65
ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk PRAKTIS Treatment of Peripheral Nerve Tumors HASIL PENELITIAN Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan OPINI Stetoskop-Stetoskop Masa Depan 455 PROFIL Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K) Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui Jalur THT Terlebih Dahulu CDK 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010 Untitled-3.indd 1 Untitled-3.indd 1 7/27/2010 11:51:24 PM 7/27/2010 11:51:24 PM

cdk_179_tht

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: cdk_179_tht

ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk

PRAKTISTreatment of Peripheral Nerve Tumors

HASIL PENELITIAN Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada

Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan

OPINI Stetoskop-Stetoskop Masa Depan

455

PROFIL Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)

Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui

Jalur THT Terlebih Dahulu

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 403 7/26/2010 5:28:59 PMUntitled-1 1 6/26/2010 3:00:44 PM

CD

K 179 / vo

l. 37 no. 6 / A

gustus 2010

Untitled-3.indd 1Untitled-3.indd 1 7/27/2010 11:51:24 PM7/27/2010 11:51:24 PM

Page 2: cdk_179_tht

405| AGUSTUS 2010

Petunjuk untuk Penulis

CDK menerima naskah yang membahas berbagai aspek keseha-

tan, kedokteran dan farmasi, bisa berupa tinjauan kepusta-

kaan ataupun hasil penelitian di bidang-bidang tersebut, termasuk lapo-

ran kasus. Naskah yang dikirimkan kepada Redaksi adalah naskah yang

khusus untuk diterbitkan oleh CDK; bila pernah dibahas atau dibacakan

dalam suatu pertemuan ilmiah, hendaknya diberi keterangan mengenai

nama, tempat dan saat berlangsungnya pertemuan tersebut.

Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris; bila menggu-

nakan bahasa Indonesia, hendaknya mengikuti kaidah-kaidah bahasa

Indonesia yang berlaku. Istilah medis sedapat mungkin menggunakan

istilah bahasa Indonesia yang baku, atau diberi padanannya dalam ba-

hasa Indonesia.

Redaksi berhak mengubah susunan bahasa tanpa mengubah isinya.

Setiap naskah harus disertai dengan abstrak dalam bahasa Indonesia

dan Inggris. Bila tidak ada, Redaksi berhak membuat sendiri abstrak ber-

bahasa Inggris untuk karangan tersebut. Naskah berisi 2.000 - 3.000 kata

ditulis dengan program pengolah kata seperti MS Word, spasi ganda,

font Eurostile atau Times New Roman 10 pt.

Nama (para) pengarang ditulis lengkap, disertai keterangan lemba-

ga/fakultas/institut tempat bekerjanya. Tabel/skema/grafi k/ilustrasi yang

melengkapi naskah dibuat sejelas- jelasnya dan telah dimasukkan dalam

program MS Word.

Kepustakaan diberi nomor urut sesuai dengan pemunculannya

dalam naskah; disusun menurut ketentuan dalam Cummulated Index

Medicus dan/atau Uniform Requirement for Manuscripts Submitted to

Biomedical Journals (Ann Intern Med 1979; 90 : 95-9).

Contoh :

Basmajian JV, Kirby RL.Medical Rehabilitation. 1st ed. Baltimore, 1.

London: William and Wilkins, 1984; Hal 174-9.

Weinstein L, Swartz MN. Pathogenetic properties of invading micro-2.

organisms. Dalam: Sodeman WA Jr. Sodeman WA, eds. Pathologic

physiology: Mechanism of diseases. Philadelphia: WB Saunders,

1974 ; 457-72.

Sri Oemijati. Masalah dalam pemberantasan fi lariasis di Indonesia. 3.

CDK. 1990; 64: 7-10.

Jika pengarang enam orang atau kurang, sebutkan semua; bila tujuh

atau lebih, sebutkan hanya tiga yang pertama dan tambahkan dkk.

Naskah dikirim ke redaksi dalam bentuk softcopy / CD atau melalui

e-mail ke alamat :

Redaksi CDK

Jl. Letjen Suprapto Kav. 4

Cempaka Putih, Jakarta 10510

E-mail: [email protected]

Tlp: (021) 4208171. Fax: (021) 42873685

Mengingat saat ini CDK sudah dapat diakses lewat internet (online)

maka (para) penulis hendaknya menyadari bahwa makalah yang diter-

bitkan juga akan dapat lebih mudah dimanfaatkan oleh lingkungan yang

lebih luas.

Korespondensi selanjutnya akan dilakukan melalui e-mail; oleh kar-

ena itu untuk keperluan tersebut tentukan contact person lengkap den-

gan alamat e-mailnya.

Tulisan dalam majalah ini merupakan pandangan/pendapatmasing-masing penulis dan tidak selalu merupakan pandanganatau kebijakan instansi/lembaga tempat kerja si penulis.

DAFTAR ISI

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis Kronik Vimala Acala, Kartono Sudarman,

Anton Christanto, Slamet Widodo 409

Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan Delfi tri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir Zam-Zam,

Chairul Abdi 415

Hubungan antara Stadium Polip Nasi dengan Fungsi Ventilasi dan Drainase Telinga Tengah berdasarkan Gambaran Timpanogram Iin Fatimah Hanis, Sutji Pratiwi Raharjo,

R. Boy Arfandy, Nani.I.Djufri 419

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis

Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman,

Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto 425

Hubungan antara Rintis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters Dewi Ayu Paramita, Suyono, Kristanto Yuli Yarsa,

Mardiatmo, Wachid Putranto 431

Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to Assess Student’s Performance in Pre-clinical Setting in Faculty of Medicine, Mataram University Eustachius Hagni Wardoyo, Bobby Marwal Syahrizal,

Dyah Purnaning, Ida Ayu Eka Widiastuti,

Ardiana Ekawanti, Muhammad Farid Wajdi 434

Epulis Gigantocellulare Azamris 437

BERITA TERKINI

Beberapa Tip Menurunkan Tekanan Darah 441

Epirubicin dan Cyclophosphamide dengan Transtuzumab

pada trial HERCULES 442

Eprotirome, Hormon Tiroid Analog, Menurunkan Kadar

Kolesterol Pasien Dislipidemia yang Diterapi

dengan Statin 443

Review Kriteria Diagnostik dan Skrining DM bagi

Dokter Keluarga 444

Efektifi tas Penggunaan Preparat Sodium Divalproat

Lepas Berkesinambungan (Extended Release/ER) pada

Terapi Gangguan Bipolar 445

Kombinasi Testosteron dan Progestogen sebagai

alternatif Kontrasepsi Pria 447

BCAA untuk Anoreksia Pasien Kanker 449

Aktivitas SOD pada Kanker Prostat dan BPH 450

Keefektifan Chlorhexidine Gel Intra-alveolar pada

Alveolar Osteitis dan Komplikasi Perdarahan pada

Pembedahan Molar Ketiga Mandibular Pasien dengan

Gangguan Perdarahan 451

Nutraseutikal Kombinasi Terbaru

untuk Terapi Hiperkolesterolemia 453

PRAKTIS 455

OPINI 458

INFORMATIKA KEDOKTERAN 461

PROFIL 465

LAPORAN KHUSUS 467

INFO PRODUK 474

GERAI 476

ANTAR SEJAWAT 477

AGENDA 479

RPPIK 480

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 405CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 405 7/26/2010 5:29:40 PM7/26/2010 5:29:40 PM

Page 3: cdk_179_tht

406 | AGUSTUS 2010

EDITORIAL

Di antara penyakit/masalah THT yang umum didapatkan di kalangan masyarakat

– dan juga sudah menjadi istilah awam – adalah penyakit amandel, yang terutama

menjadi masalah di kalangan anak-anak; bahkan di masa lalu masa liburan sekolah

merupakan masa tonsilektomi !

Sebenarnya banyak hal lain di bidang THT yang perlu diketahui, antara lain rinitis

alergi dan sinusitis yang sebenarnya tidak jarang dijumpai ; topik ini yang antara lain

menjadi pokok bahasan di edisi CDK kali ini - kaitannya dengan gambaran radiologi

perlu dipahami untuk mencegah pemeriksaan yang tidak perlu.

Artikel lain yang mungkin menarik bagi kalangan pendidikan ialah penilaian SOCA

- umpan balik ini perlu untuk menilai seberapa jauh manfaatnya bagi proses belajar-

mengajar di fakultas kedokteran. Pengalaman sejawat di pusat pendidikan lain kami

tunggu untuk dijadikan bahan perbandingan.

Ditambah dengan berita terkini dari berbagai sumber , semoga bisa memenuhi ke-

butuhan sejawat akan berita kedokteran yang mutakhir.

Selamat membaca,

Redaksi

ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk

PRAKTISTreatment of Peripheral Nerve Tumors

HASIL PENELITIAN Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranial pada

Penderita Karsinoma Nasofaring di RS. H. Adam Malik Medan

OPINI Stetoskop-Stetoskop Masa Depan

146

PROFIL Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)

Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui

Jalur THT Terlebih Dahulu

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 406CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 406 7/23/2010 10:32:56 PM7/23/2010 10:32:56 PM

Page 4: cdk_179_tht

407| AGUSTUS 2010

Redaksi KehormatanProf. Drg. Siti Wuryan A Prayitno, SKM, MScD, PhD

Bagian Periodontologi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Abdul Muthalib, SpPD KHOM

Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. Dr. Djoko Widodo, SpPD-KPTI

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Charles Surjadi, MPH

Pusat Penelitian Kesehatan Unika Atma Jaya Jakarta

Prof. DR. Dr. H. Azis Rani, SpPD, KGEH

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Sidartawan Soegondo, SpPD, KEMD, FACE

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

DR. Dr. Abidin Widjanarko, SpPD-KHOM

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RS Kanker Dharmais, Jakarta

DR. Dr. med. Abraham Simatupang, MKes

Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Sarah S. Waraouw, SpA(K)

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado

Prof. DR. Dr. Rully M.A. Roesli, SpPD-KGH

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/RSUP

Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Aucky Hinting, PhD, SpAnd

Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya

DR. Dr. Yoga Yuniadi, SpJP

Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FKUI/Pusat Jantung Nasional

Harapan Kita, Jakarta

Prof. DR. Dra. Arini Setiawati

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Prof. Dr. Faisal Yunus, PhD, SpP(K)

Departemen Pulmonologi & Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia/SMF Paru RS Persahabatan, Jakarta

Prof. DR. Dr. Rianto Setiabudy, SpFK

Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta

Dr. R.M. Nugroho Abikusno, MSc., DrPH

Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta

Prof. DR. Dr. Wimpie Pangkahila, SpAnd, FAACS

Fakultas KedokteranUniversitas Udayana Denpasar, Bali

Prof. DR. Dr. Ignatius Riwanto, SpB(K)

Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro/RS Dr. Kariadi,

Semarang

Dr. Tony Setiabudhi, SpKJ, PhD

Universitas Trisakti/ Pusat Kajian Nasional Masalah Lanjut Usia, Jakarta

Prof. DR. Samsuridjal Djauzi, SpPD, KAI

Sub Dept. Alergi-Imunologi, Dept. Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Dr. Prijo Sidipratomo, SpRad(K)

Departemen Radiologi FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Prof. DR. Dr. Johan S. Masjhur, SpPD-KEMD, SpKN

Departemen Kedokteran Nuklir Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/

RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Dr. Hendro Susilo, SpS(K)

Dept. Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga/RS Dr. Soetomo,

Surabaya

Prof. DR. Dr. Darwin Karyadi, SpGK

Institut Pertanian Bogor, Bogor, Jawa Barat

Dr. Ike Sri Redjeki, SpAn KIC, M.Kes

Bagian Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran/RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung

ISSN: 0125-913 X

http://www.kalbe.co.id/cdk

Susunan Redaksi

Ketua PengarahDr. Boenjamin Setiawan, PhD

Pemimpin UmumDr. Kupiya Timbul Wahyudi

Ketua PenyuntingDr. Budi Riyanto W.

Manajer BisnisNofa, S.Si, Apt.

Dewan RedaksiDr. Artati

Dr. Irwan WidjajaDr. Esther Kristiningrum

Dr. Dedyanto HenkyDr. Harvian Satya Dharma

Dr. Yoska Yasahardja

Tata UsahaDodi Sumarna

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 407CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 407 7/26/2010 5:30:15 PM7/26/2010 5:30:15 PM

Page 5: cdk_179_tht

408 | AGUSTUS 2010

ENGLISH SUMMARY

Skull Base Erosion and Cranial Nerve Palsy

among Nasopharyngeal Carcinoma Patients in H. Adam Malik Hospital, Medan,

Indonesia

Delfi tri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir

Zam-Zam, Chairul Abdi

Department of ENT, H. Adam Malik Hospital,

Medan, Indonesia

Skull base erosion and cranial nerve

palsy are complications of nasopha-

ryngeal carcinoma (NPC). These com-

plications can be caused by primary or

metastatic tumor.

Among 37 NPC patients in H. Adam

Malik Hospital, Medan during 2004,

we found 27 % with skull base erosion

and 59,5 % with cranial nerve palsies,

mostly n. VI.

Keywords: Undifferentiated Ca,

Non keratinizing Ca, Keratinizing

squamous Ca, Foramen lacerum, Sella

turcica, Os petrosum.

dm,rl,mz,ca

CDK 2010; 37(6): 415-18

Allergic Rhinitis is a Risk Factor for Chronic

Benign Suppurative Otitis Media

Tutie Ferika Utami, Kartono Sudar-

man, Bambang Udji Djoko Rianto,

Anton Christanto.

Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery

Department, Faculty of Medicine

Gadjah Mada University/Dr. Sardjito Hos-

pital, Yogyakarta, Indonesia

Background. Chronic benign suppu-

rative otitis media (CBSOM) is a com-

mon disease in developing countries

especially Indonesia. The prevalence

of CBSOM in Indonesia is 2,1 – 5,2%.

Inadequate management can cause

deafness, social isolation, decrease

in prestige and productivity, even

causing handicap and death due to

complications and disease process.

A large percentage of chronic otitis

media is still diffi cult to cure. Doctors

usually assume that infl ammation is

caused by bacterial infections. Thus,

antibiotics are generally prescribed

for treatment. But recurrent infl amma-

tion may be caused by allergic rhinitis;

in CBSOM this possibility cannot be

overlooked.

Objective. To study the presence of

allergic rhinitis as a risk factor in CB-

SOM.

Method and Material. This is a case

– control study at the ENT polyclinic,

Dr. Sardjito Hospital. Patients with CB-

SOM as case group compared with

patients without ear complaints as

control group. Risk factors to allergic

rhinitis was assessed through history

taking, anterior rhinoscopic examina-

tion and skin prick test. Data analysis

used X2 test and logistic regression

analysis.

Results. A total of 50 patients as cases

and 50 patients as controls underwent

allergic rhinitis diagnosis. Forty pa-

tients (80%) from case group and 8 pa-

tients (16%) from control group were

positive for allergic rhinitis. The differ-

ence is signifi cant (p = 0,001) which

shows that allergic rhinitis is a risk fac-

tor for CBSOM. The risk of suffering

CBSOM is 21 times more frequent in

allergic rhinitis patients compared to

controls (OR = 21, IK = 95% : 7,53% -

58,56%).

Conclusion. Allergic rhinitis is a risk

factor for CBSOM.

Key words: CBSOM, allergic rhinitis,

risk factor

CDK 2010; 37(6): 425-29

Correlation between Chronic Rhinitis and Sinusitis on Waters’

X-ray

Dewi Ayu Paramita*, Suyono*,

Kristanto Yuli Yarsa**, Mardiatmo*,

Wachid Putranto***

Department of Radiology*, Department

of Histology**, Department of Internal

Medicine***

Faculty of Medicine, Sebelas Maret

University/ Dr. Moewardi Hospital,

Surakarta, Indonesia

Objective: To fi nd correlation between

chronic rhinitis and sinusitis on Waters’

view Xray photo. Method: This study

is observational with cross sectional

approach, conducted from January to

June 2008. Samples are Waters’ view

fi lms at Radiology Department of Dr.

Moewardi Hospital Surakarta. Result: Total samples analyzed were 91. There

is strong correlation between chronic

rhinitis and sinusitis imaging on Wa-

ters view (p value = 0,002; OR 3,78).

Conclusion: Subject with rhinitis have

3,78 bigger possibility to have sinusitis

in imaging.

Key words: chronic rhinitis, sinusitis,

Waters view

CDK 2010; 37(6): 431-33

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 408CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 408 7/26/2010 5:30:48 PM7/26/2010 5:30:48 PM

Page 6: cdk_179_tht

409| AGUSTUS 2010

LATAR BELAKANG

Rinosinusitis adalah peradangan

mukosa nasal dan sinus paranasal,

dikatakan kronis apabila berlangsung

paling sedikit 12 minggu. Penegakan

diagnosis rinosinusitis merupakan ma-

salah di fasilitas pelayanan kesehatan

yang tidak memiliki CT-Scan, atau bi-

aya CT-Scan yang mahal; sehingga ma-

sih menggunakan foto polos. Masalah

saat ini adalah validitas foto polos di

RS Sardjito, bahkan di Indonesia be-

lum pernah diteliti.

Tujuan: Menentukan validitas foto po-

los sinus paranasal 3 posisi untuk men-

egakkan diagnosis rinosinusitis kronik.

Desain dan metode: Penelitian ini

menggunakan desain uji diagnostik.

Sampel diambil mulai bulan Januari

sampai Maret 2007 di poliklinik RSUP

DR.Sardjito secara consecutive sam-

pling. Kritera inklusi adalah penderita

tersangka rinosinusitis kronik (kriteria

task force), memiliki foto polos sinus

paranasal 3 posisi, memiliki CT scan

potongan koronal. Kriteria eksklusi

adalah pernah menjalani operasi sinus

sebelumnya, terdiagnosis tumor sino-

nasal, catatan medis tidak lengkap.

Analisis statistik menggunakan diag-

nostic test.

Hasil: Sensitivitas = 85,7% Spesifi si-

tas = 33,3% Nilai duga positif = 75%

Nilai duga negatif = 50% Rasio kecen-

derungan positif = 1,28 Rasio kecen-

derungan negatif = 0,42

Simpulan: Foto polos SPN 3 posisi

valid untuk mendiagnosis rinosinusitis

kronis.

Kata kunci: rinosinusitis kronik, foto

polos sinus paranasal 3 posisi, CT-

Scan, diagnosis

PENDAHULUAN

Rinosinusitis (RSK) merupakan istilah

yang lebih tepat karena sinusitis ja-

rang tanpa didahului rinitis dan tanpa

melibatkan infl amasi mukosa hidung.

Rinosinusitis menjadi penyakit ber-

spektrum infl amasi dan infeksi mukosa

hidung dan sinus paranasal(1). Rino-

sinusitis didefi nisikan sebagai gang-

guan akibat infl amasi mukosa hidung

dan sinus paranasal; dikatakan kronik

apabila telah berlangsung sekurang-

nya 12 minggu(1).

Sinus paranasalis seperti bagian alat

pernafasan lain, dilapisi oleh epitel

pseudostratifi ed kolumner berlapis

semu bersilia(2). Mukosa sinus parana-

sal merupakan kelanjutan mukosa ka-

vum nasi meskipun lebih tipis(3). Mem-

bran basal tampak lebih tipis, jaringan

subepitel memiliki jaringan ikat tipis

yang melekat kuat pada periosteum,

dan kelenjar seromusin relatif lebih

sedikit. Sinus paranasalis mempunyai

sistem mukosilia, terdiri dari gabung-

an epitel bersilia dan lapisan mukus,

berfungsi proteksi dan melembapkan

udara inspirasi. Lapisan mukus dido-

rong oleh silia menuju ke ostium sinus.

Transportasi mukus sinus diawali dari

dasar sinus dengan gerakan menyeru-

pai bintang, sepanjang dinding de-

pan, medial, posterior dan lateral, ser-

ta atap sinus bertemu di ostium (3,4,5).

PATOFISIOLOGI

Penyakit sinus terkait 3 faktor: pa-

tensi ostium, fungsi silia dan kualitas

sekret. Gangguan salah satu faktor

atau kombinasi faktor-faktor tersebut

mengubah fi siologi dan menimbulkan

rinosinusitis. Obstruksi ostium menim-

bulkan drainase tidak adekuat, beraki-

bat penumpukan cairan dalam sinus;

pada sinus maksilaris menjadi penting

karena mukus dibersihkan melawan

pengaruh gravitasi (3). Obstruksi me-

nyebabkan hipoksi lokal dalam sinus,

menimbulkan perubahan pH, keru-

sakan epitel dan fungsi silia. Cairan

dalam sinus menjadi media yang baik

bagi pertumbuhan bakteri, menimbul-

kan infl amasi jaringan dan penebalan

mukosa sehingga menambah obstruk-

si ostium.

KLASIFIKASI

RSK ditandai penebalan mukosa, hi-

perplasi sel goblet, fi brosis subepitel

dan infl amasi permanen. Remodelling

mukosa sinus mengarah pada gang-

guan keseimbangan antara deposit

dan degradasi kolagen dan matriks

protein lain. Peningkatan sintesis fi -

broblas merupakan respon adanya

aktivasi eosinofi l beserta produknya,

termasuk profi brotic transforming

growth factor-β (TGF-β). Sel infl amasi

yang banyak terdapat di sinus an-

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis Rinosinusitis KronikVimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto, Slamet Widodo

Bagian Telinga Hidung dan Tenggorok

Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS DR. Sardjito, Yogyakarta, Indonesia

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 409CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 409 7/23/2010 10:32:59 PM7/23/2010 10:32:59 PM

Page 7: cdk_179_tht

411| AGUSTUS 2010

tara lain : sel T, eosinofi l, basofi l, dan

neutrofi l memiliki jumlah menonjol di

mukosa sinus.

Pinheiro et al. (1998) membagi rinosi-

nusitis ditinjau dari lima aksis : 1)

gambaran klinis (akut, subakut, dan

kronik), 2) lokasi sinus yang terkena

(maksilaris, frontalis, ethmoidalis, dan

sphenoidalis), 3) organisme yang ter-

libat (virus, bakteri, atau jamur), 4) ket-

erlibatan ekstrasinus (komplikasi atau

tanpa komplikasi), dan 5) modifi kasi

penyebab spesifi k (atopi, obstruksi

komplek osteomeatal). Klasifi kasi lain

didasarkan ditemukan tidaknya alergi,

membagi rinosinusitis menjadi alergi

dan nonalergi atau berdasarkan ada

tidaknya infeksi dibagi dalam rinosi-

nusitis infeksi dan noninfeksi. Sedang-

kan untuk derajat sinusitis digunakan

gambaran radiologis untuk menunjuk-

kan berat ringannya penyakit.

Pembagian secara radiologis telah

banyak dilakukan di antaranya menu-

rut Lund MacKay. Pembagian menu-

rut sistem Lund MacKay didasarkan

pada pengukuran obyektif kelainan

masing-masing sinus, dengan skor 0

bila tidak ditemukan kelainan, skor 1

bila ditemukan opasitas parsial, skor

2 bila ditemukan opasitas total sinus,

dan penilaian patensi osteomeatal

komplek. Sistem ini banyak dipakai

karena mampu mengukur kelainan

masing-masing sinus secara obyektif,

dapat dipakai untuk kasus individual,

dan mempertimbangkan kondisi kom-

plek osteomeatal (7).

GEJALA DAN TANDA

Gejala RSK berbeda-beda, dari sangat

ringan hingga berat. Gejala bisa dikel-

ompokkan menjadi gejala subyektif

dan obyektif. Gejala subyektif meliputi

gejala nasal dan nasofaringeal, faring

dan nyeri wajah. Gejala nasal menca-

kup obstruksi hidung, sekresi hidung

dan post nasal drip. Sering disertai

epistaksis dan gangguan olfaktorius.

Gejala faring berupa rasa ke-ring di

tenggorokan dan gejala nyeri wajah

akibat keadaan vakum di sinus. Nye-

ri pada sinusitis maksilaris timbul di

daerah pipi atau zigomatik, sedang-

kan sinusitis etmoidalis menimbulkan

nyeri daerah sela mata. Untuk sinus-

itis frontalis nyeri terasa di daerah

dahi, sedangkan sinusitis sphenoidalis

menimbulkan nyeri di daerah puncak

kepala atau di oksipital (5).

Tanda obyektif ditentukan melalui pe-

meriksaan rinoskopi anterior, rinosko-

pi posterior dan pemeriksaan faring.

Pemeriksaan rinoskopi anterior dapat

menemukan tanda infl amasi yaitu mu-

kosa hiperemis, edema, discharge mu-

kopurulen yang terlihat di meatus me-

dia. Pemeriksaan rinoskopi posterior

menemukan kumpulan pus di permu-

kaan palatum, dapat berasal dari tiap

sinus tetapi paling sering dari sinus

maksilaris. Pus dapat tampak menetes

melalui ujung posterior konka inferior

dari meatus media. Pada pemeriksaan

farings dapat terlihat pus mengalir

sampai ke bawah melalui sela dinding

lateral faring dan umumnya berasal

dari sinus maksilaris, frontalis atau

ethmoidalis(5,8). Pada pemeriksaan en-

doskopi dapat dilihat edema dan hi-

peremi di meatus media atau bulla

ethmoid dan dan jaringan granulasi (9).

DIAGNOSIS

Diagnosis RSK dapat ditegakkan mela-

lui anamnesis, pemeriksaan fi sik dan

penunjang. Anamnesis didasarkan

pada gejala seperti obstruksi hidung,

kongesti, rasa nyeri di wajah, nyeri

kepala, gangguan discharge hidung,

post nasal drip, nafas bau, batuk,

gangguan penghidu dengan atau tan-

pa telinga terasa penuh, faringitis, fa-

tigue, malaise atau demam yang telah

berlangsung selama 12 minggu (1).

Pemeriksaan fi sik harus menemukan

salah satu tanda infl amasi yaitu 1)

discharge berwarna di saluran nafas,

polip atau pembengkakan konka po-

lipoid menggunakan rinoskopi ante-

rior atau endoskopi setelah aplikasi

dekongestan; 2) edema dan hiperemi

di meatus media atau bulla ethmoid

yang diidentifi kasi menggunakan en-

doskopi nasal; 3) eritema lokal atau

keseluruhan, edema dan jaringan

granulasi (1).

RADIOLOGI SINUS PARANASAL

Penyakit infl amasi sinus membutuhkan

diagnosis yang akurat sebagai kunci

manajemen terapi termasuk untuk

menetapkan etiologi dan faktor pre-

disposisi. Para ahli menyepakati bah-

wa rinosinusitis disebabkan oleh ob-

struksi clearance mukosilia dari sinus

paranasal, khususnya daerah KOM.

Pemeriksaan radiologi diharapkan

dapat menggambarkan secara akurat

morfologi regional dan menunjukkan

obstruksi osteomeatal.

Foto polos atau radiografi standar

Foto polos sinus paranasal merupakan

metode mudah dan cepat untuk eva-

luasi struktur maksilofasial. Ada empat

posisi yang sering adalah posisi Wa-

ters’, Towne’s, lateral, dan submento-

verteks. Paparan radiasi berkisar 40-60

mSv. Pemeriksaan tersebut memua-

skan untuk sepertiga bawah kavum

nasi dan sinus maksila. Gambaran si-

nus ethmoid anterior et posterior, sinus

frontal, dan sphenoid sering kurang

baik akibat penumpukan bayangan (7).

Penebalan mukosa lebih dari 4 mm,

opasitas komplit sinus maksilaris, dan

gambaran air fl uid level merupakan

gambaran radiologis utama yang di-

gunakan untuk diagnosis sinusitis

pada foto polos. Gambaran opasitas

sinus maksilaris tersebut dapat akibat

penebalan dinding anterior sinus atau

jaringan lunak yang tebal. Polip sinus

juga dapat memberi gambaran seper-

ti air fl uid level(7).

Beberapa peneliti membandingkan

roentgen polos dan CT scan koronal

pada bayi dan anak dengan sinusitis

rekuren. Hasilnya dari 70 pasien terda-

pat 80% mempunyai CT scan abnor-

mal dan 75% roentgen tidak berko-

relasi terhadap CT scan. Berdasarkan

evaluasi pada 21 pasien didapatkan

kesesuaian korelasi roentgen polos

dengan CT scan pada penderita sinus-

itis akut sebesar 87%.

CT scan

CT scan menyediakan gambaran hi-

dung dan sinus paranasal yang lebih

detail dibandingkan roentgen. Ahli

THT sangat membutuhkan gambaran

KOM dan kelainan yang mungkin ter-

dapat di sinus paranasal untuk menda-

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 411CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 411 7/23/2010 10:33:00 PM7/23/2010 10:33:00 PM

Page 8: cdk_179_tht

412 | AGUSTUS 2010

patkan diagnosis akurat dan rencana

terapi selanjutnya. Potongan koronal

CT scan memberikan gambaran aku-

rat sinus ethmoid anterior, 2/3 kavum

nasi bagian atas, recessus frontalis.

Potongan lintang CT scan dapat me-

nilai kondisi soft tissue di kavum nasi,

sinus paranasal, orbita, dan intrakra-

nial. Perbedaan yang teridentifi kasi

antara komponen kavum nasi yaitu

udara - tulang, lemak - orbita, dan

soft tissue – udara. Perbedaan den-

sitas juga mempermudah identifi kasi

sinus frontal, recessus frontal, proces-

sus uncinatus, infundibulum ethmoid,

bulla ethmoid, sinus maksila, ostia

sinus maksilaris, meatus media, sinus

ethmoid, sinus sphenoid, dan reces-

sus sphenoid. Gambaran yang jelas

sangat mempermudah diagnosis dan

rencana terapi (7).

Potongan koronal merupakan poton-

gan terbaik karena mampu menunjuk-

kan hubungan antara otak dan sinus

ethmoid, orbita dan sinus paranasal,

juga KOM. Endoskopi hanya member-

ikan gambaran anatomi yang terletak

di depan endoskopi, sedangkan CT

scan mampu mendefi nisikan daerah

yang tidak tampak pada endoskopi.

Pasien diposisikan prone dengan hi-

perekstensi di meja scanner. Kondisi

KOM ideal diperoleh dengan CT scan

difokuskan pada kavum nasi dan si-

nus paranasal. Bila pasien tidak dapat

posisi prone maka dibuat potongan

aksial dari palatum hingga melalui si-

nus frontalis(7).

Pelaksanaan CT scan sering kali terk-

endala biaya, maka dikerjakan CT

scan terbatas untuk mengatasi per-

masalahan dan meningkatkan nilai

diagnosis foto polos sinus paranasal.

Jika perkiraan jarak sinus sphenoid

hingga nares sekitar 7,5 cm maka CT

scan standar dengan jarak antara 3

mm akan menghasilkan 25 gambar. CT

scan terbatas dikerjakan dengan jarak

antar potongan beragam mulai 3, 4,

5 hingga 10 mm. sentrasi kavum nasi

dan sinus paranasal (7).

Penilaian CT scan meliputi 6 tahap, yai-

tu: 1) melihat gambaran dari anterior

ke posterior (identifi kasi sinus frontalis,

sinus ethmoidalis, bulla ethmoidalis,

sinus maksilaris, sinus sphenoidalis,

kavum nasi, orbita, fossa kranii media,

dan septum deviasi), 2) melihat lami-

na papiracea, processus uncinatus,

dan konka media, 3) melihat recessus

frontalis, 4) perhatikan asimetri kanan-

kiri dengan melihat basis kranii, 5) in-

dentifi kasi sinus sphenoidalis, melihat

septum intersphenoidalis, 6) melihat

perluasan penyakit (7).

Perbandingan CT scan koronal

terbatas dan foto polos sinus

paranasal

CT scan potongan koronal terbatas

telah diteliti sensitivitas dan spesi-

fi sitasnya dibandingkan dengan foto

polos sinus paranasal. CT scan 4 slice

dibandingkan CT scan standar memi-

liki sensitivitas 81,25%, spesifi sitas

89,47%, nilai duga positif 92,86, dan

nilai duga negatif 73,91.13 Penelitian

Goodman et al. (1995) mendapatkan

bahwa foto polos sinus paranasal

memiliki sensitivitas dan spesifi sitas

secara keseluruhan 54% dan 64%.14

Penelitian serupa oleh Garcia et al.

(1994) mendapatkan kesesuaian foto

polos mendeteksi sinusitis adalah 20%

untuk sinus frontal, 0% sinus sphenoid,

dan 54% sinus ethmoid; sinus maksila

75%. Sensitivitas dan spesifi sitas posisi

Waters adalah 76% and 81%. Sinus CT

scan mempunyai kesesuaian diband-

ingkan CT standar masing-masing

100% untuk sinus frontal, 82% untuk

sinus sphenoid, 73% untuk sinus eth-

moid, dan 97% untuk sinus maksila.

Kesesuaian secara keseluruhan bila

dibandingkan CT scan standar adalah

88% (14).

Pemeriksaan radiologi dibutuhkan

untuk konfi rmasi klinis. Pada rontgen

sinus paranasalis didapatkan air fl uid

level, pengkabutan atau penebalan

mukosa pada satu atau lebih sinus (2,4). CT scan dapat menggambar-

kan penebalan mukosa, perubahan

struktur tulang maupun kondisi os-

teomeatal komplek (1). Sensitifi tas

dan spesifi sitas radiologi sinus para-

nasal 85% dan 80% untuk posisi Wa-

ters, untuk tiga posisi 90% dan 60%

sedangkan CT scan lebih dari 95%

dan 61% (15).

METODA PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan uji diagnos-

tik untuk menentukan validitas foto

polos sinus paranasal 3 posisi dan CT

scan potongan koronal sebagai alat

diagnosis pada pasien dengan gejala

klinis/persangkaan rinosinusitis kronis

menurut kriteria task force.

B. Populasi Penelitian

Populasi target pada penelitian ini

adalah pasien yang memenuhi krite-

ria klinis task force untuk persangkaan

rinosinusitis kronis (RSK). Populasi ter-

jangkau penelitian ini adalah pasien

yang memenuhi kriteria klinis task

force untuk persangkaan rinosinusitis

kronis di RS Dr. Sardjito.

C. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi

terjangkau yang dipilih dengan cara

tertentu. Teknik pengambilan sampel

dengan cara berurutan (consecutive

sampling), yaitu setiap pasien RSK di

RS Dr. Sardjito Yogyakarta dan me-

menuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Cara pemilihan sampel seperti ini ada-

lah satu cara yang terbaik dalam pene-

litian klinik (16).

