Upload
dangdat
View
226
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ……….................................................................. i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ………………….. .... ii
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………... . ..... iii
HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI BESERTA SK ………… ..... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT …………………………... ... v
HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………… ..... vi
HALAMAN ABSTRAK ………………………………………………… .... x
HALAMAN ABSTRACT ………………………………………………. ..... xi
RINGKASAN ……………………………………………………………. .... xii
HALAMAN DAFTAR ISI........................................................................... ... xv
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah……………………………….. 1
1.2. Rumusan Masalah……………………………………… 15
1.3. Ruang Lingkup Masalah ……………………………… . 16
1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………. 17
1.4.1. Tujuan Umum ……………………………. 17
1.4.2. Tujuan Khusus …………………………... 17
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………... 18
1.5.1. Manfaat Teoritis …………………………. 18
1.5.2. Manfaat Praktis ………………………….. 19
1.6. Orisinalitas Penelitian…………………………………. . 19
1.7. Landasan Teoritis……………………………………... . 21
1.7.1. Teori Negara Hukum …………………….. 21
1.7.2. Teori Kewenangan ………………………. 27
1.7.3. Teori Trias Politica dan Checks and
xv
Balances System …………………………… 29
1.7.4. Teori Penafsiran Hukum dan Konstitusi … 31
1.8. Metode Penelitian……………………………………... . 38
1.8.1. Jenis Penelitian……………………………. 38
1.8.2. Jenis Pendekatan…………………………... 40
1.8.3. Sumber Bahan Hukum…………………...... 41
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………. 42
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum…………...... 43
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN
SELEKSI PENGANGKATAN HAKIM
2.1. Tinjauan Umum Tentang Komisi Yudisial ……………. 45
2.1.1 Dasar Hukum dan Kedudukan Komisi
Yudisial ...........……………………………. 45
2.1.2 Tugas dan Wewenang Komisi
Yudisial ...........………………………….... 51
2.1.3 Fungsi Komisi Yudisial…………………... 57
2.1.4 Organisasi Komisi Yudisial................……. 62
2.1.4.1 Status Komisi Yudisial…...……...... 62
2.1.4.2 Struktur Organisasi Komisi Yudisial 63
2.1.4.3 Sumber Keuangan, Pertanggung
Jawaban dan Laporan Komisi
Yudisial …………………………… 65
2.2. Tinjauan Umum Tentang Pengangkatan Hakim Tingkat
Pertama ………………………………………………. 66
2.2.1. Pengertian Hakim ………………………….... 66
2.2.2. Hakim Tingkat Pertama …………………….... 76
2.2.3. Kedudukan dan Fungsi Hakim Tingkat
Pertama ………………………….................. 79
2.2.4. Tugas dan Wewenang Hakim Tingkat
Pertama ………………………….................. 83
xvi
2.2.5. Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat
Pertama ………………………….................. 86
BAB III ANALISIS WEWENANG KOMISI YUDISIAL DALAM
SELEKSI PENGANGKATAN HAKIM TINGKAT PERTAMA
3.1. Sejarah Perkembangan Kewenangan Komisi Yudisial
Indonesia ……………………………………………… . 90
3.1.1. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial ……. 90
3.1.2. Sejarah Kewenangan Komisi Yudisial dalam UUD NRI
Tahun 1945 ………………………………………. . 97
3.1.3. Kajian Terhadap Komisi Yudisial sebagai Lembaga
Negara dalam UUD NRI Tahun 1945 …………….. 113
3.1.4. Perluasan Kewenangan Komisi Yudisial dalam UU 117
3.1.4.1. Norma Tertutup dan Norma Terbuka ……….. . 117
3.1.4.2. Undang-Undang Komisi Yudisial ……………. 119
3.1.4.3. Undang-Undang Mahkamah Agung …………. 123
3.1.4.4. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ……. 126
3.1.4.5. Undang-Undang Peradilan …………………… 128
3.2. Indikator-Indikator Penunjang Perilaku Hakim ………………. 134
3.2.1. Etika Profesi Hakim ……………………………….. 134
3.2.2. Indikator Kehormatan, Keluhuran Martabat dan
Perilaku Hakim …………………………………….. 138
3.2.3. Sistem Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial ... 142
3.2.3.1. Pengawasan Internal dan Eksternal Kehakiman 142
3.2.3.2. Pengawasan Preventif dan Represif …………... 143
3.3. Kajian Terhadap Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015 ….. 145
3.4. Analisis Perluasan Kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi
Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama ………………………... 153
xvii
BAB IV MEKANISME SELEKSI PENGANGKATAN HAKIM TINGKAT
PERTAMA YANG IDEAL DITERAPKAN DI INDONESIA
4.1. Kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan
Hakim Tingkat Pertama Pada Negara Civil Law ……………. . 168
4.1.1. Komisi Yudisial di Negara Perancis ……………… . 168
4.1.2. Komisi Yudisial di Negara Belanda ……………… . 171
4.2. Kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan
Hakim Tingkat Pertama Pada Negara Common Law …………. 174
4.2.1. Komisi Yudisial di Negara New South Wales …….. 174
4.2.2. Komisi Yudisial di Negara Filipina ……………….. 176
4.3. Analisis Kewenangan Komisi Yudisial di Beberapa Negara dalam
Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama Indonesia …… 179
4.3.1. Perbandingan Komisi Yudisial dalam
Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama
di Beberapa Negara ………………………........... . 180
4.3.2. Wewenang Komisi Yudisial Pembanding yang
dapat Diterapkan dalam Seleksi Pengangkatan
Hakim Tingkat Pertama di Indonesia…………….. 183
4.4. Mekanisme Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama yang
Ideal Diterapkan di Indonesia ………………………………… 186
BAB V PENUTUP
5.1. Simpulan ………………………………………………………. . 194
5.2. Saran ……………………………………………………………. 195
DAFTAR PUSTAKA
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 1 PERBANDINGAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL
PERANCIS, BELANDA, AUSTRALIA, FILIFINA,
INDONESIA................................................................... 180
xix
Abstrak
Komisi Yudisial adalah sebuah lembaga yang secara konstitusional berwenang
mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial ini kemudian diperluas menjadi
beberapa kewenangan, salah satunya adalah dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat
pertama. Ikatan Hakim Indonesia kemudian menguji kewenangan ini ke Mahkamah
Konstitusi sampai akhirnya kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan
hakim tingkat pertama dinyatakan tidak konstitusional oleh Putusan MK Nomor 43/PUU-
XIII/2015. Perluasan konsep wewenang lain dalam hal seleksi pengangkatan hakim tingkat
pertama dan mekanisme seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan
di Indonesia ini dikaji dengan menggunakan penelitian hukum normatif dan dengan
beberapa pendekatan yaitu Pendekatan Analisis Konsep Hukum, Pendekatan Perundang-
undangan, Pendekatan Sejarah, serta Pendekatan Perbandingan.
Perluasan wewenang Komisi Yudisial dalam peraturan perundang-undangan
merupakan delegasi dari ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai norma
terbuka. Implementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal
hakim meliputi mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung,
menetapkan, menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim,
mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran kode etik, dan yang terakhir adalah
seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama tersebut hanya dalam batasan uji kelayakan calon
hakim dalam seleksi. Hal itu berkaitan dengan kode etik dan perilaku hakim yang menjadi
ruang lingkup pengawasan Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial adalah lembaga yang dimiliki oleh sejumlah Negara yang menganut
sistem hukum civil law maupun common law. Komisi Yudisial di Negara Perancis, Belanda,
Australia (negara bagian New South Wales) dan Filipina, rata-rata memiliki kewenangan
yang kuat dalam pengawasan hakim dan seleksi pengangkatan hakim. Mekanisme seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia adalah proses
seleksi yang melibatkan beberapa stakeholder utama yaitu Mahkamah Agung, Komisi
Yudisial, dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Seleksi tersebut dimulai dengan
seleksi peserta pendidikan yang meliputi seleksi administrasi dan uji kelayakan kemudian
dilanjutkan dengan tahapan pendidikan calon hakim. Para calon hakim yang lolos seleksi ini
direkomendasikan untuk kemudian diangkat menjadi hakim tingkat pertama. Kedepannya
penguatan wewenang Komisi Yudisial harus dilakukan melalui amandemen UUD NRI
Tahun 1945 dan revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait agar tercapainya
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang adil dan hakim-hakim yang berintegritas
tinggi.
