cahaya nur

Embed Size (px)

Citation preview

Altar-altar Cahaya (Hayakal-un-Nur) Oleh: Suhrawardi 000-0 Daftar Isi 000-1 Sepatah kata Bagi Pembaca 000-2 Pengantar: Filsafat Mistik Versus Filsafat Tasawuf 000-3 Mengenal Suhrawadi 000-4 Pendahuluan 001 Bentuk Pertama Cahaya: Materi yang Tercerahkan 002 Bentuk Kedua Cahaya: Memiliki Tiga Bagian: Bagian Pertama Bagian Kedua Bagian Ketiga 003 Bentuk Ketiga Cahaya: Beberapa Persoalan yang Perlu Dicermati 004 Bentuk Keempat Cahaya: Ada Lima Bagian: Bagian Pertama Bagian Kedua: Menetapkan Bentuk Cahaya Bagian Ketiga Bagian Akhir dari Bagian Ketiga dan Permulaan Bagian Keempat Bagian Kelima 005 Bentuk Kelima Cahaya: Bagian Pertama Akhir Bentuk Kelima Cahaya 006 Bentuk Keenam Cahaya 007 Bentuk Ketujuh Cahaya: Tentang Kenabian 008 Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. 009 Epilog: Fabel Sufi tentang Kota-kota Jiwa. 010 Catatan Kaki Sepatah Kata Bagi Pembaca Sahabatku, hatimu adalah cermin yang kotor. Engkau harus membersihkannya dari tabir debu yang menutupinya. Hati ditakdirkan untuk memantulkan cahaya-cahaya rahasia Ilahi. Ketika cahaya dari: Allah (Yang) adalah Cahaya langit dan bumi. mulai menyinari bagian-bagian hatimu, pelita hati akan menyala. Pelita hati itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) Kemudian di dalam hati itu, kilat penyingkapan Ilahi akan memancar. Kilat ini berasal dari awan-guntur dari makna yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, dan pancaran cahaya terhadap pohon pengungkapan itu begitu murni, begitu nyata sehingga ia menerangi, walaupun tidak disentuh api. (Q.S. an-Nr 24:35) Kemudian pelita pengetahuan menyala dengan sendirinya. Bagaimana ia tetap padam

ketika cahaya rahasia Ilahi menyinarinya? Jika hanya cahaya rahasia Ilahi yang menyinarinya, langit malam rahasia akan menyala dengan ribuan bintang Dan dengan bintang-bintang (engkau) menemukan jalan (mu). (Q.S. an-Nahl 16:16) Bukanlah bintang-bintang yang menunjuki kita, tetapi cahaya Ilalhi. Sebab Allah telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang. (Q.S. al-Mulk 67:6) Jika hanya pelita rahasia yang menyala di dalam batin anda, sisanya akan datang secara sekaligus atau perlahan-lahan. Sebagiannya telah anda ketahui, sebagian lagi akan kami paparkan kepada anda. Bacalah, dengarkan, dan cobalah pahami. Gelapnya awan-kelalaian akan diterangi oleh kehadiran Ilahi, kedamaian, dan keindahan bulan purnama yang akan terbit dari ufuk pancaran Cahaya di atas Cahaya (Q.S. an-Nr 24:35) yang selalu terbit di angkasa, melalui garis edar seperti yang Allah tetapkan, hingga ia (Q.S. Ysn 36:39) Bersinar dalam keagungan di pusar angkasa, menyinari gelapnya kelalaian Dan demi malam apabila ia telah sunyi (Q.S. adh-Dhuh 93:2) Demi waktu matahari sepenggalan naik (Q.S. adh-Dhuh 93:1) malam kelalaian anda akan menyaksikan terangnya Sinar surya. Kemudian anda akan menghirup harum mengingat Allah dan memohon ampun di waktu sahur. (Q.S. Ali Imran 3:17) Kelalaian, dan menyesali masa hidup yang anda habiskan dalam tidur. Anda akan mendengar nyanyian malam menjelang pagi, dan anda akan mendengarnya berkata, Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampunan. (Q.S. adz-Dzriyt 51: 17-18) Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (Q.S. an-Nr 24:35) Kemudian melalui ufuk Akal Ilahi anda akan menyaksikan terbitnya matahari pengetahuan batin. Itulah matahari pribadi anda, karena anda adalah orang yang dibimbing Allah, lagi berada di jalan yang lurus, Dan bukan

orang-orang yang merugi (Q.S. al-Arf 7:178) Dan anda akan memahami rahasia bahwa Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Q.S. Yasin 36:40) Akhirnya, tali itu akan diuraikan sesuai dengan Dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. an-Nr 24:35) Tabir akan tersingkap dan tameng akan hancur, yang menunjukkan yang halus dari yang kasar; kebenaran akan menyingkapkan wajahnya. Semua ini akan bermula ketika cermin hati anda dibersihkan. Cahaya rahasia Ilahi akan terpancar ke dalamnya jika anda berharap dan memohon kepada-Nya, dari-Nya, dengan-Nya. DARI SURAT HADRAT ABD-UL-QADIR AL-JILNI. Pengantar Filsafat Mistik Versus Filsafat Tasawuf Untuk menjelaskan inti pandangan Suhrawardi dalam karya ini, perlu diuraikan perbedaan antara dua pendekatan yang meski dalam beberapa hal memiliki kemiripan sama sekali berbeda: satu dikenal luas sebagai filsafat mistik, satu lagi di sebut filsafat tasawuf. Filsafat mistik adalah sistem pemikiran yang didasarkan atas teori perolehan pengetahuan melalui ilham dan wahyu, dan digunakan untuk menjelajahi misteri. Di dunia Islam pada masa Suhrawardi, bentuk filsafat ini disebut isyraqiyyah (filsafat iluminasi: secara harfiah, iluminasi melalui cahaya murni tanpa materi, dari Timur (syarq) jiwa). Arti isyraqiyyah adalah metafisika cahaya. Meski perhatian kepada cahaya sebagai lawan kata dari kegelapan telah menjadi dasar bagi banyak filsafat dan agama lain, khususnya Zoroasterianisme, yang sangat ditentang oleh para filsuf isyraqi, para filsuf mistik yang berhaluan mazhab isyraqiyyah sama sekali tidak melepaskan diri dari ortodoksi Islam (syariah). Sebaliknya, mereka menyelaraskan ortodoksi dengan filsafat mereka, dan menggabungkan keduanya. Mereka berusaha menjelaskan filsafat mereka dengan Islam dan Islam dengan filsafat mereka. Isyraqiyyah menjadikan alQuran sebagai saksinya: Allah Pelindung orang-orang yang beriman: Dari relung kegelapan Dibawa-Nya mereka menuju cahaya Setan adalah pelindung Orang-orang kafir. Dari cahaya dibawanya mereka ke dalam relung kegelapan mereka akan menjadi sahabat di neraka, mereka kekal di dalamnya. (al-Baqarah 2: 257)

Sesungguhnya telah datang kepadamu dari Allah Cahaya (baru) dan kitab yang menerangkan, Dengan kitab itulah Allah menunjuki orangorang yang mengikuti Keridaan-Nya ke jalan keselamatan Dan mengeluarkan mereka dari gelap gulita, dengan seizin-Nya, Kepada cahaya yang terang benderang Dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus. (al-Maidah 5: 15-16) Dengan menggalungkan ajaran al-Quran dengan pengaruh karya-karya filsuf Yunani yang baru ditemukan kembali dan diterjemahkan yang berpuncak pada Plato, banyak filsuf Muslim yang dikenal di Barat misalnya, Ibn Sina, Halabi dan bahkan alFarabi mengikuti filsafat intuisi visioner. Filsafat isyraqi mistik bukan satu-satunya bentuk filsafat yang dikenal di dunia Islam. Tren lain yang disebut masysyiyyah (Peripatetisme), di bawah pengaruh filsafat rasionalistis Aristoteles, sebelumnya telah disadur oleh Ibn Rusyd (Averoes). Ibn Thufayl, Ibn Bajjah, dan sebagainya di Spanyol Islam. Aristotelianisme Ibn Rusyd yang Islami ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pengikut Agustinus dan memberi jalan bagi rasionalisme dan naturalisme era Renaisans. Ajaran Suhrawardi telah menggantikan pengaruh langsung yang lebih awal dari rasionalisme Aritotelian dan intuivisme Platonik. Suhrawardi tokoh yang menempuh jalan sufi dan menekuni praktek spiritual, penyendirian dan perenungan, juga dipandang sebagai juru bicara utama ajaran isyraqiyyah. Tetapi, dia bukanlah seorang filsuf mistik dalam arti biasa, melainkan seorang filsuf tasawuf. Para filsuf sufi, seperti halnya yang lain, merenungkan nilai pemikiran, sumber kebenaran abadi bagi manusia. Tetapi, dalam tasawuf, pencarian itu ditempuh secara aktif dan bukan secara intelektual. Aktivitas ini mencakup beberapa bentuk. Pertama, mencakup semua aspek kehidupan, adalah upaya untuk melaksanakan ibadah, kaidah-kaidah moral, kesadaran dan mawas diri terhadap setiap hal dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk ini menuntut sikap waspada yang terus-menerus dan upaya untuk memperbaiki diri. Pencarian spiritual yang aktif semacam itu menghasilkan akumulasi pengalaman dan pengetahuan yang menyatu melalui pengalaman kesadaran personal ini. Pengetahuan yang dihasilkannya disebut marifah, pengetahuan batin, filsafat wujud, dan perbuatan yang kedap pengaruh filsafat lain dalam kaitan dengan sifat subjektifnya. Atau sufi itu dapat menjalankan khalwat, penyendirian. Dengan mengasingkan diri dari dunia, dia merenungkan Allah, manusia, penciptaan, dan tiba pada sebuah kesimpulan. Hasil dari pengalaman meditatif ini tidak mungkin berhubungan dengan mazhab pemikiran yang mana pun. Atau melalui asketisme yang saleh, salat, perjuangan yang sungguh-sungguh dan berpuasa (mortification of his flesh), sufi menerima ilham dan menyaksikan fenomena yang tak dapat dilihat oleh orang lain. Ini juga merupakan pengetahuan yang tidak tercakup dalam kategori filsafat yang lain. Dengan demikian, ada dua aspek tasawuf: pengetahuan dan amal. Ibadah, kepatuhan kepada Allah, rasa takut dan cinta kepada Allah, menjauhkan diri dari apa yang dilarang, dan adab (sikap dan moralitas yang terpuji) semuanya berada dalam ranah amal. Inilah titik tolak tasawuf. Pengetahuan spiritual, hikmah, ilham, penyingkapan makna batin dan rahasia ketuhanan, dan akhirnya Kebenaran (Hakikat), berada dalam ranah pengetahuan. Inilah tujuan tasawuf.

Dengan kesalehan, zuhud, dan perenungan, sufi ingin membersihkan dan mencapai keteraturan batin. Hal ini kemudahan membawa jiwanya menuju sifat hikmah yang dicita-citakan. Kesalehan, zuhud, dan perilaku sempurna adalah alat; pengetahuan yang menjadi hasilnya. Pengetahuan ini tidak dapat dicapai melalui perenungan maupun penalaran. Ia hanya diberikan sebagai karunia Allah melalui wahyu. Tak mungkin ada tasawuf yang bersandar kepada pengetahuan tanpa amal. Juga tak ada kehidupan saleh dan zuhud yang tak mencapai hikmah, yang menjadi tasawuf. Pengetahuan mengenai hal ini yang dicapai melalui kesemua metode itu- jika dikemukakan dalam istilah terbuka dapat disebut sebagai filsafat-tasawuf. Hakikat pengetahuan ini memberikan kepada filsafat ini sebuah status yang lain daripada yang lain. Banyak wali dan tokoh sufi semacam Sulami, Qusyairi, Kalabadzi, Abdul-Qadir al-Jilani, Junaid al-Baghdadi dan Mawlana Jalal-ud-Din Rumi (semoga Allah menyucikan jiwa mereka) dalam kehidupan mereka, dalam ajaran dan tulisan mereka, telah menunjukkan dan menekankan filsafat ini yang diwujudkan dalam pengalaman mereka masing-masing. Pada apa yang mereka nyatakan, para wali ini meriwayatkan pengalaman spiritual mereka sendiri dan menjelaskan, atas dasar keluhuran pemahaman, teologi ortodoks Islam tentang kitab suci, dogma, ajaran, dan hukum. Pada era Suhrawardi, tampaknya ada empat jalan utama menuju pengetahuan spiritual, kebenaran Ilahi, dan keselamatan diri. Ketika ranah perenungan intelektual memuat filsafat visioner isyraqiyyah dan argumen rasionalis masysyiyyah, maka ranah penafsiran kitab suci mencakup aplikasi intuitif kaum sufi dan penalaran logis skolastisisme yang dikenal sebagai kalm. Menurut kategorisasi ini, orang yang mengikuti penafsiran kalm sangat bersandar kepada dogma yang sama dengan kaum sufi dan juga menganut rasionalisme para filsuf Aritotelian, masysyiyyah. Sebagaimana telah disebutkan, kaum sufi, seperti halnya kaum skolastik kalm yang bergantung pada kitab suci, mempunyai metode intuisi tersendiri, tak ubahnya para filsuf Platonik dari mazhab isyraqiyyah. Tradisi membagi hal-hal yang bersifat spiritual ke dalam dua macam kategori: ahlun-nazhar, kaum spekulatif, dan ahl-ur-riydhah, para praktisi pengalaman spiritual. Kaum spekulatif, jika mereka memberikan otoritas akhir kepada hukum Islam, maka mereka termasuk penganut kalm. Jika tidak, mereka adalah para filsuf masysyiyyah. Para praktisi pengalaman spiritual, jika mereka disebut sebagai kamu sufi; jika tidak, mereka adalah para filsuf isyraqiyyah. Pada praktiknya, pembagian kategoris ini tidaklah terlalu kaku (rigid). Masysyiyyah Aritotelian, yang menyatakan bahwa akal murni mampu memecahkan persoalan dan menjawab semua pertanyaan, dan isyraqiyyah Platonik, yang didasarkan atas pemikiran bahwa segala sesuatu dapat dijelaskan dan dievaluasi oleh cita-cita seseorang, secara filosofis sama-sama bersifat independen dari dogma agama. Peran yang benar-benar dimainkan oleh ajaran yang disampaikan pada keduanya berbeda-beda di kalangan para filsuf. Demikian pula, tingkatan rasionalisme dalam kalm dan tingkatan intuisionisme dalam tasawuf keduanya sama-sama bergantung pada kepribadian sang guru. Misalnya, Fakhr-ur-Razi memberikan otoritas yang lebih besar kepada daya akal daripada yang diberikan oleh Abduh al-Maali; di kalangan kaum sufi, Syekh Mawlana Jalal-ud-Din Rumi dan terekat Mawlawiyyah tidak terlalu ketat bersandar kepada prinsip doktrinal dibandingkan dengan Baha-ud-Din Naqsyabandi dan tarekat Naqsyabandiyyah. Dengan demikian, tidak selamanya terdapat batasan yang pasti antara skolastisisme kalm dan rasionalisme masysyiyyah, atau antara intuisionisme filsafat isyraqiyyah dan cita-cita pribadi kaum sufi. Tampaknya ada batasan yang sangat samar. Tanpa disadari. Kaum sufi dapat melewati jenjang filsafat isyraqiyyah Neoplatonik, dan sebuah sekte yang bergantung pada argumen lokal kalm dapat menyadari keterlibatannya dalam rasionalisme masysyiyyah mazhab Aristoteles. Selalu saja ada pertentangan antara skolastisisme religius kalam dan kaum sufi. Dalam serangan mereka terhadap kaum sufi, para teosofi kalm

