Upload
taufik-muhammad-t
View
144
Download
5
Tags:
Embed Size (px)
Citation preview
CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)TRAUMA ABDOMEN
Diajukan untuk memenuhi tugas Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) SMF Penyakit Bedah
Disusun oleh:
Eva Noviani Lestari 12010011035Marry Nadya Elmiera 12010011007Dety Nur Rachmawati 12010011021
Partisipan :
Cyndee Bayu Naga Dewata 12010011044Dini Paramita Defrin 12010011068Khairuli Amri 12010011028Ilham Rizki Ernawan 12100109008
Preseptor:
Arief Guntara dr., Sp.B
SMF PENYAKIT BEDAHPROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER (P3D)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM BANDUNGRSUD AL IHSAN BANDUNG
2011
1
BAB I
ANATOMI
1.1. Anatomi Dinding Abdomen
Gambar 1.1. Abdominal contents, undisturbed, and layers of anterolateral abdominal
Wall
2
Gambar 1.2. Anterior abdominal wall
Table 1.1. Otot-otot dinding abdomen anterolateral
3
Tabel 1.2. Persarafan dinding abdomen anterolateral
Gambar 1.3. Arteri dan limfatik dinding abdomen anterolateral
4
Table 1.3. Arteri dinding abdomen anterolateral
5
BAB II
PENDAHULUAN
A. High Index Of Suspicion
Trauma abdomen yang tidak dikenali sering menyebabkan kematian
akibat trauma yang dapat dicegah. Tanda-tanda peritoneal hampir tidak
diketahui, biasanya karena tertutup oleh rasa nyeri yang muncul dari gejala
ekstra abdominal atau trauma kepala maupun intoksikasi. Sekitar 20% pasien
dengan akut peritonium dapat ditemukan gejala ringan pada abdomen pada saat
pertama kali diperiksa di ruang emergensi. Biasanya darah akan terkumpul pada
rongga peritoneal. Pasien yang menderita luka penetrasi pada torso dapat diduga
mengalami trauma visceral pada abdomen.
B. Regio Abdomen
Abdomen memiliki tiga bagian secara anatomi yang nyata, yaitu rongga
peritoneal, retroperotoneal space, dan pelvic.
Upper abdomen adalah bagian dari rongga peritoneal yang ditutupi oleh
tulang thorax, dan terdiri dari diafragma, liver, spleen, lambung, dan kolon
transversum. Diafragma dapat naik ke ICS 4 pada saat ekspirasi penuh,
menyebabkan daerah viscera beresiko setelah trauma dada bagian bawah –
terutama pada luka penetrasi. Fraktur pada lower ribs meningkatkan
kecurigaan untuk trauma hepatosplenic.
Lower abdomen terdiri dari small bowel dan bagian lain dari
intraabdominal kolon.
Retroperitoneal space terdiri dari aorta, vena cava, pankreas, ginjal,
ureter, dan sebagian colon dan duodenum. Trauma pada viscera retroperitoneal
sulit untuk dikenali karena area tersebut sulit untuk ditemukan pada pemeriksaan
fisik.
Pelvic terdiri dari rektum, bladder, iliac vessels, dan pada wanita
termasuk genitalia interna. Diagnosis awal untuk trauma berdasarkan pada lokasi
struktur anatomi.
6
BAB III
PEMBAHASAN TRAUMA ABDOMEN
I. PEMERIKSAAN
Faktor utama dalam pemeriksaan abdomen tidak untuk mendiagnosa tipe
trauma yang spesifik secara akurat namun untuk mengetahui ada tidaknya trauma
abdomen.
A. Riwayat
Riwayat kejadian yang lengkap sangat membantu dalam evaluasi dini untuk
mengetahui trauma tumpul ataupun trauma tajam. Pasien, jika sadar, sangat
menunjang dalam memberikan informasi ini. Biasanya, informasi tersebut dapat
diperoleh dari petugas prehospital care dan polisi, yang mencakup informasi
waktu, mekanisme kejadian, keadaan awal pasien, dan respon terhadap tindakan,
dll.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan abdomen harus dilakukan secara sistematis dan cermat
sesuai dengan rangkaian standar pemeriksaan, antara lain inspeksi,
auskultasi, perkusi, dan palpasi. Hasilnya baik positif maupun negatif harus
dicatat dengan lengkap pada rekam medis.
