16
cerita pendek

cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

1

cerita pendek

Page 2: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

1

Tegak Lurus dengan Langit Karya Iwan Simatupang

Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan.

Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban.

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit. Sesudah itu, seperti 2×2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia lempar. Tangannya ia remas-remas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum.

Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang bakal bangun. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya. Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata sehari-hari.

Terpesona ia mendengarkan suara-suara tanpa definisi itu. Suara dari manusia, tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut mencakup ikhwal tentang ia sendiri.

Ia telah membunuh seseorang. Siapa, apa alasannya, kurang jelas. Ia hanya tahu, dengan itu ia mungkin ingin balaskan peristiwa menghilangnya ayahnya dahulu semasa perang …. Satu hari, semasa perang, ayahnya tak pulang. Lewat seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik.

Mereka tak sadar, hilang adalah keadaan lebih parah lagi dari mati. Dari tewas. Duka oleh hilang tak boleh, tak pernah, tak pernah, penuh dan resmi. Esok lusa, si hilang bisa saja muncul kembali, segar bugar, tak kurang suatu apa. Bahkan, mungkin ia pulang bawa harta atau nama.

Page 3: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

2

Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun. Ibunya dalam pada itu sudah meninggal pula. Pesannya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Sampaikan juga, saya masih cinta.”

Hampir muntah ia mendengar sentimen film India begitu dari mulut ibunya sendiri. Bah! Pikirnya, ibu kandungku sendiri sampai napas terakhirnya pecandu film India.

Ibunya dikubur. Sejak itulah mulai sejarah bencinya terhadap ayahnya, yang tak sempat ia kenal. Ia tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnya, yang dengan hilangnya itu telah menciptakan kekacauan metafisis di kalangan keluarganya.

Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Surat, koran, kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya.

Lebih pahit lagi adalah perkumpulan dan partai ayahnya, masih saja terus melakukan tagihan-tagihan iuran tiap bulan. Apa yang dapat mereka lakukan, selain membayarnya saja? Menolak membayar berarti menyuruh mereka menjawab sejumlah tanya yang demi kesentosaan batin mereka sebaiknya jangan mereka jawab dahulu. Jangan sekarang ini! Nanti, bila semua sudah jadi sejarah— termasuk jasad mereka sendiri—pertanyaan itu boleh saja diajukan. Yang menjawabnya nanti toh sejarah juga.

Jadilah keluarga ini keluarga aneh. Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah. Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia lainnya. Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata krama, dan entah apa lagi, tiap manusia menganggap sebagai hak, bahkan kewajiban mereka untuk ikut-ikutan mencampuri urusan manusia lain. Celakalah makhluk yang mencoba-coba menentang kecenderungan zaman ini.

Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. “Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?”

Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar

Page 4: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

3

tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP.

Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh.

Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan, kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah menghilang.

Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja ….

Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu. Mereka bertiga serempak berteriak, Tokoh kita: terperanjat sangat, tak percaya, sangat putus asa.

Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, “Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ….”

Tetapi di balik seluruh kekacauan ini, kerangka masalah tokoh kita ini setidaknya telah punya beberapa tonggak pasti. (1) Dia kini piatu: ini tak dapat disangsikan lagi. (2) Kedua abangnya tak bakal pernah dilihatnya seumur hidup lagi. (3) Tinggal hanya ia sebatang kara saja dari seluruh keluarganya di dunia ini. (4) PS: Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang … mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada kejadian apa-apa sama sekali selama ini.

Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis.

Page 5: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

4

Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki.

Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu, ia ceritakan saja kejadian sebenarnya.

Mempelai laki-laki tak tahu, apakah ia pernah punya ayah atau tidak! Begitulah kesimpulan orang tua gadis mengenai gagasan “Ayahku hilang” itu. Mungkin ia anak gamnpang. Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang baik, jelas, adalah lain, demikian kata mereka, membatalkan perkawinan, memasang advertensi di koran esoknya, minta maaf sebesarnya kepada para undangan yang sempat datang.

Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, “Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ….”

Sampai dengan di sini, masih dapat ia mengikuti dan memahami jalan peristiwa. Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi, tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya tentang mereka sebagai “keluarga malang”. Apa boleh buat! Dewa-dewa di kayangan rupanya telah memperhitungkan ia masuk ke dalam keluarga seperti itu. Takdir tak dapat dibendung. Ia telah siapkan dirinya bagi perannya dalam babak terakhir tragedi keluarganya itu.

Tetapi, apa yang membuat konsentrasinya tentang drama dan tragedi keluarganya tadi tunggang-langgang, adalah kedatangan seorang laki-laki tua pagi tadi ke rumahnya. Ia ini ketuk pintu, masuk, duduk di kursi besar, baca surat kabar dan berkata dengan suara datar, “… Aku ayahmu.”

Tokoh kita melongo. Tak dapat, tak ingin ia berkata apa. Apa, mana bukti ia ini benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Ke mana, di mana ia selama ini? Peristiwa apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17 tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun

Page 6: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

5

lamanya? Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong? Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi?

Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. Oleh sebab itulah ia putuskan diam saja. Lagipula, siapa tahu laki-laki tua ini bukan ayahnya sama sekali. Mungkin ia ini seorang penipu. Atau seorang sinting biasa saja yang ingin bikin gara-gara, lelucon cempulang.

Akan tetapi curiganya mulai timbul ketika laki-laki tua itu berdiri, pergi ke kamar yang selama ini dianggapnya sebagai kamar ayahnya, membuka lemari yang selama ini dianggapnya sebagai lemari pakaian ayahnya, mengambil satu stel pakaian dari dalamnya. Kemudian ia pergi mandi, di kamar mandi menyanyikan lagu-lagu kesukaan ibunya almarhumah. Selesai bersalin pakaian, ia duduk lagi di kursi besar tadi.

Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus.

Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu kuduknya tegak. Mata! Mata itu!

Ia sebenarnya telah siap dengan pembulatan satu kesimpulan dalam dirinya bahwa laki-laki tua yang duduk di hadapannya itu, adalah seorang penipu biasa saja—ketika pandangan mata mereka tiba-tiba saling bertemu. Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan. Tokoh kita tertunduk! Ia kalah! Kedua bola matanya lari terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu!

Itulah tanda pengenal yang paling ia takuti. Sebab hanya kedua abangnya sajalah selama ini yang sanggup menentang pandangan matanya. Dan ini adalah, oleh karena mata kedua abangnya itu sama saja dengan matanya sendiri. Bulat, hitam pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman.

Tak pernah ada orang lain yang sanggup menantang pandangan mata mereka. Bahkan, ibu mereka sendiri tak dapat. Adalah pandangan mata demikian, kata

Page 7: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

6

ibunya, yang justru membuat ia jatuh cinta pada ayahnya. Ya, mereka bertiga mewarisi mata ayahnya.

Dan kini, salah seorang ahli waris itu duduk berhadapan dengan sang pewaris….

“Ayah!”

Hanya itu. Untuk selanjutnya, ia merangkul orang tua itu. Ia benamkan kepalanya dalam pangkuannya. Ia menangis. Orang tua itu kaku saja. Tampak ia keras sekali berusaha memerangi perasaannya. Sudut-sudut mulutnya yang sudah mulai keriput itu, ia rentangkan. Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang kelewat lurus. Tangannya ia genggamkan erat-erat pada tangan kursi. Ia takut, kalau tangannya itu pergi menjalar, mengelus rambut ikal bergelombang yang diempaskan ke pangkuannya itu ….

Masih saja mereka tak berkata-kata. Dalam pada itu, mereka sudah makan siang, tidur siang, mandi sore, bersaling pakaian, menghirup teh sore. Kini mereka kembali duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan, tak berkata satu apa. Tokoh kita tunduk, sedang orang tua itu terus saja memandanginya.