D. Kriteria Inklusi

Penderita dengan persangkaan RSK

(task force positif), memiliki foto polos

sinus paranasal 3 posisi, memiliki CT

scan potongan koronal

E. Kriteria Eksklusi

Pernah menjalani operasi sinus, ter-

diagnosis tumor sinonasal, memiliki

catatan medis tidak lengkap. tidak

bersedia ikut dalam penelitian.

F. Cara Pengukuran

1). Semua penderita tersangka RSK

memenuhi kriteria inklusi dan ek-

sklusi dicatat identitasnya pada

formulir penelitian,

2). Dilakukan foto polos sinus parana-

sal 3 posisi dan CT Scan potongan

koronal.

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 412CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 412 7/23/2010 10:33:02 PM7/23/2010 10:33:02 PM

Page 9: cdk_179_tht

413| AGUSTUS 2010

H. Analisis Statistik

Analisis data dalam penelitian ini

adalah sensitivitas, spesifi sitas, nilai

duga positif, nilai duga negatif, rasio

kecenderungan positif, dan rasio ke-

cenderungan negatif dari CT Scan dan

foto polos SPN 3 posisi.

HASIL PENELITIAN

Karakteristik subyek penelitian

Jumlah sampel penelitian seluruhnya

20 pasien, wanita 11 orang (55%) dan

laki-laki 9 orang (45%), paling banyak

pada umur dekade ke 3 (30%). (tabel

2).

Keluhan utama pasien dengan per-

sangkaan RSK terdistribusi dalam ta-

bel 3.

Uji Diagnostik/Validasi Foto polos SPN

3 posisi (Tabel 4)

Sensitivitas = 12/14 x 100 % = 85,7%

Spesifi sitas = 2/6 x 100 % = 33,3%

Nilai duga positif = 12/16 x 100 % =

75%

Nilai duga negatif = 2/4 x 100 % =

50%

Rasio kecenderungan positif = 85,7%/

(4/(4 + 2)) = 1,28

Rasio kecenderungan negatif = (2/(12

+ 2))/33,3% = 0,14/0,33 = 0,42

PEMBAHASAN

Jumlah sampel penelitian seluruhnya

ada 20 pasien, wanita 11 orang (55%)

dan laki-laki 9 orang (45%). Umur teru-

tama pada dekade ke 3 (30%) (tabel 2).

Keluhan utama pada sampel penelitian

(kriteria task force) adalah discharge

purulen (40%), hidung tersumbat (30%)

dan gangguan penghidu (20%) (tabel

3). Hasil penelitian ini berbeda dengan

penelitian Evans (1994) yang menda-

patkan gejala subyektif meliputi gejala

nasal dan nasofaringeal, faring dan

nyeri wajah. Gejala nasal mencakup

obstruksi hidung, sekresi hidung dan

post nasal drip. Sering gejala terse-

but disertai epistaksis dan gangguan

olfaktorius. Gejala faring berupa rasa

kering di tenggorokan dan gejala nye-

ri wajah disebabkan oleh keadaan va-

kum pada sinus. Proyeksi nyeri pada

Informed consent

Foto polos SPN 3 posisi

Penderita rinosinusitis kronis

Sensitivitas 1. Spesifi sitas 2. Nilai duga positif 3. Nilai duga negatif4. Rasio kecenderungan positif5. Rasio kecenderungan negatif6.

Kriteria inklusi dan eksklusi

CT scan SPN potongan coronal

Sampel Penelitian

Uji Diagnostik

G. Kerangka Penelitian

Gambar 1. Bagan alur penelitian dan analisis pada penelitian

Tabel 2. Distribusi umur sampel penelitian

Umur (dalam tahun) Jumlah (%)

< 9 0 (0)

10-19 4 (20)

20-29 6 (30)

30-39 4 (20)

40-49 2 (10)

50-59 4 (20)

>60 0 (0)

Tabel 3. Distribusi gejala sampel penelitian

No. Gejala rinosinusitis Jumlah (%)

1 Discharge purulen 8 (40)

2 Hidung tersumbat 6 (30)

3 Gangguan penghidu 4 (20)

4 Rasa tertekan atau nyeri di sinus 1 (5)

5 Nyeri kepala 1 (5)

6 Fatigue 0 (0)

7 Gangguan tidur 0 (0)

Tabel 4. Tabel penghitungan sensitivitas, spesifi sitas, nilai duga positif, nilai duga negatif, akurasi, rasio kecenderungan positif, dan rasio kecenderungan negatif foto polos SPN 3 posisi (17)

Foto polos SPN 3 posisi

+ - Total

+ 12 4 16

-

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 413CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 413 7/23/2010 10:33:02 PM7/23/2010 10:33:02 PM

Page 10: cdk_179_tht

414 | AGUSTUS 2010

sinusitis maksilaris di daerah pipi atau

zigomatik, sedangkan sinusitis etmoi-

dalis menimbulkan nyeri di daerah

sela mata. Untuk sinusitis frontalis nye-

ri terasa di daerah dahi, sedangkan

sinusitis sphenoidalis menimbulkan

nyeri di daerah puncak kepala atau di

oksipital.

Hal tersebut di atas menandakan bah-

wa keluhan utama discharge purulen

hidung pada umur sekitar dekade 3

harus dicurigai sebagai gejala RSK.

Masalahnya adalah untuk membuk-

tikan kecurigaan tersebut. Mahalnya

CT Scan dan tidak adanya fasilitas CT

Scan di beberapa daerah menyebab-

kan masih perlunya foto polos SPN 3

posisi untuk menegakkan diagnosis

RSK, tetapi validitas foto polos di RS

Sardjito belum pernah diteliti, bahkan

di Indonesia.

Hal tersebut membuat kalangan klinisi

ragu dan cenderung merujuk ke pusat

pelayanan medis dengan fasilitas CT

Scan. Hal ini menjadi beban tersendiri,

karena pengobatan bisa dilakukan di

daerah yang tidak memiliki fasilitas CT

Scan. Masalah ini menjadi dasar bagi

peneliti untuk mencari validitas foto

polos SPN 3 posisi dalam menegak-

kan diagnosis RSK.

Penelitian dengan 20 sampel men-

dapatkan sensitivitas sebesar 85,7%

dan spesifi sitas sebesar 33,3%. Hal ini

berarti 85,7% kemungkinan seseorang

benar benar positif RSK jika ditemu-

kan foto polos SPN 3 posisi positif.

Dan 33.3% kemungkinan subyek bu-

kan RSK apabila hasil foto polos SPN

3 posisi ditemukan negatif. Foto polos

SPN 3 posisi bisa dilakukan untuk me-

negakkan diagnosis RSK.

Penelitian ini sesuai dengan penelitian

Dolor(2001) yang mendapatkan sensitifi -

tas dan spesifi sitas radiologi sinus para-

nasal untuk tiga posisi 90% dan 60%.

Dari 16 sampel pasien dengan CT Scan

positif didapatkan 12 sampel foto po-

los SPN 3 posisi yang juga positif, ini

menandakan bahwa hasil foto polos

SPN 3 posisi mempunyai nilai duga

positif yang tinggi (75%), sehingga

tidak diperlukan foto CT Scan untuk

mendiagnosis RSK. Foto polos SPN 3

posisi layak untuk mendiagnosis RSK

di daerah yang tidak memiliki fasilitas

CT Scan.

SIMPULAN

Foto polos SPN 3 posisi valid untuk

mendiagnosis rinosinusitis kronis den-

gan sensitivitas 85,7% dan spesifi sitas

33,3%.

DAFTAR PUSTAKA

1. Benninger MS, Poole M, Ponikau J. Adult chronic rhinosinusitis: defi nitions, diagnosis, epidemiology, and pathophysiology. Otolaryngol Head Neck Surg (suppl)

2003;129S: S1-S32.

2. Hilger PA. Penyakit sinus paranasalis. Dalam: Boies: Buku Ajar penyakit THT. Effendi H (terj.ed.) 6th ed. EGC, Jakarta. 1997.

3. Miller AJ, Amedee RG. Sinus anatomy and function. In: Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. 1998.Lippincott-Raven, New York ; p: 413-

21.

4. Rohr AS. Sinusitis: pathophysiology, diagnosis, and management. J Immunol Allergy Clin North Am 1987;7:383-91

5. Evans KL. Fortnightly review: diagnosis and management of sinusitis. BMJ 1994;309:1415-22.

6. Pinheiro AD, Facer GW, Kern EB. Sinusitis: Current concepts and management. In Bailey BJ. Head & Neck Surgery - Otolaryngology. 2nd ed. Lippincott-Raven,

New York, 1998. p: 441-55.

7. Zeinreich SJ. Imaging for staging of rhinosinusitis. Ann Otol. Rhinol. Laryngol 2004.; 133: 19-23.

8. Sucipto D. Temuan sinuskopi pada pasien sinusitis maksilaris kronis. Kongres Nasional Perhati XI. Jogjakarta: 1995.. 179-189.

9. Khun FA. Role of endoscopy in the management of chronic rhinosinusitis. Ann Otol Rhinol Laryngol 2004.; 113: 10-14.

10. Kurt R, Lange S, Grumme T, Wolfgang K. Cerebral and spinal computerized tomography. Schering AG, West Germany. 1989.

11. Toshiba’s Medical Electronic. The statement of ROI. In Manual of Toshiba’s CT scan. Serial number 27345-Tosh-201. 1995.

12. Awaida JPS, Woods SE, Doerzbacher M, Gonzales Y, Miller TJ. Four cut sinus computed tomographic scanning in screening for sinus disease. Southern Medical

J 2004; 97: 18-20.

13. Goodman GM, Martin DS, Klein J. Comparison of a screening coronal CT versus a contagious coronal CT for evaluation of patients with presumptive sinusitis.

Am Allerg. Asthma Immunol 1995.; 74: 178-182.

14. Garcia GP, Corbett ML, Elbery SM, Joyce MR, Le HT, Karibo JM et al. Radiographic imaging studies in pediatric chronic sinusitis. J Allerg Clin Immunol 1994; 94:

1-11.

15. Dolor RJ, Williams JW. Management of Rhinosinusitis in Adults: Clinical Applications of Recent Evidence and Treatment Recommendations. JCOM 2001.; 9:

463-477.

16. Hulley SB, Cummings SR. Designing Clinical Research. Williams and Wilkins, Baltimore. 1998.

17. Fletcher RH, Fletcher SW, Wagner EH. Clinical Epidemiology : The Essential, 2nd ed. Williams & Wilkins, Baltimore, USA 1988:58-04.

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 414CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 414 7/23/2010 10:33:02 PM7/23/2010 10:33:02 PM

Page 11: cdk_179_tht

415| AGUSTUS 2010

PENDAHULUAN

Karsinoma nasofaring (KNF) di In-

donesia menduduki urutan pertama

keganasan kepala-leher dan urutan

ke-empat setelah keganasan serviks,

payudara dan kulit Insiden tumor ini

meningkat pada akhir dekade ke dua

dan mencapai puncak pada umur 40-

50 tahun dengan perbandingan pria

dan wanita 2 : 1 sampai 4:1.1,2

Menurut Survai Departemen Kes-

ehatan 1987, angka prevalensi KNF

di Indonesia adalah 4,7 per 100,000

penduduk per tahun. Di bagian THT

RSCM, KNF menempati urutan per-

tama dari seluruh tumor ganas kepala-

leher, dan hampir setengahnya pen-

derita baru 3 Di RSUP H. Adam Malik

Medan ditemukan 130 penderita KNF

dari 1370 kasus baru tumor kepala dan

leher dari tahun 1998-2002.4

Tumor ganas ini dapat mengenai se-

mua golongan usia dan berpotensi

menyebar cepat ke jaringan sekitar

dan bermetastasis jauh. Biasanya pen-

derita datang berobat setelah menca-

pai stadium lanjut, dengan gejala pe-

nyebaran berupa pembesaran kelenjar

getah bening di leher dan kelainan

saraf kranial3’4

Kelainan saraf kranial berhubungan

dengan perluasan tumor ke jaringan

sekitar dan invasi tumor yang menga-

kibatkan erosi dasar tengkorak.5 Well

(1963) menemukan adanya erosi pada

tulang tengkorak mummi dari Mesir

yang diduga disebabkan oleh KNF.6

Di Indonesia perluasan tumor ke arah

atas lebih sering ditemukan, terbanyak

mengenai saraf kranial VI.7 Muyassaroh

menemukan proporsi kelainan saraf

kranial sebesar 27,7 % dari 141 kasus

KNF dan yang terbanyak adalah saraf

kranial VI, 8 Furukawa menemukan ke-

lainan saraf kranial akibat perluasan

tumor sebanyak 18%.4 Tumor yang

meluas ke posterior dapat menyebab-

kan kelainan saraf hipoglosus. Chong

menemukan kelainan saraf hipoglosus

75% dari 16 pasien KNF.9 Sham men-

emukan erosi tulang tengkorak 31,3%

dari 262 kasus KNF yang ditelitinya.10

Di RSUP H. Adam Malik Medan belum

ada data mengenai kelainan saraf kra-

nial dan erosi dasar tengkorak pada

penderita karsinoma nasofaring. Pe-

nelitian ini bertujuan untuk mengeta-

hui erosi dasar tengkorak dan kelainan

saraf kranial pada penderita KNF.

BAHAN DAN CARA

Penelitian dilakukan secara deskriptif

analitik dengan metode cross sectio-

nal. Populasi penelitian adalah semua

penderita yang dicurigai menderita

karsinoma nasofaring berdasarkan

anamnesis dan pemeriksaan THT-KL

Sampel penelitian adalah semua pop-

ulasi yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi.

- Kriteria Inklusi:

Penderita KNF yang diagnosisnya

ditegakkan berdasarkan hasil peme-

riksaan histopatologis tumor di naso-

faring.

- Kriteria Eksklusi:

Penderita dengan kelainan saraf kra-

nial yang tidak disebabkan oleh KNF

seperti stroke, tumor kepala leher

selain karsinoma nasofaring, trauma

kepala dan penyakit infeksi telinga.

Besar sampel ditentukan berdasarkan

jumlah kasus yang didapat selama

rentang waktu penelitian mulai dari

Januari 2004 sampai Desember 2004.

Tempat penelitian di Bagian Ilmu Pe-

nyakit THT-KL FK USU / RSUP H. Adam

Malik Medan.

Erosi Dasar Tengkorak dan Kelainan Saraf Kranialpada Penderita Karsinoma Nasofaring

di RS. H. Adam Malik MedanDelfi tri Munir, Ramsi Lutan, Muzakkir Zam-Zam, Chairul Abdi

Bagian Telinga Hidung Tenggorok - Kepala Leher, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Medan

ABSTRAK

Erosi dasar tengkorak dan kelainan saraf kranial merupakan komplikasi karsinoma nasofaring (KNF). Komplikasi ini dapat

disebabkan oleh tumor primer atau metastasis.

Pada 37 penderita KNF.di RS H Adam Malik, Medan selama tahun 2004 dijumpai 27% dengan erosi dasar tengkorak dan

59,5% dengan kelainan saraf kranial, terutama n. VI.

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 415CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 415 7/23/2010 10:33:03 PM7/23/2010 10:33:03 PM

Page 12: cdk_179_tht

417| AGUSTUS 2010

Responden yang memenuhi kriteria

inklusi dicatat semua data yang dibu-

tuhkan sesuai dengan kuesioner yang

telah disiapkan. Kemudian dilakukan

pemeriksaan radiologi untuk meneliti

adanya erosi dasar tengkorak akibat

KNF ; selanjutnya penderita dikon-

sultasikan ke bagian Neurologi untuk

mengetahui adanya kelainan saraf kra-

nial yang disebabkan oleh KNF.

Data disusun dalam bentuk tabel dan

dianalisis secara statistik dengan pro-

gram Window SPSS versi 10,1.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1. Distribusi erosi dasar tengkorak pasien

KNF.

Jumlah %

Tabel 2. Distribusi kasus Kelainan Saraf Kranial

pasien KNF

Jumlah %

Tabel 3. Distribusi kelainan saraf kranial pasien

KNF

Lesi saraf kranial Jumlah %

I 2 5,4

II 4 10,8

III 15 40,5

IV 13 35,1

V 15 40,5

VI 18 48,6

VII 9 24,3

VIII 4 10,8

IX 14 37,8

X 14 37,8

XI 1 2;7

XII 11 29,7

Kelainan saraf kranial yang terbanyak

dijumpai akibat KNF adalah saraf VI

(18 - 48,6 % ).

Tabel 4. Hubungan Erosi Dasar Tengkorak dengan-

Kelainan Saraf kranial pada pasien KNF

Erosi dasar tengkorak

- + Total

Kelainan - 15 - 15

Tabel 5. Distribusi kelompok umur pasien KNF

Umur Jumlah %

20-29 3 8,1

30-39 4 10,8

40-49 13 35,1

50-59 12 32,4

60-69 2 5,4

70-79 3 8,1

Total 37

Tabel 6. Distribusi jenis kelamin pasien KNF

Jumlah %

Pria Wanita

29 8

78,4 21,6

Jumlah 37 100

Tabel 7. Distribusi suku pasien KNF

Jumlah %

Batak 17 45,9

Jawa 9 24,3

Aceh 7 18,9

Minang 2 5,4

Melayu 1 2,7

Nias 1 2,7

Jumlah 37

Penderita KNF terbanyak pada go-

longan umur 40 -49 tahun (35,1 % ).

Termuda 20 tahun dan paling tua 78

tahun, Perbandingan pria dan wanita

adalah 3,63 : 1, sedangkan suku bang-

sa penderita KNF yang terbanyak ada-

lah suku Batak (49,5 %),

Tabel 8. Distribusi jenis histopatologis tumor

Histipatotogis Jumlah %

Undifferentiated Ca 17 45,9

Non Keratinizing Ca 16 43,2

Keratinizing Squamous Ca 4 10,8

Jumlah 37

Tabel 9. Distribusi stadium tumor

Stadium Jumlah %

Stadium 1 2,7

Stadium III 25 67,6

Stadium IV 11 29,7

Total 37

Jenis histopatologis yang terbanyak

adalah tipe III yaitu Undifferentiated

Carcinoma (45,9 %) dan stadium tu-

mor yang terbanyak dijumpai adalah

stadium III (67,6 %).

PEMBAHASAN

Erosi dasar tengkorak akibat tumor

didapatkan pada 10 (27 %) dari 37 ka-

sus (tabel 1). Effendi menjumpai erosi

dasar tengkorak akibat KNF (Karsino-

ma Nasofaring) pada 19 kasus (47,50

%) dari 40 penderita KNF.6 Godtfred-

sen menjumpai erosi dasar tengkorak

20% dari 454 kasus KNF.5 Sedangkan

Roh menjumpai 38,6% dari 119 pasien

KNF yang ditelitinya.11

Pada penelitian ini didapatkan 22 (59,5

%) kasus KNF dengan kelainan saraf

kranial, yang terbanyak adalah saraf

kranial VI (48,6 %). Pada penelitian Ef-

fendi atas 40 kasus KNF di RS. Dr. Pirn-

gadi Medan ditemukan 31 kasus (77,5

%) dengan kelainan saraf kranial, yang

terbanyak adalah saraf V (51, 61 %).6

Muyassaroh di Semarang menemukan

kelainan saraf kranial terbanyak adalah

saraf VI (92,3 %).8 Dari data beberapa

pusat pendidikan dokter di Indonesia,

15 - 30 % penderita KNF mengalami

kelainan saraf kranial; terbanyak pada

saraf VI. Sedangkan di luar negeri ke-

lainan saraf kranial tercatat lebih tinggi

yaitu 40 - 50 %, dan yang terbanyak

adalah saraf V.9,10,11 Ilhan dalam peneliti-

annya menjumpai kelainan saraf krani-

al pada 16% dari 166 kasus KNF ; 57,2%

adalah kelainan saraf kranial VI.12

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 417CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 417 7/23/2010 10:33:03 PM7/23/2010 10:33:03 PM

Page 13: cdk_179_tht

418 | AGUSTUS 2010

Terdapat hubungan yang bermakna

antara 22 kasus kelainan saraf kranial

dengan 10 kasus yang mengalami

erosi dasar tengkorak (p < 0.05). (tabel

4). Hal ini berbeda dengan penelitian

Effendi (1984)6 yang tidak menemukan

hubungan antara erosi dasar tengko-

rak dengan kelainan saraf kranial pada

penderita KNF. Menurut Godtfredsen

yang dikutip dari Zaman (1977)5, leb-

ih dari separah gejala kelainan saraf

kranial penderita KNF yang diteliti

menunjukkan adanya erosi dasar teng-

korak.

Pada penelitian ini didapatkan 37

orang penderita KNF ; 29 orang pria

dan 8 orang wanita, Umur termuda

adalah 20 tahun dan tertua 78 tahun;

35,1 %. pada kelompok umur 40 - 49

tahun (tabel 5) ; sama dengan peneli-

tian Gosal (1977)12 di Ujung Pandang.

Sedangkan Roezin di Jakarta (1977)13

mendapatkan 28,1 %, Zainuddin di

Padang (1977)14 38,6 % dan Lutan 35,8

% di Medan (1986). l° Dari data terse-

but dapat disimpulkan bahwa insiden

KNF tertinggi adalah pada dekade ke-

empat

Perbandingan pria dan wanita adalah

3,63 : 1 (tabel 6). Lutan (2003)4 menda-

patkan perbandingan pria dan wanita

3:1, Susilo (1995)16 di Semarang 2 : 1,

dan Yong-sheng (1983)17 di Guang-

dong 2,21 : 1.

Suku bangsa yang terbanyak men-

derita KNF adalah suku Batak (45,9

%).(tabel 7) Demikian juga dengan

penelitian Lutan (1986)10 mendapat-

kan suku Batak 50 %. Kalangan suku

bangsa Cina Selatan, baik yang bera-

da di negara Cina maupun yang men-

jadi imigran di penjuru dunia memiliki

angka kejadian KNF tertinggi diband-

ing suku-suku lainnya,19,20

Hal ini mungkin karena suku Batak

merapakan etnis terbanyak di Sumat-

era Utara, dan RSUP H. Adam Malik

Medan tempat penelitian ini dilakukan

tidak menggambarkan kunjungan ber-

obat dari seluruh suku-suku yang ada

di kota Medan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hulu O. Karsinoma nasofaring pada pada

anak. Kumpulan Naskah Konas XII Perhati

1999; 25-32.

2. Hadi W. Aspek klinis dan histopatologi karsi-

noma nasofaring (Tinjauan 29 kasus). Kumpu-

lan Naskah Konas XII Perhati 1999; 1001-7

3. Soetjipto D. Karsinoma nasofaring, Dalam:

Tumor Telinga Hidung Tenggorok diagnosis &

penatalaksanaan FK-UI. Jakarta 1989; 71-82.

4. Lutan R. Diagnosis dan penatalaksanaan karsi-

noma nasofaring. Kumpulan Naskah KONAS

XIII PERHATI 2003; 16.

5. Zaman M. Karsinoma nasofaring. Paralisis ner-

vus abducen yang bilateral dengan destruksi

os sphenoidale. Kumpulan Naskah Konas Per-

hati V 1977; 539-44

6. Effendi S. Tumar ganas nasofaring dengan ke-

lainan neurologi dan kerusakan dasar tengko-

rak di RS Dr. Pirngadi Medan. Tesis. 1984.

7. Soeleiman S. Hubungan Gambaran makrosko-

pis karsinoma nasofaring pada pemeriksaan

nasofaringoskopi dengan histopatologis. Tesis

1999.

8. Muyassaroh. Kelainan neurologi pada karsi-

noma nasofaring di SMF THT RSUP Dr. Ka-

riadi Semarang tahun 1996 - 1998. Kumpulan

Naskah Konas Perhati XII1999; 1132-9

9, Chong VF, Fan YF. Hypoglossal nerve palsy in

nasopharyngeal carcinoma. Eur Radiol 1998;

8(6): 939-45

10. Sham JS, Cheng YK, Choy D, Chan FL, Leong

L. Cranial nerve involvement and base of skull

erosion in NPC. Cancer 1991; 68(2): 422-6

11. Roh JL, Sung MW, Kim KH, Chi BY, Oh SH,

Rhee CS. Nasopharyngeal carcinoma with

skull base invasion: a necessity of staging sudi-

vision. Am J Otolaryngol 2004; 25(l):26-32

12. Ilhan O, Sener EC, Ozyar E. Outcome of ab-

ducens nerve paralysis in patiens with na-

sopharyngeal carcinoma. Eur J Ophthalmol

2002; 12(1): 55-9 13. 13. Siregar P. Manifestasi

neurologi karsinoma nasofaring. Kumpulan

Naskah Konas Perhati V 1977; 545 - 51

14. Lutan R, Efendi Ss Aboet A . Kerusakan pada

dasar tengkorak suspek oleh karena infi ltrasi

dari karsinoma nasofaring. Kumpulan Naskah

Konas VIII Perhati 1986; 117-121

15. Bambang SS. Diagnostik klinik kanker nasofar-

ing. Kumpulan Naskah Seminar Kanker Naso-

faring. Yayasan Kanker Wilayah Jawa Tengah.

1998; 17- 42.

16. Gosal. Insidens minimum tumor ganas naso-

faring di Ujung Pandang. Kumpulan Naskah

Konas V Perhati 1977; 565 - 571.

17. Roezin A. Gejala telinga pada karsinoma na-

sofaring. Kumpulan Naskah Konas V. Perhati

1977; 588-593.

18. Zainuddin MZ. Frekuensi tumor ganas naso-

faring di Sumatera Barat Kumpulan Naskah

Ilmiah Konas V Perhati 1977; 599 - 605

19. Susilo N, Wiratno. Karsinoma nasofaring di

SMF THT RSUP Dr. Kariadi Semarang Tahun

1990-1994. Kumpulan Naskah Konas X Perhati

1995; 1229 - 37.

20. Yong-Seng Z. Histopathologic types and

incidence of malignant nasopharyngeal tu-

mors in Zhongshan Country. Chinese Med. J.

1983; 96 (7): 511-6

21. Willard E, Fee Jr. Nasopharynx. Dalam: JP

Shah. ed Essential of Head and Neck Oncol-

ogy. Thieme: New York 1998; 205-10

22. Mulyarjo. Diagnosis dan penatalaksanaan

karsinoma nasofaring, Disampaikan pada Pen-

didikan Kedokteran Berkelanjutan III Ilmu Pe-

nyakit THT-KL 2002.

23. Pathmanathan. Pathology in: Nasopharynge-

al carcinoma. 3th ed. Amour Publ., 1999. 6-12

Pada penelitian ini didapatkan jenis

histopatologis terbanyak adalah Un-

differentiated Ca (45,9 %). (tabel 8). Hal

ini sama dengan yang didapatkan oleh

Lutan (1986)10 - 57,50 %, Susilo (1995)16

- 55,47 %, dan Yong-sheng (1983)17 di

Guangdong sebanyak 93,13 %. Pada

penelitian ini dijumpai jenis nonkera-

tinizing Ca sebanyak 16 kasus (43,2%).

Jumlah ini lebih banyak bila diband-

ingkan dengan di Taiwan (15%).21

Stadium tumor terbanyak pada pe-

nelitian ini adalah stadium III (67,6 %),

dan hanya 1 kasus stadium II. (tabel 8).

Sesuai dengan Soeleiman (1999)7 di

Medan yang mendapatkan 70 % kasus

adalah stadium III. Hal ini menunjuk-

kan bahwa sebagian besar penderita

KNF baru terdeteksi pada saat penya-

kitnya sudah lanjut

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 418CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 418 7/23/2010 10:33:04 PM7/23/2010 10:33:04 PM

Page 14: cdk_179_tht

419| AGUSTUS 2010

PENDAHULUAN

Polip nasi merupakan masalah me-

dis dan masalah sosial karena dapat

mempengaruhi kualitas hidup pende-

rita baik sekolah, kerja, aktivitas harian

dan kenyamanan. Polip nasi merupa-

kan mukosa yang mengalami infl amasi

dan menimbulkan prolaps mukosa di

dalam rongga hidung; dapat dilihat

melalui pemeriksaan rinoskopi de-

ngan atau tanpa bantuan endoskop.

Prevalensi penderita polip nasi be-

lum diketahui pasti karena hanya

sedikit laporan hasil studi epidemiolo-

gi serta tergantung pada pemilih-

an populasi penelitian dan metoda

diagnostik yang digunakan. Di Ame-

rika Serikat diperkirakan prevalensi

penderita polip nasi antara 1-4 % se-

dangkan di Eropa dilaporkan sekitar

1-2 % pada dewasa. Pada anak-anak

sangat jarang ditemukan dan dilapor-

kan hanya sekitar 0,1%.1-6

Di Indonesia, Sardjono Soejak dan Sri

Herawati (dikutip dari Nurmusa, 1980)

melaporkan penderita polip nasi se-

besar 4.63% dari semua pengunjung

poliklinik THT RS.Dr.Sutomo Surabaya.

Rasio pria dan wanita 2-4 : 1.

Keluhan dan gejala utama yang me-

nonjol dari polip nasi adalah obstruksi

nasi, sehingga sering gejala- gejala

lain terabaikan (overlooked); salah

satu di antaranya adalah gangguan

telinga berupa gangguan fungsi ven-

tilasi dan drainase telinga tengah; pa-

dahal dampaknya berupa rasa tidak

nyaman dapat mengganggu quality of

life penderitanya. Gangguan ini akan

memerlukan penanganan khusus se-

perti parasentesis dan pemasangan

ventilation tube (Grommet / Shepard).

Keluhan akibat gangguan fungsi venti-

lasi dan drainase telinga tengah dapat

dideteksi dengan beberapa pemerik-

saan antara lain Audiometri Nada

Murni (PTA) dan Timpanometri.

Hasil pemeriksaan timpanome-

tri (Audiometri Impedans) menggam-

barkan fungsi ventilasi dan drainase

telinga tengah serta mobilitas mem-

bran timpani. Akibat sumbatan di tuba

Eustachius, tekanan udara dalam tel-

inga tengah akan menurun/berkurang

dibandingkan dengan tekanan udara

luar, sehingga didapatkan hasil timpa-

nogram tipe C. Jika ada cairan efusi

dalam rongga telinga tengah akan

menghasilkan timpanogram tipe B.

Gangguan fungsi ventilasi dan drai-

nase telinga tengah pada penderita

HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Stadium Polip Nasi dengan Fungsi Ventilasi dan Drainase Telinga Tengah

berdasarkan Gambaran Timpanogram

Iin Fatimah Hanis, Sutji Pratiwi Raharjo,

R. Boy Arfandy, Nani.I.Djufri

Bagian / SMF Ilmu Kesehatan THT-KL, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin /

RS. Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar.

ABSTRAK

Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara stadium polip nasi terhadap fungsi telinga tengah berdasarkan peme-

riksaan timpanometri menggunakan Audiometri Impedans tipe AA222.

Subyek dan kerja : Penelitian cross sectional dengan 43 sampel pada 26 pasien polip nasi dari berbagai stadia

yang berobat di RS.Dr.Wahidin Sudirohusodo, Makassar. Dilakukan prosedur pemeriksaan rinoskopi anterior dan atau

rinoskopi posterior serta nasoendoskopi untuk menetapkan stadium polip nasi, dilanjutkan pemeriksaan audiometri

impedans untuk melihat berbagai tipe timpanogram.

Hasil : Terdapat hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan gambaran timpanogram (p>0.05), ada

hubungan tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan fungsi ventilasi dan drainase telinga tengah dan secara

berurutan pada uji asosiasi linier (p>0,05)

Simpulan : Walaupun terdapat hubungan yang tidak bermakna antara stadium polip nasi dengan fungsi telinga tengah,

komplikasi ini tidak boleh diabaikan.

Kata kunci : Polip nasi, Fungsi Ventilasi dan Drainase telinga tengah, Timpanometri.

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 419CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 419 7/23/2010 10:33:04 PM7/23/2010 10:33:04 PM

Page 15: cdk_179_tht

421| AGUSTUS 2010

polip nasi serta gambaran timpano-

gramnya telah dilaporkan oleh P.J.

Hadfi eld, dkk (1999 ), dari 211 pen-

derita kistik fi brosis didapatkan 37%

polip nasi; 193 penderita di antaranya

menjalani pemeriksaan timpanometri,

dan ditemukan otitis media efusi pada

7 penderita ( 3,6 % ). 7

Tujuan Penelitian:

Umum : untuk mengetahui dampak

stadium polip nasi terhadap gang-

guan fungsi ventilasi dan drainase tel-

inga tengah berdasarkan gambaran

timpanogram.

Khusus : untuk mengevaluasi gambar-

an tipe timpanogram pada berbagai

stadium polip nasi serta untuk menge-

tahui besaran dampak stadium po-

lip nasi terhadap fungsi ventilasi dan

drainase telinga tengah berdasar-

kan gambaran timpanogram.

Bahan dan Cara Kerja

Rancangan penelitian ini adalah cross

sectional study; populasi adalah se-

mua penderita polip nasi yang bero-

bat ke RS Dr. Wahidin Sudirohusodo.

Kriteria penerimaan : Penderita polip

nasi (termasuk polip nasi residif), pen-

derita polip nasi dengan atau tanpa

rinitis alergi (alergi ringan-sedang se-

suai kriteria ARIA-WHO 2001), berse-

dia ikut dalam penelitian, membran

timpani utuh dan berusia minimal 15

tahun.

Kriteria penolakan : penderita infek-

si saluran nafas atas dalam 2 minggu

sebelumnya, penderita yang secara

klinis menderita alergi berat menurut

kriteria ARIA-WHO 2001, penderita

hipertrofi adenoid/ adenoid persisten,

penderita tumor sinonasal, karsinoma

nasofaring, deviasi septi yang berat.

Pada semua sampel penelitian dilaku-

kan anamnesis, pemeriksaan otoskopi

serta pemeriksaan fi sis THT lainnya.

Pemeriksaan otoskopi dilakukan untuk

mencari adanya serumen yang dapat

mengganggu hasil pemeriksaan, un-

tuk menentukan ukuran dan bentuk

ujung probe ( probe tip ) yang akan

digunakan serta untuk menilai ada

tidaknya perforasi atau ruptur mem-

bran timpani.

Persiapan. Sebelum timpanometri

dilakukan anamnesis dan pemerik-

saan otoskopi serta pemeriksaan fi sis

THT lainnya. Pemeriksaan rinoskopi

anterior / rinoskopi posterior dan na-

sofaringoendoskopi terlebih dahulu

dilakukan untuk menetapkan stadium

polip nasi saat pengambilan sampel

penelitian.

