18
BAB I PENDAHULUAN Trauma atau kecelakaan merupakan hal yang biasa dijumpai dalam kasus foren Hasil dari trauma atau kecelakaan adalah luka, perdarahan dan/atau skar atau ham dalam fungsi organ. Agen penyebab trauma diklasifikasikan dalam beberapa cara, a kekuatan mekanik, aksi suhu, agen kimia, agen elektromagnet, asfiksia dan trauma Dalam prakteknya nanti seringkali terdapat kombinasi trauma yang disebabkan oleh jenis penyebab, sehingga klasifikasi trauma ditentukan oleh alat penyebab menyebabkan trauma. 1,2 ada pasal 1!! ayat "1# $%HA dan pasal 1&' ayat "1# $%HA dijelaskan bah( penyidik ber(enang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman ata atau bahkan ahli lainnya. $eterangan ahli tersebut adalah )isum et *epertum, dim dalamnya terdapat penjabaran tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan mati yang diduga karena tindak pidana. +agi dokter yang bekerja di n mengetahui ilmu kedokteran -orensik termasuk cara membuat )isum et *epertum. e dokterperlumenguasaipengetahuan tentang mendeskripsikan luka,tujuannya untuk mempermudah tugas tugasnya dalam membuat )isum et *epertum yang baik d sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti yang bisa meyakinkan hakim untuk mem suatu tindak pidana. ada kenyataannya dalam praktek, dokter sering mengalami ke dalam membuat )isum et *epertum karena kurangnya pengetahuan tentang luka. adah )isum et *epertum harus di buat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan form material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadil 1,2,! BAB II ILUSTRASI KASUS 1

Case Report Penganiayaan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Case Report Penganiayaan

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

Trauma atau kecelakaan merupakan hal yang biasa dijumpai dalam kasus forensik. Hasil dari trauma atau kecelakaan adalah luka, perdarahan dan/atau skar atau hambatan dalam fungsi organ. Agen penyebab trauma diklasifikasikan dalam beberapa cara, antara lain kekuatan mekanik, aksi suhu, agen kimia, agen elektromagnet, asfiksia dan trauma emboli. Dalam prakteknya nanti seringkali terdapat kombinasi trauma yang disebabkan oleh satu jenis penyebab, sehingga klasifikasi trauma ditentukan oleh alat penyebab dan usaha yang menyebabkan trauma.1,2Pada pasal 133 ayat (1) KUHAP dan pasal 179 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa penyidik berwenang meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau bahkan ahli lainnya. Keterangan ahli tersebut adalah Visum et Repertum, dimana di dalamnya terdapat penjabaran tentang keadaan korban, baik korban luka, keracunan, ataupun mati yang diduga karena tindak pidana. Bagi dokter yang bekerja di Indonesia perlu mengetahui ilmu kedokteran Forensik termasuk cara membuat Visum et Repertum. Seorang dokter perlu menguasai pengetahuan tentang mendeskripsikan luka, tujuannya untuk mempermudah tugas-tugasnya dalam membuat Visum et Repertum yang baik dan benar sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti yang bisa meyakinkan hakim untuk memutuskan suatu tindak pidana. Pada kenyataannya dalam praktek, dokter sering mengalami kesulitan dalam membuat Visum et Repertum karena kurangnya pengetahuan tentang luka. Padahal Visum et Repertum harus di buat sedemikian rupa, yaitu memenuhi persyaratan formal dan material , sehingga dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah di sidang pengadilan.1,2,3

BAB IIILUSTRASI KASUS

Pada hari Rabu, tanggal 1 Juli 2015, pukul 14.30 WIB, datang seorang wanita di ruang forensik Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Abdul Moeloek, untuk dibuatkan Visum Et Repertum (VER).

