Upload
azwar-ritonagayota
View
117
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Gagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung
(Maggioni AP, 2005). Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di
rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun
diperkirakan 2,3–3,7 perseribu penderita pertahun (Santoso A, dkk, 2007). Kejadian
gagal jantung akan semakin meningkat di masa depan karena semakin
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan harapan
hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung (Davis RC, dkk, 2000).
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan klinis serta
tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap awal penyakit.
Perkembangan terkini memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini
serta perkembangan pengobatan yang memperbaiki gejala klinis, kualitas hidup,
penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan meningkatkan
kelangsungan hidup jantung (Davis RC, dkk, 2000).
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan
darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian
jantung yang tinggi atau kedua-duanya (Shah, dkk 2007)
Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung terjadi apabila jantung
tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal, meskipun aliran balik
vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal (Shonenblick dkk,
1989).
2.2. Etiologi
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit
arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di
Negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup
jantung dan penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar penyebab
terbanyak gagal jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%, dengan
penyebab penyakit jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta
kardiomiopati dan sebab lain (10%) (Lip dkk, 2000).
Faktor risiko seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang
dapat berpengaruh pada perkembangan gagal jantung. Selain itu berat badan
serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL dikatakan sebagai
faktor risiko independen perkembangan gagal jantung (Lip dkk, 2000).
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama untuk terjadinya
gagal jantung. Perubahan gaya hidup dengan konsumsi makanan yang
mengandung lemak, dan beberapa faktor yang mempengaruhi, sehingga angka
kejadiannya semakin meningkat.
2
Hipertensi telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung
pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui
beberapa mekanisme, termasuk hipertropi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel
kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolic,
meningkatkan risiko terjadinya infark miokard dan memudahkan untuk
terjadinya aritmia. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertropi ventrikel kiri
berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung. Adanya krisis
hipertensi dapat menyebabkan timbulnya gagal jantung akut (Lip dkk, 2000).
Kardiomiopati merupakan penyakit otot jantung yang bukan disebabkan
oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup
ataupun penyakit perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori
fungsional: dilatasi (kongestif), hipertropik, restriktif, dan obliterasi.
Kardiomiopati dilatasi merupakan kelainan dilatasi pada ventrikel kiri dengan
atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus,
penyakit jaringan ikat seperti SLE, dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati
hipertropik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominant) meski
secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai adanya kelainan pada serabut
miokard dengan gambaran khas hipertropi septum yang asimetris yang
berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertropik
obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance
ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi
diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel. Kardiomiopati
peripartum menyebabkan gagal jantung akut (Lip dkk, 2000).
Penyakit katup sering disebabkan penyakit jantung rematik. Penyebab
utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta.
Regurgitasi mitral dan aorta menyebabkan kelebihan beban (peningkatan beban
awal) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan
beban akhir) (Harbanu dkk, 2007).
Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan
dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertropi ventrikel kiri.
3
Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan (Harbanu dkk,
2007).
Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal
jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia. Konsumsi alkohol yang
berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung
alkohol). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2-3% dari kasus. Alkohol juga
dapat menyebabkan malnutrisi dan defisiensi tiamin. Obat-obatan juga dapat
menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doksorubisin dan obat
antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek
toksik langsung terhadap otot jantung (Harbanu dkk, 2007).
2.3 Patofisiologi
Gagal jantung dapat dilihat sebagai suatu kelainan progresif yang dimulai
setelah adanya “index event” atau kejadian penentu hal ini dapat berupa
kerusakan otot jantung, yang kemudian mengakibatkan berkurangnya miosit
jantungyang berfungsi baik, atau mengganggu kemampuan miokardium untuk
menghasilkan daya. Hal ini pada akhirnya mengakibatkan jantung tidak dapat
berkontraksi secara normal. Kejadian penentu yang dimaksud ini dapat memiliki
onset yang tiba-tiba, seperti misalnya pada kasus infark miokard akut (MI), atau
memiliki onset yang gradual atau insidius, seperti pada pasien dengan tekanan
hemodinamik yang tinggi (pada hipertensi) atau overload cairan (pada gagal
ginjal), atau bisa pula herediter, seperti misalnya pada kasus dengan
kardiomiopati genetik. Pasien dengan gagal jantung pada akhirnya memiliki satu
kesamaan, yaitu penurunan kemampuan pompa jantung, terlepas dari berbagai
penyebab gagal jantung. Pada kebanyakan orang gagal jantung bisa asimtomatik
atau sedikit bergejala setelah terjadi penurunan fungsi jantung, atau menjadi
bergejala setelah disfungsi dialami dalam waktu yang lama. Tidak diketahui
dengan pasti mengenai pasien dengan disfungsi ventrikel kiri tetap asimtomatik,
hal yang berpotensi mampu memberi penjelasan mengenai hal ini adalah
banyaknya mekanisme kompensasi yang akan teraktivasi saat terjadi jejas
jantung atau penurunan fungsi jantung yang tampaknya akan mengatur
4
kemampuan fungsi ventrikel kiri dalam batas homeostatik/fisiologis, sehingga
kemampuan fungsional pasien dapat terjaga atau hanya menurun sedikit. Transisi
pasien dari gagal jantung asimtomatik ke gagal jantung yang simtomatik, aktivasi
berkelanjutan dari sistem sitokin dan neurohormonal akan mengakibatkan
perubahan terminal pada miokardium, hal ini dikenal dengan remodelling
ventrikel kiri. Patogenesis pada gagal jantung dapat diterangkan pada Gambar 1.
Gagal jantung dimulai setelah adanya index event yang menghasilkan penurunan
pada kemampuan pompa jantung. Seiring dengan menurunan pada kapasitas
pompa jantung, beragam mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk sistem
syaraf adrenergik, sistem renin angiotensin, dan sistim sitokin. Pada jangka
pendek hal ini dapat mengembalikan fungsi jantung pada batas homoestatik
sehingga pasien tetap asimtomatik. Namun dengan aktivasi berkelanjutan
mekanisme kompensasi ini dapat mengakibatkan kerusakan organ terminal
sekunder pada ventrikel, dengan remodelling ventrikel kiri yang memburuk dan
dekompensasi jantung. Sebagai akibatnya secara klinis pasien mengalami transisi
dari gagal jantung yang tidak bergejala ke gagal jantung yang bergejala.
Gambar 1. Patofisiologi Gagal Jantung
Dikutip dari: (Mann DL, 2008)
5
Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model
neurohormonal yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi
berlebihan suatu molekul yang secara biologis aktif, yang dapat memberikan
efek kerusakan jantung dan sirkulasi (Mann DL, 2008).
Seiring dengan progresi gagal jantung, masukan inhibisi dari reseptor
arterial dan kardiopulmoner terus menurun, dan masukan eksitasi meningkat.
Akibatnya perubahan keseimbangan ini terjadi peningkatan aktifitas pada
sistem simpatis, berkurangnya kemampuan sistem parasimpatik dan simpatik
dalam mengontrol denyut jantung, dan terganggunya regulasi reflek simpatis
pada resistensi vaskular. Iskemia dinding anterior juga memiliki efek tambahan
pada eksitasi sistem saraf simpatik efferent. Gambaran sistem syaraf simpatik
dan parasimpatik pada gagal jantung dapat dilihat pada Gambar 2.
Pengaturan mekanisme neurohormonal ini dapat bersifat adaptif ataupun
maladaptif. Sistem ini bersifat adaptif apabila sistem dapat memelihara tekanan
perfusi arteri selama terjadi penurunan curah jantung. Sistem ini menjadi
maladaptif apabila menimbulkan peningkatan hemodinamik melebihi batas
ambang normal, menimbulkan peningkatan kebutuhan oksigen, serta memicu
timbulnya cedera sel miokard. Adapun pengaturan neurohormonal sebagai
berikut:
A. Sistem Saraf Adrenergik
Pasien dengan gagal jantung terjadi penurunan curah jantung. Hal ini
akan dikenali oleh baroreseptor di sinus caroticus dan arcus aorta, kemudian
dihantarkan ke medulla melalui nervus IX dan X, yang akan mengaktivasi
sistem saraf simpatis. Aktivasi system saraf simpatis ini akan menaikkan kadar
norepinefrin (NE). Hal ini akan meningkatkan frekuensi denyut jantung,
meningkatkan kontraksi jantung serta vasokonstriksi arteri dan vena sistemik.1
Norepinefrin dapat meningkatkan kontraksi dan mempertahankan
tekanan darah, tetapi kebutuhan energi miokard menjadi lebih besar, yang dapat
menimbulkan iskemi jika tidak ada penyaluran O2 ke miokard. Dalam jangka
6
pendek aktivasi sistem adrenergic dapat sangat membantu, tetapi lambat laun
akan terjadi maladaptasi (Hess dkk, 2007).
Penderita dengan gagal jantung kronik akan terjadi penurunan konsentrasi
norepinefrin jantung; mekanismenya masih belum jelas, mungkin berhubungan
dengan “exhaustion phenomenon” yang berasal dari aktivasi sistem adrenergik
yang berlangsung lama (Hess dkk, 2007).
Keterangan: Ach:asetilkolin, SSP=Susunan Syaraf Pusat, E=epinephrine, Na+=Natrium, NE=norepinephrine.
Gambar 2. Mekanisme aktivasi sistem syaraf simpatik dan parasimpatik
pada gagal jantung.
Dikutip dari : (Floras JS, 2004)
B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem renin-
angiotensin aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal,
berkurangnya natrium terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal,
dan meningkatnya stimulasi simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan
renin dari apparatus juxtaglomerular. Renin memecah empat asam amino dari
7
angiotensinogen I, dan Angiotensin -converting enzyme akan melepaskan dua
asam amino dari angiotensin I menjadi angiotensin II. Angiotensin II berikatan
dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1 (AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses
rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar pada Gambar 3. Aktivasi
reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi
aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan menyebabkan
vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin
(Hess dkk, 2007).
Gambar 3. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron
Dikutip dari: Weber KT dkk, 2011
Angiotensin II mempunyai beberapa aksi penting dalam mempertahankan
sirkulasi homeostasis dalam jangka pendek, namun jika terjadi ekspresi lama
dan berlebihan akan masuk ke keadaan maladaptif yang dapat menyebabkan
fibrosis pada jantung, ginjal dan organ lain. Selain itu, juga akan
mengakibatkan peningkatan pelepasan NE dan menstimulasi korteks adrenal
zona glomerulosa untuk memproduksi aldosteron (Hess dkk, 2007).
8
Aldosteron memiliki efek suportif jangka pendek terhadap sirkulasi
dengan meningkatkan reabsorbsi natrium. Akan tetapi jika berlangsung relatif
lama akan menimbulkan efek berbahaya, yaitu memicu hipertrofi dan fibrosis
vaskuler dan miokardium, yang berakibat berkurangnya compliance vaskuler
dan meningkatnya kekakuan ventrikel. Di samping itu aldosteron memicu
disfungsi sel endotel, disfungsi baroreseptor, dan inhibisi uptake norepinefrin
yang akan memperberat gagal jantung. Mekanisme aksi aldosteron pada sistem
kardiovaskuler nampaknya melibatkan stres oksidatif dengan hasil akhir
inflamasi pada jaringan (Hess dkk, 2007).
C. Stres Oksidatif
Pada pasien gagal jantung terdapat peningkatan kadar reactive oxygen
species (ROS). Peningkatan ini dapat diakibatkan oleh rangsangan dari
ketegangan miokardium, stimulasi neurohormonal (angiotensin II, aldosteron,
agonis alfa adrenergik, endothelin-1) maupun sitokin inflamasi (tumor necrosis
factor, interleukin-1). Efek ROS ini memicu stimulasi hipertrofi miosit,
proliferasi fibroblast dan sintesis collagen. ROS juga akan mempengaruhi
sirkulasi perifer dengan cara menurunkan bioavailabilitas NO (Hess dkk, 2007).
