Upload
eka-novita
View
52
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Ruang Mawar
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN
CHOLECYSTITIS
Disusun Oleh :
Eka Novita Sari
PRODI PROFESI NERS
STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP
2015/2016
A. Pengertian
Kolesistitis (cholecystitis) merupakan inflamasi yang terjadi pada kandung empedu (vesika felea) yang menyebabkan nyeri akut, nyeri tekan, dan kekakuan pada abdomen kuadran kanan atas (Smeltzer, 2001).
Kolesistitis adalah Inflamasi kantung empedu akut atau kronis yang disebabkan oleh batu
empedu yang terjepit dalam saluran sistik dan disertai inflamasi di balik obstruksi
(Williams&Wilkins, 2011) Kolesistitis adalah Inflamasi kandung empedu akut atau kronik (Ovedoff,
2002)
Kolesistitis adalah penyakit inflamasi kandung empedu yang sering diakibatkan oleh batu empedu tetapi dapat juga akibat faktor iskemia, gangguan motilitas, trauma langsung bahan kimia, infeksi mikroorganisme, protozoa, parasit, penyakit kolagen, dan reaksi alergi. (Journal of Hepatobiliary Pancreat Surgery, 2007)
Colesistitis adalah peradangan pada dinding kandung empedu. (Batiticaca,F.B.2009)
B. Etiologi
1. Penyebab tersering obstruksi duktus oleh batu empedu
2. Kolelitiasis terdapat lebih dari 80%
3. Infeksi bacterial dapat terjadi karena adanya obstruksi
4. Proses inflamasi berkembang relative lambat tetapi dapat berkembang menjadi empiema,
gangren dan perforasi
5. Penyakit kronik sering terjadi setelah serangan inflamasi akut yang berulang-ulang secara
terpisah tetapi mungkin berkembang berangsurangsur tanpa terjadi eksaserbasi akut
C. Menifestasi klinis
1. Nyeri abdomen timbul berangsur-angsur mungkin didahului oleh nyeri epigastrium tetapi
segera menetap di daerah subkostal kanan dan mungkin terasa pada punggung di bawah
scapula.
2. 95% pasien kolesistitis akan menderita kolelitiasis
3. Riwayat kolik bilier: anoreksia, mual dan muntah, serta demam sering terdapat nyeri tekan
pada daerah bawah iga kanan: spasme otot polos membatasi pemeriksaan
4. Bila penderita bernapas dalam, nyeri tekan bertambah hebat selama palpasi bila ibu jari
pemeriksa diletakkan pada garis payudara menyebabkan pernapasan berhenti (inspiratory
arrest)(tanda Murphy)
5. Kandung empedu kadang-kadang dapat teraba
6. Leukositosis
7. Demam
8. Diaforesis
9. Mual, muntah
10. Nyeri tekan kuadran kanan atas
11. Peninggian bilirubin ringan
12. Peninggian fosfatase alkali
13. Ikterus dapat terjadi
14. Gatal
D. Komplikasi
1. Empiema dan Hidrops
Empiema kandung empedu biasanya terjadi akibat perkembangan kolesistitis akut dengan
sumbatan duktus sistikus persisten menjadi superinfeksi empedu yang tersumbat tersebut disertai
kuman-kuman pembentuk pus. Biasanya terjadi pada pasien laki-laki dengan kolesistitis akut
akalkulus dan juga menderita diabetes mellitus. Gambaran klinis mirip kolangitis dengan demam
tinggi, nyeri kuadran kanan atas yang hebat, leukositosis berat dan sering keadaan umum lemah.
Empiema kandung empedu memiliki resiko tinggi menjadi sepsis gram negatif dan atau
perforasi. Diperlukan intervensi bedah darurat disertai perlindungan antibiotik yang memadai
segera setelah diagnosis dicurigai (Gruber PJ,et al,2009).
2. Gangren dan perforasi
Gangren kandung empedu menimbulkan iskemia dinding dan nekrosis jaringan bebercak
atau total. Kelainan yang mendasari antara lain adalah distensi berlebihan kandung empedu,
vaskulitis, diabetes mellitus, empiema atau torsiyang menyebabkan oklusi arteri. Gangren
biasanya merupakan predisposisi perforasi kandung empedu, tetapi perforasi juga dapat terjadi
pada kolesistitis kronik tanpa gejala atau peringatan sebelumnya abses (Chiu HH,et al,2009).
Perforasi lokal biasanya tertahan dalam omentum atau oleh adhesi yang ditimbulkan oleh
peradangan berulang kandung empedu. Superinfeksi bakteri pada isi kandung empedu yang
terlokalisasi tersebut menimbulkan abses. Sebagian besar pasien sebaiknya diterapi dengan
kolesistektomi, tetapi pasien yang sakit berat mungkin memerlukan kolesistektomi dan drainase
abses (ChiuHH,et al,2009).
Perforasi bebas lebih jarang terjadi tetapi menyebabkan angka kematiansekitar 30%,
Pasien ini mungkin memperlihatkan hilangnya secara transien nyerikuadran kanan atas karena
kandung empedu yang teregang mengalamidekompresi, tetapi kemudian timbul tanda peritonitis
generalisata (Chiu HH,et al,2009).
