17

Click here to load reader

Chapter II.pdf

  • Upload
    yanti

  • View
    63

  • Download
    4

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Chapter II.pdf

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Flebitis

2.1.1 Definisi Flebitis

Flebitis adalah daerah bengkak, kemerahan, panas, dan nyeri pada kulit

sekitar tempat kateter intravaskular dipasang (kulit bagian luar). Jika flebitis

disertai dengan tanda-tanda infeksi lain seperti demam dan pus yang keluar dari

tempat tusukan, ini digolongkan sebagai infeksi klinis bagian luar (Tietjen, dkk,

2004).

Secara sederhana flebitis berarti peradangan vena. Flebitis berat hampir

diikuti bekuan darah, atau thrombus pada vena yang sakit. Kondisi demikian

dikenal sebagai tromboflebitis. Dalam istilah yang lebih teknis lagi, flebitis

mengacu ke temuan klinis adanya nyeri, nyeri tekan, bengkak, pengerasan,

eritema, dan hangat. Semua ini diakibatkan peradangan, infeksi dan/atau

thrombosis (Darmawan, 2008).

2.1.2 Etiologi Flebitis

Menurut Francombe (1998) dalam Brooker dan Gould (2003) mengatakan,

flebitis (peradangan vena), merupakan penyulit tersering yang berkaitan dengan

terapi intravaskular, biasanya terjadi akibat iritasi kimiawi atau mekanis. Faktor

predisposisi utama adalah infus larutan hipertonik dan adanya benda berbentuk

partikel yang berasal dari obat yang belum larut sempurna, potongan karet atau

kaca dari vial, dan plastik dari kanula. Terbentuk eritema di bagian proksimal dari

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II.pdf

tempat pungsi vena, disertai nyeri. Flebitis jarang disebabkan oleh bakteri, tetapi

septikemia lebih sering dijumpai pada pasien yang mengalami flebitis.

Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam patogenesis flebitis, antara

lain:

a) Faktor-faktor kimia seperti obat atau cairan yang iritan

b) Faktor-faktor mekanis seperti bahan, ukuran kateter, lokasi dan lama kanulasi

c) Agen infeksius

Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup, usia,

jenis kelamin dan kondisi dasar (yakni: diabetes mellitus, infeksi, luka bakar).

Suatu penyebab yang sering luput perhatian adalah adanya mikropartikel dalam

larutan infus dan ini bisa dieliminasi dengan penggunaan filter (Darmawan, 2008).

Flebitis bisa disebabkan berbagai faktor sebagaimana disebutkan di atas:

1. Flebitis Kimia

a) pH dan osmolaritas cairan infus yang tinggi selalu diikuti risiko flebitis

tinggi. pH larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, dimana keasaman

diperlukan untuk mencegah karamelisasi dekstrosa selama proses

sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino

dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih

flebitogenik dibandingkan normal saline. Obat suntik yang bisa

menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara lain kalium klorida,

vancomycin, amphotrecin B, chepalosporins, diazepam, midazolam dan

banyak obat khemoterapi. Larutan infus dengan osmolaritas >900 mOsm/L

harus diberikan melalui vena sentral.

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II.pdf

b) Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna

selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis.

Jadi, kalau diberikan obat intravena masalah bisa diatasi dengan

penggunaan filter 1 sampai 5 µm.

c) Penempatan kanula pada vena proksimal (kubiti atau lengan bawah) sangat

dianjurkan untuk larutan infus dengan osmolaritas >500 mOsm/L.

hindarkan vena pada punggung tangan bila anda memberikan: Asam

amino+glukosa; Glukosa+elektrolit; D5 atau NS yang telah dicampurkan

dengan obat suntik atau Meylon dan lain-lain.

d) Kateter yang terbuat dari silikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi

dibanding politetrafluoroetilen (Teflon) karena permukaan lebih halus,

lebih thermoplastic dan lentur. Risiko tinggi untuk flebitis dimiliki kateter

yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen.

e) Dulu dianggap pemberian infus lambat kurang menyebabkan iritasi

daripada pemberian cepat.

2. Flebitis Mekanis

Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang

dimasukkan ada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis.

Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan difiksasi dengan

baik.

3. Flebitis Bakterial

Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap flebitis bakteri meliputi:

a. Teknik pencucian tangan yang buruk

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II.pdf

b. Kegagalan memeriksa peralatan yang rusak. Pembungkus yang bocor atau

robek mengundang bakteri

c. Teknik aseptik tidak baik

d. Teknik pemasangan kanula yang buruk

e. Kanula dipasang terlalu lama

f. Tempat suntik jarang diinspeksi visual (Darmawan, 2008).

