caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

  • Upload
    ekho109

  • View
    225

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    1/27

    Santa

    Senin, 15 Desember 2014

    Semuanya diawali dengan imajinasi dan keinginan bergembira.

    Santo Nikolas pun jadi Sinterklas dan jadi Santa Klaus. Nun di benua yang dingin, legenda

    tentang seorang suci di abad ke-4 berkembang jadi tradisi yang tak jelas lagi asal-usul dan

    unsur-unsurnya. Ada bekas kepercayaan orang Jerman sebelum Kristen tentang Dewa Odin,

    tapi ada juga gambaran yang dibentuk lewat sebuah sajak yang tersiar di abad ke-19 dan

    kemudian diperkuat sebuah iklan Coca-Cola.

    Ia makhluk asing yang tak disebutkan Injil. Ia produk Eropa yang dirakit di Amerika.

    "Ia tampak seperti seorang penjaja yang membuka kantong dagangannya," demikian ia

    dideskripsikan dalam sajak yang ditulis Clement Moore menjelang Natal 1822. "Pipinya

    merona seperti mawar, hidungnya seperti sebutir buah ceri, mulut kecilnya yang lucu

    melengkung seperti busur, dan perutnya kecil bulat, terguncang-guncang bila ia tertawa."

    Moore sebenarnya bukan seorang penyair; ia guru besar theologi di sebuah sekolah tinggi

    Kristen di New York. Sajak itu ditulisnya untuk dibaca di lingkungan keluarganya sendiri di

    malam Natal. Tak disangkanya profil manusia ajaib yang dikhayalkannya itu (yang ketika itu

    masih disebut "St. Nicholas") kemudian menyebar dan merasuk ke dalam hidup orang

    Amerika.

    Mungkin di negeri Protestan itu tersirat niat untuk menampilkan seorang santo yang lain dari

    yang diproyeksikan Gereja Katolik: orang "suci" ala Amerika ini gembil dan gendut.

    Mungkin ada sebab lain: St. Nicholas jadi Santa Klaus yang kocak, ramah, dan pemurah

    karena orang-orang--dimulai di Belanda--menghendaki sejenak kegembiraan. Mereka tak

    ingin terus-menerus takluk dipelototi para rohaniwan Calvinis yang mengharamkan sukacita

    lahiriah.

    Atau mungkin sebab lain: di New York pada dua dasawarsa pertama abad ke-19 itu, ketika

    kapitalisme tumbuh dan bank-bank besar mulai didirikan, ada kebutuhan membuat keajaiban

    akrab kembali. Maka berkembanglah imajinasi tentang seseorang yang datang malam-malam

    dari negeri misteri dan masuk ke rumah diam-diam melalui cerobong asap. Ia tak

    menakutkan. Sekilas tampak sebagai seorang penjaja, ia sebenarnya tak berjualan apa-apa; ia

    malah membagi-bagikan mainan gratis.

    Tapi jika "adat" itu dianggap sebagai subversi terhadap masyarakat yang dikuasai jual-beli,

    "perlawanan" itu tak bisa bertahan. Dengan segera kapitalisme menangkap dan menyulap

    tokoh dongeng ini.

    Konon kostumnya yang merah-putih itu berasal dari penampilannya dalam serangkaian iklan

    Coca-Cola tahun 1940-an--meskipun sebenarnya Santa sudah tampil seperti itu dalam

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    2/27

    ilustrasi yang dibikin Norman Rockwell di sampul majalah The Country Gentlemenpada

    1921. Bagaimanapun, modal dan media massa mencetaknya dengan sebuah identitas yang

    diulang-ulang. Ia dibuat agar mudah dikenali dan diingat sebagaimana lazimnya komoditas.

    Tanpa kejutan, tanpa ketakjuban.

    Dan dengan energi baru Santa Klaus pun menembus pusat-pusat belanja. Ia bagian darisekularisasi Natal, ketika saat yang disebut dengan syahdu dalam lagu "Malam Sunyi" itu

    ditarik keluar dari ruang yang takzim dan jadi bagian pasar yang meriah. Natal dan ke-

    Kristen-an berpisah. Di Jepang yang tak percaya Yesus, misalnya, ketika orang bersuka ria

    dengan pesta bounenkai(mari-lupakan-ini-tahun) di ujung Desember, satu acara Natal yang

    menarik dibuat di Roppongi: "Sexy Santa Party".

    Orang-orang Kristen yang alim akan merengut, tentu, melihat hura-hura Santa macam itu--

    yang makin menegaskan pemisahan Natal dari iman. Tapi umumnya kita lupa, orang

    Protestan sendiri pernah mengharamkan Natal. Ketika mereka menguasai Inggris, pada 1647,

    Parlemen menyatakan Natal sebagai "festival kepausan",papal festival,yang tak berdasarkan

    Alkitab. Di Boston, Amerika, perayaan Natal dilarang selama 20 tahun sejak 1659. Baru di

    pertengahan abad ke-19 orang Boston terbiasa bilangMerry Christmas.Kini di kota itu

    bahkan bisa dibaca iklan "Santa Claus for Hire", menawarkan tenaga-tenaga yang bisa

    memerankan Santa Klaus buat pesta.

    Santa yang disewakan, yang bisa dipertukarkan, dengan segera jadi Santa yang muncul di

    segala sudut dunia seperti McDonald's dan Starbucks. Di abad ke-19 Thomas Nast

    menggambar sosoknya di majalahHarper's Weeklydengan wajah orang pedalaman yang

    kasar: ia dikesankan sebagai penghuni Kutub Utara yang belum dijinakkan peradaban. Kini ia

    lebih necis dan borjuis, bergerak tanpa paspor tanpa visa.

    Mungkin sebab itu pemerintah Kanada membuat satu kampanye jenaka: Desember 2008,

    Santa Klaus diberi status warga negara. Kata menteri urusan kewarganegaraan, Santa "berhak

    kembali ke Kanada setelah perjalanannya melanglang dunia selesai".

    Apa salahnya jenaka? Santa tohbagian kegembiraan (dan barang dagangan) yang tak perlu

    pikiran mendalam.

    Goenawan Mohamad

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    3/27

    Mati

    Sabtu, 13 Desember 2014

    Putu Setia

    Mati adalah hak prerogatif Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu kapan waktu itu tiba. Kalau

    begitu, kenapa ada manusia yang bisa merencanakan kematian seseorang yang dibenarkan

    secara hukum?

    "Kamu mulai memancing perdebatan yang tak habis-habisnya," kata bayanganku. "Kamu

    mau mengatakan yang merencanakan kematian seseorang itu para jaksa kan? Lalu hakim

    bersepakat dan presiden tidak memberikan ampunan. Lantas ada perintah penembakan dan 12anggota Brimob mengokang senjata laras panjangnya: dorr... Berita pun menyebar, terpidana

    mati sudah dieksekusi."

    Sudah kuduga, bayanganku selalu mengajak berdebat, bukan aku yang memulai. Betul, aku

    mempertanyakan apakah hukuman mati masih layak di bumi ini. Apakah mati itu sebuah

    hukuman kalau kita berbicara konsep adanya lembaga pemasyarakatan? Bukankah lembaga

    ini tempat orang bertobat, menyesali perbuatan dosanya, dan pada saatnya kembali ke

    masyarakat? Bukankah Tuhan Maha Pengampun?

    "Kamu sudah membawa-bawa nama Tuhan pula," sahut bayanganku. "Lihat pengedar

    narkoba itu, berapa besar korban akibat ulahnya. Divonis mati pun masih tetap

    mengendalikan bisnis narkobanya dari penjara. Aku mendukung Presiden Jokowi yang

    menolak grasi 64 terpidana mati narkoba. Juga para pembunuh kejam di negeri ini, termasuk

    teroris yang dengan enteng membunuh orang lewat aksi bomnya."

    "Bagaimana kalau ternyata ada kesalahan dalam proses hukum atau ada unsur suap dan

    rekayasa lain. Orang mati tak bisa dihidupkan lagi," kataku.

    "Karena itu, ada proses, tidak ujuk-ujuk.Ada pengadilan tingkat pertama, ada banding, ada

    kasasi, ada peninjauan kembali yang bisa diulang kalau ada novumbaru, ada permohonan

    grasi. Dalam proses yang panjang itu, kesalahan bisa nihil."

