37
Case Report Session Kontusio Serebri Disusun oleh : Anggi Afriani 0910313232 Puspita Sari 0810313250 Putri Yanasari 08103121 Preseptor : Dr. Yulson, Sp.S Bagian Ilmu Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Rumah Sakit Umum Daerah

CRS Cedera Kepala

Embed Size (px)

Citation preview

Case Report Session

Kontusio Serebri

Disusun oleh :

Anggi Afriani 0910313232

Puspita Sari 0810313250

Putri Yanasari 08103121

Preseptor :

Dr. Yulson, Sp.S

Bagian Ilmu Neurologi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Rumah Sakit Umum Daerah

Solok

2013

CEDERA KEPALA

(HEAD INJURY)

A. Definisi

Cedera kepala merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi

terhadap kepala yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.

B. Etiologi dan Epidemiologi

Cedera kepala merupakan penyebab yang sering menimbulkan morbiditas maupun

mortalitas. Sekitar 80% penderita cedera yang datang keruang emergensi selalu disertai

dengan cedera kepala. Sebagian besar penderita cedera kepala disebabkan oleh

kecelakaan lalu lintas, berupa tabrakan sepeda motor, mobil, sepeda dan penyebrang jalan

yang ditabrak. Sisanya disebabkan oleh jatuh dari ketinggian, tertimpa benda (misalnya

ranting pohon, kayu, dsb), olahraga, korban kekerasan (misalnya senjata api, golok,

parang, batang kayu, palu,dsb), dan lain-lain.

C. Anatomi dan Fisiologi

1. Kulit Kepala (SCALP)

a) S : Skin atau kulit

Sifatnya tebal dan mengandung banyak kelenjar keringat

b) C : Connective Tissue atau jaringan penyambung/subkutis

Merupakan jaringan ikat lemak yang memlki septa septa yang kaya akan

pembuluh darah terutama diatas galea. Pembuluh darah tersebut merupakan

anastomosis antara arteri karotis interna dan eksterna. Serabut saraf sensorik

kulit kepala terdaat dilapisan S dan C, oleh karena itu anestesi infiltrasi

ditujukan pada daerah ini.

c) A : Aponeurosis atau galea aponeurotika)

Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fasia yang melekat pada tiga

otot yaitu :

1. Ke anterior : m. Frontalis

2. Ke posterior : m. Occipitalis

3. Ke lateral : m. temporoparietalis

d) L : Loose Areolar tissue (jaringan areolar longgar)

Lapisan ini mengandung vena emissary yang merupakan vena tanpa katup

(valveless vein) yang menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena

intrakranial. Hematoma yang terjdi pada lapisan ini disebut subgaleal

hematom yang merupakan jenis hematom yang paling sering ditemukan

setelah cedera kepala, terutama pada anak-anak. Jangan melakukan aspirasi

terhadap hematom ini karena risiko tingi infeksi kecuali terjadi subgaleal

hematom masif yang harus dilakukan aspirasi dan balut tekan untuk mencegah

penumpukan kembali cairan pada subgaleal. Sebab jika terjadi infeksi pada

daerah ini, akan mudah menyebar ke intrakranial.

e) P : Perikranium (periosteum yang melapisi tulang tengkorak)

Lapisan ini melekat erat terutama pada sutura yang menghubungkannya dengan

endosteum (lapisan permukaan dalam tulang tengkorak). Hematom diantara

lapisan periosteum dan tulang tengkorak disebut cephal hematoma

(subperiosteal hematoma). Hematom ini terutama terjadi pada neonatus yang

disebabkan oleh pergesekan dan perubahan bentuk tulang tengkorak saat di

jalan lahir atau terjadi setelah fraktur tulang tengkorak.

2. Tulang Tengkorak

a) Kubah (kalvaria), khususnya di regio temporal adalah tipis, namun dilapisi oleh

otot temporalis.

b) Basis kranii, berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak

saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.

c) Rongga tengkorak dasar

Fosa anterior : lobus frontalis

Fosa media : lobus temporalis

Fosa posterior : ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum

3. Meningen

Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan :

a) Duramater

Merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat

erat pada permukaan dalam dari kranium. Pada beberapa tempat tertentu,

duramater membelah menjadi 2 lapis membentuk sinus venosus besar yang

mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus (dominan

di sebelah kanan). Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan

permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). Yang paling sering

mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fossa

temporalis (fossa media).

b) Arachnoid

Merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Cairan serebrospinal

bersirkulasi dalam ruang sub arachnoid.

c) Piamater

Merupakan lapisan yang melekat erat pada korteks serebri.

