51
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL ……….................................................................. i HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ………………….. .... ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………... . ..... iii HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI BESERTA SK ………… ..... iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT …………………………... ... v HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………… ..... vi HALAMAN ABSTRAK ………………………………………………… .... x HALAMAN ABSTRACT ………………………………………………. ..... xi RINGKASAN ……………………………………………………………. .... xii HALAMAN DAFTAR ISI........................................................................... ... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah……………………………….. 1 1.2. Rumusan Masalah……………………………………… 15 1.3. Ruang Lingkup Masalah ………………………………. 16 1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………. 17 1.4.1. Tujuan Umum ……………………………. 17 1.4.2. Tujuan Khusus …………………………... 17 1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………... 18 1.5.1. Manfaat Teoritis …………………………. 18 1.5.2. Manfaat Praktis ………………………….. 19 1.6. Orisinalitas Penelitian…………………………………. . 19 1.7. Landasan Teoritis……………………………………... . 21 1.7.1. Teori Negara Hukum …………………….. 21 1.7.2. Teori Kewenangan ………………………. 27 1.7.3. Teori Trias Politica dan Checks and xv

DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

  • Upload
    dangdat

  • View
    226

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL ……….................................................................. i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER ………………….. .... ii

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………... . ..... iii

HALAMAN PERNYATAAN TELAH DIUJI BESERTA SK ………… ..... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT …………………………... ... v

HALAMAN UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………… ..... vi

HALAMAN ABSTRAK ………………………………………………… .... x

HALAMAN ABSTRACT ………………………………………………. ..... xi

RINGKASAN ……………………………………………………………. .... xii

HALAMAN DAFTAR ISI........................................................................... ... xv

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah……………………………….. 1

1.2. Rumusan Masalah……………………………………… 15

1.3. Ruang Lingkup Masalah ……………………………… . 16

1.4. Tujuan Penelitian ………………………………………. 17

1.4.1. Tujuan Umum ……………………………. 17

1.4.2. Tujuan Khusus …………………………... 17

1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………... 18

1.5.1. Manfaat Teoritis …………………………. 18

1.5.2. Manfaat Praktis ………………………….. 19

1.6. Orisinalitas Penelitian…………………………………. . 19

1.7. Landasan Teoritis……………………………………... . 21

1.7.1. Teori Negara Hukum …………………….. 21

1.7.2. Teori Kewenangan ………………………. 27

1.7.3. Teori Trias Politica dan Checks and

xv

Page 2: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

Balances System …………………………… 29

1.7.4. Teori Penafsiran Hukum dan Konstitusi … 31

1.8. Metode Penelitian……………………………………... . 38

1.8.1. Jenis Penelitian……………………………. 38

1.8.2. Jenis Pendekatan…………………………... 40

1.8.3. Sumber Bahan Hukum…………………...... 41

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum………. 42

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum…………...... 43

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOMISI YUDISIAL DAN

SELEKSI PENGANGKATAN HAKIM

2.1. Tinjauan Umum Tentang Komisi Yudisial ……………. 45

2.1.1 Dasar Hukum dan Kedudukan Komisi

Yudisial ...........……………………………. 45

2.1.2 Tugas dan Wewenang Komisi

Yudisial ...........………………………….... 51

2.1.3 Fungsi Komisi Yudisial…………………... 57

2.1.4 Organisasi Komisi Yudisial................……. 62

2.1.4.1 Status Komisi Yudisial…...……...... 62

2.1.4.2 Struktur Organisasi Komisi Yudisial 63

2.1.4.3 Sumber Keuangan, Pertanggung

Jawaban dan Laporan Komisi

Yudisial …………………………… 65

2.2. Tinjauan Umum Tentang Pengangkatan Hakim Tingkat

Pertama ………………………………………………. 66

2.2.1. Pengertian Hakim ………………………….... 66

2.2.2. Hakim Tingkat Pertama …………………….... 76

2.2.3. Kedudukan dan Fungsi Hakim Tingkat

Pertama ………………………….................. 79

2.2.4. Tugas dan Wewenang Hakim Tingkat

Pertama ………………………….................. 83

xvi

Page 3: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

2.2.5. Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat

Pertama ………………………….................. 86

BAB III ANALISIS WEWENANG KOMISI YUDISIAL DALAM

SELEKSI PENGANGKATAN HAKIM TINGKAT PERTAMA

3.1. Sejarah Perkembangan Kewenangan Komisi Yudisial

Indonesia ……………………………………………… . 90

3.1.1. Latar Belakang Pembentukan Komisi Yudisial ……. 90

3.1.2. Sejarah Kewenangan Komisi Yudisial dalam UUD NRI

Tahun 1945 ………………………………………. . 97

3.1.3. Kajian Terhadap Komisi Yudisial sebagai Lembaga

Negara dalam UUD NRI Tahun 1945 …………….. 113

3.1.4. Perluasan Kewenangan Komisi Yudisial dalam UU 117

3.1.4.1. Norma Tertutup dan Norma Terbuka ……….. . 117

3.1.4.2. Undang-Undang Komisi Yudisial ……………. 119

3.1.4.3. Undang-Undang Mahkamah Agung …………. 123

3.1.4.4. Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ……. 126

3.1.4.5. Undang-Undang Peradilan …………………… 128

3.2. Indikator-Indikator Penunjang Perilaku Hakim ………………. 134

3.2.1. Etika Profesi Hakim ……………………………….. 134

3.2.2. Indikator Kehormatan, Keluhuran Martabat dan

Perilaku Hakim …………………………………….. 138

3.2.3. Sistem Pengawasan Hakim Oleh Komisi Yudisial ... 142

3.2.3.1. Pengawasan Internal dan Eksternal Kehakiman 142

3.2.3.2. Pengawasan Preventif dan Represif …………... 143

3.3. Kajian Terhadap Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015 ….. 145

3.4. Analisis Perluasan Kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi

Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama ………………………... 153

xvii

Page 4: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

BAB IV MEKANISME SELEKSI PENGANGKATAN HAKIM TINGKAT

PERTAMA YANG IDEAL DITERAPKAN DI INDONESIA

4.1. Kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan

Hakim Tingkat Pertama Pada Negara Civil Law ……………. . 168

4.1.1. Komisi Yudisial di Negara Perancis ……………… . 168

4.1.2. Komisi Yudisial di Negara Belanda ……………… . 171

4.2. Kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan

Hakim Tingkat Pertama Pada Negara Common Law …………. 174

4.2.1. Komisi Yudisial di Negara New South Wales …….. 174

4.2.2. Komisi Yudisial di Negara Filipina ……………….. 176

4.3. Analisis Kewenangan Komisi Yudisial di Beberapa Negara dalam

Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama Indonesia …… 179

4.3.1. Perbandingan Komisi Yudisial dalam

Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama

di Beberapa Negara ………………………........... . 180

4.3.2. Wewenang Komisi Yudisial Pembanding yang

dapat Diterapkan dalam Seleksi Pengangkatan

Hakim Tingkat Pertama di Indonesia…………….. 183

4.4. Mekanisme Seleksi Pengangkatan Hakim Tingkat Pertama yang

Ideal Diterapkan di Indonesia ………………………………… 186

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan ………………………………………………………. . 194

5.2. Saran ……………………………………………………………. 195

DAFTAR PUSTAKA

xviii

Page 5: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

DAFTAR TABEL

Halaman

TABEL 1 PERBANDINGAN KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL

PERANCIS, BELANDA, AUSTRALIA, FILIFINA,

INDONESIA................................................................... 180

xix

Page 6: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

Abstrak

Komisi Yudisial adalah sebuah lembaga yang secara konstitusional berwenang

mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial ini kemudian diperluas menjadi

beberapa kewenangan, salah satunya adalah dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat

pertama. Ikatan Hakim Indonesia kemudian menguji kewenangan ini ke Mahkamah

Konstitusi sampai akhirnya kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan

hakim tingkat pertama dinyatakan tidak konstitusional oleh Putusan MK Nomor 43/PUU-

XIII/2015. Perluasan konsep wewenang lain dalam hal seleksi pengangkatan hakim tingkat

pertama dan mekanisme seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan

di Indonesia ini dikaji dengan menggunakan penelitian hukum normatif dan dengan

beberapa pendekatan yaitu Pendekatan Analisis Konsep Hukum, Pendekatan Perundang-

undangan, Pendekatan Sejarah, serta Pendekatan Perbandingan.

Perluasan wewenang Komisi Yudisial dalam peraturan perundang-undangan

merupakan delegasi dari ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 sebagai norma

terbuka. Implementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal

hakim meliputi mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung,

menetapkan, menjaga dan menegakkan pelaksanaan kode etik dan pedoman perilaku hakim,

mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran kode etik, dan yang terakhir adalah

seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama tersebut hanya dalam batasan uji kelayakan calon

hakim dalam seleksi. Hal itu berkaitan dengan kode etik dan perilaku hakim yang menjadi

ruang lingkup pengawasan Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial adalah lembaga yang dimiliki oleh sejumlah Negara yang menganut

sistem hukum civil law maupun common law. Komisi Yudisial di Negara Perancis, Belanda,

Australia (negara bagian New South Wales) dan Filipina, rata-rata memiliki kewenangan

yang kuat dalam pengawasan hakim dan seleksi pengangkatan hakim. Mekanisme seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia adalah proses

seleksi yang melibatkan beberapa stakeholder utama yaitu Mahkamah Agung, Komisi

Yudisial, dan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Seleksi tersebut dimulai dengan

seleksi peserta pendidikan yang meliputi seleksi administrasi dan uji kelayakan kemudian

dilanjutkan dengan tahapan pendidikan calon hakim. Para calon hakim yang lolos seleksi ini

direkomendasikan untuk kemudian diangkat menjadi hakim tingkat pertama. Kedepannya

penguatan wewenang Komisi Yudisial harus dilakukan melalui amandemen UUD NRI

Tahun 1945 dan revisi terhadap peraturan perundang-undangan terkait agar tercapainya

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang adil dan hakim-hakim yang berintegritas

tinggi.

