Upload
lamanh
View
230
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Proposal
STRATEGI PENGEMBANGAN KONSUMSI PANGAN DI KOTA JAMBI
Oleh :Marina Noor Prathivi
PROGRAM STUDI MANAJEMEN DAN BISNISSEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR2012
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.............................................................................................................iDAFTAR TABEL..................................................................................................iiiDAFTAR GAMBAR..............................................................................................ivI. PENDAHULUAN............................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................11.2 Rumusan Masalah.....................................................................................41.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................41.4 Manfaat Penelitian.....................................................................................51.5 Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................5
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN.......................62.1 Kerangka Teoritis......................................................................................6
2.1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan...............................62.1.2 Kebijakan Ketahanan Pangan............................................................92.1.3 Konsumsi Pangan............................................................................122.1.4. Manajemen Strategik.......................................................................152.1.5 Lingkungan Internal dan Eksternal..................................................182.1.6 Analisis SWOT................................................................................202.1.7 Analisis AHP....................................................................................20
2.2 Kajian Penelitian Terdahulu....................................................................252.3 Kerangka Pemikiran Konseptual.............................................................33
III. METODE PENELITIAN............................................................................353.1 Lokasi dan Waktu....................................................................................353.2 Pendekatan Penelitian..............................................................................353.3. Data yang Diperluan dan Sumbernya..................................................353.4. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi...............................................363.5. Teknik Pengambilan Contoh...................................................................373.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.....................................................38
3.6.1 Analisis Deskriptif...........................................................................383.6.2 Evaluasi Faktor Eksternal (External Factor Evaluation)................383.6.3 Evaluasi Faktor Internal (Internal Factor Evaluation)....................40
i
3.6.4 Matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats)..........433.6.5 Analisis Analytical Hierarchy Process (AHP).....................................44
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan..........................12Tabel 2. Jumlah, Komposisi (% AKE) dan skor PPH Nasional...........................15Tabel 3. Skala untuk Pengisian Matriks Perbandingan Berpasangan....................24Tabel 4. Kajian Penelitian Terdahulu....................................................................32Tabel 5. Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan Data...........................................36Tabel 6. Penentuan Bobot Faktor Eksternal...........................................................39Tabel 7. Penentuan Peringkat Faktor Eksternal.....................................................39Tabel 8. Ilustrasi Matriks EFE...............................................................................40Tabel 9. Penentuan Bobot Faktor Internal.............................................................41Tabel 10. Perhitungan Peringkat Faktor Internal...................................................42Tabel 11. Ilustrasi Matriks IFE..............................................................................43Tabel 12. Contoh Matriks SWOT..........................................................................44Tabel 13. Contoh Matrik Perbandingan Berpasangan...........................................45Tabel 14. Nilai Indeks Random (RI)......................................................................47
iii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan......................................................7Gambar 2. Model Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2010)................16Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian.........................................34
iv
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan adalah usaha untuk meningkatkan kualitas dan
perikehidupan masyarakat Indonesia, yang dilakukan secara terus menerus,
berlandaskan kemampuan wilayah dengan memanfaatkan kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi (IPTEK) serta memperhatikan tantangan perkembangan
global. Keberhasilan pembangunan wilayah ditentukan oleh ketersediaan sumber
daya alam dan sumber daya manusia yang berkualitas dengan fisik tangguh,
mental kuat, kesehatan prima dan menguasai IPTEK. Sumber daya manusia
berkualitas merupakan faktor penting dalam upaya meningkatkan produktivitas
dan daya saing wilayah. Dalam hal ini, pangan merupakan kebutuhan dasar
manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap penduduk.
Hak asasi atas pangan tersebut telah menjadi komitmen pemerintah, yang
dinyatakan dalam UU No 7 Tahun 1996. Ketahanan Pangan adalah kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan telah menjadi prasyarat dasar yang harus dimiliki oleh daerah
otonom. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 38 tahun 2007 yang
menyatakan bahwa ketahanan pangan adalah urusan wajib pemerintah (pusat,
provinsi, maupun kabupaten/kota).
Menurut (Hardinsyah et al., 2001), arah pembangunan ketahanan pangan
adalah terpenuhinya pangan yang cukup bagi setiap warga dalam jumlah mutu,
1
keragaman, kandungan gizi dan keamanannya serta terjangkau oleh daya beli
masyarakat. Kinerja pembangunan ketahanan pangan yang harus dipenuhi oleh
pemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota) diatur oleh Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 65/Permentan/OT.140/12/2010 mengenai Standar Pelayanan
Minimal (SPM) Bidang Ketahanan Pangan. Pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota wajib menyelenggarakan empat jenis pelayanan dasar bidang
ketahanan pangan, yaitu (a) ketersediaan dan cadangan pangan; (b) distribusi dan
akses pangan; (c) penganekaragaman dan keamanan pangan; serta (d) penanganan
kerawanan pangan.
Kota Jambi sebagai daerah otonom memiliki kewajiban dalam
menyelenggarakan urusan ketahanan pangan, salah satunya yaitu upaya
pencapaian SPM bidang penganekaragaman dan keamanan pangan. Konsumsi
pangan merupakan output pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah. Oleh
karena itu, penganekaragaman konsumsi pangan merupakan isu penting yang
harus ditingkatkan upaya pencapaiannya.
Terdapat dua indikator untuk menilai kuantitas dan kualitas konsumsi
pangan di Kota Jambi. Indikator yang digunakan untuk mengetahui kuantitas
konsumsi pangan adalah Angka Kecukupan Energi (AKE). Berdasarkan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004), AKE yang dianjurkan untuk
rata-rata penduduk Indonesia adalah sebesar 2000 kkal/kapita/hari. Indikator yang
digunakan untuk mengetahui kualitas keragaman konsumsi pangan adalah dengan
skor Pola Pangan Harapan (PPH). Pola Pangan Harapan dapat digunakan sebagai
ukuran keseimbangan gizi dan keanekaragaman pangan yang dikonsumsi oleh
penduduk di suatu wilayah. Skor PPH maksimal, yaitu 100 menunjukkan situasi
2
konsumsi pangan yang beragam dan baik komposisi serta mutu gizinya (Baliwati,
2011).
Tingkat konsumsi pangan penduduk Kota Jambi pada tahun 2011 masih
berada di bawah standar pelayanan minimal bidang ketahanan pangan.
Berdasarkan data Susenas Tahun 2011 yang diolah, penduduk Kota Jambi baru
mengonsumsi energi sebesar 81,7% dari AKE atau setara dengan 1.634
kkal/kapita/hari. Menurut kriteria Departemen Kesehatan (1996), tingkat
konsumsi tersebut tergolong pada defisit tingkat ringan. Skor PPH yang
menunjukkan kualitas konsumsi pangan penduduk baru mencapai angka76,9 dari
skor maksimal 100.
Konsumsi pangan yang cukup merupakan faktor utama untuk memenuhi
kebutuhan gizi bagi tubuh. Apabila tubuh kekurangan zat gizi, khususnya energi
dan protein dalam jangka waktu tertentu akan berdampak pada menurunnya
produktivitas kerja. Kekurangan zat gizi yang berlanjut akan menyebabkan status
gizi kurang dan buruk yang jika tidak diatasi akan mengakibatkan lost generation
(Hardinsyah dan Martianto, 1992).
Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah jenis, jumlah
produksi, dan ketersediaan pangan (Harper et al. 1988). Selain itu, konsumsi
pangan penduduk juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi, sosial, pendidikan, gaya
hidup, pengetahuan, aksesibilitas, dan sebagainya. Bahkan, faktor prestise dari
pangan kadang kala menjadi sangat menonjol sebagai faktor penentu daya terima
pangan (Martianto dan Ariani, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan upaya pengembangan
konsumsi pangan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan di
3
Kota Jambi. Pengembangan konsumsi pangan yang dilakukan harus berlandaskan
pada SPM bidang penganekaragaman pangan melalui analisis faktor-faktor
strategis eksternal dan internal dengan metode SWOT dan AHP. Pada akhirnya,
kajian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk rekomendasi
perencanaan konsumsi pangan penduduk yang berujung pada perwujudan
ketahanan pangan di Kota Jambi.
1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana situasi konsumsi pangan di Kota Jambi?
2. Faktor-faktor strategis eksternal dan internal apa saja yang mempengaruhi
pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi?
3. Bagaimana rumusan rekomendasi strategi pengembangan konsumsi pangan
di Kota Jambi?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut.
1. Menganalisis situasi konsumsi pangan di Kota Jambi
2. Menganalisis faktor-faktor strategis eksternal dan internal yang
mempengaruhi pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi
3. Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan konsumsi pangan di Kota
Jambi
4
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi penulis, mendapatkan pengalaman praktis serta mengaplikasikan teori-
teori tentang ilmu manajemen strategik yang telah diperoleh selama masa
perkuliahan.
2. Bagi pemerintah Kota Jambi, diharapkan dapat menjadi bahan masukan
terkait dengan perencanaan dan perumusan strategi pengembangan konsumsi
pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan wilayah
3. Bagi pembaca, diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan di bidang
manajemen strategik, yang berkaitan dengan pembangunan ketahanan pangan
wilayah
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam lingkup manajemen strategik. Penelitian ini
difokuskan pada analisis strategi pengembangan konsumsi pangan penduduk
untuk mewujudkan ketahanan pangan di Kota Jambi. Responden penelitian adalah
pejabat dengan jabatan struktural minimal eselon empat di Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) serta stakeholder lain yang terkait ketahanan pangan di Kota
Jambi.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1 Kerangka Teoritis
2.1.1 Definisi dan Ruang Lingkup Ketahanan Pangan
Perhatian terhadap ketahanan pangan (food security) merupakan respon
dari deklarasi PBB tentang Hak Asazi Manusia (HAM) tahun 1948, bahwa hak
atas pangan adalah salah satu elemen utama untuk menjalani kehidupan secara
ideal. Dalam hal ini, kebutuhan pangan masyarakat dilihat dalam konteks
pendekatan hak (right-based), yang bermakna bahwa pemerintah wajib untuk
menghormati, melindungi dan memenuhi kecukupan pangan tersebut.
Menghormati berarti bahwa pemerintah tidak boleh menghilangkan akses
masyarakat terhadap pangan yang cukup. Melindungi berarti bahwa pemerintah
harus melindungi masyarakat dari keadaan kehilangan akses tersebut. Pemerintah
secara proaktif harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat
untuk dapat mandiri, apabila masyarakat belum mampu melakukannya, maka
pemerintah harus menjamin ketersediaan pangannya.
Berdasarkan Konferensi Pangan Tingkat Tinggi tahun 1996 yang
diselenggarakan oleh FAO, definisi ketahanan pangan adalah “food security exists
when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe
and nutritious food to meet their distary needs and food preferences for an active
and healthy life” (Dewan Ketahanan Pangan, 2011). Makna yang terkandung
dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas
secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat.
