lagi berlakunya kalender musim penangkapan ikan, menyebabkan nelayan merasa kesulitan dalam menentukan waktu-waktu untuk memulai kegiatan melaut. Berbagai pengetahuan lokal, seperti tata mangsa juga dirasakan oleh nelayan tidak lagi relevan sebagai acuan dalam menghitung musim angin. Sulitnya memprediksi musim penangkapan ikan ini juga menyebabkan kerugian yang signifikan bagi para nelayan. Hal tersebut terjadi ketika tiba periode dimana biasanya nelayan melaut dan mendapatkan hasil tangkapan yang menguntungkan, namun yang terjadi justru biaya produksi yang dikeluarkan melebihi dari hasil yang diperoleh.

c). Meningkatnya resiko melaut.

Salah satu dampak perubahan iklim pada eksosistem laut adalah meningkatnya frekuensi gelombang ekstrim dan badai. Hal ini juga merupakan dampak turunan dari terjadinya kenaikan permukaan air laut (UNEP, 2009). Pada wilayah perairan laut gelombang ekstrim serta badai merupakan ancaman yang biasanya datang ketika tiba musim angin barat serta musim penghujan. Namun perubahan iklim yang terjadi menyebabkan kejadian gelombang ekstrim dan angin kencang juga seringkali terjadi di musim angin timur, dan masa-masa puncak kegiatan penangkapan. Hal ini tentu sangat merugikan, dimana perahu dan sarana penangkapan ikan masyarakat nelayan yang masih tradisional dan tidak menghadapi badai ataupun gelombang besar.

d). Terganggunya akses kegiatan melaut.

Umumnya para nelayan tradisional lebih memilih muara sungai sebagai tempat untuk menambatkan perahunya. Kenaikan tinggi muka air laut akan menimbulkan perubahan pola sedimentasi sehingga menyebabkan pendangkalan muara sungai yang dapat menganggu akses keluar masuknya perahu nelayan (Diposaptono et al., 2009) .Dampak Perubahan Iklim pada kegiatan penangkapan ikan dan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat nelayan selanjutnya digambarkan dalam bentuk pola hubungan sebagaimana tercantum pada gambar 8.

Gambar 8. Dampak Perubahan Iklim pada Kegiatan Penangkapan Ikan dan Kehidupan Sosial-Ekonomi Nelayan(Sumber : Patriana, Satria, 2013)4.2 Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan

4.2.1 Jenis Adaptasi dan Strategi Ekonomi

1. Adaptasi Iklim

Sulitnya memperoleh hasil tangkapan di suatu wilayah penangkapan ikan mendorong para nelayan melakukan strategi adaptasi yang di kalangan nelayan biasa disebut dengan strategi mengejar musim ikan. Strategi ini merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan oleh para nelayan apabila di wilayah perairan di sekitar daerahnya mengalami masa paceklik. Informasi keberadaan ikan di wilayah lain dari satu nelayan ke nelayan lainnya inilah yang mendorong para nelayan melakukan kegiatan penangkapan ikan di wilayah dimana musim ikan tersebut terjadi. 2. Adaptasi Sumberdaya Pesisir

Adaptasi sumber daya pesisir adalah bentuk strategi ekonomi melalui pemanfaatan sumber daya pesisir untuk menghasilkan berbagai komoditas bernilai ekonomi tanpa pergi ke laut lepas. Salah satu sumber daya yang cukup potensial adalah mangrove. Apabila daerah tersebut memiliki lahan mangrove yang cukup luas. Meskipun bukan dalam kondisi yang sangat baik, perairan di wilayah mangrove ini masih memberikan hasil perikanan yang bermanfaat bagi para nelayan. Salah satu komoditas wilayah mangrove dengan nilai ekonomi yang tinggi adalah kepiting bakau. Kegiatan pencarian kepiting bakau ini juga menjadi salah satu alternatif pola adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di kala kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk ke laut. Di musim-musim paceklik pun banyak nelayan yang mencari kepiting bakau sebagai komoditas substitusi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari.

