Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
POLA KOMUNIKASI VOLUNTEER KOMUNITAS GRIYA
SCHIZOFREN SOLO
(Studi Kasus Pola Komunikasi antara Volunteer Komunitas Griya Schizofren
Solo dan Orang dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli Surakarta
dalam Meningkatkan Kerohanian Islam Tahun 2017)
Disusun Oleh:
Moh Luthfi Syamsudin
D0213058
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
Program Studi Ilmu Komunikasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
POLA KOMUNIKASI VOLUNTEER KOMUNITAS GRIYA
SCHIZOFREN SOLO
(Studi Kasus Pola Komunikasi antara Volunteer Komunitas Griya Schizofren
Solo dan Orang dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli Surakarta
dalam Meningkatkan Kerohanian Islam Tahun 2017)
Moh Luthfi Syamsudin
Sri Hastjarjo
Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractGriya Schizofren Solo community is a youth community in Solo City that
cares for people with schizophrenia (ODS). An activity of this community is Islamic spirituality therapy which accompany ODS to recite Iqro or the Qur'an and perform the prayer. Schizophrenia disorder experienced by ODS triggers the emergence of certain communication patterns performed by the volunteers when communicate to ODS, especially during the Islamic spirituality session. This research was a qualitative research using case study method. The sampling technique used purposive sampling technique with homogeneous samples. Data collection techniques of this study were observation, interview and documentation. This analytical technique of this research was pattern matching analysis technique. The results of this study indicate that the communication patterns of the volunteers of Griya Schizofren Solo community are related to accommodation of communication during the Islamic spirituality therapy. Verbal communications that are accommodated by the volunteers include language, word choice and sentence structure, while non-verbal communications are accommodated including dialect, vocal intensity, speech rate, eye contact, physical contact, applause, facial expression, nodding and hand movements. Volunteer communication resistance occurs when schizophrenia disorder of ODS were relapse. ODS were more difficult to coordinate due to lack of response and loss of self-awareness of ODS.
Keywords: Communication Patterns, Communication Accommodation, People with Schizophrenia
1
Pendahuluan
Skizofrenia adalah kelainan mental kompleks yang dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan biokimia dalam otak manusia. Orang dengan Skizofrenia
(ODS) akan mudah mengalami delusi dan halusinasi. Mereka juga akan kesulitan
dalam proses berpikir, berkomunikasi dan cenderung menarik diri dari lingkungan
sosialnya. Seseorang yang mengalami Skizofrenia sulit untuk membedakan
realitas dan halusinasi (Schizophrenia Society of Canada, 2003:14). Data hasil
Riset Kesehatan Dasar Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menunjukkan
prevalensi orang dengan gangguan jiwa berat, seperti Skizofrenia di Indonesia
mencapai 1,7 per 1000 pada tahun 2013. Prevalensi tersebut setara dengan
400.000 orang. Provinsi Jawa Tengah berada di urutan kelima dengan jumlah
prevalensi gangguan jiwa berat terbesar se-Indonesia (Litbang Kemenkes RI,
2013). Salah satu kota di Jawa Tengah yang banyak memiliki orang dengan
gangguan jiwa berat adalah Kota Surakarta. Pada tahun 2000, penderita gangguan
jiwa di Kota Surakarta mencapai prosentase 16% dari jumlah penduduk
(Tempo.co, 12 Mei 2005).
Prevalensi yang begitu tinggi tersebut tidak diimbangi dengan jumlah
psikiater yang memadai. Jumlah psikiater di Indonesia hingga tahun 2014 hanya
sekitar 800 orang (Kompas.com, 17 September 2014). Fakta tersebut seharusnya
memicu masyarakat Indonesia untuk memiliki rasa peduli dan kepekaan yang
tinggi terhadap ODGJ atau ODS. Akan tetapi, kasus diskriminasi dan stigmatisasi
terhadap ODS masih banyak ditemukan di Indonesia. Salah satu bentuk
diskriminasi yang dilakukan adalah memasung orang-orang pengidap Skizofrenia.
Proporsi rumah tangga yang memiliki anggota rumah tangga dengan gangguan
jiwa berat dan pernah dipasung adalah 14,3%. Proporsi untuk provinsi Jawa
Tengah sendiri adalah 7,3% (Litbang Kemenkes RI, 2013).
Jumlah ODS yang semakin meningkat, terbatasnya jumlah psikiater dan
meningkatnya kasus diskriminasi, memicu munculnya Komunitas Griya
Schizofren Solo. Griya Schizofren Solo adalah komunitas pemuda di Kota
Surakarta yang peduli dengan ODS. Salah satu kegiatan Komunitas Griya
2
Schizofren Solo adalah melakukan terapi kerohanian Islam kepada ODS. Terapi
kerohanian Islam adalah terapi mendampingi ODS mengaji Iqro dan Alquran serta
melaksanakan salat.
