Click here to load reader
Upload
ngotruc
View
221
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM
PEMBENTUKAN KEMBALI KONSEP DIRI
(Studi Kualitatif Pola Komunikasi Pendamping Yayasan Sahabat Kapas
dan Klien Anak di Lapas Klas IIB Klaten dalam
Pembentukan Kembali Konsep Diri)
Disusun Oleh:
Ika Dhamayanti
D0213050
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk Mencapai
Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
POLA KOMUNIKASI INTERPERSONAL DALAM
PEMBENTUKAN KEMBALI KONSEP DIRI
(Studi Kualitatif Pola Komunikasi Pendamping Yayasan Sahabat Kapas
dan Klien Anak di Lapas Klas IIB Klaten dalam
Pembentukan Kembali Konsep Diri)
Ika DhamayantiFirdastin Ruthnia Yudiningrum
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret
AbstractThe violation of law that being conducted by children is increasing every
year in Indonesia, including the Karesidenan Surakarta region which Klaten District is the number one district with the most case on law violation conducted by children. Negative self concept is one of the reason why children violate the laws. The life inside prison can triggers stress and depression so it is feared that it will worsen the children condition especially their psychology. But with the presence of Yayasan Sahabat Kapas with their mentoring program, yayasan sahabat kapas wants to help the children to pass the positive message to develop a brand new self concept, from negative to positive. Intensive communication is needed in this process. According to the theory of interaction symbolic that explain looking glass self which explain that by communicating with each other, someone can understand himself because he can judge himself through the views of other people about himself. This allows him o change his attitude and behavior in the midst of society in accordance with the self concept that he has.
Keyword: Communication Pattern, Self Concept, Looking Glass Self.
Pendahuluan
Kasus pelanggaran hukum oleh anak meningkat setiap tahunnya di Indonesia,
termasuk di wilayah Karisidenan Surakarta dimana Kabupaten Klaten menepati
urutan teratas jumlah kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) dibandingkan
wilayah lainnnya (http://www.solopos.com/2015/10/11/perlindungan-anak-abh-
2
di-soloraya-capai-155-kasus-klaten-dan-wonogiri-tertinggi-650913 diakses pada 1
Mei 2017 pukul 09.02 WIB).
Hal ini terbukti dengan jumlah ABH di Klaten meningkat cukup signifikan.
Pada tahun 2015 hanya ada 50 anak namun hingga akhir 2016 tercatat ada 90 anak
yang berhadapan dengan hukum. Menurut Tim Satuan Bhakti Pekerja Sosial, dari
data 90 ABH itu, sebanyak 44 anak sebagai pelaku pelanggaran hukum, 29 anak
sebagai korban dan sisanya sebagai saksi perkara. Mayoritas kasus yang berkaitan
adalah perkara seksualitas adalah yang tertinggi yaitu mencapai 34 kasus.
(http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/jumlah-anak-berhadapan-hukum-
melonjak/ diakses pada 1 Mei 2017 pukul 10:41 WIB)
Salah satu faktor yang membuat anak melakukan pelanggaran hukum, adalah
konsep diri negatif seperti peka terhadap kritik, responsive terhadap pujian,
bersifat hiperkritis terhadap orang lain, cenderung merasa tidak disenangi orang
lain dan bersifat pesimis. Hal ini ditegaskan pula oleh Yulianto (2009, 5-6) yang
mengatakan bahwa faktor internal yang mempengaruhi kenakalan oleh anak
adalah kepribadian yang berasal dari dalam diri anak seperti konsep diri yang
rendah misalnya penyesuaian sosial serta kemampuan menyelesaikan masalah
yang rendah serta pengendalian diri yang rendah.
Dari latar belakang tersebutlah akhirnya Sahabat Kapas memiliki tujuan yaitu
pembentukan konsep diri Klien Anak atau yang biasa disebut “re-konsepsi diri”
yang diwujudkan melalui program pendampingan. Program pendampingan
melingkupi tiga aspek yaitu layanan psikologis, pengembangan diri dan pelatihan
klien anak. Selama proses pendampingan, pendamping berkomunikasi secara
langsung dengan klien anak untuk menyampaikan pesan-pesan positif yang dapat
mempengaruhi konsep diri klien anak.
Pada dasarnya konsep diri bukan merupakan faktor yang dibawa sejak lahir,
melainkan faktor yang dipelajari dan terbentuk dari pengalaman individu dalam
berhubungan dengan individu lainnya, maka dari itu, oleh karena itu dalam proses
pengembangan konsep diri dibutuhkan komunikasi dengan individu lain.