    Ah, bayanganku ini ngeyel. Mendingsetelah proses panjang itu final, terpidana langsung

    dieksekusi. Penundaan kelewat panjang tanpa ada lagi proses hukum justru mengabaikan hak

    asasi terpidana dan seolah dapat dua hukuman dalam satu kasus. Contoh Ibu Sumiarsih dan

    anak kandungnya, Sugeng. Masih ingat cerita ini? Lima anggota keluarga Sumiarsih, suami

    dan dua anaknya, plus satu menantu, membantai keluarga Letkol Marinir Purwanto di

    Surabaya. Yang dibantai pun lima pula, Purwanto dan istri, dua anaknya, dan satu keponakan.

    Itu terjadi pada 23 Agustus 1988. Pengadilan Surabaya menjatuhkan hukuman mati kepada

    lima anggota keluarga Sumiarsih. Djais Adi Prayitno, suami Sumiarsih, meninggal di penjara

    karena sakit. Lainnya dieksekusi dengan segera. Tetapi Sumiarsih dan Sugeng baru ditembakmati pada 18 Juli 2008.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    4/27

    Apakah kau merasakan penantian yang tak kunjung jelas itu hampir 20 tahun? Selama itu

    Sumiarsih bertobat dan mohon pengampunan dan dia telah menjadi "anggota masyarakat" di

    dalam dua lembaga pemasyarakatan: Malang dan Surabaya. Tiba-tiba ada keputusan untuk

    didor. Rumor menyebutkan, Sumiarsih dan Sugeng didor karena ada protes dari pihak

    Amrozy, terpidana mati Bom Bali. Kenapa Amrozy harus dieksekusi, padahal ada terpidanamati jauh sebelumnya yang masih tenang di penjara.

    "Aku tak mau dengar rumor itu," kata bayanganku. "Aku berdiri di pihak korban. Masih

    lumayan Sumiarsih diberi hidup 20 tahun agar bisa memohon pengampunan, tapi apakah itu

    bisa menghidupkan lima anggota keluarga Marinir yang dibunuh dengan keji?"

    "Ini balas dendam, ini bukan konsep lembaga pemasyarakatan," aku menjawab cepat.

    Bayanganku juga menimpali cepat, "Kalau tak mau dibalas dengan dendam, jangan memulai

    sesuatu yang menimbulkan dendam. Dendam ada kalanya memberi efek jera."

    Aku diam. Ini contoh debat kusir yang tak berujung.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    5/27

    Menekan Segmen Pasar Oplosan

    Senin, 15 Desember 2014

    Flo. K. Sapto W, Praktisi Pemasaran

    Selama 36 tahun setelah perang saudara di padang Kurusetra, Kresna kembali memegang

    takhta kerajaan Dwarawati. Saat itu, zaman sudah memasuki kaliyuga(kegelapan). Rakyat

    terpuruk dalam hedonisme. Sebagian gemar menimbun harta dan berpesta. Aparatur kerajaan

    memiliki hobi melakukan korupsi. Anak mudanya terbiasa menenggak minuman keras

    sampai mabuk. Syahdan Samba, putra Kresna, bahkan sempat dikutuk oleh seorang

    brahmana.

    Satyaki, sepupu Kresna, yang sedang berpesta minuman keras di pantai, terlibat cekcok

    dengan Kertawarma. Cekcok berlanjut dengan perkelahian antara dua kelompok besar di

    Kerajaan Dwarawati. Masing-masing menggunakan ilalang yang tumbuh di pinggir pantai

    sebagai senjata. Konon ilalang ini merupakan tumbuhan yang berasal dari serbuk abu gada

    besi yang keluar dari perut Samba. Anehnya, ilalang itu berubah menjadi setajam pedang.

    Bentrokan tersebut menewaskan hampir seluruh rakyat Dwarawati.

    Bima dalam lakon Bale Sigala-galamenolak minuman keras yang disodorkan para

    Korawa. Penolakannya ini mungkin karena pernah terperdaya sebelumnya oleh Duryudana.

    Kala itu, Bima dalam keadaan mabuk dimasukkan ke dalam sumur Jalatunda yang penuh

    dengan ular berbisa. Kini, Bima tidak mau tertipu lagi. Sikapnya yang menolak mabuk

    akhirnya menyelamatkan keluarga Pandawa dari kebakaran.

    Ilustrasi di atas adalah gambaran dampak lebih jauh yang di minuman keras. Relevan saat

    dikaitkan dengan tewasnya 27 orang dari 100 orang korban miras oplosan di Garut, 2 orang

    di Sukabumi, dan 1 orang di Yogyakarta (Koran Tempo, 11/12/14).

    Bagaimana sebaiknya minuman keras oplosan ini ditanggulangi? Faktanya, sebagianmasyarakat kita memiliki sebuah kebutuhan akan produk oplosan.

    Abraham Maslow memaparkan lima hierarki kebutuhan yang ada dalam setiap individu

    (Robbins, 2005), yaituphysiological(sandang, pangan, papan, seks);safety(fisik dan psikis);

    social(dihargai, diterima, persahabatan); esteem(status sosial, dikenal, pencapaian); dan self-

    actualization(kepenuhan pribadi, pencapaian potensi diri).

    Kelima kebutuhan dasar manusiawi itu secara umum terwujud dalam kebutuhan akan

    pekerjaan yang layak dan ketersediaan ruang untuk aktualisasi. Kedua hal itu akan mandek

    jika pemerintah dan masyarakat tidak saling berbagi dan menyediakan diri satu sama lain.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    6/27

    Salah satu hal yang terlihat ironis adalah ketika lapangan pekerjaan yang layak tidak cukup

    tersedia dan sejumlah ekspresi budaya serta ruang publik (pentas musik, kesenian daerah,

    ritual kepercayaan, taman kota, dan lapangan) dibubarkan secara paksa atau digusur,

    sementara yang tersaji secara murah-meriah adalah produk oplosan. Maka segala bentuk

    pelampiasan atau pelepasan yang berbiaya murah akan diambil oleh golongan masyarakat ini.Meski regulasi distribusi yang super protektif sarat akan ancamansweeping.

    Sudah tentu solusi strategis bagi situasi ini adalah peningkatan daya beli masyarakat yang

    masuk segmen konsumen oplosan. Bukan sekadar ancaman pemecatan pejabat struktural di

    daerah ataupun penyitaan dan larangan ketat yang hampir pasti temporer. Jika taraf

    kehidupan yang lebih baik sudah terkondisi, segmen pasar oplosan akan tereduksi dengan

    sendirinya. Selebihnya adalah pilihan. Toh, Samba, Satyaki, dan Kertawarma, yang notabene

    keluarga ningrat atau kelas masyarakat atas, tetap binasa juga karena miras.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    7/27

    Laporan dari Omah Munir

    Senin, 15 Desember 2014

    Seno Gumira Ajidarma, Wartawanpanajournal.com

    Seminggu lalu, Senin, 8 Desember 2014, saya berada di Omah Munir, di Kota Batu, Malang,

    Jawa Timur. Itulah tanggal kelahiran Munir Said Thalib, yang jika tidak meninggal akibat

    konsentrasi Arsenik 3 sebanyak 0,460 miligram per liter yang menyebabkan blokade reaksi

    detoksifikasi, Selasa 7 September 2004 di udara, dalam pesawat Garuda, 40 ribu kaki di atas

    tanah Rumania, tentu kini berusia 49 tahun.

    Tertera pada poster pameran instalasi fotografi Fanny Octavianus dan Yaya Sung yang

    dibuka siang itu tulisan, "49-39 = 10 th Menolak Lupa". Sementara "jalan 39" merupakan

    usianya pada akhir hayat, sudah 10 tahun orang tidak lupa bahwa Munir dibunuh. Jadi bukan

    hanya meninggalnya Munir yang tak hilang dari ingatan, tapi juga kecenderungan untuk

    melupakannya sebagai trauma yang tidak ingin diingat ataupun sebagai sikap menghindari

    tanggung jawab.