Kata kunci : Komisi Yudisial, Wewenang, Kode Etik, Seleksi Pengangkatan, Hakim
Tingkat Pertama.
x
Abstract
Judicial Commission of Indonesia is an institution that is constitutionally
competent to propose the appointment of Supreme Court Justices and also have other
authority in order to preserve and uphold the honor, dignity, and behavior of judges. The
other authority possessed by the Judicial Commission is then expanded into several powers,
one of which is the selection appointment of court judge. Indonesian Judge Association then
test this authority to the Constitutional Court of Indonesia until finally the authority of the
Judicial Commission in the selection appointment of court judge ruled unconstitutional by
the Putusan MK Number 43/PUU-XIII/2015. The concept extension of the other authority in
terms of selection appointment of court judge and the procedure of selection appointment of
court judge that ideal implementation on Indonesia will be assessed using the normative
analytical method with the Analytical & Conceptual Approach, Statute Approach, Historical
Approach and comparative approach.
The expansion of the Judicial Commission authority in the regulation is the
delegation from act no.24B (1) the 1945 constitution of the Republic of Indonesia’s mandate
as opened norm. The implementation of function as an external institution controller of
judges consists of propose the appointment of ad hoc judges, establish, maintain and
enforce the implementation of the code of conduct, proposed the application of sanctions,
propose sanctions for violations of the code of judge and the last one is selection
appointment of a court judge. The authority of selection appointment of court judge just
only implement test the feasibility of prospective judges. It relates to the scope of controlling
from the Judicial Commission.
The Judicial Commission is an institution owned by many countries that embrace
civil law and common law system. In France, the Netherlands, Australia (New South Wales)
and the Philippines, the Judicial Commission has strong powers in the controlling authority
and the selection appointment of a court judge. The procedure of ideal selection
appointment of court judge in Indonesia is a selection process involving multiple
stakeholders like Supreme Court of Indonesia, Judicial Commission, and Directorate
General of Higher Education. It is begun by the selection of study participants that include
the administration and due diligence then the next phase after receiving the results of the
first step of selection is education for prospective judges. From those selections will be
obtained the candidates who pass the selection of judges and then got recommendation for
later appointed as the court judge. In the future, the strengthening of the Judicial
Commission authority has to be done through amendment of the 1945 constitution of the
Republic of Indonesia and also revision of the regulations in order to achieve the
implementation of a fair judicial power and the judges with the highest integrity.
Keywords: Judicial Commission of Indonesia, authority, Code of conduct, selection
appointment, court judge.
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sebagai sebuah Negara hukum yang ditegaskan dalam perumusan
konstitusi tertulis Indonesia yaitu Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945),
Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat menjungjung tinggi hukum dan asas
legalitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum dan asas
legalitas yang dimaksud adalah segala hal tindakan yang akan dilakukan oleh
pemerintah harus berdasarkan dengan hukum tertulis atau peraturan perundang-
undangan yang berlaku (ius constitutum). Negara Hukum yang dianut oleh
Indonesia memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh negara-negara lainnya yaitu
Negara Hukum Pancasila. Meskipun dalam UUD NRI Tahun 1945 secara limitatif
hanya menegaskan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”, dan tidak secara
eksplisit perumusan negara hukum tersebut mencantumkan kata Pancasila, namun
Pancasila sudah menjadi nilai-nilai dasar mutlak yang terkandung dalam
Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pancasila merupakan dasar negara dan
rechtsidee, maka keberadaan nilai-nilai Pancasila harus menjadi dasar dan
pedoman oleh negara hukum Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan penegasan
dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan yang merumuskan bahwa “Pancasila merupakan
sumber segala sumber hukum negara.” Hal tersebut memiliki makna bahwa
1
2
Pancasila ditempatkan sebagai dasar ideologi negara sekaligus dasar filosofis
negara sehingga seluruh materi muatan peraturan perundang-undangan tidak
boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam
arti luas, nilai-nilai Pancasila yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,
Permusyawaratan dan Keadilan, dijunjung tinggi untuk mencapai kesejahteraan
seluruh rakyat Indonesia. Jadi secara sederhana negara hukum Indonesia adalah
negara hukum materiil yang berlandaskan Pancasila.
Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus dilaksanakan dalam
suatu negara hukum, yaitu: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dan
kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) dan yang
terakhir adalah segala bentuk penegakan hukum dilakukan dengan cara-cara yang
tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku (due process of law). Dalam
pelaksanaannya ketiga hal tersebut dijabarkan dalam bentuk: (1) jaminan terhadap
perlindungan hak-hak dasar atau hak asasi manusia; (2) kekuasaan kehakiman
atau peradilan yang independen, merdeka, tidak memihak; dan (3) menjungjung
tinggi prinsit legalitas hukum atau setiap tindakan negara atau pemerintah dan
masyarakat harus berdasar atas hukum yang berlaku.1
Terkait dengan salah satu prinsip yang harus ditegakkan dalam sebuah
negara hukum, khususnya kekuasaan kehakiman yang merdeka, di Indonesia
sendiri sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai
kekuasaaan kehakiman dirumuskan dalam satu bab tersendiri, yaitu pada Bab IX,
1 Muhammad Siddiq Armia, 2011, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, CV. Teratai
Publisher, Jakarta, h. 13.
3
yang terdiri atas dua pasal yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Pasal 24 UUD 1945
sebelum adanya amandemen merumuskan bahwa;
(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan
undang-undang.
Perumusan di atas kemudian dilengkapi dengan pengaturan dalam Pasal
25 UUD 1945 yang mengatur mengenai syarat-syarat untuk menjadi dan untuk
diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Kedua pasal
tersebut mengacu pada lembaga yang bertanggung jawab menjalankan kekuasaan
kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan prasyarat orang-orang yang ditetapkan
sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Pada bagian Penjelasan dalam UUD 1945
dijelaskan bahwa, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”.
Perihal kekuasaan kehakiman inipun kemudian mengalami perubahan
pasca amandemen UUD 1945 yaitu dalam hal pelaku kekuasaan kehakiman.
Menurut ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas
merumuskan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Kemudian pelaku kekuasaan kehakiman dirinci dalam Pasal 24 ayat (2) yaitu
Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya beserta dengan
Mahkamah Konstitusi. Khususnya pada amandemen ketiga UUD 1945, yang
ditetapkan tanggal 9 November 2001 lahir pula sebuah lembaga Komisi Yudisial.
4
Komisi Yudisial itu sendiri telah secara rinci diatur dan menjadi rumusan pasal
tersendiri di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam ketentuan Pasal 24A
ayat (3) dan ketentuan Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945.
Secara konstitusional tertulis, Komisi Yudisial terletak dalam Bab IX
UUD NRI Tahun 1945 yang secara khusus mengelompokkan lingkungan
kekuasaan kehakiman, walaupun demikian yang perlu diperhatikan bahwa
lembaga ini sebenarnya tidak termasuk dalam katagori pelaku kekuasaan
kehakiman. Seperti yang sudah diuraikan di atas, pelaku Kekuasaan Kehakiman
sudah dibatasi kepada sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di
bawahnya serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Jadi posisi dari Komisi Yudisial
tidaklah termasuk dalam lembaga yang menyelenggarakan peradilan yang
dimaksud. Artinya Komisi Yudisial bukan lembaga pemegang kekuasaan
kehakiman. Dipertegas kembali dalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006,
Komisi Yudisial merupakan sebuah supporting institution yang khusus dibentuk
sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu
Mahkamah Agung2. Kedudukan Komisi Yudisial tersebut dapat pula disebut
sebagai main institution, karena sebagai lembaga negara kedudukan Komisi
Yudisial tidak berada di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi,
tetapi tugas dan wewenangnya tetap bersifat penunjang (supporting) bagi
kekuasaan kehakiman.3
2 Moh. Mahfud MD, 2008, Gagasan Amandemen UUD 1945; Kekuasaan Kehakiman Pasca
Amandemen UUD 1945, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, h. 18 3 Ibid, h. 20.
5
Kewenangan Komisi Yudisial diberikan secara atributif dalam perumusan
Pasal 24A ayat (3) dan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.
Secara lebih detail, rumusan Pasal 24B adalah sebagai berikut :
(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan
pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,
serta perilaku hakim.
(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan
pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela.
(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;
(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan
undang-undang.