Berikut merupakan skor visual flebitis untuk menentukan derajat

keparahan flebitis:

Skema 1. Skor Visual Flebitis VIP score (Visual Infusion Phlebitis score)

Tempat suntikan tampak sehat 0 Tak ada tanda flebitis Observasi kanula

Salah satu dari berikut jelas: 1. Nyeri pada tempat suntikan 2. Eritema pada tempat suntikan

Dua dari berikut jelas: 1. Nyeri 2. Eritema 3. pembengkakan

Semua dari berikut jelas: 1. Nyeri sepanjang kanula 2. Eritema, 3. Indurasi

Semua dari berikut jelas: 1. Nyeri sepanjang kanula 2. Eritema, 3. Indurasi 4. Venous cord teraba

Semua dari berikut jelas: 1. Nyeri sepanjang kanula 2. Eritema, 3. Indurasi 4.Venous cord teraba 5. Demam

1 2

Mungkin tanda dini flebitis Observasi kanula

Stadium dini flebitis Ganti tempat kanula

Stadium moderat flebitis 1. Ganti kanula 2. Pikirkan terapi 3

Stadium lanjut atau awal tromboflebitis 1. Ganti kanula 2. Pikirkan terapi

Stadium lanjut tromboflebitis 1. Lakukan terapi 2. Ganti kanula

4

5

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II.pdf

2.1.3 Mencegah dan Mengatasi Flebitis

a. Mencegah flebitis bakterial

Pedoman ini menekankan kebersihan tangan, teknik aseptik, perawatan

daerah infus serta antisepsis kulit. Walaupun lebih disukai sediaan

chlorhexidine-2%, tinctura yodium , iodofor atau alkohol 70% juga bisa

digunakan.

b. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptik.

Stopcock sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian

infus IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman

yang potensial ke dalam tubuh. Pencemaran stopcock lazim dijumpai dan

terjadi kira-kira 45 – 50% dalam serangkaian besar kajian.

c. Rotasi kanula

May, dkk (2005) dalam Darmawan (2008) melaporkan hasil 4 teknik

pemberian nutrisi parenteral perifer (PPN), di mana mengganti tempat (rotasi)

kanula ke lengan kontralateral setiap hari pada 15 pasien menyebabkan bebas

flebitis. Namun, dalam uji kontrol acak yang dipublikasi oleh Webster dkk

(1996) disimpulkan bahwa kateter bisa dibiarkan aman di tempatnya lebih

dari 72 jam jika tidak ada kontraindikasi. The Centers for Disease Control

and Prevention menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk

membatasi potensi infeksi, namun rekomendasi ini tidak didasarkan atas bukti

yang cukup.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II.pdf

d. Aseptic dressing

Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa setril diganti

setiap 24 jam.

e. Laju pemberian

Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infus larutan hipertonik

diberikan makin rendah risiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda untuk

pemberian infus obat injeksi dengan osmolaritas tinggi. Osmolaritas boleh

mencapai 1000 mOsm/L jika durasi hanya beberapa jam. Durasi sebaiknya

kurang dari tiga jam untuk mengurangi waktu kontak campuran yang iritatif

dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian tinggi (150 –

330 mL/jam). Vena perifer yang paling besar dan kateter yang sekecil dan

sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang diinginkan,

dengan filter 0.45 mm. Kanula harus diangkat bila terlihat tanda dini nyeri

atau kemerahan. Infus relatif cepat ini lebih relevan dalam pemberian infus

juga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan maintenance atau nutrisi

parenteral.

f. Titrable acidity

Titratable acidity dari suatu larutan infus tidak pernah dipertimbangkan

dalam kejadian flebitis. Titratable acidity mengukur jumlah alkali yang

dibutuhkan untuk menetralkan pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan

infus tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrable acidity sendiri.

Bahkan pada pH 4.0, larutan glukosa 10% jarang menyebabkan perubahan

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II.pdf

karena titrable acidity-nya sangat rendah (0.16 mEq/L). Dengan demikian

makin rendah titrable acidity larutan infus makin rendah risiko flebitisnya.

g. Heparin & hidrokortison

Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infus sampai kadar akhir 1

unit/mL, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter. Risiko

flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal, kalium

klorida, lidocaine, dan antimikrobial) juga dapat dikurangi dengan pemberian

aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan pasien

penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi kekerapan

flebitis pada vena yg diinfus lidokain, kalium klorida atau antimikrobial. Pada

dua uji acak lain, heparin sendiri atau dikombinasi dengan hidrokortison telah

mengurangi kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang

mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.

h. In-line filter

In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data yang

mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait dengan alat

intravaskular dan sistem infus (Darmawan, 2008).