6
WILAYAH RMT INDIVIDU
KETERSEDIAAN PANGAN
DISTRIBUSI PANGAN
KONSUMSI PANGAN
PENDAPATAN DAN AKSES PANGAN
PENGELO-LAAN KONSUMSI & POLA ASUH KELUARGA
SANITASI & KESEHATAN
KONSUMSI SESUAI KEBUTUHAN GIZI
PEMANFAAT-AN OLEH TUBUH
STATUSGIZI
Indonesia kemudian mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan
dituangkan ke dalam Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan.
Berdasarkan UU tersebut, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Ketahanan pangan terdiri dari tiga subsistem, yaitu: (1) Ketersediaan
pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk baik jumlah
maupun mutunya, serta aman, (2) Distribusi pangan, dimana pasokan pangan
dapat menjangkau ke seluruh wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh
rumah tangga, dan (3) konsumsi pangan, yaitu setiap rumah tangga dapat
mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi sesuai kaidah
gizi dan kesehatan serta preferensinya (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Lebih
lanjut, Baliwati (2007) menyatakan bahwa ketiga subsistem ketahanan pangan
tersebut berinteraksi membentuk sistem ketahanan pangan (Gambar 1).
7
INPUTINPUTKebijakan & Kinerja Sektor Ek- Sos dan Politk :• Ekonomi
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
Prasarana/SaranaLahan/Pertanahan, sumber daya Air/Irigasi, Perhubungan/ Transportasi, Permodalan
KesraKependudukan Pendidikan Kesehatan
Stabilitas dan Keamanan Nasional
OUTPUTOUTPUT
• Pemenuhan Hak Atas Pangan
Sumber Daya Manusia Berkualitas
Ketahanan Nasional
Gambar 1 Kerangka Sistem Ketahanan Pangan
Subsistem ketersediaan pangan mencakup aspek produksi, cadangan
serta keseimbangan antara impor dan ekspor pangan. Subsistem ini berfungsi
menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduk, baik dari sisi
jumlah, kualitas, keragaman maupun keamanannya. Acuan kualitatif untuk
ketersediaan pangan adalah Angka Kecukupan Gizi (AKG) rekomendasi
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII Tahun 2004, yaitu energi sebesar
2200 kkal/kapita/hari dan protein 57 gram/kapita/hari. Acuan untuk menilai
tingkat keragaman ketersediaan pangan adalah Pola Pangan Harpan dengan skor
100 sebagai PPH ideal.
Subsistem distribusi pangan yang efektif dan efisien sebagai prasyarat
untuk menjamin agar seluruh rumahtangga dapat memperoleh pangan dalam
jumlah dan kualitas yang baik sepanjang waktu. Subsistem ini mencakup aspek
aksesibilitas secara fisik, ekonomi maupun sosial atas pangan secara merata
sepanjang waktu. Akses pangan didefinisikan sebagai kemampuan rumahtangga
untuk secara periodik memenuhi sejumlah pangan yang cukup, melalui berbagai
sumber atau kombinasi cadangan pangan yang dimiliki, hasil produksi pangan,
pembelian/barter, pemberian, pinjaman dan bantuan pangan.
Akses pangan secara fisik ditunjukkan oleh kemampuan memproduksi
pangan, infrastruktur dasar maupun kondisi sumberdaya alam dan lingkungan.
Dengan demikian akses fisik lebih bersifat kewilayahan dan dipengaruhi oleh ciri
dan pengelolaan ekosistem. Akses pangan secara ekonomi menyangkut
keterjangkauan masyarakat terhadap pangan yang ditunjukkan oleh harga, sumber
mata pencaharian dan pendapatan. Sumber mata pencaharian meliputi
kemampuan, asset dan aktivitas yang dapat menjadi sumber pendapatan.
8
Seringkali, sumber mata pencaharian sangat dipengaruhi oleh kondisi maupun
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan. Akses pangan secara sosial antara
lain dicerminkan oleh tingkat pendidikan, bantuan sosial, kebiasaan makan,
konflik sosial/keamanan.
Subsistem konsumsi pangan berfungsi mengarahkan agar pola
pemanfaatan pangan memenuhi kaidah mutu, keragaman dan keseimbangan gizi,
keamanan dan halal, serta efisiensi untuk mencegah pemborosan. Subsistem ini
menyangkut upaya peningkatan pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar
mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik sehingga dapat
mengatur menu beragam, bergizi, seimbang secara optimal, pemeliharaan sanitasi
dan hygiene serta pencegahan penyakit infeksi dalam lingkungan rumahtangga.
Hal ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan pangan oleh tubuh. Kondisi
konsumsi pangan rumahtangga dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
ekonomi, sosial dan budaya setempat.
2.1.2 Kebijakan Ketahanan Pangan
Kebijakan merupakan penjabaran secara normatif komitmen pemerintah
dalam pembangunan sehingga menjadi acuan tindakan suatu organisasi dalam
mencapai tujuan (Martianto et al, 2007). Kebijakan terkait pembangunan
ketahanan pangan diperlukan sebagai fondasi atau pre-condition bagi pemerintah
untuk mampu menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup, bermutu dan aman,
terutama dari produksi dalam negeri dan mendistribusikannya secara merata ke
berbagai wilayah Indonesia dari waktu ke waktu dengan harga yang terjangkau
secara berkelanjutan (DKP, 2011).
9
Dokumen kebijakan terkait ketahanan pangan pada tingkat pusat tertuang
dalam Rencana Penbangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014,
Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014, serta Rencana Strategis
(Renstra) BKP dan Departemen terkait Ketahanan Pangan. Adapun kebijakan
ketahanan pangan di tingkat daerah tertuang dalam RPJMD dan Renstra
Propinsi/Kabupaten. Mengacu pada RPJMN 2010-2014, arah kebijakan umum
pembangunan ketahanan pangan nasional 2010-2014 adalah untuk:
(a)Meningkatkan ketersediaan dan penanganan kerawanan pangan,
(b)Meningkatkan sistem distribusi dan stabilisasi harga pangan, dan
(c)Meningkatkan pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kemanan pangan.
Berdasarkan KUKP 2010-2014, terdapat 18 kebijakan ketahanan pangan,
yaitu: (1) menata pertanahan dan tata ruang wilayah, (2) antisipasi perubahan
iklim: adaptasi dan mitigasi, (3) Meningkatkan produksi domestik: proteksi dan
promosi, (4) Memperlancar sistem distribusi pangan, (5) Mengembangkan
cadangan pangan pemerintah daerah dan masyarakat, (6) Menjaga keterjangkauan
dan stabilitas harga pangan, (7) Meningkatkan aksesibilitas atas pangan, (8)
Menanganai kerawanan pangan kronis dan transien, (9) Mempercepat
penganekaragaman konsumsi pangan, (10) Mendorong perilaku konsumsi pangan,
(11) Meningkatkan pembinaan dan pengawasan keamanan pangan, (12)
Memfasilitasi pengembangan industri pangan UKM, (13) Peningkatan peran serta
masyarakat dan swasta dalam pembangunan ketahanan pangan, (14) Kebijakan
makro dan perdagangan yang kondusif, (15) Menguatkan kelembagaan ketahanan
pangan dan koordinasi antar daerah, (16) Meningkatkan peran pimpinan formal
dan nonformal dalam pembangunan ketahanan pangan, (17) Memfasilitasi
10
penelitian dan pengambangan, dan (18) Melaksanakan kerjasama internasional
(DKP, 2011).
Program peningkatan ketahanan pangan disusun untuk
mengoperasionalkan pembangunan dalam rangka mengembangkan sistem
ketahanan pangan baik di tingkat pemerintah maupun di tingkat masyarakat.
Program ketahanan pangan tahun 2011 berdasarkan Peraturan Kepala BKP No
006/Kpts/OT.140./K/01/2011 yaitu (1) Pengembangan ketersediaan pangan dan
penanganan rawan pangan, (2) Pengembangan sistem distribusi dan stabilitas
harga pangan, (3) Pengembangan penganekaragaman konsumsi pangan dan
peningkatan keamanan pangan, dan (4) Dukungan manajemen dan teknis lainnya
pada Badan Ketahanan Pangan.
Standar pelayanan minimal bidang ketahanan pangan telah ditetapkan oleh
Menteri Pertanian RI melalui Peraturan Menteri Pertanian Nomor
65/Permentan/OT.140/12/2010. Standar Pelayanan Minimal merupakan acuan
untuk mengukur keberhasilan pembangunan ketahanan pangan di daerah.
Pemerintah provinsi harus menyelenggarakan dua jenis pelayanan dasar yaitu
ketersediaan dan cadangan pangan serta penanganan kerawanan pangan dengan 4
indikator. Pemerintah kabupaten/kota wajib menyelenggarakan empat jenis
pelayanan dasar yaitu ketersediaan dan cadangan pangan; distribusi dan akses
pangan; penganekaragaman dan keamanan pangan; serta penanganan kerawanan
pangan dengan 7 indikator seperti terdapat pada Tabel 1 berikut ini.
11
Tabel 1. Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan
Jenis Pelayanan Dasar Bidang KP
SPMCapaian Ket
SKPDIndikator (definisi operasional) Nilai (%)
A Ketersediaan dan Cadangan Pangan
1.Ketersediaan Energi dan Protein Per Kapita (AKE = 2200 kkal/kap/hr; AKP = 57 gr/kap/hr)
90 2015 BKPD (Badan
Ketahanan Pangan Daerah)
2.Penguatan Cadangan Pangan CPP kab/kota 100 ton; CPM 500 kg di RT ut 3 bl setara beras – CPD, % kec punya CPM)
60 2015 BKPD
B Distribusi dan Akses Pangan
3.Ketersediaan Informasi Pasokan, Harga dan Akses Pangan di Daerah (gabah/beras, jagung, kedelai, daging sapi, daging ayam, telur, minyak goreng, gula pasir, cabe merah- mingg/ bul/ kuartal/th; kec/desa; kab/kota);
90 2015 BKPD
4.Stabilitas Harga &Pasokan Pangan (jika gejolak harga < 25% kondisi normal; jika penurunan pasokan 5-40%)
90 2015 BKPD
C Penganekara-gaman dan Keamanan Pangan
5. Skor Pola Pangan Harapan/PPH (komposisi konsumsi pangan secara seimbang sesuai AKE = 2000 kkal/kap /hr; AKP = 50 gr/kap/hr)
90 2015 BKPD
6.Pengawasan & Pembinaan Keamanan Pangan (informasi Prima-3, 2, 1; koordinasi dg instansi terkait; pembinaan & pengawasan UMKM; KAP keamanan pgn di sekolah; pembinaan & pengawasan produk pgn segar, pabrikan skala kecil/RMT)
80 2015 BKPD
D Penanganan Kerawanan Pangan
7.Penanganan Daerah Rawan Pangan (berdasarkan pengembangan SKPG; penyajian peta FSVA; penghitungan tingkat rawan pangan)
60 2015 BKPD
2.1.3 Konsumsi Pangan
Hak atas kecukupan pangan tidak dapat dilepaskan dari masalah hak azasi
manusia. Aspek gizi memandang bahwa tujuan mengonsumsi pangan adalah
memperoleh sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh, sehingga bila hak atas
pangan terpenuhi maka kualitas hidup yang baik mencakup status gizi dan
kesehatan akan tercapai (Khomsan, 2002). Hardinsyah dan Martianto (1989) juga
12
mengungkapkan bahwa agar hidup sehat secara berkelanjutan, manusia
memerlukan sejumlah zat gizi. Zat gizi dapat diperoleh dari konsumsi pangan
yang mencukupi kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan pemeliharaan dan
pertumbuhan tubuh.
