Upload
titis-ummi-nur-jannati
View
39
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
yayaya
Citation preview
Laporan CC Besar
SEORANG WANITA 20 TAHUN DENGAN SINDROMA NEFROTIK,
DISPEPSIA ULCER LIKE TYPE, HIPOKALSEMIA, DAN
HIPERURISEMIA
Oleh:
Cherelia Dinar P. A G9911112036
Nugroho Jati D. N. L G9911112109
Nursanti Setianadewi G 9911112116
Titis Ummi Nur J G 9911112135
Pembimbing:
dr. Agung Susanto, Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI
S U R A K A R T A
2012
DAFTAR MASALAH
Nama : Nn. R RM : 01085237
No Tanggal
ditentukan
Masalah Masalah
Selesai Terkontrol Tetap
1 12 Juli 2012 Sindroma Nefrotik 15 Juli 2012
2 12 Juli 2012 Dispepsia Ulcer
Like Type
15 Juli 2012
3 12 Juli 2012 Hiperurisemia 15 Juli 2012
2
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Nn. R
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Wanita
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Alamat : Kadipiro RT 1 RW 3, Banjarsari, Surakarta
No. CM : 01085237
Tanggal masuk : 12 Juli 2012
Tanggal pemeriksaan : 15 Juli 2012
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan pada tanggal 15 Juli 2012 di bangsal Melati I Kamar 3 F.
A. Keluhan Utama
Bengkak di seluruh tubuh
B. Riwayat penyakit sekarang
Sejak + 2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh bengkak.
Bengkak dirasakan di seluruh tubuh berawal di wajah, kemudian ke perut dan
kaki. Bengkak terjadi terus-menerus, tidak hilang timbul, memperberat
aktivitas dan tidak berkurang dengan istirahat atau perubahan posisi. Bengkak
tidak disertai nyeri, dan tidak disertai sesak nafas. Akibat bengkak yang
dirasakan, pasien mengeluh badan terasa berat terutama ketika berjalan atau
naik tangga. Selain itu pasien mengeluh perut sebah dan terasa penuh seiring
dengan bengkak pada perutnya.
Dua bulan yang lalu pasien juga sering mengeluh nyeri perut di ulu hati
yang hilang timbul. Nyeri timbul terutama bila pasien terlambat makan dan
dirasa bertambah berat saat diberi makanan yang pedas atau asam. Nyeri
3
dirasa pasien seperti diremas-remas. Nyeri tidak berkurang dengan pemberian
makanan. Setiap timbul nyeri, pasien minum obat antasida untuk mengurangi
sakitnya. Pasien juga mengeluh mual namun tidak sampai muntah.
Pasien juga tidak mengeluhkan banyak minum dan makan. BAK 3- 4x/hari
@ ½ - ¾ gelas belimbing, warna kuning, tidak nyeri, tidak panas, tidak anyang-
anyangan, tidak disertai darah, tidak ada batu, dan tidak berpasir. BAB 1x/hari
warna coklat, konsistensi lunak, tidak disertai lendir maupun darah.
Tiga bulan yang lalu, pasien pernah dirawat di RSDM karena keluhan
yang serupa yaitu bengkak di seluruh tubuh. Oleh dokter yang merawat,
pasien dikatakan memiliki kebocoran ginjal. Saat itu setelah pasien di terapi
dengan methyl prednisolone, pasien merasa keluhannya berkurang sehingga
pasien pulang paksa dari rumah sakit.
Sekitar 3 tahun yang lalu, pasien juga mengalami hal serupa. Bengkak
terasa di sekitar mata dan wajah. Bengkak hilang timbul, biasanya muncul
ketika baru bangun tidur. Saat itu pasien tidak mengeluhkan bengkak di
bagian tubuh yang lain. Pasien sempat 2 kali berobat ke praktek dokter
umum, diberi obat yang tidak pasien ingat namanya, disarankan untuk
mengkonsumsi putih telur.
C. Riwayat penyakit dahulu
1. Riwayat tekanan darah tinggi : Disangkal
2. Riwayat sakit gula : Disangkal
3. Riwayat mondok : (+) 3 bulan yll di RSDM karena
kebocoran ginjal
4. Riwayat sakit jantung : Disangkal
5. Riwayat sakit ginjal : Disangkal
6. Riwayat sakit asma : Disangkal
7. Riwayat sakit paru : Disangkal
8. Riwayat alergi : Disangkal
9. Riwayat sakit kuning : Disangkal
4
D. Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat tekanan darah tinggi : (+) ibu pasien
2. Riwayat sakit gula : Disangkal
3. Riwayat asma : Disangkal
4. Riwayat sakit jantung : (+) ibu pasien
E. Riwayat Kebiasaan
1. Riwayat merokok : Disangkal
2. Riwayat minum obat-obatan : Disangkal
3. Riwayat minum minuman sachet : (+) 3-4 bungkus/hari sejak 6 tahun
yang lalu
4. Riwayat minum alkohol : Disangkal
5. Riwayat minum jamu : Disangkal
F. Riwayat Perkawinan dan Sosial Ekonomi
Pasien adalah seorang pelajar, yang tinggal bersama kedua orang tua
dan 5 saudaranya. Ayah pasien bekerja sebagai petani dan ibu pasien tidak
bekerja. Pasien berobat dengan fasilitas jamkesmas.
G. Riwayat Gizi
Sebelum sakit, penderita makan sekitar 2-3 kali sehari dengan nasi,
sayur, tahu, tempe, kadang ikan dan daging. Pasien jarang mengkonsumsi
buah dan minum air putih.
5
H. Anamnesis Sistem
Keluhan Utama : Bengkak di seluruh tubuh
1. Kepala : kepala (-), pusing (-), nggliyer (-), je-
jas (-), leher cengeng (-)
2. Sistem Indera
Mata : pandangan dobel (-), penglihatan
kabur (-)
Hidung : mimisan (-), pilek (-)
Telinga : pendengaran berkurang (-), telinga
berdenging (-)
3. Mulut : sariawan (-), gigi goyang (-)
4. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-)
5. Sistem respirasi : sesak nafas (-), tidur mendengkur (-)
6. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-),
berdebar-debar (-), nyeri dada (-)
7. Sistem gastrointestinal : mual (+), muntah (-), perut sebah
(+), nyeri ulu hati (+), nafsu makan
menurun(-), susah berak (-), berak
darah (-), BB naik (+) tinja lunak,
warna kuning kecoklatan.
8. Sistem muskuloskeletal : kesemutan ujung-ujung jari kaki (-)
9. Sistem genitourinaria : sering kencing malam hari (-), nyeri
BAK (-)
10. Ekstremitas atas : luka (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan di kedua tangan (-),
bengkak (+), sakit sendi (-)
11. Ekstremitas bawah : luka (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan di kedua kaki (-), sakit
sendi (-), bengkak(+) di kedua kaki,
sakit sendi (-)
6
12. Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-), mengigau (-),
emosi tidak stabil (-)
13. Sistem Integumentum : gatal (-) , kulit kuning (-), pucat (-),
bercak merah kebiruan di tangan (-)
III. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan tanggal 15 Juli 2012.
1. Keadaan Umum : tampak sakit ringan, compos mentis, gizi kesan
cukup
2. Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 88 x/ menit, irama reguler, isi&tegangan cukup
Pernafasan : 18 x/menit, kussmaul (-), cheyne stokes (-)
Suhu : 36,50C per axiller
Status Gizi
Berat Badan : 50 kg
Tinggi Badan : 150 cm
BMI : 22,2 kg/m2 kesan berat badan overweight
3. Kulit : Warna coklat , turgor menurun (-), lembab (+), ikterik (-),
ekhimosis di kaki (-)
Kepala : Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, mudah ron-
tok (-), mudah dicabut (-), luka (-)
4. Wajah : moon face (+), atrofi musculus temporalis (-), oedem (+)
5. Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor
dengan diameter (3mm/3mm), reflek cahaya (+/+)
normal, oedem palpebra (+/+)
6. Telinga : nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), secret (-/-)
7. Hidung : Nafas cuping hidung (-), sekret (-)
8. Mulut : Sianosis (-), papil lidah atrofi (+), stomatitis (-), luka pada
sudut bibir (-), tonsil (T1/T1)
7
9. Leher : JVP R+2 cm, trakhea di tengah, simetris, pembesaran
kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical (-),
distensi vena-vena leher (-)
10. Limfonodi : kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,
supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak
membesar
11. Thorax : Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada
kanan=kiri, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), sela
iga melebar (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea medioclavicularis sinistra,
tidak kuat angkat
Perkusi :
Batas kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas kiri bawah : SIC V ± 2 cm lateral linea medioclavicularis
sinistra
Batas kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas kanan bawah : SIC IV linea sternalis dextra
Pinggang jantung : SIC III ±1 cm lateral linea parasternalis sinistra
Kesan : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas murni, reguler, HR 88 x/menit,
bising (-), gallop (-).
Pulmo
Inspeksi Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar,
8
iga tidak melebar
Dinamis : Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga
tidak melebar, retraksi interkostalis (-),
retraksi supraklavikula (-).
Palpasi Statis : Simetris
Dinamis : Pergerakan kanan = kiri
Fremitus raba kiri = kanan
Perkusi Kanan : Sonor, batas absolut paru hepar SIC VI.
Kiri : Sonor, mulai redup pada batas paru jantung.