3
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pola Komunikasi Pendamping Yayasan Sahabat Kapas dan
Klien Anak di Lapas Klas IIB Klaten dalam Pembentukan Kembali Konsep
Diri?
2. Apa saja Faktor Pendukung dalam Pola Komunikasi Pendamping Yayasan
Sahabat Kapas dan Klien Anak di Lapas Klas IIB Klaten dalam
Pembentukan Kembali Konsep Diri?
3. Apa saja Faktor Penghambat dalam Pola Komunikasi Pendamping Yayasan
Sahabat Kapas dan Klien Anak di Lapas Klas IIB Klaten dalam
Pembentukan Kembali Konsep Diri?
Landasan Teori
a. Komunikasi
Menurut Everret M. Rogers, komunikasi adalah proses dimana suatu
ide dialihkan dari sumber kepada satu penerima atau lebih, dengan maksud
untuk mengubah tingkah laku mereka. (Cangara, 2012:22). Terdapat lima
unsur komunikasi, yaitu (1) Komunikator, (2) Pesan, (3) Komunikan, (4)
Media dan (5) Efek.
Dalam proses komunikasi, hampir selalu melibatkan penggunaan
lambang-lambang verbal dan non verbal secara bersama-sama. Keduanya,
bahasa verbal dan nonverbal memiliki sifat holistic, bahwa masing-masing
tidak dapat dipisahkan. Lambang verbal adalah semua jenis lambang atau
simbol yang menggunakan satu kata atau lebih. Sementara itu komunikasi
non verbal adalah semua isyarat yang bukan kata-kata.
Dalam prakteknya, Kegiatan komunikasi yang terjadi sehari-hari
tidak hanya meliputi kegiatan komunikasi antar individu. Dalam
komunikasi sendiri terdapat tingkatan komunikasi atau yang disebut
dengan levels of communication, yakni (1) Komunikasi Intrapersonal, (2)
Komunikasi Interpersonal, (3) Komunikasi Kelompok, (4) Komunikasi
Organisasi dan (5) Komunikasi Massa.
4
a. Pola Komunikasi
Menurut Djamarah (2004:1). Pola komunikasi diartikan sebagai bentuk
atau pola hubungan dua orang atau lebih dalam proses pengiriman dan
penerimaan cara yang tepat sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami.
Menurut Cangara, pola komunikasi dapat dibedakan menjadi empat
macam, yakni (Rakhmat, 2007:125):
1) Pola Komunikasi Primer merupakan proses penyampaian simbol
atau lambang dari komunikator kepada komunikan tanpa
menggunakan media lain selain simbol itu sendiri.
2) Pola Komunikasi Sekunder merupakan proses komunikasi yang
terjadi dengan menggunakan media, tidak seperti pada pola
komunikasi primer yang menggunakan simbol sebagai medianya.
3) Pola komunikasi linier merupakan proses penyampaian pesan yang
terjadi seperti garis lurus dari komunikator kepada komunikan,
dimana mereka menjadi titik terminal.
4) Sirkular memiliki arti bundar atau lingkaran. Hal ini berarti bahwa
komunikasi ini memiliki feedback atau umpan balik pada prosesnya.
Dalam proses ini terdapat arus yang terbentuk antara komunikator
dan komunikan. Sehingga dalam pola ini, komunikasi akan berjalan
terus menerus karena adanya umpan balik antara komunikator dan
komunikan.
b. Komunikasi Antarpribadi atau Interpersonal
Joseph A. Devito dalam bukunya “The Interpersonal Communication
Book” mendefinisikan komunikasi antarpribadi sebagai proses pengiriman
dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau diantara sekelompok
kecil orang-orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik
semata. (Fajar, 2009:78).
Komunikasi interpersonal dianggap paling ampuh mempersuasi orang
lain untuk mengubah sikap, opini, perilaku komunikan dan jika dilakukan
secara tatap muka langsung akan lebih intensif karena terjadi kontak
5
pribadi yaitu antara pribadi komunikator dan komunikan (Kurniawati,
2014:9).
Selain itu disadari atau tidak, ketika seseorang melakukan komunikasi
interpersonal dengan orang lain, maka dia juga sedang meningkatkan
konsep diri yang ia miliki. Maka dari itulah kenapa konsep diri dan
komunikasi memiliki hubungan yang erat, hal itu dikarenakan keduanya
saling mempengaruhi. Sehingga pembangunan konsep diri yang dimiliki
akan selalu sejalan dengan komunikasi interpersonal yang dilakukan
(Rakhmat, 2013:105).
c. Anak Didik Pemasyarakatan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan, Anak didik pemasyarakatan adalah bagian dari Warga
Binaa Pemasyarakatan selain Narapidana dan Klien Pemasyarakatan.