Gangguan skizofrenia yang dimiliki oleh ODS menyebabkan terjadinya
hambatan komunikasi antara volunteer dan ODS. Hambatan komunikasi tersebut,
khususnya hambatan psikologis menyebabkan volunteer komunitas ini memiliki
pola komunikasi tertentu saat mendampingi ODS di sesi kerohanian Islam. Pola
komunikasi tersebut berhubungan dengan penyesuaian bentuk komunikasi verbal
dan non-verbal. Penyesuaian ini dilakukan agar pesan pendampingan mengaji dan
salat dalam rangka meningkatkan kerohanian Islam dapat tersampaikan dengan
baik pada ODS.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pola komunikasi antara volunteer Komunitas Griya Schizofren
Solo dan Orang dengan Skizofrenia (ODS) di Griya PMI Peduli Surakarta
dalam meningkatkan kerohanian Islam tahun 2017?
2. Apa saja hambatan volunteer sebagai komunikator dalam berkomunikasi
dengan Orang dengan Skizofrenia (ODS)?
Landasan Teori
1. Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal menjadi salah satu level komunikasi yang
penting dalam kehidupan manusia. Mayoritas interaksi sosial yang ada di
masyarakat dilakukan pada level komunikasi tersebut. Komunikasi
interpersonal tidak hanya sebatas berapa jumlah orang yang berkomunikasi
atau di mana mereka berkomunikasi, namun berkaitan erat dengan hubungan
(relationship) dan sesuatu yang dekat (intimate) yang terjalin antar individu
yang bersangkutan. Kedekatan antar individu dalam komunikasi interpersonal
memengaruhi bagaimana individu tersebut memandang dan menerima
3
individu yang lain. Hal tersebut akan memengaruhi bagaimana mereka
berkomunikasi satu sama lain (Wood, 2016:12).
Wood (2016:14-19) juga menjelaskan tentang fitur/karakteristik
komunikasi interpersonal, yaitu sebagai berikut:
a. Selektif
Manusia tidak berkomunikasi secara ‘intimate’ pada semua orang yang
mereka temui, namun mereka hanya berkomunikasi secara
interpersonal dengan orang-orang tertentu.
b. Sistemik
Komunikasi interpersonal bersifat sistemik, artinya komunikasi yang
terjadi selalu memiliki konteks tertentu, menyesuaikan dengan
komunikan. Konteks dapat berkaitan dengan budaya, sosio-ekonomi,
hubungan personal dan lain sebagainya. Komunikasi interpersonal juga
memiliki sistem, termasuk di dalamnya noise atau hambatan.
Hambatan dalam komunikasi interpersonal secara umum dibagi
menjadi dua, yaitu hambatan fisik dan psikologis.
c. Proses
Komunikasi interpersonal adalah sebuah komunikasi yang memiliki
proses berkelanjutan. Semakin tinggi frekuensi dan intensitas
komunikasi yang dilakukan, maka hubungan yang terjalin pun akan
semakin dekat.
d. Pengetahuan personal
Komunikasi interpersonal berhubungan dengan bagaimana antar
peserta komunikasi dapat saling mengetahui dan memahami secara
personal tentang keunikan pikiran dan perasaan masing-masing.
e. Pembentukan makna
Inti dari komunikasi interpersonal adalah berbagi makna di antara
individu. Watzlawick, Beavin dan Jackson (dalam Wood, 2016:17)
membagi dua tingkat pemaknaan dalam komunikasi interpersonal,
yaitu makna konten (content meaning) dan makna hubungan
(relationship meaning)
4
2. Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal berkaitan dengan hubungan antar individu
yang terjalin karena adanya aktivitas komunikasi interpersonal (Devito,
2013:247). Dalam membangun sebuah hubungan interpersonal, diperlukan
komunikasi yang baik dari pihak-pihak yang terlibat. Semakin baik
komunikasi yang dilakukan, maka semakin intim hubungan yang akan terjalin
(Canary dkk dalam Devito, 2013:247). Untuk membangun sebuah hubungan
interpersonal yang baik, komunikator dan komunikan perlu memperhatikan
bagaimana mereka berkomunikasi. Cara mereka berkomunikasi akan
berdampak pada hubungan interpersonal mereka.
Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berkomunikasi interpersonal
salah satunya adalah bersikap pro-sosial, seperti ramah, sopan dan tidak
mengkritik. Selain itu, kita juga harus menyeimbangkan topik pembicaraan
ringan dan serius, terbuka dalam mengungkapkan ide, saran, gagasan dan
perasaan, menghabiskan waktu bersama dan bersikap empati pada lawan
bicara saat berkomunikasi interpersonal (Devito, 2013:247-248).
3. Teori Akomodasi Komunikasi
Teori ini menjelaskan bahwa manusia dapat mengubah atau
menyesuaikan pola komunikasinya saat berkomunikasi dengan orang lain,
yang memiliki perbedaan sosial, budaya ataupun psikologis. Bahasa verbal
dan nonverbal yang digunakan dapat berubah tergantung kepada siapa
manusia berkomunikasi. Manusia dapat mengubah dialek, kata-kata, identitas
sosial dan kepribadian mereka sementara waktu untuk menyesuaikan kondisi
sosio-psikologis dari lawan bicaranya saat berkomunikasi interpersonal (Giles
& Powesland dalam Budyatna, 2015:160).