condong kepada filsafat rasionalis. Sedangkan kaum sufi, ketika mereka mendekati kembali pada filsuf kalm , memperkuat argumen mereka dengan sudut pandang dan dalil-dalil intuitif, filsafat visioner isyraqiyyah. Pertautan dengan filsafat ini juga terjadi pada kepercayaan mereka, yang digunakan oleh kaum sufi dan para teosofi kalm dalam serangan mereka terhadap satu sama lain, yang membuat mereka saling tuduh zindiq, yakni orang yang merusak agama dengan pengaruh sumber-sumber bukan Islam. Konflik ini hanya terjadi di kalangan teosof kalm yang lebih mementingkan rasionalisme daripada dogma dan kaum sufi yang lebih mendahulukan intuisi visioner daripada dogma. Kalm dan tasawuf yang bersesuaian dengan prinsip ajaran Islam lebih dari kaum filsuf dapat hidup berdampingan dengan keselarasan yang sempurna. Contoh terbaik dalam hal ini adalah al-Ghazali. Argumen rasionalnya berhasil mematahkan rasionalisme Aristotelian dan menghancurkan ajaran dasar filsafat yang secara umum bertentangan dengan prinsip ajaran Islam. Ketika penyebaran menjadi sangat penting, perselisihan kecil akibat perbedaan pendapat menjadi tidak bermakna. Tokoh sufi as-Saqati pernah mengatakan: Cahaya hikmah pada diri seorang sufi tidaklah menyisihkan cahaya takut kepada Allah. Pengetahuan batin yang dimilikinya tidak bertentangan dengan makna harfiah alQuran dan Hadis. Kemukjizatan yang dimilikinya tidak mengoyak tabir rahasia Allah. Seperti al-Ghazali, Suhrawardi meneliti semua bentuk pengetahuan yang ada pada zamannya, dan akhirnya meninggalkan beragam pengalaman ini untuk mengabdi kepada tasawuf, dengan membuka makna batin Islam. Suhrawardi membuat pernyataan berkenaan dengan karya ini. Meski pun sebelum menyusun buku ini saya telah menulis beberapa makalah tentang filsafat Aristoteles, namun karya ini berbeda karena memiliki metode yang khas. Semua isinya telah disusun bukan dengan pemikiran dan penalaran, tetapi oleh intuisi, perenungan, dan perilaku asketik. Rasulullah s.a.w. pernah meriwayatkan sebuah hadis qudsi: Jika Aku mencintai hamba-Ku, Aku menjadi matanya, Sehingga dia pun melihat melalui Aku Aku menjadi telinganya, sehingga dia mendengar melalui Aku Aku menjadi lidahnya, sehingga dia berbicara melalui Aku Aku menjadi tangannya, sehingga dia menggenggam melalui Aku. Ini keadaan musnahnya kehendak dan materialitas seseorang dalam Allah. Suhrawardi telah berada pada keadaan semacam itu. Kondisi seperti itu membuka kemungkinan pemahaman yang berada di luar keadaan manusia yang lazim. Suhrawardi melihat citra Cahaya melalui bentuk khusus persepsi yang berbeda dengan pengalaman indra, dan sangat mirip dengan imajinasi. Seorang rasional mengetahui bahwa segala sesuatu yang ada dalam imajinasi merupakan rekaan pikiran yang tak nyata dan tak faktual. Sebaliknya, kita mengetahui bahwa ada kekuatan nyata namun tak terlihat yang mengungkapkan dirinya dalam bentuk dan fenomena gaib. Manusia memiliki daya untuk mengamati sebab, alasan, hakikat, realitas yang lebih baik dari realitas kasar yang ditangkap indra, maupun realitas samawi yang tidak berhubungan dengan realitas duniawi yang kasar. Dalam hal tertentu, realitas indrawi menjadi tabir penghalang antara kita dan hakikat Tuhan. Persepsi batin bukanlah sesuatu yang berasal dari persepsi luar, seperti halnya imajinasi biasa; yang hanya menyusun kembali kesan-kesan dan memiliki keterbatasan yang sama dengan indra. Tetapi, ia menyaksikan citra batin

langsung melalui mata batin, bashirah. Ketika citra kasar duniawi muncul di retina mata fisik, citra batin dipantulkan pada cermin murni hati yang telah dibersihkan sebagai bentuk pemantul spiritual cahaya, dan dicetak pada jiwa itu sendiri. Ketika jasad fana menangkap benda-benda dan pengalaman temporal, jiwa yang kekal menyaksikan dan berhubungan dengan hakikat segala sesuatu. Persepsi ini merupakan pengenalan jiwa akan dirinya sendiri. Para wali yang melihat dengan mata-Allah dan berbira dengan lidah-Allah, terkadang membuat pernyataan kuat semacam ana-l-haq (Aku-lah Tuhan) yang terkenal itu atau Subhani (Maha Suci Aku). Pada saat seperti itu, nama-nama yang dinisbahkan hanya kepada Allah berasal dari mulut seorang al-Hallaj atau Abu Yazid tanpa mereka sadari. Penulis sufi al-Qusyairi mengkaji ulang para guru itu dan mengatakan: Kaum sufi terkadang membuat pernyataan yang maknanya hanya diketahui mereka, dan sama sekali tidak dapat dipahami oleh orang lain. Bahasa kesalahpahaman sangatlah besar. Hallaj menyatakan: Aku melihat Tuhan, aku menyatu dengan Dia; orang lain memahaminya sebagai mengatakan Aku-lah Tuhan, dan dia pun dijatuhi hukuman mati. Demikian pula halnya Suhrawardi. Pokok kajian tasawuf adalah jiwa. Kaum sufi menggunakan istilah lathifah (yang lembut); sirr (rahasia batin); nafs (nafsu) ; qalb (hati atau inti) dan sebagainya, Pada dasarnya, semuanya mengandung arti jiwa. Menyucikan jiwa, membersihkan hati, menempatkan hakikat diri pada tujuan tasawuf. Siapa pun mencapai hal ini, ia menjadi manusia sempurna. Kami telah membahas filsafat tasawuf. Karena tujuan dan objek kajian tasawuf adalah jiwa, maka dalam arti tertentu, tasawuf juga merupakan psikologi. Pengetahuan, emosi, motivasi, dan perbuatan merupakan subjek penting tasawuf maupun psikologi. Psikologi, yang mengaku bersifat positif, tetap berada di dalam batas-batas pengukuran, eksperimentasi, dan pengalaman nyata. Tasawuf, meski tampaknya dibatasi oleh prinsip-prinsip Islam, mencakup pengetahuan yang diterima dalam keadaan ekstase, rasa takjub, dan cinta Ilahi, yang melampaui di atas logika dan pengukuran. Moralitas baik dan buruk dalam konteks ketetapan Tuhan tidak selalu tercakup di dalam tujuan psikologi. Tetapi dalam tasawuf, kedudukan agama dan wahyu dan pengetahuan yang dihasilkannya bergantung pada niat dan perbuatan seseorang dalam menjalankan standar objektif ajaran dan hukum. Teladan Nabi s.a.w., para wali dan syekh sebagai guru dan manusia sempurna ditujukan kepada hal ini. Dari sudut pandang ini, tasawuf juga merupakan pedagogi. Pendidikan jiwa ini dinyatakan dalam kata akhlaq, moralitas; dan adab, perilaku yang sempurna. Ada tiga aspek manusia: 1. Khuluq, akhlq (sifat); sifat dasar dan potensi seseorang yang telah ada sejak lahir. Jika bertentangan dengan apa yang diperbolehkan dan diperintahkan oleh ketetapan Ilahi. Sifat ini harus dihilangkan melalui usaha yang terus menerus dan teratur mujhadah, perjuangan. 2. Fil (perbuatan): peraturan yang disengaja, misalnya ibadah, kepatuhan, dan sikap tunduk kepada ketentuan agama, dan perbuatan-perbuatan yang baik. 3. Hl, ahwl (kondisi jiwa): kondisi jiwa yang muncul pada diri seseorang tanpa kehendaknya. Keagungan dan kesucian sifat jiwa ini berhubungan dengan kesucian watak dan amal perbuatan seseorang. Sifat jiwa ini mempunyai dua macam bentuk:

a. Kondisi wajd (ekstase), jadzbah (tarikan Ilahi), sukr (mabuk spiritual), istighrq (keterlenaan), qabdh (menyempit), basth (lapang), dan sebagainya. Inilah kondisi emosional yang lebih tinggi. b. Ilhm (inspirasi), firsah (intuisi), kasf (penyingkapan), yaqn (keyakinan), haqq (kebenaran), irfn (pengetahuan keadaban), dan marifah (pengetahuan batin). Inilah kondisi intelektual, intuitif, dan visioner yang mengantarkan kepada kearifan (hikmah). Ada tiga aspek yang berinteraksi melalui cara berikut ini: manusia berdoa atas kehendaknya, menjalani kehidupan yang saleh, mengerjakan perbuatan baik yang diperbolehkan, dan menjauhi perbuatan yang dilarang: hal ini mengubah wataknya yang buruk dan membukakan peluang baginya untuk menerima keadaan mistik wajd (ekstase) dan jadzbah (tarikan Ilahi); melalui keadaan ini dia mencapai ilham, penyingkapan, dan kepastian kearifan batin. Dengan demikian, keadaan-mistik bergantung pada watak seseorang dan watak itu diperbaiki oleh amal saleh yang diniatkan. Pengetahuan batin yang luhur merupakan ganjaran bagi amal saleh. Akhlq, watak, dan fil, amal saleh yang diniatkan, berada dalam ranah syariah, dogma Islam. Hl (anugerah Ilahi), sumber pengetahuan, masuk ke dalam ranah tasawuf. Karena hal, sifat yang lebih tinggi, bergantung pada watak (akhlq) dan perbuatan (fil), Islam merupakan fondasi dan tasawuf merupakan rumah yang didirikan di atasnya. Rumah tak dapat didirikan tanpa fondasi. Fondasi dapat tetap ada tanpa rumah yang dibangun di atasnya, namun tujuan fondasi adalah agar di atasnya dibangun rumah. Dogma Islm adalah jasad, tasawuf adalah jiwa. Agama adalah kata-kata, tasawuf adalah makna. Dogma adalah laut, tasawuf adalah mutiara di dalamnya. Agama adalah pohon, tasawuf buahnya. Islm adalah bentuk cahaya, tasawuf adalah cahaya yang berada di dalam bentuk itu. Allah adalah Cahaya Langit dan bumi; Perumpamaan cahaya-Nya seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar, Pelita itu di dalam kaca dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkatnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, yang minyaknya (saja) hampirhampir menyala-nyala, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya; Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki. (an-Nur: 24:35) Syekh Tosun Bayrak al-Jerrahi.

Wahai teman, hatimu adalah cermin yang mengkilap. Kau harus membersihkan debu yang menutupinya, karena hati ditakdirkan untuk memantulkan cahaya rahasia-rahasia

Ilahi. Al-Ghazali

Cahaya Musa ada di sini dan kini, di dalam dirimu. Pun Firaun. Lampu keramik dan sumbunya berubah, namun serupa cahayanya. Jika kau terus memerhatikan cerobong asap terawang yang melingkari nyala api, kau hanya akan melihat Yang Tak Satu, warna-warninya dan keragamannya. Perhatikanlah cahaya di dalam nyala api. Kaulah itu.

