3
Kesenangan Dibalik Kesakitan Suara adzan terdengar dari masjid yang letaknya tak jauh dari rumah tempat tinggalku. Ketika aku mau beranjak dari tidurku, aku mendengar suara yang tak asing dari dapur. Setelah kulihat ternyata dugaanku benar, itu suara ibuku yang sedang memasak makanan kesukaanku, nasi goreng. Kulanjutkan langkahku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu. “bu, tidak sholat?” tanyaku sambil membuka pintu kamar mandi yang tak berjauhan dari dapur tempat ibu memasak. “nanti saja, kamu duluan!” jawab ibuku spontan. Seusai sholat, aku bergegas menyiapkan seragam sekolah yang akan kupakai pagi itu. Terlihat ibuku sedang sholat di ruang tengah dengan ayahku sebagai imamnya. Aku merubah posisi kepalaku, hingga akhirnya menjumpai seorang anak kecil tidur melingkar di sudut kamar. Dengan baju biru lengan panjang dan selimut warna merah menyelimuti kakinya, dia nampak menggemaskan. Ya, itu adikku. Aku memanggil dan mencoba membangunkannya lalu mengajaknya pergi berkeliling lapangan yang tak jauh dari rumah. “ah.. lama.. kutinggal saja” bisikku dalam hati sambil keluar dari rumah menuju lapangan. Aku menjumpai segerombol orang berlari dengan kompak, yang diiringi yel-yel dan hentakan sepatu seakan membuat mereka bersemangat. Seketika itu pula aku melihat ayahku berpakaian rapi dengan mengendarai motor harley miliknya. Ia nampak gagah dan berani, sesuai dengan profesinya, Polisi. “cepat pulang, sudah hampir pukul enam!” seru ayahku membuat aku pulang dengan sendirinya. “sekarang ulangan PAI!!” tiba-tiba aku teringat akan hal itu. Aku memacu sepedaku dengan kencang tanpa menghiraukan orang yang menyapaku pagi itu. Setibanya di depan sekolah aku mencoba berjalan dengan tenang dan menyapa seorang teman, Udin namanya. “Ham, sekarang ada PR?” tanya Udin kepadaku dengan suara agak bindeng. “nanti ulangan!” jawabku tanpa mempedulikan pertanyaannya tadi. SMPN 1 PORONG itu nama sekolahku. Tempatnya

cerpenasf

Embed Size (px)

DESCRIPTION

asf

Citation preview

Page 1: cerpenasf

Kesenangan Dibalik Kesakitan

Suara adzan terdengar dari masjid yang letaknya tak jauh dari rumah tempat tinggalku.

Ketika aku mau beranjak dari tidurku, aku mendengar suara yang tak asing dari dapur. Setelah

kulihat ternyata dugaanku benar, itu suara ibuku yang sedang memasak makanan kesukaanku,

nasi goreng. Kulanjutkan langkahku menuju kamar mandi untuk mengambil air wudlu. “bu,

tidak sholat?” tanyaku sambil membuka pintu kamar mandi yang tak berjauhan dari dapur

tempat ibu memasak. “nanti saja, kamu duluan!” jawab ibuku spontan.

Seusai sholat, aku bergegas menyiapkan seragam sekolah yang akan kupakai pagi itu.

Terlihat ibuku sedang sholat di ruang tengah dengan ayahku sebagai imamnya. Aku merubah

posisi kepalaku, hingga akhirnya menjumpai seorang anak kecil tidur melingkar di sudut kamar.

Dengan baju biru lengan panjang dan selimut warna merah menyelimuti kakinya, dia nampak

menggemaskan. Ya, itu adikku. Aku memanggil dan mencoba membangunkannya lalu

mengajaknya pergi berkeliling lapangan yang tak jauh dari rumah. “ah.. lama.. kutinggal saja”

bisikku dalam hati sambil keluar dari rumah menuju lapangan.