Kekurangan zat gizi terutama energi dan protein pada tahap awal akan
menimbulkan rasa lapar. Jika berlangsung cukup lama akan berakibat pada
penurunan berat badan disertai dengan penurunan produktivitas kerja. Apabila
kekurangan berlanjut terus akan menyebabkan marasmus atau kwashiorkor.
Penanganan yang terlambat akan mengakibatkan mudah terkena infeksi yang
dapat berakhir dengan kematian.
Hardinsyah dan Martianto (1989) mendefinisikan kebutuhan gizi sebagai
kebutuhan minimal zat gizi agar dapat hidup sehat sedangkan kecukupan gizi
adalah jumlah masing-masing zat gizi yang sebaiknya dipenuhi seseorang agar
hampir semua orang (minimal 97,5% populasi) hidup sehat. Angka kecukupan
energi dan protein berguna untuk mengukur tingkat dan perencanaan konsumsi.
Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (2004), Angka Kecukupan
Energi (AKE) rata-rata orang Indonesia adalah sebesar 2000 kkal/kapita/hari
sedangkan Angka Kecukupan Protein (AKP) adalah sebesar 52 gram/kapita/hari.
Jumlah konsumsi pangan dikelompokkan menurut kriteria yang diadaptasi dari
Departemen Kesehatan tahun 1996 adalah sebagai berikut :
a) Kurang dari 70% : defisit berat atau rawan pangan
b) 70-79% : defisit tingkat sedang
c) 80-89% : defisit tingkat ringan
d) 90-110% : normal (tahan pangan)
13
e) 110% ke atas : berlebih
Konsumsi pangan tidak hanya diukur dari segi jumlah yang dicerminkan
oleh terpenuhinya AKE melainkan juga dari segi kualitas yang dicerminkan oleh
keanekaragaman konsumsi pangan. Konsumsi yang beranekaragam sangat
penting karena tidak ada satupun jenis pangan yang memiliki kandungan zat gizi
lengkap. Oleh karena itu, konsumsi pangan menyangkut upaya peningkatan
pengetahuan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas
pangan, gizi dan kesehatan yang baik, sehingga dapat mengelola konsumsinya
secara optimal.
Kinerja konsumsi pangan wilayah tercermin dalam pola konsumsi
masyarakat di tingkat rumahtangga. Kondisi konsumsi rumah tangga dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain kondisi ekonomi, sosial, dan budaya setempat.
Ukuran rumahtangga, tingkat pendidikan, dan pendapatan merupakan faktor yang
mempengaruhi pola konsumsi rumah tangga (Baliwati, 2007).
Penilaian kualitas konsumsi pangan berdasarkan keragaman dan
keseimbangan komposisi energi dapat dilakukan dengan pendekatan Pola Pangan
Harapan (PPH). PPH merupakan kumpulan beragam jenis dan jumlah kelompok
pangan utama yang dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan energi dan zat gizi
pada komposisi yang seimbang (Hardinsyah et al, 2001). Selanjutnya dijelaskan
bahwa dengan terpenuhinya kebutuhan energi dari berbagai kelompok pangan
sesuai PPH, secara implisit kebutuhan zat gizi juga terpenuhi kecuali untuk zat
gizi yang sangat defisit dalam suatu kelompok pangan.
Semakin tinggi skor PPH, konsumsi pangan semakin beragam dan bergizi
seimbang. Jika skor konsumsi pangan mencapai 100, maka wilayah tersebut
14
dikatakan tahan pangan. Berikut ini tabel mengenai jumlah, komposisi (% AKE)
dan skor PPH (Badan Ketahanan Pangan, 2011).
Tabel 2. Jumlah, Komposisi (% AKE) dan skor PPH Nasional
No KelompokPangan
Konsumsi (gr/kap/hari)
Energi (kkal)
% AKE Bobot Skor
PPH
1 Padi-Padian 275 1000 50 0,5 252 Umbi-umbian 100 120 6 0,5 2,53 Pangan Hewani 150 240 12 2,0 244 Minyak dan Lemak 20 200 10 0,5 5,05 Buah/Biji Berminyak 10 60 3 0,5 1,06 Kacang-kacangan 35 100 5 2,0 10,07 Gula 30 100 5 0,5 2,58 Sayur dan Buah 250 120 6 5,0 30,09 Lain-lain - 60 3 0,0 0,0
Jumlah 2000 100 100
2.1.4. Manajemen Strategik
Manajemen Strategik adalah seperangkat keputusan dan tindakan yang
menghasilkan formulasi dan implementasi dari rencana yang didesain untuk
mencapai tujuan (Pearce dan Robinson, 2003). David (2006), mendefinisikan
manajemen strategi sebagai ilmu tentang perumusan, pelaksanaan, dan evaluasi
keputusan-keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi untuk
mencapai tujuannya. Sementara Hutabarat dan Huseini (2006) mengemukakan
manajemen strategik adalah pengelolaan organisasi yang menyangkut desain,
formasi, transformasi serta implementasi dari strategi yang berlaku untuk kurun
waktu tertentu.
Sejalan dengan itu, Wheelen dan Hunger (2010) menjabarkan bahwa
manajemen strategik merupakan serangkaian keputusan dan tindakan manajerial
yang menentukan kinerja organisasi dalam jangka panjang. Manajemen strategik
mencakup scanning lingkungan (eksternal dan internal), formulasi strategi baik
15
Pengamatan Lingkungan
Formulasi Strategi Implementasi Strategi Evaluasi dan Pengendalian
Eksternal
Lingkungan sosial
Lingkungan Tugas
InternalStrukturBudaya
Sumberdaya
Program
Anggaran
Prosedur
Kinerja
bersifat jangka pendek atau panjang, evaluasi dan kontrol. Setiap organisasi harus
menggunakan konsep dan teknik manajemen strategis dalam lingkungan industri
yang dijalankannya dengan pendekatan proaktif dalam menghadapi berbagai
peristiwa. Kerangka dasar dan berpikir manajemen strategik terdiri dari empat
tahap seperti terdapat pada Gambar 2 di bawah ini.
Gambar 2. Model Manajemen Strategik (Wheelen dan Hunger, 2010)
a. Pengamatan Lingkungan
16
Pengamatan lingkungan merupakan proses awal dari manajemen strategi yang
bertujuan menganalisa faktor-faktor internal dan eksternal yang berpengaruh
terhadap lingkup organisasi.
17
b. Formulasi Strategi
Formulasi strategi terdiri dari perumusan misi, penetapan tujuan,,
pengembangan strategi dan penetapan kebijakan. Unsur utama yang harus
diperhatikan adalah bagaimana organisasi tersebut dapat menyesuaikan diri
terhadap perubahan kondisi lingkungan dengan cepat. Langkah selanjutnya
adalah análisis lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi strategi
kebijakan yang akan dibuat. Langkah selanjutnya adalah melakukan análisis
SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat). Analisis tersebut akan
menghasilkan strategi alternatif dan pemilihan strategi tertentu.
c. Implementasi Strategi
Implementasi strategi merupakan tahap dimana formulasi strategi
dikembangkan secara logis ke dalam bentuk tindakan. Langkah terakhir, yaitu
kegiatan evaluasi dan pengendalian yang dimaksudkan untuk menjamin bahwa
semua kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi hendaknya didasarkan
pada rencana yang telah disepakati sehingga tidak menyimpang dari batas-
batas toleransi.
d. Evaluasi dan Pengendalian
Evaluasi dan pengendalian memiliki tiga tahap utama, yaitu (1) evaluasi faktor
eksternal dan internal yang merupakan dasar bagi strategi saat ini, (2)
mengukur performance, dan (3) mengoreksi kesalahan yang terjadi.
David (2006) menyatakan proses manajemen strategi juga telah banyak
dikembangkan dengan baik oleh organisasi pemerintah dan organisasi nirlaba
lainnya dalam mencapai efisiensi dan efektivitas. Hasil yang diperoleh
menunjukkan prestasi yang baik. Instansi pemerintah di tingkat pusat, provinsi
18
hingga tingkat kabupaten/kota dan kecamatan ikut bertanggung jawab dalam
merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi strategi dengan cara yang
paling efektif terhadap pengelolaan dana atau biaya dalam memberikan pelayanan
dan penciptaan program kerja. Manajemen strategi sangat tepat apabila diterapkan
pada organisasi pemerintahan agar para pegawai dapat termotivasi dalam
mengetahui dan mengkaji berbagai faktor eksternal, internal dan turut serta
berpartisipasi dalam manajemen strategis, yang pada akhirnya pegawai
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam menetapkan visi, misi, strategi
dan kebijakan organisasi.
2.1.5 Lingkungan Internal dan Eksternal
Langkah pertama perusahaan dalam menghadapi lingkungan eksternal
adalah pemahaman atas kapasitas dan kemampuan yang dimiliki melalui analisis
lingkungan internal. Lingkungan eksternal makro maupun mikro merupakan
factor yang tidak dapat dikendalikan oleh pihak manajemen suatu organisasi,
sebaliknya lingkungan internal merupakan faktor yang dapat dipengaruhi oleh
pihak manajemen (David, 2006).
Analisis internal menurut Wheelen dan Hunger (2010) adalah kegiatan
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan organisasi atau perusahaan dalam
rangka memanfaatkan peluang dan mengatasi ancaman. Hal ini menjelaskan
analisis internal sangat berkaitan erat dengan penilaian terhadap sumberdaya
organisasi. Menurut Umar (2008), analisis internal dapat mencakup aspek
organisasi, keuangan, pemasaran, produksi dan operasi, sumber daya manusia dan
sistem informasi manajemen.