4. Otak

a) Serebrum

Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri, yang dipisahkan oleh falks serebri, yaitu

lipatan durameter dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada hemisfer

serebri kiri terdapat pusat bicara manusia yang bekerja dengan tangan kanan,

dan juga pada lebih dari 85 % orang kidal. Hemisfer otak yang mengandung

pusat bicara sering disebut sebagai hemisfer dominan.

Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik, dan pada sisi

dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik). Lobus

parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus

temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab

dalam proses penglihatan.

b) Serebelum

Bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam

fossa posterior, berhubungan medula spinalis, batang otak, dan juga kedua

hemisfer serebri.

c) Batang Otak

Terdiri atas mesensefalon (midbrain), pons, dan medula oblongata.

Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang

berfungsi dalam kesadaran dan kewaspadaan. Pada medua oblongata terdapat

pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medula spinalis.

Komponen otak yang mempengaruhi Tekanan Intrakranial

1. Cairan Serebro Spinal (CSS)

CSS dihasilkan oleh plleksus khoroideus di atap ventrikel dengan kecepatan

produksi ± 20 ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui foramen Monro

menuju ventrikel III, akuaduktus dari Sylvius menuju ventrikel IV. Selanjutnya

CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarachnoid yang

berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorpsi ke

dalam sirkulasi vena melalui granulasio arachnoid yang terdapat pada sinus

sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS akan menyumbat granulasio arachnoid

sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan TIK

(hidrosefalus komunikans paska trauma).

2. Tekanan Intrakranial

Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan kenaikan

Tekanan Intra Kranial (TIK; n=10 mmHg), keadaan ini akan menurunkan perfusi

otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia.

3. Aliran Darah ke Otak (ADO)

Normalnya antara 50-55 mL/100 gr jaringan otak/menit. Cedera otak berat

sampai koma dapat menurunkan 50 % ADO dalam 12 jam pertama sejak trauma.

ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita

yang tetap koma, ADO di bawah normal sampai beberapa hari/minggu kemudian.

ADO yang rendah tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme otak segera

setelah trauma, sehingga mengakibatkan iskemi otak (fokal/difus).

Doktrin Monro-Kellie

Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial harus selalu konstan karena rongga

kranium pada dasarnya merupakan rongga yang rigid. Segera setelah trauma, massa

(gumpalan darah) dapat terus bertambah sementara TIK masih dalam batas normal. Saat

pengaliran CSS dan darah intravaskuer mencapai titik dekompensasi, TIK akan cepat

meningkat.

D. Klasifikasi dan Patofisiologi Cedera Kepala

1. Berdasarkan Mekanisme

a) Cedera tumpul : biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,

jatuh, atau pukulan benda tumpul.

b) Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan.

2. Berdasarkan Berat

a) Cedera ringan : penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15).

b) Cedera sedang : penderita biasanya tampak kebingungan atau mengantuk,

namun masih mampu menuruti perintah (GCS 9-13).

c) Cedera berat : penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana karena

kesadaran yang menurun (GCS 3-8).

3. Berdasarkan Morfologi

a) Fraktur Kranium

Adanya tanda-tanda, seperti : ekimosis periorbital (raccon eyes sign), ekimosis

retroeurikuler (battle sign), kebocoran CSS (rhinorrhea, otorrhea), paresis N VII,

dan kehilangan pendengaran yang dapat timbul segera atau beberapa hari

posttrauma.

Klasifikasinya :

1) Kalvaria

a. Fraktur linear (garis)

Merupakan garis fraktur tunggal pada tulang tengkorak yang meliputi

seluruh ketebalan tulang. Bila fraktur linear melibatkan rongga udara

perinasal maka ada kemungkinan untuk timbulnya rinorea atau otau otorea

LCS.

b. Fraktur Diastase

Adalah fraktur yang terjai pada sutura sehingga terjadi pemisahan sutura

kranial. Sering terjadi pada anak dibawah usia 3 tahun.

c. Fraktur communited

Fraktur dengan dua atau lebih fragmen fraktur

d. Fraktur Depressed

Adalah fraktur dengan tabula eksterna pada satu atau lebih tepi fraktur

tergeer dibawah tingkat dari tabula interna tulang tengkorak utuh

sekelilingnya. Fraktur jenis ini terjadi bila energi benturan relatif besar

terhadap area benturan yang relatif kecil, misalnya benturan oleh kayu,

batu, pipa besi, martil. Pada gambaran radiologis akan terlihat suatu area

‘double density’ lebih radio opaq karena ada bagian tulang yang tumpang

tindih.