D. Bradikinin
Penelitian menunjukkan bahwa bradikinin berperan penting dalam
pengaturan tonus pembuluh darah. Bradikinin akan berikatan dengan reseptor
B1 dan B2. Sebagian besar efek bradikinin diperantarai lewat ikatan dengan
reseptor B2. Ikatan dengan reseptor B2 ini akan menimbulkan vasodilatasi
pembuluh darah. Pemecahan bradikinin akan dipicu oleh ACE.1,5
E. Remodeling Ventrikel Kiri
Model neurohormonal yang telah dijelaskan di atas gagal
menjelaskan progresivitas gagal jantung. Remodeling ventrikel kiri yang
progresif berhubungan langsung dengan bertambah buruknya kemampuan
ventrikel kiri di kemudian hari. Proses remodeling mempunyai efek penting
pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada
miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri (Hess dkk, 2007).
9
Proses remodeling jantung ini dapat dijelaskan pada gambar 4. Remodeling
berawal dari adanya beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan
rangsangan pada otot jantung. Keadaan jantung yang overload dengan tekanan
yang tinggi, misalnya pada hipertensi atau stenosis aorta, mengakibatkan
peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel menigkatkan tekanan pada
sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan hipertrofi
konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume
ventrikel, sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara
seri pada sarkomer dan kemudian terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan
dilatasi ventrikel kiri yang mengakibatkan hipertrofi eksentrik (Hess dkk,
2007).
Homeostasis kalsium merupakan hal yang penting dalam
perkembangan gagal jantung. Hal ini diperlukan dalam kontraksi dan relaksasi
jantung. Jalur kalsium tipe L merupakan jalur kalsium pada jantung yang paling
penting. Jalur ini akan terbuka saat depolarisasi membran sewaktu fase upstroke
potensial aksi. Akibatnya terjadi influk kalsium kedalam sel yang menyebabkan
fase plateu dan meningkatnya kadar kalsium dalam sitosol. Beberapa penelitian
menunjukkan adanya penurunan mRNA dan kadar protein serta meningkatnya
proses fosforilasi pada jalur ini. Kedua kondisi ini menyebabkan abnormalitas
pada influks kalsium dan mempengaruhi pelepasan kalsium oleh retikulum
sarkoplasma dimana hal ini akan menurunkan kecepatan pengambilan kalsium
sehingga menyebabkan konstraksi dan pengisian jantung menurun (Hess dkk,
2007).
Kontraksi dan relaksasi jantung merupakan interaksi yang tergantung
pada energi yang memerlukan pemasukan kalsium dalam sitosol. Proses
kontraksi-eksitasi merupakan proses yang menghubungkan depolarisasi
membran plasma dengan pelepasan kalsium ke dalam sitosol, sehingga dapat
berikatan dengan troponin C. Saluran ion kalsium dan natrium pada membran
plasma berperan dalam memulai proses kontraksi-eksitasi. Proses membuka
10
dan menutup saluran kedua ion ini yang akan menjaga potensial membran
(Hess dkk, 2007).
Pada kondisi gagal jantung terjadi abnormalitas pada pompa ion dan
saluran ion yang menjaga proses kontraksi-eksitasi. Perpindahan isoform yang
terjadi akan mengganti miosin ATPase yang tinggi dan mempengaruhi struktur
membran sehingga mengakibatkan penurunan dalam pompa kalsium ATPase.
Selain itu, adanya kebutuhan energi juga menyebabkan gangguan pada proses
kontraksi-eksitasi pada gagal jantung (Hess dkk, 2007).
Kematian sel miokard merupakan indikator prognosis buruk pada
gagal jantung. Baik apoptosis dan nekrosis akan menyebabkan kematian sel
pada gagal jantung. Apoptosis terjadi sebagai konsekuensi dari adanya luka
pada sel, peningkatan permeabilitas mitokondria dan jumlah kalsium yang
berlebih. Apoptosis dapat berkembang menjadi nekrosis yang kemudian
menjadi fibrosis. Hal-hal ini memperburuk gagal jantung (Hess dkk, 2007).
Gambar 3. Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap
hemodinamik berlebih. Dikutip dari: Hunter JJ, 1999
11
2.3 Klasifikasi Gagal jantung Kronis
Untuk mempermudah hal klasifikasi fungsional, NYHA mengklasifikasikan
gagal jantung menjadi 4 kelas fungsional yang dapat ditentukan melalui anamnesa.
Berdasarkan klasifikasi NYHA pasien yang dapat berjalan beberapa ratus meter tanpa
gejala namun kesulitan menaiki tangga 2 lantai memiliki gagal jantung kelas II,
sementara pasien yang tidak mampu berjalan jauh atau kesulitan saat menaiki
beberapa anak tangga dapat dimasukan kedalam kelas III. Klasifikasi fungsional
gagal jantung menurut NYHA tidak dapat dicampur-adukkan dengan stadium gagal
jantung menurut ACC/AHA. Klasifikasi NYHA didasarkan pada limitasi fungsional,
sementara stadium gagal jantung menurut ACC/AHA didasarkan pada progresi gagal
jantung, terlepas dari status fungsionalnya.
Tabel 1. Klasifikasi gagal jantung berdasarkan kelainan struktural (ACC/AHA) atau berdasarkan gejala, berdasarkan kelas fungsionalnya (NYHA)
Tahapan Gagal Jantung berdasarkan struktural dan kerusakan otot jantung.
Beratnya gagal jantung berdasarkan gejala dan aktivitas fisik.
Stage A
Memiliki risiko tinggi mengembangkan gagal jantung. Tidak ditemukan kelainan struktural atau fungsional, tidak terdapat tanda/gejala.
Kelas I
Aktivitas fisik tidak terganggu, aktivitas yang umum dilakukan tidak menyebabkan kelelahan, palpitasi, atau sesak nafas.
Stage B
Secara struktural terdapat kelainan jantung yang dihubungkan dengan gagal jantung, tapi tanpa tanda/gejala gagal jantung.
Kelas II
Aktivitas fisik sedikit terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas fisik yang umum dilakukan mengakibatkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Stage C
Gagal jantung bergejala dengan kelainan struktural jantung.
Kelas III
Aktivitas fisik sangat terbatasi. Saat istirahat tidak ada keluhan. Tapi aktivitas ringan menimbulkan rasa lelah, palpitasi, atau sesak nafas.
Stage D
Secara struktural jantung telah mengalami kelainan berat,
Kelas IV
Tidak dapat beraktivitas tanpa menimbulkan keluhan. Saat
12
gejala gagal jantung terasa saat istirahat walau telah mendapatkan pengobatan.
istirahat bergejala. Jika melakukan aktivitas fisik, keluhan bertambah berat.
Dikutip dari: Mann DL,2008
2.4 Diagnosis Gagal Jantung Kronis
Pemeriksaan klinis gagal jantung selalu dimulai dari anamnesa dan
pemeriksaan fisik, yang hingga kini tetap menjadi ujung tombak evaluasi gagal
jantung. Prinsip dan teknik pemeriksaan yang benar harus dikuasai, sehingga riwayat
gagal jantung yang objektif dapat digali secara detail (Hess, 2007).
ANAMNESAGejala kardinal gagal jantung adalah sesak nafas, intoleransi saat aktivitas, dan
lelah (Hess, 2007). Keluhan lelah secara tradisional dianggap diakibatkan oleh
rendahnya kardiak output pada gagal jantung, abnormalitas pada otot skeletal dan
komorbiditas non-kardiak lainnya seperti anemia dapat pula memberikan kontribusi.
Gagal jantung pada tahap awal, sesak hanya dialami saat pasien beraktivitas berat,
seiring dengan semakin beratnya gagal jantung, sesak terjadi pada aktivitas yang
semakin ringan dan akhirnya dialami pada saat istirahat. Penyebab dari sesak ini
kemungkinan besar multifaktorial, mekanisme yang paling penting adalah kongesti
paru, yang diakibatkan oleh akumulasi cairan pada jaringan intertisial atau
intraalveolar alveolus. Hal tersebut mengakibatkan teraktivasinya reseptor
juxtacapiler J yang menstimulasi pernafasan pendek dan dangkal yang menjadi
karakteristik cardiac dypnea. Faktor lain yang dapat memberikan kontribusi pada
timbulnya sesak antara lain adalah kompliance paru, meningkatnya tahanan jalan
nafas, kelelahan otot respiratoir dan diagfragma, dan anemia. Keluhan sesak bisa jadi
semakin berkurang dengan mulai timbulnya gagal jantung kanan dan regurgitasi
tricuspid (Hess, 2007).
13
ORTHOPNU DAN PAROXYSMAL NOCTURNAL DYSPNEA
Ortopnu didefinisikan sebagai sesak nafas yang terjadi pada saat tidur mendatar
dan biasanya merupakan menisfestasi lanjut dari gagal jantung dibandingkan sesak
saat aktivitas (Hess, 2007). Gejala ortopnu biasanya menjadi lebih ringan dengan
duduk atau dengan menggunakan bantal tambahan. Ortopnu diakibatkan oleh
redistribusi cairan dari sirkulasi splanchnic dan ekstrimitas bawah kedalam sirkulasi
sentral saat posisi tidur yang mengakibatkan meningkatnya tekanan kapiler paru.
Batuk-batuk pada malam hari adalah salah satu manisfestasi proses ini, dan seringkali
terlewatkan sebagai gejala gagal jantung. Walau orthopnea merupakan gejala yang
relatif spesifik untuk gagal jantung, keluhan ini dapat pula dialami pada pasien paru
dengan obesitas abdomen atau ascites, dan pada pasien paru dengan mekanik
kelainan paru yang memberat pada posisi tidur (Hess, 2007).
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) adalah episode akut sesak nafas dan
batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari
tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur. Manisfestasi PND
antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh meningkatnya tekanan pada
arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan nafas,disertai edema pada
intersitial paru yang mengakibatkan meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan
orthopnea dapat berkurang dengan duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki
menggantung, pada pasien dengan keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang
menyertai seringkali tidak menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut.
Gejala PND relatif spesifik untuk gagal jantung. Cardiac Asthma(asma cardiale)
berhubungan erat dengan timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing
sekunder akibat bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan
penyebab pulmoner wheezing lainnya (Shah dkk, 2007).
EDEMA PULMONER AKUT
Hal ini diakibatkan oleh transudasi carian kedalam rongga alveolar sebagai
akibat meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler paru secara akut sekunder akibat
menurunnya fungsi jantung atau meningkatnya volume intravaskular. Manisfestasi
edema paru dapat berupa batuk atau sesak yang progresif. Edema paru pada gagal
14
jantung yang berat dapat bermanifestasi sebagai sesak berat disertai dahak yang
disertai darah. Jika tidak diterapi secara cepat, edema pulmoner akut dapat mematikan
(Shah dkk, 2007).
RESPIRASI CHEYNE STOKES
Dikenal pula sebagai respirasi periodik atau siklik, adalah temuan umum pada
gagal jantung yang berat, dan umumnya dihubungkan dengan kardiak output yang
rendah. Respirasi cheyne-stokes disebabkan oleh berkurangnya sensitifitas pusat
respirasi terhadap kadar PCO2 arteri. Terdapat fase apnea, dimana PO2 arteri jatuh dan
PCO2 arteri meningkat. Perubahan pada gas darah arteri ini menstimulasi pusat nafas
yang terdepresi dan mengakibatkan hiperventiasi dan hipokapni, yang diikuti kembali
dengan munculnya apnea. Respirasi cheyne-stokes dapat dicermati oleh pasien atau
keluarga pasien sebagai sesak nafas berat atau periode henti nafas sesaat (Shah dkk,
2007).
Tabel 3 Sensitivitas dan Spesifitas Tanda dan Gejala Gagal Jantung pada pasien yang dianggap memiliki gagal jantung (Ejeksi Fraksi < 40%) pada 1306 pasien Penyakit Jantung Koroner yang menjalani Angiography Koroner.