Teknik Pemeriksaan

Probe dipasangi tip yang sesuai, ke-

mudian dimasukkan ke liang telinga

sedemikian rupa sampai liang telinga

tertutup rapat. Selanjutnya pada alat

timpanometer ditekan tanda yang

bertulis timpanometri, jika pada

probe terlihat lampu hijau menanda-

kan tidak ada kebocoran; gambaran

timpanogram akan terlihat di layar

(monitor ).

HASIL DAN DISKUSI

Didapat 43 sampel dari 26 penderita

polip nasi yang datang ke poliklinik

RS.Wahidin Sudirohusodo dalam ku-

run waktu 4 bulan ( Juli sampai Okto-

ber 2006 ); terbanyak di kelompok

umur 20-29 tahun (32,7%), dengan

rerata umur adalah 34,39 tahun (tabel

1).

Manifestasi polip nasi biasanya sete-

lah usia 20 tahun. Pada penelitian ini

sampel dibatasi pada usia 15 tahun

ke atas untuk menyingkirkan kemung-

kinan hipertrofi adenoid; selain itu

fungsi ventilasi tuba Eustachius pada

anak–anak kurang efektif dibanding-

kan orang dewasa. Tuba Eustachius

anak-anak lebih pendek dan lebih

lebar serta posisinya lebih horizontal

dibanding orang dewasa sehingga

infeksi saluran nafas berulang dan

pembesaran adenoid akan memu-

dahkan infeksi telinga tengah pada

anak-anak. Adanya hipertrofi adenoid

persisten disingkirkan dengan pemer-

iksaan nasofaringoendoskopi.

Tabel 1. Distribusi menurut kelompok umur

Kelompok Umur (tahun) Frekuensi %

10-19 9 20.9

20-29 14 32.7

30-39 6 14.0

40-49 3 6.9

50-59 4 9.2

60-69 7 16.3

Total 43 100

Grafi k 1. Distribusi menurut kelompok umur

Distribusi menurut stadium polip

nasi

Tabel 2. Distribusi menurut stadium polip nasi

Stadium Polip Nasi Frekuensi %

Stadium 1 2 4.6

Stadium 2 7 16.3

Stadium 3 34 79.1

Total 43 100

Grafi k 2. Distribusi menurut stadium polip nasi

Dari 43 sampel, stadium 3 paling ba-

nyak ditemukan (79.1%) (Tabel 2). Hal

ini mungkin karena meningkatnya sta-

dium polip nasi menyebabkan keluhan

obstruksi makin berat; dan mendorong

penderita berobat. Stadium 1 jarang

ditemukan karena sering diabaikan,

dianggap hanya penyakit rinitis akut

yang akan sembuh sendiri. Di kepusta-

kaan, peneliti tidak mendapatkan data

prevalensi masing-masing stadium

polip nasi.

0

5

10

15

Kelompok Umur

2

7

34

0

5

10

15

20

25

30

35

40

Frekuensi

Stadium 1

Stadium 2

Stadium 3

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 421CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 421 7/23/2010 10:33:04 PM7/23/2010 10:33:04 PM

Page 16: cdk_179_tht

422 | AGUSTUS 2010

Distrubusi menurut stadium polip

nasi dan tipe timpanogram

Tabel 3 menunjukkan pola tipe tim-

panogram pada penderita polip nasi.

Tipe timpanogram A didapatkan pada

29 sampel (67.7%), tipe timpanogram

As pada 3 sampel (6.9%), tipe timpa-

nogram Ad pada 2 sampel (4.6%), tipe

timpanogram B pada 3 sampel (6.9%)

dan tipe timpanogram C pada 6 sam-

pel (14.0%) .

Pola ini menunjukkan bahwa dari 43

sampel yang diteliti, 34 sampel (79.1%)

dengan fungsi ventilasi dan drainase

telinga tengah normal (tipe timpano-

gram A, As dan Ad), 9 sampel (20.9%)

dengan gangguan fungsi ventilasi te-

linga tengah ( tipe timpanogram B

dan C ), 3 sampel (6.9%) dengan gang-

guan fungsi drainase telinga tengah (

tipe timpanogram B ).

Didapatkan hubungan yang tidak ber-

makna antara stadium polip nasi dan

fungsi ventilasi telinga tengah (p>0,05).

Pada uji asosiasi linier (Linear-by-linear

Association) ditemukan hubungan

tidak bermakna antara stadium polip

nasi dan tipe timpanogram (p>0,05)

Polip nasi dengan fungsi ventilasi teli-

nga tengah normal didapatkan pada

34 sampel (79.1%) (Tabel 4), Pada

seluruh sampel polip nasi stadium 1

(2 - 4.6%) didapatkan fungsi ventilasi

telinga tengah normal. Pada 7 pen-

derita polip nasi stadium 2 hanya 1

sampel yang terganggu fungsi venti-

lasi telinga tengahnya. Penderita po-

lip nasi stadium 3, 34 orang (79.1%),

8 di antaranya mengalami gangguan

fungsi ventilasi telinga tengah, den-

gan perbedaan yang cukup tinggi ( >

10% ). Artinya ada trend linear, makin

tinggi stadium polip nasi, makin besar

kemungkinan mengalami gangguan

fungsi ventilasi telinga tengah; tetapi

pada asosiasi linier (Linear-by-linear

Association) ditemukan hubungan

tidak bermakna antara stadium polip

nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah

(p>0,05) ; hal ini mungkin karena tidak

memperhitungkan sumber dan lokasi

polip, bisa berasal dari sinus ethmoid

20 0 0 0

6

0 0 1 0

21

3 2 2

6

0

5

10

15

20

25ju

mla

h

1 2 3

Stadium Polip Nasi

Tipe A

Tipe As

Tipe Ad

Tipe B

Tipe C

20

6

1

26

8

0

5

10

15

20

25

30

Jum

lah

1 2 3

Stadium Polip Nasi

Fungsi Ventilasi Telinga tengah NormalFungsi Ventilasi Telinga tengah Abnormal

Grafi k 3. Distribusi menurut stadium polip nasi dan tipe timpanogram

Tabel 3. Distribusi menurut stadium polip nasi dan tipe timpanogram

Stadium Polip Nasi

Tipe Timpanogram

Tipe ATipe As

Tipe Ad Tipe B Tipe C

n % n % n % n % n %

Tabel 4. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah

Stadium Polip

Nasi

Fungsi Ventilasi TelingaTengah Total

Normal

(-100 daPa s/d +100 daPa)

Abnormal

(< -100 daPa )

n % n % n %

1 2 4.6 0 0 2 4.6

2 6 14.0 1 2.3 7 16.3

3 26 60.5 8 18.6 34 79.1

Grafi k 4. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi ventilasi telinga tengah

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 422CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 422 7/26/2010 5:31:17 PM7/26/2010 5:31:17 PM

Page 17: cdk_179_tht

423| AGUSTUS 2010

atau dari sinus maksillaris yang meluas

ke koana. Gangguan fungsi ventilasi

telinga tengah pada sampel mungkin

disebabkan polip nasi yang meluas ke

arah nasofaring dan menyumbat lang-

sung ostium tuba Eustachius. Alasan

lain, karena selama penelitian hanya

dilakukan satu kali pengamatan.

Distribusi menurut stadium polip

nasi dan fungsi ventilasi telinga

tengah.

Tabel 5 menunjukkan 40 ( 93.1%) pen-

derita polip nasi dengan fungsi draina-

se telinga tengah normal dan 3 (6.9%)

penderita dengan fungsi drainase te-

linga tengah abnormal, 2 pada sam-

pel polip nasi stadium 3 dibanding

1 pada sampel polip nasi stadium 2.

Perubahan ini tidak sejalan dengan

gangguan fungsi ventilasi telinga

tengahnya. Ini menunjukkan bahwa

yang terganggu lebih dahulu adalah

fungsi ventilasi baru kemudian fungsi

drainase telinga tengah.

Adanya trend linear seharusnya dii-

kuti hubungan linier, tetapi pada aso-

siasi linier (Linear-by-linear Associa-

tion) terdapat hubungan yang tidak

bermakna antara stadium polip nasi

dan fungsi drainase telinga tengah

(p>0,05).

2. Mackay IS, Naclerio RM. Guidelines for the

management of Nasal Polyposis, In : Mygind

N, Lidholdt T(eds.) Nasal Polyposis, An Infl am-

matory disease and its treatment. Copenha-

gen : Munksgaard,1997 : 177-80

3. Drakee-Lee A B, Nasal Polyps, In : Kerr AG (ed).

Rhinology, Scott-Brown’s Otolaryngology,6th

ed,Vol.4,Oxford : Reed Educational and Pro-

fessional Publ. Ltd,1997,4/10/1-6

4. Van der Baan B. Epidemiology and Natural His-

tory, In : Mygind N, Lidholdt T eds, Nasal Poly-

posis, An Infl ammatory disease and its treat-

ment, Copenhagen, Munksgraad, 1997 : 13-6

5. Archer S M. Nasal Polyps, Non Surgical Treat-

ment. . accessed 2002: 1-11

6. Vento S. Nasal Polypoid Rhinosinusitis- Clinical

Course and Etiological Investigations, Depart-

ment of Otorhinolaryngology- Head and Neck

Surgery, University of Helsinki, Finland, Haart-

maninkatu 4E, Helsinki, On May 4th, 2001,13-33.

7. Hadfi eld P J. Prevalence of nasal polyps in

adults with cystic fi brosis, In Clinical Otolaryn-

gology, Blackwell Science Ltd 2000,25 : 19-22

8. Meek RB, Middle Ear, Eustachian Tube, Infl a-

mation/Infection,ed. Goldsmith AJ, accessed

March 22,2006

9. Kuppersmith RB. Eustachian Tube Function

and Dysfunction, Baylor College of Medicine.

www// Wikipedia.com,accessed July 11,1996.

10. Bess FH. Tympanometry in Just Second. ac-

cessed July 13, 2006

11. Snow JB, Ballenger JJ. Tympanometry, Diag-

nostic Audiology and hearing aid. In: Otorhi-

nolaryngology Head and Neck Surgery, 15th

ed. Ballenger JJ (ed.) Williams & Wilkins, Lon-

don 1996 :957

12. R.Sedjawidada. Bahan-bahan yang perlu dibi-

carakan dalam lokakarya Audiologi. Himpu-

nan Naskah Lokakarya Audiologi, Ujung Pan-

dang, Bagian THT FIIK UNHAS, 1978 :3

13. Mappangara B. Impedance Audiometry. Him-

punan Naskah Lokakarya Audiologi, Ujung

Pandang, Bagian THT FIIK UNHAS,1978 :59-85

14. Margaretha. Nilai Audiometri Impedans pada

Evaluasi Gangguan Fungsi Pendengaran,

Karya Akhir dalam Penyelesaian Pendidikan

Spesialis I, THT,1986

15. Operation Manual. The AA222 Tympanometer

and Audiometer, Audio Traveller AA222, Valid

from serial no. 128998 and software version

1.09116, 65416-vers 05/2005

16. Nur Musa M. Lokasi Pangkal Pertumbuhan Po-

lip Hidung dan Sinus. Paranasalis pada orang

dewasa.Karya Akhir dalam penyelesaian Pen-

didikan Dokter Spesialis I THT-KL 1993

0 1 2

26

32

0

10

20

30

40

Ju

mla

h

1 2 3

Stadium Polip Nasi

Fungsi Drainase

Normal

Fungsi Drainase

Abnormal

Tabel 5. Distribusi menurut stadium polip nasi dan fungsi drainase telinga tengah

Stadium Polip Nasi

Fungsi Drainase Telinga Tengah

TotalNormal(0.2 -2.5 ml)

Abnormal(<0.2ml atau >2.5 ml)

n % n % n %

Grafi k 5. Distribusi menurut

stadium polip nasi dan fungsi

drainase telinga tengah

SIMPULAN

a. Didapatkan pola distribusi tipe

timpanogram pada penderita po-

lip nasi .

b. Didapatkan hubungan tidak ber-

makna antara stadium polip nasi

dengan tipe timpanogram, fungsi

ventilasi dan drainase telinga

tengah.

SARAN

1. Walaupun hubungan antara sta-

dium polip nasi dengan fungsi

ventilasi, fungsi drainase dan tipe

timpanogram telinga tengah tidak

bermakna, dampak polip nasi ter-

hadap telinga tengah tidak dapat

diabaikan.

2. Agar hasil penelitian ini dapat

menjadi data awal hubungan

antara polip nasi dengan fungsi

ventilasi, fungsi drainase dan tipe

timpanogram, diperlukan peneli-

tian lanjutan menggunakan sam-

pel yang lebih besar, penelitian

eksperimental pada binatang atau

penelitian dengan melihat sumber

polip pada manusia.

KEPUSTAKAAN

1. Arfandy RB. Pola penanganan polip hidung.

Simposium Penanganan Alergi dan Polip Hi-

dung, Makassar : Perhati-KL Cabang Sulselra

2001 : 1-7

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 423CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 423 7/23/2010 10:33:06 PM7/23/2010 10:33:06 PM

Page 18: cdk_179_tht

425| AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

LATAR BELAKANG

Otitis media supuratif kronik (OMSK)

adalah radang kronik telinga tengah

dengan perforasi membran timpani

dan riwayat keluarnya sekret dari tel-

inga (otorea) lebih dari 2 bulan, baik

terus menerus atau hilang timbul.1

OMSK juga merupakan peradangan

akibat infeksi mukoperiosteum kavitas

timpani yang ditandai oleh perforasi

membran timpani dengan sekret yang

keluar terus menerus atau hilang tim-

bul selama lebih dari 3 bulan dan dap-

at menyebabkan perubahan patologik

yang permanen.2 Ada juga yang

memberi batas waktu 6 minggu untuk

terjadinya awal proses kronisitas pada

OMSK.3 Sekret yang keluar mungkin

serosa, mukus atau purulen.1,2,3,4

OMSK secara klasik dapat dibagi men-

jadi 2 golongan, yaitu otitis media su-

puratif kronik tipe benigna (OMSKB)

atau tipe tubotimpanum atau tipe safe

dan tipe maligna, atau tipe atikoan-

tral atau tipe unsafe. OMSKB dibagi

menjadi tipe aktif, tipe laten dan tipe

inaktif. Pada OMSKB tipe laten, saat

pemeriksaan kavum timpani kering

setelah mendapat pengobatan, tetapi

sebelumnya ada riwayat otore yang

hilang timbul. OMSKB inaktif bila ada

riwayat otore di masa lalu dan saat pe-

meriksaan kavum timpani kering tan-

pa kemungkinan kekambuhan dalam

waktu dekat. Pada otitis media supu-

ratif tipe benigna proses infeksi hanya

terbatas pada mukosa telinga tengah

saja dan yang terkena adalah mesot-

impanun dan hipotimpanum serta

tuba auditoria. Tipe ini jarang menim-

bulkan komplikasi yang berbahaya.5

Prevalensi OMSKB di negara berkem-

bang berkisar antara 5 – 10% , se-

dangkan di negara maju 0,5 – 2%.6

Diperkirakan sekitar 10 juta penduduk

Indonesia menderita OMSKB.7 Survei

Nasional Kesehatan Indera Pengliha-

tan dan Pendengaran tahun 1994 –

1996 menunjukkan prevalensi OMSKB

antara 2,10 – 5,2%.8 Frekuensi OMSKB

di RS Dr Cipto Mangunkusumo Jakar-

ta pada tahun 1989 sebesar 15,21%.9

Di RS Hasan Sadikin Bandung dilapor-

kan frekuensi OMSKB selama periode

1988 – 1990 sebesar 15,7% 10 dan pada

tahun 1991 dilaporkan prevelensi OM-

SKB sebesar 10,96%.11

Frekuensi penderita OMSKB di RS Dr

Sardjito Yogyakarta pada tahun 1997

sebesar 8,2%.12 Data catatan medis

kunjungan kasus baru penderita OM-

SKB di RS Sardjito tahun 2002 adalah

460 orang, sedangkan jumlah selu-

ruh kunjungan di poliklinik THT pada

tahun tersebut adalah 13.524 orang,

maka frekuensi OMSKB adalah 3,4%.13

Faktor predisposisi kronisitas otitis

media diduga karena: 1) disfungsi

tuba auditoria kronik, infeksi fokal sep-

erti sinusitis kronik, adenoiditis kronik

dan tonsilitis kronik yang menyebab-

kan infeksi kronik atau berulang salu-

ran napas atas dan selanjutnya men-

gakibatkan udem serta obstruksi tuba

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media Supuratif Kronis

Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji Djoko Rianto, Anton Christanto

Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RS Dr. Sardjito, Yogya-

karta, Indonesia

auditoria. Beberapa kelainan sep-

erti hipertrofi adenoid, celah palatum

mengganggu fungsi tuba auditoria.

Gangguan kronik fungsi tuba auditoria

menyebabkan proses infeksi di telinga

tengah menjadi kronik, 2) perforasi

membran timpani yang menetap me-

nyebabkan mukosa telinga tengah

selalu berhubungan dengan udara

luar. Bakteri yang berasal dari kanalis

auditorius eksterna atau dari luar lebih

leluasa masuk ke dalam telinga ten-

gah menyebabkan infeksi kronik mu-

kosa telinga tengah.5 3) Pseudomonas

aeruginusa dan Staphylococcus au-

reus merupakan bakteri yang tersering

diisolasi pada OMSKB, sebagian be-

sar telah resisten terhadap antibiotika

yang lazim digunakan. Ketidaktepatan

atau terapi yang tidak adekuat me-

nyebabkan kronisitas infeksi.14 4) Fak-

tor konstitusi, alergi merupakan salah

satu faktor konstitusi yang dapat me-

nyebabkan kronisitas.

Pada keadaan alergi ditemukan pe-

rubahan berupa bertambahnya sel

goblet dan berkurangnya sel kol-

umner bersilia pada mukosa telinga

tengah dan tuba auditoria sehingga

produksi cairan mukoid bertambah

dan efi siensi silia berkurang.15 Penya-

kit alergi adalah suatu penyimpangan

reaksi tubuh terhadap paparan bahan

asing yang menimbulkan gejala pada

orang yang berbakat atopi sedangkan

pada kebanyakan orang tidak menim-

bulkan reaksi apapun.16

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 425 7/23/2010 10:33:06 PM7/23/2010 10:33:06 PM

Page 19: cdk_179_tht

426 | AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

Rinitis alergi adalah suatu gangguan

hidung yang disebabkan oleh reaksi

peradangan mukosa hidung diper-

antarai oleh imunoglobulin E (Ig

E), setelah terjadi paparan alergen

(reaksi hipersensitivitas tipe I Gell dan

Comb). Gejala klinik rinitis alergi dise-

babkan oleh mediator kimia yang

dilepaskan oleh sel mast, basofi l dan

eosinofi l akibat reaksi alergen dengan

Ig E spesifi k yang melekat di permu-

kaannya. Mediator yang paling banyak

diketahui peranannya adalah histamin.

Histamin akan menyebabkan hidung

gatal, bersin-bersin, rinore cair dan hi-

dung tersumbat.17

Rinitis alergi bersifat kronik dan per-

sisten sehingga dapat menyebab-

kan perubahan berupa hipertrofi dan

hiperplasi epitel mukosa dan dapat

menimbulkan komplikasi otitis me-

dia, sinusitis dan polip nasi. Beberapa

pendapat menyatakan bahwa pada

rinitis alergi, edema mukosa selain ter-

jadi di kavum nasi juga meluas ke na-

sofarings dan tuba auditoria sehingga

dapat mengganggu pembukaan sinus

dan tuba auditoria.17 Prevalensi rinitis

alergi di Indonesia belum diketahui

pasti, namun data dari beberapa ru-

mah sakit menunjukkan bahwa frekuen-

si rinitis alergi berkisar 10 – 26%.

Penelitian tentang penatalaksanaan

OMSKB telah banyak dilakukan, na-

mun lebih banyak ditujukan pada

jenis pengobatan seperti perlunya

antibiotik, jenis antibiotik, apakah cu-

kup lokal atau sistemik, apakah anti-

biotika yang diberikan sudah sesuai

dengan jenis bakterinya serta apakah

cukup tindakan konservatif atau perlu

tindakan operatif saja. Begitu juga pe-

nelitian mengenai faktor-faktor yang

mendasari patogenesis OMSKB se-

perti fungsi ventilasi dan drainase tuba

auditoria dalam hubungannya dengan

proses penyembuhan OMSKB.12

Faktor alergi khususnya rinitis alergi

sebagai faktor risiko OMSKB belum

pernah diteliti. Restuti (2006)16 menya-

takan bahwa prevalensi dan patogen-

esis OMSK dipengaruhi oleh banyak

faktor antara lain kekerapan infeksi sa-

luran napas atas, sosioekonomi, gizi,

alergi dan faktor imunitas. Sebagai

respons alergi terjadi sekresi berbagai

mediator dan sitokin yang mempeng-

aruhi terjadinya infl amasi dan kondisi

seperti ini dapat berulang hingga kro-

nis. Interleukin-1 (IL-1) merupakan si-

tokin yang kadarnya tinggi pada pasien

OMSK; demikian juga tumor necrosis

factor-α (TNF-α) yang dihubungkan

dengan kronisitas pada otitis media

juga memiliki kadar yang tinggi. Selain

faktor fungsi tuba, patogenesis OMSK

juga dipengaruhi oleh faktor mukosa

telinga tengah sebagai target organ

alergi. Pada biopsi mukosa telinga

tengah didapatkan eosinophilic cation-

ic protein (ECP), IL-5 dan basic major

protein (BMP) yang tinggi pada pasien

otitis media dengan rinitis alergi di-

bandingkan dengan pasien otitis me-

dia tanpa rinitis alergi.

Sebagian besar otitis media supuratif

kronik tampaknya berasal dari otitis

media supuratif akut yang berulang,

namun beberapa peneliti mengatakan

bahwa otitis media kronis mungkin ber-

asal dari otitis media efusi yang terin-

feksi sekunder dengan hipertrofi dan

hipersekresi mukosa telinga tengah.6

Penelitian epidemiologi di beberapa

negara memperlihatkan angka > 50%

pasien otitis media dengan rinitis aler-

gi, 21% pasien rinitis alergi menderita

otitis media. Tuba auditoria meme-

gang peranan penting sebagai fungsi

regulasi tekanan udara di dalam teli-

nga tengah. Mekanisme ini dihubung-

kan dengan patofi siologi penyebab

obstruksi tuba, terutama akibat infeksi

atau infl amasi dari proses alergi. Rini-

tis dihubungkan sebagai etiologi otitis

media dengan 2 cara yaitu: disfungsi

tuba disebabkan oleh reaksi alergi dari

mukosa nasal atau adanya fungsi mu-

kosiliar yang terganggu.18

METODE PENELITIAN

Rancangan dan Populasi Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

kasus-kontrol; bertujuan menganalisis

/menentukan rinitis alergi sebagai fak-

tor risiko otitis media supuratif kronik

benigna (OMSKB), membandingkan

antara pasien OMSKB dengan faktor

risiko rinitis (kasus) dan pasien non

OMSKB dengan faktor risiko rinitis al-

ergi (kontrol).

Populasi terjangkau pada penelitian

ini adalah semua penderita OMSKB

yang berobat ke klinik rawat jalan THT

RS Dr. Sardjito Yogyakarta. Pengam-

bilan sampel dengan cara berurutan

(consecutive sampling) sampai terca-

pai jumlah sampel minimal.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kriteria Inklusi: 1) Pasien OMSKB rawat

jalan dengan keluhan sekret telinga

berulang atau pernah, dan pada pe-

meriksaan otoskopi didapat cairan/

tanpa cairan pada liang telinga, mem-

bran timpani perforasi sentral tanpa

kolesteatom dan granulasi, kontrol

: pasien non OMSKB, yang datang

ke poli rawat jalan THT, 2) Penderita

pria atau wanita umur ≥ 5 tahun dan

kooperatif, 3) Bebas dari obat anti-

histamin, kortikosteroid sistemik dan

topikal setidaknya selama 7-10 hari.

Kriteria Eksklusi : 1) Menderita OMA

pada kelompok kontrol.

Subyek Penelitian

Subyek yang telah memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi dan menanda-

tangani informed consent tanpa ran-

domisasi dibagi menjadi kelompok

kasus dan kelompok kontrol setelah

anamesis dan pemeriksaan otoskopi.

Setiap subyek terpilih selanjutnya di-

anamnesis dan menjalani pemerik-

saan fi sik hidung serta pemeriksaan

rinoskopi anterior, selanjutnya dilaku-

kan skin prick test bagi sampel yang

belum pernah di test.

Jumlah Sampel

Perkiraan besar sampel dihitung meng-

gunakan rumus besar sampel untuk

penelitian analitik kategorik tidak ber-

pasangan dengan α ditentukan sebe-

sar 5% untuk tingkat kesalahan tipe I,

β ditetapkan sebesar 20% untuk kes-

alahan tipe II; power (1-β) adalah 80%

berarti penelitian ini mempunyai pe-

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 426 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM

Page 20: cdk_179_tht

427| AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

luang sebesar 80% untuk mengetahui

adanya pengaruh faktor risiko terha-

dap kasus apabila perbedaan itu ada

di populasi. Zα untuk menguji hipote-

sis satu arah sebesar 1,64 dan Zβ sebe-

sar 0,84. Dari kepustakaan didapatkan

proporsi pajanan pada kelompok

kontrol sebesar 20 %. Dari hasil per-

hitungan besar sampel minimal, maka

jumlah total sampel 98 orang, untuk

kelompok kasus adalah 49 orang dan

kelompok kontrol 49 orang.

Analisis Statistik

Data disajikan dalam bentuk tabulasi

dan deskripsi statistik.

Analisis statistik yang digunakan ada-

lah:

1) Uji X2 untuk menghitung ada

tidaknya perbedaan karakteristik

kedua kelompok.

2) Analisis regresi logistik, untuk me-

nilai variabel-variabel yang ber-

pengaruh pada otitis media supu-

ratif kronik benigna.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian di poliklinik THT RS Dr.

Sardjito Yogyakarta dari bulan Juni

2007 sampai dengan bulan Maret

2008 menemukan 53 penderita OM-

SKB dan 50 pasien non OMSKB, 100

pasien di antaranya memenuhi kriteria

inklusi penelitian ini, sisanya sebanyak

3 pasien dari kelompok kasus tidak

bersedia menjalani skin prick test.

1. Karakteristik demografi s subyek

penelitian

Uji X2 mendapatkan nilai p = 0,102 (>

0,05), tidak didapatkan perbedaan

yang bermakna antar usia kelompok

kasus dengan kelompok kontrol pada

penelitian ini.

Tidak terdapat perbedaan yang ber-

makna antara jenis kelamin subyek

pada kelompok kasus dan kelompok

kontrol dengan nilai p = 0,840 (p >

0,05); OR: 0,922; IK 95%: 0,41- 2,03.

Kedua variabel umur dan jenis kelamin

tidak berpengaruh terhadap morbidi-

tas OMSKB.

Tabel 1. Distribusi subyek penelitian menurut umur dan jenis kelamin

KasusN(%)

KontrolN(%)

Total (%) Nilai p(Uji X2)

Umur (tahun)

5 – 15 5 (10) 5 (10) 10 (10)

16 – 25 15 (30) 26 (52) 41 (41) 0,102

26 – 55 26 (52) 18 (36) 44 (44)

≥ 56 4 (8) 1 (2) 5 (5)

Jenis Kelamin

Laki – laki 21 (42) 22 (44) 43 (43) 0,840

Perempuan 29 (58) 28 (56 57 (57)

Tabel 2a. Distribusi menurut keluhan dan kelainan telinga

Keluhan dan Kelainan telingaKel.Kasus

N(%)Kel.Kontrol

N(%)Nilai p(Uji X2)

Cairan dari Telinga 26 (52) - 0,001

Batuk, pilek dan demam 41 (82) - 0,001

Manipulasi telinga 9 (18) -

Kambuh < 3 x/ th 7 (14) -

Kambuh ≥ 3 x/th 43 (86) - 0,006

Pendengaran menurun 3 (6) - 0,079

Perforasi MT 50 (100 - 0,001

Tabel 2b. Distribusi menurut keluhan dan kelainan hidung

Keluhan dan Kelainan hidung

Meler, bersin dan tersumbat 41 (82) 9 (18) 0,001

Riwayat atopi (+) 26 (52) 1 (2) 0,001

Hipertrofi , livide, discharge serous,Shiner dan crease

40 (80) 4 (8) 0,001

Tabel 3. Hubungan keluhan dan kelainan telinga dan hidung dengan rinitis alergi

RA (+) RA (-)Total N(%)

Nilai p (Uji X2)

Keluhan dan kelainan Telinga

Telinga meler 20 6 26(26)

Tidak meler 28 46 74(74) 0,001

Batuk, pilek dan demam 36 5 41(41)

Manipulasi telinga 12 47 59(59) 0,001

Kambuh < 3 x/th 4 3 7(7)

Kambuh ≥ 3 x/th 44 49 93(93) 0,616

Perforasi MT 40 10 50(50) 0,001

Tidak perforasi MT 8 42 50(50)

Keluhan dan kelainan Hidung

Meler, bersin dan tersumbat 48 2 50(50)

Tanpa keluhan - 50 50(50) 0,001

Riwayat atopi 27 - 27(27)

Tanpa riwayat atopi 21 52 73(73) 0,001

Hipertrofi , livide, dischargesereus, shiner dan creaseTanpa kelainan hidung

444

- 52

44(44)56(56)

0,001

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 427 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM

Page 21: cdk_179_tht

428 | AGUSTUS 2010

HASIL PENELITIAN

Tabel 5. Hasil regresi logistik pengaruh variabel terhadap OMSKB

Variabel ß p Adjusted Odd-

Ratio

IK 95%

Rinitis Alergi 0,080 0,001 21,00 7,53 – 58,56

Keluhan dan kelainan telingaBatuk, pilek dan demam Manipulasi telinga

3,108 0,008 22,38 2,24 – 22,81

Perforasi MT Tidak perforasi MT

1,752 0,032 5,76 1,16 – 28,56

Telinga meler Tidak meler

-1,69 0,135 0,185 0,02 – 1,69

Keluhan dan kelainan hidungMeler, bersin dan Tersumbat

13,89 0,894 1083859,7 0,001 – 4,525

Riwayat atopi (+) 0,001 1,000 1,000 0,001 – 1,024

Hipertrofi , livide, Discharge sereus,Shiner dan crease

12,51 0,944 270964,93 0,001 – 2,586

Tabel 4. Hasil pengukuran kedua kelompok penelitian terhadap rinitis alergi

Kasus N(%) Kontrol N(%) Nilai p

Rinitis Alergi (+) 40 (80) 8 (16) 0,001

Rinitis Alergi (-) 10 (20) 42 (84)

Total 50 (100) 50 (100)

2. Karakteristik keluhan dan ke-

lainan telinga dan hidung

Terdapat perbedaan bermakna antara

kelompok kasus dan kontrol pada ke-

luhan cairan keluar dari telinga den-

gan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR: 3,08;

IK 95%: 2,2 – 4,2. Sebanyak 41 kasus

(82%) mengeluh batuk, pilek dan de-

mam sebelum keluhan telinga timbul

dan 9 pasien (18%) karena manipulasi

telinga - p = 0,001 (< 0,05); OR: 6,5; IK

95%: 3,5 – 11,9.

Sebanyak 7 pasien (14%) kambuh

kurang dari 3 kali pertahun, 43 pasien

(86%) kambuh ≥3 kali per tahun. p =

0,006 (< 0,05); OR: 2,1; IK 95%: 1,7 –

2,7.

Keluhan penurunan pendengaran

perbedaan antara kelompok kasus

dan kelompok kontrol tidak berbeda

bermakna - p = 0,079 ( > 0,05); OR:

2,06; IK 95%: 1,68 – 2,53. Penurunan

pendengaran dapat disebabkan kar-

ena faktor usia.

Kelainan telinga berupa perforasi

membran timpani terjadi pada semua

kasus - 50 pasien (100%), sedangkan di

kelompok kontrol tidak terdapat ke-

lainan telinga. p = 0,001 (p < 0,05).

Terdapat perbedaan bermakna antara

kelompok kasus dengan kelompok

kontrol pada ketiga variabel keluhan

dan kelainan hidung (p = 0,001).

3. Hubungan antara keluhan dan

kelainan telinga dan hidung

dengan rinitis alergi

Terdapat perbedaan bermakna ke-

luhan telinga meler, batuk, pilek dan

demam serta kelainan telinga berupa

perforasi membran timpani pada rini-

tis alergi (p = 0,001 < 0,05). Namun

tidak terdapat perbedaan rinitis alergi

yang bermakna antara kekambuhan <

3 kali/tahun maupun kekambuhan ≥

3 kali/tahun (p = 0,616 > 0,05). Seta-

subrata (1999)12 tidak mendapatkan

perbedaan bermakna frekuensi keka-

mbuhan dalam hal gangguan fungsi

ventilasi (p = 0,26) dan drainase dari

tuba eustachius dengan (p = 0,12).

Keluhan dan kelainan hidung dengan

rinitis alergi berbeda bermakna (p =

0,001 < 0,05) pada ketiga variabel kar-

ena ketiga variabel tersebut merupak-

an tanda dan gejala rinitis alergi. Hasil

penelitian ini sama dengan hasil Wrat-

songko (2004)19 dengan nilai p = 0,001

untuk ketiga variabel tersebut.

4. Hubungan OMSKB terhadap

rinitis alergi

Terdapat perbedaan bermakna antara

kedua kelompok terhadap rinitis alergi

dengan nilai p = 0,001 (p < 0,05); OR:

21; IK 95%: 7,53 – 58,56. Risiko kejadi-

an kasus (OMSKB) adalah 21 kali lebih

sering pada orang yang menderita rini-

tis alergi dibandingkan dengan orang

yang tidak menderita rinitis alergi.

Hurst (2002)20 juga menemukan per-

bedaan bermakna antara pasien oti-

tis media efusi (OME) dengan pasien

atopi, (p = 0,001). Begitu juga Supri-

hati dan Putra (1993)17 menemukan

hubungan antara rinitis alergi dengan

OME (PR prevalence ratio = 2,18 )

yang menandakan bahwa rinitis alergi

merupakan faktor risiko OME.

5. Analisis regresi logistik

Variabel tergantung pada penelitian

ini adalah OMSKB, sedangkan varia-

bel bebas yang dianalisis adalah rinitis

alergi, keluhan dan kelainan telinga

dan keluhan dan kelainan hidung.

Didapatkan tiga variabel yang ber-

hubungan bermakna atau berpen-

garuh terhadap OMSKB yaitu rinitis

alergi (p = 0,001, OR: 21: IK 95%: 7,53 –

58,56). Peluang terjadinya OMSKB 22

kali lebih besar pada pasien dengan

keluhan telinga diawali batuk, pilek

dan demam dibandingkan pasien

dengan keluhan telinga tanpa diawali

batuk, pilek dan demam (p = 0,008,

OR: 22,38 ; IK 95%: 2,24 – 22,81).