1. Inspeksi
Pasien harus membuka semua pakaiannya. Bagian anterior dan
posterior abdomen termasuk dada bagian bawah dan perineum harus di
inspeksi dari abrasi, contusion, laserasi dan luka penetrasi. Untuk
melakukan pemeriksaan secara lengkap posisi pasien dapat diubah
dengan hati-hati.
2. Auskultasi
Abdomen harus diauskultasi untuk melihat ada tidaknya bising usus.
Adanya darah di intraperitoneal ataupun organ dalam dapat
menyebabkan ileus, sehingga suara bising usus menjadi hilang. Ileus
juga dapat terjadi akibat trauma ekstra abdomen seperti fraktur ribs,
pelvic, dan spine.
7
3. Perkusi
Perkusi pada abdomen setelah trauma dilakukan terutama untuk
memperoleh rebound tenderness yang tidak jelas. Tindakan ini
menyebabkan gerakan ringan dari peritoneum dan menghasilkan respon
yang sama seperti ketika meminta pasien untuk batuk.
4. Palpasi
Palpasi daerah abdomen dapat memberikan informasi subjektif
maupun objektif. Temuan subjektifnya berupa lokasi nyeri pada
pemeriksaan sangat penting. Nyeri dini biasanya lokasinya dalam,
sehingga sulit untuk menentukan lokasinya.
Penegangan pada otot abdomen secara sadar timbul akibat pasien
menahan nyeri dan tidak menggambarkan trauma tertentu. Sedangkan
penegangan otot secara involunter merupakan tanda yang berhubungan
dengan iritasi peritoneal.
5. Pemeriksaan Rektal
DRE merupakan bagian dari pemeriksaan abdomen yang penting.
Tujuan utama dari pemeriksaan ini pada luka penetrasi adalah untuk
mencari darah yang dapat menandakan perforasi usus dan untuk
memastikan tonus spincter dan keutuhan spinal. Setelah trauma tumpul,
dinding rektum harus dipalpasi untik mendeteksi komponen tulang yang
patah dan menentukan posisi prostat. Letak prostat yang tinggi
menandakan disrupsi uretra posterior.
6. Pemeriksaan Vagina
Laserasi dari vagina dapat terjadi akibat luka penetrasi atau fragmen
tulang akibat fraktur pelvic.
7. Pemeriksaan Penis
Laserasi dari uretra harus dicurigai jika terdapat darah pada uretra
meatus.
Pemeriksaan fisik yang positif merupakan tanda klinis yang dapat
dipercaya sebagai tanda yang signifikan pada trauma abdomen. Hasil
yang negatif pada pemeriksaan fisik tidak menghilangkan kemungkinan
8
trauma intraabdomen. Pada kebanyakan pasien pemeriksaan abdomen
tidak bisa mendiaagnosa penyakit akibat faktor-faktor yang
menyamarkan atau tidak adanya tanda klinis awal yang baru dapat
ditemukan setelah pemeriksaan berikutnya.
C. Intubasi
1. Nasogastrik tube
Intubasi nasogastrik merupakan tindakan diagnostik maupun terapi.
Tujuan utamanya adalah untuk mengeluarkan isi lambung untuk mengurangi
volume, tekanan, dan resiko aspirasi dari isi lambung. Adanya darah dalam
sekresi lambung dapat diduga akibat trauma upper gastrointestinal tract, jika
kita sudah tidak menduga sumber darah tersebut berasal dari
nasopharyngeal. Peringatan : Jika terdapat fraktur daerah wajah yang berat,
NGT harus dimasukan melalui mulut untuk mencegah masuknya tube ke
dalam intracranial melalui fraktur cribriform plate.