I. IDENTITAS PASIEN/KORBANa. Nama: Dela Anggrainib. Usia: 20 tahunc. Jenis kelamin: Perempuand. Warga Negara: Indonesiae. Agama: Islamf. Pekerjaan : Karyawati Swastag. Alamat: Jl. Keramat, Labuhan Ratu, Bandar Lampung

II. IDENTITAS PELAKUa. Nama: Nikenb. Usia: -c. Jenis Kelamin : Perempuand. Warga Negara : Indonesiae. Agama : -f. Pekerjaan : Karyawan swastag. Hubungan dengan klien : Teman kerja

III. ANAMNESIS/WAWANCARAKorban datang dalam keadaan sadar dan keadaan umum baik. Korban mengaku dianiaya oleh satu orang perempuan yang dikenal. Korban mengaku dipukul dengan gelas kaca bening berukuran besar di kantin Chandra, Mall Boemi Kedaton Bandar Lampung, pada hari Minggu, tanggal 28 Juni 2015 pukul 15.00 WIB. Korban mengalami luka robek pada bagian bibir atas dan telah dilakukan tindakan penjahitan luka di Klinik Kosasih, Bandar Lampung pada hari Minggu, tanggal 28 Juni 2015 pukul 17.00 WIB.

IV. PEMERIKSAAN FISIK UMUMa. Keadaan Umum: Baik, kesadaran sadar penuh, emosi stabil, kooperatif.b. Tekanan Darah: 110/80 mmHgc. Nadi: 86 bpmd. Pernafasan: 18 kali permenit

V. PEMERIKSAAN FISIKStatus Lokalis1. Pada bibir atas, tepat pada garis pertemgahan depan, terdapat luka jahitan sebanyak empat simpul berwarna kebiruan dengan tepi bengkak sepanjang 1 cm. (Lihat Lampiran Gambar 2.1)2. Pada bibir bawah, tepat pada garis pertemgahan depan, terdapat luka lecet berwarna kebiruan sepanjang 0,5 cm. (Lihat Lampiran Gambar 2.2)3. Pada pipi kiri, 6 cm dari garis pertengahan depan, 6 cm dibawah sudut mata, terdapat luka lecet gores berwarna merah dengan ukuran 3,5 cm x 2,5 cm. (Lihat Lampiran Gambar 2.3)4. Pada telinga kiri, 13 cm dari garis pertengahan depan, 0,5 cm diatas liang telinga, terdapat luka lecet gores berwarna merah kehitaman dengan diameter 0,3 cm. (Lihat Lampiran Gambar 2.4)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANGTidak dilakukan

VII. TINDAKAN/PENGOBATANTelah dilakukan penjahitan luka pada bibir atas sepanjang 1 cm di klinik Kosasih Bandar Lampung.VIII. KESIMPULANPada korban perempuan usia 20 tahun didapatkann luka akibat kekerasan tumpul berupa luka robek pada bibir atas dan luka lecet pada bibir bawah, pipi kiri, dan telinga kiri. Perlukaan ini tidak menyebabkan penyakit dan halangan pekerjaan namun memerlukan tindakan medis.

BAB IIIPEMBAHASAN

Korban datang ke ruang forensik RSUD dr. H. Abdul Moeloek, dengan permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum luka tanpa membawa surat pengantar dari Kepolisian. Pemeriksaan korban ini kurang sesuai dengan prosedur medikolegal yaitu tanpa adanya permintaan tertulis dari penyidik sesuai dengan pasal 133 ayat (1) KUHAP yang berbunyi "Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dab atau ahli lainnya" dan ayat (2) yang berbunyi "Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat".4Dengan adanya surat permintaan visum yang dibuat oleh penyidik maka doker berkewajiban memberikan keterangan ahli sesuai dengan pasal 179 (1) KUHAP yaitu Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Hasil pemeriksaan ini tertuang dalam Visum et Repertum yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.4,6Terdapat sangsi pidana kepada dokter yang menolak ataupun menghalang-halangi melaksanakan kewajibannya membantu peradilan. Sangsi tersebut sesuai dengan pasal 216 ayat (1) KUHP yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat tersebut, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah", dan pasal 222 KUHP yang berbunyi "Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah".5Sebagai seorang dokter, hendaknya dapat membantu pihak penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan terhadap pasien atau korban perlukaan. Dokter sebaiknya dapat menyelesaikan permasalahan mengenai:4,7 Jenis luka apa yang ditemui Jenis kekerasan/senjata apakah yang menyebabkan luka dan Bagaimana kualifikasi dari luka itu

