Upload
imania-shaumi
View
35
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
no
Citation preview
MAKALAH
PEMANFAATAN HUTAN GAMBUT
YANG BERWAWASAN LINGKUNGAN
ASISTEN :
Lilik Nofianti
OLEH :
NAMA : Imania Shaumi
NIM : J1B110211
PROGRAM STUDI : KIMIA
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2010
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadiran Tuhan Yang Maha Esa,
atassegala rahmat dan karunia-Nya lah, makalah yang berjudul ”Pemanfaatan
Hutan Gambut Yang Berwawasan Lingkungan” ini telah dapat disusun dan
diselesaikan tepat pada waktunya.
Terima kasih saya ucapkan kepada kaka Lilik Nofianti, atas pengarahan dan
dukungan yang telah diberikan, dan semua pihak yang telah membantu saya
dalam penyusunan makalah ini. Saya berharap semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
Saya sadar bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu untuk penyemprnaannya, kritik dan saran dari berbagai pihak untuk
perbaikan isi makalah ini saya sambut dengan senang hati.
Banjarbaru, Oktober 2010
penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI...................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang...................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah.................................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah.................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan................................................................................... 2
BAB II. ISI
2.1 Pengertian Gambut................................................................................. 3
2.2 Penyebaran Lahan Gambut.................................................................... 3
2.3 Sifat-sifat Tanah Gambut....................................................................... 4
2.3.1 Sifat fisika...................................................................................... 5
2.3.2 Sifat Kimia..................................................................................... 5
2.4 Proses Pembentukan
Gambut................................................................. 6
2.5 Dampak Pembukaan
Gambut................................................................. 7
2.6 Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut..................................................... 8
2.6.1 Kawasan Non Budidaya................................................................. 9
2.6.2 Konsep Tampung Hujan.................................................................
9
2.6.3 Pendekatan Agro-Manajemen Terpadu..........................................10
2.6.4 Pendekatan Teknis Budidaya.........................................................10
BAB III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................11
3.2
Saran....................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang mempunyai potensi gambut nomer
4 terbesar di dunia setelah Rusia, Kanada dan Amerika Serikat dengan
luasan sekitar 26 juta hektar dan di Indonesia terbanyak ditemukan di Pulau
Sumatra (yaitu Sumatra bagian timur).
Dari seluruh potensi tersebut, gambut yang mempunyai ketebalan
kurang dari 1 meter seluas 16 juta hektar, dan yang mempunyai ketebalan 2
meter atau lebih sebesar 8,8 juta hektar. Dalam membuka hutan gambut
harus hati-hati karena sifat hutan gambut yang sangat fragil (rapuh) dimana
sekali dibuka akan merubah ekosistem dan untuk mengembalikan ke
ekosistem semula memakan waktu yang sangat lama, karena ekosistem
hutan gambut merupakan ekosistem yang telah stabil sebagai hasil dari
interaksi ribuan tahun antara komponen biotik dan lingkungannya.
Kestabilan ini menghasilkan tata air yang seimbang dan mempertahankan
keberadaan flora dan faunanya. Dengan demikian pembukaan hutan gambut
tidak boleh sewenang-wenang.
Pembukaan vegetasi penutup lahan gambut akan mengakibatkan
dipercepatnya proses dekomposisi, terjadinya subsidensi (amblesan) dan
akan mengubah ciri dari ekosistem hutan gambut. Ketidak mampuan lahan
gambut yang telah berubah untuk menyerap air, akan mengakibatkan banjir,
oksidasi berlebihan akan merubah unsur sulfur menjadi sulfat dan sulfit
yang merupakan racun tanaman, sehingga lahan gambut menjadi masam
dan tidak subur. Dengan demikian apabila hutan gambut yang telah dibuka
dan langsung dimanfaatkan untuk budidaya tanaman akan memberikan hasil
yang rendah, sehingga umumnya sering dijumpai lahan tidur yang
disebabkan oleh keadaan teknologi, sumberdaya manusia, maupun sosial
ekonomi yang rendah.
