Upload
chochotiko
View
45
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
may help you enough
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM
FARMASI KLINIK
PRAKTIKUM KE-7
CASE STUDY
Oleh :
Golongan / Kelompok : II / I
Minat : Farmasi Klinik dan Komunitas
Hari / Tanggal Praktikum : Senin / 1 Desember 2014
No Nama Mahasiswa NIM TTD
1. Ihda Yusriyya 11/314091/FA/08732
2. Khairunisa N. S. 11/314204/FA/08733
3. Silvia Kusuma M. 11/314334/FA/08735
4. Chlara Nikke D. 11/315704/FA/08737
Dosen Jaga Praktikum : Dra. Fita Rahmawati, Apt., Sp.FRS
Asisten Jaga Praktikum : Mawardi Ihsan
LABORATORIUM FARMAKOTERAPI DAN FARMASI KLINIK
BAGIAN FARMAKOLOGI DAN FARMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
FARMAKOTERAPI SYARAF DAN ENDOKRIN
I. TUJUAN PRAKTIKUM
Mahasiswa dapat memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada penyakit
yang berhubungan dengan jantung, mampu memahami dan mengidentifikasi rekam
medik.
II. DASAR TEORI
Gagal Jantung Kongestif
Definisi
Gagal jantung kongestif adalah kumpulan gejala klinis akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung sehingga mengganggu kemampuan pengisian
ventrikel dan pompa darah ke seluruh tubuh. Tanda-tanda kardinal dari gagal
jantung ialah dispnea, fatigue yang menyebabkan pembatasan toleransi aktivitas
dan retensi cairan yang berujung pada kongesti paru dan edema perifer. Gejala ini
mempengaruhi kapasitas dan kualitas dari pasien gagal jantung (AHA, 2001).
Etiologi
Beberapa etiologi dari penyakit gagal jantung kongestif ialah :
a. Penyakit Jantung Koroner
Seseorang dengan penyakit jantung koroner (PJK) rentan untuk menderita
penyakit gagal jantung, terutama penyakit jantung koroner dengan hipertrofi
ventrikel kiri. Lebih dari 36% pasien dengan penyakit jantung koroner selama 7-8
tahun akan menderita penyakit gagal jantung kongestif ( Hellerman, 2003). Pada
negara maju, sekitar 60-75% pasien penyakit jantung koroner menderita gagal
jantung kongestif (Mann, 2008). Bahkan dua per tiga pasien yang mengalami
disfungsi sistolik ventrikel kiri disebabkan oleh Penyakit Jantung Koroner
(Doughty dan White, 2007).
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah yang bersifat kronis merupakan komplikasi
terjadinya gagal jantung (Riaz, 2012). Berdasarkan studi Framingham dalam
Cowie tahun 2008 didapati bahwa 91% pasien gagal jantung memiliki riwayat
hipertensi. Studi terbaru Waty tahun 2012 di Rumah Sakit Haji Adam Malik
menyebutkan bahwa 66.5% pasien gagal jantung memiliki riwayat hipertensi.
Hipertensi menyebabkan gagal jantung kongestif melalui mekanisme
disfungsi sistolik dan diastolik dari ventrikel kiri. Hipertrofi ventrikel kiri menjadi
predisposisi terjadinya infark miokard, aritmia atrium dan ventrikel yang nantinya
akan berujung pada gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers
D.G., 2000).
c. Cardiomiopathy
Cardiomiopathy merupakan kelainan pada otot jantung yang tidak
disebabkan oleh penyakit jantung koroner, hipertensi atau kelainan kongenital.
Cardiomiopathy terdiri dari beberapa jenis. Diantaranya ialah dilated
cardiomiopathy yang merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya gagal
jantung kongestif. Dilated cardiomiopathy berupa dilatasi dari ventrikel kiri
dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Dilatasi ini disebabkan oleh hipertrofi
sel miokardium dengan peningkatan ukuran dan penambahan jaringan fibrosis (Lip
G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
Hipertrophic cardiomiopathy merupakan salah satu jenis cardiomiopathy
yang bersifat herediter autosomal dominan. Karakteristik dari jenis ini ialah
abnormalitas pada serabut otot miokardium. Tidak hanya miokardium tetapi juga
menyebabkan hipertrofi septum. Sehingga terjadi obstruksi aliran darah ke aorta
(aortic outflow). Kondisi ini menyebabkan komplians ventrikel kiri yang buruk,
peningkatan tekanan diastolik disertai aritmia atrium dan ventrikel (Scoote M.,
Purcell I.F., Wilson P.A., 2005).
Jenis lain yaitu Restrictive and obliterative cardiomiopathy. Karakteristik
dari jenis ini ialah berupa kekakuan ventrikel dan komplians yang buruk, tidak
ditemukan adanya pembesaran dari jantung. Kondisi ini berhubungan dengan
gangguan relaksasi saat diastolik sehingga pengisian ventrikel berkurang dari
normal. Kondisi yang dapat menyebabkan keadaan ini ialah Amiloidosis,
Sarcoidosis, Hemokromasitomatosis dan penyakit resktriktif lainnya (Scoote M.,
Purcell I.F., Wilson P.A., 2005).
d. Kelainan Katup Jantung
Dari beberapa kasus kelainan katup jantung, yang paling sering
menyebabkan gagal jantung kongestif ialah Regurgitasi Mitral. Regurgitasi mitral
meningkatkan preload sehingga terjadi peningkatan volume di jantung.
Peningkatan volume jantung memaksa jantung untuk berkontraksi lebih kuat agar
darah tersebut dapat didistribusi ke seluruh tubuh. Kondisi ini jika berlangsung
lama menyebabkan gagal jantung kongestif (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers
D.G., 2000).
e. Aritmia
Artial Fibrilasi secara independen menjadi pencetus gagal jantung tanpa
perlu adanya faktor concomitant lainnya seperti PJK atau hipertensi. 31% dari
pasien gagal jantung ditemukan gejala awal berupa atrial fibrilasi dan ditemukan
60% pasien gagal jantung memiliki gejala atrial fibrilasi setelah dilakukan
pemeriksaan echocardiografi. Aritmia tidak hanya sebagai penyebab gagal jantung
tetapi juga memperparah prognosis dengan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas (Cowie et.al., 1998).
f. Alkohol dan Obat-obatan
Alkohol memiliki efek toksik terhadap jantung yang menyebabkan atrial
fibrilasi ataupun gagal jantung akut. Konsumsi alkohol dalam jangka panjang
menyebabkan dilated cardiomiopathy. Didapati 2-3% kasus gagal jantung
kongestif yang disebabkan oleh konsumsi alkohol jangka panjang. Sementara itu
beberapa obat yang memiliki efek toksik terhadap miokardium diantaranya ialah
agen kemoterapi seperti doxorubicin dan zidovudine yang merupakan antiviral
(Cowie, 2008).
g. Lain-lain
Merokok merupakan faktor resiko yang kuat dan independen untuk
menyebabkan penyakit gagal jantung kongestif pada laki-laki sedangkan pada
wanita belum ada fakta yang konsisten (Lip G.Y.H., Gibbs C.R., Beevers D.G.,
2000).
Sementara diabetes merupakan faktor independen dalam mortalitas dan
kejadian rawat inap ulang pasien gagal jantung kongestif melalui mekanisme
perubahan struktur dan fungsi dari miokardium. Selain itu, obesitas menyebabkan
peningkatan kolesterol yang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner yang
merupakan penyebab utama dari gagal jantung kongestif. Berdasarkan studi
Framingham disebutkan bahwa diabetes merupakan faktor resiko yang untuk
kejadian hipertrofi ventrikel kiri yang berujung pada gagal jantung (Lip G.Y.H.,
Gibbs C.R., Beevers D.G., 2000).
Tabel 2.1. Penyebab Gagal Jantung KongestifMain Ischemic Heart Disease (35-40%)
Cause Cardiomiopathy expecially dilated (30-34%)
Hypertension (15-20%)
Cardiomyopathy undilated : Hyperttrophy/obstructive, restrictive
(amyloidosis, sarcoidosis)
Valvular heart disease (mitral, aortic, tricuspid)
Congenital heart disease (ASD,VSD)
Alcohol and drugs (chemotherapy-trastuzamab, imatinib)
Hyperdinamic circulation (anemia, thyrotoxicosis, haemochromatosis)
Other Cause Right Heart failure (RV infarct, pulmonary hypertension, pulmonary
embolism, COPD
Tricuspid incompetence
Arrhythmia (AF, Bradycardia (complete heart block, the sick sinus
syndrome))
Pericardial disease (constrictive pericarditis, pericardial effusion)
Infection (Chagas’ disease)
Sumber : Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular disease. In : Clinical Medicine Ed
7th
Patogenesis
Gagal Jantung Kongestif diawali dengan gangguan otot jantung yang tidak
bisa berkontraksi secara normal seperti infark miokard, gangguan tekanan
hemodinamik, overload volume, ataupun kasus herediter seperti cardiomiopathy.
Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan penurunan kapasitas pompa jantung.
Namun, pada awal penyakit, pasien masih menunjukkan asimptomatis ataupun
gejala simptomatis yang minimal. Hal ini disebabkan oleh mekanisme kompensasi
tubuh yang disebabkan oleh cardiac injury ataupun disfungsi ventrikel kiri (Mann,
2010).
Beberapa mekanisme yang terlibat diantaranya: (1) Aktivasi Renin-
Angiotensin-Aldosteron (RAA) dan Sistem Syaraf Adrenergik dan (2) peningkatan
kontraksi miokardium. Sistem ini menjaga agar cardiac output tetap normal
dengan cara retensi cairan dan garam. Ketika terjadi penurunan cardiac output
maka akan terjadi perangsangan baroreseptor di ventrikel kiri, sinus karotikus dan
arkus aorta, kemudian memberi sinyal aferen ke sistem syaraf sentral di
cardioregulatory center yang akan menyebabkan sekresi Antidiuretik Hormon
(ADH) dari hipofisis posterior. ADH akan meningkatkan permeabilitas duktus
kolektivus sehingga reabsorbsi air meningkat (Mann, 2008).
Kemudian sinyal aferen juga mengaktivasi sistem syaraf simpatis yang
menginervasi jantung, ginjal, pembuluh darah perifer, dan otot skeletal. Stimulasi
simpatis pada ginjal menyebabkan sekresi renin. Peningkatan renin meningkatkan
kadar angiotensin II dan aldosteron. Aktivasi RAAS menyebabkan retensi cairan
dan garam melalui vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Mekanisme kompensasi
neurohormonal ini berkontribusi dalam perubahan fungsional dan struktural
jantung serta retensi cairan dan garam pada gagal jantung kongestif yang lebih
lanjut (Mann, 2008).
Patofisiologi Gagal Jantung Kongestif
Sumber : Mann, D. L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s
Cardiovascular Medicine Ed. 17th .
Perubahan neurohormonal, adrenergic dan sitokin menyebabkan remodeling
ventrikel kiri. Remodeling ventrikel kiri berupa (1) hipertrofi miosit; (2) perubahan
substansi kontraktil miosit; (3) penurunan jumlah miosit akibat nekrosis, apoptosis dan
kematian sel autophagia; (4) desensitisasi beta adrenergic; (5) kelainan metabolisme
miokardium; (6) perubahan struktur matriks ekstraselular miosit (Mann, 2010).
Perubahan struktur jantung akibat reni yang berperan dalam modeling penurunan cardiac
output, dilatasi ventrikel kiri dan overload hemodinamik. Ketiga hal diatas berkontribusi
dalam progresivitas penyakit gagal jantung (Mann, 2010).
Grafik penurunan kompensasi tubu h pada pasien gagal jantung kongestif
Sumber : Mann, D. L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s
Cardiovascular Medicine Ed. 17th .
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan studi Framingham, diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan
apabila diperoleh : 1 atau dua kriteria mayor + dua kriteria minor
Kriteria Framingham dalam penegakan diagnosis gagal jantung kongestifKriteria Mayor
Dispnea/orthopnea Nocturnal Parkosismal
Distensi vena leher
Ronki
Kardiomegali
Edema pulmonary akut
Gallop-S3
Peningkatan tekanan vena (>16 cmH2O)
Waktu sirkulasi > 25 detik
Reflex hepatojugularis
Kriteria Minor
Edema pretibial Batuk
malam Dispnea saat
aktivitas Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital paru menurun 1/3 dari maksimal
Takikardia (>120 kali/menit)
Kriteria Mayor atau Minor
Penurunan berat badan > 4.5 Kg dalam 5 hari
Sumber : Marantz et. al., 1988. The relationship between left ventricular systolic
function and congestive heart failure diagnosed by clinical criteria. In :
Circulation. Ed. 77 : 607-612.
Klasifikasi
New York Heart Association membagi klasifikasi Gagal Jantung Kongestif
berdasarkan tingkat keparahan dan keterbatasan aktivitas fisik :
Klasifikasi Gagal Jantung KongestifTidak ada keterbatasan dalam aktivitas fisik. Aktivitas fisik
tidak menyebabkan sesak nafas, fatigue, atau palpitasi.
Sedikit mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa
nyaman saat beristirahat tetapi saat melakukan aktivitas fisik
mulai merasakan sedikit sesak, fatigue, dan palpitasi
Mengalami keterbatasan dalam aktivitas fisik. Merasa
nyaman saat istirahat namun ketika melakukan aktivitas fisik
yang sedikit saja sudah merasa sesak, fatigue, dan palpitasi.
Tidak bisa melakukan aktivitas fisik. Saat istirahat gejala bisa
muncul dan jika melakukan aktivitas fisik maka gejala akan
meningkat.
Sumber : European Society of Cardiology (ESC), 2012. Guideline for the Diagnosis and
Treatment of Acute and Chronic heart Failure.
III. HASIL PEMANTAUAN PASIEN
1. IDENTITAS PASIENPasien: Ny.FSa Ruang: IMC 10 BB: 80 kg
Kelas I
Kelas II
Kelas III
Kelas IV
TB:
Umur : 62 th Tgl MRS: 14/03/2014Tgl KRS: 17/03/2014
No. CM: 013516
2. PERINCIAN PASIEN
Keluhan Utama : demam, kaki kiri bengkak nyeri, batuk terutama malam hari,
sering terbangun, harus menggunakan bantal saat tidur, nyeri perut dan ulu hati +
daerah kanan bawah, makan / minum menurun
Diagnosis: CHF cf I ec IHDCelulitisDyspepsia
3. RIWAYATRiwayat Penyakit : -Riwayat keluarga/sosial : -Riwayat Pengobatan : -Alergi obat : -
4. PROGRESS NOTE (Catatan perkembangan pasien):Tanggal Waktu Keterangan Tindakan14/03/2014 UGD Nyeri akut, hipertermia,
risiko kelebihan cairan Hasil lab : ureum 17;
kreatinin 0,95 (normal)TD : 120/80 mmHgN : 102 x / menitT : 38,9ºCRR : 24 x / menit
Kondisi umum : lemah
Pasang infuse RL mikrolini Renapar Injeksi Lasix
20.40 Badan lemas, nyeri perut berkurang
TD : 125/70 mmHgN : 80 x / menitT : 38,4ºCRR : 20 x / menit
15/03/2014 06.00 Lemas, terasa sesak TD : 90/60 mmHg
N : 72 x / menitT : 37,2ºCRR : 20 x / menit
Cedocard Trombo aspilet
07.00 Sesak berkurang, kaki masih
bengkak TD : 110/70 mmHg
N : 76 x / menitT : 37,1ºCRR : 24 x / menit
14.00 Kaki kiri bengkak Kondisi umum baik TD : 100/70 mmHg
N : 76 x / menitT : 36ºCRR : 22 x / menit
18.30 Ada bercak kemerahan di kaki kiri
Bercak 4 x 3 cm23.30 Pasien tidak bisa tidur, 2
hari Diazepam
16/03/2014 06.00 Dada kanan sedikit nyeri TD : 130/80 mmHg
N : 56 x / menitT : 36,3ºCRR : 18 x / menit
Setelah kerokan pasien merasa nyaman
10.35 Tidak ada keluhan Merah di tungkai kiri bawah
± 3 hari, tidak gatal, sakit TD : 115/60 mmHg
N : 57 x / menitT : 36,2ºCRR : 20 x / menit
Meixam Fuson cream
Perut merasa sebah TD : 160/70 mmHg
N : 58 x / menitT : 36,8ºCRR : 24 x / menit
17/03/2014 06.00 Perut sebah belum BAB, nyeri
TD : 110/70 mmHgN : 58 x / menitT : 36ºCRR : 22 x / menit