Secara umum, teori akomodasi komunikasi terbagi menjadi dua, yaitu
konvergensi dan divergensi. Dalam konvergensi, pihak komunikator
cenderung menyamakan dialek, bahasa, gesture dan cara berkomunikasi dari
pihak komunikannya. Dalam konvergensi, komunikator akan menyesuaikan
kecepatan bicara (speech rate), susunan kalimat (utterance length), frekuensi
jeda, gesture, postur, keterbukaan, volume suara (vocal intensity), lelucon,
5
anggukan kepala, densitas informasi dan kecepatan merespon (response
latency). Sedangkan dalam divergensi, komunikator cenderung menambah
jarak (gap) perbedaan sosio-psikologisnya dengan komunikan. (Giles,
Coupland dan Coupland, 1991:8).
Penyesuaian tersebut dilakukan dengan alasan bahwa seseorang akan
merasa lebih suka dan nyaman, jika berkomunikasi dengan orang yang
memiliki banyak kesamaan dengannya, terutama kesamaan dalam hal bahasa,
dialek, gesture dan sosio-psikologis. Konvergensi dalam komunikasi
interpersonal juga mendorong komunikan untuk menerima komunikator dan
mempersepsikan positif komunikator. Komunikator lebih mudah diterima
secara sosial oleh komunikan, jika memiliki banyak kesamaan dengannya
(Giles, Coupland dan Coupland, 1991:18-19).
4. Atraksi Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal tidak terjadi begitu saja tanpa adanya
ketertarikan dari kedua belah pihak untuk berkomunikasi. Manusia biasanya
menjalin hubungan dengan manusia lainnya karena dasar ketertarikan. Dalam
teori atraksi dijelaskan bahwa seseorang dapat berkomunikasi dengan orang
lain karena faktor-faktor tertentu, antara lain: kesamaan (similarity) dalam
kewarganegaraan, ras, kemampuan, karakteristik fisik, kecerdasan ataupun
perilaku (Pomptakpan dalam Devito, 2013:239); Kedekatan (proximity)
secara fisik; Reinforcement yang berkaitan dengan kecenderungan
ketertarikan dengan orang lain yang memberi penghargaan (rewards) kepada
kita dan sebaliknya; Ketertarikan fisik dan kepribadian (Monin dalam Devito,
2013:240); Status pendidikan dan sosio-ekonomi; dan Reciprocity of liking
yang berkaitan dengan kecenderungan ketertarikan pada orang yang dianggap
menyukainya (Devito, 2013:240).
5. Skizofrenia
Skizofrenia adalah kelainan mental kompleks yang penyebabnya
dipengaruhi oleh ketidakseimbangan biokimia dalam otak manusia. Manusia
yang mengalami Skizofrenia akan mudah mengalami delusi dan halusinasi.
Mereka juga akan kesulitan dalam proses berpikir, berkomunikasi dan
6
cenderung menarik diri dari lingkungan sosialnya. Seseorang yang
mengalami Skizofrenia biasanya sulit untuk membedakan realitas dan
halusinasi (Schizophrenia Society of Canada, 2003:14).
Secara umum, ODS mengalami dua gejala, yaitu gejala positif dan
gejala negatif. Gejala positif berkaitan dengan kelainan otak yang
berhubungan dengan gangguan berbicara atau menulis, memiliki keyakinan
yang salah terhadap realita (delusi), mengalami halusinasi seperti melihat atau
mendengar sesuatu yang sebenarnya tidak ada, berkurangnya intensitas atau
variasi respon emosional dan mengalami gangguan pada sikap motorik
(Barbato, 1998:2). Sedangkan, gejala negatif berkaitan dengan berkurangnya
perasaan senang dalam menjalani kehidupan, kesulitan memulai dan
melakukan aktivitas rutin dan berkurangnya aktivitas komunikasi dengan
orang lain (National Institute of Mental Health, 2015:4).
Gejala gangguan sistem komunikasi pada ODS dapat dibagi menjadi
dua, yaitu gangguan semantik dan pragmatik. Gangguan semantik berdampak
pada kurangnya pengetahuan ODS terhadap makna dari kata, frase atau
kalimat. Selain itu, ODS juga sulit memahami konsep, label, dan kategori
bahasa (Zissis, 2015:8). Sedangkan, gangguan pragmatik berkaitan dengan
hubungan antara bahasa dan konteks. ODS sering memberikan respon yang
tidak sesuai dengan topik pembicaraan (Covington dkk., 2005:92).
Metodologi
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan
metode studi kasus. Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling dengan metode homogeneous samples, yaitu memilih
lima volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo yang memiliki kesamaan dalam
hal karakteristik dan pengalaman mendampingi ODS mengaji dan salat. Teknik
pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik
analisis yang digunakan adalah teknik analisis penjodohan pola.
7
Sajian dan Analisis Data
Komunikasi antara volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo dengan
ODS dapat terjadi karena pola komunikasi tertentu. Pola komunikasi tersebut
berkaitan dengan akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh volunteer. Dalam
kasus ini, volunteer melakukan konvergensi akomodasi komunikasi karena
volunteer mengurangi kesenjangan kondisi sosio-psikologis antara volunteer
dengan ODS dan berusaha untuk memahami bagaimana ODS mempersepsikan
perkataan orang lain. Menurut Giles, Coupland dan Coupland (1991:18-19),
akodomasi komunikasi dilakukan untuk mempermudah komunikasi interpersonal
karena semakin volunteer memiliki banyak kesamaan dengan ODS, semakin
mudah ODS menerima volunteer secara sosial.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat dua bentuk
akomodasi komunikasi yang dilakukan oleh volunteer Komunitas Griya
Schizofren Solo saat berkomunikasi dengan ODS, yaitu komunikasi verbal dan
komunikasi non-verbal.