Disadari bahwa pengembangan lahan gambut menghadapi banyak
kendala, antara lain berkaitan dengan sifat tanah gambut yaitu sering
mengalami penurunan permukaan (surut) dan kekeringan sehingga
pada musim kering mudah terbakar. Bila ada banjir atau aliran air horisontal
tinggi menyebabkan retensi air sangat rendah dan mudah hanyut.
Berdasarkan sifat kimianya, lahan gambut mempunyai pH dan kejenuhan
basa sangat rendah, hara tanah juga mudah tercuci dan nisbi C/N yang tinggi
(Karama, 1996).
1.2 Batasan Masalah
Batasan masalah pada makalah ini terbatas pada informasi mengenai
strategi pemanfaatan hutan gambut dan metode penelitiannya.
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
Penulisan makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang
pemanfaatan hutan gambut yang berwawasan lingkunagn agar tidak terjadi
kerusakan lahan gambut dan upaya untuk memperbaiki lahan tersebut.
1.4 Metode Penulisan
Metode penulisan makalah berdasarkan pengumpulan bahan referensi
dari media internet yang berbentuk jurnal.
BAB II
ISI
2.1 Pengertian Gambut
Gambut terdiri dari tumpukan bahan organik yang belum
terdekomposisi (tidak terdekomposisi dengan baik), yang memerangkap dan
menyerap karbon di dalamnya dan membentuk lahan dengan profil yang
disusun oleh bahan organik dengan ketebalan mencapai lebih dari 20 meter.
Tanaman-tanaman yang tumbuh di atas gambut membentuk ekosistem
hutan rawa gambut yang mampu menyerap karbondioksida dari atmosfer
untuk berfotosintesis dan menambah simpanan karbon dalam ekosistem
tersebut.
2.2 Penyebaran Lahan Gambut
Lahan gambut mempunyai penyebaran di lahan rawa, yaitu lahan
yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem perairan.
Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yang panjang dalam setahun
selalu jenuh air (water logged) atau tergenang air. Tanah gambut terdapat
di cekungan, depresi atau bagian-bagian terendah di pelimbahan dan
menyebar di dataran rendah sampai tinggi. Yang paling dominan dan
sangat luas adalah lahan gambut yang terdapat di lahan rawa di dataran
rendah sepanjang pantai. Lahan gambut sangat luas umumnya menempati
depresi luas yang menyebar diantara aliran bawah sungai besar dekat
muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut
harian air laut.
Luas lahan rawa yang terdiri tanah gambut dan tanah mineral (non-
gambut) di Indonesia diperkirakan seluas 39,4 -39,5 juta hektar, yakni
kurang lebih seperlima (19,8 %) luas daratan Indonesia. Dari luasan
tersebut tanah gambut terdapat sekitar 13,5-18,4 juta hektar atau rata-rata
16,1 juta hektar.
Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3
kelompok yakni eutrofik (kandungan mineral tinggi, reaksi gambut netral
atau alkalin), oligotrofik (kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi
masam) dan mesotrofik ( terletak diantara keduanya dengan pH sekitar 5,
kandungan basa sedang). Ketebalan atau kedalaman gambut juga
menentukan tingkat kesuburan alami dan potensi kesesuaiannya untuk
tanaman. (Widjaja-Adhi, et al,1992) dan Subagyo, et al, (1996) membagi
gambut dalam 4 kelas, yaitu dangkal (50-100 cm), agak dalam (100-200
cm), dalam (200-300 cm) dan sangat dalam (lebih dari 300 cm).
Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya gambut di
Indonesia dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu (1) gambut ombrogenous,
dimana kandungan airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini
dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk
yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kadar abunya
adalah asli (inherent) dari tumbuhnya itu sendiri (2) gambut topogenous,
dimana kandungan airnya hanya berasal dari air permukaan. Jenis gambut
ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari
pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan tersebut. Daerah
gambut topogenous lebih bermanfaat untuk lahan pertanian dibandingkan
dengan gambut ombrogenous, karena gambut topogenous mengandung
relatif lebih banyak unsur hara (Rismunandar, 2001).
2.3 Sifat-sifat Tanah Gambut
Sifat tanah gambut berbeda dengan tanah mineral. Menurut Jones
(1984), nilai pH rendah itu disebabkan oleh asam-asam organik dan ion
hidrogen dapat ditukar (H-dd) yang tinggi terkandung dalam tanah gambut.
