Upload
doanh
View
261
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
1
Selamat datang
Sudah banyak buletin dan terbitan lain yang memuji maupun mengkritik upaya
terkini oleh industri kelapa sawit untuk merealisasikan komitmennya terhadap
transformasi menuju keberlanjutan. Namun, belum banyak yang secara proaktif
berusaha menjangkau LSM dan pelaku masyarakat sipil lainnya di lapangan,
baik yang berlatarbelakang di bidang aktivisme sosial, keadilan lingkungan
maupun yang lainnya.
Pada tahun 2007, Aidenvironment mulai mengemukakan kecemasan yang
timbul di berbagai daerah atas kegiatan kelapa sawit yang tidak berkelanjutan
kepada masyarakat internasional. Pada tahun-tahun terakhir ini, kecemasan
tersebut semakin hari semakin disikapi dengan serius. Bahkan, kami melihat
semakin banyak perusahaan arus utama di wilayah Asia berpegang teguh pada
keberlanjutan.
Sesuatu yang kami menganggap sangat penting adalah keterlibatan masyarakat
sipil di Asia Tenggara dalam proses perubahan, karena perubahan menawarkan
kesempatan untuk menyelamatkan hutan dan lahan gambut, menyelesaikan
konflik sosial yang berkepanjangan serta mempengaruhi kebijakan. Hal ini
hanya dimungkinkan apabila pelaku masyarakat sipil memahami perubahan
yang telah tercapai serta tantangan yang sedang dihadapi.
Langkah selanjutnya adalah kerjasama dan komunikasi satu sama lain antara
masyarakat sipil, perusahaan dan pemerintah guna menghindari atau tidak
mengulangi kesalahan dari masa lalu, yang dijalankan dengan perspektif yang
berjangka lebih panjang terhadap masa depan.
Eric Wakker, Aidenvironment Asia
LATAR BELAKANG
Tahun 2014 merupakan tahun penting bagi lingkungan hidup ketika empat dari grup perusahaan kelapa sawit terbesar, yaitu Asian Agri, Cargill, Golden-Agri dan Wilmar menyatakan komitmen untuk mendukung Deklarasi New York tentang Hutan di acara Pertemuan Puncak Perubahan Iklim PBB di New York pada bulan September 2014. Wilmar menjadi grup pertama yang mengumumkan kebijakan terpadu Nol Deforestasi, Nol Gambut, Nol Eksploitasi (NDPE) nya pada bulan Desember 2013, yang kemudian disusul grup lain. Kebijakan pembeliannya berlaku untuk semua pabrik dan perkebunan yang dimiliki, dioperasikan atau ditanami modal dan untuk pemasok pihak ketiga. Kebijakan tersebut sedang mendorong transformasi di industri kelapa sawit menuju pelaksanaan yang lebih bertanggung jawab.
Buletin ini bermaksud menyampaikan informasi kepada LSM dan para pemimpin tingkat akar rumput di wilayah Asia Tenggara - Pasifik tentang dampak dari kebijakan-kebijakan tersebut, serta peluang yang ditawarkannya kepada masyarakat sipil. Informasi yang disampaikan dalam buletin ini berdasarkan hasil monitoring Aidenvironment.
Kami sangat menghargai masukan dan saran dari pembaca kami. Untuk menyampaikannya silahkan hubungi Priscillia Moulin ([email protected]).
DAMPAK DARI KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI Juli 2016
2
LIPUTAN FEATURE: PERKEMBANGAN WILMAR DALAM INTERVENSI PEMASOK PIHAK KETIGA
Setelah mengumumkan komitmen terhadap ‘kebijakan nol deforestasi’, sebagian besar perusahaan penyuling-pedagang minyak
kelapa sawit telah meluncurkan sistem dashboard yang menyampaikan informasi kepada publik mengenai kebijakan dan basis
pasokan perusahaan serta keluhan yang diajukan kepadanya atau kepada para pemasoknya. Dalam liputan feature ini, kami berfokus
pada perkembangan Wilmar dalam hubungannya dengan pemasok pihak ketiga, dan menilai kebijakan Nol Deforestasi, Nol Gambut,
Nol Eksploitasi (No Deforestation, No Peat and No Exploitation (NDPE) Wilmar serta dampaknya terhadap rantai pasokannya.
