Chapter II(2)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bac

Citation preview

  • 5

    Universitas Sumatera Utara

    BAB 2

    Tinjauan Pustaka

    2.1. Orbita

    Orbita adalah suatu rongga yang berisikan bola mata dengan jaringan lunak sebagai

    bantalan bola mata. Rongga tersebut berbentuk piramid, yang memiliki dasar berbentuk

    kuardrangular terbuka disebelah anterior, berukuran 4 cm horizontal dan 3,5 cm vertikal. Atap

    orbita memiliki bentuk triangular. Dinding medial orbita berjarak 2,5 cm satu sama lainnya, dan

    dinding lateralnya saling membentuk sudut dengan fossa lakrimal yang terletak pada kedalaman

    2 cm. dinding orbita terdiri 7 macam tulang, yaitu tulang etmoid, frontal, lakrimal, maksila,

    palatum, sphenoid dan zigomatik. Para ahli membagi rongga orbita menjadi 4 bagian, yaitu atap

    orbita, dinding lateral, dinding medial dan dasar orbita.9-11

    2.2. Tumor Orbita

    Jenis tumor orbita: 9,12

    1. Tumor orbita primer

    Tumor orbita primer adalah tumor orbita yang berasal dari jaringan orbita sendiri. Tumor

    orbita ini dapat bersifat jinak maupun ganas.

    2. Tumor orbita sekunder

    Tumor orbita sekunder adalah tumor orbita yang berasal dari berbagai organ lain di

    tubuh. Sifat tumor ini biasanya ganas. Proptosis yang terjadi biasanya biasanya disertai

    destruksi tulang orbita dan dapat terjadi oftalmoplegi.

    3. Tumor epitel

    Tumor orbita yang berasal dari jaringan epitel, yang termasuk jenis ini adalah karsinoma

    sel basal atau basalioma, karsinoma sel skuamosa, melanoma maligna, adenokarsinoma.

    Jenis-jenis tumor ini sering bersifat ganas.

    Universitas Sumatera Utara

  • 6

    Universitas Sumatera Utara

    Berdasarkan asal jaringan dan sifat tumor, dapat dibagi 4 kelompok yaitu tumor primer

    jinak orbita, tumor primer ganas orbita, tumor epitel sekunder orbita, dan tumor invasi atau

    metastasis.

    2.3. Palpebra

    Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot dan jaringan fibrosa yang berfungsi melindungin

    struktur-struktur mata yang rentan. Palpebra sangat mudah digerakkan karena kulit disini paling

    tipis diantara kulit di bagian lain. Muskulus orbikularis oculi melekat pada kulit. Permukaan

    dalamnya disyarafi nervus facialis (nervus VII), dan fungsinya adalah untuk menutup palpebra.

    Otot disini terbagi dalam bagian orbital, preseptal, dan paratarsal. Bagian orbital, yang terutama

    berfungsi untuk menutup mata kuat, adalah otot melingkar tanpa insertion temporal. Otot

    praseptal dan paratarsal memiliki kaput medial superfisial dan profundus, yang turut serta dalam

    pemompaan air mata.10

    Palpebra superior lebih besar dan lebih mudah digerakkan daripada palpebra inferior.

    Sebuah alur yang dalam, biasanya diposisi tengah palpebra superior pada orang Caucasian,

    merupakan tempat perlekatan serat-serat otot levator. Alur ini jauh lebih dangkal atau bahkan

    tidak ada pada palpebra orang Asia. Dengan meningkatnya usia, kulit tipis palpebra superior

    cenderung mengantung diatas alur palpebra itu sampai menyentuh bulu mata. Penuaan juga

    menipiskan septum orbital sehingga terlihat bantalan lemak di bawahnya.11-13

    Tumor pada mata dapat dibagi dua, tumor jinak dan tumor ganas. Tumor jinak palpebra

    sangat umum dan frekwensinya dengan bertambah semakin meningkatnya usia. Kebanyakan

    mudah dikenali di klinik, dan eksisi dilakukan dengan alasan kosmetik. Meskipiun begitu

    seringkali lesi ganas sulit dikenalin secara klinik, dan biopsi harus selalu dilakukan jika ada

    kecurigaan keganasan.11-13

    Tumor ganas palpebra, karsinoma sel basal dan sel skuamosa palpebra adalah tumor mata

    ganas paling umum. Tumor-tumor ini paling sering terdapat pada orang bercorak kulit terang

    atau kuning langsat yang terpajan menahun terhadap sinar matahari. Sembilan puluh lima persen