Di samping wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 24B ayat (1), yaitu
Komisi Yudisial berwenang dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim agung,
perumusan pasal tersebut berkaitan erat dengan kewenangan yang sebagaimana
sudah dirumuskan dalam Pasal 24A ayat (3) dengan rumusannya bahwa “Calon
hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan
persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden,”
sehingga penempatan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B ini berhubungan erat
dengan ketentuan dalam Pasal 24A ayat (3) tersebut. Seperti yang sudah
dituliskan di atas, Komisi Yudisial bukan diposisikan dan bukan berkedudukan
termasuk badan kekuasaan kehakiman. Pada dasarnya kekuasaan kehakiman dan
lembaga-lembaga Negara mana yang termasuk badan pelaku kekuasaan
kehakiman sudah dirumuskan terperinci dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945 yaitu Mahkamah Agung (termasuk badan-badan peradilan
di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan konstitusional lainnya
yang dimiliki oleh Komisi Yudisial adalah mempunyai wewenang lain dalam
6
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim. Pada dasarnya ketentuan pemberian kewenangan lain terhadap Komisi
Yudisial ini tidak dimaksud untuk mencampuri dalam bentuk pengawasan seperti
yang dikenal untuk lembaga lain di luar kekuasaan kehakiman. Campur tangan
kekuasaan lain terhadap kekuasaan kehakiman merupakan hal yang tidak
dibenarkan dalam negara hukum yang dianut oleh Indonesia yang salah satu
prinsip yang dijunjungnya adalah peradilan yang independen dan bebas dari
pengaruh pihak manapun. Oleh karena itu, wewenang lain Komisi Yudisial yang
satu ini harus dibatasi dalam hal tertentu, dalam artian tidak dapat dipakai untuk
campur tangan dalam teknis peradilan pada badan-badan peradilan lainnya
melainkan menunjang dan memperkuat kekokohan kekuasaan peradilan.
Selain dalam konstitusi tertulis UUD NRI Tahun 1945, eksistensi Komisi
Yudisial juga dielaborasi dan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan perundang-
undangan dalam bentuk Undang-undang Komisi Yudisial. Tujuannya tiada lain
adalah untuk mempertegas dan memperjelas keterkaitannya dengan tugas dan
wewenang Komisi Yudisial itu sendiri. Ketentuan dalam Pasal 13 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dirumuskan bahwa Komisi Yudisial
mempunyai wewenang yaitu a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan
hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;
b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim; c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-
7
sama dengan Mahkamah Agung; dan d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan
Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.
Kewenangan Komisi Yudisial tersebut kemudian kembali diperluas oleh
pembentuk Undang-undang dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU Nomor 49
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun
1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) UU Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dan Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU Nomor 51 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengenai proses seleksi hakim tingkat
pertama pada masing-masing lingkungan peradilan tersebut bahwa proses seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama dilakukan bersama oleh Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung, yang selanjutnya diatur bersama oleh Komisi Yudisial
dan Mahkamah Agung. Selengkapnya rumusan ketiga ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut :
Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan
Umum: Ketentuan ayat (2) merumuskan bahwa “Proses seleksi pengangkatan
hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial”, dan Pasal 14A ayat (3) selengkapnya merumuskan, “Ketentuan lebih
lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi
Yudisial”. Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
8
Peradilan Agama: Ketentuan ayat (2) merumuskan bahwa “Proses seleksi
pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial”, dan Pasal 13A ayat (3) selengkapnya merumuskan,
“Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial”. Terakhir ketentuan dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3)
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara: Ketentuan
ayat (2) merumuskan bahwa “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan
negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, dan
Pasal 14A ayat (3) selengkapnya merumuskan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai
proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”.
Menurut Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan
Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/IX/2012 – 01/PB/P.
KY/09/2012 dalam Pasal 1 butir a dirumuskan bahwa “Seleksi Pengangkatan
Hakim adalah rangkaian proses mulai dari Pendidikan Calon Hakim Terpadu,
sampai pada penentuan akhir untuk diangkat menjadi hakim.” Pendidikan Calon
Hakim Terpadu sendiri kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 butir b yaitu program
pendidikan bagi calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam ujian prajabatan
yang dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan dengan program diklat
dan program magang. Artinya seorang calon hakim yang telah memenuhi
persyaratan administratif wajib mengikuti seleksi pengangkatan hakim tingkat
pertama sebelum kemudian bisa diangkat menjadi hakim. Seleksi tersebut
mencakup program pendidikan, diklat, dan magang yang nantinya akan
9
menentukan dapat atau tidaknya seorang calon hakim diusulkan oleh Ketua
Mahkamah Agung kepada Presiden untuk pengangkatan hakim sebagai pejabat
negara, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014
Tentang Aparatur Sipil Negara.
Kembali kepada perluasan wewenang yang diberikan kepada Komisi
Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama bersama dengan
Mahkamah Agung, pada dasarnya merupakan bentuk dari komitmen Komisi
Yudisial dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim yang tidak hanya terbatas pada level Hakim Agung saja. Kualitas
dan integritas hakim sesungguhnya sudah dapat dan bahkan harus dibentuk pada
tahap seleksi, maka untuk menciptakan sikap dan perilaku hakim yang
menjunjung tinggi kehormatan dan keluhuran martabat. Sehubungan dengan hal
tersebut maka peranan Komisi Yudisial sangat diperlukan untuk bekerja bersama-
sama dengan Mahkamah Agung. Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial
bersama-sama Mahkamah Agung ikut menyeleksi hakim pada tingkat pertama
didasari dengan cita-cita penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam hal
menciptakan hakim-hakim yang berkualitas dan berintegritas tinggi yang tentu
harus dimulai dari proses penyeleksian hakim tersebut. Namun perubahan atas
paket UU Peradilan yang meliputi UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama,
dan UU Peradilan TUN tersebut tidak diimbangi dengan pengaturan dan
penjelasan bagaimana kata “bersama” antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah
Agung diimplementasikan dalam tataran dogmatiknya. Setidaknya terdapat dua
buah persoalan yang terkandung akibat dari kekaburan norma ini, yaitu perihal
10
pembagian kewenangan di antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung atau
mekanisme pengangkatan hakim tingkat pertama diantara kedua lembaga tersebut
serta bagaimana penyelesaian masalah jika ke depannya terdapat perbedaan
penafsiran diantara kedua lembaga tersebut yang dapat berdampak pada tidak
dapat disahkannya peraturan bersama yang dikehendaki oleh UU tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, Ikatan Hakim Indonesia (selanjutnya
disebut dengan IKAHI) kemudian mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial
dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Pasalnya sejak berlakunya
tiga paket UU Peradilan yang dimana diberikannya kewenangan kepada Komisi
Yudisial untuk turut serta dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama
dalam UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan TUN tahun
2009 hingga pada tahun 2015, ternyata pelaksanaan pengadaan seleksi
pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tingkat pertama tersebut tidak
kunjung terealisasi. IKAHI tergerak untuk menguji ketiga undang-undang itu dan
membawanya kepada Mahkamah Konstitusi karena IKAHI memandang dalam
konstitusi tidak mengamanatkan keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama. IKAHI mengganggap kewenangan Komisi
Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama mendegradasi peran
IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD
NRI Tahun 1945. Selain itu, Pasal 21 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa organisasi, administrasi, dan
finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada
di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Karenanya, IKAHI sebagai pemohon ini
11
meminta agar keterlibatan Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan Hakim
tingkat pertama ditiadakan dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa
“Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu.4 Dengan kata lain, pemohon
mempertanyakan Komisi Yudisial berwenang atau tidak dalam seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama bersama-sama dengan Mahkamah Agung,
karena ketentuan kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan
hakim tingkat pertama tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang
berpotensi mengakibatkan sengketa kewenangan lembaga negara antara
Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Perdebatan konstitusionalitas keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama bersama-sama dengan Mahkamah Agung
akhirnya terjawab. Melalui Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang
diputuskan pada tanggal 7 Oktober 2015, Mahkamah Konstitusi menyatakan dan
memutuskan bahwa perihal seleksi hakim tingkat pertama merupakan sepenuhnya
menjadi wewenang Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi mengabulkan
permohonan IKAHI atas pengujian sejumlah pasal dalam tiga paket UU di bidang
peradilan yang mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi calon
hakim bersama dengan Mahkamah Agung.
