Upload
rizky-huryamin
View
249
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
WANITA USIA 42 TAHUN DATANG DENGAN KEJANG
OLEH:
M. Rizky Huryamin H J500090106
Antika Premi Vindasari J500090076
Wahhab Rofiq Hakim J500090018
Betti Widias Pradani J500090061
Widyastati Ambarsari J500090092
PEMBIMBING:
dr. Hj. MUTIA SINTA Sp. S
dr. DWI KUSUMANINGSIH Sp. S
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
1
LAPORAN KASUS
WANITA USIA 42 TAHUN DENGAN KEJANG
Yang Diajukan Oleh:
M. Rizky Huryamin H J500090106
Antika Premi Vindasari J500090076
Wahhab Rofiq Hakim J500090018
Betti Widias Pradani J500090061
Widyastati Ambarsari J500090092
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah SurakartaPada hari 2013
Pembimbing:
dr. Hj. MUTIA SINTA Sp. S ( )
dr. DWI KUSUMANINGSIH Sp. S ( )
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Hj. MUTIA SINTA Sp. S ( )
dr. DWI KUSUMANINGSIH Sp. S ( )
Disahkan Ka. Program Profesi:
Dr. Dona Dewi Nirlawati ( )
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
20132
STATUS NEUROLOGI
I. IDENTITAS
Nama : Ny. M
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 42 tahun
Alamat : Bulu 2/1 Slahung
Pekerjaan : Tani
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Pendidikan : SD
No. Rekam Medis : 2987xx
Tanggal Pemeriksaan : 16 November 2013
II. ANAMNESIS
Riwayat penyakit pasien diperoleh secara alloanamnesis dan autoanamnesis
dilakukan pada tanggal 16 November 2013.
A. Keluhan utama
Kejang
B. Keluhan tambahan
“Nglamun”, pandangan double
C. Riwayat penyakit sekarang
Pasien datang ke Poli Syaraf RSUD DR. Harjono Ponorogo dibawa
bersama suaminya dengan keluhan periksa setelah 1 minggu yang lalu
kejang. Selama seminggu kejang tidak berulang dengan obat yang
diberikan dari dokter spesialis, saat kejang pasien langsung dibawa
kerumah sakit dan dinyatakan MRS sampai 3 hari. Sekarang pasien
berobat dan EEG.
3
Saat kejang, pasien kaku seluruh tubuh dengan posisi pasien
tergeletak di bawah, kedua tangan kaku lurus dan kaki juga kaku lurus,
mata melotot dan dari mulut keluar cairan berbusa. Kejang berlangsung
selama 5 menit tanpa ada istirahat (5 menit kaku) dan juga pasien tidak
dalam keadaan sadar. Setelah sadar pasien agak kebingungan dan tidak
tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya sendiri. Pasien merasa tidak
apa-apa tetapi suaminya membawanya ke RSUD dengan saran MRS
Sebelum kejang pasien mengaku sedang minum obat dari mantri
karena mengeluh pusing. Setelah minum obat pasien merasa “byar-byar
pet” pada pandangannya, kemudian sudah tidak mengetahui apa yang
sedang terjadi pada dirinya. Sampai sekarang matanya masing merasa
“nglemun”, dan ditambah untuk melihat benda terkadang terasa double,
tidak kejang lagi dan sudah tidak pusing.
Berdasarkan alloanamnesis dengan suami pasien, kejang terjadi
hanya sekali ini saja, tidak punya riwayat kejang sebelumnya. Pasien saat
kejang tidak disertai BAK ataupun BAB. Psien juga tidak didahului
demam. Tidak pernah terjatuh sebelumnya.
Mengenai riwayat persalinan, pasien lahir pada usia kehamilan 9
bulan dibantu oleh bidan desa. Pada saat lahir bayi menangis spontan,
untuk kulit, berat badan, ASI, makanan pendamping ASI, perkembangan
motorik maupun sensorik pasien tidak ingat dan tidak pernah bertanya
pada orang tuanya.
D. Riwayat penyakit dahulu
1. Riwayat hipertensi : diakui
2. Riwayat DM : disangkal
3. Riwayat sakit serupa : disangkal
4. Riwayat TB : disangkal
5. Riwayat sakit jantung : disangkal
6. Riwayat Asma : disangkal
7. Riwayat alergi obat & makanan : disangkal
4
8. Riwayat opname : diakui (11 November 2013)
9. Riwayat operasi : disangkal
10. Riwayat trauma kepala : disangkal
E. Riwayat penyakit keluarga
1. Riwayat penyakit serupa : diakui (adik saudara)
2. Riwayat alergi obat & makanan : disangkal
3. Riwayat hipertensi : diakui (Ayah)
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat TB : disangkal
6. Riwayat sakit jantung : disangkal
F. Riwayat kebiasaan
1. Riwayat kebiasaan merokok : disangkal
2. Riwayat minum kopi : disangkal
3. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
4. Riwayat konsumsi obat warung : diakui
5. Rowayat konsumsi Jamu : diakui
III. STATUS INTERNA
A. Keadaan umum
Vital Sign : Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 86 x/menit
Suhu : 36,7ᵒC
Pernafasan : 24 x/ menit
B. Pemeriksaan fisik
1. Kepala : Konjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sianosis (-), pupil isokor uk. 3mm, reflek cahaya (+/+)
2. Leher : leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea (-),
pembesaran kelenjar limfe (-)
5
3. Thorax :
a. Paru-paru
Inspeksi : gerakan pernafasan simetris, retraksi intercostae
(-), ketinggalan gerak (+)
Palpasi :
- Ketinggalan gerak (+/-)
Depan Belakang
- - - -
- - - -
- - - -
- Fremitus
Depan Belakang
N N N N
N N N N
N N N N
Perkusi
Depan Belakang
S S S S
S S S S
S S S S
Auskultasi
- Suara dasar vesikuler
Depan Belakang
+ + + +
+ + + +
+ + + +
- Suara tambahan : wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
b. Jantung6
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak, dinding dada tidak
cembung maupun cekung
Palpasi : ictus cordis tidak teraba, tidak kuat angkat, di SIC
V linea midclavicula sinistra.