Tiba-tiba saja tokoh kita memutuskan bagi dirinya sendiri, tak dapat ia lanjutkan hidupnya begini. Yakni: tunduk tepekur saja memperhatikan motif-motif permadani di ubin. Teror yang datang menyorot dari kedua bola mata orang tua itu, tak ingin ia tanggungkan lebih lama lagi.

Ia telah menanggungkan nasib dari ranting terakhir satu keluarga yang ditakdirkan bakal lenyap sama sekali dari muka bumi ini. Ia bahkan telah sedia menerima tingkahan terhadap kutuk itu dengan misalnya menerima orang tua itu misalnya mungkin ayahnya sendiri, mungkin pula tidak.

Ya, kesedihannya besar sekali. Sebab telah ia putuskan untuk tak mau membangun kerangka-kerangka persoalan yang pelik lagi bagi dirinya sendiri, yang toh tak akan banyak berhasil memberi penyelesaian apa-apa baginya. Ia letih main catur melawan dirinya sendiri. Untuk selan-jutnya ia telah pilih sebagai filsafat hidupnya: me-remis-kan dirinya dengan hidup, termasuk dengan dirinya sendiri.

Tetapi terkutuk untuk seumur hidupnya; tak bakal berani lagi ia menatap jauh-jauh ke kaki langit, tak berani melihat ke puncak-puncak gunung dan bintang-bintang di langit, hanya oleh karena ada seorang tua mempunyai sepasang

Page 8: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

7

mata yang sama dengan matanya sendiri, dan oleh sebab itu tak sanggup ia tantang—tidak! Ia tidak mau, tak sedia!

Secepat kilat ia temui pada motif-motif permadani di bawah telapak kakinya itu jawaban bagi seluruh persoalannya. Kalau benarlah orang tua itu ayahnya, maka adalah orang tua ini juga telah menciptakan seluruh tragedi keluarganya itu. Dengan menghilangnya abangnya membunuh petugas sensus itu. Ia pulalah sebenarnya yang telah membuat ibunya terdampar ke dalam pelukan laki-laki kenalan baik mereka yang suka datang main bridge dan halma itu, dan lempang mengantarnya ke kubur.

Terlebih lagi: kalau ia ini ayahnya, maka adalah ayahnya ini juga yang telah bikin lebih parah kekacauan dalam dirinya kini dengan justru pulangnya ia sekarang ini.

Dan seandainya orang tua ini bukan ayahnya, tetapi cuma seorang penipu atau sinting biasa saja, maka efek kedatangannya ini masih tetap sama saja: ia telah mengingatkan tokoh kita, anak bungsu dan ranting terakhir keluarga yang terkutuk bakal lenyap dari permukaan bumi ini, kepada nasib yang sedang menanti dirinya.

Bahwa dirinya sudah dapat ia anggap mulai sekarang sebagai satu pengertian yang sebenarnya tak apa-apa lagi, dan oleh sebab itu sewaktu-waktu dapat ditiadakan, baik oleh kekuatan dari luar, maupun oleh dirinya sendiri, sudah jelas baginya kini. Mengenai ini, ia tak ragu-ragu lagi dalam dirinya sebenarnya juga sudah lama tersedia satu gagasan itu—walaupun diakuinya, aktualitas itu membuatnya agak menggigil juga.

Yang harus segera diselesaikannya dalam benaknya kini adalah, tafsiran apa selanjutnya dapat ia beri kepada kedatangan orang tua itu sendiri dalam kerangka gagasannya itu. Kalau ia tak salah dalam penilaiannya, orang tua inilah sebenarnya penyebab dari seluruh duka ceritanya, lepas dari persoalan benar atau tak benar ia ayahnya yang sesungguhnya. Selanjutnya, kalau ia juga tak salah dalam penilaian berikutnya, kedatangan orang tua ini kini sebenarnya hanyalah mungkin mempunyai satu arti saja. Yaitu, sebagai motif yang dapat mempercepat pelaksanaan gagasannya tadi!