Dalam putusannnya, Mahkamah Konstitusi menghapus kata “bersama”
dan frasa “Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 49
Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor
50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU
4 Ibid.
12
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan
putusan ini, Komisi Yudisial tidak berwenang lagi dalam proses seleksi calon
hakim di tiga lingkungan peradilan. Namun demikian, putusan ini tidak diambil
secara keseleruhan oleh para Hakim Konstitusi. Salah satu Hakim Konstitusi yaitu
I Dewa Gede Palguna sebelumnya telah mengajukan dissenting opinion (pendapat
berbeda) terhadap putusan MK tersebut. Berbeda dengan amar putusan MK yang
telah diputuskan, beliau berpendapat seharusnya Mahkamah Konstitusi
memutuskan bahwa ketiga pasal dalam perkara tersebut dengan amar
konstitusional bersyarat. Hal tersebut seharusnya bisa dilaksanakan karena
keterlibatan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung dalam proses seleksi
pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tidaklah mengganggu
administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan5. Tidak ditegaskannya
secara jelas dalam UUD NRI Tahun 1945 perihal kewenangan Komisi Yudisial
dan/atau Mahkamah Agung dalam melaksanakan seleksi pengangkatan hakim
tingkat pertama secara tidak langsung telah mengakibatkan berbagai tafsir
normatif dalam perumusan pasal yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Terlepas dari telah adanya putusan Mahkamah
Konstitusi yang secara konstitusional menghapuskan kewenangan Komisi Yudial
5 Mahkamah Konstitusi, 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 Tentang
Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pendapat Berbeda (
Dissenting Opinion), h. 125-128, tersedia di http://mahkamahkonstitusi.go.id, diakses 15
Oktober 2015.
13
untuk ikut berperan dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama, dengan
adanya sikap pro-kontra di balik putusan tersebut, maka analisis perluasan
kewenangan lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial terutama dalam hal seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama masih layak untuk dikaji secara akademis.
Seperti yang sudah dituliskan di atas, salah satu prinsip dasar Negara
Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum adalah menjamin
terselenggaranya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD NRI Tahun
1945. Berkaitan dengan fungsi dan semangat pembentukan Komisi Yudisial,
seharusnya inilah saatnya untuk merealisasikan langkah-langkah pembaharuan
yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang sungguh-sungguh
bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari keadilan
memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku termasuk hal yang berkaitan dengan Seleksi
Pengangkatan Hakim tingkat pertama ini. Mengingat mulai turunnya tingkat
kepercayaan publik terhadap lembaga kehakiman, termasuk di dalamnya para
hakim tingkat pertama dengan maraknya kasus hukum yang melibatkan hakim,
sebagai berikut :
1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melakukan operasi
tangkap tangan (OTT) dan menangkap hakim Pengadilan Tata Usaha
Negara (PTUN) Medan dan advokat dari kantor hukum OC Kaligis.6
2. Polres Kota Padang menangkap seorang oknum polisi Direktorat Intelijen
dan Keamanan Polda Sumatera Barat AK (34) bersama hakim PTUN
6 Novrieza Rahmi, 2015, Ketua PTUN Medan dan Advokat terjaring OTT KPK, URL :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt559e0b7c3833a/ketua-ptun-medan-dan-
advokat-terjaring-ott-kpk , diakses tanggal 25 Oktober 2015.
14
setempat MYT (37), atas dugaan kasus penyalahgunaan narkoba jenis
sabu. 7
Secara keseluruhan, permasalahan ini timbul dari kaburnya perumusan
norma dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, khususnya dalam frasa
“wewenang lain” yang menimbulkan multitafsir dari berbagai pihak sehingga
memicu perdebatan. Menurut Mahkamah dalam pertimbangan putusannya frasa
“wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku
hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain (dalam hal ini seleksi hakim
tingkat pertama) sebab UUD NRI Tahun 1945 sendiri tidak memberi kewenangan
kepada pembuat Undang-Undang untuk memperluas kewenangan Komisi
Yudisial. Namun yang perlu ditekankan dan diperhatikan dalam hal imi, Pasal 24
UUD NRI Tahun 1945 pun tidak menyebutkan secara tersurat bahwa telah
menjadi kewenangan Mahkamah Agung secara mutlak dalam proses seleksi
pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tersebut. Hal ini dapat menjadi
dasar analisis dari perluasan kewenangan lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial.
Tidak dapat dipungkiri penjagaan martabat dan keluhuran hakim itu tentu tidak
bisa tidak harus dimulai dari proses seleksi awal penerimaan hakim itu sendiri.
Begitu juga penegakan kehormatan serta perilaku hakim tentunya harus
ditegaskan dan ditanamkan sebagai sikap prinsip sejak awal sehingga menjadi
dasar dan cara pandang bagi seorang calon hakim yang kemudian akan menjadi
hakim. Apabila dicermati kembali ke akar permasalahan sesungguhnya adalah
7 ANT, 2015, Diduga Pakai Narkoba, Polisi dan Hakim ditangkap, URL :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d71740595f0/diduga-pakai-narkoba--polisi-
dan-hakim-ditangkap , diakses tanggal 25 Oktober 2015.
15
terletak pada adanya ketentuan kewenangan Komisi Yudisial dalam ikut sertanya
melakukan seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Padahal hal tersebut
dilaksanakan sebenarnya bersama-sama dengan Mahkamah Agung, bukan
wewenang tunggal sehingga tidak seharusnya dimaknai bahwa perluasan
wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial tersebut bertentangan dengan
Konstitusi.
Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas maka diperlukannya
kajian yang lebih mendalam untuk dapat menganalisis kembali kewenangan dari
Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama terutama
dalam penafsiran frasa “wewenang lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang
akan dibahas dalam tesis ini. Kajian dalam tesis ini juga akan dilengkapi dengan
perbandingan kewenangan dalam seleksi pengangkatan hakim terhadap lembaga
sejenis Komisi Yudisial di beberapa negara sebagai bahan refleksi untuk Komisi
Yudisial Republik Indonesia untuk ke depannya.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah konsep “wewenang lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang
diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat diperluas dalam hal seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama?
2. Bagaimanakah mekanisme seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama
yang ideal diterapkan di Indonesia?
16
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Bertitik tolak dari hal di atas, maka pembahasan penelitian ini dibatasi
pada pengkajian dan penafsiran dari konsep “wewenang lain” yang dimiliki oleh
Komisi Yudisial yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan
kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama serta kajian terhadap
perluasan konsep wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang diatur
dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Putusan MK Nomor 43/PUU-
XIII/2015 terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi
Pengangkatan Hakim tingkat pertama sudah sesuai dengan prinsip Keadilan
dalam Negara Hukum Pancasila serta kedudukan Komisi Yudisial dalam
Kekuasaan Kehakiman terkait dengan kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim
di Indonesia serta perkembangan Seleksi Pengangkatan Hakim di Indonesia.
Kemudian dalam mengkaji sebuah konstruksi normative untuk mekanisme
Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia.
Dalam hal ini akan digunakan 4 (empat) lembaga negara sejenis Komisi Yudisial
di negara lain sebagai perbandingan untuk merefleksikan gagasan dan arah dari
penyenggaraan Komisi Yudisial di Indonesia khususnya dalam seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama sebagai bahan konstruksi hukum yang sesuai
dengan Konsepsi Negara Hukum Pancasila. Keempat Negara tersebut akan
dibatasi pada dua Negara dengan sistem hukum civil law yaitu Negara Perancis
dan Belanda; serta dua Negara dengan sistem hukum common law yaitu Australia
dan Filipina. Hasil kajian dan perbandingan dari Komisi Yudisial dari keempat
17
negara tersebut kemudian akan dihubungkan dengan pikirian-pikiran dasar terkait
dengan ius constituendum yang kelak akan diberlakukan di Indonesia.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1. Tujuan Umum
Secara umum penelitian dengan dua permasalahan di atas, adalah
bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum atau menambah khasanah
pengetahuan di bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Kewenangan
Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim di Indonesia.
1.4.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian tesis ini adalah ingin meneliti dan menganalisis
hal- hal yang berhubungan dengan antara lain :
1. Untuk mengetahui dan memahami kajian terhadap konsep kewenangan
lain dalam frasa “wewenang lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial
yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan kewenangan
Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama.
2. Untuk mengetahui dan memahami mekanisme Seleksi Pengangkatan
Hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia, dengan
melakukan perbadingan terhadap lembaga Negara sejenis Komisi Yudisial
di beberapa Negara lain untuk dapat diadopsikannya beberapa hal-hal yang
layak untuk memperbaiki kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Komisi
Yudisial ke dalam sistem kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi
18
pengangkatan hakim tingkat pertama di Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yang diharapkan melalui penelitian tesis ini adalah
merumuskan pemikiran-pemikiran bersifat teoritis dan yuridis argumentatif dalam
mengkaji penafsiran atau perluasan makna dari frasa “wewenang lain” yang
dimiliki oleh Komisi Yudisial terutama dalam hal kewenangan Komisi Yudisial
dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Manfaat teoritis lainnya
adalah dapat menemukan konstruksi hukum terkait mekanisme seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia, dengan
melakukan perbadingan terhadap beberapa lembaga Negara sejenis Komisi
Yudisial di beberapa Negara lain (dari negara civil law dan common law) untuk
dapat kemudian diambil nilai-nilainya sebagai bahan masukan untuk ius
constituendum dalam sistem kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi
pengangkatan hakim tingkat pertama di Indonesia.