Rumi

3. Mengenal Suhrawardi Suhrawardi lahir pada 549 H (1155 M) di kota Suhraward, propinsi Jabal, Azerbaijan. Di kota Maraghah, Azerbaijan, dia belajar hukum Islam dan teosofi kepada Syekh Majd-ud-Dn al-Jilli. Lalu dia mengembara ke Isfahan, yang kemudian menjadi pusat ilmu di Persia, dan menamatkan pendidikannya di bawah bimbingan Zahruddn al-Qri. Sejak usia muda, dia telah dikenal luas sebagai seorang teosof, teolog, dan ahli hukum Islam. Dia banyak melakukan perjalanan ke berbagai propinsi yang berada di bawah kekuasaan Bani Saljuk, Persia, Anatolia, dan Syria. Selama perjalanan ini, dia banyak bertemu dengan guru-guru sufi dan sangat dipengaruhi oleh mereka. Dia memasuki tarekat sufi dan dalam jangka waktu yang lama mengamalkan peribadatan, penyendirian spiritual, dan perenungan. Dalam perjalanannya itu, dia mengunjungi Harran, Antalya, Nusybin dan Urfah di Syria Utara, sebuah kawasan yang pernah menjadi pusat budaya Hermetisisme sebelum Islam lahir. Kemungkinan sebagian pemikiran dari sumber itu yang terdapat dalam teosofi Suhrawardi berasal dari hubungannya selama perjalanan itu. Akhirnya dia diundang oleh Malik Zhir, gubernur Aleppo, untuk menetap di kota itu. Zhir adalah putra dari tokoh pemegang Perang Salib, Shalh-ud-Dn al-Ayybi. Dia menjadi pelindung Suhrawardi, dan sering mengundangnya ke istananya untuk berdiskusi dengan ulama lain pada zaman itu. Suhrawardi memiliki kecerdasan luar biasa selain pengetahuan esoterik dari gurugurunya dan inspirasi langsung yang diperoleh melalui perjalanan hidupnya sebagai seorang sufi. Hal ini memampukannya mengalahkan saingan-saingannya dalam berbagai perdebatan. Dia tak mengenal rasa takut dan tidak mengendalikan ucapan-ucapannya, sehingga memiliki banyak musuh. Banyak ulama ortodoks terutama para fukaha menyatakan bahwa dia menyebarkan paham yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pengetahuannya dalam bidang kimia membuat Suhrawardi terlihat di mata mereka sebagai tukang sihir. Mereka akhirnya meminta agar dia dijatuhi hukuman. Sebenarnya, ada riwayat yang menyatakan bahwa suatu hari, Malik Zhir pernah meminta Suhrawardi untuk memperlihatkan kepada dirinya contoh pengetahuannya tentang kimia. Meskipun pada mulanya Suhrawardi menolak, dengan menyatakan bahwa praktik seperti tidak layak dipertontonkan kepada seorang gubernur, dia akhirnya menuruti perintah pelindungnya itu. Setelah beberapa persiapan dan bacaan, dia meminta gubernur untuk datang ke balkon istana dan melihat ke benteng kota. Seluruh kota dipenuhi oleh pasukan Monggol

yang tengah menyerang benteng. Benteng itu berhasil mereka robohkan, dan membunuh serta menghancurkan segala yang ada di depannya. Mereka menyerbu istana dari segala penjuru. Akhirnya, ketika mereka mencapai gerbang istana, Malik Zhir yang ketakutan ingin berlindung, berlari menuju harem. Ketika membuka pintu harem, dia berhadapan dengan tujuh ekor naga. Dia pun tersungkur dan tak sadarkan diri. Suhrawardi membawanya kembali ke balkon, dan memperlihatkan kepadanya kota Aleppo yang damai lagi indah dan terang di bawah cahaya matahari, Konon kejadian inilah yang mengubah hati si pelindung Suhrawardi itu. Musuh-musuh Suhrawardi akhirnya pergi kepada Shalah-ud-din al-Ayyubi dan meyakinkannya bahwa tukang tenung ini berbahaya bagi agama dan negara. Syria baru saja direbut dari pasukan Salib, dan Shalah-ud-Din membutuhkan dukungan dari para ulama itu untuk melanggengkan kekuasaannya. Pertimbangan politik inilah yang membuatnya memerintahkan Malik Zhir untuk memenjarakan dan menghukum mati Suhrawardi. Menurut riwayat yang lain, Malik Zhir mengabulkan permintaan Suhrawardi untuk mengakhiri hidupnya dengan berpuasa total dan bukan di tiang gantung. Suhrawardi wafat pada tahun 587 H (1191 M) pada usia tiga puluh (delapan) tahun (549 to 587), dengan cara sufi melemahkan raga melalui puasa total. Dalam masa hidupnya yang singkat itu, Suhrawardi menulis lebih lima puluh buah buku, dalam bahasa Arab maupun Parsi. Kebanyakan di antaranya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di negara-negara Islam. Yang terpenting antara lain adalah: 1. Hikmat-ul-isyrq (Teosofi Iluminasi), yang dianggap sebagai mahakarya-nya dan menjadi prinsip teosofi isyrqiyyah. Karya ini diterbitkan di Syria, Iran, dengan ulasan abad keempat belas oleh Mahmud ibn Masud asy-Syirazi. 2. Kitb-ul-talwht-il-lwiyyati wal-arsyiyyah (Kitab Pemaparan Rahasia dan Singgasana Allah). 3. Kitb al-muqwamt (Kitab Pembelaan). 4. Kitb al-masyr wa al-muthraht (Kitab Jalan dan Dialog). (Tiga yang terakhir, yang membahas perubahan filsafat Aristotellian, diterbitkan oleh Henri Corbin dengan judul Majmuah fi al-Hikmah al-Ilhiyah , Istambul, 1945). 5. Haykal-un-Nr (Altar-Altar Cahaya), karya yang kini ada di tangan pembaca, yang aslinya berbahasa Arab tetapi tersedia juga dalam bahasa Parsi, diterjemahkan ke dalam bahasa Turki pada abad ke 17 oleh Ismail Ankaravi, kemudian oleh Yusuf Zia pada 1924 dan pada 1960 oleh Saffet Yetkin. Terjemahan Turki ini dijadikan dasar bagi edisi terjemahan bahasa Inggris ini. (Dan edisi Inggris inilah yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia). 6. Kitb-ul-Lamht fil-Haqiq (Kilatan Cahaya Kebenaran), sebuah karya tentang fisika, metafisika, dan logika. 7. Al-alwh al-Imdiyyah (Catatan Pilar-Pilar Agama). Sebuah karya tentang filsafat iluminasi. 8. F Itiqd al-Hukam (Mengenai Keyakinan para Filsuf). 9. Yazdan Shinakht (Pengetahuan tentang Allah). (Dalam bahasa Parsi).

10. Bustn al-Qulb (Taman Hati). Ada karya-karya lain, novel-novel mistik, yang menguraikan perjalanan jiwa melalui alam Cahaya, yang memuat banyak pemikiran dan praktik penyucian sufi. Kebanyakannya berbahasa Parsi dan hanya sedikit yang berbahasa Arab. 11. Aqli Surkh (Malaikat Merah; secara harfiah, Akal Merah). 12. Ashwt-ul-ajniht Jibrl (Suara Sayap Jibril). 13. Al-ghurbah al-gharibah (Pengasingan Barat). 14. Lughat-i muran (Bahasa Termit). 15. Rislatun fi hlat-il-thifliyah (Risalah tentang Kondisi Anak). 16. Ruzi ba jamaati sufiyan (Sehari Bersama Komunitas Sufi). 17. Rislatun fil-mirj (Risalah tentang Miraj). 18. Safir-i simurgh (Senandung Buraq). Masih terdapat banyak karya dan ulasan lain mengenai filsafat, misalnya terjemahan dan ulasan tentang Ibn Sn (Avicenna). 19. Rislat-ul-Thayr (Risalah tentang Paksi Spiritual), sebuah karya terjemahan. 20. Isyrah (Saran), sebuah karya ulasan. 21. Rislatun f Haqqat ul-Isyq (Risalah tentang Hakikat Cinta), didasarkan karya Ibn Sn Rislatun fil-Isyq. Masih terdapat sejumlah karya lain tentang tafsir ayat-ayat Al-Qurn dan Hadis,atau tradisi kenabian, dan berjilid-jilid karya tentang salat dan doa. Dalam semua karya ini bersinar filsafat yang memantulkan cahaya banyak tradisi. Plato, Aristoteles, Empedokles, Pitagoras, Plotinus semuanya dari Barat diserap ke dalam Islam. Dalam karya Suhrawardi, teori Platinus tentang emanasi menjadi perambatan Cahaya suci. Pemikiran Plotinus dicapai melalui intuisi yang bersumber dari Cahaya Tertinggi. Inilah rahasia suci yang didapatkan oleh Suhrawardi melalui penyucian spiritual. Kumpulan ajaran Hermetisisme, falsafah, dan hukum . Hermes, yang diyakini sebagai ahli kimia Mesir kuno dan falsafahnya diabadikan oleh kaum Sabii Harran; atau Nabi Idris, pendiri filsafat dan sains; atau garis raja-rahib Parsi, Gayumarth Faridun, Kai Khusraw. Akan tetapi,, pembimbing Suhrawardi adalah tokoh-tokoh tasawuf Islam generasi pertama Ab Yazd al-Bisthm (w.261/874), Manshr alHallj (w. 309/992), Dzun-Nn al-Mishr (w. 245/859), dan Sahl at-Tustr (w. 283/896). Suhrawardi sendiri memandang bahwa dirinya mengikuti para sufi generasi pertama. Dia menulis tentang sebuah mimpi ketika dia bertemu dengan seseorang yang dikiranya Aristoteles, dan bertanya kepadanya apakah para filsuf Peripaterik semacam al-Frab dan Ibn Sn merupakan filsuf sejati Islam. Filsuf Yunani itu konon menjawab: Mustahil. Tetapi, sufi Bisthm dan Tustr-lah yang merupakan filsuf sejati. Al-Ghazl (w.505/1111), katalisator tasawuf dan ortodoksi Islam, juga berpengaruh terhadap Suhrawardi. Pandangannya dalam Misykt-ul-Anwr (Misykat Cahaya-Cahaya), jika dibandingkan dengan beberapa konsep teosofi isyrqiyah, membuktikan pengaruh

ini. Citra yang menunjukkan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah tak ubahnya seperti gelombang cahaya memancar dari matahari merupakan pendapat yang sama dalam al-Ghazl maupun Suhrawardi. Al-Ghazl dalam karyanya, ar-Rislat-ul-Ladniyyah, menunjukkan bahwa kesadaran akan Allah dan pengetahuan tentang rahasia-Nya hanya mungkin dicapai melalui praktik penyucian ala sufi. Pendapat serupa muncul dalam karya Suhrawardi, Rislat-uth-Thayr (Risalah tentang Paksi Spiritual), Munisul-Usysyq (Kedekatan Pecinta) dan ashwt-ul-ajniht-il-Jibrl (Suara Sayap Malaikat Jibril). Suhrawardi meyakini penciptaan melalui shudr, emanasi, dari satu sumber utama Allah. Dialah Yang Pertama, Cahaya Tertinggi, Yang Niscaya, atau keniscayaan mutlak praeksistensi, sebab utama yang menjadi sumber eksistensi segala yang mumkin, segala kemungkinan dalam penciptaan. Cahaya Tertinggi ini menyinari segala sesuatu, dan dipantulkan melalui segala sesuatu melalui matahari di langit, api pada segala unsur, dan di dalam jiwa manusia. Makhluk beremanasi dari Allah, Cahaya Tertinggi, seperti halnya sinar terang yang merambat dari matahari dan membuat segalanya terlihat jelas. Makhluk pertama yang diciptakan adalah cahaya, cahaya yang berkesadaran, unik dan menunggal, bersifat material, suci dari keragaman, cahaya yang mampu mengenal diri, dan mengenal Penciptanya. Ia merupakan akal utama, pemikiran universal, perantara dan penengah antara sumber cahaya, Sang Pencipta, dan alam semesta yang diciptakan. Inilah Nr-ul-Muhammadi, Cahaya Muhammad, yang dalam buku ini disebut oleh Suhrawardi sebagai an-nr-ul-ibd, Cahaya Kreatif; dalam Hikmat-ul-Isyrq disebutnya sebagai an-nr-ul-aqrab, Cahaya Terdekat (kepada Sumbernya). Dalam karyanya, Talwht, disebutnya sebagai al-aql-ul-kulli, Akal Universal. Dalam karya-karya yang lain, ada penyebutan tentang an-nr-ul-awwal, Cahaya Pertama, asy-Syaikh, Sang Guru, al-Jaml, Keindahan dan sebagainya. Salah satu alasan mengapa begitu banyak nama yang diberikan adalah keinginan Suhrawardi untuk menjelaskan nr Muhammad menurut setiap bentuk pemikiran dan filsafat yang mungkin, apakah mengikuti kalm, masysyiyyah, dan filsafat Plotinus dan Aristoteles. Cahaya Pertama yang diciptakan berbeda dari Cahaya tertinggi dalam hal tingkat kekuatan cahayanya. Setiap esensi cahaya mempunyai cahaya yang lebih lemah daripada pendahulunya, seperti halnya cahaya bulan lebih lemah daripada cahaya matahari yang menjadi sumber cahaya bulan. Ketika cahaya itu terus-menerus memancar dari matahari, penciptaan tetap berlangsung dari Cahaya Tertinggi. Ketika sebab tak berakhir, akibat juga tak berakhir. Ketika Pencipta abadi, yang bersumber dari-Nya abadi pula. Eksistensi adalah yang terbaik dan teragung. Apa pun yang bereksistensi merupakan yang terbaik dan menjadi eksistensi yang paling indah. Tak ada yang kotor atau buruk di dalam alam semesta, karena semuanya merupakan cermin Allah. Untuk mencapai kesadaran akan Cahaya Ilahi, manusia harus melibatkan diri dalam peperangan spiritual. Hasrat ragawi merupakan hambatan yang menghalangi seseorang dari pencerahan. Manusia harus menjauhkan dirinya dari kegelapan raga dan materialisme demi mencapai Cahaya hakiki. Disiplin, kontemplasi, salat dan ibadah merupakan amal perbuatan yang akan membersihkan hati. Suhrawardi, tokoh yang mengikuti dan menganut jalan ini, juga menekankan keniscayaan seorang pembimbing dan guru, yang mengabdikan hidupnya kepada Allah dan mendamba keridaan-Nya. Suhrawardi menyatakan bahwa orang-orang yang mengabdikan hidup mereka untuk beribadah kepada Allah akan memperoleh pengetahuan rahasia, akan mencapai kekuatan para wali,dan beroleh mukjizat. Mukjizat yang paling baik adalah berbagai bentuk cahaya yang memanifestasikan diri kepada pengembara spiritual. Ada berbagai tingkatan penyingkapan cahaya itu: 1. Cepat, bersinar laksana kilat, timbul tenggelam, dicapai oleh pemula. 2. Pencerahan dengan waktu yang lebih lama, yang kemungkinan dapat menjadi