Setelah selesai motif-motif pada permadani di bawah telapak kakinya di ubin itu—lingkaran-lingkaran spiral merah, kuning, biru—diedari matanya semua, selesailah ia mengatasi gamang yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini

Page 9: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

8

dalam dirinya, dan yang barusan saja beroleh klimaknya dalam menit-menit terakhir ini.

Kini ia dapat bertindak. Harus bertindak! Satu ketenangan kosmis menyelubungi dirinya. Tiap keping dari napasnya, tiap fragmen dari perasaannya, pikirannya, pengideraannya, mulai kini adalah bagian dari satu perhitungan yang sangat teliti.

Ia pergi ke dapur. Diambilnya sebilah belati. Dia kembali. Tenang ia tantang pandangan mata orang tua itu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian, tenang sekali, ia tikamkan belati itu ke dalam dada orang tua itu. Berkali-kali.

Orang tua itu rebah. Darahnya menutupi lingkaran-lingkaran spiral, merah, kuning, biru di permadani. Lama tokoh kita tegak memandangi mata mayat terbelalak itu. Seluruh peralihan sinarnya, dari bening hingga redup seperti susu keruh itu, disaksikannya. Akhirnya pelupuk mata redup itu dikatup-kannya. Tertutup! Tertutup sudah danau keruh itu!

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti srigala hutan yang bingung, sebab danau tempat ia biasa minum, baru saja tertimbun tanah longsor. Ia menjalar sedahsyatnya. Seluruh isi hutan diam menggigil ketakutan. Kemudian ia lari.

Kenapa? Tak peduli. Pokoknya: lari. Kencang!

Pelan-pelan pada selimut langit terkuak warna putih abu-abu. Ke bumi memantul bayang mainan warna di langit ini. Bulan sabit miring ke tenggara. Angin daratan bertolak ke pantai. Kelelawar-kelelawar berpulangan ke pohonnya.

Sekali lagi ia remas-remas tangannya. Gumpal darah penghabisan ia jentikkan dari kuku kelingking kirinya. Ia tarik napas panjang.

Gagasannya kini telah selesai ia laksanakan. Ia puas. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi.

Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit. [ ]

Termaktub dalam buku cerpen Tegak Lurus dengan Langit (Sinar Harapan, 1982). Cerpen ini diunduh dari http://seratkata.net.

Page 10: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

9

Seluang

Karya Diko Hartan

Saya sungguh takut dengan perkataan orangtua. Mereka masih keturunan Si Pahit Lidah, ucapan mereka terkadang terkabul begitu saja, pernah satu kali saya main di batang jambu, tiduran sambil menghitung semut yang berjalan di beberapa ranting. 1, 5, 11, 27, 46 dan akhirnya terhenti di angka 72 ketika ibu berteriak-teriak memanggil. “Jang, hari sudah sore. Lekas mandi, cepat!”. Sudah watak Orang Melayu yang suka melamun saya acuhkan perkataan ibu. tiba-tiba hujan deras dan saya bingung para semut reranting hilang entah ke mana, mungkinkah mereka juga dipanggil ibunya. Saya tidak tahu, setelah itu saya bergegas turun dan berlari-lari riang di halaman. Beberapa lama gemuntur terdengar hingga akhirnya petir menyambar pohon tempat saya biasa beristirahat. Untung saya turun dan di puncak pohon itu hitam seperti aspal. Untung saya sudah mandi walaupun mandi hujan. Untung ibu tak menemukan saya di atas pohon lagi. Saya hampir mati gara-gara tak menuruti perintah ibu.