Tanda dan Gejala Gagal Jantung Sensitivitas (%)
Spesifitas (%)
(+) Predictive Value (%)
Anamnesa
Mudah sesak 66 52 23 Orthopnea 21 81 2 Nocturnal dyspnea 33 76 26 Riwayat bengkak 23 80 22Pemeriksaan Fisik Takikardi 7 99 6 Ronkhi 13 99 6 Edema 10 93 3 Ventricular gallop (S3) 31 95 61 Distensi Vena Jugularis 10 97 2Thorax Foto (Chest X-Ray) Cardiomegaly 62 67 32Anamnesa 66 52 23 Mudah sesak 21 81 2 Orthopnea 33 76 26 Nocturnal dyspnea 23 80 22
15
Dikutip dari: Harlan WR dkk,
Kriteria Framingham untuk Gagal Jantung
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan
secara luas. Diagnosis gagal jantung mensyaratkan minimal dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor disertai dua kriteria minor. Kriteria minor dapat diterima jika
kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan kondisi medis yang lain seperti
hipertensi pulmonal, PPOK, sirosis hati, atau sindroma nefrotik. Kriteria mayor dan
minor dari Framingham untuk gagal jantung dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 2. Kriteria Framingham untuk Gagal JantungKriteria Mayor:Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopneaDistensi vena leherRales paruKardiomegali pada hasil rontgenEdema paru akutS3 gallopPeningkatan tekanan vena pusat > 16 cmH2O pada atrium kananHepatojugular refluxPenurunan berat badan ≥ 4,5 kg dalam kurun waktu 5 hari sebagai respon pengobatan gagal jantungKriteria Minor:Edema pergelangan kaki bilateralBatuk pada malam hariDyspnea on ordinary exertionHepatomegaliEfusi pleuraTakikardi ≥ 120x/menitDikutip dari: Mann DL,2008 PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang cermat harus selalu dilakukan dalam mengevaluasi
pasien dengan gagal jantung. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu
menentukan apa penyebab gagal jantung dan juga untuk mengevaluasi beratnya
sindroma gagal jantung. Memperoleh informasi tambahan mengenai profil
hemodinamik, sebagai respon terhadap terapi dan menentukan prognosis adalah
tujuan tambahan saat pemeriksaan fisik (Mann,2008).
KEADAAN UMUM DAN TANDA VITAL
16
Pada gagal jantung ringan atau sedang, pasien bisa tampak tidak memiliki
keluhan, kecuali merasa tidak nyaman saat berbaring datar selama lebih dari beberapa
menit. Pada pasien dengan gagal jantung yang lebih berat, pasien bisa memiliki upaya
nafas yang berat dan bisa kesulitan untuk menyelesaikan kata-kata akibat sesak.
Tekanan darah sistolik bisa normal atau tinggi, tapi pada umumnya berkurang pada
gagal jantung lanjut karena fungsi LV yang sangat menurun. Tekanan nadi bisa
berkurang, dikarenakan berkurangnya stroke volume, dan tekanan diastolik arteri bisa
meningkat sebagai akibat vasokontriksi sistemik. Sinus tachycardia adalah gejala non
spesifik yang diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang meningkat. Vasokontriksi
perifer mengakibatkan ekstrimitas perifer menjadi lebih dingin dan sianosis dari bibir
dan ujung jari juga diakibatkan oleh aktivitas simpatis yang berlebihan (Shah, 2007).
PEMERIKSAAN VENA JUGULARIS DAN LEHER
Pemeriksaan vena jugularis memberikan perkiraan tekanan pada atrium kanan,
dan secara tidak langsung tekanan pada atrium kiri. Pemeriksaan tekanan vena
jugularis dinilai terbaik saat pasien tidur dengan kepala diangkat dengan sudut 45o.
Tekanan vena jugularis dihitung dengan satuan sentimeter H2O (normalnya kurang
dari 8 cm), dengan memperkirakan tinggi kolom darah vena jugularis diatas angulus
sternalis dalam centimeter dan menambahkan 5 cm (pada postur apapun). Pada tahap
awal gagal jantung, tekanan vena jugularis bisa normal saat istirahat, tapi dapat secara
abnormal meningkat saat diberikan tekanan yang cukup lama pada abdomen (refluk
hepatojugular positif). Giant V wave menandakan keberadaan regurgitasi katup
tricuspid (Mann, 2008)
PEMERIKSAAN PARU
Pulmonary Crackles (ronkhi atau krepitasi) dihasilkan oleh transudasi cairan
dari rongga intravaskular kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema paru, ronki
dapat didengar pada kedua lapang paru dan dapat disertai dengan wheezing
ekspiratoar (asma kardiale). Jika ditemukan pada pasien tanpa penyakit paru, ronkhi
spesifik untuk gagal jantung. Walau demikian harus ditekankan bahwa ronkhi
seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kronik, bahkan ketika
pulmonary capilary wedge pressure kurang dari 20 mmHg, hal ini karena pasien
17
sudah beradaptasi dan drainase sistem limfatik cairan rongga alveolar sudah
meningkat. Efusi pleura timbul sebagai akibat meningkatnya tekanan sistem kapiler
pleura, hasilnya adalah transudasi cairan kedalam rongga pleura. Karena vena pada
pleura bermuara pada vena sistemik dan pulmoner, effusi pleura paling sering terjadi
pada kegagalan kedua ventrikel (biventricular failure). Walau effusi pleura biasanya
ditemukan bilateral, angka kejadian pada rongga pleura kanan lebih sering daripada
yang kiri (Mann, 2008).
PEMERIKSAAN JANTUNG
Pemeriksaan jantung, walau penting, seringkali tidak dapat memberikan
informasi yang berguna mengenai beratnya gagal jantung. Jika terdapat kardiomegali,
titik impulse maksimal (ictus cordis) biasanya tergeser kebawah intercostal space
(ICS) ke V, dan kesamping (lateral) linea midclavicularis. Hipertrofi ventrikel kiri
yang berat mengakibatkan pulsasi prekodial (ictus) teraba lebih lama (kuat angkat).
Pemeriksaan pulsasi prekordial ini tidak cukup untuk mengevaluasi beratnya
disfungsi ventrikel kiri. Pada beberapa pasien, bunyi jantung ketiga dapat didengar
dan teraba pada apex (Hes, 2007).
Pada pasien dengan ventrikel kanan yang membesar dan mengalami hipertrofi
dapat memiliki impulse yang kuat dan lebih lama sepanjang sistole pada parasternal
kiri (right ventricular heave).Bunyi jantung ketiga (gallop) umum ditemukan pada
pasien dengan volume overload yang mengalami tachycardia dan tachypnea, dan
seringkali menunjukkan kompensasi hemodinamik yang berat. Bunyi jantung
keempat bukan indikator spesifik gagal jantung, tapi biasanya ada pada pasien dengan
disfungsi diastolik. Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid umumnya ditemukan
pada pasien dengan gagal jantung yang lanjut (Mann, 2008)
PEMERIKSAAN ABDOMEN DAN EKSTRIMITAS
Hepatomegali adalah tanda yang penting tapi tidak umum pada pasien dengan
gagal jantung. Jika memang ada, hati yang membesar seringkali teraba lunak dan
dapat berpulsasi saat sistol jika terdapat regurgitasi katup trikuspid. Ascites dapat
timbul sebagai akibat transudasi karena tingginya tekanan pada vena hepatik dan
sistem vena yang berfungsi dalam drainase peritenium (Mann, 2008).
18
Jaundice dapat juga ditemukan dan merupakan tanda gagal jantung stadium
lanjut, biasanya kadar bilirubin direk dan indirek meningkat. Ikterik pada gagal
jantung diakibatkan terganggunya fungsi hepar sekunder akibat kongesti (bendungan)
hepar dan hipoksia hepatoselular (Mann, 2008).
Edema perifer adalah manisfestasi kardinal gagal jantung, hal ini walau
demikian tidaklah spesifik dan biasanya tidak terdapat pada pasien yang telah
mendapat diuretik. Edema perifer pada pasien gagal jantung biasanya simetris,
beratnya tergantung pada gagal jantung yang terjadi, dan paling sering terjadi sekitar
pergelangan kaki dan daerah pretibial pada pasien yang masih beraktivitas. Pada
pasien tirah baring, edema dapat ditemukan pada sakrum dan skrotum. Edema yang
berlangsung lama dihubungkan dengan kulit yang mengeras dan pigmentasi yang
bertambah (Mann, 2008).
KAKEKSIA KARDIAK
Pada gagal jantung kronis yang berat, dapat ditemukan riwayat penurunan berat
badan dan kaheksia. Walau mekanisme kakeksia tidak sepenuhnya dimengerti,
kemungkinan besar faktor penyebabnya adalah multifaktorial, termasuk didalamnya
adalah meningkatnya basal metabolik rate, anorexia, nausea, dan muntah-muntah
yang diakibatkan oleh hematomegali hepatomegali dan rasa penuh di abdomen,
meningkatnya konsentrasi sitokin pro-inflamasi yang bersirkulasi, dan terganggunya
absorpsi pada saluran cerna akibat kongesti vena intestinal. Jika terdapat kakeksia
maka prognosis gagal jantung akan semakin memburuk (Mann, 2008).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan pada gagal jantung antara lain
adalah : darah rutin, urine rutin, elektrolit (Na & K), ureum & kreatinine, SGOT/PT,
dan BNP. Pemeriksaan ini mutlak harus dilakukan pada pasien dengan gagal jantung
karena beberapa alasan berikut : (1) untuk mendeteksi anemia, (2) untuk mendeteksi
gangguan elektrolit (hipokalemia dan/atau hiponatremia), (3) untuk menilai fungsi
ginjal dan hati, dan (4) untuk mengukur brain natriuretic peptide (beratnya gangguan
hemodinamik) (Mann,2008).
19
Kandungan elektrolit biasanya normal pada gagal jantung ringan-sedang,
namun dapat menjadi abnormal pada gagal jantung berat ketika dosis obat
ditingkatkan. Kadar serum kalsium biasanya normal, tapi penggunaan diuretik
kaliuretik seperti thiazid atau loop diuretik dapat mengakibatkan hipokalemia. Derajat
hiponatremia juga merupakan penanda beratnya gagal jantung, hal ini dikarenakan
kadar natrium secara tidak langsung mencerminkan besarnya aktivasi sistem renin
angiotensin yang terjadi pada gagal jantung. Selain itu, rektriksi garam bersamaan
dengan terapi diuretik yang intensif dapat mengakibatkan hiponatremia. Gangguan
elektrolit lainnya termasuk hipofasfatemia, hipomagnesemia, dan hiperurisemia
(Mann,2008).
Anemia dapat memperburuk gagal jantung karena akan menyebabkan
meningkatnya kardiak output sebagai kompensasi memenuhi metabolisme jaringan,
hal ini akan meningkatkan volume overload miokard. Penelitian juga telah
menunjukkan bahwa anemia (kadar Hb <12 gr/dl) dialami pada 25% penderita gagal
jantung.
Pemeriksaan Biomarker BNP sangat disarankan untuk diperiksa pada semua
pasien yang dicurigai gagal jantung untuk menilai beratnya gangguan hemodinamik
dan untuk menentukan prognosis. Biomarker Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan
BNP disekresikan sebagai respon terhadap meningkatnya tekanan pada dinding
jantung dan/atau neurohormon yang bersirkulasi. Karena ANP memiliki waktu paruh
yang pendek, hanya NT-ANP yang secara klinis berguna. Untuk BNP, N-Terminal
Pro-BNP dan BNP memiliki nilai klinis yang bermakna. Kadar ANP dan BNP
meningkat pada pasien dengan disfungsi sistolik, sementara disfungsi diastolik
peningkatan kadarnya lebih rendah. Pada disfungsi sistolik, kadar BNP ditunjukan
berbanding lurus dengan wall stress, ejeksi fraksi, dan klasifikasi fungsional.
Pemeriksaan BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung berdasarkan kelas
fungsionalnya (Hess, 2007)
20
Gambar 4. Kadar BNP berbanding lurus dengan beratnya gagal jantung
menurut kelas fungsionalnya.