    Sebagai kurator pameran, mengapa saya memilih kata "menolak", bukan "melawan" yang

    nyaris menjadi baku dalam seruan "melawan lupa"? Sebab, meski "melawan" mungkin lebih

    heroik, dalam cara berpikir dialektik kata itu merupakan antitesis yang belum ketahuan

    sintesisnya, sedangkan "menolak" adalah sintesis definitif sebagai kelanjutan tindak melawan

    itu.

    Sementara dengan kata "melawan" penyandangnya terposisikan sebagai kelompok marginal,

    yang melawan proyek pembiaran (baca: kesengajaan untuk melupakan) dari kelompok

    dominan, kata "menolak" merupakan sintesis definitif yang penyandangnya boleh dianggap

    terposisikan sebagai kelompok dominan, sehingga siapa pun yang berpura-pura

    melupakannya bolehlah diandaikan sebagai "yang lain"--yang tentu saja tidak perlu

    berkonotasi tertindas, kasihan, eksotik, atau heroik, melainkan apa pun yang berkonotasinegatif, sebagai makhluk yang tidak layak mendapat simpati karena kesengajaannya yang

    tidak termaafkan.

    "Menolak lupa" menjadi ukuran, standar, patokan, dan akal sehat, wacana dominan dan absah

    dalam klaim atas normalitas--yang normal adalah yang menolak lupa, yang abnormal adalah

    yang lupa--ketika menganggap terbunuhnya Munir, jika bukan "baik dan benar" (menurut

    para pelakunya), setidaknya "bukan urusan saya" (menurut publik apatis produk Orde Baru).

    Namun catatan ini belum menjadi laporan jika tidak saya sampaikan bahwa pada hari itu

    secara formal dan resmi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memberi

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    8/27

    penghargaan kepada almarhum Munir. Mengingat pada 29 November sebelumnya

    Pollycarpus Budihari Prijanto, yang telah dinyatakan bersalah, dibebaskan bersyarat dan

    menimbulkan gelombang reaksi pernyataan "melukai rasa keadilan", penghargaan Komnas

    HAM dapat terbaca sebagai manuver pada saat yang tepat.

    Sebetulnya, istri almarhum Munir, Suciwati diminta datang ke Yogya untuk menerima

    penghargaan tersebut pada Hari Hak Asasi Manusia Sedunia pada 10 Desember, yang juga

    diberikan kepada almarhumah Maria Ulfah Soebadio, sebagai orang pertama yang

    memasukkan "ayat-ayat HAM" dalam perundang-undangan, tapi Suciwati tidak bersedia.

    "Udah sebelya?" Tanya saya ketika cari jajanan sore-sore sebelum kembali ke Jakarta.

    "Wah, udah enggak sebellagi Mas, saya udah sampai pada tahap, tahap. apa ya."

    Saya tidak ingat apakah kemudian Suciwati menemukan suatu kata yang bisa menerjemahkan

    pendapat ataupun suasana hatinya. Tapi menurut saya sangat penting untuk

    menggarisbawahi: tidak terlalu mudah dalam posisi Suciwati untuk menerima, bukan sekadar

    terdakwa kasus pembunuhan Munir yang bisa dibebaskan bersyarat "sesuai dengan

    prosedur", tapi juga bahwa otak pembunuhan Munir belum terungkap. Tepatnya, belum

    terungkap secara hukum.

    "Apakah Mbak Uci itu tidak terlalu keras ya, Mas?" seorang aktivis bertanya tentang sikap

    Suciwati, bukan kepada Komnas HAM, melainkan sikapnya secara umum atas keterbunuhan

    Munir yang telah menjadi komoditas politik.

    "Mbak Uci itu istrinya Munir," kata saya, "apalagi yang bisa diharapkan dari seorang istri

    yang suaminya dibunuh?"

    Hari itu adalah kali pertama saya berada di Omah Munir karena proses kurasi kami lakukan

    di Jakarta. Setelah cukup berjarak, dapatlah saya tangkap, di balik kekerasan sikapnya

    (bertemu dengan presiden pun tidak mau jika tidak ada langkah yang berarti) sebetulnya

    Suciwati melakukan aktivisme dengan apa yang disebutsoft power.

    Sebagai museum yang sangat kecil, Omah Munir ternyata amat sangat penting karena

    merupakan satu-satunya museum di Indonesia yang mengabdi kepada penyadaran hak asasi

    manusia. Bukan otak pembunuhan Munir lagi, entah siapa dia, yang menjadi "musuh"

    Suciwati, melainkan anasir-anasir kejahatan sebagai potensi manusia yang membutuhkan

    tidak sembarang konsistensi untuk melawannya.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    9/27

    Jokowi, dan Bangsa yang Pemurah

    Selasa, 16 Desember 2014

    Agus Sudibyo,Direktur Eksekutif Matriks Indonesia, Redpel Jurnal Prisma

    Tahun 2014 adalah tahun politik. Bangsa Indonesia menyelenggarakan hajat besar pemilihan

    umum legislatif dan pemilihan presiden. Dari segi penyelenggaraan, ini adalah pemilu yang

    paling heboh dan penuh konflik. Begitu keras pertentangan politik diametral yang terjadi,

    begitu kasar kampanye negatif yang dilakukan, begitu masif politik uang yang dipraktekkan,

    serta begitu kasar pelanggaran dan kecurangan yang dilakukan para tim sukses. Kontroversi,

    silang pendapat, dan perang opini terus terjadi sejak awal tahun, bahkan hingga saat ini ketikapemilu telah selesai jauh-jauh hari.

    Hiruk-pikuk politik itu tampaknya membuat masyarakat lelah. Masyarakat jenuh dengan

    situasi politik yang terus memanas. Masyarakat juga jengah dengan semua bentuk omong

    kosong para politikus. Masyarakat ingin segera beranjak ke normalitas keadaan, kembali ke

    pekerjaan dan kehidupan masing-masing. Masyarakat berpikir, hiruk-pikuk politik

    seharusnya hanya terjadi lima tahun sekali, selebihnya biarkanlah roda kehidupan sosial-

    ekonomi berputar secara alamiah, normal, tanpa direcoki gejolak pada aras kehidupan

    politik.

    Inilah salah satu penjelasan mengapa respons masyarakat terhadap keputusan pemerintah

    menaikkan harga BBM terkesan biasa-biasa saja. Tidak ada kehebohan seperti yang

    dibayangkan, tidak terjadi drama protes sosial sebagaimana pernah terjadi sebelumnya. Yang

    ada hanyalah demonstrasi-demonstrasi yang bersifat sporadis.

    Sebagian pengamat menyatakan respons masyarakat yang biasa-biasa itu ada karena

    popularitas Presiden Jokowi yang masih tinggi. Tapi benarkah masyarakat sedemikian fanatik

    terhadap presidennya sehingga keputusan yang jelas-jelas memberatkan kehidupan

    masyarakat pun diterima tanpa keberatan berarti? Bisa jadi benar kenaikan harga BBM sulitdihindari oleh pemerintah. Namun kenaikan harga sekitar Rp 2.000 itu jelas menyusahkan

    rakyat banyak. Menurut saya, mayoritas bangsa Indonesia kecewa atas kenaikan harga BBM,

    dan menyesal mengapa Presiden Jokowi tidak mengambil langkah lain.

    Namun sebagaimana telah dijelaskan, bangsa Indonesia sudah capek dengan hiruk-pikuk

    politik. Masyarakat tidak menginginkan gonjang-ganjing politik yang ujung-ujungnya hanya

    dimanfaatkan oleh para politikus untuk maksud-maksud partikular, tanpa menghasilkan

    solusi yang sungguh-sungguh menguntungkan masyarakat. Mungkin kedengarannya seperti

    fatalis. Namun masyarakat Indonesia sudah menganggap kenaikan gradual harga-harga

    kebutuhan bahan pokok sebagai suatu keniscayaan yang akan terjadi terus-menerus. Mereka

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    10/27

    umumnya menganggap kenaikan biaya hidup sebagai suatu rutinitas tahunan, sebagai suatu

    normalitas, yang tidak pernah sungguh dipersoalkan apa penyebabnya.