19
Analisis eksternal adalah kegiatan mengidentifikasi peluang dan ancaman
melalui aktivitas monitoring, dan evaluasi berbagai informasi dari lingkungan di
luar perusahaan. Menurut David (2006) tujuan dilakukannya analisis eksternal
adalah membuat daftar terbatas mengenai berbagai peluang yang dapat
menguntungkan perusahaan dan berbagai ancaman yang harus dihindari, sehingga
perusahaan dapat merespon faktor-faktor eksternal tersebut dengan merumuskan
strategi yang dapat memanfaatkan peluang atau untuk meminimalkan dampak dari
potensi ancaman. Umar (2008), menyatakan bahwa lingkungan eksternal dapat
dibagi menjadi dua, yaitu lingkungan jauh dan lingkungan industri.
Lingkungan jauh dapat diartikan sebagai lingkungan yang tidak secara
langsung berpengaruh terhadap aktivitas perusahaan dalam jangka pendek namun
berpengaruh terhadap akitivitas perusahaan dalam jangka panjang. David (2006)
mengkategorikan lingkungan jauh menjadi empat kategori, yaitu (a) Politik, (b)
Ekonomi, (c) Sosial Budaya, dan (d) Teknologi.
Mekanisme bekerjanya pengaruh faktor politik antara lain melalui
instrument kebijakan dan peraturan perundangan. Faktor ekonomi antara lain
melalui tingkat inflasi, suku bunga, laju pertumbuhan, kebijakan fiscal dan
moneter. Faktor sosial budaya antara lain melalui gaya hidup, agama, adat istiadat,
dan kepercayaan masyarakat. Faktor teknologi antara lain melalui pengaruh
terhadap cara dan jenis proses produksi serta volumenya.
Lingkungan industri meliputi persaingan perusahaan dengan perusahaan
lain yang berada dalam lingkungan industri sejenis, ancaman masuknya pendatang
baru, ancaman dari produk substitusi, kekuatan tawar menawar pembeli, dan
kekuatan tawar menawar pemasok.
20
2.1.6 Analisis SWOT
Analisis SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, Threats) adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi suatu
organisasi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (Strengths) dan peluang (opportunites), namun secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threats). Proses pengambilan
keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi,
dan kebijakan organisasi. Dengan demikian, perencana strategis harus
menganalisis faktor-faktor strategis organisasi dalam kondisi yang ada saat ini
yang disebut dengan analisis situasi (Rangkuti, 2008).
David (2006) menyatakan bahwa matriks SWOT dapat digunakan untuk
merumuskan strategi masa depan perusahaan. Matriks SWOT dapat menghasilkan
empat kemungkinan strategi yang dihasilkan sebagai berikut:
a. Strategi SO (Strenghts-Opportunities), yaitu strategi yang menggunakan
kekuatan yang dimiliki untuk mengambil peluang.
b. Strategi ST (Strenghts-Threats) merupakan strategi yang menggunakan
kekuatan untuk menghindari dan mengatasi ancaman.
c. Strategi WO (Weaknesses-Opportunities) sebagai strategi yang menggunakan
peluang yang dimiliki untuk mengatasi kelemahan.
d. Strategi WT (Weaknesses-Threats) adalah strategi untuk meminimumkan
kelemahan dan menghindari ancaman.
2.1.7 Analisis AHP
Analitycal Hierarchy Process (AHP) adalah sebuah hirarki fungsional
dengan input utamanya persepsi manusia. Melalui hirarki, suatu masalah
21
kompleks dan tidak terstruktur dapat dipecahkan ke dalam kelompok-kelompok
yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki (Permadi, 1992).
Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang
tidak terstruktur, strategis, dan dinamik menjadi sebuah bagian-bagian dan tertata
dalam suatu hierarki. Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik,
secara subjektif tentang arti penting variabel tersebut dan secara relatif
dibandingkan dengan variabel yang lain. Setelah itu, dari berbagai pertimbangan
kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas
tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut (Marimin dan
Maghfiroh, 2010).
Lebih lanjut, Marimin dan Maghfiroh (2010) menjabarkan bahwa secara
grafis persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat
(hierarki). AHP dimulai dengan goal atau sasaran lalu kriteria level pertama,
subkriteria dan akhirnya alternatif. Terdapat berbagai bentuk hierarki keputusan
yang disesuaikan dengan substansi dan persoalan yang hanya dapat diselesaikan
dengan AHP. Melalui AHP, pengguna dapat memberikan bobot relatif dari suatu
kriteria majemuk atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria. Bobot tersebut
diberikan dengan melakukan perbandingan berpasangan (pairwise comparisons).
Selanjutnya, perbandingan berpasangan tersebut diubah menjadi suatu himpunan
bilangan yang merepresentasikan prioritas relatif dari setiap kriteria dan alternatif.
AHP memiliki kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi
objektif dan multi kriteria yang berdasar pada perbandingan preferensi dari setiap
elemen dalam hirarki. Sehingga, model ini merupakan suatu model pengambilan
keputusan yang komprehensif (Suryadi et al, 1998). Selain itu, AHP juga menguji
22
konsistensi penilaian bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai
konsistensi sempurna maka hal ini menunjukkan penilaian perlu diperbaiki atau
hierarki harus distruktur ulang (Marimin dan Maghfiroh, 2010). Berikut ini
adalah keunggulan yang dimiliki oleh AHP, yaitu:
1. Kesatuan
AHP memberikan satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes
untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur
2. Kompleksitas
AHP memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persoalan kompleks
3. Saling ketergantungan
AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam suatu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linear
4. Penyusunan hierarki
AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah
elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan
mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat
5. Pengukuran
AHP member suatu skala untuk mengukur hal-hal dan terwujud suatu
metode untuk menetapkan prioritas
6. Konsistensi
AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan untuk menetapkan berbagai prioritas
7. Sintesis
23
AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif
8. Tawar menawar
AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor
sistem dan memungkinkan organisasi memilih alternative terbaik
berdasarkan tujuan-tujuan mereka
9. Penilaian dan konsensus
AHP tidak memaksakan konsensus, tetapi mensistensiskan suatu hasil
yang representatif dari berbagai penilaian yang berbeda
10. Pengulangan proses
AHP memungkinkan organisasi memperhalus definisi mereka pada suatu
persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan
Berikut ini adalah beberapa proses yang harus dilakukan dalam analisis
dengan AHP, yaitu sebagai berikut (Ma’arif dan Tanjung, 2003):
1. Identifikasi sistem dilakukan untuk menentukan permasalahan yang akan
diselesaikan berupa sasaran (goal) yang ingin dicapai, faktor/kriteria-
kriteria yang akan digunakan, aktor-aktor yang terlibat dalam sistem dan
tujuan-tujuannya, dan alternatif-alternatif strategi.
2. Penyusunan hierarki dilakukan dengan mengabstraksi komponen pada
sistem. Abstraksi ini harus saling berkaitan, tersusun dari sasaran utama
turun ke faktor-faktor, kemudian ke pelaku (aktor), tujuan-tujuan pelaku,
kemudian strategi-strategi dan akhirnya memberikan keputusan.
24
3. Penyusunan matriks pendapat individu untuk setiap kriteria dan alternatif
dilakukan melalui perbandingan berpasangan. Setiap elemen sistem
dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hierarki secara berpasangan
dibandingkan untuk memperoleh nilai kepentingan elemen secara
kuantitatif. Skala penilaian yang digunakan untuk menguantifikasikan
pendapat kualitatif tersebut seperti terlihat pada Tabel 2.
4. Nilai-nilai perbandingan yang telah dilakukan harus diperoleh tingkat
konsistensinya dengan CR ≤ 10%.
5. Penyusunan matriks pendapat gabungan, kemudian dilakukan pengolahan
vertikal untuk menentukan vektor prioritas sistem.
Tabel 3. Skala untuk Pengisian Matriks Perbandingan Berpasangan.
Intensitas Pentingnya Definisi Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen sama kuat pada sifatnya
3Elemen yang satu sedikit lebih penting dibandingkan elemen lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan sedikit lebih menyokong satu elemen atas elemen lainnya.
5Elemen yang satu sangat penting dibandingkan elemen lainnya.
Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen lainnya.
7Elemen yang satu jelas lebih pentingnya dibandingkan elemen lainnya.
Satu elemen dengan kuat disokong dan didominasinya telah terlihat dalam praktek.
9Elemen yang satu mutlak lebih penting dibandingkan elemen lainnya.
Bukti yang menyokong elemen yang satu memiliki tingkat penegasan tertinggi yang menguatkan.
2,4,6,8 Nilai-nilai diantara dua pertimbangan
Kompromi diperlukan diantara dua pertimbangan.
Kebalikan Jika elemen i mendapat nilai a dibandingkan elemen j, maka elemen j mempunyai nilai 1/a bila dibandingkan elemen i.
25
2.2 Kajian Penelitian Terdahulu
Firman Noer (2002) melakukan kajian mengenai Strategi Pengembangan
Agribisnis Sapi Potong di Kawasan Sentra Prodoksi Koto Hilalang, Kabupaten
Agam Propinsi Sumatera Barat. Penelitian ini dilakukan untuk menyusun dan
merumuskan implikasi strategi yang tepat bagi kawasan sentra produksi Koto
Hilalang. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan
studi kasus. Responden dipilih secara purposive yaitu para ahli yang
berpengalaman dan mempunyai kemampuan dalam memberikan penilaian
terhadap pengembangan agribisnis sapi potong. Teknik pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi langsung, wawancara, penyebaran kuesioner, dan
studi pustaka.
Penelitian tersebut dilakukan dalam lima tahapan, yaitu (1) Analisis gap
untuk memperoleh perkembangan agribisnis sapi potong di kawasan, (2) Analisis
faktor-faktor internal dan eksternal untuk mengidentifikasi faktor-faktor internal
dan eksternal yang berpengaruh bagi kawasan, (3) Analisis matriks evaluasi faktor
internal dan eksternal (IFE-EFE), (4) Analisis matriks SWOT untuk mengetahui
alternatif-alternatif strategi pengembangan agribisnis sapi potong di kawasan
sentra produksi, dan (5) Analisis AHP untuk mengetahui peringkat alternatif
strategi pengembangan agribisnis sapi potong di kawasan sentra produksi.
Melalui kombinasi matriks IFE, EFE, dan matriks SWOT maka diperoleh
beberapa alternatif strategi, yaitu strategi pengembangan investasi/modal usaha,
strategi kerjasama memperkuat kelompok peternak sapi kawasan, strategi
peningkatan teknologi peternak sapi di kawasan, strategi peningkatan posisi
peternak dan pemasaran sapi, dan strategi diversifikasi lahan rumput. Berdasarkan
26
hasil analisis AHP diketahui prioritas strategi adalah pengembangan
investasi/modal usaha dan kerjasama penguatan kelompok peternak sapi di
kawasan produksi Koto Hilalang.