1. Pola Komunikasi
a. Komunikasi Verbal
Volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo sering menggunakan
Bahasa Jawa saat berkomunikasi dengan ODS di sesi kerohanian Islam
karena mayoritas ODS berasal dari Jawa. Akan tetapi, terkadang volunteer
juga terlihat menggunakan Bahasa Indonesia. Hal tersebut seperti yang
diungkapkan oleh Nimas, salah seorang volunteer.
“.....karena ada beberapa pasien yang dia itu orang Jawa, jadi kayak aku harus menyesuaikan bahasanya.... Cuman kalau dilihat keseluruhan, mereka banyak yang bisa berkomunikasi secara biasa (Bahasa Indonesia)” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).
Bahasa Jawa yang digunakan adalah Bahasa Jawa Krama Alus.
Menurutnya, Bahasa Jawa Krama Alus lebih pantas diucapkan dengan
ODS, khususnya ODS yang telah lanjut usia. Arum menyatakan
penggunaan Bahasa Jawa Krama Alus saat berkomunikasi dengan ODS
8
membuat ODS merasa lebih dihargai. Dalam kaidah penuturan Bahasa
Jawa, Bahasa Krama Alus atau Krama Inggil memang bermakna
menyatakan nilai hormat pada lawan bicara (Ekowardono dkk, 1993:8).
“Kalau aku ngerasanya, kalau misal orang Jawa, terus apalagi dia udah sepuh, itu beliau lebih enak diajak ngomong Krama karena beliau merasa dihargai gitu. Jadi kayak ngajeni, “oh ya, oh iya,” kayak gitu. Lebih ke situ aja sih, makanya” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017)
Tidak hanya bahasa, volunteer komunitas ini juga mengkomodasi
pilihan kata. Memilih kata yang sesuai saat berkomunikasi dengan orang
lain sangatlah penting karena pemahaman kosakata tiap individu berbeda-
beda. Ada individu yang sangat terbatas kosakatanya, ada juga individu
yang sangat “kaya” kosakatanya (Keraf, 2007:23). Pilihan kata yang
digunakan volunteer saat mendampingi ODS adalah pilihan kata
percakapan sehari-hari. Volunteer biasanya menganggap ODS seperti
teman lama yang sudah akrab, sehingga pilihan kata yang digunakan
tergolong kata-kata santai.
“Anggaplah kita itu sok kenal sama mereka dan kita udah deket sama mereka. Kalau aku gitu sih biasanya. ‘Ayo pak ndang shalat, ayo bu...nganu...shalat! Piye ora gelem shalat wong wis maghrib?,’ kayak gitu biasanya” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017).
Kata-kata ajakan seperti “ayo,” “yuk,” dan “hayo” juga digunakan
volunteer saat berkomunikasi dengan ODS di sesi kerohanian Islam. Salah
satu volunteer, Arum terlihat sering menggunakan kata “ayo” selama sesi
kerohanian Islam. Dalam sebuah sesi kerohanian Islam, Arum terlihat
mengucapkan kata-kata “ayo bu ngaji!” “Ih, ikutan ngaji ayo bu!” (hasil
observasi pada Kamis, 5 Oktober 2017). Terlihat bahwa kata ajakan “ayo”
digunakan Arum untuk menarik simpati dan ketertarikan ODS mengikuti
kegiatan mengaji.
9
Volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo juga menghindari
penggunaan kata-kata larangan yang bermakna negatif. Volunteer
mengganti kata-kata larangan dengan kata-kata bermakna positif. Gilar,
salah satu volunteer yang terlibat dalam kerohanian Islam menyatakan
bahwa ia sering mengganti kalimat larangan dengan kalimat positif.
“Contoh, ini waktunya shalat ya, cuman ada yang memang belum shalat. Kamu harusnya bukan ‘kamu harusnya shalat,’ atau ‘kamu kenapa tidak shalat?’ Cuman kita sampaikan bahwasannya, ‘yuk kita udah waktunya shalat nih’ ” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).
Pilihan kata lainnya yang digunakan adalah kata-kata lelucon atau
humor. Lelucon dapat menjadi terapi untuk menghilangkan stres lawan
bicara (Ristica, 2015:90). Beberapa volunteer menyisipkan lelucon saat
mendampingi ODS mengaji. ODS terkadang menanggapi lelucon
volunteer dengan memberikan umpan balik (feedback) berupa kalimat
yang sama seperti yang diucapkan oleh volunteer. Arum adalah salah satu
volunteer yang terlihat sering menyisipkan kata-kata lelucon pada ODS
(hasil observasi pada Kamis, 5 Oktober 2017).
“Terus kadang aku yang dibalikin. ‘Hi... kowe rung adus yo mbak?” kayak gitu. Jadi kadang nimpalin mereka itu, gitu...kalau udah sering-sering diajakin” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017).