permanen, bagi orang yang berteguh hati dalam perjuangan, kontemplasi, dan salat mereka. 3. Penyingkapan cahaya bagi orang yang melangkah di jalan yang benar, yang bagi mereka perjuangan ego, kontemplasi, kesadaran akan Pencipta, dan ibadah menjadi daya yang alamiah. Dengan semua perjuangan batin ini, manusia dapat naik ke derajat peniadaan diri, dengan meninggalkan hasrat material dunia, raga, dan pengetahuan duniawi, seraya memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang bersifat lahir. Yakni ketika jiwa menjadi cermin yang memantulkan cahaya Allah, dan jiwa menyaksikan citra Sang Cahaya. Pendahuluan Bismillh-ir-rahmn-ir-rahm Saya mulai dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Semua rahasia suci firman Allah yang disampaikan kepada manusia dalam seratus catatan kitab suci masa silam, Zabur Nabi Daud, Taurat, dan Injil terangkum dalam al-Quran. Keseluruhan al-Quran terangkum dalam surah al-Fatihah: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam Maha Pemurah lagi Maha Penyayang Yang menguasai hari pembalasan Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan Tunjukilah kami jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, dan bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan pula (jalan) mereka yang sesat. Keseluruhan surah al-Fatihah tercakup dalam ayat permulaan Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan hakikat segala sesuatu tercakup dalam yang awal di antara yang awal, huruf pertama: B, yang berisi B kna m kna wa b yakn m yakn Apa pun yang menjadi, menjadi melalui Aku, Dan apa pun yang akan menjadi, Akan menjadi melalui Aku. Hakikat tertinggi berada pada titik di bawah huruf B. Nabi Muhammad s.a.w. bersabda: Aku adalah kota ilmu dan Ali r.a. adalah gerbangnya (An madnat-ul-ilmi wa Aliyun bbuh) Ali, gerbang ilmu itu, memperkuat pernyataan di atas dengan mengatakan Aku adalah titik di bawah huruf B, dan al-ilm nuqthatun (semua pengetahuan adalah sebuah titik). Ya Qayyum, ya Allah, Yang Berada dengan sendiri-Nya, yang pada-Nya bergantung

segala wujud, kuatkanlah kami dengan Cahaya-Mu yang menyucikan akal dari semua imajinasi, dan lindungi kami dengan Cahaya-Mu, sehingga pengetahuan sejati memancar dalam perbuatan kami. Bimbinglah kami kepada Cahaya-Mu yang adalah ZatMu. Jadikanlah tujuan akhir dari semua keinginan kami adalah keridaan-Mu. Jadikanlah puncak keinginan kami adalah menjumpai-Mu dengan iman sempurna dan cahaya sempurna yang berasal dari-Mu. Kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan menjerumuskan diri kami ke dalam kegelapan, namun semoga engkau tidak menjauhkan pencerahan dari kami. Kami adalah budak-budak yang terkungkung dalam gelapnya penjara materi. Kami menanti di pintu-Mu, memohon rahmat dan kebaikan-Mu untuk menyelamatkan kami. Kebaikan yang datang dari-Mu adalah keridaan-Mu; keburukan yang berasal dari-Mu adalah takdir-Mu, Engkau Mahakuat dan Mahawujud: Engkau limpahkan cahaya dan kasih sayang kepada semua wujud. Bahkan orang-orang di antara kami yang menghamba kepada dunia dan manusia masih Engkau jauhkan dari amarah dan murka-Mu. Karuniakan kepada kami pengetahuan untuk mengingat dan memuji-Mu. Angkatlah tabir kebodohan dari kami. Berikanlah kepada orang baik pahala yang mereka dambakan. Mudah-mudahan rahmat-Mu Engkau limpahkan kepada Nabi s.a.w. dan pada keluarganya. Karya ini diberi judul Hayakal-un-Nur (bentuk, penampakan, atau altar-altar Cahaya). Sebagaimana orang Yunani kuno memandang bintang-gemintang sebagai bendamaterial dari eksistensi spiritual, bentuk-bentuk Cahaya ini merupakan manifestasi dari sumber segala cahaya, Cahaya Yang Mahasuci. Semoga arwah orang yang mengajak manusia kepada Kebenaran, orang yang memperoleh bimbingan untuk melangkah di jalan yang benar, diagungkan. Jalan yang benar dan keimanan yang benar telah dibuktikan oleh para saksi Allah nabi-nabi dan penerus mereka, para pecinta yang dicintai Allah (para wali). Bentuk Pertama Cahaya Materi yang Tercerahkan Materi mencakup segala sesuatu yang wujudnya dapat dicerap indra. Pada umumnya, ia memiliki panjang, lebar, dan dalam. Karakterisik ini harus diperhatikan supaya tidak ada kerancuan ihwal materi. Perlu diketahui, akal dan jiwa, yang tak kasat mata, bergantung pada materi bagi manifestasi lahiriahnya. Materi yang dicerahkan oleh akal dan jiwa dapat menunjuk pada esensinya. Kita hidup dalam alam persepsi, alam indra kita. Diri material kita merupakan bagian dari alam ini. Alam indra ini berseberangan dengan alam Malakut kerajaan spiritual Allah yang berisi wujud gaib, spiritual, nonmaterial, dan abstraksi. Kunci untuk mengetahui makna batin adalah pengetahuan dan kemampuan untuk membedakan alam materi dari alam spiritual. Apa yang sama dengan, atau menciptakan, kesatuan di antara hal-hal yang bersifat material adalah materi. Tetapi, dua hal yang mempunyai kesamaan sifat mungkin saja berbeda satu sama lain pada aspek-aspek yang lain. Dalam hal sesuatu yang bersifat material, kualitas yang memisahkan yang satu dari yang lain adalah bentuk visualnya. Sebaliknya, sesuatu yang merupakan bagian dari Kebenaran mutlak tidak mungkin berbeda dari Kebenaran itu. Menurut definisinya, angka empat adalah bilangan genap yang mencakup semua bilangan genap yang lain; dan jisim material mendefinisikan manusia yang mencakup semua manusia yang lain. Sifat ini tampak bersifat mutlak bagi eksistensi segala materi. Kualitas umum pada segala yang bersifat material ini mungkin juga menjadi keniscayaan mutlak bagi eksistensinya, wajib, atau mungkin, mumkin (yang pada hal

tertentu bersifat niscaya, dan pada hal yang lain tidak); atau mustahil, mumtani, yang menolak eksistensinya. Misalnya, jelas merupakan keniscayaan mutlak bagi manusia untuk memiliki tubuh, mungkin bagi manusia untuk berdiri atau duduk, dan mustahil manusia bisa menjadi seekor kuda! Wajib, mumkin, dan mumtani merupakan istilah yang berkaitan dengan ilmu mengenai makna batin. Wajib berarti keniscayaan mutlak. Mumkin adalah sebuah kemungkinan yang peluang ada atau tidaknya seimbang, Mumtani adalah kemustahilan yang ketiadaannya merupakan sebuah keniscayaan mutlak. Tidaklah benar mengira bahwa sesuatu atau sebuah konsep yang secara mutlak bersifat gaib dapat berada di dalam sebuah ruang yang terbatas. Materi terkecil yang tidak dapat dibagi, atom, tidak dapat ditempatkan ke dalam sebuah ruang tertentu. Atom ini yang tidak dapat dibagi menurut teori maupun kenyataannya tidak dapat bereksistensi di sini atau di sana, dan tidak bertempat, seperti halnya Allah, al-Bari, Pencipta bentuk, Yang Mahasuci dari ruang dan waktu. Satuan yang tak dapat dibagi itu (meskipun ia merupakan bagian dari bentuk yang lebih besar yang tak dapat dibagi), jika menempati suatu ruang, tentu akan bertentangan satu sama lain dalam jenis yang sama, menempati suatu ruang yang bertentangan dengannya. Dengan demikian, kedua unit itu akan saling menghambat satu sama lain sebagaimana pengandaian yang menyatakan khayalan ini. Atom yang tak dapat dibagi itu merupakan esensi dari segala yang bersifat meterial, yang tak mungkin ditempatkan dalam satu ruang. Jiwa, akal tertinggi, dan nama maupun sifat lain dari atom yang tak dapat dibagi itu, esensi, tidak dapat ditempatkan pada sebuah jasad atau bentuk, meskipun untuk bermanifestasi, wujudnya kemungkinan bergantung pada wujud material ini. Bentuk Kedua Cahaya Memiliki Tiga Bagian BAGIAN PERTAMA Manusia tidak pernah dapat melupakan esensinya. Esensi itu tak ternoda oleh khayalan dan angan-angan, dan merupakan akal yang sempurna. Tetapi, sifat hewani dalam diri manusia membayangi esensinya. Itulah mengapa esensi bersifat material, bukan spiritual. Jika esensi seseorang tersusun dan mempunyai bagian-bagian, meskipun terkadang orang lupa akan hal itu, bagaimana mungkin bagi seseorang untuk tidak melupakannya di sepanjang waktu? Anda melupakan tubuh anda; anda sama sekali tidak menyadari semua bagian tubuh anda di sepanjang waktu, sedangkan dalam alam bawah sadar, anda selalu menyadari esensi anda. Hal itu membuktikan bahwa esensi anda bukanlah bagian dari jisim-materi anda. Ketika anda berkata: Aku, identitas ini merupakan sesuatu yang berbeda dan jauh lebih tinggi daripada setiap wujud material anda atau segala wujud material anda. BAGIAN KEDUA (bergantung pada dua premis: materi yang terus berubah dan esensi yang abadi) Tubuh anda terus-menerus mengalir dan memudar. Jika makanan yang anda makan tidak pernah dicerna atau dilarutkan, dan tidak pernah meninggalkan tubuh anda, dan jika jumlahnya ditambahkan kepada bentuk material anda, tentu tubuh anda akan menjadi besar sekali. Tubuh anda terus-menerus mengalami proses penguraian. Jika proses lahir dan mati ini tidak terjadi pada tubuh, dan sel-sel anda terus bertambah banyak, niscaya bentuk anda akan menjadi seukuran raksasa.