2) Basilar

Yaitu fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk dasar tengkorak.

Jenisnya :

a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior

Bagian posteriornya dibatasi oleh os. Sphenoid, prosessus

clinoidalis anterior dan jugum sphenoidalis

Manifestasi klinisnya :

Ekimosis periorbita bisa bilateral dan disebut brill hematoma atau

racoon eyes,anosmia jika cedera melibatkan N. Olfctorius,

Rhinorea.

b. Fraktur basis cranii Foss Media

Bagian anteriornya langsung berbatasan dengan fossa anterior

sedangkan bagian posteriornya dibatasi oleh yamida os petrosus, os

tempoalis, prosesus clinoidalis posterior dan dorsum sella.

Manifestasi klinisnya : ecchimosis pada mastoid (battle’s sign),

otorrhea, hemotympanum (bila membran tympaninya robek),

kelumpuhan N.VII dan N. VIII (hal ni terutama terjadijika garis

frakturnya transversal terhadap aksis pyramida petrosus). Carotid-

cavernosusfistula (CCF) yang ditandai dengan chymosis, sakit

kepala, adanya bruit, exophtalmus yang berdenyut.

c. Fraktur Basis Cranii Fossa posterior

Merupakan dasar ari kompartment infratentorial. Sering tidak

disertai gejala dan tanda yang jelas, tetapi dapat segera

menyebabkan kematian karena penekanan terhadap batang otak.

Kadang-kadang terdapat battle’s sign

Lesi Intrakranial

1) Fokal

Merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,

bergantung pada mekanisme cedera yang terjadi.

a. Epidural Hematom (EDH)

Relatif jarang (± 0,5 %) dari semua cedera otak dan 9 % dari penderita yang

mengalami koma. EDH terletak di luar dura tetapi di dalam rongga tengkorak dan

cirinya berbentuk bikonveks atau menyerupai lensa cembung. Sering terletak di area

temporal atau temporoparietal yang dan biasanya disebabkan oleh robeknya a.

Meningea media akibat fraktur tulang tengkorak. A. Meningea media ini masuk

dalam tengkorak melalui foramen spinosum dan jalan antara duramater dan tulang di

permukaan dalam os temporale. Pada fase awal biasanya penderita tidak

menunjukkan gejala dan tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat

tanda pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan mengalami

sakit kepala, mual dan muntah diikuti dengan penurunan kesadaran. Gejala neurologik

yang terpenting adalah pupil anisokor, bahkan pelebaran pupil unilateral akan

mencapai maksimal dan reaksi cahaya akan menjadi negatif. Pada tahap akhir,

kesadaran akan menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga mengalami

pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjkkan reaksi cahaya lagi yang

merupakan tanda kematian. Ciri khas hematom epidural murni adalah adanya lucid

interval. Tapi jika disertai cedera pada otak, lucid interval tidak akan terlihat. Lucid

interval adalah hilangya kesadaran pada awal trauma, kemudian pasien sadar lagi

(tenang) dan disusul dgn koma. EDH ini merupakan emergensi bedah saraf.

Terapinya hanya dengan operasi.

b. Subdural

Hematom ini disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan robeknya vena

didalam ruang arachnoid (vena-vena kecil di permukaan korteks serebri). Pembesaran

hematom akibat robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Lebih sering terjadi

(30 % cedera kepala berat) akibat robeknya. Biasanya perdarahan menutupi seluruh

permukaan hemisfer otak. Hemtom subdural dibagi menjadi hematom subdural akut

bila gejala timbul pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul antara

hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul sesudah minggu ketiga.