Sebagai seorang dokter, ia tidak mengenal istilah penganiayaan. Jadi istilah penganiayaan tidak boleh dimunculkan dalam Visum et Repertum. Akan tetapi sebaiknya dokter tidak boleh mengabaikan luka sekecil apapun. Sebagai misalnya luka lecet yang satu-dua hari akan sembuh sendiri secara sempurna dan tidak mempunyai arti medis, tetapi sebaliknya dari kaca mata hukum.4Berdasarkan KUHP yang disebut penganiayaan secara umum adalah tindak pidana terhadap tubuh. Penganiayaan dalam kamus besar bahasa Indonesia dimuat arti yaitu perilaku yang sewenang-wenang. Menurut yurisprudensi, maka yang diartikan dengan penganiayaan yaitu sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit, atau luka atau sengaja merusak kesehatan orang.11Dalam KUHP tindak pidana penganiayaan dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu sebagai berikut :121. Tindak Pidana Penganiayaan BiasaPenganiayaan biasa yang dapat juga disebut dengan penganiayaan pokok atau bentuk standar terhadap ketentuan Pasal 351 yaitu pada hakikatnya semua penganiayaan yang bukan penganiayaan berat dan bukan penganiayaan ringan.Mengamati Pasal 351 KUHP maka ada 4 (empat) jenis penganiayaan biasa, yakni: Penganiayaan biasa yang tidak dapat menimbulkan luka berat maupun kematian dan dihukum dengan dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebayak-banyaknya tiga ratus rupiah. (ayat 1) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun (ayat 2) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 7 tahun (ayat 3) Penganiayaan berupa sengaja merusak kesehatan (ayat 4)Unsur-unsur penganiayaan biasa, yakni: Adanya kesengajaan Adanya perbuatan Adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh. Akibat yang menjadi tujuan satu-satunya2. Tindak Pidana Penganiayaan RinganHal ini diatur dalam Pasal 352 KUHP. Menurut Pasal ini, penganiayaan ringan ini ada dan diancam dengan maksimum hukuman penjara tiga bulan atau denda tiga ratus rupiah apabila tidak masuk dalam rumusan Pasal 353 dan 356, dan tidak menyebabkan sakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Hukuman ini bias ditambah dengan sepertiga bagi orang yang melakukan penganiayaan ringan ini terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintah.Penganiayaan tersebut dalam Pasal 352 (1) KUHP yaitu suatu penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau menjadikan terhalang untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sehari-hari.Unsur-unsur penganiayaan ringan, yakni:a) Bukan berupa penganiayaan biasab) Bukan penganiayaan yang dilakukan Terhadap bapak atau ibu yang sah, istri atau anaknya Terhadap pegawai negri yang sedang dan atau karena menjalankan tugasanya yang sah Dengan memasukkan bahan berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminumc) Tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan dan pencaharian3. Tindak Pidana Penganiayaan BerencanaMenurut Mr.M.H Tirtaadmidjaja, mengutarakan arti direncanakan lebih dahulu yaitu bahwa ada suatu jangka waktu betapapun pendeknya untuk mempertimbangkan dan memikirkan dengan tenang.Untuk perencanaan ini, tidak perlu ada tenggang waktu lama antara waktu merencanakan dan waktu melakukan perbuatan penganiayaan berat atau pembunuhan. Sebaliknya meskipun ada tenggang waktu itu yang tidak begitu pendek, belum tentu dapat dikatakan ada rencana lebih dahulu secara tenang. Ini semua bergantung kepada keadaan konkrit dari setiap peristiwa.Menurut Pasal 353 KUHP ada 3 macam penganiayanan berencana , yaitu: Penganiayaan berencana yang tidak berakibat luka berat atau kematian dan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun. Penganiayaan berencana yang berakibat luka berat dan dihukum denhan hukuman selama-lamanya 7 (tujuh) tahun. Penganiayaan berencana yang berakibat kematian dan dihukum dengan hukuman selama-lamanya 9 (Sembilan) tahun.Unsur penganiayaan berencana adalah direncanakan terlebih dahulu sebelum perbuatan dilakukan. Penganiayaan dapat dikualifikasikan menjadi penganiayaan berencana jika memenuhi syarat-syarat:a) Pengambilan keputusan untuk berbuat suatu kehendak dilakukan dalam suasana batin yang tenang.b) Sejak timbulnya kehendak/pengambilan keputusan untuk berbuat sampai dengan pelaksanaan perbuatan ada tenggang waktu yang cukup sehingga dapat digunakan olehnya untuk berpikir, antara lain: Resiko apa yang akan ditanggung. Bagaimana cara dan dengan alat apa serta bila mana saat yang tepat untuk melaksanakannya. Bagaimana cara menghilangkan jejak.c) Dalam melaksanakan perbuatan yang telah diputuskan dilakukan dengan suasana hati yang tenang.4. Tindak Pidana Penganiayaan BeratTindak pidana ini diatur dalam Pasal 354 KUHP. Perbuatan berat atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja oleh orang yang menganiayanya.Unsur-unsur penganiayaan berat, antara lain: Kesalahan (kesengajaan), Perbuatannya (melukai secara berat), Obyeknya (tubuh orang lain), Akibatnya (luka berat)Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik terhadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya yakni luka berat.