Batas paru lambung SIC VIII linea axillaris
anterior sinistra
Auskultasi Kanan : Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan
wheezing (-), ronki basah kasar (-), ronki
basah halus (-)
Kiri : Suara dasar vesikuler (+), suara tambahan
wheezing (-), ronki basah kasar (-), ronki
basah halus (-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada,
distensi (-) , venektasi (-), sikatrik (-), striae (-), vena
kolateral (-), hernia umbilikalis (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani, liver span 10 cm, pekak alih (+), pekak sisi (+)
undulasi (+), puddle sign (-), area troube timpani
Palpasi : Supel (+), nyeri tekan (-), murphy sign (-)
hepar teraba tepi tumpul konsistensi lunak, lien tidak
teraba.
Punggung : Kifosis (-), lordosis (-), skoliosis(-), nyeri ketok
Kostovertebra kanan dan kiri (-) bengkak (-).
12. Genitourinaria : Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
9
13. Kelenjar getah bening inguinal: KGB inguinal tidak membesar
14. Ekstremitas :
Akral dingin Oedema
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah
Pemeriksaan 09/7/2012 10/7/2012 SATUAN RUJUKAN
HEMATOLOGI
RUTIN
Hb 12.7 g/dl 12.3 - 15.3
HCT 38 33 – 45
AL 7.4 103/l 4.5 – 14.5
AT 152 103/l 150 – 450
AE 4.63 106/l 4.1 -5.1
INDEX ERITROSIT
MCV 82.1 /um 80.0 – 96.0
MCH 27.3 Pg 28.0 – 33.0
MCHC 33.2 gr/dl 33.0 – 36.0
RDW 17.4 % 11.6 – 14.6
MPV 7.1 Fl 7.2 – 11.1
PDW 57 % 25 – 65
Gol Darah B
HITUNG JENIS
Eosinofil 7.6 % 1.00 – 2.00
Basofil 0.3 % 0.00 – 1.00
Netrofil 50.90 % 55.00 – 80.00
Limfosit 32.20 % 33.00 – 48.00
Monosit 6.70 % 0.00 – 6.00
10
- -
- -
+ +
+ +
HEMOSTASIS
PT 12.2 Detik 10.0-15.0
APTT 25.0 Detik 20.0-40.0
KIMIA KLINIK
GDS 85 Mg/dl 60-140
SGPT 8 u/l 0-45
SGOT u/l 0-35
Protein total 3.4 g/dl 6,6-8,7
Albumin 1.4 g/dl 3.5-5.2
Globulin 2.0 0,6-5,2
Kreatinin 0.4 mg/dl 0.6-1.1
Ureum 23 mg/dl <50
Asam Urat 7.0 mg/dl 2.4-6.1
Kolesterol total 479 mg/dl 50-200
LDL Kolesterol 335 mg/dl 59-137
HDL Kolesterol 57 mg/dl 35-74
Trigliserida 313 mg/dl <150
ELEKTROLIT
Natrium 141 mmol/L 136-146
Kalium 3.5 mmol/L 3.3-5.1
Kalsium Ion 1.02 mmol/L 1.17-1.29
SEROLOGI
HbsAg Non reaktif Non reaktif
2. Laboratorium Urin
Pemeriksaan 11/7/2012 13/7/2012 SATUAN RUJUKAN
SEKRESI
Protein Esbach 2,8 g/24jam 0,0-0,2
MAKROSKOPIS
Warna yellow yellow
11
Kejernihan Sl.cloudy Sl.cloudy
KIMIA URIN
Berat Jenis 1.020 1.010 1.015-1025
pH 6.0 7.0 4.5-8.0
Leukosit Negatif Negatif /ul Negatif
Nitrit Negatif Negatif Negatif
Protein 500 500 mg/dl Negatif
Glukosa Normal Normal mg/dl Normal
Keton Negatif Negatif mg/dl Negatif
Urobilinogen Normal Normal mg/dl Normal
Bilirubin Negatif Negatif mg/dl Negatif
Eritrosit Negatif Negatif /ul Negatif
MIKROSKOPIS
Eritrosit - 13.4 /uL 0-8.7
Eritrosit - 2 /LPB 0-5
Leukosit 1.5 5.2 /uL 0-7.4
Leukosit 6 1 /LPB 0-12
EPITEL
Epitel Squamous 7-8 0-1 /LPB Negatif
Epitel Transisional - - /LPB Negatif
Epitel bulat - - /LPB Negatif
SILINDER
Hyline 0 0 /LPK 0-3
Granulated 3-5 2-4 /LPK Negatif
Leukosit - - /LPK Negatif
Bakteri 2579.1 1307.2 /ul 0.0-2150.0
Yeast Like Cell 0.0 0.0 /uL 0.0-0.0
Small Round Cell 2.9 5.2 /uL 0.0-0.0
3. Gambaran Darah Tepi
12
Hasil: Netrofilia relative suspek e/c proses kronik bersamaan dengan
proses infeksi
V. RESUME
Sejak + 2 minggu sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh bengkak.
Bengkak dirasakan di seluruh tubuh berawal di wajah, kemudian ke perut dan
kaki. Bengkak terjadi terus-menerus, memperberat aktivitas dan tidak
berkurang dengan istirahat atau perubahan posisi. Akibat bengkak yang
dirasakan, pasien mengeluh badan terasa berat terutama ketika berjalan atau
naik tangga. Selain itu pasien mengeluh perut sebah dan terasa penuh seiring
dengan bengkak pada perutnya.
Dua bulan yang lalu pasien juga sering mengeluh nyeri perut di ulu hati
yang hilang timbul. Nyeri timbul terutama bila pasien terlambat makan dan
dirasa bertambah berat saat diberi makanan yang pedas atau asam. Nyeri
dirasa pasien seperti diremas-remas. Nyeri berkurang dengan pemberian
makanan dan saat aktivitas. Setiap timbul nyeri, pasien minum obat antasida
untuk mengurangi sakitnya. Pasien juga mengeluh mual namun tidak sampai
muntah.
BAK 3- 4x/hari @ ½ - ¾ gelas belimbing, warna kuning, tidak nyeri, tidak
panas, tidak anyang-anyangan, tidak disertai darah, tidak ada batu, dan tidak
berpasir. BAB 1x/hari warna coklat, konsistensi lunak, tidak disertai lendir
maupun darah.
Tiga bulan yang lalu, pasien pernah dirawat di RSDM karena keluhan
yang serupa yaitu bengkak di seluruh tubuh. Oleh dokter yang merawat,
pasien dikatakan memiliki kebocoran ginjal. Saat itu setelah pasien di terapi
dengan methyl prednisolone, pasien merasa keluhannya berkurang sehingga
pasien pulang paksa dari rumah sakit.
Sekitar 3 tahun yang lalu, pasien juga mengalami hal serupa. Bengkak
terasa di sekitar mata dan wajah. Bengkak hilang timbul, biasanya muncul
ketika baru bangun tidur. Pasien sempat 2 kali berobat ke praktek dokter
umum, diberi obat yang tidak pasien ingat namanya, disarankan untuk
13
mengkonsumsi putih telur.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesan overweight. Pemeriksaan mata
didapatkan oedema palpebra. Pada pemeriksaan wajah didapatkan moon face
dan oedema. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan pekak alih dan pekak
sisi positif, serta undulasi positif. Pada pemeriksaan ekstremitas didapatkan
oedema di ekstremitas atas dan pitting oedema di ekstremitas bawah.
Pada pemeriksaan laboratorium tanggal 9 Juli 2012 didapatkan : kadar
protein total 3,4 g/dl, kadar albumin 1,4 g/dl, kadar asam urat 7 mg/dl, kadar
kolesterol total 479 mg/dl, kadar LDL 335 mg/dl, kadar trigliserida 313
mg/dl, kadar kalsium ion 1,02 mmol/L.
Pada pemeriksaan urin rutin tanggal 13 Juli 2012 didapatkan : protein
500 mg/dl, protein esbach 2,8 g/24 jam, eritrosit 13,4 /uL, silinder granulated
2-4 /LPK, silinder small round cell 5,2 /uL.
Pada pemeriksaan gambaran darah tepi ditemukan kesan netrofilia
relative suspek e/c proses kronik bersamaan dengan proses infeksi
VI. DAFTAR ABNORMALITAS
Anamnesis
1. Bengkak di seluruh tubuh
2. Berat badan bertambah
3. Perut sebah
4. Nyeri ulu hati
5. Mual
Pemeriksaan Fisik
6. Oedema palpebra
7. Oedem wajah
8. Moon face
9. Pekak alih (+)
10. Pekak sisi (+)
11. Undulasi (+)
14
12. Oedema ekstremitas atas
13. Pitting oedema ekstremitas bawah
Pemeriksaan Penunjang
14. Hipoproteinemia
15. Hipoalbuminemia
16. Hiperurisemia
17. Hipokalsemia
18. Hiperkolesterolemia
19. Peningkatan LDL-C
20. Hipertrigliserida
21. Proteinuria
22. Protein esbach positif
VII. ANALISIS DAN SINTESIS
Abnormalitas 1,2,6,7,8,9,10,11,12,13,14,15,18,17,19,20,21,22 Sindrom Nefrotik
Abnormalitas 3, 4, 5 Dispepsia Ulcer like type
Abnormalitas 16 Hiperurisemia
VIII. RENCANA PEMECAHAN MASALAH
Problem 1. Sindrom Nefrotik
Ass : Anamnesis bengkak di seluruh tubuh, berat badan bertambah.