Danalgin
08.37 Nyeri berkurang Tungkai bawah udem,
hangat pada perabaan
Patch eritem
Pasien sudah enakan TD : 110/70 mmHg
N : 64 x / menitT : 36,5ºCRR : 20 x / menit
5. PENGOBATAN YANG DILAKUKAN
No Macam Obat DosisRute
PemberianFrekuensi
Tgl. 14/03/14
Tgl. 15/03/14
Tgl. 16/03/14
Tgl. 17/03/14
1 Inj.Ondansetron 8 mg IV 1x di IGD di IGDO2
2 Infus Mikrolini RL 12 tpm IV 1 botol3 Sistenol 1 tab PO Tiap 8 jam 22 6, 14, 22 6, 14, 22 64 Zibac 1 vial (1 g) IV Tiap 8 jam 22 6, 14, 22 6, 14, 22 65 Lasix 1A IV Tiap 8 jam 22 6, 14, 226 Aspar K 1 tab PO Tiap 8 jam 22 6, 14, 22 6, 14, 22 67 Pantoprazole 1 A (40 mg) IV Tiap 12 jam 22 6, 18 6, 18 68 Cedocard 5 mg PO Tiap 8 jam 16, 22 6, 14, 22 69 Trombo aspilet 80 mg PO Tiap 12 jam 18 6, 18 610 Laxadyn syr 2 cth PO 1x (malam) 22 2211 Inj. Farsix 1A IV Tiap 8 jam 10, 18 612 Renapar 1 tab PO Tiap 12 jam 6, 18 613 Meixam 1 tab PO Tiap 6 jam 18, 24 614 Fuson Cream topical 2x / hari 6, 1615 Danalgin 1 tab PO Tiap 12 jam 18 616 Diazepam 2 mg PO p.r.n 24
6. PARAMETER PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Parameter Nilai Normal 14/03/2014 Parameter Nilai Normal 15/03/2014Tekanan Darah 120/80 mmHg 120 / 80
Suhu 37º C 38,9º
Asam urat 2,4 – 6 7,7 Asam urat 5,2
Kolesterol total < 200 137 Kolesterol total 160
HDL 40 – 60 51
LDL < 100 93
Trigliserid < 150 67
Gula darah sewaktu (GDS) 65 – 121 125
Respiration rate (RR) 24
Nadi 102
HB 13
Neutrofil 50 – 70 87 %
Limfosit 20 – 40 5,8
Monosit 2 – 8 4,2
Eusinofil 1 – 3 2,4
Basofil 0 – 1 0,1
AST 15 – 30 U/L 52
ALT 8 – 35 U/L 36
Ureum 10,5 – 42 17
Kreatinin 0,5 – 1,1 0,95
LUC 1 – 4 0,6
**Cardiomegali (+); RBB +/+ RBK +/+ ; EKG : iskemik anteroseptal
Balance Cairan
Tanggal Input Output IWL BalanceDiuresis
(cc/kgBB/jam)14/03/2014 500 840 450 – 790 0,715/03/2014 1650 1910 900 – 1160 0,7816/03/2014 920 1860 900 – 1840 0,8617/03/2014 880 520 262,5 + 97,5 0,8
IV. PEMBAHASAN
Pasien Ny. FSa dibawa IGD rumah sakit oleh keluarganya dengan keluhan
demam, kaki kiri bengkak nyeri, batuk terutama malam hari, sering terbangun, harus
menggunakan bantal saat tidur, nyeri perut dan ulu hati + daerah kanan bawah,
makan/minum menurun. Diketahui pasien tidak memiliki riwayat penyakit, riwayat
sosial dan alergi terhadap obat.
Saat di instalasi gawat darurat, pasien langsung diberikan ondansteron dosis 8
mg secara intravena. Berdasarkan Pemberian ondansetron berfungsi sebagai
profilaksis mual muntah, diketahui pasien mengeluhkan nyeri pada ulu hati karena
produksi asam lambung yang berlebihan yang berpotensi menimbulkan mual muntah
walaupun dalam kasus ini tidak terdapat keluhan mual muntah secara langsung. Di
rumah sakit digunakan ondansetron untuk profilaksis mual muntah apapun
penyebabnya. Selain diberikan ondansetron, pasien juga diberikan oksigenasi untuk
membantu melancarkan pernafasan dan sistenol peroral untuk meredakan batuk dan
menurunkan demam. Setelah dilakukan pemeriksaan pasien didiagnosa menderita
gagal jantung kongestif (CHF) kelas fungsional I ex causa IHD (Ischemic Hearth
Disease), selulitis dan dyspepsia. Dari kondisi pasien tersebut pasien dipindahkan ke
rawat inap untuk mendapatkan pengobatan yang lebih intensif.
ObatIndikasi pada
pasien
Dosis, Frekuensi, Keterangan Efek samping Pengatasan
Interaksi
ObatTeori Pemberian
Injeksi
ondansetron
Profilaksis
mual muntah
iv : 8 mg 8 mg Sesuai - - -
Sistenol Menurunkan Jika perlu, 3 kali Sesuai - - -
(Paracetamol
500 mg + N-
acetilsistein
200 mg)
demam dan
mengurangi
batuk
3 kali sehari
1 tablet
sehari 1
tablet
Infus RL
mikrolini
Penambah
cairan dan
elektrolit
Tergantung
individual
12 tpm Sesuai - - -
Zibac
(ceftazidime
pentahidrat)
Antibiotik 1 g/vial, 3
kali sehari
1 g/vial , 3
kali sehari
Sesuai - - -
Lasix
(furosemide
20 mg)
Diuretik,
mengurangi
kelebihan
cairan
20 - 80 mg 1 ampul 3
kali sehari
Sesuai Hipokalemia,
hipomagnesia
Diberikan
aspar K
dan
Renapar
-
Aspar K (K I-
aspartat)
Suplemen
penambah
kalium
300 mg, 3
kali sehari 1
tablet
3 kali
sehari 1
tablet
Sesuai - - -
Pantoprazole Nyeri ulu hati 40 mg, 2
kali sehari
1 ampul (40
mg) 2 kali
sehari
Sesuai - - -
Cedocard
(isosorbid
dinitrat)
Anti angina 5 mg, 3 kali
sehari 1
tablet
5 mg, 3 kali
sehari 1
tablet
Sesuai - - -
Trombo
aspilet
(Aspirin)
Mencegah
pembentukan
platelet
80 mg, 2
kali sehari 1
tablet
80 mg, 2
kali sehari
1 tablet
Sesuai - - -
Laxadine
syrup
Laksatif 15-30 cc, 1-
2 sendok
makan 1
kali sehari
10 cc, 1
kali 2
sendok teh
Tidak
Sesuai
- Dosis
dinaikkan
menjadi
15-30 cc
-
Farsix
(furosemid)
Mengurangi
kelebihan
cairan
20 mg, 2
kali sehari
1 ampul, 2
kali sehari
Sesuai Hipokalemia,
hipomagnesia
Diberikan
aspar K
dan
-
Renapar
Renapar (K l-
aspartate 300
mg, Mg l-
aspartate 100
mg)
Suplemen
penambah
kalium dan
magnesium
3 kali sehari
1 tablet
2 kali
sehari 1
tablet
Sesuai - - -
Meixam
(Cloxacillin
Na)
Antibiotik 500 mg, 4
kali sehari 1
tablet,
selama 7
hari
4 kali
sehari- 1
tablet--
Sesuai - - -
Fuson cream Lesi kulit
pada infeksi
Dioleskan
3-4 kali
sehari
2 kali
sehari
Sesuai - - -
Danalgin
(metampiron
500 mg +
Diazepam 2
mg)
Meringankan
nyeri
3 kali sehari
1 tablet
2 kali
sehari 1
tablet
Tidak
Sesuai
- - -
Diazepam Sedatif 2 mg, bila
perlu
2 mg, jika
perlu
Sesuai - - -
Ketika di rawat inap, pasien mendapatkan obat lasix secara intravena. Lasix
berisi furosemid yang termasuk loop diuretik menghambat reabsorpsi ion natrium dan
klorida di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung henle , menyebabkan
peningkatan air, kalsium, magnesium, natrium dan klorid. Pemberian lasix
diindikasikan untuk mengurangi cairan yang ada pada tubuh pasien, diketahui pasien
mengalami udem pada kaki kiri sebagai manifestasi dari gagal jantung kongestif.
Lasix diberikan selama 2 hari awal masa terapi (tanggal 14 dan 15 Maret 2014)
dengan frekuensi pemberian tiap 8 jam. Pemberian dengan frekuensi tersebut
diharapkan mempercepat hilangnya udem melalui peningkatan diuresis. Hari ke – 3
dan ke – 4 pasien dirawat (tanggal 16 dan 17 Maret 2014), pemberian lasix diganti
dengan farsix. Farsix sama seperti lasix yaitu berisi furosemid. Bersamaan dengan
penggantian tersebut, juga dilakukan penurunan dosis diketahui dari perubahan
frekuensi pemakaian. Semula Lasix (furosemid) diberikan tiap 8 jam berubah menjadi
farsix (furosemid) dengan frekuensi tiap 12 jam.