1.5.2. Manfaat Praktis
1. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan
bagi pemerintah dalam mengatasi permasalahan dalam kekuasaan kehakiman
yaitu dalam kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim
tingkat pertama di Indonesia.
19
2. Bagi peneliti dengan hasil penelitian ini untuk menambah wawasan,
pengetahuan secara ilmiah mengenai kajian kewenangan Komisi Yudisial dan
Seleksi Pengangkatan Hakim, kajian terhadap Putusan MK Nomor 42/PUU-
XIII/2015 dan refleksi terhadap kewenangan Komisi Yudisial Indonesia dari
perbadingan terhadap beberapa lembaga Negara sejenis Komisi Yudisial di
Negara lain untuk dapat direfleksikan dalam sistem kewenangan Komisi
Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama di Indonesia.
1.6. Orisinalitas Penelitian
Pengkajian mengenai perluasan konsep wewenang lain Komisi Yudisial
dalam hal seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama beranjak dari adanya
potensi terjadinya sengketa kewenangan antara Mahkamah Agung dengan Komisi
Yudisial dalam hal seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Kajian dan
peneliatian tersebut bukanlah suatu kajian baru dalam bidang ilmu hukum, sudah
ada beberapa penelitian yang mengkaji mengenai hal tersebut. Ada beberapa
penelitian yang yang penulis angkat sebagai perbandingan orisinalitas penelitian
yang dilakukan penulis yaitu :
1. Prim Fahrur Razi, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Tesis Tahun
2007 dengan judul Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah
Agung dan Komisi Yudisial. Penelitian ini mengkaji Sengketa kewenangan
pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudusial berawal dari
perbedaan persepsi dalam menafsirkan undang-undang khususnya Pasal 24 B
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Komisi Yudisial,
20
berfungsi “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim”. Menurut Komisi Yudisial kata “hakim” berarti hakim di
seluruh tingkatan termasuk hakim agung, sehingga Komisi Yudisial juga
melakukan pengawasan terhadap hakim agung. Namun menurut Mahkamah
Agung kata “perilaku hakim” dalam Undang-undang Dasar 1945 tidak
termasuk “perilaku hakim agung”, sehingga Komisi Yudisial tidak berwenang
mengawasi hakim agung. Hal tersebut berujung pada permohonan uji materiil
terhadap Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
yang diajukan oleh 31 orang hakim agung kepada Mahkamah Konstitusi.
Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan pada pokoknya pasal-
pasal yang mengatur tentang tugas melakukan pengawasan oleh Komisi
Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sebagai konsekuensinya maka
harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Komisi Yudisial
khususnya dalam hal tentang pengawasan melalui proses perubahan Undang-
Undang sebagaimana mestinya.
2. Rudy Ruswoyo, Program Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Islam Riau. Tesis Tahun 2011 dengan judul Keberadaan Komisi
Yudisial di dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia (Suatu Analisis
Terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004). Penelitian ini mengkaji
dasar filosofis lahirnya Komisi Yudisial di Indonesia serta penerapan fungsi
pengawasan peradilan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial.
21
Sampai saat ini penulis belum menemukan disertasi dan/atau tesis yang
menyerupai pokok bahasan mengenai Sengketa Kewenangan Antara Komisi
Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam Seleksi Pengangkatan Hakim, yaitu
hakim pada tataran tingkat pertama. Berbeda dengan penelitian yang telah
disebutkan di atas, penelitian dalam tesis ini difokuskan pada kajian terhadap
wewenang yang seharusnya dimiliki oleh Komisi Yudisial dari berbagai
pendekatan dalam hal seleksi pengangkatan hakim agar terpilihnya hakim yang
menjunjung tinggi nilai moral, kode etik, independen, mandiri dan tidak memihak
serta bebas dari berbagai intervensi pihak manapun.
1.7. Landasan Teoritis
Landasan teoritis adalah uraian sistematis mengenai teori-teori yang
berhubungan dan memiliki sinkronisasi dengan penelitian yang akan dilakukan
serta sekaligus menjadi dasar-dasar analisis terhadap masalah yang akan diteliti.8
Pada penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori dasar yang relevan dalam
ilmu hukum, yaitu Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Teori Trias Politica
dan Teori Penafsiran Hukum.
1.7.1. Teori Negara Hukum
Gagasan mengenai prinsip-prinsip dasar negara hukum pada awalnya
muncul secara eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan lahirnya sebuah konsep
negara hukum rechtsstaat yang dicetuskan oleh Freidrich Julius Stahl, yang pada
8 Johnny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
h. 293-294.
22
awalnya diilhami oleh pemikiran dasar dari Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-
unsur negara hukum rechsstaat adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;
2. Negara yang berlandaskan pada teori trias politica;
3. Pemerintahan yang diselenggarakan harus dengan berdasarkan
undang-undang yang berlaku (wetmatig bestuur) ; dan
4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani
kasus yang berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh pemerintah (onrechmatige overheiddaad).9
Pada dasarnya dengan lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan
oleh F.J. Stahl tersebut adalah konsep pemikiran negara hukum Eropa Kontinental
dan hanya dipraktekkan di negara-negara Eropa Kontinental saja (Civil Law).10
Konsep Negara hukum rechtsstaat yang berlaku di negara civil law tersebut
memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum yang berkembang di Negara-
negara common law. Adapun konsep pemikiran negara hukum yang berkembang di
negara-negara Anglo-Saxon (common law) yang dipelopori oleh Albert Venn Dicey
dengan sebuah konsep negara hukum Rule of Law. Konsep negara hukum tersebut
harus memenuhi 3 (tiga) unsur utama yaitu:
1. Supremacy of the law, yaitu prinsip dimana negara hukum yang tidak boleh
mengadakan suatu praktik kekuasaan yang sewenang-wenang, dalam arti
bahwa penegakan hukum hanya untuk orang yang melanggar hukum;
2. Equality before the law, yaitu prinsip bahwa kedudukan yang sama dan
seimbang di hadapan hukum maupun dalam menghadapi hukum, berlaku
untuk semua orang baik untuk masyarakat maupun pejabat pemerintahan;
3. Menjamin terselenggaranya perlindungan hak-hak manusia oleh konstitusi
atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara hukum serta
putusan-putusan pengadilan.11
9 Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, h. 3.
10 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 2008, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, h.
132-133. 11
Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.
57-58.
23
Seperti yang sudah diuraikan dalam latar belakang di atas, negara hukum
yang dianut oleh Indonesia adalah Negara hukum yang berlandaskan Pancasila.
Sejalan dengan pendapat dari Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas
utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas Negara
hukum dan asas demokrasi serta dasar Negara Pancasila maka secara ideal bahwa
Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila.12
Negara hukum yang
bercirikan Pancasila adalah negara hukum yang sarat akan nilai-nilai Pancasila
yang memiliki nilai moralitas yang tinggi, yaitu Nilai Ketuhanan, Nilai
Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kerakyatan dan Nilai Keadilan. Secara
singkat ciri-ciri Negara Hukum Pancasila menurut Philipus M. Hadjon adalah :
a. Keserasian, keseimbangan dan kelarasan hubungan antara pemerintah dan
masyarakatnya berdasarkan pada asas kerukunan;
b. Hubungan fungsional yang proporsional dan wewenang yang seimbang di
antara kekuasaan negara;
c. Prinsip penyelesaian sengketa atau permasalahan yang terjadi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara harus diawali secara musyawarah dan
jalan penyelesaian melalui peradilan merupakan pilihan terakhir; dan
d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban baik itu pemerintah maupun
masyarakat.13
Perlu dipahami bahwa Negara Hukum Pancasila sebagai konsep yang
merupakan ciri khas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tentunya memiliki
perbedaan signifikan jika dibandingkan dengan konsepsi negara hukum lainnya
12
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan UUD 1945, Setara Press, Jawa Timur, h. 157. 13
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan
Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Peradaban, Surabaya,
h. 90.
24
baik itu rechtsstaat maupun the rule of law. Menurut Philipus M. Hadjon14
memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar, yakni diantaranya :
1. Konsep rule of law dan rechtsstaat menempatkan prinsip Pengakuan dan
Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai titik sentralnya, maka bagi
bangsa Indonesia titik sentral dari Negara Hukum Pancasila adalah
keserasian hubungan antara pemerintah dan masyarakat berdasarkan asas
kerukunan. Hal ini kemudian berkembang menjad budaya kekeluargaan
dan gotong royong di Indonesia.