    Di perdesaan pulau Jawa, masyarakat sudah terbiasa menyebut uang sejuta rupiah dengan

    sebutan "sewu" yang artinya adalah seribu rupiah. Realitas ini secara simbolis menunjukkankenaikan gradual harga-harga kebutuhan pokok dan biaya hidup sampai kepada keadaan yang

    sangat ekstrem: uang sejuta rupiah sama nilainya dengan uang seribu perak. Masyarakat

    umumnya menerima keadaan ini sebagai konsekuensi "perubahan zaman" dan jarang sekali

    sungguh-sungguh mempersoalkannya secara politis. Sepertinya masyarakat sadar bahwa

    negara memang selalu hadir ketika membutuhkan rakyatnya, ketika menuntut ketaatan

    warganya, namun sebaliknya, negara sering absen ketika benar-benar dibutuhkan rakyatnya.

    Presiden Jokowi patut merasa beruntung hidup di dalam masyarakat yang pemurah dan

    mudah menerima keadaan. Masyarakat yang tidak banyak menuntut para pemimpinnya.

    Masyarakat yang terbiasa menyelesaikan sendiri kesulitan hidupnya, tanpa banyak menunggu

    uluran tangan pemerintah, masyarakat yang bahkan mungkin masih memendam trauma

    berhadap-hadapan dengan birokrasi. Presiden Jokowi juga patut berterima kasih kepada

    masyarakat Indonesia. Andai saja muncul reaksi penolakan keras dari akar rumput atas

    keputusan menaikkan harga itu, kesulitan Presiden Jokowi niscaya berlipat-lipat. Tuntutan

    interpelasi menemukan sumbu ledaknya.

    Sejarawan menyatakan, bangsa Indonesia adalah bangsa yang pemaaf. Bangsa yang mudah

    memaafkan kesalahan atau kelemahan para pemimpinnya. Celakanya, makna "pemaaf" di

    sini begitu dekat dengan makna pelupa. Masyarakat lupa Presiden Jokowi pada masa lalujuga pernah menolak ide kenaikan harga BBM. Masyarakat juga lupa PDIP dan Megawati

    paling galak dalam menolak rencana pemerintah SBY mencabut subsidi BBM suatu ketika.

    Jika saja ingat akan hal itu, masyarakat mungkin tetap memaklumi kenaikan harga BBM,

    namun menyayangkan sikap inkonsisten para pemimpinnya.

    Selanjutnya, bagaimana Presiden Jokowi akan membalas kemurahan hati bangsa Indonesia

    itu? Presiden Jokowi harus membuktikan tekad memberantas mafia migas bukan sekadar

    retorika yang akan layu-sebelum-berkembang. Presiden Jokowi juga harus membuktikan,

    pemerintahannya lebih baik dalam mewujudkan kedaulatan rakyat atas pengelolaan energi

    dan sumber daya alam di Indonesia. *

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    11/27

    Indonesia dalam Teh

    SELASA, 16 DESEMBER 2014

    Priyadi, Santri di Bilik Literasi, Solo

    Masyarakat Indonesia biasa menyediakan teh untuk tamunya. Di perdesaan, hal itu masih

    tetap berlaku meski sang tuan rumah kadang mengatakan, "maaf, hanya ada teh" (Koran

    Tempo, 22 November 2009). Teh tak hanya menjadi suguhan untuk tamu, tapi kadang juga

    untuk oleh-oleh saat menjenguk orang sakit. Teh menjadi "perekat solidaritas dan

    perwujudan" empati masyarakat kelas bawah. Di perkotaan, hidangan teh telah mulai surut.

    Kebiasaan menyajikan teh untuk tamu diganti dengan air mineral dalam gelas plastik!

    Jutaan warung-warung sederhana dan PKL penjual makanan, seperti mi ayam, pecel, gado-

    gado, bakso, dan lainnya, memasang teh sebagai menu wajib. Penjual biasa menyediakan

    pelbagai varian menu untuk tehnya.

    Teh tak hanya dikonsumsi oleh pejabat sekelas presiden, tapi juga rakyat jelata. Di meja

    jamuan, obrolan Presiden Jokowi dan SBY adalah untuk memikirkan rakyat Indonesia. Di

    meja makan dalam sebuah warung sederhana, teh menjadi teman ngobrolburuh saat

    makanan sudah dilahap habis. Obrolan di warung tak jarang membincangkan para pejabat

    dan nasib Indonesia. Mereka sering menjadi komentator politik. Komentar mereka seringlebih panas daripada pengamat politik di televisi. Kita memang bisa memperkirakan bobot

    obrolan, komentar, dan dampaknya dari dua kelompok tersebut (elite-jelata). Namun kita tak

    bisa mengelak bahwa rakyat dan pejabat bisa saling mencoba mengerti dengan ditemani teh.

    Populernya teh di Indonesia menjadi bisnis menggiurkan. Faktor uang membuat berhektare-

    hektare tanah di Indonesia telah dijadikan perkebunan teh. Hingga 2013, Badan Pusat

    Statistik merilis bahwa luas perkebunan teh besar dan milik rakyat terus meningkat. Teh dan

    produknya pernah membawa seorang pengusaha minuman ini masuk jajaran sepuluh orang

    terkaya di Indonesia. Teh juga menjadi produk ekspor Indonesia. Namun meningkatnya

    penyerapan teh dalam negeri telah membuat nilai ekspor turun pada 2014. Ekspor teh selama

    Januari-September turun 14,4 persen dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya

    (Koran Tempo, 10 Desember 2014).

    Teh yang diimpor oleh Belanda ke Indonesia pada abad XVII itu telah mempengaruhi

    masyarakat Indonesia. Pengaruh dari teh juga terlihat dalam karya sastra dan koran pada abad

    XX. Hella S. Haasse, penulis Belanda yang lahir di Batavia, menulisHeren van de Theeyang

    mengisahkan juragan teh dan pribumi tak banyak memiliki arti dalam perannya sebagai buruh

    dalam novel itu. Dalam novel tipis Oeroeg(2009), anak pribumi yang bapaknya bekerja pada

    juragan teh ditampilkan sebagai bayang-bayang anak sang juragan teh yang jadi sahabatnyaketika kecil (Wibisono, 2014).

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    12/27

    Dalam koranApi, 30 November 1925, terdapat tulisan tentang dibeslahnyaApioleh polisi

    kolonial. Bahkan, "Pembeslaghan boekan dilakoekan pada barang-barang jang

    bersangkoetan dengan perkaranja sadja, tetapi satoe vorm zetsels sama sekali dibeslag.

    Keperloean advertensi terbawa djoega." KoranApi menjadi tempat gagasan komunisme

    disebar, dan dalam koran tersebut banyak pula terdapat iklan yang "menghidupi" koran. Limaedisi pada November 1925 berisi iklan teh. Bunyi iklannya, "Awas! Thee tjap (gambar palu-

    arit)." Teh cap gambar palu-arit tersebut haroem bahoenja dan enak rasanja." Palu-arit jadi

    merek teh.Nah!*

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    13/27

    Hakim (Bukan) Politikus?

    RABU, 17 DESEMBER 2014

    Feri Amsari, Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO)

    Fakultas Hukum Universitas Andalas

    Ketua Mahkamah Konstitusi meradang ketika Refly Harun (RH) dan Todung Mulya Lubis

    (TML) ditunjuk sebagai anggota Panitia Seleksi (Pansel) Hakim Konstitusi. Kedua figur

    kondang itu dianggap memiliki kepentingan tersembunyi karena acap kali bersengketa di

    MK.

    Melalui surat protes MK Nomor 2777/HP.00.00/12/2014, Ketua MK meminta Presidenmengganti kedua anggota Pansel tersebut. Meskipun bukan termasuk lingkup kewenangan

    MK, surat tersebut telah melewati persetujuan sembilan hakim konstitusi berdasarkan Rapat

    Permusyawaratan Hakim MK. Langkah itu adalah campur tangan pertama MK dalam proses

    seleksi hakim konstitusi oleh DPR, Presiden, dan Mahkamah Agung.

    Jika dicermati lebih dalam, surat protes itu memiliki tiga kelemahan penting. Pertama, surat

    itu mempertanyakan kredibilitas anggota Pansel dalam menghasilkan figur hakim konstitusi.