Anak didik pemasyarakatan adalah anak pidana yaitu anak yang
berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lapas Anak paling
lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.
Selanjutnya anak didik pemasyarakatan ini oleh Sahabat Kapas disebut
dengan Klien Anak, termasuk mereka yang berusia di atas 18 tahun hingga
21 tahun tetapi belum menikah.
d. Pembentukan Kembali Konsep Diri
Konsep diri adalah sebuah pandangan diri individu tentang dirinya
sendiri yang dapat dimaknai sebagai potret mental diri seseorang yang
meliputi 3 dimensi yaitu pengetahuan terhadap diri sendiri, pengharapan
mengenai diri sendiri dan penilaian tentang diri sendiri (Calhoun dan
Acocella (2006:67).
Konsep diri terbagi menjadi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep
diri negatif. Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, tanda-tanda
orang yang memiliki konsep diri negatif, yaitu peka terhadap kritik,
responsive terhadap pujian, bersifat hiperkritis terhadap orang lain,
cenderung merasa tidak disenangi orang lain dan bersifat pesimis.
Sementara orang-orang dengan konsep diri positif ditandai dengan yakin
6
mampu menyelesaikan masalah, merasa setara dengan orang lain,
menerima pujian tanpa rasa malu, menyadari perbedaan setiap individu
dan mampu memperbaiki dirinya sendiri. (Rakhmat, 2004:105)
Namun perlu dipahami jika konsep diri bukan merupakan faktor yang
dibawa sejak lahir, melainkan konsep diri merupakan proses yang
berkelanjutan sepanjang hidup manusia. bayi tidak lahir dengan
pemahaman utuh siapa diri mereka, proses pembentukan konsep diri
terjadi dari proses berkomunikasi dengan orang lain. Penjelasan tersebut
kemudian sejalan dengan pandangan C.H. Cooley bahwa dalam menilai
konsep diri, kita seakan menaruh cermin didepan diri kita masing-masing.
Gejala ini kemudian dikenal dengan gejala looking glass self.
Menyadari kebutuhan komunikasi bagi pembentukan kembali konsep
diri anak selama menjalani proses hukuman, Sahabat Kapas
mengupayakannya adanya komunikasi langsung selama pendampingan
untuk mempersiapkan Klien Anak sebelum kembali ke tengah-tengah
masyarakat setelah menyelesaikan masa hukumannya dengamn konsep
diri positif.
Metodologi
Penelitian ini dilakukan di Lapas Klas IIB Klaten dengan metode penelitian
kualitatif. Metode ini dimaksudkan untuk mengemukakan gambaran atau
pemahaman (understanding) mengenai bagaimana suatu gejala atau realitas
komunikasi terjadi. (Rakhmat, 1999:24)
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah wawancara
mendalam, observasi non partisipan dan data kepustakaan. Sampel diambil
melalui metode purposive sampling, yakni teknik pengambilan sampel yang
diambil dengan pertimbangan tertentu, yang ditentukan secara sengaja dengan
memperhatikan tujuan tertentu. Kemudian untuk analisis data, Peneliti memakai
analisis interaksi Miles dan Huberman dengan tahapan reduksi data, penyajian
7
data, penarikan kesimpulan dan verifikasi data. Sementara untuk menguji validitas
data digunakan teknik triangulasi data atau triangulasi sumber.
Sajian dan Analisis Data
A. Sajian Data
Selama pendampingan terdapat unsur-unsur komunikasi dari proses
komunikasi dalam Pola komunikasi pendamping Yayasan Sahabat Kapas
dan Klien Anak di Lapas Klas IIB Klaten dalam Pembentukan Kembali
Konsep Diri adalah sebagai berikut:
a. Komunikator
Komunikator pada proses komunikasi ini adalah pendamping
Sahabat Kapas. Pendamping sendiri terdiri dari staf maupun volunteer
Sahabat Kapas.
“Semua orang yang jadi anggotanya kapas bisa untuk berhadapan langsung dengan anak, ngelakuin pendampingan. Justru itu jadi semacem keharusan. Bahkan admin pun, kita minta admin ya tau kondisi lapangan seperti apa. Jadi sangat sering kita dapati temen-temen kapa situ walaupun posisinya admin ya dia tetep ikut pendampingan. Walaupun ngga setiap hari ngga yang secara continue sama temen-temen di lapangan sih. Tapi satu dua kali minimal itu pasti pernah” (Febi, Hasil Wawancara, 1 Agustus 2017)
b. Pesan
Secara garis besar, pesan yang disampaikan Sahabat Kapas
berisikan motivasi serta hal-hal yang dapat menyembuhkan kesedihan
klien anak akibat hukuman penjaran ini, serta membuat klien anak
kembali bersemangat dan memiliki harapan untuk melanjutkan
kehidupan mereka.