2. Bladder Catheter
Kateter urin dipasang untuk berbagai macam tujuan. Fungsi utamanya
adalah untuk dekompresi bladder dan untuk monitoring urin output sebagai
penanda perfusi jaringan. Hematuria merupakan tanda yang penting dari
trauma genitourinary. Dapat juga digunakan untuk screening kandungan obat
dalam urin. Peringatan : pemeriksaan rektum dan genitalia harus dilakukan
sebelum memasukan kateter urin karena hasil pemeriksaan dapat merupakan
kontraindikasi pemasangan kateter. Letak prostat yang tinggi, darah pada
meatus uretra atau hematoma scrotum merupakan kontraindikasi untuk
memasang kateter transuretera sampai kita sudah mengkonfirmasi keutuhan
uretra dengan retrograde uretherography.
D. Blood Sampling
Darah harus diambil dari vena dan dikirim ke lab intuk segera dianalisis.
Tipe darah dan cross matching harus dilakukan pada pasien dengan trauma
berat. Screening laboratorium untuk suspect trauma abdomen antara lain Ht,
9
WBC dengan Diffcount, amylase, urinalisis, tes kehamilan pada semua wanita
usia produktif, dan alkohol dan/atau pemeriksaan obat lainya.
Tes ini sangat penting karena perubahan yang ditemukan dapat menjadi
tanda pertama dari trauma yang tidak tampak, terutama di retroperitonium.
E. Roentgenographic studies
1. Screening Roentgenorgram.
Hasil pembacaan roentgenografi harus disesuaikan dengan keadaan
pasien secara keseluruhan serta mekanisme traumapada pasien. Foto lateral
cervical spine, AP thorax dan foto pelvic harus diutamakan pada trauma
tumpul. Foto abdomen juga dapat membantu mengidentifikasi trauma
abdomen. Adanya udara bebas dibawah diafragma atau udara ekstraluminal
di dalam retroperitonium menandakan disrupsi visceral, dan diharuskan
segera melakukan celiotomy. Hilangnya bayangan psoas dapat dicurigai
akibat trauma retroperitoneal. Gambaran rongent harus dilihat pada trauma
tulang yang berhubungan dengan trauma abdomen.
Tabel 3.1. Trauma yang berkaitan
Bony Injuries Associated InjuriesLower ribs fractureLower thoracic spine injuriesLumbar transverse process fracturePelvic fracture
Liver and/ spleenPancreas, small bowelAbdominal viscera, kidneyPelvic organ or vessel retroperitoneal
2. Pemeriksaan Kontras
a. Urethrography
Urethrography harus dilakukan sebelum dimasukkan indwelling
urinary catheter saat dicurigai adanya urethral tear. Urethrogram dapat
dilakukan dengan memasukkan #12-French urinary catheter ke meatal
fossa dengan memompakan balon sampai 3 milimeter. Kontras yang
tidak larut dimasukkan dengan hati- hati
10
b. Cystography
Bladder rupture ditentukan dengan gravity flow cystogram. Bulb
syringe ditempelkan ke indwelling bladder catheter yang diletakkan 15
cm di atas pasien, dan masukkan kontras yang larut air sebanyak 250-
300 ml sampai ke bladder. Foto anteroposterior, oblique, dan
postdrainage penting untuk mengekslusi injuri secara definitive.
Permintaan intravenous pyelogram (IVP) versus cystography diminta
berdasarkan kecurigaan terhadap injuri upper versus lower.
c. Excretory urogram
IVP mungkin berharga dalam evaluasi renal awal. Injeksi bolus IV
dosis tinggi memberikan fungsi renal dalam 5- 10 menit. Nonfunctional
unilateral bisa karena hancurnya parenkim yang massif atau gangguan
pembuluh darah pedikel, tapi mungkin karna tidak ada ginjal. Nonfungsi
membutuhkan evaluasi operasi.
Pada pasien stabil, CT scan lebih baik dari IVP jika dicurigaiinjuri
intraabdominal dan atau retroperitoneal. Pemeriksaan kontras IV tidak
dapat dilakukan pada pasien hipotensi dan yang tidak stabil.
d. Gastrointestinal
Injuri gastrointestinal retroperitoneal yang terisolasi seperti
duodenum, kolon asenden dan desenden, dan rectum mungkin tidak
bermanifestasi tanda peritoneal atau abnormalitas pada diagnostic
peritoneal lavage. Saat injuri ini dicurigai, pemeriksaan kontras GI upper
dan lower mungkin dapat mengidentifikasinya.