Hematom subdural akut dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak

ruang (space occupying lession) yangprogresif sehingga tidak jarang diangap sebagai

neoplasma atau demensia. Penanggulangannya terdiri atas trepanasi dan evekuasi

hematom. Biasanya kerusakan otak di bawahnya lebih berat dan prognosisnya jauh

lebih buruk dari EDH.

c. Kontusio dan Hematom Intraserebral (ICH)

Hematom Intraserebral Adalah hematom yang terbentk pada jaringan otak

(parenkim) sebagai akibat dari adanya robekan pembuluh darah. Terutama melibatkan

lobus frotal dan temporal (80-90%) tetapi juga dapat melibatkan korpus callosum,

batang otak, dan ganglia basalis. Gejala dan tanda tergantung ukuran dan lokasi

hematom. Pada CT-Scan terlihat gambaran hiperdens yang homogen dan berbatas

tegas. Disekitar lesi akan disertai edem perifokal. Jika hematom tersebut berdiameter

kurang dari 2/3 diameter lesi,maka keadaan tersebut kontusio. Kontusio ini terjadi

(20-30% dari cedera otak berat) dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus

temporal. Kontusio serebri dapat dalam beberapa jam atau hari berubah menjadi ICH

yang membutuhkan tindakan operasi. Hal ini timbul pada lebih kurang 20% dari

penderita dan cara mendeteksi terbaik adalah dengan mengulang CT-Scan dalam 12-

24 am setelah CT-Scan pertama. Jika ICH ini disertai dengan SDH dan kontusio atau

laserasi pada daerah yang sama maka disebut burs lobe.

2) Difusa

Merupakan suatu keadaan patologis penderita koma (penderita yang tidak

sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran

SOL (space-occupying lession) pada CT-Scan atau MRI. Paling sering disebabkan

oleh kecelakaan lalu lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme

akselerasi dan deselerasi. Angulasi, rotsi dan peregangan yang timbul menyebabkan

robekan seraut saraf pada bebagai tempat yang sifatnya menyeluruh (difus).

a. Konkusi Yaitu Hilangnya kesadaran sementara setelah trauma kepala

dan terjadi tanpa kerusakan struktur otak. Konkusi ini berlangsung bbrp

menit sampai beberapa jam, Setelah sadar pasien pusing dan bingung.

Dapat terjadi hilangnya kesadaran yaitu :

• Hilangnya daya ingat setelah kejadian

à Amnesia post traumatic

• Hilangnya daya ingat sebelum kejadian

à Amnesia anterograde

b. Cedera Aksonal Difusa atau Diffuse axonal Injury (DAI)

Adanya kerusakan axon yang difus dalam hemisfer serebri, korpus

callosum, batang otak, dan serebelum (pedenkulus).

Awalnya kekuatan renggang pada saat benturan melebihi level ketahanan

akson sehingga terjadi sobekan atau fagmentasi aksolemma , keteraturan

susunan sitoskeleton akson menjadi rusak. Terjadi pada saat benturan,

tetap ada yang memberi batas waktu dala 60 menit sejak kejadian.

Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun

susunan sistoskeleton terganggu. Penghantaran aksosplasma akan

terbendung pada sistoskeleton yang menjadi kerusakan sehingga terjadi

pembengkakan akson (retraction ball) yang pada akhirnya akan

menyebabkan putusnya akson.

Gambaran DAI secara klinis ditandai dengan koma sejak kejadian.

Klasifikasi :

Ringan : koma 6-24 jam. Jarang.

Sedang : koma > 24 jam. Paling sering. 45%.

Tanpa tanda-tanda batang otak menonjol.

Berat : koma > 24 jam. Mematikan. 36%.

4. Diagnosis

a) Pemeriksaan

1. Neurologis

(1) Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian

ini harus dilakukan secara periodik untuk menilai perbaikan atau perburukan

keadaan pasien. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya

terbatas pada satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika

kedua hemisfer mulai terlibat, atau jika ada proses patologis akibat penekanan

atau cedera pada batang otak.

Respon Mata ≥1 tahun 0-1 tahun

4 Membuka Mata Spontan

3 Membuka Mata dengan perintah

2 Membuka Mata karena Nyeri

1 Tidak membuka mata

Respon Motorik ≥1 tahun 0-1 tahun

6 Mengikuti Perintah Belum dapat Dinilai

5 Melokalisasi Nyeri

4 Menghindari Nyeri

3 Fleksi Abnormal (Dekortikasi)

2 Ekstensi Abnormal (Deserebrasi)

1 Tidak Ada Respon

Respon Verbal ≥5 tahun 2-5 tahun 0-2 tahun

5

Orientasi baik dan

mampu

berkomunikasi

Meyebutkan kata-

kata yang sesuaiMenangis kuat

4

Disorientasi tapi

mampu

berkomunikasi

Menyebutkan

kata-kata yang

tidak sesuai

Menangis

lemah

3

Menyebutkan kata-

kata yang tidak

sesuai (kasar,

jorok)

Menangis dan

menjerit

Kadang-kadang

menangis atau

menjerit

2 Mengeluarkan Mengeluarkan Mengeluarkan

suara suara lemah suara lemah

1 Tidak ada respon Tidak ada responTidak ada

respon

(2) Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk Saraf Kranial

Penilaian pupil menunjukkan fungsi mesensefalon dan sangat penting

pada cedera kepala, karena :

Bagian kepala yang mengendaikan kesadaran seara antomis terletak

berdekatan dengan pusat yang mengatur reaksi pupil.

Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan

metabolik, sehingga bisa membedakan koma-metabolik atau koma

struktural.

Reaksi okulosefalik (Doll’s head eye phenomenon) dan reaksi terhadap tes

kalori (okulovestibuler) menunjukkan fungsi medla oblongata dan pons.

Jangan melakukan pemeriksaan okulosefalik jika cedera servikal beum dapat

disingkirkan. Reaksi okulovestibuler lebih superior daripada reaksi

okulosefalik.

(3) Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar

Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita

(spontan, rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon) berbanding lurus dengan

dalamnya penurunan kesadaran.

(4) Reaksi Motorik Terbaik

Terbagi atas :

Gerakan bertujuan jelas

Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :

o +5 : kekuatan gerakan normal

o +4 : kekuatan gerakan mendekati normal

o +3 : mampu melawan gravitasi

o +2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan gravitasi

o +1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser

Gerakan bertujuan tidak adekuat

Postur fleksor

Postur ekstensor

Diffise muscle flacciditty

(5) Pola Pernapasan

Pernapasan merupakan suatu kegiatan sensorimotor terintegrasi dari

keterlibatan berbagai saraf yang terletak pada hampir semua tingkat otak dan

bagian atas spinal cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada SSP akan

memberikan gambaran pola pernapasan yang berbeda.

2. Radiologis

(1) Foto Polos Kepala

Foto polos kepala dibuat dalam 2 posisi, AP dan lateral. Untuk foto

lateral, posisi film ditempatkan pada sisi dengan jejas yang dicurigai ada

fraktur. Jika terdapat kecurigaan fraktur pada kedua sisi, foto lateral sebaiknya

dibuat pada kedua sisi

Foto polos kepala sudah sangat jarang digunakan, cukup berguna untuk

cedera kepala yang disertai luka tembus atau fraktur tulang tengkorak.

(2) Foto Servikal

Foto servikal dibuat terutama posisi lateral, kadang-kadang diperlukan

posisi frontal.

Indikasi :

GCS 8

Ya Tidak

P / M unekual

Ya

Tidak

Kelola Gadar

CT Cito

C-Kepala terbuka

Ya

Tidak

Neurologi Normal

Tidak

Ya

TS - / 5” / Risiko

Ya

Tidak

Pulang + Pesan

Kelola Gadar

CT Elektif

Penderita tidak sadar atau dengan penurunan kesadaran.

Penderita yang sadar dan mengeluh nyeri.

Ada jejas di atas klavikula, sehubungan dengan mekanisme cedera.

Setiap penderita dengan kecurigaan trauma servikal.

(3) CT-Scan

Pemeriksaan ini meliputi foramen magnum hingga verteks, dan setiap

pemotongan akan sejajar dengan orbitomeatal line untuk menghindari radiasi

terhadap lensa mata. Sebaiknya tebal pemotongan gambar adalah 5 mm,

terutama pada fosa posterior untuk menghindari adanya lesi kecil yang

terlewatkan.

Indikasi :

GCS < 15

Cedera kepala ringan yang disertai fraktur tulang tengkorak.

Ada tanda klinis fraktur basis kranii.

Disertai kejang.

Ada tanda neurologis fokal.

Sakit kepala yang menetap.

E. Penatalaksanaan

(Skema Triase)

(Resiko Cedera Kepala)

RENDAH MODERAT TINGGI

Asimptomatis

Dizziness

Laserasi skalp

Abrasi skalp

Perubahan kesadaran

Sakit kepala progresif

Intoksikasi alkohol/obat

Riwayat tidak sesuai

± perforasi tengkorak / fraktur depress

cedera wajah serius

Kesadaran rendah

Gejala fokal

Penurunan kesadaran

Cedera penetrasi

Fraktura depress

a) Primary Survey

(1) Airway

Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal.