Pesan yang disampaikan terdiri atas pesan verbal maupun non
verbal. Pendamping memang lebih banyak menggunakan simbol verbal
berupa kata-kata baik yang disampaikan secara langsung maupun tertulis.
Komunikasi lisan dilakukan saat berinteraksi dengan anak, mulai dari
mengobrol santai, sharing ilmu, hingga konseling anak. Sedangkan untuk
penyampaian pesan menggunakan simbol nonverbal seperti sentuhan,
8
gerakan tubuh meliputi ekspresi wajah, kontak mata dan lain sebagainya
memang jarang digunakan. Hal ini dikarenakan sesuai kode etik
Pendamping Sahabat Kapas memang membatasi misal sentuhan tangan
saat pendampingan terhadap lawan jenis. Hal ini dilakukan sebagai upaya
meminimalkan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi.
Dalam menyampaikan pesan, komunikator juga sering
menggunakan metode games agar mudah diterima klien anak.
“….Saya membuat banyak sekali games hanya buat komunikasi kita lancar. Games itu media. Contohnya saya bikin sebenernya anak ini mudeng tentang empati agar anak ini mudeng tentang berbagai ini ini” (Evi, Hasil Wawancara, 1 Agustus 2017)
c. Komunikan
Klien Anak adalah komunikan dalam proses komunikasi ini.
Setelah menerima pesan yang disampaikan Pendamping, Klien anak akan
memaknai pesan dan memberikan feedback atas pesan yang mereka
terima. Sejauh ini feedback yang ditunjukan oleh Klien Anak cenderung
positif, mereka sering melakukan hal-hal yang diminta oleh pendamping,
mereka pun selalu antusias dengan kegiatan ini.
“.. Curhat tentang keluarga, selain keluarga yo aku dewe” (YD, Hasil Wawancara, 26 Juli 2017)
d. Media
Komunikasi yang dilakukan oleh pendamping dan klien anak
berlangsung secara tatap muka. Sehingga panca indra menjadi media
utama dan satu-satunya yang digunakan untuk memindahkan pesan dari
komunikator ke komunikan.
e. Efek
Proses komunikasi antara pendamping dan klien anak
menimbulkan efek bagi klien anak, sesuai dengan tujuan program
pendampingan. Anak semakin menjadi pribadi yang positif, hal ini secara
tidak langsung menunjukan bahwa klien anak telah meningkatkan konsep
diri positif mereka.
“…Si A misalnya yang kemarin kurang percaya diri, di pendampingan ke berapa ini dia udah percaya diri gitu-gitu. Jadi
9
kita bisa liat dari situ sih perubahannya. Dan mayoritas sih alhamdulillah anak-anak berubah, walaupun kecil itu tadi ya, kita ngga bisa yang langsung apakah secara konsep diri mereka secara menyeluruh berubah 180 derajat kita belum bisa untuk saat ini kita ngomong” (Febi, Hasil Wawancara, 1 Agustus 2017)
B. Analisis Data
1. Pola Komunikasi Pendamping Sahabat Kapas dan Klien Anak Dalam
Pembentukan Kembali Konsep Diri di Lapas Klas IIB Klaten
a. Pola Komunikasi Pendamping dan Klien Anak
Dari hasil penelitian, proses komunikasi yang terjadi antara
Pendamping Sahabat Kapas dan Klien Anak, membentuk struktur
pola komunikasi yang digolongkan oleh Cangara, yaitu Pola
Komunikasi Sirkular. Sirkular yang memiliki arti bundar atau
lingkaran, memungkinkan bagi komunikator dan komunikan untuk
terus berkomunikasi karena terdapat feedback atau umpan balik pada
prosesnya. Berdasarkan definisi mengenai pola komunikasi sirkular
diatas, peneliti mencoba mengilustrasikan pola komunikasi seperti
gambar dibawah ini:
Gb 1 : Struktur Pola Komunikasi Sirkular
Dari gambar diatas, diketahui jika proses komunikasi berjalan
secara terus menerus hingga membentuk alur seperti lingkaran. Hal
ini terjadi lantaran adanya partisipasi aktif antara pendamping dan
10
Klien Anak sehingga proses komunikasi menimbulkan feedback dan
dapat saling mempengaruhi.