Hasil pemeriksaan fisik : oedema palpebra, oedema wajah, moon face, pekak
alih positif, pekak sisi positif, undulasi positif, oedema ekstremitas atas,
pitting oedema ekstremitas bawah. Hasil laboratorium kadar protein total 3,4
g/dl, kadar albumin 1,4 g/dl, kadar kolesterol total 479 mg/dl, kadar LDL 335
mg/dl, kadar trigliserida 313 mg/dl, kadar kalsium ion 1,02 mmol/L. Hasil
urinalisa : protein 500 mg/dl, protein esbach 2,8 g/24 jam
Ip Dx :
Ip Tx : - Bed rest tidak total
- Diet ginjal tinggi kalori, pembatasan protein 80kkal
15
- Infus D5 % 10 tpm : IVFD Aminofuchsin (pembatasan cairan
negatif) BC negatif
- Infus Albumin 20 % 100 cc (rumus koreksi)
- Methyl Prednisolone tablet 16 mg 2-0-1
- Simvastatin tablet 20 mg 0-0-0-1
- Vitamin B Complex 3 x 1
- Vitamin C 3 x 1
- Captopril tablet 6,25 mg 3 x 1
- CaCO3
Ip Mx : Protein total, protein urin, albumin, balance cairan, berat
badan/hari, lingkar perut/hari
Ip Ex : Penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit
pasien dan komplikasinya.
Prognosis : Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Problem 2. Dispepsia ulcer like type
Ass : Nyeri ulu hati, sebah, mual
DD : Gastritis NSAID, Gastritis Erosif
Ip Dx : Endoskopi
Ip Tx : - Injeksi Ranitidine 25 mg/12 jam
- Sucralfat syrup 3 x C I
- Antasida syrup 3 x C I
Ip Mx : -
Ip Ex : Penjelasan kepada pasien dan keluarganya mengenai penyakit
pasien dan komplikasinya.
Prognosis : Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Problem 3. Hiperurisemia
Ass : Kadar asam urat 7 mg/dl
16
Ip Dx : -
Ip Tx : Allopurinol tablet 100 mg 0-0-1
Ip Mx : Asam urat
Ip Ex : Penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya
Prognosis : Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
17
PROGRESS NOTE
09 Juli 2012 10 Juli 2012 11 Juli 2012
S - - -
O KU: tampak sakit,
compos mentis
T : 100/70
Rr : 20x/menit
N : 88x/menit
Suhu : 36,0°C
KU: tampak sakit,
compos mentis
T : 110/80
Rr : 24x/menit
N : 76x/menit
Suhu : 36,5 °C
KU: tampak sakit,
compos mentis
T : 110/70
Rr : 24x/menit
N : 80x/menit
Suhu : 36,8 °C
A Sindroma nefrotik
Abdominal dis-
comfort
DD gastropati
NSAID, gastritis
erosif
Hipokalsemia
Hiperurisemia
Sindroma nefrotik
Abdominal discom-
fort
DD gastropati
NSAID, gastritis
erosif
Hipokalsemia
Hiperurisemia
Sindroma nefrotik
Abdominal dis-
comfort
DD gastropati
NSAID, gastritis
erosif
Hipokalsemia
Hiperurisemia
Tx - Bedrest tidak total,
- Diet ginjal 1700
kkal.
- Infus D5% 20 tpm
- Injeksi MP 16 mg
2-0-1-0
- Injeksi ranitidine 1
amp/ 12 jam
- Simvastatin 20 mg
0-0-0-1
- Bedrest tidak total,
- Diet ginjal 1700
kkal
- Infus D5% 20 tpm :
IVFD aminofuschin
2:1 (20 tpm)
- Infus albumin 20%
100 cc
- Injeksi MP 16 mg 2-
0-1
- Injeksi ranitidine 1
amp/ 12 jam
- Bedrest tidak total,
- Diet ginjal 1700
kkal
- Infus D5% 20 tpm :
IVFD aminofuschin
2:1 (20 tpm)
- Infus albumin 20%
100 cc
- MP 16 mg 2-0-1
- Injeksi ranitidine 1
amp/ 12 jam
- Simvastatin 20 mg
18
- Simvastatin 20 mg
- Allopurinol 100 mg
0-0-0-1
0-0-0-1
- Allopurinol 100 mg
0-0-0-1
- CaCO3 3x1
- Bcomplex 3x1
- Vit.C 1x1
- Sucralfat syr 3xCI
P Balance cairan,
pengawasan KUVS,
berat badan/hari,
lingkar perut/hari
Balance cairan,
pengawasan KUVS,
berat badan/hari,
lingkar perut/hari
Balance cairan,
pengawasan KUVS,
berat badan/hari,
lingkar perut/hari
12 Juli 2012 13 Juli 2012
S - -
O KU: tampak sakit,
compos mentis
T : 110/80
Rr : 24x/menit
N : 76x/menit
Suhu : 36,5 °C
KU: tampak sakit,
compos mentis
T : 100/70
Rr : 18x/menit
N : 88x/menit
Suhu : 36,1 °C
A Sindroma nefrotik
Abdominal discom-
fort
DD gastropati
NSAID, gastritis
erosif
Hipokalsemia
Hiperurisemia
Sindroma nefrotik
Abdominal discom-
fort
DD gastropati
NSAID, gastritis
erosif
Hipokalsemia
Hiperurisemia
Tx - Bedrest tidak total,
- Diet ginjal nasi 1700
- Bedrest tidak total,
- Diet ginjal 1700 kkal,
19
kkal, rendah lemak
- Infus D5% 20 tpm :
IVFD aminofuschin
2:1 (20 tpm)
- Infus albumin 20% 50
cc
- MP 16 mg 2-0-1
- Injeksi ranitidine 1
amp/ 12 jam
- Simvastatin 20 mg 0-
0-0-1
- Allopurinol 100 mg 0-
0-0-1
- CaCO3 3x1
- Bcomplex 3x1
- Vit.C 1x1
- Sucralfat syr 3xCI
- Captopril 3x6,25mg
- Cellcept 2x500mg
rendah lemak
- Infus D5% 20 tpm :
IVFD aminofuschin
2:1 (20 tpm)
- Infus albumin 20%
100 cc
- MP 16 mg 2-0-1
- Injeksi ranitidine 1
amp/ 12 jam
- IVFD albumin 20%
100 cc
- Simvastatin 20 mg 0-
0-0-1
- Allopurinol 100 mg 0-
0-0-1
- CaCO3 3x1
- Bcomplex 3x1
- Vit.C 1x1
- Sucralfat syr 3xCI
- Captopril 3x6,25mg
- Cellcept 2x500mg
P Balance cairan,
pengawasan KUVS,
berat badan/hari, lingkar
perut/hari
Pengawasan KUVS,
berat badan/hari, lingkar
perut/hari, tunggu hasil
protein esbach
20
ALUR KETERKAITAN MASALAH
21
Vit.D yg berikatan dgn protein ikut
terbuang
Sindrom Nefrotik(permeabilitas
glomerulus terganggu)
proteinuria
pengangkut lemak ↓
albumin ↓hipoalbumin
hiperlipidemia
tekanan onkotik ↓
profil lipid: LDL-D ↑trigliserid ↑
kolesterol total ↑
sel hati bentuk lipid
diberi kortiko steroid
moon face
ascites
Pekak alih +, undulasi +
bengkak seluruh tubuh
Ca2+ sulit di absorbsi
↑ reabsorbsi Ca2+ di ginjal
terhalang krn ↑ Na+
ekstrasel
PGE2 ↓
Proteksi mukosa
lambung ↓
Hipokalsemia
Gastritis
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI DAN FISIOLOGI GINJAL
Dua ginjal terletak di dinding posterior abdomen, di luar rongga
peritoneum. Setiap ginjal kira-kira seberat 150 gram seukuran kepalan tangan.
Sisi medial ginjal merupakan hilus renalis, tempat masuknya arteri dan vena
renalis, cairan limfatik, suplai saraf dan ureter yang membawa urin akhir ke
kandung kemih1.
Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm)
dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal
sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra thoraks
12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau 12.
Kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5
cm dari krista iliaca) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan
vertebra L3 1.
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks yang
tercat gelap dan medula yang tercat terang dalam preparat mikroskopis ginjal.
Korteks ginjal terdiri dari pars konvulata dan pars radiata. Pars konvulata
tersusun dari korpuskuli ginjal dan tubuli yang membentuk labirin kortikal.
Sedangkan pars radiata tersusun dari bagian-bagian lurus (segmen lurus
tubulus proksimal dan segmen lurus tubulus distal) dari nefron dan duktus
koligentes. Medula ginjal hanya mengandung tubuli bagian lurus dan segmen-
segmen tipis nefron (Ansa Henle) 1.
Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas
korpuskel renalis, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis dan tebal
lengkung henle, tubulus kontortus distalis, tubulus dan duktus koligentes.
Darah yang membawa sisa hasil metabolisme tubuh mengalami proses filtrasi,
reabsorbsi dan sekresi untuk membentuk urin2,3.
22
Gambar 1. Anatomi Ginjal
23
Gambar 2. Potongan ginjal manusia dan skema mikrosirkulasi pasa
setiap nefron
Ginjal melakukan fungsinya dengan cara menyaring plasma dan
memisahkan zat dari filtrat dengan kecepatan yang bervariasi tergantung dari
kebutuhan tubuh dan membuang zat sisa dengan mengekskresikannya ke
dalam urin. Ginjal juga menjalankan fungsi multiple antara lain 1 :
1. Ekskresi produk Sisa Metabolisme, bahan kimia asing, obat, dan metabolit
Ginjal membuang produk sisa metabolisme diantaranya adalah urea dari
metabolisme asam amino, kreatinin dari kreatin otot, asam urat dari asam
nukleat, dan bilirubin dari produk akhir dari pemecahan hemoglobin 1.
2. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit
24
Asupan air dan elektrolit terutama ditentukan oleh kebiasaan makan dan
minum seseorang, sehingga mengharuskan ginjal untuk mengatur
kecepatan ekskresinya sesuai dengan asupan berbagai macam zat 1.
3. Pengaturan tekanan arteri
Ginjal berperan penting dalam pengaturan tekanan arteri jangka panjang
dengan mengekskresikan natrium dan air dan berperan dalam pengaturan
tekanan arteri jangka pendek dengan mengekskresikan faktor atau zat
vasoaktif seperti renin 1.
4. Pengaturan keseimbangan asam-basa
Bersama dengan paru dan sistem dasar cairan tubuh mengatur asam basa
dengan mengekskresikan air dan asam. Ginjal juga meruapakn satu-
satunya organ ekskresi untuk beberapa tipe asam dalam tubuh seperti asam
sulfur dan asam fosfat yang dihasilkan dari metabolisme protein 1.
5. Pengaturan produksi eritrosit
Ginjal menyekresikan hampir seluruh jumlah eritropioetin yang
merangsang pembentukan sel darah merah) 1.
6. Pengaturan Produksi 1,25 Dihidroksi vitamin-D
Ginjal menghasilkan bentuk aktif vitamin D yaitu 1,25 Dihidroksi vitamin
D (kalsitriol). Kalsitriol penting untuk deposit kalsium dalam tulang,
reabsorpsi kalsium oleh saluran cerna serta berperan penting dalam
pengaturan kalsium dan fosfat 1.
7. Sintesis glukosa
Ginjal menyintesis glukosa dari asam amino dan prekursor lainnya selama
masa yang panjang (glukoneogenesis) 1.
B. SINDROM NEFROTIK
1. Definisi
Sindrom nefrotik, adalah salah satu penyakit ginjal yang sering
dijumpai pada anak, merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkholesterolemia serta
25
sembab. Yang dimaksud proteinuria masif adalah apabila didapatkan
proteinuria sebesar 50-100 mg/kg berat badan/hari atau lebih. Albumin
dalam darah biasanya menurun hingga kurang dari 2,5 gram/dl. Selain
gejala-gejala klinis di atas, kadang-kadang dijumpai pula hipertensi,
hematuri, bahkan kadang-kadang azotemia 4.
2. Etiologi
Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Sindrom nefrotik primer, faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan
sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab
lain. Golongan ini paling sering dijumpai pada anak. Termasuk dalam
sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital, yaitu
salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir
atau usia di bawah 1 tahun.
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study
of Kidney Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian
besar ditegakkan melalui pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila
diperlukan, disempurnakan dengan pemeriksaan mikroskop elektron
dan imunofluoresensi. Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi
histopatologik sindrom nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan
terminologi menurut rekomendasi ISKDC 5.
Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer 6.
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
26
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sumber : Wila Wirya IG, 2002. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T,
Trihono PP, Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi
2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.
Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya
berupa sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa
prevalensi sindrom nefrotik tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit
dibandingkan pada anak-anak 7
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak
berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya,
1992, menemukan hanya 44.2% tipe kelainan minimal dari 364 anak
dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi, sedangkan menurut
Noer , 1997, di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal
dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.
b. Sindrom nefrotik sekunder, timbul sebagai akibat dari suatu penyakit
sistemik atau sebagai akibat dari berbagai sebab yang nyata seperti
misalnya efek samping obat. Penyebab yang sering dijumpai adalah :
o Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis,
sindrom Alport, miksedema.
o Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis,
streptokokus, AIDS.
o Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid,
racun serangga, bisa ular.
27
o Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus
sistemik, purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis.
o Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.
2. Patofisiologi
Proteinuria (albuminuria) masif merupakan penyebab utama
terjadinya sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum
diketahui benar. Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya
muatan negatif yang biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler
glomerulus dan membran basal. Hilangnya muatan negatif tersebut
menyebabkan albumin yang bermuatan negatif tertarik keluar menembus
sawar kapiler glomerulus. Hipoalbuminemia merupakan akibat utama dari
proteinuria yang hebat. Sembab muncul akibat rendahnya kadar albumin
serum yang menyebabkan turunnya tekanan onkotik plasma dengan
konsekuensi terjadi ekstravasasi cairan plasma ke ruang interstitial 8.
Hiperlipidemia muncul akibat penurunan tekanan onkotik, disertai
pula oleh penurunan aktivitas degradasi lemak karena hilangnya a-
glikoprotein sebagai perangsang lipase. Apabila kadar albumin serum
kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kadar lipid kembali normal 9.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial
yang menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume
sirkulasi efektif merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium
renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh
untuk menjaga agar volume dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi
cairan selanjutnya mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan
demikian menurunkan tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya
mempercepat ekstravasasi cairan ke ruang interstitial.
28
Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi renin yang
memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron dengan akibat
retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi berkurang, pekat
dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan
teori underfill3. Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin
plasma dan aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata
tidak semua penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut.
Beberapa penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan
volume plasma dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron,
sehingga timbullah konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori
ini retensi renal natrium dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer
dan tidak tergantung pada stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.
Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke dalam
kompartemen interstitial. Teori overfill ini dapat menerangkan volume
plasma yang meningkat dengan kadar renin plasma dan aldosteron rendah
sebagai akibat hipervolemia.
Pembentukan sembab pada sindrom nefrotik merupakan suatu proses
yang dinamik dan mungkin saja kedua
proses underfill dan overfill berlangsung bersamaan atau pada waktu
berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin merupakan suatu kombinasi rangsangan yang lebih
dari satu3.
3. Gejala Klinis
Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah
sembab, yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik.
Seringkali sembab timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang
anak bertambah gemuk. Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten;
biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi
29
jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau labia).
Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka)10.
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat
lunak, meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita
dengan sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing.
Sembab biasanya tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan
pasien-pasien GSFS atau GNMP. Hal tersebut disebabkan karena
proteinuria dan hipoproteinemia lebih hebat pada pasien SNKM 10.
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien,
nyeri perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik
yang sedang kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan
hati. Nafsu makan menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya
protein mengakibatkan malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom
nefrotik resisten-steroid. Asites berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis
dan prolaps ani 10.
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau
tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi
gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan
diuretik10.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada
penyakit berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik
terhadap anak yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan
merasa bersalah merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua
pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta
perawatan yang terlalu sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia
sosial anak menjadi terganggu10. Manifestasi klinik yang paling sering
30
dijumpai adalah sembab, didapatkan pada 95% penderita. Sembab paling
parah biasanya dijumpai pada sindrom nefrotik tipe kelainan minimal
(SNKM). Bila ringan, sembab biasanya terbatas pada daerah yang
mempunyai resistensi jaringan yang rendah, misal daerah periorbita,
skrotum, labia. Sembab bersifat menyeluruh, dependen dan pitting. Asites
umum dijumpai, dan sering menjadi anasarka. Anak-anak dengan asites
akan mengalami restriksi pernafasan, dengan kompensasi berupa
tachypnea. Akibat sembab kulit, anak tampak lebih pucat.
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik.
Penelitian International Study of Kidney Disease in Children (SKDC)
menunjukkan 30% pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik
lebih dari 90th persentil umur 11.
Tanda utama sindrom nefrotik adalah proteinuria yang masif yaitu >
40 mg/m2/jam atau > 50 mg/kg/24 jam; biasanya berkisar antara 1-10 gram
per hari. Pasien SNKM biasanya mengeluarkan protein yang lebih besar
dari pasien-pasien dengan tipe yang lain 10.
Hipoalbuminemia merupakan tanda utama kedua. Kadar albumin
serum < 2.5 g/dL. Hiperlipidemia merupakan gejala umum pada sindrom
nefrotik, dan umumnya, berkorelasi terbalik dengan kadar albumin serum.
Kadar kolesterol LDL dan VLDL meningkat, sedangkan kadar kolesterol
HDL menurun. Kadar lipid tetap tinggi sampai 1-3 bulan setelah remisi
sempurna dari proteinuria.
Hematuria mikroskopik kadang-kadang terlihat pada sindrom
nefrotik, namun tidak dapat dijadikan petanda untuk membedakan berbagai
tipe sindrom nefrotik 4,12.
Fungsi ginjal tetap normal pada sebagian besar pasien pada saat awal
penyakit. Penurunan fungsi ginjal yang tercermin dari peningkatan
kreatinin serum biasanya terjadi pada sindrom nefrotik dari tipe histologik
yang bukan SNKM.
Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom
nefrotik. Pada pemeriksaan foto toraks, tidak jarang ditemukan adanya
31
efusi pleura dan hal tersebut berkorelasi secara langsung dengan derajat
sembab dan secara tidak langsung dengan kadar albumin serum. Sering
pula terlihat gambaran asites. USG ginjal sering terlihat normal meskipun
kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan dari kedua ginjal dengan
ekogenisitas yang normal.