Fungsi ginjal memiliki peran penting pada progresi disfungsi ventrikel dan
gagal jantung. Penurunan pada fungsi renal, terutama pada glomerular filtration rate
(GFR), menurut NYHA adalah prediktor mortalitas yang lebih kuat dibandingkan
klasifikasi kelas fungsional (Mann, 2008).
Fungsi hepar sering ditemukan abnormal pada gagal jantung sebagai akibat
hepatomegali yang menyertai. Aspartate aminotransferase (AST/SGOT) dan alanine
aminotransferase (ALT/SGPT) dapat meningkat, protrombin time (PT) dapat
memanjang, dan pada sebagian kecil kasus dapat terjadi hiperbilirubinemia (Mann,
2008).
Urinalisis harus dilakukan pada semua pasien dengan gagal jantung untuk
mencari infeksi bakteri, mikroalbunuria dan mikrohematuri. Konsentrasi dan volume
urine harus mendapat perhatian seksama terutama pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal dan yang mendapat diuretic (Mann, 2008).
PEMERIKSAAN FOTO TORAKS
Pemeriksaan Chest X-Ray (CXR) sudah lama digunakan dibidang kardiologi,
selain menilai ukuran dan bentuk jantung, struktur dan perfusi dari paru dapat
dievaluasi. Kardiomegali dapat dinilai melalui CXR, cardiothoracic ratio (CTR)
21
yang lebih dari 50%, atau ketika ukuran jantung lebih besar dari setengah ukuran
diameter dada, telah menjadi parameter penting pada follow-up pasien dengan gagal
jantung. Bentuk dari jantung menurut CXR dapat dibagi menjadi ventrikel yang
mengalami pressure-overload atau volume-overload, dilatasi dari atrium kiri dan
dilatasi dari aorta asenden (Mann, 2008).
Pasien dengan gagal jantung akut dapat ditemukan memiliki gambaran
hipertensi pulmonal dan/atau edema paru intersitial, sementara pasien dengan gagal
jantung kronik tidak memilikinya. Kongesti paru pada CXR ditandai dengan adanya
Kerley-lines, yaitu gambaran opak linear seperti garis pada lobus bawah paru, yang
timbul akibat meningkatnya kepadatan pada daerah interlobular intersitial akibat
adanya edema. Edema intersitial dan perivaskular terjadi pada dasar paru karena
tekanan hidrostatik di daerah tersebut lebih tinggi. Temuan tersebut umumnya tidak
ditemukan pada pasien gagal jantung kronis, hal ini dikarenakan pada gagal jantung
kronis telah terjadi adaptasi sehingga meningkatkan kemampuan sistem limfatik
untuk membuang kelebihan cairan interstitial dan/atau paru. Hal ini konsisten dengan
temuan tidak adanya ronkhi pada kebanyakan pasien gagal jantung kronis, walau
tekanan arteri pulmonal sudah meningkat. Keberadaan dan beratnya effusi pleura juga
merupakan informasi penting dalam evaluasi pasien dengan gagal jantung, dan
terbaik dinilai melalui CXR dan CT-scan.3 Temuan pada foto toraks dengan
penyebab dan implikasi klinisnya dapat di lihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Temuan pada Foto Toraks , Penyebab dan Implikasi Klinis
Kelainan Penyebab Implikasi Klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri,
ventrikel kanan, atria,
efusi perikard
Ekhokardiografi, doppler
Hipertropi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta,
kardiomiopati hipertropi
Ekhokardiografi, doppler
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri
Gagal jantung kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan
pengisian ventrikel kiri
Gagal jantung kiri
22
Efusi pleura Gagal jantung dengan
peningkatan pengisian
tekanan jika ditemukan
bilateral, infeksi paru,
keganasan
Pikirkan diagnosis non
kardiak
Garis Kerley B Peningkatan tekanan
limfatik
Mitral stenosis atau gagal
jantung kronis
Dikutip dari : Mann DL dkk, 2008
ELEKTROKARDIOGRAMPemeriksaan elektrokardiogram (ECG) harus dilakukan untuk setiap pasien
yang dicurigai gagal jantung (Hes, 2007). Dampak diagnostik elektrokardiogram
(ECG) untuk gagal jantung cukup rendah, namun dampaknya terhadap terapi cukup
tinggi. Temuan EKG yang normal hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal
jantung (Hes, 2007). Gagal jantung dengan perubahan EKG umum ditemukan.
Temuan seperti gelombang Q patologis, hipertrofi ventrikel kiri dengan strain, right
bundle branch block (RBBB), left bundle branch block (LBBB), AV blok, atau
perubahan pada gelombang T dapat ditemukan. Gangguan irama jantung seperti
takiaritmia supraventrikuler (SVT) dan fibrilasi atrial (AF) juga umum. Ekstrasistole
ventrikular (VES) dapat sering terjadi dan tidak selalu menggambarkan prognosis
yang buruk, sementara takikardi ventrikular sustained dan nonsustained dapat
dianggap sebagai sesuatu yang membahayakan. Jenis aritmia seperti ini biasanya
tidak terdeteksi pada resting ECG tapi dapat terdeteksi pada monitoring holter 24-
atau 48- jam (Mann, 2008).
PEMERIKSAAN UJI LATIH BEBAN JANTUNG
Pemeriksaan uji latih beban jantung (ULBJ) ini memiliki keterbatasan dalam
diagnosis gagal jantung, walau demikian hasil yang normal pada pasien yang tidak
mendapat terapi hampir selalu menyingkirkan diagnosis gagal jantung. Nilai
pemeriksaan ini adalah dalam penilaian kapasitas fungsional dan stratifikasi
prognosis. Kapasitas fungsional ditentukan melalui aktivitas yang secara progresif
ditingkatkan hingga pasien tidak dapat meneruskan. Pada saat aktivitas maksimal,
uptake maksimal oksigen (Vo2 MAX) dapat dihitung. Parameter ini mencerminkan
23
kemampuan aerobik pasien dan berkorelasi dengan mortalitas kardiovaskular pada
pasien dengan gagal jantung (Hes, 2007). Pemeriksaan ini juga memungkinkan untuk
menentukan ambang batas metabolisme anaerob, yaitu titik dimana metabolisme
pasien beralih dari aerob ke anaerob, yang menghasilkan laktat berlebih. Secara
praktis prinsip perhitungannya ULJB dihentikan ketika : (1) Vo2 tidak meningkat lagi
saat intensitas latihan ditingkatkan, (2) pasien menghentikan latihan karena timbulnya
gejala berat seperti sesak atau letih. Hasil dari ULBJ memiliki arti prognostik yang
penting. Puncak Vo2 <10 ml/kg/menit dikategorikan sebagai pasien berisiko tinggi,
>18 ml/kg/menit adalah pasien berisiko ringan. Nilai diantaranya adalah zona abu-
abu dengan risiko sedang. Data prognostik untuk puncak Vo2 pada wanita masih
terbatas. Nilai Vo2 max digunakan sebagai batasan untuk menentukan kapan pasien
dengan gagal jantung yang progresif harus dipertimbangkan untuk menjalani
transplantasi jantung. Walau demikian harus tetap diingat bahwa puncak Vo2 max
dapat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, massa otot, dan status pelatihan aerobik.
Hal ini menjelaskan mengapa pada beberapa pasien dengan Vo2 max yang rendah
(<14 ml/kg/menit) masih tetap memiliki prognosis yang cukup baik. Karena hal
tersebut beberapa peneliti telah mengusulkan angka prediksi persentase Vo2
dibandingkan nilai absolut Vo2 max (Hes, 2007).
Karena pasien dengan gagal jantung umumnya memiliki kemampuan latihan
yang terbatas dan ULBJ tidak ditoleransi baik oleh banyak pasien, latihan
submaksimal atau symptom-driven exercise test yang dikenal dengan 6-minutes
walking test menjadi popular digunakan untuk evaluasi rutin. Pada test ini diukur
jarak yang dapat ditempuh dalam 6 menit pada koridor yang datar dimana pasien
dapat berjalan sesuai kemampuannya, berjalan lebih pelan, lebih cepat, atau berhenti.
Test ini memperkirakan puncak Vo2 max dan merupakan faktor independen yang
berhubungan erat dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Karena
kemudahan-nya, test ini semakin sering digunakan pada uji klinis multisenter untuk
menilai efektivitas suatu terapi.
24
ECHOCARDIOGRAPHY
Pemeriksaan echo saat ini telah menjadi metode diagnostik umum digunakan
untuk menilai anatomi dan fungsi jantung, myokardium dan perikadium, dan
mengevaluasi gerakan regional dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress
farmakologis pada gagal jantung. Pemeriksaan ini non-invasif, dapat dilakukan secara
cepat di tempat rawat, dapat dengan mudah diulang secara serial, dan memungkinkan
penilaian fungsi global dan regional ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung
echocardiography adalah metode diagnostik yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan
aman dengan banyak fitur seperti doppler echo, doppler tissue imaging, strain rate
imaging, dan cardiac motion analysis (Mann, 2008).
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaian Left-
ventricular ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan
perubahan pada fungsi diastolik. Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai
fungsi sistolik dan diastolik pada pasien dengan gagal jantung. Tabel 5
mendeskripsikan temuan ekokardiografi yang sering ditemukan pada gagal jantung.
Tabel 5. Temuan Echocardiography pada Gagal Jantung
TEMUAN UMUM DISFUNGSI SISTOLIKDISFUNGSI
DIASTOLIK
Ukuran dan bentuk
ventrikel
Ejeksi fraksi ventikel
kiri (LVEF)
Gerakan regional
dinding jantung,
synchronisitas kontraksi
ventrikular
Remodelling LV
Ejeksi fraksi ventrikel
kiri berkurang <45%
Ventrikel kiri membesar
Dinding ventrikel kiri
tipis
Remodelling eksentrik
ventrikel kiri
Regurgitasi ringan-
Ejeksi fraksi ventrikel
kiri normal > 45-50%
Ukuran ventrikel kiri
normal
Dinding ventrikel kiri
tebal, atrium kiri
berdilatasi
Remodelling eksentrik
25
(konsentrik vs
eksentrik)
Hipertrofi ventrikel kiri
atau kanan (Disfunfsi
Diastolik : hipertensi,
COPD, kelainan katup)
Morfolofi dan beratnya
kelainan katup
Mitral inflow dan aortic
outflow; gradien
tekanan ventrikel kanan
Status cardiac output
(rendah/tinggi)
sedang katup mitral*
Hipertensi pulmonal*
Pengisian mitral
berkurang*
Tanda-tanda
meningkatnya tekanan
pengisian ventrikel*
ventrikel kiri.
Tidak ada mitral
regurgitasi, jika ada
minimal.
Hipertensi pulmonal*
Pola pengisian mitral
abnormal.*
Terdapat tanda-tanda
tekanan pengisian
meningkat.
Keterangan : * Temuan pada echo-doppler.
Dikutip dari: Mann DL, 2008
3.5 Penatalaksanaan Gagal Jantung Kronis
Tujuan pengobatan dari gagal jantung kronis:
a) Menurunkan mortalitas
b) Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup
c) Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan miokard,
remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi
cairan, dan perawatan di rumah sakit.
ALGORITMA TATALAKSANA GAGAL JANTUNG KRONIS
Penatalaksanaan gagal jantung kronis yang dapat dipakai dapat dilihat pada
skema tata laksana gagal jantung kronik pada Gambar 5.
26
Gambar 5. Alrogitma yang dapat dijadikan acuan pada
penatalaksanaan gagal jantung akut. Dikutip dari:Dickstain
dkk, 2008
TERAPI NONFARMAKOLOGIS
PERAWATAN MANDIRI(SELF CARE)
Perawatan mandiri mempunyai andil dalam keberhasilan pengobatan gagal
jantung dan dapat memberi dampak yang bermakna pada keluhan-keluhan pasien,
kapasitas fungsional, morbiditas dan prognosis. Perawatan mandiri dapat
didefinisikan sebagai tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mempertahankan
stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk kondisi dan deteksi
dini gejala-gejala perburukan. Untuk bisa merawat dirinya pasien perlu diberi
pelatihan baik oleh dokter atau perawat terlatih (Dickstain dkk, 2008).