Pernah juga suatu waktu saya bermain dengan alat pertukangan ayah. Saya suka memegang palu, paku, kunci T, obeng dan sebagainya. Saya merasa seperti lelaki sejati jika bisa menggunakan alat ini dengan sempurna. Saya mahir membengkokkan paku untuk tempat pigura, mahir melepas baut pada ban mobil ayah. Tetapi waktu itu ayah marah kepada saya karena ia juga ingin menggunakannya “Jang, mana obeng, cepat sinikan, jika tidak kita tak bisa jalan-jalan.” Perkataan ayah mujarab betul. Ibu memanggil dari dalam rumah mengabarkan di tv ada siaran kecelakaan di daerah tempat yang ingin kami tuju, dengan itu ayah membatalkan rencananya.

Sejak itu saya takut dengan perkataan orang tua, mereka keturunan Si Pahit Lidah. Untung saja mereka berdua tidak berbakat jadi komedian. Entah apa yang terjadi jika tiba-tiba ayah mengatakan “Jang, jadilah kodok.” Atau ibu mengatakan “Jang, jadilah wanita.” Mungkin sekarang saya sudah berubah jadi kodok wanita dan tak segan bernyanyi di musim hujan.

Pernah satu kali saya didongengkan oleh ibu, ceritanya menarik sekali. Dongeng tentang ikan seluang. Seluang adalah roh-roh yang gagal masuk surga, pada zaman dahulu manusia tidak mempunyai adab dan peraturan. Sejak Si Pahit Lidah meninggal orang tamak tak takut lagi memangsa orang

Page 11: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

10

kecil, yang kaya menindas yang lemah, yang bodoh tak pernah mau berusaha jadi pintar, kata ibu. Mereka jadi tidak mempunyai beban karena tidak ada yang bisa mengutuk mereka seperti Si Pahit Lidah. Hidup tanpa ketakutan bukanlah hal yang baik, nasehat ibu kepada saya. Sehingga ada satu waktu keturunan Pahit Lidah muncul kembali dan akhirnya mengutuk mereka jadi seluang. Mereka jadi orang-orang yang terbuang sejak pahlawan datang entah keturunan Si Pahit Lidah ke berapa mereka langsung mendapat balasan. Sejak itu saya jadi suka ikan seluang. Karena dengan makan ikan seluang berarti saya bisa sedikit menghapus dosa leluhur yang bejat ujar ibu ketika mendongengkan saya. Keturunan Si Pahit lidah menganjurkan masyarakat dahulu untuk memakan mereka, agar dosa mereka bisa dihapuskan. lebih baik dijadikan pempek atau digoreng dan dimakan, biar dosa mereka diringankan Tuhan.

Saya tahu Si Pahit Lidah sudah tidak ada sekarang, mungkin beberapa dekade lagi ia akan muncul seperti kelahiran avatar, tapi saya tetap takut dengan orang tua. Saya harus menuruti benar kata-kata mereka. Perkataan mereka memang bukan kutukan, tapi sekali lagi pernah terjadi dan hampir mencelakai saya.

Pernah satu waktu saya bermain sepeda bersama kawan-kawan hingga maghrib menjelang saya belum mau pulang. Ibu mencari saya kemudian menjewer saya hingga kerumah “Anak nakal, cepat pulang nanti diculik kolong wewe.” Karena saya tak ingin malu di depan kawan saya lepaskan jeweran ibu dan mengayuh sepeda kencang-kencang dan kabur setelahnya. Saya terus mengayuh sampai jauh hingga tidak terlihat ibu memanggil-manggil saya. Tiba-tiba saya tersesat dan tak tahu di mana arah. Hingga saya bertemu dengan orang tua mirip Nenek Pipiyot seperti dalam cerita Oki dan Nirmala. Jujur saya ketakutan, saya takut ia mau menculik saya seperti perkataan ibu atau menyuruh saya memakan apel seperti Dongeng Putri Salju. Saya bisa tertidur selamanya. Saya belum ingin mati, saya tidak ingin jadi seluang. Saya akhirnya memutar arah dan mengayuh sepeda sekencangnya. Akhirnya, saya bisa bertemu ibu saya yang terlihat menangis sesenggukan. Saya merasa bersalah.