Hal ini memang sesuai dengan penelitian di lapangan yang
menemukan adanya suatu feedback dalam proses komunikasi selama
pendampingan. Selama kegiatan berlangsung, Pendamping dan
Klien Anak membentuk lingkaran sehingga memudahkan mereka
untuk saling berkomunikasi. Dengan pendamping mengajak anak
untuk mengobrol, mengajak bermaik sekaligus belajar, diantara
keduanya kerap bertukar pikiran maupun memberikan respon.
Respon yang ditunjukan anak cenderung respon yang positif
sehingga darisinilah komunikasi tersebut berjalan terus menerus.
b. Proses Pembentukan Kembali Konsep Diri
Menyadari konsep diri negatif Klien Anak, melalui komunikasi
secara rutin lewat pendampingan. Pendamping melakukan panduan-
panduan yang dapat mengembangkan konsep diri positif Klien Anak,
diantaranya (Wood, 2013:59):
1) Buat komitmen tegas untuk perkembangan kepribadian
Dari hasil penelitian, Pendamping berusaha untuk membantu
Klien Anak untuk menyadari kesalahannya. Hal ini pertama kali
dilakukan agar mereka bisa menyesal dan mengubah cara berpikir
mereka, menyadari bahwa yang selama ini mereka lakukan
merupakan perbuatan salah sehingga mereka harus mau berhenti
melakukannya lagi dan beralih melakukan hal-hal yang positif
misalnya seperti bermpati terhadap sesama.
“Kemudian yang selanjutnya, kita yang positif-positif itu kita berikan contohnya empati. Contohnya kemarin gini, anak-anak ngga tau lho kayak kita diluar di afrika sana anak kelaparan, 2017 orang kelaparan kan ngga sampai akal sebenernya kalo kita ya, mereka ngga tau hal itu,. Dan ketika kita kasihkan fakta-fakta itu mereka langsung ternganga. Dan kemudian mereka ngga merasa kalo dirinya orang yang paling ngga beruntung” (Evi, Hasil Wawancara, 1 Agustus 2017)
2) Pengetahuan sebagai pendukung bagi pertumbuhan kepribadian
11
Misalnya saja dalam upaya menggali potensi diri Klien Anak.
Salah satu Klien Anak yang telah berhasil mengetahui potensinya
adalah YD. Sebelumnya YD tidak menyadari jika ia memiliki
potensi dibidang sastra, namun setelah mengikuti pendampingan,
baik pendamping maupun YD menyadari jika YD suka menulis.
Setelah melihat potensi YD, langkah selanjutnya yang dilakukan
pendamping adalah dengan memikirkan simbol-simbol yang dapat
dikomunikasikan ke YD agar ia juga menyadari potensi tersebut,
misalnya dengan simbol verbal seperti, “YD, tulisan kamu bagus
lho” atau “Puisi kamu menarik buat dibaca” dan lain sebagainya.
Dengan adanya pesan positif yang ditunjukan Pendamping, YD
akan mulai merefleksikan diri mengapa orang lain bisa
mengomentari tulisannya bagus dengan berusaha melihat dirinya
sendiri dari sudut pandang yang lain. Inilah gambaran mengenai
gejala looking glass self.
Setelah mengetahui potensi yang dimiliki YD, peran pendamping
selanjutnya adalah sebagai individu yang akan memberikan dukungan.
Hal inipun disambut baik oleh YD, setelah ia mengetahui potensinya.
Kini ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan menulis. Misalnya
saja tulisan curahan hatinya sendiri yang kemudian dituangkan dalam
bentuk puisi.
“Pas lagi jebles.. Biasane malem-malem og mba, aku kalo siang-siang gini ngga bisa mikir og mba, kalau malem udah sunyi itu lho mba, udah pada tidur dikamar mba.. Saya bisa nanti sendiri sambal minum kopi, santai, sambil merokok ngono mba. Itu saya bisa menginspirasi kata-kata. (YD, Hasil Wawancara, 26 Juli 2017)
Bahkan setelah mengetahui potensinya, menurut Evi, YD sendiri
semakin aktif mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
Sahabat Kapas. YD juga terlihat lebih percaya diri daripada saat awal
Evi bertemu YD.