4. Cara pemeriksaan
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
I. Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah bengkak di ke dua kelopak mata,
perut, tungkai, atau seluruh tubuh dan dapat disertai jumlah urin yang
berkurang. Keluhan lain juga dapat ditemukan seperti urin berwarna
kemerahan.
II. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisik sindrom nefrotik dapat ditemukan edema di
kedua kelopak mata, tungkai, atau adanya asites dan edema
skrotum/labia. Kadang-kadang ditemukan hipertensi.
III. Pemeriksaan penunjang
Pada urinalisis ditemukan proteinuria masif (3+ sampai 4+), dapat
disertai hematuria. Pada pemeriksaan darah didapatkan hipoalbuminemia
(< 2,5 g/dl), hiperkolesterolemia, dan laju endap darah yang meningkat,
rasio albumin/globulin terbalik. Kadar ureum dan kreatinin umumnya
normal kecuali ada penurunan fungsi ginjal.
6. Diagnosis Banding
o Sembab non-renal : gagal jantung kongestif, gangguan nutrisi, edema
hepatal, edema Quincke.
o Glomerulonefritis akut
o Lupus sistemik eritematosus.
32
Penyulit
Shock akibat sepsis, emboli atau hipovolemia
Thrombosis akibat hiperkoagulabilitas
Infeksi
Hambatan pertumbuhan
Gagal ginjal akut atau kronik
Efek samping steroid, misalnya sindrom Cushing, hipertensi,
osteoporosis, gangguan emosi dan perilaku.
7 Penatalaksanaan
Bila diagnosis sindrom nefrotik telah ditegakkan, sebaiknya janganlah
tergesa-gesa memulai terapi kortikosteroid, karena remisi spontan dapat terjadi
pada 5-10% kasus. Steroid dimulai apabila gejala menetap atau memburuk
dalam waktu 10-14 hari.
Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak dengan
sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel 2
berikut :
Tabel 2. Istilah yang menggambarkan respons terapi steroid pada anak dengan sindrom nefrotik
33
Remisi
Kambuh
Kambuh tidak sering
Kambuh sering
Responsif-steroid
Dependen-steroid
Resisten-steroid
Responder lambat
Nonresponder awal
Nonresponder lambat
Proteinuria negatif atau seangin, atau proteinuria < 4 mg/m2/jam selama
3 hari berturut-turut.
Proteinuria ³ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam selama 3 hari berturut-
turut, dimana sebelumnya pernah mengalami remisi.
Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali dalam periode 12
bulan.
Kambuh ³ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal, atau ³4
kali kambuh pada setiap periode 12 bulan.
Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja.
Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa tapering terapi steroid,
atau dalam waktu 14 hari setelah terapi steroid dihentikan.
Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan terapi prednison 60
mg/m2/hari selama 4 minggu.
Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison 60 mg/m2/hari tanpa
tambahan terapi lain.
Resisten-steroid sejak terapi awal.
Resisten-steroid terjadi pada pasien yang sebelumnya responsif-steroid.
8. Pengobatan
International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC) menganjurkan
untuk memulai dengan pemberian prednison oral (induksi) sebesar 60
mg/m2/hari dengan dosis maksimal 80 mg/hari selama 4 minggu, kemudian
dilanjutkan dengan dosis rumatan sebesar 40 mg/m2/hari secara selang sehari
dengan dosis tunggal pagi hari selama 4 minggu, lalu setelah itu pengobatan
dihentikan 13.
a. Sindrom nefrotik serangan pertama
1) Perbaiki keadaan umum penderita :
34
a) Diet tinggi kalori, tinggi protein, rendah garam, rendah lemak.
Rujukan ke bagian gizi diperlukan untuk pengaturan diet
terutama pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal.
b) Tingkatkan kadar albumin serum, kalau perlu dengan transfusi
plasma atau albumin konsentrat.
c) Berantas infeksi.
d) Lakukan work-up untuk diagnostik dan untuk mencari
komplikasi.
e) Berikan terapi suportif yang diperlukan: Tirah baring bila ada
edema anasarka. Diuretik diberikan bila ada edema anasarka atau
mengganggu aktivitas. Jika ada hipertensi, dapat ditambahkan
obat antihipertensi.
2). Terapi prednison sebaiknya baru diberikan selambat-lambatnya 14 hari
setelah diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan untuk memastikan
apakah penderita mengalami remisi spontan atau tidak. Bila dalam
waktu 14 hari terjadi remisi spontan, prednison tidak perlu diberikan,
tetapi bila dalam waktu 14 hari atau kurang terjadi pemburukan
keadaan, segera berikan prednison tanpa menunggu waktu 14 hari 14.
b. Sindrom nefrotik kambuh (relapse)
1) Berikan prednison sesuai protokol relapse, segera setelah diagnosis
relapse ditegakkan.
2) Perbaiki keadaan umum penderita.
a) Sindrom nefrotik kambuh tidak sering
Adalah sindrom nefrotik yang kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan
atau < 4 kali dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap
hari selama 3 minggu.
Rumatan
35
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 40 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari selama
4 minggu. Setelah 4 minggu, prednison dihentikan.
b) Sindrom nefrotik kambuh sering
adalah sindrom nefrotik yang kambuh > 2 kali dalam masa 6
bulan atau > 4 kali dalam masa 12 bulan.
Induksi
Prednison dengan dosis 60 mg/m2/hari (2 mg/kg BB/hari)
maksimal 80 mg/hari, diberikan dalam 3 dosis terbagi setiap
hari selama 3 minggu.
Rumatan
Setelah 3 minggu, prednison dengan dosis 60 mg/m2/48 jam,
diberikan selang sehari dengan dosis tunggal pagi hari
selama 4 minggu. Setelah 4 minggu, dosis prednison
diturunkan menjadi 40 mg/m2/48 jam diberikan selama 1
minggu, kemudian 30 mg/m2/48 jam selama 1 minggu,
kemudian 20 mg/m2/48 jam selama 1 minggu, akhirnya 10
mg/m2/48 jam selama 6 minggu, kemudian prednison
dihentikan.
Pada saat prednison mulai diberikan selang sehari, siklofosfamid
oral 2-3 mg/kg/hari diberikan setiap pagi hari selama 8 minggu.
Setelah 8 minggu siklofosfamid dihentikan. Indikasi untuk merujuk ke
dokter spesialis nefrologi anak adalah bila pasien tidak respons
terhadap pengobatan awal, relapse frekuen, terdapat komplikasi,
terdapat indikasi kontra steroid, atau untuk biopsi ginjal.
9. Prognosis
Prognosis umumnya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :
a. Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun.
b. Disertai oleh hipertensi.
36
c. Disertai hematuria.
d. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder.
e. Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal.
Pada umumnya sebagian besar (+ 80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira
50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi
respons lagi dengan pengobatan steroid.
37
DISPEPSIA
Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran penceranaan,
khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut
bagian tengah keatas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh.
Dispepsia umumnya diderita oleh kaum produktif dan kebanyakan penyebabnya
adalah pola atau gaya hiudup tidak sehat. Gejalanya pun bervariasi mulai dari ny-
eri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa yang berlebihan
bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.
Ada beberapa hal yang menjadi penyebab timbulnya dispepsia, yaitu
pengleuaran asam lambung berlebih, pertahanan dindins lambung yang lemah, in-
feksi Helicobacter pylori (sejenis bakteri yang hidup di dalam lambung dalam
jumlah kecil, gangguan gerakan saluran pencernaan, dan stress psikologis 15,16.
Terkadang dispepsia dapat menjadi tanda dari masalah serius, contohnya
penyakit ulkus lambung yang parah. Tak jarang, dispepsia disebabkan karena
kanker lambung, sehingga harus diatasi dengan serius. Ada beberapa hal penting
yang harus diperhatikan bila terdapat salah satu dari tanda ini, yaitu:
1. Usia 50 tahun keatas
2. Kehilangan berat badan tanpa disengaja
3. Kesulitan menelan
4. Terkadang mual-muntah
5. Buang air besar tidak lancar
6. Merasa penuh di daerah perut 17.
Secara umum dispepsia terbagi menjadi dua jenis, yaitu dispepsia or-
ganik dan dispepsia nonorganik atau dispesia fungsional. Dispepsia organik jarang
ditemukan pada usia muda, tetapi banyak ditemukan pada usia lebih dari 40
tahun18. Dispepsia dapat disebut dispepsia organik apabila penyebabnya telah
diketahui secara jelas. Dispepsia fungsional atau dispepsia non-organik, meru-
pakan dispepsia yang tidak ada kelainan organik tetapi merupakan kelainan fungsi
dari saluran makanan19.
Definisi
38
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani "δυς-" (Dys-), berarti sulit , dan
"πέψη" (Pepse), berarti pencernaan20. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/ge-
jala klinis yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap
atau mengalami kekambuhan. Keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa
panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam lambung, kini tidak lagi termasuk
dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
1. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik se-
bagai penyebabnya. Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan
yang nyata terhadap organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung,
usus dua belas jari, radang pankreas, radang empedu, dan lain-lain.
2. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia
nonulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fung-
sional tanpa disertai kelainan atau gangguan struktur organ
berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan en-
doskopi (teropong saluran pencernaan).
Definisi lain, dispepsia adalah nyeri atau rasa tidak nyaman pada perut bagian
atas atau dada, yang sering dirasakan sebagai adanya gas, perasaan penuh atau
rasa sakit atau rasa terbakar di perut. Setiap orang dari berbagai usia dapat terkena
dispepsia, baik pria maupun wanita. Sekitar satu dari empat orang dapat terkena
dispepsia dalam beberapa waktu17.