Kata kunci : Komisi Yudisial, Wewenang, Kode Etik, Seleksi Pengangkatan, Hakim

Tingkat Pertama.

x

Page 7: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

Abstract

Judicial Commission of Indonesia is an institution that is constitutionally

competent to propose the appointment of Supreme Court Justices and also have other

authority in order to preserve and uphold the honor, dignity, and behavior of judges. The

other authority possessed by the Judicial Commission is then expanded into several powers,

one of which is the selection appointment of court judge. Indonesian Judge Association then

test this authority to the Constitutional Court of Indonesia until finally the authority of the

Judicial Commission in the selection appointment of court judge ruled unconstitutional by

the Putusan MK Number 43/PUU-XIII/2015. The concept extension of the other authority in

terms of selection appointment of court judge and the procedure of selection appointment of

court judge that ideal implementation on Indonesia will be assessed using the normative

analytical method with the Analytical & Conceptual Approach, Statute Approach, Historical

Approach and comparative approach.

The expansion of the Judicial Commission authority in the regulation is the

delegation from act no.24B (1) the 1945 constitution of the Republic of Indonesia’s mandate

as opened norm. The implementation of function as an external institution controller of

judges consists of propose the appointment of ad hoc judges, establish, maintain and

enforce the implementation of the code of conduct, proposed the application of sanctions,

propose sanctions for violations of the code of judge and the last one is selection

appointment of a court judge. The authority of selection appointment of court judge just

only implement test the feasibility of prospective judges. It relates to the scope of controlling

from the Judicial Commission.

The Judicial Commission is an institution owned by many countries that embrace

civil law and common law system. In France, the Netherlands, Australia (New South Wales)

and the Philippines, the Judicial Commission has strong powers in the controlling authority

and the selection appointment of a court judge. The procedure of ideal selection

appointment of court judge in Indonesia is a selection process involving multiple

stakeholders like Supreme Court of Indonesia, Judicial Commission, and Directorate

General of Higher Education. It is begun by the selection of study participants that include

the administration and due diligence then the next phase after receiving the results of the

first step of selection is education for prospective judges. From those selections will be

obtained the candidates who pass the selection of judges and then got recommendation for

later appointed as the court judge. In the future, the strengthening of the Judicial

Commission authority has to be done through amendment of the 1945 constitution of the

Republic of Indonesia and also revision of the regulations in order to achieve the

implementation of a fair judicial power and the judges with the highest integrity.

Keywords: Judicial Commission of Indonesia, authority, Code of conduct, selection

appointment, court judge.

xi

Page 8: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Sebagai sebuah Negara hukum yang ditegaskan dalam perumusan

konstitusi tertulis Indonesia yaitu Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945),

Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat menjungjung tinggi hukum dan asas

legalitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Negara hukum dan asas

legalitas yang dimaksud adalah segala hal tindakan yang akan dilakukan oleh

pemerintah harus berdasarkan dengan hukum tertulis atau peraturan perundang-

undangan yang berlaku (ius constitutum). Negara Hukum yang dianut oleh

Indonesia memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh negara-negara lainnya yaitu

Negara Hukum Pancasila. Meskipun dalam UUD NRI Tahun 1945 secara limitatif

hanya menegaskan bahwa “Indonesia adalah Negara hukum”, dan tidak secara

eksplisit perumusan negara hukum tersebut mencantumkan kata Pancasila, namun

Pancasila sudah menjadi nilai-nilai dasar mutlak yang terkandung dalam

Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Pancasila merupakan dasar negara dan

rechtsidee, maka keberadaan nilai-nilai Pancasila harus menjadi dasar dan

pedoman oleh negara hukum Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan penegasan

dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan yang merumuskan bahwa “Pancasila merupakan

sumber segala sumber hukum negara.” Hal tersebut memiliki makna bahwa

1

Page 9: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

2

Pancasila ditempatkan sebagai dasar ideologi negara sekaligus dasar filosofis

negara sehingga seluruh materi muatan peraturan perundang-undangan tidak

boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam

arti luas, nilai-nilai Pancasila yaitu nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan,

Permusyawaratan dan Keadilan, dijunjung tinggi untuk mencapai kesejahteraan

seluruh rakyat Indonesia. Jadi secara sederhana negara hukum Indonesia adalah

negara hukum materiil yang berlandaskan Pancasila.

Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) prinsip yang harus dilaksanakan dalam

suatu negara hukum, yaitu: supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dan

kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) dan yang

terakhir adalah segala bentuk penegakan hukum dilakukan dengan cara-cara yang

tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berlaku (due process of law). Dalam

pelaksanaannya ketiga hal tersebut dijabarkan dalam bentuk: (1) jaminan terhadap

perlindungan hak-hak dasar atau hak asasi manusia; (2) kekuasaan kehakiman

atau peradilan yang independen, merdeka, tidak memihak; dan (3) menjungjung

tinggi prinsit legalitas hukum atau setiap tindakan negara atau pemerintah dan

masyarakat harus berdasar atas hukum yang berlaku.1

Terkait dengan salah satu prinsip yang harus ditegakkan dalam sebuah

negara hukum, khususnya kekuasaan kehakiman yang merdeka, di Indonesia

sendiri sebelum adanya amandemen terhadap UUD 1945, pengaturan mengenai

kekuasaaan kehakiman dirumuskan dalam satu bab tersendiri, yaitu pada Bab IX,

1 Muhammad Siddiq Armia, 2011, Studi Epistemologi Perundang-Undangan, CV. Teratai

Publisher, Jakarta, h. 13.

Page 10: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

3

yang terdiri atas dua pasal yaitu Pasal 24 dan Pasal 25. Pasal 24 UUD 1945

sebelum adanya amandemen merumuskan bahwa;

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.

(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan

undang-undang.

Perumusan di atas kemudian dilengkapi dengan pengaturan dalam Pasal

25 UUD 1945 yang mengatur mengenai syarat-syarat untuk menjadi dan untuk

diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang. Kedua pasal

tersebut mengacu pada lembaga yang bertanggung jawab menjalankan kekuasaan

kehakiman yaitu Mahkamah Agung dan prasyarat orang-orang yang ditetapkan

sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Pada bagian Penjelasan dalam UUD 1945

dijelaskan bahwa, “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah”.

Perihal kekuasaan kehakiman inipun kemudian mengalami perubahan

pasca amandemen UUD 1945 yaitu dalam hal pelaku kekuasaan kehakiman.

Menurut ketentuan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dengan tegas

merumuskan bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Kemudian pelaku kekuasaan kehakiman dirinci dalam Pasal 24 ayat (2) yaitu

Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya beserta dengan

Mahkamah Konstitusi. Khususnya pada amandemen ketiga UUD 1945, yang

ditetapkan tanggal 9 November 2001 lahir pula sebuah lembaga Komisi Yudisial.

Page 11: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

4

Komisi Yudisial itu sendiri telah secara rinci diatur dan menjadi rumusan pasal

tersendiri di dalam Bab Kekuasaan Kehakiman yaitu dalam ketentuan Pasal 24A

ayat (3) dan ketentuan Pasal 24B UUD NRI Tahun 1945.

Secara konstitusional tertulis, Komisi Yudisial terletak dalam Bab IX

UUD NRI Tahun 1945 yang secara khusus mengelompokkan lingkungan

kekuasaan kehakiman, walaupun demikian yang perlu diperhatikan bahwa

lembaga ini sebenarnya tidak termasuk dalam katagori pelaku kekuasaan

kehakiman. Seperti yang sudah diuraikan di atas, pelaku Kekuasaan Kehakiman

sudah dibatasi kepada sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan di

bawahnya serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Jadi posisi dari Komisi Yudisial

tidaklah termasuk dalam lembaga yang menyelenggarakan peradilan yang

dimaksud. Artinya Komisi Yudisial bukan lembaga pemegang kekuasaan

kehakiman. Dipertegas kembali dalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006,

Komisi Yudisial merupakan sebuah supporting institution yang khusus dibentuk

sebagai lembaga pengawas eksternal bagi lembaga kekuasaan kehakiman, yaitu

Mahkamah Agung2. Kedudukan Komisi Yudisial tersebut dapat pula disebut

sebagai main institution, karena sebagai lembaga negara kedudukan Komisi

Yudisial tidak berada di bawah Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi,

tetapi tugas dan wewenangnya tetap bersifat penunjang (supporting) bagi

kekuasaan kehakiman.3

2 Moh. Mahfud MD, 2008, Gagasan Amandemen UUD 1945; Kekuasaan Kehakiman Pasca

Amandemen UUD 1945, Komisi Hukum Nasional, Jakarta, h. 18 3 Ibid, h. 20.

Page 12: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

5

Kewenangan Komisi Yudisial diberikan secara atributif dalam perumusan

Pasal 24A ayat (3) dan ketentuan Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Secara lebih detail, rumusan Pasal 24B adalah sebagai berikut :

(1) Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan

pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim.

(2) Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan

pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian

yang tidak tercela.

(3) Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden

dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

(4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan

undang-undang.

