8
1 Selamat datang Sudah banyak buletin dan terbitan lain yang memuji maupun mengkritik upaya terkini oleh industri kelapa sawit untuk merealisasikan komitmennya terhadap transformasi menuju keberlanjutan. Namun, belum banyak yang secara proaktif berusaha menjangkau LSM dan pelaku masyarakat sipil lainnya di lapangan, baik yang berlatarbelakang di bidang aktivisme sosial, keadilan lingkungan maupun yang lainnya. Pada tahun 2007, Aidenvironment mulai mengemukakan kecemasan yang timbul di berbagai daerah atas kegiatan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan kepada masyarakat internasional. Pada tahun-tahun terakhir ini, kecemasan tersebut semakin hari semakin disikapi dengan serius. Bahkan, kami melihat semakin banyak perusahaan arus utama di wilayah Asia berpegang teguh pada keberlanjutan. Sesuatu yang kami menganggap sangat penting adalah keterlibatan masyarakat sipil di Asia Tenggara dalam proses perubahan, karena perubahan menawarkan kesempatan untuk menyelamatkan hutan dan lahan gambut, menyelesaikan konflik sosial yang berkepanjangan serta mempengaruhi kebijakan. Hal ini hanya dimungkinkan apabila pelaku masyarakat sipil memahami perubahan yang telah tercapai serta tantangan yang sedang dihadapi. Langkah selanjutnya adalah kerjasama dan komunikasi satu sama lain antara masyarakat sipil, perusahaan dan pemerintah guna menghindari atau tidak mengulangi kesalahan dari masa lalu, yang dijalankan dengan perspektif yang berjangka lebih panjang terhadap masa depan. Eric Wakker, Aidenvironment Asia LATAR BELAKANG Tahun 2014 merupakan tahun penting bagi lingkungan hidup ketika empat dari grup perusahaan kelapa sawit terbesar, yaitu Asian Agri, Cargill, Golden-Agri dan Wilmar menyatakan komitmen untuk mendukung Deklarasi New York tentang Hutan di acara Pertemuan Puncak Perubahan Iklim PBB di New York pada bulan September 2014. Wilmar menjadi grup pertama yang mengumumkan kebijakan terpadu Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE) nya pada bulan Desember 2013, yang kemudian disusul grup lain. Kebijakan pembeliannya berlaku untuk semua pabrik dan perkebunan yang dimiliki, dioperasikan atau ditanami modal dan untuk pemasok pihak ketiga. Kebijakan tersebut sedang mendorong transformasi di industri kelapa sawit menuju pelaksanaan yang lebih bertanggung jawab. Buletin ini bermaksud menyampaikan informasi kepada LSM dan para pemimpin tingkat akar rumput di wilayah Asia Tenggara - Pasifik tentang dampak dari kebijakan- kebijakan tersebut, serta peluang yang ditawarkannya kepada masyarakat sipil. Informasi yang disampaikan dalam buletin ini berdasarkan hasil monitoring Aidenvironment. Kami sangat menghargai masukan dan saran dari pembaca kami. Untuk menyampaikannya silahkan hubungi Priscillia Moulin ([email protected]). DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI Juli 2016

DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

  • Upload
    doanh

  • View
    261

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

1

Selamat datang

Sudah banyak buletin dan terbitan lain yang memuji maupun mengkritik upaya

terkini oleh industri kelapa sawit untuk merealisasikan komitmennya terhadap

transformasi menuju keberlanjutan. Namun, belum banyak yang secara proaktif

berusaha menjangkau LSM dan pelaku masyarakat sipil lainnya di lapangan,

baik yang berlatarbelakang di bidang aktivisme sosial, keadilan lingkungan

maupun yang lainnya.

Pada tahun 2007, Aidenvironment mulai mengemukakan kecemasan yang

timbul di berbagai daerah atas kegiatan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan

kepada masyarakat internasional. Pada tahun-tahun terakhir ini, kecemasan

tersebut semakin hari semakin disikapi dengan serius. Bahkan, kami melihat

semakin banyak perusahaan arus utama di wilayah Asia berpegang teguh pada

keberlanjutan.