Perkusi : batas jantung
- Batas kiri jantung:
o Atas : SIC II di sisi lateral linea parasternalis sinistra
o Bawah : SIC V linea midclavicula sinistra
- Batas kanan jantung :
o Atas : SIC II linea parasternalis dextra
o Bawah : SIC IV linea parasternalis dextra
Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular, bising (-)
4. Abdomen :
Inspeksi : simetris dinding abdomen, distended (-)
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : Timpani
Palpasi : supel, defans muskuler (-), nyeri tekan (-), lien
tidak teraba, hepar tidak teraba, ginjal tidak teraba,
nyeri ketok costovertebrae (-)
5. Ekstremitas : clubbing finger tidak ditemukan, palmar eritema (-),
edema pada ekstremitas superior dan inferior (-/-),
pitting oedem (-/-), akral hangat (+/+)
Kesan Status Internus : dalam batas yang normal
IV. STATUS NEUROLOGIS
a. Kesadaran : Compos Mentis, GCS = E4 V5 M6
b. Meningeal Sign
Kaku kuduk : ( - )
Brudzinski I : ( - )
Brudzinski II : ( - )
Brudzinski III : ( - )7
Brudzinski IV : ( - )
Kernig : ( - )
c. Nervus Cranialis
Nervus Pemeriksaan Dextra Sinistra
I (Olfaktorius) Daya pembau + +
II (Opticus)Visus ≥ 2/60 ≥ 2/60
Pengenalan warna + +
III
(Occulomotorius)
Ptosis - -
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke
tengah
+ +
Gerakan mata ke
bawah
+ +
Ukuran pupil
-Reflek direct
-Reflek indirect
Isokor
3mm
Isokor
3mm
IV (Trochlearis) Gerakan mata medial
ke bawah
+ +
V (Trigeminus)
Menggigit + +
Membuka mulut + +
Sensibilitas wajah
(atas, tengah, bawah)
+ +
VI (Abduccens) Gerakan mata ke
lateral
+ +
VII (Facialis)
Mengangkat alis + +
Menutup mata + +
Meringis + +
Menggembungkan
pipi
+ +
8
VIII
(Vestibulocochlear)
Mendengarkan suara
bisik
+ +
IX
(Glossopharyngeus)
Arcus faring (dilihat) + +
X (Vagus)Bersuara + +
Menelan + +
XI (Accesorius)Memalingkan kepala + +
Menahan bahu + +
XII (Hypoglosus) Menjulurkan lidah + +
Kesan N. Cranialis : dalam batas normal
d. Sistem Sensorik
1. Eksterioseptik
No Pemeriksaan
eksterioseptik
Ekstremitas
Atas Bawah
1 Nyeri + + + +
2 Taktil + + + +
2. Propioseptik
No Pemeriksaan
propioseptik
Ekstremitas
Atas Bawah
1 Gerak/posisi + + + +
2 Tekan + + + +
Kesan sensorik : dalam batas normal
e. Sistem Motorik
1. Gerakan
2. Kekuatan otot
555 555
9
B B
B B
555 555
3. Tonus
Normotonus Normotonus
Normotonus Normotonus
4. Klonus (-)
5. Trophy
Eutrophy Eutrophy
Eutrophy Eutrophy
Kesan : sistem motorik dalam batas normal
f. Reflek Fisiologis
BPR +2 TPR +2 BPR +2 TPR +2
KPR +2 APR +2 KPR +2 APR +2
g. Reflek Patologis
Hoffman : -/-
Trommer : -/-
Babinsky : -/-
Chaddock : -/-
Gordon : -/-
Gonda : -/-
Stranscy : -/-
Mandel B : -/-
Rossolimo : -/-
Oppenheim : -/-
Kesan : Reflek fisiologis dalam batas normal dan tidak didapatkan reflek
patologis.