Istilah luka berat menurut Pasal 90 KUHP berarti sebagai berikut: Jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian Didak dapat lagi memakai salah satu panca indra Mendapat cacat besar Lumpuh (kelumpuhan) Akal (tenaga faham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.Penganiayaan berat ada 2 (dua) bentuk, yaitu: Penganiayaan berat biasa (ayat 1) Penganiayaan berat yang menimbulkan kematian (ayat 2)5. Tindak Pidana Penganiayaan Berat BerencanaPenganiyaan berat berencana, dimuat dalam pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Bila kita lihat penjelasan yang telah ada diatas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka pada pasien termasuk kedalam tindak penganiayaan biasa, karena memenuhi empat unsur penganiayaan biasa, yaitu adanya kesengajaan, adanya perbuatan, adanya akibat perbuatan (yang dituju), rasa sakit pada tubuh, dan atau luka pada tubuh, dan akibat yang menjadi tujuan satu-satunya.Dalam hal hasil pemeriksaan pada korban ini sudah memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa. Pemeriksaan juga dilakukan dengan baik secara sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.4,6Pada korban ditemukan beberapa luka. Luka merupakan gangguan dari kontinuitas jaringan yang disebabkan oleh suatu energi mekanik eksterna.6 Di dalam melakukan pemeriksaan terhadap seseorang yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan yang menyebabkan luka, dan kualifikasi luka.7Dalam mendeskripsikan luka terbuka harus mencakup jumlah, lokasi, bentuk, ukuran, dan sifat luka.Sedangkan untuk luka tertutup, sifat luka tidak perlu dicantumkan dalam pendeskripsian luka.Untuk penulisan deskripsi luka jumlah, lokasi, bentuk, ukuran tidak harus urut tetapi penulisan harus selalu ditulis diakhir kalimat.Deskripsi luka meliputi:5 1. Jumlah luka2. Lokasi luka, meliputi:a. Lokasi berdasarkan region anatomi nyab. Lokasi berdasarkan garis koordinat atau berdasarkan bagian-bagian tertentu dari tubuhc. Menentukan lokasi berdasarkan garis koordinat dilakukan untuk luka pada regio yang luas seperti di dada, perut, punggung. Koordinat tubuh dibagi dengan menggunakan garis khayal yang membagi tubuh menjadi dua yaitu kanan dan kiri, garis khayal mendatar yang melewati puting susu, garis khayal mendatar yang melewati pusat, dan garis khayal mendatar yang melewati ujung tumit. Pada kasus luka tembak harus selalu diukur jarak luka dari garis khayal mendatar yang melewati kedua ujung tumit untuk kepentingan rekonstruksi. Untuk luka di bagian punggung dapat dideskripsikan lokasinya berdasarkan garis khayal yang menghubungkan ujung bawah tulang belikat kanan dan kiri.3. Bentuk luka, meliputi :a. Bentuk sebelum dirapatkanb. Bentuk setelah dirapatkan4. Ukuran luka, meliputi sebelum dan sesudah dirapatkan ditulis dalam bentuk panjang x lebar x tinggi dalam satuan sentimeter atau milimeter.5. Sifat-sifat luka, meliputi :a. Daerah pada garis batas luka, meliputi : Batas (tegas atau tidak tegas) Tepi (rata atau tidak rata) Sudut luka (runcing atau tumpul)b. Daerah di dalam garis batas luka, meliputi: Jembatan jaringan (ada atau tidak ada) Tebing (ada atau tidak ada, jika ada terdiri dari apa) Dasar lukac. Daerah di sekitar garis batas luka, meliputi : Memar (ada atau tidak)d. Lecet (ada atau tidak)e. Tatoase (ada atau tidak)