Di samping wewenang yang dirumuskan dalam Pasal 24B ayat (1), yaitu

Komisi Yudisial berwenang dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim agung,

perumusan pasal tersebut berkaitan erat dengan kewenangan yang sebagaimana

sudah dirumuskan dalam Pasal 24A ayat (3) dengan rumusannya bahwa “Calon

hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada DPR untuk mendapatkan

persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden,”

sehingga penempatan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B ini berhubungan erat

dengan ketentuan dalam Pasal 24A ayat (3) tersebut. Seperti yang sudah

dituliskan di atas, Komisi Yudisial bukan diposisikan dan bukan berkedudukan

termasuk badan kekuasaan kehakiman. Pada dasarnya kekuasaan kehakiman dan

lembaga-lembaga Negara mana yang termasuk badan pelaku kekuasaan

kehakiman sudah dirumuskan terperinci dalam Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2)

UUD NRI Tahun 1945 yaitu Mahkamah Agung (termasuk badan-badan peradilan

di bawahnya) dan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan konstitusional lainnya

yang dimiliki oleh Komisi Yudisial adalah mempunyai wewenang lain dalam

Page 13: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

6

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku

hakim. Pada dasarnya ketentuan pemberian kewenangan lain terhadap Komisi

Yudisial ini tidak dimaksud untuk mencampuri dalam bentuk pengawasan seperti

yang dikenal untuk lembaga lain di luar kekuasaan kehakiman. Campur tangan

kekuasaan lain terhadap kekuasaan kehakiman merupakan hal yang tidak

dibenarkan dalam negara hukum yang dianut oleh Indonesia yang salah satu

prinsip yang dijunjungnya adalah peradilan yang independen dan bebas dari

pengaruh pihak manapun. Oleh karena itu, wewenang lain Komisi Yudisial yang

satu ini harus dibatasi dalam hal tertentu, dalam artian tidak dapat dipakai untuk

campur tangan dalam teknis peradilan pada badan-badan peradilan lainnya

melainkan menunjang dan memperkuat kekokohan kekuasaan peradilan.

Selain dalam konstitusi tertulis UUD NRI Tahun 1945, eksistensi Komisi

Yudisial juga dielaborasi dan diatur tersendiri dalam sebuah peraturan perundang-

undangan dalam bentuk Undang-undang Komisi Yudisial. Tujuannya tiada lain

adalah untuk mempertegas dan memperjelas keterkaitannya dengan tugas dan

wewenang Komisi Yudisial itu sendiri. Ketentuan dalam Pasal 13 Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial dirumuskan bahwa Komisi Yudisial

mempunyai wewenang yaitu a. mengusulkan pengangkatan hakim agung dan

hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan;

b. menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku

hakim; c. menetapkan Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim bersama-

Page 14: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

7

sama dengan Mahkamah Agung; dan d. menjaga dan menegakkan pelaksanaan

Kode Etik dan/atau Pedoman Perilaku Hakim.

Kewenangan Komisi Yudisial tersebut kemudian kembali diperluas oleh

pembentuk Undang-undang dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU Nomor 49

Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun

1986 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan (3) UU Nomor 50 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama dan Pasal 14A ayat (2) dan (3) UU Nomor 51 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara mengenai proses seleksi hakim tingkat

pertama pada masing-masing lingkungan peradilan tersebut bahwa proses seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama dilakukan bersama oleh Komisi Yudisial

dan Mahkamah Agung, yang selanjutnya diatur bersama oleh Komisi Yudisial

dan Mahkamah Agung. Selengkapnya rumusan ketiga ketentuan tersebut adalah

sebagai berikut :

Pasal 14A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan

Umum: Ketentuan ayat (2) merumuskan bahwa “Proses seleksi pengangkatan

hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi

Yudisial”, dan Pasal 14A ayat (3) selengkapnya merumuskan, “Ketentuan lebih

lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi

Yudisial”. Pasal 13A ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009

tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Page 15: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

8

Peradilan Agama: Ketentuan ayat (2) merumuskan bahwa “Proses seleksi

pengangkatan hakim pengadilan negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial”, dan Pasal 13A ayat (3) selengkapnya merumuskan,

“Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung

dan Komisi Yudisial”. Terakhir ketentuan dalam Pasal 14A ayat (2) dan (3)

Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara: Ketentuan

ayat (2) merumuskan bahwa “Proses seleksi pengangkatan hakim pengadilan

negeri dilakukan bersama oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”, dan

Pasal 14A ayat (3) selengkapnya merumuskan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai

proses seleksi diatur oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial”.

Menurut Peraturan Bersama Mahkamah Agung Republik Indonesia dan

Komisi Yudisial Republik Indonesia Nomor 01/PB/MA/IX/2012 – 01/PB/P.

KY/09/2012 dalam Pasal 1 butir a dirumuskan bahwa “Seleksi Pengangkatan

Hakim adalah rangkaian proses mulai dari Pendidikan Calon Hakim Terpadu,

sampai pada penentuan akhir untuk diangkat menjadi hakim.” Pendidikan Calon

Hakim Terpadu sendiri kemudian dirumuskan dalam Pasal 1 butir b yaitu program

pendidikan bagi calon hakim yang telah dinyatakan lulus dalam ujian prajabatan

yang dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan dengan program diklat

dan program magang. Artinya seorang calon hakim yang telah memenuhi

persyaratan administratif wajib mengikuti seleksi pengangkatan hakim tingkat

pertama sebelum kemudian bisa diangkat menjadi hakim. Seleksi tersebut

mencakup program pendidikan, diklat, dan magang yang nantinya akan

Page 16: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

9

menentukan dapat atau tidaknya seorang calon hakim diusulkan oleh Ketua

Mahkamah Agung kepada Presiden untuk pengangkatan hakim sebagai pejabat

negara, sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014

Tentang Aparatur Sipil Negara.

Kembali kepada perluasan wewenang yang diberikan kepada Komisi

Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama bersama dengan

Mahkamah Agung, pada dasarnya merupakan bentuk dari komitmen Komisi

Yudisial dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim yang tidak hanya terbatas pada level Hakim Agung saja. Kualitas

dan integritas hakim sesungguhnya sudah dapat dan bahkan harus dibentuk pada

tahap seleksi, maka untuk menciptakan sikap dan perilaku hakim yang

menjunjung tinggi kehormatan dan keluhuran martabat. Sehubungan dengan hal

tersebut maka peranan Komisi Yudisial sangat diperlukan untuk bekerja bersama-

sama dengan Mahkamah Agung. Dengan demikian kewenangan Komisi Yudisial

bersama-sama Mahkamah Agung ikut menyeleksi hakim pada tingkat pertama

didasari dengan cita-cita penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dalam hal

menciptakan hakim-hakim yang berkualitas dan berintegritas tinggi yang tentu

harus dimulai dari proses penyeleksian hakim tersebut. Namun perubahan atas

paket UU Peradilan yang meliputi UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama,

dan UU Peradilan TUN tersebut tidak diimbangi dengan pengaturan dan

penjelasan bagaimana kata “bersama” antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah

Agung diimplementasikan dalam tataran dogmatiknya. Setidaknya terdapat dua

buah persoalan yang terkandung akibat dari kekaburan norma ini, yaitu perihal

Page 17: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

10

pembagian kewenangan di antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung atau

mekanisme pengangkatan hakim tingkat pertama diantara kedua lembaga tersebut

serta bagaimana penyelesaian masalah jika ke depannya terdapat perbedaan

penafsiran diantara kedua lembaga tersebut yang dapat berdampak pada tidak

dapat disahkannya peraturan bersama yang dikehendaki oleh UU tersebut.

Berkaitan dengan hal tersebut, Ikatan Hakim Indonesia (selanjutnya

disebut dengan IKAHI) kemudian mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial

dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Pasalnya sejak berlakunya

tiga paket UU Peradilan yang dimana diberikannya kewenangan kepada Komisi

Yudisial untuk turut serta dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama

dalam UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Peradilan TUN tahun

2009 hingga pada tahun 2015, ternyata pelaksanaan pengadaan seleksi

pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tingkat pertama tersebut tidak

kunjung terealisasi. IKAHI tergerak untuk menguji ketiga undang-undang itu dan

membawanya kepada Mahkamah Konstitusi karena IKAHI memandang dalam

konstitusi tidak mengamanatkan keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama. IKAHI mengganggap kewenangan Komisi

Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama mendegradasi peran

IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD

NRI Tahun 1945. Selain itu, Pasal 21 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa organisasi, administrasi, dan

finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada

di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Karenanya, IKAHI sebagai pemohon ini

Page 18: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

11

meminta agar keterlibatan Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan Hakim

tingkat pertama ditiadakan dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa

“Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu.4 Dengan kata lain, pemohon

mempertanyakan Komisi Yudisial berwenang atau tidak dalam seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama bersama-sama dengan Mahkamah Agung,

karena ketentuan kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan

hakim tingkat pertama tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum yang

berpotensi mengakibatkan sengketa kewenangan lembaga negara antara

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Perdebatan konstitusionalitas keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama bersama-sama dengan Mahkamah Agung

akhirnya terjawab. Melalui Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015 yang

diputuskan pada tanggal 7 Oktober 2015, Mahkamah Konstitusi menyatakan dan

memutuskan bahwa perihal seleksi hakim tingkat pertama merupakan sepenuhnya

menjadi wewenang Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi mengabulkan

permohonan IKAHI atas pengujian sejumlah pasal dalam tiga paket UU di bidang

peradilan yang mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial dalam seleksi calon

hakim bersama dengan Mahkamah Agung.

Dalam putusannnya, Mahkamah Konstitusi menghapus kata “bersama”

dan frasa “Komisi Yudisial” dalam Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor 49

Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2) dan ayat (3) UU Nomor

50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2) dan ayat (3) UU

4 Ibid.

Page 19: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

12

Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Dengan

putusan ini, Komisi Yudisial tidak berwenang lagi dalam proses seleksi calon

hakim di tiga lingkungan peradilan. Namun demikian, putusan ini tidak diambil

secara keseleruhan oleh para Hakim Konstitusi. Salah satu Hakim Konstitusi yaitu

I Dewa Gede Palguna sebelumnya telah mengajukan dissenting opinion (pendapat

berbeda) terhadap putusan MK tersebut. Berbeda dengan amar putusan MK yang

telah diputuskan, beliau berpendapat seharusnya Mahkamah Konstitusi

memutuskan bahwa ketiga pasal dalam perkara tersebut dengan amar

konstitusional bersyarat. Hal tersebut seharusnya bisa dilaksanakan karena

keterlibatan Komisi Yudisial bersama Mahkamah Agung dalam proses seleksi

pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tidaklah mengganggu

administrasi, organisasi, maupun finansial pengadilan5. Tidak ditegaskannya

secara jelas dalam UUD NRI Tahun 1945 perihal kewenangan Komisi Yudisial

dan/atau Mahkamah Agung dalam melaksanakan seleksi pengangkatan hakim

tingkat pertama secara tidak langsung telah mengakibatkan berbagai tafsir

normatif dalam perumusan pasal yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial. Terlepas dari telah adanya putusan Mahkamah

Konstitusi yang secara konstitusional menghapuskan kewenangan Komisi Yudial

5 Mahkamah Konstitusi, 2015, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015 Tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Undang-Undang Nomor 50

Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama, dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pendapat Berbeda (

Dissenting Opinion), h. 125-128, tersedia di http://mahkamahkonstitusi.go.id, diakses 15

Oktober 2015.