h. Provokasi Nyeri
10
1. Laseque sign : -/-
2. Patrick sign : -/-
3. Kontrapatrick sign : -/-
Kesan : provokasi nyeri tidak didapatkan
i. Cerebral Sign
1. Finger to nose : (+/+)
2. Heel to shin : (+/+)
Kesan = dalam batas normal
j. Fungsi Otonom
Miksi : normal
Defekasi : normal
Kesan: dalam batas normal
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
PemeriksaanHasil
Nilai Normal9 November 2013
WBC#Lymph#Mid#GranLymph %Mid %Gran %HGBRBCHCTMCVMCHMCHCRDW-CVRDW-SDPLTMPVPDWPCT
10,21,40,68,2
13,36,3
80,512,04,5238,485,026,531,214,447,8
275 6,7
15,80.189
4.0 - 10.0 (x 103/uL)0.8 - 4.0 (x 103/uL)0.1 - 0.9 (x 103/uL)2.0 - 7.0 (x 103/uL)
20.0 - 40.0 (%)3.0 - 9.0 (%)
50.0 - 70.0 (%)11.0 - 16.0 (g/dL)
3.50 - 5.50 (x106/uL)37.0 - 50.0 (%)82.0 - 95.0 (fL)27.0 - 31.0 (pg)
32.0 - 36.0 (g/dL)11.5 - 14.5 (%)35.0 - 56.0 (fL)
150 - 300 (x 103/uL)7 - 11 (fL)
15 - 170.108 - 0.282 (%)
GDA 143 mg/dl < 140 mg/dl
2. EEG11
Pemeriksaan EEG
Aktivitas Frekuensi Voltase distribusi Keterangan khusus (jumlah, reaktifitas, durasi, dll)
Bangun (100%)
Latar belakangBheta
9-1012-13
L-ML
Regio oksipitalFrontosentral simetris
Tidur (….)
PerlambatanPostsVertex transientSleep spindles
Difus simetrisBi-occipitalFrontosentralFronto sentral
Hyperventilasi
Perlambatan(-)
Stimulasi fotik
Fotic aktifitas (-)
Klasifikasi : Normal
Impresi : pada perekaman EEG saat ini dalam batas normal
VI. RESUME
12
Ny. M usia 42 tahun dengan keluhan “nglemun” setelah 1 minggu
yang lalu kejang. Selama seminggu kejang tidak berulang dengan obat
yang diberikan dari dokter spesialis, saat kejang pasien langsung dibawa
kerumah sakit dan dinyatakan MSR sampai 3 hari. Sekarang pasien
berobat dan EEG.
Saat kejang, pasien kaku seluruh tubuh dengan posisi pasien
tergeletak di bawah, kedua tangan kaku lurus dan kaki juga kaku lurus,
mata melotot dan dari mulut keluar cairan berbusa. Kejang berlangsung
selama 5 menit tanpa ada istirahat (5 menit kaku) dan juga pasien tidak
dalam keadaan sadar. Setelah sadar pasien agak kebingungan dan tidak
tahu apa yang sedang terjadi dengan dirinya sendiri. Pasien merasa tidak
apa-apa tetapi suaminya membawanya ke RSUD dengan saran MRS
Sebelum kejang pasien mengaku sedang minum obat dari mantri
karena mengeluh pusing. Setelah minum obat pasien merasa “byar-byar
pet” pada pandangannya, kemudian sudah tidak mengetahui apa yang
sedang terjadi pada dirinya. Sampai sekarang matanya masing merasa
“nglemun”, untuk melihat benda terkadang terasa double, tidak kejang lagi
dan sudah tidak pusing.
Berdasarkan alloanamnesis dengan suami pasien, kejang terjadi
hanya sekali ini saja, tidak punya riwayat kejang sebelumnya. Pasien saat
kejang tidak disertai BAK maupun BAB. Tidak disertai demam dan juga
tidak pernah jatuh sebelumnya.
Mengenai riwayat persalinan, pasien lahir pada usia kehamilan 9
bulan dibantu oleh bidan desa. Pada saat lahir bayi menangis spontan,
untuk kulit, berat badan, ASI, makanan pendamping ASI, perkembangan
motorik maupun sensorik pasien tidak ingat dan tidak pernah bertanya
pada orang tuanya.
RPD : Berdasarkan anamnesis dengan pasien, belum pernah kejang
sebelumnya, hanya saja tensi tinggi dari dulu antara 140-130 atasnya.
RPK : adik pasien pernah kejang, tetapi tidak tahu penyakit atau
pengobatannya, ayah pasien mempunyai tensi tinggi.
13
Riwayat kebiasaan, pasien sering pusing dan minum obat warung,
serta sering minum jamu kunir asem.
Status interna : TD 130/90 mmHg. Status neurologi : tidak ada lesi
pada nervi kranialis, meningeal sign negatif, provokasi nyeri negatif,
motorik anggota gerak dalam batas yang normal. Penunjang :
Laboratorium tanggal 9 november dalam batas normal, gula darah acak
dalam batas normal dan EEG tanggal 16 november dalam batas normal.
VII. DIAGNOSIS KERJA
Diagnosis Klinis : Tipe Kejang Tonik Klonik
Diagnosis Topis : Gangguan Neuron di Hemisfer Cerebri
Diagnosis Etiologi : Epilepsi General Tonik klonik
VIII. PENATALAKSANAAN
Farmakologik:
- Phenitoin 3x1
- Betahistin 3x1
- Simvastatin 0-0-5
Non farmakologik:
Menghindari faktor yang dapat mencetuskan serangan epilepsi :
1. Kurang tidur
2. Stress emosional
3. Infeksi demam
4. Obat-obatan tertentu
5. Terlalu lemah, atau stress fisik
6. Fotosensitif
IX. RENCANA PEMERIKSAAN
EEG ULANG
14
CT SCAN
X. PROGNOSIS
Disease : dubia ad bonam
Discomfort : dubia ad bonam
Dissatification : dubia ad bonam
Diasability : dubia ad bonam
Death : dubia ad bonam
ANALISIS KASUS
15
PEMERIKSAAN FISIKANAMNESIS
Kejang pertama kali, sebelumnya tidak
pernah kejang.