Secara umum, luka atau cedera dibagi kepada beberapa klasifikasi menurut penyebabnya yaitu, trauma benda tumpul, trauma benda tajam dan luka tembak.7Pada pasien didapatkan luka robek pada bibir atas, dan luka lecet pada bibir bawah, pipi kiri, dan telinga kiri akibat kekerasan tumpul. Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka dengan sifat luka seperti ini adalah benda yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa memar (kontusio, hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi) dan luka terbuka/robek (vulnus laseratum).2Luka robek atau laserasi merupakan luka terbuka akibat trauma benda tumpul, yang menyebabkan kulit teregang ke satu arah dan bila elastisitas kulit terlampaui, maka akan terjadi robekan pada kulit. Luka ini mempunyai ciri bentuk luka yang umumnya tidak beraturan, tepi atau dinding tidak rata, tampak jembatan jaringan antara kedua tepi luka, bentuk dasar luka tidak beraturan, sering tampak luka lecet atau luka memar di sisi luka.2Pada beberapa kasus, robeknya kulit atau membran mukosa dan jaringan dibawahnya tidak sempurna dan terdapat jembatan jaringan.Jembatan jaringan, tepi luka yang ireguler, kasar dan luka lecet membedakan luka robek dengan luka oleh benda tajam.7

Gambar 3.1 Luka robek multipel pada kepala belakang(Dikutip dari kepustakaan Color Atlast of Forensic Pathology)9