Dari segi susunan kalimat, volunteer komunitas ini terlihat
menggunakan kalimat yang pendek, tunggal dan jelas. Kalimat yang
diucapkan volunteer terbatas pada pola kalimat dasar S-P-O dan S-P-O-K.
Saat ODS salah membaca ayat-ayat di Iqro atau Alquran, volunteer secara
langsung membenarkan bacaan ODS dengan mencontohkan cara membaca
yang benar.
“...ketika dia salah melafalkan ‘miu wara ihim’ terus dia salah ‘mim bak di,’ langsung aja kita sambung ‘miuuu waraaa ihiiiim,’ seperti itu. ......kalau untuk benar atau tidaknya, setidaknya mereka
10
itu lebih paham ketika dicontohkan ya, bukan ini bener atau salah karena mereka pun terkadang juga nggak ngerti ini tuh bener atau salah, gitu” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).
Susunan kalimat yang diucapkan volunteer saat sesi kerohanian
Islam hanya sebatas satu kalimat per percakapan dan satu kalimat itu
hanya terdiri dari dua hingga lima kata. Menurut Sofi, salah satu volunteer,
ODS perlu distimulus untuk mengucapkan kalimat yang lebih panjang
dengan memulai percakapan yang terdiri dari satu atau dua kata terlebih
dahulu. Kemampuan volunteer untuk beradaptasi dengan pesan-pesan
yang disampaikan ODS dengan memperhitungkan karakteristik ODS
terbukti dapat menjadi terapi kesehatan bagi pasien dalam pelayanan
kesehatan (Kline dan Ceropski dalam Giles, Coupland & Coupland,
1991:3).
“Mungkin kita lihat juga ODS-nya, sih. Kalau kan memang ada yang satu kata dua kata baru mereka bisa nyaut gitu. Ada yang...ada beberapa yang tiga bahkan lima, bahkan udah satu kalimat full itu bisa mereka serap gitu. Tapi kalau aku pribadi biasanya aku tiga (kata)” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).
b. Komunikasi Non-verbal
Selain komunikasi verbal, volunteer Komunitas Griya Schizofren
Solo juga menggunakan bentuk komunikasi non-verbal saat sesi
kerohanian Islam. Salah satu akomodasi komunikasi non-verbal yang
dilakukan adalah akomodasi dialek. Menurut Giles, Coupland dan
Coupland (1991:6), akomodasi komunikasi memang tidak hanya
memperhatikan bahasa yang digunakan, namun juga dialek. Semakin sama
atau mirip bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunikator, maka
akan semakin besar kemungkinan diterima secara sosial oleh
komunikannya.
Saat mendampingi ODS mengaji dan shalat dalam sesi kerohanian
Islam, volunteer komunitas ini terdengar menggunakan dialek Solo. Dialek 11
ini terdengar diucapkan oleh volunteer, misalnya Arum saat mendampingi
ODS mengaji. Terdengar beberapa kata khas Solo yang diucapkan oleh
Arum, seperti “de’e,” dan “tak ajari” (hasil observasi pada Kamis, 5
Oktober 2017).
“Kalau untuk dialek dalam komunikasi yang saya sampaikan, itu saya gunakan dialek Solo ya karena memang saya asli di sini dan in sya Allah itu mudah dipahami oleh ODS-ODS” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).
Dari segi volume suara, volunteer komunitas ini menggunakan
volume suara rendah saat mendampingi satu ODS dengan jarak dekat dan
menggunakan volume suara tinggi saat mendampingi lebih dari satu ODS
dengan jarak yang jauh. Jika mengacu pada konsep zona prosemik dari
Hall (dalam West dan Turner, 2008:155-157), volunteer menggunakan
volume suara rendah saat mendampingi satu ODS pada jarak antara jarak
intim (0-46 cm) dan jarak personal (46 cm-1,2 m). Sedangkan, volunteer
menggunakan volume suara tinggi saat mendampingi lebih dari satu ODS
pada jarak antara jarak sosial (1,2-3,6 m) dan jarak publik (lebih dari 3,7
m).
“Kalau saya nih sama ODS-nya duduknya itu deketan, saya nggak perlu dengan suara yang tinggi.....” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).
“Mungkin lebih ke ini kali ya, nadanya harus keras, lebih ke cheerful, lebih ke ceria karena kita pengen ngebangkitin atau ngebawa suasana ceria tuh nular ke mereka kayak gitu” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).
Satu hal pasti yang diakomodasi volunteer adalah intonasi
perkacapan. Saat menggunakan volume suara rendah atau tinggi, volunteer
tetap menggunakan intonasi ceria. Dengan meninggikan volume suara di
akhir kalimat membuat ucapan terdengar lebih ceria, sehingga kegiatan
mengaji yang sebenarnya merupakan kegiatan yang serius dapat menjadi
kegiatan yang menyenangkan. Di bawah ini adalah salah satu contoh 12
kalimat berintonasi ceria yang diucapkan oleh volunteer. Tanda
menjelaskan intonasi yang datar, sedangkan tanda menjelaskan
intonasi yang tinggi.