Kejang terjadi setelah minum obat dari
mantri berjumlah 3, yang di minum
setelah makan.
Kejang pada kedua ekstremitas
secara bersamaan dengan tipe
kejang tonik klonik, berlangsung
selama kurang dari lima menit
dengan frekuensi 1 kali, tidak
berulang, tidak ngompol dan
juga mengeluarkan busa dari
mulut disertai mata melotot.
Kejang disertai penurunan
kesadaran tetapi setelah kejang
masih bisa beraktifitas seperti
biasa. besar dan air kecil tidak
ada keluhan.
Kejang timbul saat pasien dalam
keadaan capek dan biasanya
terjadi dini hari.
Pasien tidak pernah minum obat
lagi saat kejang.
Status Internus:Tekanan Darah
130/90 N: 86 x/menitS: 36,7ᵒCRR: 24 x/ menit
Status Neurologi:
Kesadaran:
E4V5M6
Meningeal sign (-)
Nn. Cranialis: dbn
Motorik: dbn
Klonus: (-/-)
R.Fisiologis: dbn
R. Patologis: (-)
R. Sensorik: (-)
Px. Cerebelum: dbn
Provokasi nyeri (-)
Gerakan terbatas
pada ex. Superior
sinistra
Diagnosis:
Epilepsi General Tonik Klonik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laborat: dalam
batas normal
EEG: dalam
batas normal
16
TINJAUAN PUSTAKA
EPILEPSI
A. Definisi
Epilepsi adalah istilah untuk cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak
yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat, yang merupakan
gangguan paroksismal di mana cetusan neuron korteks serebri mengakibatkan
serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku
atau emosional yang intermiten dan stereotipik (Ginsberg, 2005).
Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama
epileptic seizure adalah manifestasi klinis yang serupa dan berulang secara
paroksismal, yang disebabkan oleh hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di
otak yang spontan dan bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut
(“unprovoked”) (Sorvon, 2000).
B. Epidemiologi
Epilepsi terjadi 1% dari populasi, sekitar 20-50 pasien baru yang terdiagnosis
per 100.000 per tahunnya. Perkiraan angka kematian pertahun akibat epilepsi
adalah 2 per 100.000. kematian dapat berhubungan langsung dengan kejang atau
jika terjadi cedera akibat kecelakaan atau trauma (Ginsberg, 2005).
Resiko seumur hidup terhadap terjadinya kejang umum adalah 3-4% dengan
puncak kejadian pada awal kejang (kejang neonatus) atau akhir (tumor dan stroke)
kehidupan. Insidensinya sebesar 0,7%. Terdapat sebanyak 300.000 orang di
inggris dengan serangan aktif: 15-20% berobat ke rumah sakit setiap tahunnya
(Davey, 2005).
C. Etiologi
Biasanya tidak ditemukan penyebab yang sering disebut idiopati. Termasuk
diantaranya adalah pasien dengan riwayat gangguan intrauterin, perinatal, atau
neonatal (Rubenstein dkk, 2007). Selain itu bisa simptomatik ataupun kriptogenik
(Bashers, 2001).
17
D. Patofisiologi
Mekanisme yang terjadi baik terlibat dalam genetik sehingga terjadi
epilepsi:
- Gangguan dalam keseimbangan eksitasi/inhibisi di dalam hipotalamus
diperkirakan menjadi faktor mayor dalam etiologi epilepsi
1. Asam amino eksitori (EAA) berada dalam keseimbangan fisiologis
dengan neurotransmiter inhibitori
2. Glutamin, suatu EAA, adalah neurotransmiter eksitatori primer di
dalam sistem saraf pusat dan terutama beraksi melalui aktivasi reseptor
N-methyl-D-aspartate (NMDA)
3. Asam gamma-aminobutirat (GABA) adalah neurotransmiter inhibitori
primer
4. Baik penurunan inhibisi GABAergic maupun peningkatan eksitasi
glutamatergic diperkirakan terlibat secara kritis dalam mekanisme
selular yang mendasari permulaan dan penyebaran kejang epileptik dan
proses yang menyebabkan epileptogenesis, dan pada akhirnya
menyebabkan epilepsi kronis.
5. Banyak obat antiepilepsi (OAE) baru ditargetkan memperkuat aktivitas
GABA. Sementara antagonis NMDA yang baru-baru ini tersedia
sangat neurotoksik, penelitian masih berjalan unuk mengevaluasi obat
terbaru yang ditujukan untuk menghambat aktifitas glutamat.
- Perubahan saluran ion yang diatur voltase pada membran neuron
mengakibatkan depolarisasi berlebih atau aksi berlebih yang berpotensi
menyulut. Potensial defek pada saluran ion meliputi saluran kalsium,
kalium, atau natrium yang sensitif terhadap voltase, dan pengganti
natrium/hidrogen.