Page 20: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

13

untuk ikut berperan dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama, dengan

adanya sikap pro-kontra di balik putusan tersebut, maka analisis perluasan

kewenangan lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial terutama dalam hal seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama masih layak untuk dikaji secara akademis.

Seperti yang sudah dituliskan di atas, salah satu prinsip dasar Negara

Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum adalah menjamin

terselenggaranya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjalankan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan UUD NRI Tahun

1945. Berkaitan dengan fungsi dan semangat pembentukan Komisi Yudisial,

seharusnya inilah saatnya untuk merealisasikan langkah-langkah pembaharuan

yang berorientasi kepada terciptanya lembaga peradilan yang sungguh-sungguh

bersih dan berwibawa guna menjamin masyarakat dan para pencari keadilan

memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku termasuk hal yang berkaitan dengan Seleksi

Pengangkatan Hakim tingkat pertama ini. Mengingat mulai turunnya tingkat

kepercayaan publik terhadap lembaga kehakiman, termasuk di dalamnya para

hakim tingkat pertama dengan maraknya kasus hukum yang melibatkan hakim,

sebagai berikut :

1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil melakukan operasi

tangkap tangan (OTT) dan menangkap hakim Pengadilan Tata Usaha

Negara (PTUN) Medan dan advokat dari kantor hukum OC Kaligis.6

2. Polres Kota Padang menangkap seorang oknum polisi Direktorat Intelijen

dan Keamanan Polda Sumatera Barat AK (34) bersama hakim PTUN

6 Novrieza Rahmi, 2015, Ketua PTUN Medan dan Advokat terjaring OTT KPK, URL :

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt559e0b7c3833a/ketua-ptun-medan-dan-

advokat-terjaring-ott-kpk , diakses tanggal 25 Oktober 2015.

Page 21: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

14

setempat MYT (37), atas dugaan kasus penyalahgunaan narkoba jenis

sabu. 7

Secara keseluruhan, permasalahan ini timbul dari kaburnya perumusan

norma dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, khususnya dalam frasa

“wewenang lain” yang menimbulkan multitafsir dari berbagai pihak sehingga

memicu perdebatan. Menurut Mahkamah dalam pertimbangan putusannya frasa

“wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 adalah semata dalam

rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku

hakim, tidak dapat diperluas dengan tafsiran lain (dalam hal ini seleksi hakim

tingkat pertama) sebab UUD NRI Tahun 1945 sendiri tidak memberi kewenangan

kepada pembuat Undang-Undang untuk memperluas kewenangan Komisi

Yudisial. Namun yang perlu ditekankan dan diperhatikan dalam hal imi, Pasal 24

UUD NRI Tahun 1945 pun tidak menyebutkan secara tersurat bahwa telah

menjadi kewenangan Mahkamah Agung secara mutlak dalam proses seleksi

pengangkatan hakim di tiga lingkungan peradilan tersebut. Hal ini dapat menjadi

dasar analisis dari perluasan kewenangan lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial.

Tidak dapat dipungkiri penjagaan martabat dan keluhuran hakim itu tentu tidak

bisa tidak harus dimulai dari proses seleksi awal penerimaan hakim itu sendiri.

Begitu juga penegakan kehormatan serta perilaku hakim tentunya harus

ditegaskan dan ditanamkan sebagai sikap prinsip sejak awal sehingga menjadi

dasar dan cara pandang bagi seorang calon hakim yang kemudian akan menjadi

hakim. Apabila dicermati kembali ke akar permasalahan sesungguhnya adalah

7 ANT, 2015, Diduga Pakai Narkoba, Polisi dan Hakim ditangkap, URL :

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55d71740595f0/diduga-pakai-narkoba--polisi-

dan-hakim-ditangkap , diakses tanggal 25 Oktober 2015.

Page 22: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

15

terletak pada adanya ketentuan kewenangan Komisi Yudisial dalam ikut sertanya

melakukan seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Padahal hal tersebut

dilaksanakan sebenarnya bersama-sama dengan Mahkamah Agung, bukan

wewenang tunggal sehingga tidak seharusnya dimaknai bahwa perluasan

wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial tersebut bertentangan dengan

Konstitusi.

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas maka diperlukannya

kajian yang lebih mendalam untuk dapat menganalisis kembali kewenangan dari

Komisi Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama terutama

dalam penafsiran frasa “wewenang lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang

akan dibahas dalam tesis ini. Kajian dalam tesis ini juga akan dilengkapi dengan

perbandingan kewenangan dalam seleksi pengangkatan hakim terhadap lembaga

sejenis Komisi Yudisial di beberapa negara sebagai bahan refleksi untuk Komisi

Yudisial Republik Indonesia untuk ke depannya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apakah konsep “wewenang lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang

diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 dapat diperluas dalam hal seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama?

2. Bagaimanakah mekanisme seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama

yang ideal diterapkan di Indonesia?

Page 23: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

16

1.3. Ruang Lingkup Masalah

Bertitik tolak dari hal di atas, maka pembahasan penelitian ini dibatasi

pada pengkajian dan penafsiran dari konsep “wewenang lain” yang dimiliki oleh

Komisi Yudisial yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan

kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama serta kajian terhadap

perluasan konsep wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang diatur

dalam Pasal 24B ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, Putusan MK Nomor 43/PUU-

XIII/2015 terkait dengan kewenangan Komisi Yudisial dalam Seleksi

Pengangkatan Hakim tingkat pertama sudah sesuai dengan prinsip Keadilan

dalam Negara Hukum Pancasila serta kedudukan Komisi Yudisial dalam

Kekuasaan Kehakiman terkait dengan kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim

di Indonesia serta perkembangan Seleksi Pengangkatan Hakim di Indonesia.

Kemudian dalam mengkaji sebuah konstruksi normative untuk mekanisme

Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia.

Dalam hal ini akan digunakan 4 (empat) lembaga negara sejenis Komisi Yudisial

di negara lain sebagai perbandingan untuk merefleksikan gagasan dan arah dari

penyenggaraan Komisi Yudisial di Indonesia khususnya dalam seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama sebagai bahan konstruksi hukum yang sesuai

dengan Konsepsi Negara Hukum Pancasila. Keempat Negara tersebut akan

dibatasi pada dua Negara dengan sistem hukum civil law yaitu Negara Perancis

dan Belanda; serta dua Negara dengan sistem hukum common law yaitu Australia

dan Filipina. Hasil kajian dan perbandingan dari Komisi Yudisial dari keempat

Page 24: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

17

negara tersebut kemudian akan dihubungkan dengan pikirian-pikiran dasar terkait

dengan ius constituendum yang kelak akan diberlakukan di Indonesia.

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian dengan dua permasalahan di atas, adalah

bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum atau menambah khasanah

pengetahuan di bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Kewenangan

Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim di Indonesia.

1.4.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian tesis ini adalah ingin meneliti dan menganalisis

hal- hal yang berhubungan dengan antara lain :

1. Untuk mengetahui dan memahami kajian terhadap konsep kewenangan

lain dalam frasa “wewenang lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial

yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan kewenangan

Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama.

2. Untuk mengetahui dan memahami mekanisme Seleksi Pengangkatan

Hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia, dengan

melakukan perbadingan terhadap lembaga Negara sejenis Komisi Yudisial

di beberapa Negara lain untuk dapat diadopsikannya beberapa hal-hal yang

layak untuk memperbaiki kewenangan yang dimiliki oleh lembaga Komisi

Yudisial ke dalam sistem kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi

Page 25: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

18

pengangkatan hakim tingkat pertama di Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

1.5. Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis yang diharapkan melalui penelitian tesis ini adalah

merumuskan pemikiran-pemikiran bersifat teoritis dan yuridis argumentatif dalam

mengkaji penafsiran atau perluasan makna dari frasa “wewenang lain” yang

dimiliki oleh Komisi Yudisial terutama dalam hal kewenangan Komisi Yudisial

dalam seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Manfaat teoritis lainnya

adalah dapat menemukan konstruksi hukum terkait mekanisme seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama yang ideal diterapkan di Indonesia, dengan

melakukan perbadingan terhadap beberapa lembaga Negara sejenis Komisi

Yudisial di beberapa Negara lain (dari negara civil law dan common law) untuk

dapat kemudian diambil nilai-nilainya sebagai bahan masukan untuk ius

constituendum dalam sistem kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi

pengangkatan hakim tingkat pertama di Indonesia.

1.5.2. Manfaat Praktis

1. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan

bagi pemerintah dalam mengatasi permasalahan dalam kekuasaan kehakiman

yaitu dalam kewenangan Komisi Yudisial dalam seleksi pengangkatan hakim

tingkat pertama di Indonesia.

Page 26: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

19

2. Bagi peneliti dengan hasil penelitian ini untuk menambah wawasan,

pengetahuan secara ilmiah mengenai kajian kewenangan Komisi Yudisial dan

Seleksi Pengangkatan Hakim, kajian terhadap Putusan MK Nomor 42/PUU-

XIII/2015 dan refleksi terhadap kewenangan Komisi Yudisial Indonesia dari

perbadingan terhadap beberapa lembaga Negara sejenis Komisi Yudisial di

Negara lain untuk dapat direfleksikan dalam sistem kewenangan Komisi

Yudisial dalam Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat pertama di Indonesia.