    Universitas Sumatera Utara

  • 7

    Universitas Sumatera Utara

    karsinoma palpebra adalah dari jenis sel basal. Sisa 5% terdiri atas karsinoma sel skuamosa dan

    karsinoma kelenjar meibom.14

    Karsinoma sel basal, umumnya tumbuh lambat dan tanpa sakit, berupa nodul yang tidak

    atau dapat berulkus. Karsinoma ini secara perlahan menyusupin ke jaringan sekitar namun tidak

    bermetastasis. Studi potong-beku tepian irisan terutama penting untuk karsinoma sel basal

    bersklerosis, karena tepian tumor secara klinis tidak nyata. Eksisi yang dikontrol secara

    mikroskopik (teknik Mohs yang dimodifikasi), dipakai sejumlah ahli penyakit kulit untuk

    mendapatkan eksisi total. Kasus tertentu dapat diobatin dengan cara seperti radioterapi dengan

    nitrogen cair 14,15

    Karsinoma sel skuamosa juga tumbuh lambat dan tanpa rasa sakit, seringkali berawal

    sebagai sebuah nodul hiperkeratotik, yang dapat berulkus. Tumor radang jinak seperti

    keratokanthoma sangat mirip karsinoma. Diagnosis tepat tergantung pada biopsi. Seperti

    karsinoma sel basal, tumor ini dapat menyisip dan mengkikis jaringan sekitarnya, mereka dapat

    pula menyebar ke limfonodus regional melalui sistim limfatik.17

    Gambar 1.1 Karsinoma sel skuamosa 2

    Universitas Sumatera Utara

  • 8

    Universitas Sumatera Utara

    Karsinoma kelenjar sebasea, paling sering muncul dari kelenjar meibom dan kelnjar Zeis,

    namun dapat pula muncul dalam kelenjar sebasea alis mata atau karunkulum. Separuhnya mirip

    lesi dan kelainan radang jinak seperti chalazion dan blepharitis menahun. Karsinoma ini lebih

    agresif dari karsinoma sel skuamosa, sering meluas kedalam orbita, memasuki pembuluh limfe,

    dan bermetastasis.17,18

    Sarkoma jaringan lunak pada orbita jarang dan biasanya berupa perluasan ke anterior

    tumor-tumor orbita. Rhabdomiosarkoma palpebra dan orbita adalah tumor ganas primer paling

    umum di temukan dijaringan ini dalam dekade pertama kehidupan. Tumor palpebra adalah tanda

    pertama. Kombinasi radioterapi biasanya efektif untuk mempertahankan fungsi mata dan

    menghindari kematian.18

    Melanoma ganas palpebra serupa dengan melanoma kulit dibagian lain dan terdiri atas tiga

    golongan berbeda: melanoma yang menyebar superfisial, melanoma ganas lentigo, dan

    melanoma nodular. Tidak semua melanoma ganas berpigmen. Kebanyakan lesi yang berpigmen

    pada kulit palpebra bukan melanoma. Karenanya harus di biopsi untuk menegakkan diagnosis.

    Prognosis melanoma kulit tergantung kedalaman invasi atau kedalaman lesi. Tumor dengan

    kedalaman kurang dari 0,76 mm jarang bermetastase.18

    Tumor dan pseudotumor (non-spesific orbital inflamtion, idiopathic orbital inflammation

    atau orbital inflammatory syndrome) kadang kala sangat sulit dibedakan. Pseudotumor adalah

    lesi inflamasi yang menyerupai lesi neoplastik terdiri dari respon sel pleomorfis dan reaksi

    jaringan fibrovaskular tanpa diketahui penyebabnya, baik local maupun sistemik.19-22

    Pseudotumor pertama sekali dideskripsikan oleh Birch-Hirscfield pada tahun 1905

    terhadap sindrom dengan gambaran klinis jinak atau neoplasma ganas yang pada saat dilakukan

    eksplorasi bedah dan biopsy didapatkan jaringan inflamasi. Diagnosis ini kemudian meluas

    menjadi keranjang sampah penyakit lain yang sulit di diagnosis pada saat itu. Dengan

    berkembangnya metode diagnosis tumor mata, spectrum pseudotumor semakin menyempit.

    Defenisi pseudotumor pada literature terkini adalah inflamasi orbita non spesifik tanpa

    ditemukannya penyebab spesifik baik local maupun sistemik.20,21

    Pseudotumor merupakan lesi jinak yang sering ditemukan di orbita. Pada sebuah seri

    tumor orbita selama 50 tahun terdapat 83 pasien dengan diagnosis pseudotumor atau insidennya

    Universitas Sumatera Utara

  • 9

    Universitas Sumatera Utara

    mencapai 4,6% dari total tumor orbita. Insiden yang sebenarnya di perkirakan lebih tinggi karena

    sejumlah besar kasus tidak dibiopsi.22

    Shields dkk23

    yang melakukan survey terhadap 1264

    pasien dalam periode 30 tahun di Wills Eye Hospital mendapat pseudotumor pada 98 kasus (8%)

    Patogenesis pseudotumor dipahami bersamaan dengan ditelitinya mekanisme inflamasi.