- Perubahan dalam gap junction mengakibatkan perubahan komunikasi
interneuron dan perubahan sinkroni neural. Gap junction ini dipengaruhi
oleh pH serum (alkalosis cenderung merangsang komunikasi
epileptogenik, sementara asidosis menghambatnya) tetapi belum ada
18
terapi farmakologis terbaru yang menargetkn gp junction. Diet ketogenik
mungkin mempengaruhi gp junction dengan mengubah pH.
(Brashers, 2001)
E. Klasifikasi
Kejang dibedakan berdasarkan onsetnya yaitu fokal (parsial) atau menyeluruh
(generalisata).
Kejang parsial dibagi menjadi:
- Kejang parsial sederhana, kesadaran masih ada selama serangan.
- Kejang parsial kompleks, kesadaran terganggu pada setiap tahap.
Kejang parsial dapat berkembang menjadi generalisata (kejang generalisata
sekunder).
Klasifikasi epilepsi berdasarkan karakteristik klinis dan EEG :
Klasifikasi berdasarkan penyebabnya
- Idiopatik (sebagian besar pasien), predisposisi genetik.
- Simtomatik
Neonatus: Trauma persalinan, perdarahan intrakranial, hipoksia,
hipoglikemia, hipokalsemia.
Anak-anak: Anomali kongenital, sklerosis tuberosa, penyakit
penimbunan metabolik.
19
Dewasa muda: Cedera kepala, obat-obatan dan alkhohol.
Dewasa: Tumor serebri
Usia Lanjut: Penyakit serebrovaskular. Penyakit degeneratif
(Alzeimer, penyakit prion).
Penyebab lainya:
Infeksi: meningitis, ensefalitis, bses, sisteserkosis
Inflamasi: sklerosis multipel (jarang), vaskulitis
Ensefalopatik metabolik
(Ginsberg, 2005)
Epilepsi yang terjadi pada masa dewasa:
1. Epilepsi generalisata primer
Epilepsi jenis ini sering bermula pada usia kanak-kanak, jikaterjadi
pada masa dewasa menimbulkan masalah yang sering dalam tatalaksana
dan merupakan tipe kejang tipikal terbanyak (tonik klonik atau grand mal)
dengan gejala khusus sehingga diperlukan deskripsi yang berbeda.
Biasanya sebelum serangan pasien merasakan gejala pusing atau mudah
teriritasi. Kejang dimulai dengan tangisan epileptik (epileptic cry). Pasien
kehilangan kesadaran dan jatuh. Pada fase awal yaitu fase tonik, terjadi
spasme otot generalisata, yang hanya berlangsung beberapa detik. Pada
fase berikutnya, fase klonik, terjadi sentakan otot tajam yang berulang.
Dapat terjadi lidah tergigit, inkontinensia urin dan salivasi. Ketika
sentakan otot berhenti, pasien tetap tidak sadar hingga sekitar 30 menit dan
kemudian merasa bingung dan mengantuk untuk beberapa jam. Saat
perbaikan biasanya timbul rasa nyeri kepala dan kekakuan atau cedera
akibat jatuh. Sering dijumpai keluhan nyeri punggung, bahkan spasme otot
dapat begitu keras dan mengakibatkan fraktur vertebra. Epilepsi seperti ini
bisa terkontrol dengan satu obat.
2. Epilepsi parsial
a. Epilepsi lobus temporal
Pada kejang ini, aura atau tanda peringatan sebelum serangan dapat
terdiri dari gejala psikis (seperti rasa takut, atau sensasi deja vu),
20
halusisnasi (olfaktorius, gustatorius, ataubayangan visual), atau hanya
sensasi tidak enak di epigastrium. Pasien menjadi gelisah, bingung, serta
menunjukkan gerakan yang teratus dan stereotipik (automatisme). Gerakan
ini yaitu gerakan mengunyah dan mengecapkan bibir, tetapi juga dapat
berupa gerakan yang lebih kompleks, kadang agresif dan kasar.
b. Epilepsi jacksonian
Serangan motorik fokal umumnya dimulai pada sudut mulut, ibu jari
dan jari telunjuk tangan, atau ibu jari kaki. Gerakan menyebar secara cepat
ke arah wajah atau ke arah anggota gerak (jacksonian march). Epilepsi
jacksonian umumnyadiakibatkan oleh penyakit otak organik, seperti tumor
pada korteks motorik. Setelah serangan, anggota gerak yang terkena akan
mengalami kelemahan sementara (paralisis todd).
(Ginsberg, 2005)
Epilepsi pada masa kanak-kanak dan remaja:
1. Kejang demam
2. Spasme Infantil (sindrom West)
3. Epilepsi absans (petit mal)
Kondisi ini umumnya dimulai pada masa kanak-kanak (onset puncak usia
4-8 tahun). Serangan terjadi tanpa peringtan, secara tiba-tiba anak
menunjukkan pandangan kosong dan berhenti berbicara. Mata dapat
bergetar atau berputar ke atas. Perbaikan terjadi dalam hitungan detik dan
dapat terjadi beberapa kali serangan dalam satu hari. Kelainan EEG
berupakompleks spike-wave simetris. Terap dengan natrium valproat,
etosuksimid.
4. Epilepsi mioklonik juvenilis (sindrom Janz)
Merupakan epilepsi generalisata primer yang terjadi pada usia remaja.
Trias sindrom ini adalah
- Kejang generalisata yang jarang, sering terjadi pada saat bangun.