27
Tabel 6. Topik Keterampilan Merawat Diri yang perlu dipahami penderita
Gagal Jantung.
Topik Edukasi Keterampilan dan Perilaku Perawatan Mandiri
Definisi dan etiologi
gagal jantung
Memahami penyebab gagal jantung dan mengana
keluhan-keluhan timbul
Gejala-gejala dan
tanda-tanda gagal
jantung
Memantau tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung
Mencatat berat badan setiap hari
Mengetahui kapan menghubungi petugas kesehatan
Menggunakan terapi diuretik secara fleksibel sesuai
anjuran
Terapi farmakologik Mengerti indikasi, dosis dan efek dari obat-obat
digunakan
Mengenal efek samping yang umum obat
Modifikasi faktor risiko Berhenti merokok, memantau tekanan darah
Kontrol gula darah (DM), hindari obesitas
Rekomendasi diet Restriksi garam, pantau dan cegah malnutrisi
Rekomendasi olah raga Melakukan olah raga teratur
Kepatuhan mengikuti anjuran pengobatan
Prognosis Mengerti pentingnya faktor-faktor prognostik dan
membuat keputusan realistik
Dikutip dari: Dickstain dkk, 2008
TERAPI FARMAKOLOGIS
Pengobatan gagal jantung dengan farmakologis, secara garis besar
bertujuan mengatasi permaslahan preload, dengan menurunkan preload,
meningkatkan kontraktilitas juga menurunkan afterload. Pemilihan terapi
farmakologis ini tergantung pada penyebabnya. Selama bertahun-tahun, obat
golongan diuretik dan digoksin digunakan dalam terapi gagal jantung. Obat-obat
ini mengatasi gejala dan meningkatkan kualitas hidup, namun belum terbukti
menurunkan angka mortalitas. Setelah ditemukan obat yang dapat mempengaruhi
sistem neurohumoral, RAAS dan sistem saraf simpatik, barulah morbiditas dan
mortalitas pasien gagal jantung membaik (Hes, 2007).
28
ANGIOTENSIN CONVERTING ENZYME INHIBITORS(ACEI)
Pasien dengan tidak ada kontra indikasi maupun pasien yang masih toleran
terhadap ACE Inhibitor (ACEI), ACEI harus digunakan pada semua pasien
dengan gagal jantung yang simtomatik dan LVEF < 40%. Terapi dengan ACEI
memperbaiki fungsi ventrikel dan kesejahteraan pasien, menurunkan angka
masuk rumah sakit untuk perburukan gagal jantung dan meningkatkan angka
keselamatan. Pada pasien yang menjalani perawatan terapi dengan ACEI harus
dimulai sebelum pasien pulang rawat.
Pasien yang harus mendapatkan ACEI :
LVEF < 40%, walaupun tidak ada gejala.
Pasien gagal jantung disertai dengan regurgitasi
Kontraindikasi yang patut diingat antara lain :
Riwayat adanya angioedema
Stenosis bilateral arteri renalis
Konsentrasi serum kalsium > 5.0 mmol/L
Serum kreatinin > 220 mmol/L (>2.5 mg/dl)
Stenosis aorta berat
Cara pemberian ACEI :
Periksa fungsi renal dan elektrolit serum.
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
Sangat umum untuk meningkatkan dosis secara perlahan tapi
meningkatkan secara cepat sangat mungkin pada pasien yang
dimonitoring ketat.
Tabel 7. Obat –obat Gagal Jantung dengan Dosis Awal dan Target Dosis
29
Dikutip dari: Dickstain dkk, 2008
ANGIOTENSIN RECEPTOR BLOCKER(ARB)
Pada pasien dengan tnpa kontraindikasi dan tidak toleran dengan ACE, ARB
direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung dan LVEF < 40% yang tetap
simtomatik walau sudah mendapatkan terapi optimal dengan ACEI dan BB, kecuali
telah mendapat antagonis aldosteron. Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi
ventrikel dan kejahteraan pasien dan mengurangi hospitalisasi untuk perburukan
gagal jantung. (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
Pemberian ARB mengurangi risiko kematian karena penyebab kardiovaskular.
Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B. ARB direkomendasikan sebagai alternatif
pada pasein yang intoleran terhadap ACEI. Pada pasien-pasien ini pemberian ARB
mengurangi risiko kematian akibat kardiovaskular atau perlunya perawatan akibat
perburukan gagal jantung. Pada pasien yang dirawat, terapi dengan ARB harus
dimulai sebelum pasien dipulangkan.Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti B.14
Pengobatan dengan ARB meningkatkan fungsi ventrikel dan kesehatan pasien
dan menurunkan angka masuk rumah sakit akibat perburukan gagal jantung.
30
Angiotensin Reseptor Blockerdirekomendasikan sebagai pilihan lain pada pasien yang
tidak toleran terhadap ACEI (Dickstain dkk, 2008).
Pasien yang harus mendapatkan ARB :
Left ventrikular ejection fraction (LVEF)< 40%
Sebagai pilihan lain pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas
fungsional II-IV NYHA) yang tidak toleran terhadap ACEI.
Pasien dengan gejala menetap (kelas fungsionaal II-IV NYHA) walaupun
sudah mendapatkan pengobatan dengan ACEI dan bete bloker.
Memulai pemberian ARB:
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan meningkatkan dosis setelah 24 jam.
Jangan meningkatkan dosis jika terjadi perburukan fungsi ginjal atau
hiperkalemia
β-bloker / PENGHAMBAT SEKAT-β
Alasan penggunaan beta bloker(BB) pada pasien gagal jantung adalah adanya
gejala takikardi dan tingginya kadar katekolamin yang dapat memperburuk kondisi
gagal jantung. Pasien dengan kontraindikasi atau tidak ditoleransi, BB harus
diberikan pada pasien gagal jantung yang simtomatik, dan dengan LVEF < 40%. BB
meningkatkan fungsi ventrikel dan kesejahtraan pasien, mengurangi kejadian rawat
akibat perburukan gagal jantung, dan meningkatkan keselamatan. Jika
memungkinkan pada pasien yang menjalani perawatan, terapi BB harus dimulai
secara hati-hati sebelum pasien dipulangkan. Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A.
Manfaat beta bloker dalam gagal jantung melalui:
Mengurangi detak jantung : memperlambat fase pengisian diastolik sehingga
memperbaiki perfusi miokard.
Meningkatkan LVEF
Menurunkan tekanan baji kapiler pulmonal
Pasien yang harus mendapat BB:
31
LVEF < 40%
Gejala gagal jantung sedang-berat (NYHA kelas fungsional II-IV), pasien dengan
disfungsi sistolik ventrikel kiri setelah kejadian infark miokard.
Dosis optimal untuk ACEI dan/atau ARB (dan aldosterone antagonis jika
diindikasikan).
Pasien harus secara klinis stabil (tidak terdapat perubahan dosis diuresis). Inisiasi
terapi sebelum pulang rawat memungkinkan untuk diberikan pada pasien yang
baru saja masuk rawat karena GJA, selama pasien telah membaik dengan terapi
lainnya, tidak tergantung pada obat inotropik intravenous, dan dapat diobservasi di
rumah sakit setidaknya 24 jam setelah dimulainya terapi BB.
Kontraindikasi :
Asthma (COPD bukan kontranindikasi).
AV blok derajat II atau III, sick sinus syndrome (tanpa keberadaan pacemaker),
sinus bradikardi (<50 bpm).
Bagaimana menggunakan BB pada gagal jantung :
Dosis awalan : bisoprolol 1 x 1.25 mg, carvedilol2 x 3.125-6.25 mg, metoprolol
CR/XL 1 x 12.5-25 mg, atau nebivolol 1 x 1.25 mg. Dengan supervisi jika
diberikan dalam setting rawat jalan.
Pada pasien yang baru mengalami dekompensasi, BB dapat dimulai sebelum
pasien dipulangkan dengan hati-hati.
Titrasi dosis :
Kunjungan tiap 2-4 minggu dapat digunakan untuk meningkatkan dosis BB
(peningkatan dosis yang lebih lambat mungkin dibutuhkan pada beberapa pasien
degan gagal jantung yang berat). Jangan tingkatkan dosis bila terdapat
perburukan gagal jantung, hipotensi sistemik, atau bradikardia yang berlebih
(<50x/menit).
Pasien dengan tanpa permasalahan diatas, dosis BB dapat ditingkatkan 2x lipat
tiap kunjungan hingga dicapai target dosis. (Bisoprolol 10 mg o.d., carvedilol 25-
50 mg b.i.d., metaprolol CR/XL 200 mg o.d., atau vebivolol 10 mg o.d.-atau
dosis yang bisa ditoleransi maksimal.
32
DIURETIK
Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan gagal jantung yang disertai
tanda dan gejala kongesti.
Diuretik memperbaiki kesejahteraan hidup pasien dengan mengurangi tanda
dan gejala kongesi vena sistemik dan pulmoner pada pasien dengan gagal jantung.
Diuretik mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) dan
biasanya digunakan bersamaan dengan ACEI atau ARB. Dosis diuretik harus
disesuaikan dengan kebutuhan tiap pasien dan membutuhkan monitoring klinis yang
cermat. Secara umum loop diuretik dibutuhkan pada gagal jantung sedang-berat.
Thiazid dapat pula digunakan dengan loop diuretik untuk edema yang resisten,
namun harus diperhatikan secara cermat kemungkinan dehidrasi, hipovolemia,
hiponatremia, atau hipokalemia. Selama terapi diuretik, sangat penting level kalium,
natrium, dan kreatinine dipanantau secara berkala (Dickstain dkk, 2008).
Hal yang harus dicermati pada pemberian diuretik :
Diuretik dan ACEI/ARB/atau antagonis aldosteron dapat meningkatan
risiko hipotensi dan disfungsi ginjal, terutama jika digunakan
bersamaan.
Pasein dengan menggunakan ACEI/ARB/antagonis aldosteron
digunakan bersamaan dengan diuretik, penggantian kalium biasanya
tidak dibutuhkan.
Hiperkalemia yang berat dapat terjadi jika diuretik hemat kalsium
termasuk antagonis aldosteon digunakan bersamaan dengan ACEI/ARB.
Penggunaan diuretik antagonis non-aldosteron harus dihindari.
Kombinasi dari antagonis aldosteron dan ACEI/ARB hanya boleh
diberikan pada supervisi yang cermat.
Penggunaan diuretik pada gagal jantung :
Periksa selalu fungsi ginjal dan serum elektrolit.
Kebayakan pasien diresepkan loop diuretik dibandingkan thiazid
karena efektivitasnya yang lebih tinggi dalam memicu diuresis dan
natriuresis.
33
Selalu mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan hingga terrdapat
perbaikan klinis dari segi tanda dan gejala gagal jantung. Jenis dan
dosis pemberian dapat dilihat pada tabel 7.
Dosis harus disesuaikan, terutama setelah berat badan kering normal
telah tercapai, hindari risiko disfungsi ginjal dan dehidrasi. Upayakan
untuk mencapai hal ini dengan menggunakan dosis diuretik serendah
mungkin. Keadaan yang mungkin terjadi pada penggunaan diuretik
dapat dilihat pada tabel 8.
Penyesuaian dosis sendiri oleh pasien berdasarkan pengukuran berat
badan harian dan tanda-tanda klinis lainnya dari retensi cairan harus
selalu disokong pada pasien gagal jantung rawat jalan. Untuk
mencapai hal ini diperlukan edukasi pasien.
Tabel 8. Diuretik yang umum diberikan pada gagal jantung dan dosis hariannya
Keterangan:
*Dosis harus disesuaikan dengan volume status / berat badan pasien , dengan pertimbangan dosis yang besar dapat mengakibatkan gangguan fungsi ginjal dan ototoksisitas.
** Jangan menggunakan thiazid jika eGFR < 30mL/menit, kecuali diresepkan dengan loop diuretic
Dikutip dari: Dickstain dkk, 2008
34
Tabel 8. Keadaan yang mungkin terjadi pada pemberian diuretik jangka
panjang, dan tindakan yang disarankan
ANTAGONIS ALDOSTERON
Antagonis aldosteron menurunkan angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung dan meningkatkan angka keselamatan jika ditambahkan pada terapi
yang sudah ada, termasuk dengan ACEI.