    Makrofag memproses dan mempersentasekan antigen untuk limfosit T helper untuk mengawalin

    respon imun seluler. Pada T helper berproliferasi dan memproduksi sitokinin dan mengakibatkan

    sel T efektor bertambah banyak dan mengakibatkan lisis sel. Sitokinin yang dihasilkan akan

    menarik dan mengaktifkan makrofag. Sitokini selain mengakibatkan lisis sel yang mengandung

    antigen, juga mengakibatkan kerusakan jaringan dan fibrosis secara klinis didapatkan sebagai

    nyeri orbita, pembengkakan dan menurunkan fungsi. Pada saat yang bersamaan, respon humoral

    diawalin dimana sel B berproduksi, sebagian membentuk folikel, sebagian lagi berubah menjadi

    sel plasma yang membentuk antibodi. Apabila jaringan mengalami perbaikan, maka akan tampak

    gambaran peradangan kronis.23

    Gambar 2.1 Patogenesis pseudotumor5

    Universitas Sumatera Utara

  • 10

    Universitas Sumatera Utara

    2.4. Protrusi Bola Mata

    Protrusi bola mata diukur dari puncak kornea menuju garis sejajar yang dilalui oleh kedua

    titik margin rima orbita lateral.

    2.4.1. Proptosis

    Proptosis adalah peningkatan yang abnormal dari nilai protrusi bola mata. Eksoftalmus

    adalah proptosis yang biasanya disertai dengan kelainan kelenjar tiroid, sedangkan enoftalmus

    adalah penurunan abnormal nilai protursi bola mata.2

    Pseudoproptosis disebabkan akibat

    penonjolan bola mata yang bukan disebabkan peningkatan isi bola mata. Penyebab dari

    pesudoproptosis adalah antara lain membesarnya bola mata akibat myopia tinggi, kelemahan

    atau parese otot ekstra ocular, enoftalmos mata sebelahnya, ukuran orbita yang tidak simetris,

    fisura palpebra yang tidak simetris (umumnya akibat kelopak mata ipsilateral atau parese saraf

    wajah atau ptosis kontralateral).26

    Ada studi biopsi terhadap kasus proptosis pada anak-anak yang dilakukan oleh Shields

    dkk, mendapatkan bahwa 85% kasus proptosis disebabkan oleh lesi jinak seperti kista, lesi

    inflamasi, atau hamartoma. Rabdomiosarkoma, retinoblastoma, dan leukemia terdapat pada

    sisanya 25% kasus proptosis.27

    Tabel 1.1 jumlah dan persentase lesi penyebab proptosis pada anak28

    Jenis Lesi Jumlah Persentase (%)

    Selulitis orbita

    Glioma saraf optic-kiasma optikum

    Graves ophthalmopati

    Rabdomiosarkoma orbita

    Neuroblastoma metastasis

    Neurofibroma orbita

    Hemangioma orbita

    Sarcoma Ewing (metastase)

    Kista dermoid orbita

    22

    8

    8

    7

    4

    3

    2

    2

    1

    38,6

    14,1

    14,1

    12,3

    7,0

    5,2

    3,5

    3,5

    1,7

    Total 57 100

    Universitas Sumatera Utara

  • 11

    Universitas Sumatera Utara

    Abnormalitas kraniofasial akibat trauma wajah atau kelainan congenital dapat menyebabkan

    proptosis

    2.4.2. Pengukuran Nilai Protrusi Bola Mata

    Tindakan pengukuran protrusi mata disebut eksoftalmometri. Teknik eksoftalmometri ini

    merupakan teknik pemeriksaan yang penting dalam evaluasi pasien dengan kelainan orbita.

    Terdapat 3 jenis pengukuran eksoftalmometri, yaitu:2

    a. Eksoftalmometri absolut, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan nilai

    rerata standar yang ada. Eksoftalmometri absolut sangat penting dalam diagnosis

    proptosis bilateral, karena pada keadaan ini protrusi kedua mata.

    b. Eksoftalmometri relatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan mata

    sebelahnya pada individu yang sama. Eksoftalmometri relative penting dalam diagnosis

    proptosis unilateral. Sebagian besar penelitian yang telah ada mendapatkan nilai relatif

    protrusi bola mata yang tidak lebih dari 2 mm

    c. Eksoftalmometri komparatif, yaitu pengukuran protrusi bola mata dibandingkan dengan

    mata yang sama dalam periode waktu tertentu. Eksoftalmometri komparatif penting

    dalam memonitor perubahan besar protrusi seiring waktu yang berjalan, sehingga dapat

    mengikutin progresifitas proptosis tersebut.