Sesuatu yang kami menganggap sangat penting adalah keterlibatan masyarakat

sipil di Asia Tenggara dalam proses perubahan, karena perubahan menawarkan

kesempatan untuk menyelamatkan hutan dan lahan gambut, menyelesaikan

konflik sosial yang berkepanjangan serta mempengaruhi kebijakan. Hal ini

hanya dimungkinkan apabila pelaku masyarakat sipil memahami perubahan

yang telah tercapai serta tantangan yang sedang dihadapi.

Langkah selanjutnya adalah kerjasama dan komunikasi satu sama lain antara

masyarakat sipil, perusahaan dan pemerintah guna menghindari atau tidak

mengulangi kesalahan dari masa lalu, yang dijalankan dengan perspektif yang

berjangka lebih panjang terhadap masa depan.

Eric Wakker, Aidenvironment Asia

LATAR BELAKANG

Tahun 2014 merupakan tahun penting bagi lingkungan hidup ketika empat dari grup perusahaan kelapa sawit terbesar, yaitu Asian Agri, Cargill, Golden-Agri dan Wilmar menyatakan komitmen untuk mendukung Deklarasi New York tentang Hutan di acara Pertemuan Puncak Perubahan Iklim PBB di New York pada bulan September 2014. Wilmar menjadi grup pertama yang mengumumkan kebijakan terpadu Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE) nya pada bulan Desember 2013, yang kemudian disusul grup lain. Kebijakan pembeliannya berlaku untuk semua pabrik dan perkebunan yang dimiliki, dioperasikan atau ditanami modal dan untuk pemasok pihak ketiga. Kebijakan tersebut sedang mendorong transformasi di industri kelapa sawit menuju pelaksanaan yang lebih bertanggung jawab.

Buletin ini bermaksud menyampaikan informasi kepada LSM dan para pemimpin tingkat akar rumput di wilayah Asia Tenggara - Pasifik tentang dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut, serta peluang yang ditawarkannya kepada masyarakat sipil. Informasi yang disampaikan dalam buletin ini berdasarkan hasil monitoring Aidenvironment.

Kami sangat menghargai masukan dan saran dari pembaca kami. Untuk menyampaikannya silahkan hubungi Priscillia Moulin ([email protected]).

DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI Juli 2016

Page 2: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

2

LIPUTAN FEATURE: PERKEMBANGAN WILMAR DALAM INTERVENSI PEMASOK PIHAK KETIGA

Setelah mengumumkan komitmen terhadap ‘kebijakan nol deforestasi’, sebagian besar perusahaan penyuling-pedagang minyak

kelapa sawit telah meluncurkan sistem dashboard yang menyampaikan informasi kepada publik mengenai kebijakan dan basis

pasokan perusahaan serta keluhan yang diajukan kepadanya atau kepada para pemasoknya. Dalam liputan feature ini, kami berfokus

pada perkembangan Wilmar dalam hubungannya dengan pemasok pihak ketiga, dan menilai kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut,

Nol Eksploitasi (No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) Wilmar serta dampaknya terhadap rantai pasokannya.

Berdasarkan temuan Aidenvironnment, sejak peluncuran kebijakan NDPEnya hingga bulan Mei 2016, Wilmar telah mengumpulkan

portfolio berisi sekitar 60 kasus yang dipantau. Dari kasus tersebut - termasuk keluhan yang diajukan melalui prosedur pengaduan

(Grievance Procedure) dan pemasok yang dipantau secara proaktif dengan bantuan dari konsultan independen – sebanyak 92%

melibatkan pemasok pihak ketiga, sementara sisanya menyangkut anak perusahaan Wilmar. Sebanyak tiga-perempat kasus tersebut

melibatkan pemasok di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Sebagian besar kasus menyangkut berbagai masalah

ketidakpatuhan. Selama ini, persoalan lingkungan hidup, seperti deforestasi pada hutan stok karbon tinggi (HCS) dan kawasan

bernilai konservasi tinggi (HCV), serta pengembangan dan pembakaran di atas lahan gambut masih dominan pada tiga-perempat

kasus yang tercatat; sedangkan sisanya menyangkut masalah sosial.