Peluang terjadinya OMSKB 5 kali

lebih besar pada pasien dengan per-

forasi membran timpani dibandingkan

pasien tanpa perforasi membran tim-

pani (p = 0,032, OR: 5,76 ; IK 95%: 1,16

– 28,56).

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 428 7/23/2010 10:33:07 PM7/23/2010 10:33:07 PM

Page 22: cdk_179_tht

429| AGUSTUS 2010

SIMPULAN

Rinitis alergi merupakan faktor risiko

pada otitis media supuratif kronik be-

nigna (OMSKB).

SARAN

Melakukan test alergi (skin prick test),

menegakkan diagnosis rinitis alergi

serta memberikan terapi rinitis alergi

pada pasien otitis media yang sering

berulang untuk menekan angka keja-

dian OMSKB.

HASIL PENELITIAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Helmi. Panduan penatalaksanaan baku otitis media supuratif kronik di Indonesia. Jakarta 2002: 4-13.

2. Paparela MM. Defi nition and classifi cation of otitis media. Fifth Asia Oceania Congress of Otorhinologi-

cal Societies 1983: 9-14.

3. Proctor B. Chronic otitis media and mastoiditis. Otolaryngology vol 2. Paparela, MM, Schumrick, DA

(eds). Philadelphia:WB. Saunders Co. 1973. 138-140.

4. Djaafar ZA. Diagnosis dan pengobatan otitis media supuratif kronik. Pengobatan Non Operatif Otitis

Media Supuratif Kronik. Jakarta 1990: 47-56.

5. Mawson SR. Disease of Middle Ear. Disease of the ear. 3rd ed. Great Britain: Alden and Mombrax ltd..

1974

6. Sedjawidada R. Historia naturalis of otitis media: a scheme resuming the inter relationships between

various form of otitis media and their resective surgical iteration. ORL Indonesia 1985: 16(3).

7. Boesoirie T. Miringoplasti dini, suatu cara efektif merekonstruksi mekanisme pendengaran konduktif

pasca radang kronis telinga tengah. FK UNPAD Bandung. Disertasi 1995: 1-112.

8. Departemen Kesehatan RI. Pedoman upaya kesehatan telinga dan pencegahan gangguan pendenga-

ran untuk puskesmas.1998.

9. Helmi. Perjalanan penyakit dan gambaran klinis otitis media supuratif kronik. Pengobatan non operatif

otitis media supuratif. Jakarta 1990:17-30.

10. Boesoirie T. Prevalensi serta pola kepekaan kuman aerob dan anaerob pada otomastoiditonis kronis di

RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung. FK UNPAD Bandung. Tesis Magister 1992:52-54.

11. Djohar TH. Evaluasi fungsi tuba eusthacius dengan metoda modifi kasi infl asi-defl asi dan tetes telinga

memakai zat warna pada penderita-penderita otitis media perforata “kering” dewasa. Karya Tulis Akhir

1992 Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung.

12. Setasubrata YD. Peran fungsi ventilasi dan drainase tuba auditoria pada kesembuhan otitis media

supuratif kronik benigna aktif. Karya Tulis Akhir 1999: 1-39.

13. Hartanto D. Daya guna klinis amnion sebagai bahan bridge pada penutupan perforasi membran tim-

pani permanen secara konservatif. Karya Tulis Akhir 2004. FK UGM Yogyakarta.

14. Djoko Rianto BU. Effectiveness of ciprofl oxacin ear drops vs chloramphenicol ear drops for treating

active benign type chronic otitis media. Master of Science in Public Health Thesis.1998 .Yogyakarta

Gadjah Mada University.

15. Gladstone HB, Jackler RK, Varav K. Tympanic membrane wound healing: an overview. Otolaryngol Clin

North Am 1995.28: 913-932.

16. Restuti RD. Hubungan Alergi dengan Otitis Media Supuratif Kronik. Abstrak Pertemuan Ilmiah Tahunan

Otologi I. Jakarta 2006: 31.

17. Putra IGK, Suprihati W. Hubungan antara rinitis kronik alergika dan otitis media dengan efusi. Kumpu-

lan Naskah Ilmiah Kongres PERHATI. Bukit Tinggi 1993.

18. Lazo-Saenz JG, Galvan –Aguilera AA. Eustachian tube dysfunction in allergic rhinitis. Otollaryngol

Head Neck Surg 2005.132: 626-631.

19. Wratsongko GT. Uji Diagnostik Skor Rinitis Alergi. Karya Tulis Akhir 2003. FK UGM Yogyakarta.

20. Hurst DS, Venge P. The impact of atopy on neutrophil activity in middle ear effusion from children and

adults with chronic otitis media. Arch Otolaryngol Head Neck Surg 2002.128: 561-566.

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 429 7/23/2010 10:33:08 PM7/23/2010 10:33:08 PM

Page 23: cdk_179_tht

431| AGUSTUS 2010

PENDAHULUAN

Rinitis adalah radang membran muko-

sa hidung1 Gejala rinitis seperti pilek,

demam, dan nyeri kepala sering dia-

baikan; padahal rinitis bisa merupakan

permulaan penyakit yang akan meng-

ganggu kehidupan selanjutnya.2 Rini-

tis dan sinusitis adalah kondisi medis

umum yang sering dihubungkan satu

sama lain dan dapat mengakibatkan

morbiditas dan biaya medis yang ting-

gi.3 Ratusan juta serangan common

cold setiap tahun di Amerika dan di

negara lain berdampak besar pada

ekonomi dunia.4

Pasien rinitis alergi sering kualitas tidu-

rnya buruk, nafas terganggu saat tidur,

mengantuk siang hari dan kelelahan

yang mengarah ke penurunan kognitif

dan psikomotor, gangguan prestasi

kerja, belajar, penurunan produktivi-

tas, kesulitan konsentrasi, dan defi sit

memori.5

Penderita sinusitis kronis mempunyai

tingkat nyeri paling tinggi di antara

beragam penyakit termasuk penyakit

jantung, nyeri punggung bawah, dan

penyakit paru kronis. Mereka juga

memberi hasil paling buruk pada tes-

Hubungan antara Rinitis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters

Dewi Ayu Paramita*, Suyono*, Kristanto Yuli Yarsa**, Mardiatmo*, Wachid Putranto***

*Departemen Radiologi ,**Departemen Histologi ,***Departemen Interna

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret/ RSUD DR. Moewardi, Surakarta

ABSTRAK

Obyektif: untuk mengetahui hubungan antara rinitis kronis dan gambaran sinusitis pada foto Waters. Hasil penelitian ini

diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan maupun manfaat praktis di bidang radiologi.

Metode: Penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Subjek penelitian pasien dengan hasil foto

Waters di bagian Radiologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta antara bulan Januari sampai Juni 2008. Data dianalisis meng-

gunakan Mantel-Haenszel Chi Square OpenEpi version 2.

Hasil: Total subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi adalah 91 orang. Hasil uji statistik Mantel-

Haenszel Chi Square OpenEpi version 2 menunjukkan nilai p = 0,002 dengan odds ratio 3,78.

Simpulan: Subjek penderita rinitis berkemungkinan 3,78 kali lebih besar untuk mempunyai gambaran sinusitis pada foto

Waters.

Kata kunci: rinitis kronis, sinusitis, foto Waters

tes fungsi sosial.6

Pada pasien dengan keluhan klinis

yang mengarah pada sinusitis, diper-

lukan informasi keadaan sinus. Di

beberapa rumah sakit atau klinik di

Indonesia, evaluasi sinus paranasalis

cukup dengan foto kepala AP dan lat-

eral serta posisi Waters. Apabila foto

di atas belum dapat menentukan atau

belum diperoleh informasi lengkap,

baru dilakukan pemotretan dengan

posisi lain.7

Berdasarkan latar belakang masalah

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 431CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 431 7/23/2010 10:33:15 PM7/23/2010 10:33:15 PM

Page 24: cdk_179_tht

432 | AGUSTUS 2010

tersebut, peneliti berminat mengeta-

hui hubungan antara rinitis kronis dan

gambaran sinusitis pada foto Waters.

METODOLOGI

Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian obser-

vasional analitik dengan rancangan

cross sectional.

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di bagian Radi-

ologi dan Instalasi Rekam Medik RSUD

Dr. Moewardi Surakarta. Waktu pene-

litian dari bulan Januari 2008 sampai

bulan Juni 2008.

POPULASI DAN SAMPEL

Sampel adalah semua hasil foto Wa-

ters bagian Radiologi RSUD Dr. Moe-

wardi Surakarta pada Januari-Juni

2008. Sampel penelitian adalah semua

populasi sampel yang memenuhi kri-

teria inklusi dan eksklusi

Teknik Sampling

Teknik pengambilan sampel yang di-

pakai adalah purposive sampling den-

gan kriteria :

1. Inklusi :

a. Telah melakukan foto Waters pada

Januari-Juni 2008

b. Penderita tanpa batasan umur

maupun jenis kelamin

2. Eksklusi : Semua hasil foto Waters

yang memiliki gejala pilek lama

dan bukan didiagnosis rinitis kro-

nis (contoh: polip nasi, carcinoma

nasi, granulomatosis Wegener,

dan benda asing di cavum nasi)

dan pasien yang langsung didiag-

nosis sinusitis pada bulan Januari-

Juni 2008.

Rancangan Penelitian

Cara Kerja

1. Tahap Persiapan: Mengumpul-

kan data pasien yang menjalani

pemeriksaan foto Waters.

2. Tahap Pelaksanaan: Interpretasi

hasil pemeriksaan foto Waters

dengan melihat rekam medis

pasien di Instalasi Rekam Medis

RSUD DR. Moewardi Surakarta.

Identifi kasi Variabel Penelitian

1. Variabel bebas : Rinitis Kronis

Rinitis tergolong infeksi saluran

napas yang dapat muncul akut

atau kronik. Rinitis disebut kronis

bila radang terjadi lebih dari 1 bu-

lan.8

Cara pengukuran : pemeriksaan klinis

Skala : Nominal

2. Variabel terikat : Gambaran Sinus-

itis

Sinusitis adalah infl amasi mukosa

sinus paranasalis.8 Pada penci-

traan foto Waters, akan tampak

penebalan mukosa, air fl uid level

(kadang), perselubungan homo-

gen atau tidak homogen pada

satu atau lebih sinus, serta pen-

ebalan sklerotik dinding sinus (ka-

sus kronis).7

Cara pengukuran : Interpretasi foto

Skala : Nominal

3. Variabel perancu:

a. Variabel perancu yang dapat dik-

endalikan : semua foto Waters

pada pasien pilek lama bukan dis-

ebabkan oleh rinitis kronis.

b. Variabel perancu yang tidak dapat

dikendalikan: subjektivitas penila-

ian ahli radiologi

Teknik Analisis Data

Menggunakan Mantel-Haenszel Chi

Square OpenEpi version 2.

HASIL

Dari 179 subjek, sampel yang dapat

diambil adalah 91 orang karena sisan-

ya tidak memenuhi kriteria inklusi dan

eksklusi, seperti langsung didiagnosis

sinusitis, pilek lebih dari 1 bulan bukan

disebabkan rinitis kronis, nomor rekam

medis tidak jelas, dan identitas kurang

lengkap.

Dari 91 sampel, 51% (46 orang)

menunjukkan gambaran sinusitis pada

pemeriksaan foto Waters - 53% (25

orang) wanita dan 47% (21 orang) laki

-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian

Ramanan (2007) yang menyatakan

bahwa wanita mempunyai lebih bany-

ak episode sinusitis karena cenderung

mempunyai hubungan lebih dekat

dengan anak-anak.9

Gambaran sinusitis maxillaris merupa-

kan yang terbanyak - 52% (24 orang)

ipsilateral, 28% (13 orang) bilateral.

Sisanya 20% (9 orang), menunjukkan

gambaran sinusitis maxillaris bersa-

maan dengan gambaran sinusitis lain,

yakni 1 orang bersama sinusitis fronta-

lis, 5 orang bersama sinusitis ethmoi-

dalis, dan 3 orang pansinusitis. Hal

ini sesuai penemuan Mangunkusumo

dan Rifki (2006) - paling sering sinusitis

maxillaris dan sinusitis ethmoidalis.8

Penelitian William et al (1992) pada re-

kam medis dan staf ahli radiologi, ahli

radiologi dengan pelatihan khusus ra-

diologi tulang, dan residen radiologi

senior menyimpulkan bahwa foto Wa-

ters dapat diterima untuk mendiagno-

sis sinus maxillaris.10

Pada penelitian ini ditemukan bahwa

gambaran sinusitis relatif meningkat

dari kelompok usia 10-20 tahun sampai

usia 50-60 tahun; relatif rendah pada

usia 0-10 (diagram 2). Hal ini sesuai

dengan Sharma (2006) yang menyata-

kan bahwa prevalensi tertinggi sinusitis

adalah pada usia dewasa, 18-75 tahun,

setelah itu anak-anak kurang dari 15

tahun dan pada anak usia 5-10 tahun.11

Rinitis kronis

+

Rinitis kronis

-

Analisis dataSampel foto Waters Populasi sampel

Sinusitis+

Sinusitis-

Sinusitis+

Sinusitis-

Bagan 1. Rancangan penelitian

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 432CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 432 7/23/2010 10:33:16 PM7/23/2010 10:33:16 PM

Page 25: cdk_179_tht

433| AGUSTUS 2010

Sedikitnya subjek berumur 0-10 tahun

adalah karena pemeriksaan foto Wa-

ters hanya cocok pada anak usia lebih

dari 3 tahun. Foto polos sinus pada

anak usia 3 tahun atau kurang tidak

berguna karena adanya false opasitas

sinus yang belum berkembang.12 Sinus

paranasalis mencapai besar maksimal

pada usia 15-18 tahun.8

Yang harus diperhatikan pada pem-

bacaan foto Waters untuk sinus para-

nasalis rutin ialah kejernihan anthrum

maxillaris, keutuhan dinding anthrum

dan os zygomaticus, sinus sphenoida-

lis (jika foto Waters dilakukan dengan

mulut terbuka), septum nasi, air fl uid

level, dapat terlihat sinus lain tetapi

tidak maksimal.13

Gambaran sinusitis pada foto polos

adalah penebalan mukosa, air fl uid

level, dan opasitas, serta penebalan

sklerotik dinding sinus (kasus kronis).7

Penebalan mukosa terlihat pada lebih

dari 90% kasus sinusitis, tetapi sangat

tidak spesifi k. Air fl uid level dan opa-

sitas lebih spesifi k untuk sinusitis tapi

hanya terlihat pada sekitar 60% sinus-

itis. Interpretasi foto polos radiografi

bisa sangat berbeda antar observer,

dan mungkin false negatif.12

Dari 91 orang subjek penelitian, diag-

nosis terbanyak adalah rinitis kronis

(49% - 46 orang). Kemudian berturut-

turut fraktur tulang kepala (18% - 17

orang), kelainan gigi (10% - 9 orang),

sefalgia (6% - 6 orang), dan tumor

(1 tumor malignan tuberokista dan 2

tumor maksila) serta cedera kepala 3

orang. Subjek dengan diagnosis se-

lain di atas adalah 10 orang (11%).

Hasil uji statistik Mantel-Haenszel Chi

Square OpenEpi menunjukkan odds

ratio 3,78 (p = 0,002). Pasien rinitis

kronis berrisiko mempunyai gamba-

ran sinusitis pada foto Waters 4 kali

lebih besar daripada tanpa rinitis kro-

nis; peningkatan risiko tersebut secara

statistik sangat signifi kan.

SIMPULAN

Terdapat hubungan bermakna antara

rinitis kronis dan gambaran sinusitis

pada foto Waters.

SARAN

Perlu penelitian lanjutan dengan sam-

pel lebih besar dan metode penelitian

lebih baik (misal cohort) agar lebih

mewakili populasi dengan hasil lebih

terpercaya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta:

EGC,1994.

2. Ballenger J.J. Penyakit Telinga, Hidung, Teng-

gorok, Kepala, dan Leher bag THT FKUI/

RSCM (ed.). Jakarta: Bina Aksara; 1993.Hal

225-74

3. Dykewicz M. Rhinitis and sinusitis. J. Allerg.

Clin. Immunol. 2003;111(2):520-9

4. Boies LR. dkk. Buku Ajar Penyakit THT. Jakarta:

EGC,1997.

5. Pratt EL, Craig TJ. Assessing Outcomes from

the Sleep Disturbance associated with Rhini-

tis. Curr. Opin. Allerg Clin Immunol. 2007.7(3):

249-56

6. Metson RB. Menyembuhkan Sinusitis. Jakarta:

PT Buana Ilmu Populer 2006.

7. Rachman MD dkk. Radiologi Diagnostik. Edisi

kedua. Jakarta: Gaya Baru, 2005.pp: 431-8

8. Soepardi, Efi aty A, Nurbaiti I (eds). Buku Ajar

Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan.

Edisi kelima. Jakarta: Gaya Baru, pp: 101-122

9. Ramanan R.V. Sinusitis 2007.. http://www.

emedicine.com/ (19 Juli 2008).

10. William JWJ, Roberts LJ, Distell B, Simel

DL. Diagnosing sinusitis by X-ray: is a single

Waters view adequate. J Gen Intern Med.

1992;(5):566.

11. Sharma GD. 2006. Sinusitis. http://www.emed-

icine.com/ (19 Juli 2008).

12. Okuyemi KS, Tsue TT. Radiologic imaging in

the management of sinusitis. Radiologic Deci-

sion-Making. 2002.http://fi ndarticles.com/ (19

Juli 2008)

13. Meschan I. Synopsis of Analysis of Roentgen

Signs in General Radiology. Philadelphia: WB

Saunders, 1974. pp:205-8

Tabel 4. Hubungan antara Rinitis Kronis dan Gambaran Sinusitis pada Foto Waters

Diagnosis Rinitis

Kronis

(+) (-)

Gambaran Sinusitis

pada foto Waters

Diagram 3. Sebaran penyakit subjek penelitian

Diagram 2. Persentase subjek penelitian berdasarkan umur

15

10

5

0 0-10 th

10-20 th

20-30 th

30-40 th

40-50 th

50-60 th

60-70 th

Tidak ada gambaran

Ada gambaran

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 433CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 433 7/23/2010 10:33:16 PM7/23/2010 10:33:16 PM

Page 26: cdk_179_tht

434 | AGUSTUS 2010

Medical education has shifted to prob-

lem-based learning paradigm. Lecture

that used to be the main learning ac-

tivities, now simply act only as instruc-

tional class assignment or introduction

to learning objectives. Tutorial as main

learning activity enhanced student’s

ability to orally present their opinion.

The introduction of competence-

based curriculum that integrate differ-

ent knowledge and skills to produce

certain competencies requires proper

assessment. In many medical schools,

Student Oral Case Analysis (SOCA) is

one of the instrument to assess stu-

dent’s performance in clinical clerk-

ship. Oral case presentation is vital in

medical career, i.e. to present a case,

and to explain the disease to a patient

or their family.1,2

SOCA has low psychometric indi-

cators with low reliability and valid-

ity. These criticisms are justifi ed if the

objectives are to produce relatively

homogeneous products for diverse

trades or professions. But these same

characteristics may be quite powerful

to promote diversity of student per-

formance; active discussion may serve

as a powerful incentive to go beyond

mere competence and to demon-

strate fl air.3

It is possible to increase the reliability

using several rather than single oral

examination(2).

SOCA has been widely implemented

in clinical clerkship in many medical

schools in Indonesia but implementa-

Introduction of Student Oral Case Analysis (SOCA) to Assess Student’s Performance in Pre-clinical Setting

in Faculty of Medicine, Mataram University

Eustachius Hagni Wardoyo1, Bobby Marwal Syahrizal1,

Dyah Purnaning1, Ida Ayu Eka Widiastuti1, Ardiana Ekawanti1, Muhammad Farid Wajdi2

1. Faculty of Medicine, Mataram University (FMMU), Mataram, Indonesia

2. Dept. of Internal Medicine, Mataram General Hospital / FMMU, Mataram, Indonesia

ABSTRACT

Background: The competence-based curriculum that integrate different knowledge and skills to produce certain com-

petencies requires proper assessment. In clinical setting, Student Oral Case Analysis (SOCA) has been widely used to

assess student’s performance; however, the evidence in preclinical setting with more students is still limited

Objective: To describe the implementation of SOCA in pre-clinical setting

Method: The study is a descriptive study. Every student participating in Metabolism and Energy Block were included

in the study. SOCA was used to assess student’s performance in the following manner: 1) developing dietary plan for

normal individual, 2) developing dietary plan for patient with nutritional disorder (under-nutrition), and 3) developing di-

etary plan for patient with organ disorders (kidney, heart and liver) and metabolic disorders (diabetes and hypertension).

Each student was assessed in 20 minutes : 5 minutes for the scenario, 5 minutes for explanation with a simple fl owchart,

10 minutes for answering 4-5 questions. Evaluation components was on the presentation (40%), the answers (50%) and

general performance (10%). The score was from 60 to 100 : frequent inaccuracy and guesses (60-69), occasional inac-

curacy (70-79), generally accurate, no guess (80-89), exceptionally complete (90-100). A semi-structured interview was

conducted to explore student’s perception on SOCA.

Result: Participants were 61 students. Sixty (98.36%) students passed SOCA (cut-off point: 70). Fifty two (85.24%) stu-

dents perceived that SOCA had helped them understand the topic, transforming basic medical science to clinical set-

ting. Forty nine (80.33%) students also mentioned that the motivation to study was enhanced through SOCA.

Conclusion: SOCA in FMMU helped students in topics understanding and increased study motivation.

Keywords: SOCA, competence-based curriculum

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 434CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 434 7/23/2010 10:33:17 PM7/23/2010 10:33:17 PM

Page 27: cdk_179_tht

435| AGUSTUS 2010

tion in pre-clinical setting is poorly doc-

umented. In 2007 The Faculty of Medi-

cine Mataram University has introduced

SOCA to assess student’s performance

in preclinical setting in the fi fth block

Metabolism and Energy.

This study described the implementa-

tion SOCA in pre-clinical setting.

METHODS

Participant’s characteristics

The participants consist of 61 students:

43 (70.49%) female and 18 (29.51%)

male in Metabolism and Energy block.

All participants fulfi lled 75% attendance

in all learning activities in Metabolism

and Energy block to qualify SOCA.

Examiner’s characteristics

Examiners were tutors of Metabolism

and Energy block; consist of 5 persons

and 3 additional examiners. All exam-

iners were trained as SOCA examiner.

The training was technical on how to

examine using existing instruments

PROCEDURES

Development of SOCA protocol

SOCA protocol was developed as a

part of Metabolism and Energy block.

Modifi cations was needed to adjust

SOCA in clinical clerkship setting to

a pre-clinical setting,. Real case in

clinical setting was modifi ed by case

scenario (bedside presentation is not

applicable in pre-clinical setting) and

‘SOAP’ (subjective, objective, assess-

ment, plan and prognosis) presenta-

tion in clinical setting is modifi ed by a

short scheme / fl owchart. In this study,

students were asked to develop a di-

etary plan.

SOCA’s implementation

Students were divided into three

groups, each group underwent SOCA

in three different days. SOCA’s exam-

iners were all fi ve tutors in Metabolism

and Energy block plus three other

examiners. All were trained as SOCA

examiners. Different scenarios were

used in different days. Each student

underwent 20 minutes of SOCA and

5 minutes interval. The time allocation

were summarized in table 1.

Tabel 1. SOCA Time allocation

Time Time allocation

The fi rst 5 minutes Read the scenario carefully

-69),

occasionally inaccurate (70-79), gener-

ally accurate, no guess (80-89), excep-

tionally complete (90-100).

Table 2. Components of assessment

Components of assessment

Score (60-100)

tween pre and post SOCA students.

A semi-structured questionnaire was

conducted to explore student’s per-

ception of SOCA

RESULT

Implementation of SOCA

Introduction of SOCA in pre-clinical

setting at FMMU was started in Me-

tabolism and Energy block. SOCA

was held in May 26 – 28, 2008. Sixty

(98.36%) among 61 students passed

the exam (cut off: 70). One student un-

derwent remedial SOCA a week later

because of sick leave.

Objectivity of SOCA was increased

through several efforts: 1) Random

student’s queue 2) Random scenario

3) Drawn scheme as part of assess-

ment 4) Examiners trained as SOCA

examiner.

Perceptions of students

Fifty two (85.24%) students perceived

that SOCA helped in transforming ba-

sic medical science to clinical setting.

Some students changed their learn-

ing strategy by reading more learning

resources weeks before, and by prac-

ticing SOCA assessed by peers. Forty

nine (80.33%) students also mentioned

that motivation was enhanced through

SOCA.

Implementation of SOCA increased

anxiety among students, but fi nally

students felt excited and relieved.

Some of their comments: “So relieve

after the exam, I thought it is going to

be hard, but I can make it!”, “I am very

anxious on what is going to be, but I

am satisfi ed for what I’ve learned.”,

and “I imagine I can implement my

knowledge to a real patient.” One stu-

dent is really tired and think SOCA is

unnecessary, has not enough time to

prepare; and the ringing bell during

HASIL PENELITIAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 435CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 435 7/23/2010 10:33:17 PM7/23/2010 10:33:17 PM

Page 28: cdk_179_tht

436 | AGUSTUS 2010

SOCA was disturbing. One examiner

was criticized as has low objectivity.

The limitation was a low lecturer : stu-

dent ratio (17 : 211).

DISCUSSION

Five criteria for determining the use-

fulness of a particular method of as-

sessment: 1) reliability (measurement

accuracy and reproducibility), 2) valid-

ity (whether the assessment measures

what it claims to measure), 3) impact

on future learning and practice, 4)

acceptability to learners and faculty,

and 5) costs (to individual trainee, in-

stitution, and society)(4). Reliability was

enhanced by providing assessment’s

instruments. SOCA can be performed

repeatedly.

HASIL PENELITIAN

SOCA could not be used as a single

component, SOCA at FMMU was one

of assessment methods used in Me-

tabolism and Energy Block. Impact

of SOCA partly has been explored in

student’s perception regarding SOCA

implementation. Prospective study

is needed to assess future impact of

SOCA. Cost of SOCA is quite high

due to development of SOCA’s proto-

col, large human resources need and

time consuming.

In conclusion, SOCA has been suc-

cessfully implemented to assess stu-

dent’s performance in pre-clinical

setting in Faculty of Medicine, Mat-

aram University, with positive impact

in helping students to construct their

understanding of the topic, transform-

ing basic medical science to clinical

setting and in enhancing study moti-

vation.

REFERENCES

1. Jayawickramarajah PT. Oral examinations in

medical education Medical Education 2009;19

(4): 290 – 293.

2. CPM, Donker AJM, Reliability of clinical oral

examinations re-examined. Medical Teacher

2001; 23( 4): 422-424

3. Rangachari PK. The targeted oral. Advances in

Physiology Education 2004; 28: 213–214.

4. VanDer Vleuten CPM. The assessment of

professional competence: developments, re-

search and practical implications. Adv Health

Sci Educ 1996;1: 41-67

INFEKSI KESEHATAN ANAK GASTROENTEROLOGI

Kami Tunggu Tulisan Anda Mengenai :Kami Tunggu Tulisan Anda Mengenai :

INFEKSI KESEHATAN ANAK GASTROENTEROLOGI

ISSN: 0125-913 X I 176 / vol. 37 no. 3 / April 2

010

http.//www.kalbe.co.id/cdkPRAKTIS

Diet untuk Penderita Diabetes

Mellitus

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Tempe terhadap Kadar

Gula Darah dan Kesembuhan

Luka pada Tikus Diabetik

TINJAUAN PUSTAKA

Usaha Memperlambat Perburukan

Penyakit Ginjal Kronik ke Penyakit

Ginjal Stadium Akhir

146

PROFIL

Prof. DR. Dr. Sidartawan

Soegondo, SpPD-KEMD-FACE

“Orang Tua DM Pemicu

Menjadi Ahli Endokrin”

ISSN: 0125-913 X I 177 / vol.37 no. 4 / Mei - Juni 2010

http.//www.kalbe.co.id/cdk

PRAKTIS

Terapi Cairan dan Darah

HASIL PENELITIAN

Pengaruh Ekstrak Daun Singkong

(Manihot uttilisima) terhadap Fungsi

Hati dan Ginjal Tikus Putih yang

Diinduksi Karsinogen Nitrosamin

TINJAUAN PUSTAKA

Penatalaksanaan Mual Muntah yang

Diinduksi Kemoterapi

PROFIL

Dr. Yow Pin, PHD,

Setiap Penemuan Dapat

Menolong Ribuan Pasien

7 mei cover.indd 3

4/26/2010 3:33:16 PM

ISSN: 0125-913 X I 178 / vol.37 no. 5 / Juli - Agustus 2010 http.//www.kalbe.co.id/cdk

PRAKTISManajemen Pembedahan pada Cedera Medula Spinais

HASIL PENELITIAN Hubungan antara Derajat

Lengkung Kaki dengan Tingkat Kemampuan Endurans pada

Calon Jemaah Haji, 2007

TINJAUAN PUSTAKA t�,FNBUJBO�#BUBOH�0UBL

t4JOESPN�1JSJGPSNJTt�$FOUSBM�1POUJOF�.ZFMJOPMZTJT��Diagnosis dan Penatalaksanaan

146

PROFIL Dr. Cosphiadi Irawan

SpPD KHOM, +BEJMBI�0SBOH�ZBOH�

#FSNBOGBBU�VOUVL�0SBOH�-BJO

ISSN: 0125-913 X I 179 / vol. 37 no. 6 / Agustus 2010

http.//www.kalbe.co.id/cdk

PRAKTISTreatment of Peripheral Nerve

Tumors

HASIL PENELITIAN

Erosi Dasar Tengkorak dan

Kelainan Saraf Kranial pada

Penderita Karsinoma Nasofaring

di RS. H. Adam Malik MedanOPINI

Stetoskop-Stetoskop Masa Depan

455

PROFIL

Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)

Teknologi THT Semakin Canggih,

Sehingga Bedah Otak Saat ini Melalui

Jalur THT Terlebih Dahulu

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 403

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 403

77

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 436CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 436 7/26/2010 5:31:41 PM7/26/2010 5:31:41 PM

Page 29: cdk_179_tht

437| AGUSTUS 2010

PENDAHULUAN

Epulis gigantosellulare dikenal seba-

gai epulis sel raksasa adalah kondisi

serupa tumor yang biasanya berkem-

bang dari tepi bebas gusi. Istilah gra-

nuloma sel raksasa perifer lebih disu-

kai daripada granuloma reparatif sel

raksasa perifer. Lesi ini ditemukan

pada semua kelompok usia, dengan

insiden tertinggi pada orang dewasa

usia 30 tahun dan anak-anak selama

periode gigi bercampur. 1

Dalam bahan penelitian atas 173 pen-

derita granuloma sel raksasa perifer,

dijumpai paling sering pada periode

gigi-geligi bercampur. Pada masa ka-

nak-kanak granuloma lebih umum ter-

dapat pada anak laki-laki, setelah usia

16 tahun perempuan dua kali lebih

sering terkena. Mandibula sedikit le-

bih sering terkena dibandingkan mak-

sila dan lebih sering terjadi di daerah

premolar-molar daripada di daerah

incisivus-caninus. Kadang-kadang lesi

ditemukan di daerah edentulous ridge

alveolar.2

Di Rumah Sakit Umum Pusat M. Dja-

mil Padang dari Januari 2007 sampai

dengan Oktober 2009 ditemukan 186

kasus epulis. 180 pasien di bagian Gigi

dan Mulut, 6 pasien di bagian Bedah.

Pasien berkunjung ke bagian Bedah

biasanya karena massa tumor yang

cukup besar sehingga diharapkan da-

pat dilakukan tindakan bedah dengan

membuang massa tumor.

LAPORAN KASUS

Seorang wanita 14 tahun datang ke

Bagian Bedah Onkologi RSUP M. Dja-

mil Padang dengan keluhan benjolan

di mulut sejak 4 tahun (gambar 1 dan

2). Awalnya benjolan terdapat di gusi

bagian bawah sebesar kacang, sejak

2 tahun ini makin membesar dan ter-

dapat di gusi bagian atas dan bawah.

Benjolan tidak nyeri tetapi sangat

mengganggu karena pasien tidak da-

pat sempurna menutup mulut, men-

gunyah dan menelan makanan ter-

ganggu. Riwayat trauma tidak ada.

Riwayat penyakit dahulu: sering sakit

gigi, riwayat pertukaran gigi susu ke

gigi permanen tidak ada keluhan.Ti-

dak pernah menderita penyakit lain.

Status generalisata dalam batas nor-

mal, pada status lokal tampak massa

tumor hampir memenuhi seluruh

rongga mulut bagian depan (gambar

1 dan 2), merah muda, bergranul, pus

di pemukaannya. Pada palpasi teraba

massa keras padat di rahang atas dan

bawah, ukuran 12 x 8 x 5 cm, 10 x 3 x

1,5 cm terfi ksir, tidak bertangkai, batas

tegas, permukaan licin dan tidak rata.

Tidak ditemukan benjolan di tempat

lain dan tidak ada pembesaran kel

limfe leher.

Pemeriksaan laboratorium dalam ba-

tas normal, brain CT Scan (gambar 3

dan 4) tampak soft tissue mass dengan

gambaran gigi erupted dan destruksi

regio os maxilla anterior.

Hasil biopsi : mikroskopis tampak epi-

tel berlapis gepeng pada permukaan

dengan bagian yang mengalami erosi,

Epulis Gigantocellulare

Azamris

Sub Bagian Bedah Onkologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas /

RSUP. M.Djamil Padang

ABSTRAK

Epulis gigantosellulare atau epulis sel raksasa adalah kondisi serupa tumor yang biasanya berkembang dari tepi bebas

gusi. Epulis gigantosellulare merupakan nodul ekstraosseus terdiri dari proliferasi mononuklear dan multinukleasi giant

cell berhubungan dengan vaskularisasi, ditemukan di gingiva atau ridge alveolar. Epulis gigantosellulare adalah reaksi

hiperplastik jaringan ikat gingiva yang didominasi oleh komponen seluler histiositik dan endotelial. Kedua jenis sel

tersebut bercampur baur dan tersusun pada pola lobular yang dipisahkan oleh jaringan ikat fi brous yang mengandung

pembuluh darah sinusoid besar.