3) Menentukan tujuan yang realistis dan wajar
12
Pendamping selalu memberikan pesan-pesan positif kepada klien
Anak terutama pesan-pesan yang dapat bermanfaat setelah mereka
keluar penjara misalnya informasi mengenai pekerjaan-pekerjaan apa
yang bisa dilakukan oleh mantan narapidana, informasi mengenai
kejar paket dan lain-lain. Hal ini dilakukan agar nantinya Klien Anak
telah memiliki bekal untuk melanjutkan hidup dan dapat diterima
kembali ke masyarakat. Hal tersebut juga sudah berhasil dilakukan
Sahabat Kapas, karena ketika ditanya mengenai hal apa yang ingin
Klien Anak lakukan setelah keluar penjara, merek sudah memiliki
jawaban masing-masing. seperti yang diungkapkan oleh RD berikut:
“Kerjo mba, nyenengke wong tuo” (Kerja mba, menyenangkan orang tua) ujar RD, selanjutnya ketika ditanya bagaimana cara dia menyenangkan orang tua, ia menjawab “Yo mbukak-mbuka toko opo bengkel” (Ya buka-buka toko apa bengkel) (RD, Hasil Wawancara, 26 Juli 2017)
4) Mencari situasi yang mendukung tercapainya tujuan
Pendamping secara sadar mengetahui jika Klien Anak yang telah
mendapatkan cap sebagai anak didik pemasyarakatan ini memiliki
ketakutan saat kembali ke masyarakat nantinya, maka dari itu Sahabat
Kapas berusaha menjadi teman Klien Anak yang dapat menghibur,
membantu, mendukung bahkan menasehati ketika Klien Anak
melakukan kesalahan. Hal ini kemudian mendapatkan respon positif
dari Klien Anak, hal ini terbukti bahwa Klien Anak selalu menunggu
kegiatan pendampingan serta merasa nyaman, terhibur bahkan
merasakan percaya diri kembali bahwa mereka bisa diterima kembali
oleh masyarakat.
“Nyaman mba, seneng. Isoh piye yo.. stress ku dadi ra tek o nganu mba, ra tek stress” (nyaman mba, senang. Bisa gimana yaa.. stress ku jadi tidak terlalu terasa) (RD, Hasil Wawancar, 26 Juli 2017).
Dari pemaparan diatas, telah dibuktikan jika Pendamping telah
melakukan hal-hal yang dapat membentuk kembali konsep diri klien
anak menjadi positif. Berkat proses pendampingan tersebut pun
13
sedikit demi sediki tanda-tanda konsep diri positif Klien Anak mulai
terlihat selama proses pendampingan berlangsung, diantaranya:
1) Merasa setara dengan orang lain
Klien Anak sempat merasa pesimis dan hilang kepercayaan diri
ketika mereka pertama kali masuk ke dalam penjara. Mereka bahkan
takut ketika nantinya harus kembali ke tengah-tengah masyarakat
Namun setelah mengikuti pendampingan, Klien Anak perlahan-lahan
mulai memiliki kepercayaan diri kembali akan diterima lagi oleh
masyarakat.
2) Menyadari perbedaan setiap individu
Sebelumnya Klien Anak mengaku jika mereka tidak bisa menerima
kritik dari orang lain, biasanya apabila dikritik mereka hanya
menghiraukan hingga terlibat perkelahian karena merasa tidak terima.
Setelah mengikuti pendampingan, apalagi setelah banyak mendapatkan
kritik dan saran dari pendamping, kini mereka menyadari bahwa tidak.
3) Mampu memperbaiki dirinya sendiri
Perubahan yang paling terlihat dari Klien Anak adalah sedikit demi
sedikit kini mereka bisa memperbaiki dirinya. Berkat pesan-pesan
positif yang disampaikan dengan cara menyenangkan bukan
menggurui oleh pendamping, Klien Anak mayoritas berhasil
meningkatkan konsep diri mereka yang pada akhirnya berpengaruh
pada sikap dan perilakunya, Seperti yang disampaikan oleh YD (Hasil
Wawancara, 26 Juli 2017) berikut:
“……Aku nang njobo ki diandani wong ra tau gelem yo mba. Karo sahabat kapas isoh. Piye ya mba, isoh piye ya maksudte….Trus sahabat kapas, suruh berhenti merokok, suruh jadi orang baik, jangan suka membully orang.. Alhamdulilahe yo isoh” (Aku di luar dikasih tahu orang lain tidak pernah mau mba, sama Sahabat Kapas bisa. Gimana yaa, bisa gimana ya maksudnya. Trus Sahabat Kapas menyuruh berhenti meroko, disuruh jadi orang baik, jangan suka membully orang, Alhamdulillahe ya bisa)
14
2. Faktor Pendukung
a. Faktor Pendukung Internal
1) Anggota Sahabat Kapas Memiliki Kepedulian yang Tinggi terhadap
Anak
Sahabat Kapas memiliki kepedulian tinggi terhadap anak, terutama
anak yang berhadapan dengan hukum karena mereka menyadari bahwa
anak berhadapan dengan hukum terutama yang statusnya sebagai
pelaku, masih banyak yang belum terpenuhi hak-haknya ketika mereka
menjalani proses hukuman di penjara.