F. Special Diagnostic Studies
Jika pasien akan dibawa ke fasilitas lain, tes yang memakan waktu tidak
harus dilakukan. Tes ini termasuk pemeriksaan kontras urologi dan GI,
peritoneal lavage, atau CT scan.
Peritoneal lavage atau CT scan harus dilakukan pada pasien injuri
multiple jika pada pemeriksaan abdominal:
a. Equivocal (fraktur lower ribs, dan fraktur pelvic dan lumbar spine yang
ditemukan tidak jelas)
11
b. Pemeriksaan tidak dapat dilakukan karena head injuri, intoxicant, atau
paraplegia.
c. Tidak praktis karena mengantisipasi pemeriksaan roentgenographic
(angiography) atau anestesi umum untuk injuri ekstra abdominal
1. Diagnostik Peritoneal Lavage
Adalah tes yang digunakan untuk melihat apakah ada atau tidaknya
perdarahan didalam abdomen yang dapat diakibatkan oleh trauma tumpul
ataupun trauma tajam.
Tes ini menggunakan pipa lentur yang dimasukkan ke dalam abdomen.
Ketika di aspirasi terlihat adanya darah maka perlu segera dilakukan
tindakan operasil. Peritoneal lavage adalah indicator akurat untuk
menentukan injury dalam abdomen.
Kontraindikasi :
- Riwayat operasi abdomen
- Obesitas
- Sirosis
- Koaguloopati menetap
2. Computed Tomography
Dapat menggunakan kontras. Pasien harus dalam keadaan stabil terlebih
dahulu dan tidak terdapat kontraindikasi. Pelu diingat: CT memungkinkan
tidak terlihatnya jejas pada saluran cerna.
II. INDIKASI CELIOTOMI
1. Hipotensi disertai dengan jejas abdomen
2. Peritonitis
3. Hipotensi berulang
4. Udara ekstralumen
5. Jejas diafragma
6. Perforasi intraperitoneal
7. Jejas pancreas, saluran cerna, hepar, lien dan ginjal
12
8. Peningkatan amylase yang menetap
III. MASALAH KHUSUS
A. Trauma Tumpul
Pola injury abdomen pada trauma tumpul sangat berbeda dari luka penetrasi.
Trauma benda tumpul dihasilkan dari perubahan cepat kecepatan pada
kerusakan lapisan visceral yang dapat terjadi dikarenakan dorongan langsung,
tekanan menggeser dan fenomena closed loop. Liver, limpa, dan ginjal adalah
organ yang paling sering terkena trauma tumpul.
Injury abdomen yang disebabkan karena trauma tumpul sulit untuk diperiksa
dan didiagnosis. Organ yang multipel, gangguan kesadaran pasien, dan atau
berbagai macam prehospital dan perawatan emergency dapat menutupi atau
menyamarkan temuan pemeriksaan pada injury abdomen. Pemeneriksaan fisik
sering membutuhkan kecurigaan berdasarkan mekanisme dari injurynya.
Beberapa dapat ditemukan dari PE, beberpa bisa juga tidak ditemukan.
1. Diafragma
Robekan tumpul dapat terjadi pada bagian diafragma dan bisa mengenai
pericardium. Biasanya injury sebesar 5 sampai 10 cm panjangnya, melibatkan
posterolateral hemidiafragma kiri. Abnormalitas pada x-ray biasanya tidak
spesifik tetapi hemothorax dapat terlihat dengan jelas. Posisi dari NGT dapat
mengidentifikasikan adana robekan pada sisi kiri, tube yang berada diatas
diafragma merupakan pathognomonic.