Berdasarkan temuan Aidenvironnment, sejak peluncuran kebijakan NDPEnya hingga bulan Mei 2016, Wilmar telah mengumpulkan
portfolio berisi sekitar 60 kasus yang dipantau. Dari kasus tersebut - termasuk keluhan yang diajukan melalui prosedur pengaduan
(Grievance Procedure) dan pemasok yang dipantau secara proaktif dengan bantuan dari konsultan independen – sebanyak 92%
melibatkan pemasok pihak ketiga, sementara sisanya menyangkut anak perusahaan Wilmar. Sebanyak tiga-perempat kasus tersebut
melibatkan pemasok di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Sebagian besar kasus menyangkut berbagai masalah
ketidakpatuhan. Selama ini, persoalan lingkungan hidup, seperti deforestasi pada hutan stok karbon tinggi (HCS) dan kawasan
bernilai konservasi tinggi (HCV), serta pengembangan dan pembakaran di atas lahan gambut masih dominan pada tiga-perempat
kasus yang tercatat; sedangkan sisanya menyangkut masalah sosial.
Menurut Wilmar, 40% dari seluruh kasus masih berlangsung saat ini. Tujuh grup pemasok telah berkomitmen untuk mematuhi
kebijakan pembeliannya, namun beberapa di antaranya enggan untuk mengumumkan komitmennya secara publik. Jumlah
perusahaan yang sama sudah ditangguhkan, beberapa diantaranya oleh RSPO dan juga oleh pembeli lain.
Dampak dari kebijakan dan intervensi Wilmar patut disimak; penelitian kami menunjukkan bahwa grup pemasok yang mematuhi
kebijakannya telah menghentikan pengembangan lahan di total luas areal hutan, gambut dan lahan masyarakat yang diperkirakan
sebesar 350.000 ha.
Menurut kami, jumlah kasus “Nol Eksploitasi” dapat bertambah di masa yang akan datang karena kasus yang menyangkut
deforestasi dan pengembangan di atas lahan gambut akan menurun di tahun-tahun ke depan, dan pasar mungkin akan menuntut
peningkatan akuntabilitas untuk menangani ketidakadilan sosial. Jumlah kasus di “negara pemasok ketiga” (third-supplier countries)
seperti Papua Nugini mungkin akan meningkat, menyusul pembatasan perluasan lahan perkebunan di Indonesia.
0
5
10
15
20
25
30
Deforestasi Hasmasyarakat
Kebakaran Gambut HCV Pencemaran Hak pekerja
Persoalan utama yang dihadapi(Des. 2013-Mei 2016)
Hak
3
PERUSAHAAN KELAPA SAWIT MENERAPKAN ‘KEBIJAKAN NOL DEFORESTASI‘
Peluncuran kebijakan NDPE Wilmar pada tanggal 5 Desember 2013 - yang disusul komitmen oleh Golden Agri Resources pada bulan
Februari 2014, Cargill pada bulan Juli 2014, Asian Agri dan Apical pada bulan September 2014, Musim Mas pada bulan Desember
2014, Archer Midlands Daniels pada bulan Mei 2015 dan pedagang-penyuling lainnya - membawa pesan yang cukup jelas kepada
perusahaan perkebunan kelapa sawit, yaitu: pengembangan perkebunan yang mengorbankan hutan Stok Karbon Tinggi (HCS), areal
Bernilai Konservasi Tinggi (HCV), lahan gambut dan hak asasi manusia sudah tidak dapat diterima lagi. Ketidakbersediaan untuk
menerima kenyataan ini berarti pintu akses ke pabrik penyulingan akan ditutup. Beberapa perusahaan yang tersebut di atas, sekali
lagi dipelopori oleh Wilmar, mengambil langkah lebih jauh lagi yang belum pernah ada sebelumnya dengan mengumumkan daftar
nama perusahaan pemasoknya.
Mengingat terjadinya tekanan sesama perusahaan di Malaysia dan Indonesia, maka tidak mengherankan bahwa sebagian besar
pihak yang menekuni agenda transformasi industri di Asia Tenggara ini bermarkas di Singapura. Di antaranya terdapat tiga dari
empat grup perusahaan ‘murni’ perkebunan yang menerapkan kebijakan NDPE pada tahun 2015. Perusahaan tersebut adalah
Kencana Agri, First Resources dan Bumitama Agri. Grup keempat yang menyusul perusahaan pelopor tersebut adalah grup
perusahaan Indonesia, yaitu Astra Agro Lestari. Total luas areal lahan di Indonesia yang dipegang oleh perusahaan-perusahaan ini
sebesar 750.000 ha.