- Absans disiang hari
- Gerakan menyentak involunter mendadak dan cepat (mioklonus),
biasanya terjadi pada pagi hari sehingga pasien dapat menumpahkan
21
sarapannyaatau melempar piring tanpa dapat diketahui penyebabnya.
Gambaran EEG-nya khas berupa polyspike-wave dan fotosensitivitas.
(Ginsberg, 2005)
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE
yaitu pada tahun 1981 dan tahun 1989. International League Against
Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi
berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum
- Absans (Lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik (Astatik)
- Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi
(Dewanto dkk, 2007)
22
F. Gejala Klinis
1. Serangan lobus temporal
Sering berhubungan dengan kelainan struktural, misalnya jaringan
parut akibat kejang demam pada masa kanak-kanak yang berlangsung
lama.
Aura
- Merasa pernah atau belum pernah mengalami peristiwa yang
sedang terjadi (deju vu)
- Timbul rasa atau bau yang tidak sedap
- Rasa tidak nyaman di epigastrium
Serangan
- Muka menyeringai
- Kerja motorik yang kompleks misalnya membuka baju
- Perilaku yang aneh
Post iktal
- Pemulihan biasanya cepat
- Amnesia terhadap kejadian serangan
2. Serangan epilepsi khas
Aura
- Biasanya < 1 menit
- Tergantung lokasi kejadian
Serangan
- Selama < beberap menit
- Jarang berlanjut sampai waktu yang lama
Fenomena pasca serangan
- Apabila umum, sanat mengantuk < beberapa jam
- Apabila fokal, kehilangan fungsi sementara
3. Serangan umum
- Sering melibatkan struktur diencephalon
- Petit mal terjadi pada masa kanak-kanak, jarang berlanjut ke
masa dewasa
23
- Epilepsi mioklonik
- Epilepsi akiresia, kehilangan tonus postural secara total dan tiba-
tiba
- Serangan grand mal
4. Serangan oksipital
- Menyebabkan kilatan bahaya pada penglihatan. Dapat
menyebabkan distorsi penglihatan yang kompleks.
5. Serangan sensoris fokal
- Rasa kesemutan yang merambat ke tubuh selama < beberapa
detik
- DD adalah migrain
6. Serangan motorik fokal (jacksonian)
- Kejang pada otak yang terkena
- Otot di sekitarnya ikut berkedut
- Paralisis selama beberapa jam
(Davey, 2005)
24
G. Diagnosis Banding
Gejala kejang organik (epileptik) dengan psikogenik/ histerik. Adanya stres
yag mendahului kejang, jangan langsung dianggap sebagai kejang histerik. Kita
harus curigai kemungkinan kejang organik bila didapatkan gejala seperti luka-luka
(akibat jatuh sewaktu kejang), mengantuk/tidur setelah kejang, aura tertentu
sebelum kejang (vertigo, dll), inkontinensia atau berak di celana sewaktu kejang
(pasti organik), pola kejang yang selalu sama, tidak sadar sewaktu kejang
(Juwono, 2000).
Pada kejang histerik, biasanya bila anamnesis teliti, akan terungkap bahwa
pederita samar-samar masih mengetahui sekeliling (suara orang-orang yang sibuk
menolongnya, dsb), di samping gejala-gejala seperti tempat kejang di dalam
kamar atau di tempat yang pola kejang yang selalu berubah-ubah, biasanya pada
wanita usia muda dengan kepribadian histerik dan sebagainya (Juwono, 2000).
Adanya reflek primitif (palmo mental reflek, grasping reflek, snout reflek,
sucking reflek) menunjukkan adanya disfungsi dari lobus frontalis, tetapi gejala-
gejala ini tidak bisa membedakan apakah akibat kelainan organik atau struktural
ataukah metabolik seperti pad koma hepatikum, uremikum dsb. Adanya reflek
tersebut disertai dengan kemunduran fungsi mental lain seperti gangguan daya
ingat (pikun), kecerdasan yang merosot curiga adanya sindroma demensia
(Juwono, 2000).
Diagnosis banding lainnya adalah:
1. Sinkop
Sinkop adalah hilangnya kesadaran yang disebabkan oleh penurunan
sementara aliran darah ke otak yang dapat disebabkan oleh banyak hal:
- Aritmia jantung
- Berdiri lama di lingkungan panas
- Faktor psikogenik, pingsan karena ketakutan
- Stimulasi vagal yang berlebihan misal, sinkop mikturisi, sinkop batuk.
Umumnya, pasien mengalami tanda-tanda peringatan awal sebelum ia
kehilangan kesadaran dan jatuh, seperti kepala terasa melayang, mual,
25
penglihatan kabur atau menyempit, pucat dan berkeringat. Jika pasien
telah berbaring dengan kepala dan jantung berada pada ketinggian yang
sama, maka perbaikan cepat terjadi.
2. Disritmia Jantung
3. Pseudoseizure
4. Hiperventilasi
5. Serangan iskemik transient
6. Migren
7. Narkolepsi
Jarang terjadi, tetapi memiliki empat gmbaran klinis berikut:
- Serangan tidur pada siang hari, biasanya berlangsung 10-20 menit,
dimana pasien akan bangun dan segar kembali, dan dapat terjadi pada
keadaan yang tidak tepat, misalnya pada percakapan, makan.