Tepi dari laserasi dapat menunjukkan arah terjadinya kekerasan.Tepi yang paling rusak dan tepi laserasi yang landai menunjukkan arah awal kekerasan. Sisi laserasi yang terdapat memar juga menunjukkan arah awal kekerasan.Bentuk dari laserasi dapat menggambarkan bahan dari benda penyebab kekerasan tersebut.Karena daya kekenyalan jaringan regangan jaringan yang berlebihan terjadi sebelum robeknya jaringan terjadi. Sehingga pukulan yang terjadi karena palu tidak harus berbentuk permukaan palu atau laserasi yang berbentuk semisirkuler. Sering terjadi sobekan dari ujung laserasi yang sudutnya berbeda dengan laserasi itu sendiri yang disebut dengan swallow tails. Beberapa benda dapat menghasilkan pola laserasi yang mirip.9Perkiraan kejadian saat kejadian pada luka laserasi sulit ditentukan tidak seperti luka atau memar. Pembagiannya adalah sangat segera segera, beberapa hari, dan lebih dari beberapa hari .Laserasi yang terjadi setelah mati dapat dibedakan ddengan yang terjadi saat korban hidup yaitu tidak adanya perdarahan.9,10Laserasi dapat menyebabkan perdarahan hebat.Sebuah laserasi kecil tanpa adanya robekan arteri dapat menyebabkan akibat yang fatal bila perdarahan terjadi terus menerus. Laserasi yang multipel yang mengenai jaringan kutis dan sub kutis dapat menyebabkan perdarahan yang hebat sehingga menyebabkan sampai dengan kematian. Adanya diskontinuitas kulit atau membran mukosa dapat menyebabkan kuman yang berasal dari permukaan luka maupun dari sekitar kulit yang luka masuk ke dalam jaringan. Port d entree tersebut tetap ada sampai dengan terjadinya penyembuhan luka yang sempurna.7,9Bila luka terjadi dekat persendian maka akan terasa nyeri, khususnya pada saat sendi tersebut di gerakkan ke arah laserasi tersebut sehingga dapat menyebabkan disfungsi dari sendi tersebut. Benturan yang terjadi pada jaringan bawah kulit yang memiliki jaringan lemak dapat menyebabkan emboli lemak pada paru atau sirkulasi sistemik.Laserasi juga dapat terjadi pada organ akibat dari tekanan yang kuat dari suatu pukulan seperi pada organ jantung, aorta, hati dan limpa.Hal yang harus diwaspadai dari laserasi organ yaitu robekan yang komplit yang dapat terjadi dalam jangka waktu lama setelah trauma yang dapat menyebabkan perdarahan hebat.7Luka lecet terjadi akibat cedera pada epidermis yang bersentuhan dengan benda yang memiliki permukaan kasar atau runcing, misalnya pada kejadian kecelakaan lalu lintas, tubuh terbentur aspal jalan, atau sebaliknya benda tersebut yang bergerak dan bersentuhan dengan kulit. Manfaat interpretasi luka lecet di tinjau dari aspek medikolegal sering kali di remehkan, padahalpemeriksaan luka lecet yang teliti disertai pemeriksaan di TKP dapat mengungkapkan peristiwayang sebenarnya terjadi. Misalnya suatu luka lecet yang semula di perkirakan sebagai akibat jatuhdan terbentur aspal jalan atau tanah, seharusnya di jumpai pula aspal atau debu yang menempeldi luka tersebut. Bila setelah di lakukan pemeriksaan secara teliti, tidak di jumpai benda asingtersebut, maka harus timbul pemikiran bahwa luka tersebut bukan terjadi akibat jatuh ke aspalatau tanah, tapi mungkin akibat tindakan kekerasan. 2,4Memperkirakan umur luka lecet:6 Hari ke 1 3 : warna coklat kemerahan Hari ke 4 6 : warna pelan-pelan menjadi gelap dan lebih suram Hari ke 7 14 : pembentukan epidermis baru Beberapa minggu : terjadi penyembuhan lengkapSesuai dengan mekanisme terjadinya, luka lecet dapat diklasifikasikan sebagai luka lecet gores(scratch), luka lecet serut(graze), luka lecet tekan(impression,impact abrasion)dan luka lecetgeser(friction abrasion).2,4,7 Luka lecet gores(Scratch)Diakibatkan oleh benda runcing (misalnya kuku jari yang menggores kulit) yang menggeser lapisan permukaan kulit (epidermis) di depannya dan mengakibatkan lapisan tersebut terangkat, sehingga dapat menunjukan arah kekerasan yang terjadi.

Luka lecet serut (Scraping)Adalah variasi dari luka lecet gores yang daerah persentuhannya dengan permukaan kulit lebih lebar. Arah kekerasan di tentukan dengan melihat letak tumpukan epitel.

Gambar 3.2 Bentuk dari abrasi dapat menandakan jenis permukaan yang kontak dengan kulit. (Dikutip dari Color Atlas of Forensic Pathology)9 Luka lecet tekan (Impact abrasion)Disebabkan oleh penjejakan benda tumpul pada kulit. Karena kulit adalah jaringan yang lentur maka, bentuk luka lecet tekan belum tentu sama dengan bentuk permukaan benda tumpul tersebut, tetapi masih memungkinkan identifikasi benda penyebab yang mempunyai bentuk yang khas, misalnya kisi-kisi radiator mobil, jejas gigitan dan sebagainya. Gambaran luka lecet tekan yang di temukan pada mayat adalah daerah kulit yang kaku dengan warna yang lebih gelap dari sekitarnya akibat menjadi lebih padatnya jaringan yang tertekan serta terjadinya pengeringan yang berlangsung pasca kematian.