Selain dari dorongan pasar, para LSM juga berperan penting dalam
percepatan tindakan perusahaan-perusahaan tersebut. Kasus
Kencana Agri Ltd. pertama kali dikemukakan oleh Greenomics pada
pertengahan tahun 2014. Anak perusahaan dari grup tersebut
memegang hak guna usaha untuk membuka dan menanam lebih dari
27.000 ha lahan hutan di Kabupaten Gorontalo di Sulawesi. Pada
bulan Januari 2015, Wilmar, yang memegang saham sebesar 20%
dalam Kencana Agri, kemudian mendorong grup itu untuk
meluncurkan ‘kebijakan keberlanjutan’ sendiri, yang memuat prinsip-
prinsip lingkungan hidup dan sosial yang serupa dengan Kebijakan
NDPE Wilmar. Hasil monitoring menunjukkan bahwa sejak itu tidak
ada pengembangan lahan lebih lanjut (lihat gambar di sebelah kiri),
dan dengan itu, sekarang kawasan hutan tropis seluas 20.000 ha di dalam areal konsesi Kencana Agri tidak akan dibuka untuk
pengembangan perkebunan kelapa sawit.
Grup perusahaan kedua yang menyatakan komitmen adalah First Resources Ltd., yang juga terdaftar di Bursa Efek Singapura (SGX).
First Resources meluncurkan kebijakannya pada tanggal 1 Juli 2015. Setelah menyatakan komitmen tersebut, CEO perusahaan itu
mendengar pengaduan yang diajukan oleh perwakilan LSM di Kuala Lumpur mengenai empat keluhan RSPO terhadap anak
perusahaan First Resources. CEO First Resources berkomitmen mengambil tindakan tepat untuk memperbaiki keputusan lama dari
manajemen yang sudah tidak sesuai lagi dengan kebijakan grup yang berlaku saat ini.
Bumitama Agri Ltd. adalah perusahaan ketiga yang menyatakan komitmen
‘kebijakan NDPE’ pada bulan Agustus 2015. Hanya dua tahun sebelumnya,
perusahaan tersebut menghadapi tekanan dari berbagai LSM karena tidak
mematuhi aturan RSPO. Setelah kunjungan lapangan bersama oleh pihak RSPO,
Rabobank dan Aidenvironment pada bulan Maret 2015 (foto di sebelah kiri), CEO
Bumitama mengamanatkan tim tanggung jawab sosial perusahaannya (CSR)
untuk melaksanakan kegiatan yang berkelanjutan di lapangan. Pada bulan
September 2015, Grup tersebut berkomitmen untuk tidak membuka ribuan
hektar hutan HCS dan lahan gambut di bawah haknya. Pada bulan Agustus 2015,
Bumitama berkomitmen pada pendekatan bentang alam untuk menyikapi
keberlanjutan.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit keempat yang menyatakan komitmen adalah Astra Agro Lestari yang meluncurkan
kebijakannya pada bulan September 2015. Tindakan tersebut menyusul kampanye “She’s not a Fan” oleh Forest Heroes yang
menargetkan Hotel Mandarin Oriental milik investor pemegang saham kendali dalam Astra Agro Lestari.
4
Sayangnya, sejauh ini baru empat perusahaan ini yang menyatakan komitmennya terhadap Kebijakan NDPE di hadapan umum. Ada
perusahaan lain yang juga berkomitmen pada hal yang sama, namun hanya secara bilateral karena kuatir akan reaksi dari
perusahaan lain dan politikus di wilayah dan negara operasionalnya.
KEBAKARAN TAHUN 2015: HASIL DAN TANTANGAN
Pada tahun 2015, bencana kebakaran dahsyat di Indonesia dan kabut asap lintas batas kembali terjadi. Api menghanguskan kawasan
lindung, lahan masyarakat dan lahan konsesi perkebunan, termasuk areal bernilai konservasi tinggi (HCV) yang sudah dicadangkan,
terutama di areal lahan gambut. Pemerintah Indonesia telah melarang pembakaran untuk membuka lahan dalam pengembangan
perkebunan selama 20 tahun. Sekarang, perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran akan dikeluarkan dari rantai pasokan
kelapa sawit. Wilmar International, misalnya, menyatakan bahwa: “Seluruh pemasok kami telah diberitahu bahwa pelanggaran
apapun terhadap kebijakan Nol kebakaran kami, yang terbukti sengaja, akan berakibat penghentian langsung hubungan bisnisnya.”