Menurut Buckman dan Brady (1982), secara umum kompleks koloid
gambut dipengaruhi oleh hidrogen yang menyebabkan pH tanah gambut
lebih rendah daripada tanah mineral. Bahan organik yang telah mengalami
dekomposisi mengandung gugus- gugus reaktif yang mendominasi
kompleks tukaran dan dapat bertindak sebagai asam lemah sehingga dapat
terdisosiasi dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak, tergantung pada
jumlah gugus fungsional dan derajat disosiasi. Diperkirakan 85 sampai 95 %
muatan pada bahan organik disebabkan oleh gugus karboksil dan fenol
(Rachim, 1995).
2.3.1 Sifat Fisik
Gambut tropis umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat
tua (gelap) tergantung tahapan dekomposisinya. Kandungan air yang tinggi
dan kapasitas memegang air 15-30 kali dari berat kering, rendahnya bulk
density (0,05-0,4 g/cm3) dan porositas total diantara 75-95% menyebabkan
terbatasnya penggunaan mesin-mesin pertanian dan pemilihan komoditas
yang akan diusahakan (Ambak dan Melling, 2000). Sebagai contoh di
Malaysia, tiga komoditas utama yaitu kelapa sawit, karet dan kelapa
cenderung pertumbuhannya miring bahkan ambruk sebagai akibat akar
tidak mempunyai tumpuan tanah yang kuat (Singh et al, 1986).
Sifat lain yang merugikan adalah apabila gambut mengalami
pengeringan yang berlebihan sehingga koloid gambut menjadi rusak.
Terjadi gejala kering tak balik (irreversible drying) dan gambut berubah
sifat seperti arang sehingga tidak mampu lagi menyerap hara dan menahan
air (Subagyo et al, 1996). Gambut akan kehilangan air tersedia setelah 4-5
minggu pengeringan dan ini mengakibatkan gambut mudah terbakar.
2.3.2 Sifat-sifat Kimia
Ketebalan horison organik, sifat subsoil dan frekuensi luapan air
sungai mempengaruhi komposisi kimia gambut. Pada tanah gambut yang
sering mendapat luapan, semakin banyak kandungan mineral tanah
sehingga relatif lebih subur.
Tanah gambut tropis mempunyai kandungan mineral yang rendah
dengan kandungan bahan organik lebih dari 90%. Secara kimiawi gambut
bereaksi masam (pH di bawah 4) Andriesse (1988). Gambut dangkal pH
lebih tinggi (4,0-5,1), gambut dalam (3,1-3,9). Kandungan N total tinggi
tetapi tidak tersedia bagi tanaman karena rasio C/N yang tinggi. Kandungan
unsur mikro khususnya Cu, B dan Zn sangat rendah ( Subagyo et al, 1996).
2.4 Proses pembentukan Gambut
Gambut terbentuk karena pengaruh iklim terutama curah hujan yang
merata sepanjang tahun dan topografi yang tidak merata sehingga terbentuk
daerah-daerah cekungan.
Vegetasi hutan berdaun lebar dapat tumbuh dengan baik, sehingga
menghalangi masuknya sinar matahari yang akhirnya menyebabkan
kelembaban tanah sangat tinggi. Ketinggian daerah tersebut biasanya kurang
daripada 50 meter di atas permukaan air laut (berupa dataran rendah), tetapi
dapat juga terdapat di dataran tinggi dengan ketinggian lebih daripada 2000
meter di atas permukaan air laut dengan bentuk wilayah datar sampai
bergelombang dengan suhu rendah. Pada daerah cekungan dengan genangan
air terdapat longgokan bahan organik. Hal ini disebabkan suasana yang
langka oksigen menghambat oksidasi bahan organik oleh jasad renik,
sehingga proses hancurnya jaringan tanaman berlangsung lebih lambat
daripada proses tertimbunnya. Dengan demikian terbentuklah gambut.