Bahwa yang tetap, yang selalu hidup, yang tak dapat dibagi, merupakan lawan kata dari yang berubah, terbagi, terurai. Esensi, seorang Aku dalam pernyataan anda tentang Aku, adalah sesuatu yang tak dapat dibagi, tetap, dan kekal. Oleh karena itu, esensi anda bersifat nonmaterial, dan tidak mungkin merupakan bagian dari wujud material. Selama esensi yang anda sadari di dalam diri anda berada dalam sifat yang tetap, anda adalah anda yang kekal, sedangkan tubuh anda adalah fana. Ia berubah, ia mengalami proses penguraian, ia sekarat: Anda tidak menyadarinya, anda tidak merasakannya. Bagaimana mungkin anda menjadi tubuh itu? Anda jauh melebihi hal itu. Allah berfirman dalam kitab-Nya yang suci, al-Quran: Padahal Allah mengepung dari Belakang mereka (Q.S. al-Buruj 85:20) Sesungguhnya diri kitalah kesaksian utama bagi-Nya. Tapi, seperti halnya kelelawar yang hanya bisa melihat pada malam hari dan tidak pada siang hari karena kelemahan penglihatannya, yang dibutakan oleh benderangnya sinar matahari, begitu pula pikiran manusia terlalu lemah untuk melihat keagungan Ilahi. Al-Ghazali BAGIAN KETIGA Bagian ketiga terdiri dari tiga premis: 1. Orang tidak dapat mengetahui hal yang sebelumnya ia tidak mengetahuinya. 2. Yang rasional tidak bergantung pada ukuran: Jika orang berlaku umum, ukuran seekor gajah tidaklah lebih penting daripada ukuran seekor lalat. 3. Yang abstrak, yang bersifat nonmaterial, tidak dapat dipahami menurut skala dan ukuran. Selama anda tidak dapat menyusun bentuk sesuatu dalam pikiran anda, anda tidak mungkin mengetahuinya, karena realisasi sesuatu haruslah bersesuaian dengan sesuatu itu. Untuk memahami sesuatu, perlu ada buktinya dalam pikiran anda. Cara lain untuk memahami sebuah bentuk melalui pemikiran komparatif adalah dengan memerhatikan kualitasnya yang berlaku umum terhadap bentuk-bentuk yang lain. Misalnya, dengan memerhatikan beberapa atribut yang berlaku umum terhadap banyak hewan, anda dapat menyimpulkan bahwa seekor gajah dan seekor lalat adalah sama. Dalam pola berpikir seperti ini, ukuran kedua hewan itu tidak diperbandingkan satu sama lain. Bahkan, jika persoalannya besar tetaplah hewan, bagaimana mengenai esensi? Dalam hal wujud seseorang, maka ia tidak bisa diperbandingkan dengan apa pun yang lain. Sesuatu yang tidak bisa diukur tidak bisa ditempatkan di dalam materi yang dapat diukur. Esensi anda, jiwa rasional anda, bukanlah materi, tidak pula berhubungan dengan materi. Ia terbatas dari ruang-waktu. Dengan, demikian, ia tidak dapat dicerap oleh indra. Ia merupakan cahaya yang berasal dari Ahad, Allah Yang Maha Esa, dan dari Shamad, Allah Yang Kekal dan Mutlak. (Q.S. al-Ikhlas 112: 1-2). Jiwa manusia, yang disebut sebagai Akal kosmik, merupakan cahaya yang tidak dapat dibagi, yang tidak dapat dianalisis oleh manusia yang terpedaya oleh dugaan hampa. Ia adalah cahaya suci yang berasal dari Allah Yang Maha Esa, Allah Yang Maha Kekal dan Maha Mutlak. Anda tidak perlu menyatakan bahwa sebuah dinding melihat atau tidak melihat,

karena melihat atau tidak melihat merupakan kemampuan yang diberikan kepada makhluk yang bermata. Jiwa manusia rasional bukanlah materi dan tidak ada kaitannya dengan materi.. Ia juga bukan bagian dari dunia ini atau bukan pula bagian yang selainnya. Ia juga tidak bergantung padanya, tidak pula terbebas darinya, sebab bergantung atau terbebas merupakan kualitas segala sesuatu yang bersifat material. Jiwa rasional (Akal kosmik) adalah sebuah esensi cahaya yang tak dapat anda lihat. Bagaimana mungkin esensi suci semacam ini yang mengendalikan dan mengatur semua materi, yang memiliki pengetahuan mengenai dirinya sendiri dan semua yang berada pada esensinya, serta pengetahuan mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan esensinya merupakan materi? Wujud suci ini, dengan pengaruh keagungan dan pesona spiritual, meninggalkan dunia materi ini dan mencari yang tak terbatas. Jiwa rasional ini memiliki daya pemahamannya sendiri yang membantunya melihat segala sesuatu dengan tepat. Sebagian daya pengamatan ini terlihat nyata (lahiriah) dan sebagian lagi tersembunyi (batin). Yang terlihat nyata adalah lima indra: peraba, perasa, pencium, pendengaran dan penglihatan. Daya pengamatan yang tersembunyi (batin) merupakan daya yang misterius laksana sebuah kolam yang ke dalamnya pengamatan lima indra mengalir: sebuah kesadaran kolektif. Daya itulah yang sesungguhnya mengalami mimpi yang tidak bersumber dari alam khayal. Daya tersembunyi yang lain adalah daya imajinasi. Ini laksana sumber kesadaran kolektif ini. Inilah daya yang menyimpan pengalaman yang tetap ditangkap oleh indra. Termasuk pula ke dalam daya tersembunyi ini adalah potensi akal, daya berpikir. Analisis melalui pembagian keseluruhan ke dalam bagian-bagiannya dan menyatukan bagian-bagian itu ke dalam keseluruhan, mengasalkan yang universal dari yang partikular, mencapai kesimpulan yang afirmatif, semua dilakukan dengan menggunakan daya ini. Yang lain adalah daya duga, yang membawa kepada khayalan (ilusi) dan angan-angan (delusi), yang menolak proposisi yang telah diteguhkan akal pikiran. Daya duga merupakan kekuatan jahat yang menyesatkan manusia dari nilai-nilai akal pikiran kejujuran, kebaikan, keadilan, keberanian, kemurahan hati. Akal mengetahui bahwa sumbernya bukanlah alam indra saja, tetapi merupakan bagian dari alam imaterial. Akal dengan kemuliaan nalar dan spiritualitas itu melemahkan kebergantungannya kepada tubuh dan ingin kembali kepada alam roh dan hakikat. Tetapi, daya duga ini memandang dirinya sendiri terbuat dari bahan yang sama dengan akal dan berada pada tingkatan yang sama sehingga ia pun terlibat dalam pertentangan dan perselisihan. Misalnya, jika akal menyatakan bahwa di atas alam akal tidak terdapat apa pun atau tidak ada kehampaan tak terbatas, daya duga mengatakan: Tidak, di atas alam akal tidak terdapat kehampaan tak terbatas, tetapi yang ada justru segala hal. Contoh lain perselisihan antara daya duga dan akal: jika seseorang dibiarkan sendirian dengan jenazah di malam hari, akal akan menerangkan, sedangkan anganangan menumbuhkan rasa takut ke dalam hati. Ilusi memainkan tipu dayanya terutama dalam hal-hal yang tidak dapat dengan jelas dicerap oleh indra. Sebenarnya, ia mengingkari segala sesuatu yang tidak dapat dipersepsikan. Ia tidak mengetahui bahwa akal dan jiwa jelas tidak bisa mencerap sesuatu secara langsung tak lain karena materi terlalu kasar, sedangkan akal dan jiwa tidak diciptakan dengan bahan yang sama. Daya ilusi (daya duga) ini tidak mengetahui bahwa ia sama sekali buta terhadap segala sesuatu yang bersifat imaterial. Materi hanya mengetahui apa yang berada di permukaan air, tetapi tidak mengetahui kedalamannya yang tersembunyi di bawah permukaan air. Daya pengamatan lain yang tersembunyi adalah daya ingat (memori). Ia menyimpan

semua yang telah terjadi, dan mengingatnya. Semua daya yang tersembunyi ini merupakan energi. Masing-masing memiliki tempat tersendiri di dalam otak. Ketika ada gangguan terhadap tempat itu, energi yang dimiliki oleh tempat itu juga akan terganggu, sementara daya lain tetap aman pada tempatnya masing-masing, Inilah betapa terbukti bahwa masing-masing daya ini berbeda dan bahwa semua daya tersebut mempunyai tempat yang berbeda di dalam otak manusia. Pada hewan dan sifat hewani dalam diri manusia terdapat dorongan-azali yang bercabang dua. Salah satunya adalah energi seksual. Ia menginginkan dan terpikat kepada hal-hal yang menyenangkan. Cabang lainnya adalah daya tolak atau amarah. Ia menolak hal-hal yang tidak menyenangkan. Hewan juga memiliki energi untuk mempertahankan hidup. Jiwa hewani yang terdapat pada hewan maupun dalam jiwarendah-manusia inilah yang berisi energi semacam itu. Ia berupa materi beruap yang membentuk empedu, jenis kelamin, darah, dan lendir. Ia dihasilkan dalam bilik-kiri jantung, dan menerima energi dari cahaya jiwa manusia. Jiwa-hewani, tubuh, dan ego adalah materi, bagian dari alam yang diciptakan. Jiwa manusia bagian dari Ketuhanan, dan berada di bawah pengendalian Allah. Hanya dengan suatu pencerahan yang jiwa hewani terima dari jiwa manusialah yang mampu bermanifestasi dalam akal. Mereka bertanya kepadamu mengenai roh, Katakanlah: Roh adalah urusan Tuhanku. (Q.S. al-Isra 17:85) Dari yang tertinggi hingga yang terendah, ranah dan inti yang ada pada manusia merupakan Pusat Ilahi, pusat Akal, pusat Ego, pusat Energi, dan pusat Materi. Bukti bahwa (meskipun berupa materi yang diciptakan) jiwa hewani mempunyai kualitas uap yang halus adalah bahwa ia harus melewati jalan sempit di dalam tubuh. Faktanya, jika ada halangan di jalan itu, bagian tubuh yang melingkari jalan ini mati. Jiwa hewani melayani jiwa manusia sebagaimana binatang-beban asalkan ia dalam keadaan baik yang hanya bisa dicapai melalui didikan daya penalaran yang diterima dari pencerahan jiwa manusia. Ia menjadi terpisah dan independen ketika ia terlepas dari daya penalaran itu. Jiwa hewani ini bertentangan dengan Jiwa Suci (jiwa tertinggi dalam diri manusia). Jiwa Suci akan diuraikan pada bab yang membahas jiwa para nabi. Jiwa manusia merupakan salah satu cahaya suci Allah yang tak berdimensi dan tak bertempat. Ia terbit dari Allah dan akan terbenam di dalam Allah. Ia misteri tak terungkap dalam hadis qudsi, Kuntu kanzan makhfiyyan Fa ahbabtu an urafa Fa khalaqt-ul-khalq Aku adalah perbendaharaan tersembunyi Aku ingin dikenal, maka Ku ciptakan makhluk. Ada sebagian manusia, ketika mereka mengetahui bahwa jiwa manusia bukanlah materi, terperosok ke dalam dugaan bahwa jiwa inilah Allah, dan masuk ke dalam jurang kesesatan. Allah Maha Esa, tak ada yang menyerupai-Nya. Jika jiwa Zayd dan Amr merupakan jiwa yang sama dan tunggal, maka ketika salah satunya mengetahui sesuatu, yang lain juga akan mengetahuinya. Dan jika seseorang mengetahui, maka semua manusia juga akan mengetahui. Tetapi, tidaklah demikian halnya. Selain itu, bagaimana mungkin di dalam tubuh material ini, energi dan dayanya, terdapat Allah

Yang Maha Tinggi? Manusia lain mengira bahwa jiwa manusia (sekalipun bukanlah Allah itu sendiri) setidak-tidaknya merupakan bagian dari Allah. Mereka keliru. Karena Allah bukanlah materi, bagaimana mungkin Dia dapat dibagi, dan siapa atau kekuatan apa yang bisa membuat-Nya terbagi-bagi? Sebagian yang lain mengira bahwa jiwa manusia kekal seperti halnya Allah Yang Maha Kekal, dan bahwa ia berdiri dengan sendirinya. Seandainya jiwa manusia seperti itu, maka siapakah gerangan yang memisahkan jiwa dan tempat sucinya, memasukkannya ke dalam alam kehidupan ini, lalu mengambilnya dari dunia ini dan membawanya ke dalam alam kematian dan kegelapan? Bagaimana mungkin daya seorang bayi yang baru lahir menariknya dari alam cahaya dan kesucian? Bagaimana jiwa-jiwa saling berbeda satu sama lain dalam alam yang kekal? Mereka sama namun tidak menempati ruang atau tempat. Mereka tidak berbuat atau bereaksi sebelum menghuni badan material. Mereka juga tidak mempunyai sifat yang hanya mereka dapatkan setelah mereka berada di dalam jasad. Maka, bagaimana mereka bisa berbeda? Tak mungkin ada jiwa tunggal yang terbagi-bagi di antara sekian banyak jasad. Karena, sesuatu yang tidak memiliki jasad material tidak dapat dibagi-bagi. Ia hanya turun ke dalam jasad jika jasad memang telah siap menerimanya. Seperti anda ketahui, api dari sebuah korek-api tidak kehilangan apa pun ketika menyulur api pada sesuatu yang mudah terbakar. Jiwa akan masuk ke dalam jasad, jika jasad mempunyai potensi untuk menerimanya, tanpa menyebabkan kekurangan kepada Yang Memindahkan jiwa kepada jasad itu. Yang menciptakan jiwa adalah Sang Pencipta segalanya, Yang Maha Penyayang, Yang lebih besar kepada kita daripada diri kita sendiri, Yang Maha Kuasa, Yang Maha Suci. Cahaya yang memperlihatkan hal yang masuk akal adalah cahaya iman dan ilmu, dan mata yang dapat melihatnya adalah bashirah, mata hati. Syekh Tosun Bayrak Di lautan yang dalam ada kekayaan tak tertera. Tapi kalau kau cari aman, di pantailah itu adanya. Sadi Bentuk Ketiga Cahaya Beberapa Persoalan yang Perlu Dicermati Ada tiga dimensi akal dalam hubungannya dengan konsep eksistensi: wajib, (niscaya); mumkin (mungkin); dan mumtani (mustahil). Wajib adalah suatu eksistensi yang wujudnya merupakan keniscayaan; mumkin adalah sebuah eksistensi yang wujudnya maupun ketiadaannya tidak bersifat niscaya; mumtani adalah eksistensi yang mustahil adanya. Mumkin, yang mungkin, jika ditambahkan kepada kemungkinan lain, dapat menjadi wajib, yang niscaya, atau mumtani, yang mustahil. Sebab adalah sesuatu yang melaluinya eksistensi sesuatu menjadi niscaya. Yang mungkin tidak dapat bereksistensi dengan sendirinya, sebab jika eksistensinya sendiri sudah cukup bagi wujudnya, tentu ia tidak lagi merupakan hal yang bersifat mungkin, tetapi niscaya. Dengan demikian, bagi yang mungkin untuk bereksistensi, haruslah ada sebab. Ketika sebab itu telah sepenuhnya diwujudkan, akibat pun dihasilkan. Karena eksistensi segala sesuatu bergantung pada kehendak, waktu, ruang, keberkaitan, potensi, dan sebagainya. Jika sebab itu tidak sepenuhnya diwujudkan, maka akibat pun tidak sepenuhnya diwujudkan. Jika semua sebab dan syarat bagi eksistensi sesuatu memang ada, dan semua sebab maupun syarat yang