Yang sulit, seperti biasa, adalah membuktikan pembakaran dilakukan dengan sengaja, dan apabila terbukti, menjatuhkan sangsi
terhadap pihak mengambil keputusan untuk melakukannya. Pemerintah Indonesia pernah kalah dalam perkara gugatan hukum
terhadap PT Bumi Mekar Hijau, salah satu perusahaan pemasok Asia Pulp & Paper, yang menimbulkan “kemarahan, kecemasan dan
rasa tidak percaya” antara para pengamat. Tindakan punitif belum tentu menjadi pendekatan yang paling efektif dalam bentang
alam di mana areal gambut yang sangat luas sedang dikeringkan, hutan alam sudah begitu terdegradasi sehingga tidak dapat
direstorasi, dan konflik lahan terjadi antara perusahaan dan masyarakat. Sebagian besar kasus praktis mustahil untuk menyalahkan
hanya satu pihak sebagai pelaku kebakaran. Keputusan Pemerintah Indonesia pada bulan Oktober 2015 yang melarang penanaman
di areal bekas kebakaran dan pengembangan di atas areal lahan gambut yang masih tersisa (bahkan jika terletak di dalam areal
konsesi) bagi semua perusahaan, dan mendirikan Badan Restorasi Gambut merupakan suatu langkah ke depan yang lebih
konstruktif. Peraturan daerah yang memperbolehkan pembakaran oleh masyarakat setempat juga direvisi guna
menjamin adanya larangan menyeluruh atas penggunaan api.
Sementara itu, perusahaan berbasis sumber daya alam meluncurkan Aliansi Bebas Api (Fire-Free Alliance (FFA)
yang merupakan platform multipihak sukarela untuk mencari solusi terhadap kebakaran lahan dan hutan di
Indonesia. Para anggota FFA berkomitmen bersama untuk bekerjasama dan membagi ilmu, informasi dan sumber daya untuk
memberlakukan inisiatif pencegahan kebakaran berdasarkan Program Desa Bebas Api (Fire-Free Village Program (FFVP) dari APRIL.
Mereka juga akan membantu meningkatkan kegiatan monitoring, pendeteksian dan pemadaman kebakaran.
Situasi di Papua, yang juga terlanda asap pekat pada tahun 2015, memang berbeda. Oleh karena sebagian besar lahan gambut and
hutan di Papua masih utuh, maka terlihat jelas bahwa kebakaran terjadi sebagai akibat dari pembakaran yang sengaja dilakukan
untuk perluasan lahan kelapa sawit. Citra Landsat di sebelah kiri dan grafik di bawah ini menggambarkan adanya hubungan jelas
antara deforestasi dan pengembangan lahan kelapa sawit yang dilakukan oleh perusahaan Korea Selatan Korindo dengan kebakaran.
Data yang tersedia di ranah publik menyatakan Musim Mas, Wilmar, ADM dan IOI Loders Croklaan sebagai pembeli Korindo. Koran
harian Korea Selatan SisalN meliputi kasus Korindo pada tanggal 28 Mei 2016. Walaupun perusahaan tersebut menyangkal tuduhan,
terdapat bukti yang begitu kuat sehingga Korindo kemungkinan akan kehilangan seluruh pembeli yang terdaftar di atas bila tidak
berkomitmen untuk menghentikan deforestasi dan pembakaran, dan menyelesaikan berbagai konflik lahan.
5
MENANGGUHKAN ATAU TIDAK MENANGGUHKAN?
Banyak kebijakan ‘nol deforestasi’ memuat klausul yang menetapkan bahwa penandatangan dapat memilih untuk menangguhkan
atau membatalkan kontrak apabila pemasok menolak untuk mematuhi kebijakan pembelian dari pembeli. Tindakan-tindakan punitif
seperti itu dianggap sebagai pilihan terakhir dan hanya ditegakkan ketika komunikasi telah gagal. Setelah ditangguhkan oleh satu
atau beberapa pembeli, maka pemasok terpaksa mencari pembeli alternatif untuk kelapa sawitnya dan hal tersebut dapat
menimbulkan kerugian finansial yang cukup signifikan.