2) SDM yang Menguasai Bidang-Bidang yang berkaitan dengan
Program Pendampingan
Dian Sasmita, yang merupakan direktur dan pencetus yayasan ini,
merupakan alumni dari Fakultas Hukum UNS. Dengan background
Pendidikan yang memiliki concern terhadap penegakan hukum di
Indonesia, beliau sangat paham dengan apa yang dapat dilakukan
Sahabat Kapas untuk memenuhi kebutuhan Klien Anak di dalam
penjara tersebut.
Selain Dian Sasmita, ada juga Febi yang memiliki background
Pendidikan psikologis yang memang diperlukan Sahabat Kapas dalam
pelayanan psikologis Klien Anak. dengan adanya SDM-SDM hebat
inilah, akhirnya program Sahabat Kapas dapat berjalan baik dan
mendapat respon positif dari pihak lain.
3) Sahabat Kapas memiliki Silabus Pendampingan
Silabus ini kemudian akan menjadi panduan untuk pendamping
tentang bagaimana melaksanakan proses pendampingan serta
menghadapi Klien Anak. Sehingga dalam prosesnya, pendamping dan
Klien Anak tidak hanya sekedar ngobrol, tapi ada pesan bermanfaat
yang dihasilkan melalui pendampingan ini.
“Saya rasa karena kita punya protocol yang jelas, kita punya SOP dan panduan ya silabus tadi. Jadi detail ketika kamu
15
pendampingan sahabat kapas, kamu tau apa yang akan kamu lakukan” (Evi, Hasil Wawancara, 1 Agustus 2017)
4) Keberadaan Volunteer Sahabat Kapas
Volunteer Sahabat Kapas banyak berkontribusi bagi kesejahteraan
Klien Anak.Tidak hanya menyumbangkan ide mengenai hal-hal apa
yang bisa dilakukan selama kegiatan Sahabat Kapas, namun mereka
juga menyumbangkan waktu dan tenaga untuk melakukan
pendampingna anak di dalam penjara.
5) Antusiasme dan Kepercayaan Klien Anak
Program pendampingan tidak akan berhasil apabila tidak mendapat
feedback positif dari Klien Anak. Klien Anak sendiri menceritakan
bahwa mereka selalu menunggu kegiatan dengan Sahabat Kapas,
banyak alasan yang mereka sampaikan mulai dari karena kakak-
kakaknya baik dan lucu-lucu, kegiatannya menyenangkan banyak
gamesnya, menambah wawasan hingga mampu menghilangkan stress
mereka.
“Nyaman mba, seneng. Isoh piye yo.. stress ku dadi ra tek o nganu mba, ra tek stress” (RD, Hasil Wawancara, 26 Juli 2017)
b. Faktor Pendukung Eksternal
1) Dukungan dari Lapas Klas IIB Klaten
Lapas Klas IIB Klaten sangat memberikan support terhadap upaya
pemenuhan hak-hak Klien Anak. Maka dari itu, pihak Lapas
memberikan akses penuh bagi Sahabat Kapas untuk membantu Klien
Anak.
“Oh ya tentunya, paling tidak kalau misalnya kalau kita juga tidak mendukung kegiatan mereka juga kan otomatis juga terkendala kegiatannya dan sebagainya kita selama itu kegiatan positif kenapa tidak. Karena ini untuk kebersamaan, karena dengan layanan tersebut dengan anak istilahnya menjadi tidak stress, dengan anak itu merasa nyaman, dengan anak itu merasa aman itu kan sudah membantu juga dari pihak lapas” (Eko, Hasil Wawancara, 18 Juli 2017)
16
2) Dukungan dari Keluarga Klien Anak
Selain dukungan dari Lapas, respons dari keluarga juga menjadi
penyemangat bagi Sahabat Kapas untuk mendampingi Klien Anak.
“Mereka dateng semua, waluapun mereka dengan riwayat hubungan kurang baik dengan anak. tapi mereka dateng, artinya mereka mau berubah untuk anaknya walaupun agak sulit ya karena mereka juga orang tua buat kita tidak semudah sama pemuda sing gini-gini.” (Evi, Hasil Wawancara, 1 Agustus 2017)
3) Dukungan Masyarakat
Berkat konsistensi Sahabat Kapas memberikan pendampingan
terhadap Klien Anak, msyarakat pun tergugah ikut membantu. Mulai
dari respon-respon positif seperti kalimat-kalimat penyemangat,
hingga donasi-donasi baik dalam bentuk buku maupun uang dalam
membantu Sahabat Kapas memenuhi kebutuhan Klien Anak.