2. Masih berkaitan dengan asas kerukunan, jika dalam rangka perlindungan
HAM konsep rule of law mengedepankan prinsip “equality before the
law”, dan prinsip “rechtmatigheid” untuk rechtsstaat, maka konsep
Pancasila mengedepankan “asas kerukunan” untuk menjaga keserasian
serta keselarasan hubungan antara penguasa dengan masyarakat, yang
dimana dari asas tersebut diharapkan nantinya terjalin hubungan
fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara dan
bersinergi dengan dukungan masyarakat.
3. Konsep negara hukum Pancasila lebih mengedepankan musyawarah untuk
mufakat sebagai langkah awal yang harus ditempuh dalam setiap
penyelesaian suatu permasalahan atau sengketa, dengan meletakkan
penyelesaian melalui jalur peradilan sebagai langkah atau pilihan terakhir.
14
Ibid, h. 84.
25
Negara hukum Pancasila dalam pandangan Soepomo merupakan sebuah
bentuk aktualisasi dari cita-cita negara hukum yang berintegralistik. Negara
hukum Pancasila tersebut terdiri atas unsur-unsur yang kemudian menjadikan
karakteristik dari konsep bernegara Pancasila itu sendiri, yakni; pertama, kesatu
paduan antar elemen kenegaraan baik itu pemerintah maupun masyarakat untuk
mencapai keseimbangan hidup baik itu lahir dan batin. Hai ini sangat berkaitan
dengan prinsip yang dianut adalah asas kerukunan; kedua, tidak diterimanya
prinsip pemisahan antara pemerintah dengan masyarakatnya, dan antar kekuasaan
pemerintahan itu sendiri; ketiga, pemerintahan tidak dijalankan secara sentralistik
dan otoriter melainkan melalui asas demokrasi Pancasila; keempat, segala hal
harus berdasarkan oleh rakyat, dalam artian bahwa kedaulatan adalah di tangan
rakyat berkaitan dengan sistem hukum dan Pancasila merupakan kehendak dari
rakyat itu sendiri; kelima, negara berkewajiban dan bertanggungjawab atas
terwujudnya cita-cita luhur masyarakatnya yang tercantum dalam Pembukaan
UUD NRI Tahun 1945; keenam, pengakuan dan penghormatan terhadap
keberagaman suku bangsa, ras dan bahasa bahkan agama, dimana tata
pemerintahan Indonesia dibangun di atas integrasi kerukunan keberagaman dan
atas dasar kekhasan dan keaslian indonesia sebagai sebuah bangsa.15
Philipus M. Hadjon kemudian menegaskan kembali perihal Negara
Hukum Pancasila dalam desertasinya yang menjelaskan bahwa elemen-elementer
dasar negara hukum Pancasila yang berpegangan pada beberapa prinsip dasar
yaitu sebagai berikut:
15 Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, h. 110-
115.
26
1. Hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan.
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara.
3. Penyelesaian jika terjadinya permasalahan hukum atau sengketa akan
diselesaikan pertama melalui musyawarah mufakat. Jalan penyelesaian
melalui peradilan merupakan sarana terakhir.
4. Keseimbangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban16
baik itu oleh
pemerintah maupun rakyatnya.
Dari unsur-unsur utama pada konsep Negara hukum baik itu Rechtsstaat
maupun Rule of Law, terdapat unsur penting dalam mengedepannya ciri dari
Negara hukum, yaitu Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang
atau asas legalitas dalam konsep Negara hukum Rechtsstaat dan Supermasi aturan-
aturan hukum (Supremacy of the law) dalam konsep Negara hukum Rule of Law.
Kedua unsur dalam konsep Negara hukum yang berbeda tersebut menunjukkan
bahwa hukum memiliki posisi sentral dan tertinggi dalam sebuah Negara hukum
itu sendiri. Konsep Negara hukum Rechtsstaat dengan asas legalitasnya memiliki
nilai kepastian hukum yang tinggi sedangkan konsep Negara hukum Rule of Law
dengan Supremacy of the law dan equality before the law-nya mengandung nilai
keadilan yang tinggi. Konsepsi negara hukum tersebut sangat sesuai digunakan
untuk pengkajian rumusan masalah satu dan dua yaitu kajian terhadap konsep
“kewenangan lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam
konstitusi terkait dengan kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat
pertama dan kajian terhadap Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, kedudukan
Komisi Yudisial dalam system ketatanegaraan Indonesia berkaitan dengan
kewenangan yang dimilikinya khususnya dalam hal Seleksi Pengangkatan Hakim
16
Philipus M. Hadjon, Op.cit, h. 85-90.
27
tingkat pertama agar terciptanya kepastian hukum serta keadilan sebagai hal yang
dicita-citakan dalam konsep Negara Hukum Pancasila.
1.7.2. Teori Kewenangan
Kewenangan berkaitan dengan produk hukum berupa peraturan
perundang-undangan dalam negara hukum. Dalam kajian Hukum Administrasi
Negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang dari lembaga negara
atau organ pemerintahan terkait merupakan hal penting, karena berkenaan dengan
pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, dkk17
bahwa
pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan publik adalah adanya kewenangan
yang berkaitan suatu jabatan (ambt). Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga
sumber yakni : atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan.
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan atribusi, delegasi, dan
mandate sebagai berikut :
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever
aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang
pemerintahan oleh pembuat undang-undang langsung kepada organ
pemerintahan).
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene
bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan
wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya).
c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem
uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas
namanya).18
17
Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia (Introduction to the
Indonesian Adminstrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 139-140. 18
Ridwan HR, Op.cit., h. 105.
28
Berbeda dengan van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat
bahwa hanya terdapat dua sumber kewenangan yang didapatkan oleh organ
pemerintahan, yaitu melalui atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan
penyerahan wewenang baru dari pembentuk undang-undang kepada organ
pemerintahan atau lembaga negara, sedangkan delegasi adalah sumber
kewenangan yang menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ
yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain atau secara
sederhana dari organ atau lembaga negara satu melimpahkan wewenangnya
kepada organ lainnya; jadi delegasi secara logis didahului oleh atribusi).19
Teori Kewenangan ini berkaitan dengan pembahasan rumusan masalah
pertama sebagai dasar dalam mengkaji kewenangan dalam melaksanakan Seleksi
Pengangkatan Hakim baik itu oleh Mahkamah Agung dan oleh Komisi Yudisial.
Kemudian kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan dalam
latar belakang permasalahan di atas selain yang bersumberkam secara atribusi
dalam Pasal 24 ayat (2) dan 24C ayat (1) UUD NRI 1945 juga diatur dalam
bentuk undang-undang yaitu Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003
Tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dengan
kewenangan yang sama dalam rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.
Demikian pula kewenangan MK dapat didasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
19
Ridwan HR, Op.cit., h. 105.
29
1.7.3. Teori Trias Politica dan Checks and Balances System
Merujuk pada teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan oleh
Aristoteles, yang dimana terjadi sinkronisasi antara konsep negara hukum (rule of
law) merupakan pemikiran yang dihadapkan dengan konsep rule of man.20
Dalam
modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum baik itu negara hukum the
rule of law atau rechtstaat akan ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara di dalamnya. Pembatasan itu dilakukan dengan
hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang kemudian menjadi ide
dasar paham konstitusionalisme modern di suatu negara tersebut. Oleh Julius Stahl,
khusunya dalam negara hukum rechtstaat adanya pembagian atau pemisahan
kekuasaan adalah salah satu elemen penting di negara-negara yang menganut negara
hukum Eropa Kontinental.21
Salah satu konsep pemisahan atau pembagian
kekuasaan itu adalah Trias Politica. Trias Politica adalah suatu konsep pemerintahan
dimana bahwa kekuasaan Negara terdiri dari tiga macam kekuasaan yaitu kekuasaan
legislatif atau kekuasaan pembuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering di
sebut rulemaking function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan undang-
undang (dalam peristilaan baru disebut rule application function); ketiga, kekuasaan
yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam
peristilaaan baru sering di sebut rule adjudication function). Trias politica adalah
suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan atau kewenangan lembaga organ
pemerintahan sebaiknya tidak diserahkan kepada organ pemerintahan yang sama
20
Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge Univesity
Press, United Kingdom, h. 9. 21
Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press,
Yogyakarta, h. 57.