Pasien yang seharusnya mendapat antagonis aldosteron :
LVEF < 35%
Gejala gagal jantung sedang- berat ( kelas fungsional III-IV NYHA)
Dosis optimal BB dan ACEI atau ARB
Memulai pemberian spironolakton :
Periksa fungsi ginjal dan elektrolit serum
Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 4-8 minggu. Jangan
meningkatkan dosis jika terjadi penurunan fungsi ginjal atau
hiperkalemia.
HYDRALIZIN & ISOSORBIDE DINITRAT
Pada pasien simtomatik dengan LVEF < 40%, kombinasi dari Hidralizine-
ISDN dapat digunakan sebagai alternatif jika terdapat intoleransi baik oleh ACEI dan
ARB. Penambahan kombinasi H-ISDN harus dipertimbangkan pada pasien dengan
gejala yang persisten walau sudah diterapi dengan ACEI, BB, dan ARB atau
Aldosteron Antagonis.Terapi dengan H-ISDN pada pasien-pasien ini dapat
mengurangi risiko kematian.
Pasien yang harus mendapatkan hidralizin dan ISDN berdasarkan banyak uji klinis
adalah :
Sebagai alternatif ACEI/ARB ketika keduanya tidak dapat ditoleransi.
Sebagai terapi tambahan terhdap ACEI jika ARB atau antagonis aldosteron tidak
dapat ditoleransi.
Manfaat pengobatan secara lebih jelas ditemukan pada keturunan afrika-amerika.
35
Kontraindikasinya anatara lain hipotensi simtomatik, sindroma lupus, gagal ginjal
berat (pengurangan dosis mungkin dibutuhkan).
Cara pemberian hidralizin dan ISDN pada gagal jantung :
Dosis awalan : hidralizin 37.5 mg dan ISDN 20 mg tiga kali sehari.
Pertimbangkan untuk menaikan titrasi setelah 2-4 minggu, jangan dinaikan bila
terdapat hipotensi simtomatik.
Jika dapat ditoleransi, upayakan untuk mencapai target dosis yang digunakan
pada banyak uji klinis- yaitu hidralizine 75 mg dan ISDN 40 mg tiga kali sehari,
atau jika tidak dapat ditoleransi hingga dosis maksimal tertoleransi.
Kemungkinanan efek samping yang dapat timbul :
Hipotensi ortostatik (pusing) – seringkali membaik seiring waktu, pertimbangkan
untuk mengurangi dosis obat yang dapat menyebabkan hipotensi (kecuali
ACEI/ARN/BB/Antagonis aldosteron). Hipotensi yang asimtomatik tidak
membutuhkan intervensi.
Artralgia, nyeri sendi atau bengkak, perikarditis/pleuritis, ruam atau demam –
pikirkan sindroma mirip lupus akibat obat, cek antinuclear antibodies (ANA),
jangan teruskan H-ISDN.
GLIKOSIDA JANTUNG (DIGOXIN)
Pada pasien gagal jantung simtomatik dan atrial fibrilasi, digoxin dapat
digunakn untung mengurangi kecepatan irama ventrikel. Pada pasien dengan AF dan
LVEF < 40% digoxin dapat pula diberikan bersamaan dengan BB untuk mengontrol
tekanan darah.
Pada pasien sinus ritme dengan gagal jantung simtomatik dan LVEF < 40%,
terapi dengan digoxin bersamaan dengan ACEI meningkatkan fungsi ventrikel dan
kesejahteraan pasien, mengurangi kemungkinan perawatan ulang untuk perburukan
gagal jantung, hal ini walau demikian tidak memiliki dampak terhadap angka
mortalitas.
Glikosida jantung menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dengan
meningkatkan kontraksi sarkomer jantung melalui peningkatan kadar kalsium bebas
dalam protein kontraktil, yang merupakan hasil dari peningkatan kadar natrium
36
intrasel akibat penghambatan NaKATPase dan pengurangan relatif dalam ekspulsi
kalsium melalui penggantian Na+ Ca2+ akibat peningkatan natrium intrasel.
Digoksin memberikan keuntungan pada terapi gagal jantung dalam hal :
Memberikan efek inotropik positif yang menghasilkan perbaikan dan fungsi
ventrikel kiri.
Menstimulasi baroreseptor jantung
Meningkatkan penghantaran natrium ke tubulus distal sehingga menghasilkan
penekanan sekresi renin dari ginjal.
Menyebabkan aktivasi parasimpatik sehingga menghasilkan peningkatan vagal
tone.
Pasien atrial fibrilasi dengan irama ventrikular saat istirahat> 80x/menit, dan saat
aktivitas > 110-120x/ menit harus mendapatkan digoksin.
Pasien dengan irama sinus dan disfungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF < 40%)
yang mendapatkan dosis optimal diuretik, ACEI atau/ dan ARB, beta bloker dan
antagonis aldosteron jika diindikasikan, yang tetap simtomatis, digoksin dapat
dipertimbangkan.
ANTIKOAGULAN (ANTAGONIS VIT-K)
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif lainnya) direkomendasikan pada
pasien gagal jantung dengan atrial fibrilasi permanen, persisten, atau paroksismal
tanpa adanya kontraindikasi terhadap antikoagulasi. Dosis antikoagulan harus
disesuaikan dengan risiko komplikasi tromboembolik termasuk stroke.
Antikoagulasi juga direkomendasikan pada pasien dengan trombus
intrakardiak yang terdeteksi pada echocardiography atau bukti adanya
tromboembolisme sistemikKelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C
Temuan yang perlu diingat :
Pada pasien atrial fibrilasi yang dilibatkan pada serangkaian uji klinis acak,
termasuk pada pasien dengan gagal jantung, warfarin ditemukan dapat mengurangi
risiko stroke dengan 60-70%.
37
Warfarin juga lebih efektif dalam mengurangi risiko stroke dibanding terapi
antiplatelet, dan lebih dipilih pada pasien dengan risiko stroke yang lebih tinggi,
seperti yang ditemukan pada pasien dengan gagal jantung.
Tidak terdapat peranan antikoagulan pada pasien gagal lainnya, kecuali pada
mereka yang memiliki katup prostetik.
Pada analisis dua uji klinis skala kecil yang membandingkan efektifitas warfarin
dan aspirin pada pasien dangan gagal jantung, ditemukan bahwa risiko perawatan
kembali secara bermakna lebih besar pada pasien yang mendapat terapi aspirin,
dibandingkan warfarin.
38
39
PRESENTASI KASUS STATUS PASIEN RUANGAN RAWAT INAP
BAGIAN / SMF KARDIOLOGI BPK RSUZA BANDA ACEH STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. JHUmur : 75 TahunJenis kelamin : laki - lakiAgama : IslamSuku : AcehPekerjaan : SwastaAlamat : LampucokCM : 0-94-38-86Tanggal Masuk : 19 Maret 2013Tanggal Pemeriksaan : 20 Maret 2013
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama : sesak napas
b. Keluhan Tambahan : cepat lelah
c. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 9 bulan yang lalu, sesak
dikeluhkan pasien hilang timbul dan memberat pada waktu beraktivitas dalam 1 hari
ini sesak dikeluhkan semakin berat dan cepat lelah dikeluhkan oleh pasien, pasien
tidak memiliki riwayat penyakit asma Pasien juga mengeluhkan nyeri dada yang
tidak menjalar ke lengan atau ke punggung belakang setahun yang lalu. Pasien juga
mengeluhkan pernah pada bagian kedua kaki bengkak sekitar 4 bulan yang lalu dan
hilang setelah meminum obat dari dokter
d. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi yang tidak terkontrol (+)
- Riwayat DM disangkal
- Riwayat kolesterol tinggi disangkal
- Riwayat Asma disangkal
40
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Disangkal
f. Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien sering mengkonsumsi makanan berlemak.
Merokok (+)
g. Riwayat Penggunaan Obat
Obat-obatan dari RS dan puskesmas pasien lupa nama obatnya.
h. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi
- Usia > 40 tahun
i. Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi
- Makan makanan berlemak
- Olahraga tidak teratur
- Hipertensi (+)
- Merokok (+)
41
III. PEMERIKSAAN FISIK
a. Status Present
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 160/100 mmHg
Frekuensi Jantung : 78x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 28x/menit
Temperatur : 36.60C (aksila)
b. Status General
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : cepat kembali
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Kepala
Bentuk : Kesan Normocepali
Rambut : Tersebar rata, Sukar dicabut, Berwarna hitam.
Mata : Cekung (-), Reflek cahaya (+/+), Sklera ikterik (-/-),
Conj.palpebra inf pucat (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-), NCH (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Lidah : Beslag (-), Tremor (-)
Mukosa : Basah (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
42
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, Pembesaran (-)
Peningkatan TVJ : R+2 Cmh2O
Axilla
Pembesaran KGB (-)
Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Thorako-abdominal
Retraksi : (-)
2. Palpasi
Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal
3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
43
4. Auskultasi
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler ↓ Vesikuler ↓
Lap. Paru bawah Vesikuler ↓ Vesikuler↓
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (+), Wh (-) Rh (+), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (+), Wh (-) Rh (+), Wh (-)
Thoraks Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe pernafasan : Thorako-abdominal
Retraksi : (-)
2. Palpasi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal
3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
4. Auskultasi
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
44
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler ↓ Vesikuler ↓
Suara tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS V LMCS
Perkusi : Batas jantung atas: di ICS III sinistra
Batas jantung kanan: di 3 jari lateral LPSD
Batas jantung kiri: di ICS V jari Lateral LMCS
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Kesan simetris, Distensi (-)
Palpasi : Soepel (+), Nyeri tekan (+)
Hepar/ Lien/ Renal tidak teraba
Perkusi : Tympani (+ meningkat), Asites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (N)
Genetalia : tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
45
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -
Akral Dingin - - - -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium (19 Maret 2013 )
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 12.6 12-14 gr/dl
Leukosit 9.6 4.1-10.5 x 103/ul
Trombosit 148 150-400 x 103/ul
Hematokrit 37 37.0-48.0 %
SGOT 79 0-31 U/L
SGPT 12 0-37 U/L
Protein Total 6.9 6.3-8.3 U/L
Kreatinin Darah 1.1 0.6-1.1 mg/dl
Ureum Darah 45 20-45 mg/dl
As. Urat Darah 9 1.5-6 mg/dl
Total Kolesterol 258 <200 mg/dl
Gula Darah Acak 179 < 200 mg/dl
I. RADIOLOGI
46
Foto Thorax AP (14 Maret 2013)
Bacaan Foto Thorax : Kesan Abnormal (CTR = 58%)
Interprestasi Foto Rontgen Thorax:
1. Keadaan tulang normal, tidak ada destruksi dan deformitas pada
skapula, klavikula, vertebrae costae
2. Gambaran jaringan lunak tidak ada pembengkakan dan juga udara
3. Trakea tepat berada di tengah
4. ICS kiri dan kanan sejajar
5. Jantung bentuk seperti buah pir, terletak di mediastinum,
CTR =
=
= 59,%
6. Aorta
Lebar 4 cm, panjang 2 cm
7. Sinus Costophrenicus tajam
Sinus Cardiophrenicus tumpul
47
8. Diafragma terletak di mediastinum, bentuknya seperti kubah,
Diafragma kanan lebih tinggi dari diafragma kiri
9. Gambaran Pulmo kiri dan kanan: radiolusen, gambaran hilus: hilus
kanan lebih tinggi dari hilus kiri, corakan bronkovaskuler: kasar
Kesan cardiomegali
B. Elektrokardiografi (19 Maret 2013)
Bacaan EKG tanggal 19-03-2013
1. Irama : Sinus Rhytme
2. Qrs rate : 78 x/i
3. Regularitas : Regular
48
4. Interval PR : 0,16s
5. Axis : Normoaxis
6. Morfologi
- Gel P : 0,2 mV; 0,12 s
- Kompleks QRS : QRS durasi 0,08 s
- Segmen ST :
ST elevasi : -
ST depresi : -
- Gelombang T : T inverted di sadapan avL, V5, V6
- Q patologis : -
- Hipertrofi : hipertrofi ventrikel kanan
7. Interpretasi
a. terdapat gelombang P yang diikuti oleh kompleks QRS pada semua
sadapan yang menunjukkan irama sinus.
b. Perbandingan antara gelombang R di V1 dengan gelombang S di V6
lebih dari 1
c. Ada gelombang T inverted di aVL, V5, V6 menunjukkan ada iskemik
di daerah lateral
8. Kesan : abnormal EKG, iskemik lateral, hipertrofi ventrikel
kanan.