tidak diperlukan bagi eksistensi itu dihilangkan, maka eksistensi sesuatu itu menjadi bersifat wajib, niscaya. Jika sebab itu jelas, dan sebagian dari pemeriksaan terhadap yang mungkin itu bersifat positif, maka akibat menjadi jelas. Pada permulaan proses konsepsi, realisasi dari sesuatu yang nyata, yang harus ditambahkan kepada sebab. Orangorang yang menerima proposisi ini menjelaskan Allah Yang Berada dengan sendiri-Nya dengan hadis Kna Allhu wa lam yakun maahu syai: Allah sudah berada ketika segala sesuatu yang lain belum berada. Allah adalah sebab bagi penciptaan, tetapi Dia tidak membutuhkan apa pun selain diri-Nya sendiri. Dengan demikian, Dia bukanlah mkhluk, meski tidak dapat dipisahkan dari makhluk. Bentuk Keempat Cahaya Ada Lima Bagian BAGIAN PERTAMA Dua hal tak dapat menjadi wajib (niscaya) pada saat yang bersamaan. Jika eksistensi kedua hal itu bersifat niscaya sekaligus dan pada waktu yang bersamaan, maka eksistensi keduanya tentu akan sama dan saling bergantung satu sama lain. Wajib bagi keduanya untuk memiliki perbedaan yang memisahkan satu dengan lainnya. Jika keniscayaan salah satu atau kedua-duanya bergantung pada perbedaan, maka eksistensi keduanya adalah mungkin, bersifat mungkin (possible), bukan niscaya atau mutlak. Mustahil mengonsepsi dua hal yang tidak memiliki perbedaan. Jika tidak ada perbedaan, tentu keduanya satu dan sama. Terdapat banyak jenis materi yang berada dalam berbagai aspek dan kondisi, tetapi yang wajib, eksistensi keniscayaan mutlak, hanyalah satu. Esksistensi segala sesuatu yang lain merupakan sebuah kemungkinan yang membutuhkan kekuatan yang akan menentukan eksistensinya di atas ketiadaannya. Kekuatan yang tiada taranya itu adalah Sang Pencipta Yang Berada dengan sendirinya. Yang eksistensinya-Nya Esa dan satu-satunya eksistensi yang niscaya, wajib. Zat yang eksistensi-Nya merupakan Keniscayaan Mutlak mustahil tersusun dari bagian-bagian. Bahkan, jika bagian-bagian itu dapat dikonsepsikan, bagian-bagian itu kemungkinan hanya dikonsepsikan sebagai satu-satunya jawaban yang ke dalamnya segala sesuatu dileburkan, dan bagian-bagian itu kemungkinan hanya dikonsepsikan sebagai satu-satunya jawaban yang ke dalamnya segala sesuatu dileburkan, dan bagian-bagian ini dengan sendirinya tidak pernah bersifat wajib, niscaya, karena yang ada hanya Yang Esa, Tunggal, Niscaya, yang menjadi sandaran segala sesuatu. Sifat, atribut-atribut deskriptif Keniscayaan Mutlak ini, tidak mungkin dengan sendirinya menjadi niscaya karena atribut-atribut Nama-nama indah Allah, Sang Pencipta, sama dengan Zat-Nya, dan tak dapat dipisahkan. Seandainya atributatribut Yang Esa, Tunggal, Keniscayaan Mutlak dengan sendirinya menjadi eksistensi yang bersifat niscaya, tentu atribut-atribut itu tidak akan meniscayakan kebergantungan terhadap suatu keniscayaan sedangkan Keniscayaan Mutlak tidak bergantung pada atribut-atributnya. Yang Maha Esa, yang eksistensi-Nya merupakan Keniscayaan Mutlak, tidak mengandung atribut-atributNya; juga tidak mungkin Dia menciptakan atribut-atributNya. Sesuatu yang berada dengan sendirinya tidak mungkin dipengaruhi oleh sesuatu yang lain, tidak pula oleh dirinya sendiri. Seandainya kita menyadari dan mengawasi tubuh kita atau anggota tubuh kita, tentu kita akan menyaksikan bahwa apa yang dilakukan oleh anggota tubuh itu lain dari apa yang mungkin dilakukannya, sedangkan Yang Esa dan satu-satunya Keniscayaan

Mutlak tentulah tetap sama di sepanjang waktu dan segala keadaan sebagai Dia Yang Maha Mengetahui, Maha Suci dari kejamakan dan Maha Suci dari kelemahan. Manusia adalah mikrokosmos; alam semesta adalah makrokosmos. Apa pun yang berada pada salah satunya berarti juga berada pada yang lain. Tingkatan yang menyatukan segalanya adalah al-aql-ul-awwal, Penyebab Pertama, Keniscayaan Mutlak, yang menjadi jiwa bagi keduanya. Ia juga merupakan akal universal, makhluk yang paling pertama diciptakan Allah. Yang tertinggi di antara kedua eksistensi itu adalah yang tujuan eksistensinya untuk dirinya sendiri. Menurut sebuah hadis Nabi: Allah telah menciptakan alam semesta untuk manusia, dan manusia untuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia yang kesempurnaannya tidak utuh dapat memberikan kesempurnaan terhadap yang lain? Segala sesuatu yang tersusun dari sejumlah unsur, dalam hubungannya dengan sesuatu yang eksistensinya merupakan keniscayaan mutlak, masuk ke dalam kategori yang mustahil. Allah Yang Maha Pencipta tidak memiliki saingan atau lawan, dan tidak ada sangkut pautnya dengan tempat atau dimensi. Dia berdiri sendiri dan Maha Sempurna, Maha Baik, dan Pemilik segala cahaya. Dia bukanlah manifestasi yang meniscayakan apa yang dimanifestasikan pada-Nya. Dia bukanlah esensi untuk diperbandingkan dengan esensi lain. Segala sesuatu, yang tidak memiliki kesamaan, menjadi saksi atas-Nya, eksistensi Keniscayaan Mutlak, Sebab Pertama, yang membuat segala sesuatu menjadi berada. Materialitas bukanlah kondisi sebab-akibat dari semua ragam eksistensi. Kenyataan bahwa segala sesuatu mempunyai ciri khas tersendiri, dalam bentuk, ukuran, manifestasi, pergerakan, dan perilaku yang saling berbeda satu sama lain, dan tingkatan berbeda yang kita pahami dalam tatanan alam semesta, membuktikan bahwa ada kekuatan di luar yang telah menciptakan segala sesuatu itu. Jika, misalnya, materialisme segala sesuatu menjadi karakteristik sebab-akibat yang sama, tentu perbedaan dan pertentangan semacam itu tidak akan terjadi. BAGIAN KEDUA Menetapkan Bentuk Cahaya Kesamaan di antara benda-benda material adalah wujudnya yang bersifat material. Tetapi, segala sesuatu yang bersifat material berbeda satu sama lain dalam hal manifestasi cahaya yang memancar darinya. Cahaya itu tidaklah layak bagi segala sesuatu yang bersifat material. Ia diterima dari yang lain dan dipantulkan atas segala sesuatu. Cahaya yang dimanifestasikan dalam segala yang bersifat material hanya merupakan bentuk cahaya yang mungkin karena cahaya yang tidak layak bagi segala sesuatu yang bersifat material tentu tidaklah layak bagi dirinya sendiri, melainkan bergantung pada yang lain. Seandainya ia berdiri sendiri, tentu ia akan menjadi Cahaya Tertinggi. Jiwa manusia terang dalam dirinya sendiri karena ia merupakan bagian dari Cahaya yang berada dengan sendirinya. Tetapi, seperti yang telah kami jelaskan, karena jiwa turun ke dalam jasad, tentu kami jelaskan, karena jiwa turun ke dalam jasad, tentu ada kekuatan yang lebih tinggi daripadanya, dan jasad material tidak menyebabkan eksistensinya. Materi tidak mungkin menjadi sebab eksistensi sesuatu yang lain yang juga bersifat material, karena sesuatu itu tidaklah menciptakan eksistensi sesuatu yang lain yang keberadaannya lebih tinggi daripadanya. Sebuah cahaya tunggal wajib memberikan pencerahan kepada sesuatu yang bersifat material untuk mempertinggi eksistensinya. Itulah cahaya Keniscayaan Mutlak, Sebab Pertama, al-Hayy, Yang Maha

Hidup, al-Qayym, Yang Berdiri sendiri. Diri, ego dalam bentuknya yang terbatas, menyatakan eksistensi Keniscayaan Mutlak Yang Maha Suci ini. Dia merupakan Cahaya tertinggi, yang dapat dilihat oleh diriNya sendiri, dengan diri-Nya sendiri, Maha Suci dari segala kebergantungan dan hubungan dengan materi, dan dapat dilihat. Dia tak terlihat oleh kita dan terhalang oleh kekuatan-intensitasnya yang dahsyat. Cahaya mentari memungkinkan kita untuk melihat segala sesuatu yang ada di sekeliling kita, besar maupun kecil, dengan beragam bentuk dan warna. Dengan cahayanya, kita dapat menemukan jalan dan dapat melihat lubang dan rawa. Demikian pula Allah telah memberikan kepada kita cahaya iman. Cahaya iman menunjukkan kita jalan-lurus keselamatan dan lubang dan rawa kekufuran, dosa, dan perbuatan maksiat. Ia melenyapkan gelapnya kekufuran dan dosa di dalam dan di luar diri kita. Ia membawa kita kepada cahaya kebenaran, keselamatan, dan ketenangan. Syekh Tosun Bayrak BAGIAN KETIGA Adalah penting bahwa kekuatan dahsyat yang Esa ini (Unik dan Tunggal), yang tentunya dapat bermanifestasi dengan dirinya sendiri, tidak membutuhkan sebab bagi keberadaan esensi-Nya seperti halnya eksistensi yang lain; Dia juga tidak perlu muncul dalam berbagai bentuk. Dengan demikian, Dia tetap tidak menyerupai eksistensi yang lain. Jika sifat eksistensi sesuatu berbeda dengan sifat eksistensi yang lain, karena sifat-sifat itu berbeda satu sama lain. Inilah sebab dan sumber kejamakan. Ini sifat dasar Keniscayaan Mutlak, Sebab Pertama, bahwa Dia tidak memiliki aspek kejamakan. Keniscayaan Mutlak yang menjadi dasar bagi eksistensi segala sesuatu yang lain tidak bersifat material. Dengan demikian, Dia tidak mungkin mempunyai aspek-aspek yang tidak bersesuaian satu sama lain. Dia bukanlah sebuah bentuk, keadaan atau kondisi yang membutuhkan tempat atau ruang. Dia bukanlah jiwa yang membutuhkan jasad. Jika kita membayangkan eksistensi imaterial yang merupakan cahaya yang mengenal Penciptanya, Yang menciptakannya tanpa bentuk, maka eksistensi yang lebih agung daripada cahaya itu menjadi mustahil. Ia adalah puncak dari segala yang mungkin, Esensi ini menjadi mungkin oleh dirinya sendiri dan di dalam dirinya sendiri, dan, melalui hubungannya dengan Yang Esa di hadapannya, menjadi niscaya. Dengan menerima keagungan pengamatan dari Dia yang berada di depannya, ia menjadi sumber suci itu sendiri. Tetapi dengan menyadari kekurangannya jika dibandingkan dengan keagungan Cahaya Pertama, ia kembali ke dalam jisim dan bentuk eter. Dengan demikian, esensi suci kedua harus dilihat sebagai berada di antara Esensi Mutlak yang berada di atasnya dan jisim eter yang berada di bawahnya. Inilah cara akal suci nonbendawi, langit, dan cakrawala dibentuk. Meskipun eksistensi imaterial ini merupakan kekuatan-kekuatan yang aktif, namun ia tak lebih dari sarana yang melaluinya Sumber Suci Pertama, Esa, dan Unik mencurahkan rahmat-Nya. Yang Esa-lah yang menciptakan semua gerak, perputaran, dan perhentian. Yang Esa-lah yang menciptakan segalanya. Ketika cahaya yang kuat tidak memungkinkan cahaya kecil untuk bersinar, maka Pemilik segala kekuatan, yang eksistensi-Nya wajib bagi semua eksistensi, Sebab Pertama, Sumber Suci yang Esa dan Unik, tidak memungkinkan sarana-Nya untuk mencerahkan alam semesta dengan sendirinya. Pencerahan dan kekuatan kesempurnaannya yang dahsyat berada di atas ketakterbatasan. Realitasnya melingkupi segala realitas. BAGIAN AKHIR DARI BAGIAN KETIGA DAN PERMULAAN BAGIAN KEEMPAT