Pasang servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada

cedera servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada

penderita koma.

(2) Breathing

Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh

hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang

tepat terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk

memonitor saturasi O2 (target > 98%).

(3) Circulation

Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat,

walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus

segera distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian

cairan untuk mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300 ml

RL/100 mL darah yang hilang).

(4) Disability (Penilaian neurologis cepat)

Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :

A = alert.

V = respon terhadap rangsangan verbal.

P = respon terhadap rangsangan nyeri.

U = tidak ada respon.

Pupil :

1. Ukuran.

2. Reaksi cahaya.

(5) Exposure

Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.

b) Secondary Survey

1. Cedera Kepala Ringan

(1) Riwayat :

Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan

Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera, tingkat

kewaspadaan

Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang atau berat)

(2) Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

(3) Pemeriksaan neurologis

(4) Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi

(5) Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin

(6) CT-Scan

(7) Kriteria Rawat :

Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )

Riwayat kehilangan kesadaran

Penurunan tingkat kesadaran

Nyeri kepala sedang hingga berat

Intoksikasi alkohol atau obat

Fraktur tengkorak

Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea

Cedera penyerta yang jelas

Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab

CT-Scan Abnormal atau tidak ada

Semua cedera tembus

(8) Kriteria pemulangan

Tidak memenuhi kriteria rawat

Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan memburuk

dan berikan lembaran observasi

Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)

2. Cedera Kepala Sedang

(1) Pemeriksan Awal :

(2) Sama dengan cedera kepala ringan tapi ditambah pemeriksaan darah

sederhana dan EKG

(3) Pemerksaan CT-Scan untuk semua kasus dirawat untuk observasi

(4) Setelah dirawat :

Pemeriksan neurologis periodik (tiap setengah jam)

CT-Scan ulang pada hari ke-3 atau lebih awal bila ada perburukan atau

akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%), dipulangkan dan kontrol dipoliklinik

biasanya 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu 1 tahun setelah cedera

Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan

penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat

3. Cedera Kepala Berat

(1) Riwayat :

Usia, jenis, dan saat kecelakaan.

Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

Perjalanan neurologis.

Perjalanan tanda-tanda vital.

Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.

Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan alergi.

(2) Stabilisasi kardiopulmoner

Jalan napas, intubasi dini

Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau darah.

Kateter Folley, NGT.

Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan

Ekstremitas.

(3) Pemeriksaan Umum

(4) Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai

Trakeostomi

Tube dada

Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi

Parasentesis abdominal

(5) Pemeriksaan neurologis

Kemampuan membuka mata

Respon motor

Respon verbal

Reflek pupil

Okulosefalik (dolls)

Okulovestibuler (kalorik)

(6) Obat-obat terapeutik

Na Bikarbonat

Manitol

(7) Tes Diagnostik

CT-Scan

Ventrikulogram udara

Angiogram

c) Terapi Medikamentosa Cedera Otak

Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak

yang telah mengalami cedera.

i) Cairan Intravena

Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan

normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang

mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk

pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan adalah larutan garam

fisiologis atau Ringer’s Lactate.

ii) Hiperventilasi

Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif dan

hanya pada waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau

lebih, karena PCO2 < 30 mmHg akan menyebabkan vasokonstriksi serebri berat

dan akhirnya iskemia otak. Hiperventilasi dalam waktu singkat (25-30 mmHg)

dapat diterima pada keadaan deteriorasi neurologis akut.

iii) Manitol

Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan

TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan konsentrasi

20%. Dosis yang diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan diberikan pada

pasien yang hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti

terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien

observasi. Pada keadaan ini, berikan bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit)

dan penderita langsung dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah

diketahui dengan CT-Scan).

iv) Furosemid

Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5

mg/kgBB diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien

hipovolemik.

v) Steroid

Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak

menunjukkan manfaat.

vi) Barbiturat

Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain.

Tapi jangan diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemi

vii)Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal

yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi.

Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya

adalah 1 g intravena dengan kecepatan pemberian < 50 mg/menit dan dosis

pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar

terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam

digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.

d) Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)

Dilakukan bila ada :

Interval lucid (bila CT tak tersedia segera)

Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual)

Fraktura depress terbuka

Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm

Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm

Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral

#5 & #6 (<5 mm), tapi mengalami perburukan/sisterna basal terkompres

Massa lobus temporal 30 ml

1. Lesi Kulit Kepala

Perdarahan dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi, atau ligasi

pembuluh darah. Penjahitan, pemasangan klips atau staples dapat dilakukan

kemudian. Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya fraktur

tengkorak atau benda asing. Adanya LCS menunjukkan robekan Dura.