30
untuk mencegah terjadinya penyalagunaan kekuasaan atau kekuasaan yang
sewenang-wenang oleh lembaga atau organ yang menjadi penguasa. 22
Masih berkaitan dengan Trias Politica, Montesquieu kemudian membagi
kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Menurutnya ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah dan dibedakan satu sama
lainnya, baik mengenai tugas dan fungsi maupun mengenai alat perlengkapan organ
pemerintahan yang menyelenggarakannya. Secara sederhana kekuasaan legislatif
adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi
penyelenggaraan undang-undang (oleh Montesquieu di utamakan tindakan di bidang
politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas
pelanggaran undang-undang. 23
Terkait dengan hal di atas, Jennings menyatakan bahwa pemisahan
kekuasaan (separation of powers) dapat dibagi dari dua sudut yang berbeda yaitu
sudut materiil dan formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil berarti bahwa
pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan
yang secara karekteristik memperhatikan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam
tiga bagian legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini dapat di samakan dengan
pembagian kekusaan. Ismail Sunny berkesimpulan, bahwa pemisahan kesimpulan
dalam arti materil di sebut “pemisahan kekuasaan” (separation of powers)
sedangkan dalam arti formil di sebut pembagian kekuasaan (distribution of powers).
Di dalam ajaran trias politica itu perlu terdapat suasana check and balances dimana
di dalam hubungan antar lembaga itu terdapat saling menguji karena masing-masing
22
Miriam Budiardjo, Op.cit., h. 151. 23
Ibid, h. 151.
31
lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah di tentukan atau
masing-masing lembaga tidak mau dicampuri kekuasaannya sehingga antar lembaga
itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan. Kedua prinsip yang terdapat dalam trias
politica seperti halnya dengan mencegah adanya konsentrasi kekuasaan di bawah
satu tangan dan prinsip check and balances guna mencegah adanya campur tangan
antara lembaga tersebut adalah jaminan dalam ajaran Montesquieu bagi adanya
kebebasan politik (political freedom). Olehnya, trias politica tidak lagi dipandang
sebagai separation of power tetapi distribution of power yang artinya bahwa
hanya fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada
badan yang berbeda, tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi
tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi. 24
1.7.4. Teori Penafsiran Hukum dan Konstitusi
Berkaitan dengan adanya kekaburan norma, maka teori yang akan
digunakan adalah teori penafsiran hukum. Interpretasi atau penafsiran hukum
menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, merupakan salah satu metode
penemuan hukum yang memberi penjelasan yang secara jelas dan gamblang
mengenai sebuah teks Peraturan perundang-undangan agar ruang lingkup kaidah-
kaidahnya dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran
yang dilakukan oleh hakim dalam rangka penemuan hukumnya merupakan
penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima secara
relevan dan masuk akal oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap
peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk
24
Ibid, h. 155.
32
mengetahui makna yang tersirat dari Peraturan perundang-undangan. Pembenaran
dari interpretasi ini kemudian akan dinilai dari letak dan penalaran pada kegunaan
untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode
itu sendiri.25
Dalam ilmu hukum dan konstitusi, seperti yang sudah dijelaskan di atas
interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan hukum (rechtsvinding)
dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada
peristiwanya. Penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal
mengkonkretisasikan produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah
proses kegiatan pengambilan keputusan yuridis dan konkrit yang secara langsung
menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim,
ketetapan, pembuatan akta oleh notaris dan sebagainya). Dalam arti tertentu
menurut Meuwissen, penemuan hukum adalah pencerminan pembentukan
hukum26
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode
interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu metode penafsiran
restriktif dan metode penafsiran ekstensif. Interpretasi restriktif adalah penafsiran
yang bersifat membatasi ruang lingkup penafsiran yang akan dilakukan. Prinsip
yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah prinsip lex certa, bahwa suatu
materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan
25
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, h. 13. 26
DMH Meuwissen, 2008, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, PT Refika Aditama, Bandung,
h. 11.
33
lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau
dengan kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan
perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-
undangan itu sendiri. Metode penafsiran lainnya yaitu interpretasi ekstensif adalah
penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi
gramatikal.27
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode
interpretasi yang lazimnya digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagai berikut:
(1) interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa;
(2) interpretasi teleologis atau sosiologis;
(3) interpretasi sistematis atau logis;
(4) interpretasi historis;
(5) interpretasi komparatif atau perbandingan;
(6) interpretasi futuristis.28
Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi otentik tidak termasuk
dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang
diberikan Undang- Undang dan terdapat dalam teks Undang-Undang dan bukan
dalam Tambahan Lembaran Negara.29
Berikut ini penjelasan beberapa metode interpretasi yang lazim digunakan
oleh hakim sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo adalah
sebagai berikut:
1. Interpretasi gramatikal
Interpretasi gramatikal disebut juga metode penafsiran obyektif
adalah penafsiran menurut bahasa yang memberikan penekanan pada
27
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 19-20. 28
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 14. 29
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 14.
34
pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap
sesuatu objek. Metode interpretasi gramatikal yang merupakan cara
penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui
makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut
bahasa, susunan kata atau bunyinya namun harus logis.30
2. Interpretasi teleologis atau sosiologis
Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah penafsiran yang
beranjak dari adanya makna dari undang-undang ditetapkan berdasarkan
tujuan kemasyarakatan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan
disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.31
3. Interpretasi sistematis atau logis
Sebagaimana sebuah peraturan perundang-undangan maka adanya
suatu peraturan perundang-undangan akan selalu berkaitan dan
bersinkronisasi dengan peraturan perundang- undangan lain. Interpretasi
sistematis ini menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai
bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan
menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain.32
4. Interpretasi historis
Interpretasi historis merupakan penafsiran dengan menelaah makna
ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan cara
meneliti bagaimana sejarah pembentukan peraturan itu sendiri untuk
30
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 14-15. 31
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 15-16. 32
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 15-16.
35
mencari maksud dan tujuan dari ketentuan Undang-Undang seperti yang
dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang pada waktu
pembentukkannya.33
5. Interpretasi komparatif atau perbandingan
Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode
penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara
beberapa aturan hukum atau peraturan perundang-undangan.34
Interpretasi
perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan penerapan
asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-
undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping
perbandingan tentang latar-belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.
6. Interpretasi futuristis
Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat
antisipasi adalah penjelasan ketentuan peraturan perundnag-undangan
yang belum mempunyai kekuatan hukum35
dalam artian masih merupakan
rancangan dan belum diundangkan. Dengan demikian, interpretasi ini
lebih bersifat ius constituendum.
Metode penafsiran sebagaimana yang diuraikan di atas merupakan metode
penafsiran yang pada umumnya dikenal sebagai metode penafsiran hukum. Di
samping metode penafsiran hukum itu, dalam kepustakaan hukum konstitusi
dikenal juga metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation method).
33
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. cit., h. 17-18. 34
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. cit., h. 19. 35
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. cit., h. 19.
36
Bobbitt mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi
(constitutional interpretation) 36
, yaitu sebagai berikut :
(1) Penafsiran tekstual;
Penafsiran tekstual merupakan metode penafsiran konstitusi yang
dilakukan dengan cara memberikan makna terhadap arti dari kata-kata di
dalam dokumen atau teks yang dibuat oleh lembaga legislatif. Dengan
demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman
terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi atau Undang-Undang
sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang.
(2) Penafsiran historis (atau penafsiran orisinal);
Penafsiran historis atau penafsiran orisinal, merupakam metode
penafsiran konstitusi yang didasarkan pada sejarah konstitusi atau
Undang-Undang itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau diratifikasi oleh
pembentuknya atau ditandatangani lembaga yang berwenang. Menurut
Anthony Mason, interpretasi ini merupakan penafsiran yang sesuai
dengan pengertian asli dari teks atau istilah-istilah yang terdapat dalam
konstitusi. Penafsiran ini biasanya digunakan untuk menjelaskan teks,
konteks, tujuan dan struktur konstitusi37
yang terkandung dalam
perumusan pasal-pasalnya.
36
Albert H Y Chen, 2000, The Interpretation of the Basic Law--Common Law and Mainland
Chinese Perspectives , Hong Kong Journal Ltd., Hong Kong, h. 5. 37
Anthony Mason, The Interpretation of a Constituti on in a Modern Liberal Democracy , dalam
Charles Sampford (Ed.), Op.cit. , h. 14.
37
(3) Penafsiran doktrinal;
Penafsiran doktrinal merupakan metode penafsiran yang dilakukan
dengan cara memahami aturan Undang-Undang melalui sistem preseden
atau melalui praktik peradilan, dalam hal ini contohnya adalah putusan
pengadilan atau Putusan Mahkamah Konstitusi.
(4) Penafsiran prudensial;
Penafsiran prudensial merupakan metode penafsiran yang
dilakukan dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang
harus dikeluarkan dan keuntungan- keuntungan yang diperoleh dari
penerapan suatu peraturan perundang-undangan tertentu.