2. Duodenum
Ruptur duodenum biasanya mengalami intoksikasi, supir yang bebas
yang terlibat dalam kecelakaan frontal-impact motor atau dengan benturan
pada abdomen karena stang motor. Peningkatan aspirasi darah melalui
nasogastric atau udara pada retroperitoneal harus dicurigai. Duodenal “C-
loop” diatrizoate meglumine (Gastrografin) atau double contrast CT scan
diindikasikan pada pasien yang beresiko tinggi.
3. Pankreas
Injury pada pakreas baisanya disebabkan karena pukulan langsung pada
epigastrik yang menekan organ melawan kolum vertebral. Level serum
13
amylase yang normal tidak menyingkirkan major pancreatic trauma;
sebaliknya apabila terjadi peningkatan level amylase mungkin bukan
bersumber dari pankreas. Walaupun pemeriksaan CT-scan dobel kontras tidak
dapat mengidentifikasi trauma pankreas yang signifikan pada immediate
postinjury period.
4. Genitourinary
Pukulan langsung pada bagian belakang atau pinggang akan
menghasilkan memar, hematoma ataupun ekimosis dicurigai merupakan
tanda dari renal injury. Fraktur pada posterior lower ribs atau spinal
transverse process meingkatkan kemungkinnan. Jika terdapat perineal
hematom dan fraktur pelvic anterior dicurigai trauma pada vesika urinaria
atau urethral. Darah pada urethral meatus atau tidak dapat BAK merupakan
tanda yang jelas dari injury saluran kemih bagian bawah. Gangguan pada
urethral dibagi menjadi 2 yaitu bagian atas (posterior) atau bawah
(anterior)dari diafragma urogenital. Trauma pada urethral posterior biasanya
terjadi pada pasien dengan injury multisystem dan fraktur pelvis. Blunt renal
artery thrombosis jarang terjadi dan renal pedicle disruption adalah jarang;
keduanya mungkin tidak menghasilkan hematuria. Pada pasien dalam
keadaan sadar jarang ditemui severe abdominal pain.
5. Small Bowel
Trauma tumpul pada usus secara umum disebakan karena perlambatan
yang tiba-tiba dengan robekan pada tempat penempelan, khususnya jika
pasien tidak menggunakan sabuk pengaman dengan benar. Timbulnya
ekimosis yang transverse ataupun linear dengan dinding abdomen (tanda
sabuk pengaman) atau adanya fraktur kompresi pada anterior lumbar pada x-
ray harus diwaspadai oleh dokter adanya kemungkinan injury pada usus.
Diagnosis mungkin sulit, khususnya jika pendarahan minimal yang mungkin
dihasilkan dari robekan organ intestinal. CT biasanya tidak bisa
mendiagnosis.
14
B. Penetrating Trauma
Trauma penetrasi mungkin menyebabkan efek tidak langsung, seperti
ledakan atau kavitasi, dan juga injuri yang sulit disembuh karena senjata atau
objek yang bisa memperparah luka. Pola injuri berhubungan dengan ukuran
visera abdomen dan dekat dengan tempat masuk. Liver, usus halus, kolon dan
lambung harus dicuriga sebagai organ yang kemungkinan bisa terkena.
Pemeriksaan trauma penetrasi meliputi waktu terjadinya injuri, tipe senjata,
jarak dari penyerang , jumlah tikaman atau tembakan dan darah yang keluar
pada saat kejadian. Pada pasien yang sadar, dokter bisa menggali informasi tapi
jika tidak bisa menanyakan kepada polisi untuk data investigasi.
Luka penetrasi, khususnya luka tembak di punggung, pinggang atau pelvis
bisa menyebabkan injuri urologis atau kolon. Adanya perforasi ureter dan vesika
urinaria bisa tidak menunjukkan adanya hematuria.
1. Lower chest wound
Lower chest digambarkan sebagai bagian antara ICS 4 anterior (garis
npple) dan ICS 7 posterior (ujung scapular) dan batas costal. Karena
diafragma meningkat samai ICS 4 saat ekspirasi, luka penetrasi pada region
ini mungkin melibatkan abdominal viscera. Cara paling tepat ialah dengan
melakukan celiotomy pada lower chest gunshot wounds, sementara beberapa
surgeons mungkn meangani luka tusuk secara nonoperatif.
