15
Cyber Law Cyber Law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyber law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat negara tersebut. Jadi, setiap negara mempunyai cyber law tersendiri. Istilah hukum cyber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum TI (LAW of Information Teknologi), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara. Secara akademis, terminologi “cyber law” belum menjadi terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The Law of The Internet, Law and The Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya. Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Dimana istilah yang dimaksud sebagai terjemahan dari “cyber law”, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Secara yuridis, cyber law tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskupin bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakn dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Menurut Indonesian Defense University, definisi cyber law adalah hukum terkait dengan proses dan resiko teknologi pada cyber

Cyber Law hukum teknologi indormasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi hukum teknologi informasi

Citation preview

Cyber Law

Cyber Law adalah hukum yang digunakan di dunia cyber (dunia maya) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyber law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan memasuki dunia cyber atau maya.

Cyber law merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh suatu negara tertentu, dan peraturan yang dibuat itu hanya berlaku kepada masyarakat negara tersebut. Jadi, setiap negara mempunyai cyber law tersendiri.

Istilah hukum cyber diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan TI. Istilah lain yang juga digunakan adalah Hukum TI (LAW of Information Teknologi), Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum Mayantara.Secara akademis, terminologi cyber law belum menjadi terminologi yang umum. Terminologi lain untuk tujuan yang sama seperti The Law of The Internet, Law and The Information Superhighway, Information Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.

Di Indonesia sendiri tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati. Dimana istilah yang dimaksud sebagai terjemahan dari cyber law, misalnya, Hukum Sistem Informasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan Informatika). Secara yuridis, cyber law tidak sama lagi dengan ukuran dan kualifikasi hukum tradisional. Kegiatan cyber meskupin bersifat virtual dapat dikategorikan sebagai tindakn dan perbuatan hukum yang nyata. Kegiatan cyber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata.

Menurut Indonesian Defense University, definisi cyber law adalah hukum terkait dengan proses dan resiko teknologi pada cyber space. Dari perspektif teknologi, cyber law digunakan untuk membedakan mana cyber activity yang bersifat legal dan mana yang tergolong tindak kejahatan dunia maya (cyber crime) atau pelanggaran kebijakan (policy violation). Cyber law dibutuhkan karena dasar atau fondasi dari hukum di banyak negara adalah ruang dan waktu. Sementara itu, internet dan jaringan komputer mendobrak batas ruang dan waktu.

Saat ini Indonesia memiliki satu regulasi terkait dengan transaksi elektronik yaitu UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tetapi dikalangan peminat dan pemerhati, masalah hukum yang berkaitan dengan internet di Indonesia masih menggunakan istilah cyber law. Dimana hukum yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yuridiksi tidak mampu lagi merespon persoalan-persoalan dan karakteristik dari internet dimana para pelaku yang terlibat dalam pemanfaatan internet tidak lagi tunduk pada batasan kewarganegaraan dan kedaulatan suatru negara.

TUJUAN CYBER LAWCyber law sangat dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, atau pun penanganan tindak pidana. Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer, termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.RUANG LINGKUP CYBER LAWPembahasan mengenai ruang lingkup cyber law dimaksudkan sebagai inventarisasi atas persoalan-persoalan atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan internet. Secara garis besar ruang lingkup cyber law ini berkaitan dengan persoalan-persoalan atau aspek hukum dari :1. e-commerce2. Trademark/Domain Names3. Privacy and security on the Internet4. Copyright5. Defamation6. Content Regulation7. Disptle Settlement, dan sebagainya.TOPIK-TOPIK CYBER LAWSecara garis besar ada lima topik dari cyber law di setiap negara yaitu :Information Security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui Internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.1. Onl-line Transaction: meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.2. Right in Electronic Informatio: soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.3. Regulation Information Content: sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.1. Tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang patent, merk dagang, merk dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber.2. Tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan.3. Tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet.4. Tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai denga prinsip-prinsip keuangan atau akuntansi.5. Tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atau internet sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.ASAS-ASAS CYBER LAW

Dalam kaitannya dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan, yaitu :

1. Subjective Territoriality: yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.2. Objective Territorialit: yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat rugi bagi negara yang bersangkutan.3. Nationality: yang menentukan bahwa negara mempunyai yurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.4. Passive Nationality: yang menekankan yurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.5. Protective Principle: yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah.6. Universality: asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai universal interest jurisdiction. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setip negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes againts humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas yurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti komputer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.

Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.TEORI-TEORI CYBER LAWBerdasarkan karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan beberapa teori sebagai berikut :

1. The Theory of the Uploader and the Donwloader: berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap oran dalam wilayahnya untuk dowloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian Amerika yang pertama menggunakan yurisdiksi ini.2. The Theory of Law of the Server: pendekatan ini memperlakukan server dimana webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server pada Stanford University tunduk pada hukum California. namun teori ini akan sulit digunakan apabila uploader berada dalam yurisdiksi asing.3. The Theory of International Spaces: ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni Sovereignless Quality.

Nov14

Karakteristik Cybercrime

Cybercrime sebagai kejahatan yang muncul sebagai akibat adanya komunitas dunia maya di internet, memiliki karakteristik tersendiri, antara lain menyangkut 5 hal sebagai berikut :

a. Ruang lingkup kejahatan

Sesuai sifat global internet, ruang lingkup kejahatan ini juga bersifat global. Cybercrime sering kali dilakukan secara transnasional, melintasi batas antar Negara sehingga sulit dipastikan yuridiksi hukum negara mana yang berlaku terhadapnya.

a. Sifat kejahatan

Karakteristik yang kedua yaitu sifat kejahatan di dunia maya yang non-violence, atau tidak menimbukan kekacauan yang mudah terlihat. Oleh karena itu, ketakutan atas kejahatan tersebut tidak mudah timbul meskipun bisa saja kerusakan yang diakibatkan oleh kejahatan cyber dapat lebih dahsyat dari pada kejahatan-kejahatan lain.

b. Pelaku kejahatan

Pelaku cybercrime bersifat lebih universal meski memiliki cirri kusus yaitu kejahatan dilakukan oleh orang orang yang menguasai penggunaan internet beserta aplikasinya.

c. Modus kejahatan

Modus kejahatan ini adalah penggunaan teknologi informasi dalam modus operandi yang biasanya sulit dimengerti oleh orang orang yang tidak menguasai pengetahuan tentang computer, teknik pemrogrmannya dan seluk beluk duni cyber.

d. Jenis kerugian yang ditimbulkan Kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan ini bersifat material maupun non-material seperti waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat dan bahkan sampai pada kerahasiaan informasi. 1. Landasan Hukum Mengenai Cyber Crime di IndonesiaUntuk menindak lanjuti Cyber Crime tentu saja diperlukan Cyber Law (Undang undang khusus dunia Cyber/Internet). Selama ini landasan hukum Cyber Crime yang di Indonesia menggunakan KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya dikategorikan sebagai kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan bisa berakibat sangat fatal. Indonesia. Faktor lain yang menyebabkan ketertinggalan Indonesia dalam menerapkan Cyber Law ini adalah adanya ke-strikean sikap pemerintah terhadap media massa yang ternyata cukup membawa pengaruh bagi perkembangan Cyber Law di Indonesia. Sikap pemerintah yang memandang minor terhadap perkembangan internal saat ini, telah cukup memberikan dampak negatif terhadap berlakunya Cyber Law di Indonesia. Pemerintah. Landasan Hukum Cyber Crime di Indonesia, adalah KUHP (pasal 362) dan ancaman hukumannya dikategorikan sebagai kejahatan ringan, padahal dampak yang ditimbulkan oleh Cyber Crime bisa berakibat sangat fatal.

Beberapa indikator penyalahgunaan sarana dan prasarana di Internet, antara lain :

a. Menjamurnya warnet hampir setiap propinsi di tanah air yang dapat digunakan sebagai fasilitas untuk melakukan tindak kejahatan Cyber Crime, disebabkan tidak tertibnnya sistem administrasi dan penggunaan Internet Protocol/IP Dinamis yang sangat bervariatif.

b. ISP (Internet Service Provider) yang belum mencabut nomor telepon pemanggil yang menggunakan Internet.

c. LAN (Local Area Network) yang mengakses Internet secara bersamaan (sharing), namun tidak mencatat dalam bentuk log file aktifitas dari masing masing client jaringan.

d. Akses Internet menggunakan pulsa premium, dimana untuk melakukan akses ke Internet, tidak perlu tercatat sebagai pelanggan sebuah ISP. Berbicara mengenai tindak kejahatan (Crime), tidak terlepas dari lima faktor yang terkait, antara lain karena adanya pelaku kejahatan, modus kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial atas kejahatan, dan hukum.