1.6. Orisinalitas Penelitian

Pengkajian mengenai perluasan konsep wewenang lain Komisi Yudisial

dalam hal seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama beranjak dari adanya

potensi terjadinya sengketa kewenangan antara Mahkamah Agung dengan Komisi

Yudisial dalam hal seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Kajian dan

peneliatian tersebut bukanlah suatu kajian baru dalam bidang ilmu hukum, sudah

ada beberapa penelitian yang mengkaji mengenai hal tersebut. Ada beberapa

penelitian yang yang penulis angkat sebagai perbandingan orisinalitas penelitian

yang dilakukan penulis yaitu :

1. Prim Fahrur Razi, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Tesis Tahun

2007 dengan judul Sengketa Kewenangan Pengawasan antara Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial. Penelitian ini mengkaji Sengketa kewenangan

pengawasan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudusial berawal dari

perbedaan persepsi dalam menafsirkan undang-undang khususnya Pasal 24 B

ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Komisi Yudisial,

Page 27: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

20

berfungsi “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta

perilaku hakim”. Menurut Komisi Yudisial kata “hakim” berarti hakim di

seluruh tingkatan termasuk hakim agung, sehingga Komisi Yudisial juga

melakukan pengawasan terhadap hakim agung. Namun menurut Mahkamah

Agung kata “perilaku hakim” dalam Undang-undang Dasar 1945 tidak

termasuk “perilaku hakim agung”, sehingga Komisi Yudisial tidak berwenang

mengawasi hakim agung. Hal tersebut berujung pada permohonan uji materiil

terhadap Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial

yang diajukan oleh 31 orang hakim agung kepada Mahkamah Konstitusi.

Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi menyatakan pada pokoknya pasal-

pasal yang mengatur tentang tugas melakukan pengawasan oleh Komisi

Yudisial bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sebagai konsekuensinya maka

harus dilakukan revisi terhadap Undang-Undang tentang Komisi Yudisial

khususnya dalam hal tentang pengawasan melalui proses perubahan Undang-

Undang sebagaimana mestinya.

2. Rudy Ruswoyo, Program Magister (S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana

Universitas Islam Riau. Tesis Tahun 2011 dengan judul Keberadaan Komisi

Yudisial di dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia (Suatu Analisis

Terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004). Penelitian ini mengkaji

dasar filosofis lahirnya Komisi Yudisial di Indonesia serta penerapan fungsi

pengawasan peradilan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial.

Page 28: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

21

Sampai saat ini penulis belum menemukan disertasi dan/atau tesis yang

menyerupai pokok bahasan mengenai Sengketa Kewenangan Antara Komisi

Yudisial dengan Mahkamah Agung dalam Seleksi Pengangkatan Hakim, yaitu

hakim pada tataran tingkat pertama. Berbeda dengan penelitian yang telah

disebutkan di atas, penelitian dalam tesis ini difokuskan pada kajian terhadap

wewenang yang seharusnya dimiliki oleh Komisi Yudisial dari berbagai

pendekatan dalam hal seleksi pengangkatan hakim agar terpilihnya hakim yang

menjunjung tinggi nilai moral, kode etik, independen, mandiri dan tidak memihak

serta bebas dari berbagai intervensi pihak manapun.

1.7. Landasan Teoritis

Landasan teoritis adalah uraian sistematis mengenai teori-teori yang

berhubungan dan memiliki sinkronisasi dengan penelitian yang akan dilakukan

serta sekaligus menjadi dasar-dasar analisis terhadap masalah yang akan diteliti.8

Pada penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori dasar yang relevan dalam

ilmu hukum, yaitu Teori Negara Hukum, Teori Kewenangan, Teori Trias Politica

dan Teori Penafsiran Hukum.

1.7.1. Teori Negara Hukum

Gagasan mengenai prinsip-prinsip dasar negara hukum pada awalnya

muncul secara eksplisit pada abad ke-19, yaitu dengan lahirnya sebuah konsep

negara hukum rechtsstaat yang dicetuskan oleh Freidrich Julius Stahl, yang pada

8 Johnny Ibrahim, 2007, Teori & Metodologi Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,

h. 293-294.

Page 29: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

22

awalnya diilhami oleh pemikiran dasar dari Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-

unsur negara hukum rechsstaat adalah sebagai berikut :

1. Perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Negara yang berlandaskan pada teori trias politica;

3. Pemerintahan yang diselenggarakan harus dengan berdasarkan

undang-undang yang berlaku (wetmatig bestuur) ; dan

4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani

kasus yang berkaitan dengan perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan oleh pemerintah (onrechmatige overheiddaad).9

Pada dasarnya dengan lahirnya konsep negara hukum yang dikemukakan

oleh F.J. Stahl tersebut adalah konsep pemikiran negara hukum Eropa Kontinental

dan hanya dipraktekkan di negara-negara Eropa Kontinental saja (Civil Law).10

Konsep Negara hukum rechtsstaat yang berlaku di negara civil law tersebut

memiliki perbedaan dengan konsep negara hukum yang berkembang di Negara-

negara common law. Adapun konsep pemikiran negara hukum yang berkembang di

negara-negara Anglo-Saxon (common law) yang dipelopori oleh Albert Venn Dicey

dengan sebuah konsep negara hukum Rule of Law. Konsep negara hukum tersebut

harus memenuhi 3 (tiga) unsur utama yaitu:

1. Supremacy of the law, yaitu prinsip dimana negara hukum yang tidak boleh

mengadakan suatu praktik kekuasaan yang sewenang-wenang, dalam arti

bahwa penegakan hukum hanya untuk orang yang melanggar hukum;

2. Equality before the law, yaitu prinsip bahwa kedudukan yang sama dan

seimbang di hadapan hukum maupun dalam menghadapi hukum, berlaku

untuk semua orang baik untuk masyarakat maupun pejabat pemerintahan;

3. Menjamin terselenggaranya perlindungan hak-hak manusia oleh konstitusi

atau peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara hukum serta

putusan-putusan pengadilan.11

9 Ridwan HR, 2010, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Press, Jakarta, h. 3.

10 Moh. Kusnardi dan Bintan R. Saragih, 2008, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, h.

132-133. 11

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.

57-58.

Page 30: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

23

Seperti yang sudah diuraikan dalam latar belakang di atas, negara hukum

yang dianut oleh Indonesia adalah Negara hukum yang berlandaskan Pancasila.

Sejalan dengan pendapat dari Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas

utama Hukum Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas Negara

hukum dan asas demokrasi serta dasar Negara Pancasila maka secara ideal bahwa

Negara Hukum Indonesia adalah Negara Hukum Pancasila.12

Negara hukum yang

bercirikan Pancasila adalah negara hukum yang sarat akan nilai-nilai Pancasila

yang memiliki nilai moralitas yang tinggi, yaitu Nilai Ketuhanan, Nilai

Kemanusiaan, Nilai Persatuan, Nilai Kerakyatan dan Nilai Keadilan. Secara

singkat ciri-ciri Negara Hukum Pancasila menurut Philipus M. Hadjon adalah :

a. Keserasian, keseimbangan dan kelarasan hubungan antara pemerintah dan

masyarakatnya berdasarkan pada asas kerukunan;

b. Hubungan fungsional yang proporsional dan wewenang yang seimbang di

antara kekuasaan negara;

c. Prinsip penyelesaian sengketa atau permasalahan yang terjadi dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara harus diawali secara musyawarah dan

jalan penyelesaian melalui peradilan merupakan pilihan terakhir; dan

d. Keseimbangan antara hak dan kewajiban baik itu pemerintah maupun

masyarakat.13

Perlu dipahami bahwa Negara Hukum Pancasila sebagai konsep yang

merupakan ciri khas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia tentunya memiliki

perbedaan signifikan jika dibandingkan dengan konsepsi negara hukum lainnya

12

I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah

Perubahan UUD 1945, Setara Press, Jawa Timur, h. 157. 13

Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia Sebuah Studi

tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan

Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Peradaban, Surabaya,

h. 90.

Page 31: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

24

baik itu rechtsstaat maupun the rule of law. Menurut Philipus M. Hadjon14

memiliki beberapa perbedaan yang cukup mendasar, yakni diantaranya :

1. Konsep rule of law dan rechtsstaat menempatkan prinsip Pengakuan dan

Perlindungan Hak Asasi Manusia sebagai titik sentralnya, maka bagi

bangsa Indonesia titik sentral dari Negara Hukum Pancasila adalah

keserasian hubungan antara pemerintah dan masyarakat berdasarkan asas

kerukunan. Hal ini kemudian berkembang menjad budaya kekeluargaan

dan gotong royong di Indonesia.

2. Masih berkaitan dengan asas kerukunan, jika dalam rangka perlindungan

HAM konsep rule of law mengedepankan prinsip “equality before the

law”, dan prinsip “rechtmatigheid” untuk rechtsstaat, maka konsep

Pancasila mengedepankan “asas kerukunan” untuk menjaga keserasian

serta keselarasan hubungan antara penguasa dengan masyarakat, yang

dimana dari asas tersebut diharapkan nantinya terjalin hubungan

fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara dan

bersinergi dengan dukungan masyarakat.

3. Konsep negara hukum Pancasila lebih mengedepankan musyawarah untuk

mufakat sebagai langkah awal yang harus ditempuh dalam setiap

penyelesaian suatu permasalahan atau sengketa, dengan meletakkan

penyelesaian melalui jalur peradilan sebagai langkah atau pilihan terakhir.

14

Ibid, h. 84.