Pemakaian obat diuretik, sangat berpotensi menyebabkan tubuh kehilangan
elektrolit seperti kalium (K) dan magnesium (Mg) bersamaan dengan keluarnya
cairan dari tubuh. Untuk mengatasi hal tersebut, pasien diberikan suplemen kalium
yaitu Aspar K yang berisi K-I aspartat. Aspar K diberikan dengan frekuensi tiga kali
sehari selama masa perawatan (tanggal 14 s/d 17 Maret 2014). Kemudian pada
tanggal 16 Maret pasien juga diberikan Renapar yang berisi K-I aspartat dan Mg
Aspartat. Pemberian kedua obat tersebut secara bersamaan termasuk DRP kategori
tidak perlu obat yaitu terjadi terapi multiple drug dimana seharusnya dapat diberikan
single drug. Hal tersebut dapat diatasi dengan dilakukan pemberian Aspar K pada
hari pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian Renapar atau diberikan
Renapar dari awal hingga akhir. Namun pemberian Aspar K dan Renapar bersamaan
bisa juga bukan merupakan DRP, mengingat dalam catatan medis pasien tidak tertulis
pemantauan elektrolit. Bisa saja kondisi yang terjadi pada pasien adalah masih
kekurangan kalium meskipun sudah mendapatkan Aspar K sehingga perlu
ditambahkan suplemen K lagi, dalam hal ini diberikan Renapar.
Hari ke – 2 dirawat, pasien mengeluh tidak bisa tidur selama dua hari. Namun
tidak dijelaskan penyebab pasien susah tidur. Berdasarkan keluhan tersebut, pasien
diberikan obat diazepam dengan dosis 2 mg. Diazepam bekerja sebagai sedatif
dengan mekanisme memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A,
menghasilkan peningkatan dalam penghambatan presinaptik serta menginduksi efek
menenangkan pada thalamus dan hipotalamus. Pemberian diazepam diasumsikan
sudah efektif mengatasi keluhan pasien yang tidak dapat tidur. Hal ini karena pada
catatan medis tidak disebutkan lagi bahwa pasien susah tidur.
Pada hari ke – 3 dirawat, pasien menyatakan merasa nyeri, tetapi dalam catatan
medis tidak disebutkan bagian mana yang mengalami nyeri. Kemungkinan nyeri
pasien di bagian kaki karena diketahui bahwa pasien udem pada kaki, udem di kaki
karena adanya penumpukan cairan dapat menekan saraf/ reseptor pada bagian
tersebut sehingga menyebabkan timbulnya rasa nyeri akibat pengeluaran mediator
inflamasi. Untuk mengatasi nyeri pasien diberikan Danalgin yang berisi metampiron
dan diazepam. Metampiron bekerja sebagai analgetik non-narkotik, mengurangi
produksi prostaglandin sehingga mengurangi impuls nyeri yang diterima saraf.
Diazepam berfungsi sebagai sedatif. Pemberian Danalgin yang berisi metampiron dan
diazepam dapat digolongkan sebagai DRP kategori tidak perlu obat. Dikategorikan
menjadi DRP karena adanya diazepam. Diazepam sebagai sedatif dirasa tidak
diperlukan lagi oleh pasien karena pasien yang sebelumnya mengeluhkan tidak bisa
tidur sudah tidak mengeluhkan lagi susah tidur setelah diberi diazepam dengan dosis
2 mg. Masalah tersebut dapat diatasi dengan pemberian Metampiron dalam bentuk
sediaan tunggal untuk mengatasi nyeri.
Pasien juga didiagnosis mengalami selulitis, dimana berdasarkan gejalanya
yaitu merah pada kaki dan mengalami pembengkakan. Adanya warna merah pada
kulit disebabkan karena adanya infeksi. Infeksi pada selulitis disebabkan oleh
berbagai bakteri, jadi harus dilakukan kultur. Pada catatan rekam medik pasien tidak
dilakukan kultur untuk mengetahui secara khusus bakteri penyebab selulitis. Oleh
karena itu dokter memberikan zybac sebagai antibiotic spektrum luas. Pasien awalnya
diberikan zybac yang juga diindikasikan untuk infeksi. Zybac berisi ceftazidim
pentahidrat yang merupakan antibiotika sefalosporin semisintetik yang bersifat
bakterisidal, mempunyai spektrum luas yang sangat stabil terhadap sebagian besar
beta laktamase, plasmid dan kromosomal yang secara klinis dihasilkan oleh kuman
gram negatif. Zybac diberikan sebagai pencegahan supaya infeksi yang terjadi tidak
semakin parah. Dosis yang diberikan yaitu 8 mg secara injeksi intravena tiap 8 jam
selama 4 hari, dosis ini sudah sesuai dengan teori bahwa untuk ceftazidim yang
merupakan sefalosporin generasi tiga untuk terapi selulitis diberikan secara injeksi
intravena dosis 8 mg tiga kali sehari dengan durasi 4 atau 16 hari. Pemberian zybac
tidak ada interaksi dengan obat lain yang juga diberikan pada pasien.
Selain zybac, pasien juga diberikan meixam pada tanggal 16. Meixam
diindikasikan juga untuk infeksi kulit, dalam hal ini ada selulitis. Meixam berisi
kloksasilin Na turunan penisilin yang merupakan bakterisidal, dengan mengikat
penisilin-mengikat protein spesifik (PBP) terletak di dalam dinding sel bakteri,
menonaktifkan sehingga melemahnya dinding sel bakteri dan lisis. Pasien diberikan
meixam karena pada kaki pasien masih menunjukkan adanya warna merah dan sakit
yang kerjanya lebih spesifik daripada zybac. Berdasarkan guideline management
selulitis disebutkan bahwa untuk terapi selulitis menggunakan meixam yang berisi
kloksasilin dosis yang diberikan sebesar 500 mg secara per oral 4 kali sehari, hal ini
sesuai dengan dosis yang diberikan kepada pasien yaitu sebesar 500 mg secara per
oral 4 kali sehari.
Dalam catatan medis disebutkan bahwa pasien mengalami bercak kemerahan
pada kaki dengan ukuran 4 x 3 cm. Pada bercak tersebut tidak terasa nyeri tetapi
gatal. Munculnya lesi tersebut karena pasien mengalami selulitis, sehingga selain
diberikan antibiotic untuk mengobati kondisi tersebut diberikan juga obat topical
yaitu Fuson Cream. Fuson cream berisi asam fusidat berfungsi mengatasi lesi akibat
infeksi oleh streptococcus atau staphylococcus. Diketahui bahwa cellulitis banyak
disebabkan oleh streptococcus atau staphylococcus, sehingga pemberian fuson cream
sudah sesuai indikasi pada pasien. Fuson cream ini juga diberikan sebagai obat yang
dibawa pulang untuk durasi penggunaan selama 7 hari.
Pasien juga mengeluhkan demam dan batuk, oleh dokter diberikan sistenol.
Pemberian obat ini sudah sesuai dengan keluhan pasien, dimana sistenol ini berisi
parasetamol dan asetilsistein, parasetamol mempunyai mekanisme bekerja pada
daerah hipotalamus yang menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah
perifer, sehingga menurunkan suhu tubuh sedangkan asetilsistein memiliki efek
mukolitik yang dapat mengurangi viskositas sekresi paru sehingga mudah
dikeluarkan melalui batuk. Penggunaan sistenol ini jika perlu, dalam kasus pasien
diberikan sistenol selama di rawat inap karena berdasarkan catatan rekam medis suhu
pasien belum stabil masih mengalami kenaikan dan penurunan. Dosis yang diberikan
sudah sesuai yaitu digunakan 3 kali sehari tablet, setiap tablet mengandung
paracetamol 500 mg dan N-acetylcystein 200 mg.