“Halo ibu-ibu? Ini udah makan atau belum? Eh tadi siapa yang siang minum obat? Angkat tangan!” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).
Menyesuaikan kecepatan bicara juga dilakukan oleh volunteer
komunitas ini. Dengan mengakomodasi kecepatan bicara, komunikator
dapat memancing persetujuan dari komunikannya untuk mencapai
efisiensi komunikasi (Giles dkk. dalam West dan Turner, 2008: 217).
Volunteer menyesuaikan kecepatan bicara yang mampu dipahami oleh
ODS. Dalam hal ini, ODS lebih memahami kecepatan bicara yang lambat
dengan memberi jeda setiap kalimat yang diucapkan.
“....ketika dihadapkan dengan ODS, itu saya sebisa mungkin ngomong dengan lambat agar kemudian ODS bisa menangkap apa yang saya sampaikan karena memang rata-rata daya tangkap mereka itu kurang begitu cepatlah untuk menangkap kata-kata yang cepet....saya ubah cara komunikasi saya menjadi yang agak diberi jeda” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).
Volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo juga menjaga kontak
mata saat berkomunikasi dengan ODS. Kontak mata dilakukan agar ODS
lebih tertarik untuk berkomunikasi dengan volunteer. Bertambahnya
ketertarikan tersebut mempermudah jalannya komunikasi antara volunteer
dan ODS saat sesi kerohanian Islam. Kontak mata adalah isyarat yang
dapat berkaitan erat dengan sifat empati manusia (Junaini, 2011:34).
Kontak mata juga menunjukan bahwa komunikator menaruh perhatian
kepada komunikannya (Rustan dan Hakki, 2017:91).
“......kita ngobrolnya sambil ngapain itu mereka nanti malah nggak interest kayak gitu. Jadi kalau gesture tertentu nggak ada, cuma sebisa mungkin kontak kita, entah itu kontak mata.....biar mereka
13
juga mau diajak interaksi” (wawancara dengan Nimaswari pada Selasa, 13 Juni 2017).Selain kontak mata, volunteer Komunitas Schizofren Solo juga
melakukan kontak fisik. Kontak fisik ini memiliki makna untuk
meningkatkan kedekatan hubungan interpersonal dan meningkatkan
perasaan nyaman bagi ODS. Semakin dekat jarak antara dua pihak yang
berkomunikasi adalah salah satu tanda bahwa kedua pihak tersebut
memiliki hubungan yang sangat dekat atau intim (West dan Turner,
2008:155-157).
Kontak fisik yang dilakukan berupa salaman. Salaman biasanya
dilakukan oleh volunteer saat awal bertemu dengan ODS di Griya PMI
Peduli Surakarta. Pada ODS yang sudah lansia, volunteer melakukan
kontak fisik yang berbeda dengan mencium tangan ODS.
“Mungkin ini kali ya, diawal kalau pas lagi kita ketemu itu salaman kan. Itu kan ketika kita salaman, itu mereka berarti sedikit menaruh kepercayaan sama kita....Ada yang karena udah tua jadi kita yang cium tangan” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).
Masih terdapat beberapa contoh kontak fisik lainnya yang
dilakukan volunteer saat berkomunikasi dengan ODS, namun bentuk
kontak fisik tersebut hanya cocok untuk beberapa pasien. Kontak fisik
yang dilakukan adalah mencium pipi kanan dan kiri serta memeluk ODS.
Nimas menyatakan sering mencium pipi kanan dan kiri serta memeluk
salah satu pasien yang bernama Iin.
“Dia (Mbak Iin) kalau udah deket sama volunteer pasti bakal dipeluk terus. Dan itu tanda dia trust, dia percaya, dia kenal sama kita” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).
Bentuk komunikasi non-verbal selanjutnya yang dilakukan
volunteer adalah tepuk tangan. Volunteer komunitas ini, khususnya Nimas
sering mengajak ODS bertepuk tangan. Menurut Nimas, ODS sangat suka
14
jika diajak tepuk tangan. Nimas biasanya meminta ODS untuk bertepuk
tangan saat ODS dapat membaca Iqro atau Alquran dengan benar.
“Ayo tepuk tangan...! Mereka seneng banget kalau disuruh tepuk tangan” (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).
Lebih lanjut, Nimas menyatakan tepuk tangan yang dimaksud
seperti layaknya mengajak anak kecil berkomunikasi. Nimas meminta
ODS untuk bertepuk tangan dengan intonasi yang ceria. Nimas biasanya
mengajak semua ODS untuk bertepuk tangan saat mereka benar dalam
melafalkan surat-surat pendek dalam sesi kerohanian Islam.
“Jadi kayak ngajakin anak kecil berkomunikasi lagi. ‘Terus, ayo tepuk tangan semuanya! Tepuk tangan!’ gitu (wawancara dengan Nimas pada Selasa, 13 Juni 2017).
Kelima volunteer yang terlibat dalam kegiatan kerohanian Islam
terlihat dan menyatakan lebih sering menampilkan mimik wajah ceria
selama mendampingi ODS mengaji. Mereka menyatakan lebih sering
menampilkan mimik wajah tersenyum daripada mimik wajah serius.