Mahmuri (2005) melakukan penelitian mengenai Analisis Situasi dan
Kebijakan Ketahanan Pangan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Penelitian tersebut bertujuan mengkaji ketahanan pangan rumah tangga,
khususnya dari aspek distribusi dan konsumsi pangan serta menganalisis
hubungan implementasi antara kebijakan ketahanan pangan dengan situasi
ketahanan pangan di Pulau Panggang dan Pulau Untung Jawa. Desain penelitian
yang digunakan adalah Crossectional Study Design dengan pendekatan
Comparative Analysis melalui kajian pustaka dan penelitian terdahulu, analisis
data sekunder, survey dan analisis data primer. Data yang digunakan adalah data
primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui
wawancara dengan menggunakan kuesioner terhadap beberapa kelompok
responden, penelusuran dan inventarisasi berbagai dokumen dan atau laporan
resmi dari dinas/instansi terkait ketahanan pangan serta studi literatur.
Responden penelitian ini dibagi menjadi tiga kelompok yaitu (1) pengelola
program, pejabat pemerintah yang berwenang dalam penyusunan kebijakan serta
perencanaan dan pelaksanaan program ketahanan pangan yang dipilih secara
purposive, (2) keluarga, yaitu 50 sampel keluarga di Pulau Panggang dan 50
sampel keluarga di Pulau Untung Jawa yang dipilih secara acak dengan metode
simple random sampling, dan (3) pedagang, yaitu 5 sampel pedagang di Pulau
Panggang dan 5 sampel pedagang di Pulau Untung Jawa yang dipilih secara acak
dengan metode simple random sampling.
27
Hasil analisis yang diperoleh yaitu, konsumsi pangan tingkat rumahtangga
di Kepulauan Seribu masih di bawah kecukupan yang dianjurkan baik dari sisi
kuantitas AKE maupun kualitas skor PPH. Pola konsumsi pangan rumah tangga di
Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh jumlah anggota rumahtangga, pola
pendapatan, pola pengeluaran keluarga, dan kebiasaan makan. Faktor yang paling
dominan terhadap konsumsi pangan rumah tangga adalah jumlah anggota
keluarga dan pendapatan. Semakin besar jumlah anggota keluarga dan semakin
rendah pendapatan, maka semakin rendah pula tingkat konsumsinya. Aspek
distribusi pangan dapat diketahui dari harga pangan. Harga pangan di Pulau
Panggang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Pulau Untung Jawa.
Masih rendahnya pencapaian situasi ketahanan pangan di Pulau Panggang
dan Pulau Untung Jawa yang ditandai oleh rendahnya konsumsi pangan dan
tingginya harga pangan merupakan dampak dari kebijakan ketahanan pangan yang
belum optimal. Hal ini tercermin dalam rendahnya perhatian pemerintah dalam
mensosialisasikan berbagai peraturan tentang pangan, rendahnya strategi advokasi
dan implementasi kebijakan ketahanan pangan serta lemahnya fungsi koordinasi
dan optimalisasi pemanfaatan kelembagaan pangan yang ada.
Sukari (2009) mengkaji tentang Strategi Pengembangan Kebijakan dan
Program Ketahanan Pangan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan pemerintah dalam upaya
peningkatan ketahanan pangan, menganalisis situasi ketahanan pangan dan
kondisi lingkungan strategis yang dapat mempengaruhi pengembangan kebijakan
dan program ketahanan pangan serta merumuskan rekomendasi kebijakan
28
pemerintah dalam upaya peningkatan ketahanan pangan di Kabupaten
Administrasi Kepulauan Seribu.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari penyebaran kuesioner kepada 70 orang responden yang
dipih secara purposive. Data sekunder diperoleh penelusuran pustaka dan
dokumen pembangunan ketahanan pangan. Analisis yang dilakukan meliputi
analisis isi terhadap kebijakan pemerintah Kabupaten Administrasi Kepulauan
Seribu, analisis deskriptif terhadap situasi ketahanan pangan, analisis SWOT dan
AHP untuk merumuskan alternatif strategi dan prioritas pembangunan ketahanan
pangan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Situasi ketersediaan pangan tergolong ideal yaitu energi 2.318
kkal/kapita/hari (105% AKE) dan protein 72,95 gram/kapita/hari (128% AKP).
Meskipun dari sisi ketersediaan pangan sudah mencukupi, namun konsumsi
pangan masyarakat masih rendah yaitu energi1.468 kkal/kapita/hari (73,4% AKE)
dan protein 63,2 gram/kapita/hari (121% AKP). Hasil evaluasi faktor eksternal
dan internal menunjukkan bahwa strategi pengembangan kebijakan dan program
ketahanan pangan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berada pada
kuadran III (rasionalisasi atau turnaround) yaitu strategi mengatasi kelemahan
untuk memanfaatkan peluang.
Berdasarkan hasil analisis AHP diperoleh rekomendasi kebijakan
operasional ketahanan pangan, yaitu: prioritas pertama adalah pengembangan
kapasitas distribusi pangan dengan cara meningkatkan efisiensi sistem distribusi
pangan. Prioritas kedua adalah peningkatan kualitas SDM, prioritas ketiga
peningkatan pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, prioritas keempat
29
pengembangan dan peningkatan intensitas jaringan kerjasama, prioritas kelima
pengembangan diversifikasi dan konsumsi pangan, prioritas keenam
pembangunan sistem cadangan pangan, dan prioritas ketujuh peningkatan
kelembagaan pangan.
Analia (2009) juga melakukan penelitian mengenai Analisis Diversifikasi
Konsumsi Pangan Rumahtangga di Sumatera Barat Menuju Pola Pangan Harapan
(PPH). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui diversifikasi konsumsi pangan
rumahtangga dan variabel-variabel yang mempengaruhinya di Sumatera Barat.
Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan data modul
konsumsi Susenas 2005, sosioekonomi dan sosiodemografi. Hasil penelitian
menunjukkan konsumsi pangan rumahtangga belum seimbang dan beragam
dengan skor PPH baru mencapai 67,72 dari skor maksimal 100. Tingkat
pendapatan, jumlah anggota rumahtangga dan pendidikan istri merupakan faktor-
faktor yang signifikan terhadap pola diversifikasi konsumsi pangan rumah tangga.
Mahfi (2009) melakukan kajian mengenai Analisis Situasi Pangan dan
Gizi untuk Perumusan Kebijakan Operasional Ketahanan Pangan dan Gizi
Kabupaten Lampung Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis situasi
ketahanan pangan dan lingkungan strategis yang mempengaruhinya serta
penyusun kebijakan operasional ketahanan pangan. Data yang dikumpulkan
adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder dianalisis secara deskriptif
untuk mengetahui kondisi aktual ketahanan pangan dan merumuskan lingkungan
strategis ketahanan pangan yang dianalisis menggunakan SWOT. Data primer
hasil wawancara kuesioner dianalisis menggunakan AHP untuk merumuskan
kebijakan operasional ketahanan pangan Kabupaten Lampung Barat.
30
Hasil penelitian menunjukkan kondisi distribusi pangan, konsumsi pangan
dan status gizi yang menjadi permasalahan ketahanan pangan di Kabupaten
Lampung Barat. Kondisi lingkungan strategis ketahanan pangan berada pada
kuadran II (diversifikasi). Rekomendasi strategi yang dihasilkan yaitu
pengembangan SDM, pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan pangan,
pengembangan sarana prasarana pertanian, pengembangan lumbung pangan,
kompetensi aparat daerah, peningkatan pelayanan kesehatan, dan penanganan
kemiskinan
Penelitian dengan menggunakan analisis SWOT dan AHP untuk
menentukan strategi juga dilakukan oleh Rochman et al (2011). Penelitian
tersebut berjudul Analysis of Indonesia Agroindustry Competitiveness in
Nanotechnology Development Perspective Using SWOT-AHP Method. Penelitian
ini dilakukan pada lima agroindustri yang dianggap potensial untuk
mengembangkan nanoteknologi di Indonesia.
Analisis SWOT-AHP dilakukan untuk menentukan posisi keunggulan
bersaing masing-masing industri. Faktor internal yang didominasi oleh
pengembangan master teknologi dan ketersediaan bahan baku serta energi
memiliki nilai signifikansi yang lebih besar dibandingkan faktor eksternal yaitu
dampak ekonomi bagi industri seperti peningkatan nilai tambah produk-produk
yang menggunakan nanoteknologi serta peningkatan jangkauan pasar. Hasil studi
ini dapat digunakan sebagai referensi bagi stakeholder terkait untuk
memformulasikan strategi dalam rangka peningkatan agroindustri nasional
melalui pengembangan nanoteknologi.
31
Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kahraman, et al. (2007) mengenai
Prioritization of e-Government Strategies Using a SWOT-AHP Analysis: The
Case of Turkey. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendefinisikan dan
menemukan prioritas dari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari
aplikasi e-Government di Turki. Selain itu untuk menentukan dan mengevaluasi
alternative strategi dari aplikasi e-Government di level nasional di Turki. Hasil
penelitian ini yaitu strategi prioritas yang diperoleh adalah menyederhanakan
proses dalam e-Government untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Melalui penelitian ini diketahui bahwa alat analisis SWOT-AHP mampu
menentukan faktor-faktor strategis dan prioritas strategi secara tepat di lingkup
pemerintahan.
Relevansi penelitian yang dilakukan oleh Firman Noer (2002) dan Sukari
(2009) dengan penelitian ini adalah penggunaan alat analisis IFE dan EFE, hasil
analisis tersebut digunakan dalam penilaian dan penentuan faktor-faktor yang
akan digunakan dalam analisis SWOT. Alternatif strategi yang dihasilkan
kemudian dianalisis menggunakan AHP untuk mengetahui prioritas strategi.
Relevansi penelitian Mahfi (2009), Rochman et al (2011), dan Kahraman (2007)
dengan penelitian ini adalah penggunaan alat gabungan analisis SWOT dan AHP
mampu memberikan prioritas strategi yang tepat dan terukur secara kuantitatif.
Mahmuri (2005) dan Analia (2009) menemukan bahwa pola konsumsi pangan
rumah tangga dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga, tingkat pendidikan istri
dan tingkat pendapatan. Selain itu, kebijakan ketahanan pangan yang belum
optimal memiliki dampak yang signifikan terhadap rendahnya pencapaian situasi
ketahanan pangan.