49
C. Echocardiography (19 Maret 2013)
Bacaan Echocardiography tanggal 19-03-2013
- Aorta Root Dimension : 30,1 [Normal 20-37mm]
- Atrium Kiri Dimension : 32,3 [Normal 15-40mm]
- Fungsi Jantung EF : 39 [Normal 53-77%]
- Ventrikel Kiri
- EDD : 52,2 [Normal 32-52mm]
- ESD : 42,0 [Normal 26-36mm]
-PW Diastole : 9,1 [ Normal 7-11 mm]
Penemuan :
- TR dan MR moderate
50
- GWMA
- MVP Anterior
Kesimpulan
- Cardiomiopati
- Iskemia
- Poor EF (ejection fraction) 39%
V. RESUME
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas sejak 9 bulan yang lalu, memberat
pada waktu beraktivitas dalam 1 hari ini sesak dikeluhkan semakin berat dan cepat
lelah dikeluhkan oleh pasien, nyeri dada juga dikeluhkan pasien sejak 1 tahun tapi
tidak menjalar,pasien tidak memiliki riwayat penyakit asma tapi memiliki riwayat
hipertensi tidak terkontrol. Pasien juga mengeluhkan pernah pada bagian kedua kaki
bengkak sekitar 4 bulan yang lalu dan pasien suka makan berlemak dan merokok
Dari hasil pemeriksaan tanda vital, dijumpai tekanan darah 160/100 mmHg,
nadi 78 x/ menit, regular, frekuensi pernapasan 28x/menit, suhu 36.6°C.
VI. DIAGNOSA BANDING
CHF FC NYHA II e.c dd:
1. MCI
2. HHD
3. DCM + HT stage II
VII. DIAGNOSA SEMENTARA
51
Congestive Heart Failure (CHF) ec Myocard Infarct (MCI), Hipertensi Heart Disease
(HHD)
VIII. PENATALAKSANAANUMUM
Bed rest semi fowler
Oksigen 2 – 4 L/menit
Diet jantung II, 2000 kkal/hari
Kurangi asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur, dan kurangi konsumsi lemak
Restriksi cairan, <1700 cc/hari
KHUSUS
Kaptopril 3x 6,25 mg
HCT 1x 12,5 mg
Spironolakton 1 x 12,5 mg
Aspilet 1 x 80 mg
Simvastatin 1 x 20 mg
Amlodipin 1 x 5 mg
Omeprazole 1 x 20 mg
PLANNING DIAGNOSTIK
EKG serial
Echocardiografi
IX. PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
ANJURAN KETIKA PULANG
52
- Perbanyak istirahat di rumah
- Olahraga teratur
- Hindari makanan berlemak dan mengandung garam yang berlebih
- Minum obat yang teratur
- Kontrol ke poli jantung
53
ANALISIS KASUS
Secara teori, peningkatan tekanan atrium kiri meningkatkan tekanan vena
pulmonalis dan menyebabkan kongesti paru dan akhirnya edema alveolar,
mengakibatkan sesak nafas, batuk, dan terkadang hemoptisis.
Manifestasi klinis gagal jantung kiri yaitu : Penurunan kapasitas aktivitas,
dispnu awalnya timbul pada aktivitas namun bila gagal ventrikel kiri berlanjut dapat
terjadi saat istirahat, menyebabkan dispnu nocturnal paroksismal (paroxysmal
nocturnal dyspnoea/PND), batuk (hemoptisis), letargi dan kelelahan, penurunan nafsu
makan dan berat badan,kulit lembab, tekanan darah (tinggi, rendah, atau normal),
denyut nadi (volume normal atau rendah) atau irregular karena ektopik atau AF.
Pulsus alternans dapat ditemukan pergeseran apeks ke lateral (dilatasi LV), pada
auskultasi didapat bunyi jantung ketiga (S3), gallop dan murmur total dari regurgitasi
mitral sekunder, krepitasi paru karena edema alveolar.
Secara klasik, kongesti dan edema pulmoner yang disebabkan oleh gangguan
aliran keluar darah dari paru-paru. Berkurangnya perfusi darah renal (karena
berkurangnya curah jantung) yang menyebabkan retensi garam (dan air yang
menyertai) untuk meningkatkan volume darah. Nekrosis tubuler akut karena iskemia.
Gangguan ekskresi zat sisa sehingga terjadi azotemia renal. Berkurangnya perfusi
darah pada sistem saraf pusat, yang sering menyebabkan ensefalopati hipoksia,
dengan gejala yang berkisar dari iritabilitas hingga koma.
Gagal Jantung Kanan
Gagal jantung kanan paling sering disebabkan oleh gagal jantung kiri . Gagal
jantung kanan yang sejati dapat terjadi karena penyakit katup trikuspid atau
pulmonalis atau karena penyakit vaskular pulmoner atau penyakit intrinstik pulmoner
yang menghalangi aliran keluar darah dari ventrikel kanan.
54
Manifestasi gagal jantung kanan adalah :Pembengkakan pergelangan kaki,
dispnu (namun bukan ortopnu atau PND), penurunan kapasitas aktivitas, nyeri dada.
Memiliki tanda-tanda berupa cdenyut nadi (aritmia takikardi), peningkatan JVP,
edema, hepatomegali dan asites, gerakan bergelombang parasternal, S3 atau S4 RV,
efusi pleura.
Kongesti portal, sistemik, dan edema dependen perifer, misalnya kaki,
pergelangan kaki, sakrum engan disertai efusi. Hepatomegali dengan kongesti
sentrilobuler dan atrofi hepatosit sentral. (kongesti pasif yang kronik). Splenomegali
kongestif dengan dilatasi sinusoid, perdarahan fokal, endapan hemosiderin dan
fibrosis. (Gopal et al.,2009)
Gagal Jantung Sistolik
Gagal jantung sistolik (ejection fraction depressed) adalah suatu keadaan yang
menggambarkan penurunan kemampuan otot jantung untuk berkontraksi dan
memompa darah melawan perlawanan sistemik vaskular, yang biasanya meningkat.
Penyakit arteri koroner (CAD) adalah penyebab utama gagal jantung pada umumnya
dan disfungsi sistolik khususnya, terhitung untuk 60-75% dari semua kasus di negara-
negara industri. Baik hipertensi (tekanan darah tinggi) dan diabetes berinteraksi
dengan kecenderungan genetik yang meningkat untuk berkembang menjadi CAD,
seperti halnya dislipidemia. Etiologi lain termasuk nonischemic cardiomyopathy
idiopatik, penyakit katup jantung, myocarditis, alkohol dan obat-obatan. Demam
rheumatik tetap penyebab utama gagal jantung di Afrika dan Asia, terutama pada
penduduk muda, (Jessup et al.,2009)
Gagal Jantung Diastolik
Gagal jantung diastolik (preserved ejection fraction) adalah suatu keadaan
dimanakontraktilitas otot jantung masih utuh atau mengalami peningkatan, namun,
fase relaksasi siklus jantung terganggu. Ruangan jantung menjaditebal dan kaku.
Resistensi vaskular meningkat untuk meningkatkan volume pengisian ke jantung.
Penyebab paling umum gagal jantung diatolik adalah hipertensi, yang juga
55
berkontribusi bagi perkembangan penyakit arteri koroner dan disfungsi sistolik.
Penyebab lain yang jarang termasuk Hipertrofi primer cardiomyopathy, penyakit
katup jantung, cardiomyopathy tewrbatas, amiloidosis, dan constrictive pericarditis.13
Sistem klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi NYHA dan
American College of Cardiology/American College Heart Association.
Berdasarkan klasifikasi fungsional NYHA (New York Heart Association)
yaitu
I. Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktivitas fsik. Aktivitas fisik
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau sesak.
II. Terdapat batas aktivitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
namun aktivitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi, atau
sesak nafas.
III. Terdapat batasan aktivitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi atau sesak.
IV. Tidak terdapat batasan aktivitas fisik tanpa keluhan, terdapat gejala saat
istirahat. Keluhan meningkat sat melakukan aktivitas. ( Jessup et al.,
2009., Mc Murray et al., 2012)
Faktor Penyebab
Meskipun gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat dari sebagian besar
bentuk penyakit jantung, di Amerika Serikat dan Eropa Barat, penyakit jantung
iskemik bertanggung jawab sebanyak tiga perempat dari semua kasus.
Kardiomiopatimenempati urutan kedua, sementara kasus bawaan, penyakit katup
jantung, dan penyakit jantung hipertensi adalah penyebab lain yang posisinya terletak
di bawah dua penyebab di atas. Hal ini penting untuk mengidentifikasi potensi
pengobatan penyebab gagal jantung, seperti ketiga kelompok di atas.
Faktor Presipitasi / Pemicu
Dalam mengevaluasi pasien dengan gagal jantung, penting untuk
mengidentifikasi faktor presipitasi, tidak hanya yang penyebab yang mendasarinya.
56
Sering, manifestasi klinis dari gagal jantung terlihat untuk pertama kalinya dalam
perjalanan dari gangguan akut yang memberikan beban tambahan pada miokardium
yang terbebani berlebihan secara kronis. Seperti jantung yang dapat berkompensasi
secara adekuat di bawah keadaan normal tapi memiliki cadangan oleh faktor
presipitasi yang menyebabkan kemerosotan lebih lanjut dari fungsi jantung. Faktor
presipitasi yang paling umum akan dijelaskan di bawah ini:
1. Infeksi : Pasien dengan kongesti pembuluh darah paru akibat kegagalan
ventrikel kiri lebih rentan terhadap infeksi paru daripada orang normal; namun,
infeksi dapat memicu gagal jantung. Demam yang dihasilkan, takikardia,
hipoksemia, dan peningkatan kebutuhan metabolisme mungkin menjadi beban
yang berlebih, tetapi masih dapat terkompensasi dengan miokardium pasien
dengan penyakit jantung kronis.
2. Aritmia : Hal ini adalah faktor presipitasi gagal jantung yang paling sering.
Mereka memberikan efek yang merugikan pada fungsi jantung melalui
berbagai mekanisme: a.) Takiaritmia mengurangi waktu yang tersedia untuk
pengisian ventrikular, terutama berkontribusi pada gagal jantung diastolik;
mereka juga dapat menyebabkan disfungsi iskemik infark pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik. (b) disosiasi antara atrium dan kontraksi ventrikular
yang ditandai dari banyak bradi maupun takiaritmia mengakibatkan hilangnya
mekanisme booster pompa atrium, yaitu, “tendangan atrial” sehingga
meningkatkan tekanan atrium. (c) kinerja jantung dapat menjadi lebih
terganggu karena hilangnya kontraksi ventricular yang tersinkronisasi pada
aritmia yang terkait dengan konduksi intreventrikuler yang abnormal. (d)
memperlambat denyut jantung yang terkait dengan blok atrioventricular
penuh atau bradiaritmia yang lanjut dapat mengurangi output jantung kecuali
stroke volume naik resiprokal, kompensasi ini terbatas pada gangguan
miokard.
3. Fisik, Diet, Cairan, Lingkungan, dan Emosional : augmentasi secara tiba-tiba
seperti asupan natrium berlebihan, penghentian obat-obatan atau terapi lain
untuk gagal jantung, transfusi darah, kelelahan fisik, panas lingkungan yang
57
berlebihan atau kelembaban dan krisis emosional semua dapat memicu gagal
jantung pada pasien yang sebelumnya berhasil terkompensasi.