2.2 Terapi Cairan Intravena (Infus)

2.2.1 Definisi

Terapi cairan intravena merupakan pemberian cairan untuk penggantian

cairan, pemberian obat, dan penyediaan nutrien jika tidak ada pemberian dengan

cara lain (Smeltzer & Bare, 2001).

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II.pdf

2.2.2 Tujuan

Umumnya cairan intravena diberikan untuk mencapai satu atau lebih

tujuan berikut ini:

a. Untuk menyediakan air, elektrolit, dan nutrien untuk memenuhi kebutuhan

sehari-hari

b. Untuk menggantikan air dan memperbaiki kekurangan elektrolit

c. Untuk menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena

2.2.3 Jenis-jenis larutan Intravena

Larutan elektrolit dianggap isotonik jika kandungan elektrolit totalnya

(anion ditambah kation) kira-kira 310 mEq/L. Larutan dianggap hipotonik jika

kandungan elektrolit totalnya kurang dari 250 mEq/L dan hipertonik jika

kandungan elektrolit totalnya melebihi 375 mEq/L. Perawat juga harus

mempertimbangkan osmolalitas suatu larutan, bahwa osmolalitas plasma adalah

kira-kira 300 mOsm/L.

a. Cairan isotonis: cairan yang diklasifikasikan isotonik mempunyai osmolalitas

total yang mendekati cairan ekstraseluler dan tidak menyebabkan sel darah

merah mengkerut atau membengkak. Contohnya saline normal (0,9% natrium

klorida), larutan ringer lactate.

b. Cairan hipotonik: tujuannya adalah untuk menggantikan cairan seluler, karena

larutan ini bersifat hipotonis dibandingkan dengan plasma. Tujuan lainnya

adalah untuk menyediakan air bebas untuk ekskresi sampah tubuh. Pada saat-

saat tertentu, larutan natrium hipotonik digunakan untuk mengatasi

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II.pdf

hipernatremia dan kondisi hiperosmolar yang lain. Contohnya salin

berkekuatan menengah (natrium klorida 0,45%).

c. Cairan hipertonik: dekstrosa 5% dalam air diberikan untuk membantu

memenuhi kebutuhan kalori. Larutan salin juga tersedia dalam konsentrasi

osmolar yang lebih tinggi daripada CES. Larutan-larutan ini menarik air dari

kompartemen intraseluler ke ekstraseluler dan menyebabkan sel-sel

mengkerut. Jika diberikan dengan cepat dan dalam jumlah besar, dapat

menyebabkan kelebihan volume ekstraseluler dan mencetuskan kelebihan

cairan sirkulatori dan dehidrasi.

2.2.4 Penatalaksanaan Keperawatan pada Pasien yang mendapat Terapi

Intravena

a. Pungsi vena

Kemampuan untuk mendapat akses ke sistem vena guna memberikan cairan

dan obat.

1) Pemilihan tempat: vena yang sering digunakan adalah vena ekstremitas

atas karena vena ini relatif aman dan mudah dimasuki. Vena ekstremitas

bawah lebih berisiko mengalami tromboflebitis. Vena sentral yang sering

digunakan dokter termasuk vena subclavia dan vena jugularis interna tapi

mengalami risiko yang tinggi terhadap infeksi. Fosa antekubital

dihindari. Berikut pertimbangan yang harus diperhatikan untuk memilih

tempat penusukan vena: kondisi vena; jenis cairan atau obat yang akan

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II.pdf

diinfuskan; lamanya terapi; usia dan ukuran pasien; riwayat kesehatan

dan status kesehatan sekarang serta keterampilan tenaga kesehatan.

2) Perlengkapan pungsi vena: jalur akses PICC (Peripherally Inserted

Central Catheter) dan Midline Catheter (MLC). PICC merupakan terapi

parenteral jangka menengah sampai jangka panjang sering kali harus

dipasang kateter sentral yang terpasang secara perifer. MLC digunakan

untuk pasien yang tidak mempunyai akses perifer tetapi membutuhkan

antibiotika IV, darah dan nutrisi parenteral

3) Menginformasikan pasien tentang lamanya infus yang diperkirakan, dan

pembatasan aktivitas.