Menurut Wilmar, 40% dari seluruh kasus masih berlangsung saat ini. Tujuh grup pemasok telah berkomitmen untuk mematuhi

kebijakan pembeliannya, namun beberapa di antaranya enggan untuk mengumumkan komitmennya secara publik. Jumlah

perusahaan yang sama sudah ditangguhkan, beberapa diantaranya oleh RSPO dan juga oleh pembeli lain.

Dampak dari kebijakan dan intervensi Wilmar patut disimak; penelitian kami menunjukkan bahwa grup pemasok yang mematuhi

kebijakannya telah menghentikan pengembangan lahan di total luas areal hutan, gambut dan lahan masyarakat yang diperkirakan

sebesar 350.000 ha.

Menurut kami, jumlah kasus “Nol Eksploitasi” dapat bertambah di masa yang akan datang karena kasus yang menyangkut

deforestasi dan pengembangan di atas lahan gambut akan menurun di tahun-tahun ke depan, dan pasar mungkin akan menuntut

peningkatan akuntabilitas untuk menangani ketidakadilan sosial. Jumlah kasus di “negara pemasok ketiga” (third-supplier countries)

seperti Papua Nugini mungkin akan meningkat, menyusul pembatasan perluasan lahan perkebunan di Indonesia.

0

5

10

15

20

25

30

Deforestasi Hasmasyarakat

Kebakaran Gambut HCV Pencemaran Hak pekerja

Persoalan utama yang dihadapi(Des. 2013-Mei 2016)

Hak

Page 3: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

3

PERUSAHAAN KELAPA SAWIT MENERAPKAN ‘KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI‘

Peluncuran kebijakan NDPE Wilmar pada tanggal 5 Desember 2013 - yang disusul komitmen oleh Golden Agri Resources pada bulan

Februari 2014, Cargill pada bulan Juli 2014, Asian Agri dan Apical pada bulan September 2014, Musim Mas pada bulan Desember

2014, Archer Midlands Daniels pada bulan Mei 2015 dan pedagang-penyuling lainnya - membawa pesan yang cukup jelas kepada

perusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu: pengembangan perkebunan yang mengorbankan hutan Stok Karbon Tinggi (HCS), areal

Bernilai Konservasi Tinggi (HCV), lahan gambut dan hak asasi manusia sudah tidak dapat diterima lagi. Ketidakbersediaan untuk

menerima kenyataan ini berarti pintu akses ke pabrik penyulingan akan ditutup. Beberapa perusahaan yang tersebut di atas, sekali

lagi dipelopori oleh Wilmar, mengambil langkah lebih jauh lagi yang belum pernah ada sebelumnya dengan mengumumkan daftar

nama perusahaan pemasoknya.

Mengingat terjadinya tekanan sesama perusahaan di Malaysia dan Indonesia, maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar

pihak yang menekuni agenda transformasi industri di Asia Tenggara ini bermarkas di Singapura. Di antaranya terdapat tiga dari

empat grup perusahaan ‘murni’ perkebunan yang menerapkan kebijakan NDPE pada tahun 2015. Perusahaan tersebut adalah

Kencana Agri, First Resources dan Bumitama Agri. Grup keempat yang menyusul perusahaan pelopor tersebut adalah grup

perusahaan Indonesia, yaitu Astra Agro Lestari. Total luas areal lahan di Indonesia yang dipegang oleh perusahaan-perusahaan ini

sebesar 750.000 ha.