32
Tabel 4. Kajian Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti
JudulPenelitian
MetodeAnalisis
HasilPenelitian
1 Firman Noer (2002)
Strategi Pengembangan Agribisnis Sapi Potong di Kawasan Sentra Prodoksi Koto Hilalang, Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat
Analisis IFE-EFE, SWOT, AHP
Prioritas strategi adalah pengembangan investasi/modal usaha dan kerjasama penguatan kelompok peternak sapi di kawasan produksi Koto Hilalang
2 Mahmuri (2005)
Analisis Situasi dan Kebijakan Ketahanan Pangan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Comparative Analysis
Konsumsi pangan tingkat rumahtangga di Kepulauan Seribu masih rendah, antara lain dipengaruhi oleh jumlah anggota keluarga dan pendapatan. Hal tersebut merupakan dampak dari kebijakan ketahanan pangan yang belum optimal
3 Sukari (2009)
Strategi Pengembangan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu
Analisis SWOT, AHP
Strategi pengembangan kebijakan dan program ketahanan pangan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu berada pada kuadran III (rasionalisasi). Prioritas strategi adalah pengembangan kapasitas distribusi pangan
4 Analia (2009)
Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumahtangga di Sumatera Barat Menuju Pola Pangan Harapan (PPH)
Analisis deskriptif
Tingkat konsumsi pangan rumahtangga di Sumatera Barat belum seimbang dan beragam, yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan, jumlah anggota rumahtangga dan pendidikan istri
5 Mahfi(2009)
Analisis Situasi Pangan dan Gizi untuk Perumusan Kebijakan Operasional Ketahanan Pangan dan Gizi Kabupaten Lampung Barat
Analisis SWOT, AHP
Kondisi lingkungan strategis ketahanan pangan berada pada kuadran II (diversifikasi). Rekomendasi strategi yang dihasilkan adalah pengembangan SDM, pengembangan teknologi budidaya dan pengolahan pangan, pengembangan sarana prasarana pertanian, pengembangan lumbung pangan, kompetensi aparat daerah, peningkatan pelayanan kesehatan, dan penanganan kemiskinan
6 Rochman, et al
(2011)
Analysis of Indonesia Agroindustry Competitiveness in Nanotechnology Development Perspective Using SWOT-AHP Method
Analisis SWOT, AHP
Faktor internal yang dominan yaitu pengembangan master tekonologi, ketersediaan bahan baku dan energi sementara faktor eksternal yang dominan yaitu dampak ekonomi bagi industri
7 Kahraman, et al.
(2007)
Prioritization of e-Government Strategies Using a SWOT-AHP Analysis: The Case of Turkey
Analisis SWOT, AHP
Strategi prioritas yang diperoleh adalah menyederhanakan proses dalam e-Government untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
33
2.3 Kerangka Pemikiran Konseptual
Ketahanan pangan merupakan sistem yang kompleks yang melibatkan
peran lintas sektor dengan penanganan secara multi disiplin. Ketahanan pangan
terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, konsumsi, dan status gizi.
Subsistem konsumsi pangan merupakan indikator hasil (outcome indicators) dari
kinerja pembangunan ketahanan pangan di suatu wilayah (Frankenberger, 1992).
Pangan yang disediakan dan dikonsumsi harus memenuhi kebutuhan gizi
penduduk. Oleh karena itu paradigma yang digunakan dalam pengembangan
konsumsi pangan masyarakat adalah dengan memperhatikan keanekaragaman dan
keseimbangan gizi sesuai daya beli, preferensi dan potensi sumberdaya lokal.
Salah satu acuan yang dapat digunakan adalah konsumsi energi AKE dan skor
PPH (Hardinsyah et al., 2002). Subsistem konsumsi pangan berfungsi
mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan wilayah memenuhi kaidah mutu,
keragaman, kandungan gizi, keamanan dan kehalalan, disamping juga efisien
untuk mencegah keborosan.
Strategi pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi dilakukan dengan
tahap awal menganalisis dokumen perencanaan ketahanan pangan di Kota Jambi,
Tahap kedua adalah menganalisis lingkungan eksternal yang dapat menjadi
peluang maupun ancaman serta lingkungan internal yang dapat menjadi kekuatan
dan kelemahan terkait pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi. Tahapan
analisis selanjutnya adalah menyusun formulasi strategi yang memadukan faktor
eksternal dan internal melalui analisis SWOT. Alternatif strategi yang dihasilkan
selanjutnya diprioritaskan menggunakan AHP untuk memenuhi tujuan
pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi menuju ideal. Analisis dengan
34
AHP diharapkan juga dapat menentukan tingkat kepentingan masing-masing actor
dan tujuannya dalam pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi. Kerangka
pemikiran konseptual penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3 berikut ini.
Gambar 3. Kerangka Pemikiran Konseptual Penelitian
35
KEBIJAKAN PEMERINTAH
RPJMN/RPJMD/RENSTRA Kelembagaan Program/Kegiatan/Anggaran
SITUASI KONSUMSI PANGAN AKTUAL (Tahun
2010)
STRATEGI PENGEMBANGAN
KONSUMSI PANGAN
SITUASI KONSUMSI PANGAN IDEAL
GAP KONDISI AKTUAL DAN IDEAL
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR EKSTERNAL
IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR INTERNAL
AKTOR TUJUANALTERNATIF STRATEGI
PENGEMBANGAN KONSUMSI PANGAN
PRIORITAS STRATEGI, AKTOR, TUJUAN PENGEMBANGAN
KONSUMSI PANGAN
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini akan dilakukan di lingkup pemerintahan daerah terkait
ketahanan pangan di Kota Jambi. Penelitian ini dilakukan selama 2 (dua) bulan,
dari bulan Januari 2012 sampai dengan Februari 2012.
3.2 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode survey yaitu
melakukan kunjungan ke instansi dan organisasi yang terkait dengan ketahanan
pangan di Kota Jambi. Perumusan strategi pengembangan konsumsi pangan
menggunakan analisis SWOT, sedangkan untuk menentukan prioritas dilakukan
dengan AHP.
3.3. Data yang Diperluan dan Sumbernya
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer terdiri dari faktor-faktor strategis, aktor, dan tujuan
mengenai upaya pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi. Data primer
dikumpulkan melalui wawancara dan penyebaran kuesioner. Data sekunder
diperoleh dari instansi terkait dengan ketahanan pangan dan studi pustaka yang
relevan. Jenis, sumber, dan cara pengumpulan data terdapat pada Tabel 5 berikut
ini.
36
Tabel 5. Jenis, Sumber, dan Cara Pengumpulan DataNo Jenis Data Sumber Data Cara Pengumpulan Data1 Potensi agroekologi Dinas Pertanian dan BPS (Data
Sekunder)Pencatatan data potensi dan fungsional lahan dan produksi (Tahun 2010 dan 2011)
2 Keadaan demografi BPS, Bappeda (Data Sekunder) Pencatatan data Kota Jambi Dalam Angka (Tahun 2010 dan 2011)
3 Ketersediaan pangan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (Data Sekunder)
Pencatatan hasil dan print out NBM dan PPH Kota Jambi (Tahun 2010 dan 2011)
4 Konsumsi pangan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (Data Sekunder)
Pencatatan hasil dan print out situasi konsumsi pangan Tahun 2011
5 Impor/Ekspor pangan
Dinas Perindag (Data Sekunder) Pencatatan data impor/ekspor pangan Tahun 2010 dan 2011
6 Stok pangan Kantor Bulog Divre Jambi Pencatatan data stok pangan pemerintah Tahun 2010 dan 2011
7 Harga pangan Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (Data Sekunder)
Pencatatan data harga pangan Tahun 2010 dan 2011
8 Status Gizi Dinas Kesehatan (Data Sekunder)
Pencatatan data persentase BBLR dan status gizi balita (Tahun 2010 dan 2011)
9 PDRB BPS, Bappeda (Data Sekunder) Pencatatan data PDRB atas dasar harga konstan dan berlaku (Tahun 2010 dan 2011)
10 Laju inflasi BPS, Bappeda (Data Sekunder) Pencatatan data laju inflasi (Tahun 2010 dan 2011)
11 RPJMD Kota Jambi Sekretariat Daerah (Data Sekunder)
Copy dokumen
12 Anggaran terkait pengembangan konsumsi pangan
Bappeda, dinas/instansi terkait Copy dokumen
13 Renstra ketahanan pangan
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (Data Sekunder)
Copy dokumen
14 Kelembagaan ketahanan pangan
Sekretariat Daerah (Data Sekunder)
Pencatatan Perda No….Tahun….. tentang Pembentukan Lembaga Teknis Daerah
15 Strategi pengembangan konsumsi pangan
Dinas dan organisasi terkait ketahanan pangan (Data primer)
Pengisian kuesioner dan wawancara
3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Informasi
Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan beberapa teknik
pengumpulan data di bawah ini :
a. Indepth interview (wawancara secara mendalam) dan Focus Group Discussion
(FGD), dilaksanakan dengan responden ahli yang telah dipilih, untuk
menentukan faktor-faktor strategis, analisis PEST, menentukan aktor/pelaku
tujuan dan alternatif strategi, mempertajam analisis dan mengambil beberapa
keputusan strategik.37
b. Wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner kepada responden,
yakni pimpinan atau wakilnya dari dinas atau organisasi terkait ketahanan
pangan. Kuesioner dibutuhkan untuk menentukan bobot dan peringkat dari
setiap faktor strategis dan internal, serta penilaian dalam kerangka AHP untuk
penentuan strategi prioritas faktor-faktor, aktor, dan tujuan aktor. Kuesioner
disajikan pada Lampiran 1.
c. Studi kepustakaan diperoleh dan dikumpulkan dengan cara membaca,
mempelajari dan mengutip pendapat dari berbagai sumber buku, tesis, laporan
atau dokumen instansi yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
3.5. Teknik Pengambilan Contoh
Teknik pengambilan contoh dilakukan dengan cara sengaja (Purposive
Sampling). Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa responden yang
bersangkutan memiliki keahlian dan kompeten dibidangnya. Responden yang
dipilih adalah para pengambil keputusan atau orang-orang yang ditunjuk oleh
pimpinan instansi terkait pembangunan ketahanan pangan maupun stakeholder
lain terkait, yaitu: 1) Asisten Daerah Bidang Ekonomi dan Pembangunan, 2)
Ketua Komisi II DPRD, 3) Kepala Bappeda, 4) Kepala Badan Ketahanan Pangan
dan Penyuluhan, 5) Kepala Dinas Kesehatan, 6) Kepala Dinas Pendidikan, 7)
Kepala Kantor Kementerian Agama, 8) Kepala Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, 9) Kepala Dinas Pertanian, 10) Kepala Dinas Koperasi UMKM, 11)
Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana, 12) Ketua
Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan, 13) Kepala Bulog Divisi Regional Jambi,
14) Ketua TP PKK Pokja III dan 15) Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran
Kota Jambi.
38
3.6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.6.1 Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan konsistensi antar
dokumen perencanaan pembangunan ketahanan pangan di Kota Jambi, khususnya
yang terkait langsung dengan pengembangan konsumsi pangan wilayah. Selain
itu, dilakukan pula analisis deskriptif mengenai situasi konsumsi pangan di Kota
Jambi Tahun 2010 berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari Survei Sosial
Ekonomi (Susenas) Maret 2010.