    Kritik MK tersebut ibarat "menepuk air di dulang, tepercik muka sendiri". Jika RH dan TML

    diragukan kredibilitasnya, bukankah sembilan hakim konstitusi yang ada saat ini merupakan

    pilihan Pansel yang tidak terbuka? Terutama, hakim konstitusi pilihan Presiden Susilo

    Bambang Yudhoyono dan MA yang dilakukan "tanpa proses seleksi". SBY dan MA

    menunjuk sejumlah nama sebagai hakim konstitusi tanpa melalui prosesfit and proper test,

    sebagaimana yang dipilih Presiden Joko Widodo melalui Pansel kali ini. Sayangnya, MK

    tidak pernah mempertanyakan langkah Presiden SBY dan MA tersebut, padahal kepentingan

    Presiden dan MA dapat "menyusup" melalui seleksi tertutup itu.

    Kedua, surat tersebut mempertanyakan figur RH yang pernah menuding borok pada peradilan

    bertiang sembilan itu. Di kemudian hari, tudingan RH malah terbukti dengan tertangkap

    tangannya Ketua MK Akil Mochtar sebagai penerima suap. Konon kabarnya, RH masih

    menyimpan beberapa nama yang dianggap bermasalah. Pengalaman itulah yang membuat

    sosok RH begitu dibutuhkan Pansel. Mempertanyakan keberadaan RH di Pansel memberi

    kesan bahwa MK masih menyimpan "dendam masa lalu" ketika boroknya terbongkar.

    Ketiga, surat tersebut mempertanyakan kepentingan anggota Pansel karena acap kali

    beperkara di MK merupakan logika tidak tepat. Jika alat ukurnya adalah beperkara, bukankah

    Presiden dan DPR adalah pihak yang langganan beracara di MK? UUD 1945 dan UU MK

    memberikan kewenangan mengajukan hakim konstitusi kepada lembaga tersebut. Jika alat

    ukurnya kepentingan beracara, kenapa MK tidak pernah gelisah dan mempertanyakan

    kewenangan Presiden dan DPR mengajukan hakim konstitusi tersebut? Bukan tidak

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    14/27

    mungkin, alasan MK mempertanyakan anggota Pansel terkesan dicari-cari untuk sebuah

    kepentingan tersembunyi pula.

    Ketua MK Hamdan Zulva berniat melanjutkan jabatannya yang akan habis (Kompas, 13

    Desember) dengan terlebih dulu mempertimbangkan mekanisme seleksi (Kompas, 11

    Desember). Pilihan Hamdan untuk melanjutkan jabatan itu tentu bertentangan dengan

    mekanisme seleksi yang dipilih Presiden Jokowi.

    Pola melanjutkan jabatan tersebut menyerupai yang pernah dipraktekkan DPR ketika

    melanjutkan jabatan Akil Mochtar sebagai hakim konstitusi. DPR, tanpa melakukan seleksi

    ulang dan mengabaikan protes publik, dengan "berani" melanjutkan begitu saja jabatan hakim

    konstitusi Akil. Bukan tidak mungkin, Jokowi belajar dari kasus Akil tersebut. Dengan

    dibentuknya Pansel, setidaknya "transaksi politik" yang mungkin terjadi antara Presiden dan

    calon hakim konstitusi dapat dibatasi. Jika ingin figur negarawan berintegritas yang

    memahami konstitusi dan hukum tata negara dapat terpilih, proses seleksi terbuka melaluiPansel merupakan langkah yang paling tepat.

    Itu sebabnya, pilihan MK mempertanyakan keanggotaan Pansel patut diduga menyimpan

    agenda politik tersendiri. Dengan "menyerang" keanggotaan Pansel dan meminta pergantian

    anggota, Pansel akan kehilangan waktu untuk melakukan seleksi. Padahal hakim konstitusi

    harus dilantik sebelum 7 Januari 2015. Jika batas waktu itu tidak terpenuhi, bukan tidak

    mungkin Presiden terpaksa memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi Hamdan agar

    tidak terjadi kekosongan jabatan.

    Apabila langkah MK mengirimkan surat protes kepada Presiden itu terbukti sebagai pilihanpolitik, bukan tidak mungkin telah terjadi pelanggaran Pasal 2 angka 2 Kode Etik dan

    Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi (PMK Nomor 02/PMK/2003) yang meminta

    hakim MK menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan,

    arif dan bijaksana dalam menegakkan hukum dan keadilan. Sulit bagi hakim MK

    menghindari tuduhan bahwa surat protes tersebut adalah langkah kekhawatiran karena

    potensi tidak terpilih kembali sebagai hakim konstitusi. Jika tuduhan itu benar, hakim MK

    bukan lagi seorang negarawan yang arif dan bijaksana. Padahal hakim konstitusi bukanlah

    politikus.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    15/27

    Kurikulum bagi Raksasa

    Kamis, 18 Desember 2014

    Iwan Pranoto,Atase Pendidikan dan Kebudayaan, Kedutaan Besar Republik Indonesia di New

    Delhi

    Dari empat negara berpenduduk terbesar, yaitu Tiongkok, India, Amerika Serikat, dan

    Indonesia, negara India dan AS sama-sama tak memiliki kurikulum nasional. Bahkan, standar

    CCSS (Common Core State Standards) yang baru sedang dicoba untuk diterapkan belum

    disepakati untuk diterapkan di semua negara bagian. Standar CCSS ini pun sementara baru

    mencakup mata pelajaran matematika dan bahasa Inggris saja. Para pendidik AS berpendapatbahwa standar CCSS ini dan, khususnya, ujiannya membuka peluang terjadinya

    penyeragaman pendidikan dan anak didik. Dan, hal ini bertentangan dengan kebebasan

    individu dan keberagaman yang dijuarakan sistem pendidikan AS.

    Sementara itu, India benar-benar tak menetapkan standar nasional, apalagi kurikulum

    nasional. Di negeri ini keanekaragaman kurikulum dan bahan ajar justru didorong dan

    disokong secara eksplisit dan resmi oleh pemerintah pusat melalui dokumen Curriculum

    Framework, yang dirancang oleh National Council of Educational Research and Training.

    Seperti Sekolah Riverside di Ahmedabad, di negara bagian Gujarat di India, yang didirikan

    oleh edukator Kiran Bir Sethi, para guru bersama kepala sekolah merancang kurikulum setiap

    mata pelajaran sendiri untuk jenjang SD dan SMP. Adapun untuk jenjang SMA, sekolah ini

    menggunakan kurikulum yang disesuaikan untuk sistem Cambridge. Tiap sekolah negeri pun

    berhak merancang kurikulumnya sendiri. Sementara itu, setiap negara bagian memiliki

    sejumlah dewan pendidikan yang masing-masing menawarkan standar. Sekolah negeri

    maupun swasta di India bebas memilih mengikuti dewan pendidikan yang mana atau memilih

    standar yang lain. Ujian di tingkat SMA nanti akan mengikuti standar yang sudah dipilih.

    Adapun Tiongkok sampai sekarang masih terpusat menggunakan satu kurikulum nasionaluntuk seluruh sekolah dasar dan menengahnya. Meski demikian, yang disebut satu kurikulum

    nasional sesungguhnya telah berubah makna sekaligus "kadar"-nya sejak 1993 untuk jenjang

    SD dan SMP. Yang diatur dan ditetapkan oleh pemerintah pusat untuk jenjang SD hanya

    sembilan mata pelajaran wajib, yakni matematika, IPA, ilmu sosial, pendidikan politik,

    bahasa Mandarin, pendidikan jasmani, musik, seni rupa, dan keterampilan perburuhan.

    Sekolah juga harus memberi pelajaran bahasa asing, tapi siswa boleh memilih bahasanya.

    Kemudian, untuk jenjang SMP, ada 13 mata pelajaran wajib yang ditetapkan pemerintah

    pusat. Kemudian, SMA-nya menggunakan sistem kredit. Dengan sistem kredit ini, tidak saja

    tiap daerah dapat memiliki kurikulum sendiri, bahkan setiap siswa dapat merencanakanpendidikan SMA-nya sendiri.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    16/27

    Dengan mencermati situasi sistem pendidikan tiga negara berpenduduk besar itu,

    sesungguhnya pesan yang disampaikan jelas sekali, pemaksaan kurikulum tunggal untuk

    negara berpenduduk besar sungguh meragukan. Pada Abad ke-21 ini, saat nilai-nilai lokal

    mengglobal, Indonesia membutuhkan banyak kurikulum yang unik di tingkat daerah.