2. Fraktur Depresi Tengkorak

Fraktur ini mebutuhkan koreksi operatif bila tebal depresi lebih tebal dari

ketebalan tulang di sekitarnya. CT-Scan berguna untuk menentukan dalamnya

depresi tulang, ada-tidaknya perdarahan intrakranial atau kontusi.

3. Lesi Massa Intrakranial

Lesi harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Tindakan

kraniotomi darurat dilakukan pada keadaan perdarahan intrakranial yang

membesar dengan cepat dan mengancam jiwa.

F. Prognosis

Semua pasien harus mendapatkan terapi agresif sambil menunggu konsultasi dengan

ahli bedah saraf.

G. Komplikasi

a) Komplikasi bedah

1. Hematoma Intrakranial

Dapat terjadi pada keadaan akut setelah cedera kepala atau delayed setelah

beberapa waktu. Keberhasilan pengobatan tergantung pada cepatnya diagnosis

dan operasi evakuasi sesegera mungkin.

2. Hidrosefalus

(1) Komunikan, timbul karena adanya gangguan penyerapan CSS pada rongga

subarachnoid terutama pada granulasi arachnoid. Gangguan timbul akibat

adanya darah dalam rongga subarachnoid yang mengganggu aliran dan

penyerapan CSS.

(2) Nonkomunikan, timbul akibat penekanan oleh efek massa perdarahan yang

terjadi, terhadap jalur aliran CSS dalam sistem ventrikel, sehingga aliran CSS

terbendung.

Diagnosisnya mutlak membutuhkan CT-Scan kepala, akan tampak pelebaran

sistem ventrikel, termasuk pelebaran temporal horn, dan adanya periventrikular

edema (terutama pada anterior horn). Jika terdiagnosis, maka harus dirujuk ke ahli

bedah saraf untuk operasi diversi CSS (VP-shunt).

3. Subdural Hematoma Kronis

4. Cedera kepala terbuka

5. Kebocoran CSS

Terutama menyertai fraktur basis. Pada proses penyembuhan luka, umumnya

kebocoran tersebut akan berhenti. Jika robekan durameter terjepit pada garis

fraktur dan menyebabkan kebocoran terus-menerus, maka perlu tindakan operatif.

b) Komplikasi non bedah

1. Kejang post traumatika

Merupakan tanda cedera kortikal yang dapat timbul, baik secara dini,

maupun lambat, dan biasanya terjadi karena cedera vertikal atau kerusakan

pada lobus frontal, temporal ataupun parietal.

2. Infeksi

Infeksi pada cedera kepala umumnya disebabkan oleh kuman komensal

yang berada di kulit (scalp). Penggunaan antibiotika harus disesuaikan dengan

dugaan empiris kuman penyebab.

3. Gangguan Keseimbangan cairan dan elektrolit

Cedera kepala dapat menyebabkan gangguan aksis hipotalamus-hipofise,

sehingga produksi ADH berkurang, ditandai denganproduksi urin menjadi

berlebihan (dewasa > 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam), osmolaritas urin

yang rendah (50-150 Osm/L), berat jenis urin rendah (1.001-1,005), kadar

natrium serum normal atau meningkat, osmolaritas plasma meningkat, dengan

fungsi adrenal yang normal

4. Gangguan Gastrointestinal

Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik

yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah

terjadi erosi. Anisipasinya adalah dengan pemberian obat antagonis H-2

reseptor dan inhibitor pompa proton, seperti simetidin, ranitidin, dan

omeprazole.

5. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)

Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat.

Mekanismenya :

Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus

menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran darah

yang meningkat ke paru-paru dengan peningkatan PCWP (Pulmonary

Capillary Wedge Pressure) dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru.

Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler

(peningkatan permeabiitas alveolar)

Daftar Pustaka

American College of Surgeons. ATLS : Advanced Trauma Life Support Programs fo Doctors.

7th ed. Chicago : American College of Surgeons, 2004.

Japardi, Iskandar. Cedera Kepala. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2004.

Sjamsuhidayat, R dan De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta : EGC, 2005.

Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah. Vol 2. Jakarta : EGC, 1994

www.medicastore.com

Kuliah Pakar Bedah Saraf dan Neurologi