Selain dari dorongan pasar, para LSM juga berperan penting dalam

percepatan tindakan perusahaan-perusahaan tersebut. Kasus

Kencana Agri Ltd. pertama kali dikemukakan oleh Greenomics pada

pertengahan tahun 2014. Anak perusahaan dari grup tersebut

memegang hak guna usaha untuk membuka dan menanam lebih dari

27.000 ha lahan hutan di Kabupaten Gorontalo di Sulawesi. Pada

bulan Januari 2015, Wilmar, yang memegang saham sebesar 20%

dalam Kencana Agri, kemudian mendorong grup itu untuk

meluncurkan ‘kebijakan keberlanjutan’ sendiri, yang memuat prinsip-

prinsip lingkungan hidup dan sosial yang serupa dengan Kebijakan

NDPE Wilmar. Hasil monitoring menunjukkan bahwa sejak itu tidak

ada pengembangan lahan lebih lanjut (lihat gambar di sebelah kiri),

dan dengan itu, sekarang kawasan hutan tropis seluas 20.000 ha di dalam areal konsesi Kencana Agri tidak akan dibuka untuk

pengembangan perkebunan kelapa sawit.

Grup perusahaan kedua yang menyatakan komitmen adalah First Resources Ltd., yang juga terdaftar di Bursa Efek Singapura (SGX).

First Resources meluncurkan kebijakannya pada tanggal 1 Juli 2015. Setelah menyatakan komitmen tersebut, CEO perusahaan itu

mendengar pengaduan yang diajukan oleh perwakilan LSM di Kuala Lumpur mengenai empat keluhan RSPO terhadap anak

perusahaan First Resources. CEO First Resources berkomitmen mengambil tindakan tepat untuk memperbaiki keputusan lama dari

manajemen yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebijakan grup yang berlaku saat ini.

Bumitama Agri Ltd. adalah perusahaan ketiga yang menyatakan komitmen

‘kebijakan NDPE’ pada bulan Agustus 2015. Hanya dua tahun sebelumnya,

perusahaan tersebut menghadapi tekanan dari berbagai LSM karena tidak

mematuhi aturan RSPO. Setelah kunjungan lapangan bersama oleh pihak RSPO,

Rabobank dan Aidenvironment pada bulan Maret 2015 (foto di sebelah kiri), CEO

Bumitama mengamanatkan tim tanggung jawab sosial perusahaannya (CSR)

untuk melaksanakan kegiatan yang berkelanjutan di lapangan. Pada bulan

September 2015, Grup tersebut berkomitmen untuk tidak membuka ribuan

hektar hutan HCS dan lahan gambut di bawah haknya. Pada bulan Agustus 2015,

Bumitama berkomitmen pada pendekatan bentang alam untuk menyikapi

keberlanjutan.

Perusahaan perkebunan kelapa sawit keempat yang menyatakan komitmen adalah Astra Agro Lestari yang meluncurkan

kebijakannya pada bulan September 2015. Tindakan tersebut menyusul kampanye “She’s not a Fan” oleh Forest Heroes yang

menargetkan Hotel Mandarin Oriental milik investor pemegang saham kendali dalam Astra Agro Lestari.

Page 4: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

4

Sayangnya, sejauh ini baru empat perusahaan ini yang menyatakan komitmennya terhadap Kebijakan NDPE di hadapan umum. Ada

perusahaan lain yang juga berkomitmen pada hal yang sama, namun hanya secara bilateral karena kuatir akan reaksi dari

perusahaan lain dan politikus di wilayah dan negara operasionalnya.

KEBAKARAN TAHUN 2015: HASIL DAN TANTANGAN

Pada tahun 2015, bencana kebakaran dahsyat di Indonesia dan kabut asap lintas batas kembali terjadi. Api menghanguskan kawasan

lindung, lahan masyarakat dan lahan konsesi perkebunan, termasuk areal bernilai konservasi tinggi (HCV) yang sudah dicadangkan,

terutama di areal lahan gambut. Pemerintah Indonesia telah melarang pembakaran untuk membuka lahan dalam pengembangan

perkebunan selama 20 tahun. Sekarang, perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran akan dikeluarkan dari rantai pasokan

kelapa sawit. Wilmar International, misalnya, menyatakan bahwa: “Seluruh pemasok kami telah diberitahu bahwa pelanggaran

apapun terhadap kebijakan Nol kebakaran kami, yang terbukti sengaja, akan berakibat penghentian langsung hubungan bisnisnya.”