Pasien didiagnosa terkena penyakit Congestive Heart Failure (CHF) yakni
kondisi ketika jantung tidak mampu memompa cukup darah untuk memenuhi
kebutuhan tubuh. Untuk mengatasi penyakit tersebut, diberikan Cedocard® yang
berisi Isososorbid Dinitrat. Isosorbid dinitrat merupakan suatu obat golongan nitrat
yang memiliki mekanisme aksi dengan menginduksi relaksasi otot polos vaskular
perifer, sehingga ada pelebaran arteri dan vena. Hal ini dapat mengurangi aliran balik
vena darah (mengurangi preload) ke jantung. Selain itu, obat golongan nitrat juga
dapat meningkatkan pasokan oksigen miokard dengan dilatasi arteri koroner besar
dan mendistribusikan aliran darah sehingga dapat meningkatkan suplai oksigen ke
daerah iskemik. Pemberian obat tersebut untuk tujuan pencegahan serangan angina
dimana gejalanya ditandai dengan dada terasa sesak. Pemberian Cedocard dirasa
sudah tepat dan sudah sesuai dengan kondisi pasien. Dosis Cedocard yang
direkomendasikan yaitu sebesar 5 mg diminum 3 kali sehari. Ketika pasien keluar
dari rumah sakit, Cedocard dilanjutkan pemakaiannya selama seminggu kemudian
diperiksakan ke dokter.
Selama dirawat di rumah sakit, pasien mengeluh susah buang air besar.
Pemberian laxadine syrup efektif digunakan untuk mengatasinya karena laxadine
syrup memiliki mekanisme aksi yaitui dengan menghambat penyerapan air dan
melancarkan jalan feses. Namun pemberian obat tersebut termasuk DRP dikarenakan
dosis yang digunakan terlalu rendah yaitu sebesar 10 cc diminum 2 sendok teh 1 kali
sehari. Hal tersebut dapat diatasi dengan meningkatan dosis Laxadine syrup menjadi
15 sampai 30 cc diminum 1 sampai 2 kali sehari.
Infus mikrolini ringer laktat juga diberikan kepada pasien untuk memenuhi
kebutuhan cairan dan elektrolit tubuh secara fisiologis. Infus ini diberikan pada pasien
saat mulai masuk IGD, karena kondisi umum pasien saat pertama kali masuk rumah
sakit dalam kondisi lemah. Dosis yang diberikan sesuai dengan kondisi individual,
dalam kasus ini diberikan dosis 12 tpm. Kecepatan infus yang diberikan kepada
pasien harus sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh, jika terlalu cepat pasien bisa
mengalami nyeri hebat akibat penumpukan jumlah cairan yang terlalu banyak.
Keluhan lain yang dirasakan pasien adalah nyeri di ulu hati sehingga diberikan
pantoprazol. Pemberian pantoprazol sudah sesuai karena pantoprazol digunakan
untuk mengobati gastroesophageal reflux disease (GERD), yaitu kondisi dimana
terjadi aliran kembali asam dari perut yang menyebabkan nyeri ulu dan dapat
menyebabkan luka pada esofagus. Pantoprazole termasuk proton-pump inhibitors
yang kerjanya dengan menurunkan jumlah asam yang ada di perut. (Medline, 2014)
Penggunaan pantoprazol selama masa perawatan di rumah sakit dari tanggal 14 Maret
2014 hingga 17 Maret 2014dengan dosis 40 mg (1 ampul) dan digunakan 2 kali
sehari sudah sesuai dengan literatur. Efek samping yang dapat terjadi bila
menggunakan pantoprazol misalnya sakit kepala, mual, kembung, gatal,
trombositopenia, leucopenia, eosinofilia, artralgia, edema perifer, depresi tidak
terjadi.
Anti platelet yang digunakan dalam pengobatan ini adalah Thrombo Aspilet®
yang berisi aspirin. Penggunaan anti platelet ini untukpencegahan thrombosis pada
gagal jantung kongestif. Namun bukti yang didapat dari penelitian mengenai
keuntungan dari penggunaan anti platelet ini masih membingungkan. Menurut studi
V-HeFT I dan II menyatakan bahwa kejadian tromboembolik pada pasien yang
diberikan aspirin dan yang tidak diberi aspirin tidak berbeda signifikan. Berkebalikan
dengan hal itu, menurut percobaan SAVE aspirin signifikan mengurangi resiko
terjadinya stroke sebanyak 56%. Dari percobaan SOLVD menunjukkan keuntungan
efek aspirin, terkhusus pada wanita, karena penggunaan agen antplatelet dihubungkan
dengan pengurangan resiko kejadian tromboembolik sebesar 23% pada pria (p =
0.06) dan 53% pada wanita (p = 0.03).Penggunaan Thrombo Aspilet® ini masih
dapat dikatakan sesuai dengan indikasi. Dosis Thrombo Aspilet® 80 mg dan
digunakan 2 kali sehari sudah sesuai karena aspirin dosis rendah secara ireversibel
mengasetilasi residu serine di posisi 530 padaenzim siklooksigenase-1 (COX-1)
trombosit sehingga memblokade sintesis prostaglandin G2/H2. Reaksi ini merupakan
langkah pertama dalam serangkaian reaksi yang memungkinkan transformasi asam
arakidonat menjadi agonis trombosit yang poten, yaitu tromboksan A2. Thrombo
Aspilet® harus ditelan utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan.
Pada pasien dengan kondisi gagal jantung, penting dilakukan pengukuran
balance cairan untuk mengetahui kemampuan diuresis pasien. Nilai balance cairan
ditentukan oleh banyaknya input cairan, output serta insensible water loss (kehilangan
cairan yang tidak disadari/ sulit dihitung; missal berkeringat). Balance cairan pada pasien
gagal jantung sebaiknya bernilai negatif, yang artinya output/ pengeluaran cairan lebih
besar daripada input. Dengan balance cairan yang negatif dimana output lebih besar
daripada input, diharapkan tidak terjadi penumpukan cairan di dalam tubuh yang dapat
menyebabkan udem; atau bila pasien mengalami udem dapat segera hilang.
Drug Related Problem
Tanggal
Problem Pengatasan
14/3 15/3 16/3 17/3
Butuh Obat
Tidak Perlu √ √ Pemberian Aspar K (suplemen Aspar K diberikan selama rawat
Obat
K) dan Renapar (suplemen K dan Mg) termasuk multidrug yang seharusnya dapat digunakan single drug
inap pada hari pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian Renapar atau diberikan Renapar dari awal hingga akhir
√ √ Pemberian Danalgin dimana sebelumnya diberikan diazepam untuk mengatasi keluhan pasien yang tidak bisa tidur. Setelah itu, pasien tidak mengeluhkan lagi susah tidur, tetapi dokter memberikan Danalgin yang berisi metampiron dan diazepam.
Metampiron diberikan dalam bentuk tunggal.
Obat Salah
Dosis Terlalu Rendah
√ √ Laxadine Syrup diberikan 2 sendok teh 1 kali sehari sebanyak 10 cc
Laxadine Syrup dinaikkan dosis menjadi 15-30 ml diminum 1-2 sendok makan 1 kali sehari
Dosis Terlalu Tinggi
Reaksi Obat Tidak Diinginkan
Compliance
Dalam kasus ini terjadi Drug Related Problem (DRP) dalam pemberian Aspar
K dan Renapar. Diketahui bahwa pasien gagal jantung dapat mengalami hipokalemia
dan hipomagnesia akibat pemberian diuretik sehingga diperlukan pemberian
suplemen K dan Mg. Aspar K merupakan suplemen vitamin K pada penyakit jantung
sedangkan Renapar merupakan suplemen K dan Mg pada penyakit jantung.
Pemberian kedua obat tersebut secara bersamaan termasuk DRP multirug dimana
seharusnya dapat diberikan single drug. Hal tersebut dapat diatasi dengan dilakukan
pemberian Aspar K pada hari pertama dan kedua kemudian dilanjutkan pemberian
Renapar atau diberikan Renapar dari awal hingga akhir.
Selain itu, terjadi DRP yang lain yaitu pada pemberian Danalgin yang berisi
metampiron dan diazepam dimana metampiron berfungsi sebagai analgetik dan
diazepam sebagai sedatif. Pasien sebelumnya mengeluhkan tidak bisa tidur kemudian
oleh dokter diberikan diazepam. Setelah itu, pasien tidak mengeluhkan lagi susah
tidur, tetapi dokter memberikan Danalgin yang didalamnya terdapat diazepam, dalam
hal ini pasien tidak membutuhkan lagi diazepam. Masalah tersebut dapat diatasi
dengan pemberian Metampiron dalam bentuk sediaan tunggal.
Ditemukan juga DRP dalam pemberian Laxadine Syrup dimana obat ini
diberikan 2 sendok teh 1 kali sehari sebanyak 10 cc. Hal tersebut termasuk DRP dosis
yang rendah dimana seharusnya dosis lazim yang digunakan adalah 15-30 ml.
Pengatasannya dosis Laxadine Syrup dinaikkan menjadi 15-30 ml diminum 1-2
sendok makan 1 kali sehari.