3. Faktor Penghambat
a. Faktor Penghambat Internal
1) Kekurangan SDM
Menurut Febi yang merupakan manajer kantor tapi juga masih
aktif sebagai pendamping, hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi
Sahabat Kapas. Keinginan Sahabat Kapas untuk mendampingi Klien
Anak ketika nantinya mereka keluar, belum dapat direalisasikan
secara maksimal karena keterbatasan SDM.
b. Faktor Penghambat Eksternal
1) Gangguan Narapidan Dewasa
Selama proses pendampingan yang dilakukan di dalam
perpustakaan Lapas Klas IIB Klaten, tidak jarang para narapidana
dewasa menggoda baik Klien Anak maupun Pendamping. Hal ini
terkadang membuat Klien Anak dan pendamping kehilangan
konsentrasi hingga merasa tidak nyaman.
17
2) Multitafsir Undang-Undang
Faktor penghambat selanjutnya adalah beberapa pihak yang
salah menafsirkan undang-undang yang berkaitan dengan anak, tidak
bisa dipungkiri salah tafsir ini dapat berdampak buruk bagi Klien
Anak. Misalnya saja, sesuai dengan UU Sistem Peradilan Pidana
Anak. Anak didik pemasyarakatan harus di pisahkan dari orang
dewasa, yang artinya anak didik pemasyarakatan harusnya di
tempatkan di Lapas Khusus Pembinaan Anak (LPKA) bukan di Lapas
Umum, kemudian anak juga berhak mendapatkan Pendidikan
Kesimpulan
Dari data yang telah dijabarkan dan dianalisis tersebut, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa:
1. Pola komunikasi yang paling mendekati dan dapat digunakan untuk
menjelaskan proses komunikasi yang terjadi antara Pendamping Sahabat
Kapas dan Klien Anak dalam pembentukan kembali konsep diri adalah Pola
Komunikasi Sirkular. Pola ini memungkinkan terjadinya pertukaran pesan
secara terus-menerus antara pendamping sebagai komunikator dan Klien
anak sebagai komunikan. Dengan adanya umpan balik secara terus menerus
ini akan membetuk alur sehingga komunikasi akan berjalan intens.
2. Komunikasi antara Pendamping dan Klien Anak mayoritas berhasil untuk
membentuk kembali konsep diri Klien Anak menjadi konsep diri yang
positif. Terbukti dengan perubahan sikap dan perilaku Klien Ana, mereka
juga lebih optimis dapat diterima kembali oleh masyarakat.
3. Dalam proses pengembangan konsep diri menggunakan komunikasi,
terdapat gejala looking glass self yang mampu merubah padangan individu
mengenai dirinya sendiri. Klien Anak akan berusaha menilai dirinya,
memahami dirinya dengan mempersepsikan pesan yang ia terima dari
pendamping. karena pendamping memang berusaha menyampaikan pesan-
pesan positif, maka kemungkinan besar Klien Anak juga akan
menginterpretasikan pesan itu secara positif. Apabila sudah berhasil
18
menginterpretasikan pesan tersebut, Klien Anak akan menujukan efek dari
pesan itu melalui sikap dan perilakunya yang ia tunjukan kepada individu
lain.
Daftar Pustaka
Calhoun, J.F. & Acocella, J.R. (2006). Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan edisi ketiga. Satmoko terj. Semarang: IKIP Semarang.
Cangara, Hafied. (2012). Pengantar Ilmu Komunikasi edisi kedua. Jakarta: Rajawali Pers.
Devito, A Joseph. (2011). Komunikasi Antar Manusia. Tangerang: Karisma Publishing Group.
Djamarah, Bahri Syaiful. (2004). Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam Keluarga. Jakarta: PT. Reneka Cipta
Fajar, Marhaeni. (2009). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Hardjana, Agus M. (2007). Komunikasi Intrapersonal & Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius)
Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jallaludin, Rakhmat. (1999). Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
__________________. (2007). Teori Komunikasi: Perspektif, Ragam, dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Susanto, Aries (2015). ABH di Soloraya Capai 155 Kasus, Klaten dan Wonogiri Tertinggi. (http://www.solopos.com/2015/10/11/perlindungan-anak-abh-di-soloraya-capai-155-kasus-klaten-dan-wonogiri-tertinggi-650913 diakses pada 1 Mei 2017 pukul 09.02 WIB)
Taufiq, Imam. (2016). Jumlah Anak Berhadapan Hukum Melonjak. (http://berita.suaramerdeka.com/smcetak/jumlah-anak-berhadapan-hukum-melonjak/ diakses pada 1 Mei 2017 pukul 10:41 WIB).
Yulianto, Dema. (2009). Hubungan Antara Konsep Diri dan Kecerdasan Emosi dengan Kenakalan Remaja. Hlm 5-6
19