    Kebudayaan lokal yang beraneka ragam tidak boleh diseragamkan. Apalagi, faktanyaIndonesia memiliki karakter geografis kepulauan yang secara alamiah hakikatnya adalah

    keanekaragam. Karena itu, proses belajar-mengajar dan, khususnya, kurikulum bagi anak-

    anak kita di berbagai pelosok Tanah Air perlu luwes agar pendidik/sekolah dapat

    mengadaptasi program belajar-mengajarnya untuk kebutuhan kecakapan anak khusus di

    daerah itu. Keunikan lokal ini harus eksplisit dirumuskan dan diilustrasikan dalam desain

    pembelajaran.

    Ke depan, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diharapkan tidak

    lagi memaksakan satu kurikulum tunggal dan sebangun pada semua sekolah dari Pulau Biak

    sampai Pulau Nias, dari Sungai Memberamo sampai Sungai Siak. Seperti tiga negara raksasa

    sebelumnya, penduduk Indonesia luar biasa banyak dan tersebar. Sungguh pemikiran yang

    kurang matang jika memaksakan satu seri buku ajar tunggal untuk semua sekolah di negara

    besar ini.

    Walau terganggu saat kebijakan Kurikulum 2013 dipaksakan, konsep keanekaragaman

    kurikulum itu sudah digagas dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) lebih dari

    satu dekade lalu. Semoga Kementerian Pendidikan baru meneruskan jiwa keanekaragaman

    pendidikan di UU Sisdiknas tersebut.

    Kementerian Pendidikan, khususnya Puskurbuk-Balitbang, perlu mulai mereka-cipta

    kerangka kurikulum yang dapat digunakan untuk menjadi panduan yang memudahkan

    sekolah dalam merumuskan kurikulum yang sesuai dengan keunikan daerah, geografis, dan

    kebudayaannya. Dengan kurikulum sekolah yang relevan dengan kedaerahan dan kehidupan,

    para pelajar akan meningkatkan dorongan belajar dari dalam diri. Pelajaran di sekolah

    semakin terkait dengan kehidupan di lingkungannya. Hal ini akan menjauhkan citra buruk

    belajar sebagai beban, bukan berkat.

    Tantangan dan strategi mendidik raksasa tentu berbeda dibanding mendidik negara kecil

    berpenduduk sedikit dengan lokasi geografis homogen.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    17/27

    Pemberantasan Korupsi dari Keluarga

    Kamis, 18 Desember 2014

    Asep Purnama Bahtiar, Dosen FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

    Dalam peringatan Hari Antikorupsi Internasional 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi

    (KPK) mengajak memerangi korupsi dari keluarga. Di antara agenda dalam acara peringatan

    tersebut adalah pembacaan naskah proklamasi antikorupsi yang memuat tiga seruan, salah

    satunya berjanji memerangi korupsi dari diri sendiri dan keluarga.

    Menurut Bambang Widjojanto, korupsi kian meluas, merata, dan mendalam di seluruh aspekdan tingkat kehidupan masyarakat di Indonesia. Berkaitan dengan hal itu, keluarga dapat

    menjadi salah satu alternatif untuk membangun nilai-nilai budaya dan sikap mental yang

    tahan godaan dan konsisten dengan kepribadian bangsa. Dalam hal ini budaya malu bisa

    mulai disemaikan dan dirawat, sehingga menjadi sistem nilai-budaya dan identitas dalam

    kehidupannya, agar tidak melakukan tindakan-tindakan yang korup.

    Penguatan sistem nilai-budaya bagi keluarga ini sudah mendesak sekarang karena pengaruh

    perubahan sosial-budaya secara global yang semakin merasuk ke dalam kehidupan keluarga,

    baik di perkotaan maupun perdesaan. Sejak dekade 1990-an, ketika teknologi informasi dan

    komunikasi semakin berkembang dan canggih, perubahan sosial budaya pun ikut

    dipengaruhinya. Gaya hidup yang serba konsumtif dan hedonis mendorong masyarakat untuk

    berbuat dan berperilaku apa saja. Dalam pusaran globalisasi seperti ini, keluarga, sebagai unit

    sosial terkecil, juga terkena dampaknya.

    Di samping itu, kerenggangan hubungan dalam keluarga merupakan salah satu ekses dari

    perubahan gaya hidup dan sistem nilai-budaya yang lebih banyak diwarnai olehgadgetdan

    peranti canggih teknologi informasi dan komunikasi lainnya. Perubahan sosial-budaya yang

    kian cepat dan ekstensif telah memecah kehidupan keluarga menjadi individu-individu yang

    terpisah dan terasing satu dengan yang lainnya, sehingga komunikasi dan jalinankekeluargaan pun tidak terbangun. Akibatnya, hubungan antar-anggota dalam keluarga

    menjadi tidak akrab dan renggang, yang kemudian menyebabkan kontrol dan sikap saling

    mengingatkan untuk tetap dengan nilai-nilai dan prinsip hidup yang benar tidak mudah

    dilakukan.

    Akibat lebih jauh dari kerenggangan hubungan dalam keluarga itu, budaya malu perlahan-

    perlahan mulai meluntur. Walhasil, kalau ada anggota keluarga yang melakukan perbuatan

    tercela, seperti korupsi, tidak dipandang sebagai kejahatan atau perbuatan yang memalukan.

    Lunturnya budaya malu di masyarakat dan keluarga itu menjadi lahan subur bagi praktek

    korupsi.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    18/27

    Keluarga merupakan ruang hidup pertama bagi anak-anak dalam berinteraksi dengan orang

    lain. Karena itu, pendidikan dini secara informal juga berlangsung dalam kehidupan

    keluarga--sebagai unsur dari civil society. Kebiasaan dan budaya yang berlangsung di sebuah

    keluarga akan mudah diserap dan ditiru oleh anak-anak hingga membentuk kepribadian dan

    wataknya. Dalam hal ini pula budaya malu dan nilai-nilai positif untuk membentuk integritasdan kepribadian bagi anak-anak dan orang tua serta anggota keluarga lainnya dapat

    diinternalisasi di dalam keluarga, sehingga mereka bisa ikut ambil peran dalam membangun

    nilai-nilai budaya malu guna pemberantasan korupsi di Indonesia.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    19/27

    Asketisme Politikus Islam

    Kamis, 18 Desember 2014

    Arfanda Siregar, Pengamat Politik dan Gerakan Islam

    Sungguh lucu rasanya bahwa yang menjadi pelopor hidup sederhana (asketisme) justru

    berasal dari politikus partai nasionalis. Sejak Joko Widodo (Jokowi) menjabat presiden,

    semua pejabat negara, baik menteri, pejabat setingkat menteri, maupun kepala daerah

    mendadak turut menganut asketisme.

    Jokowi memang bersahaja. Jauh sebelum menjadi presiden pun beliau telah memeloporihidup sederhana. Bekas Ketua Umum Muhammadiyah Buya Syafii Maarif pernah memuji

    sepatu yang dipakai alumnus UGM tersebut karena berharga 50 ribu perak. Beberapa kali

    beliau tertangkap kamera wartawan sedang melakukan perjalanan dengan menggunakan

    pesawat ekonomi. Tak salahlah daftar "The Leading Global Thinkers of 2013"

    memasukkannya sebagai tokoh Challenger atau tokoh reformis baru, berkat

    kesederhanaannya.

    Terlepas dari validitas penilaian tersebut, tokoh partai Islam malah menjauh dari pengamalan

    salah satu ajaran Islam tersebut. Padahal, asketisme merupakan bagian dari nilai Islam yang

    seharusnya melekat pada diri politikus Islam, apalagi setelah menjabat berbagai posisi

    penting di pucuk kekuasaan.

    Coba saja lihat, ada ketua partai memiliki mobil mewah sampai tiga, menggunakan jam

    tangan Rolex berharga puluhan juta rupiah, berpakaian bak selebritas, berhobi ala para

    miliuner, dan lain sebagainya. Sungguh kontras dengan nilai asketisme yang seharusnya

    menjadi fatsun politik Islam. Mereka bukan tak memahami fatsun politik tersebut. Toh,

    mayoritas politikus Islam berlatar belakang ilmu agama.