Page 32: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

25

Negara hukum Pancasila dalam pandangan Soepomo merupakan sebuah

bentuk aktualisasi dari cita-cita negara hukum yang berintegralistik. Negara

hukum Pancasila tersebut terdiri atas unsur-unsur yang kemudian menjadikan

karakteristik dari konsep bernegara Pancasila itu sendiri, yakni; pertama, kesatu

paduan antar elemen kenegaraan baik itu pemerintah maupun masyarakat untuk

mencapai keseimbangan hidup baik itu lahir dan batin. Hai ini sangat berkaitan

dengan prinsip yang dianut adalah asas kerukunan; kedua, tidak diterimanya

prinsip pemisahan antara pemerintah dengan masyarakatnya, dan antar kekuasaan

pemerintahan itu sendiri; ketiga, pemerintahan tidak dijalankan secara sentralistik

dan otoriter melainkan melalui asas demokrasi Pancasila; keempat, segala hal

harus berdasarkan oleh rakyat, dalam artian bahwa kedaulatan adalah di tangan

rakyat berkaitan dengan sistem hukum dan Pancasila merupakan kehendak dari

rakyat itu sendiri; kelima, negara berkewajiban dan bertanggungjawab atas

terwujudnya cita-cita luhur masyarakatnya yang tercantum dalam Pembukaan

UUD NRI Tahun 1945; keenam, pengakuan dan penghormatan terhadap

keberagaman suku bangsa, ras dan bahasa bahkan agama, dimana tata

pemerintahan Indonesia dibangun di atas integrasi kerukunan keberagaman dan

atas dasar kekhasan dan keaslian indonesia sebagai sebuah bangsa.15

Philipus M. Hadjon kemudian menegaskan kembali perihal Negara

Hukum Pancasila dalam desertasinya yang menjelaskan bahwa elemen-elementer

dasar negara hukum Pancasila yang berpegangan pada beberapa prinsip dasar

yaitu sebagai berikut:

15 Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan UUD 1945, Yayasan Prapanca, Jakarta, h. 110-

115.

Page 33: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

26

1. Hubungan antara rakyat dengan pemerintah berdasarkan asas kerukunan.

2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan

negara.

3. Penyelesaian jika terjadinya permasalahan hukum atau sengketa akan

diselesaikan pertama melalui musyawarah mufakat. Jalan penyelesaian

melalui peradilan merupakan sarana terakhir.

4. Keseimbangan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban16

baik itu oleh

pemerintah maupun rakyatnya.

Dari unsur-unsur utama pada konsep Negara hukum baik itu Rechtsstaat

maupun Rule of Law, terdapat unsur penting dalam mengedepannya ciri dari

Negara hukum, yaitu Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang

atau asas legalitas dalam konsep Negara hukum Rechtsstaat dan Supermasi aturan-

aturan hukum (Supremacy of the law) dalam konsep Negara hukum Rule of Law.

Kedua unsur dalam konsep Negara hukum yang berbeda tersebut menunjukkan

bahwa hukum memiliki posisi sentral dan tertinggi dalam sebuah Negara hukum

itu sendiri. Konsep Negara hukum Rechtsstaat dengan asas legalitasnya memiliki

nilai kepastian hukum yang tinggi sedangkan konsep Negara hukum Rule of Law

dengan Supremacy of the law dan equality before the law-nya mengandung nilai

keadilan yang tinggi. Konsepsi negara hukum tersebut sangat sesuai digunakan

untuk pengkajian rumusan masalah satu dan dua yaitu kajian terhadap konsep

“kewenangan lain” yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam

konstitusi terkait dengan kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat

pertama dan kajian terhadap Putusan MK Nomor 43/PUU-XIII/2015, kedudukan

Komisi Yudisial dalam system ketatanegaraan Indonesia berkaitan dengan

kewenangan yang dimilikinya khususnya dalam hal Seleksi Pengangkatan Hakim

16

Philipus M. Hadjon, Op.cit, h. 85-90.

Page 34: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

27

tingkat pertama agar terciptanya kepastian hukum serta keadilan sebagai hal yang

dicita-citakan dalam konsep Negara Hukum Pancasila.

1.7.2. Teori Kewenangan

Kewenangan berkaitan dengan produk hukum berupa peraturan

perundang-undangan dalam negara hukum. Dalam kajian Hukum Administrasi

Negara, mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang dari lembaga negara

atau organ pemerintahan terkait merupakan hal penting, karena berkenaan dengan

pertanggungjawaban hukum dalam penggunaan wewenang tersebut dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Menurut Philipus M. Hadjon, dkk17

bahwa

pemerintah, dasar untuk melakukan perbuatan publik adalah adanya kewenangan

yang berkaitan suatu jabatan (ambt). Jabatan memperoleh wewenang melalui tiga

sumber yakni : atribusi, delegasi dan mandat akan melahirkan kewenangan.

H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan atribusi, delegasi, dan

mandate sebagai berikut :

a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever

aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang

pemerintahan oleh pembuat undang-undang langsung kepada organ

pemerintahan).

b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene

bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan

wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ

pemerintahan lainnya).

c. Mandaat : een bestuursorgaan laat zijn bevoegheid namens hem

uitoefenen door een ander, (mandat terjadi ketika organ pemerintahan

mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya).18

17

Philipus M. Hadjon, dkk, 2005, Pengantar Hukum Adminsitrasi Indonesia (Introduction to the

Indonesian Adminstrative Law), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, h. 139-140. 18

Ridwan HR, Op.cit., h. 105.

Page 35: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

28

Berbeda dengan van Wijk, F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat

bahwa hanya terdapat dua sumber kewenangan yang didapatkan oleh organ

pemerintahan, yaitu melalui atribusi dan delegasi. Atribusi berkenaan dengan

penyerahan wewenang baru dari pembentuk undang-undang kepada organ

pemerintahan atau lembaga negara, sedangkan delegasi adalah sumber

kewenangan yang menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ

yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain atau secara

sederhana dari organ atau lembaga negara satu melimpahkan wewenangnya

kepada organ lainnya; jadi delegasi secara logis didahului oleh atribusi).19

Teori Kewenangan ini berkaitan dengan pembahasan rumusan masalah

pertama sebagai dasar dalam mengkaji kewenangan dalam melaksanakan Seleksi

Pengangkatan Hakim baik itu oleh Mahkamah Agung dan oleh Komisi Yudisial.

Kemudian kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diuraikan dalam

latar belakang permasalahan di atas selain yang bersumberkam secara atribusi

dalam Pasal 24 ayat (2) dan 24C ayat (1) UUD NRI 1945 juga diatur dalam

bentuk undang-undang yaitu Pasal 10 ayat (1) huruf a UU Nomor 24 Tahun 2003

Tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 dengan

kewenangan yang sama dalam rumusan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945.

Demikian pula kewenangan MK dapat didasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf a UU

Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

19

Ridwan HR, Op.cit., h. 105.

Page 36: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

29

1.7.3. Teori Trias Politica dan Checks and Balances System

Merujuk pada teori ketatanegaraan klasik yang dikemukakan oleh

Aristoteles, yang dimana terjadi sinkronisasi antara konsep negara hukum (rule of

law) merupakan pemikiran yang dihadapkan dengan konsep rule of man.20

Dalam

modern constitutional state, salah satu ciri negara hukum baik itu negara hukum the

rule of law atau rechtstaat akan ditandai dengan pembatasan kekuasaan dalam

penyelenggaraan kekuasaan negara di dalamnya. Pembatasan itu dilakukan dengan

hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang kemudian menjadi ide

dasar paham konstitusionalisme modern di suatu negara tersebut. Oleh Julius Stahl,

khusunya dalam negara hukum rechtstaat adanya pembagian atau pemisahan

kekuasaan adalah salah satu elemen penting di negara-negara yang menganut negara

hukum Eropa Kontinental.21

Salah satu konsep pemisahan atau pembagian

kekuasaan itu adalah Trias Politica. Trias Politica adalah suatu konsep pemerintahan

dimana bahwa kekuasaan Negara terdiri dari tiga macam kekuasaan yaitu kekuasaan

legislatif atau kekuasaan pembuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering di

sebut rulemaking function); kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan undang-

undang (dalam peristilaan baru disebut rule application function); ketiga, kekuasaan

yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (dalam

peristilaaan baru sering di sebut rule adjudication function). Trias politica adalah

suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan atau kewenangan lembaga organ

pemerintahan sebaiknya tidak diserahkan kepada organ pemerintahan yang sama

20

Brian Z. Tamanaha, 2004, On The Rule of Law: History, Politics, Theory, Cambridge Univesity

Press, United Kingdom, h. 9. 21

Ni’matul Huda, 2007, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press,

Yogyakarta, h. 57.

Page 37: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

30

untuk mencegah terjadinya penyalagunaan kekuasaan atau kekuasaan yang

sewenang-wenang oleh lembaga atau organ yang menjadi penguasa. 22

Masih berkaitan dengan Trias Politica, Montesquieu kemudian membagi

kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Menurutnya ketiga jenis kekuasaan itu haruslah terpisah dan dibedakan satu sama

lainnya, baik mengenai tugas dan fungsi maupun mengenai alat perlengkapan organ

pemerintahan yang menyelenggarakannya. Secara sederhana kekuasaan legislatif

adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi

penyelenggaraan undang-undang (oleh Montesquieu di utamakan tindakan di bidang

politik luar negeri), dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas

pelanggaran undang-undang. 23

Terkait dengan hal di atas, Jennings menyatakan bahwa pemisahan

kekuasaan (separation of powers) dapat dibagi dari dua sudut yang berbeda yaitu

sudut materiil dan formil. Pemisahan kekuasaan dalam arti materiil berarti bahwa

pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam tugas-tugas kenegaraan

yang secara karekteristik memperhatikan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam

tiga bagian legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini dapat di samakan dengan

pembagian kekusaan. Ismail Sunny berkesimpulan, bahwa pemisahan kesimpulan

dalam arti materil di sebut “pemisahan kekuasaan” (separation of powers)

sedangkan dalam arti formil di sebut pembagian kekuasaan (distribution of powers).

Di dalam ajaran trias politica itu perlu terdapat suasana check and balances dimana

di dalam hubungan antar lembaga itu terdapat saling menguji karena masing-masing

22

Miriam Budiardjo, Op.cit., h. 151. 23

Ibid, h. 151.