3.6.2 Evaluasi Faktor Eksternal (External Factor Evaluation)
Menurut David (2006), evaluasi faktor eksternal (external factor
evaluation) digunakan untuk mengevaluasi faktor-faktor eksternal dalam
perusahaan/organisasi. Faktor-faktor peluang dan ancaman yang diidentifikasi
dalam penelitian ini akan dievaluasi dengan analisis eksternal, yaitu dengan
menggunakan matriks EFE. Hasil analisis eksternal ini akan menggambarkan
apakah peluang yang ada kemungkinan dapat direspon dengan baik, serta apakah
ancaman yang akan muncul kemungkinan dapat diatasi. Terdapat lima langkah
yang harus dilakukan dalam mengembangkan matriks EFE sebagai berikut
(David, 2006):
a. Mendaftar faktor eksternal kunci sebagaimana diidentifikasi dalam
proses penilaian. Terlebih dahulu didaftar peluang kemudian ancaman.
Dilakukan sekhusus mungkin dengan menggunakan persentase atau rasio
b. Memberi bobot setiap faktor dengan angka 0 (tidak penting) sampai 1
(terpenting). Bobot tersebut menandakan tingkat kepentingan relatif faktor
tersebut. Jumlah seluruh bobot sama dengan 1,0. Pengolahan data
39
dilakukan dengan teknik Delphi untuk mengetahui bobot dari setiap faktor
strategis (Jain, 1997). Perhitungan bobot faktor eksternal dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6. Penentuan Bobot Faktor EksternalFaktor
StrategisTingkat Kepentingan Jumlah
RespondenRata-rata Bobot
1 2 3 4 51 a b c d e F G l2 H m3 I n4 J oN
Jumlah Rata-rata K 1,00Penjelasan:
1...5 = Tingkat kepentingan faktor-faktor strategis 1...N = Faktor-faktor strategis yang digunakan G = {(1 x a) + (2 x b) + (3 x c) + (4 x d) + (5 x e)} : f K = G + H + I + J l = G/K
c. Memberikan peringkat 1 sampai dengan 4 pada tiap faktor eksternal kunci
untuk menunjukkan seberapa efektif strategi yang ada saat ini merespon
faktor tersebut, dimana: 4 adalah respon superior (luar biasa), 3 adalah
respon diatas rata-rata, 2 adalah respon rata-rata dan 1 adalah respon di
bawah rata-rata. Peringkat adalah seberapa efektif organisasi dalam
merespon faktor-faktor eksternal. Dengan demikian, nilainya didasarkan
pada kondisi organisasi. Perhitungan peringkat eksternal dapat dilihat pada
Tabel 7
Tabel 7. Penentuan Peringkat Faktor EksternalFaktor
StrategisBesarnya Nilai Jumlah
RespondenPeringkat
1 2 3 41 p234N
Penjelasan: 1...4 = Besarnya nilai faktor-faktor strategis 1...N = Faktor-faktor strategis yang digunakan p = Modus dari jawaban kolom nilai
40
d. Mengalikan bobot masing-masing faktor dengan peringkat pada tiap faktor
untuk memperoleh skor terbobot (weighted score). Jika hasil yang
diperoleh adalah 1 berarti situasi eksternal sangat tidak baik atau tidak
mampu memanfaatkan peluang yang ada serta tidak mampu mengatasi
ancaman yang ada. Nilai 4 berarti situasi eksternal sangat baik, yaitu
mampu memanfaatkan peluang yang ada;
e. Menjumlahkan semua hasil kali yang ada disemua faktor untuk
mendapatkan skor terbobot total (total weighted score);
f. Dengan mengesampingkan jumlah faktor yang ada, maka total skor
terbobot akan berkisar antara 1 hingga 4. Angka 4 menunjukan bahwa
konsumsi pangan sangat baik, sedangkan angka 1 sebaliknya. Total skor
terbobot rata-rata adalah 2,5;
Tabel 8. Ilustrasi Matriks EFEFaktor Strategis Eksternal Bobot Peringkat Skor terbobot
Peluang 1 .........2……3……
Skala 1-4 Perkalian bobot dan peringkat
Ancaman1 .........2……3……
Skala 1-4 Perkalian bobot dan peringkat
Total 1Sumber: David, 2006.
3.6.3 Evaluasi Faktor Internal (Internal Factor Evaluation)
Evaluasi faktor internal (internal factor evaluation) digunakan untuk
mengetahui faktor-faktor internal perusahaan/organisasi berkaitan dengan
kekuatan dan kelemahan yang dianggap penting (David, 2006). Pada prinsipnya
tahapan kerja pada matriks IFE sama dengan matriks EFE yaitu sebagai berikut:
41
a. Mengindentifikasi dan menelaah secara mendalam terhadap setiap faktor
yang menjadi kekuatan dan kelemahan dari Kota Jambi dalam upaya
pengembangan konsumsi pangan
b. Memberi bobot setiap faktor dengan angka 0 (tidak penting) sampai 1
(terpenting). Bobot tersebut menandakan tingkat kepentingan relatif
faktor tersebut. Jumlah seluruh bobot sama dengan 1,0. Pengolahan data
dilakukan dengan teknik Delphi untuk mengetahui bobot dari setiap
faktor strategis (Jain, 1997). Perhitungan bobot faktor internal dapat
dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Penentuan Bobot Faktor InternalFaktor
StrategisTingkat Kepentingan Jumlah
RespondenRata-rata Bobot
1 2 3 4 51 a b c d e F G l2 H m3 I n4 J oN
Jumlah Rata-rata K 1,00Penjelasan:
1...5 = Tingkat kepentingan faktor-faktor strategis 1...N = Faktor-faktor strategis yang digunakan G = {(1 x a) + (2 x b) + (3 x c) + (4 x d) + (5 x e)} : f K = G + H + I + J l = G/K
c. Memberikan peringkat 1 sampai dengan 4 pada tiap faktor internal,
dimana 4 adalah kekuatan utama, 3 adalah kekuatan kecil, 2 adalah
kelemahan kecil dan 1 adalah kelemahan utama. Untuk lebih jelasnya,
perhitungan peringkat faktor internal dapat dilihat pada Tabel 10.
42
Tabel 10. Perhitungan Peringkat Faktor InternalKekuatan Besarnya Nilai Jumlah
RespondenPeringkat
1 2 3 41. P2.3.4.N
Kelemahan Besarnya Nilai Jumlah Responden
Peringkat
1 2 3 4 P1.2.3.4.N
Penjelasan: 1...4 = Besarnya nilai faktor-faktor kekuatan dan kelemahan 1...N = Faktor-faktor strategis yang digunakan p = Modus dari jawaban kolom nilai
d. Mengalikan bobot masing-masing faktor dengan peringkat pada tiap
faktor untuk memperoleh skor terbobot (weighted score);
e. Menjumlahkan seluruh skor terbobot untuk mendapatkan skor terbobot
total (total weighted score). Total skor terbobot akan berkisar antara 1
hingga 4. Angka 4 menunjukan bahwa pelaksanaan bisnis katekin dan
tanin sangat baik, sedangkan angka 1 sebaliknya. Total skor terbobot
rata-rata adalah 2,5. Total nilai terbobot berada dibawah 2,5
menunjukkan posisi internal lemah, sedang total nilai terbobot yang
berada diatas 2,5 menunjukkan posisi internal yang kuat (David, 2006).
Tabel 11 menyajikan ilustrasi matriks IFE (Internal Factor Evaluation)
yang digunakan dalam penelitian ini.
43
Tabel 11. Ilustrasi Matriks IFEFaktor Strategis Internal Bobot Peringkat Skor terbobotKekuatan1 .........2……3……
Skala 3-4 Perkalian bobot dan peringkat
Kelemahan1 .........2……3……
Skala 1-2 Perkalian bobot dan peringkat
Total 1Sumber: David, 2006
3.6.4 Matriks SWOT (Strengths-Weaknesses-Opportunities-Threats)
Setelah melakukan analisis lingkungan eksternal dan internal maka akan
diperoleh peluang dan ancama sebagai faktor strategis eksternal serta kekuatan
dan kelemahan sebagai faktor strategis internal. Setelah diketahui kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman untuk masing-masing faktor kemudian
dilakukan analisis SWOT.
Dalam mengembangkan alternatif strategi digunakan matriks SWOT
untuk membantu dalam melakukan pencocokkan antar kekuatan dan peluang
(strategi SO), kekuatan dan ancaman (strategi ST), peluang dan kelemahan
(strategi WO) serta kelemahan dan ancaman (strategi WT). Matriks SWOT dapat
dilihat pada Tabel 12. Tahapan yang dilakukan dalam menggunakan matriks
SWOT adalah sebagai berikut (David, 2006):
a. membuat daftar peluang eksternal;
b. membuat daftar ancaman eksternal;
c. membuat daftar kekuatan internal;
d. membuat daftar kelemahan internal;
e. mencocokkan kekuatan internal dan peluang eksternal serta melakukan
pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi SO;
44
f. mencocokkan kelemahan internal dan peluang eksternal serta melakukan
pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi WO;
g. mencocokkan kekuatan internal dan ancaman eksternal serta melakukan
pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi ST; dan
h. mencocokkan kelemahan internal dan ancaman eksternal serta melakukan
pencatatan terhadap hasil dalam kolom strategi WT.
Tabel 12. Contoh Matriks SWOT Faktor Internal
Faktor Eksternal
KEKUATAN (STRENGTH) KELEMAHAN (WEAKNESS)
PELUANG(OPPORTUNITIES)
Strategi S-O (Progresif)
Menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi W-O (Korektif)
Mengatasi kelemahan untuk memanfaatkan peluang
ANCAMAN (THREATS) Strategi S-T (Diversifikasi)
Menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Strategi W-T (Defensif)
Mengatasi kelemahan untuk menghindari ancaman
Sumber : David, 2006
3.6.5 Analisis Analytical Hierarchy Process (AHP)
Analytical Hierarchy Process (AHP) digunakan untuk menetukan alternatif
strategi sesuai dengan faktor penentu, aktor dan tujuan yang ingin dicapai dalam
pengembangan konsumsi pangan di Kota Jambi. Penentuan faktor, aktor dan
tujuan dilakukan melalui kuesioner, sedangkan alternatif strategi dilakukan
dengan analisis SWOT. Berikut ini adalah langkah-langkah dalam metode AHP
(Saaty, 1991):
1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi yang diinginkan
45
2. Membuat struktur hirarki yang diawali dengan tujuan umum, dilanjutkan
dengan subtujuan-subtujuan, kriteria dan kemungkinan alternatif pada
tingkatan kriteria yang paling bawah
3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan
kontribusi relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing
tujuan atau kriteria yang setingkat di atasnya. Perbandingan dilakukan
berdasarkan judgement dari pengambil keputusan dengan menilai tingkat
kepentingan suatu elemen dibandingkan elemen lainnya.
4. Melakukan perbandingan berpasangan, dimulai dari level hierarki paling
atas yang ditujukan untuk memilih kriteria, misalnya X, kemudian diambil
elemen yang akan dibandingkan, missal X1, X2, dan X3. Sehingga, susunan
elemen-elemen yang dibandingkan tersebut akan tampak seperti pada Tabel
13 berikut.