2. Flank and back wounds
Injury penetrasi pada retroperitoneum biasanya susah dievaluasi karena
lokasi anatomi yang tersembunyi. Terjadinya perforasi colon bisa menjadi
fatal. Resiko terjadinya visceral injury diikuti penetrasi pada flank bisa
terjadi.
C. Pelvic Fractures and Associated Injuries
Trauma pelvis yang berat sering dialami oleh pejalan kaki, pengendara
motor, atau orang yang jatuh dari ketinggian. Angka kematian dari fraktur pelvis
terbuka dapat melebihi 50%.
Perdarahan besar dari fraktur pelvis merupakan masalah yang sangat sulit
untuk ditangani. Tulang besar dari pelvis memiliki suplai darah yang banyak dan
15
bila terjadi fraktur pada tulang tersebut akan terjadi perdarahan. Sekelompok
otot utama yang mengelilingi tulang ini juga memiliki pembuluh darah yang
banyak dan dapat berdarah ketika pelvis terjadi fraktur. Sejumlah vena besar
memasuki pelvis dan beresiko tinggi terjadinya perobekan. Cedera arteri yang
utama dari trauma pelvis dapat menyebabkan perdarahan yang hebat.
Pemeriksaan fisik harus mencakup inspeksi yang teliti dari perineum untuk
mencari ekimosis atau luka terbuka, dan penekanan sistematik terhadap tulang
pelvis. Cedera rektal dan genitourinari harus dicurigai dan disingkirkan pada
seluruh pasien dengan fraktur pelvis. Sering terjadi cedera flexus sacralis.
Perdarahan yang hebat biasanya berhubungan dengan robeknya pelvis posterior.
Rontgen tunggal dari pelvis dapat melihat luasnya cedera, terutama pada elemen
posterior.
Hipotensi pada pasien dengan fraktur pelvis menimbulkan masalah yang
sulit. Fraktur pelvis jarang merupakan fenomena yang tersembunyi. Hipotensi
dapat berkaitan dengan cedera extrapelvis. Hipotensi pada pasien harus menjadi
focus dalam mendiagnosis dan proses pengobatan. Penyebab kehilangan darah,
diantaranya adalah;
1. Intra-abdominal dari cedera organ atau visceral
2. Cedera thorax yang mengancam nyawa
3. Cedera retroperitoneal atau pembuluh darah pelvis
4. Pendarahan yang berkaitan dengan fraktur tulang pelvis
Penatalaksanaan awal yang diutamakan pada pasien hipotensi dengan fraktur
pelvis mencakup penggantian volume yang adekuat, pemantauan hemodinamik
yang teliti dan evaluasi pasien secara lengkap untuk menyingkirkan sumber
hilangnya darah extrapelvis. Peritoneal lavage harus dilakukan diatas umbilikus
untuk mencegah hematoma yang seringkali meluas dari pelvis kedalam dinding
abdomen anterior bawah. Aliran bebas dari darah yang terlihat secara
makroskopik (gross blood) mengindikasikan cedera intraperitoneal yang
memerlukan celiotomy. Lavage diagnostik positif dengan perhitungan RBC
harus diinterpretasikan secara seksama. Sekitar 15% dari pasien ini tidak
memiliki cedera retroperitoneal, tetapi terjadi kebocoran dari hematoma
retroperitoneal. Bila dilakukan dengan tepat, lavage peritoneal negatif dapat
16
menyingkirkan perdarahan intraperitoneal yang serius. Jika tulang pelvis tidak
stabil, konsultasi untuk dilakukan perawatan orthopedi. Ketika perdarahan
intraperitoneal terkontrol, stabilisasi pelvis sringkali dilakukan pemasangan
fiksator eksternal dengan segera.