Agar lahan gambut dapat dimanfaatkan secara lestari dan berwawasan
lingkungan maka perlu dilakukan strategi dalam pengelolaan gambut yaitu
dengan melalui beberapa model pendekatan dan konsep antara lain
pendekaan konservasi, kawasan non budidaya, pendekatan tampung hujan,
pendekatan agro-manajemen terpadu dan pendekatan teknik budidaya.
Gambut merupakan aset potensial untuk dapat digunakan baik langsung
maupun tidak langsung bagi kemaslahatan dan kesejahteraan manusia.
Fungsi gambut, selain sebagai penyangga lingkungan adalah penghasil
berbagai produk seperti kayu, flora dan fauna. Daerah Kalimantan dan
Sumatera memiliki kawasan hutan gambut sekitar 34 -58 jenis pohon
sebagai penghasil kayu. Jenis kayu yang mempunyai nilai ekonomi tinggi
antara lain ramin, meranti, pulai, terantang. Makin sempitnya lahan-lahan
subur dan makin meningkatnya jumlah penduduk, maka pengembangan
pertanian dan perkebunan bergeser ke lahan-lahan piasan seperti gambut.
Lahan gambut lebih diperuntukkan bagi pengembangan pertanian di
kawasan Asia termasuk Indonesia (Noor, 2001).
2.5 Dampak Pembukaan Gambut
Konversi lahan gambut menjadi lahan pertanian pada dasarnya
merupakan konversi total, mulai dari pergantian jenis kehidupan menjadi
ekosistem lain yang tidak lagi memiliki sifat-sifat gambut yang asli
(indigen). Perubahan sifat ekologi yang paling tampak adalah perubahan
pH, kadar garam dan penguraian bahan organik yang cenderung meningkat.
Di lapangan memperlihatkan bahwa pembukaan hutan gambut yang paling
menonjol adalah bukannya dilakukan untuk membuat lahan pertanian tetapi
dilakukan untuk mengambil kayunya saja tanpa memperdulikan keberadaan
dan ketebalan gambut apalagi manfaat gambut. Untuk itu kegiatan yang
demikian harus dikendalikan dan diberhentikan melalui peraturan-peraturan
daerah dan pemberian sanksi.
Sedangkan di daerah dimana gambut dibakar untuk dijadikan lahan
pertaniansering menimbulkan danau-danau kecil yang kemudian tumbuh
rumput-rumputan dan gulma, sedangkan daerah yang kering yang
ditinggalkan petani menjadi lahan tidur yang ditumbuhi oleh jenis
Melaleuca atau Macaranga. Daerah gambut bekas pakai, dapat menjadi
lebih tandus lagi dan hanya dapat ditumbuhi belukar yang banyak ditumbuhi
oleh tumbuhan kantong semar (Nepenthus).
Pemakaian lahan gambut untuk pembangunan pemukiman, sarana dan
prasarana, penambangan minyak, penempatan bangunan industri dan
sebagainya, meningkatkan resiko kebakaran.
Di daerah dimana dilakukan tebang habis pada hutan gambut, suhu
rata-rata naik 4oC, air tanah naik lebih tinggi lagi dan kelembaban nisbi
turun menjadi 70%, pH meningkat menjadi 4,5-5,5. Kehilangan plasma
nutfah adalah yang paling besar yang disebabkan oleh hancurnya siklus
ekologi seperti siklus materi dan energi, siklus hara, siklus udara dan siklus
hidrologis.
Pengaruh langsung terhadap penurunan jenis kehidupan di daerah
gambut adalah biosida yang digunakan dalam pertanian dan industri
perkayuan. Biosida tersebut menyebar luas dalam lahan gambut yang
mengandung banyak air dan masuk ke dalam rantai makanan dengan cepat
sehingga berakibat fatal terhadap keberadaan jasad hidup.