    Mereka sangat paham bahwazuhudberarti hidup sederhana, bersahaja, tidak berlebihan, danjauh dari sikap hidup berfoya-foya. Meskipun mampu untuk hidup mewah, glamor, dan

    berfoya-foya, itu tidak dilakukan karena hadirnya kesadaran bahwa sebagai pejabat negara

    memang mereka harus hidup sederhana dan prihatin di tengah mayoritas umat yang masih

    banyak berpredikat duafa. Tidak justru sebaliknya, ketika menjadi ustad bersahaja, setelah

    menjadi pejabat berfoya-foya. Persis pepatah, "lupa kacang dengan kulitnya".

    Begitu banyak tokoh Islam yangzuhuddan seharusnya diteladani politikus Islam. Di kancah

    internasional, ada Nabi Muhammad SAW, Umar Bin Khatab, Umar Bin Abdul Aziz, dan

    Ahmadinejad yang termasyhur di mata dunia, justru karena berperilakuzuhud. Dalam sejarah

    bangsa, para politikus Islam bisa mencari teladan dari sosok KH Agus Salim, M. Hatta, dan

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    20/27

    Natsir dalam menjalani dunia politik. Menurut Agus Salim, leiden is lijden(memimpin

    adalah menderita).

    Fakta mengatakan bahwa hasil kontestasi politik Indonesia, partai Islam selalu kalah dari

    partai nasionalis. Bahkan, sepanjang pilpres digelar, belum pernah satu pun politikus partaiIslam yang mampu menyaingi tokoh nasionalis. Politikus Islam selalu kalah pamor dibanding

    politikus nasionalis.

    Mengapa hal itu terjadi? Karena politikus Islam tak mau mengamalkan hidup sederhana,

    asketisme, atauzuhud. Nabi Muhammad pernah berpesan, "Zuhud-lah terhadap dunia, maka

    kamu dicintai Allah.Zuhud-lah terhadap apa yang dimiliki manusia, mereka akan

    mencintaimu."

    Ternyata wejangan tersebut malah dipraktekkan oleh tokoh nasionalis, seperti Jokowi.

    Sedangkan politikus Islam malah asyik dengan gemerlap kemewahan yang justru

    menjauhkannya dari hati rakyat Indonesia.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    21/27

    Memangkas Lembaga, Menuai ParadigmaBaru

    Jum'at, 19 Desember 2014

    Firoz Gaffar,Dosen Analisis Ekonomi atas Hukum

    Tidak ramai diberitakan di media, Peraturan Presiden (Perpres) 176/2014 telah membabat 10

    lembaga non-struktural (LNS). Konsiderans cuma menyebut singkat alasan normatifnya:

    efektivitas dan efisiensi pemerintahan. Adapun perbincangan publik menyinggung topik

    eliminasi tumpang-tindih fungsi organ, reduksi anggaran negara, dan optimalisasi peran

    kementerian.

    Berbicara tentang LNS, kita teringat reformasi dua windu yang telah lewat. Tiupan euforia

    melanda birokrasi, bongkar-pasang LNS sah saja karena bukan soal ribetprosedur atau tabu

    sasaran, bukan pula soal tepat fungsi atau ringan bujet. Lihat rezim Gus Dur sebagai presiden

    pada awal era reformasi, betapa banyak dibentuk LNS baru, dengan ketidakpercayaan atas

    kredibilitas instansi struktural sebagai pemicunya.

    Ambil contoh Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dibentuk pada 2000. Sebagai advisory

    organ, tugasnya beririsan dengan Badan Pembinaan Hukum Negara (BPHN) di KementerianHukum dan HAM. Selakuplanning agency, nomenklaturnya bertabrakan dengan Badan

    Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Tapi KHN tetap lahir, karena urgensi

    penanggulangan krisis kepercayaan atas hukum tidak bisa ditaruh di pundak kementerian

    terkait.

    Yang ingin digagas penulis, tidakkah pemangkasan LNS ini menjadi momentum perubahan

    model birokrasi? Bukankah rezim pemerintah Jokowi-JK sudah menjadikan revolusi mental

    sebagai salah satu tagline-nya? Revolusi birokrasi di depan mata.

    Menurut Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, ada 87 LNS yang terbentuk sejak era

    Gus Dur hingga era SBY, yaitu dari 1999 sampai 2014 (Kompas,16/12/14). Satu alasan yang

    menonjol dalam pembentukannya adalah hilangnyapublic trustatas organ resmi. Konklusi

    ini tidak keliru dan bukan hal unik di Indonesia.

    Dilaporkan Alice Rivlin (1996), sejak 1970 negara anggota Organization of Economic

    Cooperation Development (OECD) menghadapi tekanan fundamental berupa ekonomi

    global, ketidakpuasan warga negara, dan krisis fiskal. Mereka melakukan kebijakan reaktif

    serupa, yakni perubahan administrasi publik dan birokrasi, termasuk pembentukan LNS.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    22/27

    Kalau LNS bukan anak haram reformasi, maka apa dosanya? Tumbuh suburnya LNS, kata

    Jimly Asshidiqie (2008), "bagaikan cendawan di musim hujan". Hal ini hadir didasari

    idealisme efisiensi dan efektivitas, kendati sayangnya tanpa desain matang dan komprehensif.

    Sifatnya reaktif, sektoral, dan dadakan. Realisasi misi birokrasi tidak bisa lagi dengan tambal-

    sulam atau gonta-ganti LNS. Padahal, yang disyaratkan adalah revisi cara pandang atasmodel birokrasi, bukan dengan kacamata konservatif secara induktif atau deduktif.

    Selama ini tertanam asumsi pemerintah kegemukan, terpusat, dan rumit, yang lalu kita coba

    atasi via layanan publik hemat dan cepat. Ini adalah pergulatan dalam perjalanan dari

    bureaucratic modelke entrepreneural model. Ahli sejarah, Thomas Kuhn, dengan teori

    paradigmanya mengklarifikasi hal ini.Paradigma ialah himpunan asumsi yang membentuk

    persepsi dan menjelaskan kenyataan (Thomas Kuhn, 1970). Prosesnya dari asumsi berubah

    menjadi kondisi biasa, lalu nilai baru menimbulkan anomali, terjadi krisis, melalui revolusi

    bergeser menjadi kondisi baru.

    Asumsi patrimonial adalah persepsi kita atas model birokrasi lama, yang berciri: pejabat

    disaring berlandaskan relasi pribadi, jabatan menjadi sumber kekayaan, dan tindakan pejabat

    disasar ke interestpolitik. Adapun fenomena baru menuntut penegakan aturan, orientasi

    kualitas, dan netralitas layanan. Ini anomali, sehingga timbul krisis birokrasi, yang

    membutuhkan revolusi. Di titik ini ditunggu model birokrasi baru.

    David Osborne dan Ted Gaebler (1992) menawarkan birokrasi wirausaha yang didasari

    fenomena nyata menghadapi anomali. Tidak asing buat kita, tapi perlu keberanian. Apa

    mungkin pemerintah bisa run like business?Hal ini membutuhkan pemerintah yangmendorong, bukan mematikan kompetisi. Pemerintah harus memberdayakan warga, di mana

    kontrol dilakukan oleh komunitas sendiri; yang menilai kinerja berdasar hasil; yang

    menggerakkan dengan misi, bukan regulasi; yang mengubah layanan dengan opsi, tidak

    tunggal; yang menggunakan sumber daya untuk pendapatan, bukan belanja; yang

    mendesentralisasi wewenang, tidak menentang partisipasi manajemen; yang mengedepankan

    interestpasar, bukan birokrasi sendiri; yang melakukan katalisasi, bukan sekadar layanan

    biasa.

    Kalau LNS dihidupkan dalam suasana tersebut, tentu sikap kita tidak perlu reaktif, sektoral,

    dan dadakan. LNS yang tidak mencerminkan model wirausaha harus tegas dicopot papan

    namanya. Tapi LNS yang siap berkarakter model wirausaha mesti didukung, demi kokohnya

    paradigma baru.

    Jangan lupa, menjatuhkan vonis bubar atau lanjut harus diawali dengan audit kelembagaan.