Bila perdarahan intraperitoneal dapat disingkirkan dengan tidak adanya
darah pada lavage peritoneal. Bila tidak ditemukan sumber perdarahan (dada,
ekstremitas) dan jika stabilitas hemodynamic pasien dapat dipertahankan dengan
resusitasi cairan, dapat diperkirakan terjadi kehilangan darah yang terus menerus
dari cedera pelvis retroperitoneal. Pada kebanyakan kasus, hal ini disebabkan
oleh perdarahan bertekanan rendah dari tempat fraktur, jaringan lunak
disekitarnya, atau cedera lunak disekitarnya, atau cedera vena. Perdarahan ini
lebih efektif dikontrol dengan menstabilisasikan pelvis dan dilakukan penutupan
ruang peritoneal terhadap adanya cairan. Fiksasi pelvis eksternal merupakan
metode pilihan untuk menstabilisasikan secara mekanik cincin pelvis yang tidak
stabil. Sampai fiksasi pelvis eksternal selesai dilakukan pada pasien dengan
hemodinamik yang tidak stabil, kain pneumatic anti shock dapaat menjadi
alternatif yang paling baik, untuk sementara dapat dilakukan pembidaian yang
darurat untuk cincin pelvis. Bila stabilisasi pelvic gagal untuk mengontrol
kehilangan darah yang terus menerus, diindikasikandilakukannya arteriografi
dengan segera. Pada persentasi yang kecil dari semua pasien dengan fraktur
pelvis (<10%), perdarahan arteri yang terus menerus diidentifikasi dan dapat
dikontrol dengan embolisasi dari pembuluh darah yang terkena.
Pada pasien yang secara hemodinamik stabil, kedaruratan untuk fiksasi dari
pelvis yang terkena tidak menjadi bagian yang darurat. Fiksasi eksternal sendiri
seringkali tidak dapat menjaga posisi dari cedera cincin pelvis posterior yang
mengalami perubahan posisi dan fiksasi internal diperlukan. Fraktur ppelvis
terbuka memerlukan evaluasi yang telah dijelaskan sebelumnya, melalui
debridemen luka, stabilisasi pelvis yang sesuai, dan dilakukannya colostomy.
Penatalaksanaan dari masalah yang serius ini, khususnya pada pasien dengan
hipotensi yang menetap, membutuhkan pendekatan multidisiplin untuk
prognosis pasien yang optimal. Hal ini seringkali memerlukan merujuk pasien
17
ke fasilitas yang lebih mampu menangani pasien dengan masalah yang
kompleks.
IV. RINGKASAN
Dua tipe utama trauma abdomen yaitu: tumpul dan tajam. Pada kasus ini
evaluasi pasien secara dini oleh dokter bedah sangat diperlukan.
A. Trauma Tumpul
Kerusakan visceral intraabdomen harus dicurigai secara seksama setelah
trauma tumpul terhadap abdomen, terutama karena adanya bukti yang seringkali
diagnosis dari cedera jenis ini sulit dilakukan dan perlu dilakukan pendekatan
yang agresif. Cedera multipel sering terjadi, tanda dan gejala yang sering
muncul akan memandu proses diagnostik. Penilaian mekanisme cedera dapat
memberikan beberapa petunjuk. Bila penemuan klinis tidak ditemukan atau
tertutupi oleh cedera lainnya, teknik khusus harus dilakukan. Lavage peritoneum
yang dilakukan secara tepat, merupakan alat diagnostik yang bernilai untuk
pasien tersebut. Diagnosis cedera organ yang khusus tidak diperlukan, hanya
perlu ditemukan cedera abdomen akut.
B. Trauma Tajam
Dokter bedah harus mengevaluasi seluruh cedera tajam pada abdomen.
Trauma tajam pada daerah flank, pantat, dan dada bagian bawah dapat
menimbulkan cedera intra-abdomen dan harus diikuti dengan kecurigaan tingkat
tinggi.
C. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trauma tumpul dan tajam terhadap abdomen meliputi:
1. Penilaian ulang fungsi vital dan mengoptimalisasi oksigenasi dan perfusi
jaringan
2. Memastikan mekanisme cedera
3. Menjaga kecurigaan yang tinggi berhubunan dengan cedera pembuluh darah
dan retroperitoneal yang tersembunyi.