Selain kepiting bakau, komoditas lain yang dapat diperoleh dari wilayah mangrove adalah ikan belanak serta kerang atau totok. Kerang totok ini adalah sejenis kerang hidup di wilayah pasang surut serta sekitar mangrove. Para istri nelayan seringkali mencari kerang ini untuk dikonsumsi ataupun diolah menjadi sate kerang kemudian dijual. Kelimpahan kerang totok di wilayah mangrove umumnya masih cukup tinggi. Pengolahan kerang ini dapat menjadi alternatif tambahan pendapatan bagi keluarga nelayan ketika nelayan mengalami kesulitan melaut.3). Adaptasi Alokasi Sumber daya Manusia dalam Rumah Tangga

a). Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga

Ketika musim ikan sedang tidak menentu dan frekuensi melaut nelayan semakin berkurang, anak-anak nelayan seringkali mencari tangkapan di wilayah mangrove, baik bersama nelayan (ayahnya) ataupun bersama anak-anak nelayan lainnya. Para istri nelayan juga berperan dalam menyelamatkan ekonomi keluarga dengan melakukan usaha-usaha lainnya seperti pengolahan totok. Selain itu, ketika musim paceklik berkepanjangan dimana nelayan mulai melakukan pekerjaan sambilan sebagai buruh tani, para istri nelayan juga biasanya ikut melakukan pekerjaan yang sama bersama suami demi menambah penghasilan yang didapatkan. Optimalisasi tenaga kerja rumah tangga yang paling menghasilkan biasanya diperoleh jika salah satu anggota keluarga mulai melakukan migrasi, mencari pekerjaan ke kota atau menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia) ke luar negeri.

b). Pola Nafkah Ganda Tani-Nelayan

Apabila daerah yang didiami masyarakat nelayan memelikiki sumberdaya lahan pertanian yang cukup luas akan mendorong pola adaptasi nelayan ke arah pertanian. Perubahan iklim menyebabkan meningkatnya resiko melaut sehingga memaksa nelayan untuk mencari alternatif sumber nafkah di daratan. Salah satu yang paling dominan adalah buruh tani.

c). Pola Nafkah Ganda Jasa Pengangkutan

Perahu, bagi kebanyakan nelayan merupakan harta sekaligus modal satu-satunya yang dapat diandalkan untuk melakukan usaha-usaha ekonomi. Ketika musim paceklik tiba, nelayan yang memiliki perahu menggunakan perahu mereka sebagai jasa pengangkutan. Perahu ini seringkali disewa sebagai sarana pengangkut seperti pengangkutan hasil kayu yang ditebang di hutan masyarakat sekitar muara sungai dan tebing di tepian pantai.

d). Adaptasi Melalui Keluar dari Kegiatan Perikanan (Escaping from Fisheries) Kondisi ekosistem pesisir di Indonesia yang sebagian besar memprihatinkan dari hari ke hari, penghasilan dari laut yang semakin tidak mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, serta keterbatasan sarana yang dimiliki menyebabkan sebagian nelayan memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai nelayan dan mencari pekerjaan baru. Terdapat dua pekerjaan yang biasanya menjadi tujuan alih profesi ini, yaitu buruh pabrik dan petani. 4.2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pilihan Adaptasi dan Strategi Ekonomi Nelayan Pilihan strategi ekonomi dan adaptasi nelayan dipengaruhi oleh berbagai faktor dapat dilihat pada karakteristik individu nelayan pelaku adaptasi/strategi tersebut. Karakteristik ini diantaranya adalah klasifikasi nelayan, luasnya jejaring sosial nelayan tersebut, kepemilikan sarana produksi perikanan seperti perahu dan alat tangkap lainnya, status sosial nelayan, banyaknya jumlah anggota keluarga nelayan serta kedekatan nelayan tersebut dengan suatu budaya pekerjaan. Hubungan antara pilihan strategi dan adaptasi yang dilakukan oleh nelayan dengan faktor yang mempengaruhinya, berdasarkan observasi dari peneltian-penelitian sebelumnya, dapat dilihat dalam tabel 1.

Tabel 1. Jenis Adaptasi dan Strategi Ekonomi Nelayan, Serta Faktor yang Mempengaruhi(Sumber : Patriana dan Satria, 2013; Helmi dan Satria, 2012)

No. Jenis Adaptasi dan Strategi Ekonomi UraianKarakteristik Nelayan

1.Adaptasi Iklim Melakukan perpindahan wilayah tangkapan dengan memanfaatkan informasi mengenai musim ikan di wilayah lainNelayan penuh dengan kapasitas dan kepemilikan sarana produksi yang lebih memadai. Memiliki jejaring sosial yang luas antar nelayan di berbagai tempat

2.Adaptasi Sumberdaya Pesisir Pencarian hasil tangkapan tanpa harus pergi ke laut lepas Nelayan penuh yang memiliki sarana produksi cukup memadai, namun cenderung kurang memiliki jejaring sosial yang luas

3.Adaptasi Alokasi Sumberdaya Manusia dalam Rumah Tangga

3.1Optimalisasi Tenaga Kerja Rumah Tangga Melibatkan peran dari anggota keluarga dalam perekonomian rumah tanggaKeluarga nelayan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggi dan cenderung jejaring sosial yang luas