Berdasarkan beberapa pustaka, sebagian besar menyebutkan bahwa pelaku Cyber Crime adalah para remaja yang berasal dari keluarga baik baik, bahkan berotak encer. Hukum positif di Indonesia masih bersifat lex loci delicti yang mencakup wilayah, barang bukti, tempat atau fisik kejadian, serta tindakan fisik yang terjadi. Padahal kondisi pelanggaran yang mungkin terjadi di Cyber Space dapat dikatakan sangat bertentangan dengan hukum positif yang ada tersebut. Dalam Cyber Crime, pelaku tampaknya memiliki keunikan tersendiri, secara klasik kejahatan terbagi dua : Blue Collar Crime dan White Collar Crime. Pelaku Blue Collar Crime biasanya dideskripsikan memiliki stereotip, seperti dari kelas social bawah, kurang terdidik, berpenghasilan rendah, dsb. Sedangkan White Collar Crime, para pelaku digambarkan sebaliknya. Mereka memiliki penghasilan yang tinggi, berpendidikan, dsb. Untuk pelaku Cyber Crime.

Faktor pendukung cybercrimeFaktor pendorong laju pertumbuhan cybercrime

1. Kesadaran hukum masyarakatProses penegakan hukum pada dasarnya dalah upaya mewujudkan keadlian dan ketertiban didalam kehidupan bermasyarakat. Melalui sistem peradilan pidana dan sistem pemidanaan. Pada dasarnya hak-hak warga negara yang terganggu akibat perbuatan melawan hukum seseorang akan diseimbangkan kemabali

Cyber crime adalah sebuah perbuatan yang tercela dan melanggar kepatutan didalam masyakat serta melanggar hukum, sekalipun sampai sekarang suakr untuk menentukan norma hukum yang seara khusus mengatur cyber crime. Oleh karena itu, peran masyarakat dalam upaya penegakan hukum terhadap cyber crime adalah penting untuk menentukan sifat dapat dicela dan melanggar kepatutan masyarakat dari suatu perbuatan cyber crime.

Sampai saat ini kesadaran hukum masyarakat indonesiadalam merespon aktifitas cyber crime masih dirasa kurang. Hal ini disebabkan antara lain kurangnya pemahaman dan pengetahuan (lack of information) masyarakat terhadap jenis kejahatan cyber crime. Lack of information ini menyebabkan upaya penanggulangan cyber crime mengalami kendala, dalam hal ini kendala yang berkenaan dengan penataan hukum proses pengawasaan (controlling) masyarakat terhadap setiap aktivitas yang diduga berkaitan dengan cyber crime.

Mengenai kendala yang pertama yaitu mengenai proses penataan terhadap hukum, jika masyarakat di indonesia memiliki pemahaman yang benar akan tindak pidana cybercrime maka baik secara langsung maupun tidak langsung masyarakat akan membentuk suatu pola penataan. Pola penataan ini tumbuh atas kesadaran mereka sendiri sebagai masyarakat hukum.