2.6 Strategi Pemanfaatan Hutan Gambut
Telah diketahui bahwa ekosistem hutan gambut merupakan ekosistem
yang telah stabil sebagai hasil dari interaksi ribuan tahun antara komponen
biotik dan lingkungannya. Kestabilan ini menghasilkan tata air yang
seimbang dan mempertahankan keberadaan flora dan faunanya. Selain itu,
hutan gambut mempunyai sifat fisik dapat menyerap air yang berlipat ganda
(fungsi alami dari bahan organik), dengan hilangnya hutan gambut akan
menghilangkan fungsi penyerapan air ini. Sehingga pada waktu musim
hujan karena hilangnya hutan gambut dalam jumlah besar (yang dapat
berfungsi sebagai konservasi air) akan mengakibatkan banjir. Jadi, dalam
suatu DAS yang memiliki areal hutan gambut yang sangat luas, harus
berhati-hati dalam mentransformasi hutan gambut dalam bentuk lainnya dan
diperlukana peraturan yang menetapkan boleh tidaknya hutan gambur
dibuka dan harus transparan. Dengan demikian tidak seluruh hutan gambut
boleh diubah fungsinya, melainkan harus ada strategi dalam pemanfaatan
hutan gambut. Untuk itu diperlukan beberapa strategi dalam pemanfaatan
lahan gambut agar tidak merubah lingkungan secara drastis, karena dampak
negatif yang ditimbulkan dengan pembukaan hutan rawa yaitu (a) hilangnya
berbagai jenis flora dan fauna spesifik gambut, (b), rusaknya habitat dan
tempat mencari makan beberapa jenis fauna, (c) kemungkinan timbulnya
intrusi air asin dari laut lewat saluran-saluran yang dibangun, (d) kenaikan
keasaman tanah secara mencolok sebagai akibat teroksidasinya pirit, (e)
timbulnya banjir di daerah hilir, (f) keterbatasan sumber air bersih
khususnya untuk kebutuhan air minum, (g) secara global, berkurangnya
kandungan oksigen di udara sebagai akibat semakin berkurangnya areal
hutan dan (h) terjadinya penurunan muka tanah sebagai akibat proses
dekomposisi dan pemanfaatan tanah (Budianta, 2003). Mengingat hutan
gambut termasuk ekosistem yang fragil, maka pembukaan hutan gambut
jangan dilakukan secara besar-besaran dan harus dilakukan skala prioritas.
Gambut tebal tidak direkomendasikan untuk dibuka sebagai lahan budidaya
tetapi sebagai gambut konservasi untuk air dan flora, fauna serta
menyimpan cadangan karbon. Gambut konservasi dipertahankan sebagai
wilayah cadangan dan dipertahankan untuk mengantisipasi perubahan iklim
dunia dan mempertahankan plasma nutfah rawa, untuk mengawetkan fauna
dan flora serta memberikan yang cukup luas untuk pemanfaatan dan
penelitian di masa mendatang. Sehingga gambut konservasi didiamkan
dalam bentuk hutan. Konservasi dalam hal ini diartikan sebagai pengelolaan
penggunaan biosfer oleh manusia sedemikian sehingga memberikan
manfaat lestari tertinggi bagi generasi sekarang sementara mempertahankan
potensinya untuk memenuhi keutuhan dan aspirasi generasi mendatang
(Hanson dan Manuel, 1987).
2.6.1 Kawasan Non Budidaya
Kawasan pewakil untuk tujuan preservasi alam perlu ditentukan
sebelum membuka hutan gambut. Distribusi, jumlah dan luasan kawasan
pewakil perlu ditentukan alokasinya secara seimbang sehingga tujuan
preservasi alam tercapai. Daerah yang dicadangkan untuk tujuan preservasi
dijadikan kawasan non budidaya (buffer zone). Kawasan non budidaya
terdiri atas jalur hijau sepanjang pantai dan sungai, dan kawasan non
budidaya luasnya kira-kira sepertiga dari wilayah yang dibuka, walaupun
gambut tersebut boleh dibuka karena ketebalannya memungkinkan sebagai
lahan budidaya. Kawasan non budidaya juga bermanfaat untuk melindungi
kerusakan lahan terhadap erosi maupun abrasi oleh air sungai/pasang
2.6.2 Kosep Tampung Hujan
Sistem saluran yang sekarang digunakan di daerah gambut dapat
dikatakan sudah efektif sebagai saluran drianase. Hanya di beberapa tempat
agak kurang lancar karena adanya pendangkalan. Misalnya banyak lahan
gambut yang telah dibuka menjadi sawah kering, tidak ada genangan air,
walau musim hujan (contoh di Air Sugihan).