Pada tanggal 17 dilakukan pengukuran tekanan darah, nadi, dan respiration rate,
hasil yang didapat yaitu semua sudah normal. Selain itu output cairan sudah lebih
besar dari input, hal ini menandakan bahwa cairan yang dikeluarkan sudah banyak
sehingga bisa mengurangi udem yang terjadi. Pada pemeriksaan EKG juga sudah
menunjukkan pada bentuk normal, sehingga dapat diasumsikan bahwa obat yang
diberikan bisa menguramgi gejala CHF. Pengobatan yang diberikan juga dapat
mengatasi keluhan-keluhan pasien, sehingga dapat dikatan kondisi pasien sudah
membaik dan diperkenankan untuk kembali ke rumah.
VI. EVALUASI OBAT TERPILIH
1. Ondansetron
Indikasi : Profilaksis mual muntah
Efek samping : Pusing, konstipasi, malaise, hipoksia, diare, demam.
Dosis : 8 mg iv
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan.
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap ondansetron
Mekanisme : Menghambat secara selektif serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3)
berikatan pada reseptornya yang ada di CTZ (chemoreseceptor trigger zone) dan di
saluran cerna.
(Medscape, 2014)
2. Sistenol
Isi : Paracetamol 500 mg, N-acetylcystein 200 mg
Mekanisme : Parasetamol bekerja pada daerah hipotalamus yang menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan aliran darah perifer, sehingga menurunkan suhu tubuh.
Acetylcystein memiliki efek mukolitik yang dapat mengurangi viskositas sekresi
paru sehingga mudah dikeluarkan melalui batuk.
Indikasi : Meringankan batuk berdahak dan menurunkan demam, nyeri.
Efek samping : Reaksi alergi, neutropenia, trombositopenia, purpurea, nausea,
muntah, gangguan saluran pencernaan, dosis besar atau penggunaan dalam jangka
waktu yang lama dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
Dosis : 1 kapl 3x sehari
Pemberian obat : Sebaiknya diberikan bersama makanan
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan.
Durasi : Digunakan bila perlu sampai demam dan batuk hilang.
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap paracetamol dan N-acetylcystein, pasien
dengan gangguan fungsi hati.
(MIMS, 2013)
3. Thrombo Aspilet
Isi : Acetylsalicylic Acid
Mekanisme : Inhibisi sintesis prostaglandin. Studi klinis dan eksperimental
selanjutnya menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah secara ireversibel
mengasetilasi residu serine di posisi 530 pada enzim siklooksigenase-1 (COX-1)
trombosit sehingga memblokade sintesis prostaglandin G2/H2 (gambar 1). Reaksi
ini merupakan langkah pertama dalam serangkaian reaksi yang memungkinkan
transformasi asam arakidonat menjadi agonis trombosit yang poten, yaitu
tromboksan A2. Efek ini yang memberi manfaat klinis aspirin pada pasien penyakit
jantung koroner dan stroke.
Indikasi : Pencegahan thrombosis pada infark miokard akut atau pasca stroke.
Efek samping : Iritasi GI, mual, muntah. Penggunaan jangka panjang menyebabkan
perdarahan GI, ukus peptikum.
Dosis : 80 mg
Frekuensi : 2 x sehari
Pemberian obat : Ditelan utuh, jangan dikunyah atau dihancurkan.
Kontra indikasi : Sensitif terhadap aspirin, asma, ulkus peptikum, perdarahan
subkutan, hemofilia, trombositopenia.
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap paracetamol dan N-acetylcystein, pasien
dengan gangguan fungsi hati.
(MIMS, 2013)
4. Meixam
Isi : Cloxacillin Na
Mekanisme : Bakterisida, menghambat sintesis dinding sel bakteri. Dengan
mengikat penisilin-mengikat protein spesifik (PBP) terletak di dalam dinding sel
bakteri, PBP (termasuk transpeptidases, carboxypeptidases, dan endopeptidases)
adalah enzim-enzim yang terlibat dalam tahap terminal perakitan dinding sel bakteri
dan membentuk kembali dinding sel selama pertumbuhan dan pembelahan.
Penisilin mengikat, dan menonaktifkan, PBP, sehingga melemahnya dinding sel
bakteri dan lisis.
Indikasi : Infeksi yang disebabkan oleh organisme yang sensitif terhadap kloksasilin
dan pathogen yang memproduksi penisilinase.
Efek samping : Ruam, gangguan pencernaan, dan anafilaksis.
Dosis : 500 mg
Frekuensi : 4 kali sehari.
Pemberian obat : Diberikan saat perut kosong
Kontra indikasi : Pasien dengan riwayat alergi penisilin dan sefalosporin atau bayi
yang lahir dari ibu yang hipersensitif terhadap penisilin. Ini tidak boleh diberikan
melalui suntikan subconjunctival.
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
Durasi : 7 hari
(MIMS, 2013)
5. Laxadine® Syrup
Komposisi : Per 5 mL Phenolphthalein 55 mg, liquid paraffin 1,200 mg, glycerin
378 mg
Mekanisme : Merangsang peristaltik dari usus besar, menghambat penyerapan air
dan melancarkan jalan fases
Indikasi : Konstipasi.
Dosis : 15-30 mL
Frekuensi : 1 kali sehari 1-2 sendok makan diminum sebelum tidur
Kontra indikasi : Ileus obstruktif, nyeri perut yg tdk diketahui penyebabnya
Efek Samping : Ruam kulit, pruritus, rasa panas terbakar, kolik, kehilangan cairan
dan elektrolit tubuh, diare, mual & muntah.
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS,2013)
6. Aspar K®
Komposisi : K I-aspartat
Indikasi : Suplemen vitamin K pada penyakit jantung
Dosis : 300 mg (tablet salut selaput)
Frekuensi : 3 kali sehari 1 tablet diminum setelah makan
Kontra indikasi : Penyakit Addison yang tidak diterapi, hiperkalemia
Efek Samping : Gangguan GI (anoreksia dan gangguan lambung), rasa penuh pada
ulu hati
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS,2013)
7. Fuson® Cream
Komposisi : Asam Fusidat
Mekanisme : Menghambat sintesis protein bakteri dengan mengganggu perpindahan
asam amino dari aminoasil-tRNA ke protein pada ribosom
Indikasi : Lesi kulit primer atau sekunder pada infeksi karena Streptocpccus dan
atau Staphylococcus.
Frekuensi : Oleskan 3-4 kali sehari, umumnya selama 7 hari
Kontra indikasi : -
Efek Samping : Reaksi hipersensitivitas.
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS,2013)
8. Infus Microlini RL
Komposisi : Per 1000 mL Na 130 meq, Cl 109 meq, K 4 meq, Ca 2.7 meq, lactate
28 meq, (NaCl 6 g, KCl 0.3 g, CaCl2 0.2 g, Na lactate 3.1 g). Osmolaritas: 273
mOsm.
Indikasi : Terapi untuk mengatasi depresi volume berat saat tidak dapat diberikan
rehidrasi oral.
Dosis : Dosis tergantung individual.
Kontra indikasi : Hipernatremia.
Efek Samping : -
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS,2013)
9. Lasix® (Furosemid)
Mekanisme kerja : Loop diuretik; menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida
di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung Henle; dengan
mengintervensi sistem ko-transport ikatan klorida yang menyebabkan peningkatan
air, kalsium, magnesium, natrium dan klorida.
Indikasi : Edema yang terkait dengan congestive heart failure (CHF).
Efek samping : Hiperurisemia (40%), hipokalemia (14-60%), anafilaksis, anemia,
anoreksia, diare, pusing, intoleransi glukosa, gllikosuria, sakit kepala, lemah,
kerusakan pendengaran, hipokalsemia, hipomagnesia, hipotensi, kram otot, mual,
fotosensitivitas, ruam, gelisah, urtikaria, vertigo
Dosis : 20 mg
Frekuensi :1 x sehari
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(Medscape, 2014)
10. Cedocard® (Isosorbid dinitrat)
Mekanisme kerja : Agen vasodilatasi (donor nitrit oksida); merelaksasi otot halus
melalui dilatasi arteri dan vena yang tergantung dosis untuk menurunkan preload
dan afterload, dan juga kebutuhan oksigen miokardial; juga memperbaiki sirkulasi
koroneri kolateral,menurunkan tekanan darah,meningkatkankecepatan detak
jantung dan kadang-kadang menyebabkanbradikardia
Indikasi : Angina pektoris
Efek samping : Kardiovaskuler: hipertensi (jarang), angina tak stabil,
hipotensi/hipotensi ortostatik, palpitasi, takiaritmia
Sistem saraf pusat: pusing, sakit kepala, gelisah, lemah
Gastrointestinal (GI): mual
Hematologic: Methemoglobinemia (infrequent)
Dosis : 5 mg
Frekuensi : 3 x sehari
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(Medscape, 2014)
11. Renapar®
Indikasi : Suplemen K & Mg pada penyakit jantung dan hati. Hipokalemia dan
hipomagnesia karena pemakaian diuretik yang lama.