Alam semesta dibagi ke dalam tiga bagian. Yang pertama disebut oleh para filsuf kuno seperti Aristoteles, Sokrates, dan Plato sebagai alam Akal. Alam ini disebut an-Nur-ul-Muhammad, makhluk pertama, yang juga disebut al-aqlu kull, Akal Mutlak, yang berisi potensi segala eksistensi. Menurut para filsuf Yunani kuno, alam Akal ini terdiri dari tiga aspek. Pertama: eksistensinya. Kedua: kebergantungan eksistensinya terhadap suatu kekuatan kreatif dan Ketiga: keberadaannya sebagai sebuah eksistensi yang bersifat mungkin yang mencakup segala kemungkinan yang lain. Dari aspek eksistensinya, akal diciptakan, Dari kebergantungannya pada kekuatan kreatif, nafs (jiwa) diciptakan. Nabi s.a.w. bersabda: Makhluk pertama yang diciptakan Allah adalah akal (Awwalu m khalaqa Allh- ul-aql). Inilah aql-ulkull, Akal Mutlak, alam Akal, logos dalam istilah para filsuf Yunani kuno. Akal yang diciptakan dari aspek eksistensinya berada dalam dua tingkatan. Yang lebih rendah adalah aql-ul-maasy, Akal biasa yang mengetahui urusan-urusan dunia material. Yang lebih tinggi adalah aql-ul-maad, Akal Ilahi, yang mengetahui urusan-urusan spiritual. Fungsi utamanya adalah mendorong manusia mengenal Allah dengan cara mengetahui rahasia man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, orang yang mengenal dirinya sendiri berarti mengenal Tuhannya. Menurut para filsuf Yunani kuno, semua esensi imaterial, yang tidak dapat dikonsepsi oleh indra, dan yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan eksistensi material, berada di dalam alam Akal. Bagian kedua alam semesta adalah alam nafs, Jiwa (jiwa segala makhluk). Kekuatan dan kesempurnaan an-nafs-ul-thabii, jiwa alam, yang mempersatukan semua makhluk dan mencegahnya dari perpecahan, dan annafs-un-nabati, jiwa tumbuhan, membantu makhluk untuk berkembang, tumbuh, dan beranak-pinak. An-nafs-ul-hayawani, jiwa hewani, membantu makhluk untuk bergerak, mengindra, dan memiliki kehendak yang terbatas. Ketika jiwa ini terpisah dari makhluk, kematian pun terjadi. Alam an-nafs mencakup an-nafs-un-nathiqah, jiwa manusia. An-nafs-un-nathiqah bersumber dari Tuhan, ketika Allah meniupkan napas-Nya sendiri kepada Adam a.s., ketika Adam diciptakan dari tanah, air, api dan eter. Allah berfirman dalam sebuah hadis qudsi: Wa naffastu fh min rh Dan Aku tiupkan roh-Ku ke dalam dirinya. An-nafs-un-nathiqah adalah kekuatan dan kesempurnaan yang memampkan manusia untuk berpikir, memutuskan, menyaksikan, dan berada. Ia berkembang dalam tujuh tingkatan, dari an-nafs-ul-ammarah, jiwa yang menguasai yang disebutkan al-Quran sebagai: Inn-an-nafsa la ammratun bis-s Sesungguhnya nafs, jiwa manusia, selalu memerintahkan Kepada kejahatan. (Q.S. Ysuf 12:53) Inilah jiwa manusia yang berdosa yang mencari kepuasannya dalam hasrat-hasrat duniawi yang lebih rendah. Wa l uqsimu bin-nafs-il-lawwmah. Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q.S. al-Qiymah 75: 2)

Pada tahap ini, jiwa mampu memutuskan mana yang baik dan mana yang jalan, ia menyadari ia menyadari dosa yang terkadang ditentangnya: ia menerima kesalahannya, bertobat, dan berupaya menebusnya. Tingkatan ketiga adalah an-nafs-ul-mulhimah, jiwa tercerahkan, yang disebut sebagai: Wa nafsin wa m sawwh fa alhamah Fujrah wa taqwh. Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya) maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan Dan ketakwaannya. (Q.S. asy-Syams 91: 7-8) Pada tingkatan ini, jiwa mengetahui yang benar dan yang salah melalui ilham, dan mematuhi suara hati nurani. Tingkatan keempat adalah an-nafs-ul-muthmainnah, jiwa yang beroleh rahmat dan keselamatan yang disebutkan dalam al-Quran senagai: Y ayyuh-an-nafs-ul-muthmainnah, irji il rabbiki Rdhiyatan mardhiyah [Kepada jiwa yang baik akan dikatakan] Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu Dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (Q.S. al-Fajr 89: 27-28) Tingkatan kelima adalah an-nafs-ur-radhiyah, jiwa kepasrahan total, jiwa muslim hakiki, jiwa yang benar-benar patuh, seperti yang disebutkan sebagai: Radhiya Allhu anhum wa radh anhu. Allah meridai mereka dan mereka rida kepada-Nya. (Q.S. al-Midah 5: 122) Inilah jiwa yang menerima dan rida terhadap kehendak Allah dan mutlak kepada-Nya. Tingkatan keenam adalah an-nafs-ul-mardhiyah, jiwa yang dekat kepada Penciptanya. Jiwa yang diridai Allah, seperti yang disebutkan dalam Q.S. al-Fajar 91: 27-28, Q.S. al-Maidah 5: 122 dan Q.S. al-Bayyinah 98: 8. Inilah tahapan ketika jiwa menerima keridaan Allah dan keridaan itu bersifat timbal balik. Jiwa secara utuh menjadi menyatu dengan kehendak universal Allah. Dengan kehilangan kehendaknya sendiri, jiwa berada dalam sifat fan fillh, lebur di dalam Allah. Sifat finak an-nafs-ul-kalmilah, jiwa manusia, adalah an-nafs-uz-zakiyyah atau annafs-ul-kamilah, jiwa sempurna yang disucikan yang disebutkan dalam al-Quran sebagai: Qad aflaha man zakkh. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan Jiwanya. (Q.S. asy-Syams 91: 9) Inilah jiwa al-insan-ul-kamil, manusia sempurna, manusia sejati, mikrokosmos keseluruhan alam semesta, yang mencakup segala sesuatu di alam semesta. Alam nafs, jiwa, dan alam an-nafs-un-nathiqah, jiwa manusia, tidak mempunyai bentuk atau dimensinya sendiri, tetapi menempati bentuk-bentuk material, dan

bereksistensi di dalam alam-materi. An-nafs-un-nathiqah, jiwa manusia (atau rasional), berada di dalam wujud spiritual, cakrawala, dan di dalam manusia. Ia mempunyai dua jenis. Pertama, yang menempati jisim juga terdiri dari dua jenis, etereal dan elemanta. Cahaya yang lebih tinggi dan lebih kuat adalah ar-ruh-ulquddus, Roh Suci, yang oleh para filsuf disebut al-aql-ul-afal, Akal Aktif, yang tak ubahnya pembimbing setia yang membimbing manusia secara rahasia, memberi bekal kepada roh manusia, dan mengarahkan kita kepada pengetahuan yang sempurna. Semua ini adalah cahaya suci, namun eksistensi yang paling awal diciptakan adalah al-aql-ul-awwal, Akal Pertama dan Universal, an-nur-ul-muhammadi, Cahaya Muhammad, yang melaluinya merambat sinar Cahaya Pertama. Ketika siar Cahaya Pertama semakin terpantul dari hati ke hati tanpa kata-kata atau huruf, Akal meningkat, dan melalui wahyu pencerahan ini, menjadi beraneka ragam. Karena kita menerapkan hukum sebab-akibat, cahaya yang diturunkan kepada kita ini, yang memantul dari hati ke hati, begitu dekat kepada kita. Pada hakikatnya, karena kekuatan intensitasnya yang luar biasa, apa yang terjauh menjadi seolah-olah paling dekat kepada kita. Yang paling dekat adalah Cahaya Tertinggi. Tidakkah anda lihat bahwa dua buah titik, salah satunya hitam sedang yang lainnya putih, yang terletak pada jarak yang sama, maka yang putih terlihat lebih dekat kepada kita? Yang putih adalah paling jelas yang bisa dilihat. Cahaya Pertama merupakan cahaya yang paling tinggi dan paling dekat. Segala puji bagi Zat Suci, Sumber, Sebab segala sesuatu, Maha Suci dari segala kekurangan, Maha Sempurna, Tertinggi di atas segalanya; lebih jauh daripada yang paling jauh, tetapi lebih dekat daripada yang paling dekat karena daya tembus cahaya-Nya yang luar biasa. BAGIAN KELIMA Allah al-Bari, Pencipta yang menciptakan dari noneksistensi (ketiadaan) menuju eksistensi segala sesuatu selain diri-Nya sendiri Yang Maha Kekal. Karena Dia Pencipta segala sesuatu yang lain itu Maha Kekal, maka segala yang eksistensinya bersifat mungkin dan menyandarkan wujudnya kepada-Nya juga akan kekal. Segala sesuatu yang eksistensinya bersifat mungkin hanya bergantung pada Allah untuk bereksistensi, karena Allah al-Bari (Pencipta) yang berada sebelum segala sesuatu yang lain. Praeksistensi-Nya tidak bergantung pada zaman dan kondisi seperti halnya eksistensi kita: misalnya, kita bisa menunda sesuatu hingga hari Kamis atau hingga Zayd datang. Tak dapat diragukan lagi bahwa tak ada sesuatu yang berada sebelum Dia. Yang Maha Pencipta secara mutlak tak mengalami perubahan. Semua makhluk adalah atas kehendak-Nya. Dia tidak akan menciptakan sesuatu yang tidak dikehendaki-Nya, atau menghendaki apa yang tidak dikehendaki-Nya. Anda tahu bahwa cahaya bersumber dari matahari, dan anda diciptakan dari cahaya. Bagaimana mungkin anda meragukan menciptakan segala sesuatu. Maha Adil dan Maha Suci dari Penciptaan-Nya? Cahaya tetap bersinar, dan cahaya saling lain. Apalah matahari menjadi berkurang? Apakah sinarnya Bentuk Kelima Cahaya Sebuah sebab dibutuhkan untuk menetapkan sebuah eksistensi baru sebagai baru, dan pertimbangan sebab-akibat tampak menjadi rangkaian kesatuan ketika tak ada akhir atau awal bagi munculnya sebab baru yang menimbulkan penampakan eksistensi baru tahu bahwa matahari tidak bahwa Allah Yang segala kekurangan dalam memantulkan satu sama memudar?

itu. Ini membuktikan bahwa selama sebuah eksistensi ditentukan dan bergantung pada sebab eksistensi yang lain, ia tidak mungkin menjadi yang pertama dari berbagai eksistensi baru. Yang mengakibatkan pembaruan dalam dirinya sendiri adalah gerakan. Dari semua gerakan, gerakan mutlak yang berlangsung terus tanpa henti adalah gerakan melingkar. Gerakan melingkar yang terus-menerus hanya mungkin diciptakan oleh cakrawala yang berputar. Inilah sebab munculnya segala kejadian di alam material ini. Allah, Sang Pencipta, yang mengubah eksistensi-eksistensi dari noneksistensi (ketiadaan) menjadi eksistensi, tidaklah berubah. Dan dalam ketiadaan perubahan pada zat-Nya, Dia tidak dapat menjadi sebab semua gerakan baru itu. Seandainya bukan karena gerakan melingkar cakrawala, niscaya tidak ada eksistensi baru yang menjadi sumber eksistensi kausal. Cakrawala melingkar langit, gerakan cakrawala, bukanlah gerakan alamiah, karena gerakan ini menyimpang dari titik yang dituju. Sesuatu yang bergerak menurut sifatnya berhenti pada titik yang ingin dicapai oleh sifat itu, karena ia tidak dapat menghindari titik yang ingin dicapai oleh sifat dasarnya. Dengan demikian, kita simpulkan bahwa gerakan ini merupakan gerakan yang dimulai atas dasar kehendak. BAGIAN PERTAMA Yang menghidupkan dan menggerakkan perputaran cakrawala adalah Esensinya. Ada pun yang menggerakkan bentuk cakrawala adalah sebuah daya yang berkehendak (volitional thrust). Awal gerakan dari bentuk cakrawala adalah daya dorong cakrawala, yakni sebuah gerakan involuner atau tak berkehendak (involuntery movement). Jika kita berpikir tentang bentuk cakrawala dan esensinya yang saling tidak bergantung satu sama lain, maka gerakan bentuk yang diawali oleh daya esensi itu menjadi gerakan involunter. Tetapi, jika kita berpikir tentang esensi dan bentuk yang satu, maka gerakan cakrawala itu merupakan tindakan yang dilakukan atas dasar kehendak. Dalam hal ini, cakrawala hidup dan berkesadaran, namun tidak membutuhkan makanan, atau dilahirkan, atau tumbuh. Ia tidak mempunyai hasrat, penentangan, dan perlawanan. Ia tidak mempunyai amarah atau daya tolak. Karena ia tidak memberikan nilai kepada sesuatu yang rendah, maka tidak ada sifat rendah dalam gerakannya. Ada dua jenis eksistensi yang mungkin: eksistensi abstrak yang nonmateri dan eksistensi yang mempunyai bentuk material. Baik yang bersifat abstrak maupun material, seperti halnya akal nonmateri dan cakrawala material, bereksistensi dalam sebaik-baik bentuk yang mungkin bagi keduanya. Keduanya juga tidak mungkin dapat menjadi lebih sempurna lagi. Manusia yang merupakan mikrokosmos seluruh alam semesta memiliki potensi kesempurnaan total, meskipun sifat alamiahnya tidak seperti itu. Ketika kita menyucikan diri kita dari hubungan dan perhatian terhadap raga kita dan menenggelamkan diri di dalam perenungan tentang keagungan dan kekuasaan Pencipta kita, Pencipta yang mengubah eksistensi dari noneksistensi (ketiadaan) menjadi eksistensi dan cahaya memancar yang bersumber dari-Nya, kita dapati esensi kita menjadi indah dan bersinar dengan kemilau cahaya Ilahiah dan manifestasi Allah, dan kita pun mencapai tujuan yang kita dambakan. Bagaimana mungkin kita meragukan kepribadian yang diberkahi Tuhan yang tenang, jauh dari penentangan dan bencana dunia ini, padahal kita tidak ragu-ragu bahwa kita akan mencapai kebahagiaan tertinggi dengan cara menyelamatkan diri kita dari perbudakan badani itu? Wujud yang dirahmati ini, dalam sifat yang dibimbing Tuhan, tidak lalai atau takut untuk menyela kelangsungan cahaya yang mereka terima. Jika gerakan mereka ke arah tujuan yang dicita-citakan tidak terbebas dari hambatan, kemajuan mereka akan terganggu.