- Katapleksi episode hilangny kontrol postural dan kelemahan ekstrimitas
dengan kesadaran yang masih baik, seringkali disebabkan oleh kejadian
emosional, misalnya ketawa.
- Paralisis tidur ketidakmampuan untuk bergerak saat tertidur atau bangun
tidur.
- Hlusinasi hipnagogik, halusinasi visual yang menakutkan saat jatuh
tertidur.
- Penyebab gangguan ini masih belum dimengerti dengan baik. Hal ini
dapat diterapi dengan amfetamin, obat alternatif adalah modafinil.
8. Hipoglikemia
Gejala “peringatan” awal adalah kecemasan, tremor, tidak stabil,
berkeringat, dan kelaparan. Hilangnya kesadaran dapat lama (1 jam atau
lebih) dan dapat terjadi kejang.
9. Gangguan vestibuler
(Sanberg, 2005)
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Corwin tahun 2008, pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien kejang berupa:
26
1. Evaluasi Laboratorium, untuk menyingkirkan penyebab metabolik atau
kejang yang disebabkan oleh obat, hipoglikemia atau hipokalsemia.
2. EKG, untuk menyingkirkan adanya aritmia jantung.
3. Pungsi lumbal, untuk menyingkirkan infeksi misalkan meningitis atau
ensefalitis.
4. MRI, untuk mengidentifikasi lesi otak seperti tumor, abses, atau
malformasi vaskular sebagai penyebab kejang.
5. CT-Scan
6. EEG diagnosis jenis dan lokasi kejang yang terjadi., namun banyak pula
kasus epilepsi yang hasil EEG-nya normal. Hal ini disebabkan karena
pada pemeriksaan EEG rutin biasanya 20-30 menit saja dan waktu
tersebut tidak cukup lama untuk mendeteksi bangkitan episodik serangan
kejang. Selain itu, kadang-kadang fokus epilepsi berada jauh di dalam
otak sehingga tidak terekam pada EEG yang hanya di tempelkan pada
kulit kepala (Satyanegara, 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Aminah dkk tahun 2009, diketahui
bahwa terdapat pada 75% penderita epilepsi anak tidak ditemukan
abnormalitas saat rekaman bangun baik pada bangkitan umum maupun
fokal. Abnormalitas EEG 100% ditemukan pada rekaman bangun-tidur
dan tidur. Teknik perekaman bangun saja, tanpa tidur menurunkan
probabilitas abnormalitas EEG pada epilepsi (χ2=0,98).
Macam-macam Gambar hasil EEG:
a. EEG normal
27
b. EEG partial Seizure (Right frontal seizure)
c. EEG absanc Seizure
28
d. EEG Mioklonik seizure
e. EEG tonic atonic seizure
(Ginsberg, 2005)
I. Diagnosis
Diagnosis dalam Utoyo tahun 2007
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini
serangan kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan
melakukan wawancara baik dengan pasien, orangtua atau orang yang
merawat dan saksi mata yang mengetahui serangan kejang itu terjadi. Dengan
29
mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya dapat
memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada kebanyakan
kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang dialami pasien
(Sirven, 2005).
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut :
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi?
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Apakah ada deviasi
mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat
gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien
dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata
berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
“automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota
gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ?
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
6. Apakah ada faktor pencetus ?
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ?
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat
obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut
yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang?
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat
Riwayat medik dahulu
Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan
informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan
30
dengan serangan kejang dan pengetahuan tentang lesi yang mendasari dapat
membantu untuk pengobatan selanjutnya (Mardjono, 2003).
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun
proses persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory
distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah
serangan kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang
demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang
disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat
adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?
Riwayat sosial
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien
epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan
sekaligus untuk bahan evaluasi (Mardjono, 2003).
1. Apa latar belakang pendidikan pasien?
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya?
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor?
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral?
5. Apakah pasien peminum alkohol?
Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah
ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya
dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai
31
contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“
benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik
disertai kejang demam plus (Mardjono, 2003).
Riwayat allergi
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi,
perlu dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek
reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini
terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari
atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas (mardjono, 2003).
Riwayat pengobatan
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu
ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari
dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak
efek sampingnya (Mardjono, 2003).
J. Tatalaksana
Prinsip pengobatan epilepsi:
1. Pemilihan obat
2. Strategi pengobatan, dimulai dari monoterapi kemudian ditingkatkan
dosisnya sampai optimal, jika tidak teratasi ganti obat anti epilepsi (OAE)
lini ke-2.
3. Konseling, penggunaan OAE jangka panjang tidak akan menimbulkan
perlambatan mental, dan pencegahan kejang 1-2 tahun.
4. Tindak lanjut, awasi pasien secara berkala, evaluasi ulang fungsi
neurologis secara rutin.