Efek samping : Mual, muntah, kembung, gangguan abdomen, diare
Dosis : K l-aspartate 300 mg, Mg l-aspartate 100 mg
Frekuensi : 3 x sehari
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
(MIMS, 2013)
12. Zibac
Komposisi : ceftazidime pentahidrat
Indikasi : Infeksi saluran pernafasan bagian bawah, ISK, infeksi kulit dan struktur
kulit, infeksi abdominal & bilier, infeksi tulang & sendi, dialysis
Dosis : 1 g/ vial
Frekuensi : tiap 8 jam
Durasi : 4 hari
Mekanisme aksi : merupakan sefalosporin generasi ke – 3, berpspektrum luas
pada bakteri gram negative termasuk pseudomonas, efikasi terhadap bakteri gram
positif rendah. Ceftazidime menghambat biosintesis dinding sel.
Efek Samping : eosinophilia, diare, hipersensitivitas imun, trombositosis
Kontraindikasi : hipersensitivitas
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
13. Danalgin
Komposisi : methampyrone 500 mg, diazepam 2 mg
Indikasi : meringankan rasa sakit sedang s/d berat missal nyeri kolik & sakit pasca
operasi yang memerlukan kombinasi dengan tranzquilizer
Dosis : 1 g/ vial diberikan sesudah manakn
Frekuensi : tiap 8 jam
Durasi : 4 hari
Mekanisme aksi : methampyrone sebagai analgetik – antipiretik nonnarkotik,
diazepam sebagai ansiolitik dan hipnotik
Efek Samping : agranulositosis, alergi, perdarahan GI, gangguan mental,
mengantuk, ketergantungan, depresi pernapasan
Kontraindikasi : psikosis berat, hamil, glaucoma, kemungkinan perdarahan,
porfiria, hipersensitif pada derivate pirazolon
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
14. Pantoprazole
Komposisi : pantoprazole
Indikasi : penatalaksaan kondisi yang berhubungan dengan hiperasiditas misalnya
tukak lambung atau duodenum, refluks esophagus, hipersekresi patologis
Dosis : 40 mg
Frekuensi : tiap 12 jam
Durasi : 4 hari
Mekanisme aksi : terikat pada pompa penukar H+/K+ ATPase pada sel parietal di
lambung sehingga menyebabkan penghambatan sekresi asam lambung
Efek samping : sakit kepala, mual, kembung, gatal, trombositopenia, leucopenia,
eosinofilia, artralgia, edema perifer, depresi
15. Farsix
Komposisi : Furosemide
Indikasi : Edema yang berhubungan dengan gagal jantung kongestif.
Dosis : 20 mg
Frekuensi : 12 jam
Durasi : 2 hari
Mekanisme aksi : Loop diuretik; menghambat reabsorpsi ion natrium dan klorida
di tubulus renal proksimal dan distal serta di lengkung Henle; dengan
mengintervensi sistem ko-transport ikatan klorida yang menyebabkan peningkatan
air, kalsium, magnesium, natrium dan klorida.
Efek samping : hiperuresimia, hipokalemia, hiponatremia, anoreksia, azotemia,
reaksi hipersensitif, reaksi dermatologi, gangguan GI, denyut jantung tidak teratur,
reaksi hematologi. Haus
Kontraindikasi : gangguan fungsi ginjal, oliguria, anuria, hipokalemia,
hiponatremia, hipotensi.
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
16. Diazepam
Mekanisme kerja : Memodulasi efek postsinaptik dari transmisi GABA-A,
menghasilkan peningkatan dalam penghambatan presinaptik. Muncul untuk
bertindak atas bagian dari sistem limbik, serta pada thalamus dan hipotalamus,
untuk menginduksi efek menenangkan
Indikasi : Untuk sedasi.
Efek samping : Ataksia (3%), euforia (3%), inkoordinasi (3%), ruam (3%), diare,
hipotensi, lelah, lemah otot, depresi respirasi, retensi urin, depresi, penglihatan
kabur, disartria, sakit kepala, ruam kulitm perubahan dalam salivasi, jaundice,
neutropenia
Dosis : 2 mg
Frekuensi : bila perlu (saat tidak bisa tidur)
Interaksi obat : Tidak ada interaksi dengan obat lain yang diberikan
Adverse Reaction yang Terjadi
• Laxadine Syrup
Problem : Dosis yang digunakan terlalu rendah yaitu sebesar 10 cc digunakan
dengan cara diminum 2 sendok teh satu kali sehari sedangkan menurut MIMS dosis
lazim yang digunakan 15 – 30 cc diminum 1-2 sendok makan satu kali sehari
Pengatasan : Dosis dinaikkan menjadi 15-30 cc diminum 1-2 sendok makan satu
kali sehari
Aspar K
Problem : PemberianAspar K (suplemen K) dan Renapar (suplemen K dan Mg)
termasuk multidrug.
Pengatasan : diberikan single drug, renapar saja atau aspar K ditambah suplemen
Mg dalam bentuk tunggal
Adverse drug reaction yang potensial terjadi
Danalgin
• Problem :
Danalgin berisi metampiron dan diazepam, dimana metampiron berfungsi sebagai analgetik
diazepam sebagai sedatif. Pasien sebelumnya mengeluhkan tidak bisa tidur, kemudian oleh
dokter diberikan diazepam. Setelah itu pasien tidak mengeluhkan lagi susah tidur, tapi
dokter memberikan danalgin yang didalamnya terdapat diazepam, dalam hal ini pasien
tidak membutuhkan lagi diazepam.
• Pengatasan : Sebaiknya Metampiron diberikan dalam bentuk tunggal.
Obat yang dibawa pulang
• Furosemid 20 mg 1 x sehari
• Fuson Cream 2 kali sehari
• Meixam 4 x sehari 500 mg
• Cedocard 3 x sehari 5 mg
VII. MONITORING DAN FOLLOW UP-NYA
Data yang dilaporkan pasien :
Tanda dan gejala kongesti, konsumsi garam, ketaatan terhadap pengobatan,
berat badan.
Data yang langsung direkam :
Detak jantung, tekanan darah, aritmia. pemeriksaan respiration rate
Monitoring kadar elektrolit
Monitoring fungsi ginjal pasien berdasarkan nilai clirens creatinin, serum
kreatinin, GFR, dll
Tgl
Parameter
pemantauan14/03/2014 15/03/2014 16/03/2014 17/03/14 Interpretasi
Tekanan
darah
120/80
mmHg
100/70
mmHg
100/70
mmHg
110/70
mmHgNormal
Nadi 102/menit 76/menit 58/menit 64/menit Normal
RR 24/menit 22/menit 24/menit 20/menit Normal
Balance – 790 – 1160 – 1840 + 97,5 Rata-rata
cairan
output
cairan lebih
besar dari
input
EKGIskemik
anteroseptalNormal Normal
Obat dapat
mengurangi
gejala CHF
VIII. KOMUNIKASI, INFORMASI DAN EDUKASI KEPADA PASIEN
Pasien diberitahu bahwa obat untuk nyeri dada selalu dibawa kemana saja.
Pasien diinformasikan untuk sebisa mungkin menghindari pencetus nyeri dada
seperti aktivitas berat, stress, emosi, dingin, dan lain sebagainya.
Jika timbul nyeri dada segera berhenti kalau sedang melakukan sesuatu. Segera
duduk atau berbaring. Tunggu beberapa menit sampai keluhan tersebut diatas
hilang, lalu bekerja lagi tetapi dalam tempo yang lebih perlahan. Segera
beritahukan kejadian tersebut pada dokter dan farmasis.
Pasien diminta membuat catatan berapa kali terjadinya serangan.
Menerapkan gaya hidup sehat dengan senam ringan, yoga, berjalan.
Mengurangi komsumsi air (< 8 gelas sehari), disarankan 5 gelas saja sehari
Fuson dioleskan tipis-tipis pada bagian yang terkena selulitis.
Meixam diminum 4 kali sehari, furosemid 1 kali sehari pagi hari setelah makan,
cedocard 3 kali sehari.