3. Pembentukan fistula dan ileus batu empedu
Fistulisasi dalam organ yang berdekatan melekat pada dinding kandung empedu mungkin
diakibatkan dari inflamasi dan pembentukan perlekatan. Fistula dalam duodenum sering disertai
oleh fistula yang melibatkan fleksura hepatikakolon, lambung atau duodenum, dinding abdomen
dan pelvis ginjal. Fistulaenterik biliaris “bisu atau tenang” yang secara klinis terjadi sebagai
komplikasikolesistitis kronik pernah ditemukan pada 5 % pasien yang menjalani kolesistektomi
(Isselbacher, K.J,et al ,2009).
Ileus batu empedu menunjuk pada obstruksi intestinal mekanik yang diakibatkan oleh
lintasan batu empedu yang besar ke dalam lumen usus. Batu tersebut biasanya memasuki
duodenum melalui fistula kolesistoenterik pada tingkat tersebut. Tempat obstruksi oleh batu
empedu yang terjepit biasanya pada katup ileosekal, asalkan usus kecil yang lebih proksimal
berkaliber normal. Sebagian besar pasien tidak memberikan riwayat baik gejala traktus
biliarissebelumnya maupun keluhan kolesistitis akut yang sugestif atau fistulisasi(Isselbacher,
K.J,et al,2009).
4. Empedu limau (Susu kalsium) dan kandung empedu porselin.
Garam kalsium mungkin disekresi ke dalam lumen kandung empedu dalam konsentrasi
yang cukup untuk menyebabkan pengendapan kalsium dan opasifikasi empedu yang difus dan
tidak jelas atau efek pelapis pada rontgenografi polos abdomen. Apa yang disebut empedu limau
atau susu empedu secara klinis biasanya tidak berbahaya, tetapi kolesistektomi dianjurkan karena
empedu limau sering timbul pada kandung empedu yang hidropik. Sedangkan kandung empedu
porselin terjadi karena deposit garam kalsium dalam dinding kandung empeduyang mengalami
radang secara kronik, mungkin dideteksi pada foto polosabdomen. Kolesistektomi dianjurkan
pada semua pasien dengan kandung empedu porselin karena pada kasus presentase tinggi temuan
ini tampak terkait dengan perkembangan karsinoma kandung empedu (Isselbacher, K.J,et
al,2009).
E. Pathways
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
F. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan untuk mengetahui adanya radang pada kandung empedu atau kolesistitis
adalah :
1. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Sebaiknya dilakukan secara rutin dan sangat bermanfaat untuk memperlihatkan besar,
bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatic.
Nilai kepekatan dan ketetpatan USG mencapai 90 – 95%.
2. Skintigrafi saluran empedU
Mempergunakan zat radioaktif HIDA atau ggn TC6 Iminodiaretic acid mempunyai niai
sedikit lebih rendah dari USG tapi teknik ini tidak mudah. Terlihatnya gambaran duktus
koledokus tenpa adanya gambaran kandung empedu pada pemeriksaan kolesistografi
oral atau scintigrafi sangat menyokong kolesistitis akut.
3. Pemeriksaan CT scan abdomen.
Kurang sensitive dan biayanya mahal tapi mampu memperlihatkan adanya abses
perikolestik yang masih kecil yang mungkin tidak terlihat pada pemeriksaan USG.
4. Tes laboratorium :
a. Leukosit : 12.000 – 15.000 /iu (N : 5000 – 10.000 iu).
b. Bilirubin : meningkat ringan, (N : < 0,4 mg/dl).
c. Amilase serum meningkat.( N: 17 – 115 unit/100ml).
d. Protrombin menurun, bila aliran dari empedu intestin menurun karena obstruksi
sehingga menyebabkan penurunan absorbsi vitamin K.(cara Kapilar : 2 – 6 mnt).
G. Masalah keperawatan
1. Nyeri akut b/d agent injury biologis
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan absorpsi makanan
3. Defisit volume cairan b/d kehilangan cairan secara aktif
4. Mual b/d penyakit
H. Penatalaksanaan
Medis :
1. Farmakoterapi
a. Diberikan asam ursodeoksikolat (uradafalk) dan kerodeoksikolat (chenodical, chenofalk
digunakan untuk melarutkan batu empedu radiolusen yang berukuran kecil terutama
terbentuk dari kolesterol
b. Mekanisme kerja ursodeoksikolat dan konodeoksikolat adalah menghambat sintesis
kolesterol dalam hati dan sekresinya sehingga terjadi desaturasi getah empedu
c. Diperlukan terapi selama 6 hingga 12 bulan untuk melarutkan batu empedu dan selama
terapi keadaan pasien dipantau terus.
d. Dosis yang efektif bergantung pada berat pasien, cara terapi ini umumnya dilakukan pada
pasien yang menolak pembedahan atau yang dianggap terlalu beresiko untuk menjalani
pembedahan.
e. Obat-obatan tertentu lainnya seperti estrogen, kontrasepsi oral, klofibrat dan kolesterol
makanan dapat menimbulkan pengaruh merugikan terhadap cara terapi ini.