5. Pananganan jangka panjang, sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
6. Penghentian obat, dilakukan bertahap, jika tiba-tiba ditakutkan akan terjadi
status epileptikus
(Dewanto dkk, 2007)
Penatalaksanaan epilepsi dapat berupa terapi konservatif (obat-obatan) dan
terapi operatif. Pemilihan obat untuk epilepsi ditentukan oleh jenis kejang dan
juga berdasarkan gangguan penyerta yang ada pada pasien tersebut. Pengobatan
32
medis bertujuan untuk mengendalikan epilepsi yaitu untuk mencegah terjadinya
serangan. Ada empat obat yang ternyata bermanfaat fenitoin, karbamazepin,
fenobarbital dan asam valproat. Penambahan obat diberikan bila monoterapi
gagal untuk mengatasi serangan kejang. Pemberian antikonvulsan adalah
mengupayakan dosis yang konstan dalam serum darah (Satyanegara, 2010).
Tabel Pemilihan Oae Didasarkan Atas Jenis Bangkitan
Jenis bangkita
n
Oae lini pertama
Oae lini kedua
Oae yang dipertimbangka
n
Oae yang dihindari
Bangkitan umum tonik klonik
Sodium valproate
LamotrigineTopiramate
Carbamazepin
e
ClobazamLevetiracetamOxcarbazepin
e
ClonazepamPhenobarbital
PhenytoinAcetazolamide
Bangkitan lena
Sodium valproate
Lamotrigine
ClobazamTopiramate
Carbamazepi ne
GabapentinOxcarbazepine
Bangki-Tan
mioklo-
nik
Sodium valproate
Topiramate
ClobazamTopiramate
LevetiracetamLamotriginePiracetam
Carbamazepi ne
GabapentinOxcarbazepine
Bangki- tan tonik
Sodium valproate
Lamotrigine
Clobazam levetiracetamTopiramate
Phenobarbital Phenytoin
Carbamazepine
OxcarbazepineBangki-
tan atonikSodium
valproateLamotrigine
Clobazam levetiracetamTopiramate
Phenobarbital Acetazolamide
Carbamazepine
OxcarbazepinePhenytoin
Bangki- tan fokal dengan /
tanpa umum
sekun- der
Carbamazepine
OxcarbazepineSodium
valproateTopiramateLamotrigine
ClobazamGabapentin
levetiracetamPhenytoinTiagabine
ClonazepamPhenobarbital Acetazolamide
33
Tipe Kejang Obat Pilihan
Parsia Karbamzepin
Natrium Valproat
Fenitoin
Lamotrigin
Absans Etosuksimid
Natrium Valproat
Lamotrigin
Mioklonik Natrium Valproat
Klonazepin
Lamotrigin
Tonik Klonik Generalisata Natrium valproat
Fenitoin
Karbamazepin
Lamotrigin
Antikonvulsan bru, selain lamotrigin, tidak diizinkan untuk monoterapi, tetapi
berperan penting sebagai terapi tambahan, terutama untuk kejang parsial yang
resisten terhadap terapi tunggal obat lini pertama.
(Ginsberg, 2005)
Terapi bedah saraf dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsi yang terus
menerus, refrakter terhadap dosis maksimal antikonvulsan terutama pada pasien
dengan lokasi onset kejang yang jelas (Ginsberg, 2005).
(Satyanegara, 2010)
34
Keputusan untuk menghentikan pengobatan pada pasien dewasa ditentukan
oleh:
1. Durasi remisi
2. Tipe epilepsi
3. Efek rekurensi kejang saat mengemudi dan bekerja
4. Efek samping pengobatan
(Gansberg, 2005)
K. Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi,
faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Pada 50-
70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obatan, sedangkan
sekitar 50% pada suatu waktu dapat berhenti minum obat. Serangan epilepsi
primer seperti serangan lena atau absence mempunyai prognosis terbaik,
sebaliknya serangan pertama mulai pada usia 3 tahun menpunyai prognosis relatif
jelek termasuk kombinasi antara grand mal, epilepsi traumatik, kumpulan episode,
tanda-tanda fisik dan retardasi mental (Rubeinstein, 2007).
DAFTAR PUSTAKA35
Aminah, S., Gamayani, U., Amalia, L., 2009. Peran Teknik Perekaman EEG
dalam Diagnosis Penderita Epilepsi pada Anak.
http://repository.unpad.ac.id/handle/123456789/277diakses tanggal 19
November 2013
Brashers, L. V., 2001. Aplikasi Klinis Patofisiologi pemeriksaan dan Manajemen.
Jakarta: EGC. hal 309
Corwin, E. J., 2008. Buku Saku Patofisiologi edisi 3. Jakarta: EGC hal 242
Davey, P., 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga hal 385
Dewanto, G., Suwono, W. J., Riyanto, B., Turana, Y., 2007. Panduan Praktis
Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC hal 80
Ginsberg, L., 2005. Neurologi. Jakarta: Erlangga. hal 79-85
Harsono (2001) : Epilepsi, edisi 1. Yogyakarta: UGM pers
Juwono, T., 2000. Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek. Jakarta: EGC
Mardjono M (2003) : Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan
Penatalaksanaannya dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi &
Neurologi, Agoes A (editor); 129-148.
Rubenstein, D., Wayne D., dan Bradley, J., 2007. Kedokteran klinis edisi keenam.
Jakarta: Erlangga hal 104-109
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah saraf. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hal 474
Shorvon S. 2000. Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science, hal 25-36
Sirven J.I, Ozuna J (2005) : Diagnosing epilepsy in older adults, Geriatricts,
60,10: 30-35.
Utoyo Sunaryo. 2007. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Volume 1 edisi 1 Januari.
Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma. Hal 1-60
36