Yang sulit, seperti biasa, adalah membuktikan pembakaran dilakukan dengan sengaja, dan apabila terbukti, menjatuhkan sangsi

terhadap pihak mengambil keputusan untuk melakukannya. Pemerintah Indonesia pernah kalah dalam perkara gugatan hukum

terhadap PT Bumi Mekar Hijau, salah satu perusahaan pemasok Asia Pulp & Paper, yang menimbulkan “kemarahan, kecemasan dan

rasa tidak percaya” antara para pengamat. Tindakan punitif belum tentu menjadi pendekatan yang paling efektif dalam bentang

alam di mana areal gambut yang sangat luas sedang dikeringkan, hutan alam sudah begitu terdegradasi sehingga tidak dapat

direstorasi, dan konflik lahan terjadi antara perusahaan dan masyarakat. Sebagian besar kasus praktis mustahil untuk menyalahkan

hanya satu pihak sebagai pelaku kebakaran. Keputusan Pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2015 yang melarang penanaman

di areal bekas kebakaran dan pengembangan di atas areal lahan gambut yang masih tersisa (bahkan jika terletak di dalam areal

konsesi) bagi semua perusahaan, dan mendirikan Badan Restorasi Gambut merupakan suatu langkah ke depan yang lebih

konstruktif. Peraturan daerah yang memperbolehkan pembakaran oleh masyarakat setempat juga direvisi guna

menjamin adanya larangan menyeluruh atas penggunaan api.

Sementara itu, perusahaan berbasis sumber daya alam meluncurkan Aliansi Bebas Api (Fire-Free Alliance (FFA)

yang merupakan platform multipihak sukarela untuk mencari solusi terhadap kebakaran lahan dan hutan di

Indonesia. Para anggota FFA berkomitmen bersama untuk bekerjasama dan membagi ilmu, informasi dan sumber daya untuk

memberlakukan inisiatif pencegahan kebakaran berdasarkan Program Desa Bebas Api (Fire-Free Village Program (FFVP) dari APRIL.

Mereka juga akan membantu meningkatkan kegiatan monitoring, pendeteksian dan pemadaman kebakaran.

Situasi di Papua, yang juga terlanda asap pekat pada tahun 2015, memang berbeda. Oleh karena sebagian besar lahan gambut and

hutan di Papua masih utuh, maka terlihat jelas bahwa kebakaran terjadi sebagai akibat dari pembakaran yang sengaja dilakukan

untuk perluasan lahan kelapa sawit. Citra Landsat di sebelah kiri dan grafik di bawah ini menggambarkan adanya hubungan jelas

antara deforestasi dan pengembangan lahan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan Korea Selatan Korindo dengan kebakaran.

Data yang tersedia di ranah publik menyatakan Musim Mas, Wilmar, ADM dan IOI Loders Croklaan sebagai pembeli Korindo. Koran

harian Korea Selatan SisalN meliputi kasus Korindo pada tanggal 28 Mei 2016. Walaupun perusahaan tersebut menyangkal tuduhan,

terdapat bukti yang begitu kuat sehingga Korindo kemungkinan akan kehilangan seluruh pembeli yang terdaftar di atas bila tidak

berkomitmen untuk menghentikan deforestasi dan pembakaran, dan menyelesaikan berbagai konflik lahan.

Page 5: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

5

MENANGGUHKAN ATAU TIDAK MENANGGUHKAN?

Banyak kebijakan ‘nol deforestasi’ memuat klausul yang menetapkan bahwa penandatangan dapat memilih untuk menangguhkan

atau membatalkan kontrak apabila pemasok menolak untuk mematuhi kebijakan pembelian dari pembeli. Tindakan-tindakan punitif

seperti itu dianggap sebagai pilihan terakhir dan hanya ditegakkan ketika komunikasi telah gagal. Setelah ditangguhkan oleh satu

atau beberapa pembeli, maka pemasok terpaksa mencari pembeli alternatif untuk kelapa sawitnya dan hal tersebut dapat

menimbulkan kerugian finansial yang cukup signifikan.