2.6.3 Pendekatan Agro-Manajemen Terpadu
Lahan gambut selain mempunyai kesuburan yang sangat rendah untuk
budidaya tanaman, juga wilayah untuk mencapai lahan gambut mempunyai
akses ekonomi yang sangat jelek juga. Untuk mensukseskan kegiatan
agribisnis di lahan gambut, maka harus seimbang antara kegiatan on farm
dan off farm dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Kegiatan on farm telah dilakukan semenjak membuka gambut tetapi sampai
sekarang belum menampakan keberhasilan yang menonjol untuk budidaya
di lahan gambut. Karena budidaya di lahan gambut memerlukan modal yang
sangat tinggi untuk mengoptimalisasikan lahan.
2.6.4 Pendekatan Teknis Budidaya
Teknik budidaya ini dapat dilakukan untuk meningkatkan kondisi
lahan marjinal menjadi lahan subur. Akan tetapi dalam prakteknya harus
dipilih teknologi yang tepat. Tindakan untuk memperbaiki tubuh tanah
diharapkan mengarah kepada perbaikan sifat-sifat tanah baik sifat fisik,
kimia maupun biologi yang disebut ameliorasi. Ameliorasi ini dapat
dilakukan dengan berbagai teknik antara lain teknik hidrologi, teknik
kimiawi, dan bioteknologi. Dalam prakteknya ketiga teknik tersebut harus
berjalan bersama-sama. mencegah terjadinya oksidasi pirit dan akhirnya
dapat mencegah penurunan pH secara drastis.
Indonesia mempunyai potensi gambut yang sangat besar (26 juta ha),
tetapi luasan gambut di Indonesia ini perlu dilakukan inventarisasi ulang
untuk mengetahui luas yang sebenarnya dan untuk menyusun strategi
pengelolaan, karena pada tahun 1997 terjadi kebakaran hutan secara besar-
besaran, sehingga diduga luasan gambut akan menurun.
BAB III
PENUTUP
3.1 KesimpulanHutan gambut merupakan ekosistem yang fragil maka setiap
pemgembangan dan pemanfaatan memerlukan perencanaan yang teliti,
penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Untuk itu
strategi yang dapat diusulkan adalah pendekatan konservasi, kawasan non
budidaya, pendekatan tampung hujan, pendekatan agro-manajemen terpadu
dan pendekatan teknik budadiya. pembukaan hutan gambut jangan
dilakukan secara besar-besaran dan harus dilakukan skala prioritas. Gambut
tebal tidak direkomendasikan untuk dibuka sebagai lahan budidaya tetapi
sebagai gambut konservasi untuk air dan flora, fauna serta menyimpan
cadangan karbon. Gambut konservasi dipertahankan sebagai wilayah
cadangan dan dipertahankan untuk mengantisipasi perubahan iklim dunia
dan mempertahankan plasma nutfah rawa, untuk mengawetkan fauna dan
flora serta memberikan yang cukup luas untuk pemanfaatan dan penelitian
di masa mendatang. Sehingga gambut konservasi didiamkan dalam bentuk
hutan. Konservasi dalam hal ini diartikan sebagai pengelolaan penggunaan
biosfer oleh manusia sedemikian sehingga memberikan manfaat lestari
tertinggi bagi generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya
untuk memenuhi keutuhan dan aspirasi generasi mendatang.
3.2 SaranSebagaimana yang telah diuraikan, makalah ini masih memiliki
banyak kekurangan. Sehingga sangat perlu dilakukan perbaikan-perbaikan
didalamnya. Perlu dilakukan analisis lebih lanjut dengan metode analisis
yang lain nya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2003. Strategi pemanfaatan hutan gambut yang berwawasan
lingkungan 1. Bidang Kajian Utama Pengelolaan lahan, Universitas
Sriwijaya.
http://www.peat-portal.net/view-file.cfm?fileid=306
Anonim. 2009. Pengaruh Bioaktivator terhadap Pertumbuhan Sukun (Artocarpus
communis Forst) dan Perubahan Sifat Kimia Tanah Gambut. Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
http://www.Journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalagronomi/article/view/1674/720