    Hal ini memotret kondisi fundamental LNS. Pencapaian program, pembukuan keuangan,

    kerja sama pihak ketiga, dan status kepegawaian adalah sebagian aspek yang diverifikasi.

    Ingat wejangan: "Mulailah, begitu mulai, separuh pekerjaan selesai" (incipe, dimidum facti

    est coptum).*

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    23/27

    Gus Dur dan Papua

    Jum'at, 19 Desember 2014

    Munawir Aziz,peneliti, alumnus Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM)

    Desember dapat dianggap sebagai bulan Gus Dur. Dalam sebulan ini, berbagai komunitas

    menyelenggarakan penghormatan untuk almarhum Abdurrahman Wahid. Gus Dur seolah

    selalu hadir ketika bangsa ini sedang menghadapi masalah politik, etnis, dan agama. Kutipan

    pernyataan Gus Dur menjadi ingatan publik ketika anggota DPR bertengkar di Senayan, juga

    ketika kelompok minoritas etnis dan agama menjadi korban kekerasan.

    Gus Dur memang telah wafat sebagai manusia, tapi ia terus hadir dalam ide, gagasan, dan

    kerja kemanusiaan. Kerusuhan yang terjadi di Papua, beberapa waktu lalu, mengingatkan

    publik akan Gus Dur. Ingatan tentang strategi Gus Dur dalam merawat keberagaman,

    keharmonisan, dan perdamaian untuk membela kelompok minoritas akan terus hidup.

    Mengingat Gus Dur, lewat insiden Papua, menandakan bangsa ini masih membutuhkan sosok

    pejuang kemanusiaan yang konsisten membela hak warga minoritas.

    Insiden Paniai, Papua, disebabkan oleh penembakan lima warga sipil oleh aparat TNI-Polri di

    lapangan Karel Gobai, Kampung Madi, Distrik Paniai Timur, Enarotali. Menurut John Gobay

    (pihak Dewan Adat Papua), lima warga tersebut awalnya ingin melakukan klarifikasi atas

    penganiayaan warga oleh dua orang yang diduga aparat, pada Ahad, 7 Desember. Insiden ini

    kemudian merambat menjadi kerusuhan, hingga mengakibatkan tewasnya Habakuk Degei,

    Neles Gobay, Bertus Gobai, Saday Yeimo, dan Apinus Gobai. Insiden ini termaktub dalam

    rilis PPB dalam rangka Hari HAM internasional, 10 Desember lalu (tempo.co, 10/12). Tentu

    saja, insiden Papua selalu terkait dengan politik, mengingat silang sengkarut kepentingan

    ekonomi, pertahanan, dan politik internasional di kawasan ini.

    Mengingat Papua dengan mengingat Gus Dur adalah merayakan kembali perjuangan

    kemanusiaan. Gus Dur telah berjasa dalam mengembalikan harga diri, harkat, dan martabatorang Papua, yang telah lama dicengkeram oleh rezim militer. Menurut Ketua Dewan Adat

    Papua, Forkorus Yoboisembut, Gus Dur telah memberi ruang bagi warga Papua dalam

    konteks keindonesiaan, yang melindungi dengan hati, bukan memaksakan kehendak rezim

    militer. Gus Dur menggunakan pendekatan dialogis dan menghargai HAM dalam

    penyelesaian masalah-masalah di Papua, yang pada pemerintahan Orde Baru dilakukan

    dengan strategi militer dan kekerasan. Gus Dur juga berjasa mengganti nama Irian Jaya

    menjadi Papua, yang tidak sekadar nama, tapi juga mengandung unsur sejarah, makna, dan

    landasan kebudayaan yang menghargai tradisi orang Papua. Pendekatan kebudayaan inilah

    yang menjadi referensi dalam melihat Papua sebagai bagian dari kesatuan NKRI.

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    24/27

    Pada titik ini, Presiden Jokowi perlu melihat kembali akar masalah yang terjadi di Papua.

    Saya yakin presiden telah memahami peta masalah yang terjadi di bumi Cenderawasih. Tapi

    pendekatan komprehensif berbasis kemanusiaan diperlukan untuk menyelesaikan konflik di

    Papua. Jokowi dapat mengaji pada Gus Dur, bagaimana memperlakukan warga Papua

    sebagai keluarga, menjadi bagian NKRI, bukan orang asing di negerinya sendiri.*

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    25/27

    Jonru

    JUM AT, 19 DESEMBER 2014

    Agus M. Irkham, pegiat literasi

    Ada berderet kejadian di ranah literasi yang berlangsung sepanjang 2014. Hal ini dimulai dari

    terpilihnya Indonesia sebagaiguest of honour(tamu kehormatan)Frankfurt Book Fairtahun

    depan, penyelenggaraanIndonesia Book Fairyang diikuti pula oleh peserta dari luar negeri,

    perayaan Hari Aksara Internasional, hingga dibubarkannya lembaga non-struktural Dewan

    Buku Nasional.

    Namun, dari banyak kejadian tersebut, terselip satu peristiwa yang membuat saya terusikuntuk menuliskannya di kolom ini. Hal itu adalah perang kicau (twitwar) maknaJonru

    sebagai lema atau kata entri sampai berujung pada dilaporkannya Ahmad Sahal dan Rifan

    Herriyadi ke kepolisian oleh Jonru, karena dinilai telah mencemarkan nama baiknya.

    Bumbu menjadi menu.Naga-naganya, kalimat itu yang paling bisa saya jadikan tali untuk

    mengikat gaduhnya suasana di media sosial, yang kemudian melebar ke dunia nyata tersebut.

    Jonru, yang sebelumnya menjadi pegiat budaya membaca dan menulis, yang identik dengan

    kedalaman dan kesunyian, bergeser menjadi aktivis media sosial yang lebih banyak

    menawarkan suasana hingar tak berkesudahan.

    Jumlah likedifanspageFacebook-nya sampai 400 ribu akun, danfollowerdi Twitter-nya

    hampir 50 ribu sampai dengan Rabu kemarin. Jumlah "umat" sebanyak itu sebenarnya bisa

    menjadi sebuah potensi besar untuk semakin memassifkan gerakan membaca dan menulis

    yang ia lakukan. Tapi rupanya bumbu telah mengalahkan menu.Fanspagedan akun Twitter-

    nya sebagian besar, untuk tidak mengatakan seluruhnya, kini membicangkan persoalan

    politik. Perkembangan literasi di Indonesia tidak lagi dibicarakan.

    Esensi bergiat di ranah literasi adalah membuat orang menjadi lincah dalam memilih dan

    menganalisis berbagai informasi serta mengidentifikasi, mengurai, memahami masalah, dan

    menganalisisnya, yang kemudian dijadikan dasar bagi pengambilan keputusan tindakan.

    Kemampuan literasi memampukan luasan pengetahuan seseorang menjadi berkembang.

    Fanspage dan Twitter Jonru kini justru menegasi esensi literasi. Kesanggupan menggiring

    jemaahnya untuk menjadi illiteracysangat besar. Hal itu menjadikan informasi dari dia

    sebagai satu-satunya sumber kebenaran.

    Kini, saya tidak pernah mendengar lagi kabar pelatihan menulis online-nya. Padahal, di

    Indonesia, dalam hal sekolah menulis online ini, Jonru menjadi salah satu pionirnya. Hanya,

    tersiar kabar, pelatihan menulis yang baru saja ia adakan hanya diikuti oleh 10 orang. Buku

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    26/27

    yang ditulis pun tidak lantas menjadi trend setter. Atau, paling tidak bukunya masuk dalam

    kategori batas minimal bisa disebut bestseller, yaitu terjual sebanyak 15.000 eksemplar.

    Entah, fakta itu apakah bisa dibaca sebagai bentuk tulah atau kutukan atas berbeloknya arah

    perjuangan Jonru darisoft politics(literasi, budaya) ke hard politics(partai-kekuasaan). Tapi

    yang jelas godaan hingar media sosial telah membawa Jonru "tersesat" di jalan yang ia

    sendiri tidak sadari adalah keliru. Semoga saja ia masih ingat jalan pulang?

  • 8/10/2019 caping+cari angin+kolom tempo 14.12.2014-19.12.2014

    27/27