Etiologi
Seringnya, dispepsia disebabkan oleh ulkus lambung atau penyakit acid
reflux. Jika anda memiliki penyakit acid reflux, asam lambung terdorong ke atas
menuju esofagus (saluran muskulo membranosa yang membentang dari faring ke
dalam lambung). Hal ini menyebabkan nyeri di dada. Beberapa obat-obatan,
seperti obat anti-inflammatory, dapat menyebabkan dispepsia. Terkadang penye-
bab dispepsia belum dapat ditemukan.
Penyebab dispepsia secara rinci adalah:
1. Menelan udara (aerofagi)
2. Regurgitasi (alir balik, refluks) asam dari lambung
39
3. Iritasi lambung (gastritis)
4. Ulkus gastrikum atau ulkus duodenalis
5. Kanker lambung
6. Peradangan kandung empedu (kolesistitis)
7. Intoleransi laktosa (ketidakmampuan mencerna susu dan pro-
duknya)
8. Kelainan gerakan usus
9. Stress psikologis, kecemasan, atau depresi
10. Infeksi Helicobacter pylory
Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, mem-
bagi dispepsia menjadi tiga tipe :
1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulkus-like dyspepsia), dengan ge-
jala:
a. Nyeri epigastrium terlokalisasi
a. Nyeri hilang setelah makan atau pemberian antasid
b. Nyeri saat lapar
c. Nyeri episodik
2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspesia),
dengan gejala:
a. Mudah kenyang
b. Perut cepat terasa penuh saat makan
c. Mual
d. Muntah
e. Upper abdominal bloating (bengkak perut bagian atas)
f. Rasa tak nyaman bertambah saat makan
3. Dispepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas)21.
Sindroma dispepsia dapat bersifat ringan, sedang, dan berat, serta dapat
akut atau kronis sesuai dengan perjalanan penyakitnya. Pembagian akut dan kro-
nik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.
40
Nyeri dan rasa tidak nyaman pada perut atas atau dada mungkin disertai
dengan sendawa dan suara usus yang keras (borborigmi). Pada beberapa pen-
derita, makan dapat memperburuk nyeri; pada penderita yang lain, makan bisa
mengurangi nyerinya.
Gejala lain meliputi nafsu makan yang menurun, mual, sembelit, diare dan flatu-
lensi (perut kembung).
Jika dispepsia menetap selama lebih dari beberapa minggu, atau tidak
memberi respon terhadap pengobatan, atau disertai penurunan berat badan atau
gejala lain yang tidak biasa, maka penderita harus menjalani pemeriksaan.
Pemeriksaan
Pemeriksaan untuk penanganan dispepsia terbagi beberapa bagian, yaitu:
a) Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi hitung jenis sel darah yang
lengkap dan pemeriksaan darah dalam tinja, dan urine. Dari hasil pemerik-
saan darah bila ditemukan lekositosis berarti ada tanda-tanda infeksi. Pada
pemeriksaan tinja, jika tampak cair berlendir atau banyak mengandung
lemak berarti kemungkinan menderita malabsorpsi. Seseorang yang
diduga menderita dispepsia tukak, sebaiknya diperiksa asam lambung .
Pada karsinoma saluran pencernaan perlu diperiksa petanda tumor, misal-
nya dugaan karsinoma kolon perlu diperiksa CEA, dugaan karsinoma
pankreas perlu diperiksa CA 19-9 22.
b) Barium enema untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau usus halus
dapat dilakukan pada orang yang mengalami kesulitan menelan atau
muntah, penurunan berat badan atau mengalami nyeri yang membaik atau
memburuk bila penderita makan22.
c) Endoskopi bisa digunakan untuk memeriksa kerongkongan, lambung atau
usus kecil dan untuk mendapatkan contoh jaringan untuk biopsi dari
lapisan lambung. Contoh tersebut kemudian diperiksa dibawah mikroskop
untuk mengetahui apakah lambung terinfeksi oleh Helicobacter pylori.
Endoskopi merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik
41
sekaligus terapeutik. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dengan endoskopi
adalah:
1) CLO (rapid urea test)
2) Patologi anatomi (PA)
3) Kultur mikroorgsanisme (MO) jaringan
4) PCR (polymerase chain reaction), hanya
dalam rangka penelitian
d) Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD den-
gan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test
(belum tersedia di Indonesia)22. Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap
saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Pada re-
fluks gastroesofageal akan tampak peristaltik di esofagusnyang menurun
terutama di bagian distal, tampak anti-peristaltik di antrum yang meninggi
serta sering menutupnya pilorus, sehingga sedikit barium yang masuk ke
intestin23. Pada tukak baik di lambung, maupun di duodenum akan terlihat
gambar yang disebut niche, yaitu suatu kawah dari tukak yang terisi kon-
tras media. Bentuk niche dari tukak yang jinak umumnya reguler,
semisirkuler, dengan dasar licin . Kanker di lambung secara radiologis,
akan tampak massa yang ireguler tidak terlihat peristaltik di daerah kanker,
bentuk dari lambung berubah. Pankreatitis akuta perlu dibuat foto polos
abdomen, yang akan terlihat tanda seperti terpotongnya usus besar (colon
cut off sign), atau tampak dilatasi dari intestin terutama di jejunum yang
disebut sentinal loops 23.
e) Kadang dilakukan pemeriksaan lain, seperti pengukuran kontraksi
kerongkongan atau respon kerongkongan terhadap asam.
Penatalaksanaan
Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori
1996, ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang dibedakan bagi sentra
42
kesehatan dengan tenaga ahli (gastroenterolog atau internis) yang disertai fasilitas
endoskopi dengan penatalaksanaan dispepsia di masyarakat.
43
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasid 20-150 ml/hari
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan mene-
tralisir sekresi asam lambung. Antasid biasanya mengandung Na
bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2, dan Mg triksilat. Pemberian an-
tasid jangan terus-menerus, sifatnya hanya simtomatis, unutk men-
gurangi rasa nyeri. Mg triksilat dapat dipakai dalam waktu lebih
lama, juga berkhasiat sebagai adsorben sehingga bersifat nontok-
sik, namun dalam dosis besar akan menyebabkan diare karena ter-
bentuk senyawa MgCl2.
2. Antikolinergik
Perlu diperhatikan, karena kerja obat ini tidak spesifik. Obat yang
agak selektif yaitu pirenzepin bekerja sebagai anti reseptor
muskarinik yang dapat menekan seksresi asama lambung sekitar
28-43%. Pirenzepin juga memiliki efek sitoprotektif.
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia
organik atau esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk go-
longan antagonis respetor H2 antara lain simetidin, roksatidin, rani-
tidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI)
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium
akhir dari proses sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk
golongan PPI adalah omeperazol, lansoprazol, dan pantoprazol.
5. Sitoprotektif
Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam
lambung oleh sel parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan
sekresi prostoglandin endogen, yang selanjutnya memperbaiki
mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan
sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site
44
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa
saluran cerna bagian atas (SCBA).
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dis-
pepsia fungsional dan refluks esofagitis dengan mencegah refluks
dan memperbaiki bersihan asam lambung (acid clearance) 22.
Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmaka (obat
anti- depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional,
karena tidak jarang keluhan yang muncul berhubungan dengan fak-
tor kejiwaan seperti cemas dan depresi 23.
Pengobatan farmakologis untuk pasien dispepsia fungsional
belum begitu memuaskan. Hasil penelitian controlled trials secara umum
masih mengecewakan dan hanya menemukan manfaat yang relatif kecil men-
genai placebo dengan histamin antagonis reseptor H2, penghambat pompa
asam (proton-pump inhibitors), dan pemberantasan Helicobacter pylori.
Walaupun sejumlah penelitian acak (randomized), controlled trials, dan meta-
analisis telah menunjukkan keunggulan sisaprid dibandingkan placebo,
sekarang kegunaan sisaprid terlarang di kebanyakan negara karena mengaki-
batkan efek samping pada jantung24.
Di Jepang, itoprid, yang merupakan dopamin antagonis D2 den-
gan kerja menghambat acetylcholinesterase, sering diresepkan untuk pasien
dispepsia fungsional. Walaupun obat ini telah menunjukkan merangsang ke-
mampuan gerak spontan (motality) lambung, penelitian yang dirancang secara
tepat, acak, dan controlled trials terhadap pasien dispepsia fungsional masih
lemah. Di Jepang, itoprid diresepkan 50 mg untuk tiga kali sehari. Bagaimana-
pun, respon kecil terhadap pemberian dosis harus dipandang dari populasi
lainnya24.
Penelitian yang dilakukan oleh Holtmann dkk membandingkan
antara pasien dispepsia fungsional yang diberi resep placebo dan itoprid.
45
Pasien dispepsia fungsional secara acak menerima pengobatan itoprid (50,100,
atau 200 mg untuk tiga kali sehari) atau placebo. Setelah delapan minggu pen-
gobatan, tiga poin efikasi utama dianalisa: perubahan dasar berbagai gejala
dispepsia fungsional (seperti yang diujikan melalui Leeds Dyspepsia Ques-
tionnaire), pengujian global dari efikasi pasien (proporsi pasien tanpa gejala
atau tanda peningkatan gejala), dan berbagai keluhan nyeri dan sakit yang di-
hitung dalam skala tingkat lima. Setelah delapan minggu, 41 persen dari
pasien yang menerima placebo ternyata bebas gejala, sebagai perbandingan
dengan 57 persen, 59 persen, dan 64 persen yang menerima itoprid dosis 50,
100, 200 mg untuk tiga kali sehari (P<0.05 untuk semua oerbandingan antara
placebo dan itoprid)24.