Aku menjumpai segerombol orang berlari dengan kompak, yang diiringi yel-yel dan

hentakan sepatu seakan membuat mereka bersemangat. Seketika itu pula aku melihat ayahku

berpakaian rapi dengan mengendarai motor harley miliknya. Ia nampak gagah dan berani, sesuai

dengan profesinya, Polisi. “cepat pulang, sudah hampir pukul enam!” seru ayahku membuat aku

pulang dengan sendirinya.

“sekarang ulangan PAI!!” tiba-tiba aku teringat akan hal itu. Aku memacu sepedaku

dengan kencang tanpa menghiraukan orang yang menyapaku pagi itu. Setibanya di depan

sekolah aku mencoba berjalan dengan tenang dan menyapa seorang teman, Udin namanya.

“Ham, sekarang ada PR?” tanya Udin kepadaku dengan suara agak bindeng. “nanti ulangan!”

jawabku tanpa mempedulikan pertanyaannya tadi. SMPN 1 PORONG itu nama sekolahku.

Tempatnya luas dan bersih, membuatku merasa nyaman bersekolah di sana. Bertuliskan “my

school is my heaven” menyakinkan langkahku menuju kelas.

Di tengah lapangan, terdengar suara keras memanggilku. Itu suara Faris, teman satu kelas

denganku atau bisa dibilang sahabat karib. Pandanganku pun makin aku perluas, kuperhatikan

seluruh tubuhnya, terdapat kain biru yang membalut di tangan kirinya. Dengan senyuman

melekat di wajahnya, terlihat menutupi rasa sakit di tangannya itu, ia menghampiriku. “apakah

tanganmu itu sudah sembuh?” tanyaku langsung. “lumayan..” jawabnya dengan penuh keragu-

raguan.

Page 2: cerpenasf

Faris, teman yang duduk bersebelah denganku. Dia memang sangat suka dengan olah

raga, terutama sepak bola. Tangan kirinya yang retak karena terjatuh saat bermain sepak bola

sebagai bukti betapa cintanya dia dengan sepak bola. Meskipun demikian dia tetap memaksakan

diri untuk masuk sekolah, dengan alasannya “takut tertinggal pelajaran”. Kadang aku merasa

kasihan dan mencoba sedikit membantu, sekedar mengambilkan buku dan membantu memakai

tas. “hmm.. memang sudah takdirku harus seperti ini” katanya dengan penuh penyesalan. Namun

kata-kata itu ditepis oleh pak Yanto, guru PPKN “ini tidak akan terjadi jika kamu berhati-hati”.

Faris hanya tertunduk.

Saat waktu istirahat, entah apa yang Faris fikirkan, aku tidak tahu. Sedari tadi dia hanya

duduk dan terus memperhatikan langit. Aku mencoba untuk memperhatikan juga apa kira-kira

yang sedang diperhatikannya. Aku mencoba memandang lebih dekat, berusaha agar menemukan

satu titik yang sekiranya yang aku lihat adalah apa yang sedang dilihat olehnya. Tapi aneh, yang

kulihat hanya bentangan awan yang bergelantungan di langit biru.

Hingga akhirnya kuputuskan untuk bertanya langsung padanya. Terlebih yang menjadi

pusat perhatianku adalah kegelisahan dan kesendirian yang terpancar dari sikap, dan gerakan

badannya. “hei, sedang apa disini, kok melamun?” akhirnya kata-kataku tadi cukup membuatnya

kaget. Bahkan spontan ia langsung berdiri. Yang membuatku cukup kaget, dia mengajakku dan

teman lainnya bermain sepak takrau di depan kelas. Dengan kondisi seperti itu, masih sempatnya

bermain bola. Luar biasa.

Lima hari kemudian tangannya kini mulai membaik. Tangan kirinya sudah sedikit

bergerak. Kini kami pun bisa bermain bola bersama. Aku pun ikut merasakan kebahagian yang

terpancar darinya. Rasa itu akhirnya pecah saat aku tersadar bahwa tetesan hujan terasa

membasahi kulit siang itu. Akhirnya kuputuskan untuk masuk ke dalam kelas, dan sekedar

berbincang bersama teman-teman lainnya. Senyum bahagia melekat di wajah kami di kelas.

Cerpen Karangan: Ilham Perdana Putra