Berkaitan dengan pola penataan dalam sebuah tulisan yang berjudul tantangan bagi pembinaan hukum nasional, seorang sarjana hukum menyatakan bahwa :..pembangunan hukum itu dapat diadakandisela-sela pembanguna fisik atau mental, dengan terlebih dahulu menentukan tujuan hukum dan perkembangannya, mengadakan suatu analisa deskriftif dan prediktif, dan mengumpulkan data-data tentang hukum yang masih dianggap melekat dalam diri anggota-anggota masyarakat. Menetukan tujuan hukum dan perkebangannya saya kira tidaklah sulit, sebaliknya yang saya anggap sulit adalah menetapkan apakah anggota-anggota masyarakat itu dapat menerima atau mengakui tujuan hukum tersebut oleh karena itu taanya anggota-anggota masyarakat dapat disebabkan oleh 2 faktor dominan, yaitu :Pertama, bahwa tujuan hukum identik denga tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat itu atau degan kata lain taatnya anggota-anggota masyarakat pada huku dalah karena terdapatnya perasaan keadlian dan kebenaran dalam hukum itu sendiri.Kedua, karena adanya imperatif melekat dalam hukum tersebut, dengan sanksi apabila ada orang yang berani melanggarnya ia akan memperoaleh akibat-akibat hukum yang tak diingini. Melalui pemahaman yang komprehensf mengenai cybercrime, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam upaya pengawasan, ketika masyarakat mengalami lack of information, peran mereka akan menjadi mandul. Misalnya, dalam sebuah yang masyarakat yang lack of information, datang seorang mahasiswa yang membawa seperangkat komputer dan ditempatnya yang baru ini, si mahasiswa memesan barang-barang mewah melalui carding. Oleh karena itu masyarkat tidak mengetahui dan memahami carding, maka tidak ada kecurigaan atas perbuatan si mahasiswa ini, bahkan sebaliknya masyarakat cenderung terkesan dengan pola tingkah mahasiswa dimaksud.

Lain halnya dengan delik-delik konvensional seperti pencurian. Masyarakat secara umum telah mengetahui apa yang dimaksud dengan pencurian sehingga ketika ada warga mayarakat yang dicurigai akan melakukan pencurian, masyarakat sekitar dapat mengatisipasinya. Atau jika telah terjadi pencurian didalam suatu kompleks masyarakat, warga sekitar melaporkan kepada aparat kepolisisan setempat.

Alat bukti tp cybercrime Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), hukum Indonesia telah mengakui alat bukti elektronik atau digital sebagai alat bukti yang sah di pengadilan. Dalam acara kasus pidana yang menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka UU ITE ini memperluas dari ketentuan Pasal 184 KUHAP mengenai alat bukti yang sah.

Pasal 5 (1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang- Undang ini. (4)Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk: a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pasal 6 Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Menurut keterangan Kepala Unit V Information dan Cyber Crime Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Kombespol Dr. Petrus Golose dalam wawancara penelitian Ahmad Zakaria, S.H., pada 16 April 2007, menerangkan bahwa Kepolisian Republik Indonesia (Polri), khususnya Unit Cyber Crime, telah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam menangani kasus terkait Cyber Crime. Standar yang digunakan telah mengacu kepada standar internasional yang telah banyak digunakan di seluruh dunia, termasuk oleh Federal Bureau of Investigation (FBI) di Amerika Serikat.

Karena terdapat banyak perbedaan antara cyber crime dengan kejahatan konvensional, maka Penyidik Polri dalam proses penyidikan di Laboratorium Forensik Komputer juga melibatkan ahli digital forensik baik dari Polri sendiri maupun pakar digital forensik di luar Polri. Rubi Alamsyah, seorang pakar digital forensik Indonesia, dalam wawancara dengan Jaleswari Pramodhawardani dalam situs perspektifbaru.com, memaparkan mekanisme kerja dari seorang Digital Forensik antara lain:

1. Proses Acquiring dan Imaging Setelah penyidik menerima barang bukti digital, maka harus dilakukan proses Acquiring dan Imaging yaitu mengkopi (mengkloning/menduplikat) secara tepat dan presisi 1:1. Dari hasil kopi tersebutlah maka seorang ahli digital forensik dapat melakukan analisis karena analisis tidak boleh dilakukan dari barang bukti digital yang asli karena dikhawatirkan akan mengubah barang bukti.

2. Melakukan Analisis Setelah melakukan proses Acquiring dan Imaging, maka dapat dilanjutkan untuk menganalisis isi data terutama yang sudah dihapus, disembunyikan, di-enkripsi, dan jejak log file yang ditinggalkan. Hasil dari analisis barang bukti digital tersebut yang akan dilimpahkan penyidik kepada Kejaksaan untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan.