Antibiotik diminum sampai habis
Hindari asupan garam natrium
Pasien disarankan untuk mengurangi berat badan, istirahat yang cukup termasuk
setelah olahraga, makan, dan aktivitas yang lain.
IX. JAWABAN PERTANYAAN
1. Rizki 08765 Injeksi ondansetron jadi diberikan tidak? Indikasinya untuk apa?
Kenapa pasien diberi zybac? Apakah pasien terkena infeksi?
Injeksi ondansetron jadi diberikan, berdasarkan rekam medis injeksi ondansetron
diberikan 1 kali pada saat pasien masuk IGD yaitu tanggal 14 Maret 2014 sore.
Kemudian malamnya pasien sudah dipindahkan ke ruang rawat inap.
Indikasi digunakan ondansetron adalah untuk mencegah terjadinya mual muntah,
walaupun keluhan mual muntah secara langsung tidak ada namun pasien
mengeluhkan nyeri ulu hati, nyeri ulu hati ini berkaitan atau berpotensi
menyebabkan mual muntah sehingga diberikan profilaksis mual muntah yaitu
ondansetron. Setelah diberikan injeksi ondansetron pasien tidak lagi mengeluhkan
ada nyeri lagi sehingga ondansetron hanya diberikan 1 kali saat di IGD.
Indikasi penggunaan zybac adalah untuk mengobati infeksi kulit dan struktur kulit
sesuai dengan kondisi pasien yang mengalami celulitis
2. Shofy 08745 Apa arti hasil balance cairan tadi yang ada minus ada yang positif
maksudnya bagaimana?
Tanggal Input Output IWL BalanceDiuresis
(cc/kgBB/jam)14/03/2014 500 840 450 – 790 0,715/03/2014 1650 1910 900 – 1160 0,7816/03/2014 920 1860 900 – 1840 0,8617/03/2014 880 520 262,5 + 97,5 0,8
Input / Cairan Masuk : mulai dari cairan infus, minum, kandungan cairan dalam
makanan pasien, volume obat-obatan, termasuk obat suntik, obat yang di drip,
albumin dll.
Output / Cairan keluar : urine dalam 24 jam, biasanya ditampung di botol air
mineral dengan ukuran 1,5 liter, kemudian feses.
IWL (insensible water loss) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan sulit
dihitung, yaitu jumlah keringat, uap hawa nafas.
Balance cairan = Input cairan – Output Cairan (Output + IWL)
Input / cairan masuk = Output / cairan keluar + IWL (Insensible Water Loss)
Nilai negatif pada balance menandakan bahwa nilai output lebih besar dari pada
input. Hal ini disebabkan CHF yang berpotensi penumpukan cairan dan pada pasien
juga ada udem di kaki sehingga digunakan diuretik yang dapat berfungsi untuk
mengeluarkan cairan.
3. Dian 08774 Apa alasan pasien pulang? Untuk memastikan kepatuhan pasien
menggunakan obat yang dibawa pulang bagaimana?
Di rekam medis dituliskan pada tanggal 17 Maret 2014 kondisi pasien sudah enakan
atau membaik. Keluhan utama sudah teratasi jadi pasien diperbolehkan pulang.
Untuk memastikan kepatuhan pasien menggunakan obat yaitu dengan cara
diberikan edukasi kepada keluarga pasien untuk selalu mengingatkan pasien
meminum obat. Bisa juga dibuatkan jadwal minum obat jika pasien mengalami
kesulitan dalam mengingat untuk menggunakan obat. Cara yang lain adalah ketika
pasien kontrol lagi ke rumah sakit diminta membawa bungkus obatnya lalu dilihat
sesuai dengan aturan dan sisa obat yang seharusnya.
4. Lusiana 08761 Untuk mencegah hipokalemia kenapa diberi 2 macam suplemen
kalium? Apakah kaliumnya masih rendah jika hanya diberikan 1 macam suplemen?
Obat diuretik menyebabkan terjadinya hipokalemia dan hipomagnesia sehingga
diperlukan suplemen yang mengandung kalium dan magnesium. Aspar K® yang
berisi kalium diberikan pada tanggal 14, 15, 16, dan 17 Maret 2014 sedangkan
Renapar® yang berisi kalium dan magnesium diberikan pada tanggal 16 dan 17
Maret 2014. Hal ini termasuk dalam multidrug dimana seharusnya bisa digunakan 1
obat saja yaitu Renapar tanpa perlu menggunakan Aspar K®. Pada pasien yang
menggunakan diuretik perlu monitoring kadar K+ namun di medical record tidak ada
data lab untuk nilai K+. Apabila ternyata memang membutuhkan kalium lebih
banyak maka dapat diguankan Renapar® dan Aspar K®
X. KESIMPULAN
1. Pasien didiagnosa menderita gagal jantung kongestif, selulitis, dan dyspepsia.
2. Semua obat yang diberikan sesuai dengan indikasi.
3. Drug related problem yang potensial terjadi yaitu terjadinya multi drug pada
Danalgin yang pengatasannya diberikan metampiron dalam bentuk tunggal.
4. Drug related problem yang terjadi yaitu multidrug pada aspar K dan dosis laxadin
yang terlalu rendah.
5. Pengatasannya yaitu pemberian aspar K ditambah suplemen Mg bentuk tunggal
atau diberikan Renapar saja.
6. Dosis laxadin dinaikkan menjadi 15-30 ml diminum 1-2 sendok makan 1 kali
sehari.
7. Monitoring dilakukan terhadap ketaatan pengobatan, berat badan, detak jantung,
tekanan darah, pemeriksaan respiration rate, kadar elektrolit, fungsi ginjal pasien.
8. Pasien diberikan informasi lengkap tentang obat yang dibawa pulang.
9. Pasien diberitahu bahwa obat untuk nyeri dada selalu dibawa kemana saja.
10. Pasien diinformasikan untuk sebisa mungkin menghindari pencetus nyeri dada,
membuat catatan berapa kali terjadinya serangan, menerapkan gaya hidup sehat
dan mengurangi berat badan.
XI. DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association, 2001. Evaluation and Management of Chronic Heart Failure
in the Adult. Available from : http://circ.ahajournals.org/content/104/24/2996.full.pdf
Cowie, M.R., Dar, Q., 2008. The Epidemiology and Diagnosis of Heart Failure. In: Fuster,
V., et al., Ed. Hurst’s the Heart. 12th ed. Volume 1. USA: McGraw-Hill, 713
Cowie, M.R., Wood, D.A., Coats, A.J.S., Thompson, S.G., Poole-Wilson, P.A., Suresh, V.,
Sutton, G.C., 1998. Incidence and Aetiology of Heart Failure. Available from :
http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/20/6/421.full.pdf
Dipiro, Joseph T, et all, 2009, Pharmacotherapy 7th edition, McGraw Hill, United States
Doughty, R.M., White, H.D., 2007. Epidemiology of Heart Failure, University of Auckland
New Zealand. Available from:
http://spinger.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/978184800101 5-
c3.pdf.
European Society of Cardiology (ESC). 2012. Guideline for the Diagnosis and Treatment
of Acute and and Chronic Heart Failure. Available from :
http://eurheartj.oxfordjournals.org/content/33/14/1787.full.pdf.
Hellermann, J.P., Goraya, T.Y., Jacobsen, S.J., Weston, S.A., Reeder, G.S., Gersh, B.J.,
Redfield, M.M., Rodheffer, R.J., Yawn, B.P., Roger, V.L., 2003. Incidence of heart
failure after myocardial infarction: is it changing over time?. Am. J. Epidemiology
157 (12): 1101–1107. Available from :
http://m.aje.oxfordjournals.org/content/157/12/1101.long?view=long&pmid=127
96046.
Kumar, P., Clark, M., 2009. Cardiovascular Disease. In : Clinical Medicine 7th Ed. Spain :
Saunders Elvesier. 681-810.
Lip, G.Y.H., Gibbs, C.R., Beevers, D.G. 2001. Aetiology. In: ABC of Heart Failure.
MIMS, 2013, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 12, PT Medidata, Jakarta.
Mann, D.L., 2008. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Fauci, A.S., et al., Ed. Harrison’s
Principles of Internal Medicine. Volume 2. 17th ed. USA: McGraw-Hill, 1443.
Mann, D.L. 2010. Heart Failure and Cor Pulmonale. In : Harrison’s Cardiovascular
Medicine Ed. 17th .
Riaz, K., 2012. Hypertensive Heart Disease, Wright State University. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview.
Scoote M., Purcell I.F., Poole-Wilson P.A. 2005. Pathophysiology of Heart Failure. In :
Essential Cardiology. 2th Ed. 347-369.