Di rumah saya berhadapan dengan ayah saya dan terus terang ia lalu marah besar. Sepeda saya dihancurkannya hingga jadi kepingan yang mungkin lakunya tidak seberapa di loakan. Saya jadi kalang kabut tapi tak bisa kabur dari mereka. Saya takut mereka mengutuk karena kenakalan kecil saya. Mungkin saja ayah berucap aneh karena ia marah “jadilah babi” atau ibu yang saya rasa sedikit marah tiba-tiba berbicara “hapus dosa kau jang dengan

Page 12: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

11

menuntut ilmu” saya bisa-bisa jadi Cut Pat Kai dan berjalan ke barat hingga beberapa tahun lamanya.

Saya takut jadi seluang. Kecil dan juga gurih seperti dosa, jika dimakan alang kepalang nikmatnya walau setelah itu dosa saya mungkin berkurang ketika digoreng. Kemudian bereinkarnasi kembali menjadi seluang yang lain, hidup yang berulang-ulang hanya untuk menghapus dosa seperti Sisiphus dengan batunya dalam legenda Yunani. Saya tahu mereka berdua mencintai saya karena saya anak tunggal semata wayang. Mereka tidak mungkin mengutuk saya. Akan tetapi apa yang tidak mungkin di dunia, apalagi semua bisa saja berubah ketika emosi menyerang, saya bisa-bisa jadi seluang.

Saya merasa mungkin ibu keturunan Si Pahit Lidah, entah turunan keberapa walau sebenarnya saya tidak benar-benar mempercayai pemikiran saya sendiri. karena toh dongengan ibu membuat saya merasa Si Pahit Lidah seperti cerita Avatar. Mungkin butuh 10 dekade lagi ia baru muncul di dunia dan itu jelas bukan ibu. Tapi saya tetap percaya ucapan ibu adalah ucapan mujarab yang malah selalu terjadi. Contohnya bukan saya saja yang terkena perkataan mujarab ibu. saya masih mending mungkin karena saya anaknya. Pernah suatu waktu ada anjing tetangga menyalak di depan ibu, ibu marah dan berkata “Matilah.” Di hari yang sama tersiar kabar anjing Pak Noto mati ditabrak kereta. Anjing yang menyalak didepan ibu kehilangan nyawa karena perkataannya. Benar-benar mengerikan. Ada cerita lain, pernah satu kali ibu mengomeli pengemis di samping jalan lampu merah “Jang, hidup jangan mengemis seperti dia, kalau bisa bekerja lebih baik bekerja. Jika itu sekedar tipuan, ia akan borokan.” Beberapa hari setelahnya saya tidak sengaja lewat lampu merah. Saya tengok si pengemis dan muncul beberapa borokan di tubuhnya, yang mengasih uang pun kepada ia terlihat menjauh karena baunya. Saya jadi benar-benar takut dengan perkataan ibu jika mengenangnya.

Ayah mungkin juga keturunan Si Pahit Lidah, walau saya sebenarnya cuma menebak karena saya takut pada ayah. Dari pengalaman saya selama jadi anaknya. Ada beberapa perkataan ayah yang tidak begitu mujarab walau kebanyakan dikabulkan tuhan. Salah satu perkataannya yang sukses adalah ketika ayah mengatakan “Jang, lihat orang itu. Ia akan jadi orang kaya.” Dulu saya tidak percaya, soalnya Kak Seto yang dikatakan ayah sebenarnya bagi saya terlihat seperti orang yang malas-malasan, lebih suka keluyuran daripada belajar dirumah, tapi beberapa tahun setelah itu, Kak Seto tiba-tiba jadi kaya karena bekerja di salah satu perusahaan pangan yang dikelola perusahaan asing. Kecakapan bicaranya mungkin benar-benar menolong kehidupannya

Page 13: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

12

kata ayah menasehati saya. Saya jadi heran dengan nasib. Tidak bisa ditebak atau mungkin mujarab benar apa yang dikatakan ayah.