Penangguhan dan pembatalan kontrak merupakan hal biasa dalam bisnis. Pedagang tidak

bisa dipaksa untuk membeli produk yang tidak bisa dijual lagi dari pemasok. Penangguhan

juga ditegakkan oleh skema sertifikasi, seperti RSPO yang menangguhkan perdagangan

minyak kelapa sawit bersertifikat oleh IOI Group mulai tanggal 4 April sampai

menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh Aidenvironment. Keputusan RSPO tersebut

mendorong beberapa pembeli IOI lain untuk ikut menangguhkan pembeliannya dari IOI.

Sangsi seperti itu bukanlah hal baru di dunia kelapa sawit. Pada bulan Desember 2009,

misalnya, Unilever menangguhkan PT SMART karena tidak bersedia bersikap transparan

mengenai ijin konsesinya di Kalimantan Tengah. Pada bulan Juli 2013, RSPO mengeluarkan

Duta Palm Group dari keanggotaannya.

Tidak semua pihak yang mendukung adanya sangsi berbasis pasar. Misalnya, cukup banyak

antara kalangan masyarakat sipil yang merasa bahwa pemerintah harus menggunakan

tanggung jawabnya dan mengatur industri karena mekanisme sukarela tidak bisa diandalkan. Namun, masalahnya banyak

pemerintah daerah terlalu lamban dalam memperbaiki peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Ketika pasar mulai

mengisi celah peraturan, penyuling-pedagang utama yang menegakkan kebijakan ‘nol deforestasi’nya dihadapkan dengan reaksi

yang cukup signifikan. Keluhan yang disampaikan, antara lain, bahwa penangguhan berdampak negatif terhadap petani kelapa sawit.

Pada saat yang sama, tidak ada pihak yang dapat memaksakan konsumen untuk membeli produk yang berasal dari kegiatan yang

tidak berkelanjutan.

10200

10300

10400

10500

10600

10700

10800

10900

11000

11100

11200

0

100

200

300

400

500

600

2013 2014 2015

Total jumlah titik panas

Total deforestasi (ha)

Page 6: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

6

Penangguhan dan pembatalan kontrak tetap menimbulkan debat

politik yang panas. Perlu diingat bahwa pembeli dapat berdialog

secara konstruktif dengan sebagian besar pemasok. Sangsi hanya

diterapkan pada sebagian kecil basis pasokan dan hanya apabila

pemasok secara konsisten tidak mematuhi persyaratan pembelian.

Sekalipun sangsi diterapkan, hasilnya juga sangat bervariasi.

LSM-LSM yang mengajukan keluhan terhadap grup Duta Palma tidak

puas dengan keputusan RSPO yang mengeluarkan perusahaan

tersebut sebagai anggota karena keputusan itu efektif mengakhiri

pengaruhnya. Justru, Duta Palma tetap menduduki lahan hutan yang

dilindungi di Kabupaten Sambas sampai pemerintah turun tangan;

beberapa konflik lahan besar belum berakhir sampai sekarang. Sawit

Sumbermas Sarana, yang ditangguhkan oleh berbagai pembeli pada tahun 2015, masih membuka hutan gambut sampai sekarang.

Sebaliknya, penangguhan PT SMART oleh Unilever akhirnya membuat Golden Agri-Resources (GAR) menjadi anggota RSPO pada

bulan Maret 2012. Satu tahun sebelumnya, GAR menjadi perusahaan pertama yang mengumumkan kebijakan konservasi hutannya

dan memperkenalkan pendekatan Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock (HCS), yang praktis merupakan kebijakan ‘nol deforestasi’

pertama, meskipun terbatas pada pembatasan usahanya sendiri. Sekarang GAR juga memberlakukan kebijakannya pada pemasok

pihak ketiga, yang berujung dengan beberapa penangguhan. Austindo Nusantara Jaya, yang juga ditangguhkan oleh beberapa

pembeli pada tahun 2015, menunda pembukaan hutan lebih lanjut di Papua sambil menunggu hasil kajian HCS.

Page 7: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

7

KETIKA PERLUASAN LAHAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA SUDAH BERAKHIR, APA YANG TERJADI SELANJUTNYA?