Walaupun penilaian bebas gejala secara siginifikan terjadi di
keempat kelompok, analisis keseluruhan menyingkap bahwa itoprid lebih ung-
gul secara signifikan daripada placebo, dengan nilai perkembangan bebas ge-
jala untuk kelompok 100 dan 200 mg (-6.24 dan -6.27) versus (-4.50) untuk
kelompok placebo; P=0.05. Analisis akhir dan lengkap menunjukkan bahwa
itoprid menghasilkan nilai respon yang lebih baik daripada placebo (73 persen
versus 63 persen, P=0.04) 24.
Pencegahan
Modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam mencegah terjadinya dis-
pepsia bahkan memperbaiki kondisi lambung secara tidak langsung16. Berikut ini
adalah modifikasi gaya hidup yang dianjurkan untuk mengelola dan mencegah
timbulnya gangguan akibat dispepsia :
a) Atur pola makan seteratur mungkin.
b) Hindari makanan berlemak tinggi yang menghambat pen-
gosongan isi lambung (coklat, keju, dan lain-lain).
c) Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung (kol,
kubis, kentang, melon, semangka, dan lain-lain).
d) Hindari makanan yang terlalu pedas.
e) Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
46
f) Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung, seperti
obat anti-inflammatory, misalnya yang mengandung ibuprofen, aspirin,
naproxen, dan ketoprofen. Acetaminophen adalah pilihan yang tepat untuk
mengobati nyeri karena tidak mengakibatkan iritasi pada dinding lambung25.
g) Kelola stress psikologi se-efisien mungkin.
h) Jika anda perokok, berhentilah merokok.
i) Jika anda memiliki gangguan acid reflux, hindari makan se-
belum waktu tidur.
j) Hindari faktor-faktor yang membuat pencernaan terganggu,
seperti makan terlalu banyak, terutama makanan berat dan berminyak, makan
terlalu cepat, atau makan sesaat sebelum olahraga.
k) Pertahankan berat badan sehat
l) Olahraga teratur (kurang lebih 30 menit dalam beberapa
hari seminggu) untuk mengurangi stress dan mengontrol berat badan, yang
akan mengurangi dispepsia.
m) Ikuti rekomendasi dokter Anda mengenai pengobatan dis-
pepsia. Baik itu antasid, PPI, penghambat histamin-2 reseptor, dan obat motili-
tas.
47
HIPOKALSEMIA
Hipokalsemia adalah berkurangnya kadar kalsium (Ca2+) serum tubuh kita.
Dengan etiologi yang beragam dan satu sama lain bisa saling mempengaruhi.
Faktor Kausal
Kurang adekuat diet harian bisa menjadi penyebab defisit Ca2+. Dan Ham-
pir 46% Ca2+ serum terikat protein, utamanya dengan albumin hingga penurunan
kadar albumin tubuh akan menyebabkan hypokalsemi. Hipokalsemia dengan
penurunan kalsium bentuk ion lepas sajalah (Ca2+) yang akan berkorelasi timbul-
nya gejala dan simptom pada kita.
Diet protein tinggi (protein > 0,9 – 1,0 mg/kgBB) berpengaruh pada level
Ca2+ tubuh, karena hanya bentuk ion Ca2+ yang bisa lepas dari jaringan tulang dan
bisa dikeluarkan melalui urin.
Mekanisme rendahnya rasio kalsium dan fosfor pada diet tinggi protein, bisa dije-
laskan dengan mekanisme timbal balik antara level kalsium dan fosfor, dimana
tubuh akan kehilangan Ca2+ lebih banyak26.
Faktor lain yang berkontribusi menyebabkan hipokalsemi, adalah:
Penggunaan sitrat atau koreksi alkalasis yang berlebihan dalam darah
Pengangkatan sekaligus ke 4 kelenjar dari Tyroid
Kurang konsumsi vit D, atau kurang terpapar sinar matahari, terutama usia
bayi dan usia lanjut
Hiperfosfatemia karena gagal ginjal
Obat-obatan yang menyebabkan pengeluaran kalsium, misal (diuretik
kerja kuat), kafein, antikonvulsan, heparin, laxatif dan nikotin
Pengaruhnya.
Pada Bayi dan Anak: berisiko tinggi dan mudah terserang patah tulang
48
Pada Ibu hamil: bayi dalam kandungannya akan hipokalsemi juga dan si
ibu akan berisiko tinggi mengalami keguguran atau pre-eklamsi (keracu-
nan kehamilan)
Pada Usia Lanjut: mudah terkena osteomalasia dan osteoporosis, terutama
pada wanita yang sudah menopaus.
Gejala Klinis
1. Neuromuskuler : Irritabilitas otot rangka (twiching, cramping, tetany),
Serangan akut, Hiper refleksi tendon dalam, Adanya tanda Trosseau’s atau
Chvostek’s, Parestesia, Cemas, Psikosis
2. Respiratori : Nafas pendek, Gagal nafas (tetani dan serangan akut)
3. Kardiovaskular : Denyut jantung meningkat dan gangguan irama (disrit-
mia), Hipotensi, Denyut nadi melemah
4. Gastrointestinal : Bising usus meningkat, Kejang perut, Diare
Penegakan Diagnosa.
Hipokalsemi ditegakkan dengan serum Ca2+ < 9 mg/dL (< 4.5 mEq/L).
Dimana nilai normalnya adalah 9 – 11 mg/dL (4,5 – 5,5 mEq/L).Bila ekskresi
kalsium > 150 mg/hari, berarti pasien disertai juga dengan hiperkalsiuria.
Ekskresi yang berlebihan ini juga menandai adanya suatu proses perusakan pada
tulang. Level serum Ca2+ yang turun menyebabkan lemahnya kontraksi otot
jantung, ditandai dengan memanjangnya fase isoelektrik Q-T pada EKG.
Pemeriksaan radiografi tidak bisa menjelaskan kerusakan yang terjadi pada tulang
sampai lebih dari 25% tulang termineralisasi. Pemeriksaan yang lebih sensitif
adalah menggunakan bone-testing, misal dengan densitometer atau foton
absorpsimeter yang bisa mendeteksi kerusakan tulang lebih awal.
Tatalaksana medis.
Praktisi akan mengobati gejala hipokalsemia dengan mencari etiologi dan
penyakit dasar yang menyertainya secara holistik. Pilihan terapi Ca2+ bisa dengan
49
preparat oral dan infus, yang rutenya tergantung berat ringannya gejala. Untuk
pasien dengan fungsi ginjal baik, direkomendasikan terapi penggantian
Ca2+ elemental sebanyak 1-2 g perhari, dalam bentuk gabungan dengan sitrat,
glukonat, karbonat atau laktat. Pemberian vit-D secara bersamaan juga diperlukan
tuk membantu penyerapan kalsium. Untuk mencegah kanker pada saluran
reproduksi dianjurkan pemeberian hormon progesteron (Terapi Pengganti
Hormon/HRT).
Pada kehilangan fase akut, disarankan pemberian infus ca-glukonas 10%, 30-60
mL dalam 1000 mL selama 6 sampai 12 jam. Terapi ini sangat perlu apalagi bila
pasien sudah kejang (tetani atau konvulsi). Dan pada kasus gawat darurat bisa
diberikan bahkan dalam hitungan menit. Sepuluh mililiter dari 10% ca-glukonas
mengandung 4,65 mEq atau 93 mg kalsium. Karena pasien hipokalsemia biasanya
disertai hipomagnesemia pula, tatalaksana defisiensi magnesium pada pasien
sebaiknya juga perlu diberikan26.
50
HIPERURISEMIA
Hiperurisemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar asam
urat darah diatas normal. Secara biokomiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu
kelarutan asam urat di serum yang melewati ambang batasnya. Batasan
hiperurisemia secara ideal yaitu kadar asam urat diatas 2 standar deviasi hasil
laboratorium pada populasi normal27,28.
Namun secara pragmatis dapat digunakan patokan kadar asam urat >7 mg
% pada laki-laki, dan >6 mg% pada perempuan, berdasarkan berbagai studi
epidemologi selama ini. Keadaan hiperurisemia akan beresiko timbulnya arthritis
gout, nefropati gout, atau batu ginjal. Hiperurisemia dapat terjadi bisa terjadi
akibat peningkatan metabo-lisme asam urat (overproduction) , penurunan
ekskresi asam urat urin (underexcretion) , atau gabungan keduanya29,30,31,32.
Tiga bentuk kelainan ginjal dengan hiperurisemia 33,34:
1. Nefropati urat, yaitu deposisi kristal urat di interstitial medulla dan pyramid
ginjal, merupakan proses yang kronik, ditandai dengan adanya reaksi sel giant
di sekitarnya.
2. Nefropati asam urat, yaitu presipitasi asam urat dalam jumlah yang besar pada
duktur kolektivus dan ureter, sehingga me-nimbulkan keadaan gagal ginjal
akut. Disebut juga sindrom lisis tumor, dan sering didapatkan pada pasien
leukemia dan limfoma pasca kemoterapi.