4. Mengulang pemeriksaan fisik, menilai adanya perubahan atau tidak
5. Memilih cara diagnosis yang khusus bila diperlukan, dilakukan dalam waktu
yang singkat
18
6. Mengenal secara dini indikasi pelaksanaan bedaah dan tindakan celiotomy
Diagnostic Peritoneal Lavage
Alat-alat
1. Alat intubasi
a. ETT
b. Larungoscope blade and hande
c. Respirator with 15-mm adapter
2. Needle/syringe
a. 6-ml syringe with #21 atau #25 gauge needle
b. 12-ml ayrynge
3. Peritoneal dialysis catheter set-ups
4. Surgical instrument
a. Disposable scalpel with #10 and #11 blade
b. Tissue forceps
c. Allis clamp
d. Hemostatis
5. Antiseptic swab
6. 500 ml atau 1000 ml RL/normal saline dengan makrodrip dan extension tubing
7. Lidocaine dengan epinefrin
8. Surgical drap
9. Surgical garb (gloves, shoe cover, and scrub atau cover gown)
Teknik Lavage Peritoneal : Teknik Terbuka
a. Kempiskan kandung kemih dengan pemasanngan kateter urin
b. Kempiskan lambung dengan pemasangan nasogastric tube
c. Persiapan operasi abdomen ( daerah kosta ke area pubis dan anterior pinggang
ke pinggang)
d. Suntikan anastesi lokal di midline dan 1/3 dari umbilikus ke symphisis pubis.
Pergunakan lidokain dengan epinephrine untuk mencegah kontaminasi darah
dari kulit dan jaringan subkutan
e. Insisi secara vertikal kulit dan jaringan subkutan ke fascia
19
f. Jepit tepian fascia dengan klem, angkat dan insisi peritoneum
g. Masukan kateter dialysis ke dalam rongga peritoneum
h. Setelah memasukan kateter kedalam peritoneum, arahkan kateter ke dalam
pelvis
i. Hubungkan kateter dialysis dengan spuit lalu aspirasi
j. Bila darah tidak didapatkan, masukan 10 mL/kgBB RL/Saline normal (sampai 1
liter) ke dalam peritoneum melalui tabung intravena yang melekat pada kateter
dialisis
k. Gerakkan abdomen secara perlahan akan mendistribusikan cairan ke seluruh
rongga peritoneum dan meningkatkan pencampuran dengan darah
l. Bila kondisi pasien stabil, biarkan cairan tetap disana selama 5-10 menit
sebelum dikeluarkan. Proses pengeluarannya dilakukan dengan meletakkan
tempat penampungan RL/saline normal pada lantai, sehingga memungkinkan
cairan peritoneum mengalir keluar dari abdomen. Pastikan tempat penampungan
tersebut berventilasi untuk mempercepat aliran cairan dari abdomen
m. Setelah cairan dikembalikan, kirim sample ke laboratorium untuk hitung eritrosit
dan leukosit. Hasil yang positif dan perlunya tindakan operasi diindikasikan
dengan 100 RBC/mm2 atau lebih dan lebih dari 500 WBC/mm2.
n. Lavage negatif, tanpa menyingkirkan cedera retroperitoneal, contohnya pancreas
dan duodenum, perforasi lubang visceral yang tersembunyi, atau robekan
diafragmatik.
Komplikasi Peritoneal Lavage
1. Pendarahan, secondary to injeksi anestesi local, insisi kuit atau jaringan subkutan
memberikan pemeriksaan false positif
2. Peritonitis karena perforasi intestinal dari kateter
3. Laserasi urinary bladder (jika bladder tidak dievakuasi sebelumnya saat prosedur)
4. Injuri pada bagian abdomen lain dan struktur retroperitoneal yang membutuhkan
tindakan operasi)
5. Infeksi
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore KL, Dalley AF. Clinically oriented anatomy. 5th Ed. Philladelphia: William & Wilkins. 2006.
2. Alexander RH, Proctor HJ. trauma abdomen. Dalam: Alexander RH, Proctor HJ. Advanced trauma life support course for physicians.US: American College of Surgeon. 1994. p. 141-58.