4) Persiapan letak infus meliputi tindakan aseptik sebelum melakukan

pungsi vena.

5) Entri vena: dilakukan berdasarkan keterampilan yang dipunyai seorang

perawat.

b. Pemantauan terapi intravena

1) Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran gravitasi IV: (1) aliran

berbanding langsung dengan ketinggian bejana cairan; (2) aliran

berbanding langsung dengan diameter selang; (3) aliran berbanding

terbalik dengan panjang selang; dan (4) aliran berbanding terbalik dengan

viskositas cairan.

2) Memantau aliran: menggunakan rumus:

Gtt/ml dari set yang ditentukan/60 (menit dalam jam) x volume total per

jam = gtt/mnt

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II.pdf

c. Penghentian infus

Pelepasan kateter intravena berkaitan dengan dua kemungkinan bahaya

perdarahan dan emboli kateter (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.5 Memasang Infus Intravena

Persiapan

1. Pastikan program medis untuk terapi IV, periksa label larutan dan identifikasi

pasien

2. Jelaskan prosedur pada pasien

3. Cuci tangan dan kenakan sarung tangan sekali pakai

4. Pasang turniket dan identifikasi vena yang sesuai

5. Pilih letak insersi

6. Pilih kanula IV

7. Hubungkan kantong infus dan selang, dan alirkan larutan sepanjang selang

untuk mengeluarkan udara, tutup ujung selang

8. Tinggikan tempat tidur sampai ketinggian kerja dan posisi pasien yang

nyaman, atur pencahayaan. Posisikan lengan pasien di bawah ketinggian

jantung untuk meningkatkan pengisian kapiler. Letakkan bantal pelindung di

atas tempat tidur di bawah lengan pasien.

Prosedur

1. Tergantung pada kebijakan dan prosedur rumah sakit, lidokain 1% (tanpa

epinefrin) 0,1-0,2 cc mungkin disuntikkan secara lokal ke tempat IV.

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II.pdf

2. Pasang turniket baru untuk setiap pasien atau manset tekanan darah 15

sampai 20 cm (6-8 inci) di atas tempat penusukan. Palpasi nadi di distal

turniket. Minta pasien untuk membuka dan menutup kepalan tangan beberapa

kali atau menggantungkan lengan pasien untuk melebarkan vena.

3. Pastikan apakah pasien alergi terhadap yodium. Siapkan tempat dengan

membersihkan menggunakan tiga swab betadine selama 2-3 menit dalam

gerakan memutar bergerak keluar dari tempat penusukan. Biarkan kering,

kemudian bersihkan dengan alkohol 70% untuk melihat dengan jelas vena

profunda.

a. Jika tempat yang dipilih sangat berambut, gunting rambut (periksa

kebijakan dan prosedur lembaga tentang hal ini).

b. Jika pasien alergi dengan providon-yodium, maka dapat digunakan alkohol

70% saja.

4. Dengan tangan yang tidak memegang peralatan akses vena, pegang tangan

pasien dan gunakan jari atau ibu jari untuk menegangkan kulit di atas

pembuluh darah.

5. Pegang jarum dengan bagian bevel ke atas dan pada sudut 25-45 derajat,

tergantung pada kedalaman vena, tusuk kulit tetapi tidak menusuk vena

6. Turunkan sudut jarum menjadi 10-20 derajat atau sampai hampir sejajar

dengan kulit, kemudian masuki vena baik langsung dari atas atau dari

samping dengan satu gerakan cepat

7. Jika tampak aliran darah balik, luruskan sudut dan dorong jarum

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II.pdf

8. Lepaskan turniket dan sambungkan selang infus, buka klem sehingga

memungkinkan tetesan

9. Sisipkan bantalan kasa steril berukuran 2x2 inchi di bawah ujung kateter

10. Rekatkan jarum dengan kuat di tempatnya dengan plester

11. Tempat penusukan kemudian ditutup dengan kasa steril, rekatkan pada plester

nonalergenik tetapi jangan melingkari ekstremitas

12. Plesterkan sedikit lengkungan selang IV ke atas balutan

13. Tutup tempat penusukan dengan balutan sesuai kebijakan prosedur rumah

sakit

14. Beri label balutan dengan jenis dan panjang kanula, tanggal dan inisial

15. Hitung kecepatan infus dan atur aliran infus

16. Dokumentasikan tempat, jenis dan ukuran kanula, waktu, larutan, kecepatan

IV dan respon pasien terhadap prosedur (Smeltzer & Bare, 2001).