KASUS: Seorang perempuan 14 thn dengan benjolan di rongga mulut sejak 4 tahun. Awalnya benjolan kecil sebesar ka-

cang tanah di rahang bawah, kemudian sejak 2 tahun membesar seukuran tinju dan terdapat di rahang atas dan bawah,

mengganggu, tidak nyeri, mudah berdarah. Pada pemeriksaan fi sik tampak benjolan sebesar tinju ukuran 12 x 8 x 5 cm,

dan 10 x 3 x 1,5 cm, merah muda, bergranul, pus di permukaan. teraba massa keras padat, terfi ksir, tidak bertangkai,

batas tegas, permukaan licin dan tidak rata. Dilakukan ekskokleasi epulis dan ekstraksi seluruh gigi. Pasien pulang dalam

keadaan sembuh.

LAPORAN KASUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 437CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 437 7/23/2010 10:33:19 PM7/23/2010 10:33:19 PM

Page 30: cdk_179_tht

438 | AGUSTUS 2010

di bawahnya terdapat stroma jaringan

ikat longgar mengandung banyak ke-

pingan kalsifi kasi di antaranya. Tampak

pula kapiler-kapiler dan sel-sel limfosit,

plasma serta netrofi l.

Direncanakan tindakan Ekskokleasi

epulis yaitu pengangkatan jaringan

patologis dari gingiva serta pengero-

kan sisa jaringan patologis akar gigi.

Laringoskop tidak dapat masuk sem-

purna karena terhalang massa tumor,

sehingga ETT tidak dapat dipasang.

Diputuskan trakeostomi agar operasi

dapat berjalan lancar (gambar 5)

Pembedahan oleh ahli bedah tumor.

Massa tumor dapat diangkat dengan

sempurna dengan pengerokan gin-

giva yang terkena dan ekstraksi ham-

pir seluruh bagian gigi. Perdarahan di

tempat pengerokan massa tumor da-

pat diatasi dengan sempurna. Anali-

sis jaringan menunjukkan Congenital

Granular Cell Epulis, tak tampak tan-

da ganas.

Pasien pulang pada hari ke 5 dalam

keadaan baik. (gambar 6).

lesi reaktif yang jarang terjadi. Lesi ini

juga dikenal sebagai giant-cell epulis,

osteoclastoma, giant cell reparative

granuloma atau giant cell hyperplasia

dan myeloid epulis. 3 Termasuk lesi gi-

ant cell yang paling sering terjadi di ra-

hang, berasal dari jaringan ikat perios-

teum atau dari membran periodontal,

sebagai respon terhadap iritasi lokal

atau trauma kronis.3

Epulis gigantosellulare berupa nodul

ekstraosseus yang terdiri dari prolif-

erasi mononuklear dan multinukleasi

giant cell yang berhubungan dengan

vaskularisasi, yang ditemukan pada

gingiva atau alveolar ridge, merupak-

an reaksi hiperplastik jaringan ikat gin-

giva yang didominasi oleh komponen

seluler histiositik dan endotelial. Ke-

dua jenis sel tersebut bercampur baur

dan tersusun lobular, dipisahkan oleh

jaringan ikat fi brous yang mengan-

dung pembuluh darah sinusoid besar. 4

Nama lesi ini diambil dari kecende-

rungan histiosit mononuklear untuk

membentuk giant cell multinukleasi

yang luas; lokasi perifer (ekstraosseus)

dari lesi ini sempit, lebih cenderung ke

tengah (intraosseus); dan gambaran

klinisnya mirip respon terhadap granu-

loma yang reaktif. Lesi mengandung

jaringan giant cell mirip dengan yang

ditemukan pada bagian lain dari tubuh

tetapi utamanya pada tulang.5

Penyebab Epulis gigantosellulare

tidak diketahui; iritasi lokal oleh plak

gigi atau kalkulus, penyakit periodon-

tal, restorasi gigi yang buruk, protesa

yang buruk, atau pencabutan gigi,

dianggap ikut berperan pada perkem-

bangan lesi ini.6

Penelitian baru-baru ini menghubung-

kannya dengan implan gigi; meru-

pakan komplikasi yang tidak umum,

berkembang dari beberapa bulan

sampai beberapa tahun setelah pe-

nempatan implan gigi.7

Gambaran klinis lesi diawali dengan

pembengkakan berbentuk kubah ke-

merahan atau keunguan di papilla

interdental atau alveolar ridge. Pada

Gambar 1. Massa tumor memenuhi rongga mulut

terdapat di bagian atas dan bawah gingiva, ber-

granul, merah muda dan pus.

Gambar 2. Massa tumor dilihat dari samping.

Gambar 3. Brain CT Scan posisi AP

Gambar 4. Brain CT Scan posisi lateral

Gambar 5. Trakeostomi saat tindakan bedah.

Gambar 6. Pasien hari ke 5 pascaoperasi.

DISKUSI

Etiologi Epulis gigantosellulare tidak

diketahui, masih diperdebatkan

apakah proses reaktif atau neoplas-

tik; kebanyakan ahli percaya bahwa

granuloma giant cell perifer termasuk

LAPORAN KASUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 438CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 438 7/23/2010 10:33:19 PM7/23/2010 10:33:19 PM

Page 31: cdk_179_tht

439| AGUSTUS 2010

pasien dentulous lesi sering terlihat

lebih kemerahan oleh ulserasi yang

terjadi ketika makanan dikunyah dan

mengenai epitelium yang tipis.6 Lesi

yang lebih luas biasanya mengelilingi

satu atau lebih gigi, sering melibatkan

ligamen periodontal, termasuk apeks

gigi. Lesi ini menyebabkan hilangnya

dan goyangnya gigi. Pada daerah

edentulous lesi berbentuk kubah,

ungu, biasanya mempunyai permu-

kaan yang utuh. Radiografi periapikal

umumnya menunjukkan hilangnya

lapisan superfi cial tulang kortikal, dan

sisa tulang di bagian tengah yang

tidak ikut terlibat.8

Pembengkakan berbatas jelas, keras,

dan jarang berulserasi. Dasarnya tidak

bertangkai, permukaannya licin atau

sedikit bergranula, berwarna merah

muda sampai merah ungu tua ber-

diameter beberapa mm sampai 1 cm;

pembesaran yang cepat dapat meng-

ganggu gigi-gigi di sampingnya.

Lesi umumnya tanpa gejala, tatapi

karena sifatnya yang agresif, tulang al-

veolar di bawahnya sering terlibat dan

membuat radiolusensi “peripheral

cuff” superfi sial yang patognomonik.7

Gambaran mikroskopis menunjukkan

susunan nodular jaringan giant cell

dipisahkan oleh septum fi brous. Jari-

ngan giant cell terdiri dari campuran

mononuklear dan multinuklear yang

mendasari ekstravasasi sel darah me-

rah. Terdapat beberapa pembuluh

kapiler dan ruang sinusoid. Stroma

fi brous menipis atau menebal, meng-

andung jaringan yang luas dan struk-

tur dinding vaskular yang tipis. Se-

jumlah besar hemosiderin umumnya

terdapat dalam jaringan giant cell dan

mengelilingi komponen fi brous.9

Diagnosis banding osteoblastic os-

teosarcoma dapat dibedakan melalui

beragam sel stroma dan kurangnya

displasia sel. Pada remaja gambaran

mitosis bervariasi, dan sulit dibedakan

dari proliferasi aktif sel stroma. Epulis

Gigantosellulare tidak dapat dibeda-

kan dengan brown tumor ekstraoseus

dari hiperparatiroidisme yang jarang

terjadi.10

Tindakan pada epulis gigantosellulare

adalah Ekskokleasi epulis yaitu peng-

angkatan jaringan patologi dari gin-

giva serta pengerokan sisa jaringan

patologis akar gigi; eksisi disertai man-

dibulektomi parsial atau total; Cryo-

surgery terbatas pada tumor yang sa-

ngat superfi cial.11

Indikasi pengangkatan massa tumor

adalah rasa nyaman penderita se-

hingga dapat membuka dan menutup

mulut sempurna, dan indikasi kosme-

tik.

Prognosisnya baik. dapat kambuh

kembali pada 10% kasus, mungkin

disebabkan oleh pengangkatan yang

tidak sempurna.12

SIMPULAN

Granuloma giant cell perifer dikenal

sebagai epulis gigantosellulare adalah

kondisi serupa tumor yang biasanya

berkembang dari tepi bebas gusi.

Penyebabnya tidak diketahui, meski-

pun iritasi lokal oleh plak gigi atau kal-

kulus, penyakit periodontal, restorasi

gigi yang buruk, protesa yang buruk,

atau pencabutan gigi, dianggap ikut

berperan. Lesi diawali dengan pem-

bengkakan berbentuk kubah berwar-

na kemerahan atau keunguan pada

papilla interdental atau alveolar ridge.

Granuloma giant cell perifer dirawat

dengan eksisi; jika tidak tuntas akan

cenderung kambuh.

Pada kasus ini operasi dilakukan

karena massa menutupi rongga mulut

yang sudah menimbulkan gangguan

makan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allen C. Peripheral Giant Cell Granuloma. Available from: http://www.emedicine.com/DERM/topic685.htm. Accessed Oktober 20,2008

2. Bodnar L.et al. Growth potential of peripheral giant cell granuloma. Oral Surgery.Oral Med. Oral Pathol.1997;83:548.

3. Lifshitz MS, Flotte TJ, Greco MA.Congenital granular cell epulis.Cancer 1984;53:1845-8.

4. Rainey JB, Smith IJ. Congenital epulis of the newborn. J Pediatr Surg 1984;19:305-6

5. Damm DD, Cibull ML,Geisler RH, et al. Investigation into histiogenesis of congenital epulis of newborn. Oral Surg Oral Med Oral Pathol 1993:76:205-212

6. Sunderland EP,Smith CJ. Hypoplasia following Congenital Epulis. Br Dent J 1984;157:535

7. Lack EE, Worsham GF. Callihan MD. Granular cell tumor:A clinical pathologic study of 110 patient. J Surg Oncol 1980;13:301-16

8. Daley TD et al. The major epulides: clinicopathological correlations. J. Can. Dent. Assoc. 1990; 6/7: 626,

9. Falaschini S dkk. Peripheral Giant Cell Granuloma: Immunohistochemical analysis of different markers. Study of Three Cases. Avances En Odontoestomatologia

2007; 23(4): 189. Available from: http://medind.nic.in/jao/t05/i2/jaot05i2p74.pdf. Accessed Oktober 20, 2008

10. Zarbo RJ, Lyod RV, Beals TF, McClatchey KD. Congenital gingival granular cell tumor with smooth muscle cytodifferentiation. Oral Surg Oral Med Oral Pathol

1983; 56: 512-520

11. Philip SJ, Eversole LR, Wysocki GP. Contemporary Oral and Maxillofacial Pathology 2nd. St.Louis Missouri: Mosby. 2004: p.292-4.

12. Peripheral Giant Cell Granuloma. Available from: http://www.maxillofacialcenter.com/BondBook/softtissue/pgcg.html. Accessed Oktober 20, 2008

LAPORAN KASUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 439CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 439 7/23/2010 10:33:23 PM7/23/2010 10:33:23 PM

Page 32: cdk_179_tht

441| AGUSTUS 2010

BERITA TERKINI

Sekitar 60 persen penderita diabe-

tes tipe 2 mengalami hipertensi.

Penderita hipertensi dan diabe-

tes berisiko lebih besar mengalami pe-

nyakit kardiovaskular dan ginjal.

Anda bisa menurunkan risiko dengan

menjaga tekanan darah dalam ren-

tang normal.

Berikut beberapa cara yang bisa Anda

lakukan untuk menurunkan tekanan

darah:

BERHENTI MEROKOK

Merokok mengurangi suplai oksigen

ke organ-organ tubuh, meningkatkan

kadar kolesterol dan meningkatkan

tekanan darah. Karena itu, berhenti

merokok merupakan langkah utama

dalam mengontrol tekanan darah dan

diabetes.

TURUNKAN BERAT BADAN

Pengurangan berat badan berkaitan

dengan penurunan tekanan darah.

Anda bisa menurunkan berat badan

dengan mengurangi asupan lemak dan

kalori, serta berolahraga secara tera-

tur. Diet tinggi lemak secara otomatis

akan menambah konsumsi makanan

dan total energi dan akan berkurang

jika diet Anda rendah lemak.

Olahraga tidak mempunyai efek terla-

lu besar dalam menurunkan berat ba-

dan. Akan tetapi, olahraga (30-45 me-

nit sehari) bagus untuk meningkatkan

sensitifi tas insulin, mengurangi kadar

glukosa darah dan mempertahankan

berat badan dalam jangka panjang.

MODIFIKASI DIET

Karbohidrat:

Sertakan makanan yang mengandung

karbohidrat, khususnya dari whole

grain, buah-buahan, sayuran, dan susu

rendah lemak dalam diet penderita

diabetes.

Jumlah total karbohidrat dari makanan

dan kudapan lebih penting dibanding-

kan sumbernya.

Serat:

Sama seperti populasi pada umum-

nya, penderita diabetes didorong un-

tuk memilih berbagai makanan yang

mengandung serat seperti whole

grain, buah, dan sayuran. Makanan ini

mengandung vitamin, mineral, serat

dan komponen lain yang baik untuk

kesehatan.

Protein:

Tidak ada bukti yang mengharuskan

penderita diabetes mengubah asupan

protein (15 hingga 20 persen dari to-

tal energi harian) jika fungsi ginjalnya

normal. Karena protein diperlukan un-

tuk membangun jaringan tubuh yang

sehat, pilihlah sumber protein yang

rendah lemak. Ikan merupakan pilihan

yang baik, konsumsilah dua hingga

tiga kali per minggu.

Daripada memasak dengan lemak,

cobalah menambah rasa makanan

dengan menggunakan anggur, herbal

dan bumbu. Anda yang vegetarian

bisa mendapatkan protein dari telur,

kacang kedelai, kacang polong dan

sumber lainnya.

Lemak:

Batasi lemak jenuh dan asupan koles-

terol dari diet. Asupan lemak jenuh

sebaiknya kurang dari 10 persen dari

asupan energi total. Beberapa indi-

vidu (misalnya orang dengan kadar

kolesterol jahat LDL 100 mg/dl) akan

mendapatkan manfaat dengan menu-

runkan asupan lemak jenuh hingga di

bawah 7 persen dari asupan energi.

Asupan kolesterol sebaiknya kurang

dari 300 mg per hari. Beberapa indi-

vidu (misalnya orang dengan kadar

kolesterol jahat LDL 100 mg/dl) akan

mendapatkan manfaat dengan menu-

runkan asupan kolesterol hingga di

bawah 200 mg per hari.

Kurangi garam:

Pengurangan konsumsi garam mem-

bantu menurunkan tekanan darah.

Usahakan mengurangi asupan sodium

hingga 2.400 mg atau garam hingga

6.000 mg per hari.

Asupan alkohol:

Peneliti sudah mengungkapkan adan-

ya hubungan antara asupan alkohol

tinggi (tiga takar/hari) dengan pen-

ingkatan tekanan darah. Akan tetapi,

tidak ada perbedaan tekanan darah

antara orang yang minum lebih sedikit

dari tiga takar alkohol/hari dengan

mereka yang tidak minum.

Asupan kalium dan kalsium:

Diet rendah lemak yang menyertakan

buah dan sayuran ( lima hingga sembi-

lan takar/hari) dan produk susu rendah

lemak (dua hingga empat takar/hari)

secara umum sudah kaya akan kalium,

magnesium, kalsium dan bisa menu-

runkan tekanan darah.

Asupan air:

Cobalah minum paling tidak dua liter

air putih sehari. Cara ini membantu

mengeluarkan kelebihan gula dari tu-

buh dan membantu serat menjalank-

an tugasnya dalam mengontrol gula

darah. Selain itu, air ini juga memung-

kinkan ginjal dan organ lain (termasuk

kulit) tetap sehat.

Gula darah

Cobalah terus memantau kadar gluko-

sa darah di rumah. Tes kadar glukosa

bisa dilakukan dengan menggunakan

alat monitor glukosa yang mudah

dibawa. Catat rutinitas harian dan ka-

dar glukosa Anda. Data ini akan mem-

bantu Anda menemukan pola manaje-

men diabetes yang tepat.

Obat-obatan

Penderita diabetes sebaiknya men-

gontrol tekanan darah dengan hati-

hati. Anda bisa mengontrol kedua pe-

nyakit ini dengan kontrol diet. � (NFA)

Beberapa Tip Menurunkan Tekanan Darah

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 441CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 441 7/23/2010 10:33:23 PM7/23/2010 10:33:23 PM

Page 33: cdk_179_tht

442 | AGUSTUS 2010

STUDI HERCULES

Studi klinis oleh Dr. Michael dkt., pada

HERCULES sebagaimana yang dipub-

likasi dalam Journal of Clinical Onco-

logy, Vol 28, No 9, 2010 menunjukkan

bahwa regimen lini pertama Epirubicin

dan Cyclophosphamide serta Trastu-

zumab pada kanker payudara metas-

tasis dengan Epidermal Growth Factor

Receptor 2 (EGFR-2) positif menunjuk-

kan hasil baik dalam segi keamanan

terhadap kardiotoksisitas dan juga

mengenai efektivitasnya sendiri.

RESUME HERCULES Didapati insidensi tinggi kegagalan

jantung kongestif (CHF) pada pasien

kanker payudara metastasis yang men-

erima regimen doxorubicin dan trastu-

zumab. Adapun regimen Herceptin®

(nama dagang dari Trastuzumab), Cy-

clophosphamide dan Epirubicin ingin

mengevaluasi keamanan regimen tras-

tuzumab dengan cyclophosphamide

dan evaluasi efek samping kardiotok-

sisitas yang lebih rendah golongan

anthracycline epirubicin.

Studi bersifat prospektif dan merupa-kan kombinasi fase 1 mengenai dosis dan temuan stadium dengan fase 2 secara acak. Sejumlah 120 penderita

kanker payudara metastasis dengan

human epidermal growth factor re-

ceptor 2 (HER2) positif dan fungsi jan-

tung adekuat, menerima lini pertama

regimen trastuzumab (4 mg/kg iv dosis

loading, kemudian 2 mg/kg setiap min-

ggu) ditambah dengan Cyclophosph-

amide (600 mg/m2) dan Epirubicin 60

mg/m2 (HEC-60) atau 90 mg/m2 (HEC-

90) sebanyak 6 siklus pemberian, dii-

kuti pengobatan tunggal trastuzumab

sampai tingkat progresi. Sejumlah 60

pasien dengan HER2 negatif mener-

ima Epirubicin (90 mg/m2) dan Cyclo-

phosphamide (EC-90) tunggal. Tujuan

utama (primary end point) adalah efek

kardiotoksisitas yang terkait dosis atau

Dose-limiting cardiotoxicity (DLC).

Hasil trial HERCULES ini, insidensi kar-

diotoksisitas terkait dosis / DLC mas-

ing-masing 5%, 1,7%, dan 0% pada

kelompok yang mendapat regimen

HEC-90, HEC-60, and EC-90.

Semua kasus kejadian DLC dapat

dikelola dengan baik. Tidak ada ke-

matian yang disebabkan efek pada

jantung. Gambaran efek samping

hampir sama pada ketiga kelompok

tersebut, kecuali febrile neutropenia,

yang ditemukan pada 10% kelompok

HEC-90 berbanding dengan 3% pada

dua kelompok lainnya. Angka respon

tumor atau Tumor response rate ada-

lah 57% pada HEC-60, 60%, pada

HEC-90 dan 25% pada kelompok EC-

90; adapun waktu median time sam-

pai progresi masing-masing sebesar

12,5, 10,1, dan 7,6 bulan.

Kesimpulan trial HERCULES, regimen Trastuzumab (Herceptin), dengan Epi-rubicin dan Cyclophosphamide meru-pakan opsi pengobatan yang cukup menjanjikan pada penderita kanker payudara metastasis dengan HER2

positif. Insidens kardiotoksisitas terkait

dosis atau DLC pada regimen HEC

lebih rendah, dibandingkan dengan

insidens di regimen trastuzumab dan

doxorubicin, terutama yang berkaitan

dengan pengobatan model adjuvant

ataupun neoadjuvant. � (IWA)

REFERENSI :

1. Michael U et al. First-Line Trastuzumab Plus

Epirubicin and Cyclophosphamide Therapy in

Patients With Human Epidermal Growth Fac-

tor Receptor 2–Positive Metastatic Breast Can-

cer: Cardiac Safety and Effi cacy Data From the

Herceptin, Cyclophosphamide, and Epirubicin

(HERCULES) Trial. J. Clin. Oncol. 2010;28( 9 ):

1473-1480

Epirubicin dan Cyclophosphamide

dengan Trastuzumab pada trial HERCULES

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 442CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 442 7/23/2010 10:33:25 PM7/23/2010 10:33:25 PM

Page 34: cdk_179_tht

443| AGUSTUS 2010

Eprotirome (hormon tiroid analog)

menambah penurunan kadar le-

mak darah pada pasien-pasien

dislipidemia yang telah diterapi den-

gan statin. Simpulan ini merupakan

hasil penelitian dr. Paul Ladenson dan

rekan dari Johns Hopkins University

School of Medicine, Baltimore, Ameri-

ka Serikat. Dr. Paul mengatakan bahwa

berdasarkan penelitian ini, eprotirome

menurunkan kadar kolesterol total dan

kolesterol LDL (Low Density Lipopro-

tein). Selain itu, tidak seperti statin,

eprotirome efektif menurunkan kadar

trigliserida, sehingga dapat diberikan

sebagai terapi pasien dislipidemia

campuran. Hasil penelitian dr. Paul

dan rekan ini telah dipublikasikan da-

lam the New England Journal of Medi-

cine edisi bulan Maret 2010.

Penelitian ini bertujuan untuk menel-

iti apakah pemberian eprotirome da-

pat memberikan manfaat tambahan

dalam menurunkan kadar kolesterol

total, trigliserida dan kolesterol LDL,

yang merupakan lipoprotein yang ber-

sifat artherogenik serta meneliti efek

samping yang mungkin terjadi. Pene-

litian efek samping ini penting, karena

eprotirome, sebagai hormon tiroid

analog dikhawatirkan memiliki efek

samping terhadap organ tubuh yang

sensitif terhadap hormon tiroid, yaitu

jantung dan otot skeletal. Penelitian

merupakan penelitian kontrol plase-

bo, multisenter melibatkan 137 pasien

yang telah mendapatkan terapi statin

paling tidak selama 3 bulan. Pasien se-

cara acak dibagi menjadi 3 kelompok

terapi, yang diberi terapi eprotirome

25 μg, 50 μg, atau 100 μg.

Hasil penelitian memperlihatkan bah-

wa pemberian eprotirome pada pasi-

en-pasien yang telah diterapi dengan

statin secara bermakna menambah

penurunan kadar kolesterol total, ko-

lesterol LDL dan trigliserida. Penuru-

nan ini semakin nyata pada kelompok

dengan dosis eprotirome yang lebih

besar.

Selain itu tidak dijumpai tanda mau-

pun gejala akibat pemberian hormon

tiroid analog seperti tirotoksikosis/

hipertiroidisme, peningkatan denyut

jantung per-menit atau aritmia, penu-

runan berat badan, maupun gangguan

pembentukan tulang (dari pemerik-

saan marker serologik dan penekanan

terhadap tirotropin). Dr. Ladenson

mengatakan bahwa eprotirome ini

dapat menjadi terapi tambahan bagi

pasien-pasien yang telah diterapi den-

gan statin namun tidak mencapai tar-

get terapi.

SIMPULAN:

• Eprotirome merupakan hormon

tiroid analog yang dalam peneli-

tian dapat menambahkan penu-

runan kadar lemak darah pada

pasien-pasien yang telah diterapi

dengan statin.

• Walau merupakan hormon tiroid

analog, tanda dan gejala efek

samping tirotoksikosis/ hipertor-

oidisme tidak dalam penelitian ini.

� (YYA)

REFERENSI:

1. Ladenson P, Kristensen JD, Ridgway C, Olsson

AG, Carlsson B, Klein I, et al. Use of the Thy-

roid Hormone Analogue Eprotirome in Statin-

Treated Dyslipidemia. NEJM 2010; 362 (10):

906-16.

2. Medscape. Eprotirome Further Reduces Cho-

lesterol Levels in Statin-Treated Patients. [cited

2009 March 23]. Available from: http://www.

medscape.com/viewarticle/718099?src=mpne

ws&spon=2&uac=117092CG

Fariabel per dosis eprotirome (µg)

Garis dasar(baseline)

Minggu ke-12Perubahan rata-rata dibanding

baseline (mg/dL) p

Kolesterol Total (mg/dL)

25 214 178 -36 <0.001

50 211 166 -45 <0.001

100 215 158 -57 <0.001

Kolesterol LDL (mg/dL)

25 144 113 -32 <0.001

50 138 99 -39 <0.001

100 141 94 -47 <0.001

Trigliserida (mg/dL)

25 140 112 -29 <0.01

50 141 106 -34 <0.01

100 155 93 -61 <0.001

Tabel 1. Perbandingan kadar lemak serum sebelum dan sesudah terapi eprotirome.

Eprotirome, Hormon Tiroid Analog, Menurunkan Kadar Kolesterol Pasien Dislipidemia

yang Diterapi dengan Statin

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 443CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 443 7/23/2010 10:33:29 PM7/23/2010 10:33:29 PM

Page 35: cdk_179_tht

444 | AGUSTUS 2010

Pada 1 April 2010 American Fam-

ily Physician mempublikasi pe-

doman bagi dokter keluarga

dalam mendiagnostik dan menskrin-

ing pasien diabetes.

Pencegahan, diagnostik akurat dan

terapi merupakan hal yang penting

bagi pasien diabetes karena begitu

luasnya kemungkinan komplikasi sep-

erti nefropati, retinopati, neuropati,

penyakit kardiovaskuler, stroke bah-

kan kematian; yang dapat diperlam-

bat bahkan dicegah dengan pemili-

han terapi yang sesuai.

Sejak tahun 1997 American Diabetes

Association (ADA) telah memperke-

nalkan etiologi diabetes berdasar-

kan klasifi kasi dan kriteria diagnostik,

yang di tahun 2010 kembali direvisi,

dan penting diketahui bagi para dok-

ter dokter keluarga.

Kriteria diagostik diabetes adalah

penilaian kadar hemoglobin A1c

(HbA1c), kadar gula darah puasa dan

kadar gula darah sewaktu atau hasil

pemeriksaan toleransi glukosa oral

(OGTT). ADA mendefi nisikan diabe-

tes dalam dua kondisi yaitu kadar glu-

kosa darah puasa (8 jam) di atas 126

mg/dL dan kriteria lain: kadar glukosa

darah sewaktu di atas 200 mg/dL den-

gan keluhan poliuria, polidipsi, penu-

runan berat badan dan karakterisktik

lainnya yang positif. Kadar glukosa

darah sewaktu dapat digunakan se-

bagai skrining dan diagnostik tetapi

sensitivitasnya hanya 39-55%.

Pemeriksaan lini pertama pasien dia-

betes adalah OGTT; pasien puasa

selama 8 jam dan diberi asupan glu-

kosa 75 g. ; didiagnosis diabetes jika

kadar glukosa di atas 199 mg/dL, dan

didiagnosis ada gangguan gula darah

puasa jika kadar glukosa 140-199 mg/

dL pasca asupan glukosa; kriteria lain

gangguan gula darah puasa jika kadar

gula darah puasa tanpa asupan glu-

kosa adalah 100-125 mg/dL.

Pemeriksaan kadar HbA1c tidak me-

merlukan puasa, dapat berguna se-

bagai diagnostik dan skrining diabe-

tes jika kadar HbA1c setidaknya 6,5%

dalam dua kali pemeriksaan, keter-

batasan pemeriksaan ini adalah sen-

sitivitasnya rendah dan dipengaruhi

oleh faktor di antaranya ras, anemia

dan terapi yang digunakan.

Pemberian larutan glukosa 50 g meru-

pakan skrining yang paling sering di-

lakukan untuk mendiagnosis diabetes

gestasional, meskipun pemberian 75

-100 g glukosa dibutuhkan untuk meng-

konfi rmasi hasil awal yang positif.

Diabetes ketoasidosis merupakan ke-

jadian yang sering terjadi pada pasien

diabetes tipe 1 atau kadang pasien

diabetes tipe 2 ; lebih sering pada

pasien obesitas dan warna kulit hitam;

dikatakan diabetes ketoasidosis jika

hasil pemeriksaan kadar gula darah

melebihi 250 mg/dL dengan pH arteri

< 7,3 dan keton darah meningkat.

Meskipun belum cukup konsisten,

skrining diabetes perlu dilakukan

pada pasien hipertensi dan hiperlipi-

demia untuk menentukan klasifi kasi

diabetes berdasarkan tipe, perlunya

pemberian insulin berkelanjutan da-

pat difasilitasi dengan pemeriksaan

kadar C peptide; sedangkan pemer-

iksaan autoantibodi terhadap sel islet,

insulin, glutamic acid decarboxylase

(GADA), tyrosine phosphatase (1A-2α

dan 1A-2β) atau marker lainnya un-

Review Kriteria Diagnostik dan Skrining DM bagi

Dokter Keluarga

tuk melihat adanya destruksi sel beta

pankreas.

Rekomendasi spesifi k bagi klinisi ber-

dasarkan bukti ilmiah adalah :

• Skrining diabetes harus dilaku-

kan pada pasien dengan tekanan

darah di atas 135/80 mmHg (level

of evidence A)

• Skrining diabetes harus dilakukan

pada pasien hipertensi atau hip-

erlipidemia (level of evidence B)

• Kalkulasi risiko dapat digunakan

sebagai identifi kasi pasien yang

memerlukan skrining lebih lanjut

(level of evidence C)

• Diabetes dapat didiagnosis jika

kadar HbA1C > 6,5% dalam dua

kali pemeriksaan terpisah (level of

evidence C)

• Pada pasien dengan risiko tinggi

diabetes, counseling direko-

mendasikan untuk memberiksan

strategi yang efektif, mengu-

rangi risiko diabetes termasuk

penurunan berat badan dan lati-

han fi sik. (level of evidence C).

� (ARI)

REFERENSI

1. L Barclay. Am Fam Physician 2010;81:863-70.

abstract.

2. Executive Summary : Standards of Medical

Care in Diabetes -2010

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 444CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 444 7/23/2010 10:33:31 PM7/23/2010 10:33:31 PM

Page 36: cdk_179_tht

445| AGUSTUS 2010

Sampai saat ini pengobatan

jangka panjang untuk gangguan

bipolar American Psychiatric

Association dan National Institute

for Health and Clinical Excellence

terdiri dari penggunaan mood stabi-

lizer yaitu litium dan sodium divalproat

yang juga dikenal sebagai antiepilepsi

serta golongan antipsikotik atipikal

olanzapine.

Beberapa tahun belakangan ada ke-

cenderungan penggunaan sodium

divalproat sebagai terapi pasien bi-

polar rawat jalan. Penggunaan sodium

divalproat ini juga didasarkan karena

terbukti efektif dalam aktifi tas anti-

maniknya dan adanya bukti adanya

efek perlindungan jangka panjang da-

lam melawan kekambuhan gangguan

bipolar. Sodium divalproat juga pada

beberapa penelitian ternyata lebih

baik dalam mengatasi gangguan man-

ik pasien bipolar dengan mood yang

berganti-ganti (mood swing). Efek

tersebut bergantung kepada dosis

dan konsentrasi serum. Efek antiman-

iknya yang cepat sendiri dicapai den-

gan dosis penuh 20mg/kgbb. perhari.

Tahun 2003 di Amerika, FDA telah

menyetujui sodium divalproat lepas

berkesinambungan (extended re-

lease/ER) dengan dosis satu kali se-

hari sebagai obat untuk migrain dan

oleh Canada disetujui sebagai obat

anti epilepsi. Bentuk baru dari so-

dium divalproat ini memberikan be-

berapa keuntungan yaitu konsentrasi

yang lebih stabil dan dosis yang leb-

ih sederhana, satu kali sehari. Suatu

penilitian klinis tidak tersamar me-

nemukan tidak adanya perbedaan

dalam efektifi tas dan efek samping

antara sodium divalproat ER dengan

jenis yang standar pada pasien epi-

lepsi

Suatu penelitian awal dengan metode

open-label selama 6 minggu melibat-

kan 12 pasien (8 perempuan dan 4 laki-

laki) dengan usia rata-rata 45,7 tahun.

Diagnosis subjek penelitian menurut

DSM-IV adalah Bipolar I dan II dan

gangguan skizoafektif tipe bipolar.

Pasien ini telah memakai obat sodium

divalproat standar dua kali sehari se-

lama setidaknya 4 minggu.

Preparat standar diberikan dua kali

sehari sedangkan preparat ER diberi-

kan sehari sekali di saat hendak tidur.

Konsentrasi sodium divalproat diukur

menggunakan fl uorescence polariza-

tion immunoassay pada hari 1, hari

ke-7, minggu ke-6 dan satu minggu

setelah penyeimbangan dosis. Serum

darah diambil di antara 10-14 jam set-

elah penggunaan terakhir dosis kedua

pada sodium divalproat standar dan di

antara 22-26 jam setelah penggunaan

dosis terakhir sodium divalproat ER.

Status mental secara klinis dievaluasi

saat awal penelitian dan setiap min-

ggu dengan menggunakan Young

Mania Rating Scale, 17-item Hamil-

ton Depression Rating Scale, Clinical

Global Impression (CGI) of severity

and improvement, Global Assessment

of Functioning Scale (DSM-IV) dan the

17-item Brief Psychiatric Rating Scale

(BPRS) serta the Udvalg for Kliniske

Undersøgelser (UKU) Side Effect Rat-

ing Scale untuk menilai efek samping

obat.

Peneliti menemukan bahwa ke 12

pasien tersebut dapat diganti pengo-

batannya dari sodium divalproat stan-

dar menjadi sodium divalproat ER.

Penelitian ini tidak menrmukan pen-

gurangan efektifi tas pada pemakaian

sediaan ER Hal lain yang patut diper-

hatikan adalah tidak adanya pening-

katan risiko efek samping selama 6

minggu penggunaan preparat sodium

divalproat ER.

Penggunaan sodium divalproat ER

membutuhkan dosis sekitar 21% lebih

tinggi agar mencapai dosis ekuivalen

preparat sodium valproat standar un-

tuk mencapai kadar serum yang tera-

peutik untuk kasus bipolar. Walaupun

demikian preparat ER ternyata lebih

stabil sehingga meningkatkan efek-

tifi tasnya. Dosis preparat sodium ER

yang sederhana yaitu sehari sekali da-

pat meningkatkan kepatuhan berobat

dan mempunyai efek manfaat jangka

panjang terutama dalam mencegah

kekambuhan .