4. Infark miokard : Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik kronis tetapi
terkompensasi, infark yang baru, kadang-kadang tidak terlihat dari klinisnya,
namun merusak fungsi ventrikular dan memicu gagal jantung.
5. Emboli paru : Pasien dengan inaktivitas fisik dengan output jantung yang
rendah adalah pada resiko yang meningkat untuk berkembang menjadi
trombus dalam vena ekstremitas bawah atau pelvis. Emboli paru dapat
mengakibatkan lebih lanjut peningkatan tekanan arteri paru-paru, yang pada
akhirnya menyebabkan kegagalan ventrikular. Dengan adanya kongesti
vaskular paru, seperti emboli juga dapat menyebabkan infark.
6. Anemia : adanya keadaan anemia menyebabkan kebutuhan oksigen untuk
metabolism hanya dapat dipenuhi oleh peningkatan cardiac output, namun
peningkatan ini dapat dipenuhi oleh jantung yang sehat. Keadan penyakit,
kelebihan beban, tetapi jika tidak dapat terkompensasi oleh jantung maka
tidak dapat menambah cukup volume darah yang diberikan ke perifer. Dengan
mekanisme ini, kombinasi dari keadaan anemia dan kompensasi penyakit
jantung sebelumnya dapat memicu gagal jantung dan mengakibatkan tidak
cukupnya aliran darah ke perifer.
7. Thyrotoxicosis and Pregnancy. Seperti halnya anemia dan demam,
tirotoksikosis dan kehamilan adalah keadaan dengan cardiac output yang
tinggi. Perkembangan atau intensifikasi dari gagal jantung pada pasien dengan
penyakit jantung terkompensasi dapat menjadi manifestasi klinis pertama dari
kasus hipertiroidisme. Sama halnya, gagal jantung dapat terjadi pertama sekali
selama kehamilan pada perempuan dengan penyakit jantung rheumatic, di
mana kompensasi jantung dapat mengembalikan aliran balik.
8. Hipertensi yang berkembang: Peningkatan tekanan arteri dengan cepat seperti
yang dapat terjadi pada keadaan hipertensi ginjal atau riwayat minum obat
anti hipertensi yang tidak teratur pada kasus hipertensi esensial, dapat
menyebabkan dekompensasi jantung.
58
9. Rheumatik, Virus, dan bentuk lain Miokarditis : Demam rheumatic akut dan
berbagai proses inflamasi atau infeksi yang menyerang miokardium dapat
memicu gagal jantung pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung
sebelumnya.
10. Endokarditis infektif. Kerusakan katup, anemia, demam, dan miokarditis
sering terjadi sebagai konsekuensi dari endocarditis infektif, baik tunggal
maupun kombinasi antaranya yang dapat memicu gagal jantung.
Gagal jantung kongestif terjadi sewaktu kontraktilitas jantung berkurang dan
ventrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk selama diastol.
Hal ini menyebabkan volume diastolik akhir ventrikel secara progresif bertambah.
Peningkatan progresif volume diastolik akhir, sel-sel otot ventrikel mengalami
peregangan melebihi panjang optimumnya sehingga serat-serat otot tertinggal dalam
kurva panjang-tegangan. Tegangan yang dihasilkan menjadi berkurang karena
ventrikel teregang oleh darah. Semakin terisi berlebihan ventrikel, semakin sedikit
darah yang dapat dipompa keluar sehingga akumulasi darah dan peregangan serat otot
bertambah. Akibatnya volume sekuncup curah jantung dan tekanan darah turun.
Penurunan tekanan darah dirasakan oleh baroreseptor. Hal ini terjadi karena
respon-respon reflek tersebut menyebabkan peningkatan pengisian ventrikel
(preload) atau semakin menurunkan volume sekuncup dengan meningkatkan
afterload yang harus dilawan oleh kerja pompa ventrikel. Peningkatan preload dan
afterload menyebabkan peningkatan beban kerja dan kebutuhan oksigen jantung.
Kebutuhan oksigen yang meningkat tidak dapat terpenuhi hingga serat-serat otot
menjadi hipoksik sehingga kontraktilitas berkurang. Siklus perburukan gagal jantung
terus berulang. Refleks terus menyebabkan peningkatan pengisian dan peregangan
jantung dan/atau afterload. Maka tekanan darah terus berada di bawah normal,
sehingga refleks-refleks tersebut tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Gagal jantung
akan berlanjut, kecuali siklus pengisian berlebihan darah dapat ditangani (Siswanto et
al., 2009)
59
Bila curah jantung oleh suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan metabolism tubuh, maka jantung akan memakai mekanisme kompensasi.
Mekanisme kompensasi ini dipakai untuk mengatasi beban kerja, diupayakan
memelihara tekanan darah yang masih memadai untuk perfusi alat-alat vital.
Mekanisme ini mencakup :
1. Mekanisme Frank-Starling
2. Pertumbuhan hipertrofi ventrikel
3. Aktivitas neurohormonal.
4. Sistem saraf adrenergik
5. Sistem Renin Angiotensin
6. Hormon antidiuretic
Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank-Starling berarti makin besar otot jantung diregangkan
selama pengisian, makin besar kekuatan kontraksi dan makin besar pula jumlah darah
yang dipompa ke dalam aorta atau arteri pulmonalis.
Penurunan isi sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak
sempurna sewaktu jantung berkontraksi sehingga volume darah yang menumpuk
dalam ventrikel semasa diastole lebih tinggi dibandingkan normal. Hal ini bekerja
sebagai mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal (atau volume akhir
diastolik) merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi berikutnya, yang
membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar.( Jessup et al., 2009)
Hipertrofi Ventrikel
Stres pada dinding ventrikel meningkat akibat dilatasi (peningkatan radius
ruang)atau beban akhir yang tinggi (misalnya pada stenosis aortik atau hipertensi
yang tidak terkendali.
Peningkatan volume akhir diastol juga akan meningkatkan tekanan di dinding
ventrikel yang jika terjadi terus-menerus, maka akan merangsang pertumbuhan
hipertrofi ventrikel. Terjadinya hipertrofi ventrikel berfungsi untuk mengurangi
60
tekanan dinding dan meningkatkan massa serabut otot sehingga memelihara kekuatan
kontraksi ventrikel. Dinding ventrikel yang mengalami hipertrofi akan meningkat
kekakuannya (elastisitas berkurang) sehingga mekanisme kompensasi ini selalu
diikuti dengan penigkatan tekanan diastolik ventrikel yang selanjutnya juga
menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri. (Marullam., 2006)
Diagnosis
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan
JVP,hepatomegali, edema tungkai.Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan
untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal
jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor. Adapun
kriterianya adalah sebagai berikut (Brounwald E et al., 2005)
a. Kriteria mayor terdiri dari:
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan tekanan vena jugularis
3) Ronkhi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) 8) Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:
1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea d’ effort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
7) Takikardi
61
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan.
Elektrokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada
gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah :
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan
murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium. Serta penderita dengan
resiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau
aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi
diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui resiko emboli.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain
adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan
serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan.
Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan
perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif
berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang
positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan
juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun efek terhadap kelengsungan
hidup belum dapat dibuktikan.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan dan
pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring jangka pendek
dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi metabolisme serta
meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan perlu diberikan pada
penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan diberikan pada pemderita
dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat dengan dilatasi ventrikel.
Gagal jantung akut yang berat merupakan kondisi emergensi dimana
memerlukan penatalaksanaan yang tepat termasuk mengetahui penyebab,
62
perbaikan hemodinamik, menghilangan kongesti paru, dan perbaikan oksigenasi
jaringan.
Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang dapat
dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat dengan
kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan khusus. Base
excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan adanya asidosis
laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang buruk. Koreksi
hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat hanya diberikan pada
kasus yang refrakter.
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis. Loop
diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek ini
dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga
harus dihindari bila memungkinkan.
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan kecemasan,
nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga menurunkan
preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis pemberian 2 –
3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra
aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular
assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung
berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan,
disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu
jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan
sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan
bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi.
Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan
takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan pompa mekanis yang
63
mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok
kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama inotropik. (Gopal M et al.,
2009 and Jessup M et al., 2009)
64
DAFTAR PUSTAKA
Davies MK, Gibbs CR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: investigation.
BMJ;320:297-300
Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure: History and
epidemiology. BMJ;320:39-42.
Jhunz. 2009. Mengapa Diabetes Melitus Meningkatkan Resiko Terjadinya Penyakit
Kardiovaskular. http://chibijhunz.blogspot.com/2009/01/mengapa-diabetes-
melitus-meningkatkan.html. Diakses tanggal 25 januari 2011.
Maggioni AP. 2005. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements;7
(Supplement J):J15-J20.
Nieminen MS. 2005. Guideline on the diagnosis and treatment of acute heart failure.
Full text the task force on acute heart failure of the european society of
cardiology. Eur Heart J.
Prasetyanto H, dkk. 2010. Gagal Jantung Kiri Dengan Gejala Awal Hipertensi.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
Santoso A, Erwinanto, Munawar M, Suryawan R, Rifqi S, Soerianata S. 2007.
Diagnosis dan tatalaksana praktis gagal jantung akut.
Setiawati A dan Nafrialdi. 2007. Obat gagal Jantung. Farmakologi Dan Terapi
Fakultas KedokteranUniversitas Indonesia. Balai Penerbit FKUI, Jakarta. pp:
299-300.
65
Susilo F. 2010. Kajian Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di
Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Surakarta Periode Tahun 2008.
Skripsi. Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Hess OM, Carrol JD. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Libby P, Bonow RO,
Mann DL, Zipes DP, editor. Braunwald’s Heart Disease.
Philadelphia: Saunders; 2007. p. 561-80.
Mann DL. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci AS, Braunwald E, Kasper DL,
editor. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: Mc graw
hill; 2008. p. 1443.
Shah RV. Fifer MA. Heart Failure. In: Lilly LS, editor. Pathophysiology of Heart
Disease A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2007; p. 225-251.
Sonnenblick EH, LeJemtel YH. Pathophysiology of congestive heart failure. Role of
angiotensin converting enzyme inhibitors. Am J Med. 1989; 87 : 88-91.
Lip GYH, Gibbs CR, Beevers DG. ABC of heart failure: aetiology. BMJ 2000;
320:104-7.
Harbanu HM, Santoso A. Gagal Jantung. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 3 Bulan
September 2007. P.85-93.
Floras JS: Alterations in the sympathetic and parasympathetic nervous system in
Heart Failure. In Mann DL [ed]: Heart Failure: A Companion to Braunwald's
Heart Disease. Philadelphia, Elsevier, 2004, pp 247-278.
66
Weber KT: Aldosterone in congestive heart failure. N Engl J Med.2001; 345:1689
Hunter JJ, Chien KR: Signaling pathways for cardiac hypertrophy and failure. N Engl
J Med. 1999; 341:1276
Dickstain A, Filippatos G, Cohen SA, et al. Guidelines for the diagnosis and
treatment of acute and chronic heart failure 2008. European Society Cardiology.
European Heart Journal (2008) 29. 2388-2442.
McMurray JJV, Adamopoulus S, Anker SD, Auricchio A, Böhm M, et al., ESC
Guidelines for The Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure
2012. European Society of Cardiology. European Heart Journal. 2012.
Braunwald E. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo
DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 16th Edition. London: Mc.Graw-Hill Medical Publishing Division.
2005. p: 1367-1378.
Gopal M, Karnath B. Clinical Diagnosis of Heart Failure. J Hospital Physician.
2009;9-15.
Siswanto BB, Dharma S, et al., Pedoman Tatalaksana Penyakit Kardiovaskular di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
2009.
Jessup M, Abraham WT, Casey DE, Feldman AM, et al., 2009 Focused Update:
ACCF/AHA Guidelines for The Diagnosis and Management of Heart Failure in
Adults.J Circulation; 119; 1977-2016.
Marulam M.Gagal Jantung, dalam: Aru W Sudoyo. Editor. Buku Ajar Penyakit
Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006. hal: 1503-
1511.
67
68