    Pada beberapa studi, pengukuran luar daerah orbita atau fotografi teleh dilakukan

    untuk mengukur anatomi mata dan daerah sekitar wajah. Namun, teknik ini tidak dapat

    menggambarka tulang dan jaringan lunak secara akurat.29

    Alat eksoftalmometri hingga saat ini yang paling sering digunakan adalah Hertel

    eksoftalmometri, namun alat ini sulit dipakai apabila terdapat kelainan pada rim orbita

    lateral, seperti pada pasien dengan riwayat pengambilan tulang rima orbita lateral pada

    dekompresi orbita dan pengangkatan tumor orbita.30

    Universitas Sumatera Utara

  • 12

    Universitas Sumatera Utara

    Gambar 3.1. Cara pemeriksaan Hertel Eksoftalmometri pada Pasien

    31

    Bogren dkk22

    membandingkan Hertel eksoftalmometri dengan teknik pengukuran

    secara radiografik. Mengukur dengan teknik radiografik pada protrusi bola mata secara

    akurat dan sensitif. Namun, pengukuran ini sangat rumit dan mahal. Hertel eksoftalmometri

    yang digunakan sebagai pembanding teknik radiografik tersebut dinyatakan lebih mudah

    digunakan dan lebih siap sedia untuk kepentingan klinis. Hertel eksoftalmometri telah

    banyak digunakan oleh para klinisi untuk menentukan protrusi bola mata pasien.22

    Pada

    tahun 2001, Kim dan Choi25

    membandingkan pengukuran oleh CT Scan orbita dengan

    Hertel eksoftalmometri di Korea dan menentukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna

    antara kedua alat ukur tersebut.

    2.5. Faktor yang Berhubungan dengan Nilai Protrusi Bola Mata

    Sebagian besar peneliti menyatakan bahwa parameter orbita seperti jarak rima orbita

    lateral dan jarak antara pupil memiliki korelasi positif dengan nilai protrusi bola mata.2,9,21,25

    Namun usia, jenis kelamin, antropometri tinggi badan dan indeks massa tubuh, dan status

    refraksi masih memberikan variasi terhadap nilai protrusi bola mata. Panjang sumbu bola mata

    diduga juga memiliki hubungan dengan nilai protrusi bola mata.

    Universitas Sumatera Utara

  • 13

    Universitas Sumatera Utara

    2.5.1. Usia

    Fledelius dkk9

    pada tahun 1986 meneliti perubahan posisi bola mata seiring pertumbuhan

    dan saat dewasa pada subjek dengan rentang usia 5-80 tahun. Pada penelitiannya ditemukan

    bahwa terdapat hubungan liniar antara nilai protrusi bola mata dengan usia hingga usia 20 tahun,

    selanjutnya nilai protrusi bola mata menjadi stabil.

    Nucci dkk6

    pada penelitinnya menilai protrusi bola mata pada anak usia 3-10 tahun di Itali

    dan menemukan rerata nilai protrusi bola mata pada kelompok usia 3 tahun adalah 9,111,57

    mm, 9,942,04 mm untuk kelompok usia 5 tahun, 11,301,35 mm dan 11,671,38 mm pada

    kelompok usia 10 tahun. Pada penelitian ini tampak rerata nilai protrusi bola mata keliatannya

    stabil setelah usia 7 tahun.

    Sodihi dkk15

    mendapatkan nilai protrusi bola mata pada rentang usia 3-10 tahun secara

    linier meningkat kemudian menurun pada dekade kedua dan meningkat lagi pada dekade ketiga.

    Nilai protrusi bola mata stabil setelah dekade ketiga dan keempat. Peningkatan nilai protrusi bola

    mata pada dekade kedua hingga dekade ketiga diduga akibat peningkatan deposit lemak.

    Ghozi dkk8

    tahun 1984 meneliti nilai protrusi bola mata pada subyek di Jogyakarta. Pada

    kelompok usia 6-12 tahun memiliki nilai protrusi bola mata sebesar 16,421,77 mm pada laki-

    laki dan 16,641,96 mm pada perempuian. Pada penelitian ini tidak terlihst adanya hubungtan

    antara nilai protrusi bola mata dengan usia. Namun di Indonesia maupun di luar negeri ada

    beberapa studi yang btelah dilakukan maka terdapat perbedaan pola hubungtan antara nilai

    protrusi bola mata dengan usia yang dapat disebabkan pertumbuhan orbita dan ras.