(5) Penafsiran struktural;
Penafsiran struktural merupakan metode penafsiran yang dilakukan
dengan cara mengaitkan aturan dalam Undang-Undang dengan konstitusi
atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur-struktur
ketatanegaraan.
(6) Penafsiran etikal
Penafsiran etikal merupakan metode penafsiran yang dilakukan
dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana
terdapat dalam konstitusi atau peraturan yang berlaku. Metode penafsiran
ini dapat digunakan untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya
hak-hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau
pemerintahan. Dalam metode penafsiran etikal ini, moralitas
38
konvensional dan filsafat moral merupakan dua aspek yang sangat
relevan sekali apabila digunakan sebagai metode pendekatan.38
1.8. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan uraian teknis dan sistematis yang digunakan
dalam penelitian. Menurut Peter R. Senn, metode merupakan suatu prosedur atau
cara mengetahui sesuatu dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis.39
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini mencakup jenis penelitian,
jenis pendekatan, sumber bahan hukum yang digunakan, dan kemudian berkaitan
dengan teknik pengumpulan serta teknis analisis bahan hukum tersebut.
1.8.1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang beranjak dari adanya isu-isu
hukum terkait dengan kekosongan norma, kekaburan norma dan pertentangan atau
konflik norma. Menurut Rony Hanitijo Sumitro Penelitian menyebutkan, bahwa
Hukum Normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data
sekunder, yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, data sekunder terdiri
dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.40
Dalam penelitian hukum normatif ini”lazimnya hukum diartikan sebagai
kaidah atau norma”, yang menurut Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa
38
Albert H Y Chen, Op.cit, h. 5-10 39
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 3. 40
Rony Hanitijo Soemitro, 1998, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
h.. 11-12
39
kaidah atau norma merupakan patokan atau pedoman perilaku manusia yang
pantas.41
Dalam hal ini yang perlu diperhatikan pula bahwa; ” dalam penelitian
hukum, adanya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis
menjadi syarat yang sangat penting”42
sehingga akan mengarah kepada
permasalahan. Hal tersebut sesuai dengan definisi terkait Legal research is a
process of finding the law that governs activities in human society. It involves
locating both the rules which are enforced by the state and commentaries which
explain or analyze these rules.43
Penelitian ini beranjak dari kekaburan norma atau tidak jelas (Vague
normen) yang dapat ditemukan dalam rumusan kewenangan yang dimiliki oleh
Komisi Yudisal yang diperoleh secara atributif yaitu pada kalimat “..dan
wewenang lain…” sehinngga mengakibatkan sebuah ketidakpastian hukum yang
tidak sesuai dengan prinsip Negara hukum Pancasila yang dianut oleh Indonesia.
Kekaburan norma ini berpengaruh terhadap Putusan MK Nomor 43/PUU-
XIII/2015 terkait dengan kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat
pertama yang penafsiran normatifnya dalam frasa “kewenangan lain” yang dimiki
Komisi Yudisial yang diatur dalam konstitusi. Penelitian hukum normatif dalam
tesis ini juga beranjak dari adanya kekosongan norma khususnya dalam
pengaturan mengenai mekanisme pengangkatan hakim tingkat pertama di
Indonesia, penelitian ini kemudian akan menggunakan penelitian perbandingan
41
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h.
43. 42
Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 1994, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, h. 8. 43
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 1992, Legal Research In a Nutshell, West Publishing Co.,
United State of America, h. 1.
40
yang akan dilakukan terhadap lembaga sejenis Komisi Yudisial di beberapa
negara penganut civil law system dan common law system.
1.8.2. Jenis Pendekatan
Pembahasan dalam penelitian ini akan dikaji dengan beberapa pendekatan
hukum yaitu Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual
Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan Perbandingan
(Comparative Approach) dan Pendekatan Perundang-undangan (The Statute
Approach). Dalam metode Pendekatan Analisis Konsep Hukum digunakan karena
tidak adanya aturan hukum untuk masalah yang dihadapi, khususnya dalam
pengaturan kewenangan dalam melaksanakan seleksi pengangkatan hakim dalam
konstitusi. Dalam hal ini diperlukan merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang
dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana atau doktrin-doktrin
hukum.44
Pendekatan Sejarah digunakan dalam kerangka pelacakan sejarah
lembaga hukum dari wakttu ke waktu. Artinya pendekatan ini sangat membantu
peneliti dalam memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu serta
memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum
tersebut.45
Terakhir adalah Pendekatan Perundang-undangan digunakan untuk
mengkaji perluasan kewenangan yang diberikan kepada Komisi Yudisial sehingga
terjadinya permasalahan hukum terkait dengan wewenang Komisi Yudisial dalam
seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Penelitian ini juga berkaitan dengan
Pendekatan kasus yaitu dengan menitikberatkan Putusan MK yang berkaitan
44
Ibid, h. 138. 45
Ibid, h. 126.
41
dengan wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial dalam Seleksi
Pengangkatan Hakim sebagai bahan dari pendekatan kasus dalam tesis ini.
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian normatif ini, bahan-bahan hukum yang akan
dipergunakan terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-
undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-
undangan, dan putusan-putusan hakim.46
Bahan Hukum Primer yang digunakan
dalam penelitian tesis ini terdiri dari : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945; UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun
2004 Tentang Komisi Yudisial; UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman; UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015.
46
Ibid, h. 141.
42
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum penunjang yang berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi
yang meliputi buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa
permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.47
Selain itu juga
mencakup majalah dan Makalah serta bahan Hukum bidang Pemerintahan yang
diperoleh di internet. Fungsi bahan hukum sekunder adalah try to explain and
analyze the law. 48
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan teknik gabungan antara teknik bola salju (snow balling/snow ball
methode) dengan sistem kartu, untuk memperoleh semua peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji. Langkah pertama
dilakukan inventarisasi dengan mengkoleksi dan pengorganisasian bahan-bahan
hukum ke dalam suatu sistem informasi sehingga memudahkan kembali
melakukan penelusuran bahan-bahan hukum tersebut.
Bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumen, dengan melakukan
pencatatan terhadap sumber bahan hukum primer dan sekunder yang telah
ditentukan. Bahan hukum tersebut diidentifikasi, inventarisasi, dengan cara
pencatatan atau pengutipan, ikhtisar, dan kartu ulasan. Masing-masing kartu diberi
47
Ibid, h. 141. 48
Morris L. Cohen and Kent C. Olson, Op.cit., h. 8.
43
identitas: sumber bahan yang dikutif, topik yang dikutip dan halaman dari sumber
kutipan, selanjutnya diklasifikasikan menurut sistematika rencana tesis, sehingga
ada kartu untuk bahan Bab I, II dan seterusnya, kecuali bagian-bagian penutup.
Kemudian dilakukan kualifikasi bahan hukum.49
1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.
Teknik analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
berdasarkan dengan kedua permasalahan dititikberatkan pada pada Teknik
interpretasi, teknik evaluasi dan kontruksi hukum karena tidak ada pengaturan
terhadap mekanisme seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama sehingga
memerlukan pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi. Teknik
Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam Ilmu Hukum dan
teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan
analogi dan pembalikan proposisi. Teknik evaluasi digunakan sebagai penilaian
terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma dan keputusan50
Ketiga hal tersebut akan dijelaskan melalui teknik deskripsi sebagai
penggambaran terhadap suatu kondisi dan posisi dari proposisi-proposisi hukum
atau non hukum itu sendiri. Dalam hubungannya antara proposisi dan proses
berkaitan erat dengan kebenaran dan kevalidan suatu hal (sah/tidak), it is useful to
observe and to maintain the key distinction between the truth of a proposition or
49
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h. 150. 50
Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Pedoman
Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2013, Program Studi Magister Ilmu Hukum,
Denpasar, h. 32.
44
conclusion on the one hand, and the validity of the process of argument on the
other.51
Keterkaitan teknik argumentasi, sistematika dan evaluasi pada
kaidah/norma peraturan perundangan-undangan adalah dengan mencari
keterkaitan rumusan konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan hukum
yang sederajat maupun tidak sederajat, dalam hal ini adalah UUD NRI Tahun
1945, dan UU hasil legislasi serta Putusan MK, kemudian dengan teknik evaluasi
dilakukan penelitian berdasarkan bahan hukum dan terakhir disampaikan secara
argumentatif, artinya penilaian harus berdasarkan alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum.
51
Ian McLeod, 1996, Legal Method, Macmillan Press LTD, London, h. 14.