Page 38: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

31

lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang sudah di tentukan atau

masing-masing lembaga tidak mau dicampuri kekuasaannya sehingga antar lembaga

itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan. Kedua prinsip yang terdapat dalam trias

politica seperti halnya dengan mencegah adanya konsentrasi kekuasaan di bawah

satu tangan dan prinsip check and balances guna mencegah adanya campur tangan

antara lembaga tersebut adalah jaminan dalam ajaran Montesquieu bagi adanya

kebebasan politik (political freedom). Olehnya, trias politica tidak lagi dipandang

sebagai separation of power tetapi distribution of power yang artinya bahwa

hanya fungsi pokoklah yang dibedakan menurut sifatnya serta diserahkan kepada

badan yang berbeda, tetapi untuk selebihnya kerjasama diantara fungsi-fungsi

tersebut tetap diperlukan untuk kelancaran organisasi. 24

1.7.4. Teori Penafsiran Hukum dan Konstitusi

Berkaitan dengan adanya kekaburan norma, maka teori yang akan

digunakan adalah teori penafsiran hukum. Interpretasi atau penafsiran hukum

menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, merupakan salah satu metode

penemuan hukum yang memberi penjelasan yang secara jelas dan gamblang

mengenai sebuah teks Peraturan perundang-undangan agar ruang lingkup kaidah-

kaidahnya dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran

yang dilakukan oleh hakim dalam rangka penemuan hukumnya merupakan

penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima secara

relevan dan masuk akal oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap

peristiwa konkrit. Metode interpretasi ini adalah sarana atau alat untuk

24

Ibid, h. 155.

Page 39: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

32

mengetahui makna yang tersirat dari Peraturan perundang-undangan. Pembenaran

dari interpretasi ini kemudian akan dinilai dari letak dan penalaran pada kegunaan

untuk melaksanakan ketentuan yang konkrit dan bukan untuk kepentingan metode

itu sendiri.25

Dalam ilmu hukum dan konstitusi, seperti yang sudah dijelaskan di atas

interpretasi atau penafsiran adalah metode penemuan hukum (rechtsvinding)

dalam hal peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada

peristiwanya. Penemuan hukum ihwalnya adalah berkenaan dengan hal

mengkonkretisasikan produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah

proses kegiatan pengambilan keputusan yuridis dan konkrit yang secara langsung

menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan-putusan hakim,

ketetapan, pembuatan akta oleh notaris dan sebagainya). Dalam arti tertentu

menurut Meuwissen, penemuan hukum adalah pencerminan pembentukan

hukum26

dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan dari hasil penemuan hukum (rechtsvinding), metode

interpretasi dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu metode penafsiran

restriktif dan metode penafsiran ekstensif. Interpretasi restriktif adalah penafsiran

yang bersifat membatasi ruang lingkup penafsiran yang akan dilakukan. Prinsip

yang digunakan dalam metode penafsiran ini adalah prinsip lex certa, bahwa suatu

materi dalam peraturan perundang-undangan tidak dapat diperluas atau ditafsirkan

25

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, h. 13. 26

DMH Meuwissen, 2008, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum

dan Filsafat Hukum, diterjemahkan oleh B. Arief Sidharta, PT Refika Aditama, Bandung,

h. 11.

Page 40: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

33

lain selain yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (lex stricta), atau

dengan kata lain suatu ketentuan perundang-undangan tidak dapat diberikan

perluasan selain ditentukan secara tegas dan jelas menurut peraturan perundang-

undangan itu sendiri. Metode penafsiran lainnya yaitu interpretasi ekstensif adalah

penjelasan yang bersifat melampaui batas-batas yang ditetapkan oleh interpretasi

gramatikal.27

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo mengidentifikasikan beberapa metode

interpretasi yang lazimnya digunakan oleh hakim (pengadilan) sebagai berikut:

(1) interpretasi gramatikal atau penafsiran menurut bahasa;

(2) interpretasi teleologis atau sosiologis;

(3) interpretasi sistematis atau logis;

(4) interpretasi historis;

(5) interpretasi komparatif atau perbandingan;

(6) interpretasi futuristis.28

Menurut Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, interpretasi otentik tidak termasuk

dalam ajaran tentang interpretasi. Interpretasi otentik adalah penjelasan yang

diberikan Undang- Undang dan terdapat dalam teks Undang-Undang dan bukan

dalam Tambahan Lembaran Negara.29

Berikut ini penjelasan beberapa metode interpretasi yang lazim digunakan

oleh hakim sebagaimana dikemukakan Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo adalah

sebagai berikut:

1. Interpretasi gramatikal

Interpretasi gramatikal disebut juga metode penafsiran obyektif

adalah penafsiran menurut bahasa yang memberikan penekanan pada

27

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 19-20. 28

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 14. 29

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 14.

Page 41: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

34

pentingnya kedudukan bahasa dalam rangka memberikan makna terhadap

sesuatu objek. Metode interpretasi gramatikal yang merupakan cara

penafsiran atau penjelasan yang paling sederhana untuk mengetahui

makna ketentuan undang-undang dengan menguraikannya menurut

bahasa, susunan kata atau bunyinya namun harus logis.30

2. Interpretasi teleologis atau sosiologis

Interpretasi teleologis atau sosiologis adalah penafsiran yang

beranjak dari adanya makna dari undang-undang ditetapkan berdasarkan

tujuan kemasyarakatan. Dalam hal ini peraturan perundang-undangan

disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru.31

3. Interpretasi sistematis atau logis

Sebagaimana sebuah peraturan perundang-undangan maka adanya

suatu peraturan perundang-undangan akan selalu berkaitan dan

bersinkronisasi dengan peraturan perundang- undangan lain. Interpretasi

sistematis ini menafsirkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai

bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan jalan

menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan lain.32

4. Interpretasi historis

Interpretasi historis merupakan penafsiran dengan menelaah makna

ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan cara

meneliti bagaimana sejarah pembentukan peraturan itu sendiri untuk

30

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 14-15. 31

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 15-16. 32

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op.cit., h. 15-16.

Page 42: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

35

mencari maksud dan tujuan dari ketentuan Undang-Undang seperti yang

dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang pada waktu

pembentukkannya.33

5. Interpretasi komparatif atau perbandingan

Interpretasi komparatif atau perbandingan merupakan metode

penafsiran yang dilakukan dengan jalan memperbandingkan antara

beberapa aturan hukum atau peraturan perundang-undangan.34

Interpretasi

perbandingan dapat dilakukan dengan jalan membandingkan penerapan

asas-asas hukumnya (rechtsbeginselen) dalam peraturan perundang-

undangan yang lain dan/atau aturan hukumnya (rechtsregel), di samping

perbandingan tentang latar-belakang atau sejarah pembentukan hukumnya.

6. Interpretasi futuristis

Interpretasi futuristis atau metode penemuan hukum yang bersifat

antisipasi adalah penjelasan ketentuan peraturan perundnag-undangan

yang belum mempunyai kekuatan hukum35

dalam artian masih merupakan

rancangan dan belum diundangkan. Dengan demikian, interpretasi ini

lebih bersifat ius constituendum.

Metode penafsiran sebagaimana yang diuraikan di atas merupakan metode

penafsiran yang pada umumnya dikenal sebagai metode penafsiran hukum. Di

samping metode penafsiran hukum itu, dalam kepustakaan hukum konstitusi

dikenal juga metode penafsiran konstitusi (constitutional interpretation method).

33

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. cit., h. 17-18. 34

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. cit., h. 19. 35

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Op. cit., h. 19.

Page 43: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

36

Bobbitt mengidentifikasikan 6 (enam) macam metode penafsiran konstitusi

(constitutional interpretation) 36

, yaitu sebagai berikut :

(1) Penafsiran tekstual;

Penafsiran tekstual merupakan metode penafsiran konstitusi yang

dilakukan dengan cara memberikan makna terhadap arti dari kata-kata di

dalam dokumen atau teks yang dibuat oleh lembaga legislatif. Dengan

demikian, penafsiran ini menekankan pada pengertian atau pemahaman

terhadap kata-kata yang tertera dalam konstitusi atau Undang-Undang

sebagaimana yang pada umumnya dilakukan oleh kebanyakan orang.

(2) Penafsiran historis (atau penafsiran orisinal);

Penafsiran historis atau penafsiran orisinal, merupakam metode

penafsiran konstitusi yang didasarkan pada sejarah konstitusi atau

Undang-Undang itu dibahas, dibentuk, diadopsi atau diratifikasi oleh

pembentuknya atau ditandatangani lembaga yang berwenang. Menurut

Anthony Mason, interpretasi ini merupakan penafsiran yang sesuai

dengan pengertian asli dari teks atau istilah-istilah yang terdapat dalam

konstitusi. Penafsiran ini biasanya digunakan untuk menjelaskan teks,

konteks, tujuan dan struktur konstitusi37

yang terkandung dalam

perumusan pasal-pasalnya.

36

Albert H Y Chen, 2000, The Interpretation of the Basic Law--Common Law and Mainland

Chinese Perspectives , Hong Kong Journal Ltd., Hong Kong, h. 5. 37

Anthony Mason, The Interpretation of a Constituti on in a Modern Liberal Democracy , dalam

Charles Sampford (Ed.), Op.cit. , h. 14.

Page 44: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

37

(3) Penafsiran doktrinal;

Penafsiran doktrinal merupakan metode penafsiran yang dilakukan

dengan cara memahami aturan Undang-Undang melalui sistem preseden

atau melalui praktik peradilan, dalam hal ini contohnya adalah putusan

pengadilan atau Putusan Mahkamah Konstitusi.

(4) Penafsiran prudensial;

Penafsiran prudensial merupakan metode penafsiran yang

dilakukan dengan cara mencari keseimbangan antara biaya-biaya yang

harus dikeluarkan dan keuntungan- keuntungan yang diperoleh dari

penerapan suatu peraturan perundang-undangan tertentu.