Selama 15 tahun terakhir, banyak LSM berkampanye untuk menghentikan perluasan perkebunan kelapa sawit yang tidak

berkelanjutan. Saat ini, kekuatan pasar dan kebijakan pemerintah akhirnya bersatu menuju perlambatan perluasan secara serius.

Misalnya, para analis dari DBS Bank di Singapura memperkirakan bahwa perluasan lahan kelapa sawit akan dibatasi pada 60.000

hektar per tahun sampai tahun 2025; bahkan penilaian tersebut belum memperhitungkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, Siti Nurbaya baru-baru ini untuk tidak menyetujui permohonan ijin atas sekitar 1 juta hektar lahan hutan konversi. Hal ini

belum termasuk luas areal hutan dan lahan gambut yang dicadangkan oleh perusahaan perkebunan untuk tujuan konservasi.

Wilmar International sendiri, misalnya, telah mencadangkan 30.000 ha lahan untuk tujuan tersebut.

Oleh karena jutaan hektar hutan dan lahan gambut tidak akan dibuka untuk perluasan lahan

kelapa sawit, maka timbul pertanyaan: apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana merestorasi,

melindungi dan menggunakan lahan tersebut secara berkelanjutan, dan untuk kepentingan

siapa?

Sebaiknya pertanyaan seperti itu segera ditanggapi karena

kawasan hutan dan lahan gambut yang tidak dimanfaatkan

dapat diambil alih untuk penggunaan lain yang tidak

berkelanjutan. Untungnya, surat edaran dari Kementerian

ATR/BPN pada bulan Juli 2015 menginstruksikan pemerintah

daerah untuk tidak memberikan ijin lokasi atas areal HCV

yang pernah ditetapkan untuk perusahaan perkebunan.

Selain itu, beberapa pemerintah daerah telah menetapkan

peraturan yang memungkinkan perlindungan hukum atas areal HCV.

Namun demikian, pendekatan atas-bawah terhadap konservasi sulit untuk membuahkan hasil yang adil dan berkelanjutan, bahkan

jika areal hutan dan lahan gambut yang luas dan tersisa dicadangkan secara eksklusif untuk tujuan konservasi, karena lahan tersebut

bisa rentan terhadap perambahan ilegal. Pada umumnya, cara yang terbaik adalah mengadakan dialog antara pemangku

kepentingan setempat guna menentukan luas areal pencadangan yang akan dikelola dan untuk kepentingan siapa. Banyak areal

hutan cadangan dapat diperkaya dengan pohon atau spesies lain yang berkontribusi pada subsistensi dan pendapatan tunai

masyarakat setempat. Hal ini dapat mencakup berbagai spesies Shorea (engkabang di Malaysia), atau tengkawang yang

menghasilkan bahan baku mentega pohon. Beberapa bagian dari hutan dan lahan gambut dapat dijadikan ‘hutan bahan makanan’,

seperti tembawang di Kalimantan. Penggunaan produktif di areal hutan dan lahan gambut cadangan dapat dituangkan dalam

rencana tata ruang desa dan didukung oleh tim tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Bumitama Agri merupakan salah satu

perusahaan pertama yang menyadari kebutuhan untuk mengembangkan mata pencaharian dari produk hasil hutan bukan kayu

dan/atau program alternatif yang mendukung pelestarian hutan dan/atau koridor penghubung antara hutan yang dilindungi.

Suatu pendekatan yang berbeda akan diperlukan di bentang alam bertutupan hutan tinggi seperti di pedalaman Kalimantan, Sulawesi dan

Papua di mana areal konsesi sebesar 20.000 – 30.000 hektar sudah praktis menjadi ‘daerah terlarang’ bagi para penanam kelapa sawit.

Regenerasi hutan dataran rendah di dalam areal konsesi kelapa sawit di Sorong, sekarang tidak tersedia lagi untuk perluasan lahan kelapa sawit. Foto: Google Earth, Februari 2014

.

Page 8: DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI

8

Informasi lebih lanjut

Aidenvironment Asia

Jalan Burangrang No. 18

Babakan, Bogor Tengah

Jawa Barat, Indonesia

[email protected]

[email protected]

+62 251 8371219