Gambar 3.3 Impact abrasion pada sisi kanan kepala. (Dikutip dari kepustakaan Color Atlas of Forensic Pathology)9Pada pasal 352 KHUP, penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa luka atau dengan luka lecet atau memar kecil dilokasi yang tidak berbahaya/ yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Dan juga tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan jabatan atau pekerjaan. Sedangkan pada KUHP pasal 90 telah memberikan batasan tentang luka berat yaitu: jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut; yang menyebabkan seseorang terus menerus tidak mampu untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian; yang menyebabkan kehilangan salah satu panca indera; yang menimbulkan cacat berat (verminking); yang mengakibatkan terjadinya keadaan lumpuh; terganggunya daya pikir selama empat minggu atau lebih serta terjadinya gugur atau matinya kandungan seorang perempuan. Dengan demikian keadaan yang terletak di antara luka ringan dan luka berat adalah keadaan yang dimaksud dengan luka sedang.2,4Pada korban luka tidak menyebabkan kematian, kecacatan, penyakit dan halangan pekerjaan, namun memerlukan tindakan medis berupa penjahitan luka maka luka pada korban masuk kedalam klasifikasi derajat luka sedang.2,4,6 Profesionalisme seorang dokter dapat dimunculkan pada kesimpulan Visum et Repertum yang dapat menjadi pertimbangan pihak penegak hukum. Ada empat kualifikasi (derajat) yang dapat dipilih dokter :1. Orang yang bersangkutan tidak menjadi saksi atau mendapat halangan dalam melakukan pekerjaan atau jabatan.2. Orang yang bersangkutan menjadi sakit tetapi tidak ada halangan untuk melakukan pekerjaan atau jabatan.3. Orang yang bersangkutan menjadi sakit dan berhalangan untuk melakukan pekerjaan atau jabatannya.4. Orang yang bersangkutan mengalami :a. Penyakit atau luka yang tidak dapat diharapkan akan sembuh.b. Dapat mendatangkan bahaya maut.c. Tidak dapat menjalankan pekerjaan.d. Tidak dapat memakai salah satu panca indera.Terganggu pikiran lebih dari empat minggu

BAB VISIMPULAN

Benda-benda yang dapat mengakibatkan luka tumpul adalah benda yang memiliki permukaan tumpul. Luka yang terjadi dapat berupa memar (kontusio, hematom), luka lecet (ekskoriasi, abrasi) dan luka terbuka/robek (vulnus laseratum).Pada korban perempuan usia 20 tahun didapatkann luka akibat kekerasan tumpul berupa luka robek pada bibir atas dan luka lecet pada bibir bawah, pipi kiri, dan telinga kiri. Perlukaan ini tidak menyebabkan penyakit dan halangan pekerjaan namun memerlukan tindakan medis sehingga tergolong kedalam luka derajat dua atau luka sedang. Korban mengalami tindakan penganiayaan yang tergolong kedalam tidak penganiayaan biasa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Atmadja DS. Simposium Tatalaksana Visum et Repertum Korban Hidup pada Kasus Perlukaan & Keracunan di Rumah Sakit. Jakarta: RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Rabu 10 Juli 2004.2. Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.3. Dahlan, Sofwan. 2003. Pembuatan Visum Et Repertum. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.4. Dodi Afandi. 2010. Visum et Repertum Perlukaan : Aspek Medikolegal dan Penentuan Derajat Luka. Riau. Fakultas Kedokteran Universitas Riau5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Buku Kedua tentang Kejahatan. Diakses dari www.wirantaprawira.de/law.criminal/kuhp/buku_2/index1.html pada 13 Juli 2015 pukul 16.45 WIB6. Idries, A. M. 2008. Sistematik Pemeriksaan Ilmu Kedokteran Forensik Khusus Pada Korban Perlukaan. Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan, Bab 7, hal. 133-143. Jakarta: Sagung Seto7. Shkrum, M. J. dan Ramsay, D. A. 2007. Blunt Trauma. Forensic Pathology of Trauma, Chapter 8, pp. 405-5188. Vincent J. D. dan Dominick, D. 2001. Blunt Trauma Wounds. Forensic Pathology Second Edition, Chapter 4, pp. 1-269. Jay Dix. 2000. Color Atlas of Forensic Patrology. Untited States of America. CRC Press. Chapter 3, pp. 32-4310. Satyo, A. C. 2006. Aspek Medikolegal Luka pada Forensik Klinik. Majalah Kedokteran Nusantara, vol. 39, no. 4, pp. 430-43311. Leden Marpaung. 2002. Tindak Pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh. Jakarta: Sinar Grafika12. R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.

LAMPIRAN

Gambar 2.1 Luka robek yang telah dijahit pada bibir atas

Gambar 2.2 Luka lecet pada bibir bawah

Gambar 2.3 Luka lecet pada pipi kiri

Gambar 2.4 Luka lecet pada telinga kiri

19