Kekasih Allah dalam sifat yang lebih tinggi ini tidak saling menyerupai satu sama lain. Mereka adalah cahaya, dan mereka adalah sebab dan penyelamat. Mereka merasakan alam suci melalui perantara antara diri mereka dan Sang pencipta. Dari pencerahan yang diterima melalui penemuan dengan Tuhan, segala potensi muncul dalam diri mereka. Dengan penciptaan kembali gerakan, iluminasi diperbarui, dan ini berlanjut terus-menerus. Melalui perubahan yang terus-menerus ini, kejadiankejadian baru di dunia yang lebih rendah ini muncul secara bergantian. Jika iluminasi dan gerakan ini tiada, tentu hanya sedikit kebaikan dan rahmat Allah yang akan muncul, dan pada titik tertentu iluminasi Tuhan pasti akan berhenti. Rahmat dan kebaikan Allah berlanjut melalui berbagai tingkatan dan keragaman dalam keberlangsungan alam material ini. Gerakan menyeluruh bersumber dari peristiwaperistiwa yang terjadi di dunia yang kacau dan durhaka ini. Sekiranya bukan karena gerakan menyeluruh dan apa yang ditimbulkannya, dunia rendah dan pembaruan tanpa akhir segala sesuatu ini akan menjadi tak bermakna. Kita tidak perlu membayangkan pengaruh lain terhadap keharmonian umum ini kecuali dari Allah. Gerakan cakrawala bukanlah sebab bagi eksistensi segala sesuatu, tetapi ia bersumber dari berbagai potensi. Pembentukan potensi itu adalah munculnya kemungkinan-kemungkinan baru di dalam segala sesuatu yang menetapkannya untuk menerima iluminasi baru. Allah, Sang Pencipta, Maha Suci dari perubahan. Tak ada perubahan pada zat-Nya Yang Maha Suci yang mungkin membawa kepada perubahan yang membedakan manifestasiNya. Keabadian sifat pemurah Allah, keabadian eksistensi para pecinta Allah, dan pembaruan kejadian dan gerakannya menjaga kemaslahatan bagi makhluk di dalam dunia yang lebih rendah. Gerakan cakrawala tidaklah untuk mencipta segala sesuatu, namun ia membentuk daya (kapasitas) padanya. Allah, Sang Pencipta, memberi kepada segala sesuatu sesuai dengan tingkat kapasitasnya. Selama tindakan itu tidak diubah, akibat dan yang diakibatkannya tidaklah mengalami pembaruan. Perubahan hanya mungkin terjadi karena adanya perubahan dalam penetapan hal yang mungkin. Pembaruan hanya dimungkinkan oleh kemungkinan yang diperbarui dalam unsur yang terkena akibat. Mungkin saja akibat dari sebuah wujud Unik diperbarui. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan dalam sifat-Nya, namun bisa saja terjadi melalui perubahan yang mungkin dari sifat cermin yang memantulkan-Nya. Misalnya, jika seorang manusia menjadi entitas yang sama sekali tidak berubah dan tidak bergerak dikelilingi oleh cermin yang banyak, besar dan kecil, jernih dan buram, maka beragam warna dan bentuk yang muncul dalam semua cermin itu tidak ada kaitannya dengan perubahan dalam berbagai atribut entitas ini, tetapi berhubungan langsung dengan semua sifat cermin yang berbeda-beda itu. Itulah mengapa Allah Yang Maha Tinggi, Pencipta, mengaitkan konstanta yang tak berubah kepada konstanta dan terus-menerus memperbarui yang baru, sehingga Dia dapat menganugerahkan kebaikan, cahaya, dan rahmat-Nya kepada kita. Kebaikan dan rahmat Pencipta kita tidak mungkin habis atau berkurang. Kebaikan adalah mengerjakan yang harus dikerjakan tanpa mengharapkan imbalan. Yang Maha Esa dan Maha Kaya adalah Allah, karena Dia tidak mengharapkan imbalan dan tidak mempunyai kebutuhan, Dialah Cahaya Tertinggi yang tidak membutuhkan selain diriNya sendiri karena kesempurnaan dan esensi-Nya. Dalam seluruh tindakan-Nya tak pernah ada rasa permusuhan dan prasangka. Esensi Wujud-Nya Yang Suci adalah limpahan rahmat dan kasih sayang-Nya. Kerajaan-Nya yang maha halus dan esensi segala sesuatu di dalamnya adalah milik-Nya. Esensi-Nya bukanlah untuk apa pun atau siapa pun. Orang tidak mungkin membayangkan alam eksistensi ini lebih sempurna daripadanya, karena zat-Nya Yang Maha Suci tidak mungkin berisi hal yang remeh dan tak bermakna. Tetapi, melalui cara yang tak pernah berakhir dan tak ada habis-habisnya. Dia menuntut yang lebih baik, dan yang terbaik. Ketika cahaya lebih terang daripada sinar yang dipantulkannya, maka mustahil bagi alam eksistensi untuk menjadi lebih sempurna daripada apa yang senyatanya. Hal semacam

itu mustahil. Sesuatu yang tak masuk akal tidaklah berada dalam kekuatan yang maha kuat. Orang-orang yang tergesa-gesa menyimpulkan bahwa baik maupun buruk berasal dari Allah adalah orang-orang yang membayangkan bahwa yang tinggi lebih unggul daripada yang rendah, bahwa tidak ada alam lain yang dimiliki Allah yang berada di balik kegelapan ini, dan tidak ada penciptaan lain kecuali penciptaan ini bukanlah selain yang ada, maka keburukan dan kemudaratan akan menjadi sesuatu yang niscaya dan tatanan menyeluruh akan dihancurkan dari satu ujung ke ujung yang lain. Keadaan kita merupakan tingkatan tertinggi yang memang mungkin bagi kita. (Dalam penciptaan berbagai kemungkinan, yang bereksistensi adalah yang paling menakjubkan dan paling baru, menurut al-Ghazali ketika dia ditanya: Apa yang menjadi tujuan Allah dalam menciptakan makhluk? ia menjawab: Tujuan Allah diwujudkan pada keadaan makhluk yang ada, demikian diriwayatkan oleh Jafar ash-Shadiq). Tingkatan terakhir adalah alam lain yang ke dalamnya jiwa kita yang telah disucikan dari jasad dan ego akan kembali. Para penduduk alam yang mulia itu tidak melakukan perbuatan yang membuka aib orang lain, menyerobot hak orang miskin, menghukum orang yang tak bersalah, memuliakan orang yang hina, merendahkan orang yang terhormat, menyakiti orang yang alim. Pekerjaan mereka adalah memerhatikan cahaya manifestasi Allah dalam setiap aspek kehidupan. Jika kekacauan yang tampak pada beberapa bagian alam semesta berfaedah, tentu ia hanya bermanfaat dalam menimbulkan kekacauan pada bagian-bagian alam semesta yang lain yang padanya kekacauan bersifat niscaya. Ketika perilaku alam yang lebih tinggi bukanlah untuk alam yang lebih rendah, orang-orang yang masuk ke dalam golongan pertama yang berada dalam kekuatan dan keagungan ilahiah yang melingkupi mereka, sinar sifat Ilahi dan cahaya keberadaan Allah tidak menaruh kepedulian terhadap segala sesuatu yang lain; mereka bahkan tidak mempunyai daya untuk memerhatikan diri mereka sendiri. Mereka adalah cahaya murni, sehingga mereka mengetahui yang tersembunyi maupun yang nyata. Tak ada yang tersembunyi dari pengetahuan mereka. Fakta bahwa cakrawala tidak tersusun dari bagian-bagian dan bahwa tatanannya tidak dapat diganggu dan bahwa ia selalu bergerak merupakan bukti bahwa ia bersifat nonelemental. Dan ketidakefekrifan ringannya panas yang hanya dapat naik, berartinya dingin yang hanya dapat turun, sifat basah yang dalam susunannya dengan mudah menerima pemisahan dan hubungan, dan sifat kering yang mencegah pemisahan dan hubungan, dan sifat kering yang mencegah pemisahan dan ikatan menunjukkan bahwa tidak ada pembelahan atau penyatuan dalam cakrawala. Gerakan cakrawala ini tidaklah vertikal; ia tidak bergerak menuju titik tengah, atau menjauh dari titik tengah. Mungkin gerakannya adalah gerakan yang berada di antara keduanya, yakni, melingkar. Cakrawala ini tidaklah berat atau ringan. Ia mempunyai sifat kelima. Seandainya langit tidak melingkari bumi, maka ketika matahari terbenam di barat, tentu ia tidak akan kembali ke timur. Atau, hal ini hanya mungkin terjadi jika sekiranya ada hari yang ganda atau kembar. Dengan demikian, semua cakrawala itu global. Sebenarnya, ia memiliki penalaran sendiri dan berhubungan dengan cahayacahaya Tuhan melalui cintanya kepada cahaya-cahaya itu, dan sepenuhnya tunduk kepada Sumber itu Yang membuatnya selalu memperbarui diri. Ia hidup di alam eter. Allah tersembunyi di dalam kekuasaan dan eksistensi-Nya yang tidak terbatas. Dia laksana cahaya yang membuat segalanya dapat dilihat, tetapi Cahaya-Nya itu sendiri menjadi hijab terhadap Cahaya-Nya. Yang tidak mempunyai batas tampaknya tidak memiliki bentuk, sehingga menjadi tak terlihat. Tetapi Dia nyata dalam segala sesuatu: apa pun yang kita lihat, segala suara yang kita dengar, segala sesuatu yang kita sentuh, segala sesuatu yang kita rasa. Segala hal yang kita pikirkan, segala sesuatu yang berada di luar dan di dalam diri kita adalah bukan Dia, namun berasal dari-Nya. Segala sesuatu merupakan bukti keberadaan-Nya. Syekh Tosun Bayrak

AKHIR BENTUK KELIMA CAHAYA Dalam alam eksistensi, hubungan pertama adalah hubungan antara Esensi yang ada dan bereksistensi dan Yang Esa Yang Ada dengan sendiri-Nya. Hubungan ini merupakan induk dan bentuk tertinggi dari semua hubungan dan diikat oleh cinta kepada Yang Esa. Karena tidak mampu menyelami kedalaman cahaya batinnya sendiri, ia ditaklukkan oleh kemandirian Yang Berada dengan sendiri-Nya. Hubungan ini mempunyai dua aspek: cinta dan kekuatan. Salah satu dari kedua aspek ini lebih tinggi dan lebih agung. Sifat hubungan ini masuk ke dalam setiap alam, sehingga setiap bagian mempunyai perimbangannya. Dengan demikian, semua esensi dibagi ke dalam materi dan nonmateri, dan nonmateri mengungguli materi dan menjadi yang dicinta atau sebab semua materi; salah satu di antara perimbangan ini lebih mendasar. Di samping itu, esensi yang membedakan materi dibagi ke dalam dua macam perimbangan. Salah satunya adalah yang tinggi dan kuat, sedangkan yang lainnya lebih rendah dan pasif. Materi sendiri dibagi ke dalam beberapa perimbangan, yang etereal dan elemental. Sebagian dari materi etereal dibagi ke dalam dua perimbangan: kebahagiaan dan kekuatan yang dahsyat, atau matahari dan bulan, yang serupa dengan akal dan ego. Yang mulia dan yang rendah, kanan dan kiri, Timur dan Barat, jantan dan betina pada hewan merupakan contoh mengenai hal ini. Dalam evolusi hubungan yang pertama, yang sempurna dan yang kurang, dipersatukan melalui perkawinan. Inilah yang dapat dipahami dalam ayat al-Quran: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah. (Q.S. adz-Dzariyat 51: 49) Matahari adalah yang tertinggi dan wujud yang paling mulia, yang paling bersinar, paling mulia, dan cemerlang di antara semua materi, penerang dan sumber kehidupan alam semesta, yang menepis ke