3.2Nafkah Ganda: Tani- Nelayan Bekerja sebagai buruh tani selama paceklik atau mencari sumber pendapatan lain dari kegiatan berkebun Nelayan yang dekat dengan budaya pertanian, memiliki kerabat petani atau dahulu merupakan seorang petani

3.3Nafkah Ganda: Jasa Pengangkutan Memanfaatkan perahu yang dimilikinya untuk mengangkut berbagai komoditas dari pulau nusa kambangan atau daerah-daerah di tepi laut Nelayan dengan status sosial yang cenderung lebih rendah, namun memiliki sarana produksi yang memadai

3.4Keluar dari Kegiatan Perikanan

a.Buruh

Meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan beralih menjadi buruh tetap Nelayan dengan status sosial yang rendah, dengan kepemilikan sarana produksi yang rendah pula

b. Petani Meninggalkan pekerjaan sebagai nelayan dan beralih menjadi petani sepenuhnya Nelayan yang sejak dahulu merupakan petani (tani-nelayan) serta nelayan yang dekat dengan budaya pertanian ataupun memiliki lahan pertanian

Sementara itu sebagai keseluruhan dari gambaran hubungan dampak Perubahan Iklim terhadap sistem ekologis laut dan sistem sosial masyarakat nelayan disederhanakan dalam gambar berikut (gambar 9).

Gambar 9. Kerangka Pendekatan Hubungan Dampak Perubahan Iklim terhadap Sistem Ekologis laut dan Sistem Sosial Masyarakat Nelayan5. KESIMPULANPerubahan iklim yang terjadi memberikan dampak pada sistem ekologis dan sosial masyarakat nelayan pesisir. Dampak pada sistem ekologis laut seperti kenaikan suhu permukaan laut, kenaikan tinggi muka laut, asidifiksi, gelombang ekstrim dan perubahan sirkulasi massa air pada tahap selanjutnya akan menimbulkan degradasi sumberdaya pesisir-laut dan akan mempengaruhi dinamika populasi sumberdaya perikanan pelagis baik secara temporer maupun spasial.

Sementara itu dampak terhadap sistem sosial masyarakat nelayandipicu awalnya dari pengaruh Perubahan iklim yang i mempengaruhi aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan akibat terjadinya perubahan musim ikan dan kekacauan musim angin. Dampaknya adalah menurunnya hasil tangkapan yang disebabkan oleh sulitnya menentukan wilayah tangkapan, sulitnya menentukan musim penangkapan ikan, meningkatnya resiko melaut dan terhambatnya akses kegiatan melaut.

Adaptasi dan strategi ekonomi yang dilakukan oleh nelayan dalam menghadapi permasalah perubahan iklim ini didominasi oleh pola-pola adaptasi yang sifatnya reaktif. Hal ini terjadi karena nelayan Ciawitali hingga sejauh ini masih merupakan nelayan tradisional dengan akses teknologi serta informasi yang relatif terbatas sehingga bentuk adaptasi yang lebih antisipatif belum ada dan belum diketahui oleh masyarakat. Bentuk adaptasi yang telah dilakukan antara lain yaitu:

1. Adaptasi iklim berupa mengejar musim ikan ke wilayah lain.

2. Adaptasi sumber daya pesisir dengan mencari hasil tangkapan di wilayah mangrove.

3. Adaptasi alokasi sumber daya manusia dalam rumah tangga yang meliputi optimalisasi tenaga kerja rumah tangga, pola nafkah ganda tani-nelayan, serta jasa pengangkutan menggunakan perahu nelayan.

4. Adaptasi melalui keluar dari kegiatan perikanan (escaping from fisheries) dengan cara beralih profesi.

DAFTAR PUSTAKAAlkatiri, A., B. Herunadi. 1999. Pengkajian Aspek Oseanografi untuk Menunjang Pengembangan Perikanan Laut. Makalah Seminar Industri Kelautan, ITS-Surabaya.

Buddemeier RW, Kleypas JA and Aronson R. 2004. Coral Reefs and Global Climate Change: Potential Contributions of Climate Change to Stresses on Coral Reef Ecosystems. Prepared for the Pew Center on Global Climate Change.

CCSP (Climate Change Science Program and the Subcommittee on Global Change Research), 2003. Vision for the Program and Highlights of the Scientific Strategic Plan, US Climate Change Science Program,Washington DCCEIoCC. 2012. Ecological Impacts of Climate Change. NRC-The National Academic Press, Washington-USA.