Dengan pertimbangan tersebut,

penggunaan sodium divalproat lepas

berkesinambungan (extended release/

ER) dapat menjadi pilihan baik bagi

pasien bipolar yang belum pernah dit-

erapi dengan preparat sodium dival-

proat atau sebagai terapi pengganti

pasien bipolar yang sudah memakai

preparat sodium divalproat standar

yang diharapkan dapat meningkatkan

ketaatan berobat karena dosis yang

lebih sederhana

Andri

Bagian Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran

Universitas Krida Wacana Jakarta

SUMBER :

1. Blanco C, Laje G, Olfson M,et al. Trends in the

Treatment of Bipolar Disorder by Outpatient Psy-

chiatrists. Am J Psychiatry 2002; 159:1005–1010

2. Centorrino F, Kelleher JP, Berry JM, Salvatore

P, Eakin M, Fogarty V, et al. Pilot Comparison of

Extended-Release and Standard Preparations

of Divalproex Sodium in Patients With Bipolar

and Schizoaffective Disorders Am J Psychiatry

2003; 160:1348–1350

3. Bipolar Disorder. Quick Reference Guideline.

National Institute for Health and Clinical Excel-

lence. July 2006

Efektifi tas Penggunaan Preparat Sodium Divalproat Lepas Berkesinambungan (Extended

Release/ER) pada Terapi Gangguan Bipolar

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 445CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 445 7/26/2010 5:37:45 PM7/26/2010 5:37:45 PM

Page 37: cdk_179_tht

447| AGUSTUS 2010

Studi penggunaan kombinasi

hormon androgen dan proge-

stogen untuk kontrasepsi pada

pria memberikan hasil yang cukup

menjanjikan, meskipun masih terus di-

sempurnakan untuk diaplikasikan.

Androgen berfungsi menekan hormon

gonadotropin sehingga dapat men-

ekan spermatogenesis, juga untuk

mempertahankan kadar testosteron

darah agar tidak menimbulkan efek

tidak diinginkan seperti penurunan li-

bido. Sedangkan progestogen diha-

rapkan dapat lebih menekan hormon

gonadotropin sehingga dapat lebih

menekan spermatogenesis.

Penelitian Prof Moeloek dkk (2002)

mengenai kombinasi androgen dan

progestogen jangka panjang meng-

gunakan Testosteron undekanoat (TU)

dan Depot Medroksi Progesteron Ase-

tat (DMPA) pada 40 pria Indonesia, di

Jakarta dan Palembang menunjukkan

semua pria mencapai azoospermia.

Beliau saat ini sedang melakukan

penelitian membuat TU dan DMPA

menjadi satu emulsi yaitu Mikroemulsi

TU/DMPA sehingga lebih mudah di-

terima masyarakat karena hanya perlu

satu kali suntik setiap datang1.

Dr. Gu dan rekan dari Beijing meng-

gunakan suntikan depot medroxypro-

gesterone acetate (DMPA) dan testos-

terone undecanoate (TU) interval 8

minggu untuk menekan proses sper-

matogenesis pada pria China sehat.

Setelah skrining awal, 30 sukarelawan

pria sehat dipilih secara acak masuk

dalam 3 kelompok dosis ; 10 orang /

kelompok mendapatkan 1000 mg TU

(kelompok A); 1000 mg TU +150 mg

DMPA (kelompok B) seta 1000 mg TU

+ 300 mg DMPA (kelompok C). Semua

dosis obat tersebut diberikan secara

suntikan intramuskular setiap 8 min-

ggu. Pengamatan dalam periode 8

minggu kontrol (baseline) , setelah 24

minggu periode pengobatan serta 24

minggu periode recovery. Keadaan

azoospermia atau oligozoospermia

yang berat tercapai dan dipertahank-

an pada seluruh sukarelawan selama

periode pengobatan , kecuali untuk 2

pria dalam kelompok TU konsentrasi

spermanya meningkat (rebound). Reg-

imen pengobatan kombinasi Testos-

teron Undekanoat selama 8 minggu

ditambah depot MPA efektif menekan

proses spermatogenesis yaitu azoo-

spermia pada pria China. Seluruh sun-

tikan dapat ditoleransi dengan baik;

tidak ada laporan efek samping serius.

Kombinasi dosis yang lebih rendah,

direkomendasikan untuk studi / test

selanjutnya untuk menilai efektivitas

yang lebih bermakna2. � (IWA)

REFERENSI :

1. Moeloek N, Perkembangan terkini kontrasepsi

hormonal pria di dunia. Abstrak PIT PERSANDI

IV & PANDI XVIII April 2010.

2. Gu YQ et al. Male Hormonal Contraception:

Effects of Injections of Testosterone Unde-

canoate and Depot Medroxyprogesterone

Acetate at Eight-Week Intervals in Chinese

Men. J. Clin. Endocrin. & Metabolism 2004;

89(5): 2254-2262; (abstract).

Kombinasi Testosteron dan Progestogen sebagai Alternatif Kontrasepsi Pria

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 447CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 447 7/23/2010 10:33:34 PM7/23/2010 10:33:34 PM

Page 38: cdk_179_tht

449| AGUSTUS 2010

BERITA TERKINI

Pada keadaan keganasan/ kanker,

dapat terjadi penurunan berat

badan drastis yang sering dise-

but dengan Kakeksia (cachexia) akibat

pemecahan protein otot khususnya di

perifer, yang memetabolisme asam

amino yang diperlukan bagi pemben-

tukan protein di hati dan juga di tumor.

Pemberian asam amino secara teoritis

dapat memberikan tambahan energi

yang diperlukan sebagai protein-spa-

ring metabolic dengan membantu me-

tabolisme otot dan gluconeogenesis.1

Branched-chain amino acids (BCAA)

yang terdiri dari leucine, isoleucine,

dan valine dipergunakan dengan tu-

juan meningkatkan keseimbangan /

balans nitrogen terutama pada meta-

bolisme protein otot

Dilaporkan bahwa penambahan

BCAA dalam nutrisi parenteral ber-

hasil meningkatkan keseimbangan

protein dan sintesis albumin, selain

itu BCAA dapat mengurangi keadaan

anorexia dan cachexia secara berkom-

petisi dengan tryptophan, prekursor

serotonin otak, melewati sawar otak

(blood-brain barrier) dan mengham-

bat peningkatan aktivitas serotonin di

hipotalamus, dan berdasarkan lapo-

ran, pemberian BCAA oral berhasil

menurunkan keadaan anorexia yang

berat pada penderita kanker.

Leucine, isoleucine dan valine meru-

pakan asam amino rantai cabang

dan merupakan asam amino yang

cukup banyak diteliti dan dibuktikan

memiliki efek farmakologis sebagai

prekursor (zat pendahulu) dalam sin-

tesis glutamine dan alanine pada otot

rangka. Leucine paling jelas efeknya

dan berguna untuk sintesis protein

yang diteliti pada keadaan sepsis dan

luka bakar2.

Keadaan kakhesia juga dapat terjadi

pada gangguan fungsi hati; Dr. Hole-

cek menentukan 3 target suplementasi

BCAA pada penyakit hati.3 : (1) ensefa-

lopati hati (2) regenerasi hati, dan (3)

kakhesia hati . Pemberian BCAA dapat

mengurangi ensefalopati hati dengan

meningkatkan detoksifi kasi amonia,

mengoreksi ketidakseimbangan asam

amino plasma dan mengurangi infl uks

asam amino aromatik. Suplementasi

BCAA pada ensefalopati hati lebih

efektif pada gangguan hati kronik

dengan hiperamonemia dan kadar

rendah BCAA dalam darah, dan pada

keadaan penyakit hati akut dengan

hiperaminoacidemia. Pada keadaan

regenerasi hati, suplementasi BCAA

berkaitan dengan efek stimulasi pada

sintesis protein, sekresi faktor pertum-

buhan pada hepatosit, produksi gluta-

min dan efek penghambatan proteoli-

sis. Sedangkan pada keadaan kakhesia

hati, efek suplementasi BCAA cukup

signifi kan pada penyakit hati terkom-

pensasi dengan mengurangi keadaan

infl amasi dan juga peningkatan kadar

turnover protein. Suplementasi BCAA

dapat meningkatkan kualitas hidup

pasien dan juga prognosis penyakit

hati. � (IWA)

REFERENSI :

1. Inui A. Cancer anorexia-cachexia syndrome.

CA Cancer J Clin 2002;52:72-91

2. Calder PC. Branched-chain amino acids and

immunity.J Nutr. 2006 Jan;136(1) Suppl

3. Holecek M. Three targets of branched-chain

amino acid supplementation in the treatment of

liver disease. Nutrition 2010 May; 26(5): 482-90

BCAA untuk Anoreksia Pasien Kanker

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 449CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 449 7/23/2010 10:33:39 PM7/23/2010 10:33:39 PM

Page 39: cdk_179_tht

450 | AGUSTUS 2010

Prostat merupakan organ pria

yang paling sering mengalami

proses pembesaran jinak mau-

pun ganas. Secara histologi, prostat

terdiri dari stroma dan epitel yang

masing-masing, baik secara individual

ataupun kombinasi, dapat berkem-

bang menjadi nodul hiperplastik dan

menimbulkan gejala khas.

BPH (benign prostatic hyperplasia)

merupakan salah satu tumor jinak

paling sering pada pria dan kejadian-

nya berkaitan dengan usia. Prevalensi

BPH berkaitan dengan usia dan onset

biasanya setelah usia 40 tahun :50%

pada usia 60 tahun dan 90% pada usia

85 tahun. Sebanyak 50% pasien den-

gan diagnosis histologi BPH mem-

punyai gejala saluran kemih sedang

hingga berat.

Jumlah pria dengan kanker prostat

meningkat dalam 2 dekade terakhir

akibat meningkatnya usia penduduk.

Kanker prostat merupakan penyebab

kematian akibat kanker ke tiga paling

sering pada pria. Penyebab spesifi k

onset dan progresivitas kanker prostat

tidak diketahui, namun faktor genetik

dan lingkungan berperan. Sebanyak

90% kanker prostat merupakan ad-

enokarsinoma sel asinar dan 70%-nya

terjadi di daerah perifer.

Pembesaran prostat mempunyai faktor

etiologi multifaktorial dan endokrin.

Faktor yang dikaitkan dengan pemb-

esaran prostat adalah peningkatan

kadar DHT (dihydrotestosterone) dan

penuaan. Observasi dan studi klinis

pada pria juga menunjukkan keterli-

batan kontrol endokrin dalam pem-

besaran prostat.

Telah diketahui bahwa stres oksidatif

juga berperan pada pembesaran pros-

tat. Stres oksidatif merupakan ketidak-

seimbangan antara produksi ROS

(Reactive Oxygen Species) dengan

pertahanan antioksidan. Dalam sistem

antioksidan enzim, SOD berperan

penting dalam mempertahankan kes-

eimbangan ROS. SOD mengkatalisasi

konversi superoksida menjadi hidro-

gen peroksida, sedangkan respirasi

mitokondria menghasilkan sejumlah

besar superoksida dalam sel.

Penurunan aktivitas Mn-SOD telah

dikaitkan dengan berbagai jenis tu-

mor, antara lain bahwa peningkatan

ekspresi Mn-SOD dapat menekan tu-

morigenisitas melanoma, sel kanker

payudara dan sel glioma manusia.

Fungsi penekanan Mn-SOD juga

dikaitkan dengan kanker ovarium,

kanker paru dan kanker prostat.

Banyak studi menunjukkan bahwa Mn-

SOD dapat berfungsi sebagai gen

penekan tumor secara umum, dan

merupakan petunjuk untuk aplikasi

terapi di masa mendatang dan bahwa

antioksidan berperan penting dalam

pencegahan kanker prostat.

Suatu studi telah dilakukan untuk me-

nilai status stres oksidatif/nitrosatif

pada kanker prostat dan BPH pada

312 pria (107 pasien kanker prostat,

167 pasien BPH dan 38 subyek kon-

trol). Dalam studi ini dilakukan pengu-

kuran kadar MDA (malondialdehyde)

eritrosit, aktivitas CuZn-SOD, gluta-

tion peroksidase (GPx) dan katalase

eritrosit, dan nitrit/nitrat plasma.

Hasilnya menunjukkan bahwa konsen-

trasi MDA yang lebih tinggi dengan

aktivitas GPx dan CuZn-SOD yang

lebih rendah ditemukan pada pasien

kanker prostat dibanding pasien BPH

dan subyek kontrol. Aktivitas katalase

menurun pada pasien kanker prostat

dibanding subyek kontrol. Lebih lanjut,

pasien kanker prostat mengalami pen-

ingkatan nitrit/nitrat plasma dibanding

pasien BPH dan subyek kontrol. Studi

ini mengkonfi rmasi peran stres oksi-

datif dan perubahan status nitrosatif

pada pasien dengan kanker prostat.

Penurunan aktivitas SOD pada pasien

kanker prostat juga telah diteliti sebe-

lumnya pada 25 pasien kanker prostat

non-metastatik, 36 pasien BPH dan

24 subyek pria sehat sebagai kontrol

dimana aktivitas GPx dan SOD secara

bermakna menurun pada pasien kank-

er dibanding pasien BPH dan subyek

kontrol. Secara bermakna, peroksidasi

lemak meningkat dengan penurunan

aktivitas SOD dan kadar Zn pada

pasien BPH dibanding subyek kontrol.

Hal ini menunjukkan adanya peruba-

han indeks peroksidasi lemak dengan

disertai perubahan sistem pertahanan

antioksidan pada pasien kanker pros-

tat dibanding pasien BPH, sehingga

peneliti mempunyai hipotesis bahwa

perubahan keseimbangan prook-

sidan-antioksidan dapat menyebab-

kan peningkatan kerusakan oksidatif

dan konsekuensinya dapat berperan

penting dalam karsinogenesis prostat.

� (EKM)

REFERENSI

1. Esaú F, Noemí C, Melchor C, Equihua JLR,

José F, Arzave C et al. Manganese superoxide

dismutase (Mn-SOD) expression levels in pros-

tate cancer and benign prostatic hyperplasia

tissue. Rev Mex Urol 2009;69(4):159-62.

2. Arsova-Sarafi novska Z, Eken A, Matevska N,

Erdem O, Sayal A, Savaser A et al. Increased

oxidative/nitrosative stress and decreased an-

tioxidant enzyme activities in prostate cancer.

Clin Biochem. 2009;42(12):1228-35.

3. Aydin A, Arsova-Sarafi novska Z, Sayal A, Eken

A, Erdem O, Erten K et al. Oxidative stress and

antioxidant status in nonmetastatic prostate

cancer and benign prostatic hyperplasia. Clin

Biochem. 2006;39(2):176-9.

Aktivitas SOD pada Kanker Prostat dan BPH

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 450CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 450 7/23/2010 10:33:45 PM7/23/2010 10:33:45 PM

Page 40: cdk_179_tht

451| AGUSTUS 2010

Chlorhexidine adalah suatu anti-

septik yang termasuk golongan

bisbiguanide. Chlorhexidine

merupakan antiseptik dan disinfektan

yang mempunyai efek bakterisidal

dan bakteriostatik terhadap bakteri

Gram (+) dan Gram (-). Chlorhexidine

lebih efektif terhadap bakteri Gram

positif dibandingkan dengan bakteri

Gram negatif. Chlorhexidine dapat

menyebabkan kematian sel bakteri

dengan menimbulkan kebocoran sel

(pada pemaparan chlorhexidine kon-

sentrasi rendah) dan koagulasi kand-

ungan intraselular sel bakteri (pada

pemaparan chlorhexidine konsentrasi

tinggi).

Chlorhexidine akan diserap dengan

sangat cepat oleh bakteri dan penyer-

apan ini tergantung pada konsentrasi

chlorhexidine dan pH. Chlorhexidine

menyebabkan kerusakan pada lapisan

luar sel bakteri, namun kerusakan ini

tidak cukup untuk menyebabkan ke-

matian sel atau lisisnya sel. Kemudian

chlorhexidine akan melintasi dinding

sel atau membran luar, diduga mela-

lui proses difusi pasif, dan menyerang

sitoplasmik bakteri atau membran

dalam sel bakteri. Kerusakan pada

membran semipermiabel ini akan dii-

kuti dengan keluarnya kandungan in-

traselular sel bakteri. Kebocoran sel

tidak secara langsung menyebabkan

inaktivasi selular, namun hal ini meru-

pakan konsekuensi dari kematian sel.

Chlorhexidine konsentrasi tinggi akan

menyebabkan koagulasi (penggump-

alan) kandungan intraselular sel bak-

teri sehingga sitoplasma sel menjadi

beku, dan mengakibatkan penurunan

kebocoran kandungan intraselular.

Jadi terdapat efek bifasik (memiliki 2

fase) chlorhexidine pada permeabilitas

membran sel bakteri, dimana pening-

katan kebocoran kandungan intrase-

lular akan bertambah seiring bertam-

bahnya konsentrasi chlorhexidine,

namun kebocoran ini akan menurun

pada chlorhexidine konsentrasi tinggi

akibat koagulasi dari sitosol (cairan

yang terletak di dalam sel) sel bakteri.

Baru-baru ini, gel bioadesif yang

mengandung CHX diperkenalkan di

pasaran. Pemberian gel ini secara in-

traalveolar memungkinkan efek terapi

CHX lebih langsung dan lebih lama

bertahan, yang berguna mencegah

terjadinya osteitis alveolar pasca pen-

cabutan molar ketiga yang impaksi.

Pemberian CHX gel intraalveolar pada

pasien dengan gangguan perdarahan

dapat meningkatkan risiko komplikasi

perdarahan pasca operasi. Sebaliknya,

kelainan perdarahan dapat mem-

pengaruhi efi kasi CHX sebagai obat

pencegah osteitis alveolar.

Tujuan penelitian ini adalah untuk

mengevaluasi keefektifan gel CHX

0,2% dalam menurunkan insidens os-

teitis alveolar pasca ekstraksi molar ke

tiga yang impaksi pada pasien dengan

gangguan perdarahan. Digunakan

metode penelitian tersamar ganda,

acak dan kelompok paralel pada 38

pasien gangguan perdarahan.

Kelompok eksperimen (n=14) diobati

dengan gel CHX 0,2% intraoperatif

setelah pembedahan pengangkatan

gigi molar ke tiga. Kelompok kontrol

(n=24) diobati dengan gel plasebo.

Hasil penelitian memperlihatkan

penurunan insidens osteitis alveolar

sebesar 57,15% pada kelompok eks-

perimen: insidens osteitis alveolar di

kelompok kontrol 17% dan di kelom-

pok eksperimen sebesar 7% (p=0,402).

Komplikasi perdarahan terjadi pada

21% kelompok eksperimen diband-

ingkan dengan 29% di kelompok kon-

trol (p=0,601).

Seperti hasil penelitian sebelumnya,

CHX 0,2% intraalveolar intraoperatif

dosis tunggal tampaknya menurunkan

insidens osteitis alveolar setelah pen-

cabutan molar ke tiga yang impaksi

pada pasien dengan gangguan perd-

arahan. � (SFN)

REFERENSI:

1. Torres-Lagares D, Gutierrez-Perez JL, Hita-

Iglesias P. Randomized, double-blind study

of effectiveness of intra-alveolar application

of chlorhexidine gel in reducing incidence of

alveolar osteitis and bleeding complications in

mandibular third molar surgery in patients with

bleeding disorders. J Oral Maxillofac Surg.

2010 Jun;68(6):1322-6. Available from: http://

www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20346565

2. Torres-Lagares D, Gutierrez-Perez JL, Infante-

Cossio P, Garcia-Calderon M, Romero-Ruiz

MM, Serrera-Figallo MA. Randomized, double-

blind study on effectiveness of intra-alveolar

chlorhexidine gel in reducing the incidence of

alveolar osteitis in mandibular third molar sur-

gery. Int J Oral Maxillofac Surg 2005;35(4):348-

51. Nov 9. Available from: http://www.ncbi.

nlm.nih.gov/pubmed/16289676

Keefektifan Chlorhexidine Gel Intra-alveolar pada Alveolar Osteitis dan Komplikasi Perdarahan pada Pembedahan Molar Ketiga Mandibular

Pasien dengan Gangguan Perdarahan

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 451CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 451 7/23/2010 10:33:47 PM7/23/2010 10:33:47 PM

Page 41: cdk_179_tht

453| AGUSTUS 2010

Kombinasi berberine, red yeast

rice, dan policosanol secara

bermakna menurunkan kadar

kolesterol total, kolesterol LDL (Low

Density Lipoprotein) serta memper-

baiki fungsi vaskular. Demikian hasil

penelitian dr. Valentina Mercurio dan

rekan dari University of Naples Fed-

erico II School of Medicine, Italia dan

telah dipublikasikan pada acara Euro-

PREVENT 2010.

Dr. Valentina mengatakan bahwa ber-

berine, red yeast rice, dan policosanol

telah digunakan sejak lama di dunia

medis Timur (non-Barat) untuk men-

gontrol kadar kolesterol. Berberine

dapat menurunkan kadar lipid total,

mengatasi gangguan pencernaan

dan telah digunakan dalam pengo-

batan tradisional Cina sebagai terapi

diabetes melitus. Dalam penelitian

dr. Yifei Zhang dan rekan dari Shang-

hai Clinical Center for Endocrine and

Metabolic Diseases and Division of

Endocrine and Metabolic Diseases,

Shanghai, China, berberine efektif

dan relatif aman sebagai terapi pasien

diabetes dan dislipidemia. Berberine

dapat ditemukan pada tumbuhan Ber-

beris, goldenseal (Hydrastis canaden-

sis), and Chinese goldthread (Coptis

chinensis).

Red yeast rice, atau red fermented

rice, red kojic rice, red koji rice, atau

ang-kak, adalah nasi fermentasi ber-

warna merah keunguan, secara alami

mengandung lovastatin, apabila nasi

merah tersebut diolah bersamaan

dengan jamur Monascus purpureus.

Dalam penelitian, red yeast rice secara

Nutraseutikal Kombinasi Terbaru untuk Terapi Hiperkolesterolemia

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 453CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 453 7/23/2010 10:33:49 PM7/23/2010 10:33:49 PM

Page 42: cdk_179_tht

454 | AGUSTUS 2010

bermakna menurunkan kadar koles-

terol total dan kolesterol LDL diband-

ingkan plasebo.

Policosanol merupakan campuran

alkohol alifatik yang berasal dari lilin

tumbuhan seperti tebu, ubi rambat

atau dari lilin lebah. Data menunjuk-

kan bahwa policosanol ini diberikan

pada pasien diabetes, namun hingga

kini pengaruhnya terhadap kontrol

gula darah masih dipertanyakan

Penelitian dr. Valentina dkk. merupa-

kan penelitian acak, tersamar ganda,

melibatkan 50 pasien hiperkolestero-

lemia. Kelompok I menerima terapi

nutraseutikal kombinasi (500-mg ber-

berine, 200-mg red yeast rice, dan

10-mg policosanol); dan kelompok

II diberi plasebo selama periode 6

minggu. Setelah 6 minggu pertama,

dilakukan penelitian lanjutan (peneli-

tian terbuka), kelompok I dan II diberi

terapi nutraseutikal kombinasi selama

4 minggu.

Hasil penelitian memperlihatkan ba-

hwa setelah 6 minggu, kadar koleste-

rol total dan LDL turun di kelompok I,

namun tidak di kelompok II plasebo.

Selain itu fl ow-mediated dilation men-

galami perbaikan pada kelompok I

terapi nutraseutikal kombinasi, namun

tidak berubah pada kelompok II (pla-

sebo).

Pada akhir masa penelitian lanjutan

(kelompok I dan II diberi terapi nutra-

seutikal kombinasi) terjadi penurunan

trigliserida pada kedua kelompok pe-

nelitian.

Selain hasil tersebut, analisis sekunder

memperlihatkan perbaikan sensitifi -

tas insulin secara bermakna pada pa-

sien yang pada baseline mengalami

resistensi insulin. Selama penelitian

berlangsung, tidak ada efek samping

berat yang teramati pada kedua ke-

lompok penelitian; efek samping rela-

tif ringan seperti diare dan konstipasi.

Penurunan kadar lemak dipeneklitian

ini dapat diperbandingkan dengan

penurunan kadar lemak yang dapat

dicapai dengan dosis statin standar.

Di Italia kombinasi nutraseutikal ini

tersedia dalam sediaan tablet untuk

pemberian sekali sehari serta dijual di

apotik. Dr. Valentina menambahkan

bahwa produk nutraseutikal kombinasi

ini hendaknya diresepkan oleh dokter

dan bukan dibeli langsung oleh pa-

sien/ masyarakat.

SIMPULAN:

o Kombinasi berberine, red yeast

rice, dan policosanol secara ber-

makna menurunkan kadar koles-

terol total, kolesterol LDL (Low

Density Lipoprotein) serta mem-

perbaiki fungsi vaskular

o Selain memperbaiki profi l lemak,

nutraseutikal kombinasi ini juga

diperkirakan dapat diberikan pada

pasien diabetes melitus karena

dapat memperbaiki sensitivitas in-

sulin.

� (YYA)

Tabel 1. Perbandingan perubahan dari baseline pada minggu ke-6, antara kelompok I (terapi nutraseutikal) dengan kelompok II (plasebo).

Pengukuran Kelompok I Kelompok II Nilai p

Kolesterol total (mmol/L) -1,14 -0,03 <0,001

Kolesterol LDL (mmol/L) -1,06 -0,04 <0,001

Dilatasi karena aliran darah (fl ow-mediated dilation (%)) 3 0 <0,05

REFERENSI :

1. Heber D, Yip I, Ashley JM, Elashoff DA,

Elashoff RM, Go VLW. Cholesterol-lowering

effects of a proprietary Chinese red-yeastrice

dietary supplement. Am J Clin Nutr 1999; 69:

231–6.

2. Medscape. “Nutraceutical” Combo for Lipid

Lowering Shows Promise in Small, Prelimi-

nary Trial. [cited 2010 Mei 14]. Available from:

http://www.medscape.com/viewarticle/72139

0?src=mpnews&spon=2&uac=117092CG

3. Torres O, Agramonte AJ, Illnait J, Más Fer-

reiro J, Fernández L, Fernández JC. Treat-

ment of hypercholesterolemia in NIDDM

with policosanol. [cited 2010 Mei 14]. Avail-

able from: http://care.diabetesjournals.org/

content/18/3/393.abstract?

4. Zhang Y, Li X, Zou D, Liu W, Yang J, Zhu N,

et al. Treatment of Type 2 Diabetes and Dys-

lipidemia with the Natural Plant Alkaloid Ber-

berine. J Clin Endocrinol Metab. 2008; 93:

2559–65.

BERITA TERKINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 454CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 454 7/23/2010 10:33:51 PM7/23/2010 10:33:51 PM

Page 43: cdk_179_tht

455| AGUSTUS 2010

INTRODUCTION

All cellular elements that comprise

a peripheral nerve (perineural cells,

Schwann cells and fi broblasts) can the-

oretically give rise to peripheral nerve

tumors (PNTs). The tumors are clas-

sifi ed as either benign or malignant,

and sub-classifi ed according to their

origin from either neural or non-neural

elements (Table 1).

HISTORY AND PHYSICAL EXAMI-

NATION

When a soft tissue mass is associated

with sensory and/or motor symptoms

supplied by a known peripheral nerve,

the suspicion of a peripheral nerve

tumor is readily apparent. Then a fo-

cused history of patient to harbor a pe-

ripheral nerve tumor (PNTs) should be

directed towards the onset, duration,

and growth alterations of the mass. A

family history of NF-1 or NF-2 or other

predisposition syndromes is of special

importance, since majority of PNTs are

linked with these syndromes. Presence

or absence of symptoms and signs

such as pain, numbness, weakness,

the overlying skin temperature and

color, fl uctuance, along with the pa-

tients general health inquiry including

immune status, pre-existing malignan-

cy are of importance in the differential

diagnosis. However, many peripheral

nerve tumors present without any neu-

rological symptoms due to their slow

growth rate or origin from a superfi cial

small sensory branch. Several features

of the examination that suggests a pe-

ripheral nerve origin(1): 1. PNTs are mo-

bile perpendicular but not along the

longitudinal axis of a known peripheral

nerve. 2. Palpation or percussion (Ti-

nel’s sign) of a PNT may elicit sensory

stimuli radiating along the distribution

of the nerve of origin. 3. A mass in the

presence of a patient with a genetic

predisposition such as neurofi broma-

tosis (NF) most likely represents a pe-

ripheral nerve tumor.

DIAGNOSTICS

Nerve conduction and EMG evalua-

tion are not generally performed in

the management of PNTs as they are

not diagnostic nor do they help in

the management decision. However,

Treatment of Peripheral Nerve Tumors

Julius July1, Abhijit Guha2

1. Department of Neurosurgery, Medical School of Universitas Pelita Harapan, Siloam Lippo Karawaci Hospital, Tangerang, Indonesia

2. Professor, Department of Surgery; Alan & Susan Hudson Chair in Neurooncology Toronto Western Hospital, University Health Network; Co-Director,

Arthur & Sonia Labatts Brain Tumor Centre, Hospital for Sick Children’s Research Institute, Univ. of Toronto, Ontario, Canada

Table 1. Peripheral Nerve Tumors Simple Classifi cation Scheme

Peripheral Nerve Tumors

Benign Malignant

Neural Elements Neural Elements

Non Neural Elements Non Neural Elements

Schwanoma

Neurofi broma

Perineurioma

Etc.

Desmoid

Ganglion Cyst

Fibrolipomatous Hamartoma

Lipoma

Neuromuscular choristoma

Etc.

Pancoast Tumor

Soft Tissue sarcoma /-

carcinoma

Etc.

MPNST

Primary PN Lymphoma

Etc.

PRAKTIS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 455CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 455 7/23/2010 10:33:52 PM7/23/2010 10:33:52 PM

Page 44: cdk_179_tht

456 | AGUSTUS 2010

intra-operative electrophysiology is

crucial as discussed below. Plain X-ray

and CT scans are occasionally helpful,

especially to demonstrate remodel-

ing of adjacent bony structures such

as the neural foramina. Angiography

or MR angiography is rarely required,

and restricted to large PNTs at the

base of the neck, chest or retroperi-

toneum, where close proximity and or

rarely vascular invasion may be pres-

ent. MRI is the most useful and sensi-

tive technique, often but not always

revealing the nerve of origin (Fig. 1).

It is especially useful in determining

the relationship of the mass to adja-

cent anatomical structures, which are

of relevance.

Although CT scan or MRI cannot dis-

tinguish between the various subtypes

of PNTs and determine whether a le-

sion is benign or malignant (2,3), MR

imaging may be highly suggestive but

not diagnostic of the sub-type of PNT,

with elements of the history and physi-

cal examination often superior in pre-

dicting whether the lesion is benign

vs. malignant and the likely sub-type

of PNT to be present. Occasionally,

MR imaging of schwannoma demon-

strates the nerves of origin, and the

displaced passer-by fascicles around

the capsule, consistence with its typi-

cal extra-fascicular growth. In contrast,

neurofi bromas are more fusiform (ie.

spindle) or multi-nodal, suggestive of

their typical intra-fascicular growth. Of

note, a PNT in the context of an NF-1

patient will most certainly be a neuro-

fi broma vs. an NF-2 patient who likely

harbors a schwannoma. Lipomas have

the characteristic bright on T1 and T2

signal, while ganglion cysts are bright

on T2 with the origin traced to joint

capsule in proximity to the nerve.

MRI of PNTs may demonstrate het-

erogeneous enhancement, indicat-

ing intra-tumor hemorrhage, necrosis

or cystic degeneration. However, its

relationship to malignancy is poor. In

fact, there are no defi nitive radiologi-

cal features of a Malignant Peripheral

Nerve Sheath Tumor (MPNST), a di-

agnosis mainly suspected on rapid

clinical and radiological growth, pro-

gressive neurological deterioration

and most importantly pain. Use of 18FDG PET scanning, a developing

technique for dynamic imaging of

glucose metabolism(4,5), is of poten-

tial promise in distinguishing MPNST

from benign PNTs. Still, one should be

aware of the occasional false-negative

results with this modality(6). Initial stud-

ies have shown that 18FDG-PET can be

used to identify potentially malignant

transformation of a benign plexiform

neurofi broma to a MPNST. In those in-

stances where malignant transforma-

tion is probable but not yet confi rmed,

biopsy of the lesion before surgery is

essential.

Figure 1. Patient with Left median nerve schwanoma. Upper Left: T1W MRI showed a masses along the

course of left median nerve with obvious nerve origin. Upper Right: intraoperative picture showed proximal

and distal part before dissection to identify the nerve and isolated with rubber band. Lower: Identifying

the nerve and isolated with rubber band. Schwannoma always can be separated from the nerve and leave

the nerve intact.

PRAKTIS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 456CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 456 7/23/2010 10:33:52 PM7/23/2010 10:33:52 PM

Page 45: cdk_179_tht

457| AGUSTUS 2010

OPERATIVE PRINCIPLES

There are several operative principles

that are applicable for all peripheral

nerve tumors(1), such as:

1) Anesthetic without neuromuscular

paralysis to allow intra-operative

nerve stimulation.

2) The limb was positioned and

draped to allow anatomical acces-

sibility and evaluation of the distal

muscles that are supplied by the

nerve of origin.

3) The incision over the tumor should

extend proximally and distally to

allow adequate exposure of the

nerve of origin at either pole of

the tumor, coursing in a curvilin-

ear fashion over fl exor/extensor

creases. If the tumor is adjacent to

a known entrapment point such as

the carpal tunnel or fi bular head at

the knee, the incision should allow

prophylactic release of the entrap-

ment point in conjunction with tu-

mor removal.

4) Magnifi cation, intraoperative

electrophysiological monitoring

including Nerve Action Potentials

(NAP), and microneurosurgical

instruments should be ensured.

Ultrasonic aspiration is sometimes

required to internally debulk large

PNTs, which allows the tumor cap-

sule to be collapsed and facilitat-

ing subsequent dissection of the

passerby fascicles from the tumor

capsule.

5) The fi rst step of dissection in-

volves isolating of the proximal

and distal segments of the nerve

of origin from adjacent vascular

and soft tissue structures and en-

circling them in vessel loops.