(5) Penafsiran struktural;

Penafsiran struktural merupakan metode penafsiran yang dilakukan

dengan cara mengaitkan aturan dalam Undang-Undang dengan konstitusi

atau Undang-Undang Dasar yang mengatur tentang struktur-struktur

ketatanegaraan.

(6) Penafsiran etikal

Penafsiran etikal merupakan metode penafsiran yang dilakukan

dengan cara menurunkan prinsip-prinsip moral dan etik sebagaimana

terdapat dalam konstitusi atau peraturan yang berlaku. Metode penafsiran

ini dapat digunakan untuk isu-isu yang menekankan pada pentingnya

hak-hak asasi manusia dan pembatasan terhadap kekuasaan negara atau

pemerintahan. Dalam metode penafsiran etikal ini, moralitas

Page 45: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

38

konvensional dan filsafat moral merupakan dua aspek yang sangat

relevan sekali apabila digunakan sebagai metode pendekatan.38

1.8. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan uraian teknis dan sistematis yang digunakan

dalam penelitian. Menurut Peter R. Senn, metode merupakan suatu prosedur atau

cara mengetahui sesuatu dengan menggunakan langkah-langkah yang sistematis.39

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini mencakup jenis penelitian,

jenis pendekatan, sumber bahan hukum yang digunakan, dan kemudian berkaitan

dengan teknik pengumpulan serta teknis analisis bahan hukum tersebut.

1.8.1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang beranjak dari adanya isu-isu

hukum terkait dengan kekosongan norma, kekaburan norma dan pertentangan atau

konflik norma. Menurut Rony Hanitijo Sumitro Penelitian menyebutkan, bahwa

Hukum Normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data

sekunder, yang dipandang dari sudut kekuatan mengikatnya, data sekunder terdiri

dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.40

Dalam penelitian hukum normatif ini”lazimnya hukum diartikan sebagai

kaidah atau norma”, yang menurut Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa

38

Albert H Y Chen, Op.cit, h. 5-10 39

Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, h. 3. 40

Rony Hanitijo Soemitro, 1998, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,

h.. 11-12

Page 46: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

39

kaidah atau norma merupakan patokan atau pedoman perilaku manusia yang

pantas.41

Dalam hal ini yang perlu diperhatikan pula bahwa; ” dalam penelitian

hukum, adanya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis

menjadi syarat yang sangat penting”42

sehingga akan mengarah kepada

permasalahan. Hal tersebut sesuai dengan definisi terkait Legal research is a

process of finding the law that governs activities in human society. It involves

locating both the rules which are enforced by the state and commentaries which

explain or analyze these rules.43

Penelitian ini beranjak dari kekaburan norma atau tidak jelas (Vague

normen) yang dapat ditemukan dalam rumusan kewenangan yang dimiliki oleh

Komisi Yudisal yang diperoleh secara atributif yaitu pada kalimat “..dan

wewenang lain…” sehinngga mengakibatkan sebuah ketidakpastian hukum yang

tidak sesuai dengan prinsip Negara hukum Pancasila yang dianut oleh Indonesia.

Kekaburan norma ini berpengaruh terhadap Putusan MK Nomor 43/PUU-

XIII/2015 terkait dengan kewenangan Seleksi Pengangkatan Hakim tingkat

pertama yang penafsiran normatifnya dalam frasa “kewenangan lain” yang dimiki

Komisi Yudisial yang diatur dalam konstitusi. Penelitian hukum normatif dalam

tesis ini juga beranjak dari adanya kekosongan norma khususnya dalam

pengaturan mengenai mekanisme pengangkatan hakim tingkat pertama di

Indonesia, penelitian ini kemudian akan menggunakan penelitian perbandingan

41

Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, h.

43. 42

Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 1994, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan

Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, h. 8. 43

Morris L. Cohen and Kent C. Olson, 1992, Legal Research In a Nutshell, West Publishing Co.,

United State of America, h. 1.

Page 47: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

40

yang akan dilakukan terhadap lembaga sejenis Komisi Yudisial di beberapa

negara penganut civil law system dan common law system.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Pembahasan dalam penelitian ini akan dikaji dengan beberapa pendekatan

hukum yaitu Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical & Conseptual

Approach), Pendekatan Sejarah (Historical Approach), Pendekatan Perbandingan

(Comparative Approach) dan Pendekatan Perundang-undangan (The Statute

Approach). Dalam metode Pendekatan Analisis Konsep Hukum digunakan karena

tidak adanya aturan hukum untuk masalah yang dihadapi, khususnya dalam

pengaturan kewenangan dalam melaksanakan seleksi pengangkatan hakim dalam

konstitusi. Dalam hal ini diperlukan merujuk pada prinsip-prinsip hukum yang

dapat diketemukan dalam pandangan-pandangan sarjana atau doktrin-doktrin

hukum.44

Pendekatan Sejarah digunakan dalam kerangka pelacakan sejarah

lembaga hukum dari wakttu ke waktu. Artinya pendekatan ini sangat membantu

peneliti dalam memahami filosofi dari aturan hukum dari waktu ke waktu serta

memahami perubahan dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan hukum

tersebut.45

Terakhir adalah Pendekatan Perundang-undangan digunakan untuk

mengkaji perluasan kewenangan yang diberikan kepada Komisi Yudisial sehingga

terjadinya permasalahan hukum terkait dengan wewenang Komisi Yudisial dalam

seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama. Penelitian ini juga berkaitan dengan

Pendekatan kasus yaitu dengan menitikberatkan Putusan MK yang berkaitan

44

Ibid, h. 138. 45

Ibid, h. 126.

Page 48: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

41

dengan wewenang lain yang dimiliki oleh Komisi Yudisial dalam Seleksi

Pengangkatan Hakim sebagai bahan dari pendekatan kasus dalam tesis ini.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian normatif ini, bahan-bahan hukum yang akan

dipergunakan terdiri dari bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum

sekunder sebagai berikut :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-

undangan, dan putusan-putusan hakim.46

Bahan Hukum Primer yang digunakan

dalam penelitian tesis ini terdiri dari : Undang-Undang Dasar Republik Indonesia

1945; UU Nomor 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 22 Tahun

2004 Tentang Komisi Yudisial; UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman; UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 50 Tahun

2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama, UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 43/PUU-XIII/2015.

46

Ibid, h. 141.

Page 49: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

42

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum penunjang yang berupa

semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi

yang meliputi buku-buku teks yang membicarakan suatu dan/atau beberapa

permasalahan hukum, termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.47

Selain itu juga

mencakup majalah dan Makalah serta bahan Hukum bidang Pemerintahan yang

diperoleh di internet. Fungsi bahan hukum sekunder adalah try to explain and

analyze the law. 48

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini

merupakan teknik gabungan antara teknik bola salju (snow balling/snow ball

methode) dengan sistem kartu, untuk memperoleh semua peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan permasalahan yang dikaji. Langkah pertama

dilakukan inventarisasi dengan mengkoleksi dan pengorganisasian bahan-bahan

hukum ke dalam suatu sistem informasi sehingga memudahkan kembali

melakukan penelusuran bahan-bahan hukum tersebut.

Bahan hukum dikumpulkan dengan studi dokumen, dengan melakukan

pencatatan terhadap sumber bahan hukum primer dan sekunder yang telah

ditentukan. Bahan hukum tersebut diidentifikasi, inventarisasi, dengan cara

pencatatan atau pengutipan, ikhtisar, dan kartu ulasan. Masing-masing kartu diberi

47

Ibid, h. 141. 48

Morris L. Cohen and Kent C. Olson, Op.cit., h. 8.

Page 50: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

43

identitas: sumber bahan yang dikutif, topik yang dikutip dan halaman dari sumber

kutipan, selanjutnya diklasifikasikan menurut sistematika rencana tesis, sehingga

ada kartu untuk bahan Bab I, II dan seterusnya, kecuali bagian-bagian penutup.

Kemudian dilakukan kualifikasi bahan hukum.49

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum.

Teknik analisa bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah

berdasarkan dengan kedua permasalahan dititikberatkan pada pada Teknik

interpretasi, teknik evaluasi dan kontruksi hukum karena tidak ada pengaturan

terhadap mekanisme seleksi pengangkatan hakim tingkat pertama sehingga

memerlukan pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi. Teknik

Interpretasi berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam Ilmu Hukum dan

teknik konstruksi berupa pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan

analogi dan pembalikan proposisi. Teknik evaluasi digunakan sebagai penilaian

terhadap suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma dan keputusan50

Ketiga hal tersebut akan dijelaskan melalui teknik deskripsi sebagai

penggambaran terhadap suatu kondisi dan posisi dari proposisi-proposisi hukum

atau non hukum itu sendiri. Dalam hubungannya antara proposisi dan proses

berkaitan erat dengan kebenaran dan kevalidan suatu hal (sah/tidak), it is useful to

observe and to maintain the key distinction between the truth of a proposition or

49

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h. 150. 50

Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana, Pedoman

Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2013, Program Studi Magister Ilmu Hukum,

Denpasar, h. 32.

Page 51: DAFTAR ISI - sinta.unud.ac.id · PDF fileImplementasi dari fungsi Komisi Yudisial sebagai lembaga ... Latar Belakang Masalah Sebagai sebuah Negara ... legalitas dalam kehidupan berbangsa

44

conclusion on the one hand, and the validity of the process of argument on the

other.51

Keterkaitan teknik argumentasi, sistematika dan evaluasi pada

kaidah/norma peraturan perundangan-undangan adalah dengan mencari

keterkaitan rumusan konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan hukum

yang sederajat maupun tidak sederajat, dalam hal ini adalah UUD NRI Tahun

1945, dan UU hasil legislasi serta Putusan MK, kemudian dengan teknik evaluasi

dilakukan penelitian berdasarkan bahan hukum dan terakhir disampaikan secara

argumentatif, artinya penilaian harus berdasarkan alasan-alasan yang bersifat

penalaran hukum.

51

Ian McLeod, 1996, Legal Method, Macmillan Press LTD, London, h. 14.