Tapi perkataan ayah bagi saya tidak begitu mujur jika demi dirinya. dulu ayah pernah menggerutu meminta semoga pagi hujan biar dia bisa terlambat bekerja. Tapi kenyataan perkataannya tidak dikabulkan tuhan. Ayah juga pernah menggerutu biar bisa punya banyak uang, tapi sampai sekarang saya belum melihat itu benar-benar kejadian. Cukup berbeda jika ia ingin mengutuk orang lain. satu contoh lagi ada seorang sales datang kerumah saya. Ayah berkata “pergilah, cari pekerjaan yang lebih menguntungkan.” Entah termakan masukkan ayah atau sekali lagi nasib yang tidak dapat ditebak. Sales itu pernah ke rumah saya lagi dan memberi saya beberapa bubur kacang. Katanya itu untuk orangtuamu. “Saya sudah punya penghasilan yang lumayan”.

Saya sebenarnya tidak mengerti pemikiran orang tua. Tapi ayah dan ibu punya perkataan yang bagi saya sangat mujarab, entah itu mengutuk atau memandang masa depan. Saya sebenarnya merasa ingin punya kemampuan seperti mereka walau sebenarnya tidak begitu menguntungkan juga.

***

Ayah dan ibu hari ini sedang punya masalah, mereka terlihat tidak begitu akrab didepan saya, saya tidak begitu tahu karena itu urusan orangtua. Mereka terlihat saling diam jika berpapasan. Saya merasa aneh, biasanya mereka saling berbincang dan tersenyum. Entah kenapa beberapa hari belakangan suasana rumah tidak begitu nyaman.

Saya melihat ayah sedang gusar di teras sambil merokok, ia seperti memikirkan sesuatu yang begitu panjang dan sulit untuk dijelaskan. Ayah terlihat membanting-banting abu rokoknya di asbak sambil memandang langit abu-abu, sepertinya mau hujan, entah rintik, hanya rinai atau deras. Ia terlihat kesepian padahal ada ibu di dalam rumah atau saya yang sedang mengintipinya. Saya ingin menghibur ayah, tapi saya takut ia marah dan tiba-tiba mengutuk. Saya takut jadi seluang.

Saya masuk ke dalam dan memergoki ibu sedang menangis. Saya sekali lagi merasa bersalah. Ibu terlihat begitu sendu tapi mencoba tegar sambil memegang erat kursi kayu meja makan. Ada rasa kehilangan yang terlihat di matanya. Saya sebenarnya ingin menghibur ibu, tapi saya takut ia marah dan tiba-tiba mengutuk saya dengan beberapa kata yang mungkin bisa membuat saya berubah jadi binatang bahkan tumbuhan. Saya takut jadi seluang.

Page 14: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

13

Ayah melihat saya sedang melihat ibu, ibu melihat saya sedang melihat ayah. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Saya diperebutkan seperti barang yang terkena diskon di pasar swalayan.

“ Jang, ayo ikut ayah.”

“Jang, ayo ikut ibu.”

Mereka terlihat tidak murung lagi ketika saling berhadapan. Ada mata yang begitu nyala didepan saya sekarang.

“ Jang, ayo ikut ayah.”

“Jang, ayo ikut ibu.”

Saya benar-benar tidak mengerti pemikiran orang tua. Kemarin mereka bercanda ria dan sekarang berkelahi dengan begitu seriusnya.

“ Jang, ayo ikut ayah. Kalau tidak kau tidak jadi apa-apa. Kau cuma bisa jadi belalang besar nanti, hidup cuma jadi benalu!”