2.2.6 Komplikasi

a. Komplikasi sistemik meliputi: kelebihan beban cairan, emboli udara, dan

septikemia.

b. Komplikasi lokal meliputi: infiltrasi, flebitis, tromboflebitis dan hematoma.

2.2.7 Lama Hari Pemasangan Infus

Menurut Brooker (2003) lamanya penggunaan jarum intravena harus

diganti paling sedikit setiap 24 jam, ganti lokasi vena yang ditusuk jarum

intravena setiap 48 jam. Penelitian yang dilakukan oleh Masiyati (2000) dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II.pdf

judul “waktu yang efektif untuk pemasangan infus agar tidak flebitis”, didapatkan

angka kejadian flebitis paling besar dalam waktu pemasangan infus 96-120 jam

sebesar 60%.

Secara teknis, lamanya penggunaan jarum kateter intravena (IV) tetap

steril selama 48 sampai dengan 72 jam, disamping itu juga teknik ini lebih

menghemat biaya dan tidak meningkatkan resiko infeksi (Metheny, (1996) dalam

Brooker (2003)). Berikut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

perawatan terapi intravena:

a. Brooker dan Gould mengatakan rotasi rutin tempat kanula harus dilakukan

setiap 48-72 jam.

b. Menurut Tjetjen, dkk (2004) rotasi tempat kanula setiap 72-96 jam

mengurangi flebitis dan infeksi lokal (teflon atau polikateter lebih baik dari

pada jarum logam karena tidak menembus vena saat rotasi).

c. Pada pemakaian jangka pendek (<48 jam), jarum lurus atau butterfly kurang

mengakibatkan iritasi karena terbuat dari plastik dan juga infeksi lebih

rendah.

d. Pada perawatan tempat pemasangan, penutupan luka dapat dipertahankan 72

jam asal kering (jika basah, lembab, atau lepas segera diganti)

e. Daerah tertanamnya kateter atau jarum harus diperiksa tiap hari apakah ada

rasa nyeri.

f. Tempat insersi perlu diperiksa jika pasien mengeluh nyeri atau demam tanpa

diketahui penyebabnya.

g. Ganti botol cairan infus atau kantong plastik cairan infus setiap 24 jam

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Chapter II.pdf

h. Ganti botol cairan infus atau kantong plastik cairan infus dengan emulsi

lemak dalam 12 jam.

i. Set infus harus diganti jika rusak atau secara rutin tiap 72 jam (apabila saluran

baru disambungkan, usap pusat jarum atau kateter plastik dengan alkohol 60-

90% dan sambungkan kembali dengan infus set)

j. Saluran (tubing) yang dipakai untuk memberikan darah, produk darah atau

emulsi lemak harus diganti setiap 24 jam (Tjetjen, dkk, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Chapter II.pdf

BAB 3

KERANGKA PENELITIAN

3.1. Kerangka Penelitian

Kerangka penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi rata-rata lama

hari pemasangan infus dalam terjadinya flebitis pada pasien yang dipasang infus.

Pada penelitian ini fokus yang akan diteliti mencakup variabel rata-rata lama hari

pemasangan infus dalam terjadinya flebitis.

Skema 2. Kerangka Penelitian Rata-Rata Lama Hari Pemasangan Infus dalam Terjadinya Flebitis Pada Pasien yang Dipasang Infus.

Keterangan :

Diteliti :

Yang tidak diteliti :

Hubungan yang mempengaruhi :

Pemantauan

lama hari

pemasangan infus

(7 hari perawatan)

Faktor penyebab :

1. Flebitis Kimia

2. Flebitis Mekanis

3. Flebitis Bakterial

Pasien yang baru

dipasang infus Terjadi flebitis

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Chapter II.pdf

3.2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah definisi berdasarkan karakteristik yang

diamati dari sesuatu yang didefinisikan tersebut. Dapat diamati artinya

memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara

cermat terhadap suatu objek atau fenomena yang kemudian dapat diulangi lagi

oleh orang lain (Nursalam, 2008).

Tabel 1. Kerangka Operasional Penelitian

Variabel Defenisi

Operasional

Alat

Ukur Hasil Ukur Skala

Lama hari

pemasa-

ngan infus

Lama hari yang

dijalani pasien

pada penggunaan

alat intravaskuler

dalam terjadinya

flebitis dengan

adanya indikator

nyeri, eritema dan

pembengkakan.

Lembar

Observasi

a. 0 = tidak ada

tanda flebitis

b.1 = ada tanda

flebitis

Interval

Universitas Sumatera Utara