    2.5.2. Jenis Kelamin

    Waever dkk29

    menemukan bahwa parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi

    bola mata dari rima orbita lateral, protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior,

    perimetri rima orbita memiliki ukuran yang lebih besar pada laki-laki dibandingkan wanita. Chan

    dkk4

    dan Quant dkk22

    menemukan bahwa laki-laki memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih

    tinggi secara signifikan dibandingkan wanita. Hal ini diduga karena laki-laki memiliki postur

    tubuh yang lebih besar dibandingkan wanita.21

    penelitian yang dilakukan Ghozi di Jogjakarta

    Universitas Sumatera Utara

  • 14

    Universitas Sumatera Utara

    tahun 1984 ditemukan nilai protrusi bola mata secara signifikan lebih tinggi pada laki-laki

    daripada wanita.8

    Kaye dkk32

    meneliti 462 pasien dengan rentang usia 9-82 tahun dan menemukan bahwa

    tidak ada perbedaan yang signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan wanita.

    Tsai dkk33

    mendapatkan perbedaan signifikan antara rerata protrusi bola mata pada laki-laki dan

    wanita.

    Pengaruh jenis kelamin terhadap nilai protrusi bola mata masih kontroversi. Hal ini diduga

    terjadi karena pengaruh ras.

    2.5.3 Antropometri

    Peyster dkk34

    menemukan bahwa pada pasien dengan obesitas, terdapat peningkatan lemak

    orbita dibandingkan pasien normal. Wear dkk29

    meneliti antropometri orbita dan mata pada 39

    subjek dengan ras Kaukasia. Mereka melakukan analisis korelasi multivariat antara tinggi badan

    dengan parameter orbita (lebar orbita, tinggi orbita, protrusi bola mata dari rima orbita lateral,

    protrusi bola mata dari rima orbita superior dan inferior, perimetri rima orbita) dan menemukan

    bahwa tinggi badan merupakan faktor utama yang mempengaruhi adanya variasi antropometri

    orbita.

    Smoldrers dkk4

    penelitiannya berupa nilai protrusi bola mata pada subjek dengan

    IMT 30kg/m2 dan dibandingkan dengan control 26>IMT 20 kg/m2. Mereka menemukan

    bahwa pasien obesitas memiliki nilai protrusi bola mata yang lebih tinggi serta diameter otot

    rektus medial yang lebih besar. Hal ini diduga akibat meningkatnya ukuran leak retro orbita dan

    otot intraorbita pada subjek dengan IMT 30kg/m2

    Kaskouli dkk21

    pada penelitiannya ditemukan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara

    protrusi bola mata dengan tinggi badan dan berat badan pada kelompok anak-anak, sedang pada

    kelompok remaja ditemukan korelasi yang signifikan dengan tinggi badan dan berat badan.

    Inkonsistensi hubungan nilai protrusi bola mata dengan antropometri (tinggi badan, IMT)

    diduga akibat dari jumlah sampel yang sedikit dari penelitian-penelitian yang sudah ada.

    Universitas Sumatera Utara

  • 15

    Universitas Sumatera Utara

    2.5.4. Parameter Orbita

    Beberapa penelitian menemukan korelasi linear yang positif antar nilai protrusi bola mata

    dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil.21,22,32

    Hal ini diduga akibat lebih landainya

    rongga orbita pada jarak rima orbita lateral yang lebih besar. Meskipun nilai protrusi bola mata

    dengan jarak rima orbita lateral dan jarak antar pupil memiliki korelasi yang positif, keadaan

    tersebut bukan sesuatu proses sebab akibat, namun merupakan hal yang terjadi bersamaan.21

    2.5.5. Ras dan Etnis

    Penelitian di berbagai negara telah dilakukan dalam upaya pencarian nilai normal protrusi

    bola mata. Kashkauli dkk21

    meneliti nilai proetrusi bola mata di Iran dan menemukan rerata nilai

    protrusi bola mata sebesar 14,21,8 mm pada kelompok anak-anak. Quant dkk22

    mendapat nilai

    protrusi bola mata pada anak di Hongkong sebesar 15-17mm. Fledelius dkk9

    meneliti nilai

    protrusi bola mata pada ras Kaukasia pada tahun 1986. Mereka mendapatkan nilai protrusi bola

    mata pada kelompok usia 5-10 tahun sebesar 13,61,75 mm untuk perempuan dan 13,71,4 mm

    untuk laki-laki. Sodhi dkk15

    meneliti nilai protrusi bola mata pada populasi India, mereka

    menemukan rerata nilai normal protrusi bola mata kelompok usia 3-10 tahun pada jenis kelamin

    laki-laki adalah 13,02 mm (mata kanan) dan 13,09 mm (mata kiri), sedangkan pada jenis kelamin

    perempuan adalah 13,06 mm (mata kanan) dan 13,03 mm (mata kiri).