Terlihat ODS yang didampingi mampu melafalkan huruf hijaiyah seperti
yang dicontohkan Sofi (hasil observasi pada Kamis, 5 Oktober 2017).
Dengan menampilkan senyuman, lawan bicara mendapatkan kesan positif
dari komunikator dan mempengaruhi lawan bicara untuk untuk terus
berkomunikasi dengan komunikator (Vrugt dalam Junaini, 2011:45).
“Waduh, sesi kerohanian saya biasanya lebih banyak tersenyum ya” (wawancara dengan Gilar pada Sabtu, 12 Agustus 2017).
“Kalau saya lebih ke yang senyum terus sih karena kalau serius saya juga nggak bisa. Saya begini aja, mukanya senyum-senyum aja udah” (wawancara dengan Haekal pada Senin, 14 Agustus 2017).
15
Volunteer komunitas ini juga terlihat menganggukan kepala saat
mendampingi ODS di sesi kerohanian Islam. Volunteer menganggukan
kepala pada saat menyuruh ODS untuk memulai membaca Iqro atau
Alquran. Anggukan kepala juga ditampilkan volunteer saat ODS telah
membaca Iqro dengan benar. Anggukan kepala merupakan tanda afirmatif
yang ditunjukan seseorang yang sependapat dengan argumen orang lain,
mengerti atau setuju terhadap suatu hal (Liliweri, 2007:201).
“...kayak lebih ke mengiyakan, ‘iya bu, yang ini’ gitu. Jadi lebih ke kayak gitu sih” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).
Gerakan tangan terlihat digunakan juga oleh volunteer saat
mendampingi ODS mengaji dan shalat. Saat ODS salah dalam melakukan
gerakan shalat, volunteer komunitas ini menggunakan gerakan tangan
untuk mencontohkan pada ODS gerakan shalat yang benar. Gerakan
tangan memiliki banyak fungsi bagi komunikator selama komunikasi
berlangsung, misalnya menegaskan atau menjelaskan sesuatu, memberi
penekanan dan mengilustrasikan apa yang sedang dikatakan (Daryanto,
2014:177).
“Iya, kadang pernah langsung diginiin (dibetulkan gerakannya). ‘Bu, gini,’ kayak gitu atau kadang kita juga nyontohin, ‘bu gini lho bu, tuh dengerin yang imamnya,’ kayak gitu” (wawancara dengan Arum pada Jumat, 18 Agustus 2017).
2. Hambatan Komunikasi
Hambatan berkomunikasi dengan ODS saat kegiatan kerohanian Islam
berkaitan dengan sulitnya koordinasi dengan ODS. Keterbatasan psikologis
yang dimiliki ODS mengharuskan volunteer untuk mendikte satu per satu hal
yang harus dilakukan oleh ODS selama kegiatan berlangsung. ODS minim
melakukan sesuatu secara mandiri tanpa perintah atau instruksi dari volunteer.
Hal tersebut membuat volunteer harus ekstra aktif saat berkomunikasi dengan
ODS.
16
“Sulit dikoordinasi. Jadi ‘bu, ayo kita shalat, ayo bu ke sana ke sana’. Terus udah ngumpul di tempat, mereka belum pada duduk. Nah kayak gitu. Terus baru juga udah wudhu, udah masuk, terus diem di tempat gitu. Jadi, ‘ini bu dipakai mukenanya, ini pak dipakai sarungnya,’ kayak gitu. Habis itu udah dipakai, ya udah. Udah gitu aja. Jadi kayak...aduh harus kayak satu-satu bener-bener didikte gitu” (wawancara dengan Sofi pada Senin, 21 Agustus 2017).
ODS yang menjadi lawan bicara volunteer memiliki kondisi
psikologis yang berbeda, sehingga dapat menghambat proses komunikasi
yang berlangsung. Hambatan psikologis yang dimaksud adalah hambatan
komunikasi yang disebabkan oleh gangguan mental komunikator atau
komunikan yang memiliki pemikiran tertutup, penuh prasangka atau pikiran
yang melayang (Devito, 2013:14).
Berdasarkan konsep hambatan psikologis Devito di atas, dapat
dijelaskan bahwa hambatan komunikasi saat sesi kerohanian Islam
disebabkan oleh pikiran ODS yang melayang. Pikiran melayang ini adalah
efek dari gangguan psikologis yang diderita oleh ODS. Pikiran melayang
menyebabkan ODS tidak fokus mengikuti kegiatan kerohanian Islam dan
cenderung ingin melakukan kegiatan lainnya. Pikiran yang melayang ODS
menjadi semakin parah jika ODS kambuh hingga terlihat berhalusinasi atau
berdelusi. ODS melantur dan tidak sadar dengan apa yang dikatakan dan
dilakukannya. Kondisi seperti itu adalah kondisi yang tidak mudah bagi
volunteer untuk menyadarkan halusinasi ODS karena gangguan skizofrenia
ODS sedang kambuh.
Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pola komunikasi antara volunteer Komunitas Griya Schizofren Solo dan
Orang dengan Skizofrenia (ODS) dalam meningkatkan kerohanian Islam
berkaitan dengan aktivitas akomodasi komunikasi volunteer pada ODS.