Penangguhan dan pembatalan kontrak merupakan hal biasa dalam bisnis. Pedagang tidak
bisa dipaksa untuk membeli produk yang tidak bisa dijual lagi dari pemasok. Penangguhan
juga ditegakkan oleh skema sertifikasi, seperti RSPO yang menangguhkan perdagangan
minyak kelapa sawit bersertifikat oleh IOI Group mulai tanggal 4 April sampai
menyelesaikan pengaduan yang diajukan oleh Aidenvironment. Keputusan RSPO tersebut
mendorong beberapa pembeli IOI lain untuk ikut menangguhkan pembeliannya dari IOI.
Sangsi seperti itu bukanlah hal baru di dunia kelapa sawit. Pada bulan Desember 2009,
misalnya, Unilever menangguhkan PT SMART karena tidak bersedia bersikap transparan
mengenai ijin konsesinya di Kalimantan Tengah. Pada bulan Juli 2013, RSPO mengeluarkan
Duta Palm Group dari keanggotaannya.
Tidak semua pihak yang mendukung adanya sangsi berbasis pasar. Misalnya, cukup banyak
antara kalangan masyarakat sipil yang merasa bahwa pemerintah harus menggunakan
tanggung jawabnya dan mengatur industri karena mekanisme sukarela tidak bisa diandalkan. Namun, masalahnya banyak
pemerintah daerah terlalu lamban dalam memperbaiki peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Ketika pasar mulai
mengisi celah peraturan, penyuling-pedagang utama yang menegakkan kebijakan ‘nol deforestasi’nya dihadapkan dengan reaksi
yang cukup signifikan. Keluhan yang disampaikan, antara lain, bahwa penangguhan berdampak negatif terhadap petani kelapa sawit.
Pada saat yang sama, tidak ada pihak yang dapat memaksakan konsumen untuk membeli produk yang berasal dari kegiatan yang
tidak berkelanjutan.
10200
10300
10400
10500
10600
10700
10800
10900
11000
11100
11200
0
100
200
300
400
500
600
2013 2014 2015
Total jumlah titik panas
Total deforestasi (ha)
6
Penangguhan dan pembatalan kontrak tetap menimbulkan debat
politik yang panas. Perlu diingat bahwa pembeli dapat berdialog
secara konstruktif dengan sebagian besar pemasok. Sangsi hanya
diterapkan pada sebagian kecil basis pasokan dan hanya apabila
pemasok secara konsisten tidak mematuhi persyaratan pembelian.
Sekalipun sangsi diterapkan, hasilnya juga sangat bervariasi.
LSM-LSM yang mengajukan keluhan terhadap grup Duta Palma tidak
puas dengan keputusan RSPO yang mengeluarkan perusahaan
tersebut sebagai anggota karena keputusan itu efektif mengakhiri
pengaruhnya. Justru, Duta Palma tetap menduduki lahan hutan yang
dilindungi di Kabupaten Sambas sampai pemerintah turun tangan;
beberapa konflik lahan besar belum berakhir sampai sekarang. Sawit
Sumbermas Sarana, yang ditangguhkan oleh berbagai pembeli pada tahun 2015, masih membuka hutan gambut sampai sekarang.
Sebaliknya, penangguhan PT SMART oleh Unilever akhirnya membuat Golden Agri-Resources (GAR) menjadi anggota RSPO pada
bulan Maret 2012. Satu tahun sebelumnya, GAR menjadi perusahaan pertama yang mengumumkan kebijakan konservasi hutannya
dan memperkenalkan pendekatan Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock (HCS), yang praktis merupakan kebijakan ‘nol deforestasi’
pertama, meskipun terbatas pada pembatasan usahanya sendiri. Sekarang GAR juga memberlakukan kebijakannya pada pemasok
pihak ketiga, yang berujung dengan beberapa penangguhan. Austindo Nusantara Jaya, yang juga ditangguhkan oleh beberapa
pembeli pada tahun 2015, menunda pembukaan hutan lebih lanjut di Papua sambil menunggu hasil kajian HCS.