    Berdasarkan berbagai ;penelitian yang telah dilakukan, tampak variasi nilai normal

    protrusi bola mata menurut ras atau etnis dilokasi geografis tertentu. Nilai normal protrusi bola

    mata yang sesuai dengan ras atau etnis setempat dibutuhkan sebagai evaluasi adanya kelainan di

    orbita juga untuk menilai keberhasilan pengobatan kelainan di orbita.

    2.5.6. Status Refraksi dan Panjang Sumbu Bola Mata

    Status refraksi menyatakan status bayangan yang terbentuk pada posisi tertentu dari retina.

    Status refraksi terdiri dari emetropia dan ametropia. Emetropia adalah status refraksi dimana

    cahaya sejajar dengan datang dari objek jauh tak terhingga sampai tepat di retina pada mata yang

    tidak berakomodasi. Ametropia adalah keadaan selain emetropia. Ametropia dibagi menjadi

    aksial dan refraktif. Pada ametropia aksial, bola mata cenderung lebih panjang pada myopia, dan

    lebih pendek hipermetropia. Pada ametropia refraktif, panjang sumbu bola mata umumnya

    Universitas Sumatera Utara

  • 16

    Universitas Sumatera Utara

    normal, namun kekuatan refraksi bola mata yang asbnormal. Pada myopia refraktif kekuatan

    refraksi tinggi sedangkan pada hipermetropia kekuatan refraksi rendah.

    Faktor biometri yang mempengaruhi status refraksi yaitu kurvatura kornea, kedalaman bilik

    mata depan, ketebalan lensa, panjang vitreus, dan panjang sumbu bola mata.35

    Faktor genetik

    memiliki korelasi yang signifikan terhadap kejadian myopia. Faktor lingkungan seperti aktifitas

    lihat dekat, status antropometri, tingkat pendidikan diduga memiliki hubungan dengan kejadian

    myopia. Saw dkk36

    pada penelitian terlihat bahwa tinggi badan berhubungan dengan refraksi

    yang lebih negative/myopia. Berat badan yang lebih besar dan anak yang lebih obesitas

    cenderung memiliki refraksi kearah hiperopia. Penemuan tersebut bervariasi berdasarkan jenis

    kelamin. Nora dkk35

    menemukan bahwa obesitas juga memperlihatkan hubungan dengan

    kejadian myopia walaupun kekuatan hubungan lemah. Penelitian ini tidak mendapatkan

    hubungan tinggi badan terhadap kejadian myopia.36

    Quant dkk22

    pada penelitiannya memasukkan subjek dengan semua status refraksi dan

    menemukan bahwa status refraksi memiliki korelasi negatif lemah dengan nilai protrusi bola

    mata. Hal ini diduga karena sedikitnya jumlah subjek dengan myopia tinggi. Penelitian ini juga

    menemukan bahwa panjang bola mata dan status refraksi memiliki korelasi yang kuat pada

    subjek anak-anak di Hongkong. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan nilai protrusi bola mata

    pada myopia tinggi. Sehingga dalam menilai protrusi bola mata, perlu mempertimbangkan status

    refraksi juga.

    Chan dkk4

    pada tahun 2009 melakukan penelitian yang merupakan studi berbasis populasi

    pertama yang menilai hubungan protrusi bola mata dengan biometri. Penilaian biometri dan

    status refraksi yang dilakukan oleh Chan dkk dapat menganalisa peran panjang sumbu bola mata

    terhadap pseudoproptosis. Mereka menemukan bahwa meskipun terdapat korelasi positif antara

    derajat miopia dengan panjang bola mata, namun spherical equivalent tidak berhubungan dengan

    protrusi bola mata. Pada analisis regresi mereka menemukan bahwa panjang sumbu bola mata

    merupakan faktor prediktor bebas terhadap nilai protrusi bola mata, sedangkan status refraksi

    tidak mempengaruhi nilai protrusi bola mata secara signifikan.4

    Universitas Sumatera Utara

  • 17

    Universitas Sumatera Utara

    2.6. Pengobatan Tumor Orbita

    Pengobatan yang diberikan pada penderita tumor orbita tidaklah sama, tergantung dari