Tabel 13. Contoh Matrik Perbandingan BerpasanganFAKTOR X1 X2 X3
X1 1 2 5X2 1/2 1 ¼X3 1/5 2 1
Penentuan nilai kepentingan relatif antar elemen menggunakan skala
bilangan 1 sampai 9 seperti pada Tabel 2. Apabila suatu elemen
dibandingkan dengan dirinya sendiri maka diberi nilai 1. Jika elemen i
dibandingkan dengan elemen j mendapatkan nilai tertentu, maka elemen j
dibandingkan dengan elemen i merupakan kebalikannya.
5. Menghitung nilai eigen dan menguji konsistensinya, jika tidak konsisten
pengambilan data diulangi
6. Mengulangi langkah 3,4, dan 5 untuk seluruh tingkat hirarki
46
7. Menghitung vektor eigen dari setiap matriks perbandingan berpasangan.
Nilai vektor eigen merupakan bobot setiap elemen. Langkah ini untuk
mensintesis judgement dalam penentuan prioritas elemen-elemen pada
tingkat hirarki terendah sampai pencapaian tujuan.
8. Memeriksa konsistensi hierarki, jika nilainya kurang dari 10 persen maka
penilaian judgement diterima
9. Memeriksa konsistensi hirarki. Jika nilainya lebih dari 10 persen maka
penilaian data judgement harus diperbaiki.
Berikut ini adalah persamaan matematika yang digunakan untuk pengolahan data
AHP (Marimin dan Maghfiroh, 2010).
1. Penghitungan Bobot (Vektor) Prioritas
Vektor prioritas (VP) atau bobot (W) dari setiap elemen dalam satu level
hirarki terhadap elemen tertentu diatasnya dihitung dengan rumus sebagai
berikut:
VP=¿ VE
∑i=1
n
VE
Dimana: VE = vektor eigen = rata-rata geometrik satu baris metrik
VE=¿ n√π j=1n aij
2. Penghitungan Nilai Eigen ( atau VB)
λ iatau VBi=VAVP
Dimana VA = vektor antara
VA = (a ij) (VP)
3. Penghitungan Nilai Eigen Maksimum (maks atau VBmaks)
47
λmaks=∑i=1
n
VBi
n
4. Penghitungan Konsistensi (Ratio Consistency)
Tolak ukur konsistensi dinyatakan oleh nilai Indeks konsistensi (CI) dan
nisbah konsistensi (CR). Keduanya menyatakan konsistensi jawaban
responden yang berpengaruh pada kesahihan hasil. Nilai CI dan CR tidak
seragam dipengaruhi oleh responden dan tingkat kepakarannya.
CI=λmaks−n
n−1
CR=CIRI , bila CR ≤ 10% dinyatakan konsisten
Dimana: λmaks=nilai eigen maksimum
n = jumlah elemen yang diperbandingkan (ukuran matriks)
CR = rasio konsistensi
RI = indeks random
Tabel 14. Nilai Indeks Random (RI)Ukuran Matriks Indeks Random (RI) Ukuran Matriks Indeks Random (RI)
1,2 0,00 9 1,453 0,58 10 1,494 0,90 11 1,515 1,12 12 1,486 1,24 13 1,567 1,32 14 1,578 1,41 15 1,59
Sumber: Oak Ridge Laboratory dalam Maarif dan Tanjung (2003)
5. Matriks Pendapat Gabungan
Matriks pendapat gabungan (g) merupakan matrik baru yang elemen
matriknya (gij) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat
individu (a ij) yang rasio konsistensinya memenuhi persyaratan.
gij=m√π k=1
m a ij
48
Dimana : gij = elemen matriks gabungan pada baris ke-i kolom ke-j
m = jumlah pengolah data
a ij = elemen matriks individu pada baris ke-i kolom ke-j
Hasil pendapat gabungan tersebut kemudian dihitung dengan prosedur
yang sama seperti perhitungan vektor prioritas gabungan. Komponen hierarki
yang memiliki nilai eigen prioritas gabungan tertinggi pada setiap level,
merupakan komponen prioritas pertama. Alternatif strategi prioritas adalah
alternatif strategi yang memiliki eigen vektor prioritas tertinggi. Penyelesaian
perhitungan dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan
untuk mensintesa pengaruh faktor terhadap alternatif strategi dengan
menggunakan Program Expert Choice 2000.
49
DAFTAR PUSTAKA
Analia, Dewi. 2009. Analisis Diversifikasi Konsumsi Pangan Rumahtangga di Sumatera Barat Menuju Pola Pangan Harapan. Program Pascasarjana Universitas Andalas
Badan Ketahanan Pangan. 2011. Direktori Pengembangan Konsumsi Pangan. Jakarta: Badan Ketahanan Pangan.
Baliwati, Yayuk Farida. 2007. Analisis Ketersediaan Pangan Wilayah Berdasarkan Neraca Bahan Makanan (NBM) dan Pola Pangan Harapan. Kerjasama Bagian Bina Ketahanan Pangan Biro Bina Produksi Setda Provinsi Jawa Barat dengan Tim Bagian Kebijakan Pangan Departemen gizi Mayarakat FEMA IPB, Bogor.
Baliwati, Yayuk Farida. 2011. Materi Pelatihan Kebijakan Strategis Ketahanan Pangan Wilayah Berdasaarkan Ketersediaan Pangan Wilayah. Diperbanyak oleh MWA Consultant, Bogor.
David, Fred R. 2006. Manajemen Strategis Edisi 10. Penerbit Salemba Empat, Jakarta.
Departemen Kesehatan. 1996. Panduan 13 Pesan Dasar Gizi Seimbang. Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat, Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta.
Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2005-2009. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.
Dewan Ketahanan Pangan. 2011. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan 2010-2014. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta.
Firman Noer TA. 2002. Strategi Pengembangan Agribisnis Sapi Potong di Kawasan Sentra Produksi Koto Hilalang Kabupaten Agam Propinsi Sumatera Barat. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Program Pascasarjana IPB
Frankenberger, TR. 1992. Indicators and Data Collection Methods for Assessing Household Food Security di dalam: Maxwell S, Frankenberger TR. Household Food Security: Concepts, Indocators, Measurements, A Technical Review. UNICEF-IFAD
Hardinsyah dan Drajat Martianto. 1992. Gizi Terapan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor
50
Hardinsyah, Dodik B., Retnaningsih, Herawati, Retno W. 2002. Analisis Kebutuhan Konsumsi Pangan. Pusat Studi Kebijakan pangan dan Gizi IPB dan Pusat Pengembangan Konsumsi Pangan Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian
Hardinsyah, Drajat Martianto. 1989. Menaksir Kecukupan Energi dan Protein serta Penilaian Mutu Gizi Konsumsi Pangan. Wirasari, Jakarta.
Hardinsyah, Yayuk FB, Martianto D., Handewi SR, Agus W., dan Subiyakto. 2001. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan Pola Pangan Harapan. Pusat Studi Kebijakan Pangan dan gizi IPB, Lembaga Penelitian IPB dan Pusat Pengembangan Ketersediaan pangan Departemen Pertanian
Harper, I. J. , B. J. Draton & J. A. Driskel. 1988. Pangan, Gizi dan Pertanian (Suhardjo, penerjemah). Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Hutabarat, J dan M. Huseini. 2006. Operasionalisasi Strategi. PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Kahraman, Cengiz, Nihan Etin Demirel, Tufan Demirel. 2007. Prioritization of e-Government Strategies using a SWOT-AHP Analysis: The Case of Turkey. European Journal of Information Systems 16.3 (Jul 2007): 284-298
Khomsan, Ali. 2002. Pangan dan Gizi dalam Dimensi Kesejahteraan. Jurusan GMSK Fakultas Pertanian IPB, Bogor.
Maarif, M.S. dan Hendri T. 2003. Teknik-teknik Kuantitatif Untuk Manajemen. PT.Grasindo, Jakarta
Mahfi, Tabrani. 2009. Analisis Situasi Pangan dan Gizi untuk Perumusan Kebijakan Operasional Ketahanan Pangan dan Gizi Kabupaten Lampung Barat. Sekolah Pascasarjana IPB, Bogor.
Mahmuri. 2005. Analisis Situasi dan Kebijakan Ketahanan Pangan di Kabpaten administrasi Kepulauan Seribu. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor
Mahmuri. 2005. Analisis Situasi dan Kebijakan Ketahanan Pangan di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis IPB
Marimin dan Maghfiroh, Nurul. 2010. Aplikasi Teknik Pengambilan Keputusan dalam Manajemen Rantai Pasok. IPB Press, Bogor
51
Martianto, Drajat dan Ariani. 2004. Analisis Konsumsi Pangan Rumahtangga. Prosiding Widyakarya Nasional pangan dan Gizi VIII. 17-19 Mei 2004. LIPI, Jakarta
Martianto, Drajat, Yayuk Farida Baliwati, Dahrulsyah, dan Handewi. 2007. Laporan Akhir koordinasi Kebijakan Solusi Sistemik Masalah Ketahanan Pangan dalam Upaya Perumusan Kebijakan Pengembangan Penganekaragaman Pangan; Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, Jakarta.
Pearce II, J.A. dan R.B. Robinson, 2003. Strategic Management, Formulation, Implementation, and Control. Eight Edition. Irwin Mc Graw-Hall.
Peraturan Kepala Badan Ketahanan Pangan. 2011. Peraturan Kepala BKP No 006/Kpts/OT.140./K/01/2011. Program Ketahanan Pangan Tahun 2011.
Peraturan Menteri Pertanian. 2010. Peraturan Menteri Pertanian No 65/Permentan/OT.140/12/2010. Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal Bidang Ketahanan Pangan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Permadi, B. 1992. AHP. Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi, Universitas Indonesia.
Rangkuti, Freddy. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Republik Indonesia. Undang-undang No 7 Tahun 1996 tentang Pangan.
Rochman, Nurul Taufiq, E. Gumbira Sa’id, Arief Daryanto, Nunung Nuryartono. 2011. Analysis of Indonesian Agroindustry Competitiveness in Nanotechnology Development Perspective Using SWOT-AHP Method. International Journal of Business and Management 6.8 (Aug 2011): 235-244
Saaty, Thomas L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. PT Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta
Sukari. 2009. Strategi Pengembangan Kebijakan dan Program Ketahanan Pangan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis IPB
Suryadi, Kadarsah dan Ali Ramdhani. 1998. Sistem Pendukung Keputusan: Suatu Wacana Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan. PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
52
Umar, Husein. 2008. Strategic Management in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Wheelen, Thomas L dan J. David Hunger. 2010. Strategic Management and Business Policy Twelfth Edition. Prentice Hall, New Jersey.
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. LIPI, Jakarta
53