Davies, S. 1993. Are Coping Strategies a Crop Out?. IDS Bulletin, 24, 6072.

Diposaptono, S. 2009, Review Draft Road Map Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim Sektor Pesisir dan Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Oktober 2009.Done TJ, Whetton P, Jones R, Berkelmans R, Lough J, Skirving W and Wooldridge S., 2003. Global Climate Change and Coral Bleaching on the Great Barrier Reef. Final report to the State of Queensland Greenhouse Taskforce. Department of Natural Resources and Mining,Townsville, Australia.Durkan, M.H. 2014. Northern Ireland Climate Change Adaptation Programme. Department of Environment. 2014. In : http://www.doeni.gov.uk/ ni_climate_change _adaptation_ programme__niap__-_pdf_for_web_page_-_jan_2014.pdf. Diakses : 22 Februari 2015 jam 05.30.

Fabry, V. J., B. A. Seibel, R. A. Feely, and J. C. Orr. 2008. Impacts of ocean acidification on marine fauna and ecosystem processes. ICES Journal of Marine Sciences 65:414.

Feely, R.A., C.L Sabine, K. Lee, W. Berlson, J. Kleypas, V.J Fabry and F.J Millero. 2004. Impact of Anthropogenic CO2 on the CaCO3 System in the Oceans. Science Vol. 305, 16 July 2004.

Helmi, A. dan A. Satria 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis. MAKARA, Sosial Humaniora, Vol. 16, No. 1, Juli 2012 : 68-78

Hughes TP, Baird AH, Bellwood DR, Card M, Connolly SR, Folke C, Grosberg R, Hoegh-Guldberg O, Jackson JBC, Kleypas J, Lough JM, Marshall P, Nystroem M, Palumbi SR, Pandolfi JM, Rosen B and Roughgarden J., 2003. Climate Change, Human Impacts, and the Resilience of Coral Reefs. Science 301:929933.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate Change 2007 - The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the IPCC. Cambridge, Cambridge University Press.IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007a. Summary for policymakers. IN: Climate Change 2007: Impacts, Adaptation and Vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, eds. M. L. Parry, O. F. Canziani, J. P. Palutikof, P. J. v. d. Linden, and C. E. Hanson.Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007b. Summary for Policymakers . IN: Climate Change 2007: The Physical Science Basis: Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, eds. S. Solomon, D. Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, K. B. Averyt, M.Tignor, and H. L. Miller. pp. 1-21. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) . 2007c. Summary for Policymakers. IN: Climate Change 2007: Mitigation. Contribution of Working Group III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. eds., B. Metz, O. R. Davidson, P. R. Bosch, R. Dave, and L. A. Meyer. pp. 1-23. Cambridge, U.K.: Cambridge University Press.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007d. Climate Change 2007: Synthesis Report. Contribution of Working Groups I, II and III to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, eds. R. K. Pachauri and A. Reisinger. Geneva: IPCC.

Kennely, M.A., J.A.Yoder. 2004. Co-Variability of Global SeaWiFS-Chlorophyll and AVHRR-SST. Graduate School of Oceanography, University of RhodeIsland

Kleypas JA, Buddemeier RW, Archer D, Gattuso JP, Langdon C and Opdyke BN. 1999. Geochemical consequences of increased atmospheric carbon dioxide on coral reefs. Science 284:118120.

Kusnadi . 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta: Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media

Lucky Kristi 2010. Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Ekosistem Terumbu Karang. Program Studi Oceanografi, Universitas Diponegoro

Obura D.O., 2005. Resilience and climate change: lessons from coral reefs and bleaching in the Western Indian Ocean. Estuarine, Coastal and Shelf Science: Science for management in the western Indian Ocean 63:353372.

Patriana, R, dan A. Satria 2013 Pola Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Iklim : Studi Kasus Nelayan Dusun Ciawitali. J. Sosek KP Vol. 8 No. 1 Tahun 2013

Persada, C. dan P.N Sadikin. 2012. Kerentanan dan Adaptasi Kawasan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Terhadap Perubahan Iklim. Dirjend P2K-DKP, Jakarta.

Satria A. 2009a. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia. Bogor: IPB Press

Tim Survei. 1992.Baruna Jaya 1, Laporan Survei Potensi Perikanan dan Oseanografi,Juni-Juli, 1992, di Utara IRJA. K/R Baruna Jaya I, BPPT, Jakarta, 1992.

UNEP. 2009. Climate Change Science Compendium. United Nation Environment Programme. http://www.unep.org/pdf/ccScienceCompendium2009. Diakses pada 28 Pebruari 2015 pukul 07.30.

20