    jenis tumor dan stadium pada saat tumor ditemukan. Pada tumor jinak, tindakan pembedahan

    mudah dilakukan tanpa mengganggu bola mata, sehingga penglihatan dan kosmetik wajah tidak

    terganggu. Namun bila pada pemeriksaan mikroskopik dan patologi anatomi (PA) menunjukkan

    tanda-tanda keganasan, maka harus segera dilakukan pengangkatan secara radikal dan

    eksenterasi, yaitu membuang tumor beserta seluruh isi dan jaringan yang ada di dalam rongga

    orbita, termasuk bola mata dan periosteum dinding orbita. Pada tumor yang sudah stadium lanjut

    dan sudah terdapat metastatasis sistemik atau intrakranial, tidak lagi dilakukan tindakan operatif,

    melainkan dengan tindakan radioterapi atau kemoterapi.7,13

    2.7. Eksenterasi Orbita

    Eksenterasi orbita adalah tindakan pengangkatan seluruh isi bola mata, jaringan lunak

    orbita, periosteum dinding orbita, beserta kelopak mata.7,14-16

    2.7.1. Teknik operasi eksenterasi orbita

    Operasi eksenterasi orbita ada 2 jenis, yaitu:

    1. Eksenterasi orbita total

    Sesuai dengan defenisi pembedahan diatas pada eksenterasi total, kelopak mata tidak

    ditinggalkan. Teknik operasi eksenterasi orbita total: dengan melakukan insisi

    sepanjang rima orbita, pada perbatasan periosteum dan periorbita, yang dilanjutkan

    dengan pengelupasan periorbita untuk dapat segera mengeluarkan isi orbita, lalu

    dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin di daerah apeks. Insisi

    permulaan dapat dilakukan di kuadran mana saja, tetapi lebih sering di lakukan

    didaerah yang kurang vaskularisasinya. Daerah yang kurang vaskularisasinya berada di

    kuadran temporal. Pada saat insisi, perdarahan yang terjadi cukup banyak dan dapat

    merepotkan ahli bedah. Untuk mencegah perdarahan itu teknik operasi yang lebih

    Universitas Sumatera Utara

  • 18

    Universitas Sumatera Utara

    disukai adalah operasi dengan menggunakan CO2 laser. Insisi dapat dilakukan

    sekaligus dengan cepat dapat memperhatikan perdarahan yang terjadi, kecuali yang

    berasal dari arteri. Perdarahan akan segera berhenti pada saat periorbita dan periosteum

    telah diangkat dan setelah amputasi dilakukan didaerah apeks. Tetapi perdarahan masih

    dapat terjadi setelah pengelupasan periosteum, karena darah berasal dari pembuluh

    darah infra orbita superior dank anal optik. Perdarahan dari sumber ini dapat diligasi

    atau dikauterisasi. 7,14,15

    2. Eksenterasi orbita subtotal

    Eksenterasi subtotal merupakan modifikasi dari eksenterasi total (klasik), dengan tidak

    mengangkat kelopak mata. Eksentersi subtotal biasanya dilakukan pada tumor orbita

    yang terlokalisir, berbatas tegas, satu nodul dan belum berinvasike kelopak mata.

    Sebagai contoh, tumor epibulbar yang belum bereksistensi ke palpebra dapat di batasi

    dengan mengangkat isi orbita saja. Umumnya para penderita lebih memilih

    pembedahan eksenterasi subtotal daripada eksenterasi total. Tetapi pada beberapa

    tumor ganas tindakan eksenterasi subtotal tidak dibenarkan, walaupun tumor masih

    dalam stadium dini. Teknik operasi eksenterasi orbita subtotal, bola mata dan jaringan

    orbita atau tumor epibulbar diangkat sekaligus. Insisi dilakukan mengelilingin daerah

    forniks, dilanjutkan dengan melakukan pengelupasan periorbita untuk dapat

    mengeluarkan isi orbita, lalu dilakukan pengangkatan jaringan orbita sejauh mungkin

    di daerah apeks. Untuk mengatasi perdarahan, dilakukan ligasi dan kauterisasi sama

    seperti teknik operasi eksenterasi total.7,14,15

    2.8. Kornea

    Kornea adalah jaringan yang bersifat transparan dan avaskular, berfungsi membiaskan

    dan meneruskan cahaya kedalam bola mata serta melindungi bagian dalam bola mata dari

    lingkungan luar. Kornea memiliki diameter horizontal 11-12 mm dan vertikal 9-11 mm.10