“Jang, ayo ikut ibu. atau kau mau jadi batu!”

Saya benar-benar takut sekarang, saya tidak mau jadi belalang yang cuma bisa di dedaunan, saya takut kawan tidak lagi mengenali saya. Saya juga tidak mau jadi batu, saya tidak bisa bermain dan mengerjakan apa-apa jika menjadi batu. Saya benar-benar benci ketika mereka memperebutkan saya seperti ini, apalagi dengan perkataan yang mengutuk.

Saya benar-benar takut mati dan jadi seluang!

Cerpen ini sempat meraih Juara III Sayembara Menulis Cerita Pendek Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan tahun 2015.

Page 15: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

14

Membaca Tegak Lurus dengan Langit Oleh Diko Hartan

Sebenarnya saya tidak begitu mengerti mengapa ketika seseorang bertanya, cerpen apa yang bagus, yang menarik dan sebagainya secara cepat dan membuat saya tak punya waktu berpikir untuk memilih jawaban dalam pikiran. Langsung saya menjawab Tegak Lurus dengan Langit, entah mengapa cerpen ini dan penulisnya begitu membekas di otak saya. Sebagai pembaca bagi saya yang paling mengasyikkan adalah membayangkan suatu cerita serta menebak apa kira-kira kelanjutan ceritanya ketika membaca paragraf berikutnya. Iwan menghadirkan dunia yang penuh hal ganjil, kelam serta otentik yang membuat saya tidak bisa mengira-ngira apa isi otak penulisnya.

Sebenarnya paragraf awal hanya sekedar pengantar mengapa salah memilih cerpen ini dalam forum ruang bagi seperti di kota kata ini. Saya pun sadar bahwa cerpen seperti ini tidak akan disukai banyak orang normal yang biasa membaca cerita-cerita normal dan cerita penuh imajinasi yang mudah diterima otak secara normal. Iwan Simatupang tidak menghadirkan hal seperti itu. Cerita Iwan kebanyakan tentang orang-orang biasa yang pada kenyataannya menjalani hidup penuh ironi dan ini cukup tergambar pada cerita pendek Tegak Lurus dengan Langit.

Tegak Lurus dengan Langit mempunyai suatu hal yang cukup unik dalam dunia kepenulisan. Judul juga menjadi kalimat awal serta kalimat akhir cerpen yang menurut saya bisa berarti suatu kelegaan yang hebat karena akhirnya bisa terbebas dari hal yang bertahun-tahun membuat tokoh kita sebagai tokoh utama mengalami nasib sial. Cerpen yang ditulis secara padat, lugas tanpa metafora ala

Page 16: cerita pendek - kotakata.files.wordpress.com · Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata ... kesadaran

15

Iwan ini walau tidak menghadirkan amanat dan ending yang terbuka tapi akan memuaskan para pembaca yang menyukainya.

Inti cerita ini sendiri adalah tokoh kita yang merasa harus membunuh ayahnya yang dulu hilang tanpa jejak, yang juga membuat keluarganya terasa sangat aneh dan menderita selama bertahun-tahun ini tiba-tiba muncul kembali tanpa rasa bersalah (walau cerita ini sendiri juga aneh bagi kebanyakan orang)

Banyak humor satir dan gelap dalam kehidupan tokoh utama seperti dua perempuan yg dicintai tokoh kita mengucapkan cinta ala India, dua kakak dihukum penjara seumur hidup, tokoh kita merangkul ayahnya yang ketika pertama bertemu terasa asing dan sebagainya.

Saya tidak ingin menyimpulkan sendiri atau membahas muluk-muluk tentang eksistensialisme ala Iwan yang saya juga kurang begitu paham dan akan menjadi debat kusir nantinya. para pembacalah yang nanti akan mengungkapkanya, suka atau tidak. Toh karya yang sudah dilempar ke umum jadi milik umum dan terserah bagi pembaca untuk suka atau tidak.