7
KETIKA PERLUASAN LAHAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA SUDAH BERAKHIR, APA YANG TERJADI SELANJUTNYA?
Selama 15 tahun terakhir, banyak LSM berkampanye untuk menghentikan perluasan perkebunan kelapa sawit yang tidak
berkelanjutan. Saat ini, kekuatan pasar dan kebijakan pemerintah akhirnya bersatu menuju perlambatan perluasan secara serius.
Misalnya, para analis dari DBS Bank di Singapura memperkirakan bahwa perluasan lahan kelapa sawit akan dibatasi pada 60.000
hektar per tahun sampai tahun 2025; bahkan penilaian tersebut belum memperhitungkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Siti Nurbaya baru-baru ini untuk tidak menyetujui permohonan ijin atas sekitar 1 juta hektar lahan hutan konversi. Hal ini
belum termasuk luas areal hutan dan lahan gambut yang dicadangkan oleh perusahaan perkebunan untuk tujuan konservasi.
Wilmar International sendiri, misalnya, telah mencadangkan 30.000 ha lahan untuk tujuan tersebut.
Oleh karena jutaan hektar hutan dan lahan gambut tidak akan dibuka untuk perluasan lahan
kelapa sawit, maka timbul pertanyaan: apa yang terjadi selanjutnya? Bagaimana merestorasi,
melindungi dan menggunakan lahan tersebut secara berkelanjutan, dan untuk kepentingan
siapa?
Sebaiknya pertanyaan seperti itu segera ditanggapi karena
kawasan hutan dan lahan gambut yang tidak dimanfaatkan
dapat diambil alih untuk penggunaan lain yang tidak
berkelanjutan. Untungnya, surat edaran dari Kementerian
ATR/BPN pada bulan Juli 2015 menginstruksikan pemerintah
daerah untuk tidak memberikan ijin lokasi atas areal HCV
yang pernah ditetapkan untuk perusahaan perkebunan.
Selain itu, beberapa pemerintah daerah telah menetapkan
peraturan yang memungkinkan perlindungan hukum atas areal HCV.
Namun demikian, pendekatan atas-bawah terhadap konservasi sulit untuk membuahkan hasil yang adil dan berkelanjutan, bahkan
jika areal hutan dan lahan gambut yang luas dan tersisa dicadangkan secara eksklusif untuk tujuan konservasi, karena lahan tersebut
bisa rentan terhadap perambahan ilegal. Pada umumnya, cara yang terbaik adalah mengadakan dialog antara pemangku
kepentingan setempat guna menentukan luas areal pencadangan yang akan dikelola dan untuk kepentingan siapa. Banyak areal
hutan cadangan dapat diperkaya dengan pohon atau spesies lain yang berkontribusi pada subsistensi dan pendapatan tunai
masyarakat setempat. Hal ini dapat mencakup berbagai spesies Shorea (engkabang di Malaysia), atau tengkawang yang
menghasilkan bahan baku mentega pohon. Beberapa bagian dari hutan dan lahan gambut dapat dijadikan ‘hutan bahan makanan’,
seperti tembawang di Kalimantan. Penggunaan produktif di areal hutan dan lahan gambut cadangan dapat dituangkan dalam
rencana tata ruang desa dan didukung oleh tim tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Bumitama Agri merupakan salah satu
perusahaan pertama yang menyadari kebutuhan untuk mengembangkan mata pencaharian dari produk hasil hutan bukan kayu
dan/atau program alternatif yang mendukung pelestarian hutan dan/atau koridor penghubung antara hutan yang dilindungi.
Suatu pendekatan yang berbeda akan diperlukan di bentang alam bertutupan hutan tinggi seperti di pedalaman Kalimantan, Sulawesi dan
Papua di mana areal konsesi sebesar 20.000 – 30.000 hektar sudah praktis menjadi ‘daerah terlarang’ bagi para penanam kelapa sawit.
Regenerasi hutan dataran rendah di dalam areal konsesi kelapa sawit di Sorong, sekarang tidak tersedia lagi untuk perluasan lahan kelapa sawit. Foto: Google Earth, Februari 2014
.
8
Informasi lebih lanjut
Aidenvironment Asia
Jalan Burangrang No. 18
Babakan, Bogor Tengah
Jawa Barat, Indonesia
+62 251 8371219