6) Gross observation of the tumor

and the position of the displaced

fascicles will often reveal the un-

derlying pathology and vital to

avoid injuring the nerve during

tumor removal(7,8,9). In schwan-

nomas, passerby fasicles will be

found displaced relative to the tu-

mor capsule, though they may be

quite attenuated. The routes of

these fasicles should be noted mi-

croscopically and evaluated with

electrical stimulation noting dis-

tal muscle activity. Neurofi bromas

in contrast typically do not reveal

the discrete passerby fasicles, as

nerve fasicles are encompassed

within the tumor. However, several

major fasicles may be displaced

around the bulk of the tumor and

their position in the tumor capsule

should be noted.

7) A small biopsy of the tumor from

an electrically silent region is sent

for pathological verifi cation. The

pathology in conjunction with the

gross and microscopic observa-

tion will determine the feasibility

of total removal (as in schwanno-

mas) vs. limited resection (as in

neurofi bromas, desmoids). If the

quick section pathology suggests

a neurogenic sarcoma, then we

recommend closure and manage-

ment as outlined below.

Using the principles outlined above,

the single nerve fascicle which gives

rise to the schwannoma can usually

be isolated and electrophysiologically

confi rmed to be non-conducting, and

then total removal of the tumor can be

undertaken, (Fig 1).

REFERENCES:

1. July J, Guha A. Surgical Management of benign peripheral nerve tumors. Medical Journal of Indonesia 2008;17(3): 163-8.

2. Levine E, Huntrakoon M, Wetzel L. Malignant-nerve sheath neoplasms in Neurofi bromatosis: Distinctions from benign tumors by using imaging techniques. Am.

J. Radiol.1987;149:1059-1064.

3. Suh J, Abenoza P, Galloway H, Everson L, Griffi ths H. Peripheral (extracranial) nerve tumors: Correlation of MR imaging and histological fi ndings. Radiology

1992;183:341-346.

4. Adler LP, Blair HF, Makley JT, Williams RP, Joyce MJ, Leisure G, Al-Kaisi N, Miraldi F. Noninvasive grading of musculoskeletal tumors using PET. J Nucl

Med.1991;32:1508-12.

5. Lucas JD, O’Doherty MJ, Wong JCH, Bingham JB, McKee PH, Fletcher CDM, Smith MA. Evaluation of fl uorodeoxyglucose positron emission tomography in the

management of soft tissue sarcomas. J Bone Joint Surg (Br) 1998;80-B:441-7.

6. Hsu CH, Lee CM, Wang FC, Fang CL. Neurofi broma with increased uptake of (F-18)-fl uoro-2- deoxy-D-Glucose interpreted as a metastatic lesion. Ann Nucl Med

2003;17:609-611.

7. Hudson A, Gentili F, Kline D. Peripheral Nerve Tumors. In: Schmidek H, Sweet W (Eds). Operative Neurosurgical Techniques. Grune & Stratton, New York 1988.

pp. 1599-1610.

8. Kline D, Hudson A. Operative Results of Major Nerve Injuries, Entrapments and Tumors. W. B. Saunders, Philadelphia. 1994.

9 Rosenberg A, Dick H, Botte M. Nerve Tumors. In Gilberman R (Ed.), Operative Nerve Repair and Reconstruction, J.B. Lippincott, Philadelphia,1991.

PRAKTIS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 457CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 457 7/23/2010 10:33:54 PM7/23/2010 10:33:54 PM

Page 46: cdk_179_tht

458 | AGUSTUS 2010

SEJARAH SINGKAT STETOSKOP

Sejak ditemukan pertama kali di Per-

ancis pada 1816 oleh René-Théophile-

Hyacinthe Laennec, stetoskop telah

menjadi simbol pekerjaan seorang

dokter selama berabad-abad. Kata

‘Stetoskop’ sendiri berasal dari bahasa

Yunani (stethos, dada dan skopeein,

memeriksa) yang berarti sebuah alat

medis akustik untuk memeriksa suara

dalam tubuh. Alat ini banyak diguna-

kan untuk auskultasi suara jantung dan

pernapasan, meskipun juga diguna-

kan untuk mendengar bising usus dan

aliran darah arteri dan vena.

Bentuk awal alat ini pertama kali

adalah tabung kayu kosong. Konon

beliau menciptakan stetoskop sehing-

ga ia tidak perlu menaruh telinganya

di buah dada wanita Perancis. Tidak

jelas apakah Laennec mencoba men-

ghindarinya, atau untuk menghindari

rasa malu pasien. Apabila dilihat dari

bentuk dan teknologinya, stetoskop

dibagi menjadi 2 jenis :

1. Stetoskop Akustik

Ini bentuk paling umum yang dicip-

takan oleh Rappaport & Sprague di

awal abad ke-20 berdasarkan prinsip

penjalaran suara dari tubuh pasien

akan diteruskan ke dalam tabung

kosong lewat 2(dua) sisi chestpiece

untuk memperjelas suara. Sisi “dia-

phragma” (lempengan plastik) untuk

memproduksi gelombang akustik dan

sisi “bell” (mangkuk kosong) untuk

menyalurkan suara frekuensi rendah.

Masalah yang sering timbul dari ste-

toskop akustik adalah tingkatan suara

sangat rendah membuat diagnosis

relatif sulit

2. Stetoskop Elektronik

Stetoskop elektronik atau steto-

phone, merupakan pengembangan

versi akustik dengan penambahan

beberapa teknologi baru untuk bisa

meng-amplifi kasi suara tubuh dari

tingkat frekuensi terendah sampai

yang tertinggi agar memudahkan di-

agnosis. Modifi kasi yang ditambahkan

bermacam-macam mulai dari penggu-

naaan Diaphragma Elektronik, Kristal

Piezo-Elektrik, hingga Piranti Nirkabel

yang akan mulai muncul di pasaran

beberapa saat lagi.

STETOSKOP MASA DEPAN

Perkembangan teknologi yang makin

cepat telah merambah ke alat-alat

medis konvensional. Improvisasi den-

gan teknologi nirkabel hingga kristal

piezo-elektrik pun menambah fungsi

stetoskop masa kini dan akan terus

berkembang di masa depan.

Banyak produk stetoskop mutakhir

telah muncul saat ini, beberapa di

antaranya:

1. 3M-Littmann 3200 Bluetooth

Stethoscope

Penggunaan teknologi Bluetooth ser-

ing berhubungan dengan audio atau

suara tetapi tidak menyangka kalau

penggunaan Bluetooth sampai untuk

stetoskop. 3M Littmann 3200 adalah

sebuah stetoskop digital yang telah di-

lengkapi dengan teknologi Bluetooth.

Stetoskop yang satu ini mempunyai

fi tur yang biasanya ada di sebuah

earphone yaitu dikenal dengan nama

Ambient Noise Reduction, sebuah

fungsi untuk mengurangi suara berisik

Stetoskop - Stetoskop Masa Depan

Penggalih Mahardika Herlambang

Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi Surakarta, Indonesia

OPINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 458CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 458 7/23/2010 10:33:54 PM7/23/2010 10:33:54 PM

Page 47: cdk_179_tht

459| AGUSTUS 2010

dari luar sehingga suara yang dihasil-

kan benar-benar baik.

Stetoskop ini juga bisa merekam suara

detak jantung, paru-paru dan lainnya

dan kemudian fi le suara tersebut dapat

ditransfer ke komputer melalui koneksi

Bluetooth. Dalam paket penjualannya

juga telah disertakan sebuah software

Zargis Steth Assist yang dapat digu-

nakan untuk menganalisis suara yang

direkam dan bisa juga untuk berkomu-

nikasi sekaligus berkonsultasi dengan

sejawat lain secara jarak jauh dengan

fi tur Zargis TeleMed. Harga resmi 3M

Littmann Electronic Stethoscope ada-

lah US$ 379 sedangkan perangkat

lunaknya dijual terpisah seharga US$

385.

2. GE Vscan Pocket UltraSound

Ultrasound diprediksi akan menjadi

salah satu teknologi masa depan yang

akan diterapkan. Teknologi ini telah

dikembangkan oleh General Electric

(GE).

CEO GE Jeff Immelt telah memajang

perangkat baru yang dilengkapi den-

gan mesin ultrasound. Perangkat yang

diberi nama Vscan ini digadang-gad-

ang akan menggantikan stetoskop di

masa depan. Perangkat pencitraan

ukuran saku ini memiliki desain lipat

yang dilengkapi dengan layar beru-

kuran kecil 135x73x28 mm pada cang-

kang atas dan tombol keypad yang

terintegrasi di cangkang bawah yang

langsung tersambung pada probe.

Teknologi ultrasound pada Vscan me-

mungkinkan dokter memeriksa kondisi

kesehatan pasien, selain pemeriksaan

fi sik luar juga bisa melihat kelainan di

dalam tubuh secara pencitraan hitam

putih dan kode warna aliran darah

(echo) secara langsung di tempat.

Tujuan aplikasi klinis alat ini, menurut

GE, adalah sebagai alat bantu diag-

nosis cepat untuk kelainan jantung,

abdomen, vesica urinaria, obstetrik

& ginekologi, pediatri, vaskularisasi

perifer, dan pergerakan cairan pleura

dalam thoraks.

Dilengkapi slot memori MicroSD yang

bisa di-upgrade hingga 32GB, data

pasien dengan format ‘.jpg’ (gambar),

‘.mpg’(video) dan ‘.wav’(suara) akan

makin banyak tersimpan dalam piranti

VScan ini dan bisa ter-integrasi den-

gan aplikasi Vscan Gateway Software

. Sayangnya piranti ini belum dapat

dinikmati secara umum walaupun su-

dah lolos uji dari FDA Amerika Serikat,

Kanada, dan Uni Eropa.

OPINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 459CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 459 7/23/2010 10:33:57 PM7/23/2010 10:33:57 PM

Page 48: cdk_179_tht

460 | AGUSTUS 2010

3. iStethoscope Pro (iPhone

2G/3G/3Gs + Stethoscope)

Dikembangkan oleh Peter J.Bentley,

seorang pakar komputer sekaligus

penulis 7(tujuh) buku sains populer

yang tergabung dalam perkumpulan

The Undercover Scientist di Univer-

sity College London. Aplikasi iStetho-

scope Pro merupakan pengembangan

bersama dengan pakar kardiologi dari

aplikasi pendahulunya yaitu iSteto-

scope yang masih tergolong software

iseng saja. Terdapat 6 (enam) mode

pengoperasian dari mode mute,

heartbeat pure, heartbeat fi ltered,

conversation, clear sound, hingga

mode accelerometer.

Prinsip pemakaiannya sangat sederha-

na, cukup men-download aplikasi ini

di Apple AppStore seharga US$0,99

ke dalam iPhone, lalu aktifkan, kemu-

dian pasang headset lalu atur sen-

sitifi tas microphone dan tempelkan

pada permukaan daerah dada. Bisa

juga dengan membeli iStetho adapter

rancangan Dr.Blaine Warkentine, MD

yang berbentuk chestpiece stetoskop

dan bisa langsung dipasang pada iP-

hone.

Kekurangan pasti ada di setiap

teknologi buatan manusia, begitu-

pula iStethoscope. Karena belum me-

lewati uji FDA maka aplikasi ini tidak

disarankan untuk praktek resmi para

tenaga medis di AS saat ini. Di sisi lain,

pengembang aplikasi ini sudah mem-

peringatkan untuk tidak mecobanya

pada pasien yang memiliki implant

pacemaker karena dapat mempenga-

ruhi fungsi alat pacu jantung.

BIJAK MENGGUNAKAN

TEKNOLOGI

Perkembangan nirkabel untuk piranti

digital pemeriksan dasar yang lain

sangat mungkin makin berkembang.

Meski begitu, faktor manusia teta-

plah yang paling utama. Perlu dikha-

watirkan jika kelak sinergisme kinerja

piranti-piranti tersebut dipakai seba-

gai parameter absolut. Jika ini terjadi,

justru dapat menimbulkan kesalahan

interpretasi. Alhasil, yang bicara ada-

lah mesin (program). Dampak lebih

jauh, setiap orang bisa ‘merasa bisa’

mendiagnosis hanya dengan meng-

gunakan piranti digital tanpa dilandasi

dasar-dasar pengetahuan medis yg

terintegrasi. Padahal, pasien adalah

manusia dinamis dengan banyak un-

sur subyektifi tas. Terlepas dari kelema-

han-kelemahan tersebut, kehadiran

piranti medis digital patut kita sambut

dengan gembira dan juga lebih bijak

menggunakannya. (pm)

DAFTAR PUSTAKA:

1. Wikipedia, 28 Februari 2010. Stethoscope, http://en.wikipedia.org/wiki/Stethoscope

2. Medgadget. 2010. Litmann 3200 Bluetooth stetoschope Brings Auscultation to PC For Sharing, Futher

Review. http://www.medgadget.com/archives/2009/08/littmann_3200_bluetooth_stethoscope_brings_

auscultation_to_pc_for_sharing_futher_review.html

3. Bentley, PJ. 2008. iStethoscope Pro. http://www.peterjbentley.com/

4. Steth Assist User Manual, 2009, download dari http://www.mystethoscope.com/littmann-3200-electron-

ic-stethoscope-bluetooth-p-429.html ,

5. Vscan Data Sheet., 2010, download dari https://www2.gehealthcare.com/portal/site/vscan/aboutvs-

can/

OPINI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 460CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 460 7/23/2010 10:34:05 PM7/23/2010 10:34:05 PM

Page 49: cdk_179_tht

461| AGUSTUS 2010

Tubuh manusia adalah objek

yang sangat rumit dan menarik.

Dengan peranti lunak OsiriX,

kita dapat melihatnya dalam bentuk

gambar 4D yang bisa diperbesar dan

eksplorasi sesuai keinginan.

OsiriX. Nama program ini mirip deng-an nama Dewa Kehidupan, Kematian, dan Kesuburan zaman Mesir, Osiris.

Faktanya aplikasi ini memang ada hu-bungannya dengan hal tersebut, yaitu sebagai sebuah peranti lunak kedok-teran untuk melihat potongan tubuh manusia yang telah di-scan.

Osirix merupakan peranti lunak yang

didedikasikan khusus untuk menampil-

kan gambar DICOM (ekstensi “.dcm”)

yang diproduksi oleh peralatan pen-

citraan (MRI, CT, PET, PET-CT, SPECT-

CT, USG). Tampilan dan interpretasi

sebuah gambar diperoleh dengan cara

mengkombinasi data tiga dimensi yang

didapat dengan dua modalitas berbe-

da (misalnya PET dan CT) pada subjek

yang sama membutuhkan perangkat

peranti lunak kompleks yang memung-

kinkan pengguna mengatur berbagai

parameter gambar.

OsiriX, Peranti Lunak Pencitraan Kedokteran

Prima Almazini

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/

Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

INFORMATIKA KEDOKTERAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 461CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 461 7/23/2010 10:34:10 PM7/23/2010 10:34:10 PM

Page 50: cdk_179_tht

463| AGUSTUS 2010

Osirix didesain secara spesifi k untuk navigasi dan visualisasi berbagai mo-dalitas dan gambar multidimensional: 2D, 3D, 4D (series 3D dengan dimensi waktu sesaat, contoh: Cardiac CT) dan 5D (series 3D dengan dimensi waktu sesaat dan fungsional, contoh: Car-diac PET-CT). 3D viewer menawarkan seluruh mode proses rendering mod-ern: multiplanar reconstruction (MPR), surface rendering, volume rendering and maximum intensity projection (MIP). Seluruh mode ini mendukung data 4D dan menghasilkan gabungan gambar antara 2 series yang berbeda (contohnya PET-CT).

Selain DICOM, OsiriX dapat diguna-kan untuk membaca format fi le lain seperti: TIFF (8,16, 32 bits), JPEG, PDF, AVI, MPEG, dan Quicktime. Osirix pun dapat digunakan untuk menerima transfer gambar oleh protokol komu-nikasi DICOM dari berbagai Picture Achiving and Communication Systems (PACS) atau modalitas pencitraan.

Proyek pembuatan OsiriX dimulai pada tahun 2003 di California Amerika Serikat. Peranti lunak ini dibuat dan dikembangkan oleh Dr. Antoine Ros-set, dengan bantuan dari Joris Heu-berger, seorang ilmuwan komputer. Dr. Antoine Rosser adalah seorang ra-diologis, spesialis dalam MRI dan CT, bekerja di Rumah Sakit LaTour. Mer-eka sama-sama bekerja di Jenewa, Swiss.

OsiriX tersedia dalam format 32-bit dan 64-bit. Versi 64-bit menyediakan fasilitas untuk memuat jumlah gambar yang tak terbatas, melebihi batas 4-GB dari aplikasi 32-bit. Versi 64-bit juga di-optimalkan oleh prosesor multi-cores Intel, menawarkan performa terbaik untuk proses rendering 3D. OsiriX hanya tersedia untuk pengguna oper-ating system MAC OS X versi 10.4 atau lebih dan prosesor PPC/Intel Mhz.

Osirix digunakan oleh para dokter un-tuk membaca secara cepat gambar DICOM dan memahami gambar 4D (gambar 3D disertai tampilan peris-tiwa sesaat, misalnya denyut jantung).

Gambar hasil pencitraan dapat dilihat dalam format 3D, dapat diperbesar, dan diperjelas detailnya. Hal ini mem-berikan pemahaman yang sempurna mengenai bentuk organ manusia dan dapat berguna untuk interpretasi dan untuk sarana pembelajaran untuk ma-hasiswa kedokteran. OsiriX dapat diun-duh gratis di http://homepage.mac.com/rossetantoine/osirix. Beberapa contoh fi le DICOM dapat diunduh di http://pubimage.hcuge.ch:8080/. Tutorial penggunaan peranti lunak ini banyak tersedia di You Tube dengan kata kunci pencarian “OsiriX”. Sela-mat mencoba!

SUMBER:

1. Anonim. About Osirix. Available from: http://

www.osirix-viewer.com/AboutOsiriX.html

2. Migliorini F. Process DICOM images. Available

from: http://osirix.en.softonic.com/mac

3. Rosset A, Spadola L, Pysher, Ratib O. Infor-

matics in radiology (infoRAD): navigating the

fi fth dimension: innovative interface for multi-

dimensional multimodality image navigation.

Radiographics. 2006 Jan-Feb;26(1):299-308.

INFORMATIKA KEDOKTERAN

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 463CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 463 7/23/2010 10:34:12 PM7/23/2010 10:34:12 PM

Page 51: cdk_179_tht

465| AGUSTUS 2010

Dr. Bambang Hermani adalah sosok

seorang dokter yang sederhana dan

ramah. Beliau sangat bersedia di-

wawancarai sehingga saya dipersila-

kan datang keesokan harinya di ruang

kerjanya di Departemen Ilmu Penyakit

THT FKUI/RSCM Jakarta.

“Penyakit telinga, hidung, tenggoro-

kan merupakan penyakit yang banyak

dijumpai di Indonesia; terutama di po-

liklinik rumah sakit tempat saya bek-

erja, banyak dijumpai pasien dengan

keluhan di telinga, hidung dan teng-

gorokan” tutur Prof. Dr. Bambang Her-

mani, Sp THT-KL(K) ketika menjawab

pertanyaan CDK mengenai mengapa

mengambil spesialisasi THT ketika itu.

Masuk kedokteran sebenarnya bukan

cita-citanya; ketika lulus dari SMA 1

Boedi Oetomo Jakarta tahun 1966 be-

liau ingin masuk ke Akademi Angka-

tan Laut. “Tetapi karena teman-teman

SMA banyak yang mendaftar ke Fakul-

tas Kedokteran dan juga orangtua

mendukung, maka akhirnya saya daf-

tar dan alhamdulillah diterima di FKUI

pada tahun 1967,” tutur Bambang.

Orangtua beliau hanya pegawai ne-

geri biasa; dari tujuh orang bersau-

dara hanya beliau yang menjadi dok-

ter. “Saya anak pertama, jadi sayalah

yang menjadi tulang punggung kelu-

arga untuk membantu adik-adik saya,”

tuturnya.

Dokter yang lahir di Klaten 62 tahun

Profi l: Prof. Dr. Bambang Hermani, SpTHT (K)

“Teknologi THT Semakin Canggih, Sehingga Bedah Otak Saat ini

Melalui Jalur THT Terlebih Dahulu”

PROFIL

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 465CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 465 7/23/2010 10:34:15 PM7/23/2010 10:34:15 PM

Page 52: cdk_179_tht

466 | AGUSTUS 2010

yang lalu ini lulus dari Fakultas Kedok-

teran Universitas Indonesia pada ta-

hun 1973; meneruskan ke spesialisasi

THT dan lulus tahun 1977.

Banyak pasien tidak mengetahui ge-

jala penyakit telinga, hidung, teng-

gorokan, apalagi gejala kanker di

pita suaranya; oleh karena itu beliau

mengambil subspesialisasi Konsultan

Laring/Faring, Kepala dan Leher dan

lulus tahun 2000; pada tahun 2007 di-

kukuhkan menjadi Guru Besar Tetap

di Departemen Ilmu Penyakit THT

RSCM/FKUI Jakarta.

Dokter yang mempunyai tiga anak ini

terus mengabdi sebagai staf penga-

jar di Departemen Ilmu Penyakit THT

RSCM/FKUI; beliau mempublikasikan

penelitian ilmiah di berbagai majalah

dan seminar.

PENGALAMAN MENARIK

Sub Bagian Konsultan Laring tidak

banyak dipilih dokter karena kasus

karsinoma laring, selain sulit dan be-

rat, memerlukan keseriusan; juga tin-

dakan operasinya sangat lama - sekitar

4 - 5 jam. “saya mengambil subspesia-

lis ini karena banyak tantangannya,”

ujar Bambang.

Mengenai suka dan dukanya, sukanya

adalah banyak penyanyi terutama artis

yang datang untuk merawat pita su-

aranya. “Mereka datang untuk mem-

perbaiki pita suara,” ujar Bambang.

Ada artis penyanyi yang suaranya se-

rak, padahal malamnya akan tampil

bernyanyi. “Alhamdulillah artis terse-

but dapat tampil malam itu juga; artis

tersebut sangat senang dan saya juga

senang,” ujar Bambang.

“Kalau dukanya, jika ada pasien da-

tang dalam keadaan lanjut sehingga

tidak bisa diapa-apakan lagi, saya

berusaha menanganinya dan setelah

itu saya pasrah dengan do’a agar

diberi kesembuhan,” ujar mantan Ke-

tua Departemen THT ini.

MEMBAGI WAKTU

Dalam hal membagi waktu dengan

keluarga, beliau mengaku tidak ada

masalah, yang penting saling mema-

hami tugas masing-masing. “Anak

saya tiga orang dan semua sudah

berumah tangga, mereka mempunyai

kesibukan sendiri-sendiri,” tuturnya.

Bekerja di RSCM sampai pk.16.00,

sorenya praktek bergiliran di dua tem-

pat - RS St Carolus dan RS Proklamasi.

“Kesibukan saya selain di tempat kerja

juga aktif di berbagai organisasi, seh-

ingga saya hanya menyempatkan den-

gan keluarga hari Sabtu dan Minggu

saja,” ujar dokter yang hobynya main

bulutangkis ini.

Moto hidup beliau : suatu pekerjaan

jika benar dikerjakan dengan sungguh-

sungguh, disertai dengan doa akan

memberikan hasil yang bermanfaat.

Untuk menambah ilmu, Ketua Umum

Perhati ini menyarankan, dokter harus

mengikuti perkembangan dunia ke-

dokteran. Ini akan menguntungkan

pasien dan juga dokternya. “kita harus

mempelajari terus perkembangan

ilmu dan mentransfer ilmu ke orang

lain. “Saya di organisasi profesi ba-

nyak mengadakan kegiatan pelatihan

spesialis THT di daerah-daerah dan

teknologi THT sudah makin canggih;

apalagi bedah otak sekarang melalui

jalur THT terlebih dahulu,” ujar Kepala

Sub Bagian Laring/Faring THT FKUI-

RSCM ini. Beliau banyak mengikuti

berbagai kegiatan pelatihan baik da-

lam negeri maupun luar negeri, sep-

erti di Malaysia, Singapura, Perancis

dan Australia.

JABATAN

Berbagai jabatan yang pernah dipe-

gang adalah Koordinator Pelayanan

Masyarakat THT FKUI-RSCM, Staf Pe-

ngajar Kelas Internasional FKUI, Ketua

Tim Penyusunan Proposal Pembangu-

nan RS Pendidikan, Gedung FKUI, Ge-

dung FKG UI Depok. Sampai saat ini

masih menjadi Staf Pengajar Bagian

THT FKUI-RSCM dan Anggota Komite

Medik RSCM.

Di organisasi profesi pernah menjadi

Ketua Perhati Jaya Periode I dan Pe-

riode II, Ketua I Pengurus Pusat PER-

HATI, Ketua Kelompok Studi Head

& Neck PERHATI, Chairman ASEAN

ORL H&N Society, Wakil Pemimpin

Redaksi Majalah ORLI dan sampai saat

ini menjadi Wakil Ketua KORPRI Unit

RSCM.

KARYA ILMIAH

Hasil penelitian yang dipublikasikan

sebagai Penulis Utama berjumlah 5

artikel dan sebagai Penulis Pembantu

sebanyak 7 artikel. Karya Ilmiah Bukan

Hasil Penelitian yang dipublikasikan

sebagai Penulis Utama sebanyak 3

artikel, sebagai Pembantu 11 artikel

dan karya ilmiah lainnya sebanyak 3

artikel. Selain itu karya ilmiah berupa

buku: Penatalaksanaan Penyakit dan

Kelainan Telinga Hidung Tenggorok

(kontributor), Panduan Penatalaksa-

naan Gawat Darurat Telinga Hidung

Tenggorok (kontributor), dan Buku

Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung

Tenggorok (kontributor).

TANDA PENGHARGAAN

Berbagai penghargaan yang diper-

oleh: dari Hearing International Japan:

for effort and dedication to fullfi lling

the goals of the project ear health care

in Indonesia from 1995-2000, Satyalen-

cana Karya 20 tahun 2002, sebagai staf

Subbid Kesehatan Pertemuan Para Pe-

mimpin Kerjasama Ekonomi Asia Pasi-

fi k. (APEC) Bogor 15 Nopember 1994,

Penghargaan Sujono Juned Puspone-

goro sebagai Penulis Ilmiah Bidang

Kedokteran dengan topik “ The effi ca-

cy and safety of ofl oxacin otic solution

for active suppurative otitis media”.

Maj Kedokteran Indonesia 2002;52

(11):373-376 (Penulis pembantu), Ang-

gota Tim Penilai Kesehatan Calon

Presiden dan Wakil Presiden Republik

Indonesia tahun 2004, Penghargaan

Dekan FKUI atas prestasi selama men-

jabat Ketua Departemen Ilmu Penya-

kit Telinga, Hidung & Tenggorok FKUI

2000 – 2004, dan Penghargaan Dekan

FKUI dan Panitia Dies Natalis UI ke-56

Kategori Staf Akademik 2006.

(REDAKSI)

PROFIL

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 466CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 466 7/23/2010 10:34:21 PM7/23/2010 10:34:21 PM

Page 53: cdk_179_tht

467| AGUSTUS 2010

Di negara Jepang, tepatnya di Fukuoka International Cong-ress Center, telah dilang-

sungkan the 13th Asian Australasian Congress of Anaesthesiologists (13th AACA) pada tanggal 1-5 Juni 2010.

Acara yang diikuti oleh lebih dari 500 peserta, khususnya dokter spesialis anestesia tersebut mengambil tema “Safety and Challenge” yang bertu-juan untuk memberikan kesempatan yang berharga bagi para dokter spe-sialis anestesia untuk belajar menge-nai perkembangan baru dalam bidang anestesia, nyeri, perawatan klinis, ke-dokteran kegawatdaruratan dan pera-watan paliatif.

Program ilmiah dalam acara tersebut meliputi workshop, kuliah pleno, sim-posium, dan luncheon seminar de-ngan pembicara dari berbagai negara termasuk Indonesia. Selain itu, juga ada pameran poster ilmiah dan dime-riahkan dengan pameran beberapa produk dan peralatan anestesia di Marinemesse Fukuoka yang gedung-nya cukup jauh terpisah dari gedung tempat berlangsungnya simposium.

Salah satu topik yang dibicarakan da-lam program ilmiah adalah mengenai desfl urane yang merupakan suatu obat anestetik inhalasi yang relatif baru di beberapa negara. Krishan Na-rani dari Sir Ganga Ram Hospital In-dia menyampaikan bahwa desfl urane mempunyai titik didih 22,8 °C pada 1 atm dan tekanan uap 669 mmHg pada 20 °C sehingga memerlukan botol dan

vaporizer khusus untuk penyimpanan dan penghantaran uap desfl urane dengan terkontrol. Desfl urane mem-punyai koefi sien partisi darah:gas 0,42 yang menyebabkan cepatnya penca-paian tekanan parsial alveolus yang diperlukan untuk anestesia, diikuti dengan pulih sadar yang cepat setelah pemberian desfl urane dihentikan.

Nilai MAC (Minimal Alveolar Con-

centration) desfl urane 6,6% dalam O

2 pada suhu 37 °C dan turun men-jadi 2,38% jika desfl urane diberikan dengan N2O 60-70%. Desfl urane juga

sehingga kurang sesuai untuk induksi anestesia.

volume tidal, resistensi vaskular, teka-

nan darah dan curah jantung, tetapi tidak menyebabkan risiko aritmia atau mensensitisasi jantung terhadap epi-nephrine. Desfl urane dapat mening-katkan aliran darah otak dan tekanan intrakranial, yang dapat diturunkan dengan hiperventilasi.

Desfl urane tidak bersifat nefrotoksik

minimal pada manusia, yaitu hanya sekitar 0,02% yang dimetabolisme oleh tubuh. Namun desfl urane dapat didegradasi menjadi karbon monok-sida pada CO

2 absorber yang sangat

kering.

Dilihat dari karakteristik desfl urane tersebut, maka desfl urane baik digu-nakan untuk anestesia pada pasien bedah rawat jalan.

Penggunaan rocuronium juga diba-has dalam acara ini yang antara lain disampaikan oleh Takahiro Suzuki dari Surugadai Nihon University Hos-pital, Jepang. Rocuronium merupak-an obat pelumpuh otot dengan onset yang cepat, namun efeknya berbeda nyata pada dosis yang berbeda, se-

sangat bermanfaat untuk mencapai intubasi yang tercepat dan teraman.

nya bermanfaat untuk menjaga ham-batan neuromuskular tetap konstan karena kebutuhan infus rocuronium secara nyata berbeda menurut otot-

anestetik.

th Asian Australasian Congress of Anaesthesiologists (AACA) 2010

LAPORAN KHUSUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 467CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 467 7/23/2010 10:34:24 PM7/23/2010 10:34:24 PM

Pelaksanaan The 13

1 - 5 Juni 2010

mempunyai bau yang tajam dapat

Desfl urane menyebabkan penurunan

merangsang saluran pernapasan

maupun hepatotoksik desfl uranemengalami metabolisme yang

hingga monitoring neuromuskular

Monitoring neuromuskular khusus-

otot yang dimonitor, usia pasien dan

Page 54: cdk_179_tht

468 | AGUSTUS 2010

Infus rocuronium yang lebih besar diperlukan untuk mempertahankan T1 10% dari kontrol pada otot corru-

gator supercilii (7,1 mcg/kg/menit) dibanding pada otot adductor pol-

licis (4,7 mcg/kg/menit) pada pasien muda selama anestesia sevofl urane. Sedangkan pada pasien usia lanjut, kebutuhan rocuronium lebih kecil dan pada pasien dengan anestesia propo-fol, kebutuhan rocuronium lebih be-sar.

Selain itu, ada topik lain yang memba-has mengenai sejumlah fakta dalam anestesia regional yang disampaikan oleh Ma. Concepcion Cruz dari De-partment of Anesthesiology UP Col-

lege of Medicine Philippine General Hospital.

Antara lain disebutkan bahwa pem-berian analgesia neuroaksial termasuk epidural dapat mempengaruhi keja-dian persalinan operatif, dan kejadian hipotensi maternal setelah anestesia spinal dan epidural untuk persalinan sectio caesarea dapat diturunkan dengan pemberian infus cairan dima-na cairan kristaloid lebih baik diband-ing tanpa cairan, cairan koloid lebih efektif dibanding kristaloid, dan tidak ditemukan perbedaan untuk dosis, ke-cepatan maupun cara pemberian yang berbeda dari kristaloid maupun koloid. Namun kebanyakan studi menunjuk-

kan bahwa kejadian hipotensi masih relatif tinggi sehingga masih perlu dipersiapkan pemberian vasopresor. Pemberian cairan preloading ternya-ta juga tidak lebih unggul dibanding pemberian cairan coloading.

Selain itu sering ada anggapan bahwa analgesia epidural untuk persalinan meningkatkan risiko nyeri punggung pasca persalinan, namun kenyataan-nya bahwa kehamilan itu sendiri dapat menyebabkan nyeri punggung akibat adanya berbagai perubahan dalam tubuh seperti perubahan berat badan dan hormonal, serta ketidakseimban-gan otot. � (EKM)

LAPORAN KHUSUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 468CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 468 7/27/2010 8:03:37 AM7/27/2010 8:03:37 AM

Page 55: cdk_179_tht

469| AGUSTUS 2010

Pembukaan 3rd China Indonesia joint Symposium on Hepatol-ogy Medicine & Surgery (3rd

CISHMS) tahun 2010 benar-benar ber-beda. Kamis, 24 Juni 2010 Ibu Hj Ani Bambang Yudhoyono menyempatkan datang ke hotel Gran Melia Jakarta untuk membuka acara di bidang pe-nyakit hati ini. Tidak ketinggalan, hadir pula Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH selaku Mentri Kesehatan dan Duta Besar Luar Biasa China.

Pukul 10.00 Ibu Ani SBY masuk ke da-

lam ballroom, diikuti acara seremonial seperti menyanyikan lagu Indonesia Raya dan sambutan-sambutan. Prof. Dr. LA Lesmana, Ph.D, SpPD, KGEH selaku ketua panitia menyatakan bah-wa sekitar 900 orang terdaftar dalam acara tersebut, 750 peserta dari Indo-nesia, 250 peserta dari China dan si-sanya dari negara lain seperti US, In-dia, Korea, Jepang, dan Singapore.

Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih juga mengucapkan selamat datang pada seluruh peserta baik dari Indonesia

maupun luar Indonesia. Beliau me-nyatakan bahwa Rencana Pembangu-nan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 menetapkan bahwa pem-bangunan kesehatan adalah bagian penting dari pembangunan SDM. Walaupun bukan merupakan penyakit penyebab kematian langsung, hepati-tis virus menimbulkan masalah di usia produktif , di saat para penderita ini seharusnya berfungsi sebagai sumber daya pembangunan. Beliau juga me-laporkan bahwa Indonesia merupakan negara anggota WHO di Asia Teng-

Liver Update dan 3rd China Indonesia joint Symposium on Hepatology Medicine & Surgery (CISHMS)

Jakarta, 24-27 Juni 2010

LAPORAN KHUSUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 469CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 469 7/23/2010 10:34:26 PM7/23/2010 10:34:26 PM

Page 56: cdk_179_tht

470 | AGUSTUS 2010

gara yang bersama Brazil dan Colom-bia telah megusulkan resolusi agar Hepatitis virus diangkat menjadi issue dunia. Usulan ini telah diterima dan di-tetapkan tanggal 28 Juli sebagai hari hepatitis dunia (World Hepatitis Day).

Dalam sambutannya, duta besar luar biasa China Zhang Qi Yue mengu-capkan selamat pada Indonesia yang telah menyelenggarakan CISHMS. Beliau berharap 3rd CISHMS ini mam-pu memfasilitasi diskusi tata laksana penyakit hati secara komprehensif, mengingat penyakit hati memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi.

Ibu Ani SBY sendiri menyatakan bahwa arti penting dari acara ini adalah tidak ada satu negara pun di dunia yang da-pat hidup sendiri, semua perlu kerja sama. Di Indonesia terdapat 20 juta

orang pengidap hepatitis B dan he-patitis C, merupakan 3 besar di dunia setelah China dan India, sehingga hal ini memerlukan perhatian bersama, misalnya dengan menggalakkan kam-panye Hepatitis B dan C. Bu Ani juga mengaharapkan acara 3rd CISHMS

Sekitar pukul 11.00 acara resmi dibuka

Ibu Ani SBY , didampingi Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, Prof. L.A. Lesma-

diselenggarakan workshop endoscopy & interventional hepatology dan work-shop patologi secara paralel.

Acara kongres sendiri dilaksanakan 3 hari, 25-27 Juni 2010 di hotel yang sama. Dengan tema “New Frontiers & Current Development in Hepatol-ogy”, berbagai topik diangkat dalam sesi Liver Update dan sesi CISHMS secara paralel. Pembicara dari Indone-

santap siang. � (SVA)

LAPORAN KHUSUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 470CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 470 7/23/2010 10:34:28 PM7/23/2010 10:34:28 PM

dapat menjadi kombinasi antara peng-

ke zat kimia dengan pengobatan timur

salah global warming dan dampaknya.

obatan barat yang modern dan lebih

yang berupa herbal. Menutup sambut-

dengan ditandai pemukulan gong oleh

annya, bu Ani juga menyinggung ma-

na, dan Dubes China. Di hari yang sama

India secara bergantian berbagi peng-

sia maupun China, Korea, Singapore,

alamannya di bidang penyakit hati. Acara ditutup hari Minggu sebelum

Page 57: cdk_179_tht

471| AGUSTUS 2010

Acara ini dilangsungkan di Au-

ditorium FK UGM Jogjakarta

pada tanggal 8-9 Mei 2010, di-

hadiri oleh 508 peserta dari berbagai

pihak, dokter spesialis, apoteker, ma-

hasiswa, farmasi bahkan masyarakat

awam yang berminat atau berkecim-

pung dalam dunia herbal dan alter-

natif; acara tersebut juga diramaikan

oleh 12 perusahaan farmasi, perusa-

haan obat herbal dan laboratorium

diagnostik.

Acara tersebut diketuai oleh Dr.dr.

Nyoman Kertia, SpPD-KR, yang dalam

sambutannya menyatakan acara na-

sional ini dilangsungkan sebagai tin-

dak lanjut program Menteri Kesehatan

RI yang sejak tanggal 6 Januari 2010

mencanangkan obat herbal berbasis

pelayanan medis.

Obat dari bahan alami telah digunakan

masyarakat Indonesia sejak berabad-

abad dalam lingkup pengalaman tu-

run menurun, trial and error tetapi be-

lum ada standarisasi bahan baku dan

belum didukung bukti ilmiah tentang

manfaat dan keamanannya secara

klinik, sedangkan dunia kedokteran

bahkan masyarakat saat ini menuntut

cara berpikir rasional; oleh karena itu

bahan alam yang digunakan sebagai

obat perlu dikaji lebih lanjut tentang

standarisasi, manfaat dan keamanan-

nya.

Di Indonesia baru ada 5 sediaan fi to-

farmaka (ada uji klinik dan preklinik),

17 obat herbal terstandar (telah ada

uji preklinik) di pasaran, tetapi sebe-

narnya potensi sumber daya alam

Indonesia sebagai bahan baku obat

masih demikian luas; acara ini dilang-

sungkan untuk memperluas informasi

Seminar Nasional Terapi Medis Berbasis Herbal

LAPORAN KHUSUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 471CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 471 7/23/2010 10:34:30 PM7/23/2010 10:34:30 PM

Page 58: cdk_179_tht

472 | AGUSTUS 2010

sumber daya alam tersebut dan men-

ingkatkan minat penelitian lebih lanjut

untuk bukti ilmiah manfaat, keamanan

serta standarisasi klinik.

REMATIK.

Pengembangan obat herbal untuk di-

manfaatkan sebagai pengobatan re-

matik didasarkan atas pertimbangan

hasil penelitian analgetik, diuretik, lak-

satif, antiinfl amasi, antiphlogistik dan

imunostimulan.

Dalam masyarakat Jawa Tengah dike-

nal berbagai jenis jamu antara lain

kunir asem, beras kencur dan paitan :

• Kunyit asem : hasil penelitian di

FK UGM menyatakan kurkumi-

noid lebih stabil dalam lingkun-

gan asam dan memiliki efek anti

radang; dalam masyarakat me-

mang digunakan oleh ibu pasca

melahirkan yang akan mengalami

peradangan sekitar panggul.

kurkumin dan xanthorrhizol (salah

empedu, sehingga nafsu makan

bertambah dan membantu proses

pencernaan dengan mengemulsi

runkan kadar trigliserida, koles-

terol total serum.

• Paitan, biasanya diminum para

manula, terdiri dari batang bro-

towali, daun sambiloto, biji ke-

dawung, setelah ditelaah secara

ilmiah diketahui salah satu efeknya

adalah stomachicum (memacu

sekresi HCl lambung), dengan tu-

juan meningkatkan nafsu makan.

• Beras kencur, biasanya diguna-

kan dengan tujuan penyegar

dan mengurangi frekuensi batuk

terutama batuk akibat pergantian

musim, dukungan ilmiahnya ada-

lah efek etil parametoksi sinamat

yang bersifat menghilangkan rasa

(anestetik) sehingga meningkat-

yang memicu batuk.

PURAN.

Nyeri seringkali underdiagnosed se-

hingga penanganannya kurang opti-

mal, yang akan mempengaruhi hidup

pasien.

Penggunaan neurotropik (B1,B2, B12)

bisa mengurangi nyeri nosiseptik dan

nyeri neuropatik (sindroma nyeri cam-

puran) pada low back pain.

Kombinasi vitamin B1 25 mg/hari dan

vitamin B6 50 mg/hari dapat diguna-

kan pada neuropati diabetika yang

dalam penelitian mengurangi nyeri

hingga 88,9%, numbness 82,5% dan

kesemutan 89,7%.

Pemberian gabungan vitamin B (B1,B2

dan B12) ditambah dengan B9 (asam

folat) 3 kali perhari juga secara ber-

makna memperbaiki keluhan dan

gejala polineuropati alkoholik diban-

dingkan plasebo.

3. OBAT BAHAN ALAM UNTUK KESEHATAN GIGI DAN MULUT

Masyarakat Indonesia sudah sejak

lama mengenal berbagai bahan alam

untuk menjaga kesehatan gigi sep-

erti daun sirih, bunga cengkeh, cabe,

bawang putih dan merah, jeruk nipis,

lidah buaya dsb. Bahan tersebut ser-

ing digunakan untuk mengatasi gang-

guan di mulut seperti nyeri, gusi berd-

arah dan luka di mulut .

o Bawang putih (Allium sativa - lili-aceae) memiliki aktivitas antimik-

roba gram negatif (P.gingivitis)

tetapi kurang efektif terhadap

gram positif, pengamatan awal

mendukung penggunaan bawang

putih untuk penyakit periodontal

atau penyakit mulut lainnya.

o Propolis (air liur lebah) bersifat

antibakteri mulut dan mengham-

bat perlekatan S.mutans dan

S.sobrinus pada gelas; aktivitas

antibakterinya mirip dengan chlo-

rhexidine dan lebih baik dari ek-

strak cengkeh.

o Naringin terbukti juga efektif ter-

hadap Actinomyceta comitans, Actinobacillus dan P.gingivalis.

o Curcuma xanthorrhiza (zingiber-aceae); ekstrak metanol akar tana-

man ini terbukti memiliki aktivitas

antibakteri mirip chlorhexidine

terhadap bakteri mulut.

o Xylitol, menunjukkan efek anti-

kariogenik dengan menghambat

pertumbuhan S.mutans, sedang-

kan Streptococcus lain tidak ter-

pengaruh.

Aktivitas minyak atsiri terhadap

bakteri rongga mulut

o Sifat antibakteri minyak atsiri ter-

masuk aktivitasnya terhadap bak-

teri rongga mulut telah dilaporkan

di antaranya minyak atsiri Mela-leuca alternifolia (minyak atsiri po-

hon teh) - bila digunakan bersama

minyak kayu putih secara bermak-

na mengurangi jumlah chlorhexi-

dine yang dibutuhkan.

o Larutan kumur mengandung ek-

strak daun serut (Aper streblus)

dan daun nimba (Adirachta indica)

dapat menurunkan secara selek-

tif jumlah S.mutan dengan tidak

mempengaruhi jumlah bakteri

total, pH dan kapasitas buffer air

ludah.

o Evaluasi in vivo obat kumur 2,5%

ekstrak bawah putih menurunkan

bermakna S.mutans ludah.

o Ekstrak buah delima (Punica gra-natum) dapat mencegah plak gigi

lebih baik dibandingkan chlorhex-

idine ataupun akuades.

4. OBAT BAHAN ALAM BERKHASIAT APRODISIAK UNTUK DISFUNGSI EREKSI PADA DIABETES MELLITUS

Obat bahan alam sebagai aprodisiak

(dorongan seksual) umumnya men-

LAPORAN KHUSUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 472CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 472 7/23/2010 10:34:33 PM7/23/2010 10:34:33 PM

RING DIGUNAKAN PADA PENYAKIT 1. OBAT BAHAN ALAM YANG SE-

Prof.Dr.phil.nat.Sudarsono,Apt

Temulawak : telah ditelaah meng-

andung kurkumin, desmetoksi-

satu komponen minyak atsiri) ber-

lipid, sehingga mungkin menu-

efek memacu keluarnya cairan

NANGANAN SINDROM NYERI CAM-

kan ambang rangsang iritasi saraf

2. PERAN VITAMIN B DALAM PE-

Dr.dr.Nyoman Kertia, SpPD-KR

(Drg.Goeno Subagyo,Sp.O.Path)

hadap bakteri rongga mulut

Beberapa ekstrak bahan alam ter-

(Dewa P Pramantara S)

Page 59: cdk_179_tht

473| AGUSTUS 2010

gandung senyawa turunan saponin,

yohimbin, ginseng, gingko, alkaloid,

tanin dan senyawa lain yang secara

fi siologis dapat memperlancar pere-

daran darah sistem saraf pusat dan

sirkulasi darah perifer termasuk alat

kelamin pria.

Epimedium sagittatum mengandung

senyawa icariin telah diketahui meng-

hambat enzim PDE5 di korpus kaver-

nosum yang kerjanya mirip dengan

obat kimiawi sildenafi l.

Vigor® dengan kandungan ginseng

dan cinnamonum ditujukan untuk

aprodisiak tetapi juga dapat memban-

tu regulasi gula darah dan kolesterol.

5. OBAT BAHAN ALAM UNTUK

PENYAKIT KULIT

Dematitis atopik (DA)

Pengobatan DA antara lain secara tra-

disional Cina (CHM) dan pengobatan

herbal tradiosional Jepang (kampo)

CHM yang telah diteliti menggunakan

10 jenis herbal yaitu : Potentilla chi-nensis, Tribulus terrestris, Rehmannia glutinosa, Lophatherum gracile, Cle-matis armandii, Ledebouriella sase-loide, Dictamnus dasycarpus, Paeonia lactifl ora, Schizonepeta tenuifolia dan G.glabra, herbal tersebut direbus se-

perti teh; menurunkan skor eritema

(51%) dibandingkan kelompok kontrol

(6,15%).

Di Jepang, Hochu-ekki-to berupa

granul halus berisi ginseng radix, At-ractylodis rhizoma, Astragali radix, An-gelicae radix, Zizyphi fructus, Bupleuri radix, Glycyrrhizae radix, Zingiberis rhizoma, Cimicfugae rhizoma dan Au-rantii nobilis pericarpium selama 6 bu-

lan diteliti, memiliki efi kasi 19 % lebih

baik dibandingkan plesebo 5%.

Psoriasis

Akar Angelicae dahuricae (CHM)

mengandung furocoumarins impera-torium, isoimpertorin dan alloimpe-ratorin; pada penelitian 300 pasien

psoriasis dengan kombinasi UV-A

setara dengan pemberian psoralen-

UV-A dengan methoksalen, dengan

efek samping mual dan pusing lebih

rendah.

Bahan lain adalah indigo naturalis dari Strobilanthes formosanis Moore (Acanthaceae) menurunkan skuama,

eritema dan indurasi (81%) diban-

dingkan kelompok kontrol vehiculum

(26%), tidak dilaporkan efek samping

berat.

Aloe vera: 60 pasien psoriasis tipe

plak derajat ringan – sedang menda-

pat krim hidrofi lik Aloe vera 0,5% atau

plasebo, terdapat perbaikan (83,3%)

dibandingkan plasebo (6,6%) serta ti-

dak ditemukan efek samping.

Herpes simplex

Melissa offi cinalis - keluarga tanaman

mint, digunakan secara topikal pada

116 pasien; 96% terdapat perbaikan

lesi herpes di hari ke-8 setelah pema-

kaian balm 1% 5 kali sehari.

Hepers zoster

Jel licorice Glyxyrrhiza glabra dan Gly-cyrrhiza uralensis merupakan peng-

hambat replikasi virus varicella zoster

tetapi belum diuji klinis.

Penelitian bahan alam di bagian

kulit dan kelamin FK UGM

• Suryawati N : ekstrak teh hijau 3

% dibandingkan pembersih asam

salisilat 1% + resorsinol 0,5% un-

tuk akne vulgaris derajat sedang,

hasilnya tidak ada perbedaan

• Hartati F : ekstrak sirih merah dan

ekstrak teh hijau dalam bentuk

sabun : penurunan jumlah koloni

Candida sp vulva pada penggu-

naan ekstrak sirih merah lebih be-

• Qomariah LN : krim ekstrak Aloe vera 1% memiliki efek hidrasi

sama dengan krim urea 10% se-

bagai pelembab kulit kering non

dermatotik (p>0,05).

� (ARI)

LAPORAN KHUSUS

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 473CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 473 7/23/2010 10:34:35 PM7/23/2010 10:34:35 PM

(Dr.Nurwestu Rusetyanti,Mkes,SpKK )

dingkan ekstrak teh hijau.

sar tetapi tidak bermakna diban-

Page 60: cdk_179_tht

474 | AGUSTUS 2010

RINITIS ALERGI

Rinitis alergi adalah suatu kondisi infl a-

masi membran mukosa hidung yang

ditandai dengan gejala bersin, rinore,

kongesti hidung dan gatal pada hi-

dung akibat paparan alergen. Preva-

lensi rinitis alergi mencapai hampir

20 persen di populasi umum. Rinitis

alergi menyebabkan dampak yang

berat dan menurunkan kualitas hidup

penderitanya.

Pada rinitis alergi, paparan alergen

inisial akan mengaktifasi sel B men-

jadi sel plasma yang memproduksi

antibodi IgE (fase sensititasi). IgE yang

diproduksi akan menempel pada re-

septor IgE pada membran sel mast. Pada paparan alergen yang ke dua

dan selanjutnya, alergen akan men-

empel pada dua molekul IgE yang te-

lah menempel pada sel mast. Aksi ini

akan memicu degranulasi sel mast dan

pengeluaran berbagai mediator kimia

seperti histamin, leukotrien dan lain-

nya (fase alergi).

Ada beberapa cara pengobatan rini-

tis alergi yaitu penghindaran alergen,

terapi simtomatik dengan antihistamin

dan dekongestan baik tunggal mau-

pun kombinasi dan terapi bedah (mis-

al konkotomi). Terapi penghindaran

alergen sangat sulit dilakukan karena

sangat banyaknya alergen di lingkun-

gan sekitar terutama alergen inhalan.

Antihistamin dan dekongestan dalam

bentuk tunggal maupun kombinasi

masih merupakan pilihan terapi untuk

pasien rinitis alergi.

FEXOFED®

Fexofed® merupakan produk dengan

kandungan zat aktif kombinasi fexofe-

nadine 60 mg lepas cepat (immediate release) dan pseudoephedrine 120 mg

lepas lambat (extended release), terse-

dia dalam bentuk kaplet lepas lambat.

Fexofenadine merupakan antihistamin

generasi ke tiga yang diindikasikan un-

tuk pasien rinitis alergi. Karena sifatnya

yang sangat selektif terhadap reseptor

histamin perifer, kemungkinan fexofe-

nadine menyebabkan efek samping

mengantuk sangat kecil.

Pseudoephedrine merupakan obat

golongan simpatomimetik amin aktif

yang bekerja sebagai dekongestan.

Pseudoephedrine secara efektif dapat

meredakan sumbatan hidung akibat

rinitis alergi.Sebuah studi meta-ana-

lisis yang mempelajari efek samping

pseudoephedrine menyimpulkan ba-

hwa pada dosis yang dianjurkan kecil

kemungkinan menyebabkan pening-

katan tekanan darah dan denyut jan-

tung.

Fexofed® diindikasikan untuk mereda-

kan gejala yang berhubungan dengan

rinitis alergi pada dewasa dan anak ≥ 12

tahun. Efektif mengatasi gejala bersin,

pilek, gatal pada hidung/langit-langat

mulut (palatum dan atau tenggorokan),

gatal/berair/kemerahan pada mata dan

hidung tersumbat.

Fexofed® diberikan satu kaplet dua

kali sehari, diminum dengan air saat

perut kosong ; penggunaan Fexofed®

bersamaan saat makan sebaiknya di-

Terapi Rinitis Alergi dengan Kombinasi Fexofenadine dan Pseudoephedrine

Gambar 1. Patofi siologi alergi

INFO PRODUK

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 474CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 474 7/23/2010 10:34:36 PM7/23/2010 10:34:36 PM

Page 61: cdk_179_tht

475| AGUSTUS 2010

hindari karena makanan akan meng-

ganggu penyerapannya. Dosis satu

tablet sekali sehari dianjurkan sebagai

dosis awal untuk pasien dengan penu-

runan fungsi ginjal. Fexofed® harus

ditelan utuh, jangan dikunyah atau

dihancurkan (digerus) karena dapat

menyebabkan inaktifnya kandungan

Fexofed®.

Fexofed® hadir dengan keunggulan:

• Zat aktif fexofenadine dalam Fex-ofed® merupakan antihistamin generasi ke tiga dengan efek samping sedasi sangat minimal dan efektif meredakan gejala rini-tis alergi.

• Zat aktif pseudoephedrine lepas lambat dalam Fexofed® menjamin efek dekongestan jangka panjang dan dapat mengurangi frekuensi pemakaian.

• Kombinasi dua zat aktif anti-histamin generasi ke tiga den-gan pseudoephedrine sebagai

dekongestan dalam fexofenadine tidak saling berinteraksi dan se-cara sinergis meredakan gejala-gejala yang berkaitan dengan rini-tis alergi dan kondisi rinitis lainnya yang membutuhkan antihistamin dan dekongestan.

• Fexofed® relatif aman dan dapat ditoleransi baik.

� (ASL)

REFERENSI

1. Togias AG. Systemic immunologic and infl am-

matory aspects of allergic rhinitis. J Allergy

Clin Immunol. Nov 2000;106(5):S247-50

2. Valet RS, Fahrenholz JM. Allergic rhinitis: up-

date on diagnosis. Consultant 2009;49:610-

613

3. Dicpinigaitis PV, Gayle YE. Effect of the sec-

ond-generation antihistamin, fexofenadine,

on cough refl ex sensitivity and pulmonary

function. Br.J. Clin. Pharmacol. 2003; 56 (5):

501–4.

4. Pratt, Brown, Rampe, Mason, Russell, Reynold,

et al. Cardiovascular safety of fexofenadine

HCl. Clin. and Experiment. Allergy 2001;29:

212-6

5. Kaliner, White, Economides, Crisalida, Hele,

Liao, et al. Relative potency of fexofenadine

HCl 180 mg, loratadine 10 mg, and pla-

cebo using a skin model of wheal-and-fl are

suppresion. Ann Allergy Asthma Immunol.

2003;90(6):629-34

6. Vena GA, Cassano N, Filieri M, Filotico R, D’Ar-

gento V, Coviello C. Fexofenadine in chronic

idiopathic urticaria: a clinical and immunohis-

tochemical evaluation. Internat.J. Immunop-

athol. Pharmacol. 200215 (3): 217–224.

7. Salerno SM, Jackson JL, Berbano EP. Effect of

Oral Pseudoephedrine on Blood Pressure and

Heart Rate: A Meta-analysis. Arch Intern Med.

2005;165:1686-1694.

INFO PRODUK

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 475CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 475 7/23/2010 10:34:40 PM7/23/2010 10:34:40 PM

Page 62: cdk_179_tht

476 | AGUSTUS 2010

Dalam kegiatan 3rd China Indonesia Joint Symposium

on Hepatobilliary Medicine & Surgery (3rd CISHMS)

yang tahun ini digabung bersama Simposium Liver

Update, PT. Kalbe Farma Tbk. berpartisipasi dalam

pameran dengan menampilkan produk Lancid, Rillus,

Hepatosol dan Aminofusin Hepar.

Ibu Hj. Ani Susilo Bambang Yudhoyono

membuka 3rd China Indonesia joint Sym-

posium on Hepatobilliary Medicine & Sur-

gery (3rd CISHMS) pada hari Kamis, 24 Juni

2010 di hotel Grand Melia Jakarta. Hadir

pula Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih,

MPH, Dr.PH selaku Menteri Kesehatan dan

Duta Besar Luar Biasa China Zhang Qi Yue

serta ketua panitia Prof. Dr. L.A Lesmana,

Ph.D, SpPD-KGEH.

PT. Kalbe Farma Tbk., berkon-

tribusi dalam acara Simpo-

sium Endokrinologi Klinik VIII

2010, yang dilaksanakan pada

tanggal 23 – 25 Juli 2010 di

Hotel Hyatt Regency – Ban-

dung. Acara ini merupakan

hasil kerjasama antara Perkeni

(Perkumpulan Endokrinologi

Indonesia) Cabang Bandung

dengan Bagian Penyakit Da-

lam FK UNPAD/ RS. Dr. Hasan

Sadikin Bandung.

GERAI

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 476CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 476 7/26/2010 5:37:21 PM7/26/2010 5:37:21 PM

Page 63: cdk_179_tht

477| AGUSTUS 2010

1) Saya sangat tertarik dengan artikel2 dan jurnal2 ilmiah

yang dimuat CDK, apalagi yang versi Ebooknya. Cuma

alangkah lebih baik kalau CDK Online dibuatkan web-site tersendiri yang lebih interaktif, hal ini akan membuat

para praktisi medis merasa lebih eksklusif dan ada ruang

tersendiri untuk berinteraksi dengan redaksi maupun pem-

baca lainnya.

Dr. Faizal Arief Nurokhman *)

Surabaya

Jawab : CDK online yang tersendiri sudah dalam pe-mikiran; tetapi memerlukan persiapan yang matang, teru-tama layanan interaktif; semoga tidak lama lagi bisa terlak-sana sehingga sejawat lebih cepat mengakses CDK kami. Kami sangat senang jika ternyata CDK dapat membantu aktivitas sejawat.

patkan Majalah Cermin Dunia Kedokteran sebagai bahan

bacaan bagi mahasiswa(i) kami..Mahasiswa kami sekarang

Dokter.

Abdullah Hafi d

Makassar

Jawab : Majalah CDK disebarluaskan ke dokter-dokter dan perpustakaan Faklutas Kedokteran, termasuk perpusta-kaan Akademi Keperawatan. Sehubungan hal tsb., Aka-

setiap penerbitan secara reguler. Selain itu CDK juga da-pat diakses secara online di www.kalbe.co.id/cdk. Silakan

3) Hai CDK,

Sekedar saran, bagaimana kalau artikel mengenai penyakit

infeksi menular (ITD) dan update terapi hadir di setiap edisi

CDK, mengingat di Indonesia merupakan “sarang” terbe-

sar di dunia untuk penyakit infeksi menular. Terima kasih

Dr Sam Ginting

Bogor

Jawab : Kami berusaha agar artikel yang diterbitkan selalu mutakhir; tetapi tentu tergantung dari para kontributor. Beberapa artikel mengenai infeksi antara lain DBD dan malaria akan kami terbitkan di edisi mendatang. Jika seja-wat mempunyai artikel sejenis, kami akan dengan senang hati menerbitkannya. Artikel CDK yang telah diterbitkan dapat sejawat akses (dan pilih) di www.kalbe.co.id/cdk.

Mengenai sarang terbesar infeksi masih bisa diperdebat-kan; tetapi pada Riset Kesehatan Dasar mutakhir yang dila-kukan oleh Departemen Kesehatan, penyakit noninfeksi seperti penyakit jantung dan stroke sudah merupakan penyebab kematian yang perlu diperhatikan.

4) How is the mechanism involved in generation of convul-

sion in epilepsy?

Hegar Pramas

Bandung

Jawab : The answer to this question is rather complicated. It needs an article by itself. You can look for the answer(s) by searching several websites – www.ilae.org or www.wf-neurology.org or though google.com using keywords :

ANTAR SEJAWAT

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 477CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 477 7/23/2010 10:34:51 PM7/23/2010 10:34:51 PM

2) Saya bekerja pada bagian perpustakaan Akademi Kepe-

telah mencapai 1000 orang dengan 10 dosen berstatus

rawatan YAPENAS 21 Maros, saya tertarik untuk menda-

demi Keperawatan YAPENAS 21 Maros akan kami masuk-

memilih sendiri artikel yang diminati.

kan dalam daftar pelanggan CDK, yang akan dikirim pada epilepsy, mechanism of epilepsy, pathophysiology.

Page 64: cdk_179_tht

479| AGUSTUS 2010

� SEPTEMBER

5th ASEAN Society of Pediatric Surgery in conjunction with 2nd Multidisciplinary Pediatric Surgery Meeting

Tanggal: 22 - 24 September 2010

Tempat: Discovery Kartika Plaza, Kuta, Bali

Kalangan: Dokter anak, dokter bedah, dokter umum

Sekretariat: EO Pharma Pro

Phone: 0856-845-5050; 0813-1785-7586

Email: [email protected]

URL: www.bedahanakfkui-rscm.com

Contact Person: Lia, Tiolan

The Fourth Scientifi c Meeting of the Asia Pacifi c Menopause Federation 2010

Tanggal: 26 - 29 September 2010

Tempat: Sydney Convention and Exhibition Centre, Darling Harbour, Sydney, Australia

Kalangan: Doctor, paramedic, nurse

Sekretariat: APMF 2010 Meeting Managers c/o Arinex pty ltd. Postal GPO Box 128 Sydney, NSW, 2001 Australia

Phone: + 61 2 9265 0700

Fax: + 61 2 9267 5443

Email: [email protected]

URL: http://www.apmf2010.com/program.asp

14th Congress of the European Federation of Neurological Societies (EFNS 2010)

Tanggal: 25 - 28 September 2010

Tempat: Geneva, Switzerland

Kalangan: Dokter

Sekretariat: Kenes International, Global Congress Organisers and Association Management Services 1-3 rue de Chantepoulet, P.O. Box 1726, 1211 Geneva 1, Switzerland

Phone: +41 22 908 04 88

Fax: +41 22 906 91 40

Email: [email protected]

URL: www.kenes.com/efns2010

23rd Scientifi c Meeting of the International Society of Hypertension

Tanggal: 26 - 30 September 2010

Tempat: Vancouver, Canada

Kalangan: Dokter

Sekretariat: Sea to Sky Meeting Management Inc. Suite 206, 201 Bewicke Avenue, North Vancouver, BC, Canada, V7M 3M7

Phone: +1 604-984-6448

Fax: +1 604-984-6434

Email: [email protected]

URL: http://www.vancouverhypertension2010.com

� OKTOBER

Seminar & Workshop “Radiology in Daily Clinical Practice”

Tanggal: 02 Oktober 2010

Tempat: Gedung Prodia, Jl.Kramat Raya no. 150, Jakarta

Kalangan: Dokter umum dan perawat

Sekretariat: Laboratorium Prodia, Jl. Kramat Raya no. 150, Jakarta

Phone: 081386339424

Fax: 021-3908082

Email:[email protected]

Contact Person: Mathilda Albertina

23rd European Society of Intensive Care Medicine (ESICM) Annual Congress 2010

Tanggal: 09 - 13 Oktober 2010

Tempat: CCIB (Centre Convencions Internacional Barcelona), Barcelona, Spain

Kalangan: Intensivist

Sekretariat: European Society of Intensive Care Medicine (ESICM)

Rue Belliard, 19 B-1040 Brussels, Belgium

Phone: +32 2 559 03 55/71

Fax: +32 2 559 03 69

URL: http://www.esicm.org/

Konker & PIT 2010 Pernefri

Tanggal: 21 - 24 Oktober 2010

Tempat: Hotel Patra Jasa Semarang

Kalangan: Dokter spesialis, dokter umum

Sekretariat: Sub Bagian Nefrologi Hipertensi SMF Penyakit Dalam FK UNDIP/RS Dr. Kariadi Semarang

Phone: 024-8446757

Fax: 024-8446758

Email: [email protected]

Contact Person: Dr. Dwi Lestari S., SpPD

18th United European Gastroenterology Week (UEGW) 2010

Tanggal: 23 - 27 Oktober 2010

Tempat: Centre Convencions International Barcelona, Spain

Kalangan: Dokter

Sekretariat: UEGF Secretariat, Barcelona, Spain

Phone: +4319971639

Fax: +4319971639

Email: offi [email protected]

Contact Person: UEGF Secretariat

URL: www.uegw10.uegf.org

Metabolic, Endocrinology and Social Pediatric Meeting

Tanggal: 30 - 31 Oktober 2010

Tempat: Hotel Gumaya Semarang

Kalangan: Dokter

Sekretariat: SMF Ilmu Kesehatan Anak Jl. Dr. Sutomo 16-18 Semarang

Phone: 024-8414296

Fax: 024-8414296

Email: [email protected]

Contact Person: Cicik

URL: www.pediatrics-undip.com

KALENDER ACARA BULAN SEPTEMBER - OKTOBER 2010

1. Informasi ini sesuai pada saat dicetak. Apabila ingin mengetahui

lebih lanjut, silakan akses http://www.kalbe.co.id/calendar

2. Apabila kegiatan ilmiah Anda ingin dipublikasikan, kirim pembe-

ritahuannya ke [email protected]

AGENDA

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 479CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 479 7/23/2010 10:34:53 PM7/23/2010 10:34:53 PM

Page 65: cdk_179_tht

480 | AGUSTUS 2010

RUANG PENYEGAR DAN PENAMBAH ILMU KEDOKTERANDapatkah sejawat menjawab pertanyaan-pertanyaan di bawah ini?

Jawablah B jika benar, S jika salah

RPPIK

JAWABAN ; 1.B 2.S 3.S 4.S 5.B 6.B 7.B 8.S 9.B 10.B JAWABAN: 1.B 2.B 3.S 4.S 5.B 6.B 7.S 8.B 9.S 10.B

Rinitis Alergi sebagai Faktor Risiko Otitis Media

Supuratif Kronis

Tutie Ferika Utami, Kartono Sudarman, Bambang Udji

Djoko Rianto, Anton Christanto

1. Pada Otitis Media Supuratif Kronis (OMSK) selalu

dijumpai perforasi membran timpani.

2. Sekret pada OMSK selalu purulen.

3. Otitis Media Supuratif dikatakan kronis jika berlang-

sung lebih dari 6 bulan.

4. Pada OMSK benigna, tuba auditoria tidak ikut ter-

infeksi.

5. Tonsilitis kronis bisa merupakan faktor predisposisi

OMSK.

6. Bakteri yang tersering diisolasi pada OMSK ialah

Pseudomonas aeruginosa.

7. Alergi dapat menyebabkan OMS menjadi kronis.

8. Keadaan alergi menyebabkan berkurangnya sekresi

sel goblet.

9. Rinitis alergi dikaitkan dengan peranan IgE.

10. Otitis media dapat berisiko rinitis kronis akibat dis-

fungsi mukosilier.

Validasi Foto Polos Sinus Paranasal 3 Posisi untuk Diagnosis

Rinosinusitis Kronik

Vimala Acala, Kartono Sudarman, Anton Christanto,

Slamet Widodo

1. Sinus paranasalis dilapisi oleh epitel kolumner ber-

lapis semu bersilia.

2. Mukosa sinus paranasalis berhubungan dengan

mukosa hidung.

3. Sinus paranasalis berfungsi antara lain untuk mene-

tralisir bakteri udara pernapasan.

4. Nyeri pada sinusitis maksilaris dirasakan di daerah

sela mata.

5. Foto polos sinus paranasal dapat dilakukan dengan

posisi Towne.

6. Gambaran air-fl uid level bisa dijumpai pada keada-

an polip sinus.

7. Diagnosis sinusitis pada foto polos antara lain jika

penebalan mukosa > 12 mm.

8. Teknik CT scan yang terbaik untuk gambaran sinus

adalah potongan koronal.

9. Teknik endoskopi lebih unggul dibandingkan den-

gan CT scan untuk diagnostik sinusitis.

pada pemeriksaan CT scan, posisi pasien adalah te-

lungkup (prone).

CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 480CDK ed_179 Agustus-September'10 DR.indd 480 7/23/2010 10:34:56 PM7/23/2010 10:34:56 PM

10. Untuk mendapatkan gambaran sinusitis yang baik,