3. Nefrolitiasis , yaitu batu ginjal yang didapatkan pada 10-25% dengan gout
primer
Penatalaksanaan :
1. Kontrol hi-p e r u r i s e m i a :
Kontrol hiperurisemia dilakukan dengan diet rendah purin, serta
menghindari obat-obatan yang meningkatkan kadar asam urat serum
terutama diuretik.1,8 Selanjutkan diperlukan urate lowering agent seperti
golongan xanthine oxidase inhibitor , maupun uricosuric agent, dengan
catatan tidak boleh dimulai pada saat serangan akut. Pada hiperurisemia
51
asimptomatik terapi farmakologik dimulai jika kadar asam urat serum >9
mg/dL. Sedangkan pada penderi-ta gout telah diketahui bahwa pemberian
urate lowering agent juga menjadi faktor pencetus serangan akut, sehingga
diberikan juga kolkisin dosis prevensi 0,6 mg 1-3 kali perhari, atau OAINS
dosis rendah, dan dimulai setelah tidak adanya tanda-tanda inflamasi
akut35,36.Rilonacept, suatu inhibitor IL-1 sedang dikembangkan se -bagai
obat pencegah serangan akut pada awal terapi penurun asam urat.10
Target terapi adalah menurunkan kadar asam urat serum sampai di
bawah 6,8 mg/dL (lebih baik sampai 5-6 mg/dL). Jenis urate lowering
agent yang pertama yaitu golongan xanthine oxidase inhibitor dengan
cara kerja penghambatan oksidasi hipo-xantin menjadi xantin , dan xantin
menjadi asam urat. Obat yang termasuk golongan ini adalah allopurinol.
Diberikan mulai do-sis 100 mg/hari dan dinaikkan tiap minggu sampai
tercapai tar-get (rata-rata diperlukan minimal 300 mg/hari). Pada gangguan
fungsi ginjal dosis harus disesuaikan.1 Jenis obat yang lain seperti febuxostat,
non-purine xanthine oxidase inhibitor yang juga cukup poten, maupun
pegylated recombinant uricase , masih dikembangkan. Sedangkan jenis
urate lowering agent yang kedua yaitu golongan uricosuric agent , bekerja
dengan cara menghambat reabsorsi urat di tubulus renalis. Yang paling sering
dipakai adalah probenesid dan sulfinpirazon. Probenesid dengan dosis 0,5-
3 gram dibagi 2-3 kali perhari. Sedangkan sulfinpirazon diberikan dengan
do-sis 300-400 mg dibagi 3-4 kali perhari. Pemakaian obat urikosurik ini lebih
diindikasikan pada keadaan dengan ekskresi asam urat di urin <800 mg
perhari, dan dengan fungsi ginjal yang masih baik (creatinine clearance
>80ml/menit). Risiko batu ginjal semakin besar pada kadar asam urat di
urin yang tinggi. Pada beberapa kasus yang sulit dikendalikan dengan
obat tunggal, kombinasi uricosuric agent dan xanthine oxidase inhibitor
dapat dibenarkan37,38.
52
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton, Arthur C. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran –Ed.11. Jakarta: EGC;
2007.
2. Junqueira, Carlos., Carneiro J., Kelley R. O. Histologi Dasar: Teks dan
Atlas. Edisi 10. Jakarta : EGC; 2007. pp: 369-85.
3. National Kidney Foundation.. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Dia-
betes dan Chronic Kidney Disease.. Am J Kidney Dis; 2002.39: S1-266.
4. Chesney RW. The idiopathic nephrotic syndrome. Curr Opin Pediatr; 1999.11
: 158-61.
5. International Study of Kidney Disease in Children. Nephrotic syndrome in
children. Prediction of histopathology from clinical and laboratory chracteris-
tics at time of diagnosis. Kidney Int; 1978. 13 : 159.
6. Wila Wirya IG. Sindrom nefrotik. In: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP,
Pardede SO, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI ; 2002. pp. 381-426.
7. Feehally J, Johnson RJ, Introduction to Glomerular Disease : Clinical Presen-
tations. In : Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrol-
ogy. London : Mosby; 2000. p. 5 : 21.1-4.
8. A Report of the International Study of Kidney Disease in Children, The pri-
mary nephrotic syndrome in children : Identification of patients with minimal
change nephrotic syndrome from initial response to prednison. J Pediatr; 1981.
pp 98 : 561.
9. Kaysen GA, Proteinuria and the nephrotic syndrome. In : Schrier RW, editor.
Renal and electrolyte disorders. 4th edition. Boston : Little, Brown and Com-
pany; 1992. pp. 681-726.
10. Travis L, 2002. Nephrotic syndrome. Emed J [on line] 2002, 3 : 3 [2002 Mar
18] [(20) : screens]. Available from: URL:http//www.emedicine.com/PED/
topic1564.htm on 20 Juli 2012
11. Wila Wirya IGN, Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis sin-
drom nefrotik primer pada anak di Jakarta. Disertasi. Jakarta : Universitas In-
donesia, 1992.
53
12. Noer MS, Sindrom Nefrotik. In: Putra ST, Suharto, Soewandojo E, editors.
Patofisiologi Kedokteran. Surabaya : GRAMIK FK Universitas Airlanggap.
1997. 137-46.
13. Niaudet P, Treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children. Up To
Date 2000; 8.
14. Mansjoer, Arif et al. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1. Edisi Ketiga. Jakarta;
2007. Hal :488-491
15. Hadi, Sujono. Gastroenterologi. Bandung ; 2002. 156,159
16. Ariyanto, W.L. Mencegah Gangguan Lambung. 2007. www.kiatsehat.com,
20 Juli 2012
17. Bazaldua, OV et al. Evaluation and Management of Dyspepsia. 1999.
http://www.aafp.org/afp/991015ap/1773.html, 20 Juli 2012
18. Anonim. Dyspepsia-Symptoms, Treatment, abd Prevention. 2001.
http://www.healthscout.com/ency/68/294/main.html, 20 Juli 2012
19. Anonim. Dyspepsia. 2007. http://en.wikipedia.org/wiki/Dyspepsia, 20 Juli
2012
20. Anonim. Dispepsia. 2004. http://medicastore.com/med/subkategori_pyk.ph p?
idktg=7&UID=20071107122240202.162.33.202, 20 Juli 2012
21. Sawaludin, Diding. Nyeri Ulu Hati yang Berulang. 2005. http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/1005/09/hikmah/kesehatan.htm, 20 Juli 2012
22. Torpy, Janet M. Dyspepsia. 2006. http://jama.ama-assn.org/cgi/reprint/295/
13/1612?
maxtoshow=&HITS=10&hits=10&RESULTFORMAT=&fulltext=dyspep-
sia&searchid=1&FIRSTINDEX=0&resourcetype=HWCIT, 20 Juli 2012
23. Bazaldua, O.V. et al.. Dyspepsia: What It Is and What to Do About It. 2006
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/dyspepsia.ht
ml, 20 Juli 2012
24. Holtmann, Gerald.. A Placebo-Controlled Trial of Itopride in Functional Dys-
pepsia. 2006 http://content.nejm.org/cgi/content/short/354/8/ 832, 20 Juli 2012
25. Longstreth, George F. Functional Dyspepsia — Managing the Conundrum.
2006. http://content.nejm.org/cgi/content/short/354/8/791, 20 Juli 2012
54
26. Lee, AB Carla, et all; Fluids and Electrolytes A Practical Approach, 4thEd;
FA Davis Company, Philadelphia; 1996; p: 98-103
27. Wortmann RL. Gout and hyperuricemia. In: Firestein GS, Budd RC,
Harris ED, Rudy S, Sergen JS, editors. Kelley’s Textbook of
Rheumatology. 8thed. Philadelphia:Saunders; 2009.p.1481-506
28. Edward NL. Gout: Clinical features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ,
White PH, Editors. 3thed. New York:Springer; 2008.p.241-9
29. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4.
Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.hal.1213-17
30. Poor G, Mituszova M. History, Classification and epidemology of
crystal-related artropathies. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rd ed. Edinburg:
Elsevier; 2003.p.1893-1901
31. Tehupeiroy ES. Artrtritis pirai (artritis gout). Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, Editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi ke-4. Jakarta:Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.hal.1218-20
32. Choi HK. Gout : Epidemology, pathology and pathogenesis. In: Klippel
JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, Editors. 13thed. New
York:Springer; 2008.p.250-7
33. Gibson T. Clinical features of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS,
Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded. Edinburg:
Else-vier; 2003.p.1919-28
34. Terkeltaub RA. Gout: treatment. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White
PH, Editors. 13thed. New York:Springer;2008.p.258-262
35. Emmerson BT. The Management of gout. In: Hochberg MC, Silman AJ, Smo-
len JS, Weinblatt ME, Weisman MH, Editors. Rheumatology. 3rded.
Edinburg: Elsevier; 2003.p.1925-36
36. Terkeltaub R, Schumacher H, Sundy J, Murphy F, Bookbinder S, Biedermann
S, et al. Placebo-controlled pilot study of rilonacept (IL-1 Trap), A long acting
55
IL-1 inhibitor, in refractory chronic active gouty arthritis. Annual Scientific
Meeting 2007; American College of Rheumatology
37. Becker MA, Schumache HR, Wortmann RL, MacDonald PA, Eustace
D, Palo WA, et al. Febuxostat compared with Allopurinol in Patients with
Hyperuri-cemia and Gout. NEJM 2005; 353(23):2450-61
38. Chohan S, Becker MA. Update on emerging urate-lowering therapies. Current
Opinion in Rheumatology 2009; 21(2):143-9
56