17
Akomodasi komunikasi yang dilakukan mencakup akomodasi komunikasi
verbal dan non-verbal.
a. Akomodasi komunikasi verbal yang dilakukan antara lain:
menyesuaikan bahasa komunikasi, yaitu menggunakan Bahasa Jawa,
baik Ngoko atau Krama Alus; menggunakan pilihan kata percakapan
sehari-hari dengan memperbanyak kata-kata ajakan, seperti “ayo,”
“yuk,” dan “hayo” dan mengganti kata-kata bermakna negatif atau
larangan dengan kata-kata bermakna positif serta menyisipkan humor;
memperpendek susunan kalimat yang diucapkan dengan langsung
mencontohkan bunyi huruf hijaiyah atau mengucapkan dua hingga lima
kata dalam satu ucapan.
b. Akomodasi komunikasi non-verbal yang dilakukan antara lain:
menggunakan dialek Solo; menggunakan volume suara rendah saat
mendampingi satu ODS dengan jarak dekat dan menggunakan volume
suara keras saat mendampingi lebih dari satu ODS dengan jarak yang
jauh serta berintonasi ceria; kecepatan bicara lambat dengan jeda setiap
kalimat; menjaga kontak mata dengan ODS; memperbanyak kontak fisik
pada ODS berupa salaman, mencium tangan, menyentuh tangan,
mencolek hidung, tos tangan dan mencium pipi serta berpelukan untuk
beberapa ODS; melakukan tepuk tangan; menampilkan mimik wajah
bahagia dan sering tersenyum; menampilkan anggukan kepala; dan
melakukan akomodasi gerakan tangan.
2. Hambatan komunikasi volunteer pada ODS adalah saat ODS sudah tidak
fokus, mereka sulit untuk diatur dan dikoordinasi. Kondisi tersebut
mengharuskan volunteer untuk aktif dan mendikte satu per satu hal yang harus
dilakukan ODS, mulai dari berwudhu, memakai mukena atau sarung,
membaca Iqro dan lain-lain.
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Penyajian Pokok-Pokok Hasil Riset Kesehatan Dasar 2013. Diakses pada 17 April 2016, dari
18
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/pokok2%20hasil%20riskesdas%202013.pdf.
Barbato, Angelo. (1998). Schizophrenia and Public Health. Geneva:Nations for Mental Health WHO.
Budyatna, Muhammad. (2015). Teori-teori Mengenai Komunikasi Antarpribadi. Jakarta: Kencana.
Covington, Michael dkk. (2005). Schizophrenia and the Structure of Language: The Linguist’s View. Schizophrenia Research. Vol. 77, hal. 85– 98.
Daryanto. (2014). Teori Komunikasi. Malang: Gunung Samudera.Devito, J. A. (2013). The Interpersonal Communication Book (13th Edition). New
Jersey: Pearson Education.Ekowardono dkk. (1993). Kaidah Penggunaan Ragam Krama Bahasa Jawa.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Giles, H., Coupland, N., & Coupland, J. (1991). Accomodation Theory: Communication, Context, and Consequence. In Giles, H., Coupland, N. & Coupland, J. (Ed.), Contexts of Accomodation: Developments in Applied Sociolinguistics. Cambridge, UK: Cambridge University Press.
Junaini, Syahrul N. (2011). Seni Bahasa Badan. Batu Caves: PTS Professional.Keraf, Gorys. (2007). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia.Kompas.com. (17 September 2014). Indonesia Masih Kekurangan Psikiater.
Diakses pada 17 April 2016, dari http://health.kompas.com/read/2014/09/17/063506323/Indonesia.Masih.Kekurangan.Psikiater.
Liliweri, Alo. (2002). Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS.
National Institute of Mental Health. (2015). Schizophrenia. Bethesda, MD: NIH Publication.
Ristica, Octa D. (2015). Cara Mudah Menjadi Bidan yang Komunikatif. Yogyakarta: Deepublish.
Rustan, Ahmad S. dan Hakki, Nurhakki. (2017). Pengantar Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: Deepublish.
Schizophrenia Society of Canada. (2003). Learning About Schizophrenia: Rays of Hope, A Reference Manual for Families & Caregivers (3rd ed.). Markham, Ont: Pfizer Canada.
Tempo.co. (12 Mei 2015). 16 Persen Penduduk Solo Alami Gangguan Jiwa. Diakses pada 17 April 2016, dari http://nasional.tempo.co/read/news/2005/05/12/05860942/16-persen-penduduk-solo-alami-gangguan-jiwa.
West, Richard dan Turner, Lynn H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi, Edisi 3: Analisis dan Aplikasi. (Maria Natalia D. M., Penerj.) Jakarta: Salemba.
Wood, J. T. (2016). Interpersonal Communication (8th ed.). Boston, MA: Cengage Learning.
Zissis, Lindsay. (2015). The Communicative Breakdown of Schizophrenia: Speech and Language Impairments through a Multidimensional Approach. Journal for a Changing World. Issue 1, hal. 1-23. Diakses dari
19
http://lgs.adelphi.edu/news-and-publications/undergraduate-research-journal/issue-1-fall-2015, pada 10 April 2017 pukul 14.50 WIB.
20