    /24

    Kornea mempunyai bentuk kurvatura yang prolate.25

    Bentuk prolate dari kurvatura kornea akan

    mengakibatkan bagian sentralnya lebih steep dan kekuatan refraksi lebih besar daripada bagian

    perifer. Kekuatan refraksi bagian perifer lebih kecil daripada begian sentral mengakibatkan sinar

    Universitas Sumatera Utara

  • 19

    Universitas Sumatera Utara

    yang melalui kornea bagian perifer akan direfraksikan tidak sekuat sinar yang melalui bagian

    sentral kornea.26

    Kornea merupakan modifikasi dari membran mukosa, dan juga modifikasi dari kulit25

    Bagian depan kornea disusun oleh lima lapis epitel skuamosa nonkeratin yang menyerupai

    epidermis kulit yang telah mengalami modifikasi. Sel Langerhans terdapat di antara susunan

    epitel kornea. Lapisan terdalam sel epitel, lapisan basal, merupakan lapisan germinativum dan

    melekat kepada sel basal sekitarnya dan terletak di atas sel wing. Lapisan sel basal juga melekat

    ke membran basal melalui bantuan hemidesmosom.25

    Pada membran basal terdapat tiga jenis molekul utama yaitu kolagen tipe IV, proteoglikan

    heparin sulfat dan protein non-kolagen (laminin, nidogen, dan osteonectin). Membran basal

    merupakan sawar (barrier) fisiologis penting antara epitel dan stroma kornea.25,26

    Sel epitel terluar akan berdeskuamasi ke dalam lapisan air mata. Lapisan muko-protein

    pada air mata berfungsi untuk melekatkan lapisan air mata kepada mikrovili epitel.

    Gambar 3. Lapisan kornea2

    Universitas Sumatera Utara

  • 20

    Universitas Sumatera Utara

    2.9. Retina

    Retina adalah jaringan paling kompleks dimata. Untuk melihat, mata harus berfungsi

    sebagai suatu alat optik, sebagai suatu reseptor kompleks dan sebagai suatu transducer yang

    efektif. Sel-sel batang dan kerucut dilapisan fotoreseptor mampu merubah rancangan cahaya

    menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina melalui saraf optikus

    dan akhirnya ke korteks penglihatan. Makula bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan

    yang terbaik dan untuk penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut, sel

    ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan yang paling tajam.

    Diretina perifer banyak fotoreaseptor dihubungkan ke sel ganglion yang sama, dan diperlukan

    sistem pemancar yang lebih kompleks. Akibat dari susunan seperti ini adalah bahwa makula

    terutama digunakan untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fotopik) sedangkan bagian

    retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor batang, digunakan terutama

    penglihatan perifer dan malam (skotopik).7

    Gambar 3. Retina

    Retinoblastoma adalah tumor masa anak-anak yang jarang tetapi dapat fatal. Dua pertiga

    kasus muncul sebelum akhir tahun ketiga, walaupun jarang dilaporkan. Retinoblastoma dapat

    tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik). Retinoblastoma endofitik kemudian meluas

    kedalam korpus vitreum. Kedua jenis ini secara bertahap akhirnya mengisi mata dan meluas

    Universitas Sumatera Utara

  • 21

    Universitas Sumatera Utara

    melalui saraf optikus ke otak dan disepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emirasi di sklera ke

    jaringan orbita lainnya. Enukleasi adalah terapi pilihan untuk retinoblastoma besar. Mata dengan

    tumor yang berukuran lebih kecil pada anak dapat diterapi secara efektif dengan radioterapi

    plaque atau external beam, krioterapi, atau fotokoagulasi. Kadang-kadang diperlukan kemoterapi

    untuk penanganan kasus rekuren, terutama untuk menyelamatkan mata kedua pada kasus

    bilateral apabila mata pertama telah dienukleasi, dan untuk penyakit metastatik. 7

    Pada retina sering juga terjadi tumor, misalnya retinoblastoma yang terjadi pada anak.

    Gambar 4. Retinoblastoma dan Gambaran CT Scan 2

    Kasus retina blastoma banyak terjadi pada anak-anak dibawah 1 tahun. Gejala awal dari

    retinoblastoma adalah mata penderita seperti mata kucing, dan biasanya anak tersebut tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • 22

    Universitas Sumatera Utara

    merasa sakit, juga orangtuanya tidak menyadarinya kalau retinoblastoma sudah menyerang

    anaknya, Gejala akan terlihat bila retinoblastoma ini sudah stadium lanjut. Maka perlunya

    memberikan informasi mengenai retinoblastoma ini ke masyarakat.

    Universitas Sumatera Utara