Dalam menentukan locus delicti atau tempat kejadian perkara suatu tindakan cyber crime, penulis tidak mengetahui secara pasti metode yang diterapkan oleh penyidik khususnya di Indonesia. Namun untuk Darrel Menthe dalam bukunya Jurisdiction in Cyberspace : A Theory of International Space, menerangkan teori yang berlaku di Amerika Serikat yaitu:

1. Theory of The Uploader and the Downloader Teori ini menekankan bahwa dalam dunia cyber terdapat 2 (dua) hal utama yaitu uploader (pihak yang memberikan informasi ke dalam cyber space) dan downloader (pihak yang mengakses informasi) 2. Theory of Law of the Server Dalam pendekatan ini, penyidik memperlakukan server di mana halaman web secara fisik berlokasi tempat mereka dicatat atau disimpan sebagai data elektronik. 3. Theory of International Space Menurut teori ini, cyber space dianggap sebagai suatu lingkungan hukum yang terpisah dengan hukum konvensional di mana setiap negara memiliki kedaulatan yang sama.

Sedangkan pada kolom Tanya Jawab UU ITE dalam laman http://www.batan.go.id/sjk/uu-ite dijelaskan bahwa dalam menentukan tempus delicti atau waktu kejadian perkara suatu tindakan cyber crime, maka penyidik dapat mengacu pada log file, yaitu sebuah file yang berisi daftar tindakan dan kejadian (aktivitas) yang telah terjadi di dalam suatu sistem komputer.

Dan kini terakhir, apa Karakteristik E Commerce ? Dari informasi yang Admin dapat, setidaknya ada 4 yang sering terdengar. Apa saja itu ? Baca yang dibawah ini :

a. Transaksi tanpa batas

Sebelum era internet, batas-batas geografi seringkali menjadi penghalang suatu bisnis untuk go international, sehingga hanya perusahaan yang bermodal besar saja yang dapat memasarkan produknya ke luar negeri. Dewasa ini, dengan internet pengusaha kecil dan menengah dapat memasarkan produknya secara internasional, cukup dengan membuat situs web atau dengan memasang iklan di situs-situs internet tanpa dibatas waktu (24 jam), dan tentu saja pelanggan dari seluruh dunia dapat mengakses situs tersebut serta melakukan transaksi secara on line. Karena hal itulah E Commerce menjadi tanpa batas, Selanjutnya.

d. Produk barang tak berwujud

Banyak perusahaan yang bergerak di bidang e-commerce menawarkan barang tak berwujud (intangible) seperti data, software dan ide-ide yang dijual melalui internet. Namun setelah Anda deal bertransaksi tentunya barang akan berwujud dan berada ditangan Anda, selanjutnya apalagi kalau tidak buru buru dipakai.

Akhirnya sekian juga ilmu tentang Pengertian, Contoh, dan Karakteristik E Commerce di Indonesia. Bila ada kekurangan dan salah kata tinggal diperbaiki bersama, akhir kata Salam Sukses untuk Anda dari Admin

Pihak-Pihak dalam Transaksi E-Commerce

A. Pihak pihak dalam Transaksi E-CommerceTransaksi E-Commerce melibatkan beberapa pihak, baik yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung, tergantung kompleksitas transaksi yang dilakukan. Artinya apabila semua transaksi dilakukan secara on-line atau hanya beberapa tahap saja yang dilakukan secara on-line. Apabila seluruh transaksi e-commerce dilakukan secara on-line, mulai dari proses terjadinya transaksi sampai dengan pembayaran, Budhiyanto mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat terdiri dari :

1. Penjual, yaitu perusaha/produsen yang menawarkan produknya melalui internet.

2. Konsumen, yaitu orang orang yang ingin memperoleh produk melalui pembelian secara on-line.

3. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan (antara penjual dan pembeli) dan perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit). Perantara penagihan adalah perantara yang meneruskan tagihan kepada penerbit berdasarkan tagihan yang masuk kepaanya yang di berikan oleh penjual barang/ jasa.

4. Issuer, perusahaan credit card yang menerbitkan kartu.

5. Certification Authorities, pihak ketiga yang netral yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card holder.

Apabila transaksi e-commerce tidak sepenuhnya dilakukan secara on-line dengan kata lain hanya proses transaksinya saja yang on-line, sementara pembayaran tetap dilakukan secara manual, maka pihak acquirer, issuer, dan certification authority tidak terlibat di dalamnya.

Di damping pihak tersebut di atas, pihak lain yang keterlibatannya tidak secara langsung dalam transaksi e-commerce yaitu jasa pengiriman barang.