2. Pengangkatan batu empedu tanpa pembedahan
Pelarutan batu empedu Pelarutan batu empedu dengan bahan pelarut (misal : monooktanoin
atau metil tertier butil eter/MTBE) dengan melalui jalur : melalui selang atau kateter yang
dipasang perkutan langsung kedalam kandung empedu; melalui selang atau drain yang
dimasukkan melalui saluran T Tube untuk melarutkan batu yang belum dikeluarkan pada saat
pembedahan; melalui endoskop ERCP; atau kateter bilier transnasal.
Beberapa metode non bedah digunakan untuk mengelurkan batu yang belum terangkat pada
saat kolisistektomi atau yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur pertama sebuah kateter
dan alat disertai jaring yang terpasang padanya disisipkan lewat saluran T Tube atau lewat fistula
yang terbentuk pada saat insersi T Tube; jaring digunakan untuk memegang dan menarik keluar
batu yang terjepit dalam duktus koledokus. Prosedur kedua adalah penggunaan endoskop ERCP.
Setelah endoskop terpasang, alat pemotong dimasukkan lewat endoskop tersebut ke dalam
ampula Vater dari duktus koledokus. Alat ini digunakan untuk memotong serabut-serabut mukosa
atau papila dari spingter Oddi sehingga mulut spingter tersebut dapat diperlebar; pelebaran ini
memungkinkan batu yang terjepit untuk bergerak dengan spontan kedalam duodenum. Alat lain
yang dilengkapi dengan jaring atau balon kecil pada ujungnya dapat dimsukkan melalui endoskop
untuk mengeluarkan batu empedu. Meskipun komplikasi setelah tindakan ini jarang terjadi,
namun kondisi pasien harus diobservasi dengan ketat untuk mengamati kemungkinan terjadinya
perdarahan, perforasi dan pankreatitis.
ESWL (Extracorporeal Shock-Wave Lithotripsy) Prosedur noninvasiv ini menggunakan
gelombang kejut berulang (Repeated Shock Wave) yang diarahkan pada batu empedu didalam
kandung empedu atau duktus koledokus dengan maksud memecah batu tersebut menjadi
beberapa sejumlah fragmen.(Smeltzer, 2002)
3. Penatalaksanaan bedah
Penanganan bedah pada penyakit kandung empedu dan batu empedu dilaksanakan untuk
mengurangi gejala yang sudah berlangsung lama, untuk menghilangkan penyebab kolik bilier dan
untuk mengatasi kolesistitis akut. Pembedahan dapat efektif jika gejala yang dirasakan pasien
sudah mereda atau bisa dikerjakan sebagai suatu prosedur darurat bilamana kondisi psien
mengharuskannya
Tindakan operatif meliputi
1) Sfingerotomy endosokopik
2) PTBD (perkutaneus transhepatik bilirian drainage)
3) Pemasangan “T Tube ” saluran empedu koledoskop
4) Laparatomi kolesistektomi pemasangan T Tube
Keperawatan:
1. Penatalaksanaan pendukung dan diet
Kurang lebih 80% dari pasien-pasien inflamasi akut kandung empedu sembuh dengan
istirahat, cairan infus, penghisapan nasogastrik, analgesik dan antibiotik. Intervensi bedah harus
ditunda sampai gejala akut mereda dan evalusi yang lengkap dapat dilaksanakan, kecuali jika
kondisi pasien memburuk.(Smeltzer, 2002)
Manajemen terapi :
a. Diet rendah lemak, tinggi kalori, tinggi protein
b. Pemasangan pipa lambung bila terjadi distensi perut.
c. Observasi keadaan umum dan pemeriksaan vital sign
d. Dipasang infus program cairan elektrolit dan glukosa untuk mengatasi syok.
e. Pemberian antibiotik sistemik dan vitamin K (anti koagulopati)
I. Fokus intervensi
Dx : Nyeri akut
NOC : Pain level
NIC : Pain Management
Dx : ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
NOC : Nutritional status
NIC : Nutritional management
Dx : Deficit volume cairan
NOC : Fluid balance
NIC : Fluid management
Dx : Hipertermi
NOC : Thermoregulation
NIC : Fever treatment
DAFTAR PUSTAKA
Bresler, Michael Jay. 2007. Manual Kedokteran Darurat. Jakarta: EGC
Carpenito, Lynda Juall. 2009. Diagnosis Keperawatan: Aplikasi Pada Praktik Klinis. Jakarta: EGC
Chang, Ester. 2010. Patofisiologi: Aplikasi Pada Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth J. 2010. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC
Grabber, Mark A. 2006. Buku Saku Dokter Keluarga. Jakarta: EGC
Hidayat, A. Aziz alimul. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia-Aplikasi KOnsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Inayah, Iin. 2004. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem Pencernaan. Jakarta:
Salemba Medika
Ovedoff, David. 2002. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara
Potter, Patricia A. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta:
EGC
Setiawati, Santun. 2008. Panduan Praktis Pengkajian Fisik Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media
Williams & Wilkins. Nursing: Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT. Indeks